Top Banner
ANAK SEKOLAH DAN PENGEMIS Tantangan dan Harapan dalam Pendidikan Hendrison Baulu 147885010 ABSTRACK Beggars were dominating on the road Ketintang Surabaya is elementary school children who always do his job after school, where children are walking from stall to stall to ask for donations, school, due to the need to be dipenihinya. Based on the above problem formulation, then the benefits of writing an article entitled "School Children and the Beggar" Challenges and Hopes in Education "is (1). Readers can find out the causes children to become beggars. (2). Readers can find out the grief felt by children for begging in Ketintang Surabaya. (3). The reader can know the efforts that can be done to overcome the beggars who are still minors. Research School Children and Beggars "Challenges and Hopes in Education" uses positivistic paradigm being addressed by BF Skinner, through his theory of operant conditioning brings enormous influence understanding the behaviors of individuals in the context of its environment. According to Skinner, the behavior is shaped by the consequences posed by the behavior itself. behavior arises as a result of the relationship between stimulus and response. Beggars are people who earn money by begging in public in various ways and reasons to get the mercy of others. Many factors influence the onset of beggars on the streets or behind one of them is economic factors, environmental factors also can not be separated families and communities can also influence on the onset of beggars under that age. Although beggars under the age feel good because it can help the family economy, but sometimes they also feel grief for becoming beggars. Harsh treatment too often they receive, such as physical and psychological violence are inhuman. Although their existence is very disturbing beauty of the city, but they also can not be blamed entirely, because the role of the various parties here are also very influential. The role of government is essential for the welfare of the people whose economic circumstances is low. People should also participate in helping the government realize the city clean and beautiful. The role of the school is also very necessary to guide their students in order to be children in accordance with their functions or duties in accordance with its development. Here the main role of the parent. Parents should be able to educate and direct their children to refrain from any activity or actions that they should not do at the age of young. Parents should always 1
36

ANAK SEKOLAH DAN PENGEMIS “ Tantangan dan Harapan dalam Pendidikan “

Dec 16, 2015

Download

Documents

Endik Mgt

ANAK SEKOLAH DAN PENGEMIS
“ Tantangan dan Harapan dalam Pendidikan “

Hendrison Baulu
147885010


ABSTRAK

Pengemis mendominasi di jalan Ketintang Surabaya adalah anak-anak SD yang selalu melakukan pekerjaannya setelah sekolah, di mana anak-anak berjalan dari warung ke warung untuk meminta sumbangan, sekolah, karena kebutuhan untuk menjadi dipeni-hinya. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka manfaat menulis sebuah artikel ber-judul "Anak Sekolah dan Pengemis" Tantangan dan Harapan Pendidikan "adalah (1). Pembaca dapat mengetahui penyebab anak menjadi pengemis. (2). Pembaca dapat men-getahui kesedihan yang dirasakan oleh anak-anak untuk mengemis di Ketintang Sura-baya. (3). Pembaca dapat mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi pen-gemis yang masih di bawah umur. Sekolah Penelitian Anak-anak dan Pengemis "Tan-tangan dan Harapan dalam Pendidikan" menggunakan positivistik paradigma ditangani oleh BF Skinner, melalui teori pengkondisian operan membawa pengaruh yang sangat besar memahami perilaku individu dalam konteks lingkungannya. Menurut Skinner, pe-rilaku dibentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkan oleh perilaku itu sendiri. perilaku muncul sebagai hasilnya hubungan antara stimulus dan respon. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan uang dengan mengemis di depan umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan orang lain. Banyak faktor yang mempenga-ruhi onset pengemis di jalanan atau di belakang salah satunya adalah faktor ekonomi, lingkungan faktor juga dapat keluarga dan masyarakat tidak lepas juga dapat mempenga-ruhi pada timbulnya pengemis di bawah umur itu. Meskipun pengemis di bawah umur merasa baik karena dapat membantu perekonomian keluarga, tapi kadang-kadang mereka juga merasa sedih untuk menjadi pengemis. Perlakuan kasar terlalu sering mereka terima, seperti kekerasan fisik dan psikologis yang tidak manusiawi. Meskipun keberadaan mereka sangat mengganggu keindahan kota, tetapi mereka juga tidak bisa disalahkan se-penuhnya, karena peran dari berbagai pihak di sini juga sangat berpengaruh. Peran peme-rintah sangat penting untuk kesejahteraan orang-orang yang keadaan ekonomi rendah. Orang juga harus berpartisipasi dalam membantu pemerintah mewujudkan kota bersih dan indah. Peran sekolah juga sangat diperlukan untuk membimbing siswanya agar anak sesuai dengan fungsi atau tugasnya sesuai dengan perkembangannya. Di sini peran utama orangtua. Orang tua harus mampu mendidik dan mengarahkan anak-anak mereka untuk menahan diri dari setiap kegiatan atau tindakan yang seharusnya tidak mereka lakukan di usia muda. Orang tua harus selalu mengawasi anak-anak mereka dan selalu mengontrol apa yang sedang dilakukan oleh anak-anak di luar jam sekolah mereka.

