BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah meninggalnya Khalifah Usman bin Affan, kebingunan dan kekacauan terjadi di Madinah. Pada waktu itu para sahabat, mengusulkan bahwa Ali bin Abi Thalib meneruskan kekhalifahan. Semua menyetujui, Ali mula- mula tidak mau menerima kekhalfahan pada saat dan keadaan sepeti itu, tetapi mengingat, kepentingan- kepentingan Islam, akhirnya ia menerima tanggun jawab khalifahan, pada tanggal 23 Juni 656 M, setiap orang memberikan sumpah setia kepadanya dan dia dinyatakan sebagai khalifah Islam. 1 Akan tetapi ada bebarapa tokoh yang menolak usulan tersebut diantaranya Muawiyah bin Abi Sufyan. Mereka menolak Ali bin Abi Thalib pada umumnya adalah para gubernur atau pejabat yang berasal dari keluarga besar Kholifah Usman bin Affan. Mereka menuntut pembunuh Kholifah Usman bin Affan ditangkap terlebih dahulu. 1 Syed Mahmudunnasir, Islam Konsep dan Sejarahnya (Cet,4 ; Bandung, PT.Remaja Rosdakarya bandung, 2005) h.165. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah meninggalnya Khalifah Usman bin Affan,
kebingunan dan kekacauan terjadi di Madinah. Pada waktu itu
para sahabat, mengusulkan bahwa Ali bin Abi Thalib meneruskan
kekhalifahan. Semua menyetujui, Ali mula-mula tidak mau
menerima kekhalfahan pada saat dan keadaan sepeti itu, tetapi
mengingat, kepentingan-kepentingan Islam, akhirnya ia
menerima tanggun jawab khalifahan, pada tanggal 23 Juni 656
M, setiap orang memberikan sumpah setia kepadanya dan dia
dinyatakan sebagai khalifah Islam. 1
Akan tetapi ada bebarapa tokoh yang menolak usulan tersebut
diantaranya Muawiyah bin Abi Sufyan. Mereka menolak Ali bin
Abi Thalib pada umumnya adalah para gubernur atau pejabat
yang berasal dari keluarga besar Kholifah Usman bin Affan.
Mereka menuntut pembunuh Kholifah Usman bin Affan ditangkap
terlebih dahulu. Setelah itu barulah masalah pergantian
pemimpin dibicarakan . Sebaliknya, pihak Ali bin Abi Tahlib
berpendapat bahwa masalah kepemimpinan sebaiknya
diselesaikan terlebih dahulu. Seteleh itu, barulah pembunuh
Kholifah Usman bin Affan dicari bersama-sama. Perbedaan
1 Syed Mahmudunnasir, Islam Konsep dan Sejarahnya (Cet,4 ; Bandung, PT.Remaja Rosdakarya bandung, 2005) h.165.
1
2
pendapat tersebut awal pecahnya persatuan kaum muslimin saat
itu. Akhirnya Ali bin Abi Thalib tetap diangkat sebagai kholifah
meskipun ada beberapa kalangan yang tidak tersedia
mengakuinya.2
Keadaan demikian mewarnai kekhalifaannya hingga Ali bin Abi
Thalib wafat.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana rumusan masalah di atas maka dalam makalah ini kami akan
bahas beberapa topik pokok diantanya:
1. Bagaimana biografi Ali bin Abi Thalib dan pemerintahannya?
2. Bagaimana tantangan dari Talhah, Zubair dan Aisyah?
3. Bagaimana tantangan dari Muawiyah?
4. Bagaimana tantangan kaum Khawarij setelah peristiwa tahkim?
2 Ibid.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ali bin Abi Thalib dan Pemerintahannya
Ali adalah anak bungsu dari enam bersaudara pasangan Abu Thalib bin
Abdul Muththalib dan Fatimah binti Asad. Ia dilahirkan di Mekah, tepatnya di
Ka’bah (Jum’at 13 Rajab 600 M). ketika lahir ibunya memberi nama Haidarah,
atau Haidar yang berarti singa, seperti nama ayahnya, Asad, juga berarti singa.
