42 DOI: https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01401.3 ANALISA YURIDIS PENYIMPANGAN PENEGAKAN HUKUM PADA KONFLIK LAHAN DI PROVINSI JAWA TIMUR Teddy Minahasa Putra Kepolisian Republik Indonesia, Staff Ahli Manajemen Kapolri Email: [email protected]Abstract This paper examines the deviations of law enforcement in land conflicts in East Java based on the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.38/Pra.Pe /2015.PN.Sby (case of Notary Nora Maria Lidwina, SH). This empirical or socio legal research uses a case study approach. The results show that irregularities in law enforcement in land conflicts by public service providers and law enforcement officials are generally based on corrupt behavior and violations of ethical codes, such as abuse of power, maladministration, case brokers, accepting bribes from certain parties, violence, intervening in cases, and other human rights violations. Mitigation efforts are improving the law enforcement officers isntitutions; improving the judicial administration and justice management systems; imposing strict sanctions; conducting supervision; conducting a transparent service and treatment; socializing anti-corruption movement; and creating an anti-corruption culture and excellent public services. Key words: Law Enforcement Irregularities, Land Conflict, East Java Province. Abstrak Tulisan ini mengkaji penyimpangan penegakan hukum pada konflik lahan di Provinsi Jawa Timur berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.38/Pra.Per/2015.PN.Sby (kasus Notaris Nora Maria Lidwina, SH). Penelitian empiris atau sosio legal ini menggunakan pendekatan studi kasus. Hasil kajian menunjukkan bahwa penyimpangan penegakan hukum pada konflik lahan oleh pegawai pemberi layanan publik maupun aparat penegak hukum umumnya didasari oleh perilaku korupsi dan pelanggaran kode etik, seperti penyalahgunaan kekuasaan, maladministrasi, makelar kasus, menerima suap dari pihak tertentu, kekerasan, mengintervensi kasus, serta pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Upaya penanggulangannya adalah memperbaiki institusi aparat penegak hukum; memperbaiki sistem administrasi yudisial dan manajemen peradilan; memberikan sanksi tegas; melakukan pengawasan; pelayanan dan penanganan yang transparan; sosialisasi gerakan anti korupsi; serta menciptakan budaya anti korupsi dan pelayanan publik yang prima. Kata Kunci: Penyimpangan Penegakan Hukum, Konflik Lahan, Provinsi Jawa Timur.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
ANALISA YURIDIS PENYIMPANGAN PENEGAKAN HUKUM PADA KONFLIK LAHAN DI PROVINSI JAWA TIMUR
Teddy Minahasa Putra
Kepolisian Republik Indonesia, Staff Ahli Manajemen KapolriEmail: [email protected]
Abstract
This paper examines the deviations of law enforcement in land conflicts in East Java based on the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.38/Pra.Pe /2015.PN.Sby (case of Notary Nora Maria Lidwina, SH). This empirical or socio legal research uses a case study approach. The results show that irregularities in law enforcement in land conflicts by public service providers and law enforcement officials are generally based on corrupt behavior and violations of ethical codes, such as abuse of power, maladministration, case brokers, accepting bribes from certain parties, violence, intervening in cases, and other human rights violations. Mitigation efforts are improving the law enforcement officers isntitutions; improving the judicial administration and justice management systems; imposing strict sanctions; conducting supervision; conducting a transparent service and treatment; socializing anti-corruption movement; and creating an anti-corruption culture and excellent public services.Key words: Law Enforcement Irregularities, Land Conflict, East Java Province.
Abstrak
Tulisan ini mengkaji penyimpangan penegakan hukum pada konflik lahan di Provinsi Jawa Timur berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.38/Pra.Per/2015.PN.Sby (kasus Notaris Nora Maria Lidwina, SH). Penelitian empiris atau sosio legal ini menggunakan pendekatan studi kasus. Hasil kajian menunjukkan bahwa penyimpangan penegakan hukum pada konflik lahan oleh pegawai pemberi layanan publik maupun aparat penegak hukum umumnya didasari oleh perilaku korupsi dan pelanggaran kode etik, seperti penyalahgunaan kekuasaan, maladministrasi, makelar kasus, menerima suap dari pihak tertentu, kekerasan, mengintervensi kasus, serta pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Upaya penanggulangannya adalah memperbaiki institusi aparat penegak hukum; memperbaiki sistem administrasi yudisial dan manajemen peradilan; memberikan sanksi tegas; melakukan pengawasan; pelayanan dan penanganan yang transparan; sosialisasi gerakan anti korupsi; serta menciptakan budaya anti korupsi dan pelayanan publik yang prima.Kata Kunci: Penyimpangan Penegakan Hukum, Konflik Lahan, Provinsi Jawa Timur.
Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 43
Latar Belakang
Perkembangan masyarakat tempat
hukum diberlakukan akan mempengaruhi
pola penegakan hukum. Semakin modern
dan semakin tinggi tingkat spesialisasi
masyarakatnya maka sistem penegakan
hukumnya juga akan semakin kompleks dan
birokratis. Secara teoritis, penegakan hukum
dan keadilan dinyatakan efektif apabila
5 (lima) pilar utama hukum berjalan dan
berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu yang
meliputi instrumen hukum, aparat penegak
hukum, warga masyarakat yang terkena
lingkup peraturan hukum, kebudayaan (legal
culture), serta sarana dan fasilitas yang dapat
mendukung pelaksanaan hukum.
Kelima pilar tersebut harus harmonis dalam
penerapannya pada setiap aspek kehidupan
masyarakat, termasuk dalam hal ini pada
kasus maupun konflik di bidang pertanahan.