Kata kunci: Anak Pengemis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

ANAK SEKOLAH DAN PENGEMIS Tantangan dan Harapan dalam Pendidikan

Hendrison Baulu 147885010

ABSTRACK

Beggars were dominating on the road Ketintang Surabaya is elementary school children who always do his job after school, where children are walking from stall to stall to ask for donations, school, due to the need to be dipenihinya. Based on the above problem formulation, then the benefits of writing an article entitled "School Children and the Beggar" Challenges and Hopes in Education "is (1). Readers can find out the causes children to become beggars. (2). Readers can find out the grief felt by children for begging in Ketintang Surabaya. (3). The reader can know the efforts that can be done to overcome the beggars who are still minors. Research School Children and Beggars "Challenges and Hopes in Education" uses positivistic paradigm being addressed by BF Skinner, through his theory of operant conditioning brings enormous influence understanding the behaviors of individuals in the context of its environment. According to Skinner, the behavior is shaped by the consequences posed by the behavior itself. behavior arises as a result of the relationship between stimulus and response. Beggars are people who earn money by begging in public in various ways and reasons to get the mercy of others. Many factors influence the onset of beggars on the streets or behind one of them is economic factors, environmental factors also can not be separated families and communities can also influence on the onset of beggars under that age. Although beggars under the age feel good because it can help the family economy, but sometimes they also feel grief for becoming beggars. Harsh treatment too often they receive, such as physical and psychological violence are inhuman. Although their existence is very disturbing beauty of the city, but they also can not be blamed entirely, because the role of the various parties here are also very influential. The role of government is essential for the welfare of the people whose economic circumstances is low. People should also participate in helping the government realize the city clean and beautiful. The role of the school is also very necessary to guide their students in order to be children in accordance with their functions or duties in accordance with its development. Here the main role of the parent. Parents should be able to educate and direct their children to refrain from any activity or actions that they should not do at the age of young. Parents should always supervise their children and always control what is being done by children outside their school hours.Keywords: Child Beggars

PENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahFenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan hidup yang diinginkan oleh siapapun. melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan. Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu perasaanalienatifmereka yang pada gilirannya akan melahirkan kepribadianintrovet,cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial. Padahal tak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa untuk masa mendatang.Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain. Keberadaan anak jalanan tampak telah menjadi fenomena di kota-kota besar Indonesia. Fenomena ini, selain dampak dari derasnya arus urbanisasi dan perkembangan lingkungan perkotaan yang menawarkan mimpi kepada masyarakat terutama masyarakat miskin atau ekonomi lemah, juga dipicu oleh krisis ekonomi yang menjadikan jumlah anak jalanan melonjak drastis. Aktivitas anak jalanan beraneka ragam, diantaranya pengamen, pedagang koran, pedagang rokok, pembersih kaca mobil, pengemis, sampai kepada pengedar kotak amal. Mereka terutama beroperasi diperempatan jalan (traffic light), dengan sasarannya adalah pengemudi dan penumpang kendaraan roda empat. Kehadiran anak-anak jalanan adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi mereka dapat mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan (income), yang membuatnya bisa bertahan hidup (survival) dan dapat menopang kehidupan keluarga. Namun, disisi lain mereka bermasalah, karena sering kali tindakannya merugikan orang lain. Mereka acapkali melakukan tindakan tidak terpuji seperti sering berkata kotor, mengganggu ketertiban jalan, merusak body mobil dan melakukan tindakan kriminal. Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalanan dan tempat umum lainya. Pengemis atau peminta-minta memang sudah menjadi istilah yang akrab di kota-kota besar seluruh Indonesia, kehadiran mereka kerap dianggap menggangu ketertiban sosial, namun sebenarnya kehadiran pengemis adalah bentuk gagal dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah dalam mensejahterakan rakyatnya. Jika diukur dari kacamata sosial, pengemis memang bukan hal yang istimewa, perlu dihilangkan, bahkan perlu mensejahterakan rakyatnya agar tidak ada lagi dari mereka yang berprofesi sebagai pengemis atau peminta-minta.Pengemis yang mendominasi di jalan Ketintang Surabaya adalah anak Sekolah Dasar yang selalu saja melakukan pekerjaannya sesudah pulang sekolah, dimana anak-anak tersebut berjalan dari warung ke warung untuk meminta dana sumbangan sekolah, disebabkan karena kebutuhan yang harus dipenihinya. Dari uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan riset. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah pada artikel yang berjudul Anak Sekolah dan Pengemis Tantangan dan Harapan Dalam Pendidikan sebagai berikut:1. Apa yang menyebabkan anak menjadi pengemis?2. Apa saja duka yang dirasakan anak selama menjadi pengemis di Di Jalan Ketinang Surabaya?3. Apa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi pengemis yang masih dibawah umur?C. Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka manfaat dari penulisan artikel yang berjudul Anak Sekolah dan Pengemis Tantangan dan Harapan Dalam Pendidikanadalah 1. Pembaca dapat mengetahui penyebab-penyebab anak menjadi pengemis.2. Pembaca dapat mengetahui duka yang dirasakan anak selama menjadi pengemis di Tugu Muda Semarang.3. Pembaca dapat mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi pengemis yang masih dibawah umur.BAB IIPEMBAHASANA. KAJIAN PUSTAKA a. Pengertian AnakBerdasarkan Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 47 (1) dikatakan bahwa anak adalah: seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Dalam Undang-Undang No.4 tahun 1974 tentang kesejahteraan anak disebutkan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah.Di dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak juga yang masih dalam kandungan (UNICEF, 2003 : 23). Di dalam Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 tentang hak-hak anak dinyatakan, anak-anak seperti juga halnya dengan orang dewasa memiliki hak dasar sebagai manusia. Akan tetapi karena kebutuhan-kebutuhan khusus dan kerawanannya, maka hak-hak anak perlu diperlakukan dan diperhatikan secara khusus.