Tetapi Abu Talib memberi nama Ali yang berarti luhur, tinggi dan agung, nama
yang kemudian lebih dikenal, nama yang memang sesuai dengan sifat-sifatnya.
Ali adalah orang pertama dari kalangan Kuraisy yang lahir dari ibu-bapa sama-
sama dari Bani Hasyim. Ia digelari Abu> Turab dan Karrama Alla>hu Wajhah. 3
Ia adalah sepupu Nabi Muhammad saw sekaligus menantu Nabi, Ali bin
Abi Thalib menikah dengan Fatimah, putri Rasulullah saw dengan Khadijah. Ali
bertunangan dengan Fatimah sebelum Perang Badar tetapi pernikahan mereka
dilangsungkan kira-kira tiga bulan selepas itu, ketika itu Ali berusia 21 tahun dan
Fatimah berusia 15 tahun. Ia yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-
anak.4
Ali bin Abi Thalib dikenal pemberani, sewaktu Nabi saw mau
meninggalkan rumah pada malam peristiwa hijrah ke Madinah, Nabi saw
berpesan kepada Ali supaya tidur di perbaringannya. Ali dengan tenang menerima
arahan Nabi saw dan tidur dengan nyenyaknya sehingga orang-orang kafir Mekah
menyerbu masuk ke rumah Nabi saw dan menyergap Ali yang disangka Nabi saw 3 Muhammad Ridha, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib Karrama Alla>hu Wajhah, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 5.4 Ibid, h.6.
4
itu.5 Demikian pula peranannya dalam peran badar bersama Nabi dan para
sahabat, perang uhud, perang parit dan tempat-tempat lainnya. Dalam perang
khandak misalnya, tak ada yang berani menyambut tantangan duel Amr bin Abdul
Wudd selain Ali. Ali maju duel pun terjadi dan dalam waktu tak seberapa lama
Ali berhasil memisahkan kepala jago tanding kuraisy itu dari badannya.6
Selain pemberani Ali bin abi Thalib juga dikenal dengan akhlaknya yang
sangat terpuji, ia rendah hati, lapang dada, tidak pendendam, selalu memelihara
silaturahmi. Ia seorang yang zuhud serta wara. Dia adalah orang yang sarat
dengan ilmu, tempat para sahabat terkemuka bertanya dalam masalah hukum-
hukum-hukum agama yang musykil atau tentang makna sebuah ayat dalam al-
Qur’an atau tafsirnya.
Ia dikenal sebagai orang ‘alim dan cerdas, ketika Abu Bakar menjadi
khalifah, tidak pernah meninggalkan Ali bin Abi Thalib di dalam musyawara
penting. Demikian pula halnya ketika Umar bin Khattab menjadi Khalifah yang
kedua, Ali bin Abi Thalib tetap memperoleh kemuliaan dan penghormatan dari
Umar bin Khattab sebagaimana semasa pemerintahan Abu Bakar, Walaupun
diketahui bahawa Umar bin Khattab terkenal sebagai sahabat yang sangat ahli dan
bijak dalam bidang hukum, namun baginda sering minta bantuan kepada Ali bin
Abi Thalib di dalam menyelesaikan beberapa hal yang sulit bahkan dalam riwayat
disebutkan bahwa Umar bin Khattab tidak suka merundingkan soal-soal yang sulit
tanpa dihadiri oleh Ali Bin Abu Talib.7
5Ali Audah, Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan Husain Cet. V (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2008), h. 48
6Ibid, h. 1087Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Cet. V (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 151.
5
Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Dalam kondisi genting pasca terbunuhnya Khalifah Usman bin ‘Affan,
kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di Masjid Nabawi Madinah. Dengan
harap-harap cemas mereka menunggu berita tentang siapa yang akan menjadi
Khalifah baru. Masjid yang menurut ukuran masa itu sudah cukup besar, penuh
sesak dibanjiri orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin yang menonjol tampak
hadir Ammar bin Yasir, Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu
Ayub bin Yazid. Mereka bulat berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a.
lah tokoh yang paling mustahak dibai'at. Diantara mereka yang paling gigih
berjuang agar Imam Ali r.a. dibai'at ialah Ammar bin Yasir. Dalam mengutarakan
usulnya, pertama-tama Ammar mengemukakan rasa syukur karena kaum
Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan Khalifah Usman.8
Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak
mengkesampingkan kepentingan mereka sendiri, maka yang paling baik ialah
membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar,
mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling dini memeluk Islam. Kepada
kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian sudah mengenal betul siapa Ali bin
Abi Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan kelebihan-kelebihannya
lebih panjang lebar lagi. Kita tidak melihat ada orang lain yang lebih tepat dan
lebih baik untuk diserahi tugas itu.9
Usul Ammar secara spontan disambut hangat dan didukung oleh yang
hadir. Malahan kaum Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang satu-
8Hamid Al Husaini, Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Lembaga Penyelidikan Islam 1981), h. 84 .
9Ibid.
6
satunya orang yang paling afdhal" Setelah tercapai kata sepakat, semua yang
hadir berdiri serentak, kemudian berangkat bersama-sama ke rumah Ali bin Abi
Thalib, Di depan rumahnya mereka beramai-ramai minta dan mendesak agar
Imam Ali keluar. Setelah Ali bin Abi Thalib keluar, semua orang berteriak agar
ia bersedia mengulurkan tangan sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi Amirul
Mukminin. Pada mulanya Ali menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus
terang ia menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir yang membantu daripada
menjadi seorang Amir yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at sebagai
Khalifah, akan kuterima dengan rela. Ingatlah, kita akan menghadapi banyak hal
yang menggoncangkan hati dan fikiran." Serta mengusulkan agar mereka memilih
dari senior yang lain seperti Talhah dan Zubair.
Jawaban Ali yang seperti itu, tak dapat diterima sebagai alasan oleh
banyak kaum muslimin yang waktu itu datang berkerumun di rumahnya. Mereka
tetap mendesak atau setengah memaksa, supaya Ali bin Abi Thalib bersedia
dibai'at oleh mereka sebagai Khalifah. Dengan mantap mereka menegaskan
pendirian: "Tidak ada orang lain yang dapat menegakkan pemerintahan dan
hukum-hukum Islam selain anda. Kami khawatir terhadap ummat Islam, jika
kekhalifahan jatuh ketangan orang lain." Beberapa saat lamanya terjadi saling-
tolak dan saling tukar pendapat antara Ali dengan mereka. Para sahabat Nabi
Muhammad s.a.w. dan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar mengemukakan
alasannya masing-masing tentang apa sebabnya mereka mempercayakan
kepemimpinan tertinggi kepada Ali.10
10Ibid, h. 85.
7
Ali tetap menyadari, jika ia menerima pembai'atan mereka pasti akan
menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan gawat. Namun karena
mereka terus menyakinkan Ali bahwa kaum muslimin memang sangat
menginginkan pimpinannya, dengan perasaaan berat ia menyatakan kesediaannya
untuk menerima pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang mendorong Imam
Ali r.a. bersedia dibai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan
kepentingan kaum muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas
terpeliharanya nilai-nilai peninggalan Rasul Allah saw membuatnya siap
menerima tanggung jawab berat di atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia
tidak pernah lengah, bahwa situasi yang ditinggalkan oleh Khalifah Usman
benar-benar merupakan tantangan besar yang harus ditanggulangi.11
Keputusan Ali bin Abi Thalib untuk bersedia dibai'at sebagai Amirul
Mukminin disambut dengan perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar kaum
muslimin. Kepada mereka Ali meminta supaya pembai'atan dilakukan di masjid
agar dapat disaksikan oleh umum. lalu ramai-ramai pergi menuju masjid, Ali
akhirnya dibai’at menjadi Khalifah menggantikan usman bin Affan oleh
mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Ansar serta para tokoh sahabat seperti Talhah
dan Zubair di Masjid Madinah 12 Sesuai dengan tradisi pada masa itu, sesaat
setelah dibai'at Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menyampaikan amanatnya
yang pertama. Antara lain mengatakan: "Sebenarnya aku ini adalah seorang yang
sama saja seperti kalian. Tidak ada perbedaan dengan kalian dalam masalah hak
11 Suyuti Pulungan, op. cit., h. 151-152.12M. Abdul Karim, Sejarah Pemikian dan Peradaban Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007), h. 106.
8
dan kewajiban. Hendaknya kalian menyadari, bahwa ujian telah datang dari
Allah s.w.t. Berbagai cobaan dan fitnah telah datang mendekati kita seperti
datangnya malam yang gelap-gulita. Tidak ada seorang pun yang sanggup
mengelak dan menahan datangnya cobaan dan fitnah itu, kecuali mereka yang
sabar dan berpandangan jauh. Semoga Allah memberikan bantuan dan
perlindungan. "Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah diperintahkan oleh
Allah s.w.t. kepada kalian, dan berhentilah pada apa yang menjadi larangan-Nya.
Dalam hal itu janganlah kalian bertindak tergesa-gesa, sebelum kalian menerima
penjelasan yang akan kuberikan. "Ketahuilah bahwa Allah s.w.t. di atas 'Arsy-
Nya Maha Mengetahui, bahwa sebenarnya aku ini tidak merasa senang dengan
kedudukan yang kalian berikan kepadaku. Sebab aku pernah mendengar sendiri
Rasul Allah s.a.w. berkata: "Setiap waliy (penguasa atau pimpinan) sesudahku,
yang diserahi pimpinan atas kaum muslimin, pada hari kiyamat kelak akan
diberdirikan pada ujung jembatan dan para Malaikat akan membawa lembaran
riwayat hidupnya. Jika wali itu seorang yang adil, Allah akan menyelamatkannya
karena keadilannya. Jika wali itu seorang yang dzalim, jembatan itu akan
goncang, lemah dan kemudian lenyaplah kekuatannya. Akhirnya orang itu akan
jatuh ke dalam api neraka…"13
Ali dibai’at oleh mayoritas kaum Muhajirin dan Anshar serta para tokoh
sahabat seperti Talhah dan Zubair, Ali dibai’at di mesjid Madinah. Salah seorang
tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap konfrontatif
adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, keluarga Usman dan gubernur Syam dengan
13Hamid Al Husaini, op. cit., h. 84-85.
9
alasan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Usman,
karena itu Ali harus mencari para pelakunya dan mengadilinya. 14
Setelah resmi memegang jabatan khalifah, Ali segera mengambil
kebijakan politik untuk memperbaiki managemen pemerintahan yang pada masa
sebelumnya terutama enam tahun paruh kedua dari pemerintahan khalifah Usman
bin ‘Affan yang isunya terjadi praktek nepotisme. Khalifah Ali bin Abi setelah
dibai’at, khalifah Ali mengambil langkah-langkah politik, yaitu:
1. Memecat para pejabat yang diangkat oleh Usman, termasuk didalamnya
beberapa gubernur lalu menunjuk penggantinya.
2. Mengambil tanah yang telah dibagikan Usman kepada keluarga dan kaum
kerabatnya.
3. Memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari bait al-
ma>l, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar, pemberian dilakukan
secara merata, tanpa membedakan sahabat yang lebih dulu memeluk agama
Islam atau yang belakangan.
4. Meninggalkan kota Madinah dan menjadikan kota Kufah sebagai pusat
pemerintahan. 15
Selain itu Khalifah Ali membenahi dan menyusun arsip negara untuk
mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah, membentuk
kantor h}a>jib (bendaharawan) dan kantor sa>hibushs{hurt{ah (pasukan
pengawal), serta mengorganisir polisi dan menetapkan tugas–tugas mereka.
14Barnaby Rogerson, The Heirs of The prophet Muhammad, Terj. Ahmad Asnawi, Para Pewaris Muhammad, (Cet. I; Yogyakarta: Diglossia Media, 2007), h. 23-24.15 Dewan redaksi ensiklopedi islam, “Ali ibn Abi Thalib,” Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: Ichtiar baru van houve, 1994), h. 112-113
10
Pemerintahan Ali juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan. Setelah
pemberontakan di Kabul dan Sistan ditumpas, tentaranya mengadakan serangan di
atas Koukan (Bombaay). Ia juga mendirikan pemukiman–pemukiman militer di
perbatasan Syiria dan membangun benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan
Parsi.
