Page 1
i
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS APLIKASI TEORI MODEL ADAPTASI ROY
PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN DAN
INTERVENSI CRYOTHERAPY UNTUK MENURUNKAN
NYERI KANULASI PASIEN HEMODIALISIS
DI RSUP FATMAWATI JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
RITA DWI HARTANTI
NPM. 1106043192
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2014
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 2
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 3
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 4
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 5
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Ilmiah Akhir dengan judul “Analisis Aplikasi Teori Model Adaptasi Roy pada
Pasien Gangguan Sistem Perkemihan dan Intervensi Cryotherapy untuk
Menurunkan Nyeri Kanulasi Pasien Hemodialisis di RSUP Fatmawati Jakarta “.
Karya Ilmiah Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ners
Spesialis Keperawatan Medikal Bedah di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Penulis menyadari Karya Ilmiah Akhir ini dapat penulis susun dengan baik berkat
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini,
penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Dr. Junaiti Sahar, S.Kp, M.App.Sc, selaku Dekan Fakultas Ilmu keperawatan
Universitas Indonesia.
2. Agung Waluyo, S.Kp., M.Sc., PhD, selaku supervisor utama yang telah
meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan dengan
penuh kesabaran selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
3. Lestari Sukmarini, S.Kp, M.N, selaku sekretaris Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan selaku supervisor
yang juga telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga memberikan
bimbingan dengan penuh kesabaran selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir.
4. Seluruh jajaran Direktur beserta staf RSUP Fatmawati, Ka. Instalasi Gedung
Rawat Inap dan Gedung Bougenville, Kepala Ruang penyakit dalam dan
kepala ruang bedah beserta staf, atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk melaksanakan praktek residensi spesialis Keperawatan Medikal
Bedah.
5. Seluruh dosen pengajar Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia, Khususnya Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
v
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 6
vi
yang telah membantu selama proses pembelajaran serta penyusunan Karya
Tulis Ilmiah.
6. Bapak dan Ibu serta ananda tercinta Muhammad Aqeela Farizky yang banyak
memberikan semangat, dukungan dan do’a hingga penulis dapat melanjutkan
pendidikan Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
7. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Ners Spesialis Keperawatan
Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, atas
inpirasi, kerja sama dan dukungan motivasi, serta pihak lain yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang membantu penulis dalam menyelesaikan
Karya Tulis Ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala kebaikan
yang telah diberikan.
Depok, Juli 2014
Rita Dwi Hartanti
vi
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 7
vii
PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Karya Ilmiah Akhir, Juli 2014
Analisis aplikasi Teori Model Adaptasi Roy pada pasien gangguan sistem
perkemihan dan intervensi cryotherapy untuk menurunkan nyeri kanulasi pasien
hemodialisis di RSUP Fatmawati Jakarta.
xii + 127 hal + 1 skema + 2 diagram + 1 lampiran
Abstrak
Aplikasi Teori Adaptasi Roy dalam asuhan keperawatan pasien dengan gangguan
perkemihan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap
perubahan perilaku fisik dan psikologis yang disebabkan oleh berbagai stimulus
fokal, residual dan konstektual. Masalah keperawatan yang umumnya terjadi
pada pasien dengan gangguan perkemihan diantaranya kelebihan volume cairan,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, intoleran aktifitas,
gangguan pola tidur, cemas, koping tidak efektif. Implementasi keperawatan
untuk mengatasi masalah tersebut meliputi pelaksanaan intervensi keperawatan
yang terdiri dari berbagai aktivitas regulator dan kognator. Dalam penerapan teori
adaptasi Roy menunjukkan pelaksanaan praktek keperawatan berbasis
pembuktian dengan Cryotherapy, efektif untuk mengurangi nyeri kanulasi pada
pasien hemodialsis dan penerapan pemberian booklet manajemen hemodialisis
menunjukkan dapat meningkatkan pengetahuan pasien tentang manajemen
hemodialisis.
Kata kunci : gangguan sistem perkemihan, model adaptasi Roy, Cryotherapy,
booklet edukasi manjemen hemodialisis.
Daftar pustaka : 34 (1997 -2012)
vii
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 8
viii
MEDICAL SURGICAL NURSE SPECIALIST
FACULTY OF NURSING SCIENCE
UNIVERSITY OF INDONESIA
Final Scientific Work, July 2014
The analysis of Roy Adaptation Model Theory application in patients with urinary
system disorders and interventional cryotherapy to reduce cannulation pain in
hemodialysis patients in Fatmawati Jakarta.
Abstract
Application Roy Adaptation Theory in nursing care of patients with urinary
disorders aims to improve the ability of adaptation to the physical and
psychological behavior changes induced by various stimuli focal, contextual and
residual. Nursing problems that commonly occur in patients with urinary
disorders including fluid volume overload, imbalance nutrition less than body
requirements, activity intolerance, impaired sleep patterns, anxiety, coping
ineffective. Implementation of nursing include the implementation of nursing
intervention that consisted of various of kognator and regulators activities. The
application of Roy's adaptation theory suggests the implementation of evidence-
based nursing practice with Cryotherapy than effective for reducing pain
cannulation in hemodialysis patients and application of educational booklets
mangement of hemodialysis has been shown to increase knowledge about the
management of patients on hemodialysis.
Keywords: Urinary disorders, Roy adaptation model, Cryotherapy, educational
booklets mangement of hemodialysis.
Bibliography: 34 (1997 -2012)
viii
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 9
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... ii
HALAMAN PESETUJUAN .................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................ ix
DAFTAR SKEMA................................................................................ x
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi
DAFTAR DIAGRAM........................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................. ..................................................... 4
1.3 Sistematika Penulisan ............................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 7
2.1 Penyakit Ginjal Tahap Akhir ...................................................... 7
2.2 Teori Adaptasi Roy .................................................................... 13
2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien
dengan Penyakit Ginjal tahap Akhir............................................ 23
BAB 3 PROSES RESIDENSI ............................................................... 36
3.1 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien
dengan Gangguan Sistem Perkemihan........................................ 36
3.2 Evidence Base Practice Cryotherapy ........................................... 89
3.3 Kegiatan Inovasi ........................................................................ 96
BAB 4 PEMBAHASAN ....................................................................... 104
4.1 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy....................................... 104
4.2 Pembahasan Penerapan Evidence Base Cryotherapy .................... 117
4.3 Pembahasan Penerapan Inovasi ................................................. 122
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan .................................................................................. 126
5.2 Saran ........................................................................................ 127
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 10
x
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Model Konseptual Roy “Manusia Sebagai Sistem Adaptasi” ............ 14
x
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 11
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Rencana Asuhan Keperawatan dan Implementasi ............................... 47
Tabel 3.2 Catatan Perkembangan ........................................................................ 54
xi
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 12
xii
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 3.1 Distribusi Skala Nyeri Penusukan AV Fistula Pre dan Post
Intervensi pada kelompok Perlakuan .................................................. 96
Diagram 3.2 Distribusi Skala Nyeri Penusukan AV Fistula Pre dan Post
Intervensi pada kelompok Kontrol ...................................... 97
xii
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 13
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pelayanan keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berbentuk pelayanan bio-
psiko-sosial-spiritual yang komprehensif. Pelayanan keperawatan yang ditujukan
kepada individu, kelompok dan masyarakat baik sehat maupun sakit merupakan
disiplin profesional yang menerapkan pengetahuan dan kemampuan berfikir kritis
dalam menghadapi setiap situasi pasien melalui pemberian asuhan keperawatan
berdasarkan pada ilmu dan kiat praktik keperawatan. Peningkatan mutu dan
kualitas pelayanan keperawatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan seseorang baik individu, kelompok dan masyarakat secara bio-
psiko-sosial-spiritual (Perry dan Potter, 2009). Salah satu upaya peningkatan mutu
dan kualitas pelayanan keperawatan adalah dengan meningkatkan jenjang
pendidikan berkelanjutan bagi perawat seperti praktik klinik residensi spesialis
keperawatan. Praktik klinik residensi spesialis keperawatan medikal bedah
peminatan sistem perkemihan merupakan salah satu strategi peningkatan kualitas
pelayanan keperawatan dengan memperdalam kemampuan berfikir kritis,
menganalisis dan peningkatan ketrampilan klinik terkait dengan berbagai masalah
keperawatan yang dihadapi oleh klien dalam sistem perkemihan serta
meningkatkan peranan perawat dalam tatanan pelayanan keperawatan dalam
sistem perkemihan baik kepada individu, kelompok dan masyarakat.
Laporan praktik ini merupakan laporan praktik klinik residensi spesialis
keperawatan medikal bedah peminatan sistem perkemihan yang dilaksanakan di
RSUP Fatmawati Jakarta selama dua semester. Ruangan yang digunakan untuk
praktik klinik tersebut adalah ruang perawatan penyakit dalam lantai V selatan
gedung teratai, ruang perawatan bedah perkemihan lantai IV Selatan dan IV Utara
gedung teratai, IGD, Poli klinik Bedah perkemihan dan unit hemodialisis Instalasi
1
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 14
2
Pelayanan dan Pemeriksaan khusus (IP2K) gedung Bougenvile. Selama menjalani
praktik klinik residensi sistem perkemihan ini praktikan menerapkan peran dan
fungsinya sebagai perawat spesialis dengan menerapkan teori keperawatan dalam
melakukan asuhan keperawatan dengan kompetensi yang dicapai selama praktik
klinik residensi berupa kemampuan melaksanakan asuhan keperawatan kepada
pasien dengan gangguan sistem perkemihan, melaksanakan tindakan keperawatan
mandiri dengan basis pembuktian ilmiah (evidence based nursing practice), dan
berperan sebagai edukator/pendidik bagi perawat di ruangan/pasien/keluarga serta
melakukan program inovasi pemberian booklet manejemen hemodialisis dalam
upaya memberikan pengembangan intervensi keperawatan berdasarkan hasil riset
keperawatan.
Selama praktik residensi berlangsung praktikan melaksanakan peran perawat
sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan melakukan pemberian asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan. Pemberian asuhan
keperawatan praktikan lakukan dengan menerapkan teori model Adaptasi Roy.
Teori Adaptasi Roy dapat digunakan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan karena pada pasien gangguan sistem perkemihan dapat menimbulkan
dampak perawatan yang panjang dan membutuhkan penatalaksanaan yang
panjang untuk mempertahankan kesehatan tubuh, seperti pada pasien dengan
penyakit ginjal tahap akhir yang membutuhkan terapi pengganti ginjal sebagai
terapi berkelanjutan untuk mengganti fungsi ginjal yang telah rusak, pasien
dengan striktur uretra atau BPH memerlukan pemasangan kateter yang
berkepanjangan sampai gejala teratasi, dan sebagainya. Pasien dengan gangguan
sistem perkemihan juga memerlukan penerimaan terhadap kondisi sakitnya serta
beradaptasi terhadap berbagai perubahan terhadap kondisi penyakit dan gaya
hidupnya selama sakit.
Teori Adaptasi Roy diharapkan mampu meningkatkan kemampuan adaptasi
pasien dengan gangguan sistem perkemihan dengan meningkatkan kemampuan
beradaptasi terhadap perubahan perilaku fisik maupun psikologis yang disebabkan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 15
3
oleh berbagai stimulus dengan merubah perilaku yang tidak adaptif menjadi
perilaku adaptif kembali. Teori adaptasi Roy memandang bahwa manusia sebagai
makhluk yang holistik yang berinteraksi secara konstan dengan perubahan
lingkungan. Dalam penerapan teori adaptasi Roy diharapkan perawat dapat
berperan sebagai profesi yang memberikan asuhan keperawatan yang berfokus
pada proses hidup manusia, dimana perawat merupakan teladan dalam
meningkatkan kesehatan bagi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
secara keseluruhan. Dalam teori Roy perawat juga berperan sebagai untuk
mengembangkan kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan serta mengkaji perilaku dan stimulus yang mempengaruhi adaptasi
tersebut (Roy & Andrew, 1999 dalam Phillip, 2006).
Penerapan teori keperawatan Adaptasi Roy dilakukan pada setiap kasus gangguan
sistem perkemihan yang praktikan temukan selama praktik residensi yaitu
sebanyak 34 kasus dengan kasus terbanyak adalah pasien dengan penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA) dengan penatalaksaan tindakan hemodialisis yang salah
satunya menjadi kasus kelolaan utama praktikan. Kasus penyakit ginjal tahap
akhir ini praktikan ambil karena pada kasus yang praktikan temukan sebagai
kelolaan utama didapatkan bahwa pasien memiliki usia yang masih muda, dengan
riwayat mengkonsumsi minuman berenergi, dan pasien memerlukan bantuan
untuk melakukan adaptasi terhadap berbagai penatalaksanaan pengobatan dan
perawatan yang memerlukan tindak lanjut jangka panjang. Kasus lain yang
menjadi kasus kelolaan praktikan antara lain : pasien gagal ginjal kronik dengan
penatalaksanaan peritoneal dialisis, benigna prostat hiperplasia (BPH), batu
saluran kemih dengan hidronefrosis, Batu Cetak Pielum, Vesicolithiasis, trauma
bladder dan Gross hematuri.
Dalam pemberian asuhan keperawatan praktikan juga menerapkan evidence based
practice (EBP) pada intervensi keperawatan yang diberikan kepada pasien berupa
penerapan Cryotherapy Untuk Mengurangi Nyeri Saat Penusukan Arterivenous
(AV) Fistula Pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir dengan Hemodialisis. Hal
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 16
4
ini dilakukan berdasarkan fenomena yang praktikan temukan saat melakukan
praktik di ruang hemodialisis bahwa 80% pasien mengeluhkan nyeri saat
dilakukan penusukan akses vaskuler saat tindakan hemodialisis meskipun pasien
tergolong pasien yang sudah lebih dari 6 bulan melakukan hemodialisis.
Penggunaan cryoterapy bersifat lokal sehingga tidak berpengaruh besar terhadap
sistem hemodinamika tubuh, sehingga penggunaan cryotherapy bermanfaat untuk
mengurangi nyeri yang dapat juga bersifat terlokalisasi (Nadler dan Kruse, 2004).
Selain sebagai pemberi asuhan keperawatan praktikan sebagai calon perawat
spesialis juga berperan sebagai inovator atau agen pembaharu. Untuk
meningkatkan peran perawat spesialis sebagai inovator atau agen pembaharu,
praktikan juga melaksanakan inovasi sesuai dengan kebutuhan pasien dan ruangan
yang digunakan sebagai lahan praktik. Kegiatan inovasi yang praktikan berikan
bersama kelompok adalah dengan membuat dan menyusun pedoman manajemen
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis melalui pembuatan media
booklet manajemen pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis
sebagai sarana edukasi kepada pasien dengan PGTA karena memberikan edukasi
merupakan salah satu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
Inovasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
khususnya dalam pemberian asuhan dan upaya meningkatkan kualitas hidup
pasien PGTA dengan hemodialisis.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penulisan laporan analisa praktik residensi
ini praktikan akan memaparkan analisa kegiatan praktik residensi dalam
menjalankan peran sebagai perawat spesialis yang meliputi pemberi asuhan
keperawatan yang didalamnya terdapat peran sebagai peneliti, kolaborator,
pendidik, advokator dan inovator yang berbasis pembuktian ilmiah dan
melakukan inovasi untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan untuk
mencapai derajat kesehatan pasien yang optimal.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 17
5
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai pengalaman praktek residensi
dan menganalisis penerapan model konsep dan teori Adaptasi Roy dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan di RSUP Fatmawati Jakarta.
1.2.2 Tujuan Khusus
Melakukan analisis hasil kegiatan praktek residensi keperawatan medikal bedah
meliputi:
a. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien gangguan
sistem perkemihan dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy di RSUP
Fatmawati Jakarta.
b. Peran perawat sebagai researcher dalam penerapan praktek berdasarkan
pembuktian (evidence based nursing practice) dalam menerapkan hasil
penelitian pada area keperawatan pada pasien gangguan sistem perkemihan di
RSUP Fatmawati.
c. Peran perawat sebagai inovator dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan sistem perkemihan di RSUP Fatmawati.
d. Peran perawat sebagai educator dengan memberikan pendidikan kesehatan
guna meningkatkan pengetahuan tentang penyakit dan pelaksaan program
terapi pada pasien, keluarga serta sebagai sumber informasi bagi sumber daya
manusia dalam Keperawatan (Teman Sejawat Perawat) di RSUP Fatmawati
1.3 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam karya ilmiah akhir ini terdiri dari lima bab yang
berisi berbagai pokok bahasan. Bab satu pendahuluan, mencakup latar belakang,
tujuan penulisan dan sistematika penulisan. Bab dua tinjauan teori, terdiri dari
tinjauan teori kasus kelolaan utama yaitu penyakit ginjal terminal tahap akhir
(PGTA), konsep teori yang diterapkan pada pemberian asuhan keperawatan yaitu
teori Adaptasi Roy dan aplikasi penerapan teori adaptasi Roy pada kasus pasien
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 18
6
dengan penyakit ginjal tahap akhir. Bab tiga, mencakup laporan dan analisis kasus
kelolaan utama, laporan pelaksanaa evidence based nursing dan laporan
pelaksanaan program inovasi. Bab empat, berisi pembahasan yang meliputi
pembahasan mengenai penerapan teori adaptasi Roy dalam asuhan keperawatan
pasien dengan gangguan sistem perkemihan dan penjelasan terkait penerapan
evidence based nursing serta inovasi yang dilaksanakan selama pratikan
menjalani praktik residensi. Bab lima mencakup penutup yang berisi simpulan
dan saran selama proses residensi guna perbaikan praktik residensi keperawatan
medikal medah terutama pada peminatan sistem perkemihan.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 19
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan landasan teori mengenai Gangguan pada Sistem Perkemihan
dengan penyakit ginjal tahap akhir, teori Adaptasi Roy dan penerapan teori
adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien dengan penyakit gagal ginjal
kronik.
2.1 Penyakit Ginjal Tahap Akhir
2.1.1 Pengertian
Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) adalah penurunan secara progresif dari
fungsi ginjal yang bersifat irreversibel sehingga tubuh mengalami kegagalan
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit
yang dapat mengakibatkan uremia atau azotemia (retensi urea dan zat nitrogen
lain di dalam darah) (Williams & Hopper, 2007; Smeltzer & Bare, 2008; Black &
Hawk, 2009). Menurut Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO)
tahun 2012 mendefinisikan PGTA adalah kerusakan ginjal yang berupa
abnormalitas struktural atau fungsional ginjal yang terjadi minimal 3 bulan atau
lebih yang dapat terjadi dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LGF) < 15 ml/menit yang berakibat pada terganggunya kesehatan (Suhardjono,
2013).
2.1.2 Etiologi
Etiologi atau penyebab penyakit gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh
kelainan sistemik seperti diabetes mellitus (DM), hipertensi, infeksi traktus
urinarius, glomerulonephritis, pyelonephritis, obstruksi traktus urinarius,
congestive hearth failure (CHF), multiple myeloma, amyloidosis, renal
tuberculosis, sarcoidosis, hiperkalsemia dan hipokalemia kronik serta kelainan
herediter seperti penyakit ginjal polikistik, renovascular disease, lupus nephritis
atau agen toksik. Lingkungan dan agen berbahaya juga dapat menyebabkan
penyakit gagal ginjal sepertinya adanya keterlibatan dari cadmium, merkuri dan
7
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 20
8
chromium (Williams & Hopper, 2007; Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawk,
2009; Timby & Smith, 2010; Robinson & Burghardt, 2012).
National Kidney Foundation (2004) dan United States Renal Data System (2004)
menyebutkan penyebab tersering dari gagal ginjal kronik meliputi diabetes
(34,6%), hipertensi (22,9%), glumerolunephiritis (15,6 %), penyakit ginjal kistik
(4,3%), kelainan urologi lainnya (1,9%) dan penyebab lain yang tidak diketahui
(20,1%) (Chitokas, Noreen & Gunderman et al, 2005). Sedangkan penyebab gagal
ginjal kronik berdasarkan survey dari Indonesia Renal Registry (IRR) tahun 2009
menyebutkan bahwa penyebab tersering penyakit ginjal terminal di Indonesia
meliputi hipertensi (29%), penyakit ginjal diabetes (23%), obstruksi dan
pielonefritis (21%), glumerulonefritis kronik (17%), ginjal polikistik dan nefropati
(9%), dan penyebab yang tidak diketahui (1%).
2.1.3 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik atau tanda gejala klinik pada pasien dengan PGTA terjadi
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Keparahan tanda dan gejala penyakit
gagal ginjal kronik tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi
lain yang mendasari dan usia pasien. Manifestasi klinik dari gagal ginjal kronik
meliputi : kelainan kardiovaskuler, meliputi hipertensi, gagal jantung kongestif,
edema paru dan perikarditis; kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan
anemia; kelainan saluran cerna, meliputi mual, muntah, cegukan, stomatitis
uremia, mukosa kering, lesi ulserasi luas; kelainan neuromuskular, meliputi
perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi, kedutan otot dan
kejang; kelainan integumen, meliputi rasa gatal (pruritus) dan adanya butiran
uremik (Smeltzer dan Bare, 2008)
Menurut data dari USRDS 2002 dalam Chitokas, Noreen & Gunderman et al,
2005 menyatakan 22,9 % dari 86.739 pasien dengan gagal ginjal kronik memiliki
riwayat hipertensi yang akan mengalami left ventricular hypertrophy (LVH) dan
congestive heart failure (CHF), kelainan pada kulit berupa pruritus, kulit kering,
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 21
9
echymosis dan purpura, yang diakibatkan tingginya kadar kalsium dan akibat
adanya uremia. Pada sistem pencernaan akan mengakibatkan anoreksia, mual, dan
muntah yang terjadi karena adanya akumulasi urea dalam darah yang
menyebabkan asidosis metabolisme dan peningkatan kadar amonia dalam darah,
pada sistem muskuloskeletal berupa nyeri tulang, mudah fraktur, kram otot, rasa
kesemutan dan seperti terbakar terutama di daerah kaki, drop foot, kelemahan otot
dan hipotrofi otot, sedangkan pada sistem metabolik tubuh mengakibatkan
gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolik (Chitokas, Noreen &
Gunderman et al, 2005; Ignativius & Workman, 2006; Williams & Hopper, 2007;
Smeltzer & Bare, 2008; Johnson, 2010; Timby & Smith, 2010).
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi tahapan pada penyakit PGTA digunakan untuk mengkategorikan
keparahan kondisi PGTA. Klasifikasi tahapan pada PGTA menurut National
Kidney Foundation (NKF) didefinisikan berdasarkan penurunan laju filtrasi
glumerulus (LGF) yaitu : stadium 1, Kerusakan minimal pada ginjal dengan laju
filtrasi glumerulus yang normal atau meningkat, dengan fungsi ginjal masih
normal tetapi terjadi abnormalitas patologi dan komposisi darah dan urin dengan
laju filtrasi glumerulus > 90 ml/min/1.73m2; stadium 2, ketika kerusakan ginjal
dengan laju filtrasi glumerulus menurun ringan, dengan fungsi ginjal menurun
ringan dan ditemukan abnormalitas komposisi dari darah dan urin dengan laju
filtrasi glumerulus 60-89 ml/min/1.73m2; stadium 3, jika kerusakan ginjal dengan
laju filtrasi glumerulus menurun sedang dengan laju filtrasi glumerulus 30-59
l/min/1.73m2; stadium 4, jika kerusakan ginjal dengan laju filtrasi glumerulus
menurun berat dan sudah terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat dan dilakukan
persiapan terapi pengganti ginjal dengan laju filtrasi glumerulus 15-
29ml/min/1.73m2; stadium 5, jika gagal ginjal yang memerlukan terapi pengganti
ginjal secra permanen (dialisis atau transplantasi) dengan laju filtrasi glumerulus <
15 ml/min/1.73m2.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 22
10
2.1.5 Patofisiologi
Proses patofisiologi kerusakan ginjal diawali ketika fungsi ginjal menurun, yang
mengakibatkan berkurangnya laju filtrasi glumerulus. Penurunan fungsi ginjal
yang kurang dari 25 % normal, manifestasi klinik penyakit ginjal tahap akhir
masih minimal karena nefron yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang
rusak. Nefron yang sehat yang masih tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi,
reabsobsi, dan sekresinya serta mengalami hipertropi, sehingga seiring
progresifitas penyakit maka semakin banyak nefron yang bertambah rusak. Ketika
lebih dari 75 % massa nefron mengalami kerusakan, maka kecepatan filtrasi dan
beban zat toksik terlarut semakin tinggi dan berakibat terhadap peningkatan beban
kerja ginjal. Peningkatan beban kerja ginjal akan mengakibatkan keseimbangan
glomerulus dan tubulus ginjal (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan
peningkatan reabsorbsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan, yang
berakibat langsung ginjal mengalami penurunan fungsi untuk mempertahankan
metabolisme tubuh sehingga produk akhir sisa metabolisme dan protein yang
secara normal dikeluarkan ginjal menumpuk dan berakibat terhadap gangguan
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit serta penurunan fungsi dalam
metabolisme protein yang berdampak pada penimbunan ureum di dalam darah
(uremia). Uremia dapat mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh dimana semakin
tinggi kadar uremia maka semakin berat gejala yang ditimbulkannya (Price,
2006).
Berbagai kelainan fungsi tubuh yang terjadi akibat sindrom uremik meliputi
gangguan keseimbangan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan
metabolisme (asam basa dan nitrogen), kelainan kardiovaskuler, endokrin,
muskuloskeletal, dan sistem saraf. Semakin banyak akumulasi ureum dalam darah
maka kelainan yang terjadi pada berbagai sistem tubuh juga semakin berat. Go,
Chertow & Fan (2004) dalam penelitiannya tentang penyebab komplikasi dan
kematian pada pasien gagal ginjal kronik menyebutkan bahwa pasien yang
mengalami gagal ginjal beresiko 3,5 kali lipat untuk meninggal dengan
komplikasi kelainan jantung dibandingan dengan orang yang tidak mengalami
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 23
11
gagal ginjal ( Price, S.A, 2006; Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawk, 2009;
Timby & Smith, 2010).
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap
akhir meliputi : pemeriksaan laboratorium, yang meliputi : pemeriksaan
penurunan fungsi ginjal (ureum, kreatinin dan asam urat serum); pemeriksaan
identifikasi etiologi gagal ginjal (analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia
darah, elektrolit, imunodiagnosis); pemeriksaan identifikasi perjalanan penyakit
(progresifitas penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan hemopoesis, elektrolit,
endokrin terhadap nilai PTH dan T3,T4); pemeriksaan radiologi (foto polos
abdomen, USG, nefrotogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade) (Buku
Ilmu Penyakit Dalam, 2006)
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit ginjal tahap akhir bertujuan untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin, yang meliputi :
1. Penatalaksanaan konservatif, meliputi pengaturan diet, cairan dan garam,
memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, mengendalikan
hipertensi, penanggulangan asidosis, pengobatan neuropati, deteksi dan
mengatasi komplikasi.
2. Penatalaksanaan pengganti diantaranya dialisis (hemodialisis, peritoneal
dialysis dan transplantasi ginjal).
a. Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan
selaput membran semipermiabel (dialiser) yang berfungsi sebagai
pengganti nefron di dalam mesin hemodialisa sehingga dapat
mengeluarkan produk sisa metabolisme protein dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien penyakit ginjal
terminal. Hemodialisis melibatkan penggunaan ginjal buatan untuk
membuang produk limbah dan kelebihan air antara kompartemen darah
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 24
12
dengan kompartemen dialisat melalui membran semipermeabel pada
pasien dengan gagal ginjal stadium terminal (end stage renal disease)
yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen (Williams &
Hopper, 2007; Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawk, 2009; Timby &
Smith, 2010).
b. Peritoneal Dialisis
Peritoneal dialisis merupakan terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan rongga peritoneum sebagai selaput membran
semipermiabel (dialiser) yang berfungsi sebagai pengganti nefron
sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme protein dan zat
racun serta mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
pada pasien penyakit ginjal terminal.
c. Transplantasi ginjal
Transpalasi ginjal merupakan pilihan terakhir bagi penderita penyakit
ginjal tahap akhir. Transplantasi dengan menanamkan ginjal dari donor
hidup manusia keresipien yang mengalami gagal ginjal tahap akhir.
3. Terapi Simptomatik
a. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat
adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan
darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila
terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi
intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infuse glukosa.
b. Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.
Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misal
pada adanya insufisiensi koroner.
c. Koreksi asidosis metabolik
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 25
13
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena dapat meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Koreksi asidosis metabolik dilakukan dengan
memberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila PH ≤ 7,35 atau serum bicarbonat ≤ 20
mEq/L.
d. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan.
Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-
hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
2.2 Teori Adaptasi Roy
Sister Calista Roy lahir pada tanggal 14 Oktober 1939 di Los Angeles California,
seorang profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai
mengembangkan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964-1966 dan baru
dioperasionalkan pada tahun 1968. Roy mengembangkan ilmu dan filosofisnya
melalui tiga pendekatan teori sistem. Roy mengkombinasikan dengan teori
adaptasi Harry Helson (1964) untuk membangun pengertian konsepnya. Dalam
teori Helson (1964) respon adaptif merupakan fungsi dari stimulus yang diterima
dan level adaptasi. Stimulus merupakan faktor yang menimbulkan respon yang
mungkin muncul dari lingkungan internal dan eksternal. Sistem diartikan Helson
sebagai seperangkat bagian yang saling berhubungan satu dengan bagian lain,
dimana masing-masing bagian saling memiliki ketergantungan. Sistem
mempunyai input, output, kontrol, proses dan umpan balik. Pendekatan kedua
yang dikembangkan Roy berasal dari Teori Melson. Melson menyatakan perilaku
manusia adalah hasil adaptasi dari lingkungan dan kekuatan organisme. Perilaku
adaptif adalah berfungsinya stimulus dan tingkatan adaptasi, yang dapat
berpengaruh terhadap stimulus fokal, stimulus kontekstual, dan stimulus residual,
dimana adaptasi dipandang sebagai suatu proses adanya respon positif terhadap
perubahan lingkungan. Respon tersebut merupakan refleksi keadaan organisme
terhadap stimulus. Selain konsep tersebut, Roy juga mengadaptasi konsep
humanisme dalam model konseptualnya yang berasal dari konsep Abraham
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 26
14
Maslow. Menurut Roy humanisme dalam keperawatan adalah keyakinan
terhadap kemampuan koping individu sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatannya.
Roy mengidentifikasikan empat hal utama dari teori sistem umum dan teori
adaptation-level. Empat hal utama dari teori sistem yang teridentifikasi tersebut
adalah : 1) ada satu kesatuan (holism); 2) ada proses kontrol yang saling
tergantung (interdependence control processes); 3) ada umpan balik informasi
(information feedback), dan 4) adanya kompleksitas dari sistem kehidupan
(complexity of living systems). Hal utama dari teori adaptation-level yang
teridentifikasi pada model adaptasi Roy adalah bahwa 1) perilaku (behavior)
merupakan kemampuan beradaptasi; 2) adaptasi dipandang sebagai fungsi
stimulasi dan tingkat adaptasi; 3) individu memiliki tingkat adaptasi yang
dinamis; serta 4) adanya proses merespon yang bersifat positif dan aktif dari
manusia (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).
Teori Roy yang dikenal dengan model adaptasi Roy merupakan teori model
keperawatan yang menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan
kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku secara adaptif serta mampu
merubah perilaku yang inefektif. Roy menjelaskan bahwa manusia sebagai
makhluk holistik yang berinteraksi secara konstan dengan perubahan lingkungan
sebagai sistem adaptif sebagai satu kesatuan yang mempunyai input, kontrol,
output, dan proses umpan balik.
Skema 2.1 model konseptual Roy ’’Manusia Sebagai Sistem Adaptasi’’
Sumber : Tomey dan Alligood. 2006.
Masukan Proses kontrol Efektor Keluaran
Feed back
Tingkat
adaptasi
(stimulus fokal,
konstektual
dan residual
Mekanisme
koping
(Regulator
Kognator)
Fungsi
fisiologis
Konsep diri Fungsi peran
interdependensi
Respons
adaptif dan
inefektif
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 27
15
Konsep Roy memiliki 4 konsep sentral yang meliputi : manusia, lingkungan,
kesehatan, dan keperawatan. Empat elemen tersebut saling mempengaruhi satu
sama lain karena merupakan suatu sistem, yaitu :
2.2.1. Manusia
Sistem sebagai manusia termasuk manusia sebagai individu atau dalam kelompok,
keluarga, organisasi, komunitas dan masyarakat secara keseluruhan. Sistem
manusia mempunyai kapasitas pikiran dan perasaan yang berakar pada kesadaran
dan pengertian dimana mereka menyesuaikan diri secara efektif terhadap
perubahan lingkungan dan efek dari lingkungan. Roy mendefinisikan manusia
merupakan fokus utama dalam keperawatan, penerima asuhan keperawatan,
sesuatu yang hidup menyeluruh (komplek), sistem adaptif dengan proses internal
(kognator dan regulator) yang aplikasinya dibagi dalam empat komponen adaptasi
(fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi). Roy mengemukakan
bahwa manusia sebagai sebuah sistem adaptif yang meliputi : (Roy & Andrew,
1999 dalam tomey & Alligood, 2010)
1. Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi dan sosial yang berinteraksi
dengan lingkungan secara terus menerus.
2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-
perubahan biopsikososial. Manusia sebagai sistem adaptif, dapat
digambarkan secara holistik sebagai satu kesatuan yang mempunyai masukan
(input), kontrol, keluaran (output) dan proses umpan balik (feedback).
a. Input
Menurut Roy input adalah sebagai stimulus yang merupakan kesatuan
informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat
menimbulkan respon. Selain itu sebagai suatu sistem yang dapat
menyesuaikan diri dengan menerima masukan dari lingkungan dalam
individu itu sendiri, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus
fokal, kontekstual, dan stimulus residual.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 28
16
Stimulus fokal merupakan stimulus internal maupun eksternal yang secara
langsung dapat menyebabkan ketidakseimbangan atau keadaan sakit yang
dialami saat ini. Misalnya: penyakit ginjal kronik yang menyebabkan
pasien mengalami kelebihan volume cairan.
Stimulus kontekstual merupakan semua rangasangan yang lain yang
datang dalam situasi yang memberikan efek dari stimulus fokal. Dengan
kata lain, stimulus yang dapat menunjang terjadinya sakit (faktor
pencetus)/ keadaan tidak sehat. Keaadaan ini tidak terlihat langsung pada
saat ini. Misalnya ketidakpatuhan pelaksanaan terapi hemodialisis pada
pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir.
Stimulus residual adalah faktor internal maupun eksternal manusia dengan
efek pada situasi saat ini yang tidak jelas. Merupakan keyakinan dan
pemahaman individu yang dapat mempengaruhi terjadinya keadaan tidak
sehat atau disebut dengan faktor predisposisi sehingga terjadi kondisi
fokal. Misalnya persepsi klien tentang penyakit, gaya hidup, peran dan
fungsi.
b. Kontrol
Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk mekanisme koping
yang digunakan untuk melakukan kontrol yang terdiri dari subsistem
regulator dan kognator. Subsistem regulator mempunyai komponen :
input-proses, dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal.
Transmitter regulator system adalah kimia, neural atau endokrin.
Terjadinya refleks otonom merupakan output perilaku yang dihasilkan
dari regulator sistem, banyak sistem fisiologis yang dapat dinilai sebagai
perilaku subsistem regulator.
Subsistem kognator merupakan stimulus yang berupa ekternal maupun
internal. Output perilaku dari subsistem regulator dapat menjadi stimulus
Respon
adaptif dan
inefektif
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 29
17
umpan balik untuk subsistem kognator. Proses kontrol subsistem kognator
berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian,
dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses
internal dalam memilih perhatian, mencatat dan mengingat.
c. Output
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur atau
secara subjektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari
luar. Perilaku ini merupakan umpan balik dari sistem. Roy
mengidentifikasi output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon
yang mal adaptif. Respon adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang
yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang mampu memenuhi
tujuan hidup, berupa kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi, dan
menjadi manusia yang berkualitas. Sedangkan respon yang mal adaptif
merupakan perilaku yang tidak mendukung tujuan seseorang.
d. Efektor
Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi
dengan menetapkan sistem efektor, yang memiliki empat mode adaptasi
yang meliputi : 1) fungsi fisiologis, 2) konsep diri, 3) penampilan peran, 4)
interdependensi. Fungsi fisiologis yang berhubungan dengan struktur
tubuh dan fungsinya. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar
fisiologis yang harus dipenuhi untuk mempertahankan integritas dan
bagaimana proses adaptasi dilakukan untuk mengatur sembilan kebutuhan
fisiologis tersebut, yaitu oksigenasi, cairan dan elektrolit, nutrisi, eliminasi,
aktivitas dan istirahat, fungsi sistem endokrin, integritas kulit,
sensori/indra dan fungsi neurologis.
Konsep diri, berupa seluruh keyakinan dan perasaan yang dianut individu
dalam satu waktu tertentu, berupa persepsi dan partisipasi terhadap reaksi
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 30
18
orang lain dan tingkah laku langsung. Konsep diri menurut Roy terdiri dari
dua komponen yaitu the physical self dan the personal self. The physical
self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan
sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Sedangkan The personal self,
berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral – etik, spiritual dan
perasaan cemas diri orang tersebut.
Penampilan peran, yaitu penampilan fungsi peran yang berhubungan
dengan tugas individu dilingkungan sosial/ mode fungsi peran yang
mengenal pola - pola interaksi sosial seseorang dalam hubungannya
dengan orang lain. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat
memerankan dirinya dimasyarakat sesuai kedudukannya.
Interdependensi, adalah hubungan individu dengan orang lain dan sebagai
support sistem. Fokus interdependensi adalah interaksi untuk saling
memberi dan menerima cinta dan kasih sayang, perhatian dan saling
menghargai. Model fungsi interdependensi juga melihat keseimbangan
antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk
dirinya. Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi
dengan orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif
untuk melakukan tindakan bagi dirinya. Interdependensi dapat dilihat dari
keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima.
3. Untuk mencapai suatu homeostasis atau terintegrasi, seseorang harus
beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi.
4. Kemampuan beradaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia
mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun
negatif. Adaptasi merupakan proses dan hasil dari pikiran dan perasaan
seseorang, sebagai individu atau kelompok, menggunakan kesadaran dan
memilih dalam interaksi manusia dan lingkungan. Adaptasi merupakan hasil
stimulus dari tiga klasifikasi yaitu : stimulus fokal, kontekstual dan residual.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 31
19
2.2.2. Lingkungan.
Roy menyatakan bahwa lingkungan merupakan semua kondisi, keadaan dan
pengaruh sekitarnya yang mempengaruhi perkembangan serta perilaku manusia
sebagai individu atau kelompok, dengan suatu pertimbangan khusus dari
mutualitas sumber daya manusia dan sumber daya alam yang mencakup stimulus
fokal, kontekstual dan residual. Lingkungan merupakan masukan (input) bagi
manusia sebagai sistem yang adaptif sama halnya lingkungan sebagai stimulus
internal dan eksternal. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi seseorang dan
dapat dikategorikan dalam stimulus fokal, kontekstual dan residual Roy &
Andrew, 1999; Tomey & Alligood, 2010).
2.2.3 Kesehatan
Kesehatan dipandang sebagai keadaan dan proses menjadi manusia secara utuh
dan integrasi secara keseluruhan. Sehat merupakan cermin dari adaptasi, yang
merupakan interaksi manusia dengan lingkungan. Definsi kesehatan menurut Roy
lebih dari tidak adanya sakit tapi termasuk penekanan pada kondisi baik. Sehat
bukan berarti tidak terhindarkan dari kematian, penyakit, ketidakbahagiaan dan
stress akan tetapi merupakan kemampuan untuk mengatasi masalah tersebut
dengan baik ( Andrew &Roy, 1991; Tomey & Alligood, 2010).
Proses adaptasi termasuk fungsi holistik (bio-psiko-sosio-spiritual) untuk
mempengaruhi kesehatan secara positif dan itu meningkatkan integritas. Proses
adaptasi termasuk semua interaksi manusia dan lingkungan dua bagian proses.
Bagian pertama dari proses ini dimulai dengan perubahan dalam lingkungan
internal dan eksternal yang membutuhkan sebuah respon. Perubahan-perubahan
tersebut adalah stresor-stresor atau stimulus fokal dan ditengahi oleh faktor-faktor
kontekstual dan residual. Bagian-bagian stressor menghasilkan interaksi yang
biasanya disebut stress, bagian kedua dari stress adalah mekanisme koping yang
merangsang menghasilkan respon adaptif dan inefektif. Melalui adaptasi energi
individu dibebaskan dari upaya-upaya koping yang tidak efektif dan dapat
digunakan untuk meningkatkan integritas, penyembuhan dan meningkatkan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 32
20
kesehatan. Integritas menunjukkan hal-hal yang masuk akal yang mengarah pada
kesempurnaan atau keutuhan ( Andrew &Roy, 1991; Tomey & Alligood, 2010).
2.2.4. Keperawatan.
Roy (1983) secara spesifik menggambarkan keperawatan sebagai ilmu dan
praktek dari peningkatan adaptasi untuk meningkatkan kesehatan sebagai tujuan
untuk mempengaruhi kesehatan secara positif. Keperawatan dianggap sebagai
ilmu dan praktik meningkatkan adaptasi agar individu dan kelompok dapat
berfungsi secara holistik melalui apklikasi proses keperawatan untuk
mempengaruhi kesehatan secara positif. Model adaptasi keperawatan
menggambarkan lebih spesifik perkembangan ilmu keperawatan dan praktek
keperawatan yang berdasarkan ilmu keperawatan yang terdiri dari tujuan
keperawatan dan aktivitas keperawatan.
Tujuan keperawatan adalah meningkatkan respon adaptif individu dengan
lingkungan dengan menggunakan empat cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologis,
konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan
integritas adaptasi dan berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup
dan kematian dengan damai.
Proses keperawatan terkait model adaptasi Roy dapat diterapkan dalam lima
langkah, yaitu : (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006)
1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu :
a. Pengkajian perilaku (behavior)
Perilaku didefinisikan sebagai aksi dan reaksi manusia dalam keadaan
tertentu. Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama
proses keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku
bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku
pasien adaptif atau maladaptif. Hasil dari pengkajian perilaku merupakan
respon perilaku adaptif maupun perilaku inefektif. Apabila ditemukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal maka hal ini
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 33
21
mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu dapat disebabkan
oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator. Data perilaku
meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1) fisiologis, yang terdiri dari
pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat,
proteksi, sensori/ pengindraan, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis,
fungsi endokrin; 2) konsep diri, meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi
peran, meliputi proses transisi peran, perilaku peran, integrasi peran, pola
penguasaan peran, dan proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola
memberi dan menerima, dan strategi koping perpisahan dan kesendirian.
b. Pengkajian stimulus
Pengkajian stimulus didefinisikan sebagai kondisi yang memprovokasi
sebuah respon. Stimulus dapat bersifat internal dan eksternal yang
mencakup semua kondisi, keadaan yang mempengaruhi perkembangan dan
perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi antara
lain budaya (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan), keluarga
(struktur dan tugas perkembangan keluarga), tahap perkembangan (faktor
usia, jenis, tugas, keturunan, dan genetik), integritas mode adaptif
(fisiologis yang mencakup patologi penyakit, fisik (sumber daya), identitas
diri, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi), level adaptasi,
efektivitas kognator (persepsi, pengetahuan, ketrampilan), pertimbangan
lingkungan (perubahan lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan
medis, menggunakan obat-obat, alkohol, tembakau). Pengkajian stimulus
diarahkan pada stimulus fokal, kontekstual, dan residual (Roy & Andrews,
1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan hasil proses pendapat dalam penyampaian
pernyataan status adaptasi seseorang. Penetapan diagnosa keperawatan dibuat
dengan cara menghubungkan antara perilaku (behavior) dengan stimulus. Ada
tiga hal yang mendukung penetapan diagnosa keperawatan yaitu: a) suatu
pernyataan dari perilaku dengan stimulus yang sangat mempengaruhi, b) suatu
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 34
22
ringkasan tentang perilaku dengan stimulus yang relevan, c) penamaan/pemberian
label yang meringkaskan pola perilaku ketika lebih dari satu mode dipengaruhi
oleh stimulus yang sama.
3. Penetapan tujuan keperawatan.
Tujuan adalah pembentukan pernyataan yang jelas dari outcome perilaku dalam
asuhan keperawatan yang dicatat sebagai indikasi perilaku dari perkembangan
adaptasi masalah pasien. Pernyataan masalah meliputi perilaku. Pernyataan tujuan
meliputi: perilaku, perubahan yang diharapkan dan waktu. Tujuan umum dari
intervensi keperawatan yaitu mempertahankan dan meningkatkan perilaku adaptif
dan merubah perilaku inefektif. Tujuan jangka panjang menggambarkan
perkembangan individu, dan proses adaptasi terhadap masalah dan tersedianya
energi untuk tujuan lain (kelangsungan hidup, tumbuh, dan reproduksi). Tujuan
jangka pendek mengidentifikasi hasil perilaku pasien setelah pengaturan terhadap
stimulus fokal dan kontektual serta keadaan perilaku pasien itu indikasi koping
dari sub sistim regulator dan kognator.
4. Intervensi dan implementasi
Intervensi merupakan proses seleksi dari pendekatan keperawatan untuk
meningkatkan adaptasi dengan merubah stimuli atau penguatan dari proses
adaptif. Tujuan intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan
mempertinggi perilaku adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi
perilaku adaptif. Fokus intervensi adalah mengarah pada suatu stimulus yang
mempengaruhi suatu perilaku. Langkah dalam menyusun intervensi keperawatan
meliputi penetapan atas empat hal yaitu : a) apa pendekatan alternatif yang akan
dilakukan, b) apa konsekuensi yang akan terjadi, c) apakah mungkin tujuan
tercapai oleh alternatif tersebut, d) nilai alternatif itu diterima atau tidak.
Intervensi keperawatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain
(pasien, keluarga, dan tim kesehatan) (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood &
Tomey, 2006)
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 35
23
Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari intervensi
keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan memulai langkah-
langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat. Implementasi keperawatan
dilaksanakan terus menerus sesuai dengan perkembangan pasien. Implementasi
dapat berubah-ubah dalam cara, teknik, dan pendekatan yang tergantung pada
perubahan tingkat adaptasi pasien.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian keefektifan dari intervensi keperawatan dalam
hubungannya dengan perilaku dari sistem manusia yang menjadi refleksi dari
tujuan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan
suatu intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan
pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi
keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).
2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan keperawatan Pasien dengan
Penyakit Ginjal tahap Akhir
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA) dilakukan secara holistik dengan menggunakan pendekatan Teori
Adaptasi Roy. Model Adaptasi Roy memungkinkan untuk diterapkan pada
pasien dengan PGTA karena pasien membutuhkan adaptasi terhadap berbagai
stimulus yang mempengaruhi proses perjalanan penyakit dan penatalaksanaan
untuk mempertahankan kesehatan yang maksimal dengan adanya kerusakan
fungsi ginjal pada pasien PGTA, untuk itu peran perawat spesialis sangat
dibutuhkan dalam menerapkan asuhan keperawatan dengan menggunakan
pendekatan Model Adaptasi Roy.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 36
24
2.3.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus
1. Mode Adaptasi Fisiologis
Menurut Roy dan Andrews (1999) dalam Philips (2010) Mode adaptasi fisiologi
merupakan proses tubuh manusia terhadap kerja fisik, respon interaksi dengan
lingkungan baik internal maupun eksternal. Ada dua kelompok besar pada mode
fisiologi yaitu lima kebutuhan dasar pada integritas fisiologi yang terdiri dari
oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, dan empat aktivitas fisiologis
yang membantu aktivitas regulator dan mengintegrasikan fungsi fisiologis yang
terdiri dari sensasi, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis, dan fungsi endokrin.
a. Oksigenasi dan sirkulasi
Pada oksigenasi menurut Roy koping yang diharapkan adalah terjaganya
proses oksigenasi secara tepat seperti ventilasi, pertukaran gas dan transportas
gas (Philips, 2010). Pada pasien dengan PGTA terjadi perubahan fungsi ginjal
akibat destruksi nefron secara progresif sehingga terjadi penurunan laju
filtrasi glomerulus yang mengakibatkan retensi cairan diseluruh tubuh
termasuk jaringan paru yang dapat mengganggu proses ventilasi. Transportasi
oksigen pada PGTA dapat terjadi akibat penurunan jumlah sel darah merah
akibat terganggunya produksi eritropoitien (Price, 2005). Pengkajian perilaku
keperawatan masalah oksigenasi dan sirkulasi meliputi : pola napas, frekuensi
napas, suara napas, tanda sianosis, warna membran mukosa, tekanan darah,
nasi, bunyi jantung, capillary refill time (CRT), dan analisa gas darah.
Pengkajian terhadap stimulus fokal, konstektual dan residual difokuskan pada
kondisi yang memepengaruhi perilaku maladaptif.
b. Nutrisi
Menurut Roy, koping mekanisme yang diharapkan pada nutrisi adalah
mempertahankan fungsi tubuh, meningkatkan pertumbuhan, dan mengganti
jaringan yang rusak dengan cara ingesti dan asimilasi makanan. Pengkajian
perilaku pola nutrisi pasien PGTA meliputi berat badan, tinggi badan, indeks
masa tubuh (IMT), kebiasaan makan, keluhan tidak nafsu makan, adanya
mual dan muntah, kesulitan menelan, kebersihan gigi dan mulut, riwayat
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 37
25
alergi, menu diet yang dijalani. Pasien PGTA sering mengeluhkan kondisi
tidak nafsu makan, mual dan muntah yang dapat terjadi akibat peningkatan
kadar ureum darah. Pasien PGTA juga sering mengalami edema akibat
pembatasan cairan yang tidak adekuat sehingga diperlukan data tentang berat
badan secara aktual agar kebutuhan pemenuhan energi dan kalori dapat
diketahui secara tepat. Pengkajian stimulus yang perlu dikaji meliputi
Stimulus fokal yang menjadi penyebab terjadinya kondisi maladaptif
dimungkinkan karena komplikasi penyakit yang memperberat kondisi serta
kebiasaan dan pola makan pasien yang tidak sesuai anjuran, stimulus
kontekstual peningkatan nilai ureum darah sehingga mempengaruhi sistem
pencernaan. Stimulus residual berupa pengaturan terhadap kepatuhan diit dan
makanan yang harus dihindari dan dibatasi oleh .
c. Eliminasi
Mekanisme koping menurut Roy pada eliminasi adalah terjadinya proses
pembuangan dari saluran cerna dan ginjal dengan pengkajian perilaku
eliminasi adalah buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Pasien
dengan PGTA mengalami penurunan terhadap jumlah urin yang disebabkan
karena penurunan fungsi ginjal yang berakibat terhadap penurunan laju
filtrasi glomerulus sehingga terjadi retensi cairan didalam tubuh dan
penurunan terhadap fungsi ekskresi ginjal. Pengkajian perilaku meliputi
frekuensi dan jumlah urin, warna urin, keluhan saat BAK, nilai clearance
creatinin (CCT), nilai laboratorium urinalisa. Stimulus fokal yang menjadi
penyebab gangguan eliminasi adalah penurunan fungsi glomerulus, stimulus
kontekstual berupa overload cairan, stimulus residual mendapatkan terapi
diuretik.
d. Aktivitas dan Istirahat
Mekanisme koping yang diharapkan dari pengkajian aktivitas dan istirahat
adalah mempertahankan keseimbangan antara aktivitas fisik dan istirahat.
Pengkajian perilaku terkait aktivitas dan istirahat meliputi keluhan lemas dan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 38
26
lelah, kemampuan melakukan aktivitas fisik, perawatan diri dan mobilisasi
diri, kuantitas dan kualitas tidur, gangguan tidur. Stimulus fokal yang menjadi
penyebab adalah respon fisiologis penyakit, stimulus kontekstual adalah
koping tidak efektif dan stimulus residual adalah kurang pengetahuan.
e. Proteksi
Menurut Roy & Andrews 1999 dalam Philips (2010), mekanisme koping
yang diharapkan adalah mempertahankan tubuh melawan infeksi, trauma,
dan perubahan temperatur. Pengkajian perilaku pada proteksi meliputi
kondisi kulit pasien, adanya luka atau tidak dan karakteristik luka, drainase
luka, riwayat alergi dan infeksi. Pasien dengan PGTA sering mengeluhkan
gatal dan kulit bersisik serta menghitam yang diakibatkan peningkatan urum
dalam darah (Ureumia). Pengkajian stimulus fokal disebabkan karena
penurunan fungsi glomerulus, stimulus kontekstual adalah koping tidak
efektif dan stimulus residual adalah kurang pengetahuan.
f. Sensori
Sensasi merupakan bagian dari proses fisiologis yang membantu aktivitas
regulator dan mengintegrasikan fungsi fisiologis. Hal ini berkaitan dengan
sistem pendengaran, sistem penglihatan, dan sistem somatosensoris.
Mekanisme koping yang diharapkan adalah memungkinkan individu untuk
berinteraksi dengan lingkungan. Pengkajian perilaku dan stimulus pada
pengkajian sensori pasien dengan PGTA adalah pengkajian terhadap keluhan
sistem penginderaan yang meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecapan dan perabaan.
g. Cairan dan Elektrolit
Mekanisme koping yang diharapkan Roy adalah dapat mempertahakan
keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa yang dapat memperbaiki
Keadaan seluler dan ekstraseluler serta fungsi sistemik. Pengkaian perilaku
terkait cairan dan elektolit pada pasien PGTA meliputi keseimbangan cairan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 39
27
tubuh selama 24 jam, adanya tanda edema, asites, tanda adanya edema paru,
peningkatan vena jugularis, peningkatan frekuensi napas, pengkajian
laboratorium terkait pemeriksaan kimia darah dan kadar elektrolit. Pengkajian
stimulus fokal disebabkan karena penurunan fungsi glomerulus, stimulus
kontekstual adalah peningkatan nilai ureum dan kreatinin dan stimulus
residual adalah kurang pengetahuan.
h. Fungsi neurologis
Mekanisme koping yang terjadi menurut Roy sebagai akibat adanya
koordinasi dan kontrol pergerakan tubuh, tingkat kesadaran, dan proses
kognitif emosional. Pengkajian perilaku dan stimulus pada fungsi neurologis
meliputi tingkat kesadaran, adanya aktivitas kejang, respon motorik, orinetasi
dan respon kognitif emosional pasien
i. Fungsi endokrin
Fungsi endokrin mengintegrasikan dan mengkoordinasikan fungsi tubuh
sehingga metabolisme tubuh dapat berfungsi dengan baik. Pengkajian
perilaku dan stimulus terkait dengan fungsi endokrin meliputi adanya riwayat
menderita penyakit DM, pembesaran kelanjar serta pemeriksaan kadarkadar
glukosa darah.
2. Mode Adaptasi Konsep diri
Pengkajian mode konsep diri terdiri dari 1) Body sensation, perlu dikaji perasaan
Pasien PGTA terkait perubahan fungsi tubuh secara fisik akibat berbagai
perkembangan proses penyakit dan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis
dan peritoneal dialisis yang membutuhkan waktu sepanjang hidup (Smeltzer &
Bare, 2008); 2) Body Image, perubahan body image pada pasien PGTA
disebabkan karena pemasangan akses vaskuler doble lumen atau cimino yang
mengalami dilatasi setelah pemakaian yang lama yang dapat menimbulkan
berbagai kondisi psikologis seperti merasa tertekan dan merasa hidupnya tidak
berharga akibat pengobatan yang terjadi seumur hidup 3) Self consistency,
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 40
28
manajemen pasien PGTA dengan terapi pengganti ginjal mengakibatkan pula
perubahan gaya hidup yang harus dijalani. Penting sekali mengkaji bagaimana
perasaan klien saat terdiagnosis PGTA dan bagaimana kesiapan pasien menjalani
terapi pengganti ginjal 4) Moral-spiritual-ethical-self, mengkaji kemampuan klien
memandang diri secara positif, pola hubungan pasien dengan orang-orang
terdekat dan dukungan sosial. Dukungan dari orang terdekat tidak saja terkait
dukungan emosional tapi juga dukungan secara financial. Selain itu perlu dikaji
kemampuan spiritual mereka baik menyangkut kepercayaan dan kekuatan.
3. Mode Adaptasi Fungsi Peran
Kebutuhan dasar dalam mode fungsi peran yang adaptif adalah integritas
dalam hubungan sosial. Mode fungsi peran berhubungan dengan pola
interaksi sosial seseorang dalam berhubungan dengan orang lain yang
berfokus pada bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam hubungan
bermasyarakat. Menurut Capernito (2005) dalam Harkreader (2007) performa
peran adalah terpenuhinya peran seseorang dan tanggung jawabnya didalam
kehidupan yang meliputi tindakan, pikiran, serta perasaan yang berhubungan
dengan peran tersebut. Perubahan peran pada pasien dengan PGTA dapat
terjadi diakibatkan karena kondisi penyakit yang membutuhkan terapi
pengganti ginjal yang harus berlangsung seumur hidup sehingga
mengakibatkan perubahan fisik dan mental yang mempengaruhi peran-peran
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pengkajian fungsi peran dilakukan
dengan melakukan anamnesa dan mengeksplore perasaan pasien terkait
perubahan peran yang dialami dan dampak perubahan fungsi peran itu
sendiri.
4. Mode Saling Ketergantungan (Interdependence)
Mode saling ketergantungan berfokus pada interaksi untuk saling memberi
dan menerima cinta/kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Pasien
dengan PGTA dapat mengalami kecemasan, rasa tidak berdaya,
ketergantungan dengan orang lain terutama anggota keluarga. Bentuk
pengkajian mode saling ketergantungan meliputi bentuk perhatian dari
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 41
29
keluarga dan orang terdekat, bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain,
interaksi saling memberi dan menerima cinta dan kasih sayang, perhatian dan
saling menghargai.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang diperoleh dari suatu
perumusan interpretasi data terhadap status adaptasi seseorang yang dihubungkan
antara perilaku dengan beberapa stimulus yang berkaitan. Diagnosa keperawatan
yang dapat muncul pada pasien penyakit ginjal tahap akhir menurut diagnosa
keperawatan dari Nanda (2010) dan diangkat berdasarkan empat mode adaptasi
diantaranya adalah :
1. Mode fisiologis
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan berdasarkan mode fisiologis
meliputi : a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi akibat penurunan fungsi ginjal, b) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat,
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara masukan
dan kebutuhan oksigen akibat anemia dan kelelahan, d) Resiko penurunan
perfusi jaringan (perifer, kardiopulmonal, renal) berhubungan dengan penurunan
oksigen jaringan akibat anemia, e) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan peningkatan ureum, kelembaban kulit kurang
2. Mode konsep diri
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan berdasarkan mode konsep diri
meliputi cemas berhubungan dengan krisis situasi terkait dengan proses penyakit,
pengobatan dan perawatan yang akan dijalani
3. Mode fungsi peran
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan berdasarkan mode fungsi peran
meliputi perubahan peran berhubungan dengan penyakit kronis dan hospitalisasi;
tidak dapat menjalankan peran dengan baik.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 42
30
4. Mode interdependensi
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan berdasarkan mode interdependensi
meliputi mekanisme koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat
penyakit kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan
tentang koping yang efektif.
2.3.3 Tujuan keperawatan
Tujuan keperawatan pada pemberian asuhan keperawatan merupakan perilaku
yang diharapakan dapat tercapai dari pemberian asuhan keperawatan, yang terdiri
dari 3 kesatuan, yaitu : a) perilaku yang diobservasi, b) perubahan yang
diharapkan, dan c) waktu yang disusun untuk mencapai tujuan. Tujuan
keperawatan menurut Roy pada pasien penyakit ginjal tahap akhir tercapai ketika
pasien mampu beradaptasi secara adaptif terhadap berbagai stimulus pada model
adaptasi fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
2.3.4 Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan direncanakan dalam asuhan keperawatan bertujuan
merubah stimulus fokal, kontekstual dan residual untuk meningkatkan
kemampuan mekanisme koping dan adaptasi pasien pada tatanan yang adaptif,
sehingga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat. Intervensi
keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir
berpedoman pada Nursing Intervension Classification (NIC) dan Nursing
Outcome Classification (NOC) (Dochterman & Bulechek, 2007), dengan
menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
kelebihan cairan, meliputi : a) monitoring cairan, b) manajemen
cairan/elektrolit, c) rencana penatalaksanaan terapi pengganti ginjal.
Aktivitas regulator pada intervensi keperawatan pada masalah keperawatan
kelebihan cairan meliputi : a) kaji status cairan (timbang badan tiap hari,
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 43
31
keseimbangan masukan dan pengeluaran cairan, turgor kulit dan edema,
distensi vena jugularis, tekanan darah, denyut nadi dan irama nadi); b) catat
pemasukan dan pengeluaran cairan secara akurat; c) batasi pemasukan cairan;
d) monitor perubahan berat badan sebelum dan sesudah pelaksanaan dialysis;
e) kolaborasi dengan medis dalam pemberian diuretik; f) identifikasi sumber
potensial cairan (medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan,
makanan); g) monitor nilai laboratorium (nilai serum dan elektrolit urin, kadar
elektrolit darah).
Aktivitas cognator meliputi : Edukasi tentang pentingnya pembatasan cairan
dan caranya; edukasi tentang pencatatan cairan; edukasi tentang kelebihan
cairan, penyebab dan bahayanya; edukasi tentang pentingnya menjaga diet;
edukasi tentang manajemen rasa haus dan cara pengaturan intake cairan
2. Gangguan perfusi jaringan
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
gangguan perfusi jaringan, meliputi : a) Circulatory care (perawatan
sirkulasi), b) Peripheral sensation management (manajemen sensasi perifer)
Aktivitas regulator pada intervensi gangguan perfusi jaringan meliputi :
a) Pemantauan tanda-tanda vital; b) monitor intake dan output cairan;
c) pengaturan posisi semi foller; d) monitoring kecepatan, irama dan
kedalaman pernafasan; e) auskultasi bunyi jantung dan suara paru;
f) monitoring adanya diritmia; g) monitoring adanya kelelahan, tahkipnea,
orthopnea; h) perawatan sirkulasi: observasi warna, kelembaban kulit,
evaluasi edema, CRT; i) batasi aktivitas; j) anjurkan ROM aktif atau pasien
selama bed rest; k) terapi oksigen 2 – 4 lt/ menit; l) pantau dan interpretasi
nilai laboratorium; m) kolaborasi manajemen pengobatan
Aktivitas cognator meliputi : Edukasi tentang penurunan perfusi jaringan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 44
32
3. Intoleransi aktivitas
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
intoleransi aktivitas, meliputi : a) Manajemen energy; b) Terapi aktivitas
Aktivitas regulator pada intervensi masalah keperawatan intoleransi aktivitas
meliputi : a) Awasi TD, nadi, pernafasan, selama & sesudah aktivitas; b)
Catat respon terhadap aktivitas; c) kaji faktor yang menimbulkan keletihan:
anemia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, retensi produk sampah; d)
kaji faktor yang menimbulkan depresi; e) monitor intake nutrisi yang adekuat;
f) berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat cukup; g) monitor
respon oksigenasi pasien terhadap perawatan diri atau aktivitas keperawatan;
h) tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi; i) bantu pasien memilih aktivitas yang
sesuai dengan kemampuan fisik; j) anjurkan pasien untuk menghentikan
aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek, lelah atau pusing; k)
anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis; l) kolaborasi pemberian oksigen
dan transfusi bila perlu
Aktivitas Cognator pada intervensi masalah keperawatan intoleransi aktivitas
meliputi: a) Jelaskan penyebab keletihan; b) edukasi teknik untuk menghemat
energy; c) edukasi alternative perawatan diri sesuai dengan keterbatasan
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, meliputi :
a) Manajemen mual, b) Manajemen nutrisi, dan c) Monitoring nutrisi
Aktivitas regulator direncanakan pada masalah keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi meliputi : a) Monitoring intake / pemasukan nutrisi
dan kalori; b) Pantau adanya tanda/gejala hiperglikemia (trias poli,
kelemahan, sakit kepala, hipotensi, penurunan kesadaran); c) anjurkan makan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 45
33
sedikit tapi sering; d) tentukan program diit dan pola makan pasien;
e) observasi keluhan mual atau muntah; f) anjurkan untuk sering melakukan
perawatan mulut; g) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium (Nilai
laboratorium : BUN, albumin serum, transferin, natrium & kalium; h) Batasi
kalium, natrium & pemasukan fosfat sesuai indikasi; i) Berikan diit tinggi
kalori, rendah garam, rendah/sedang protein.
Intervensi terhadap aktivitas cognator direncanakan pada masalah
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi meliputi : a) Edukasi tentang
pentingnya nutrisi dan mematuhi diet; b) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dubutuhkan.
5. (Resiko) kerusakan integritas kulit
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
kerusakan integritas kulit, meliputi : a) manajemen gatal, b) Perawatan kaki
dan c) Perawatan luka
Intervensi aktivitas regulator yang direncanakan pada masalah keperawatan
kerusakan integritas kulit meliputi : a) Inspeksi kulit terhadap perubahan
warna, turgor, vascular; Inspeksi area tergantung terhadap edema;
b) Pertahankan linen kering, bebas keriput; c) Anjurkan pasien untuk
merubah posisi dengan sering; d) kaji keluhan gatal; e) Lakukan kompres
lembab & dingin untuk memberikan kenyamanan pada area pruritus;
f) Kolaborasi pemberian therapy sesuai kebutuhan.
Intervensi aktivitas Cognator yang direncanakan pada masalah keperawatan
kerusakan integritas kulit meliputi : a) Jelaskan tentang pengaruh penyakit,
rasa gatal dan efek samping bila dilakukan garukan.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 46
34
6. Cemas
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan cemas,
meliputi a) Anxiety reduction dan b) Relaxation Therapy
Intervensi aktivitas regulator yang direncanakan pada masalah keperawatan
cemas meliputi : a) Mengobservasi tanda verbal dan non verbal kecemasan
klien dan lakukan pendekatan dengan tenang dan meyakinkan; b) Dorong
pengungkapan secara verbal tentang perasaan, persepsi dan kecemasan;
c) Kontrol stimulasi yang dapat menimbulkan stress bila diperlukan sesuai
kebutuhan klien; d) Dukung penggunaan mekanisme koping yang tepat
misalnya berdoa; e) Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit; f) Motivasi
untuk mengungkapkan perasaan; g) Libatkan keluarga untuk memberikan
dukungan moril; h) Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang
menimbulkan kecemasan; i) Kontrol stimulant, yang sesuai dengan
kebutuhan pasien; j) Dukung mekanisme pertahanan yang layak; k) Dampingi
pasien untuk menjelasan gambaran yang realistis terhadap peristiwa yang
akan terjadi; l) Tunjukkan pada pasien penggunaan tehnik relaksasi; m) Kaji
kemampuan pasien untuk mengambil keputusan; n) Kolaborasi dengan tim
medis untuk pemberian obat menurunkan kecemasan
Intervensi aktivitas cognator yang direncanakan pada masalah keperawatan
cemas tmeliputi : a) Edukasi proses penyakit dan regimen terapi; b) Edukasi
metode mengurangi kecemasan
7. Perubahan penampilan peran
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan
perubahan penampilan peran, meliputi a) Peningkatan peran dan b) Dukungan
keluarga
Intervensi aktivitas regulator yang direncanakan pada masalah keperawatan
perubahan penampilan peran meliputi : a) Bantu pasien mengidentifikasi
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 47
35
berbagai peran yang masih dapat dioptimalkan; b) Bantu pasien
mengidentifikasi perannya dalam keluarga; c) Bantu pasien mengidentifikasi
transisi peran; d) Bantu pasien dalam mengidentifikasi kegagalan peran;
e) Bantu psien dalam mengidentivikasi perubahan peran akibat sakit atau
ketidakmampuan; f) Bantu pasien mengidentifikasi perilaku yg dibutuhkan
untuk peran baru; g) Fasilitasi komunikasi antara pasien dan keluarga atau
antara anggota keluarga; h) Bantu pasien dan keluarga dalam
mengidentifikasi dan mengatasi konflik
Intervensi aktifitas cognator yang direncanakan pada masalah keperawatan
perubahan penampilan peran meliputi : a) Diskusikan perubahan peran yang
terjadi; b) Diskusikan koping yang positif dalam menghadapi perubahan
peran; c) Diskusikan dengan keluarga tentang perubahan peran pasien;
d) Anjurkan kelurga untuk terus memberikan dukungan kepada pasien.
8. Koping tidak efektif
Intervensi keperawatan yang direncanakan pada masalah keperawatan koping
tidak efektif, meliputi : a) Dukungan spiritual, b) Lakukan komunikasi
terapeutik dan c) Peningkatan koping
Intervensi aktivitas regulator yang direncanakan pada masalah keperawatan
koping tidak efektif, meliputi : a) Nilai pengertian pasien terhadap proses
penyakit; b) Dukung pasien akan harapan yang realistik sebagai cara terkait
dengan perasaan tak berdaya; c) Bantu pasien dalam pengembangan penilaian
objektif; d) Sediakan bagi pasien pilihan yang realistik mengenai aspek-aspek
perawatan yang pasti; e) Evaluasi kemampuan pasien membuat keputusan;
f) Coba untuk mengerti perspektif pasien terhadap situasi yang penuh stress;
g) Jangan dukung keputusan yang dibuat pasien bila pasien dalam keadaan
stress; h) Dukung penggunaan sumber-sumber spiritual, jika diinginkan;
i) Dukung pasien menggunakan mekanisme pertahanan yang tepat; j) Bantu
pasien mengembangkan jalan keluar yang konstruktif untuk marah dan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 48
36
permusuhan; k) Bantu pasien mengidentifikasi respon positif dari orang lain;
l) Dukung pasien mengidentifikasi nilai-nilai hidup yang spesifik;
Perkenalkan pasien pada seseorang atau kelompok yang mempunyai
pengalaman sama dan berhasil menjalani; m) Bantu pasien menilai sumber-
sumber yang ada untuk menemukan tujuan; n) Nilai keinginan pasien
terhadap dukungan social; o) Bantu pasien untuk mengidentifikasi support
sistem yang ada.
Intervensi aktivitas cognator yang direncanakan pada masalah keperawatan
koping tidak efektif, meliputi : Konseling; Edukasi manajemen stress;
Berikan pembelajaran individual
2.3.5 Evaluasi
Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi. Evaluasi merupakan
penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan. Evaluasi yang dilakukan
adalah membandingkan respon perilaku yang dihasilkan setelah dilakukan
intervensi keperawatan dengan perilaku yang dirumuskan pada rumusan tujuan
inetervensi keperawatan yang direncanakan.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 49
37
BAB 3
PROSES RESIDENSI
Pada bab 3 ini akan menguraikan dan menggambarkan tentang pelaksanaan proses
residensi yang terdiri dari penerapan asuhan keperawatan pada satu kasus kelolaan
utama pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) dan analisis asuhan
keperawatan dari kasus kelolaan lainnya pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan selama penulis melakukan pratik residensi dengan menggunakan
pendekatan teori adaptasi Roy. Pada bab ini jugan menjabarkan tentang
pelaksanaan penerapan salah satu intervensi yang dipilih berdasarkan bukti ilmiah
Evidence Based Practice Cryotherapy Untuk Mengurangi Nyeri Saat Penusukan
Arterivenous Fistula Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis.
Selain itu juga menjelaskan program inovasi yang praktikan lakukan dalam
praktik residensi berupa manajemen pada pasien penyakit ginjal tahap akhir
dengan hemodialisis.
3.1 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Pemberian Asuhan Keperawatan
Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan
3.1.1 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Kasus Kelolaan Utama pada
Pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir
1. Gambaran kasus kelolaan utama
Pasien bernama Nn. LM, umur 28 tahun, status belum menikah, agama islam,
pendidikan terakhir tamat akademik, pekerjaan pegawai swasta, alamat Ciputat
Tangerang Selatan. Pasien dirawat di RSUP Fatmawati sejak tanggal 18 april
2014 dengan keluhan utama sesak napas yang memberat sejak 10 hari sebelum
masuk rumah sakit disertai mual dan memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pada saat pengkajian tanggal 21 april 2014 keluhan pasien adalah sesak
napas terutama ketika tidur, nyeri dada seperti tertindih, kaki bengkak, nyeri di
area perut bagian atas, tidak nafsu makan dan mual disertai muntah. Nyeri di area
perut atas dirasakan terus menerus, dengan skala nyeri berada pada rentang 5-6
36
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 50
38
saat nyeri lepas dan nyeri meningkat saat ditekan dengan skala nyeri berada pada
rentang 7-8.
Pasien 2 minggu sebelumnya pernah dirawat selama 2 hari di RS UIN dengan
keluhan yang sama yaitu sesak napas dan bengkak seluruh tubuh. Pasien sudah
mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit ginjal dan hipertensi sejak 8 bulan
yang lalu sebelum masuk rumah sakit saat di rawat di RS UIN dan sudah
dianjurkan untuk melakukan cuci darah, tetapi pasien masih belum setuju untuk
dilakukan tindakan cuci darah tersebut dan pasien hanya mengkonsumsi obat
yang diberikan yaitu amlodipin 1 x 10 mg dan captopril 1 x 25 mg. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dan tidak memiliki riwayat alergi
terhadap obat dan makanan. Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi minuman
berenergi selama 2 tahun sebelum sakit untuk menjaga stamina saat bekerja, dan
kebiasaan tersebut berhenti sejak dinyatakan sakit ginjal.
2. Proses Asuhan keperawatan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy
Asuhan keperawatan dilakukan secara holistik dan komprehensif yang dimulai
dari melakukan pengkajian sampai dengan melakukan evaluasi dari asuhan
keperawatan yang diberikan dengan menggunakan pendekatan teori adaptasi Roy.
a. Pengkajian Perilaku dan Stimulus
1) Mode Adaptasi Fisiologis
a) Oksigenasi dan sirkulasi
i. Pengkajian Perilaku
Oksigenasi :
pasien mengeluhkan sesak napas yang memberat jika digunakan untuk
tidur terlentang.
Pemeriksaan fisik :
RR 32 x/menit, teratur, tidak ada sekret pada jalan napas, terpasang
oksigen simple mask 6 L/menit, bunyi nafas vesikuler +/+, ronkhi +/+,
tidak terdapat penggunaan otot bantu pernapasan (tidak ada
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 51
39
penggunaan napas cuping hidung dan tidak ada restraksi dinding dada
ke dalam), vokal fremitus dada kanan dan kiri sama
Pertukaran gas : hasil pemeriksaan Lab AGD (19/04/2014) PH :
7,260; PCO2 : 31,6; PO2 : 66,2; BP : 752; HCO3 : 13,9; O2 saturasi :
90,5; BE -11,9; Total CO2 : 14,8.
Foto thorak tanggal 19 april 2014 : kardiomegali dengan tanda
bendungan paru dan suspek pleura bilateral.
Sirkulasi :
TD 150/100 mmHg, HR 92 x/menit, nadi kuat dan teratur, akral
hangat, JVP 5±2 cm H2O, tidak ada riwayat sinkop dan pusing, tidak
terdapat diaforesis, ekstremitas atas hangat tetapi ektremitas bawah
dingin, pengisian CRT < 3 detik. Bunyi jantung S1 dan S2 normal,
tidak terdapat gallop dan murmur, konjungtiva tidak anemis. Terjadi
perubahan tanda vital saat perubahan posisi, yaitu saat perubahan
posisi dari tidur terlentang menjadi duduk dengan tanda vital saat tidur
terlentang TD 150/100 mmHg, HR 92 x/menit, RR 32 x/menit,
setelah digunakan untuk duduk TD 150/100 mmHg, HR 94 x/menit,
RR 28 x/menit.
ii. Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal : penurunan complain paru, stimulus konstektual :
edema paruakibat kelebhan volume cairan, stimulus residual : pasien
mengalami cemas dengan perkembangan penyakitnya.
b) Nutrisi
i. Pengkajian Perilaku
Sejak sakit pasien mengeluh tidak nafsu makan karena merasa mual.
Pasien makan hanya 1-2 sendok makan sekali makan dengan
frekuensi makan 2 x/hari saat dirumah (± 300 Kkal/Hari dari diet yang
dianjurkan 1700Kkal/Hari) . Saat pengkajian pasien mengatakan mual
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 52
40
dan muntah. Muntah sudah 3 kali sejak bangun tidur jam 05.00 WIB
(jumlah muntah ± 200 cc sekali muntah berisi sisa makanan dan air).
Sejak dirawat 2 hari yang lalu pasien makan hanya 1 sendok makan
nasi saja tanpa lauk dan sayur dengan frekuensi makan 2 x/hari. BB
sebelum sakit (1 bulan yang lalu) 65 kg dan BB saat ini 60 kg (turun 5
kg dalam 1 bulan atau 8,5 %), TB 155 cm, IMT : 24. Pemeriksaan
fisik diperoleh data konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, mukosa
mulut kering, bising usus 10 x/menit.
Pemeriksaan biokimia (19/04/2014) : Hb: 9,8 g/dl , Ht: 30 %, GDS :
110 gr/dl
ii. Pengkajian Stimulus
Stimulus Fokal : mual, muntah dan tidak nafsu makan
Stimulus Kontekstual : kadar Ureum darah pasien 338 mg/dl
Stimulus Residual : kurang pengetahuan
c) Eliminasi
i. Pengkajian Perilaku
Eliminasi BAB : pasien mengatakan saat dirumah BAB 1 kali/hari tidak
ada keluhan. Saat pengkajian pasien mengatakan BAB normal 1 x/hari,
feses berwarna kuning, konsistensi lunak, tidak terdapat kesulitan dan
tidak nyeri saat BAB, BAB dikamar mandi dibantu oleh keluarga.
Eliminasi BAK : pasien mengatakan saat dirumah masih bisa BAK
secara spontan, tidak ada keluhan nyeri namun merasakan jumlah air
kencingnya berkurang dari sebelum sakit ginjal. Saat pengkajian
didapatkan data pasien tidak terpasang kateter, BAK Spontan, frekuensi
5-6 x sehari semalam, tidak terdapat nyeri pada kandung kemih, warna
kuning jernih. Jumlah urin : 800 cc/24 jam. Pasien mendapatkan terapi
injeksi intravena lasix 3 x 40 mg. Nilai CCT hitung (dengan nilai
cretinin 19/04/2014) : 3,3 ml/menit. Hasil urinalisa (22/04/2014) :
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 53
41
protein urin +3, berat jenis 1,020, warna kuning jernih, nitrit (+), PH
Urin 7 Darah (HB) +1, Eritrosit 2-3, Bakteri (+)
ii. Pengkajian stimulus
Fokal : overload cairan
Kontekstual : penurunan fungsi glomerulus dengan CCT Hitung 3,3
ml/menit
Residual : Terapi diuretik
d) Aktivitas dan istirahat
i. Pengkajian Perilaku
Aktivitas : saat pengkajian pasien masih terlihat lemah dan terlihat
sesak napas, perawatan diri dan mobilisasi dilakukan dengan bantuan
keluarga dan perawat, aktivitas BAB dan BAK dilakukan di kamar
mandi dengan bantuan perawat atau keluarga. Pasien mengatakan
masih merasakan sesak napas dan lemas, sesak bertambah jika tidur
terlentang serta setelah berjalan dari kamar mandi, tetapi pasien tidak
mau BAK dan BAB di atas tempat tidur sehingga untuk BAK dan
BAB tetap di kamar mandi dengan bantuan keluarga atau perawat.
Penilaian resiko jatuh dengan nilai Morse : 45 (Resiko Sedang).
Istirahat : pasien mengatakan semalam tidak bisa tidur dan sering
terbangun jika tidur karena merasakan sesak dan nyeri di area perut
atas. Pasien mengatakan sering memikirkan kondisi penyakitnya dan
memikirkan pemasangan catheter double lumen (CDL) dan tindakan
hemodialisis yang harus ia jalani seumur hidup. Wajah pasien terlihat
letih, tidak tampak lingkar hitam disekitar mata.
ii. Pengkajian Stimulus
Fokal : Respon fisiologis penyakit
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 54
42
Kontekstual : koping tidak efektif
Residual : Kurang pengetahuan
e) Proteksi
i. Pengkajian Perilaku
Orientasi baik, tidak ada letargi. Kulit kering, terdapat edema pada
ekstremitas bawah dengan derajat pitting edema derajat 1. Pasien
mengeluhkan nyeri di area perut atas, nyeri dirasakan terus menerus
dengan skala nyeri lepas berada pada rentang 5-6 dan nyeri meningkat
saat ditekan dengan skala nyeri berada pada rentang 7-8. Pasien
tampak meringis kesakitan saat abdomen atas ditekan perlahan.
ii. Pengkajian Stimulus
Fokal : kerusakan fungsi glomerulus
Kontekstual : edema
Residual : Kurang pengetahuan tentang manajemen cairan dan
manajemen nyeri
f) Sensori
i. Pengkajian Perilaku
Pemeriksaan sensori penglihatan : mata simetris, reaksi cahaya
langsung dan tidak langsung (+), refleks kornea (+), ketajaman
penglihatan tidak mengalami penurunan, tidak ada diplopia.
Pemeriksaan sensori pendengaran : telinga simetris, alat bantu dengar
(-), pendengaran pasien masih normal, pemeriksaan sensori perabaan :
kulit kering, sentuhan kulit (+), indra peraba normal..
ii. Pengkajian Stimulus
Tidak ditemukan masalah maladaptif pada pengkajian perilaku
sehingga tidak ditemukan stimulus fokal, kontekstual dan residual.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 55
43
g) Cairan dan elektrolit
i. Pengkajian Perilaku
Tekanan darah : 150/ 100 mmHg, nadi : 90 x/menit, jugularis vena
pressure (JVP) : 5 +2 cmH2O, membran mukosa bibir lembab, turgor
kulit baik, tidak mengalami diaforesis, Terdapat muntah sudah 3 kali
sejak bangun tidur jam 05.00 WIB (jumlah muntah ± 200 cc sekali
muntah berisi sisa makanan dan air), mendapat terapi pembatasan
cairan 600 cc/hari dan lasix 3 x 40 mg perhari. Terdapat edema pada
ekstremitas bawah dan ascites dengan lingkar perut 98 cm. Intake
cairan : minum : 1500 cc/hari. Output : urin (800 cc/hari) + IWL 500
cc/24 jam. Balance cairan : + 200 cc. Nilai laboratorium (19/04/2014)
Natrium : 136 mEq/L, klorida 101 mEq/L, Kalium 4,73 mEq/L, ureum
338mg/dl, creatinin : 23,8 mg/dl.
ii. Pengkajian Stimulus
Fokal : Penurunan fungsi ginjal
Kontekstual : Riwayat Pasien duka minum minuman berkarbonasi
dan minuman penambah energi selam 2 tahun
Residual : Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit dan tidak
memahami pentingnya pembatasan cairan pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir
h) Fungsi Neurologi
i. Pengkajian perilaku
Penampilan umum lemah, tingkat kesadaran composmentis (GCS 15),
status mental baik, fungsi intelektual baik, tidak terjadi gangguan pada
nervus kranialis, reflek fisiologis (+), reflek patologi (-), sensorik baik,
otonom baik, pasien dapat berkomunikasi dengan baik, tidak terdapat
tanda defisit fungsi neurologis. Pasien dapat berorientasi terhadap
tempat, orang dan waktu.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 56
44
ii. Pengkajian Stimulus
Tidak ditemukan masalah maladaptif pada pengkajian perilaku
sehingga tidak ditemukan stimulus fokal, kontekstual dan residual.
i) Fungsi Endokrin
i. Pengkajian Perilaku
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak memiliki riwayat
DM, ascites dengan lingkar perut 98 cm, GDS : 110 mg/dl.
ii. Pengkajian Stimulus
Tidak ditemukan masalah maladaptif pada pengkajian perilaku
sehingga tidak ditemukan stimulus fokal, kontekstual dan residual.
j) Fungsi Reproduksi
i. Pengkajian Perilaku
Pasien belum menikah dan selama ini tinggal bersama saudaranya.
Fungsi menstruasi normal sebulan sekali.
ii. Pengkajian Stimulus
Tidak ditemukan masalah maladaptif pada pengkajian perilaku
sehingga tidak ditemukan stimulus fokal, kontekstual dan residual.
2) Mode Adaptasi Konsep Diri
a. Pengkajian Perilaku
i. Sensasi Diri : Pasien mengatakan tubuhnya terasa lemas. Pasien
mengatakan takut melakukan hemodialisa dan takut dilakukan
pemasangan catheter doubel lumen (CDL), pasien juga takut dengan
kondisi penyakitnya jika makin memburuk. Pasien pasrah mengikuti
saran dokter dan perawat agar bisa sembuh
ii. Ideal diri dan Body Image : Pasien mengatakan tidak malu dengan
kondisi sakitnya dan menerima kondisinya dengan pasrah. pasien
mengatakan takut mau menjalani cuci darah dan takut mau dipasang
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 57
45
catheter doubel lumen (CDL). Pasien mengatakan hanya sedih dan
takut karena harus cuci darah terus.
iii. Self Consistency : Pasien selama sakit tetap semangat mencari
pengobatan dan menuruti nasihat dokter dan perawat karena ingin
cepat sembuh dan dapat melakukan aktivitas lagi tanpa rasa sakit.
iv. Moral-etik-spiritual : Pasien selama sakit tidak melakukan kegiatan
ibadah sholat.
b. Pengkajian Stimulus
Fokal : respon diri terhadap penerimaan kondisi sakit dan hospitalisasi
Kontekstual : Rencana pemasangan CDL dan tindakan Hemodialisa
Residual : Kurang pengetahuan terhadap tindakan Pemasangan CDL
dan Hemodialisis
3) Mode Fungsi Peran
a. Pengkajian Perilaku
Pasien belum menikah dan sejak sakit sudah tidak bekerja dan
kebutuhannya ditanggung oleh saudara saudaranya. Pasien ingin segera
sembuh dan dapat beraktivitas seperti sebelum sakit dapat bekerja dan
melakukan kegiatan bersosialisasi dengan teman dan tetangganya.
b. Pengkajian Stimulus
Fokal : respon diri terhadap penerimaan kondisi sakit dan
hospitalisasi
Kontekstual : tidak dapat bekerja dan bersosialisasi
Residual : Kurang pengetahuan terhadap tindakan perawatan dan
terapi pengganti ginjal.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 58
46
4) Mode Adaptasi Interdependen
a. Pengkajian Perilaku
1) Receptive Behaviour : Pasien sudah menerima penyakit tetapi masih
takut untuk dipasang CDL dan takut untuk menjalani tindakan
hemodialisis seumur hidup. Pasien mendapat dukungan dari saudara
dan keluarganya, sehingga memberikan semangat kepada pasien
untuk melakukan pengobatan dan semangat untuk segera sembuh.
2) Contributor Behaviour : Pasien Kooperatif, hubungan dengan
keluarga dan tetangga baik, menyayangi keluarganya. Keluarganya
selalu mensupport pasien, dan terlibat secara aktif dalam perawatan.
b. Pengkajian Stimulus
Fokal : respon diri terhadap penerimaan kondisi sakit dan
hospitalisasi
Kontekstual : rencana pemasangan CDL dan tindakan Hemodialisis
Residual : kurang pengetahuan terhadap tindakan Pemasangan
CDL dan Hemodialisis
b. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan data hasil pengkajian, diagnosa keperawatan yang muncul pada Nn.
LM adalah sebagai berikut :
1. Mode adaptasi fisiologi
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi akibat penurunan fungsi ginjal; kurang pengetahuan tentang
manajemen cairan dan diit.
b. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan menurunnya suplai oksigen
jaringan akibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (anemia);
kelemahan/ keletihan umum; tidak adekuat intake nutrisi.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia; penurunan masukan oral; mual
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kecemasan akan kondisi penyakit
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 59
47
2. Mode adaptasi konsep diri
a. Cemas berhubungan dengan perubahan gaya hidup; kompleksitas
pengobatan dan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan.
3. Mode adaptasi fungsi interdependensi
a. Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit
kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan
tentang koping yang efektif.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 60
47
c. Intervensi keperawatan
Tabel 3.1
Rencana Asuhan Keperawatan dan Implementasi pada Nn. LM
Pengkajian Perilaku Pengkajian
Stimulus
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan Intervensi (NIC) & Implementasi
Respon inefektif pada mode
adaptasi fisik : Kelebihan
volume cairan
Data Subjektif :
Pasien mengeluh sesak napas
yang memberat terutama jika
tidur terlentang
Data Objektif :
TD : 150/100 mmHg,
nadi : 90 x/menit,
RR : 32 x/ menit
Intake oral cairan ± 1500
cc/hari. Terdapat edema
pada ekstremitas bawah
ascites dengan lingkar perut
98 cm.
Intake cairan : minum : 1500
Stimulus fokal :
GGK
Penurunan
filtrasi
glomerulus
Stimulus Fokal :
Penurunan
fungsi ginjal
Stimulus
Kontekstual :
riwayat minum
minuman
berkarbonasi
dan penambah
Kelebihan volume
cairan berhubungan
dengan gangguan
mekanisme regulasi
akibat penurunan
fungsi ginjal; kurang
pengetahuan tentang
manajemen cairan dan
diit
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x
24 jam terjadi perbaikan
kelebihan volume cairan
ditandai:
1. Tekanan darah stabil
2. Edema berkurang atau
tidak ada
3. Ascites berkurang atau
tidak ada
4. Tidak ada peningkatan
JVP
5. Pasien patuh terhadap
pembatasan cairan
6. Intake dan out put cairan
tubuh seimbang
1. Monitoring cairan
2. Manajemen cairan
3. Rencana terapi pengganti ginjal
Aktivitas regulator :
1. Kaji status cairan
a. Timbang berat badan harian
b. Ukur keseimbangan masukan dan
haluaran cairan tubuh
c. Turgor kulit dan edema
d. Distensi vena leher
e. Tekanan darah, denyut nadi dan
irama nadi.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
akurat
3. Batasi masukan cairan
4. Monitoring perubahan BB sebelum dan
sesudah tindakan hemodialisis
5. Monitoring nilai serum dan elektrolit
6. Identifikasi sumber potensial cairan.
a. Jumlah medikasi dan cairan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 61
48
cc/hari. Output : urin (800
cc/hari) + IWL 500 cc/24
jam. Balance cairan : + 200
cc.
Pemeriksaan laboratorium
(21/04/2014) ureum : 338
mg/dl; creatinin 23,8 mg/dl,
fosfor 5,7 mg/dl, natrium
136 mmol/l, kalium 4,37
mmol/l, clorida 101 mmol/l,
GDS : 110 mg/dl. CCT Hitung : 4,76 ml/menit
energi ± 2 tahun
Stimulus
residual: Kurang
pengetahuan
tentang kondisi
penyakit dan
tidak memahami
pentingnya
pembatasan
cairan pada
pasien penyakit
ginjal tahap
akhir
untuk pengobatan
b. Makanan
7. Kolaborasi medikasi (Lasix 3 x 40 mg)
8. Kolaborasi pelaksanaan hemodialisis
Aktivitas cognator :
a. Edukasi tentang penting pembatasan
cairan dan caranya
b. Ajarkan pasien/klg untuk
mengumpulkan/ mencatat urine 24 jam.
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga
kelebihan cairan, penyebab dan
bahayanya.
d. Edukasi cara mengurangi rasa haus, spt
minum air dingin, mengulum batu es
dan mengunyah permen karet.
e. Self efficacy tentang restriksi cairan
Respon inefektif pada
model adaptasi fisik:
Perubahan nutrisi
Data Subjektif :
Pasien mengeluh mual dan
muntah sudah 3 kali sejak
bangun tidur jan 05.00 WIB
jumlah ± 200 cc berisi
makanan dan air
Stimulus fokal :
penumpukan
toksin (ureum
338 mg/dl)
rasa mual-mual
dan tidak nafsu
makan
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan
dengan anoreksia,
penurunan masukan
oral, mual sekunder
terhadap uremia
Setelah perawatan 7x24
jam perawatan, masukan
nutrisi adekuat ditandai
dengan :
1. Tidak ada anoreksia
2. Tidak ada mual-mual
3. Tidak ada muntah
4. Berat badan ideal
5. Tonus otot meningkat
6. Intake nutrisi
1. Manajemen mual
2. Monitoring nutrisi
3. Manajemen nutrisi
Aktivitas Regulator :
1. Monitoring intake / pemasukan nutrisi
dan kalori
2. Kaji/catat pemasukan diet
3. Perhatikan keluhan mual/muntah
4. Anjurkan makan sedikit tapi sering
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 62
49
Pasien mengungkapkan tidak
nafsu makan, makan hanya
habis 1-2 sendok makan saja
Pasien mengungkapkan tidak
tahu tentang diet makanan
pada pasien penyakit ginjal
tahap akhir
Data Objektif :
Diet Ginjal 1700 kkal/hari
Pasien tampak lemah
Hasil laboratorium : Hb 9,8
g/dl, Ht 30 g/dl,
Kadar ureum : 338 mg/dl
GDS : 110 mg/dl
Stimulus mual
muntah dan
tidak nafsu
makan
Stimulus
residual: kurang
Pengetahuan
mengenai diet
pada pasien
penyakit ginjal
tahap akhir
meningkat
7. Ureum menurun
5. Anjurkan untuk sering melakukan
perawatan mulut
6.
Kolaborasi :
1. Nilai laboratorium : albumin serum,
transferin, natrium & kalium
2. Berikan diit Diet Ginjal 1700 kkal/hari
Aktivitas Cognator :
1. Libatkan pasien dan keluarga dalam
perencanaan makanan.
2. Jelaskan rasional pembatasan diet &
hubungannya dengan penyakit ginjal &
peningkatan urea & kadar kreatinin.
3. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan
Respon inefektif pada
mode adaptasi fisik:
Intoleransi aktivitas
Data Subjektif :
Pasien mengungkapkan
badannya lemas sekali
Data Objektif :
Stimulus fokal :
kelemahan,
anemia Hb : 9,8
mg/dl
Stimulus
kontekstual :
intake nutrisi
kurang adekuat,
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan:
a. Menurunnya suplai
oksigen jaringan
akibat anemia
b. kelemahan/
keletihan umum
Setelah perawatan 4 x24
jam, diharapkan pasien
dapat menunjukkan
kemampuan untuk
melakukan aktifitas tanpa
mengeluh adanya
kelainan. Ditandai dengan
:
1. Pasien berpartisipasi
dalam aktivitas yang
1. Manajemen energy
2. Terapi aktivitas
Aktivitas Regulator
1. Kaji faktor yang menimbulkan
keletihan : Anemia,
Ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, Retensi produk sampah,
Depresi
2. Monitor intake nutrisi yang adekuat.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 63
50
Pasien tampak lemah
Haemoglobin : 9,8 gr/dl.
Konjungtiva anemis
restriksi cairan.
Stimulus
residual: kurang
pengetahuan
dapat ditoleransi.
2. Pasien melaporkan
peningkatan rasa
sejahtera/nyaman
3. Pasien melakukan
istirahat & aktivitas
secara bergantian
4. Tidak terjadi
perubahan TTV
selama atau setelah
aktivitas
5. Haemoglobin 10 gr/dl
3. Awasi TD, nadi, pernafasan, selama &
sesudah aktivitas. Catat respon
terhadap aktivitas.
4. Monitor respon oksigenisasi pasien
terhadap perawatan diri atau aktifitas
keperawatan.
5. Berikan aktivitas alternatif dengan
periode istirahat yang cukup.
6. Tingkatkan kemandirian dalam
aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.
7. Anjurkan pasien untuk menghentikan
aktivitas bila palpitasi, nyeri dada,
nafas pendek, kelemahan atau pusing.
8. Anjurkan untuk beristirahat setelah
dialisis.
Aktivitas Cognator :
1. Jelaskan kepada pasien penyebab
kelatihan
2. Ajarkan pasien teknik penghematan
energy, misal mandi dengan duduk,
duduk untuk melakukan tugas-tugas.
3. Ajarkan alternative perawatan diri
sesuai keterbatasan
Respon inefektif pada
mode fungsi fisiologis:
Gangguan pola tidur .
Stimulu
s fokal:
Cemas,
Gangguan pola tidur
berhubungan dengan
Setelah dilakukan
perawatan 3 x 24 jam,
kebutuhan tidur terpenuhi,
1. Sleep Enhancement
2. Anxiety reduction
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 64
51
Data subyektif:
Pasien mengatakan malam
susah tidur, tidur malam 2-
3 jam.
Sebelum sakit pasien tidur
6-8 jam / hari
Pasien mengatakan tidur
malam sering terbangun.
Pasien kepikiran dan cemas
memikirkan penyakitnya
dan rencana harus dipasang
CDL dan cuci darah
seumur hidup
Data objektif:
Pasien terlihat kusut
Pasien terlihat mengantuk
Tidak tampak lingkar hitam
disekitar mata
penyakit
kronis
Stimulu
s
kontekst
ual:
Koping
tidak
efektif
Stimulu
s
residual:
kurang
pengeta
huan
respon kecemasan ditandai dengan :
1. Jumlah jam istirahat
tidur bertambah
2. Pasien lebih segar
3. Pasien melakukan
teknik untuk
meningkatkan jumlah
jam tidur .
Aktifitas Regulator:
1. Monitor pola tidur & jumlah jam tidur
pasien
2. Bantu pasien mengidentifikasi factor-
faktor yang mungkin menyebabkan
kurang tidur seperti, ketakutan,
keemasan.
3. Anjurkan pasien untuk mengurangi
tidur siang
4. Ajarkan/anjurkan relaksasi otot atau
teknik relaksasi lainnya
Aktifitas Cognator:
1. Jelaskan pentingnya tidur bagi proses
penyembuhan
2. Diskusikan dengan pasien & keluarga
pentingnya kenyamanan, teknik
meningkatkan tidur yang dapat
memfasilitasi tidur yang optimal.
Respon inefektif pada
mode konsep diri:
cemas
Stimulus fokal :
CKD, penyakit
kronis
Cemas berhubungan
dengan kurang
pengetahuan tentang
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam, Cemas berkurang
1. Anxiety reduction
2. Relaxation therapy
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 65
52
Data Subjektif :
Pasien mengatakan belum
siap jika harus cuci darah
seumur hidup, karena akan
merepotkan keluarga
Pasien juga mengatakan
cemas dengan rencana
pemasangan double lumen
Pasien juga menanyakan
apakah cuci darah harus
dilakukan selamanya
Data Objektif :
Pasien tampak cemas, dengan
skala cemas pada skala 4-5
Pasien terlihat banyak
melamun
Stimulus
kontekstual :
Pasien sebagai
kepala keluarga
Stimulus
residual :
pengetahuan psn
kurang
kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan.
atau hilang, ditandai
dengan :
1. Pasien mampu
beradaptasi dalam
menghadapi penyakit
yang dialaminya.
2. Pasien memahami
penyakit dan
pentingnya pengobatan
3. Pasien berpartisipasi
dalam program
pengobatan.
4. Pasien mengukapkan
kesiapannya menjalani
pemasangan double
lumen dan tindakan
cuci darah seumur
hidup.
Aktivitas Regulator:
a. Jalin kepercayaan dengan komunikasi
terbuka dengan pasien
b. Berikan kesempatan kepada pasien
untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaanya mengenai kecemasan.
c. Kaji ketakutan dan kecemasan pasien
d. Kaji mekanisme koping yang biasa
digunakan pasien dalam mengurangi
kecemasan
e. Dukung mekanisme koping yang
tepat yang telah digunakan : berdoa.
f. Evaluasi perubahan makna bagi
pasien dan anggota keluarga atau
pasangannya.
g. Motivasi pasien untuk membagi
perasaannya keluarganya.
h. Ajarkan teknik relaksasi, seperti tarik
nafas dalam, meditasi, dsb.
i. Libatkan keluarga untuk memberikan
dukungan moril.
Aktivitas Cognator :
a. Berikan pendidikan kesehatan
mengenai pengertian, penyebab,
tanda dan gejala CKD serta terapi
pengganti ginjal (tindakan
hemodialisa).
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 66
53
Respon inefektif pada
mode interdependensi :
koping tidak efektif
berhubungan dengan
penyakit kronis dan
pengobatan yang lama;
kurang pengetahuan
tentang koping yang
efektif
Data:
Pasien mengatakan masih
belum percaya jika ia
menderita gagal ginjal dan
harus menjalani cuci darah
seumur hidup.
Pasien masih sering
kepikiran dan merasa sedih,
namun pasien masih mau
menjalani prosedur
pengobatan dan perawatan
yang dilakukan terhadapnya.
Stimulus fokal:
penyakit kronis
menyebabkan
stress dan
ketergantungan
akan terapi;
Stimulus
kontekstual:
kelemahan fisik.
Stimulus
residual : kurang
pengetahuan.
Koping tidak efektif
berhubungan dengan
krisis situasi akibat
penyakit kronis;
kurang pengetahuan
tentang koping yang
efektif.
Setelah dilakukan
perawatan 3x24 jam,
koping kriteria hasil :
1. Pasien mengatakan
memahami penyakit
yang dialaminya.
2. Pasien mengatakan
kemauannya untuk
menggunakan sumber-
sumber yang ada dalam
meningkatkan
kopingnya yang efektif.
3. Pasien mampu
menggunakan support
system yang ada di
rumah sakit.
4. Pasien dapat
menggunakan teknik
relaksasi saat
mengalami stres
1. Dukungan spiritual
2. Komunikasi therapeutik
3. Peningkatan koping
4. Konseling
Aktifitas Regulator:
1. Bantu pasien dalam pengembangan
penilaian obyektif.
2. Dukung pasien akan harapan yang
realistik.
3. Dukung pasien dalam penggunaan
mekanisme pertahan yang tepat
4. Bantu pasien mengidenstifikasi support
system yang ada.
5. Bantu pasien mengidentifikasi
kemampuan dalam mengatasi stress
6. Eksplorasi koping yang biasa
digunakan, dukung koping yang
positif.
7. Identifikasi harapan pasien.
8. Berikan pujian atas koping positif.
9. Perkenalakan pasien pada seseorang
atau kelompok yang mempunyai
pengalaman sama dan berhasil
menjalaninya.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 67
54
Aktifitas cognator:
1. Berikan pendidkan dalam manejemen
stres.
2. Diskusikan dengan pasien tentang
koping yang efektif
3. Diskusikan peran keluarga dlm
merubah perilaku dan membantu
pasien dlm beradaptasi &
meningkatkan koping efektif dalam
kehidupan.
4. Jelaskan kepada pasien dan keluarga
tentang penyakit dan penatalak
sanaannya agar pasien dapat
mengambil keputusan dengan tepat.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 68
55
d. Catatan Perkembangan
Tabel 3.2
Catatan Perkembangan perawatan Nn. LM dengan diagnosa medis Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA)
1. Diagnosa Keperawatan : Kelebihan Volume Cairan
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
09/09/2013
Subjective:
Pasien mengeluh sesak napas
terutama jika tidur terlentang
Objective:
Derajat Pitting edema pada
ekstremitas bawah +1
Ascites +, LP 98 cm
BC : + 100 cc
Subjective:
Pasien mengeluh sesak napas
terutama jika tidur terlentang
Objective:
Derajat Pitting edema pada
ekstremitas bawah +1
Ascites +, LP 98 cm
BC : + 200 cc
Subjective:
Pasien masih mengeluh sesak
napas dan semalam saat tidur
pasien sering terbangun karena
dada terasa begah dan sesak
Pasien mengungkapkan masih
susah untuk membatasi minum
tetapi mencoba tetap sesuai
anjuran
Objective:
Subjective:
Pasien mengatakan sudah lebih
baik meskipun masih sesak
napas
Pasien mengungkapkan masih
susah untuk membatasi minum
Objective:
Pitting edema pada
ekstremitas bawah +2
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 69
56
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
09/09/2013
CCT 4,76 cc/mnt
Analisa:
Kelebihan volume cairan dan
elektrolit Respon pasien belum
adaptif
Intervensi:
1. Manajemen cairan
2. Monitoring cairan
3. Rencana terapi pengganti
ginjal
Aktivitas regulator :
1. Kaji status cairan
2. Timbang badan harian
CCT 4,76 cc/mnt
Analisa:
Kelebihan volume cairan dan
elektrolit Respon pasien belum
adaptif
Intervensi:
1. Manajemen cairan
2. Monitoring cairan
3. Rencana terapi pengganti ginjal
Aktivitas regulator :
1. Kaji status cairan
2. Timbang badan harian
3. Keseimbangan masukan dan
Sudah tidak terdapat edema
pada ekstremitas
Ascites +, LP 94 cm
CCT 4,76 cc/mnt
Analisa:
Kelebihan volume cairan dan
elektrolit Respon pasien belum
adaptif
Intervensi:
1. Manajemen cairan
2. Monitoring cairan
3. Rencana terapi pengganti ginjal
Ascites +, LP 96 cm
CCT 4,76 cc/mnt
Analisa:
Kelebihan volume cairan dan
elektrolit Respon pasien belum
adaptif
Intervensi:
1. Manajemen cairan
2. Monitoring cairan
3. Rencana terapi pengganti ginjal
Aktivitas regulator :
1. Kaji status cairan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 70
57
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
09/09/2013
3. Keseimbangan masukan dan
haluaran cairan
4. Turgor kulit dan edema
5. Distensi vena leher
6. Tekanan darah, denyut nadi
dan irama nadi.
7. Catat pemasukan dan
pengeluaran akurat
8. Batasi masukan cairan
9. Kolaborasi pemberian
diuretic & persiapan
tindakan hemodialisa
10. Monitoring perubahan BB
sebelum dan sesudah
tindakan hemodialisis
11. Monitoring nilai serum dan
haluaran cairan
4. Turgor kulit dan edema
5. Distensi vena leher
6. Tekanan darah, denyut nadi dan
irama nadi.
7. Catat pemasukan dan
pengeluaran akurat
8. Batasi masukan cairan
9. Kolaborasi pemberian diuretic &
persiapan tindakan hemodialisa
10. Monitoring perubahan BB
sebelum dan sesudah tindakan
hemodialisis
11. Monitoring nilai serum dan
elektrolit dan restriksi cairan
12. Identifikasi sumber potensial
Aktivitas regulator :
1. Kaji status cairan
2. Timbang badan harian
3. Keseimbangan masukan dan
haluaran cairan
4. Turgor kulit dan edema
5. Distensi vena leher
6. Tekanan darah, denyut nadi dan
irama nadi.
7. Catat pemasukan dan
pengeluaran akurat
8. Batasi masukan cairan
9. Kolaborasi pemberian diuretic
& persiapan tindakan
hemodialisa
2. Timbang badan harian
3. Keseimbangan masukan dan
haluaran cairan
4. Turgor kulit dan edema
5. Distensi vena leher
6. Tekanan darah, denyut nadi dan
irama nadi.
7. Catat pemasukan dan
pengeluaran akurat
8. Batasi masukan cairan
9. Kolaborasi pemberian diuretic
& persiapan tindakan
hemodialisa
10. Monitoring perubahan BB
sebelum dan sesudah tindakan
hemodialisis
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 71
58
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
09/09/2013
elektrolit dan restriksi cairan
12. Identifikasi sumber potensial
cairan
13. Kolaborasi medikasi (Lasix
3 x 40 mg)
Aktivitas cognator :
1. Edukasi tentang penting
pembatasan cairan dan
caranya
2. Ajarkan pasien/klg untuk
mengumpulkan/ mencatat
urine 24 jam.
3. Jelaskan pada pasien dan
keluarga kelebihan cairan,
penyebab dan bahayanya.
4. Edukasi cara mengurangi
rasa haus, spt minum air
cairan
13. Kolaborasi medikasi (Lasix 3 x
40 mg)
Aktivitas cognator :
1. Edukasi tentang penting
pembatasan cairan dan caranya
2. Ajarkan pasien/klg untuk
mengumpulkan/ mencatat urine
24 jam.
3. Jelaskan pada pasien dan
keluarga kelebihan cairan,
penyebab dan bahayanya.
4. Edukasi cara mengurangi rasa
haus, spt minum air dingin,
mengatur alokasi jumlah
minum/hari dan mengunyah
permen karet.
10. Monitoring perubahan BB
sebelum dan sesudah tindakan
hemodialisis
11. Monitoring nilai serum dan
elektrolit dan restriksi cairan
12. Identifikasi sumber potensial
cairan
13. Kolaborasi medikasi (Lasix 3 x
40 mg)
Aktivitas cognator :
1. Edukasi tentang penting
pembatasan cairan dan
caranya
2. Ajarkan pasien/klg untuk
mengumpulkan/ mencatat
urine 24 jam.
11. Monitoring nilai serum dan
elektrolit dan restriksi cairan
12. Identifikasi sumber potensial
cairan
13. Kolaborasi medikasi (Lasix 3 x
40 mg)
Aktivitas cognator :
1. Edukasi tentang penting
pembatasan cairan dan caranya
2. Ajarkan pasien/klg untuk
mengumpulkan/ mencatat
urine 24 jam.
3. Jelaskan pada pasien dan
keluarga kelebihan cairan,
penyebab dan bahayanya.
4. Edukasi cara mengurangi rasa
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 72
59
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
09/09/2013
dingin, mengatur alokasi
jumlah minum/hari dan
mengunyah permen karet.
5. Self efficacy tentang
restriksi cairan
Evaluasi:
1. Pasien mengatakan masih
sesak napas dan makin sesak
jika digunakan untuk banyak
bergerak
2. Tidur masih menggunakan
dua bantal
3. Terpasang oksigen simple
mask 6 l/menit
4. Derajat Pitting edema
ekstremitas bawah +1
5. Self efficacy tentang restriksi
cairan
Evaluasi:
1. Pasien mengatakan masih sesak
napas dan makin sesak jika
digunakan untuk banyak bergerak
2. Tidur masih menggunakan dua
bantal
3. Terpasang oksigen simple mask
6 l/menit
4. Derajat Pitting edema ekstremitas
bawah +1
5. TD : 150/100 mmHg, HR : 96
x/menit, RR : 22 x/ menit
6. Intake oral cairan ± 1000cc/24
jam, output/24 jam: 400cc+500
3. Jelaskan pada pasien dan
keluarga kelebihan cairan,
penyebab dan bahayanya.
4. Edukasi cara mengurangi rasa
haus, spt minum air dingin,
mengatur alokasi jumlah
minum/hari dan mengunyah
permen karet.
5. Self efficacy tentang restriksi
cairan
Evaluasi:
1. Pasien mengatakan masih sesak
napas dan makin sesak jika
digunakan untuk banyak
bergerak
2. Tidur masih menggunakan dua
haus, spt minum air dingin,
mengatur alokasi jumlah
minum/hari dan mengunyah
permen karet.
5. Self efficacy tentang restriksi
cairan
Evaluasi:
Pasien mengatakan masih sesak
napas dan makin sesak jika
digunakan untuk banyak
bergerak
Tidur masih menggunakan dua
bantal
Pasien mengatakan sudah mulai
mencoba menggunyah permen
karet saat haus
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 73
60
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
09/09/2013
5. TD : 150/1000 mmHg, HR :
96 x/menit, RR : 22 x/ menit
6. Intake oral cairan ±
1000cc/24 jam, output/24
jam: 400cc+500 (IWL)
BC: +100cc/ 24 jam
Kimia Darah (19/04/2014);
Ureum : 338 mg/dl (<
50)
Creatinin : 23,8 mg/dl
(0,5 – 1,5)
GDS 110 g/dl (70-200)
(IWL) BC: +100cc/ 24 jam
Kimia Darah (19/04/2014);
Ureum : 338 mg/dl (< 50)
Creatinin : 23,8 mg/dl (0,5 –
1,5)
GDS 110 g/dl (70-200)
bantal
3. Pasien mengatakan sudah
mencoba menggunakan terapi
permen karet untuk mengurangi
haus
4. Terpasang oksigen 3 l/menit
5. Pitting edema ekstremitas
bawah +3
6. TD : 140/100 mmHg, HR : 96
x/menit, RR : 24 x/ menit
7. Intake oral cairan ± 1200cc/24
jam, output/24 jam: 400cc+500
(IWL) BC: +300cc/ 24 jam
Pasien sudah mulai tidak
menggunakan oksigen
Pitting edema ekstremitas
bawah +3
TD : 140/90 mmHg, HR : 96
x/menit, RR : 22 x/ menit
Intake oral cairan ± 1200cc/24
jam, output/24 jam: 400cc+500
(IWL) BC: +300cc/ 24 jam
Asupan yang bebas dapat
menyebabkan beban sirkulasi
menjadi berlebihan, dan edema,
Asupan yang bebas dapat
menyebabkan beban sirkulasi
menjadi berlebihan, dan edema,
Asupan yang bebas dapat
menyebabkan beban sirkulasi
menjadi berlebihan, dan edema,
Asupan yang bebas dapat
menyebabkan beban sirkulasi
menjadi berlebihan, dan edema,
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 74
61
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
09/09/2013
sedangkan asupan yang terlalu
rendah mengakibatkan
dehidrasi, hipotensi, dan
gangguan fungsi ginjal.
sedangkan asupan yang terlalu
rendah mengakibatkan dehidrasi,
hipotensi, dan gangguan fungsi
ginjal.
sedangkan asupan yang terlalu
rendah mengakibatkan dehidrasi,
hipotensi, dan gangguan fungsi
ginjal
sedangkan asupan yang terlalu
rendah mengakibatkan dehidrasi,
hipotensi, dan gangguan fungsi
ginjal
2. Diagnosa keperawatan : Intoleransi Aktivitas
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Data Subjektif :
Pasien mengungkapkan
badannya lemas sekali
Data Objektif :
Pasien tampak lemah
Haemoglobin : 9,8 gr/dl.
Konjungtiva anemis
Data Subjektif :
Pasien mengungkapkan lemas
dan cepat capek
Sesak jika beraktivitas berat
Data Objektif :
Pasien tampak lemah
Haemoglobin : 8.3gr/dl.
Data Subjektif :
Pasien mengungkapkan lemas dan
cepat capek
Sesak jika beraktivitas berat
Data Objektif :
Pasien tampak lemah
Haemoglobin : 8.3gr/dl.
Data Subjektif :
Pasien mengungkapkan lemas
dan cepat capek
Sesak jika beraktivitas berat
Data Objektif :
Pasien tampak lemah
Haemoglobin : 8.3gr/dl.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 75
62
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Intervensi :
1. Manajemen energy
2. Terapi aktivitas
Aktivitas Regulator
a. Kaji faktor yang menimbulkan
keletihan : Anemia,
Ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, Retensi produk
sampah, Depresi
b. Monitor intake nutrisi yang
adekuat.
c. Awasi TD, nadi, pernafasan,
selama & sesudah aktivitas.
Catat respon terhadap
Konjungtiva anemis
Intervensi :
1. Manajemen energy
2. Terapi aktivitas
Aktivitas Regulator
a. Kaji faktor yang menimbulkan
keletihan : Anemia,
Ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, Retensi produk
sampah, Depresi
b. Monitor intake nutrisi yang
Konjungtiva anemis
Intervensi :
1. Manajemen energy
2. Terapi aktivitas
Aktivitas Regulator
a. Kaji faktor yang menimbulkan
keletihan : Anemia,
Ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, Retensi produk
sampah, Depresi
b. Monitor intake nutrisi yang
adekuat.
Konjungtiva anemis
TTV setelah berjalan dari
km.mandi :TD : 140/100
mmHg, HR : 96 x/menit, RR :
26 x/ menit
Intervensi :
1. Manajemen energy
2. Terapi aktivitas
Aktivitas Regulator
a. Kaji faktor yang menimbulkan
keletihan : Anemia,
Ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, Retensi produk
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 76
63
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
aktivitas.
d. Monitor respon oksigenisasi
pasien terhadap perawatan diri
atau aktifitas keperawatan.
e. Berikan aktivitas alternatif
dengan periode istirahat yang
cukup.
f. Tingkatkan kemandirian dalam
aktivitas perawatan diri yang
dapat ditoleransi, bantu jika
keletihan terjadi.
g. Anjurkan pasien untuk
menghentikan aktivitas bila
palpitasi, nyeri dada, nafas
pendek, kelemahan atau
pusing.
h. Anjurkan untuk beristirahat
setelah dialysis.
adekuat.
c. Awasi TD, nadi, pernafasan,
selama & sesudah aktivitas.
Catat respon terhadap aktivitas.
d. Monitor respon oksigenisasi
pasien terhadap perawatan diri
atau aktifitas keperawatan.
e. Berikan aktivitas alternatif
dengan periode istirahat yang
cukup.
f. Tingkatkan kemandirian dalam
aktivitas perawatan diri yang
dapat ditoleransi, bantu jika
keletihan terjadi.
g. Anjurkan pasien untuk
menghentikan aktivitas bila
palpitasi, nyeri dada, nafas
pendek, kelemahan atau pusing.
c. Awasi TD, nadi, pernafasan,
selama & sesudah aktivitas. Catat
respon terhadap aktivitas.
d. Monitor respon oksigenisasi
pasien terhadap perawatan diri
atau aktifitas keperawatan.
e. Berikan aktivitas alternatif
dengan periode istirahat yang
cukup.
f. Tingkatkan kemandirian dalam
aktivitas perawatan diri yang
dapat ditoleransi, bantu jika
keletihan terjadi.
g. Anjurkan pasien untuk
menghentikan aktivitas bila
palpitasi, nyeri dada, nafas
pendek, kelemahan atau pusing.
h. Anjurkan untuk beristirahat
sampah, Depresi
b. Monitor intake nutrisi yang
adekuat.
c. Awasi TD, nadi, pernafasan,
selama & sesudah aktivitas.
Catat respon terhadap
aktivitas.
d. Monitor respon oksigenisasi
pasien terhadap perawatan diri
atau aktifitas keperawatan.
e. Berikan aktivitas alternatif
dengan periode istirahat yang
cukup.
f. Tingkatkan kemandirian dalam
aktivitas perawatan diri yang
dapat ditoleransi, bantu jika
keletihan terjadi.
g. Anjurkan pasien untuk
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 77
64
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
i. Kolaborasi medikasi (asam
folat 1x1, B12 3x1, amlodipin
1 x 10 mg, allupurinol 1 x 200
mg)
Aktivitas Cognator :
a. Jelaskan kepada pasien
penyebab kelatihan
b. Ajarkan pasien teknik
penghematan energy, misal
mandi dengan duduk, duduk
untuk melakukan tugas-tugas.
c. Ajarkan alternative perawatan
diri sesuai keterbatasan
Evaluasi :
1. Pasien mengatakan tubuhnya
h. Anjurkan untuk beristirahat
setelah dialysis.
i. Kolaborasi medikasi (asam folat
1x1, B12 3x1, amlodipin 1 x 10
mg, allupurinol 1 x 200 mg)
Aktivitas Cognator :
a. Jelaskan kepada pasien
penyebab kelatihan
b. Ajarkan pasien teknik
penghematan energi, misal
mandi dengan duduk, duduk
untuk melakukan tugas-tugas.
c. Ajarkan alternative perawatan
diri sesuai keterbatasan
setelah dialysis.
i. Kolaborasi medikasi (asam folat
1x1, B12 3x1, amlodipin 1 x 10
mg, allupurinol 1 x 200 mg)
Aktivitas Cognator :
a. Jelaskan kepada pasien penyebab
kelatihan
b. Ajarkan pasien teknik
penghematan energy, misal mandi
dengan duduk, duduk untuk
melakukan tugas-tugas.
c. Ajarkan alternative perawatan diri
sesuai keterbatasan
Evaluasi :
menghentikan aktivitas bila
palpitasi, nyeri dada, nafas
pendek, kelemahan atau
pusing.
h. Anjurkan untuk beristirahat
setelah dialysis.
i. Kolaborasi medikasi (asam
folat 1x1, B12 3x1, amlodipin
1 x 10 mg, allupurinol 1 x 200
mg)
Aktivitas Cognator :
a. Jelaskan kepada pasien
penyebab kelatihan
b. Ajarkan pasien teknik
penghematan energy, misal
mandi dengan duduk, duduk
untuk melakukan tugas-tugas.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 78
65
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
masih lemas
2. Pasien mengatakan belum
kuat berjalan ke kamar
mandi sendiri
3. Pasien mengatakan semua
aktivitas dibantu oleh
keluarga dan dilakukan
diatas tempat tidur
Evaluasi :
1. Pasien mengatakan tubuhnya
masih lemas
2. Pasien mengatakan belum kuat
berjalan ke kamar mandi
sendiri
3. Pasien mengatakan semua
aktivitas dibantu oleh keluarga
dan dilaku
1. Pasien mengatakan tubuhnya
masih lemas
2. Pasien mengatakan belum kuat
berjalan ke kamar mandi sendiri
3. Pasien mengatakan semua
aktivitas dibantu oleh keluarga
dan dilaku
c. Ajarkan alternative perawatan
diri sesuai keterbatasan
Evaluasi :
1. Pasien mengatakan tubuhnya
masih lemas
2. Pasien mengatakan belum
kuat berjalan ke kamar
mandi sendiri
3. Pasien mengatakan semua
aktivitas dibantu oleh
keluarga
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 79
66
3. Diagnosa Keperawatan : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Data Subjektif :
Pasien mengeluh mual
dan muntah dengan isi
makanan dan minuman (±
200cc), muntah sudah 3
kali sejak bangun tidur
Pasien mengungkapkan
nafsu makan kurang dan
makan hanya 1 sendok
saja itu pun dipaksakan
Pasien mengungkapkan
tidak tahu tentang diet
pada pasien gagal ginjal
Data Objektif :
Data Subjektif :
Pasien mengeluh masih
merasakan mual dan
muntah dengan isi makanan
dan minuman baru 1 kali
sejak bangun tidur (±
200cc)
Pasien mengungkapkan
nafsu makan kurang dan
makan hanya 1 sendok saja
itu pun dipaksakan
Pasien mengungkapkan
tidak tahu tentang diet pada
pasien gagal ginjal
Data Subjektif :
Pasien mengeluh mual (+),
muntah (-)
Pasien mengungkapkan
nafsu makan kurang dan
hanya mengahabiskan ¼
porsi
Pasien mengatakan hanya
makan makanan yang
disajikan dari rumah sakit
Data Objektif :
Porsi yang diberikan hanya habis ¼
porsi dari Diet Ginjal 1700 kkal/hari
Data Subjektif :
Pasien mengeluh mual
(+), muntah (-)
Pasien mengungkapkan
nafsu makan kurang dan
hanya mengahabiskan ¼ -
porsi
Pasien mengatakan hanya
makan makanan yang
disajikan dari rumah sakit
Data Objektif :
Porsi yang diberikan hanya habis
¼ porsi dari Diet Ginjal 1700
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 80
67
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Porsi yang diberikan hanya habis
1 sendok makan dari Diet Ginjal
1700 kkal/hari
Pasien tampak lemah
Analisa:
Nutrisi kurang dari kebutuhan
Respon pasien belum adaptif
Intervensi:
1. Manajemen mual
2. Manajemen nutrisi
Data Objektif :
Porsi yang diberikan hanya habis ¼
porsi dari Diet Ginjal 1700
kkal/hari
Pasien tampak lemah
Analisa:
Nutrisi kurang dari kebutuhan
Respon pasien belum adaptif
Intervensi:
1. Manajemen mual
2. Manajemen nutrisi
Pasien tampak lemah
Analisa:
Nutrisi kurang dari kebutuhan
Respon pasien belum adaptif
Intervensi:
1. Manajemen mual
2. Manajemen nutrisi
3. Monitoring nutrisi
Aktivitas Regulator :
kkal/hari
Pasien tampak lemah
Analisa:
Nutrisi kurang dari kebutuhan
Respon pasien belum adaptif
Intervensi:
1. Manajemen mual
2. Manajemen nutrisi
3. Monitoring nutrisi
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 81
68
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
3. Monitoring nutrisi
Aktivitas Regulator :
1. Monitoring intake /
pemasukan nutrisi dan kalori
2. Kaji/catat pemasukan diet
3. Perhatikan keluhan
mual/muntah
4. Anjurkan makan sedikit tapi
sering
5. Anjurkan untuk sering
melakukan perawatan mulut
Kolaborasi :
1. Nilai laboratorium : albumin
3. Monitoring nutrisi
Aktivitas Regulator :
1. Monitoring intake / pemasukan
nutrisi dan kalori
2. Pantau tanda dan gejala
hiperglikemi (tria poli,
kelemahan, sakit kepala,
hipotensi, penurunan kesadaran
3. Kaji/catat pemasukan diet
4. Perhatikan keluhan
mual/muntah
5. Anjurkan makan sedikit tapi
sering
6. Anjurkan untuk sering
melakukan perawatan mulut
1. Monitoring intake / pemasukan
nutrisi dan kalori
2. Pantau tanda dan gejala
hiperglikemi (tria poli,
kelemahan, sakit kepala,
hipotensi, penurunan kesadaran
3. Kaji/catat pemasukan diet
4. Perhatikan keluhan mual/muntah
5. Anjurkan makan sedikit tapi
sering
6. Anjurkan untuk sering melakukan
perawatan mulut
Kolaborasi :
1. Nilai laboratorium : albumin
serum, transferin, natrium &
Aktivitas Regulator :
1. Monitoring intake /
pemasukan nutrisi dan kalori
2. Pantau tanda dan gejala
hiperglikemi (tria poli,
kelemahan, sakit kepala,
hipotensi, penurunan
kesadaran
3. Kaji/catat pemasukan diet
4. Perhatikan keluhan
mual/muntah
5. Anjurkan makan sedikit tapi
sering
6. Anjurkan untuk sering
melakukan perawatan mulut
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 82
69
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
serum, transferin, natrium &
kalium
2. Diit sesuai anjuran Diet
Ginjal 1700 kkal/hari
Aktivitas Cognator :
1. Libatkan pasien dan keluarga
dalam perencanaan makanan.
2. Jelaskan rasional pembatasan
diet & hubungannya dengan
penyakit ginjal & peningkatan
urea & kadar kreatinin.
3. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan
Kolaborasi :
1. Nilai laboratorium : albumin
serum, transferin, natrium &
kalium
2. Diit sesuai anjuran Diet Ginjal
1500 kkal/hari
Aktivitas Cognator :
1. Libatkan pasien dan keluarga
dalam perencanaan makanan.
2. Jelaskan rasional pembatasan
diet & hubungannya dengan
penyakit ginjal & peningkatan
urea & kadar kreatinin.
3. Kolaborasi dengan ahli gizi
kalium
2. Diit sesuai anjuran Diet Ginjal
1700 kkal/hari
Aktivitas Cognator :
1. Libatkan pasien dan keluarga
2. dalam perencanaan makanan.
3. Jelaskan rasional pembatasan diet
& hubungannya dengan penyakit
ginjal & peningkatan urea &
kadar kreatinin.
4. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan
Kolaborasi :
1. Nilai laboratorium : albumin
serum, transferin, natrium &
kalium
2. Diit sesuai anjuran Diet
Ginjal 1700 kkal/hari
Aktivitas Cognator :
1. Libatkan pasien dan keluarga
dalam perencanaan makanan.
2. Jelaskan rasional pembatasan
diet & hubungannya dengan
penyakit ginjal & peningkatan
urea & kadar kreatinin.
3. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang jumlah kalori dan jenis
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 83
70
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Evaluasi:
1. Pasien mengatakan badannya
lemes
2. Pasien mengatakan masih
merasakan mual dan tidak
nafsu makan
3. Pasien mengatakan makan
habis 1 sendok makan saja
4. Hasil laboratorium : Hb 9,8
g/dl, Ht 30 g/dl, Kadar ureum :
338 mg/dl
5. Pasien mengatakan masih
belum tau tentang diet untuk
penyakit ginjal
tentang jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan
Evaluasi:
1. Pasien mengatakan badannya
lemes
2. Pasien mengatakan masih
merasakan mual dan tidak nafsu
makan
3. Pasien mengatakan makan habis
1 sendok makan saja
4. Hasil laboratorium : Hb 9,8
g/dl, Ht 30 g/dl, Kadar ureum :
338 mg/dl
5. Pasien mengatakan masih
belum tau tentang diet untuk
Evaluasi:
4. Pasien mengatakan badannya
lemes
5. Pasien mengatakan masih
merasakan mual dan tidak nafsu
makan
6. Pasien mengatakan makan habis
¼ porsi saja
7. Pasien mengatakan masih
menjadi tahu tentang diet untuk
penyakit ginjal
nutrisi yang dibutuhkan
Evaluasi:
1. Pasien mengatakan badannya
lemes
2. Pasien mengatakan masih
merasakan mual dan tidak
nafsu makan
3. Pasien mengatakan makan
habis 1/4 porsi saja
4. Pasien mengatakan menjadi
belum tahu tentang diet untuk
penyakit ginjal
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 84
71
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
penyakit ginjal
Analisa /Progress Report
Ps mengalami lemas dapat
diakibatkan karena status asupan
yang tidak adekuat dan mual.
Faktor tingginya ureum dalam
darah dapat menyebabkan juga
kondisi mual sehingga perut terasa
begah. Kadar ureum yang
berlebihan air liur akan diubah
oleh bakteri di mulut menjadi
amonia sehingga napas berbau
amonia. Monitor hasil
pemeriksaan darah (Hb, albumin,
eritrosit) memberikan informasi
Analisa /Progress Report
Ps mengalami lemas dapat
diakibatkan karena status asupan
yang tidak adekuat dan mual.
Faktor tingginya ureum dalam
darah dapat menyebabkan juga
kondisi mual sehingga perut terasa
begah. Kadar ureum yang
berlebihan air liur akan diubah oleh
bakteri di mulut menjadi amonia
sehingga napas berbau amonia.
Protein dalam makanan harus
diatur. Diet dengan rendah protein
yang mengandung asam amino
esensial, sangat dianjurkan untuk
Analisa /Progress Report
Ps mengalami lemas dapat
diakibatkan karena status asupan
yang tidak adekuat dan mual. Faktor
tingginya ureum dalam darah dapat
menyebabkan juga kondisi mual
sehingga perut terasa begah. Kadar
ureum yang berlebihan air liur akan
diubah oleh bakteri di mulut menjadi
amonia sehingga napas berbau
amonia. Protein dalam makanan
harus diatur. Diet dengan rendah
protein yang mengandung asam
amino esensial, sangat dianjurkan
untuk pasien dengan penyakit ginjal
Analisa /Progress Report
Ps mengalami lemas dapat
diakibatkan karena status asupan
yang tidak adekuat dan mual.
Faktor tingginya ureum dalam
darah dapat menyebabkan juga
kondisi mual sehingga perut terasa
begah. Kadar ureum yang
berlebihan air liur akan diubah
oleh bakteri di mulut menjadi
amonia sehingga napas berbau
amonia. Protein dalam makanan
harus diatur. Diet dengan rendah
protein yang mengandung asam
amino esensial, sangat dianjurkan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 85
72
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
tentang status nutrisi pasien. pasien dengan penyakit ginjal
terminal untuk mengurangi jumlah
dialisis.
terminal untuk mengurangi jumlah
dialisis.
untuk pasien dengan penyakit
ginjal terminal untuk mengurangi
jumlah dialisis.
4. Diagnosa Keperawatan : Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan kecemasan dengan perkembangan dan kondisi penyakit
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Data Subjektif :
pasien mengatakan semalam
tidak bisa tidur dan sering
terbangun jika tidur karena
merasakan sesak dan nyeri di
area perut atas. Pasien
Data Subjektif :
pasien mengatakan semalam
masih belum bisa tidur pulas dan
sering terbangun jika tidur
karena merasakan sesak dan
merasa beda dengan di rumah.
Data Subjektif :
pasien mengatakan semalam tidak
bisa tidur dan sering terbangun
jika tidur karena merasakan sesak
dan nyeri di area perut atas.
Pasien mengatakan sering
Data Subjektif :
pasien mengatakan semalam
tidak bisa tidur dan sering
terbangun jika tidur karena
merasakan sesak dan nyeri di
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 86
73
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
mengatakan sering memikirkan
kondisi penyakitnya dan
memikirkan pemasangan
catheter double lumen (CDL)
dan tindakan hemodialisis yang
harus ia jalani seumur hidup.
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat letih,
tidak tampak lingkar hitam
disekitar mata.
Pasien tampak lemah
Analisa:
Kesulitan untuk mulai tidur dapat
Pasien mengatakan sering
memikirkan kondisi penyakitnya
dan memikirkan pemasangan
catheter double lumen (CDL)
dan tindakan hemodialisis yang
harus ia jalani seumur hidup.
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat letih, tidak
tampak lingkar hitam disekitar
mata.
Pasien tampak lemah
Analisa:
Kesulitan untuk mulai tidur dapat
memikirkan kondisi penyakitnya
dengan tindakan hemodialisis
yang harus ia jalani seumur hidup.
Data Objektif :
Pasien lebih segar dari kemarin
Analisa:
Kesulitan untuk mulai tidur dapat
terjadi akibat melebarnya persepsi
diri akibat kecemasan yang dialami
pasien dengan kondisi penyakit yang
dialaminya
Intervensi:
area perut atas.
Data Objektif :
Wajah pasien tampak lebih
segar dari kemarin
Analisa:
Kesulitan untuk mulai tidur dapat
terjadi akibat melebarnya persepsi
diri akibat kecemasan yang
dialami pasien dengan kondisi
penyakit yang dialaminya
Intervensi:
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 87
74
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
terjadi akibat melebarnya persepsi
diri akibat kecemasan yang
dialami pasien dengan kondisi
penyakit yang dialaminya
Intervensi:
1. Sleep Enhancement
2. Anxiety reduction
Aktifitas Regulator:
1. Monitor pola tidur & jumlah
jam tidur pasien
2. Bantu pasien
mengidentifikasi factor-
faktor yang mungkin
menyebabkan kurang tidur
terjadi akibat melebarnya persepsi
diri akibat kecemasan yang dialami
pasien dengan kondisi penyakit
yang dialaminya
Intervensi:
1. Sleep Enhancement
2. Anxiety reduction
Aktifitas Regulator:
1. Monitor pola tidur & jumlah
jam tidur pasien
2. Bantu pasien mengidentifikasi
factor-faktor yang mungkin
menyebabkan kurang tidur
seperti, ketakutan, keemasan.
1. Sleep Enhancement
2. Anxiety reduction
Aktifitas Regulator:
1. Monitor pola tidur & jumlah
jam tidur pasien
2. Bantu pasien mengidentifikasi
factor-faktor yang mungkin
menyebabkan kurang tidur
seperti, ketakutan, keemasan.
3. Anjurkan pasien untuk
mengurangi tidur siang
4. Ajarkan/anjurkan relaksasi otot
atau teknik relaksasi lainnya
1. Sleep Enhancement
2. Anxiety reduction
Aktifitas Regulator:
5. Monitor pola tidur & jumlah
jam tidur pasien
6. Bantu pasien
mengidentifikasi factor-
faktor yang mungkin
menyebabkan kurang tidur
seperti, ketakutan, keemasan.
7. Anjurkan pasien untuk
mengurangi tidur siang
8. Ajarkan/anjurkan relaksasi
otot atau teknik relaksasi
lainnya
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 88
75
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
seperti, ketakutan, keemasan.
3. Anjurkan pasien untuk
mengurangi tidur siang
4. Ajarkan/anjurkan relaksasi
otot atau teknik relaksasi
lainnya
Aktifitas Cognator:
1. Jelaskan pentingnya tidur
bagi proses penyembuhan
2. Diskusikan dengan pasien &
keluarga pentingnya
kenyamanan, teknik
meningkatkan tidur yang
dapat memfasilitasi tidur
yang optimal.
Evaluasi:
3. Anjurkan pasien untuk
mengurangi tidur siang
4. Ajarkan/anjurkan relaksasi
otot atau teknik relaksasi
lainnya
Aktifitas Cognator:
1. Jelaskan pentingnya tidur bagi
proses penyembuhan
2. Diskusikan dengan pasien &
keluarga pentingnya
kenyamanan, teknik
meningkatkan tidur yang dapat
memfasilitasi tidur yang
optimal.
Evaluasi:
Aktifitas Cognator:
1. Jelaskan pentingnya tidur bagi
proses penyembuhan
2. Diskusikan dengan pasien &
keluarga pentingnya
kenyamanan, teknik
meningkatkan tidur yang dapat
memfasilitasi tidur yang
optimal.
Evaluasi:
1. Pasien mengatakan badannya
lebih segar
2. Pasien mengatakan masih
kepikiran dengan penyakitnya
dan ingin segera sembuh, tetapi
pasien menrasa tidurnya lebih
Aktifitas Cognator:
1. Jelaskan pentingnya tidur
bagi proses penyembuhan
2. Diskusikan dengan pasien &
keluarga pentingnya
kenyamanan, teknik
meningkatkan tidur yang
dapat memfasilitasi tidur
yang optimal.
Evaluasi:
1. Pasien mengatakan badannya
lemes
2. Pasien mengatakan masih
kepikiran dengan penyakitnya
dan ingin segera sembuh,
pasien menrasa tidurnya lebih
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 89
76
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
1. Pasien mengatakan badannya
lemes
2. Pasien mengatakan masih
kepikiran dengan penyakitnya
dan ingin segera sembuh
1. Pasien mengatakan badannya
lemes
2. Pasien mengatakan masih
kepikiran dengan penyakitnya
dan ingin segera sembuh
nyenyak dari hari kemarin
nyenyak dari hari kemarin
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 90
77
5. Diagnosa Keperawatan : cemas berhubungan dengan kompleksitas pengobatan dan kurang pengetahuan tentang kondisi ,
prognosis dan kebutuhan pengobatan
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Data Subjektif :
Pasien mengatakan cemas dan
takut melakukan hemodialisa dan
takut dilakukan pemasangan
catheter doubel lumen (CDL),
pasien juga takut dengan kondisi
penyakitnya jika makin
memburuk. Pasien pasrah
mengikuti saran dokter dan
perawat agar bisa sembuh
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat tegang
Pasien tampak lemah
Data Subjektif :
Pasien mengatakan masih merasa
cemas dan takut melakukan
hemodialisa dan takut dilakukan
pemasangan catheter doubel lumen
(CDL), pasien juga takut dengan
kondisi penyakitnya jika makin
memburuk. Pasien pasrah
mengikuti saran dokter dan perawat
agar bisa sembuh
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat tegang
Pasien tampak lemah
Data Subjektif :
Pasien mengatakan sudah mulai
memahami pengobatan dan
perawatan yang diberikan kepadanya
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat tegang
Pasien tampak lemah
Intervensi:
1. Anxiety reduction
Data Subjektif :
Pasien mengatakan lebih tenang
dari kemarin
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat tegang
Pasien tampak lemah
Intervensi:
1. Anxiety reduction
2. Relaxation therapy
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 91
78
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Intervensi:
1. Anxiety reduction
2. Relaxation therapy
Aktivitas Regulator:
1. Jalin kepercayaan dengan
komunikasi terbuka dengan
pasien
2. Berikan kesempatan kepada
pasien untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaanya
mengenai kecemasan.
3. Kaji ketakutan dan kecemasan
pasien
4. Kaji mekanisme koping yang
Intervensi:
1. Anxiety reduction
2. Relaxation therapy
Aktivitas Regulator:
1. Jalin kepercayaan dengan
komunikasi terbuka dengan
pasien
2. Berikan kesempatan kepada
pasien untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaanya
mengenai kecemasan.
3. Kaji ketakutan dan kecemasan
pasien
4. Kaji mekanisme koping yang
2. Relaxation therapy
Aktivitas Regulator:
1. Jalin kepercayaan dengan
komunikasi terbuka dengan
pasien
2. Berikan kesempatan kepada
pasien untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaanya mengenai
kecemasan.
3. Kaji ketakutan dan kecemasan
pasien
4. Kaji mekanisme koping yang
biasa digunakan pasien dalam
mengurangi kecemasan
5. Dukung mekanisme koping yang
tepat yang telah digunakan :
Aktivitas Regulator:
1. Jalin kepercayaan dengan
komunikasi terbuka dengan
pasien
2. Berikan kesempatan kepada
pasien untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaanya
mengenai kecemasan.
3. Kaji ketakutan dan kecemasan
pasien
4. Kaji mekanisme koping yang
biasa digunakan pasien dalam
mengurangi kecemasan
5. Dukung mekanisme koping
yang tepat yang telah
digunakan : berdoa.
6. Evaluasi perubahan makna
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 92
79
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
biasa digunakan pasien dalam
mengurangi kecemasan
5. Dukung mekanisme koping
yang tepat yang telah
digunakan : berdoa.
6. Evaluasi perubahan makna
bagi pasien dan anggota
keluarga atau pasangannya.
7. Motivasi pasien untuk
membagi perasaannya
keluarganya.
8. Ajarkan teknik relaksasi,
seperti tarik nafas dalam,
meditasi, dsb.
9. Libatkan keluarga untuk
memberikan dukungan moril.
biasa digunakan pasien dalam
mengurangi kecemasan
5. Dukung mekanisme koping
yang tepat yang telah
digunakan : berdoa.
6. Evaluasi perubahan makna bagi
pasien dan anggota keluarga
atau pasangannya.
7. Motivasi pasien untuk membagi
perasaannya keluarganya.
8. Ajarkan teknik relaksasi, seperti
tarik nafas dalam, meditasi, dsb.
9. Libatkan keluarga untuk
memberikan dukungan moril.
Aktivitas Cognator :
Berikan pendidikan kesehatan
berdoa.
6. Evaluasi perubahan makna bagi
pasien dan anggota keluarga atau
pasangannya.
7. Motivasi pasien untuk membagi
perasaannya keluarganya.
8. Ajarkan teknik relaksasi, seperti
tarik nafas dalam, meditasi, dsb.
9. Libatkan keluarga untuk
memberikan dukungan moril.
Aktivitas Cognator :
Berikan pendidikan kesehatan
mengenai pengertian, penyebab,
tanda dan gejala CKD serta therapi
pengganti ginjal (tindakan
hemodialisa).
bagi pasien dan anggota
keluarga atau pasangannya.
7. Motivasi pasien untuk
membagi perasaannya
keluarganya.
8. Ajarkan teknik relaksasi,
seperti tarik nafas dalam,
meditasi, dsb.
9. Libatkan keluarga untuk
memberikan dukungan moril.
Aktivitas Cognator :
Berikan pendidikan kesehatan
mengenai pengertian, penyebab,
tanda dan gejala CKD serta
therapi pengganti ginjal (tindakan
hemodialisa).
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 93
80
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Aktivitas Cognator :
Berikan pendidikan kesehatan
mengenai pengertian, penyebab,
tanda dan gejala CKD serta
therapi pengganti ginjal (tindakan
hemodialisa).
Evaluasi:
Hubungan saling percaya antara
praktikan dan pasien terbina,
pasien mau sedikit terbuka
manceritakan masalah tentang
kecemasan dan ketakutannya
menjalani prosedur terapi
perawatan dan pengobatan
mengenai pengertian, penyebab,
tanda dan gejala CKD serta therapi
pengganti ginjal (tindakan
hemodialisa).
Evaluasi:
Pasien sudah mengetahui tentang
prosedur dan persiapan pada
pemasangan CDL dan sudah
diberikan inisiasi hemodialisis
Evaluasi:
Hubungan saling percaya antara
praktikan dan pasien terbina, pasien
mengatakan lebih tenang meskipun
masih merasa kuatir dengan tindakan
hemodialisis
Evaluasi:
Hubungan saling percaya antara
praktikan dan pasien terbina,
pasien mengatakan lebih tenang
meskipun masih merasa kuatir
dengan tindakan hemodialisis
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 94
81
6. Diagnosa Keperawatan : Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan pengobatan yang
lama dan komplek, kurang pengetahuan tentang koping yang efektif
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Data Subjektif :
Pasien sudah menerima
penyakit tetapi masih takut
untuk dipasang CDL dan takut
untuk menjalani tindakan
hemodialisis seumur hidup.
Pasien mendapat dukungan dari
Data Subjektif :
Pasien sudah menerima penyakit
tetapi masih takut untuk
dipasang CDL dan takut untuk
menjalani tindakan hemodialisis
seumur hidup. Pasien mendapat
dukungan dari saudara dan
Data Subjektif :
Pasien mengatakan sudah mulai
memahami pengobatan dan
perawatan yang diberikan kepadanya.
Pasien mengatakan rasa takutnya
tentang hemodialisis sedikit
berkurang
Data Subjektif :
Pasien mengatakan sudah mulai
memahami pengobatan dan
perawatan yang diberikan
kepadanya. Pasien mengatakan
rasa takutnya tentang hemodialisis
sedikit berkurang. Dan pasien
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 95
82
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
saudara dan keluarganya,
sehingga memberikan
semangat kepada pasien untuk
melakukan pengobatan dan
semangat untuk segera sembuh
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat tegang
Pasien tampak lemah
Intervensi:
1. Dukungan spiritual
2. Komunikasi therapeutik
3. Peningkatan koping
4. Konseling
keluarganya, sehingga
memberikan semangat kepada
pasien untuk melakukan
pengobatan dan semangat untuk
segera sembuh
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat tegang
Pasien tampak lemah
Intervensi:
1. Dukungan spiritual
2. Komunikasi therapeutik
3. Peningkatan koping
4. Konseling
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat lebih tenang
Pasien tampak lemah
Intervensi:
1. Dukungan spiritual
2. Komunikasi therapeutik
3. Peningkatan koping
4. Konseling
Aktifitas Regulator:
1. Bantu pasien dalam
pengembangan penilaian obyektif.
2. Dukung pasien akan harapan yang
realistik.
3. Dukung pasien dalam penggunaan
ingin cepat sembuh.
Data Objektif :
Wajah pasien terlihat tenang
Pasien tampak lemah
Intervensi:
1. Dukungan spiritual
2. Komunikasi therapeutik
3. Peningkatan koping
4. Konseling
Aktifitas Regulator:
1. Bantu pasien dalam
pengembangan penilaian
obyektif.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 96
83
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Aktifitas Regulator:
1. Bantu pasien dalam
pengembangan penilaian
obyektif.
2. Dukung pasien akan harapan
yang realistik.
3. Dukung pasien dalam
penggunaan mekanisme
pertahan yang tepat
4. Bantu pasien mengidenstifikasi
support system yang ada.
5. Bantu pasien mengidentifikasi
kemampuan dalam mengatasi
stress
6. Eksplorasi koping yang biasa
digunakan, dukung koping
yang positif.
7. Identifikasi harapan pasien.
8. Berikan pujian atas koping
positif.
9. Perkenalakan pasien pada
seseorang atau kelompok yang
Aktifitas Regulator:
1. Bantu pasien dalam
pengembangan penilaian
obyektif.
2. Dukung pasien akan harapan
yang realistik.
3. Dukung pasien dalam
penggunaan mekanisme pertahan
yang tepat
4. Bantu pasien mengidenstifikasi
support system yang ada.
5. Bantu pasien mengidentifikasi
kemampuan dalam mengatasi
stress
6. Eksplorasi koping yang biasa
digunakan, dukung koping yang
positif.
7. Identifikasi harapan pasien.
8. Berikan pujian atas koping
positif.
9. Perkenalakan pasien pada
seseorang atau kelompok yang
mekanisme pertahan yang tepat
4. Bantu pasien mengidenstifikasi
support system yang ada.
5. Bantu pasien mengidentifikasi
kemampuan dalam mengatasi
stress
6. Eksplorasi koping yang biasa
digunakan, dukung koping yang
positif.
7. Identifikasi harapan pasien.
8. Berikan pujian atas koping positif.
9. Perkenalakan pasien pada
seseorang atau kelompok yang
mempunyai pengalaman sama dan
berhasil menjalaninya.
Aktifitas cognator:
1. Berikan pendidkan dalam
manejemen stres.
2. Diskusikan dengan pasien tentang
koping yang efektif
3. Diskusikan peran keluarga dlm
2. Dukung pasien akan harapan
yang realistik.
3. Dukung pasien dalam
penggunaan mekanisme
pertahan yang tepat
4. Bantu pasien mengidenstifikasi
support system yang ada.
5. Bantu pasien mengidentifikasi
kemampuan dalam mengatasi
stress
6. Eksplorasi koping yang biasa
digunakan, dukung koping
yang positif.
7. Identifikasi harapan pasien.
8. Berikan pujian atas koping
positif.
9. Perkenalakan pasien pada
seseorang atau kelompok yang
mempunyai pengalaman sama
dan berhasil menjalaninya.
Aktifitas cognator:
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 97
84
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
mempunyai pengalaman sama
dan berhasil menjalaninya.
Aktifitas cognator:
1. Berikan pendidkan dalam
manejemen stres.
2. Diskusikan dengan pasien
tentang koping yang efektif
3. Diskusikan peran keluarga dlm
merubah perilaku dan
membantu pasien dlm
beradaptasi & meningkatkan
koping efektif dalam
kehidupan.
4. Jelaskan kepada pasien dan
keluarga tentang penyakit dan
penatalak sanaannya agar
pasien dapat mengambil
keputusan dengan tepat.
Evaluasi:
mempunyai pengalaman sama
dan berhasil menjalaninya.
Aktifitas cognator:
1. Berikan pendidkan dalam
manejemen stres.
2. Diskusikan dengan pasien
tentang koping yang efektif
3. Diskusikan peran keluarga dlm
merubah perilaku dan membantu
pasien dlm beradaptasi &
meningkatkan koping efektif
dalam kehidupan.
4. Jelaskan kepada pasien dan
keluarga tentang penyakit dan
penatalak sanaannya agar pasien
dapat mengambil keputusan
dengan tepat.
Evaluasi:
Pasien masih merasa takut dan
merubah perilaku dan membantu
pasien dlm beradaptasi &
meningkatkan koping efektif
dalam kehidupan.
4. Jelaskan kepada pasien dan
keluarga tentang penyakit dan
penatalak sanaannya agar pasien
dapat mengambil keputusan
dengan tepat.
Evaluasi:
Hubungan saling percaya antara
praktikan dan pasien terbina, pasien
mengatakan lebih tenang meskipun
masih merasa kuatir dengan tindakan
hemodialisis
1. Berikan pendidkan dalam
manejemen stres.
2. Diskusikan dengan pasien
tentang koping yang efektif
3. Diskusikan peran keluarga dlm
merubah perilaku dan
membantu pasien dlm
beradaptasi & meningkatkan
koping efektif dalam
kehidupan.
4. Jelaskan kepada pasien dan
keluarga tentang penyakit dan
penatalak sanaannya agar
pasien dapat mengambil
keputusan dengan tepat.
Evaluasi:
Hubungan saling percaya antara
praktikan dan pasien terbina,
pasien mengatakan lebih tenang
meskipun masih merasa kuatir
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 98
85
HARI KE 1
21/04/2014
HARI KE 2
22/04/2014
HARI KE 3
23/04/2014
HARI KE 4
24/04/2014
Hubungan saling percaya antara
praktikan dan pasien terbina,
pasien mau sedikit terbuka
manceritakan masalah tentang
kecemasan dan ketakutannya
menjalani prosedur terapi
perawatan dan pengobatan
kuatir dengan tindakan hemodialisis
yang dijalaninya.
dengan tindakan hemodialisis.
Pasien juga mengatakan ingin
segera sembuh.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 99
74
3. Analisis Kasus Utama Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Ginjal Tahap
Akhir Berdasarkan Teori Adaptasi Roy
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada Nn. LM
dengan penyakit ginjal tahap akhir dengan menggunakan teori model adaptasi
Roy. Pembahasan meliputi masalah maladaptif yang ditemukan pada pengkajian 4
mode adaptasi yaitu mode fisiologis, mode konsep diri, mode fungsi peran dan
mode interdependensi. Pembahasan yang akan diuraikan adalah menganalisi
masalah keperawatan yang muncul berdasarkan pengkajian, justifikasi intervensi
yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang dilakukan dengan menggunakan
teori dan konsep yang mendasari fenomena yang terjadi serta penelitian lain yang
mendukung intervensi sebagai bukti ilmiah.
Diagnosa atau masalah keperawatan yang muncul pada kasus Nn. LM dengan
penyakit ginjal tahap akhir meliputi :
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
akibat penurunan fungsi, kurang pengetahuan tentang manajemen cairan dan
diit.
Kelebihan volume cairan merupakan suatu keadaan peningkatan retensi cairan
isotonik yang berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan
asupan cairan dan kelebihan asupan natrium (Herdman, NANDA 2012-2014).
Kelebihan volume cairan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat
terjadi sebagai akibat penurunan fungsi glomerulus yang terjadi secara progresif
mengakibatkan peningkatan kadar ureum dan creatinin yang berakibat lanjut
terhadap berkurangnya kemampuan ginjal untuk melakukan fungsi ekskresi cairan
(urin) dari dalam tubuh, sehingga terjadi retensi cairan, garam dan produk sisa
metabolisme di dalam ginjal dan terjadi penumpukan air didalam tubuh (Smeltzer
dan Bare, 2001; Black & Hawks, 2005). Kelebihan cairan didalam tubuh ditandai
dengan kondisi berat badan yang meningkat secara tiba-tiba, peningkatan tekanan
darah, edema pada ekstremitas dan sekitar mata, ascites, kesulitan bernapas karena
edema paru serta dapat mengakibatkan gagal jantung jika kondisi berlangsung
lama (Landley, Aspinall, Gardiener & Garthwaite, 2011).
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 100
75
Berdasarkan pengkajian perilaku tentang kebutuhan cairan pada Nn. LM
didapatkan data bahwa pasien mengalami sesak napas, tekanan darah : 150/ 100
mmHg, nadi : 90 x/menit, jugularis vena pressure (JVP) : 5 +2 cmH2O, membran
mukosa bibir kering, turgor kulit baik, tidak mengalami diaforesis, Terdapat
muntah sudah 3 kali sejak bangun tidur jam 05.00 WIB (jumlah muntah ± 200 cc
sekali muntah berisi sisa makanan dan air), mendapat terapi pembatasan cairan
600 cc/hari dan lasix 3 x 40 mg perhari. Terdapat edema pada ekstremitas bawah
dan ascites dengan lingkar perut 98 cm. Intake cairan : minum : 1500 cc/hari.
Output : urin (800 cc/hari) + IWL 500 cc/24 jam. Balance cairan : + 200 cc. Nilai
laboratorium (19/04/2014) natrium : 136 mEq/L, klorida 101 mEq/L, kalium 4,73
mEq/L, ureum 338mg/dl, creatinin : 23,8 mg/dl. Pasien memiliki riwayat
mengkonsumsi minuman berenergi selama 2 tahun sebelum sakit untuk menjaga
stamina saat bekerja, dan kebiasaan tersebut berhenti sejak dinyatakan sakit ginjal.
Dari data tersebut terlihat bahwa pasien mengalami masalah keperawatan
kelebihan volume cairan dan elektrolit.
Kelebihan volume cairan yang terjadi pada Nn. LM terjadi akibat karena
kerusakan nefron ginjal yang dapat disebabkan karena kebiasaan pasien
mengkonsumsi minuman berenergi dalam jangka waktu yang lama sehingga zat
kimia yang terdapat dalam minuman berenergi tersebut menjadi toksik dan
merusak struktur dan fungsi ginjal. Kerusakan nefron ginjal yang terjadi secara
progresif menyebabkan penurunan atau hilangnya fungsi ginjal yang berakibat
terhadap penurunan laju filtrasi glomerulus dan menurunnya clearance creatinin
(bersihan kreatinin) yang berakibat lanjut terhadap hilangnya fungsi sekresi dan
ekskresi ginjal. Ginjal tidak mampu mengeluarkan kelebihan air di dalam tubuh
dan terjadi retensi cairan tubuh yang berakibat lanjut terhadap kelebihan volume
cairan tubuh (Chitokas, Gunderman dan Oman, 2006). Kondisi yang berlanjut
pada Nn. LM merupakan progesifitas dari penyakit ginjal tahap akhir dimana
terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus ginjal yang dapat mencapai hingga < 15
ml per menit. Kondisi penurunan laju filtrasi glomerulus ini juga menyebabkan
hilangnya kemampuan ginjal sebagai fungsi ekskresi dan menyaring darah
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 101
76
sehingga jumlah urin yang dikeluarkan juga akan mengalami penurunan (Oliguri)
mencapai hingga < 500 cc/24 jam dan jika kondisi berlanjut dapat menyebabkan
anuria sehingga berakibat terhadap retensi cairan didalam tubuh (Price, 2006).
Kelebihan cairan didalam tubuh pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dapat
mengakibatkan beban jantung menjadi meningkat dan berat, sehingga dapat
menjadi komplikasi pada sistem kardiovaskular yang mengakibatkan curah
jantung mengalami penurunan. Kondisi lanjut dari penurunan curah jantung jika
berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan komplikasi Cronic Hearth
Failure (CHF), sehingga pasien megeluhkan cepat lelah dan sesak napas terutama
jika beraktivitas berat. Pada pasien Nn. LM juga mengeluhkan pasien cepat lelah
dan lemas, serta sesak semakin berat terutama setelah beraktivitas. Hal ini
menunjukkan perburukan terhadap fungsi jantung (CHF) yang dialaminya.
Intervensi keperawatan yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah
keperawatan kelebihan volume cairan meliputi : monitoring cairan dan elektrolit,
manajemen cairan serta pemberian terapi pengganti ginjal dengan hemodialisis
dengan melakukan aktivitas kognator dan aktivitas regulator untuk meningkatkan
adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus yang mempengaruhi kondisi sakitnya
hingga tercapai kondisi yang adaptif.
Pemantauan atau monitoring status cairan sebagai aktivitas regulator dalam
mengatasi kelebihan volume cairan dan elektrolit pada pasien dengan penyakit
ginjal terminal digunakan sebagai parameter untuk mengetahui kondisi pasien dan
mencegah perburukan penyakit ginjal tahap akhir yang diderita pasien serta untuk
menentukan status cairan dan kebutuhan pasien penyakit ginjal tahap akhir.
Pemantauan atau monitoring terhadap status cairan dan elektrolit meliputi :
menimbang berat badan harian, mengkaji keseimbangan cairan tubuh dan
halauaran urin, mengkaji edema dan distensi vena leher, perubahan tekanan darah
dan nadi, perubahan bunyi jantung dan suara napas serta peningkatan kesulitan
untuk bernapas (Smeltzer dan Bare, 2006).
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 102
77
Manajemen cairan dan elektrolit berupa pembatasan jumlah cairan yang masuk
dan perhitungan keseimbangan cairan berfungsi untuk mempertahankan fungsi
ginjal, mencegah edema dan kompllikasi kardiovaskuler. Keseimbangan cairan
tubuh diperoleh dengan membuat keseimbangan antara jumlah cairan yang masuk
dengan jumlah cairan yang keluar baik melalui urin dan insesible water loss
(IWL), dengan jumlah air yang keluar melalui IWL 500-800 ml, maka jumlah
cairan tubuh yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah jumlah cairan yang keluar
(Urin) ditambah dengan 500 – 800 cairan tubuh yang hilang dalam IWL (Ilmu
Penyakit dalam, 2006). I
Pada pasien Nn. LM sebelum diberikan intervensi, pasien belum mengetahui jika
jumlah cairan yang masuk kedalam tubuhnya harus dibatasi. Dalam sehari pasien
minum sesuai dengan keinginanya terutama jika rasa haus meningkat maka
jumlah cairan yang diminum juga lebih banyak. Jumlah cairan yang diminum
pasien dalam sehari ± 1500-2000 ml/hari. Setelah diberikan implementasi berupa
pembatasan cairan pada hari perawatan ke-3 pasien sudah mampu membatasi
masukan cairan dan minum yaitu pasien minum sebanyak 600-800 ml/hari. Pasien
tampak kooperatif dengan program pembatasan cairan. Implementasi lain yang
dilakukan dalam manajemen cairan dan elektrolit meliputi, monitoring nilai serum
(Ureum dan Cretainin) dan elektrolit (Natrium, kalium dan clorida) dengan
pemeriksaan laboratorium, kolaborasi pemberian diuretik (injeksi lasik 3 x 40
mg), kolaborasi penatalaksanaan terapi hemodialisis.
Aktivitas kognator yang dilakukan untuk mengatasi masalah kelebihan cairan
meliputi : pemberian edukasi tentang cairan tubuh dan pembatasan cairan,
mengajarkan pasien untuk mencatat halauran urin dan mengukur keseimbangan
cairan secara mandiri, dan edukasi cara mengurangi haus (dengan menggunakan
air dingin, mengulum batu es, dan mengunyah permen karet). Haus merupakan
respon alamaiah dari pembatasan cairan yang dilakukan oleh pasien akibat
menurunnya rangsang dan stimulasi terhadap kelenjar glandula saliva sehingga
sekresi saliva berkurang. Mengulum batu es dan mengunyah permen karet akan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 103
78
meningkatkan rangsang glandula saliva secara mekanis sehingga dapat
merangsang sekresi saliva. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Casper,
Brand, Veerman, et al (2005) menyatakan bahwa bahwa mengunyah permen karet
dapat meningkatkan pengeluaran saliva dan mengurangi rasa haus pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis. Penelitian ini menunjukkan
bahwa dengan mengunyah permen karet ketika rasa haus muncul dapat
menurunkan level haus pasien penyakit ginjal dan meningkatkan sekresi dari
kelenjar saliva sehingga menjaga mulut dari kekeringan dan mengakibatkan berat
badan selama dua sesi hemodialisis lebih stabil.
Aktivitas regulator lainnya yang dilakukan pada pasien Nn. LM adalah
penatalaksanaan terapi pengganti ginjal yaitu terapi hemodialisis. Hemodialisis
adalah terapi pengganti ginjal yang metabolisme bertujuan untuk mengeluarkan
sampah metabolisme tubuh dan mengeluarkan kelebihan cairan dan elektrolit
tubuh melalui membran semipermeabel yang disambungkan dengan mesin dialisis
(Sukandar, 2006). Tindakan hemodialisis yang diprogramkan kepada pasien Nn.
LM dilakukan sebanyak 2 kali dalam seminggu dengan akses vaskuler double
lumen. Pasien kooperatif selama pelaksanaan hemodialisis dan kondisi fisik dan
hemodinamika pasien stabil saat hemodialisis stabil.
Evaluasi akhir pasien setelah dilakukan implementasi pada hari ke-14 dengan
pendekatan teori adaptasi Roy menunjukkan perilaku adaptif dimana masalah
keperawatan kelebihan cairan teratasi yang ditandai dengan tekanan darah 130/90
mmHg,Nadi 78 x/menit, pernapasan 20 x/menit, pasien sudah tidak tampak sesak,
edema pada ekstremitas tidak ada, tidak ada peningkatan vena jugularis, pasien
mampu mengontrol jumlah cairan yang masuk sebanyak 600-800 cc/24 jam,
balance cairan seimbang dan pasien dapat melakukan pengukuran dan perhitungan
balance cairan secara mandiri. Pasien juga menyatakan bahwa akan menaati
program terapi hemodialisis yang diprogramkan 2 kali dalam seminggu.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 104
79
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan masukan oral
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan sebagai
asupan nutrisi yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh
(NANDA, 2012-2014). Faktor resiko yang berhubungan dengan masalah ini
dalam NANDA 2012-2014 adalah faktor biologis dan ketidakmampuan dalam
mengabsorbsi nutrien. Faktor resiko yang berhubungan dalam NANDA 2012-
2014 berdasarkan pengkajian Roy adalah stimulus yang mempengaruhi terjadinya
perubahan perilaku, pada data terlihat bahwa stimulus yang mempengaruhi
adalah penurunan transportasi nutrisi pada tingkat sel yang diakibatan oleh intake
nutrisi yang tidak adekuat. Intake nutrisi yang tidak adekuat pada pasien penyakit
ginjal terminal dapat terjadi karena kadar uremia yang tinggi sehingga berakibat
secara fisiologis peningkatan asam lambung, mual dan reflek muntah pada sistem
pencernaan.
Pengkajian perilaku dalam mode fisiologis nutrisi pada pasien Nn. LM didapatkan
data pasien mengeluh tidak nafsu makan karena merasa mual. Pasien makan
hanya 1-2 sendok makan sekali makan dengan frekuensi makan 2 x/hari saat
dirumah (± 300 Kkal/Hari dari diet yang dianjurkan 1700Kkal/Hari). Saat
pengkajian pasien mengatakan mual dan muntah. Muntah sudah 3 kali sejak
bangun tidur jam 05.00 WIB (jumlah muntah ± 200 cc sekali muntah berisi sisa
makanan dan air). Sejak dirawat 2 hari yang lalu pasien makan hanya 1 sendok
makan nasi saja tanpa lauk dan sayur dengan frekuensi makan 2 x/hari. BB
sebelum sakit (1 bulan yang lalu) 65 kg dan BB saat ini 60 kg (turun 5 kg dalam 1
bulan), TB 155 cm, IMT : 24. Pemeriksaan fisik diperoleh data konjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, mukosa mulut kering, bising usus 10 x/menit.
Pemeriksaan biokimia (19/04/2014) : Hb: 9,8 g/dl , Ht: 30 %, GDS : 110 gr/dl
Dari data diatas terlihat bahwa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh merupakan masalah yang harus segera diatasi, karena kondisi ini akan
memberi dampak pada kondisi metabolik dan proses penyembuhan penyakit.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 105
80
Pasien penyakit ginjal tahap akhir juga menyebabkan keseimbangan nutrisi yang
berat akibat masukan yang tidak adekuat (mual dan muntah), gangguan
pemakaian glukosa dan sintesis protein, serta peningkatan katabolisme jaringan.
Asupan nutrisi yang kurang juga memberi dampak secara langsung terhadap
penurunan Hb dan albumin. Masalah nutrisi pada pasien penyakit ginjal terminal
juga dapat terjadi akibat kerusakan ginjal yang menyebabkan filtrasi glomerulus
protein plasma meningkat sehingga terjadi kebocoran pada filtrat glomerulus yang
menyebabkan proteinuria (protein plasma dan albumin keluar bersama urin).
Pembatasan asupan protein pada pasien penyakit ginjal tahap akhir juga dapat
memperburuk kekurangan nuptrisi (Price, 2006 dan ilmu penyakit dalam, 2006).
Nutrisi dan diet menjadi bagian penatalaksanaan yang penting pada pasien dengan
penyakit ginjal terminal terutama diet protein dan fosfat karena keduanya berasal
dari sumber makanan yang sama. Intervensi diet pada pasien penyakit ginjal
tahap akhir mencakup pengaturan yang cermat terhadap protein, asupan cairan
tubuh, asupan natrium dan pembatasan kalium (Smeltzer dan Bare, 2006).
Pembatasan asupan protein pada pasien dengan penyakit ginjal terminal akan
mengurangi sindrom uremia, asupan protein yang berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamika ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus yang dapat meningkatkan progresifitas perburukan ginjal ( ilmu
Penyakit Dalam, 2006).
Pada Nn. LM, ketidakseimbangan nutrisi terjadi karena kondisi peningkatan
uremia yang menimbulkan berbagai gejala seperti tidak nafsu makan, mual dan
muntah (Ilmu penyakit Dalam, 2006). Uremia pada pasien dengan penyakit ginjal
terminal dapat terjadi akibat penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh
berbagai penyebab penyakit. Peningkatan uremia akan meningkatkan gejala
keracunan uremik yang diperberat dengan berbagai keadaan seperti penurunan
atau terganggunya produksi hormon seperti hormon eritropoietien, renin dan
dihydrovitamin D3 serta kelainan metaolik lain yang menyertai (Chitokas,
Gunderman dan Oman, 2006).
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 106
81
Intervensi keperawatan yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah
keperawatan perubahan nutrisi meliputi : manajemen mual, monitoring nutrisi dan
manajemen nutrisi dengan melakukan aktivitas kognator dan aktivitas regulator
untuk meningkatkan adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus yang
mempengaruhi kondisi sakitnya hingga tercapai kondisi yang adaptif. Aktivitas
regulator dan cognator yang dilakukan meliputi : manajemen mual
(Menganjurkan makan sedikit tapi sering, makan dalam kondisi hangat, sering
melakukan perawatan gigi dan mulut); Manajemen nutrisi (Libatkan pasien dan
keluarga dalam perencanaan makanan, makan sesuai dengan diet yang dianjurkan,
Jelaskan rasional pembatasan diet & hubungannya dengan penyakit ginjal dan
peningkatan urea & kadar kreatinin; kolaborasi dengan ahli gizi tentang jumlah
kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan yaitu dengan memberikan diit Diet Ginjal
1700 kkal/hari,); Monitoring nutrisi (jumlah asupan makanan, mengkaji adanya
keluhan mual dan muntah, frekuensi makan, jenis makanan, pola makan, masukan
diet, pemasukan nutrisi dan kalori).
Hasil evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-6 didapatkan sebagian perilaku
adaptif, yang ditandai dengan pasien mengatakan badannya lemes, masih
merasakan mual dan tidak nafsu makan, makan habis 1/4 porsi saja. Hasil
evaluasi pada hari perawatan ke-14 menunjukkan perilaku terhadap adaptasi
kebutuhan perilaku adaptif yang ditandai dengan pasien lebih toleransi terhadap
kebutuhan makan dan menu makanan, pasien mulai menghabiskan ¾-1 porsi dari
menu yang disajikan oleh rumah sakit, pasien juga mengetahui menu atau
makanan yang harus dibatasi dan makanan yang harus dihindari untuk
dikonsumsi.
c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan menurunnya suplai oksigen jaringan
akibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (anemia), kelemahan
umum dan tidak adekuatnya intake nutrisi.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 107
82
Intoleransi aktivitas adalah suatu kondisi dimana seseorang yang tidak cukup
mempunyai energi baik secara fisiologis atau psikologis untuk bertaan atau
memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari. Batasan karakteristik dari definisi
intoleransi aktivitas meliputi ketidaknyamanan atau dispnea yang membutuhkan
pergerakan tenaga, melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal, denyut
jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respon terhadap aktivitas dan
adanya perubahan terhadap rekaman EKG selama aktivitas. Faktor yang
berhubungan dengan intoleransi aktivitas diantaranya : tirah baring (imobilisasi),
nyeri kronis, kelemahan umum dan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen (Wilkinson, 2007).
Pengkajian perilaku dalam mode fisiologis aktivitas pada pasien Nn. LM
didapatkan data saat pengkajian pasien masih terlihat lemah dan terlihat sesak
napas, perawatan diri dan mobilisasi dilakukan dengan bantuan keluarga dan
perawat, aktivitas BAB dan BAK dilakukan di kamar mandi dengan bantuan
perawat atau keluarga. Pasien mengatakan masih merasakan sesak napas dan
lemas dan bertambah sesak dan lemas terutama setelah berjalan dari kamar
mandi, tetapi pasien tidak mau BAK dan BAB di atas tempat tidur dan
menghendaki BAK dan BAB di kamar mandi. Penilaian resiko jatuh dengan nilai
Morse : 45 (Resiko Sedang). Berdasarkan data tersebut maka dapat dirumuskan
masalah keperawatan yang dialami pasien Nn. LM adalah intoleransi aktivitas.
Faktor yang mempengaruhi intoleransi aktivitas pada pasien dengan penyakit
ginjal terminal dapat disebabkan oleh menurunnya kapasitas pengangkutan
oksigen (anemia), kelemahan umum dan tidak adekuatnya intake nutrisi. Anemia
pada penyakit ginjal terminal dapat terjadi sebagai akibat dari produksi dari
hormon eritropoietien yang dihasilkan ginjal mengalami penurunan sehingga
ginjal gagal untuk menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit.
Faktor lain yang menyebabkan anemia pada penyakit ginjal terminal diantara
memendeknya usia eritrosit, intake nutrisi tidak adekuat dan resiko perdarahan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 108
83
terutama pada saluran gastrointestinal akibat status uremik yang tinggi pada
pasien penyakit ginjal terminal (Smeltzer dan Bare, 2006).
Intervensi keperawatan yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah
keperawatan intoleransi aktivitas meliputi : manajemen energi dan terapi aktivitas
dengan melakukan aktivitas kognator dan aktivitas regulator untuk meningkatkan
adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus yang mempengaruhi kondisi sakitnya
hingga tercapai kondisi yang adaptif. Aktivitas regulator yang dilakukan praktikan
utnuk mengatasi masalah intoleransi aktivitas, meliputi : mengkaji faktor yang
menimbulkan keletihan (anemia, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
dan depresi), memonitor intake nutrisi, mengawasi tanda vital sebelum dan
sesudah aktivitas, memantau respon oksigenasi pasien terhadap aktivitas,
meningkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri sesuai kemampuan dan
menganjurkan pasien beristirahat setelah dialisis. Sedangkan aktivitas kognator
yang dilakukan meliputi : menjelaskan kepada pasien penyebab keletihan,
mengajarkan kepada pasien teknik penghematan energi (melakukan BAK dan
BAB diatas tempat tidur dengan bantuan keluarga atau perawat serta melakukan
aktivitas sesuai kemampuan).
Hasil evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-11 didapatkan sebagian perilaku
adaptif, yang ditandai dengan pasien mengatakan badannya lebih segar dan
baikan, terutama setelah cuci darah, wajah tampak lebih segar tidak pucat. Hasil
evaluasi pada hari perawatan ke-14 menunjukkan perilaku terhadap adaptasi
kebutuhan perilaku adaptif yang ditandai dengan pasien lebih toleransi terhadap
aktivitas, pasien sudah mampu melakukan perawatan diri dan eliminasi BAB dan
BAK secara mandiri tanpa keluhan kelemahan dan keletihan, wajah lebih segar,
tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas stabil serta tidak ada keluhan sesak
napas.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 109
84
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon kecemasan terhadap
penyakit dan kebutuhan pengobatan
Gangguan pola tidur merupakan gangguan terhadap jumlah dan kuantitas tidur
(penghentian kesadaran secara alami dan periodik yang dibatasi waktu terhadap
jumlah dan kualitas tidur. Batasan karakeristikpada gangguan pola tidur dapat
berupa batasan karakteristik secara subjektif dan objektif. Batasan secara
subjektif, meliputi : bangun lebih awal, ketidakpuasan tidur, keluhan verbal
tentang kesulitan untuk tidur dan tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan
baik. Batasan secara objektif, meliputi : penurunan proporsi untuk tidur dalam
fase Rapid Eye Movement (REM), penurunan proporsi tidur tahap 3 dan 4,
peningkatan proporsi tidur tahap 1 dan imsomnia pada saat tidur. Faktor yang
berhubungan dengan gangguan pola tidur meliputi : ansietas, agen biokimia, dan
perlambatan atau kemajuan fase tidur (Wilkinson, 2007).
Pengkajian perilaku dalam mode fisiologis istirahat tidur pada pasien Nn. LM
didapatkan data saat pengkajian pasien mengatakan semalam tidak bisa tidur dan
sering terbangun jika tidur karena merasakan sesak dan nyeri di area perut atas.
Pasien juga kepikiran dengan penyakitnya yang makin burk dan harus dipasang
catheter double lumen (CDL) dan cuci darah terus menerus. Wajah pasien terlihat
letih, tidak tampak lingkar hitam disekitar mata. Berdasarkan hasil oengkajian
tersebut maka dapat dirumuskan masalah keperawatan yang muncul adalah
gangguan pola tidur.
Tidur merupakan proses bioligis yang bersiklus yang bergantian dengan periode
yang lebih lama dari kondisi terjaga (bangun). Tidur melibatkan suatu urutan
keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi tinggi aktivitas sistem saraf
pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf periferal, endokrin,
kardiovaskuler, pernapasan dan muskular. Kontrol dan pengaturan tidur
tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi
secara intermitten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan
terjaga. Secara normal pada orang dewasa pola tidur rutin dimulai dengan periode
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 110
85
sebelum tidur dan selama seseorang terjaga hanya pada rasa kantuk yang bertahap
berkembang secara teratur. Periode sebelum tidur, secara normal berakhir 10 -30
menit, tetapi untuk seseorang yang memiliki kesulitan untuk tertidur akan
berlangsung satu jam atau lebih (Perry & Potter, 2005).
Pasien dengan penyakit ginjal terminal sering mengalami keluhan terhadap
gangguan tidur termasuk insomnia, permulaan tidur yang tertunda dan henti napas
atau sesak napas saat tidur. Sulitnya untuk memulai tidur dan mempertahankan
tidur pada malam hari dapat mengakibatkan penurunan kewaspadaan dan
konsentrasi dan menguras energi sehingga berdampak terhadap kulaitas hidup
pasien dengan penyakit ginjal terminal (Afshar, Emany, Saremi, Shavandi and
Sanavi, 2011). Pasien juga dapat mengalami gangguan pola tidur akibat dari efek
hospitalisasi. Rumah sakit, fasilitas perawatan dan tindakan keperawatan dapat
menyebabkan gangguan dalam tidur atau mencegah pasien tertidur dalam waktu
biasanya. Kondisi lingkungan yang asing dapat juga mempengaruhi kemampuan
adaptas seseorang berhubungan dengan kebiasaan tidur. Jika siklus tidur-bangun
seseorang berubah secra bermakna maka akan menghasilkan kulaitas tidur yang
buruk. Gejala umum yang dapat muncul pada pasien dengan gangguan pola dan
kualitas tidur diantaranya kecemasan, mudah tersinggung dan gangguan penilaian
serta gangguan konsentrasi (Perry & Potter, 2005).
Pada pasien Nn. LM dengan masalah gangguan pola tidur rmemerlukan intervensi
yang tepat untuk mengatasi masalah keperawatan tersebut. Intervensi keperawatan
yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah keperawatan gangguan
pola tidur meliputi : sleep enhancement dengan melakukan aktivitas regulator dan
aktivitas kognator untuk meningkatkan adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus
yang mempengaruhi kondisi sakitnya hingga tercapai kondisi yang adaptif.
Aktivitas regulator yang dilakukan meliputi : monitor pola tidur dan jumlah jam
tidur pasien serta kualitas tidur pasien, membantu faktor yang menjadi penyebab
kesulitan tidur, menganjurkan pasien untuk mengurangi tidur pada siang hari.
Sedangkan aktivitas kognator yang diberikan kepada pasien Nn. LM meliputi :
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 111
86
menjelaskan pentingnya dan manfaat tidur bagi proses penyembuhan,
mendiskusikan dengan pasien dan keluarga pentingnya kenyamanan dan teknik
meningkatkan kemudahan untuk tidur. Kebiasaan tidur dan pola tidur yang
adekuat bermanfaat terhadap perkembangan kesehatan dan bermanfaat untuk
memelihara fungsi jantung (Perry & Potter, 2005).
Hasil evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-7 didapatkan sebagian perilaku
adaptif, yang ditandai dengan pasien mengatakan lebih mudah tertidur dan sudah
mampu beradaptasi dengan ruanga perawatan, pasien terkadang masih terbangun
saat malam hari, sesak napas kadang masih ada meski saat tidur. Hasil evaluasi
pada hari perawatan ke-14 menunjukkan perilaku terhadap adaptasi kebutuhan
perilaku adaptif yang ditandai dengan pasien lebih toleransi terhadap lingkuangan
di ruang perawatan, keluhan sesak napas saat tidur sudah tidak ada, pasien
mengatakan sudah tidak sering terbangun saat malam hari, kecuali jika haus dan
ingin BAK.
e. Cemas berhubungan dengan penyakit kronis, pengobatan yang lama dan
kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
Cemas merupakan suatu perasaan ketidaknyamanan berupa keresahan yang tidak
mudah yang disertai dengan respon autnomis dimana individu tidak mengetahui
sumbernya secara spesifik yang dapat disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
Batasan karakteristik yang menjadi asalah keperawatan cemas meliputi : gelisah,
imsomnia dan mengekspresikan keluhan akibat perubahan kejadian dalam hidup
(Wilkinson, 2007). Masalah keperawatan cemas dapat muncul pada Nn. LM
berdasarkan data pada pengkajian perilaku dan stimulus mode adaptasi konsep
diri ditemukan data bahwa pasien mengatakan takut mau menjalani cuci darah
(hemodialisis) dan takut mau dipasang catheter doubel lumen (CDL), pasien juga
takut dengan kondisi penyakitnya jika makin memburuk. Pasien terlihat cemas
saat mengungkapkan perasaannya.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 112
87
Kondisi sakit dan perkembangan penyakit yang dialami seseorang dapat
menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Reaksi emosi dan perilaku individu
bergantung pada asal penyakit, sikap klien dalam menghadapi penyakit, reaksi
orang lain dan orang yang berharga terhadap kondisi sakit yang dialaminya.
Penyakit dengan jangka waktu pendek dan tidak mengancam kehidupan akan
sedikit menimbulkan perubahan perilaku dalam fungsi pasien dan keluarga.
Sedangkan penyakit berat dan mengancam kehidupan dapat menimbulkan
perubahan emosi berupa kecemasan, syok, penolakan dan menarik diri. Penyakit
ginjal tahap akhir merupakan penyakit dengan perkembangan perburukan yang
progresif jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Penyakit ginjal tahap akhir
juga memerlukan terapi pengganti ginjal yang berkelanjutan dan berlangsung
seumur hidup. Kondisi inilah yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku dan
fungsi keluarga serta menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada pasien dan
keluarga (Perry & Potter, 2006).
Intervensi keperawatan yang diberikan kepada Nn. LM untuk mengatasi masalah
keperawatan cemas meliputi anxiety reduction dan relaxation therapy. Intervensi
keperawatan diberikan dengan melakukan aktivitas regulator dan aktivitas
kognator untuk meningkatkan adaptasi pasien terhadap berbagai stimulus yang
mempengaruhi kondisi sakitnya hingga tercapai kondisi yang adaptif. Aktivitas
regulator yang dilakukan meliputi : menjalin komunikasi dan hubungan saling
percaya dengan pasien dna keluarga, memberikan kesempatan kepada pasien
untuk mengungkapakan kecemasannya, mengkaji ketakutan dan kecemasan
pasien, mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan pasien untuk
mengurangi cemas, evaluasi perkembangan dan perubahan makna bagi pasien dan
keluarga, mengajarkan teknik relaksasi (tarik napas dalam, meditasi dan berdoa)
dan melibatkan keluarga untuk memberikan dukungan moril. Aktivitas kognator
yang dilakukan untuk mengatasi masalah cemas, meliputi : memberikan
pendidikan kesehatan tentang penyakit dan kemungkinan terapi yang harus
dijalani serta komplikasi dan kemungkinan perburukan dari penyakit.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 113
88
Hasil evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-7 didapatkan pasien mampu
mengatasi cemasnya dan menjadi adaptif, yang ditandai dengan pasien
mengatakan menjadi lebih paham dengan perkembangan penyakit dan kondisinya,
pasien menyatakan bersedia menjalani pengobatan dan perawatan yang dianjurkan
seperti pembatasan cairan, pemasangan CDL dan penatalaksanaan Hemodialisis
yang berlangsung seumur hidup. Pasien juga mengungkapkan tidak kuatir lagi
dengan penyakitnya karena semua keluarga mendukung dan memberikan motivasi
untuk segera sembuh.
f. Koping tidak efektif berhubungan dengan penyakit kronik, pengobatan yang
lama dan komplek serta kurang pengetahuan tentang koping yang efektif.
Koping tidak efektif merupakan ketidakmampuan dalam membuat penilaian yang
tepat terhadap stesor yang, ketidakmampuan untuk menggunakan sumber yang
tersedia dan ketidakmampuan bertindak secara adekuat terhadap respon atau
stimulus yang terjadi. Batasan karakteristik masalah keperawatan koping tidak
efektif meliputi : perubahan dalam pola berkomunikasi, ketidakmampuan dalam
mengatasi masalah dan meminta bantuan secara verbal, ketidakmampuan
memenuhi pran yang diharapkan dan penurunan dalam dukungan sosial
(Wilkinson, 2007). Pada pengkajian perilaku dan stimulus mode adaptasi konsep
diri ditemukan data bahwa pasien masih takut untuk dipasang CDL dan takut
untuk menjalani tindakan hemodialisis seumur hidup. Berdasarkan data tersebut
maka dapat dirumuskan masalah keperawtan yang muncul yaitu koping tidak
efektif berhubungan dengan penyakit kronik, pengobatan yang lama dan komplek
serta kurang pengetahuan tentang koping yang efektif.
Koping yang tidak efektif dapat menimbulkan respon yang negatif terhadap
mekanisme pertahanan tubuh, yang berakibat terhadap kemampuan adaptasi
seseorang terhadap berbagai perubahan situasi akibat penyakit kronis dan
pengobatan dan perawatan yang lama (Perry & Potter, 2006). Intervensi
keperawatan yang praktikan dan perawat ruangan lakukan untuk meningkatkan
mekanisme koping pasien Nn. LM meliputi memberikan dukungan spiritual,
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 114
89
melakukan komunikasi terapeutik, meningkatkan mekanisme koping dan
melakukan konseling tentang penyakit dan penatalaksanaan pengobatan dan
perawatan yang harus dijalani. Pemberian intervensi juga diberikan dengan
melakukan aktivitas regulator dan aktivitas kognator untuk meningkatkan adaptasi
pasien terhadap berbagai stimulus yang mempengaruhi kondisi sakitnya hingga
tercapai kondisi yang adaptif. Aktivitas regulator yang diberikan meliputi :
membantu pasien dalam menilai penyakit secara objektif, membantu pasien
menggunakan dan memanfaatkan support sistem yang tepat (keluarga dan teman
terdekat), mengidentifikasi harapan pasien dan memberikan pujian positif atas
koping yang positif.
Aktivitas kognator meliputi : memberikan pendidikan kesehatan tentang
manajemen stres, mendiskusikan dengan pasien tentang koping yang efektif dan
support sistem yang ada dan menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang
penyakit dan penatalaksanaan pengobatan dan perawatan agar pasien mampu
mengambil keputusan yang tepat tentang perawatan dan pengobatan. Hasil
evaluasi akhir pada Nn. LM pada hari ke-11 didapatkan pasien mampu
beradaptasi terhadap regimen pengobatan dan perawatan dan mampu
meningkatkan mekanisme koping menyatakan bersedia menjalani pengobatan dan
perawatan yang dianjurkan seperti pembatasan cairan, pemasangan CDL dan
penatalaksanaan Hemodialisis yang berlangsung seumur hidup. Pasien juga
mengungkapkan tidak takut lagi dengan prosedur pemasangan CDL dan terapi
hemodialisis.
3.2 Evidence Base Practice Cryotherapy Untuk Mengurangi Nyeri Kanulasi
Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis
Pada sub bab ini menguraikan pengalaman praktikan selama menjalani praktik
residensi di RSUP Fatmawati dalam menjalankan peran perawat spesialis dalam
melakukan praktik mandiri berbasis bukti tentang Cryotherapy (Kompres es)
dalam mengurangi nyeri saat penusukan arteriovenous fistula pada pasien PGTA
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 115
90
dengan hemodialisis di Unit hemodialisis IP2K (Bougenvile) RSUP Fatmawati
Jakarta.
Hemodialisis merupakan salah satu terapi penatalaksanaan pengganti ginjal pada
pasien dengan penyakit ginjal tahap. Dalam tindakan hemodialisis pasien
memerlukan pemasangan akses vaskuler yang berfungsi untuk mengalirkan darah
dari tubuh pasien ke mesin hemodialisis atau sebaliknya. Akses vaskuler
merupakan tindakan pungsi atau penusukan pada pembuluh darah vena dan arteri
yang bertujuan untuk mempermudah akses hemodialisis dalam meningkatkan
aliran darah vena ke dalam mesin hemodialisis (Dias, Neto & Coasta, 2008).
Terdapat tiga jenis akses yang digunakan untuk akses vaskular saat dilakukan
hemodialisis, yaitu Arteriovenous fistula (AVF), arteriovenous graft (AVG) dan
central venous cateter (CVC) (Votroubek & tobacco, 2010). Salah satu masalah
keperawatan yang dapat timbul dan sering dikeluhkan oleh pasien dengan
hemodialisis dari proses penusukan akses vaskuler adalah nyeri. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Hassan, Darwish, El-Samman dan Fadel (2012)
menyatakan bahwa nyeri yang disebabkan oleh kanulasi atau penusukan
arterivenous fistula merupakan salah satu kasus yang menjadi perhatian pada
pasien penyakit ginjal tahap akhir yang mendapatkan terapi hemodialisis baik
pada pasien anak dan dewasa.
Dari hasil pengamatan praktikan saat praktik residensi 1-2 di Ruang Hemodialisa
RSUP Fatmawati melihat bahwa masalah keperawatan nyeri merupakan masalah
utama yang sering dikeluhkan oleh pasien saat proses penusukan akses vaskuler
yang digunakan sebagai akses terapi Hemodialisis. Di RSUP Fatmawati 90%
pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis terpasang akses vaskuler berupa
cimino. Dan 80% menyatakan bahwa saat penusukan jarum pada akses vaskuler
pasien mengalami nyeri. Kualitas nyeri yang dirasakan pasien adalah nyeri sedang
hingga berat dengan rentang skala nyeri 5-8 dengan sifat nyeri adalah nyeri tajam,
yang berlangsung saat penusukan akses vaskuler. Dengan gejala objektif pasien
tampak meiringis kesakitan atau memegang tempat tidur pada saat penusukan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 116
91
jarum akses vaskuler berlangsung. Hal yang sudah dilakukan oleh perawat ruang
hemodialisis untuk mengurangi nyeri saat penusukan akses vaskuler adalah
meminta pasien untuk menarik napas dalam saat penusukan akses vaskuler
berlangsung.
Nyeri merupakan salah satu masalah keperawatan, dimana secara umum nyeri
adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat, menurut
International Association for Study of Pain (IASP) nyeri adalah pengalaman
perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Peran
perawat untuk mengatasi masalah nyeri pada pasien adalah dengan memberikan
asuhan keperawatan yang cepat dan tepat sehingga pasien dapat merasakan nyeri
yang minimal. Salah satu asuhan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi
nyeri yaitu dengan memberikan terapi farmakologi dan terapi non farmakologi.
Salah satu terapi non farmakologi yang dapat diterapkan oleh perawat
hemodialisis adalah dengan memberikan cryotherapy (Asmaa et al, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut di atas praktikan kemudian mengimplementasikan
intervensi keperawatan yang berbasis bukti tentang penggunaan cryotherapy
untuk mengurangi nyeri kanulasi pada pasien gagal ginjal kronik dengan
hemodialisis di Unit Hemodialisis Gedung IP2K (Bougenvil) RSUP Fatmawati
Jakarta.
3.2.1 PICO (Problem / Population / Patient, Interventiton, Comparative,
Outcome)
1. Problem /Population/Patient:
Pada klien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis, sebagian
besar mengalami nyeri pada saat penusukan jarum pada akses vaskuler terutama
pada akses arteriovena fistula (AV Fistula). Berdasarkan pengamatan praktikan
saat praktik residensi KMB 1-2 nyeri pada saat penusukan jarum akses vaskuler
AV Fistula pada pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis
masuk dalam kategori nyeri sedang hingga berat, dimana pasien biasanya
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 117
92
mengeluhkan nyeri, menyeringai kesakitan dan berpegangan pada pinggiran
tempat tidur untuk menahan nyeri.
2. Intervention
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi nyeri saat penusukan akses vaskuler
pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis adalah dengan
melakukan teknik cryotherapy pada tempat penusukan akses vaskuler.
3. Comparison Intervention
Intervensi pembanding yang praktikan berikan pada kelompok kontrol adalah
penggunaan manajemen distraksi nyeri menarik napas dalam saat dilakukan
kanulasi akses vaskuler AV Fistula pada kelompok kontrol.
4. Outcome
Dengan penerapan manajemen nyeri dengan cryotherapy, diharapkan pasien
penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis mengalami penurunan terhadap
kualitas dan rasa nyeri saat penusukan jarum akses vaskuler AV Fistula dilakukan.
3.2.2 Hasil Telaah Jurnal (Critical Review)
Penelusuran Evidence Based Practice (EBP) melalui Google Scholar dan
Proquest dengan kata kunci yang digunakan adalah akses vasculer, pain relief
and hemodialysis. Hasil penelusuran tersebut ditemukan beberapa artikel terkait
maupun jurnal yang terkait dengan penggunaan Cryotherapy (kompres es)
untuk mengurangi nyeri pada penusukan akses vaskuler arteriovenofistula pada
pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis dan selanjutnya dilakukan telaah
terhadap jurnal yang mendukung, yang meliputi :
1. The impact of cryotherapy on pain intensity at puncture sites of arteriovenous
fistula among childrend undergoing hemodialysis (Hassan, Darwish, Samman
dan Fadel, 2012)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan
Cryotherapy untuk mengurangi nyeri yang dirasakan secara subjektif pada
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 118
93
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis. Literatur yang
digunakan dalam jurnal ini mulai tahun 1988 sampai dengan tahun 2011.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan desain quasy
eksperiment dengan pre-post test dimana responden dibagi menjadi
kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Kriteria inklusi dalam penelitian
ini adalah usia 8-18 tahun, menjalani hemodialisis dengan akses vaskuler AV
Fistula, tidak mengalami peradangan atau infeksi kulit di sekitar tempat
penusukan AV Fistula. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data
adalah penilaian hasil isian kuesioner tentang karakteristik responden dan
pengukuran skala nyeri penusukan akses vaskuler. Uji Statistik yang
digunakan adalah chi squared dan paired t-test. Dari hasil penelitian terhadap
40 responden pada kelompok kontrol (hari 1) dan kelompok intervensi (hari
ke-2) memiliki perbedaan yang signifikan dengan nilai X2
= 24. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan Cryotherapy efektif digunakan untuk
mengurangi intensitas nyeri pada saat penusukan jarum akses vaskuler pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
2. Effect Of Cryotherapy on arteriovenous fistula puncture related pain in
hemodialysis patient (Sabitha, Khaka, Mahajan, Gupta, Agarwal dan Yadav,
2008)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan
Cryotherapy untuk mengurangi nyeri yang dirasakan secara subjektif pada
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis. Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen dengan 2 kelompok yang dipilih secara
acak untuk kelompok kontrol dan intervensi. Teknik penentuan sampel
penelitian ini menggunakan Non probability sampling dengan metode tabel
sampel acak. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien yang
terpasang akses vaskular arteri vena fistula / cimino, usia lebih sama dengan
16 tahun, secara mental dan fisik mampu berpartisipasi dan menyelesaikan
studi penelitian. Metode dan alat ukur yang digunakan dalam pengumpulan
data adalah penilaian hasil isian kuesioner dan lembar observasi terhadap
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 119
94
tanda objektif terhadap nyeri. Dari hasil penelitian ini terhadap 30 responden
pada kelompok eksperimen dengan p value 0,001 sedangkan pada kelompok
kontrol diperoleh p value 0,23. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan
yang signifikan terhadap efektivitas cryotherapy dapat mengurangi nyeri pada
saat penusukan jarum akses vaskuler pada pasien gagal ginjal kronik dengan
hemodialisis.
3.2.3 Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian
Pelaksanaan evidence based practice (EBP) mengacu pada penelitian yang
dilakukan oleh Hassan, Darwish, Samman dan Fadel, 2012; dan Sabitha, Khaka,
Mahajan, Gupta, Agarwal dan Yadav, 2008. Praktikan melaksanakan EBP
cryotherapy untuk mengurangi nyeri penusukan akses vaskuler arteriovenafistula
pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di ruang Hemodialisis
Gedung IP2K (Bougenvile) RSUP Fatmawati Jakarta. Pelaksanaan EBP diawali
dengan Pelaksanaan EBP diawali dengan prosedur perizinan pada pihak yang
terkait yaitu komite keperawatan, kepala instalasi gedung IP2K dan penanggung
jawab ruangan Hemodialisis RSUP Fatmawati dengan mengajukan proposal
EBP. Selanjutnya dilakukan sosialisasi dihadapan komite keperawatan, kepala
instalasi gedung teratai, kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat
primer serta perawat pelaksana di unit Hemodialisis.
Penerapan EBP ini mulai dilakukan pada April 2014 dengan melibatkan perawat
dan sesama mahasiswa residensi. EBP diawali dengan mengidentifikasi
pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan melihat status rekam medik
pasien dan observasi langsung ke pasien. Adapun kriteria inklusi adalah
pasien gagal ginjal dengan hemodialisis yang terpasang Akses Vaskuler
arteriovenafistula/cimino, usia pasien lebih sama dengan 16 tahun, secara mental
dan fisik mampu berpartisipasi dan menyelesaikan penerapan EBP. Selanjutnya
menjelaskan pada pasien tentang tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan EBP
dengan memberikan format informed consent.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 120
95
Prosedur EBP cryotherapy untuk mengurangi nyeri saat penusukan AV fistula
pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah (Hassan,
Darwish, El-Saman, dan Fadel, 2012) :
1. Pasien diminta untuk mengisi kuesioner yang berisi data demografi dan data
medis.
2. Praktikan memberikan alas di bawah ekstremitas yang akan dilakukan
Cryotherapy (Kompres Es) untuk mencegah basah pada laken tempat tidur
3. Praktikan memberikan baby oil (satu atau dua tetes) pada area penusukan
akses vaskuler fistula yang akan dilakukan Cryotherapy (Kompres Es)
4. kemudian lakukan Cryotherapy (Kompres Es) dengan gerakan memutar
perlahan secara sirkular dengan menggunakan batu ice di atas tempat
penusukan akses vaskuler. Gerakan sirkular yang dilakukan adalah sejauh 2-3
cm.
5. Prosedur cryotherapy dimulai 10 menit sebelum penusukan AV fistula dan
dilanjutkan sampai penusukan selesai dilakukan (sekitar 2 menit).
6. Setelah selesai penusukan praktikan melakukan observasi respon objektif
pasien terhadap nyeri seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, ungkapan verbal,
respon fisiologi (tanda-tanda vital) dan perilaku interpersonal.
7. Kemudian pasien juga diminta untuk menyebutkan skala nyeri yang dirasakan
(skala 1-10) saat penusukan Akses AV Fistula.
Pasien yang terlibat dalam pelaksanaan EBP ini adalah sebanyak 20 pasien yang
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu sebagai kelompok intervensi dan kelompok
kontrol. 10 pasien sebagai kelompok intervensi yaitu dilakukan Cryotherapy,
sedangkan 10 pasien sebagai kelompok kontrol yaitu tidak dilakukan
Cryotherapy. Pelaksanaan EBP Cryotherapy dilaksanakan sekali sewaktu dan
langsung dilakukan evaluasi terhadap skala nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 121
96
3.2.4 Hasil Penerapan Evidence Base Practice Cryotherapy Untuk
Mengurangi Nyeri Saat Penusukan Arterivenous Fistula Pada Pasien
Penyakit Ginjal Tahap Akhir dengan Hemodialisis
Hasil penerapan Evidence Base Practice Cryotherapy Untuk Mengurangi Nyeri
Saat Penusukan AV Fistula Pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir dengan
Hemodialisis disajikan dalam tabel sebagai berikut :
Diagram 3.1
Distribusi skala nyeri kanulasi Pre dan Post Intervensi
pemberian cryotheraphy pada Kelompok yang diberikan tindakan Cryotherapy
di Unit Hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati Jakarta
Pada diagram 3.1 menunjukkan bahwa setelah pemberian Cryotherapy
menunjukkan bahwa skala nyeri penususkan AV Fistula mengalami penurunan.
Pada diagram diatas menunjukkan pada kelompok intervensi sebelum dilakukan
Cryotherapy menunjukkan tidak ada pasien yang mengalami nyeri ringan dan
60% pasien mengalami nyeri berat. Sementara setelah dilakukan intervensi
Cryotherapi skala nyeri pasien menunjukkan 30 % pasien mengalami nyeri ringan
dan hanya 10% pasien yang mengalami nyeri berat.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
NyeriRingan
NyeriSedang
Nyeri Berat
Pre Cryotherapy
Post Cryotherapy
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 122
97
Diagram 3.2
Distribusi skala nyeri kanulasi Pre dan Post Intervensi
pemberian cryotheraphy pada kelompok yang tidak diberikan Cryotherapy
di Unit Hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati Jakarta
Pada diagram 3.2 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang tidak
mendapatkan Cryotherapy menunjukkan tidak terjadi penurunan kualitas nyeri
berdasarkan skala VAS. Jumlah pasien yang mengalami nyeri berat maupun nyeri
sedang masih dalam jumlah yang sama, yaitu 50 % pasien mengeluhkan nyeri
sedang dan 50% pasien juga mengeluhkan nyeri berat.
3.3 Kegiatan Inovasi Booklet Manajemen Hemodialisis pada Pasien Penyakit
Ginjal Tahap Akhir
Selama praktik residensi, praktikan dalam perannya sebagai perawat spesialis juga
menjalankan fungsinya sebagai leader/ pemimpin dan agen pembaharu dengan
melakukan inovasi dalam pemgembangan intervensi keperawatan. Kegiatan
inovasi dilakukan di instalasi Bougenville ruang hemodialisis RSUP Fatmawati
Jakarta. Kegiatan inovasi yang dilakukan adalah memberikan edukasi berupa
booklet kepada pasien PGTA yang rutin menjalani hemodialisis di unit
hemodialisis.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Nyeri Ringan NyeriSedang
Nyeri Berat
Pre Cryotherapy
Post Cryotherapy
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 123
98
3.3.1 Analisa Situasi
Awal pendiriannya pada tahun 1954 RSUP Fatmawati Jakarta mengkhususkan
sebagai rumah sakit untuk penderita TBC anak dan rehabilitasinya. Namun seiring
perkembangannya saat ini RSUP Fatmawati merupakan Rumah Sakit pendidikan
tipe A yang menjadi rumah sakit pusat rujukan terutama untuk wilayah Jakarta
Selatan. RSUP Fatmawati memiliki tugas pokok menyelenggarakan dan
melaksanakan fungsi perumahsakitan di Indonesia dibawah naungan kementrian
Kesehatan. RSUP Fatmawati juga menjadi pusat rujukan untuk pasien penyakit
ginjal terminal tahap akhir yang memerlukan penatalaksanaan Hemodialisis.
Sebagai rumah sakit rujukan RSUP Fatmawati melaksanakan peran dan fungsinya
melalui upaya pelayanan kesehatan promotif, kuratif, preventif dan rehabilitativ
secara terpadu.
\
RSUP Fatmawati sebagai sarana pelayanan publik selalu berusaha meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan yang terbukti pada bulan Desember tahun 2013 lalu
RSUP Fatmawati lulus standar Joint Commition International (JCI). RSUP
Fatmawati dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan sebagai
RS rujukan untuk terapi hemodialisis juga berusaha meningkatkan pelayanan bagi
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan meningkatkan ketersedian sarana dan
prasarana serta meningkatkan sumber daya manusia keperawatannya dengan
memberikan atau mengirimkan perawatnya untuk mengikuti pelatihan terkait
dengan kebutuhan dalam pengembangan unit hemodialisis.
Unit hemodialisa merupakan sarana pelayanan penunjang yang berada di bawah
instalasi rawat jalan Bougenville. Saat ini mesin hemodialisis yang tersedia di unit
hemodialisis sebanyak 20 buah mesin hemodialisis yang terdiri dari 10 buah
mesin Fresineus dan 10 buah mesin Nipro. Dua buah mesin hemodialisis di ruang
HCU Lantai V Selatan dan satu mesin hemodialisis di Ruang ICU RSUP
Fatmawati Jakarta. Perawat di ruang hemodialisis berjumlah 20 orang dengan
tingkat pendidikan rata-rata S1 Keperawatan dan D3 keperawatan yang sudah
memiliki sertifikasi pelatihan pelaksanaan hemodialisis. Pelayanan hemodialisis
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 124
99
pada pasien dilakukan rutin setiap hari sesuai jam kerja dari hari senin sampai
sabtu. Pelayanan hemodilisis terdiri dari 2 shift yaitu pagi dari jam 7.00 – 13.00
dan siang jam 11.00 – 20.00 WIB. Durasi waktu yang diberikan pada proses
hemodialisis adalah 4 jam setiap kali hemodialisis. Pada setiap shiftnya petugas
yang melaksanakan kegiatan hemodialisis berjumlah 7 – 8 orang termasuk kepala
ruang dan dokter yang bertanggung jawab pada pelaksanaan hemodialisis
tersebut. Bila ada kegiatan hemodialisis cito maka perawat yang melakukannya
adalah perawat yang terjadwal sesuai dengan hari pelaksanaan namun diutamakan
perawat yang bertugas shift sore.
Jumlah pasien yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis RSUP Fatmawati
setiap harinya sekitar 37-38 pasien. Berdasarkan observasi praktikan selama
praktek residensi 1, 2 dan 3 kami tidak melihat adanya pemberian pendidikan
kesehatan berupa tulisan (leaflet, booklet) kepada pasien yang menjalani
hemodialisis rutin maupun keluarga. Berdasarkan wawancara praktikan dengan
kepala instalasi Bougenville dan kepala ruang hemodialisis, sebelumnya mereka
pernah memberikan leaflet pendidikan kesehatan kepada pasien yang sumber
informasinya juga berasal dari mahasiswa residensi yang berpraktek di ruangan
hemodialisis tersebut. Namun dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami
hambatan karena panjangnya birokrasi dan biaya pengadaan yang tinggi terhadap
media tersebut, sehingga informasi tentang manajemen hemodialisis diberikan
secara langsung kepada pasien atau keluarga yang menanyakan kepada perawat.,
dan terkadang informasi diberikan oleh sesama pasien dengan saling bertukar
informasi yang mereka ketahui dari media lain.
Berdasarkan hasil observasi tersebut maka parktikan bersama kelompok memiliki
inisiatif untuk membuat booklet tentang manajemen hemodialisis sebagai media
dan sarana informasi tentang manajemen hemodialisis yang diperlukan untuk
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis yang menjalani terapi
hemodialisis di RSUP Fatmawati Jakarta. Booklet yang kami berikan informasi
tentang manajemen hemodialisis.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 125
100
Kegiatan inovasi pemberian booklet praktikan dan kelompok lakukan pada
minggu terakhir bulan april 2014 dan evaluasi dilakukan di awal minggu bulan
mei 2014. Booklet manajemen hemodialisis diberikan kepada pasien yang
menjalani terapi hemodialisis sebanyak 60 booklet. Booklet manajemen
hemodialisis yang kani buat dan berikan kepada pasien berisi tentang 1) pengantar
ginjal beserta fungsinya, 2) pengobatan PGTA, 3) apa yang harus dilakukan
selama menjalani hemodialisis diantaranya mengontrol gula darah, menjaga
tekanan darah dalam batas normalnya penderita PGTA, mengontrol kolesterol,
mengikuti aturan diet ginjal, membatasi pemasukan cairan, cara mensiasati rasa
haus dan melakukan olah raga teratur, 4) cara mengatasi rasa gatal (pruritus).
Booklet yang kami berikan juga kami sertakan lembar pencatatan harian status
cairan (berat badan harian pasien, tekanan darah) dan nilai laboratorium
(hemoglobin, ureum dan Cretainin) pasien selama pasien menjalani hemodialisis.
Selama ini berdasarkan hasil wawancara dan observasi praktikan beserta
kelompok kepada pasien, pencatatan data pasien berupa berat badan sebelum dan
sesudah hemodialisis, tanda vital pasien (tekanan darah, nadi dan frekuensi
napas), dan hasil pengukuran laboratorium sebelum dan sesudah hemodialisis
hanya ditulis pada rekam medik pasien saja, sehingga pasien kadang lupa dan
tidak dapat mengontrol secara mandiri. Dengan pencapaian evaluasi yang
diharapkan oleh praktikan dan kelompok adalah berupa evaluasi terhadap perawat
(peran serta perawat dalam pemberian edukasi melalui booklet) dan evaluasi
terhadap pasien (pengetahuan pasien dan pasien membawa booklet untuk
melakukan pencatatan harian selama menjalani hemodialisis).
3.3.2 Kegiatan Inovasi
Kegiatan dalam inovasi pemberian booklet meliputi berbagai tahap, diantaranya :
1. Tahap persiapan
Pada tahap ini praktikan melakukan wawancara baik pada pasien, perawat
pelaksana dan perawat primer serta kepala ruangan, melakukan observasi
kegiatan-kegiatan di unit hemodialisa untuk memperoleh fenomena/gambaran
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 126
101
masalah klinik yang muncul terkait program inovasi yang akan dilakukan.
Praktikan melakukan identifikasi dan mengadakan pendekatan untuk
mendiskusikan fenomena yang ditemukan dan rencana inovasi yang dapat
dilakukan di ruangan dengan kepada kepala ruangan, perawat primer, dan
clinical instructur (CI). Persiapan selanjutnya adalah pembuatan proposal
yang dikonsultasikan kepembimbing akademik dan selanjutnya persiapan
pembuatan booklet serta sosialisasi.
Booklet yang dibuat berisikan tentang manajemen pasien hemodiaisis yaitu
mengenai pembatasan cairan, diet makanan, olah raga teratur,
penatalaksanaan gatal pada pasien penyakit ginjal terminal serta dilengkapi
dengan lembar pencatatan keseimbangan cairan yang harus dijaga pada
pasien penyakit ginjal terminal. Dalam pembuatan booklet setiap mahasiswa
residensi kelompok perkemihan bertanggungjawab pada materi yang telah
diberikan. Praktikan sendiri bertanggungjawab dalam pembuatan materi
diet dan nutrisi pada pasien penyakit ginjal terminal. Dalam membuat materi
yang menjadi tanggungjawab praktikan dilakukan dengan mencari sumber
yang up to date dengan melakukan penelusuran baik di media internet dan
buku. Setelah diperoleh sumber materi maka praktikan mengkonsultasikan
terlebih dahulu dengan pembimbing akademik.
2. Desiminasi Awal Program Inovasi
Program desiminasi awal dimulai dengan pembuatan proposal kegiatan
program inovasi dan media yang digunakan. berupa booklet yang diperlukan
untuk pelaksanaan program inovasi mengenai manajemen hemodialisis pada
pasien penyakit ginjal terminal. Proposal kegiatan dikonsultasikan kepada
pembimbing klinik dan pembimbing akademik, yang kemudian
disosialisasikan kepada kepala ruang dan staf perawat dan dokter penanggung
jawab di unit hemodialisis IP2K Gedung Bougenvile RSUP Fatmawati.
Langkah selanjutnya adalah mempresentasikan proposal inovasi yang
dilakukan pada tanggal 27 Maret 2013. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 127
102
komite keperawatan, kabid keperawatan, kepala Instalasi, supervisor
instalasi, kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat primer,
pembimbing klinik dan pembimbing akademik.
3. Tahap Pelaksanaan
Pada pelaksanaan edukasi dengan media booklet ini awalnya praktikan
melakukan identifikasi pasien hemodialisis yang sesuai dengan kriteria,
kemudian praktikan membuat kontrak terlebih dahulu dengan menjelaskan
pada pasien tujuan dan prosedur penerapan edukasi. Selanjutnya praktikan
memberikan edukasi dengan menjelaskan isi yang terdapat di dalam booklet
manajemen hemodialisis. Edukasi diberikan secara bertahap pada masing-
masing pasien dan keluarga sesuai dengan kemampuan dan kesiapan pasien.
Edukasi diberikan saat pasien menjalani sesi hemodialisis dengan pemberian
edukasi selama 15 - 30 menit pada masing-masing. Evaluasi pasien
dilakukan pada minggu kemudian setelah pemberian materi dan booklet
manajemen hemodialisis tersebut.
3.3.3 Tahap Evaluasi
Evaluasi kegiatan dilakukan setelah 1 minggu pelaksanaan inovasi. Evaluasi yang
dilakukan meliputi :
1. Evaluasi Proses
Proses pelaksanaan kegiatan inovasi ini yang diawali dengan pembuatan
proposal, sosalisasi dan tahap pelaksanaan berjalan dengan baik dan
memperoleh dukungan yang penuh dari pihak ruangan dan manajemen RS
maupun fungsional. Pasien juga merasa terbantu dengan adanya booklet,
karena pasien menjadi lebih tahu dan dapat memantau perkembangan
kesehatannya dan memantau pembatasan cairan yang dibutuhkan pasien.
Pihak manajemen RS sangat mengharapkan bahwa booklet ini dapat diadakan
di RSUP Fatmawati untuk memfasilitasi dan meningkatkan edukasi pasien
tentang manajemen hemodialsis pasien penyakit ginjal tahap akhir.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 128
103
Dalam evaluasi proses ini juga dilakukan evaluasi terhadap peran serta
perawat yang ada diruang hemodialisis dalam pelaksanaan pemberian edukasi
menggunakan booklet ini. Menurut perawat hemodialisis metode edukasi
dengan pemberian booklet lebih efektif karena menimbulkan minat dan
keinginana pasien untuk membaca booklet dan meningkatkan motivasi pasien
untuk mengikuti saran yang disampaikan didalam isi booklet. Perawat di
ruang hemodialisis juga menilai bahwa pelaksanaan edukasi dengan metode
pemberian booklet akan meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga
tentang manajemen pasien hemodialisis.
2. Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil dilakukan pada 20 pasien hemodialisis yang mendapatkan
edukasi dengan pemberian booklet manajemen hemodialisis. Evaluasi yang
dilakukan adalah menilai pengetahuan pasien tentang manajemen
hemodialisis seperti yang sudah dituliskan di dalam booklet dan
mengevaluasi apakah pasien membawa kembali booklet setiap melakukan
hemodialisis serta melakukan pencatatan terhadap kenaikan berat badan,
tanda vital dan nilai pemeriksaan laboratorium. Evaluasi mengenai
pengetahuan yang dilakukan meliputi tentang hal apa saja yang harus pasien
hemodialisis lakukan selama menjalani hemodialisis. Evaluasi tentang
pengetahuan dan pemahaman pasien didapatkan bahwa dari 20 pasien yang
dilakukan evaluasi, terdapat sebanyak 50 % pasien sudah memahami dan
mampu menjelaskan kembali manajemen pasien hemodialisis sesuai dengan
isi booklet yang diberikan. Dan evaluasi terhadap pencatatan, dari 20 pasien
terdapat sebanyak 90 % pasien membawa kembali booklet dan mengisi data
tentag dirinya saat menjalani hemodialisis.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 129
104
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam sub bab ini memaparkan tentang analisis hasil penerapan Teori Adaptasi
Roy dalam pemberian asuhan keperawatan dengan gangguan sistem perkemihan
yang berbagai klasifikasi atau kategori kasus, menjelaskan tentang penerapan
evidence base practice cryotherapy untuk mengurangi nyeri saat penusukan
arterivenous fistula pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis
dan menjelaskan tentang pelaksanaan inovasi pemberian booklet manajemen
hemodialisis pada pasien penyakit ginjal tahap akhir.
4.1 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy
Dalam pemberian dan pelaksanaan asuhan keperawatan yang praktikan lakukan
dalam praktik residensi spesialis peminatan sistem perkemihan ini praktikan
menggunakan pendekatan teori keperawatan Adaptasi Roy. Teori keperawatn
adaptasi Roy praktikan gunakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan sisitem perkemihan karena dalam teori adaptasi Roy
menjelaskan dan menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan
kemampuan adaptasinya terhadap berbagai perubahan perilaku dan psikologis
untuk meningkatkan kesehatannya. Dalam teori adaptasi Roy merubah perilaku
yang tidak adaptif menjadi perilaku yang adaptif terhadap perkembangan kondisi
sakit yang dapat terjadi karena penyakit kronis dan penatalaksanaan perawatan
dan pengobatan yang lama seperti pada berbagai kasus pada pasien dengan
gangguan sistem perkemihan (Roy & Andrew, 1999 dalam Phillip, 2006).
Selama praktik residensi yang praktikan selesaikan dari tanggal 9 september 2013
sampai tanggal 9 mei 2014 di RSUP Fatmawati jakarta, praktikan memaparkan
asuhan keperawatan yang menjadi kasus kelolaan utama dengan penyakit ginjal
tahap akhir. Selain kasus kelolaan utama, praktikan juga melakukan dan
memaparkan laporan kasus kelolaan yang menjadi resum asuhan keperawatan
pada 34 kasus lainnya dengan gangguan sistem perkemihan. Kasus yang menjadi
104
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 130
105
kelolaan praktikan selama praktik residensi sebagian besar adalah kasus dengan
penyakit ginjal yaitu 20 kasus, selanjutnya adalah kasus dengan kegawatan pada
sistem perkemihan : 3 kasus, kasus obstruksi : 7 kasus, kasus dengan keganasan
sistem perkemihan : 3 kasus dan kasus dengan trauma sistem perkemihan : 1
kasus.
4.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis
Dalam mode adaptasi fenomena masalah yang ditemukan berbeda pada masing-
masing kasus. Intervensi keperawatan yang diberikan juga disesuaikan dengan
masalah yang muncul pada masing-masing kasus. Kasus yang praktikan temukan
selama praktik residensi, praktikan klasifikasikan menjadi beberpa kasus,
diantaranya :
1. Kasus Penyakit Ginjal
Kasus renal disease yang praktikan temukan dan kelola selama praktik residensi
spersialis terdapat 20 kasus dengan penyakit ginjal tahap akhir. Beberapa
fenomena yang praktikan temukan selama pengelolaan kasus renal disease dengan
penyakit ginjal tahap akhir memiliki kesamaan diantaranya adanya keluhan sesak
napas yang semakin memberat dengan suara napas ronkhi (+), cepat merasa lelah,
adanya keluhan edema terutama edema pada kedua ekstremitas dan adanya
ascites, adanya peningkatan tekanan vena jugularis yang menandakan adanya
masalah kelebihan volume cairan pada pasien, keluhan mual, tidak nafsu makan,
pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan nilai ureum dan creatinin.
Masalah keperawatan yang menjadi masalah keperawatan juga memiliki
kesamaan yaitu kelebihan volume cairan dan elektrolit, intoleransi aktivitas dan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, resiko penurunan curah jantung
dan gangguan integritas kulit. Dari semua masalah keperawtan yangmuncul
tersebut, masalah keperawatan utama yang terdapat pada pasien dengan penyakit
ginjal tahap akhir adalah kelebihan volume cairan dan elektrolit, intoleransi
aktivitas dan perubahan nutrisi.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 131
106
Berbagai masalah keperawatan yang muncul diakibatkan oleh kerusakan nefron
ginjal lebih dari 75 % sehingga mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus
dan mengakibatkan terjadinya retensi cairan dan elektrolit didalam tubuh dan
terjadi kelebihan volume cairan dan elektrolit dan meningkatnya akumulasi
uremia di dalam tubuh (Price, 2006; Smeltzer and Bare, 2006). Asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien denganpenyakit ginjal tahap akhir
bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan yang muncul dan
mengadaptasikan pasien terhadap perubahan yang muncul baik secara fisik
maupun psikologis berdasarkan teori adaptasi Roy.
Intervensi keperawatan yang diberikan untuk mengatasi masalah keperawatan
tersebut meliputi berbagai aktivitas regulator dan kognator yang diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan adaptasi pasien dalam mengatasi masalah keperawatan
yang muncul. Intervensi yang diberikan meliputi : monitor cairan, manajemen
cairan, manajemen mual, manajemen nutrisi dan manajemen terapi pengganti
ginjal. Manajemen terapi pengganti ginjal yang dilakukan kepada pasien saat
praktikan memberikan asuhan keperawatan sebagian besar yaitu 19 kasus
menggunakan hemodialisis dan hanya satu kasus menggunakan peritoneal dialisis.
Pada kasus renal disease dengan penyakit ginjal tahap akhir, penerapan teori Roy
sangat tepat karena pada pasien penyakit ginjal tahap akhir memerlukan berbagai
adaptasi dan penerimaan terhadap perkembangan penyakit dan terhadap
penatalaksanaan perawatan dan pengobatan yang lama termasuk terapi pengganti
ginjal yang membutuhkan penanganan seumur hidup. Bentuk adaptasi pada pasien
dengan penyakit ginjal tahap akhir diantaranya adalah kemampuan beradaptasi
terhadap masalah perburukan penyakit ginjal tahap akhir, adaptasi terhadap
pembatasan cairan dan adaptasi terhadap terapi pengganti ginjal seperti
hemodialisis dan peritoneal dialisis. Kemampuan adaptasi yang baik dan
kepatuhan terhadap berbagai regimen penatalaksanaan pengobatan dan perawatan
pasien akan menurunkan mortalitas dan meningkatkan kualitas hidup pasien
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 132
107
penyakit ginjal tahap akhir (Smeltzer dan Bare, 2008 dan Cleary & Drennan,
2005).
2. Kasus Kegawatan Sistem Perkemihan
Kasus kegawatan sistem perkemihan juga merupakan kasu kegawatan yang
memerlukan penanganan yang tepat dan cepat, untuk mencegah perburukan dan
komplikasi dari penyakit. Kasus kegawatan sistem perkemihan yang praktikan
berikan asuhan keperawtaan terdapat tiga kasus dengan kegawatan pada penyakit
ginjal tahap akhir. Kegawatan pada penyakit ginjal tahap akhir yang sering
praktikan temukan adalah gangguan pada pernapasan yang berupa sesak napas
berat akibat adanya kelebihan volume cairan dan elektrolit. Pasien penyakit ginjal
tahap akhir datang ke ruang instalasi gawat darurat dikarenakan adanya keluhan
sesak napas yang memberat, adanya riwayat edema ekstremitas, ascites dan
edema seluruh tubuh yang tidak membaik dengan obat-obatan yang diminum serta
adanya keluhan badan semakin lemas. Masalah keperawatan yang sering muncul
adalah kelebihan volume cairan dan elektrolit dan gangguan pola napas tidak
efektif.
Intervensi kegawatan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir terhadap keluhan
pernapasan pasien adalah pemberian terapi oksigenasi untuk meningkatkan status
oksigenasi dan ventilasi serta perfusi pasien dan meningkatkan kenyamanan
pasien, kemudian ditindaklanjuti dengan kolaborasi pemberian lasix (diuretik)
sebagai terapi diuresis dan tindakan hemodialisis cito sebagai penatalaksanaan
awal dari kelebihan voleme cairan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir.
Menurut analisis praktikan penerapan teori keperawatan adaptasi Roy pada kasus
kegawat daruratan akut tidak dapat diterapkan secara langsung, yang disebabkan
pasien biasanya datang dalam kondisi kegawatdaruratan berupa sesak napas yang
berat yang disertai dengan edema derajat 3 pada ekstremitas dan ascites, bahkan
terkadang pasien sudah datang dalam kondisi penurunan kesadaran sehingga
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 133
108
memerlukan penatalaksanaan yang segera untuk mengatasi gejala yang
mengganggu ataupun gejala yang mengancam nyawa.
Intervensi keperawatan sesuai teori adaptasi Roy baru dapat dilaksanakan saat
tanda vital pasien sudah stabil dan saat dalam pemantauan di ruang IGD asuhan
keperawatan yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan adaptasi pasien
terhadap kelanjutan intervensi yang diberikan untuk mengatasi situasi kegawatan
tersebut. Intervensi keperawatan yang diberikan untuk mengatasi masalah
keperawatan tersebut meliputi aktivitas regulator dan kognator yang terdiri dari :
monitoring status cairan pasien, manajemen cairan pasien dan penatalaksanaan
terapi hemodialisis cito.
3. Kasus Obstruksi Sistem Perkemihan
Obstruksi sistem perkemihan merupakan suatu kondisi kelainan atau gangguan
sistem perkemihan yang disebabkan oleh adanya sumbatan. Kasus obstruksi
sistem perkemihan yang akan praktikan paparkan dan menjadi kelolaan praktikan
selama praktik residensi adalah obstruksi akibat batu ginjal dengan 2 pasien
obstruksi batu ureter, 1 pasien batu pielum, 2 pasien dengan BPH dan 2 pasien
dengan hidronefrosis. Berdasarkan pengkajian perilaku dan stimulus
menunjukkan bahwa pasien memiliki perilaku inefektif pada mode fisiologis.
Pada pasien dengan batu ginjal dan batu ureter pengkajian terhadap mode
fisiologis ditunjukkan dengan pasien mengeluhkan nyeri di daerah pinggang yang
menjalar ke paha pada pasien dan nyeri yang bersifat terus menerus. Masalah
keperawatan yang dirumuskan pada pasien dengan kasus batu ureter, batu ginjal
dan hidronefrosis diantaranya adalah nyeri akut, perubahan pola eliminasi dan
resiko infeksi. Pada pasien BPH perilaku inefektif pada mode fisiologis meliputi
nyeri di daerah vesika urinaria, ketidakmampuan dalam mengosongkan kandung
kemih, kencing menetes dan kencing lebih sering dan tidak lampias. Sedangkan
masalah utama yang dapat muncul pada pasien dengan BPH diantaranya retensi
urin, nyeri akut yang berhubungan dengan kontraksi dan distensi vesika urinaria
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 134
109
atau tindakan pembedahan atau operasi Trans Uretral Resection Prostate (TURP).
Tujuan umum penatalaksanaan terhadap gangguan obstruksi meliputi
mengidentifikasi dan memperbaiki penyebab obstruksi, menangani infeksi yang
terjadi, mengatasi nyeri dan mempertahankan serta melindungi fungsi renal
(Smeltzer dan Bare, 2008).
Nyeri yang terjadi pada pasien batu ureter atau batu ginjal berbeda penyebabnya
dengan nyeri yang terjadi pada pasien BPH. Nyeri sendiri merupakan suatu
pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan yang dihubungkan
dengan kerusakan jaringan secara aktual maupun potensial. Nyeri merupakan
hasil stimulasi reseptor sensorik yang meghasilkan reaksi ketidaknyamanan,
distress atau menderita. Nyeri juga didefinisikan sebagai rasa tidak nyaman
dengan awitan yang tiba-taba atau perlahan dari intensitas ringan hingga berat
yang dapat diantisipasi sebelumnya dengan durasi kurang dari enam bulan (Perry
& Potter, 2006 dan Wilkinson, 2007). Nyeri pada pasien dengan batu ureter dan
batu ginjal dapat terjadi akibat proses peradangan adanya benda asing (batu) pada
saluran kemih yang dapat mengakibatkan meningkatnya sekresi mediator kimia
dari proses peradangan tersebut (Prostaglandin, kinin, histamin) yang
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan menimbulkan keluhan nyeri.
Nyeri pada batu ginjal dapat bervariasi dari nyeri ringan hingga nyeri berat
(kolik), dimana kondisi nyeri dipengaruhi oleh letak batu dalam saluran
perkemihan. Batu yang terletak di ureter lebih bersifat nyeri berat (kolik) dan
tajam (Price, 2006 dan Smeltzer dan Bare, 2008).
Pada pasien BPH pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urin, yang berakibat lanjut peningkatan tekanan
intravesikel sehingga buli-buli berkonstraksi lebih kuat untuk mendorong urin
keluar. Tekanan intravesikel juga akan menimbulkan aliran balik urin dari buli ke
ureter (refluks vesikoureter) dan berakibat juga banyak urin yang tertahan didalam
vesika urinaria akan mengakibatkan terjadinya distensi kandung kemih, sehingga
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 135
110
menambah keluhan nyeri yang dirasakan oleh pasien dengan BPH (Purnomo,
2011).
Untuk mengatasi nyeri yang terjadi pada obstruksi sistem perkemihan intervensi
spesifik yang dilakukan adalah dengan melakukan aktivitas regulator dan
cognator yang meliputi: pemantauan tanda vital, mengkaji penyebab nyeri dan
karakteristik nyeri yang dirasakan, manajemen nyeri, manajemen lingkungan dan
pemberian edukasi tentang penyakit serta kolaborasi pemberian analgetik
(ultracet, asam mefenamat). Intervensi keperawatan untuk manajemen nyeri
meliputi latihan relaksasi seperti nafas dalam, guided imagery, terapi distraksi dan
relaksasi otot progresif. Hasil evaluasi menunjukkan rata-rata pasien dapat
menunjukkan perilaku adaptif pada hari ke-4 sampai hari ke-7 perawatan, yang
ditunjukkan dengan pasien dapat mengontrol nyeri dan mampu melakukan
manajemen nyeri.
Untuk mengatasi masalah retensi urin pada pasien obstruksi juga dilakukan
intervensi keperawatan melalui adaptasi terhadap aktivitas regulator dan cognator
yang meliputi melakukan perawatan retensi urin, kateterisasi urinari, perawatan
kateter urin dan irigasi kandung kemih. Pada pasien BPH sebelum kateter dilepas
pasien juga dilakukan bladder training dan juga diajarkan keagel exercise untuk
menghindari kejadian inkontinensia urin akibat pemakaian kateter yang lama.
Hasil evaluasi didapatkan rata-rata pasien BPH menunjukkan perilaku adaptif
eliminasi urin pada hari ke-7 post operasi TURP dan pasien dianjurkan untuk
pulang setelah hari perawatan ke-7.
Penggunaan teori adaptasi Roy dapat digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan obstruksi sistem perkemihan. Teori
adaptasi Roy dapat meningkatkan kemampuan adaptasi pasien karena pada pasien
dengan gangguan osbtruksi juga memerlukan peningkatan keefektifan adaptasi
terhadap perubahan fisik, perubahan psikologs dan perawatan atau
penatalaksanaan medis seperti pemasangan kateter yang lama pada pasien dengan
BPH.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 136
111
4. Kasus Keganasan Sistem Perkemihan
Pasien kasus keganasan sistem perkemihan yang praktikan kelola terdapat 2
kasus, yaitu kasus dengan kanker prostat yang pasien kelola di poli rawat jalan
saat pasien melakukan kontrol dan kasus dengan tumor buli yang praktikan
berikan asuhan keperawatan di ruang bedah lantai IV utara. Pengkajian perilaku
yang ditunjukkan pada mode fisiologis adalah adanya retensi urin, pasien
mengalami hematuria dengan perdarahan masif, adanya bekuan darah pada urin
dan adnya keluhan nyeri yang dirasakan pasien dengan karakteristik nyeri berat
dan terasa panas. Berdasarkan data hasil pengkajian tersebut maka diagnosa
keperawatan yang dapat dirumuskan adalah perubahan pola eliminasi urin (retensi
urin) berhubungan dengan adanya obstruksi mekanik saluran perkemihan (tumor
buli); nyeri akut berhubungan dengan tindakan reseksi tumor bladder dan
perdarahan masif serta resiko syok hipovolemik berhubungan dengan adanya
perdarahan masif.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
keperawatan yang muncul pada kasus keganasan sistem perkemihan meliputi
manajemen nyeri (teknik relaksasi menggunakan relaksasi napas dalam, guide
imagery, distraksi, kolaborasi analgetik), manajemen eliminasi urin (mengkaji
kepatenan eliminasi dan jumlah urin, kepatenan drainase urin), pemasangan
kateter urin, mempertahankan kepatenan kateter, memonitor intake dan output
cairan, memonitor tanda dan gejala retensi urin dan kolaborasi dalam irigasi
kandung kemih, dan monitor perdarahan. Hasil evaluasi menunjukkan pasien
menunjukkan respon yang adaptif, terhadap program perawatan dan rencana
program pengobatan kemoterapi dan dapat menunjukkan perilaku adaptif dengan
mengikuti prosedur yang direncanakan.
Pada kasus kanker prostat yang pasien kelola di poli rawat jalan asuhan
keperawatan berdasarkan teori adaptasi Roy tidak dapat diterapkan dengan
maksimal, karena singkatnya waktu kunjungan pasien dan singkatnya kesempatan
pasien untuk mendapatkan perawatan dari praktikan. Intervensi yang diberikan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 137
112
meliputi manajemen nyeri (teknik relaksasi menggunakan relaksasi napas dalam,
guide imagery, distraksi, kolaborasi analgetik).
Hasil evaluasi menunjukkan pasien menunjukkan respon yang adaptif, terhadap
program perawatan dan rencana program biopsi, pasien dapat menunjukkan
perilaku adaptif dengan mengikuti prosedur yang direncanakan, tetapi pasien
belum mampu beradaptasi terhadap kemungkinan perubahan fisik dan psikologi
setelah dilakukan biopsi dan pasien masih mengungkapkan cemas dengan
prosedur biopsi yang akan dijalani.
5. Kasus Trauma Sistem Perkemihan
Pasien kasus keganasan sistem perkemihan yang praktikan kelola terdapat 1kasus,
yaitu trauma uretra. Traumam uretra yang terjadi pada pasien tersebut adalah
akibat benturan keras yang mengenai uretra yang menyebabkan uretra terputus.
Berdasarkan pengkajian perilaku yang ditunjukkan pada mode fisiologis diperoleh
data pasien BAK darah pada awal kejadian dan 8 jam kemudian tidak bisa BAK
secara spontan serta vesika urinaria teraba penuh, nyeri dengan kualitas berat
seperti perih dan teriris dengan skala nyeri 7-8. Berdasarkan data hasil pengkajian
tersebut maka diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan adalah nyeri akut
berhubungan dengan terputusnya inkontinuitas jaringan dan perubahan pola
eliminasi urin (retensi urin) berhubungan dengan terputusnya saluran kemih.
Untuk mengatasi nyeri yang terjadi pada obstruksi sistem perkemihan intervensi
spesifik yang dilakukan adalah dengan melakukan aktivitas regulator dan
cognator yang meliputi: mengkaji penyebab nyeri, karakteristik nyeri yang
dirasakan, pemantauan tanda vital dan manajemen nyeri, manajemen lingkungan
dan kolaborasi pemberian analgetik (ultracet, asam mefenamat). Intervensi
keperawatan untuk manajemen nyeri meliputi latihan relaksasi seperti nafas
dalam, guided imagery, terapi distraksi dan relaksasi otot progresif. Hasil evaluasi
menunjukkan pasien dapat menunjukkan perilaku adaptif pada hari ke-3 sampai
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 138
113
hari ke-7 perawatan, yang ditunjukkan dengan pasien dapat mengontrol nyeri dan
mampu melakukan manajemen nyeri.
Untuk mengatasi masalah perubahan pola eliminasi urin (retensi urin)
berhubungan dengan terputusnya saluran kemih juga dilakukan intervensi
keperawatan melalui adaptasi terhadap aktivitas regulator dan cognator yang
meliputi melakukan pemasangan kateter sistotomi, perawatan kateter sistotomi,
serta edukasi tentang manfaat pemasangan sistotomi dan perawatannya. Pasien
juga diajarkan dan dilatih utnuk mampu beradaptasi terhadap alternatif
penatalaksanaan untuk mengatasi masalah perubahan pola eliminas dengan
pemasngan sistotomi. Hasil evaluasi menunjukkan pasien dapat menunjukkan
perilaku adaptif pada hari ke-5 sampai hari ke-7 perawatan, yang ditunjukkan
dengan menerima pemasangan sistotomi dengan lapang dada dan mampu
melakukan perawatan sistotomi secara mandiri.
4.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri
Konsep diri merupakan pengetahuan individu tentang diri dan citra diri secara
subjektif dan merupakan percampuran komplek dari perasaan, sikap dan persepsi
bawah sadar maupun sadar (Kozier, Berman & Snyder, 2008; Perry & Potter,
2005). Dari ke-34 kasus kelolaan praktikan, pengkajian mode adaptasi konsep diri
sebagian besar menunjukkan perilaku inefektif didapatkan data pasien mengalami
kecemasan dengan perkembangan penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan
dijalani. Dimana pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani
terapi hemodialisis untuk pertama kalinya mengeluhkan kecemasan terhadap
tindakan dan ketakutan pasien akan prosedur pemasangan CDL yang digunakan
sebagai akses vaskuler terapi hemodialisis. Berdasarkan pengkajian praktikan
pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dan pasien dengan keganasan memiliki
tingkat kecemasan paling tinggi terutama pada pasien yang baru mengetahui
diagnosa penyakitnya pertama kali dan mendapatkan tindakan pemasangan CDL
dan terapi hemodialisis untuk pertama kali. Sedangkan pasien dengan keganasan
mereka menyatakan kecemasan akibat perkembangan penyakit dan adanya
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 139
114
kemungkinan untuk sembuh. Peringkat tingkat kecemasan yang selanjutnya
adalah kecemasan yang dialami pasien dengan obstruksi sitem perkemihan. Pasien
dengan obstruksi mengungkapkan cemas dengan tindakan operasi karena ini
adalah pengalaman pertamanya.
Kecemasan adalah suatu keresahan, perasaan tidak nyaman dan perasaan kwatir
yang tidak mudah yang disertai respon autonomis dengan sumber penyebab yang
tidak spesifik atau tidak diketahui individu dan merupakan antisipasi terhadap
bahaya atau ancaman. Batasan karakteristik pengangkatan diagnosa cemas
meliputi : keterbatasan produktivitas, mengekspresikan keluhan karena perubahan
pada kejadian kehidupan, gelisah, perasaan tidak adekuat, peningkatan
kekhawatiran dan berfokus pada diri sendiri (Wilkinson, 2007). Menurut Kaplan
dan Sadock (1997 dalam Lutfa 2008) tingkat kecemasan seorang pasien
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya 1) faktor Intrinsik yaitu usia pasien,
pengalaman pasien menjalani pengobatan, konsep diri dan peran serta 2) faktor
ekstrinsik, yang meliputi : kondisi medis (diagnosa penyakit), tingkat pendidikan,
akses informasi dan proses adaptasi, tingkat sosial ekonomi dan komunikasi
terapeutik.
Berdasarkan data yang praktikan dapatkan dari hasil pengkajian maka dapat
dirumuskan masalah keperawatan utama pada mode adaptasi konsep diri dari
semua kasus kelolaan umumnya adalah cemas berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis & kebutuhan pengobatan serta
krisis situasi. Intervensi yang praktikan lakukan untuk meningkatkan respon
adapatasi dan mekanisme koping pasien pada mode adaptasi konsep diri adalah
manajemen anxietas (kecemasan) dan terapi relaksasi dengan aktivitas regulator
dan cognator sebagai berikut pada mode konsep diri ini umumnya meliputi
membina hubungan saling percaya, mengkaji ketakutan dan kecemasan pasien,
tingkatkan dukungan mekanisme koping yang tepat, ajarkan teknik relaksasi
(relaksasi napas dalam, meditasi, guide imagery) memberikan edukasi tentang
proses penyakit dan kebutuhan pengobatan.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 140
115
Hasil evaluasi menunjukkan pada pasien renal disease akibat penyakit ginjal
tahap akhir dan sindrom nefrotik adaptasi terhadap konsep diri dengan masalah
keperawatan kecemasa terjadi antara hari ke-8 sampai hari ke-12 perawatan,
ketika pasien sudah 2-3 kali mendapatkan terapi hemodialisis. Pasien obstruksi
adaptasi terhadap respon kecemasan terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-10
perawatan, sedangkan pada pasien neoplasma adaptasi terhadap respon terjadi
pada pada hari ke-7 sampai hari ke-10 perawatan. Perbedaan pencapaian ini
kemungkinan disebabkan oleh karena pada pasien renal disease dan neoplasma
umumnya pasien mengalami perburukan terhadap kondisi kesehatan.
4.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran
Pada pengkajian mode adaptasi fungsi peran pasien selama sakit dari kasus
kelolaan utama dengan penyakit ginjal tahap akhir dan 33 kasus pasien yang
dijadikan resume, sebagian pasien mengalami perilaku inefektif. Gangguan pada
sistem perkemihan seperti penyakit ginjal tahap akhir dan keganasan sistem
perkemihan mengakibatkan pasien mengalami berbagai ketidakmampuan,
sehingga membuat pasien harus menjalani perawatan yang lebih lama
dibandingkan pasien lainnya. Pengobatan dan perawatan yang lama pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir dan keganasan sistem perkemihan terkadang membuat
pasien harus kehilangan pekerjaannya, karena kondisi kesehatan yang tidak
memungkinkan pasien untuk bekerja dengan optimal. Kondisi ini membuat pasien
mengalami gangguan dalam menjalankan perannya, baik peran sebagai kepala
keluarga, pencari nafkah ataupun yang lainnya.
Intervensi keperawatan yang praktikan lakukan untuk meningkatkan mode
adaptasi fungsi peran adalah dengan meningkatkan mekanisme koping regulator
dan cognator pasien, yang meliputi : membantu pasien mengidentifikasi berbagai
peran dalam hidupnya, membantu pasien mengidentifikasi ketidakmampuan
peran, membantu pasien mengidentifikasi peran baru sesuai kemampuan pasien,
membantu pasien mengidentifikasi strategi positif untuk menjalani peran baru,
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 141
116
dan sebagainya. Hasil evaluasi menunjukkan perilaku adaptif rata-rata dicapai
pasien pada hari ke-7 sampai hari ke-12 perawatan, yang ditandai dengan
kepasrahan pasien dengan kondisinya dan menerima keadaannya dan bersemangat
untuk sembuh.
4.1.4 Mode Adaptasi Interdependensi
Pada pengkajian mode adaptasi interdependensi pasien selama sakit dari kasus
kelolaan utama dengan penyakit ginjal tahap akhir dan 33 kasus pasien yang
dijadikan resume dengan berbagai gangguan pada sistem perkemihan, sebagian
pasien mengalami perilaku inefektif. Gangguan pada sistem perkemihan seperti
penyakit ginjal tahap akhir dan keganasan sistem perkemihan dapat
mengakibatkan kondisi yang tidak stabil, dan memerlukan perawatan dan
pengobatan yang lama untuk mempertahankan kondisinya sehingga membuat
pasien merasa lebih cemas. Pengobatan dan perawatan yang lama pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir dan keganasan sistem perkemihan, adanya tindakan
prosedur operasi pada pasien BPH dan batu pielum atau batu ureter terkadang
membuat pasien lebih cemas yang disebabkan kurang pengetahuan pasien tentang
prosedur perawatan dan pengobatan. Kondisi ini membuat pasien mengalami
mekanisme koping yang tidak efektif.
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk meningkatkan mekanisme koping
regulator dan cognator pada mode interdependensi adalah dengan melakukan
dukungan spiritual, komunikasi terapeutik, family support, dan coping
enhancement. Hasil evaluasi pada pasien kelolaan utama dan resume secara
keseluruhan menunjukkan adanya perubahan perilaku pada pasien menjadi lebih
efektif. Pasien menunjukkan kesiapan dalam menjalani perawatan dan pengobatan
serta kooperatif selama perawatan berlangsung. Perawat perlu meningkatkan
motivasi pasien untuk sembuh dan motivasi menjalani perawatan dan
pengobatannya dengan baik untuk mendukung kesehatan dan keberhasilan
perawatan dan pengobatan.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 142
117
Penerapan Teori Model Adaptasi Roy terhadap kasus kelolaan utama dan 33
kasus kelolaan resume dapat disimpulkan bahwa pemberian asuhan keperawatan
dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy dapat memberikan asuhan keperawatan
secara holistik, karena teori ini memperhatikan seluruh aspek baik fisik,
psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Namun penerapan pendekatan teori
Adaptasi Roy pada kondisi kegawatdaruratan membutuhkan cara yang berbeda.
Pada kondisi kegawatdaruratan pendekatan teori adaptasi digunakan pada saat
kondisi kegawatdaruratan pasien teratasi dan kondisi pasien dalam pemantauan
atau pemulihan. Pada kondisi kegawatdaruratan penanganan pertama dilakukan
untuk mengatasi kegawatdaruratan yang mengancam nyawa dan mencegah
kecacatan serta perburukan kondisi penyakit.
Selama menjalankan praktik residensi, praktikan tidak menemukan kendala yang
berarti dalam penerapan Teori Adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien
dengan berbagai gangguan pada sistem perkemihan. Secara ilmiah pasien
merupakan makluk yang beradaptasi dan proses adaptasi sendiri merupakan
bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia. Intervensi
keperawatan yang praktikan berikan yaitu dengan menggabungkan intervensi
dalam Teori Adaptasi Roy dengan Nursing Intervention Criteria (NIC) dan
Nursing Outcome Criteria (NOC). Intervensi keperawatan seperti yang terdapat
NIC dan NOC terdiri dari aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan
aktivitas regulator dan cognator dalam Teori Adaptasi Roy sehingga tidak
memerlukan modifikasi yang luas dan Nursing Intervention Criteria (NIC) dan
Nursing Outcome Criteria (NOC) dapat diterapkan secra efektif sesuai dengan
pendekatan Teori Adaptasi Roy.
4.2 Pembahasan Penerapan Evidence Base Practice Cryotherapy Untuk
Mengurangi Nyeri Saat Penusukan Arterivenous Fistula Pada Pasien
Penyakit Ginjal Tahap Akhir dengan Hemodialisis
Nyeri merupakan salah satu masalah keperawatan yang muncul pada saat
penusukan akses vaskuler Arteriovena Fistula Pada pasien dengan hemodialisis.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 143
118
Nyeri penusukan ini termasuk dalam kategori nyeri akut. Nyeri akut merupakan
suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial dengan awitan yang tiba-tiba
atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan
berlangsung < 6 bulan (Herdman, 2012).
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
berhubungan dengan kerusakan jaringan, dan merupakan komponen sensori,
komponen diskriminatori serta respon yang mengantarkan ataupun reaksi yang
ditimbulkan oleh berbagai stimulus (Perry & Potter, 2006 dan Sherwood, 2012).
Patofisiologi nyeri terjadi karena adanya respon dari trauma atau stimulus yang
diberikan kepada jaringan sehingga mengakibatkan teraktivasinya nosiseptor
(reseptor sel-sel syaraf). Nosiseptor ini menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke
sumsum tulang belakang dan otak untuk mempersepsikan nyeri. Stimulus pada
jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat kimia yang terdiri dari
prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi P dan enzim proteolitik.
Zat kimia ini yangakan mensintesisasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke
otak untuk mempersepsikan nyeri ( Nadler dan Kruse, 2004).
Rangsangan nyeri penusukan AVF merupakan salah satu jenis nyeri cepat karena
stimulus nyeri dirasakan oleh pasien dalam waktu 0,1 detik setelah diberikan
stimulus. Nyeri penusukan AVF digambarkan sebagai salah satu nyeri tusuk.
Rangsangan nyeri yang dirasakan oleh pasien saat penusukan akan diantarkan ke
system saraf pusat oleh ujung saraf bebas yang tersebar diseluruh permukaan
superfisial kulit dan juga di jaringan. Meskipun semua reseptor nyeri merupakan
ujung serabut saraf bebas dalam menjalankan sinyal rasa nyeri ke sisitem saraf
pusat, ujung-ujung serabut saraf ini menggunakan dua jaras yang terpisah
berdasarkan tipe nyeri yang diterima oleh pasien. Sinyal nyeri tajam yang cepat
dirangsang oleh stimuli mekanik atau suhu, sinyal ini dijalarkan melalui saraf
perifer ke medula spinalis oleh serabut-serabut kecil tipe A pada kecepatan
perjalanan sampai 30 m/detik. Sebaliknya, tipe rasa nyeri lambat khususnya
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 144
119
dirangsang oleh stimuli nyeri tipe kimiawi tetapi juga oleh stimuli mekanik dan
suhu yang menetap, nyeri lambat kronik ini dijalarkan oleh serabut tipe C dengan
kecepatan perjalanan antara 0,5 sampai 2 m/detik (Perry & Potter, 2005 dan
Sherwood, 2012).
Peran perawat untuk mengatasi masalah nyeri pada pasien adalah dengan
memberikan asuhan keperawatan yang cepat dan tepat sehingga pasien dapat
merasakan nyeri yang minimal. Salah satu asuhan keperawatan yang dilakukan
untuk mengatasi nyeri yaitu dengan memberikan terapi farmakologi dan terapi
non farmakologi. Salah satu terapi non farmakologi yang dapat diterapkan oleh
perawat hemodialisis untuk mengatasi nyeri saat penusukan akses vaskuler adalah
dengan memberikan cryotherapy (Asmaa et al, 2012).
Cryotherapy merupakan salah satu terapi non farmakologis dengan menggunakan
terapi suhu dingin lokal untuk mengurangi rasa sakit. Penggunaan Cryotherapy
bertujuan untuk menstimulasi serabut-serabut syaraf dengan menstransmisikan
sensasi tidak nyeri dengan memblok atau menghambat transmisi impuls nyeri
(Sabitha et al, 2008). Kelebihan dari Cryotherapy untuk diterapkan pada pasien
yang menjalani hemodialisis adalah mudah untuk diaplikasikan, aman untuk
digunakan dan pasien dapat berlatih untuk menerapkan cryotherapy secara
mandiri (Smyth, 2009).
Cryotherapy adalah intervensi teraupetik yang dapat dilakukan pada tubuh yang
dapat mengakibatkan penurunan suhu jaringan. Efek dari cryoterapi dapat
menurunkan aliran darah ke jaringan akibat dari adanya vasokonstriksi pembuluh
darah, menurunkan metabolisme jaringan, menurunkan penggunaan oksigen,
peradangan dan spasme otot sehingga mengakibatkan berkurangnya pelepasan
mediator kimia penyebab nyeri seperti kalium, prostaglandin, histamin yang dapat
mengakibatkan berkurangnya rasa nyeri. Penggunaan cryoterapi bersifat lokal
sehingga tidak berpengaruh besar terhadap sistem hemodinamika tubuh, sehingga
penggunaan cryotherapi bermanfaat untuk mengurangi nyeri yang dapat juga
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 145
120
bersifat terlokalisasi (Nadler dan Kruse, 2004). Tetapi pada penusukan AV
Fistulat penggunaan cryotherapy tidak menimbulkan efek vasikonstriksi
pembuluh darah, karena pada AV Fistula pembuluh darah atau akses vaskuler
yang digubakan sudah mengalami dilatasi pembuluh darah dan memiliki aliran
darah vena dan arteri yang besar sehingga vasokonstriksi tidak terjadi.
Teknik cryoterapy yang diberikan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan
hemodialisis, dengan menggunakan kompres batu es besar yang dikompreskan
pada area tempat penusukan akses vaskuler arteriovena fistula secara langsung
selama 10-15 menit sebelum penusukan berlangsung. Penelitian yang dilakukan
oleh Nadler dan Kruse (2004) menyatakan bahwa kompres es secara langsung
pada akses vaskuler AV Fistula lebih efektif menurunkan nyeri dibandingkan
dengan kompres menggunakan ice cube (kantong es). Penilaian kualitas nyeri
penusukan AV Fistula dilakukan sesaat setelah penusukan berlangsung, dimana
pada kelompok intervensi sebelum penusukan AV Fistula dilakukan cryotherapy
dengan kompres batu es selama 10-15 menit. Penilaian kualitas nyeri dilakukan
dengan menggunakan skala Visual Analog Scale (VAS) untuk nyeri dan dengan
mengobservasi wajah pasien terhadap nyeri sebagai tanda gejala secara objektif
dengan menggunakan Wong baker Faces Pain rating Scale.
Efek dan manfaat Cryotherapy yang diberikan pada pasien Hemodialisis saat
penusukan AV Fistula juga mengaktifkan gerbang kendali nyeri sehingga nyeri
menjadi teralihkan (teori Gerbang kendali nyeri/Teori Gate Control). Teori
gerbang kendali nyeri ini merupakan proses dimana terjadi interaksi antara
stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi tidak
nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat
(Taylor, 2005). Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis
mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri dan terjadi interkoneksi
antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden
berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls
dipancarkan ke korteks serebri. Interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 146
121
ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang
menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dari jaras ascenden (Taylor, 2005;
Smeltzer dan Bare, 2008).
Bersadarkan journal of American Science 2012, dengan judul jurnal the impact of
cryotherapy on pain intensity at puncture sites of arteriovenous fistula among
childrend undergoing hemodialysis. Mengatakan bahwa pemberian cryotherapy
efektif untuk menurunkan intensitas nyeri yang terjadi pada pasien anak-anak
yang diberikan penusukan arteriovenous fistula (Asmaa et al, 2012). Jurnal
penelitian terkait yang berjudul effect of cryotheraphy on arteriovenous fistula
puncture-related pain in hemodialysis patiens. Didapatkan hasil bahwa
cryotheraphy berpengaruh secara signifikan (p 0.001) untuk menurunkan skala
nyeri objective dan subjektif pada pasien yang menjalani penusukan AVF saat
dilakukan hemodialisa (Sabitha et al, 2008).
4.3 Pembahasan Penerapan Kegiatan Inovasi Booklet Manajemen
Hemodialisis pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir
4.3.1 Analisa Penerapan Inovasi
Analisa penerapan inovasi tentang pemberian informasi mengenai manajemen
hemodialisis pasien penyakit ginjal tahap akhir melalui pemberian booklet yang
diberikan oleh kelompok selama praktik residensi dilakukan dengan
menggunakan analisa SWOT untuk mengetahui sejauh mana penerapan program
inovasi berjalan dengan baik. Analisa SWOT yang dapat dirumuskan adalah
sebagai berikut :
1. Strenghth (Kekuatan)
Kekuatan meliputi :
a. RSUP fatmawati menjadi sentral rujukan tindakan hemodialisis pasien
dengan penyakit ginjal terminal disekitar Jakarta, Bogor, Tanggerang dan
Depok
b. RSUP Fatmawati mempunyai program-program pengembangan kualitas
pelayanan asuhan keperawatan seperti penerapan intervensi keperawatan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 147
122
berbasis evidence based practice (EBP) yang saat ini dalam proses
pengembangan
c. Instalasi Hemodialisis memiliki 21 orang perawat dengan tingkat
pendididkan D3 keperawatan dan S1 keperawatan
d. Semua sumberdaya perawat sudah mengikuti dan mendapatkan sertifikat
pelatihan hemodialisis; memiliki tim kerja yang kompak yang sudah
dibagi menjadi tim dan sudah terdapat perawat penanggung jawab
sebagai Primary Nurse (PN)
e. Rata-rata tingkat pendidikan pasien sudah memiliki tingkat pendidikan
menengah dan tinggi.
2. Wieakness (Kelemahan)
Kelemahan meliputi :
a. Instalasi hemodialisis belum memiliki SOP edukasi manajemen
hemodialisis, instalasi hemodialisis belum memiliki tim edukasi tentang
manajemen dan permasalahan hemodialisis
b. Pemberian edukasi dan informasi kepada pasien hemodialisis diberikan
secara langsung ketika pasien bertanya dan belum terstruktur
c. Kurangnya pemanfaatan edukasi kelompok oleh pasien dan keluarga, di
unit hemodialisis belum terdapat fasilitas (Media) yang mendukung
edukasi tentang hemodialisis.
3. Oportunity (Kesempatan)
Kesempatannya meliputi :
a. Di unit hemodialisa terdapat ruang edukasi yang dapat digunakan sebagai
tempat untuk konsultasi keluarga pasien.
b. Pasien dan keluarga kooperatif dengan semua pemeriksaan dan tindakan
keperawatan yang dilakukan selama proses hemodialisis
c. Ruangan hemodialisa kondusif dan nyaman dengan 20 mesin
hemodialisis yang digunakan
d. Dialiser yang digunakan single use (sekali pakai) sehingga kualitas hidup
pasien lebih meningkat dan mencegah resiko infeksi nosokomial.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 148
123
e. Adanya dukungan baik dari ruangan dan penentu kebijakan untuk
melakukan perubahan, sebagai upaya peningkatan kualitas asuhan
keperawatan.
4. Threat (Ancaman)
Ancamannya meliputi
a. Tuntutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan
Penyelenggara jaminan sosial (BPJS) 2014
b. Beban biaya yang harus ditanggung RS dalam pengadaan booklet
c. Tingginya daftar antrian pasien untuk mendapatkan terapi hemodialisis
d. Tuntutan Rumah sakit tetap melaksanakan JCI
4.3.2 Pembahasan Hasil Penerapan Inovasi
Berdasarkan fenomena yang praktikan temui di instalasi Hemodialisis RSUP
Fatmawati Jakarta bahwa kepatuhan pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan
hemodialisis tentang penatalaksanaan manajemen hemodialisis sangat rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Lee & Mollasiotis (2002) mengungkapkan hampir
sebagian besar pasien tidak mematuhi pengaturan makan atau diit, asupan cairan,
gaya hidup dan program pengobatan. Ketidakpatuhan terhadap manajemen
hemodialisis dapat menjadi salah satu hambatan tercapainya kondisi yang optimal
dan dapat menurunkan kualitas hidup psien dengan penyakit ginjal tahap akhir.
Manajemen hemodialisis yang diperlukan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir
terdiri dari manajemen cairan dengan menjaga keseimbangan dan mengontrol
haus, manajemen diit dengan makan makanan sesuai anjuran dan latihan fisik
serta program pengobatan. Ketidakpatuhan manajemen hemodialisis pada pasien
PGTA dapat disebabkan karena ketidaktahuan yang disebabkan kurangnya
informasi yang diterima pasien. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan edukasi
untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan memberikan motivasi serta
semangat pasien meningkatkan kepatuhan terhadap manajemen hemodialisis.
Edukasi yang diberikan oleh perawat juga dapat meningkatkan kemandirian untuk
mematuhi manajemen hemodialisis sehingga kualitas hidup pasien meningkat
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 149
124
yang ditandai pasien dapat mengendalikan gaya hidup yang sehat dan termotivasi
untuk menjadi mitra perawat serta mematuhi regimen terapeutik (Tsay & Hung,
2004). Edukasi yang diberikan oleh praktikan dan kelompok melalui pemberian
booklet manajemen hemodialisis.
Pelaksanaan inovasi manajemen hemodialisis dengan menggunakan booklet ini
dilakukan dengan menyampaikan materi dan cara melakukan pencatatan secara
langsung kepada pasien dan keluarganya selama 15-30 menit. Dan evaluasi
terhadap pengetahuan dan kemampuan pasien melakukan pencatatan dilakukan 1
minggu setelah pemberian booklet. Dari hasil evaluasi didapatkan bahwa evaluasi
tentang pengetahuan dan pemahaman pasien didapatkan bahwa dari 20 pasien
yang dilakukan evaluasi, terdapat sebanyak 50% pasien sudah memahami dan
mampu menjelaskan kembali manajemen pasien hemodialisis sesuai dengan isi
booklet yang diberikan. Evaluasi terhadap pencatatan, dari 20 pasien terdapat
sebanyak 90% pasien membawa kembali booklet dan mengisi data tentag dirinya
saat menjalani hemodialisis.
Berdasarkan hasil evaluasi dari eduaksi dengan pemberian booklet yang dilakukan
oleh praktikan bersama kelompok menunjukkan bahwa tujuan pemberian edukasi
tercapai dengan maksimal. Tujuan edukasi keperawatan seperti yang disampaikan
Setiawati (2008) adalah untuk mmempertahankan status kesehatan, mencegah
timbulnya penyakit dan masalah kesehatan serta membantu memaksimalkan peran
dan fungsi pasien selama sakit serta mengatasi masalah kesehatan pasien.
Dari hasil evaluasi tersebut juga dapat disimpulkan pula rata-rata pasien
mengalami peningkatan pengetahuan. Dimana sebelum pemberian materi dan
booklet rata-rata pasien berada pada kondisi tidak bisa melakukan manajemen
hemodialisis dan merubah kebiasaan sedangkan pada saat evaluasi rata-rata pasien
mampu melaksanakan perubahan dan termotivasi untuk melakukan perubahan.
Dibuktikan dengan pasien menyatakan mengikuti aturan diit sesuai anjuran dan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 150
125
mampu membatasi mimun seta kenaikan berat badan diantara waktu hemodialisis
berkisar 1-2 kg.
Berdasarkan hasil penerapan manajemen hemodialisis dengan menggunakan
media booklet terbukti efektif dan bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan
dan motivasi pasien untuk mematuhi dan menerapkan manajemen hemodialisis.
Lingerfelt & Thornton (2011) menyatakan setelah diberikan edukasi pasien
penyakit ginjal tahap akhir menunjukkan peningkatan terhadap pengetahuan
dengan nilai p value 0.000. Inovasi yang dilakukan kelompok dengan edukasi
manajemen hemodialisis dengan pemberian booklet sangat bermanfaat bagi
pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis dalam mendapatkan
informasi dan meningkatkan pengetahuan dalam melaksanakan manajemen
hemodialisis secara mandiri. Booklet yang kelompok buat dapat digunakan oleh
semua pasien yang menjalani hemodialisis karena memuat materi tentang
manajemen hemodialisis yang menggunakan bahas yang mudah dipahami. Selain
itu bookleyt ini juga dapat digunakan sebagai catatan untuk memantau kondisi
pasien dan keseimbangan cairan tubuh ketika melaksanakan terapi hemodialisis
karena di dalam booklet ini juga disediakan kolom pencatatan hasil pemeriksaan
tekanan darah, berat badan baik sebelulm maupun setelah hemodialisis, dan hasil
pemeriksaan laboratorium terkait hemoglobin, ureun dan kreatinin.
Untuk mengembangkan dan menjadikan booklet ini sebagai media dalam
memberikan edukasi tentang manajemen hemodialisis diperlukan komitmen dari
berbagai pihak yang terkait dalam hal ini adalah pemegang kebijakan (komite
keperawtan, kepala instansi IP2K gedung Bougenvile dan manajer keperawatan
IP2K gedung Bougenvile serta kepala ruang unit hemodialisis IP2K gedung
Bougenvile) untuk memperbanyak dan menjadikan media edukasi pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis baik yang dirawat maupun yang
menjalani rawat jalan.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 151
126
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan simpulan dan saran analisis pengalaman praktik residensi
spesialis keperawatan dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pemberi
asuhan keperawatan, berdasarkan degan aplikasi penerapan asuhan keperawatan
dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan, penerapan intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah
(evidence based nursing) dan pelaksanaan program inovasi keperawatan.
5.1 Simpulan
5.1.1 Penerapan Teori Adaptasi Roy dalam Pemberian Asuhan Keperawatan
Teori Adaptasi Roy dapat diterapkan pada asuhan keperawatan pasien dengan
gangguan sistem perkemihan, karena pada gangguan sistem perkemihan memiliki
prognosa penyakit dengan awitan yang panjang dan penatalaksanaan keperawatan
dan pengobatan yang komplek dan dapat berlangsung seumur hidup. Pada
gangguan sistem perkemihan memerlukan berbagai adaptasi terhadap semua
aspek kebutuhan dari pasien, yaitu meliputi pemenuhan kebutuhan fisik, konsep
diri, peran dan fungsi interdependensi. Dengan penerapan Teori Adaptasi Roy ini
diharapkan pasien mampu beradaptasi dengan prognosa penyakitnya, perawatan
dan pengobatan yang komplek dan membut,hkan penanganan yang lama seperti
pelaksanaan dialisis yang harus dijalan pasien seumur hidup.
5.1.2 Pada praktek keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah
Berdasarkan perlaksanaan intervensi dan praktek keperawatan berdasarkan
pembuktian ilmiah didapatkan bahwa menerapan EBN Cryotherapy penusukan
akses vaskuler arteriovena fistula di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati
dapat mengurangi nyeri pasien saat dilakukan penusukan akses vaskuler
arteriovena fistula hingga 50 %. Pasien menyatakan rasa sakit saat penusukan
lebih berkurang dan pasien merasakan lebih nyaman.
126
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 152
127
5.1.3 Pelaksanaan kegiatan inovasi merupakan pengembangan metode intervensi
atau sarana prasarana (dapat berupa modifikasi metode yang sudah ada atau
menciptakan metode baru) dalam pemberian asuhan dan praktek keperawatan
yang disusun berdasarkan fenomena yang ditemukan pada lahan praktek yang
disesuaikan dengan kebutuhan ruangan, yang dikembangkan melalui proses
journal reading dan study literature. Proyek inovasi yang dilakukan praktikan
adalah pemberian booklet manajemen hemodialisis kepada pasien penyakit ginjal
tahap akhir yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP
Fatmawati.
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan ketika menjadi praktikan dalam praktik residensi
keperawatan medikal bedah meliputi :
5.2.1 Teori Adaptasi Roy hendaknya dapat diterapkan dan dikembangan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan pada seluruh kasus.
5.2.2 Diharapkan dalam penerapan intervensi keperawatan mandiri dilaksanakan
berdasarkan pembuktian ilmiah dengan mengaplikasikan EBN sebagai salah satu
acuan dalam pelaksanaan intervensi keperawatan yang berguna dalam
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien.
5.2.3 Diharapkan penerapan program inovasi yang sudah diterapkan dan
dilakukan analisis dapat terus dipergunakan sebagai media untuk meningkakan
pengetahuan pasien tentang manajemen hemodialisis dan dapat dijadikan
pedoman untuk pengembangan dan meningkatkan asuhan keperawatan yang
diberikan kepada pasien, khususnya pasien penyakit ginjal teminal yang
mendapatkan terapi hemodialisis.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 153
128
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M. R., & Tomey, A. M. (2010). Nursing theory : Utilization and
application (4rd
edition). St. Louis: Elsevier.
Barnett, T., Yoong L., Pinikahana J. & Yen S.T. (2008). Fluid compliance among
patients having haemodialysis: can an educational programme make a
difference?. Journal Advabced Nursing. Vol. 61(3)
Black, J.M & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing clinical management
for positive outcome (8th ed). St. Louis : Elsevier.
Casper, Brand, Veerman, Korevar, Benz , Bezemer, et al. (2005). Chewing gum
and a saliva subtitute alleviate thirst and xerostomia in patients on
hemodialysis. Nephrology Dialysis Transplantation 20 : 578-584.
Chitokas, Noreen, Gunderman, Annette, Oman, &Terina. (2006). Uremic
syndrome and end stage renal disease : physical manifestations and
beyond. Journal or the American Academy of Nurse Pratitioners, 2006
(18), proquest nursing & allied health source : 195
Dias, T.S., Neto, M.M, &Da Costa, C. J.A,. ( 2008). Arteriovenous fistula
puncture : an essessntial factor for hemodialysis efficiency.Informa Health
Care Renal Failure, 2008. 30: 870-876. Diperoleh dari
http://www.proquest.com
Go, A.S, Chertow, G. M, & Fan, D. (2004). Chronic kidney disease and the risks
of death, cardiovasculer, events, and hospitalization. The new england
journal of medicine, 351 (13), 1296-1308.
KDOQI. (2006). Updates Clinical Practice Guidelines and Recommendations for
Hemodialysis Adequacy 2006, Peritoneal Dialysis Adequacy 2006 and
Vascular Access 2006. USA: National Kidney Foundation, Inc.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2008). Fundamental of Nursing:
concepts, process, and practice. California: Prentice Hall.
Lindley, E., Aspinall, L., Gardinier, C., & Garthwaite. (2011). Management of
Fluid Status. Diunduh di www.intechopen.com
Hassan, Darwish, Samman & Fadel. (2012). The impact of cryotherapy on pain
intensity at puncture sites of arteriovenous fistula among children undergoing
hemodialysis. Journal of American science. 2012; 8 (12).
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 154
129
Herdman. (2012). Diagnosis keperawatan : definisi dan klasifikasi 2012-2014.
Jakarta : EGC.
Ignativius, D.D & Workman, L.M. (2006). Medical surgical mursing critical
thingking for collaboration care (5th). St Louis Elsevier
Johnson, J.Y. (2010). Hand book brunner & suddarth’s text book of medical
surgical nursing (11th ed). Wolter kluwer health : Lippincott williams &
wilkins
Nadler dan Kruse. (2004). The Physiologic basis and clinical applications of
Cryotherapy and Thermotherapy for the pain practitioner. Journal of pain
Physician, (2004) : 395-399, ISSN 1533-3159
Perhimpunan nefrologia Indonesia (pernefri). (2003). Konsensus dialisis. Naskah
tidak dipublikasikan
Perry, A.P. & Potter, A.G. (2005). Fundamentals of Nursing. (7th
Edition). Alih
bahasa : Andrina Ferderika. Jakarta : Salemba medika
Potter, A.P. & Perry, A.G. (2009). Fundamentals of Nursing. (8th Edition).
Australia: Elsevier Inc .
Phillips,K.D. (2006). Sister Calista Roy : Adaptation Model Dalam Tomey , A.N,
Alligood, M.R (editor), Nursing Theorist and their work. St. Louis
Missouri : Mosby
Price, S.,A., & Wilson, L.,M. (2007). Fisiologi Proses-Proses Penyakit. Alih
bahasa oleh Peter Anugrah. Jakarta: EGC.
Purnomo, B.B. (2011). Dasar-dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto.
Robinson, J & Burghardt , J.C. (2012). Lippincott’s review for medical nursing
certification (5th ed). Philladelphia : Lippincott williams & wilkins
Roy, C. & Andrew, H. (1999). The Roy Adaptation Model. New Jersey: Prentice
Hall.
Sabitha et al. (2008). Effect of cryotherapy on erteriovenous fistula puncture-
related pain in hemodialysis patient. Indian journal of vephrology.
Volume 18. Issue 4.
Setiawati. (2008). Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan. Jakarta :
Salemba Medika
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 155
130
Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Alih Bahasa oleh
Pendit, B. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. (2008). Textbook of medical surgical nursing (11th ed).
Philladelphia : Lippincott williams & wilkins.
Smyth, J. (2009). Cryotherapy or cold theraphy. Available. At: http:/www.
Articlesbase.com/health. Accesses at : 11/05/2013.
Suhardjono. (2013). Penyakit ginjal kronik, dampak dan penanganannya. Seminar
nasional perhimpunan nefrologi Indonesia : naskah tidak dipublikasikan.
Starkey. (2004). Therapeutic Modalities. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Taylor, L.C. & Le Mone, P.( 2005). Fundamental of Nursing: The Art and
Science of Nursing Care. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Timby, B.K & Smith, N.E. (2010). Introductory medical-surgical nursing (10th
ed) : Wolters kluwer health : lippincott williams & wilkins
Torrace C & Serginson E. (1997). Surgical Nursing. Bridgend, midglamorgan:
WBC book Manufactures Ltd.
Tsay, S.L. & Lee, Y.H. (2005). Effect of an Adaptation Training Programme for
Patients with End Stage Renal Disease. Journal of Advanced Nursing.
Votroubek &Tobacco, RN. (2010). Pediatric Home Care for Nurses: A Family-
Centered Approach. _:Jones& Bartlett Learning.
Williams, L.S & Hopper, P.D. (2007). Understanding medical surgical nursing
(3th ed) : FA Davis company.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 156
- 131 -
Universitas Indonesia
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN
DENGAN PENDEKATAN TEORI ADAPTASI ROY
NO. Identitas Pasien Keluhan Utama Pengkajian Aspek Spesifik teori Model
KASUS KEGAWATAN
1. Tn. RH (47 th) laki-
laki, agama islam,
status menikah, suku
jawa, pendidikan
tamat perguruan
tinggi, pekerjaan
swasta.
Diagnosa medis : CKD stage V
dengan overload. Keluhan utama :
sesak napas sejak 3 bulan sebelum
masuk rumah sakit (SMRS) dan
badan makin lama makin bengkak,
edema sejak 1 bulan SMRS. Pasien
mengetahui menderita penyakit ginjal
sejak 3 bulan yang lalu. Pasien sulit
tidur karena sesak dan tidur dengan
posisi duduk. Batuk (-), pilek (-).
Nafsu makan menurun karena mual,
tidak ada muntah, pasien belum
membatasi minum dan dalam sehari
kira-kira minum 1000-1500 ml air.
Pasien dalam 5 hari ini sulit untuk
BAK karena kemaluan bengkah,
jumlah urin mulai menurun. Pasien
memiliki riwayat penyakit DM dan
Hipertensi sejak 3 tahun yang lalu.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
180/90 mmHg, nadi : 90 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 36,50C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (+), whezzing (-), CRT > 3
detik dan tampak pucat, JVP 5+2 cmH2O, edema
anasarka, derajat pitting edema : derajat 3,
kemaluan edema (skrotum dan penis edema),
ascites dengan lingkar perut 132 cm. Pemeriksaan
laboratorium : hemoglobin : 4,9 mg/dl, , ureum
310 mg/dl, creatinin 13,3 mg/dl, GDS : 143
mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) :
pH : 7,049; PCO2 : 31,2; PO2 46,1; BP 750;
HCO3 : 8,4; O2 saturasi 64; BE -21; total CO2
9,4. Elektrolit : natrium : 128 mmol/l, kalium :
6,07 mmol/l; clorida 112 mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
hipertensi dan DM, residual : ketidakpatuhan
terhadap restriksi cairan.
Masalah keperawatan yang muncul:
kelebihan volume cairan, gangguan pola
napas, ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan, ketidakpatuhan
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management, coping
enhancement, teaching individual and
family.
Evaluasi : setelah 2 hari perawatan diruang
IGD pasien masih sesak napas dengan
Frekuensi napas : 28 x/menit, TD : 160/90
mmHg, nadi : 92 x/menit. Jumlah output
urin dalam 24 jam : 800 cc (dengan
pemasangan kateter dan lasik drip 6 x 40
mg/24 jam). Masih terdapat mual dan tidak
ada muntah. Nafsu makan masih kurang
makan hanya habis 3 sendok makan
dengan frekuensi makan 3 kali sehari. Pada
Lampiran 1
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 157
- 132 -
Universitas Indonesia
hari kedua pasien dipindahkan ke ruang
perawatan High Care unit (HCU) lantai 5
selatan
2. Tn. AK (59 th), laki
laki, agama islam,
status : menikah,
suku jawa,
pendidikan terakhir :
tamat SMP,
pekerjaan : tidak
bekerja.
Diagnosa medis : CKD stage V on
HD Overload, CHF Keluhan utama :
Sesak dan Nyeri dada. Pasien sesak
memberat 6 hari SMRS dan sudah
dibawa ke IGD RSUP Fatmawati 6
hari yang lalu tetapi pulang paksa.
Kemudian di rumah kambuh kembali
dan 3 hari yang lalu disertai Nyeri
dada dengan intensitas nyeri hilang
timbul, skala nyeri dada 4-5
meningkat jika digunakan untuk
aktivitas dan berkurang dengan napas
dalam dan istirahat tidur. Batuk (+),
pasien sulit tidur dan sering
terbangun saat nyeri dada meningkat.
Pasien mengetahui sakit ginjal sejak
1 tahun yang lalu dan mengatakan
sulit untuk membetasi minum
meskipun sudah berusaha untuk
minum sedikit sesuai anjuran. Jumlah
minum dalam sehari ± 1200 cc/ 24
jam. Pasien HD rutin 2 x/minggu.
Jumlah urin dalam sehari ± 700 - 800
cc/24 jam. Pasien memiliki riwayat
CHF dan DM tipe 2 sejak ± 9 tahun
yang lalu dan berobat tidak rutin.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
170/80 mmHg, nadi : 114 x/menit, frekuensi
napas : 28 x/menit, suhu : 36,50C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (+), whezzing (+) saat
ekspirasi, CRT < 3 detik, JVP 5+2 cmH2O,
edema pada kedua ekstremitas bawah dengan
derajat pitting edema derajat 3, tidak ada ascites.
Pemeriksaan laboratorium : hemoglobin : 7,2
mg/dl, , ureum 220 mg/dl, creatinin 12,5 mg/dl,
GDS : 59 mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah
(AGD) : pH : 7,376; PCO2 : 19,2; PO2 138,3; BP
751; HCO3 : 8,4; O2 saturasi 11; BE 98,8; total
CO2 11,6. Elektrolit : natrium : 136 mmol/l,
kalium : 4,45 mmol/l; clorida 109 mmol/l. CK
107 U/L, CKMB 28 U/L
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan.
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Nyeri akut, ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan,
ketidakpatuhan
Intervensi : pain management, fluid
management, fluid monitoring, nutritiin
management, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 2 hari perawatan diruang
IGD pasien masih sesak napas dengan
Frekuensi napas : 24 x/menit, TD : 160/80
mmHg, nadi : 102 x/menit. Jumlah output
urin dalam 24 jam : 800 cc (dengan
pemasangan kateter dan lasik drip 2 x 40
mg/24 jam). Nyeri dada berkurang dengan
skala nyeri 3-4, sifat masih hilang timbul..
Pada hari kedua pasien dipindahkan ke
ruang perawatan lantai 5 Utara.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 158
- 133 -
Universitas Indonesia
3. Tn. MA (61 tahun),
laki-laki, agama
islam, suku : sunda,
pendidikan : tamat
SMP, tidak bekerja
Diagnosa medis : CKD stage V on
HD Overload, Hipertensi Urgency,
ACS NStemi Keluhan utama : Sesak
berat sejak 1 hari SMRS dengan
Nyeri dada dengan intensitas nyeri
hilang timbul (kadang-kadang), skala
nyeri dada 3-4 meningkat jika
digunakan untuk aktivitas dan
berkurang dengan napas dalam dan
istirahat tidur. Pasien mengetahui
sakit ginjal sejak 10 tahun yang lalu
dan mengatakan sulit untuk
membatasi minum meskipun sudah
berusaha untuk minum sedikit sesuai
anjuran. Jumlah minum dalam sehari
± 1200 cc/ 24 jam. Pasien HD rutin 2
x/minggu. Jumlah urin dalam sehari
± 700 - 800 cc/24 jam. Pasien
memiliki riwayat CHF dan DM tipe 2
sejak ± 10 tahun yang lalu dan
berobat rutin. Obat yang diminum
ISDN, Lasik, Ascardia dan Captopril
25 mg.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
200/100 mmHg, nadi : 110 x/menit, frekuensi
napas : 32 x/menit, suhu : 36,50C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (+), whezzing (+) saat
ekspirasi, CRT > 3 detik, tampak pucat, akral
dingin, JVP 5+0 cmH2O, edema pada ekstremitas
bawah dengan derajat pitting edema pada derajat
2, tidak ada ascites. Pemeriksaan laboratorium :
hemoglobin : 9,1 mg/dl, , ureum 161 mg/dl,
creatinin 11 mg/dl, GDS : 254 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) : pH :
7,166; PCO2 : 32; PO2 : 65,6; BP 749; HCO3 :
11,3; O2 saturasi 87,6; BE -16; total CO2 12,3.
Elektrolit : natrium : 136 mmol/l, kalium : 4,24
mmol/l; clorida 105 mmol/l. CK 256 U/L, CKMB
42 U/L
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Nyeri akut, ketidakpatuhan
Intervensi : pain management, fluid
management, fluid monitoring, nutrition
management, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 2 hari perawatan diruang
IGD pasien masih sesak napas dengan
Frekuensi napas : 24 x/menit, TD : 210/100
mmHg, nadi : 102 x/menit. Jumlah output
urin dalam 24 jam : 800 cc (dengan
pemasangan kateter dan lasik drip 5 mg/
jam). Nyeri dada berkurang dengan skala
nyeri 2-3, sifat masih hilang timbul.. Pada
hari kedua pasien dipindahkan ke ruang
perawatan lantai 5 Utara.
RENAL DISEASE
4. Ny. AA, 82 tahun,
perempuan, islam,
janda, suku sunda,
pendidikan : tamat
SD, tidak bekerja
Diagnosa Medis : CKD Stage V,
CHF, DM Tipe 2 keluhan utama :
sesak napas berat sejak 2 minggu
yang lalu SMRS, 4 hari SMRS sudah
pernah dirawat di RS Bekasi selama
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
160/80 mmHg, nadi : 95 x/menit, frekuensi napas
: 40 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : pain management, fluid
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 159
- 134 -
Universitas Indonesia
3 hari dan pulang paksa kemudian
saat perjalanan pulang sesak
meningkat sehingga dibawa ke RSUP
Fatmawati.
Saat pengkajian pasien mengeluh
sesak napas dan badan lemas. Pasien
juga mengatakan sudah pasrah
dengan penyakitnya dan tidak mau
dilakukan cuci darah karena takut
dan tidak mau merepotkan anak-
anaknya
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan
derajat pitting edema pada derajat 2, ascites
dengan lingkar perut 136 cm. Anjuran diet DM
Ginjal 1500 Kkal/Hari, dengan restriksi cairan
600-800 cc/hari
Pemeriksaan laboratorium (19/09/2013) :
hemoglobin : 10,7 mg/dl, , ureum 135 mg/dl,
creatinin 11,3 mg/dl, GDS : 123 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(19/09/2013) : pH : 7,295; PCO2 : 21,8; PO2 :
107,3; BP 753; HCO3 : 10,4; O2 saturasi 97,5;
BE -13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 136
mmol/l, kalium : 4,24 mmol/l; clorida 105
mmol/l.
Pemeriksaan Foto Thorak (19/09/2013) :
kardiomegali dengan aorta kalsifikasi & elongasi
disertai tanda bedungan paru.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan
management, fluid monitoring, nutrition
management, manajemen energi, coping
enhancement, teaching individual and
family.
Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang Frekuensi
napas : 22 x/menit, TD : 160/80 mmHg,
nadi : 88 x/menit. Jumlah output urin
tampung dalam 24 jam : 800 cc (dengan
lasik drip 40 mg/ 24 jam. pasien tetap tidak
menghendaki untuk dilakukan cuci darah.
Dan pasien menginginkan pulang meski
belum diijinkan. Pasien pulang pada hari
ke-6 atas permintaan sendiri.hasil evaluasi
diperoleh perilaku pada model fisiologis
cairan dan elektrolit adaptif setelah 6 hari
perawatan, sedangkan perilaku pada mode
konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi belum adaptif.
5. Tn. AS, 55 th laki-
laki, agama islam
status menikah, suku
sunda, pendidikan :
Diagnosa Medis : CKD Stage V,
CHF NYHA Clas III-IV keluhan
utama : sesak napas berat dan nyeri
pinggang sejak 2 minggu yang lalu
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : pasien
tampak sesak berat dan demam, TD : 140/80
mmHg, nadi : 102 x/menit, frekuensi napas : 28
x/menit, suhu : 38,50C. Pasien demam dan
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, hipertermi, nyeri, cemas
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 160
- 135 -
Universitas Indonesia
tamat SLTA,
pekerjaan : Swasta
Masuk RS : 7
september 2013
Pengkajian : 11
september 2013
SMRS, sesak berkurang jika duduk
dan sesak mengganggu aktivitas
fisik, pasien sering terbangun malam
hari karena merasa sesak yang berat
da langsung terbangun untuk duduk
akibat sesak. Pasien memiliki riwayat
sakit DM sejak 2010 dan pernah
dirawat karena hipoglikemia. Pasien
juga memiliki riwayat hipertensi
tidak terkontrol sejak 10 tahun.
Pasien juga merupakan perokok berat
sejak remaja ± 2 bungkus/hari dan
sudah berhenti mulai sakit ini.
Pasien baru terpasang CDL 2 hari
yang lalu dan sudah menjalani HD
sebanyak 2 x.
menggigil sejak malam ketika dipasang CDL,
CDL terdapat rembesan darah segar, dan terdapat
nyeri pada pemasangan CDL terasa seperti teriris,
senut senut dengan skala nyeri pada skala 5,
kesadaran composmentis konjungtiva anemis,
sklera tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas
berat, suara napas vesikuler, Ronchi (+),
whezzing (-), bunyi jantung S1-II reguler.
Murmur (-), gallop (-), CRT < 3 detik, tampak
pucat, akral dingin, JVP 5+2 cmH2O, edema
pada ekstremitas bawah dengan derajat pitting
edema pada derajat 3.. Anjuran diet Ginjal 1900
Kkal/Hari rendah garam, dengan restriksi cairan
800 cc/hari.
Jumlah urin tampung (24 jam tgl 12/09/2013) :
800 cc
Pemeriksaan laboratorium (07/09/2013) :
hemoglobin : 5,2 mg/dl, Ht : 16%, ureum 334
mg/dl, creatinin 18,9 mg/dl, GDS : 149 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(07/09/2013) : pH : 7,211; PCO2 : 16,5; PO2 :
135,73; BP 751; HCO3 : 6,5; O2 saturasi 98,2;
BE -18,8; total CO2 7,0 mmol/L. Elektrolit :
natrium : 142 mmol/l, kalium : 4,56 mmol/l;
clorida 90 mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF, residual : ketidakpatuhan terhadap restriksi
cairan
Intervensi : pain management, fluid
management, fluid monitoring, nutrition
management, manajemen energi, coping
enhancement, teaching individual and
family.
Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, nyeri di
daerah insisi CDL sudah tidak terasa, dan
darah sudah tidak merembes, Frekuensi
napas : 22 x/menit, TD : 160/80 mmHg,
nadi : 88 x/menit. Suhu : 370C, Jumlah
output urin tampung dalam 24 jam : 800-
1000 cc (dengan lasik 3 x 40 mg/ 24 jam
injeksi intravena). Pada hari ke-8
perawatan kondisi pasien makin membaik,
sesak napas berkurang RR : 22 x/menit,
tidak terdapat demam dengan suhu :
36,50C. Hasil evaluasi diperoleh perilaku
pada model fisiologis cairan dan elektrolit
adaptif setelah hari ke 10 dan perilaku pada
mode konsep diri adaptif setelah hari ke-12
perawatan, pasien mangungkapkan sudah
siap untuk menjalani perawatan
penyakitnya dengan menggunakan terapi
hemodialisis seumur hidup.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 161
- 136 -
Universitas Indonesia
6. Ny.SS, 57 th,
perempuan, islam,
status : menikah,
suku : betawi,
pendidikan : tamat
akademik, pekerjaan
: PNS
Masuk RS :
5/09/2013
Pengkajian :
19/09/2013
Diagnosa Medis : CKD Stage V on
HD rutin, CHF kelas II-III keluhan
utama : sesak napas berat terutama
saat tiduran, dan mengeluh perut
buncit asites tidak kempes sudah 2
bulan. Kenaikan berat badan 5 kg.
Pasien memiliki riwayat CKD sejak 2
tahun yang lalu, dengan program HD
rutin. Tetapi pasien sulit untuk
mengontrol minum dan masih sering
minum air es
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
140/80 mmHg, nadi : 98 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan
derajat pitting edema pada derajat 2, ascites
dengan lingkar perut 136 cm. Anjuran diet Ginjal
1600 Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari
Pemeriksaan laboratorium (19/09/2013) :
hemoglobin : 8,2 mg/dl, Ht : 25 mg/dl , ureum 86
mg/dl, creatinin 4,3 mg/dl, GDS : 123 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(19/09/2013) : pH : 7,295; PCO2 : 21,8; PO2 :
107,3; BP 753; HCO3 : 10,4; O2 saturasi 97,5;
BE -13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 130
mmol/l, kalium : 5,09 mmol/l; clorida 105
mmol/l. Kalsium : 7,99 mg/dl, magnesium : 2,20
mg/dl.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, tidak
terdapat edema pada ekstremitas bawah.
Lingkar perut 130 masih terdapat ascites.
Frekuensi napas : 22 x/menit, TD : 160/80
mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
(dengan lasik drip 40 mg/24 jam. pasien
mendapatkan 3 kali terapi hemodialisis dan
hari ke 13 dianjurkan untuk pulang dan
melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 11, meskipun pasien masih
memerlukan pengawasan dari keluarga
untuk mampu mengontrol minum dan
perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 162
- 137 -
Universitas Indonesia
7. Ny. S, 58 tahun,
perempuan agama
islam, status :
menikah suku : jawa,
pendidikan: tamat
SMA, pekerjaan :
ibu Rumah Tangga
Masuk RS :
20/09/2013
Pengkajian :
20/09/2013
Diagnosa Medis : CKD Stage V on
HD rutin, keluhan utama : sesak
napas berat terutama saat tiduran dan
berkurang dengan duduk. Pasien
memiliki riwayat CKD sejak 4 tahun
yang lalu, dengan program HD rutin.
Tetapi pasien sulit untuk mengontrol
minum dan masih sering minum air
es
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
150/80 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan
derajat pitting edema pada derajat 2, ascites
dengan lingkar perut 140 cm. Anjuran diet Ginjal
1700 Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari
Pemeriksaan laboratorium (20/09/2013) :
hemoglobin : 8,7 mg/dl, Ht : 23 mg/dl , ureum 98
mg/dl, creatinin 7,8 mg/dl, GDS : 123 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(20/09/2013) : pH : 7,115; PCO2 : 22,8; PO2 :
107,3; BP 753; HCO3 : 10,4; O2 saturasi 97,5;
BE -13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 130
mmol/l, kalium : 5,09 mmol/l; clorida 105
mmol/l. Kalsium : 7,99 mg/dl, magnesium : 2,20
mg/dl.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, tidak
terdapat edema pada ekstremitas bawah.
Lingkar perut 130 masih terdapat ascites.
Frekuensi napas : 22 x/menit, TD : 160/80
mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
(dengan lasik drip 40 mg/ 24 jam. pasien
mendapatkan 3 kali terapi hemodialisis dan
dianjurkan untuk pulang pada hari ke 14
dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 12, pasien menunjukkan
perilaku mulai adaptif, pasien dapat
mengatur dan membatasi cairan walaupun
terkadang masih minum lebih dari
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 163
- 138 -
Universitas Indonesia
restriksi cairan
ketentuan, namun IDWG tidak lebih dari 2
kg diantara HD. Perilaku pada mode
konsep diri adaptif setelah hari ke-14
perawatan.
8. Tn. RS, 17 th, laki-
laki, islam, status:
belum menikah,
suku betawi,
pendidikan : Tamat
SMP, Pekerjaan :
Pelajar
Masuk RS :
22/09/2013
Pengkajian :
23/09/2013
Diagnosa Medis : Sindrom nefrotik,
keluhan utama : Bengkak di wajah,
perut dan kaki.
Pasien mengatakan bengkak-bengkak
sejak 3 bulan SMRS dan disertai
BAK berbusa. Pasien sering
terbangun pada malam hari karena
BAK. Pasien juga mengatakan sesak
napas, napas bertambah jika berjalan
dan lebih baik jika duduk. Tidak
terdapat nyeri dada. Pasien sering
menderita mual dan muntah jika
makan sejak perut membesar.
Pasien memiliki riwayat sakit ISPA,
dan memiliki kebiasaan merokok 1
bungkus /hari dan kebiasaan minum
kopi.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
150/100 mmHg, nadi : 90 x/menit, frekuensi
napas : 24 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara
napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT <
3 detik, JVP 5+2 cmH2O, edema pada
ekstremitas bawah dengan derajat pitting edema
pada derajat 2, ascites dengan lingkar perut 100
cm, shifting dulness (+), edema pada wajah, dan
ekstremitas bawah dengan derajat edema 2. Urin
tampung : 3500 cc dengan input : 600 cc.
Pasien mendapatkan restriksi cairan : 600 cc/ 24
jam. BB : 60 Kg.
Pemeriksaan laboratorium (22/09/2013) : Protein
Urin Kualitatif : 1,681 EU/dl urinalisa : Protein
urin : +3; Urinalisa Darah : +3, Urinalisa Eritrosit
10-15/LPB, urinalisa bakteri : Positif (+),
pemeriksaan fungsi hati : SGOT : 24 U/L, SGPT :
11 U/L, Protein Total : 3 g/dl, Albumin : 1,4 g/dl,
Globulin : 1,6 g/dl. . Elektrolit : natrium : 139
mmol/l, kalium : 3,43 mmol/l; clorida 114
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 12 hari perawatan di
ruang penyakit dalam lantai 5 selatan
pasien sudah tidak sesak napas, tidak
terdapat edema. Lingkar perut 85, tidak
terdapat ascites. Frekuensi napas : 22
x/menit, TD : 160/80 mmHg, nadi : 88
x/menit. BB : 47 Kg. Hasil evaluasi
diperoleh perilaku pada model fisiologis
cairan dan elektrolit adaptif setelah hari ke
12 dan perilaku pada mode konsep diri
adaptif setelah hari ke-14 perawatan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 164
- 139 -
Universitas Indonesia
mmol/l. Fungsi ginjal : Nilai ureum : 88 mg/dl,
creatinin : 1,1 mg/dl.
Pemeriksaan USG Abdomen (23/0902013) :
tampak cairan bebas intraabdomen perihepatik,
morison pouch dan rongga pelvis tampak efusi
pleura bilateral. Ukuran dan bentuk ginjal normal,
dinding tidak menebal, dan tidak ada slaudge
(batu). Kesan : renal Parenchymal disease
bilateral, ascites dengan efusi pleura bilateral,
slight abdominally enchostructur hepar.
Stimulus fokal : penurunan fungsi glomerulus,
konstektual : sindrom nefrotik, residual : kurang
pengetahuan tentang penyakit.
9. Olid, 38 th, laki-laki,
islam, status :
menikah, pendidikan
: tamat SMA;
pekerjaan : Swasta
Masuk RS :
21/09/2013
Pengkajian :
23/09/2013
Diagnosa Medis : CKD Stage V on
HD rutin, efusi pleura dekstra.
keluhan utama : sesak napas berat
sejak 2 hari SMRS terutama saat
tiduran dan berkurang dengan duduk.
Pasien memiliki riwayat CKD sejak
11 bulan yang lalu, dengan program
HD rutin. Tetapi pasien sulit untuk
mengontrol minum dan masih sering
minum air es. Pasien memiliki
riwayat merokok sejak remaja 2
bungkus sehari dan sering minum
minuman berenergi dan makan mie
instan. Pasien jarang minum air
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
130/80 mmHg, nadi : 92 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat. JVP 5+2 cmH2O, edema (-),
ascites (-), terpasang O2 3L/menit. Anjuran diet
Ginjal 1700 Kkal/Hari dengan protein 1 gr/kgBB,
dengan restriksi cairan 600-800 cc/hari
Pemeriksaan laboratorium (21/09/2013) :
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 5 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, . Frekuensi
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 165
- 140 -
Universitas Indonesia
putih. hemoglobin : 10,5 mg/dl, Ht : 23 mg/dl , ureum
83 mg/dl, creatinin 4,88 mg/dl, GDS : 87 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(20/09/2013) : pH : 7,427; PCO2 17,8; PO2 :
142,6 BP 753; HCO3 : 11,5 O2 saturasi 98,9; BE
-9,9; total CO2 12. Elektrolit : natrium : 138
mmol/l, kalium : 3,85 mmol/l; clorida 95 mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan.
napas : 18 x/menit, TD : 130/80 mmHg,
nadi : 88 x/menit. Jumlah output urin
tampung dalam 24 jam : 800 cc.. pasien
mendapatkan 2 kali terapi hemodialisis dan
dianjurkan untuk pulang dan melanjutkan
terapi hemodialisis dari rumah. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 10, pasien menunjukkan
dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 2 kg
dan perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan
10. Ny. SM, 51 tahun,
perempuan agama
islam, status :
menikah suku : jawa,
pendidikan: tamat
SMA, pekerjaan :
ibu Rumah Tangga
Masuk RS :
2/10/2013
Pengkajian :
2/10/2013
Diagnosa Medis : CKD Stage V on
HD rutin, keluhan utama : sesak
napas terutama saat tiduran dan
berkurang dengan duduk. Pasien
memiliki riwayat CKD sejak 6 bulan
yang lalu, dan diprogramkan untuk
mendapat terapi hemdoialisis
sehingga dirujuk ke RS Fatmawati.
Pasien mengatakan sulit untuk
mengontrol minum dan masih sering
minum air es. Pasien memeiliki
riwayat Hipertensi sejak 12 tahun
Yang lalu. Tidak ada DM, Asma dan
sakit jantung
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
150/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas
: 24 x/menit, suhu : 370C. Terpasang O2 3LPM.
Kesadaran composmentis konjungtiva anemis,
sklera tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas,
suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-),
CRT < 3 detik, tampak pucat, akral dingin, JVP
5+2 cmH2O, edema pada ekstremitas bawah
dengan derajat pitting edema pada derajat 2, tidak
ada ascites. Anjuran diet Ginjal 1500 Kkal/Hari,
rendah garan < 2 gr/KgBB/hari Protein 40
gr/KgBB/Hari. dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari.
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutritiin management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, tidak
terdapat edema pada ekstremitas bawah.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 166
- 141 -
Universitas Indonesia
Pemeriksaan laboratorium (03/10/2013) :
hemoglobin : 10,3 mg/dl, Ht : 29,9 mg/dl , ureum
344 mg/dl, creatinin 26,44 mg/dl, GDS : 87
mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(03/10/2013) : pH : 7,237; PCO2 : 7,237; PO2 :
110,3; BP 753; HCO3 : 8,3; O2 saturasi 97,5; BE
-16,4; total CO2 8,9. Elektrolit : natrium : 126
mmol/l, kalium : 7,1 mmol/l; clorida 101 mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
Hipertensi, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan.
Frekuensi napas : 22 x/menit, TD : 160/80
mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
urin tampung dalam 24 jam : 800 cc.
pasien mendapatkan 1 kali terapi
hemodialisis dan dianjurkan untuk pulang
dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 10, pasien menunjukkan
dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 1 kg
dan perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan
11. Tn. WS, 59 tahun,
laki-laki, islam,
status : menikah,
suku : betawi,
pegawai swasta,
tamat SLTA
Masuk RS :
04/10/2013
Pengkajian :
04/10/2013
Diagnosa Medis : CKD Stage V,
keluhan utama : pasien mengeluh
sesak napas dan badan terasa lemas.
Pasien sudah 1 minggu merasa cepat
lelah dan susah untuk BAK. Pasien
menderita CKD dan hipertensi
pernah dirawat tahun 2012 dan
terakhir HD maret 2012, setelah itu
pasien tidak HD lagi hanya kontrol
ke poli jika ada keluhan.. pasien
merasa jumlah BAK berkurang sejal
2 minggu SMRS.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
150/90 mmHg, nadi : 86 x/menit, frekuensi napas
: 24 x/menit, suhu : 370C. Terpasang O2 3LPM.
Kesadaran composmentis konjungtiva anemis,
sklera tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas,
suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-),
CRT < 3 detik, tampak pucat, akral dingin, JVP
5+2 cmH2O, edema pada ekstremitas bawah
dengan derajat pitting edema pada derajat 2, tidak
ada ascites, akral dingin. Anjuran diet Ginjal
1700 Kkal/Hari, rendah garan < 2 gr/KgBB/hari
Protein 40 gr/KgBB/Hari lemak 30
gr/KgBB/Hari. dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, edema pada
ekstremitas bawah dengan derajat pitting
edema 2 Frekuensi napas : 22 x/menit, TD
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 167
- 142 -
Universitas Indonesia
Pemeriksaan laboratorium (07/10/2013) :
hemoglobin : 6,2 mg/dl, Ht : 20 mg/dl , ureum
208 mg/dl, creatinin 33,7 mg/dl, GDS : 87 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(07/10/2013) : pH : 7,327; PCO2 : 31,8; PO2 :
111,5; BP 753; HCO3 : 16,3; O2 saturasi 97,5;
BE -8,4; total CO2 17,3. Elektrolit : natrium : 135
mmol/l, kalium : 5,53 mmol/l; clorida 104
mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
Hipertensi , residual : ketidakpatuhan terhadap
regimen pengobatan.
: 150/80 mmHg, nadi : 92 x/menit. Jumlah
output urin tampung dalam 24 jam : 600
cc. pasien mendapatkan 2 kali terapi
hemodialisis dan dianjurkan untuk pulang
pada hari ke 10 perawatan dan melanjutkan
terapi hemodialisis. Hasil evaluasi
diperoleh perilaku pada model fisiologis
cairan dan elektrolit adaptif setelah hari ke
10, dan perilaku pada mode konsep diri
adaptif setelah hari ke-10 perawatan
12. Ny. SA, 34 tahun,
perempuan, islam,
menikah, suku
sunda, pendidikan :
tamat SMA,
Pekerjaan : Ibu
Rumah Tangga
Masuk RS :
8/10/2013
Pengkajian :
10/10/2013
Diagnosa Medis : CKD Stage V,
Anemia, keluhan utama : pasien
mengeluh sesak napas dan batuk
sejak 1 minggu SMRS, sesak dirasa
makin lama makin berat. Pasien
mengalami mual dan muntah sudah 5
x sejak pagi dengan Output cair.
Tidak nafsu makan dan badan terasa
lemas. Pasien memiliki riwayat
minum jamu 1 teko dalam sehari
selama 2 tahun. Riwayat sakit kuning
saat kecil dan terdapat struma pada
leher kanan dan kiri yang ikut
bergerak jika menelan.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
140/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 370C. Terpasang O2 3 LPM.
Kesadaran composmentis konjungtiva anemis,
sklera tidak iketrik. Pasien tampak sesak napas,
suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-),
CRT < 3 detik, tampak pucat, akral dingin, JVP
5+2 cmH2O, edema pada ekstremitas atas dan
bawah dengan derajat pitting edema pada derajat
2, tidak ada ascites, akral dingin. Anjuran diet
Ginjal 1500 Kkal/Hari, restriksi protein 0,6
gr/kgBB/Hari, rendah garam < 2 gr/KgBB/hari,
Protein 40 gr/KgBB/Hari, lemak 30
gr/KgBB/Hari. dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari. Pasien mendapat transfusi PRC 500 ml.
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, edema pada
ekstremitas bawah dengan derajat pitting
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 168
- 143 -
Universitas Indonesia
TB : 150 cm, BB : 39 Kg
Pemeriksaan laboratorium (08/10/2013) :
hemoglobin : 4,3 mg/dl, Ht : 14 mg/dl , ureum
298 mg/dl, creatinin 12,6 mg/dl, GDS : 87 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(09/10/2013) : pH : 7,175; PCO2 : 12,2; PO2 :
145,5; BP 752; HCO3 : 4,4; O2 saturasi 98,5; BE
–21,4; total CO2 4,8 Elektrolit : natrium : 126
mmol/l, kalium : 4,75 mmol/l; clorida 96 mmol/l.
Fungsi hati : Protein total : 5,5 g/dl, albumin :
3,00 g/dl, globulin : 2,5 g/dl; bilirubin total : 0,20
mg/dl; bilirubin direk : 0,10 mg/dl; bilirubin
indirek : 0,10 mg/dl.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
Hipertensi, Residual : ketidakpatuhan terhadap
regimen pengobatan.
edema 2 Frekuensi napas : 22 x/menit, TD
: 150/80 mmHg, nadi : 92 x/menit.
Pasien mendapat koreksi bicnat 200 meQ
dan transfusi PRC 500 cc.
Laboratorium Analisa Gas Darah
(14/10/2013) : pH : 7,211; PCO2 : 23,2;
PO2 : 107,5; BP 752; HCO3 : 9,1; O2
saturasi 97; BE –16,8; total CO2 9,8
Jumlah output urin tampung dalam 24 jam
: 600 cc. pasien mendapatkan 2 kali terapi
hemodialisis dan dianjurkan untuk pulang
dan melanjutkan terapi hemodialisis.
13. Ny. MG, 38 tahun,
perempuan, katholik,
status : menikah,
suku : batak ,
pendidikan : tamat
SMA, tidak bekerja
Masuk RS :
10/10/2013
Diagnosa Medis : CKD Stage V on
HD rutin, Anemia, CHF kelas II-III
keluhan utama : sesak napas berat
terutama saat tiduran, berkurang
dengan istirahat, dan mengeluh kaki
dan tangannya bengkak. Pasien juga
mengeluh cepat lelah dan badan sakit
semua. Pasien dinyatakan sakit ginjal
kronik sejak 1 tahun yang lalu dan
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
140/90 mmHg, nadi : 98 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, edema pada ekstremitas atas dan bawah
dengan derajat pitting edema pada derajat 2.
Masalah keperawatan yang muncul:
Kelebihan volume cairan, Intoleransi
Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 169
- 144 -
Universitas Indonesia
Pengkajian :
10/10/2013
dianjurkan untuk cuci darah. Pasien
memiliki riwayat Hipertensi
Anjuran diet Ginjal 1800 Kkal/Hari, dengan
restriksi cairan 600-800 cc/hari
Pemeriksaan laboratorium (11/10/2013) :
hemoglobin : 8,2 mg/dl, Ht : 24 mg/dl , ureum
353 mg/dl, creatinin 19,2 mg/dl, GDS : 203
mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(11/10/2013) : pH : 7,189; PCO2 : 7,8; PO2 :
173,4; BP 753; HCO3 : 2,9; O2 saturasi 98,8; BE
-22,2; total CO2 3,1. Elektrolit : natrium : 131
mmol/l, kalium : 154 mmol/l; clorida 92 mmol/l.
CK : 837U/L, CKMB : 85 U/L, Troponin T : < 50
ng/L.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF, residual : ketidakpatuhan terhadap restriksi
cairan.
Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, edema
ekstremitas atas sudah tidak ada, edema
ekstremitas bawah dengan derajat pitting
edema derajat 1, Frekuensi napas : 22
x/menit, TD : 150/80 mmHg, nadi : 92
x/menit. Jumlah output urin tampung
dalam 24 jam : 800 cc (dengan lasik 3 x 40
mg/24 jam, intravena). pasien
mendapatkan 2 kali terapi hemodialisis dan
dianjurkan untuk pulang dan melanjutkan
terapi hemodialisis. Hasil evaluasi
diperoleh perilaku pada model fisiologis
cairan dan elektrolit adaptif setelah hari ke
10, pasien menunjukkan dapat mengontrol
minum meski dengan sedikit pengawasan
dengan IDWG tidak lebih 2 kg dan
perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan.
14. Ny. S, 65 tahun,
perempuan, islam,
status : janda, suku :
jaka, tidak bekerja.
Masuk RS :
Diagnosa Medis : CKD Stage V dan
Anemia, keluhan utama : sesak napas
berat terutama saat tiduran dan
berkurang dengan duduk. Pasien
memiliki riwayat CKD sejak 4 tahun
yang lalu, dan hipertensi 10 tahun
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
150/80 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas
: 24 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutritiin management,
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 170
- 145 -
Universitas Indonesia
17/10/2013
Pengkajian :
17/10/2013
yang lalu dengan pengobatan tidak
rutin. Pasien dianjurkan untuk
menjalani terapi hemodialisa. Pasien
merasa semakin lemas dan tidak
nafsu makan, lemas, pusing, mual
dan makan hanya habis 1 sendok.
Frekuensi dan jumlah air kencing
berkurang ± 600-800 cc/24 jam.
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan
derajat pitting edema pada derajat 2, tidak
terdapat ascites. Anjuran diet Ginjal 1700
Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari. Resiko jatuh (Morse) : 45 (tidak beresiko)
Pemeriksaan laboratorium (20/10/2013) :
hemoglobin : 5,8 mg/dl, Ht : 22 mg/dl , ureum
272 mg/dl, creatinin 17,7 mg/dl, GDS : 86 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(20/09/2013) : pH : 7,218; PCO2 : 16,3; PO2 :
125; BP 750; HCO3 : 6,5 ; O2 saturasi 97,9 ; BE
-13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 140
mmol/l, kalium : 5,28 mmol/l; clorida 112
mmol/l.
Pemeriksaan USG (23/09/2013) :
Nefritis bilateral.
Pemeriksaan darah tepi (18/10/2013) : anemia
normositik normokrom
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
Anemia, residual : ketidakpatuhan terhadap terapi
pengobatan
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, tidak
terdapat edema pada ekstremitas bawah.
Frekuensi napas : 22 x/menit, TD : 160/80
mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
(dengan lasik drip 40 mg/ 24 jam. pasien
mendapatkan 4 kali terapi hemodialisis dan
dianjurkan untuk pulang pada hari ke 14
dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 14, pasien menunjukkan
dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 2 kg
diantara penatalaksanaan HD dan perilaku
pada mode konsep diri adaptif setelah hari
ke-14 perawatan
15. Ny. SR, 73 tahun,
perempuan, Tamat
SMA , Status :
Diagnosa Medis : CKD Stage V on
HD rutin, CHF kelas II-III keluhan
utama : sesak napas berat terutama
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
160/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
Masalah keperawatan yang muncul:
Kelebihan volume cairan, Intoleransi
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 171
- 146 -
Universitas Indonesia
Menikah, suku :
jawa , tidak bekerja.
Masuk RS :
04/01/2014
Pengkajian :
04/01/2014
saat tiduran, berkurang dengan
istirahat, dan mengeluh kaki dan
tangannya bengkak. Pasien juga
mengeluh cepat lelah dan badan sakit
semua. Pasien dinyatakan sakit ginjal
kronik sejak 1 tahun yang lalu dan
rutin cuci darah 2x/minggu. Keluarga
mengatakan pasien masih sulit untuk
mengurangi minum. Pasien memiliki
riwayat Hipertensi sejak 10 tahun
yang lalu.
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, edema pada bawah dengan derajat
pitting edema pada derajat 2. Anjuran diet Ginjal
1700 Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari
Pemeriksaan laboratorium (04/01/2014) :
hemoglobin : 8,2 mg/dl, Ht : 24 mg/dl , ureum
288 mg/dl, creatinin 16,8 mg/dl, GDS : 203
mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(04/01/2014) : pH : 7,367; PCO2 : 33,3; PO2 :
147,2; BP 753; HCO3 : 18,7; O2 saturasi 98,8;
BE –5,6; total CO2 : 19,7. Elektrolit : natrium :
131 mmol/l, kalium : 154 mmol/l; clorida 92
mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF, residual : ketidakpatuhan terhadap restriksi
cairan
Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 14 hari perawatan di
ruang penyakit dalam lantai 5 selatan
pasien sesak napas sudah berkurang,
edema ekstremitas atas sudah tidak ada,
edema ekstremitas bawah dengan derajat
pitting edema derajat 1, Frekuensi napas :
22 x/menit, TD : 150/80 mmHg, nadi : 92
x/menit. Jumlah output urin tampung
dalam 24 jam : 800 cc (dengan lasik 3 x 40
mg/24 jam, intravena). pasien
mendapatkan 2 kali terapi hemodialisis dan
dianjurkan untuk pulang pada hari ke-12
dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 10, pasien menunjukkan
dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 1 kg
dan perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 172
- 147 -
Universitas Indonesia
16. Tn. DS, 33 tahun,
laki-laki, islam,
status : menikah,
suku : jawa, SMA,
tidak bekerja.
Masuk RS :
09/02/2014
Pengkajian :
12/02/2014
Diagnosa Medis : CKD Stage V
Overload, Efusi Pleura keluhan
utama : pasien mengalami penurunan
kesadaran, tingkat kesadaran
delirium. Berdasarkan wawancara
dengan keluarga didapatkan bahwa
sejak 2 bulan SMRS pasien
mengeluh sesak napas yang semain
berat disertai nyeri dada kadang
kadang, nyeri seerti ditusuk tusk
berdasarkan keterangan keluarga dan
berkurang dengan istirahat. Keluarga
juga mengatakan perut tampak
buncit. Pasien menderita gagal ginjal
kronik dan memiliki riwayat
hipertensi sejak 3 tahun yang lalu.
Pasien sudah ½ tahun tidak menjalani
HD lagi. Pasien datang ke IGD RS
Fatmawati dalam keadaan tidak
sadar.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
140/90 mmHg, nadi : 102 x/menit, frekuensi
napas : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
delirium konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik.
Pasien tampak sesak napas (terpasang O2 Nasal
canule 3 LPM), suara napas vesikuler, Ronchi (-),
whezzing (+), CRT > 3 detik, tampak pucat, akral
dingin, JVP 5+2 cmH2O, tidak terdapat edema
pada ekstremitas. Terdapat ascites dengan lingkar
perut 105 cm. Anjuran diet Ginjal 1700
Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari.
Pemeriksaan Rontgen Thorak (13/02/2014) :
kardiomegali dengan awal bendungan paru,
pneumonia dengan efusi pleura kanan.
Pemeriksaan laboratorium (12/02/2014) :
hemoglobin : 8,0 mg/dl, Ht : 24 mg/dl , ureum
135 mg/dl, creatinin 6,2 mg/dl, GDS : 81 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(13/02/2014) : pH : 7,371; PCO2 : 33,3; PO2 :
143,9; BP 751; HCO3 : 18,8; O2 saturasi 98,8;
BE –5,4; total CO2 : 19,7. Elektrolit : natrium :
134 mmol/l, kalium : 4,32 mmol/l; clorida 103
mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF, residual : ketidakpatuhan terhadap restriksi
cairan dan terapi penatalaksanaan dengan
Masalah keperawatan yang muncul:
Kelebihan volume cairan, nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh, Intoleransi Aktivitas,
cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 8 hari perawatan di ruang
HCU lantai 5 selatan pasien masih sesak
napas, masih terdapat ascites dengan
lingkar perut 95 cm, Frekuensi napas : 24
x/menit, TD : 150/80 mmHg, nadi : 98
x/menit. Jumlah output urin tampung
dalam 24 jam : 800 cc (dengan lasik 3 x 40
mg/24 jam, intravena).
Pasien dilakukan pungsi ascites
(14/02/2014) : pungsi ascites 3 x 25 ml
cairan dialirkan sebanyak 1300 ml, dengan
analisa cairan ascites : warna kuning agak
keruh dengan jumlah sel secara
mikroskopis 1,000/UL.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 173
- 148 -
Universitas Indonesia
Hemodialisis Pada hari perawatan ke 9 pasien
mengalami penurunan kesadaran, koma,
TD : 80/60 mmHg dan makin drop
hemodinamika tubuh tidak stabil. Pasien
tidak mampu beradaptasi secara fisik dan
psikologi terhadap stimulus fokal,
konstektual dan residual. Pasien meninggal
pada hari perawatan ke 9.
17. Tn. H, 59 tahun,
laki-laki, islam, suku
: sunda, tamat
akademi, PNS
Masuk RS :
19/02/2014
Pengkajian :
24/02/2014
Diagnosa Medis : CKD Stage V On
HD, Syok Hipovolemik. keluhan
utama : pasien mengalami penurunan
kesadaran, tingkat kesadaran
delirium dan tampak sesak, dengan
RR : 28 x/menit (terpasang nasal
canul 3 LPM). Berdasarkan
wawancara dengan keluarga
didapatkan data pasien sudah
mengeluh badannya makin lama
makin lemas sejak 1 minggu SMRS,
tidak nafsu makan dan mual tetapi
tidak pernah muntah. Pasien juga
mengalami demam ± 1 bulan, demam
naik turun. Pasien menderita gagal
ginjal kronik sejak 5 tahun dengan
HD rutin di RS OMNI, pasien
memiliki riwayat hipertensi sejak 10
tahun yang lalu.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
130/90 mmHg, nadi : 98 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran delirium
konjungtiva anemis, sklera tidak iketrik. Pasien
tampak sesak napas (terpasang O2 Nasal canule 3
LPM), suara napas vesikuler, Ronchi (-),
whezzing (-), CRT > 3 detik, tampak pucat, akral
dingin, bibir kering, JVP 5+2 cmH2O, terdapat
edema pada ekstremitas bawah dengan pitting
edema derajat. Anjuran diet Ginjal 1700
Kkal/Hari Protein 1,2 gr/KgBB/Hari, dengan
restriksi cairan 600-800 cc/hari. TB : 178 cm, BB
: 67 Kg.
Pada tanggal 27/02/2014 pasien mengalami
gelisah bicara merancau kesadaran deliirium. RR
: 30 x/menit (dengan O2 simple mask 6 LPM),
TD : 120/60 mmHg, N : 108 x/menit. Nilai
Ureum :229 gr/dl; creatinin : 11,9 gr/dl. Produksi
urin 24 jam : 10 cc, dengan BC (24 jam ) : + 495
Masalah keperawatan yang muncul:
Kelebihan volume cairan, nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh, perfusi jaringan
serebra, Intoleransi Aktivitas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 10 hari perawatan di
ruang HCU lantai 5 selatan pasien masih
sesak napas, Frekuensi napas : 28 x/menit,
TD : 110/60 mmHg, nadi : 98 x/menit.
Jumlah output urin tampung dalam 24 jam
: 10 cc (dengan lasik 3 x 40 mg/24 jam,
intravena). BC (24 jam ) : + 455 cc.
Pada hari perawatan ke 12 pasien
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 174
- 149 -
Universitas Indonesia
cc. Sudah tidak ada edema pada ekstremitas
bawah
Pemeriksaan Rontgen Thorak (19/02/2014) :
perselubungan paru (+) di lobus paru kanan,
infiltrat (+) di kedua lapang paru.
Pemeriksaan laboratorium (21/02/2014) :
hemoglobin : 12,2 mg/dl, Ht : 37 mg/dl , ureum
118 mg/dl, creatinin 5,7 mg/dl, GDS : 77 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(21/02/2014) : pH : 7,435; PCO2 : 36,9; PO2 :
65,9; BP 755; HCO3 : 24,2; O2 saturasi 93,7; BE
0,3; total CO2 : 25,4. Elektrolit : natrium : 142
mmol/l, kalium : 5,92 mmol/l; clorida 96 mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :syok
hipovolemik, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan
mengalami penurunan kesadaran, koma,
hemodinamika tubuh tidak stabil. Pasien
tidak mampu beradaptasi secara fisik dan
psikologi terhadap stimulus fokal,
konstektua dan residual. Pasien meninggal
pada hari perawatan ke 12.
18. Ny. DP, 64 tahun,
perempuan, islam,
suku sunda, status
menikah , tidak
bekerja.
Masuk RS :
02/03/2014
Pengkajian :
03/03/2014
Diagnosa Medis : CKD Stage V dan
CHF, keluhan utama : sesak napas
berat terutama saat tiduran dan
berkurang dengan duduk. Sesak
napas disertai nyeri dada yang hilang
timbul, nyeri seperti ditusuk-tusuk.
Pasien dinyatakan mengalami
penyakit gagal ginjal sejak 4 tahun
yang lalu. Pasien memiliki riwayat
penyakit hipertensi dan DM sejak 10
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
150/90 mmHg, nadi : 96 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, tidak terdapat edema. Anjuran diet
Ginjal 1700 Kkal/Hari, pasien makan ½ porsi dari
diet yang disediakan (850 Kkal/hari). Pasien
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 175
- 150 -
Universitas Indonesia
tahun yang lalu. mendapatkan restriksi cairan 600 cc/hari. Resiko
jatuh (Morse) : 45 (tidak beresiko). Balance
cairan : + 200 cc/24 jam.
Pemeriksaan laboratorium (05/03/2014) :
hemoglobin : 7,2 mg/dl, Ht : 22 mg/dl , ureum
143 mg/dl, creatinin 10,0 mg/dl, GDS : 86 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(03/03/20143) : pH : 7,350; PCO2 : 39,5; PO2 :
57,6; BP 753; HCO3 : 21,3 ; O2 saturasi 88,8 ;
BE -3,9; total CO2 22,5. Elektrolit : natrium : 137
mmol/l, kalium : 4,95 mmol/l; clorida 106
mmol/l.
Pemeriksaan darah tepi (04/03/2013) : anemia
normositik normokrom dengan leukopenia
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan Anemia, residual : ketidakpatuhan
terhadap terapi pengobatan
Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, tidak
terdapat edema pada ekstremitas bawah.
Frekuensi napas : 24 x/menit, TD : 160/80
mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
(dengan injeksi lasik 40 mg/ 24 jam. pasien
mendapatkan 4 kali terapi hemodialisis dan
dianjurkan untuk pulang pada hari ke 12
dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 12, pasien menunjukkan
dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 2 kg
diantara penatalaksanaan HD dan perilaku
pada mode konsep diri adaptif setelah hari
ke-12 perawatan
19. Ny. EM, 58 tahun,
perempuan, kristen,
status : menikah,
tamat SMP,
pekerjaan : IRT
Masuk RS :
06/03/2014
Pengkajian :
07/03/2014
Diagnosa Medis : CKD Stage V
overload, DM dan CHF, keluhan
utama : sesak napas berat terutama
saat tiduran dan berkurang dengan
duduk. Sesak napas disertai nyeri
dada yang hilang timbul, nyeri
seperti ditusuk-tusuk. Pasien tidak
bisa tidur terlentang. Untuk
melakukan aktivitas pasien dibantu
oleh keluarga. Pasien dinyatakan
mengalami penyakit gagal ginjal
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
160/100 mmHg, nadi : 96 x/menit, frekuensi
napas : 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, pasien mengalami edema anasarka
dengan derajat pitting edema derajat 4. Anjuran
diet Ginjal 1700 Kkal/Hari. Pasien mendapatkan
restriksi cairan 600 cc/hari. Resiko jatuh (Morse)
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 176
- 151 -
Universitas Indonesia
sejak 1 tahun yang lalu. Pasien
memiliki riwayat penyakit hipertensi
dan DM sejak 25 tahun yang lalu.
Pasien mendapatkan lantus 1 x 10 IU.
Pasien pernah dirawat 1 bulan yang
lalu dengan penyakit yang sama.
: 25 (resiko sedang). Balance cairan : - 150 cc/24
jam.
Pemeriksaan laboratorium (05/03/2014) :
hemoglobin : 7,5 mg/dl, Ht : 24 mg/dl , ureum
123 mg/dl, creatinin 7,8 mg/dl, GDS : 86 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(05/03/20143) : pH : 7,247; PCO2 : 55,8; PO2 :
195; ,5 BP 753; HCO3 : 23,8 ; O2 saturasi 99,1 ;
BE -4,3; total CO2 25,5. Elektrolit : natrium : 141
mmol/l, kalium : 4,73 mmol/l; clorida 110
mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan Anemia, residual : ketidakpatuhan
terhadap terapi pengobatan
Evaluasi : setelah 7 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, edema
anasarka dengan pitting edema derajat 3.
Frekuensi napas : 24 x/menit, TD : 160/80
mmHg, nadi : 88 x/menit. Jumlah output
urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
(dengan injeksi lasik 40 mg/ 24 jam. Pasien
juga belum dapat mengontrol jumlah
minum sesuai anjuran. Pasien mengatakan
tidak mau dilakukan terapi hemodialisis
karena merasa belum siap dan tidak mau
merepotkan keluarga. Pasien pasrah
dengan keadaan kesehatannya dan minta
dipulangkan saja. Pasien pulang pada hari
ke-7 atas permintaan sendiri.hasil evaluasi
diperoleh perilaku pada model fisiologis
cairan dan elektrolit adaptif setelah 7 hari
perawatan, sedangkan perilaku pada mode
konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi belum adaptif.
20. Ny. IK, 48 tahun,
perempuan, islam,
Tamat SMA,
Menikah, tidak
bekerja
Masuk RS :
Diagnosa medis : CKD stage V on
HD Overload, Hipertensi Urgency.
Keluhan utama : Sesak berat sejak 1
hari SMRS dengan Nyeri dada
dengan intensitas nyeri hilang timbul
(kadang-kadang), skala nyeri dada 3-
4 meningkat jika digunakan untuk
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
160/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas
: 28 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (+), whezzing (-) saat ekspirasi,
CRT > 3 detik, tampak pucat, akral dingin, JVP
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Nyeri akut, ketidakpatuhan
Intervensi : pain management, fluid
management, fluid monitoring, nutrition
management, coping enhancement,
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 177
- 152 -
Universitas Indonesia
21/03/2014
Pengkajian :
24/03/2014
aktivitas dan berkurang dengan napas
dalam dan istirahat tidur. Pasien
mengetahui sakit ginjal sejak 2 tahun
yang lalu dan mengatakan sulit untuk
membatasi minum meskipun sudah
berusaha untuk minum sedikit sesuai
anjuran. Jumlah minum dalam sehari
± 1200 cc/ 24 jam. Pasien HD rutin 2
x/minggu. Jumlah urin dalam sehari
± 700 - 800 cc/24 jam. Pasien
memiliki riwayat CHF dan DM tipe 2
sejak ± 10 tahun yang lalu dan
berobat rutin. Obat yang diminum
ISDN, Lasik, Ascardia dan Captopril
25 mg.
5+2 cmH2O, edema pada ekstremitas bawah
dengan derajat pitting edema pada derajat 2,
tidak ada ascites. Pemeriksaan laboratorium
(21/03/2014) : hemoglobin : 10,5 mg/dl, Ht : 33
mg/dl, ureum 295 mg/dl, creatinin 9,5 mg/dl,
GDS : 254 mg/dl. Pemeriksaan analisa gas darah
(AGD) : pH : 7,420; PCO2 : 41,8; PO2 : 48,7; BP
751; HCO3 : 26,5; O2 saturasi 85,1; BE 1,8; total
CO2 27,8. Elektrolit : natrium : 136 mmol/l,
kalium : 4,24 mmol/l; clorida 105 mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
CHF dan DM, residual : ketidakpatuhan terhadap
restriksi cairan
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 7 hari perawatan diruang
penyakit dalam lantai V selatan pasien
masih sesak napas dengan Frekuensi napas
: 24 x/menit, TD : 210/100 mmHg, nadi :
102 x/menit. Jumlah output urin dalam 24
jam : 800 cc (dengan injeksi lasik 2 x 40
mg). Nyeri dada berkurang dengan skala
nyeri 2-3, sifat masih hilang timbul.
Pasien mendapatkan 4 kali terapi
hemodialisis dan dianjurkan untuk pulang
pada hari ke 12 dan melanjutkan terapi
hemodialisis. Hasil evaluasi diperoleh
perilaku pada model fisiologis cairan dan
elektrolit adaptif setelah hari ke 12, pasien
menunjukkan dapat mengontrol minum
meski dengan sedikit pengawasan dengan
IDWG 2 kg diantara penatalaksanaan HD
dan perilaku pada mode konsep diri adaptif
setelah hari ke-12 perawatan
21. Ny. YR, 64 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V dan Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 178
- 153 -
Universitas Indonesia
perempuan, islam,
tamat SMA,
menikah, tidak
bekerja
Masuk RS :
22/03/2014
Pengkajian :
24/03/2014
Anemia, keluhan utama : sesak napas
berat terutama saat tiduran dan
berkurang dengan duduk. Pasien
memiliki riwayat CKD sejak 2 tahun
yang lalu, dan hipertensi 10 tahun
yang lalu dengan pengobatan tidak
rutin. Pasien dianjurkan untuk
menjalani terapi hemodialisa. Pasien
merasa semakin lemas dan tidak
nafsu makan, lemas, pusing, mual
dan makan hanya habis 1 sendok.
Frekuensi dan jumlah air kencing
berkurang ± 600 cc/24 jam.
140/80 mmHg, nadi : 82 x/menit, frekuensi napas
: 24 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan
derajat pitting edema pada derajat 2, tidak
terdapat ascites. Anjuran diet Ginjal 1700
Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari. Resiko jatuh (Morse) : 45 (tidak beresiko)
Pemeriksaan laboratorium (22/02/2014) :
hemoglobin : 8,6 mg/dl, Ht : 26 mg/dl , ureum
102 mg/dl, creatinin 5,7 mg/dl, GDS : 158 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(22/02/2014) : pH : 7,128; PCO2 : 15,3; PO2 :
123; BP 745; HCO3 : 6,5 ; O2 saturasi 97,9 ; BE
-13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 138
mmol/l, kalium : 5,28 mmol/l; clorida 110
mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
Anemia, residual : ketidakpatuhan terhadap terapi
pengobatan
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutritiin management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 8 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, tidak
terdapat edema pada ekstremitas bawah.
Frekuensi napas : 20 x/menit, TD : 150/80
mmHg, nadi : 90 x/menit. Jumlah output
urin tampung dalam 24 jam : 800 cc
(dengan lasik drip 40 mg/ 24 jam. pasien
mendapatkan 4 kali terapi hemodialisis dan
dianjurkan untuk pulang pada hari ke 12
dan melanjutkan terapi hemodialisis. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada model
fisiologis cairan dan elektrolit adaptif
setelah hari ke 12, pasien menunjukkan
dapat mengontrol minum meski dengan
sedikit pengawasan dengan IDWG 1,5 kg
diantara penatalaksanaan HD dan perilaku
pada mode konsep diri adaptif setelah hari
ke-12 perawatan
22. Ny. UM, 52 tahun, Diagnosa Medis : CKD Stage V DM Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD : Masalah keperawatan yang muncul:
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 179
- 154 -
Universitas Indonesia
perempuan, islam,
Status : Menikah,
Tamat SMP, tidak
bekerja
tipe 2 dan Hipertensi, keluhan utama
: sesak napas berat 3 hari SMRS,
sesak bertambah jika digunakan
untuk aktivitas dan berkurang dengan
duduk. Pasien memiliki riwayat CKD
sejak 2 tahun yang lalu, dan
dianjurkan untuk melakukan HD
tetapi belum siap. Pasien juga
memiliki riwayat penyakit DM dan
hipertensi 7 tahun yang lalu dengan
pengobatan tidak rutin. pasien juga
memiliki riwayat penyakit TB Paru
dengan pengobatan 6 bulan. Pasien
mengatakan masih sulit untuk
membatasi minum sesuai anjuran
apalagi saat udara terasa panas.
Frekuensi dan jumlah air kencing
berkurang ± 600- 800 cc/24 jam.
190/90 mmHg, nadi : 82 x/menit, frekuensi napas
: 24 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak sesak napas, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin, JVP 5+2
cmH2O, edema pada ekstremitas bawah dengan
derajat pitting edema pada derajat 3, tidak
terdapat ascites. Anjuran diet Ginjal 1700
Kkal/Hari, dengan restriksi cairan 600-800
cc/hari. Resiko jatuh (Morse) : 45 (tidak beresiko)
Pemeriksaan laboratorium (22/02/2014) :
hemoglobin : 8,6 mg/dl, Ht : 26 mg/dl , ureum
102 mg/dl, creatinin 5,7 mg/dl, GDS : 158 mg/dl.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
(22/02/2014) : pH : 7,128; PCO2 : 15,3; PO2 :
123; BP 745; HCO3 : 6,5 ; O2 saturasi 97,9 ; BE
-13,8; total CO2 11. Elektrolit : natrium : 138
mmol/l, kalium : 5,28 mmol/l; clorida 110
mmol/l.
Stimulus fokal : CKD overload, konstektual :
Anemia, residual : ketidakpatuhan terhadap terapi
pengobatan
gangguan pola napas, kelebihan volume
cairan, Intoleransi Aktivitas, cemas
Intervensi : fluid management, fluid
monitoring, nutrition management,
manajemen energi, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah 8 hari perawatan di ruang
penyakit dalam lantai 5 selatan pasien
sesak napas sudah berkurang, edema
ekstremitas bawah dengan derajat edema
pada derajat 1. Frekuensi napas : 22
x/menit, TD : 160/90 mmHg, nadi : 90
x/menit. Jumlah output urin tampung
dalam 24 jam : 800 cc (dengan lasik drip
40 mg/ 24 jam. pasien mendapatkan 4 kali
terapi hemodialisis dan dianjurkan untuk
pulang pada hari ke 12 dan melanjutkan
terapi hemodialisis. Hasil evaluasi
diperoleh perilaku pada model fisiologis
cairan dan elektrolit adaptif setelah hari ke
12, pasien menunjukkan dapat mengontrol
minum meski dengan sedikit pengawasan
dengan IDWG 1,5 kg diantara
penatalaksanaan HD dan perilaku pada
mode konsep diri adaptif setelah hari ke-12
perawatan
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 180
- 155 -
Universitas Indonesia
23. Ny. AD, 51 tahun,
perempuan,islam,
status : janda, tamat
SMA, tidak bekerja.
Masuk RS :
2/10/2013
Pengkajian :
7/10/2013
Diagnosa Medis : batu Pielum kiri,
batu cetak multipel pole inferior.
Keluhan utama : nyeri pada luka
insisi operasi di perut kuadran II,
nyeri seperti teriris dengan skala
nyeri 6-7, nyeri bersifat terus
menerus dan bertambah jika
digunakan untuk bergerak. Pasien
semalam tdak bisa tidur karena
merasakan nyeri.
Pasien mengeluh nyeri hilang timbul
sejak bulan mei 2013 dan
diperiksakan ke RS Fatmawati dan
didiagnosa batu ginjal sehingga
direncanakan operasi di bulan
oktober.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
150/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas
: 20 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak kesakitan dan menyatakan
sakit di daerah perut kiri atas di kuadran II
dengan luka operasi post op extended
pyelolitotomi dan pemasangan DJ Stent hari 1
dengan kualitas nyeri seperti teriris, skala 6-7,
nyeri dirasakan terus menerus, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, tampak pucat, akral dingin. Terpasang
kateter dengan warna urin kuning dengan sedikit
keruh.
Balutan luka operasi kering, tidak ada rembesan
pada balutan, terpasang drain dengan produksi
darah segar Pasien juga mengeluhkan tidak bisa
tidur sejak semalam karena merasakan sakit yang
sangat.
Pemeriksaan laboratorium (04/10/2013) :
hemoglobin : 9,1 mg/dl, Ht : 28 mg/dl, lekosit :
18,7 ribu mg/dl, ureum 17 mg/dl, creatinin 0,7
mg/dl, GDS : 76 mg/dl. Elektrolit : natrium : 142
mmol/l, kalium : 4,21 mmol/l; clorida 110
mmol/l.
Stimulus fokal : batu ginjal , konstektual :
tindakan operasi, residual : mekanisme koping
tidak efektif
Masalah keperawatan yang muncul: nyeri,
ganghuan pola tidur, cemas
Intervensi : monitor tanda vital dan
hemodinamika tubuh, pain management,
sleep management, manajemen perawatan
luka, manajemen energi, coping
enhancement, teaching individual and
family.
Evaluasi : setelah 3 hari perawatan di ruang
bedah lantai 4 selatan, nyeri pasien
berkurang pada skala 3-4,nyeri seperti
teriris dengan nyeri hilang timbul. Drain
luka di aff dan tidak ada rembesan. Balutan
luka kering, jahitan luka kering tidak ada
pus. Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada
mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
dan interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 181
- 156 -
Universitas Indonesia
24. Tn. A, 55 tahun,
laki-laki, status :
menikah, tamat SD,
swasta
Pengkajian di poli
Bedah urologi :
13/10/2013
Diagnosa Medis : batu ureter
bilateral.
Keluhan utama : pasien mengeluh
nyeri dan pegal di kedua pinggang.
Nyeri berlangsung terus menerus,
terasa seperti senut –senut dan
terkadang perih, nyeri dirasakan pada
skala 4-5, dan nyeri dirasa sangat
menganggu aktivitas
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
140/90 mmHg, nadi : 82 x/menit, frekuensi napas
: 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Pasien tampak menahan sakit,
suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-),
CRT < 3 detik, akral hangat. Pasien direncanakan
untuk dilakukan tindakan operasi pemasangan DJ
STent
Pemeriksaan USG (09/10/2013) : hidronefrosis
bilateral dapat disebabkan batu ureter.
Pemeriksaan laboratorium (12/10/2013) : waktu
protrombin : 11,4 (11,8-14,4 detik), INR : 0,8,
APTT : 25,3 (25,9-39,5 detik). Penanda tumor
(PSA) : 2,77 (<4,0 ng/ml)
Stimulus fokal : batu ureter , konstektual :
tindakan operasi, residual : mekanisme koping
tidak efektif
Masalah keperawatan yang muncul: nyeri
dan cemas terapi pengobatan
Intervensi : monitor tanda vital dan pain
management, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah intervensi 1 x 30 menit,
yang praktikan berikan pasien mengatakan
mampu mengontrol nyeri dan mampu
melaksanakan manajemen nyeri yang telah
diajarkan. Pasien juga mengatakan siap
untuk menjalani perawatan dan pengobatan
yang akan datang serta operasi pemasangan
DJ Stent. Hasil evaluasi diperoleh perilaku
pada mode fisiologis, konsep diri, fungsi
peran dan interdependensi menunjukkan
perilaku yang adaptif.
25. Tn. SS, 59 tahun,
laki-laki, status :
menikah, suku :
melayu, pekerjaan :
wiraswasta, tamat
SMA.
Diagnosa Medis : batu ureter distal
kanan.
Keluhan utama : pasien mengeluh
nyeri dan pegal di kedua pinggang.
Nyeri berlangsung hilang timbul,
terasa seperti berdenyut dan
terkadang perih, nyeri dirasakan pada
skala 4-5, dan nyeri dirasa sangat
menganggu aktivitas
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
100/60 mmHg, nadi : 80 x/menit, frekuensi napas
: 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Pasien tampak menahan sakit,
suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-),
CRT < 3 detik, akral hangat. Pada tanggal
25/03/2014 pasien menjalani operasi
ureterolitotomi dekstra dan pasang DJ stent. Pada
post operasi hari 1 pasien mengeluhkan nyeri di
perut kanan kuadran III, nyeri seperti berdenyut,
Masalah keperawatan yang muncul: nyeri
dan cemas terapi pengobatan
Intervensi : monitor tanda vital dan pain
management, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah intervensi hari ke 2
perawatan, pasien mengatakan mampu
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 182
- 157 -
Universitas Indonesia
dengan skala nyeri 5-6. Pasien tampak meringis
kesakitan. Balutan luka kering, terpasang drain
dengan produksi drain darah, dengan volume ± 5
ml.
Pemeriksaan laboratorium (12/03/2014) : Hb :
14,7 mg/dl, Ht : 42 %, APTT : 26,1 (25,9-39,5
detik), Ko APTT : 31,5, PT : 12,4 INR: 0,90
Stimulus fokal : batu ureter , konstektual :
tindakan operasi, residual : mekanisme koping
tidak efektif
mengontrol nyeri dan mampu
melaksanakan manajemen nyeri yang telah
diajarkan. Hasil evaluasi diperoleh perilaku
pada mode fisiologis, konsep diri, fungsi
peran dan interdependensi menunjukkan
perilaku yang adaptif.
26. Tn. S, 64 tahun, laki-
laki, suku : betawi,
Tamat SMA, PNS
Pemeriksaan Poli :
12/11/2013
Pasien merupakan pasien yang
berobat ke poli bedah urologi.
Diagnosa Keperawatan : Kanker
Prostat
Keluhan utama : pasien mengeluhkan
kemaluannya (penisnya) membesar
dan tidak sembuh sembuh. Pasien
mengatakan BAK sering tidak tuntas
dan panas, pasien sering kencing di
malam hari 3x/malam.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
130/80 mmHg, nadi : 88x/menit, frekuensi napas
: 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-),
whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat.
Pasien mendapatkan penatalaksanaan Pro
Kemoterapi. Pasien tampak cemas dan tidak tahu
tentang prosedur kemoterapi.
Pemeriksaan PSA (22/02/2013) :
PSA : 41 ng/ml (<3,0), PAP : 37,81 ng/ml (0-5
ng/ml) dan FPSA : 36,88 (<0,7).
Masalah keperawatan yang muncul: nyeri
dan cemas terapi pengobatan
Intervensi : monitor tanda vital dan pain
management, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah intervensi 1 x 30 menit,
yang praktikan berikan pasien mengatakan
mampu mengontrol nyeri dan mampu
melaksanakan manajemen nyeri yang telah
diajarkan. Pasien juga mengatakan siap
untuk menjalani perawatan dan pengobatan
yang akan datang. Hasil evaluasi diperoleh
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 183
- 158 -
Universitas Indonesia
Pemeriksaan Biopsi (09/12/2012) :
Adenokarsinoma prostat, berdiferensisi sedang
(pT2C) gleason score : 4+3, derajat anaplasia inti
: 2
Stimulus fokal : keganasan prostat, konstektual :
tindakan kemoterapi, residual : mekanisme
koping tidak efektif
perilaku pada mode fisiologis, konsep diri,
fungsi peran dan interdependensi
menunjukkan perilaku yang adaptif.
27. Tn. MD, 58 tahun,
islam, tamat
perguruan tinggi,
Kawin, Swasta
Masuk RS :
27/03/2014
Pengkajian :
27/03/2014
Diagnosa Medis : gross hematuri
dengan Tumor Buli.
Keluhan utama : pasien mengatakan
nyeri di daerah vesica urinaria dan
supra pubis, nyeri dengan skala 6-7
dengan kualitas panas dan terbakar.
Pasien juga mengeluhkan kencing
berdarah sejak 1 bulan yang lalu,
pasien datang ke poli dan diberikan
obat serta direncanakan operasi 2
bulan kemudian, namun 2 minggu
SMRS pasien mengalami kencing
berdarah, sehingga pasien datang ke
IGD untuk dirawat, dan kemudian
pasien mendapatkan perawatan di
ruang bedah lantai IV selatan.
Pasien dengan riwayat kanker buli,
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
120/100 mmHg, nadi : 120 x/menit, frekuensi
napas : 22 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Pasien tampak menahan sakit,
suara napas vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-),
CRT < 3 detik, akral hangat. BAK keluar darah
masif.
Pasien dilakukan irigasi kandung kemih
menggunakan Nacl 0,9 % selama 7 hari, dengan
perdarahan makin lama makin berkurang.
Pemeriksaan laboratorium (27/03/2014) : Hb :
10,4 mg/dl, Ht : 32 %, VER : 81,2, HER : 26,4 :
RDW : 14,6 SGOT : 88 SGPT : 63, ureum : 109,
creatinin 3,7, APTT : 26,1 (25,9-39,5 detik), Ko
APTT : 31,5, Ko PT : 13 INR: 0,96
Masalah keperawatan yang muncul: nyeri,
resiko defisit Volume cairan dan elektrolit
dan cemas terapi pengobatan
Intervensi : monitor tanda vital dan
monitor tanda syoh hipovolemik, monitor
balance cairan, pain management, coping
enhancement, teaching individual and
family.
Evaluasi : setelah intervensi hari ke 10
perawatan, pasien mengatakan mampu
mengontrol nyeri dan mampu
melaksanakan manajemen nyeri yang telah
diajarkan, perdarahan terkontrol urin
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 184
- 159 -
Universitas Indonesia
dan sudah dijadwalkan sejak 22 april
2014.
Stimulus fokal : Kanker Buli , konstektual :
Perdarahan masif, residual : mekanisme koping
tidak efektif
berwarna jernih orange kemerahan. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada mode
fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.
28. Ny. NS, 49 tahun,
islam, suku sunda,
Tamat SMA,
Menikah, Tidak
Bekerja
Mausk RS :
21/11/2013
Pengkajian :
22/11/2013
Diagnosa : Tumor Ginjal kanan
Keluhan utama : pasien mengeluh
lemas, nyeri di pinggang ± 3 bulan
SMRS, dan benjolan di pinggang
kanan (ginjal teraba membesar) ± 3
minggu SMRS. Pasien memiliki
riwayat abses retroperitoneal,
hidronefrosis, dan nefrolithiasis
ginjal kanan. Pasien juga memiliki
riwayat penyakit ginjal sejak tahun
2003.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
120/80 mmHg, nadi : 100 x/menit, frekuensi
napas : 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva anemis, sklera tidak
iketrik. Pasien tampak menahan sakit, suara napas
vesikuler, Ronchi (-), whezzing (-), CRT < 3
detik, akral dingin. BAK Spontan jumlah urin ±
900 cc/hari, ADL Dibantu oleh keluarga dan
perawat.
Pemeriksaan laboratorium (21/11/2013) : Hb : 8,5
mg/dl, Ht : 29 %, VER : 71,2, HER : 20,7 :
RDW : 21,2 SGOT : 27 Stimulus fokal : Tumor
Ginjal , konstektual : , residual : mekanisme
koping tidak efektif
Masalah keperawatan yang muncul: nyeri,
intoleransi aktivitas, cemas akan terapi
pengobatan
Intervensi : monitor tanda vital, pain
management, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah intervensi hari ke 14
perawatan, pasien mengatakan mampu
mengontrol nyeri dan mampu
melaksanakan manajemen nyeri yang telah
diajarkan, tetapi mengatakan badannya
masih lemas. Hasil evaluasi diperoleh
perilaku pada mode fisiologis, konsep diri,
fungsi peran dan interdependensi
menunjukkan perilaku yang adaptif.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 185
- 160 -
Universitas Indonesia
29. Tn. SP, 70 tahun,
islam, Tamat SMA,
Pensiunan PNS.
Pengkajian Poli :
08/11/2013
Diagnosa Medis : BPH
Keluhan utama : pasien mengeluh
tidak bisa BAK sejak 6 bulan SMRS.
Pasien mengatakan sulit berkemih
dan berkemih tidak tuntas dan
pancaran berkemih lemah. Pasien
terakhir ganti kateter sejak 1 bulan
yang lalu.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
130/80 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas
: 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-),
whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat.
Terpasang kateter sudah 1 bulan belum di ganti
jumlah urin ± 1200-1500 cc/hari, kondisi kateter
kotor, terdapat krusta atau kerak di ujung selang
kateter dengan uretra dan di dalam selang
kantong urin.
Pemeriksaan USG (08/07/2013) :
Kesan : multipel cyst di pole tengah ginjal kiri,
BPH.
Prostat membesar permukaan reguler. Tidak ada
batu. Volume buli maksimum 60 cc, volume post
vid : 9,7 cc
Ukuran prostat : 3,3 x 4,6 x 3,8 cm (± vol 28 cc)
Stimulus fokal : BPH , konstektual : penuaan ,
residual : mekanisme koping tidak efektif
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan eliminasi urin : inkontinensia
urin, cemas akan terapi pengobatan
Intervensi : monitor tanda vital, , coping
enhancement, teaching individual and
family.
Evaluasi : setelah intervensi 1 x 30 menit,
kateter bersih, kantong urin bersih dan
masih kosong. Pasien mengatakan
menjadi tahu tentang cara melakukan
perawatan kateter.
Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada
mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
dan interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.
30. Tn. MS, 77 tahun,
laki-laki, islam,
tamat SD, menikah,
pedagang.
Masuk RS :
17/03/2014
Diagnosa Medis : BPH
Keluhan utama : pasien mengeluh
tidak bisa BAK sejak 6 bulan SMRS.
Pasien mengatakan sulit memulai
untuk berkemih dan pancaran
berkemih lemah. Pasien mengatakan
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
120/70 mmHg, nadi : 80 x/menit, frekuensi napas
: 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-),
whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat.
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan eliminasi urin : inkontinensia
urin, cemas akan tindakan operasi
Intervensi : monitor tanda vital, perawatan
kateter, coping enhancement, teaching
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 186
- 161 -
Universitas Indonesia
Pengkajian :
18/03/2014
BAK sering tiba tiba terputus dan
kemudian lancar lagi dan BAK.
Terasa tidak puas. BAK ± 8 x/hari,
keluar sedikit-sedikit, sering BAK
Malam hari, BAK tidak bisa ditahan
sampai akhirnya 6 bl yang lalu pasien
tidak bisa BAK sama sekali. Tidak
ada nyeri saat BAK, tidak ada BAK
Berdarah. Pasien terpasang kateter
sejak 6 bulan yang lalu dan diganti
setiap 1 bulan sekali. Pasien dirawat
karena direncanakan untuk dilakukan
operasi TURP.
Kateter diganti 1 minggu yang lalu, jumlah urin ±
1200-1500 cc/hari, kondisi kateter bersih, urin
kuning jernih.
Pada hari perawatan ke-2 pasien mendapatkan
terapi operasi TURP. Kondisi pasien baik.
Dilakukan irigasi lambung dengan perdarahan
makin lama makin berkurang.
Pemeriksaan PSA (09/08/2013) : 16,40 ng/ml
Pemeriksaan USG (16/10/2013) :
Kesan : CKD Bilateral grade I, multipel kista
ginjal bilateral, BPH (Estimasi vol. 200 cc).
Ukuran Prostat : 8,07 x 6,70 x 7,45 dengan
estimasi vol. 200 cc. Tampak kalsifikasi, SOL (-).
Pemeriksaan Laboratorium Pre Operasi (
05/03/2014) Hb : 12,2 mg/dl, Ht : 39%, lekosit :
5,4 ribu/ul, trombosit 191 ribu/ul, eritrosit : 4,36
juta/ul. Masa perdarahan : 1,5 menit, masa
pembekuan 4,0 menit, SGOT : 14 u/L, SGPT : 7
u/L, ureum : 32 gr/dl, creatinin : 0,9 gr/dl,
natrium : 142 mmol/L, kalium : 3,9 mmol/l dan
clorida : 112 mmol/L. APTT : 32,9 detik, Ko
APTT : 34,2 detik, PT : 13,4 detik, Ko PT : 13,7
detik, INR : 0,97 detik.
Pemeriksaan Post Operasi : (19/03/2014)
Hb : 11,4 mg/dl, Ht : 36 %, Lekosit : 7,8 ribu/ul,
trombosit : 191 ribu/ul, eritrosit 3,99 juta/ul,
Natrium139 mmol/L, kalium : 4,12 mmol/l dan
individual and family.
Evaluasi : setelah intervensi hari perawatan
ke 3 setelah operasi, perdarahan kandung
mulai berkurang, warna urin dan output
irigasi berwarna kuning orange, kateter
bersih.
Pada hari ke 13 post operasi pasien sudah
tidak terpasang kateter, pasien dapat BAK
Spontan sebnayk 6 -8 kali perhari lancar
dan tanpa keluhan. Pasien pulang pada hari
ke 14 perawatan post operasi. Hasil
evaluasi diperoleh perilaku pada mode
fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 187
- 162 -
Universitas Indonesia
clorida : 109 mmol/L.
Stimulus fokal : BPH , konstektual : penuaan ,
residual : mekanisme koping tidak efektif
31. Tn. SA, 48 tahun,
laki-laki, Tamat
SMA, Menikah,
Wiraswasta
Pengkajian Poli :
11/11/2014
Diagnosa Medis : Hidronefrosis
kanan
Keluhan utama : pasien mengeluh
sakit pinggang sejak 1 bulan yang
lalu dan badan makin lama makin
lemas.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
90/70 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas :
18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-),
whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat. Teraba
massa yang kenyal di perut kuadran III pada
pemeriksaan palpasi abdomen.
Pemeriksaan USG (09/09/2013) :
Kesan : hidronefrosis ginjal kanan dengan
internal echo dalam pelvikalis yang melebar
(kemungkinan debris/pus), pelviokaliektasis
ringan ginjal kiri, kista ginjal kiri, vesicolitiasis ±
4,6 cm x 1,6 cm serta batu pada vesicolithiasis
junction kanan ± 1 cm, endapan debris/pus dalam
buli.
USG (11/09/2013) : batu buli 4,9 cm,
hidronefrosis kanan grade 4.
Prostat membesar permukaan reguler. Tidak ada
batu. Volume buli maksimum 60 cc, volume post
vid : 9,7 cc
Ukuran prostat : 3,3 x 4,6 x 3,8 cm (± vol 28 cc)
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan eliminasi urin : nyeri, , cemas
akan terapi pengobatan
Intervensi : monitor tanda vital, pain
management , coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : setelah intervensi 1 x 30 menit,
kateter bersih, kantong urin bersih dan
masih kosong. Pasien mengatakan
menjadi tahu tentang cara melakukan
perawatan kateter.
Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada
mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
dan interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 188
- 163 -
Universitas Indonesia
Stimulus fokal : Hidronefrosis , stimulus
konstektual : Infeksi, stimulus residual :
mekanisme koping tidak efektif
32. Tn. SS, 68 tahun,
laki-laki, islam,
tamat SMA, Swasta
Masuk RS :
19/03/2014
Pengkajian RS :
20/03/2014
Diagnosa Medis : Hidronefrosis
kanan
Keluhan utama : sejak 3 bulan
SMRS, pasien merasa saat kencing
kadang berhenti tapi bisa mengalir
lagi, tidak ada nyeri. Kemudian
pasien dipasang DJ stent sudah 3
bulan dan direncanakan dilakukan
pelepasan DJ Stent dan Pro
sistoskopi, sehingga pasien dirawat di
RS. Pasien memiliki riwayat batu
ureter proksimal sinistra.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
130/80 mmHg, nadi : 88 x/menit, frekuensi napas
: 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-),
whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat.
Pasien dilakukan pelepasan DJ stent dan
Sistoskopi pada hari ke-3 perawatan.
Pemeriksaan Radiologi (04/04/2014) :
Kesan : terpasang DJ Stent dengan ujung
proksimal setinggi para vertebra L1 kiri proyeksi
ginjal kiri dan ujung distal di rongga pelvis pada
proyeksi buli. Tidak tampak batu radiopak
sepanjang traktus urinarius.
Pemeriksaan laboratorium ( 18/02/2014)
Hb : 12,1 mg/dl, Ht : 38%, lekosit : 3,5 ribu/ul,
trombosit 169 ribu/ul, eritrosit : 4,17 juta/ul.
SGOT : 17 u/L, SGPT : 21 u/L, ureum : 28 gr/dl,
creatinin :1,1 gr/dl, natrium : 142 mmol/L, kalium
: 3,9 mmol/l dan clorida : 110 mmol/L.
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan eliminasi urin : nyeri, , cemas
akan terapi pengobatan
Intervensi : monitor tanda vital, pain
management, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : pasien mengatakan setelah
operasi hari ke-2 atau perawatan hari ke-5
pasien merasa lebih baik dan mengatakan
cemas berkurang
Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada
mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
dan interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 189
- 164 -
Universitas Indonesia
Stimulus fokal : Hidronefrosis , stimulus
konstektual : Pelepasan DJ Stent, stimulus
residual : mekanisme koping tidak efektif
33. Tn. DS, 60 tahun,
laki-laki, islam.
Tamat SMP, swasta.
Masuk RS :
15/03/2014
Pengkajian RS :
16/03/2014
Diagnosa Medis : Gross hematuri
akibat Trauma Uretra
Keluhan utama : pasien mengatakan
tidak bisa BAK sejak 2 hari SMRS,
dan kemaluan berdarah.
Pasien memiliki riwayat jatuh
terpeleset dan kemaluan terbentur
bak mobil pic up kemudian berdarah
(pasien terpasang Sistostomi pada
tanggal 14/03/2014), pada awalnya
berdarah dan kemudian setelah itu
pasien tidak bisa BAK.
Hasil pengkajian fisik didapatkan data : TD :
120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, frekuensi napas
: 18 x/menit, suhu : 370C. Kesadaran
composmentis konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak iketrik. Suara napas vesikuler, Ronchi (-),
whezzing (-), CRT < 3 detik, akral hangat.
Pasien terpasang sistostomi sejak 2 hari dari
tanggal pengkajian , kandung kemih tidak teraba
penuh.
Pemeriksaan genitalia elsterna : tampak keluar
dari orifisium uretra, tidak tampak inflamasi,
buah pelir memar, bengkak dan terasa nyeri
diarea sekitarnya dengan nyeri skala 4-5.
Pemeriksaan Ureterosistografi 21/03/2014) :
Kesan : ruptur uretra post bulbori
Pemeriksaan laboratorium ( 21/03/2014)
Hb : 12,6 mg/dl, Ht : 36%, , trombosit 7,2 ribu/ul,
eritrosit : 3,96 juta/ul. SGOT : 31 u/L, SGPT : 23
u/L, ureum : 47 gr/dl, creatinin : 0,8 gr/dl,
Masalah keperawatan yang muncul:
gangguan eliminasi urin, nyeri, , cemas
akan terapi pengobatan
Intervensi : monitor tanda vital, pain
management, coping enhancement,
teaching individual and family.
Evaluasi : pasien mengatakan perawatan
hari ke-5 pasien merasa lebih baik dan
mengatakan cemas berkurang, tetapi ingin
segera dilakukan operasi supaya bisa BAK
normal lagi. Pasien sudah dapat melakukan
perawatan kateter secara mandiri.
Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada
mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran
dan interdependensi menunjukkan perilaku
yang adaptif.
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014
Page 190
- 165 -
Universitas Indonesia
natrium : 135 mmol/L, kalium : 3,45 mmol/l dan
clorida : 97 mmol/L.
Stimulus fokal : trauma uretra, stimulus
konstektual : gangguan eliminasi urin, stimulus
residual : mekanisme koping tidak efektif
Analisis aplikasi…., Rita Dwi Hartanti, FIK UI, 2014