b. Anak JalananPengertian anak jalanan adalah anak-anak berusia dibawah 18 tahun, sebagian besar waktunya dihabiskan di tempa-tempat umum untuk mencari nafkah atau berkeliaran, penampilan mereka biasanya kumal, kotor serta tidak terawat dan memiliki hubungan yang kurang dekat dengan keluarga (Depsos, 2006 dan Garliah, 2004).Anak jalanan memiliki karakteristik sosial seperti warna kulit yang kusam, penampilan yang tidak rapih serta kotor, jumlah anak jalanan lebih banyak laki-laki pada usia 16 sampai 18 tahun dan pada perempuan pada usia 13 sampai 15 tahun, berada ditempat-tempat keramaian dan banyak makanan, sangat rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungan bekerja, berasal dari keluarga yang kurang mampu dengan pendidikan kepala keluarga hanya sampai SD, memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga, orang tua bukan merupakan orang terdekat bagi anak jalanan, dan penyebab terjadinya anak jalanan dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan faktor ekonomi, keluarga, dan iseng (Sutinah, 2001; Garliah, 2004; Handoyo, 2004; Depsos, 2006 dan Suhartini, 2008).Selain karakteristik sosial, anak jalanan juga memiliki krakteristik ekonomi yang dapat dilihat dari lokasi bekerja, aktivitas yang dilakukan, kondisi ekonomi keluarga, dan modal untuk melakukan pekerjaan. Lokasi bekerja anak jalanan biasanya berada di pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalanan atau jalan raya terutama daerah lampu merah (traffic light), di kendaraan umum, dan tempat pembuangan sampah (Depsos, 2006 dan Sutinah, 2001).Aktivitas yang mereka lakukan biasanya hanya membutuhkan sedikit keterampilan dan tidak membutuhkan banyak tenaga seperti, menyemir sepatu, mengasong, menjual koran atau majalah, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, mengamen, menjadi kuli angkut, menjadi penghubung atau penjual jasa, bersih-bersih makam, pekerja seks, pencari kerang (di pantai), dan ojek payung (Depsos, 2006 dan Sutinah, 2001).Defenisi anak jalanan terus meluas. Dari anak-anak yang baik siang dan malamnya berada dijalanan, hingga anak-anak yang sebagian besar waktunya ada di jalan, tetapi malamnya beristirahat di rumah. Departemen Sosial Republik Indonesia mendefenisikan, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan di tempat-tempat umum lainnya.Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:1. Berusia antara 5-18 tahun. 2. Melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan. 3. Penampilannya kebanyakan kusam. 4. Pakaiannya tidak terurus. 5. Dan mobilitasnya tinggi (high risk). Saat ini ada dua macam kategori anak jalanan yang umum dibinakan oleh berbagai lembaga yang berinteraksi langsung maupun tidak langsung dengan anak jalanan. Pertama, anak yang bekerja atau mencari uang di jalanan tetapi masih pulang kerumah dan masih berhubungan dengan orangtuanya. Kedua, anak yang seluruh waktunya dihabiskan di jalanan untuk bertahan hidup, serta tidak pernah berhubungan dengan orangtuanya.Seseorang bisa dikatakan anak jalanan bila berumur dibawah 18 tahun dan menggunakan jalan sebagai tempat mencari nafkah dan berada dijalan lebih dari 6 jam sehari. Ada beberapa tipe anak jalanan:1. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua. 2. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang tua. 3. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga. 4. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga. c. Konsep Kemiskinan Ada beberapa konsep kemiskinan yang antara lain sebagai berikut:a. Menurut John Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, meliputi modal yang produktif, sumber keuangan, organisasi sosial dan politik (Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan aspek sosial saja, tapi juga aspek natural material). b. Menurut Wolf Scott, kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan (Dalam jumlah uang) ditambah dengan keuntungan non-material yang diterima seseorang, cukup tidaknya memiliki aset seperti tanah, rumah, uang,emas dan lain-lain dimana kemiskinan non-material yang meliputi kekebebasan hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak. c. Menurut Bank Dunia, bahwa aspek kemiskinan yaitu pendapatan yang rendah, kekurangan gizi atau keadaan kesehatan yang buruk serta pendidikan yang rendah. ( http://anthoine.multiply.com/journal/item/387)Sedangkan menurut Roesmidi dan Riza Risyanti (2006) mengutip pendapat Sunyoto Usman (2004 : 125-136) ada tiga macam konsep kemiskinan; yaitu:a. Kemiskinan absolut; dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkret (afixed yard stick). Ukuran itu lazimnya berorientasi pada Kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat seperti sandang, pangan dan papan. Masing-masing negara mempunyai batasan kemiskinan absolut yang berbeda-beda sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena ukurannya yang dipakai sudah pasti, konsep ini mengenal garis batas kemiskinan. Pernah ada gagasan yang ingin memasukkan unsur kebutuhan dasar kultur (basic cultural needs) seperti pendidikan, keamanan, kesehatan dan sebagainya disamping kebutuhan fisik. Konsep ini mendapatkan kritik antara lain dikatakan bahwa tidak mungkin membuat satu ukuran untuk semua anggota masyarakat, seperti kebutuhan hidup yang berbeda antara masyarakat kota dengan desa, masyarakat tani dengan nelayan dan lain-lain. Konsep ini sangat populer dalam program-program pengentasan kemiskinan.b. Kemiskinan relatif; dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan disuatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, dan kemiskinan pada suatu waktu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan semacam ini lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan (in terms of judgement) anggota masyarakat tertentu dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Konsep ini juga dikritik, terutama karena sangat sulit menentukan bagaimana hidup yang layak itu. Ukuran kelayakan ternyata beragam dan terus berubah-ubah. Layak bagi komunitas tertentu boleh jadi tidak layak bagi komunitas lain, demikian juga layak pada saat sekarang boleh jadi tidak untuk mendatang.c. Kemiskinan subyektif; dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal a fixed yardstick, dan tidak memperhitungkan the idea of relatives standard. Kelompok yang menurut ukuran kita berada di bawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri miskin atau sebaliknya. Dan kelompok yang dalam perasaan kita tergolong hidup dalam kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap seperti itu. Oleh karenanya, konsep ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk penanggulangannya.d. Faktor-Faktor Keberadaan Anak JalananMenurut Mulandar (1996:133) kebanyakan anak jalanan mempunyai ceritatentang latar belakang keluarga mereka sendiri sebelum mereka bekerja dan hidup di jalanan, latar belakang tersebut antara lain dapat diklasifikasikan sebagai berikut:a. Terkait dengan permasalahan ekonomi sehingga anak terpaksa ikut membantu orang tua dengan bekerja. b. Kekurang harmonisan hubungan dalam keluarga yang sering berakhir dengan penganiyayaan dan kekerasan fisik orang tua terhadap anaknya sehingga anak melarikan diri dari rumah. c. Orang tua (asal/angkat) mengkaryakan anak sebagai sumber ekonomi keluarga pengganti peran yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa. d. Anak-anak mengisi peluang ekonomi jalanan baik secara sendiri-sendiri maupun diupayakan secara kelompok dan terorganisasi oleh orang yang lebih tua. Sejalan dengan pendapat tersebut, Mulandar (1996:172) berdasarkan dari pengalaman dari berbagai kasus, mengemukakan bahwa yang menjadi penyebab munculnya anak jalanan antara lain adalah:a. Keluarga berantakan sehingga anak memilih untuk hidup dijalanan. b. Penyiksaan didalam keluarga sehingga anak lari dari rumah. c. Tidak mempunyai keluarga (rumah, keluarga dsb). d. Pemaksaan orang tua terhadap anak untuk mencukupi ekonomi keluarga. e. Kemiskinan ekonomi, akses informasi dan sebagainya didalam keluarga, sehingga mendorong anak untuk mandiri dengan hidup dijalanan. f. Budaya yang menganggap anak harus mengabdi pada orang tua. Mulandar (1996:172) mengatakan bahwa: Jelas terlihat bahwa keluarga yang melatar belakangi lahirnya fenomena anak jalanan itu adalah juga karena keluarga yang tidak mampu memenuhi fungsinya, dalam hal ini fungsi ekonomi. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa dengan fenomena kemiskinan yang dialami oleh orang tuanya, maka anak terpaksa harus bekerja dan harus ikut mencari nafkah baik itu untuk dirinya sendiri maupun juga untuk keluarga. Jelas bahwa fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan anaknya tidak dapat dirasakan oleh anak-anak yang harus menyandang sebutan sebagai anak jalanan. Dari pendapat tentang penyebab atau latar belakang yang melahirkan fenomena anak jalanan tersebut dapat dilihat bahwa penyebab utamanya bersumber dari keluarga.