Permasalahan pertanahan merupakan isu
yang selalu aktual dari masa ke masa. Hal ini
terbentuk seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk, berkembangnya Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK), meluasnya program
pembangunan, serta meningkatnya kebutuhan
masyarakat akan lahan sebagai tempat hidup
maupun berinvestasi.
Tingginya kebutuhan terhadap lahan
pada kenyataannya tidak berbanding lurus
dengan ketersediaan jumlah lahan yang
cenderung bersifat statis. Inilah yang
memicu maraknya terjadi sengketa lahan.
Penyebab terjadinya konflik atau sengketa
lahan umumnya didominasi oleh rendahnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya
kepastian hukum di bidang pertanahan. Masih
banyak masyarakat yang belum melakukan
pendaftaran dan membuat sertifikat sah atas
lahan-lahan yang dimilikinya kepada institusi
yang berwenang, yakni Badan Pertanahan
Nasional (BPN).
Menyikapi hal ini Presiden Joko Widodo
menerapkan Reforma Agraria melalui
Program Nawa Cita Nomor 5 (lima) sebagai
bentuk komitmen kuat pemerintah untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.1
Wiradi2 mengungkapkan bahwa istilah
reformasi agraria berasal dari bahasa Spanyol
yang kemudian dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai agrarian reform yang berarti menata
kembali struktur kepemilikan, penguasaan,
dan penggunaan lahan untuk kepentingan
rakyat banyak. Program Nawa Cita Presiden
Jokowi menjadi bentuk komitmen yang
kuat dari pemerintah untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1 CNN Indonesia, “BPN Target Terbitkan 11 Juta Sertifikat Tanah Gratis di 2019”, https://www. cnnindonesia.com/nasional/20190321134316-20-379420/bpn-target-terbitkan-11-juta-sertifikat-tanah-gratis-di-2019, diakses 25 Februari 2020.
2 Almira Gusti Iqma, “Community Plantation Forests: As Implementation of Agrarian Reform in Forestry Sector Village Lubuk Seberuk, Lempuing OKI, South Sumatera”, Interaktif Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Vol. 12, No. 2, (2020): 1.
44 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66
tahun 1945, sekaligus menjadi salah satu rute
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
(welfare state).3
Guna mendukung tercapainya tujuan
presiden sekaligus menjamin adanya
kepastian hukum atas kepemilikan lahan,
sebagai landasan operasional pemerintah
menggunakan Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) sebagai payung hukum
(umbrella act) dari peraturan-peraturan lain di
bidang pertanahan.
Namun perjalanan waktu dan perubahan
menuju era industrialisasi semakin membuka
peluang pergesekan terhadap UUPA tersebut.
Banyak peraturan-peraturan baru yang dibuat
untuk kepentingan industri dan pembangunan
yang justru bertolak belakang dan mengalami
pergesekan dengan UUPA. Berbagai peraturan
ini sering menyebabkan terjadinya kasus-
kasus lahan yang pada akhirnya menimbulkan
konflik sosial, baik secara vertikal maupun
horizontal.
Misalnya saja Undang-Undang Nomor 5
tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan
yang diperbarui dengan Undang-Undang
Nomor 41 tahun 1999 (UUK). UUK
memasukkan UUPA sebagai dasar yuridis
tetapi batang tubuhnya tidak mengacu pada
pasal-pasal di dalam UUPA. Jika di dalam
UUPA negara mengakui keberadaan tanah
negara, tanah ulayat masyarakat adat, dan
tanah hak maka UUK hanya mengakui
keberadaan hutan negara dan hutan hak. UUK
tidak mengakui keberadaan hutan adat padahal
hutan adat merupakan bagian dari hak ulayat
masyarakat yang hingga kini masih dilindungi
oleh negara sebagaimana yang tercantum di
dalam UUPA. Dalam praktiknya di lapangan,
hal ini sering memicu permasalahan sebagai
akibat dari tidak adanya sinkronisasi dan
kordinasi antara Badan Pertanahan Nasional
(BPN) dengan Kementerian Kehutanan.
Demikian juga dengan Undang-undang
Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (UUSDA). Selain tidak menjadikan
UUPA sebagai landasan yuridisnya, UUSDA
juga memiliki persoalan di tataran pemberian
Hak Guna Air (HGA), Hak Guna Usaha Air
(HGUA), dan Hak Guna Pakai Air (HGPA).
Istilah “hak” yang digunakan menjadi kurang
tepat karena dalam praktiknya hanya sebatas
pemberian izin. Berbeda dengan pasal 47
UUPA ayat (1) yang menyatakan bahwa hak
guna air ialah hak memperoleh air untuk
keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air
itu di atas tanah orang lain. Setelah UUSDA
tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013
maka Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974
tentang Pengairan diberlakukan kembali. Pada
implementasinya hal tersebut menimbulkan
persoalan regulasi hingga saat ini.
Permasalahan legislasi lainnya terdapat
pada Undang-Undang Nomor 4 tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (UU Minerba). UU Minerba tidak
menjadikan UUPA sebagai sumber hukum
3 CNN Indonesia, Loc., Cit.
Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 45
dan orientasinya lebih condong ke arah
produksi dan bukan konservasi. Selain dinilai
menguntungkan pihak swasta dan berpotensi
merugikan negara, UU Minerba juga tidak
mengatur secara tegas mengenai ganti rugi
bagi pemegang hak atas tanah yang diambil
untuk kegiatan pertambangan.4
UUPA yang nasionalis, populis, dan
mendasarkan pada hukum adat Indonesia
tidaklah seperti tujuan pembentukannya
semula. Berbagai penyimpangan UUPA
mendorong munculnya Ketetapan MPR
Nomor IX tahun 2001 tentang Reformasi
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam (SDA), yang merupakan landasan
peraturan perundang-undangan di bidang
pembaharuan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam. Undang-undang sektoral
menjadi degradasi terhadap UUPA. Jika pada
awalnya dimaksudkan sebagai lex generalis
bagi pengaturan Sumber Daya Alam (SDA),
ternyata menjadi sederajat dengan undang-
undang sektoral lainnya dan dengan demikian
menjadikan UUPA sebagai lex specialis
yang hanya mengatur bidang pertanahan.