Dalam pengelolahan uang negara khalifah Ali mengikuti prinsip prinsip
yang ditetapkan oleh khalifah Umar yaitu harta rakyat dikembalikan kepada
rakyat. Dalam pengawasan terhadap tindakan para gubernur, Ali bertindak keras
dan tidak pilih kasih serta memantau mereka secara terus-menerus. Suatu ketika
Ibn Abbas, Gubernur Bashrah keluarga Ali diketahui mengambil uang Baitul Mal
untuk keperluan pribadi, Ali langsung menegurnya.16
B. Tantangan Dari Aisyah, Talhah dan zubair (Perang Jamal)
Ali dibai’at menjadi Khalifah pada pertengahan bulan Dzulhijjah tahun 35
H, ditengah-tengah kekacauan dan kerusuhan akibat kematian Khalifah Usman.
Tuntutan untuk menangkap dan menghukum para pembunuh Usman dialamatkan
kepadanya, padahal tugas pokok yang juga mendesak untuk diselesaikan adalah
masalah keamanan dan ketertiban umum akibat kaum pemberontak..Menurutnya,
jika tidak ada keamanan dan ketertiban akan lebih sulit menyelesaikan masalah
kriminal seperti pembunuhan Usman. Dan kaidah hukum Islam, kepentingan
umum didahulukan dari pada kepentingan khusus.17
Kebijakan yang diambil Ali bin Abi Thalib mendapatkan tantangan dari
dua kelompok besar pada saat itu. Damsyik dan Makkah menuduh Imam Ali r.a.
16Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 158-159. 17 Ali Audah, op. cit., h. 215
11
sebagai orang yang setidak-tidaknya ikut bertanggungjawab atas terbunuhnya
Khalifah Usman Dalam periode itu praktis ummat Islam terpecah dalam tiga
kelompok besar:
1. Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali r.a.
2. Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
3. Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio Thalhah, Zubair dan Aisyah
Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan bersenjata yang cukup
tangguh dan berpengalaman. Kelompok Madinah menghadapi kelompok Mekah
dan Damsyik karena seakan-akan kelompok Damsyik berdiri dibelakang
kelompok Makkah. Dua tantangan besar yang sedang dihadapi Ali r.a. mewarnai
kehidupan kaum muslimin pada tahun empat-puluhan Hijriyah.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, terjadi satu krisis politik yang
mengarah kepada peperangan besar antara sesama kaum muslimin. Inilah gejala
nyata dari apa yang pernah dikemukakan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya,
bahwa pada satu ketika akan terjadi fitnah besar di kalangan ummatnya, laksana
datangnya malam gelap-gulita yang berlangsung dari awal sampai akhir.
Pada musim haji itu istri-istri Nabi diantarnya: Aisyah, Hafsah, dan
Ummuh Salamah sedang menunaikan ibadah haji. Aisyah mendengar berita
kematian Khalifah Usman di Mekah dan dibai’atnya Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah pengganti Usman. Ia terlihat marah sekali, tidak menerima dan menuntut
bela atas kematian Usman. Setelah menunaikan ibadah haji ia kembali ke
medinah, namun ditengah perjalanan terpaksa dibatalkan dan berbelok ke Bashrah
atas usulan Talhah dan Zubair dan beberapa anggota rombongnnya. Pada mulanya
12
Aisyah menolak jika maksudnya ialah untuk berperang, tetapi mereka mengatakan
bahwa mereka ingin Aisyah dapat mengajak orang untuk menuntut pembunuh
Usman bukan untuk perang.18
Saat itu pasukan Ali berangkat ke sana guna melakukan ishlah dan
menyatukan kalimat, tetapi Abdullah bin Saba’ dan kawan-kawannya
merencanakan untuk mengadu kedua belah pihak. Orang-orang yang melakukan
konspirasi jahat ini bergerak sebelum fajar. Jumlah mereka hampir 2000 orang.