B. LANDASAN TEORIPenelitian Anak Sekolah dan Pengemis Tantangan dan Harapan Dalam Pendidikan ini menggunakan paradigma positifistik yang di kemukakan oleh B.F. Skinner, melalui teori Operant Conditioning-nya membawa pengaruh yang sangat besar memahami perilaku-perilaku individu dalam konteks lingkungannya. Menurut Skinner, Perilaku tersebut terbentuk oleh konsekuensi yang dimunculkan oleh perilaku itu sendiri. perilaku muncul sebagai akibat adanya hubungan antara perangsang dan respons.Asumsi teori 1. Pembelajaran adalah perubahan perilaku.2. Perubahan perilaku atau pembelajaran secara fungsional berkaitan dengan perubahan dalam peristiwa-peristiwa atau kondisi-kondisi lingkungan.3. Hubungan hukum-hukum antara perilaku dan lingkungan dapat ditentukan hanya jika properti perilaku dan kondisi-kondisi eksperimental didefinisikan dalam istilah-istilah fisik serta dapat diamati dalam kondisi-kondisi yang terkontrol.4. Data dari dari studi eksperimen atas perilaku adalah satu-satunya sumber informasi yang dapat diterima tentang penyebab munculnya perilaku tertentu.5. Perilaku organisme individual adalah sumber data yang tepat.6. Dinamika interaksi organisme dengan lingkungannya adalah berlaku sama untuk semua spesies.Beberapa literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini adalah buku Five Families, Mexican Case Studies in the Culture of Poverty, karya Oscar Lewis (1959). Buku ini adalah salah satu hasil penelitian yang dilakukan tentang kehidupan lima keluarga miskin di Mexico, yaitu keluarga Martinez, Gomez, Guiterrez, Sanchez dan Castro. Menurut Oscar Lewis, kemiskinan bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuranukuran kebudayaan dan kejiwaan (psikologi) dan memberikan corak tersendiri pada kebudayaan yang ada serta diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya sehingga terciptalah budaya kemiskinan (Suparlan, 1993:29-48).Kebudayaan kemiskinan sebagai bagian dari kebudayaan dari masyarakat yang ditandai dengan rendahnya integrasi mereka dalam kehidupan masyarakat luas. Munculnya keadaan ini adalah sebagai reaksi terhadap kurangnya sumber-sumber ekonomi, ketakutan dan kepercayaan pada orang lain, upah yang rendah, dan pengangguran. Kondisi ini akan mengurangi kemungkinan individu/kelompok untuk berpartisipasi secara efektif dalam situasi ekonomi yang lebih besar. Akibatnya adalah masyarakat yang terpinggirkan, merasa tidak punya peran sosial dan kehilangan kepekaan solidaritas sosial, yang mengakibatkan sikap eksklusif individualis. MenurutThelma Mendoza (1981:4-5), ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak dapat berfungsi sosial yaitu:a. Personal in adequacies of some times pathologies which may make it difficult for man to cope with the demands of his environment.b. Situational in adequacies and other conditions which are beyond mans coping capacities, andc. Both personal and situational in adequacies.Menurut Mendoza, ketidakmampuan individu dimungkinkan karena faktor-faktor psikologis seperti keadaan psikis yang miskin, sikap dan nilai-nilai yang salah, persepsi yang miskin dan tidak realistis, kebodohan dan kurang keahlian. Sedangkan situasi ketidak mampuan misalnya kurangnya sumber daya dan kesempatan di dalam masyarakat, seperti keterbatasan lapangan kerja. Paling tidak, keberadaan budaya kemiskinan sangat ditentukan oleh konteks di mana masyarakat miskin menjadi bagian dalam sistem sosial. Sementara itu Artijo Alkostar (1984: 120-121) dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu factor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis.Jacob Rebong, Anthony Elena dan Masmiar Mangiang dalam karyanya Ekonomi Gelandangan: Armana Murah untuk Pabrik (1984) memperlihatkan perhatiannya pada sepak terjang ekonomi para gelandangan, yang ternyata tidak seburuk sebagaimana dilihat oleh para pejabat pemerintah sebagai sampah yang mengotori keindahan kota, dan menjadi pusat tindak kejahatan. Oleh para peneliti digambarkan bahwa di balik semua pandangan negatif, kaum gelandangan mempunyai mekanisme ekonomi sendiri yang cukup jelas dengan lapak sebagai pusatnya, yang dalam beberapa hal menguntungkan pabrik pabrik tertentu. Mereka mencatat: Lapak telah mempertemukan kepentingan modal besar yang datang dari dunia industry dengan kepentingan kaum gelandangan yang menjalani hidup bebas bagaikan tanpa tujuan (Rebong dkk, dalam Suparlan, 1986:187).C. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah penggambaran secara kualitatif fakta, data atau objek material yang bukan berupa rangkaian angka, melainkan berupa ungkapan bahasa atau wacana (apapun itu bentuknya) melalui interpretasi yang tepat dan sistematis (Wibowo, 2011: 43). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi, untuk melihat fenomena yang ada di lapangan sesuai dengan masalah yang di hadapi dan penelitian ini. Lokasi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah jalan Ketintang Surabaya dengan subjek penelitian ini adalah pengemis yang ada di jalan Ketintang SurabayaTeknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam kepada informan, observasi dengan mengamati mengamati keseharian pengemis anak dalam melakukan kegiatan mengemis, dan dokumentasi berupa foto kegiatan mengemisBAB III PEMNAHASANA. Alasan Anak Menjadi PengemisAlasan utama anak dibawah umur atau anak SD menjadi pengemis adalah faktor ekonomi. Sebagian besar dari mereka mengaku, kalau mereka menjadi pengemis karena ingin membantu kedua orangtua membiayayai sekolah, untuk makan setiap hari