Ditinggalkannya semangat dan prinsip-
prinsip yang mendasari UUPA oleh undang-
undang sektoral ditengarai adanya perbedaan
antara UUPA dengan undang-undang sektoral
dalam hal: (1) Orientasi; (2) Keberpihakan;
(3) Pengelolaan dan implementasinya; (4)
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM);
(5) Pengaturan tentang good governance; (6)
Hubungan antara orang dengan SDA; serta (7)
hubungan antara negara dengan SDA.5
Kasus lahan yang terjadi di Indonesia
hingga kini masih cukup tinggi. Kasus-kasus
tersebut cukup beragam, mulai dari konflik
perebutan lahan antar perorangan, sengketa
perorangan dengan perusahaan, dualisme
sertifikat (sertifikat ganda), hingga kasus yang
disebabkan oleh perilaku maladministrasi
para aparat pemberi layanan publik.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) 2020, konflik lahan di Indonesia
sepanjang tahun 2020 mencapai 241 (dua
ratus empat puluh satu) konflik dengan luasan
wilayah konflik mencapai 624.272,711 (enam
ratus dua puluh empat ribu dua ratus tujuh
puluh dua koma tujuh ratus sebelas) hektar.
Jumlah masyarakat yang terdampak konflik
mencapai 135.332 (seratus tiga puluh lima ribu
tiga ratus tiga puluh dua) kepala keluarga yang
tersebar di 420 (empat ratus dua puluh) desa di
34 (tiga puluh empat) provinsi. Konflik yang
paling banyak berasal dari sektor perkebunan
sebanyak 122 (seratus dua puluh dua) kasus,
sektor kehutanan sebanyak 41 (empat puluh
satu) kasus, sektor infrastruktur sebanyak 30
(tiga puluh) kasus, sektor properti sebanyak
20 (dua puluh) kasus, sektor pertambangan
sebanyak 12 (dua belas) kasus, sektor fasilitas
4 Wasis Susetio, “Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria”, Lex Jurnalica Vol. 10, No. 3, (Desember 2013): 135-136.
5 Okky Chahyo Nugroho, “Konflik Agraria di Maluku Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia (Agrarian Conflict in Maluku Viewed from The Perspective of Human Rights)”, Jurnal HAM, Volume 9, Nomor 1, (Juli 2018): 88.
46 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66
militer sebanyak 11 (sebelas) kasus, sektor
pesisir kelautan sebanyak 3 (tiga) kasus, dan
sektor agribisnis sebanyak 2 (dua) kasus.6
Sepanjang tahun 2020 sebaran wilayah
konflik yang menjadi 5 (lima) besar adalah
Provinsi Riau sebanyak 29 (dua puluh
sembilan) letusan konflik, Provinsi Jambi
sebanyak 21 (dua puluh satu) letusan
konflik, Provinsi Sumatera Utara sebanyak
18 (delapan belas) letusan konflik, Provinsi
Sumatera Selatan sebanyak 17 (tujuh belas)
letusan konflik, dan Provinsi Nusa Tenggara
Timur sebanyak 16 (enam belas) letusan
konflik. Di Provinsi Jawa Timur sepanjang
tahun 2020 terjadi sebanyak 12 (dua belas)
letusan konflik dengan luasan wilayah konflik
mencapai 14.659,798 (empat belas ribu enam
ratus lima puluh sembilan koma tujuh ratus
sembilan puluh delapan) hektar.7
Meskipun tahun 2020 Provinsi Jawa Timur
tidak masuk dalam 5 (lima) besar provinsi
dengan konflik lahan tertinggi, tetapi konflik
lahan di Provinsi Jawa Timur dapat dikatakan
masih cukup tinggi dan butuh penanganan
yang serius. Pada tahun 2019 Provinsi Jawa
Timur bahkan berada di urutan ke-4 (keempat)
wilayah dengan konflik lahan tertinggi, yaitu
dengan 21 (dua puluh satu) konflik.8
Salah satu contoh kasus lahan di Provinsi
Jawa Timur yang sempat mencuat adalah
kasus lahan antara warga dengan Kepala
Desa Pandanwangi, Kecamatan Tempe,
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pada awal
Februari 2018, Kepala Desa Pandanwangi
dan jajarannya beserta aparat keamanan dari
kepolisian dan Babinsa melakukan pematokan
di atas lahan pertanian warga berukuran sekitar
200 (dua ratus) hektar secara sepihak dengan
dalih “Reforma Agraria” untuk merampas
kembali tanah-tanah re-claiming. Hal tersebut
memicu terjadinya eskalasi konflik antara
petani dengan massa bayaran oleh kepala desa.
Berbagai upaya advokasi telah dilakukan oleh
warga terkait adanya dugaan maladministrasi
yang dilakukan oleh pihak Kepala Desa
Pandanwangi, tetapi hingga saat ini belum ada
tindak lanjut.