Mereka melakukan serangan mendadak. Akhirnya orang-orang bangun dari
tidurnya dan membawa pedang seraya berkata, “Para penduduk Kufah
menyerang kita pada malam hari dan berkhianat kepada kita.“ Mereka mengira
bahwa tindakan tersebut adalah rencana busuk dari Ali. Setelah mendengar berita
ini Ali berkata, “Apa yang terjadi pada masyarakat?” Orang-orang yang berada
di sekitarnya berteriak, “Orang-orang Bashrah menyerang kami di malam hari
dan berkhianat terhadap kita.” Kemudian masing-masing pihak mengambil
pedang dan baju perangnya tanpa mengetahui hakikat yang sebenarnya. Terjadilah
peperangan di antara mereka. Pasukan Ali sekitar 20.000 orang, adapun pasukan
Aisyah berjumlah sekitar 30.000 orang. Aisyah ikut maju dengan mengendarai
onta.19
Ketika pasukan Ali mendekati pasukan Thalhah dan Zubair, maka
keluarlah Ali dengan menunggang baghal Rasulullah saw, kemudian memanggil
Zubair dan berkata:“Wahai Zubair, demi Allah, apakah engkau ingat ketika
Rasulullah bertanya kepadamu: ‘Wahai Zubair apakah kamu mencintai Ali?’
18 Ibid, h. 221.19Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiyah Manhajiah Sejarah
Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw, Cet. II, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h.503.
13
Lalu kamu menjawab: “Mengapa aku tidak mencintai anak bibiku dan anak
pamanku bahkan seagama denganku?” Kemudian Nabi saw bersabda: “Wahai
Zubair, demi Allah, satu saat engkau pasti akan memeranginya dan
menzhaliminya”. Zubair menjawab, “Demi Allah, aku telah lupa akan hal itu.
Tetapi sekarang aku telah teringat lagi. Demi Allah, aku tidak akan
memerangimu untuk selama-lamanya.” Kemudian Zubair meninggalkan
peperangan dan kembali ke Medinah, ditengah perjalanan ia berhenti disebuah
lembah Wadi Suba’ untuk melaksanakan shalat, ketika sedang khusyu’ shalat ia
dibunuh oleh Amr bin Jurmuz.20
Namun Pasukan Abdullah bin Saba` tidak henti-hentinya melakukan
pembunuhan dan tidak peduli terhadap penyeru dari pihak Ali yang menyerukan
kepada mereka semua untuk berhenti. Beberapa anak panah terus menghujani
pihak Ali, buat Khalifah Ali bin Abi Thalib memang serba salah: kalau dibiarkan
korban dipihaknya akan terus bertambah banyak, kalau ditinggalkan pengikut-
pengikutnya di Bashrah akan menjadi korban pembantaian. Ia akhirnya
menyerahkan panji perang kepada anaknya Muhammad al-Hanafiyah dan
perangpun tak terelakkan lagi. Jalan lain rupanya memang sudah tak ada dan
korban dari kedua belah pihak pun berjatuhan. ketika Talhah terkepung, Ali
mengingatkan pengikut-pengikutnya untuk tidak membunuhnya. Ali berteriak
sekuat-kuatnya: “jangan bunuh orang yang memakai burnus itu”. Talhah
tersentak, Ali yang ia perangi justru berteriak untuk menyelamatkannya. Namun
dalam suasana peperangan yang serba tak terkendali, tiba-tiba sebatang anak
panah meluncur menembus lehernya dan ia langsung roboh.
20Ibid h. 505.
14
Mengenai Aisyah, ketika ontanya roboh. Ia diselamatkan adiknya,
Muhammad bin Abu Bakar dan Ammar bin Yasir. Ali kemudian memerintahkan
Muhammad bin Abu Bakar membawah Aisyah kerumah keluarga Abdullah bin
Khalaf di Bashrah untuk beristirahat sambil menunggu kepulangannya ke
medinah dan Aisyah berkali-kali menunjukkan penyesalan pada apa yang telah ia
lakukakan, dia menangis lama hingga kerudungnya basah. Akhirnya perang
tersebut berakhir dan kedua belah pihak pun kembali berdamai. Ali tinggal di
Bashrah selama 15 hari kemudian kembali ke kufah. Perang Jamal terjadi pada
tanggal 10 Jumada ats-Tsaniayah 36 H. korbannya mencapai 10.000 orang21
C. Tantangan dari Mu’awiyah (Perang Shiffin)
Konsekuensi politik terpenting dari Perang Jamal adalah menjadi kuatnya posisi
Muawiyah bin Abi Sufyan, mengakibatkan timbulnya pemberontakan dari
Mu’awiyah selaku gubernur Damaskus(Syiria) yang diangkat oleh Utsman,
Mu’awiyah enggan menyerahkan jabatannya kepada pejabat baru. Namun sikap
pembangkangan ini tidak ditindaki dengan tegas oleh khalifah Ali, khalifah hanya
mengirim surat undangan untuk datang menghadap kepada khalifah dan sekaligus
menyatakan kesetiaannya pada Ali sebagai khalifah. Tetapi Mu’awiyah menolak
hingga akhirnya berkobar lagi pertempuran antar sesama muslim.
Khalifah Ali beserta pasukannya bergerak meninggalkan Kufah menuju
Syam.Mendengar berita kedatangan mereka, Mu’awiyah dan pasukannya bersiap-
siap menghadang diluar kota. Kedua pasukan bertemu di suatu tempat yang
bernama Siffin22. Yang kemudian menjadi nama atas perang tersebut.
21 Rasul Ja’fariyah, The History Of Chalips Terj. Ana Farida dkk, Sejarah Para pemimpin Islam (Cet. 1; Jakarta, Al-Huda 2010), h.118.22 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1993), h.41.
15
Pada peperangan yang terjadi pada tanggal 1 shafar 37 H./657 M. di dekat
sungai Eufrat tersebut, khalifah mengerahkan 50.000 pasukan. Setelah perang
berlangsung beberapa hari, pasukan Mu’awiyah terdesak dengan gugurnya 7.000
pasukannya dan tanda-tanda kemenangan terlihat dipihak Khalifah Ali.23
Pada saat Mu’awiyah dan tentaranya terdesak Amr bin Ash sebagai
penasehat Mu’awiyah yang dikenal cerdik dan pandai berunding, meminta agar
Mu’awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf Al-Qur’an di ujung
tombak sebagai isyarat berdamai dengan cara tahkim (arbitrase) dengan demikian
Mu’awiyah terhindar dari kekalahan total.
Mendengar tawaran itu, para imam yang berada di pihak khalifah
mendesak agar tawaran pihak Mu’awiyah itu diterima. Dengan demikian,
dicarilah jalan damai dengan mendakan hakam(perundingan damai). Perundingan
berlangsung pada bulan Ramadhan, dimana masing-masing pihak menunjuk wakil
yang akan menjadi hakim (juru penengah). Dari pihak Mu’awiyah ditunjuk Amr
bin Ash sedang dari pihak khalifah Ali ditunjuk Abu Musa al-Asy’ari.24 Kedua
hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangant berbeda. Amr bin Ash
dikenal pandai berpolitik sementara Abu Musa al-Asy’ari adalah orang yang
lurus, rendah hati dan mengutamakan kedamaian.
Seusai perundingan, Abu Musa sebagai yang tertua dipersilahkan untuk
berbicara lebih dahulu. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya antara mereka
berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian Ali dari jabatannya sebagai
khalifah dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum muslimin. Tetapi
23 Ibid.,24 Ensiklopedi Islam, Op. cit, h.125.
16
ketika tiba giliran Amr bin Ash, ia menyatakan persetujuannya atas
pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan khalifah bagi Mu’awiyah. Ternyata
Amr bin Ash menyalahi kesepakatan semula yang dibuat bersama Abu Musa.
Sepak terjangnya dalam peristiwa ini merugikan pihak Mu’awiyah.Ali menolak
keputusan tahkim tersebut, dan tetap mempertahankan kedudukannya sebagai
khalifah.
Setelah peristiwa ini orang-orang pun bubar dengan rasa kecewa dan
tertipu, kemudian ia kembali ke negerinya masing-masing. Amr bin Ash dan