dan untuk tabungan masa depan. Tidak hanya faktor ekonomi saja yang perperan tetapi juga adanya faktor orangtua dan lingkungan. Dari pihak orangtua membiarkan mereka menjadi pengemis dan berkeliaran dijalanan. Mereka melakukan kegiatan tersebut juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya. Pengemis sudah dimulai dari mereka masih duduk dibangku kelas 1 SD. Mereka melakukan kegiatan tersebut untuk mengisi waktu luang dimalam hari dan untuk bermain-main sambil mencari uang. Mereka mengaku senang melakukan kegiatan tersebut karena disamping mereka bisa mempunyai uang sendiri mereka juga dapat bermain sesuka hati mereka.Setiap hari dimulai dari jam 19.00 mereka berkumpul dan bersama-sama berangkat menuju untuk pengemis di jalan ketintang. Disana mereka memulai aksi dengan meminta-minta kepada pengunjung yang ada disana dan sebagian dari mereka juga meminta-minta di sepanjang jalan dan di warung-warung. Aksi mereka tersebut berakhir pada jam 23.00. Walaupun tidak banyak dari mereka yang masih disana untuk sekedar bermain-main saja. Kutipan dialog peneliti dengan salah satu anak yang menjadi pengemis : Saya : gimana adik harus melakukan pekerjaan ini?Pengemis : saya harus mencari tambahan uang jajan dan uang sekolah karena orang tua saya tidak mampu, dan saya juga membantu orang tua untuk mencari uang buat makan kalau saya tidak mencari uang saya tidak akan makan. Dari dialog dia atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tersebut harus melakukan pekerjaan ini supaya pengemis tersebut mendapat makanan, uang jajan dan uang sekolah di lain sisi anak tersenut ditekan oleh orang tunanya untuk mencari uang sendiri kalau tidan mencari uang sendiri pengemis tersebut tidak mendapat makanan untuk bisa bertahan. Tekanan dari dalam keluarga yang sangat terlihat jelas disebabkan orang tua harus memaksa anak tesebut untuk melakoni pekerjaan tersebut. Anak tersebut harus mengikuti perintah orang tua untuk mencari uang demi kelangsungan hidup ini, dan ketika anak tersebut membangkan orang tuanya maka anak tersebut tidak diberi makan atau tidak diberi uang jajan dan uang sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi atau melatar belakangi timbulnya pengemis dijalanan salah satunya adalah faktor ekonomi, tidak lepas juga faktor lingkungan masyarakat dan keluarga juga dapat berpengaruh atas timbulnya pengemis dibawah umur tersebut. Walaupun pengemis dibawah umur tersebut merasa senang karena dapat membantu perekonomian keluarga tetapi terkadang mereka juga merasakan kesedihan selama menjadi pengemis. Perlakuan kasar juga sering mereka terima seperti kekerasan fisik dan psikis yang tidak manusiawi.Walaupun keberadaan mereka sangat menganggu keindahan kota, tetapi mereka juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena peran berbagai pihak disini juga sangat berpengaruh. Peran pemerintah sangatlah penting untuk menyejahterakan rakyat yang keadaan ekonominya rendah. Masyarakat juga harus ikut berpartisipasi dalam membantu pemerintah mewujudkan kota yang bersih dan indah. Peran sekolah juga sangat diperlukan untuk membimbing anak didiknya agar dapat menjadi anak-anak yang sesuai dengan fungsinya atau sesuai dengan tugas perkembangannya. Disini peran orangtualah yang utama. Orangtua harus mampu mendidik dan mengarahkan anaknya agar tidak melakukan kegiatan atau perbuatan yang seharusnya tidak mereka lakukan diusianya yang masih belia. Orangtua harus selalu mengawasi anaknya dan selalu mengontrol apa saja yang dilakukan oleh anak diluar jam sekolah mereka. B. Duka Anak yang Menjadi Pengemis di jalan Ketintang Disamping mereka bisa mendapatkan uang sendiri dan dapat membantu kedua orangtuanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka juga merasakan duka yang cukup mendalam selama menjadi pengemis. Mereka sering menerima perlakuan yang bersifat kekerasan fisik maupun psikis dari para pengunjung warung-warung maupun dari pengguna jalan.Kutipan dialog percakapan saya dengan salah satu anak yang sedang meminta-minta.Saya: Apa yang di rasakan ketika hidup seperti ini ?Pengemis : Sukanya ya saya bisa dapat uang sendiri untuk tambahan uang jajan dan tambahan uang sekolah, dukanya kadang dimarahi pengunjung warung.Saya : Apakah kamu mempunyai keinginan untuk berhenti mengemis?Pengemis: Iya saya ingin berhenti mengemis, tapi kalau saya berhenti mengemis saya tidak mempunyai uang untuk jajan dan tambahan uang sekolah .Saya : Apakah semua pengunjung yang pernah kamu datangi semuanya dapat bersikap baik sama kamu?Pengemis: Tidak, kadang ada yang baik langsung memberi, kadang juga ada yang memarahi kami.Berdasarkan dialog di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang menjadi pengemis di jalan raya Ketintang sering kali mengalami beban psikis dan fisik yang seharusnya tidak mereka terima apalagi di usianya yang masih anak-anak. Keinginan anak untuk tidak melakoni pekerjaan ini sangat bersar tetapi anak tersebut harus menerima konsekwesi yang sangat yaitu tidak di beri uang jajan dan uang sekolah. Begitu banyak tekanan yang di terimah oleh anak tersebut daik dari kalangan lingkungan keluarga maupun lingkungan di luar sana. C. Upaya Mengatasi Pengemis yang Masih Dibawah UmurBanyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi pengemis-pengemis yang masih dibawah umur. Tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak seperti pemerintah, sekolah, masyarakat, dan orangtua.1. Pemerintah a. Pemerintah dapat memberikan penyuluhan kepada anak-anak yang mengemis