Contoh lain penyimpangan penanganan
kasus lahan di Provinsi Jawa Timur terlihat
pada upaya mempidanakan Notaris Nora
Maria Lidwina, SH di Surabaya dalam proses
pembuatan Akta Jual Beli (AJB) atas objek
tanah. Notaris Nora dituduh telah memberikan
keterangan palsu di dalam AJB dan ditetapkan
sebagai tersangka oleh penyidik kepolisian
selama 9 (sembilan) tahun tanpa adanya
kejelasan akan tindak lanjut penyelesaian
perkaranya. Pada tahun 2019 Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Surabaya mencabut
status tersangka Notaris Nora karena menilai
6 Bayu Galih, “KPA Catat 241 Kasus Konflik Agraria Sepanjang 2020 di Tengah Pandemi”, https://nasional.kompas.com/read/2021/01/06/13013151/kpa-catat-241-kasus-konflik-agraria-sepanjang-2020-anomali-di-tengah-pandemi?page=all, diakses 10 Maret 2021.
7 KPA/or/id, “Catatan Akhir Tahun 2020: Konsorsium Pembaruan Agraria”, http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4db26-catatan-akhir-tahun-kpa_peluncuran-1_laporan-konflik-agraria-2020.pdf, diakses 10 Maret 2021.
8 Ibid.
Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 47
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm. 133-136.11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2015), hlm. 12-15.
48 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66
Hasil Pembahasan
A. Penyimpangan Penegakan Hukum Pada Konflik Lahan Kasus Notaris Nora Maria Lidwina Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.38/Pra.Per/ 2015/ PN.Sby
Kasus bermula saat Notaris Nora Maria
Lidwina, SH di Surabaya dituduh membuat/
memasukkan keterangan palsu di dalam
akta otentik berbentuk Akta Jual Beli (AJB)
tanah bersama dengan Wardojo dan 2 (dua)
staf Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota
Surabaya. Wardojo menjual sebidang tanah
miliknya yang berlokasi di Jalan Sumatera,
Surabaya kepada Eddy. Proses penjualan
tersebut dibuat di hadapan Notaris Nora yang
kemudian menerbitkan AJB antara Drs. Ec
Wardojo, mantan Kepala Badan Pertanahan
(BPN) Provinsi Jawa Timur selaku penjual
dengan Eddy Hiunadi selaku pembeli pada
November 2007. Wardojo (yang kemudian
meninggal dunia pada Oktober 2010) tidak
pernah mengungkapkan kepada Notaris
Nora Maria Lidwina bahwa tanah tersebut
masih berstatus sengketa dengan Tan Aditya
Tandiokusumo.
Notaris Nora kemudian dituduh secara
bersama-sama dengan Wardojo telah
memasukkan keterangan palsu ke dalam AJB.
Notaris Nora dan Wardojo kemudian ditetapkan
sebagai tersangka oleh Unit Harda Sat Reskrim
Polrestabes Surabaya berdasarkan Laporan
Polisi No.LPB/530/IV/2009/SPK tanggal
29 April 2009 dan Laporan Polisi No.Pol.K/
LP/0001/XI/2010/Satres-krim tanggal 04
November 2010 di Polrestabes Surabaya atas
laporan Tan Aditya Tandiokusuma. Dalam
laporannya, Tan Aditya mengaku memiliki
Surat Izin Penempatan (SIP) rumah di lokasi
tanah tersebut. Sementara di lokasi tanah
tersebut tidak ada lagi bangunan karena telah
dirobohkan oleh Wardojo yang memenangkan
kasus sengketa dengan Tan Aditya. Faktanya
SIP yang dimiliki oleh Tan Aditya tersebut
sudah dicabut oleh Pemkot Surabaya jauh
sebelum eksekusi dilakukan.
Namun demikian, Unit Harda Sat Reskrim
Polrestabes Surabaya tetap saja menetapkan
Notaris Nora sebagai tersangka atas dugaan
melakukan tindak pidana pemalsuan surat
akta otentik dan/atau turut serta melakukan,
turut membantu memberikan keterangan
palsu dalam akta otentik, dan menggunakan
akta yang tidak benar sebagaimana dimaksud
dalam pasal 264 ayat (1) ke-1 huruf a KUHP
dan/atau pasal 266 ayat (1) dan ayat (2) jo
pasal 55 ayat (1) angka 1 dan jo pasal 56
ayat (1) dan (2) KUHP. Di tengah-tengah
proses penyidikan, Wardojo yang merupakan
tersangka utama meninggal dunia dan sejak
saat itu penyidik Polrestabes Surabaya
mengalihkan sasaran kepada Notaris Nora.
Selama 9 (sembilan) tahun kasus tersebut
dibiarkan saja tanpa ada tindak lanjut. Hal
ini tentu saja sudah melanggar hak asasi
manusia sebagaimana ketentuan dalam pasal
50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 49
Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasal 50 ayat (1) dan (2) KUHAP
menyatakan:(1) Tersangka berhak segera mendapat
pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum;
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
Ketentuan dalam pasal ini seharusnya telah memberikan jaminan perlindungan hak-hak tersangka dan menjamin kepastian hukum yang adil bagi semua warga negara dalam proses pemeriksaan. Tidak seharusnya kasus Notaris Nora dibiarkan berlarut-larut hingga 9 (sembilan) tahun tanpa adanya kejelasan dan tindak lanjut.
Begitu juga dengan pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan:(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan,
dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.
Berdasarkan pasal tersebut diatas,
tidak seharusnya Notaris Nora ditahan
karena tidak terdapat cukup bukti yang
menunjukkan bahwa Notaris Nora dengan
sengaja memasukkan keterangan palsu di
dalam AJB yang diterbitkannya. Sementara
jika Notaris Nora melakukannya secara tidak
sengaja, seharusnya kasus tersebut diserahkan
kepada majelis maupun penanggung jawab
kode etik dan diselesaikan di badan internal
kenotariatan, bukan alih-alih memaksakannya
masuk ke ranah pidana. Melalui surat
keterangan yang dikeluarkan oleh Ketua
Majelis Pengawas Daerah Kota Surabaya,
Miftachul Machsum, juga disebutkan bahwa
seluruh prosedur dalam pembuatan akta jual
beli yang dilakukan oleh Notaris Nora telah
sesuai dengan perundang-undangan.
