Pemeriksaan Tes Alergi I. PENDAHULUAN Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang tidak di harapkan. (1) Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah tersensitisasi dengan antigen bersangkutan. (2) Penyakit alergi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering didapatkan dalam praktek sehari-hari. (3) dalam 20 – 30 tahun terakhir telah terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi, bahkan di negara berkembang alergi atopik dapat dijumpai pada 20 % populasi yang mencakup berbagai kelainan yang dikaitkan dengan IgE, misalnya asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain. Peningkatan prevalensi alergi di duga disebabkan berbagai faktor, diantaranya perubahan gaya hidup, misalnya penggunaan sistem pengatur suhu ruangan di dalam rumah disertai ventilasi yang kurang, penggunaan antibiotik spektrum luas , infeksi virus, diet dan lain-lain. (2) Sejak awal tahun dari abad terakhir, sebelum penyebab dari reaksi alergi di temukan, tehnik in vivo termasuk conjunctival instillation dan tes kulit, telah digunakan untuk mengidentifikasi faktor penyebab dari reaksi alergi. (4) Hingga saat ini sudah banyak perkembangan dalam metode laboratorium untuk menunjang diagnosis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Pemeriksaan Tes Alergi
I. PENDAHULUAN
Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang tidak di
harapkan.(1) Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906
yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan
seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan
menimbulkan penyakit. Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap
antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah
tersensitisasi dengan antigen bersangkutan.(2)
Penyakit alergi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering didapatkan
dalam praktek sehari-hari.(3) dalam 20 – 30 tahun terakhir telah terjadi peningkatan
dalam angka kejadian alergi, bahkan di negara berkembang alergi atopik dapat dijumpai
pada 20 % populasi yang mencakup berbagai kelainan yang dikaitkan dengan IgE,
misalnya asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain.
Peningkatan prevalensi alergi di duga disebabkan berbagai faktor, diantaranya
perubahan gaya hidup, misalnya penggunaan sistem pengatur suhu ruangan di dalam
rumah disertai ventilasi yang kurang, penggunaan antibiotik spektrum luas , infeksi virus,
diet dan lain-lain.(2)
Sejak awal tahun dari abad terakhir, sebelum penyebab dari reaksi alergi di
temukan, tehnik in vivo termasuk conjunctival instillation dan tes kulit, telah digunakan
untuk mengidentifikasi faktor penyebab dari reaksi alergi.(4)Hingga saat ini sudah banyak
perkembangan dalam metode laboratorium untuk menunjang diagnosis dan evaluasi
penderita alergi. Sebagian metode laboratorium lebih banyak digunakan untuk
menunjang riset pada penderita alergi dan belum banyak digunakan untuk pelayanan
laboratorium secara rutin.(2)
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti penetapan jumlah eosinofil dan kadar IgE
serum dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam menegaskan diagnosis gangguan
alergi. Namun interprestasi dari nilai eosionofil agak sulit karena eosinofil dipengaruhi
oleh ekskresi obat-obat tertentu seperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu
pengambilan, dan tehnik peneraan, serta juga oleh kinetiknya.(1)
Tes alergi sering digunakan untuk membedakan suatu penyakit yang disebabkan
oleh alergi ataupun oleh sebab lain. Dikenal beberapa metode pemeriksaan alergi
diantaranya secara in vivo dan secara in vitro.(1,3,4,5,6)
II. REAKSI ALERGI
Reaksi alergi semula dibagi dalam 2 golongan berdasarkan kecepatan timbulnya reaksi,
yaitu :
1. Tipe cepat (immediate type, antibody mediated)
2. Tipe lambat (delayed type, cell mediated)(7)
Sedangkan Combs dan Gell (1975) membagi reaksi ini menjadi 4 jenis yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe I, II, III dan IV.(1,5,7)
Reaksi Tipe I
Pada paparan pertama, allergen masuk sampai kedalam mukosa dan di tampilkan oleh
sel B dan sel T. Respon imun yang di dapat akan memproduksi proliferasi populasi sel
yang spesifik terhadap antigen dan membangun sel memori dan sel plasma. IgE spesifik
untuk allergen tersebut di bentuk dan berikatan dengan sel mast di dalam tubuh. Pada
paparan kedua allergen masuk kembali ke dalam mukosa dan melepas ikatan antara
IgE dan mast sel. Sehingga mast sel akan melepaskan mediator seperti heparin dan
histamin. Pengaktifan metabolisme asam arakidonat menghasilkan prostaglandin dan
leukotrien yang nantinya akan menimbulkan gejala.
Reaksi Tipe II
Pada paparan pertama alergen menginduksi respon sel B dengan memproduksi
antibodi. Pada paparan berikutnya antibodi berikatan dengan permukaan sel untuk
menampilkan alergen. Kemudian, sistem komplemen lainnya diaktifkan dan sel menjadi
lisis atau antibodi yang terbentuk bertindak sebagai opsonin dan sel fagosit yang
tertarik. Kerusakan jaringan khusus, tergantung pada distribusi dari permukaan sel
alergen. Belum jelas jika reaksi tipe II terlibat dalam pembentukan gejala alergi.
Reaksi Tipe III
Pada paparan pertama, alergen mempengaruhi respon dari sel B dengan memproduksi
antibodi. Pada paparan kedua, alergen beredar dalam sirkulasi darah berikatan dengan
antibodi untuk membentuk kompleks imun. Ketika jumlah antigen yang lebih besar
tampak, kompleks imun tadi menjadi banyak, besar dan irregular dan mereka tidak
dapat disingkirkan secara cepat oleh sistem retikuloendotelial. Kompleks tadi berikatan
dengan endothelium dari pembuluh darah kecil dan membentuk respon inflamasi
(edema, Infiltrat selular) sampai komplemen menjadi aktif. Efek samping dari kerusakan
jaringan tergantung dari jumlah deposit dari kompleks tadi.
Reaksi Tipe IV hipersensitivitas tipe lambat
Pada paparan pertama alergen merangsang sel T. pada paparan kedua allergen
ditemukan pada permukaan sel target. Sebelumnya merangsang sel T kemudian sel
target lisis dan respon inflamasi terbentuk.(5)
III. INDIKASI PEMERIKSAAN TES ALERGI(3,8)
Secara umum indikasi pemeriksaan alergi pada seseorang berdasarkan kondisi yang
dialami.
Tabel 1.
Indikasi untuk pemeriksaan tes alergi
Kondisi Indikasi
Rhinitis Gejala tidak dapat dikontrol dengan pemberian medikamentosa dan diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis alergen sehingga kemudian hari alergen dapat dihindari
Asma Asma persisten pada pasien yang terpapar alergen di dalam ruang
Dugaan alergi makanan Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap makanan
Dugaan alergi obat Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap obat dan indikasi klinis untuk obat yang diduga
Dugaan alergi gigitan binatang
Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi sistemik terhadap sengatan binatang
IV. PEMERIKSAAN TES ALERGI
Pemeriksaan untuk diagnosis alergi inhalan dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro
untuk alergi terhadap alergen yang spesifik. Tes ini diindikasikan tidak hanya pada
pasien alergi saja, namun juga pada terkena alergen yang spesifik. Tes pada inhalasi
relatif lebih sederhana, sejak mekanisme terjadinya diketahui (IgE – mediator reaksi tipe
I) dan reaksi alergi inhalasi bisa didapatkan dalam beberapa menit. Bagaimanapun bisa
didapatkan sebuah hasil yang positif walaupun tanpa gejala klinik.(5)
A. METODE IN VIVO
Berbagai metode in vivo digunakan dalam penelitian sistem immunoglobulin maupun
sistem seluler.(1) tes alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan uji
tantangan pada organ (tes provokasi).(9) Uji kulit merupakan cara in vivo utama dalam
mengenali IgE atau antibodi reagenik. Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah
masuknya alergen. Alergen berinteraksi dengan antibodi reagenik yang melekat pada
sel pelepas zat mediator. Akibatnya terjadi suatu peradangan atau pembengkakan
segera, demikian pula suatu reaksi fase lambat. Pengujian dapat dilakukan dengan
menggunakan suatu jarum atau garukan dan injeksi intradermal.(1)
1. Pemeriksaan Tes Kulit
Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang diagnosis alergi
terhadap alergen-alergen tertentu. Metode ini dapat dilakukan secara massal dalam
waktu singkat dengan hasil cukup baik. Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada
permukaan basofil atau sel matosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamin,
leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan
pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol (wheal) dan
kemerahan (flare).(2,8) Tetapi uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun
pemeriksaan dengan cara lain berhasil positif, terutama alergi terhadap obat.(2)
Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk menentukan macam alergen sehingga
dikemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian
imunoterapi.(8)
Macam tes kulit untuk mediagnosis alergi antara lain :
Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena
allergen inhalan, makanan atau bisa serangga.
Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga.
Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak.(8,10)
a. Scracth : Epicutaneus Tes
Ini merupakan tehnik yang paling awal ditemukan oleh Charles Blackley pada tahun
1873. Pemeriksaan ini didasari dengan membuat laserasi superficial kecil dari 2 mm
pada kulit pasien dan diikuti dengan menjatuhkan antigen konsentrat.
Keuntungan :
o Aman, jarang menyebabkan reaksi sistemik
o Terdapat kekurangan pada reaksi kulit tipe lambat
o Konstrate yang digunakan nilai ekonominya lebih baik dan mempunyai daya hidup yang
lama.
Kerugian :
o Terjadi false positif (akibat iritasi pada kulit dibandingkan dengan reaksi alergi)
o Lebih menyakitkan
o Tidak reproducible sebagai intradermal skin test
Karena kurang reproducibility dan berbagai gambaran dibelakang, bentuk tes ini tidak
direkomendasikan lagi sebagai prosedur diagnostik pada Alergi panel dari AMA Council
Of Scientific Affairs.(5)
b. Prick : Epicutaneus
Tehnik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1926. Hal ini
digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit . kemudian jarum
steril 26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit bagian superficial sehingga
tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan menggunakan applikator sekali pakai
dengan delapan mata jarum yang bisa digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6
antigen dan control positif (histmin) dan kontrol negative (glyserin). (5)