tentang dampak menjadi pengemis, dan tentang menfaat ketrampilan bagi masa depan anak.b. Pemerintah dapat memberikan bimbingan-bimbingan seperti bimbingan ketertiban agar anak-anak yang mengemis tersebut dapat mengetahui tata tertib yang ada dijalanan.c. Pemerintah dapat memberikan kebijakan atau peraturan tegas untuk menindak anak-anak yang mengemis dijalanan.2. Sekolaha. Dari pihak sekolah harus membimbing anak didik yang bersangkutan agar tidak menjadi pengemis lagi.b. Sekolah dapat memberi ketrampilan yang mudah dipelajari oleh anak supaya anak dapat mengembangkan ketrampilannya sesuai dengan kemampuan yang telah dimiliki, misalnya ketrampilan memanfaatkan barang bekas.c. Sekolah memberikan bimbingan dan pengarahan supaya anak tersebut kembali kemasyarakat dan tidak mengganggu fasilitas umum.d. Supaya anak tidak mengemis lagi sekolah dapat memberikan arahan agar waktu yang digunakan untuk mengemis tersebut dapat digunakan untuk belajar.3. Masyarakat a. Masyarakat harus dapat bekerja sama dengan pemerintah dan sekolah untuk membantu anak-anak agar tidak mengemis lagi.b. Masayarakat harus memberi dukungan dan dorongan kepada anak-anak yang mengemis untuk melakukan kegiatan yang positif, untuk itu masyarakat harus mau ikut terjun menekuni ketrampilan yang sama seperti yang diberikan kepada anak-anak pengemis.c. Masyarakat harus mau menjembatani atau memasarkan hasil karya anak jalanan supaya anak jalanan lebih giata dan berkreasi didalam berkarya.4. Orangtuaa. Orangtua juga harus mau mendukung program sekolah dan pemerintah maupun memberi dorongan kepada anak-anaknya untuk berkarya dan meninggalkan kegiatan sebagai pengemis.b. Orangtua juga harus menjaga dan menginggatkan selalu anak-anaknya untuk mengikuti pelatihan ketrampilan.c. Orangtua harus mau ikut memanfaatkan hasil karya anak.d. Orangtua harus mendorong dan mengarahkan anak agar tidak turun kejalanan lagi.D. Faktor Internal Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan dalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini.1. Mengemis Sebagai Bentuk Kebudayaan Kemiskinan Bagi pengemis anak, kegiatan mengemis merupakan suatu cara atau reaksi untuk menyesuaikan diri di lingkungan perkotaan yang penuh dengan kemewahan. Kegiatan mengemis yang cenderung mudah dan cepat menghasilkan uang dinilai sebagai cara penyesuaian diri yang efektif, karena dengan mengemis anak dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan dan tuntutan gaya hidup di perkotaan . Terpenuhinya kebutuhan dan tuntutan gaya hidup dengan mudah dan cepat melalui kegiatan mengemis menjadikan pengemisHasil penelitian, pengemis anak, kegiatan mengemis juga merupakan suatu kegiatan untuk membantu orang tua, karena pengemis anak merasa bahwa penghasilan orang tua mereka yang tidak dapat mencukupi kebutuhan sehingga pengemis anak pun akhirnya melakukan kegiatan mengemis. Dari data yang diperoleh, penghasilan pengemis anak di Jalan Ketintang, cukup menguntungkan. Hasil mengemis yang diperoleh digunakan untuk mencukupi kebutuhan seperti biaya makan, uang saku sekolah, dan uang jajan. Pengemis anak dapat beraksi dengan bebas di sekitar pasar terutama di area PKL semua kegiatan dan perilaku yang dilakukan, memiliki dampak tersendri bagi pelakunya. Begitu pula dengan kegiatan mengemis yang dilakukan oleh anak-anak yang dapat menimbulkan dampak tersendiri bagi mereka. Dampak negatif kegiatan mengemis yang dilakukan oleh anak-anak antara lain yaitu dapat menyebabkan rasa minder di hadapan teman-teman sekolahnya dan mengemis dapat menjadikan pengemis anak ketagihan. Sedangkan dampak positif mengemis adalah pengemis anak mampu menyisihkan uang/menabung dan pengemis anak dapat memenuhi kebutuhan.2. Ijin Orang TuaSeluruh anak-anak yang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang tuanya. Melalui wawancara dengan beberapa pengemis, alasan tersebut di atas juga dibenarkan mengingat kondisi sosial ekonomi orang tua anak-anak yang menjadi pengemis digolongkas sebagai kaum proletar. Sehingga pada pulang sekolah, mereka terpaksa membiarkan anaknya dan menyuruh anaknya untuk ikut mencari penghasilan guna membantu memenuhi kebutuhan rumah tangganya.3. Sikap MentalKondisi ini terjadi karena di pikiran para pengemis muncul kecendrungan bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pengemis lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Selain itu, pekerjaan yang dilakoninya halal daripada mencuri (Raisa). Mental yang selalu tabah dan sabar membuat anak-anak tetap semangat mencari uang buat tambahan uang sekolah dan membantu orang tua mereka. Dari hasil wawancara dengan pengemis di lapangan sebagai berikut: Saya : Gimana ketika waktu meminta uang di lihat oleh Guru kamu?Pengemis : Biasa jasa, karena guru sudah tauh bahwa saya orang miskin jadi saya harus mengemis biar tambah uang jajan aku dan uang sekolah. Saya : Ketika pada saat meminta uang dilihat oleh teman-teman sekolah kamu?Pengemis : Aku senyum tetapi aku merasa malu pada mereka. Berdasarkan diaog di atas maka dapat di simpulkan bahwa pengemis hanya menyadari kekurangan dan terbeban dengan apa yang di lakoninya disebabkan karena kekurangan dan keterbatasan yang ada pada keluarganya. Dari jawaban yang di berikan oleh pelakon pekerjaan jalan-jalan ini terbeban dengan tantangan yang harus dihadapinya dengan senyuman yang penuh makna bahwa penjadi pelakon emperan tidak mudah dan harus membutuhkan keinginan yang kuat guna mendapatkan uang jajan, uang sekolah dan juga dapat membatu orang tua mereka.

Menjadi lebih baik adallah keinginan semua orang. Anak merupakan penerus bangsa. Namun, ekonomi juga menentukan seorang anak mendapat pendidikan yang lebih baik. Dari gambar di atas terlihat jelas bahwa anak-anak yang seharusnya belajar atau mendapat pendidikan, harus bekerja keras untuk mendapatkan uang. Segala cara dilakukakan seseorang untuk mendapatkan uang. Hal itu jelas bahwa uang sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan keluaga, dan untuk pendidikan.Tatapan polos kadang mencerminkan harapan dan isi hati seorang anak. Sorotan mata anak pada gambar mencirikan suatu harapan dan memerlukan sentuhan tangan orang-orang yang dapat membantu menyatakan segala harapan dan impian anak. Sinar mata yang di pancarkan mengandung makna yang sangat mendalam dimana mereka sangat terbeban dengan pekerjaan yang dilakoninya. Begitupun dengan perasaan mereka yang polos untuk membantu orang tua mereka untuk mencari tambahaan uang jajan dan uang sekolah.Sekalipun mimpi seakan jauh dari kenyataan yang ada, usaha menjadi satu-satunya pilihan yang tak dapat dipungkiri. Jika anak saja tak pernah berhenti menyerah, mereka tetap berjuang sebagai orang muda, maka sebagai generasi muda, kita diharapkan akan tetap dapat menjadi lebih baik. Berusaha berjuang untuk lebih maju. Tidak hanya berpangku tangan tetapi bekerja keras untuk mencapai kesuksesan.4. Lingkungan yang Mempengaruhi Lingkungan keluarga sangat berperan penting dalam kehidupan seseorang dimana harus berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Operant Conditioning-nya membawa pengaruh yang sangat besar memahami perilaku-perilaku individu dalam konteks lingkungannya. Menurut Skinner, Perilaku tersebut terbentuk oleh konsekuensi yang dimunculkan oleh perilaku itu sendiri. perilaku muncul sebagai akibat adanya hubungan antara perangsang dan respons. Lingkunggan merupakan factor penyebab terjadinya pengemis itu sendiri dimana keluarga merupakan lingkuangan yang sanagat sempit yang mempengaruhi kehidupan dan mental seseorang untuk berlakon sedemikian rupa untuk menafkahi kehidupan mereka. Skinner dengan teotinya Operant Conditioning sangat terbukti akan dampak lingkungan yang sangat berpengharu terhadap perilaku seserang dimana anak-anak sekolah serebut terpengharuh oleh lingkungan tempat tinggal mereka terlebih kusus dari kalangan keluarganya. Keluarga merupakan lingkunang yang sangat sempit untak anak tersebut berkembang dan terbentuk, akan tetapi penghasilan orang tua yang tidak menentu sehingga anak-anak tersebut harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan uang jajannya. PENUTUPA. SimpulanYang menjadikan anak dibawah umur menjadi pengemis adalah karena adanya faktor ekonomi, lingkungan dan orangtua. Sebagian besar dari mereka menjadi pengemis sudah dimulai dari mereka masih duduk dibangku kelas 1 SD. Mereka melakukan kegiatan tersebut untuk mengisi waktu luang dimalam hari dan untuk bermain-main sambil mencari uang.Disamping mereka bisa mendapatkan uang sendiri dan dapat membantu kedua orangtuanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka juga merasakan duka yang cukup mendalam selama menjadi pengemis. Mereka sering menerima perlakuan yang bersifat kekerasan fisik maupun psikis dari para pengunjung. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi melonjaknya jumlah pengemis yang berkeliaran dijalanan. Adanya kerja sama dari pihak pemerintah, sekolah, masyarakat, dan orangtua sangat diperlukan demi mengurangi jumlah pengemis dibawah umur. Operant Conditioning-nya membawa pengaruh yang sangat besar memahami perilaku-perilaku individu dalam konteks lingkungannya. Menurut Skinner, Perilaku tersebut terbentuk oleh konsekuensi yang dimunculkan oleh perilaku itu sendiri. perilaku muncul sebagai akibat adanya hubungan antara perangsang dan respons.

DAFTAR PUSTAKAIsti Rochatun / Unnes Civic Education Journal 1 (1) (2012Dewi, R.A. 2008. Bentuk Eksploitasi Terhadap Anak Jalanan. Kompas. Malang 23 Juli 2009Lexy, Moleong. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja RosdakaryaRosdalina. 2007. Aspek Keperdataan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan. Jurnal Anak Jalanan. 4 (1):71-72Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: KencanaIsti Rochatun,Suprayogi, dan Hamonangan Sigalingging. 2012. Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai Pengemis Di Kawasan Simpang Lima Semarang http://journal.unnes. ac.id/sju/index.php/ucej Alan Gilbert & Joseph Gugler (terj. Anshori Juanda), Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), 14. Hanindita, Wiyono, Nurhadi. 1994. Anak-anak Jalanan dalam Warta Demografi Tahun ke 24. Jakarta: Universitas Indonesia

ANAK SEKOLAH DAN PENGEMIS Tantangan dan Harapan dalam Pendidikan

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Masalah-masalah Sosial Yang Di Bimbing Oleh Dosen: Prof. Dr. Sarmini, M.Hum

OLEH:Hendrison Baulu 147885010

PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIALUNIVERSITAS NEGERI SURABAYA2015ANAK SEKOLAH DAN PENGEMIS Tantangan dan Harapan dalam Pendidikan

Hendrison Baulu 147885010

ABSTRAK

Pengemis mendominasi di jalan Ketintang Surabaya adalah anak-anak SD yang selalu melakukan pekerjaannya setelah sekolah, di mana anak-anak berjalan dari warung ke warung untuk meminta sumbangan, sekolah, karena kebutuhan untuk menjadi dipenihinya. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka manfaat menulis sebuah artikel berjudul "Anak Sekolah dan Pengemis" Tantangan dan Harapan Pendidikan "adalah (1). Pembaca dapat mengetahui penyebab anak menjadi pengemis. (2). Pembaca dapat mengetahui kesedihan yang dirasakan oleh anak-anak untuk mengemis di Ketintang Surabaya. (3). Pembaca dapat mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi pengemis yang masih di bawah umur. Sekolah Penelitian Anak-anak dan Pengemis "Tantangan dan Harapan dalam Pendidikan" menggunakan positivistik paradigma ditangani oleh BF Skinner, melalui teori pengkondisian operan membawa pengaruh yang sangat besar memahami perilaku individu dalam konteks lingkungannya. Menurut Skinner, perilaku dibentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkan oleh perilaku itu sendiri. perilaku muncul sebagai hasilnya hubungan antara stimulus dan respon. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan uang dengan mengemis di depan umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan orang lain. Banyak faktor yang mempengaruhi onset pengemis di jalanan atau di belakang salah satunya adalah faktor ekonomi, lingkungan faktor juga dapat keluarga dan masyarakat tidak lepas juga dapat mempengaruhi pada timbulnya pengemis di bawah umur itu. Meskipun pengemis di bawah umur merasa baik karena dapat membantu perekonomian keluarga, tapi kadang-kadang mereka juga merasa sedih untuk menjadi pengemis. Perlakuan kasar terlalu sering mereka terima, seperti kekerasan fisik dan psikologis yang tidak manusiawi. Meskipun keberadaan mereka sangat mengganggu keindahan kota, tetapi mereka juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena peran dari berbagai pihak di sini juga sangat berpengaruh. Peran pemerintah sangat penting untuk kesejahteraan orang-orang yang keadaan ekonomi rendah. Orang juga harus berpartisipasi dalam membantu pemerintah mewujudkan kota bersih dan indah. Peran sekolah juga sangat diperlukan untuk membimbing siswanya agar anak sesuai dengan fungsi atau tugasnya sesuai dengan perkembangannya. Di sini peran utama orangtua. Orang tua harus mampu mendidik dan mengarahkan anak-anak mereka untuk menahan diri dari setiap kegiatan atau tindakan yang seharusnya tidak mereka lakukan di usia muda. Orang tua harus selalu mengawasi anak-anak mereka dan selalu mengontrol apa yang sedang dilakukan oleh anak-anak di luar jam sekolah mereka.

Kata kunci: Anak Pengemis1