Selain itu berdasarkan Peraturan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI (MahkumJakpol)
Nomor 299/2010 dan M.HH-35/2010 serta
Kep-059/2010 tentang Standar Operasional
Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak
Pidana Umum, telah ditentukan bahwa apabila
berkas perkara sudah 3 (tiga) kali diajukan
oleh penyidik dan dikembalikan oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) maka perkara tersebut
50 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66
dinyatakan tidak layak atau tidak dapat dilanjutkan lagi.
Sedangkan dalam perkara ini berkas perkara sudah 13 (tiga belas) kali dikembalikan oleh JPU. Berkas perkara selalu dikembalikan karena JPU menilai bahwa penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk dari JPU dan penyidik tidak bisa menunjukkan di mana letak keterangan palsu dalam akta jual beli yang diterbitkan oleh Notaris Nora seperti yang dituduhkan kepadanya.
Berdasarkan ketentuan ini seharusnya kasus Notaris Nora tidak dapat dilanjutkan. Statusnya sebagai tersangka juga tidak boleh digantung selama 9 (sembilan) tahun dan secepatnya harus mendapatkan suatu kepastian. Kepastian ini diatur dalam Peraturan Bersama No.099/KMA/ SKB/V/2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana Dalam Mewujudkan Penegakan HAM yang Berkeadilan yang dikeluarkan oleh ketua Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri.
Pada tahun 2019 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya akhirnya mencabut status tersangka Notaris Nora karena menilai penetapan status tersangka pada dirinya telah melanggar pasal 50 KUHAP, serta Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI (MahkumJakpol) Nomor 299/2010 dan M.HH-35/2010 dan Kep-059/2010 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP)
Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Selain dibebaskan, status Notaris Nora sebagai pejabat publik juga dipulihkan.
Apabila dikategorikan, konflik lahan yang akhirnya menjerat Notaris Nora tersebut di atas termasuk permasalahan yang bersifat manifest conflict.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ron Fisher, konflik adalah ketidakcocokan tujuan atau nilai antara 2 (dua) atau lebih pihak dalam suatu hubungan yang dikombinasikan dengan upaya untuk mengontrol satu sama lain dan perasaan antagonis terhadap satu sama lain.12 Adapun menurut Hocker dan Wilmot, konflik adalah ekspresi perjuangan antara minimal 2 (dua) pihak yang saling ketergantungan dan merasa adanya ketidaksesuaian dalam tujuan, kelangkaan sumber daya, dan adanya campur tangan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.13
Dalam suatu organisasi atau lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta, proses konflik dapat dipahami dengan menggunakan model Pondy tentang episode konflik yang ditunjukkan melalui serangkaian tahapan berikut:14
1) Latent conflict, tahap munculnya faktor-faktor yang menjadi penyebab awal mula terjadinya konflik di dalam organisasi.
2) Perceived conflict, tahap dimana salah satu pihak memandang bahwa pihak lain akan menghambat atau mengancam pencapaian tujuannya.
12 Ron Fisher, “Sources of Conflict and Methods of Conflict Resolution”, http://www. communicationcache.com/uploads/1/0/8/8/10887248/sources_of_conflict_and_ methods_of_resolution. pdf , accessed 15 April 2020.
13 Myra Warren Isenhart and Michael Spangle, Collaborative Approaches to Resolving Conflict, (New Delhi: Sage Publications Inc, 2000), p. 342.
54 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66
baik, dan modern; (e) Kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa, terutama di badan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman; (f) Tingginya korupsi dan kejahatan terorganisir (organized crime) antar anggota penegak hukum dengan tuduhan mafia peradilan.
3) Faktor sarana dan fasilitas, yaitu manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan sebagainya. Tanpa dukungan sarana dan fasilitas yang memadai maka penegakan hukum tidak dapat dilakukan secara optimal.
4) Faktor masyarakat. Indonesia terdiri dari masyarakat yang majemuk dengan berbagai golongan etnik dan ragam kebudayaan. Oleh sebab itu penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada untuk memudahkan penegak hukum untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut sehingga penegakan hukum dapat diterapkan.
5) Faktor kebudayaan. Pada prinsipnya, kebudayaan pasti mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai
apa saja yang dianggap baik (sehingga
dianut/dilakukan) dan apa yang dianggap
buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai
tersebut lazimnya terdiri dari nilai-
nilai konservatisme dan nilai-nilai
inovatisme yang mencerminkan 2 (dua)
keadaan ekstrim yang harus diserasikan/
diselaraskan.
Dalam penegakan hukum, kelima faktor
tersebut di atas akan saling berkaitan erat
antara satu dengan lainnya. Faktor satu
sama lain akan saling mempengaruhi dalam
upaya penegakannya. Kelemahan yang
satu akan berdampak kepada yang lainnya
karena keseluruhannya menjadi hal pokok
dalam penegakan hukum serta dalam rangka
memperoleh tolok ukur dari efektivitas
penegakan hukumnya.
B. Penanggulangan Penyimpangan Penegakan Hukum Pada Konflik Lahan di Provinsi Jawa Timur
Dalam Bahasa Yunani tanah disebut
dengan “pedon” dan dalam Bahasa Latin
disebut“ solum” yang berarti bagian kerak
bumi yang tersusun dari mineral dan bahan
organik. Tanah berasal dari hasil pelapukan
batuan bercampur dengan sisa-sisa bahan
organik dan organisme (vegetasi atau hewan)
yang hidup di atasnya atau di dalamnya.21
Peruntukannya dapat digunakan sebagai
sumber pencaharian perekonomian maupun
menjadi alas pembangunan rumah yang akan
digunakan sebagai tempat hunian. Dengan
21 Mahfud Arifin, Novarina Dermawan Putri, dkk, “Pengaruh Posisi Lereng Terhadap Sifat Fisika dan Kimia Tanah pada Inceptisols di Jatinangor”, Soilrens Vol. 16, No. 2, (Juli-Desember 2018): 37.
Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 55
demikian tanah dapat didefinisikan sebagai lapisan kerak bumi yang berada di lapisan paling atas yang juga merupakan penyangga seluruh kehidupan yang ada di muka bumi.
Banyaknya manfaat dari tanah berdasarkan kegunaan dan jenisnya membuat negara dalam hal ini pemerintah merasa perlu untuk mengatur dan menata pemanfaatan tanah yang akan dikelola sesuai dengan peruntukannya.
Chapin menggolongkan tanah dalam 3 (tiga) golongan, yaitu yang memiliki:22
1. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas.
2. Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan bermasyarakat.
3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, berkeluarga, bersekolah, beribadat, berekreasi, berolahraga, dan sebagainya.
Menurut Rachmadi Usman, baik kata “conflict” maupun “dispute” sama-sama mengandung pengertian tentang adanya
perbedaan kepentingan di antara 2 (dua) belah pihak atau lebih. Namun kedua istilah tersebut dapat dibedakan dari segi kosa kata. “Conflict” sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “konflik” sedangkan “dispute” dapat diterjemahkan sebagai sengketa.23
Lebih lanjut ditegaskan bahwa konflik tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Suatu konflik akan berkembang menjadi sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan ketidakpuasannya.24
Menurut Richard L. Abel (1973), William L. F. Felstiner (1974, 1975), dan Paul Wehr (1979) sebagaimana dikutip oleh Steven Vago,25 pengertian konflik adalah sesuatu yang terjadi dalam kehidupan yang dapat dikelola dan diatur alih-alih diselesaikan. Intervensi dari pihak ketiga hanya mewakili penyelesaian komponen publik dan bukan mengurangi kekuatan yang mendasari ketegangan yang diciptakan oleh konflik tersebut.
Pemetaan tipologi konflik dilakukan dengan cara mengelompokkannya ke dalam ruang-ruang konflik. Kriteria-kriteria ruang konflik tersebut menurut Fuad dan Maskanah dalam Rachmad Safa’at dan Indah Dwi Qurbani26 terbagi ke dalam 5 (lima) ruang
konflik, yaitu:
22 Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah, (Bandung: Penerbit ITB, 1999), hlm. 28.
23 Rachmadi Usman dalam Sarjita, Teknik dan Strategi Mengelola Sengketa dan Konflik Pertanahan (Memadukan Antara Teori dan Studi Empirik), Tanpa penerbit, 2004, hlm. 7.
24 Ibid., hlm 8.25 Steven Vago, Law and Society, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1991), p. 174.26 Rachmad Safa’at dan Indah Dwi Qurbani, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertambangan (Studi di Kabupaten
Lumajang Provinsi Jawa Timur)”, Jurnal Konstitusi Vol. 14, No. 1, (Maret 2017): 157-158.
56 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66
1. Konflik data, terjadi ketika seseorang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai data yang relevan, menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.
2. Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif (misalnya uang dan sumber daya), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah), atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat).
3. Konflik hubungan antar manusia, merupakan tipologi konflik yang paling dominan. Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif). Masalah-masalah ini sering menimbulkan konflik yang tidak realistis atau yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
4. Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, baik yang hanya dirasakan maupun memang nyata. Nilai adalah kepercayaan yang digunakan manusia untuk memberi arti pada hidupnya sehingga konflik nilai
terjadi ketika seseorang berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada orang lain atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan kepercayaan. Penegakan regulasi merupakan sumber konflik yang paling dominan.
5. Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum biasanya memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.
Berdasarkan penjabaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan hal yang tidak terlepas dari kehidupan sosial masyarakat. Perkembangan kehidupan manusia akan menyebabkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan termasuk struktur kehidupan sosial dan perubahan kultur/budaya yang pada akhirnya mengarah pada perubahan sistem hukum. Perubahan-perubahan tersebut sering kali membuat masyarakat kesulitan untuk menyesuaikan diri sehingga muncul perbedaan pendapat dan disharmoni antara satu sama lain yang mengakibatkan munculnya konflik, baik konflik yang bersifat horizontal maupun vertikal.
Menurut James A. F. Stoner dan Charles Wankel dalam Wirawan,27 konflik pada umumnya dapat diketahui atas 5 (lima) jenis
klasifikasi, yakni:
27 Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian, (Jakarta: Salemba Empat, 2010), hlm. 22.
Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 57
1. Konflik intrapersonal atau konflik
seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik
ini terjadi apabila pada waktu yang sama
seseorang memiliki 2 (dua) keinginan
yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.
2. Konflik interpersonal atau konflik
pertentangan antar seseorang dengan
orang lain yang terjadi karena adanya
pertentangan kepentingan atau keinginan.
Hal ini sering terjadi antara 2 (dua) orang
yang berbeda status, jabatan, bidang
kerja, dan lain-lain.
3. Konflik antar individu-individu dan
kelompok-kelompok. Konflik ini sering
kali berhubungan dengan cara individu
menghadapi tekanan-tekanan untuk
mencapai konformitas yang ditekankan
kepada mereka oleh kelompok kerja
mereka.
4. Konflik antara kelompok dalam organisasi
yang sama. Konflik ini merupakan tipe
konflik yang banyak terjadi di dalam
organisasi-organisasi. Konflik antar lini
dan staf seperti antara pekerja dengan
pekerja serta pekerja dengan manajemen
merupakan 2 (dua) macam bidang konflik
antar kelompok.
5. Konflik antara organisasi. Contohnya
seperti di bidang ekonomi dimana
Amerika Serikat dan negara-negara lain
dianggap sebagai bentuk konflik dan
konflik ini biasanya disebut dengan
persaingan. Konflik ini menyebabkan
timbulnya pengembangan produk-
produk baru, teknologi baru, servis baru,
dan pemanfaatan sumber daya secara
lebih efisien.
Terlepas dari itu konflik atau sengketa
sering kali digunakan secara bergantian
dengan makna yang sebenarnya kurang lebih
sama. Hal tersebut bisa dimengerti karena
istilah konflik atau sengketa dipahami sebagai
representasi dari suatu perselisihan. Namun
begitu, konflik atau sengketa sebenarnya
dapat dibedakan berdasarkan kategori tertentu
seperti dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Perbedaan Istilah Konflik dan SengketaAspek Konflik Sengketa
Lingkup Konflik lebih luas dari sengketa karena konflik mencakup perselisihan-perselisihan yang bersifat laten (tersembunyi) dan manifes (terbuka).
Sengketa lebih sempit dari konflik karena sengketa mencakup perselisihan-perselisihan yang besifat terbuka.
Pihak Pihak-pihak dalam konflik mencakup pihak yang sudah teridentifikasi dengan jelas maupun tidak.
Pihak-pihak dalam sengketa sudah teridentifikasi dengan jelas.
Kepustakaan Istilah konflik lebih sering ditemukan dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dan politik dari pada dalam kepustakaan ilmu hukum.
Istilah sengketa lebih sering ditemukan dalam kepustakaan ilmu hukum.
Forum Penyelesaian Konflik tidak cukup memiliki infrastruktur kelembagaan penyelesaian.
Sengketa memiliki infrastruktur kelembagaan penyelesaian yang lebih lengkap dan formal, seperti lembaga peradilan.
Sumber: Data diolah
58 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66
Sementara jika dilihat dari peraturan
perundang-undangan, defi nisi konfl ik atau
sengketa dapat diketahui sebagai berikut:
Tabel 2. Defi nisi Konfl ik atau Sengketa menurut Peraturan Perundang-UndanganSumber Defi nisi Konfl ik atau Sengketa
Peraturan Menteri ATR/ Ka.BPN No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan
Sengketa tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Konfl ik tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.
Peraturan Menteri LHK No. 84 tahun 2015 tentang Penanganan Konfl ik Tenurial Kehutanan
Konfl ik tenurial hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan.
UU No. 7 tahun 2012 tentang Penyelesaian Konfl ik Sosial
Konfl ik sosial, yang selanjutnya disebut konfl ik adalah perseteruan dan/atau benturan fi sik dengan kekerasan antara 2 (dua) kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara 2 (dua) pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
Sumber: Diolah dari berbagai peraturan perundang-undangan.
Berbagai konfl ik atau sengketa ini dalam
penanganannya sangat tergantung pada sikap
pihak-pihak terkait. Sayangnya sikap dalam
menghadapi konfl ik sangat dipengaruhi
oleh perspektif para pihak tentang konfl ik.
Perspektif tiap-tiap pihak terhadap konfl ik
akan mempengaruhi gaya para pihak dalam
menghadapinya. Untuk dapat memahami tiap
perspektif yang umumnya muncul, instrumen
Kenneth W. Thomas dan Ralph H. Kilmann
dapat diuraikan sebagai berikut:
Gambar 1. Thomas Kilman Confl ict Instument
Sumber: Diolah dari CPP. Inc, Thomas-Kilmann Confl ict Mode Instrument: Profi le and
Interpretative Report, 2010
Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 59
Berdasarkan gambar di atas, perspektif
atas konflik yang umumnya dapat dilihat dari
pihak-pihak yang berkonflik adalah berupa:
menghindar (avoiding), mengakomodasi
(accommodating), berkompromi
(compromising), bersaing (competiting), dan
bekerja sama (collaborating). Kelima sikap
yang diekspresikan oleh para pihak yang
berkonflik merupakan kunci untuk memetakan
gaya berkonflik yang lebih lanjut diuraikan
sebagai berikut:
1. Menghindar (avoiding), terjadi ketika
salah satu pihak menolak untuk mengakui
adanya sengketa/menyangkal adanya
sengketa atau mengubah topik penyebab
sengketa ke topik lainnya yang bukan
penyebab sengketa. Menghindari diskusi
tentang sengketa, seperti berperilaku
tidak jelas (non-committal) atau tidak
ingin membangun komitmen terhadap
upaya penyelesaian sengketa.
2. Upaya untuk mengakomodasi
(accomodating), terjadi ketika salah
satu pihak mengorbankan sebagian
kepentingan diri/kelompoknya guna
memenuhi (sebagian) kepentingan pihak
lain.
3. Kompromi (compromosing), terjadi
ketika masing-masing pihak bertindak
bersama-sama mengambil jalan tengah,
misalnya dengan saling memberi dan
dalam tindakan tersebut tidak jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah.
4. Bersaing (competiting), yaitu suatu gaya sengketa yang dicirikan oleh tindakan-tindakan agresif, mementingkan pihak sendiri, menekan pihak lain, dan berperilaku tidak kooperatif.
5. Bekerja sama (collaborating), dicirikan dengan adanya saling menyimak secara aktif kepentingan pihak lainnya, kepedulian yang terfokus, komunikasi yang berempati, dan saling memuaskan.
Berdasarkan uraian di atas, konflik yang terjadi pada kasus lahan umumnya dapat dikatakan merupakan konflik antara individu atau kelompok tani atau masyarakat terhadap entitas perusahaan swasta maupun negara. Sedangkan gaya penyelesaiannya tidak jarang dapat diselesaikan dengan cara menghindar (non-committal) dan bersaing (competiting). Catatan dari KPA dapat kembali dirujuk untuk menjelaskan hal ini, dimana perusahaan swasta atau negara tersebut tidak jarang justru didukung dengan putusan “ngawur” dan turut diperparah dengan melibatkan kekerasan yang datang dari kekuatan aparat maupun preman.28
Beberapa tantangan utama dalam penyelesaian konflik agraria, antara lain:29
1. Belum adanya mekanisme dan kelembagaan penyelesaian sengketa pertanahan yang sifatnya lintas sektor
dan eksekutorial.
28 Konsorsium Pembaruan Agraria, Catatan Akhir Tahun 2017: Reforma Agraria di Bawah Bayangan Investasi: Gaung Besar di Pinggir Jalan, (Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2018), hlm. 15-16.
29 Kertas Posisi KOMNAS HAM 2017-2018, “Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dalam Kerangka Reforma Agraria dengan Berbasis HAM”, https://www.komnasham. go.id/files/20181126-kertas-posisi-penyelesaian-konflik-$AINDB.pdf, diakses 27 Maret 2021.
60 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66
2. Belum adanya legislasi dan regulasi
khusus untuk penyelesaian sengketa
pertanahan secara menyeluruh, baik
melalui peradilan khusus maupun
non-peradilan.
3. Belum optimalnya pelaksanaan tugas
dan fungsi kelembagaan penyelesaian
sengketa pertanahan (sektoral) yang
berada di bawah kementerian atau
lembaga yang ada.
4. Kekeliruan kebijakan yang menyebabkan
dan melahirkan sengketa pertanahan
di berbagai sektor belum diralat atau
dibenahi.
5. Pendekatan keamanan (security
approach) masih sering digunakan
padahal hal tersebut justru memperumit
konflik, memicu kriminalisasi, dan
menjatuhkan korban dari pihak rakyat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Adapun
salah satu prinsip negara hukum adalah
adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
penegakan hukum yang merdeka dan bebas
dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan keadilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Dalam hal ini penegak
hukum bebas memutuskan segala putusan
tanpa ada intervensi atau campur tangan dari
pihak lain sehingga sifatnya netral dan tidak
memihak dalam menjalankan tugas memutus
suatu perkara di peradilan. Kebebasan penegak
hukum merupakan kewenangan penting
yang melekat pada individu penegak hukum,
dimana penegak hukum berfungsi sebagai
pihak yang menerapkan teks undang-undang
ke dalam peristiwa yang konkrit. Tidak sebatas
substantif tetapi penegak hukum juga harus
mampu memberikan penafsiran yang tepat
mengenai hukum dalam rangka meluruskan
peristiwa hukum secara konkrit.30
Namun kenyataannya penegak hukum
masih kerap memandang suatu kasus hanya
berdasarkan penerapan perundang-undangan
yang notabene sebagian besarnya masih
merupakan warisan Belanda. Pola pikir
penegak hukum yang terbelenggu legalitas
formal akan menghasilkan penegakan hukum
yang tidak adil.31 Hukum bukan sekadar
instrumen kekuasaan tetapi sebagai instrumen
kepentingan rakyat. Untuk itu penegak
hukum idealnya haruslah seorang yang ahli
dan mampu menerjemahkan hukum sehingga
dapat menciptakan penemuan hukum
(rechtsvinding) atau bahkan menciptakan
hukum baru (rechtheeping) melalui keputusan-
keputusannya (judge made law) dengan
pertimbangan relevansi pada perkembangan
zaman.
Konflik-konflik pertanahan yang terus
bergulir membuktikan bahwa permasalahan
agraria adalah masalah yang sangat rawan
dan membutuhkan perhatian khusus dari
pemerintah. Oleh sebab itu dibutuhkan strategi
yang komprehensif guna mengantisipasi
30 Herlina Ratna Sambawa Ningrum, “Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa Atas Tanah Berbasis Keadilan”, Jurnal Pembaharuan Hukum Vol. I, No.2, (Mei-Agustus 2014): 225.
31 Ibid.
Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 61
62 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66
merekrut orang-orang dari disiplin ilmu lain yang memiliki keahlian di bidang manajemen, bidang komputer, bidang data processing, bidang psikologi, dan sebagainya yang dapat membenahi sistem administrasi dan manajemen.34
3. Memberikan sanksi tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan pelanggaran dan tidak bekerja sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku.
4. Diperlukan suatu lembaga pengawasan peradilan yang independen, imparsial, dan jujur (independent, impartial, and honest judiciary) yang dapat mengawasi terus-menerus setiap tindakan-tindakan koruptif maupun pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.35
5. Menciptakan sistem pelayanan dan penanganan kasus yang transparan dan terbuka terhadap partisipasi dan respons pengawasan masyarakat.36
6. Diseminasi program Gerakan Nasional Anti Korupsi secara terus-menerus yang disosialisasikan sejak dini kepada masyarakat sehingga masyarakat tahu dan mewaspadai bahaya korupsi dan dengan berani melawan atau melaporkan praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum, serta
menolak atau tidak terlibat dalam aktivitas suap, pungli, dan sebagainya.37
7. Menciptakan budaya anti korupsi dan pelayanan publik yang prima yang tercermin dari: (a) Transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat di akses oleh semua pihak yang membutuhkan, serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti; (b) Akuntabilitas, yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (c) Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas; (d) Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat; (e) Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain; serta (f) Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan