Top Banner
PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI (COMPETENCE BASE EDUCATION AND TRAINING) DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA Studi Experimen pada Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta AGUS SUTIYONO No. Reg. 7627070790 Disertasi yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar Doktor PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2010
123

Agus Sutiyono - Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja.pdf

Nov 14, 2015

Download

Documents

Danu Caplin
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 0

    PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI (COMPETENCE BASE EDUCATION AND

    TRAINING) DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

    Studi Experimen pada Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta

    AGUS SUTIYONO No. Reg. 7627070790

    Disertasi yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar Doktor

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2010

  • 1

    ABSTRAK Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competence Base Education and Training) dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Studi Experimen pada Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta)

    Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikuti model pendidikan dan pelatihan dengan mempertimbangkan motivasi kerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hasil hipotesis penelitian menunjukkan bahwa: (1) motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP (2) bentuk Pelatihan CBET mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Ini berarti perbedaan bentuk Pelatihan dalam CBET menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (3) interaksi antara model pelatihan dan motivasi kerja menentukan variasi atau keberagaman kinerja petugas Satpol PP; (4) terdapat perbedaan antara Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi.

    Penelitian dilakukan pada bulan November 2008 sampai dengan April 2009 di Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) DKI Jakarta dengan penelitian metode quasi eksperimen. Sampel diambil dengan teknik stratified cluster random sampling. Untuk kelompok pelatihan konvensional dan metode CBET ditentukan sampel sejumlah 40 orang, sehingga total sampel adalah 80 orang responden.

    Hasil temuan tentang pengaruh Pelatihan Competence Base Education and Training (CBET) dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja menunjukkan Pertama, bahwa kinerja petugas satpol PP yang diberi pelatihan CBET lebih tinggi daripada kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan konvensional, dengan nilai Fhitung sebesar 305,6247 lebih besar dari Ftabel sebesar 7,01 dengan taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 305,6247 > Ftabel (0,01)(1;76) = 7,01), Kedua, Terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja petugas satpol PP, dengan nilai Fhitung sebesar 4,3907 lebih besar dari Ftabel sebesar 3,97 dengan taraf signifikansi 0,05 (Fhitung = 4,3907 > Ftabel (0,05)(1;76) = 3,97. Ketiga, Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi dengan nilai Fhitung sebesar 119,8039 lebih besar dari Ftabel sebesar 7,35 dengan taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 119,8039 > Ftabel (0,01)(1;38) = 7,35). Keempat, kinerja petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja rendah adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja renda, dengan nilai Fhitung sebesar 105,769 lebih besar dari Ftabel sebesar 7,35 dengan taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 105,769 > Ftabel (0,01)(1;38) = 7,35)

  • 2

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai dijadikan landasan untuk menyusun konsep dan strategi baru dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan petugas satpol PP guna mempersiapkan personil SDM dengan kompetensi yang memadai dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi dari petugas Satpol PP.

  • 3

    ABSTRACT

    THE EFFECT OF COMPETENCE BASED EDUCATION AND TRAINING (CBET) AND WORK MOTIVATION ON CIVIL SERVANTS WORKS (An Experimental Study Towards Civil Servants in Jakarta)

    Operationally, this research aimed to find out the differences in working of civil servants who join the training and education by considering their work motivation in Jakarta.

    The result of this research hypothesis shows that (1) the motivation in working influences the civil servants work; (2) the form of CBET training influences the civil servants work. It means that there is a different form of training in CBET that can determine variations on civil servants work; (3) the interaction between the training model and the work motivation determine variations in civil servants work; (4) there are differences between the civil servants who join the CBET training and the civil servants who do not. The civil servants who join the CBET training have higher motivation in working and vise versa.

    This reasearch conducted on November 2008 until April 2009 at Dinas Ketentraman dan Ketertiban DKI Jakarta by using quation experiment method. Research samples taken by using stratified cluster random technique. For the members of conventional training and CBET method, 40 people are taken as samples, therefore the total samples are 80 people.

    The results finding about Competence Based Education and Training (CBET) and work motivation toward civil servants work show first, the work of civil servants that join CBET training are higher than civil servantss work that join a conventional training, with Fcounting 305,6247, higher than 7,01 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 305,6247 > Ftable (0,01)(1;76) = 7,01). Second, there is an influence between the training model and work motivation towards civil servants work with Fcounting 4,3907 which is higher than 3,97 Ftabel with 0,05 signification level (Fcounting= 4,3907 > Ftable (0,05)(1;76) = 3,97. Third, the work of civil servants that join CBET training and have higher motivation in working, are higher than civil servantss work that join a conventional training with high motivation in working, with Fcounting 119,8039 > Ftablel (0,01)(1;38) = 7,35). Fourth, the work of civil servants who join CBET training and have low motivation in working is still higher than the work of civil servants who join the conventional training with low motivation too, with 105,769 which is higher than 7,35 Ftable with 0,01 signification (Fcounting = 105,769 > Ftable (0,01)(1;38) = 7,35). The result of this research is hoped can be used as a guidence to produce a new concept and strategy in education development and training toward civil servants. This research is also hoped can design human resources with high competency in running their primary duties and functions as civil servants.

  • 4

    KATA PENGANTAR

    Puji serta syukur penulis panjatkan kepada ALLAH yang telah

    melimpahkan hamat dan hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

    Disertasi ditulis sedagai syarat untuk menempuh ujian dan memperoleh gelar

    doktor di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

    Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas selesainya

    disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga

    kepada Prof. Dr. Made Putrawan, M.Pd selaku promotor utama dalam penulisan

    disertasi, beliau telah menginspirasi saya untuk dapat berbuat yang terbaik

    dalam displin ilmu yang saya tekuni. Jadilah terus inspirator untuk kesuksesan

    dan kebahagiaan orang lain. Kepada Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd, Rektor

    Universitas Negeri Jakarta yang bukan hanya menjadi Co promotor dalam

    menyelesaikan studi ini tetapi juga motivator dan postur yang membakar

    semangat dan antusias saya untuk saya dapat menyelesaikan program S3 ini.

    Beliau selalu menjadi penyemangat dalam begitu banyak hal dalam kehidupan

    saya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Djaali, Direktur

    PPs UNJ, yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan yang amat

    berharga bagi penulis. Kepada Prof. Dr. Mukhlis R. Luddin, MA, penulis

    sampaikan terima kasih atas bantuan dan arahannya yang amat berharga dalam

    penyelesaian disertasi ini.

    Terima kasih kepada Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta

    atas kerja samanya sehingga pengambilan data penelitian dapat berjalan

    dengan lancar. Kepada segenap pimpinan Satuan Polisi Pamong Praja

  • 5

    khususnya kepada bapak H. Harianto Badjoeri, selaku kepala Satpol PP Provinsi

    DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

    melakukan penelitian dijajarannya.

    Ayahku (Bapak Karnomo Alm,), Nenek ku (Biyung), Ibu ku, Istriku dan

    Anakku yang selalu memberi warna dan jejak yang jelas dalam pengabdian

    terbaik untuk masyarakat. Gelar ini penulis dedikasikan untuk perjuangan yang

    Nenek/Bapak/Ibu/Istri dan anak yang telah mendukung dengan sabar, tekun

    sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Begitu banyak

    teman, sahabat yang terus menginspirasi penulis untuk terus dapat melakukan

    yang terbaik dalam perjalanan hidup ini.

    Dr.Karnadi, M,Si, Dr.Maruf Akbar, Prof.Dr.Mulyono,M.Pd terima kasih

    atas semua support yang Bapak berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan

    disertasi ini. Tuhan telah mengirimkan semua orang-orang yang selalu

    memberikan penulis semangat untuk memberikan yang terbaik. Kepada semua

    pihak yang sangat intens memberikan support penulis sampaikan terima kasih,

    ALLAH Maha Penyayang yang akan memberikan dan membalas semua

    kebaikan yang telah dilakukan.

    Jakarta, Januari 2010

    Penulis,

  • 6

    DAFTAR ISI

    Abstrak 1

    Kata Pengantar 4

    Daftar Isi 6

    Daftar Tabel 8

    Daftar Gambar 11

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    B. Identifikasi Masalah

    C. Pembatasan Masalah

    D. Rumusan Masalah

    E. Kegunaan Hasil Penelitian

    12

    12

    18

    19

    19

    20

    BAB II ACUAN TEORITIK, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

    A. Kerangka Teori

    1. Kinerja

    22

    22

    22

    2. Pendidikan dan Pelatihan

    3. Motivasi Kerja

    39

    51

    B. Hasil Penelitian yang relevan

    C. Kerangka Berfikir

    60

    61

    D. Hipotesis Penelitian 65

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN

    A. Tujuan Penelitian

    B. Tempat dan Waktu Penelitian

    C. Metode dan Desain Penelitian

    D. Populasi dan Sample

    E. Instrumen Penelitian

    F. Ujicoba Instrumen

    67

    67

    68

    68

    70

    71

    77

  • 7

    G. Teknik Analisis Data

    H. Hipotesis Statistik

    BAB IV HASIL PENELITIAN

    A. Deskripsi Hasil Penelitian

    B. Pengujian Persyaratan Analisis Data

    C. Pengujian Hipotesa

    D. Interpretasi Hasil Penelitian

    E. Pembahasan

    F. Keterbatasan Penelitian

    BAB IV KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

    A. Kesimpulan

    B. Implikasi

    C. Saran

    Daftar Pustaka

    Biografi Penulis

    81

    81

    83

    83

    96

    104

    110

    110

    114

    116

    116

    117

    118

    119

    121

  • 8

    DAFTAR TABEL

    TABEL KETERANGAN HAL

    Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja 29

    Tabel 2.2 Dimensi dan Indikator Motivasi Kinerja 55

    Tabel 3.1 Rancangan Faktorial A x B 66

    Tabel 3.2. Sampel Penelitian 68

    Tabel 3.3. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian 71

    Tabel 3.4 Skala Likert 73

    Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Instrumen Motivasi Kerja 74

    Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja 76

    Tabel 3.7 Hasil Analisis Reliabilitas 77

    Tabel 3.8 Hasil Analisis Reabilitas 78

    Tabel 4.1 Distribusi frekuensi skor Model Competence based

    Education and Training petugas satpol PP (A1)

    81

    Tabel 4.2 Distribusi frekuensi skor Model Pelatihan

    Konvensional petugas satpol PP (A2)

    83

    Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol

    PP yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (B1)

    84

    Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas

    Satpol PP yang memiliki Motivasi Kerja Rendah

    (B2)

    86

    Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang

    mengikuti pelatihan Model Competence based

    Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja

    87

  • 9

    TABEL KETERANGAN HAL

    Tinggi (A1B1).

    Tabel 4.6

    Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang

    mengikuti pelatihan Model Competence based

    Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja

    Rendah (A1B2).

    89

    Tabel 4.7

    Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang

    mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki

    Motivasi Kerja Tinggi (A2B1)

    90

    Tabel 4.8

    Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang

    mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki

    Motivasi Kerja Rendah (A2B2)

    91

    Tabel 4.9

    Rekapitulasi Deskripsi Data Rata-Rata Model

    Pelatihan dan motivasi kerja terhadap kinerja

    petugas satuan polisi pamong praja

    93

    Tabel 4.10

    Tests of Normality 96

    Tabel 4.11

    Rekapitulasi Deskripsi Uji Normalitas Kinerja Petugas Satpol Pp Berdasarkan Model Pelatihan Dan Motivasi Kerja.

    97

    Tabel 4.12 Test of Homogeneity of Variances

    98

    Tabel 4.13 ANOVA

    98

    Tabel 4.14 Test of Homogeneity of Variances 100

    Tabel 4.15 ANOVA 100

    Tabel 4.16 Test of Homogeneity of Variances 101

    Tabel 4.17 ANOVA 101

  • 10

    TABEL KETERANGAN HAL

    Tabel 4.18 Tests of Between-Subjects Effects 103

    Tabel 4.19 Perbandingan Skor Rata-rata Kinerja Petugas Satpol PP

    107

  • 11

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Keterangan Hal

    Gambar 2.1 Indikator Kinerja 24

    Gambar 4.1 Skor Model Competence based Education and Training

    petugas satpol PP (A1)

    82

    Gambar 4.2 Skor Model Konvensional Petugas Satpol PP (A1) 83

    Gambar 4.3 Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP

    yang memiliki Motivasi Tinggi (B1)

    85

    Gambar 4.4 Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP

    yang memiliki Motivasi Rendah (B2)

    86

    Gambar 4.5 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model

    Competence based Education and Training yang memiliki

    Motivasi Kerja Tinggi (A1B1)

    88

    Gambar 4.6

    Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti

    pelatihan Model Competence based Education and Training

    yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).

    89

    Gambar 4.7

    Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan

    Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1).

    91

    Gambar 4.8 Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan

    Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).

    92

  • 12

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Memasuki era otonomi daerah tahun 2003, terjadi perbagai perubahan

    mendasar dalam kehidupan masyarakat. Arus perubahan yang tidak menentu

    menjadikan masyarakat kehilangan pijakan, sehingga memunculkan berbagai

    kecenderungan pelanggaran tatanan hidup kemasyarakatan. Mengantisipasi hal

    tersebut peran tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan khususnya

    penatalaksana penegakan hukum dan ketertiban, diharapkan mampu

    mengantisipasi perubahan dimaksud sesuai dengan amanat Undang-Undang

    Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 120 yang mengatur tentang

    keberadaan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).1

    Pengarusutamaan Satpol PP ditekankan pada upaya dalam membina

    ketenteraman ketertiban masyarakat (tramtibmas), memberi peringatan dini dan

    penanggulangan pemeliharaan tramtibmas. penegakan peraturan daerah (perda)

    yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Upaya ini

    diwujudkan dalam bentuk sistem perlindungan masyarakat, dimana kepentingan

    masyarakat sebagai hal yang utama. Kepentingan utama dimana pendekatan

    pengayoman, pencegahan, pembinaan hingga penindakan atas pelanggaran

    peraturan yang berlaku dalam masyarakat.

    1 1Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, (Jakarta: Departemen Dalam

    Negeri, 1999), p. 408.

  • 13

    Menatalaksanakan tugas-tugas atas kewenangan tersebut, Satpol PP

    selalu berpijak pada protab dalam sistem yang telah baku dimana mengikat

    keberadaan dari Satpol PP untuk bertindak dalam kerangka kewenangan

    prosedural yang harus jelas dan terukur. Kerangka yang menjadi pijakan bagi

    petugas untuk mejalankan tugas pelayanan sehari-hari.

    Keberadaan Satpol PP di DKI Jakarta, saat ini diperkirakan lebih 8.000

    personel terdiri dari laki-laki dan perempuan yang tersebar di lima wilayah yaitu:

    Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat2.

    Hanya saja yang sudah ditetapkan secara resmi dalam Surat Keputusan

    Gubernur DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003 belum ada separuhnya,

    sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Suatu jumlah yang

    sangat tidak memadai untuk melakukan layanan perlindungan dan upaya

    penegakan peraturan daerah. Dimana perbandingan idealnya adalah 1:900,

    untuk menjangkau luas wilayah DKI 661,260Km2 dengan kuantitas penduduk

    diperkirakan 12.000.000 jiwa.3

    Memenuhi harapan masyarakat atas upaya perlindungan dan

    ketertiban, merupakan tantangan tersendiri bagi kelembagaan Satpol PP,

    khususnya aparat/petugas satpol PP itu sendiri dalam memenuhi tugas pokok

    dan fungsinya. Dimana perlu didukung oleh kualitas sumber daya optimal,

    anggaran operasional dan sarana prasarana aparat Satpol PP yang memadai.

    Sumber daya manusia, anggaran operasional dan sarana prasarana

    aparat memiliki sisi lemah terutama berkenaan dengan kemampuan skill dan

    2 Berita Jakarta.Com, Media On Line DKI Jakarta, Jakarta 26.09.2007, diunduh 15 Maret 2009.

    3 Ibid.

  • 14

    manajerial khususnya pemahaman, pendalaman pengetahuan indikator aspek

    hukum dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan. Faktor-faktor penyebab

    utamanya adalah minimnya kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh

    petugas Satpol PP. Ketersediaan sumber daya manusia yang maksimal belum

    dapat dipenuhi dalam sistem perekrutan aparat. Belum adanya standar layanan

    minimal sampai dengan saat ini menyulitkan ruang gerak petugas Satpol PP.

    Sistem tata kerja kelembagaan yang ada masih belum sinergis dari hulu hingga

    hilir, dimana menempatkan petugas Satpol PP sebagai ujung tombak dalam

    menyelesaikan suatu permasalahan pada sisi hilirnya, tanpa pelibatan proses

    sejak awal.

    Kurangnya alokasi rutin yang dianggarkan oleh Anggaran

    Pembangunan Belanja daerah (APBD), operasionalisasi kegiatan lebih bersifat

    projektif, akibatnya sarana dan prasarana yang bersifat fasilitas keperluan dinas

    belum memadai. Petugas Satpol PP pada umumnya memiliki status

    kepegawaian yang masih bersifat honorer dengan gaji di bawah Upah Minimum

    Regional (UMR) nasional.

    Tugas operasional lapangan dan penetapan sanksi masih menjadi

    kendala bagi petugas Satpol PP. Hambatan pelaksanaan tugas aparat Satpol PP

    di luar anggaran rutin umumnya pada pelaksanaan tugas penertiban, terutama

    masih banyaknya oknum tertentu yang melindungi pelaku-pelaku pelanggar

    Perda yang kebanyakan pada sektor hiburan malam dan prostitusi. Sementara

    itu penerapan sanksi yang bersifat pemaksaan terkendala oleh aturan hukum

    akibat otoritas yang terbatas khususnya menyangkut sanksi penangkapan,

    penahanan dan kurungan.

  • 15

    Berkaitan dengan kesulitan tugas di lapangan, tugas aparat satpol PP

    dilapangan perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Selain

    pengetahuan tentang hukum Dinas Tramtib, petugas juga harus dibekali dengan

    pengetahuan yang luas tentang masalah kemasyarakatan termasuk di dalamnya

    kemampuan penanggulangan penyakit masyarakat (patologi sosial) seperti

    masalah alkoholisme, kenakalan remaja, miras, gelandangan, dan pelacuran.

    sehingga ungkapan ketidaktahunan tentang berbagai fenomena sosial di dalam

    masyarakat terutama di kota yang menjadi wilayah tugasnya dapat dihindari dan

    diantisipasi dengan tepat.

    Petugas Satpol PP bukan hanya semata merupakan kekuasaan belaka.

    Namun lebih sebagai pengayom, pencegah maupun penegak perlindungan dan

    ketertiban. Petugas satpol PP dituntut untuk dapat melindungi masyarakat dari

    kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM. Tingkat kemajuan masyarakat

    yang tinggi diiringi dengan kecenderungan munculnya segala bentuk

    ketidakadilan, kesenjangan dan distorsi. Sehingga bila harapan masyarakat tidak

    dapat dipenuhi, tersalurkan dan terselesaikan secara memadai, akan dapat

    menyebabkan gejolak emosional, kerusuan sosial dan gangguan ketentraman

    dan ketertiban masyarakat. Berbagai kecenderungan tersebut memunculkan

    krisis kepercayaan dan mengakibatkan menurunnya kewibawaan pemerintah.

    Sehingga respon dalam menangkal berbagai friksi sosial yang terjadi di

    masyarakat menjadi sangat rendah.

    Masyarakat tidak dapat begitu saja menyerahkan sepenuhnya upaya

    pemenuhan keamanan, perlindungan dan ketertiban pada petugas Satpol PP.

    Masyarakat juga berkewajiban untuk turut serta secara aktif dalam

  • 16

    menyelenggarakan upaya perlindungan dan ketertiban dengan cara mematuhi

    segala ketentuan yang ada, memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan

    dan mengontrol atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena keamanan dan

    ketertiban pada dasarnya adalah merupakan tanggung-jawab bersama antara

    masyarakat dan pemerintah.

    Kebersamaan yang sinergis antara masyarakat dan pemerintah

    menjadikan petugas Satpol PP lebih bersemangat dan bertanggung jawab dalam

    penegakan perda. Satpol PP sebagai satuan organisasi perlu memilliki

    kemampuan untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala daya

    dan potensi sumber daya secara optimal. Kemampuan tersebut dapat diperoleh

    melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang terfokus pada

    peningkatan kompetensi yang semestinya dimiliki oleh setiap petugas untuk

    dapat lakukan tugas tanggung jawab dan fungsinya sebagai pengayom

    masyarakat. Melalui assesment dari hulu sampai hilir, didukung pendidikan dan

    pelatihan yang berbasis kompetensi akan mengarahkan seseorang pada

    kemampuan standart, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada persesuaian

    kompetensi terhadap kebutuhan pengembangan organisasi.

    Kebutuhan akan pengembangan diri dan organisasi dapat dimotivasi

    dari diri sendiri, dengan upaya memperoleh kebebasan dan otonomi untuk

    menumbuhkan semangat kerja. Pimpinan yang tanggap akan dapat mengetahui

    motivasi dari bawahannya, sehingga dapat membuka jalan menuju produktivitas

    kerja yang diharapkan organisasi. sehingga akan mendorong motivasi, semangat

    kerja dan meningkatkan prestasi dan produktivitas kerja, serta meningkatkan

    antusias kebersamaan dalam menjalankan tugas-tugas perorangan dan

  • 17

    kelompok dalam organisasi menurut ukuran atau batasan-batasan yang

    ditetapkan.

    Motivasi dapat ditempatkan sebagai bagian yang fundamental dari

    kegiatan manajemen. Seseorang yang termotivasi dalam melakukan

    pekerjaannya, maka dengan sendirinya kinerja seseorang tersebut dengan

    sendirinya akan meningkat juga. Memenuhi harapan tersebut, kinerja petugas

    satpol PP perlu didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai.

    Kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan

    pelatihan yang baik. Salah satunya adalah melalui Competency Based Education

    and Training (CBET).

    Melalui Competency Based Education and Training (CBET) diharapkan

    dapat meningkatkan motivasi petugas Satpol PP dan meingkatkan kinerja dalam

    menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak perlindungan dan ketertiban.

    Motivasi yang ada pada petugas satpol PP harus senantiasa dipacu, karena

    tanpa motivasi kerja yang tinggi yang dilakukan oleh organisasi belumlah

    optimal. Masih perlu ditingkatkan agar memberikan kinerja yang baik dilapangan.

    Kinerja yang baik tentunya harus ditunjang oleh kualitas SDM yang baik.

    Sehingga dipandang perlu untuk meningkatkan kompetentisi petugas satpol PP.

    Sehingga dapat diketahui sejauhmana Competency Based Education and

    Training (CBET) dan motivasi berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.

    Sehingga melalui penelitian ini akan menemukan relevansinya.

  • 18

    B. Identifikasi Masalah

    Mengacu pada konsep otonomi daerah yang diamanatkan Undang

    Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah. Pasal 120

    menekankan pada keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang

    bertugas membina ketenteraman ketertiban masyarakat, memberi peringatan

    dini, pemeliharaan, penanggulangan, dan penegakan peraturan daerah (perda)

    yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural dimana

    mengacu pada kepentingan terbaik untuk masyarakat.

    Mengacu pada pemahaman diatas, maka penelitian dapat diidentifikasi

    sebagai berikut:

    1. Bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya petugas Satpol PP?

    2. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas

    sumber daya petugas Satpol PP?

    3. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas

    sumber daya petugas Satpol PP?

    4. Bagaimana meningkatkan kinerja petugas Satpol PP?

    5. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas

    kinerja petugas Satpol PP?

    6. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas

    kinerja petugas Satpol PP?

    7. Bagaimana mengembangkan motivasi petugas Satpol PP dalam

    melaksanakan tupoksinya?

    8. Bagaiman strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan motivasi

    petugas Satpol PP dalam melaksanakan tupoksinya?

  • 19

    9. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan motivasi

    kerja petugas Satpol PP?

    10. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training

    (CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP ?

    11. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training

    (CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP ?

    12. Bagaimana pengaruh pendekatan Competency-based Education and Training

    (CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP perempuan ?

    13. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training

    (CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP perempuan ?

    14. Apakah terdapat korelasi antara pendekatan Competency-based education

    and training (CBET), terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP

    perempuan ?

    C. Pembatasan masalah

    Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada pembahasan tentang pengaruh

    motivasi dan pelatihan terhadap kinerja petugas Satpol PP didalam lingkup

    Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

    D. Perumusan Masalah

    Dari identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian

    ini perumusan masalah dirumuskan sebagai berikut:

  • 20

    1. Apakah terdapat perbedaan kinerja antara petugas satpol PP yang mengikuti

    model pelatihan Competency Based Education and Training (CBET) dengan

    model pelatihan konvensional ?

    2. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi

    kerja terhadap kinerja petugas satpol PP ?

    3. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan

    mengikuti pelatihan model Competency Based Education and Training

    (CBET) lebih tinggi dibandingkan kinerja satpol PP yang memiliki motivasi

    tinggi dan mengikuti pelatihan konvensional ?

    4. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan

    mengikuti model pelatihan konvensional lebih tinggi daripada kinerja petugas

    satpol PP yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti Competency Based

    Education and Training (CBET)?

    E. Kegunaan hasil penelitian

    Penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis mempunyai berbagai

    manfaat sebagai berikut:

    1. Kegunaan Teoritik

    Hasil penelitian dapat dijadikan landasan untuk menyusun konsep dan

    strategi baru dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan petugas

    satpol PP guna mempersiapkan personil SDM yang memadai dalam

    menjalankan tugas pokok dan fungsi dari petugas Satpol PP.

  • 21

    2. Kegunaan Praktis

    Penelitian yang dilakukan di Dinas Satpol PP provinsi DKI ini

    diharapkan dapat memberikan masukkan atau rekomendasi khususnya

    kepada pihak manajemen dalam peningkatan kompetensi petugas Satpol

    PP yang lebih baik di masa yang akan datang dengan mengutamakan

    kepentingan terbaik untuk masyarakat.

  • 22

    BAB II

    KERANGKA TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

    Acuan teori yang merupakan landasan konseptual dalam penelitian

    menekankan pada kajian tentang kinerja, model pendidikan dan pelatihan, serta

    motivasi petugas Satpol PP.

    A. Kinerja

    1. Pengertian Kinerja

    Satpol PP merupakan perangkat aparat pelaksana layanan

    perlindungan dan penegak hukum dalam konteks institusi ketenteraman

    dan ketertiban (tramtib) di lingkungan dimana ditugaskan. Kinerja Satpol PP

    mengacu pada tugas pokok dan fungsinya sebagai pembina ketenteraman

    ketertiban masyarakat (tramtibmas), pemberi layanan perlindungan,

    pemberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan tramtibmas,

    dan penegak peraturan daerah (perda). Secara keseluruhan ruang

    geraknya dijiwai untuk kepentingan terbaik bagi masyarakat, dan sesuai

    dengan tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat secara umum.

    Tuntutan tugas aparat Satpol PP yang bagitu luas ini tentu merupakan

    suatu beban kerja tersendiri. Kuantitas beban kerja yang demikian berat

    tentunya merupakan permasalahan kinerja yan spesifik bagi aparat satpol

    PP.

    Karena tentunya suatu organisasi, dalam hal ini Satpol PP sangat

    menginginkan adanya peningkatan kinerja sesuai dengan standar yang

  • 23

    telah ditentukan untuk mencapai tujuan. Mewujudkan pencapaian tujuan

    tersebut harus ditopang oleh semangat dan kegairahan kerja pegawai. Oleh

    karena itu organisasi atau instansi perlu mengetahui berbagai kelemahan

    dan menguatkan kelebihan. Suatu hal yang lumrah mengetahui

    kekurangan, hal ini diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan

    pengembangan pegawai. Menjawab kebutuhan tersebut, perlu dilakukan

    kegiatan penilaian kinerja secara periodik yang berorientasi pada masa lalu

    atau masa yang akan datang bagi para petugas Satpol PP.

    Kinerja merupakan implementasi dari rencana yang telah disusun

    dengan mengedepankan kapasitas sumber daya. Implementasi kinerja

    dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan,

    kompetensi, motivasi, dan kepentingan. Bagaimana organisasi menghargai

    dan memperlakukan sumberdaya manusianya akan mempengaruhi sikap

    dan perilaku sumber daya tersebut dalam menjalankan kinerja.

    Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan

    kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan, konsumen, dan

    memberikan kontribusi pada ekonomi sehingga seseorang berupaya untuk

    melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut.

    Kinerja harus dapat diejawantahkan sebagai apa yang dikerjakan dan

    bagaimana cara mengerjakannya.

    Fremont dalam internet Journal (2000) memberikan konsep umum

    tentang prestasi adalah kinerja = f (kesanggupan, usaha dan kesempatan).

    Persamaan ini menampilkan faktor atau variabel pokok yang menghasilkan

    prestasi, mereka adalah masukan (inputs) yang jika digabung, akan

  • 24

    menentukan hasil usaha perorangan dan kelompok. Kesanggupan (ability)

    adalah fungsi dari pengetahuan dan skill manusia dan kemampuan

    teknologi. Ia memberikan indikasi tentang berbagai kemungkinan prestasi.

    Usaha (effort) adalah fungsi dari kebutuhan. Sasaran, harapan dan

    imbalan. Besar kemampuan terpendam manusia yang dapat direalisir itu

    bergantung pada tingkat motivasi individu dan/atau kelompok untuk

    mencurahkan usaha fisik dan mentalnya. Tetapi tak akan ada yang terjadi

    sebelum manajer memberikan kesempatan (opportunity) kepada

    kesanggupan dan usaha individu untuk dipakai dengan cara-cara yang

    bermakna. Prestasi organisasi adalah hasil dari sukses individu dan

    kelompok dalam mencapai sasaran yang relevan.

    Pada organisasi atau unit kerja di mana input dapat teridentifikasi

    secara individu dalam bentuk kuantitas misalnya pabrik jamu, indikator

    kinerja pekerjaannya dapat diukur dengan mudah, yaitu banyaknya output

    yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Namun untuk unit kerja kelompok

    atau tim, kinerja tersebut agak sulit, dalam hubungan ini Simamora4 (1995 :

    132) mengemukakan bahwa kinerja dapat dilihat dari indiktor-indikator

    sebagai berikut : 1) keputusan terhadap segala aturan yang telah

    ditetapkan organisasi, 2) Dapat melaksanakan pekerjaan atau tugasnya

    tanpa kesalahan (atau dengan tingkat kesalahan yang paling rendah), 3)

    Ketepatan dalam menjalankan tugas.

    4 Anoraga, Panji dan Sri Suyati. 1995. Perilaku Keorganisasian.Cetakan Pertama. Penerbit Dunia Pustaka

    Jaya. Jakarta. Hal. 132

  • 25

    Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke

    dalam penilaian perilaku secara mendasar meliputi: (1) kualitas kerja; (2)

    kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau

    pernyataan yang disampaikan; (5) keputusan yang diambil; (6)

    perencanaan kerja; (7) daerah organisasi kerja.

    Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen

    karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi.

    Sehubungan dengan itu maka upaya untuk mengadakan penilain kinerja

    merupakan hal yang sangat penting.

    Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah

    produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana

    usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu

    organisasi. Jadi untuk mendapatkan gambaran tentang kinerja seseorang,

    maka perlu pengkajian khusus tentang kemampuan dan motivasi. Faktor-

    faktor utama yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan dan

    kemauan. Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau

    sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak

    orang mau tetapi tidak mampu juga tetap tidak menghasilkan kinerja apa-

    apa.

    Senada dengan pemahaman diatas, Mangkunegara berpendapat

    bahwa kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata job performance

    atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang

  • 26

    dicapai seseorang)5. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kinerja karyawan

    (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang

    dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai

    dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pendapat serupa juga

    disampaikan oleh Irawan yang mengemukakan bahwa kinerja merupakan

    satu-satunya petunjuk yang dapat kita percayai untuk menyimpulkan

    apakah suatu organisasi, unit atau pegawai sukses atau gagal, berprestasi

    atau tidak.6

    Menurut Hariandja kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan

    oleh pegawai atau perilaku nyata yang dinyatakan sesuai dengan perannya

    dalam organisasi atau instansi.7 Sedangkan Husein mendefinisikan kinerja

    sebagai hasil kerja yang dicapai seseorang tenaga kerja dalam

    melaksanakan tugas dan pekerjaannya yang dibebankan kepadanya.8

    Handoko mendefinisikan kinerja adalah hasil kerja yang dicapai

    seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya

    yang didasarkan atas kecakapan pengalaman dan kesungguhan waktu.9

    Sedangkan definisi kinerja menurut Gomes adalah ungkapan seperti out

    5 Mangkunegara, Anwar P., Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia, (PT. Refika Aditama, Bandung: 2005), hlm. 9.

    6 Irawan, Prasetya et.al, Manajemen Sumber Daya Manusia, (STIA-LAN: Jakarta, 2002), hlm. 11.

    7Hariandja, Marihot Tua Efendi,Drs.,M.Si., Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai, Edisi I, Cetakan ketiga, (Bumi Aksara, Jakarta: 2005), hlm. 195.

    8 Husein, Umar. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Edisi Revisi, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002), hlm. 14.

    9 Handoko T. Hani, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, (BPFE, Yogyakarta: 2002), hlm. 25.

  • 27

    put, efisiensi serta efektivitas dan sering dihubungkan dengan

    produktivitas.10

    Kinerja pegawai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam

    usaha organisasi untuk mencapai tujuannya, sehingga berbagai kegiatan

    harus dilakukan orgisasi atau instansi untuk meningkatkannya. Salah satu

    diantaranya adalah melalui penilaian kinerja. Menurut Efendi Hariandja

    Penilaian kinerja merupakan salah satu proses organisasi atau instansi

    dalam menilai kinerja pegawainnya11. Tujuan dilakukannya penilaian kinerja

    secara umum adalah untuk memberikan feedback kepada pegawai dalam

    upaya memperbaiki tampilan kerja dan upaya meningkatkan produktivitas

    organisasi. Secara khusus dilakukan dengan berbagai kebijaksanaan

    terhadap pegawai seperti untuk tujuan promosi, kenaikan gaji, pendidikan

    dan latihan.

    Dikemukakan oleh Tika bahwa kinerja adalah hasil-hasil fungsi

    pekerjaan (motivasi, kecakapan, persepsi peranan) seseorang dalam suatu

    organisasi atau instansi yang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk

    mencapai tujuan organisasi atau instansi.12 Berkaitan dengan motivasi

    kerja, Victor Vroom yang dikutip dalam Efendi Hariandja tentang teori

    motivasi expentansi, mengatakan bahwa salah satu unsur penting dalam

    motivasi adalah adanya kemungkinan bahwa seseorang dapat mencapai

    kinerja yang diharapkan, yang disebut dengan expectancy, disamping

    adanya hubungan yang jelas antara kinerja dengan reward/imbalan yang

    10

    Mangkunegara, Op Cit, hlm. 9. 11

    Hariandja, Op Cit, hlm. 195. 12

    Moh. Pabundu Tika, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan (Bumi Aksara, Jakarta: 2005), hlm. 121.

  • 28

    didapat (instrumentality), serta imbalan yang akan didapat sesuai dengan

    bentuk yang sangat diinginkan saat ini (valens).13

    Kinerja di dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumber

    daya manusia dalam organisasi atau instansi, baik unsur pimpinan maupun

    pekerja. Banyak sekali aspek maupun faktor yang dapat mempengaruhi

    sumberdaya manusia dalam menjalankan kinerjanya. Adapun aspek-aspek

    standar pekerjaan menurut Mangkunegara14 terdiri dari aspek kuantitatif

    dan aspek kualitatif. Aspek kualitatif meliputi: (1) Proses kerja dan kondisi

    pekerjaan; (2) Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan

    pekerjaan; (3) Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan; dan (4)

    Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja. Sedangkan aspek

    kualitatif meliputi: (1) Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan; (2) Tingkat

    kemampuan dalam bekerja; (3) Kemampuan menganalisis data/informasi,

    kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan; dan (4)

    Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).

    Ukuran-ukuran keberhasilan dalam pekerjaan dapat ditentukan

    dengan tepat dan lengkap, dan diuraikan dalam bentuk perilaku yang dapat

    diamati dan diukur secara cermat dan tepat. Sehingga dalam pelaksanaan

    pengelolaan kinerja karyawan, hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor

    yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang (karyawan).

    Menurut Robbins yang dikutip oleh Rivai dan Basri mengemukakan

    bahwa kinerja adalah sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau

    13

    Hariandja, Op Cit, hlm. 198. 14

    Mangkunegara, Op Cit, hlm. 17-19.

  • 29

    Ability (A), motivasi atau Motivation (M) dan kesempatan atau Opportunity

    (O), yaitu kinerja = f(A x M x O).15 Dengan demikian, kinerja ditentukan

    oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan

    kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan

    fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu.

    Sedangkan menurut Davis dan Newstrom yang di kutip Husein yang

    menyebutkan variabel-variabel yang mampu mempengaruhi tingkat prestasi

    dan kinerja (performance) organisasi, yakni : kewenangan organisasi,

    kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungan organisasi.16

    Sementara menurut Wibowo mengemukakan bahwa faktor yang

    dapat mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan kinerjanya,

    terdapat faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia sendiri

    maupun dari luar dirinya antara lain: (1) Kemampuan berdasar pada

    pengetahuan dan keterampilan, kompetensi yang sesuai dengan

    pekerjaannya, motivasi kerja dan kepuasan kerja, kepribadian, sikap dan

    perilaku; (2) Kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam organisasi atau

    instansi, yaitu: bagaimana pemimpin menjalin hubungan dengan pegawai,

    bagaimana mereka memberi penghargaan kepada pegawai yang

    berprestasi, dan bagaimana mereka mengembangkan serta

    memberdayakan pegawainya; (3) Sumber dana, bahan, peralatan,

    teknologi, dan mekanisme kerja yang berlangsung dalam organisasi; dan

    (4) Lingkungan kerja atau situasi kerja yang merupakan faktor lingkungan

    15

    Veithzel Rivai dan, Ahmad F.M. Basri, Performance Appraisal (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hlm. 15.

    16 Husein, Op Cit., Hlm. 134.

  • 30

    kerja internal organisasi atau instansi, seperti kondisi hubungan

    antarmanusia di dalam organisasi, baik antara atasan dengan bawahan

    maupun diantara rekan sekerja.17

    Berpijak dari berbagai pandangan para pakar di atas terdapat

    banyak variabel yang mempengaruhi pencapaian kinerja organisasi yaitu

    faktor kepemimpinan, faktor motivasi, faktor disiplin dan faktor kinerja dari

    sumber daya manusia dalam hal ini adalah pegawai.

    Menurut Simamora dalam Mangkunegara bahwa upaya

    peningkatan kinerja (performance) pegawai dipengaruhi oleh tiga faktor,

    diantaranya :

    1) Faktor individual, yang berupa kapasitas untuk mengerjakan sesuatu,

    terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang dan demografi.

    2) Faktor psikologis, berupa persepsi, attitude, personality, pembelajaran

    dan motivasi, yang dapat membentuk keinginan mencapai sesuatu.

    3) Faktor organisasi, yang memberikan kesempatan untuk berbuat

    sesuatu. Terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan

    (imbalan), struktur dan job design.18

    Memahami hal tersebut, kinerja pegawai akan tercipta bila di

    dukung oleh adanya kesiapan yang dimiliki karyawan itu sendiri baik secara

    kemampuan, mental (psikologis) dan adanya dukungan dari organisasi

    berupa kesempatan. Karena acapkali terjadi, meski seorang individu

    17

    Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hal.65-66. 18

    Mangkunegara, Op Cit., hlm. 14.

  • 31

    bersedia dan mampu, tetapi bisa saja ada rintangan yang ada dapat

    menjadi penghambat yang cukup berarti.

    Pendapat lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja,

    antara lain dikemukakan Amstrong dan Baron (1998,16) yang dikutip oleh

    Wibowo yaitu, sebagai berikut :

    a) Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan kompetensi

    yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.

    b) Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan

    dukungan yang dilakukan pimpinan dan team leader.

    c) Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh

    rekan sekerja.

    d) System factors, ditunjukkan oleh system kerja dan fasilitas yang

    diberikan organisasi.

    e) Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat

    tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.19

    Pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

    baik yang bersumber dari pegawai sendiri maupun yang bersumber dari

    organisasi. Dari pegawai sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau

    kompetensinya. Sementara itu, dari segi organisasi atau instansi

    dipengaruhi oleh seberapa baik pemimpin memberdayakan pegawainya,

    bagaimana mereka memberikan penghargaan pada pegawai, dan

    19

    Wibowo, Op Cit., hlm. 74-75.

  • 32

    bagaimana mereka membantu meningkatkan kemampuan kinerja pegawai

    melalui coaching, mentoring dan counselling.20

    Indikator kinerja atau performance indikators kadang-kadang

    dipergunakan secara bergantian dengan ukuran kinerja (performance

    measures), tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja

    berkaitan dengan hasil yang dikuantitatifkan dan mengusahakan data

    setelah kejadian. Sementara itu, indikator kinerja dipakai untuk aktivitas

    yang hanya dapat ditetapkan secara kualitatif atas dasar perilaku yang

    dapat diamati. Menurut Hersey, Blanchard, dan Jhonson yang di kutip oleh

    Nengah21, terdapat tujuh indikator kinerja, yang digambarkan sebagai

    berikut:

    20

    Ibid, hlm. 76. 21

    Wibowo, Op Ciit, hlm.386.

  • 33

    Gambar 1: Indikator Kinerja

    Gambar ketujuh indikator kinerja diatas dapat dijelaskan, sebagai

    berikut:

    1) Goals (tujuan) merupakan suatu keadaan yang lebih baik yang ingin

    dicapai dimasa yang akan datang. Dengan demikian, tujuan merupakan

    arah ke mana kinerja harus dilakuakan. Kinerja individu maupun

    organisasi berhasil apabila dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

    2) Standard (standar) merupakan suatu ukuran apakah tujuan yang

    dinginkan dapat dicapai. Tanpa standar, tidak dapat diketahui kapan

    suatu tujuan dapat tercapai. Kinerja seseorang dikatakan berhasil

    apabila mampu mencapai standar yang ditentukan atau disepakati

    bersama antara atasan dan bawahan.

    3) Feedback (umpan balik) merupakan masukan yang dipergunakan untuk

    mengukur kemajuan kinerja, standar kinerja, dan pencapaian tujuan.

    Dengan umpan balik dilakukan evaluasi terhadap kinerja dan sebagai

    hasilnya dapat dilakukan perbaikan kinerja. Masukan berupa feedback

    motive goals

    means

    opportunity

    standard

    competenc

    e feedback

  • 34

    ini dapat berasal dari dalam dan luar organisasi. Umpan balik dari

    dalam organisasi merupakan evaluasi yang dilakukan secara bersama

    atau melalui tim khusus yang dibentuk untuk memberikan masukan

    terhadap sebuah pencapaian tujuan organisasi. Umpan balik dari luar

    organisasi dapat dilihat dari respon masyarakat (pengguna) dari produk

    maupun jasa yang di hasilkan oleh organisasi.

    4) Means (alat atau sarana) merupakan sumber daya yang dapat

    dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses.

    Alat atau sarana merupakan faktor penunjang untuk pencapaian tujuan.

    5) Competence (kompetensi) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh

    seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya

    dengan baik. Kompetensi memungkinkan seseorang mewujudkan

    tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk

    mencapai tujuan.

    6) Motive (motif) merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang untuk

    melakukan sesuatu. Pimpinan memfasilitasi motivasi kepada karyawan

    dengan insentif berupa uang, memberikan pengakuan, menetapkan

    tujuan menantang, menetapkan standar terjangkau, meminta umpan

    balik, memberikan kebebasan melakukan pekerjaan termasuk waktu

    melakukan pekerjaan, menyediakan sumber daya yang diperlukan dan

    menghapuskan tindakan yang mengakibatkan disintesif.

    7) Opportunity (peluang) merupakan peluang untuk menunjukkan prestasi

    kerjanya. Terdapat dua faktor yang menyumbangkan adanya

  • 35

    kekurangan kesempatan untuk berprestasi, yaitu ketersediaan waktu

    dan kemampuan untuk memenuhi syarat.22

    Kinerja amat bergantung sejauh mana upaya seseorang untuk

    mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Tujuan yang telah

    ditetapkan ini merupakan tujuan yang terukur dan dapat diobservasi oleh

    seluruh anggota organisasi sehingga tujuan merupakan sesuatu yang

    konkrit dan nyata bukan merupakan hal yang abstrak dan mengawang jauh

    dari kenyaataan. Kemampuan organisasi untuk meramu bentuk dari tujuan

    yang ingin dicapai menjadi amat penting, karena hal itu dapat memberikan

    kejelasan kepada anggota organisasi untuk mencapai target tujuan yang

    hendak dicapai.

    Sarana dan kompetensi merupakan faktor pendukung yang penting

    yang diperlukan oleh setiap anggota untuk mencapai tujuan organisasi.

    Sarana dan kompetensi memungkinkan seorang anggota organisasi dapat

    mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk

    mencapai tujuan.

    Motif yang dimiliki seorang anggota organisasi merupakan hal yang

    cukup penting dalam usaha mendorong seorang anggota organisasi untuk

    mencapai tujuan organisasi. Kemampuan seorang pemimpin untuk

    memfasilitasi motif dari setiap anggotanya menjadi faktor kunci bagi

    kelancaran pergerakan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.

    Peluang yang diperoleh oleh seorang anggota organisasi juga

    memegang peranan penting bagi anggota untuk turut andil mencapai tujuan

    22

    Wibowo, Op Cit., hlm. 77-80.

  • 36

    organisasi. Ketersedian waktu yang dimiliki oleh seorang anggota

    organisasi memegang peranan penting guna menunjukkan prestasi

    kerjanya secara optimal sesuai dengan kebutuhan upaya untuk mencapai

    tujuan organisasi. Prestasi kerja seorang anggota organisasi perlu ditunjang

    oleh kemampuan untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh organisasi

    untuk melakukan suatu pekerjaan.

    Beberapa penjabaran di dapat dirangkumkan kedalam beberapa

    kata kunci untuk menunjukkan kinerja seorang anggota satpol PP yaitu:

    Hasil pekerjaan, insentif dan produktifitas. Hasil pekerjaan hasil pekerjaan

    yang dicapai oleh individu dan terkait pada tujuan organisasi yang telah

    ditetapkan oleh organisasi dan tunjang oleh sistem, kepemimpinan, sarana,

    dan dukungan organisasi yang diberikan oleh organisasi. Sedangkan

    insentif merupakan hal-hal yang berkaitan dengan motif dan kebutuhan

    yang ada dalam diri individu. Dan produktifitas berkaitan dengan

    kemampuan seorang anggota organisasi untuk menghasikan jumlah

    pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan peluang yang dimiliki oleh

    seorang anggota organisasi menyelesaikan pekerjaannya.

    Berdasarkan penjabaran konsep di atas maka kinerja yang

    dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan seseorang dalam

    melaksanakan pekerjaan untuk mencapai hasil tertentu. Perbuatan tersebut

    mencakup hasil, insentif dan produktifitas yang hasilkan melalui proses

    yang terfokus pada tujuan yang hendak dicapai serta dengan terpenuhinya

    standar pelaksanaan dan kualitas yang diharapkan.

  • 37

    2. Dimensi dan Indikator Kerja

    Sebagaimana definisi kinerja yang dirumuskan di atas, maka dalam

    mengukur kinerja terdapat beberapa faktor atau dimensi yang harus

    terpenuhi yaitu kualitas kerja, kunatitas kerja, pengetahuan, keandalan,

    kehadiran dan kerjasama. Masing-masing faktor tersebut dijabarkan dalam

    beberapa indikator sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut :

  • 38

    Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja

    No Dimensi Indikator

    1 Kualitas Kerja - Ketelitian bekerja

    - Ketepatan dalam berkerja

    - Kerapian bekerja

    - Keterampilan dan kecakapan kerja

    - Empati dalam bereja bersama dengan masyarakat

    2 Kuantitas kerja - Jumlah hasil kerja yang telah dicapai

    - Kecepatan dalam menyelesaikan pekerjaan

    - Menurunnya kecenderungan penyimpangan dan

    pelanggaran dalam masyarakat

    3 Pengetahuan - Pemahaman terhadap tugas yang dikerjakan

    - Etika bekerja bersama masyarakat sipil

    4 Keandalan - Mengikuti instruksi pimpinan

    - Memiliki inisiatif

    - Disiplin dalam kerja

    - Memiliki empati dalam bekerja

    5 Kehadiran - Hadir dalam rapat rutin

    - Aktif dalam setiap rapat

    - Aktif melaksanakan tugas piket harian dan lapangan

    - Aktif melakukan patroli keliling

    - Aktif melakukan penjangkauan masyarakat yang

    bermasalah

    6 Kerjasama - Kemampuan bekerjasama dengan teman seprofesi

    - Kemampuan bekerjsama dengan atasan

    - Kemampuan dalam melaksanakan fungsi referal

    - Kemampuan dalam menjalin jejaring kemasyarakatan

    khususnya bidang layanan perlindungan dan

    penegakan ketertiban

    - Kemampuan penguatan masyarakat untuk secara

  • 39

    No Dimensi Indikator

    madani menyelenggarakan sistem kontrol sosial

    untuk mnegakkan perlindungan dan ketertiban

    bermasyarakat

    - Kemampuan menjadikan dirinya petugas Satpol PP

    yang ramah terhadap lingkungan dimana bekerja.

    B. Pendidikan dan Pelatihan

    1. Pengertian Pendidikan dan Pelatihan

    Pendidikan dan Pelatihan (Education and Training) atau biasa

    disingkat Diklat adalah bagian yang tak terpisahkan dan terpenting dalam

    peningkatan kinerja. Mengacu dalam bahasa inggris, education

    (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi

    peningkatan.23 Dalam pengertian sempit, McLeod mendefinisikan

    pendidikan sebagai perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh

    pengetahuan.24 Tardif yang dikutip Syah mendefisikan pendidikan sebagai

    seluruh tahapan pengembangan kemampuan dan perilaku manusia dan

    proses penggunaan pengalaman kehidupan.25 Nedle dalam Tilaar

    mengartikan pendidikan adalah proses belajar mempersiapkan individu

    untuk pekerjaan yang berbeda pada masa yang akan datang.26

    M. Chabib Thoha menyatakan bahwa untuk memahami pengertia

    npendidikan dengan benar, pendidikan perlu dibedakan menjadi dua 23

    John M. Echols dan Hassan Shadily Kamus Inggris Indoensia (Jakarta: PT Gramedia, 2005), h. 205 24

    William T McLoad, (edt.), The New Collins Dictionary and Thesaurus ( Glasgow: William Collins Sons and Co.Ltd., 1989). 25

    Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Rosdakaya, 2008), h.10 26

    Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasioanl (Bandung: Rosadakarya, 2001) h.202

  • 40

    pengertian yaitu pengertian yang bersifat teoritis dan pengertian pendidikan

    dalam arti praktis.27 Menururtnya, pendidikan dalam arti pertama adalah

    pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk

    memecahkan dan menyusun teori-teori baru dengan mendasarkan pada

    pemikiran normative spekulatif rasional empirik, rasional filosofik maupun

    historic filoisofik.28

    Pendidikan dalam arti praktis para ahli pendidikan merumuskan

    secara bervariasi.

    a. Menurut Goerge F. Kneller.

    Education is the Process of self realization. In which the self

    realizesand develops all its parentialitles.29 Artinya : Pendidikan dalam

    realisasi diri dimana (pribadi Individu) merealisasikan dan

    mengembangkan semua potensi-potensinya.

    b. Menururt Frederick J. McDonald

    Education is a process aran activity which is directed at

    producing desirable changes in the behavior of human being. Artinya:

    pendidikan adalah suatu prosews atau aktivitas yang secara langsung

    diharapkan dapat menghasilkan bisa menghasilkan perubahan tingkah

    laku.30

    27

    Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 98. 28 Ibid, hlm. 23 29

    Goerge F. Kneller, Logic and Language Of Education John And Willey Ine, (New York, 1996), hlm. 14-15. 30

    Frederick J. Mc Donald, Educational Pshycology Wods Worrth Publishing Company Inc, (San Francisc, 1999), hlm. 4.

  • 41

    c. Menurut John Dewey

    Etimologycall the world education means just a proccess of

    leading or bringing of. When we have the out come of the process in

    mind we speakz of education as shaping, forming, molding activity that

    is, a shaping into the standart from of social activity.31 Artinya, secara

    etimologi, kata pendidikan hanya berarti suatu proses memimpin atau

    mengasuh, jika kita telah menghsilkan proses kejiwaan, kita katakan

    bahwa pendidikan adalah proses pembentukan pembinaan, dan

    percetakan aktivitas, yakni pembentukan ke dalam bentuk standar dari

    aktivitas sosial.

    Menurut Chabib Thoha, Pendidikan dalam arti praktek atau

    suatu proses pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan

    potensi-potensi yang dimiliki subjek didik untuk mencapai

    perkembangan secara optimal serta membudayakan manusia melalui

    proses tranformasi nilai-nilai yang utama.32

    Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan

    bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengembangan pribadi

    dalam semua aspek-aspeknya. Atau dapat juga diartikan sebagai suatu

    proses pengembangan pribadi dalam semua aspek-aspeknya untuk

    merealisasikan manusia yang berbudi luhur.

    31 John Dewey, Democratic And Education, (New York: The Macmillian Company, 1964), hlm. 10 32

    Chabib Thoha, Op.cit., hlm. 99.

  • 42

    Pelatihan adalah suatau kegiatan untuk memperbaiki kemampuan

    kerja seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas tertentu.33 Dessler

    mengartikan pelatihan sebagai proses pembelajaran.34 Donaldson dan

    Scannel memaknai pelatihan sebagai upaya perubahan perilaku. 35

    menurutnya pendikan dan pelatihan harus diorganisir agar dapat

    mengantarkan perubahan perilaku peserta pelatihan.

    Jucius dalam Bernardin menyatakan bahwa pendidikan dan

    pelatihan digunakan untuk menunjukkan setiap proses, dimana bakat,

    kecakapan dan kemampuan para pegawai dikembangkan agar mereka

    dapat menyelsaikan pekerjaan tertentu. Kemudian Bernardin menyebutkan

    secara ideal bahwa pelatihan harus disesuaikan dengan keinginan

    mewujudkan dan mencapai tujuan organisasi.36

    Pelatihan bagi Bosker adalah suatu kegiatan pembelajaran yang

    terprogram dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan

    keterampilan peserta.37 Makna kemampuan dan keterampilan di sini tidak

    hanya sekadar ranah psikomotorik, namum juga meliputi aspek

    kemampuan dan keterampilan yang utuh. Termasuk dalam makna

    kemampuan di sini adalah kecerdasan majemuk (multiple intelegencies)

    dan aspek-aspek psikologis lain, seperti motivasi kerja, kecerdasan sosial,

    kecerdasan emosional, dan sebagainya yang dapat dikembangkan melalui

    pelatihan.

    33

    Ranupanjoyo dan Husnan, Manajemen Personalia (Yogyakarta: BPFE, 1995), h.77 34

    Gary Deseler, Personal Management, Ter. Agung Dharma (Jakarta: Erlangga, 1997), h.266 35

    Donaldson dan Scannel, Human Resources Development, terj.Yakub (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1993), h.7 36

    Bernardin, Human Resources Management (Jakarta: Mc. Graw-Hill Inc., 1993), h.297 37

    J. Bosker, Training effectiveness, New York, Pergamon, 1997, P: 3

  • 43

    Menurut Brown, pelatihan merupakan salah satu kegiatan pokok

    dalam pengembangan sumberdaya manusia.38 Hal ini karena kondisi dan

    tuntutan lingkungan yang selalu berubah, serta perkembangan ilmu dan

    teknologi, menyebabkan organisasi atau lembaga harus selalu

    menyesuaikan diri. Untuk itu sumberdaya manusia yang ada dalam

    organisasi harus selalu ditingkatkan kemampuannya. Sebagian besar

    kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dilakukan melalui program

    pelatihan.

    Pelatihan menurut Wexley dan Yukl adalah suatu proses di mana

    pegawai mempelajari keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang

    diperlukan guna melaksanakan pekerjaannya secara efektif.39 Sementara

    menurut Amstrong, pelatihan adalah kegiatan untuk mengisi kesenjangan

    antara apa yang dapat dikerjakan seseorang dan siapa yang seharusnya

    mampu mengerjakannya, agar secepat mungkin pegawai dapat mencapai

    suatu tingkat kemampuan kerja dalam jabatan mereka, dan menambah

    keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki prestasi

    dalam jabatan yang sekarang atau mengembangkan potensinya untuk

    masa yang akan datang.40

    Berpijak pada beberapa pengertian di atas, maka pengertian

    pendidikan dan pelatihan dalam penelitian ini adalah kegiatan yang

    dilakukakan untuk membina kepribadian, meningkatkan dan

    38

    M. J. Brown, The Effectiveness Of Organization, (California, Fearon, Belmont California, 1999), p: 26 39

    Kenneth Wexley dan Gary A Yukl, Organizational Behavior and personal Psychology, (Ontorio, Richard D. Irwan. Inc, 1997), p: 301 40

    Michael Amstrong, Manajemen Sumber daya Manusia, Terjemahan Sofyan Cikman dan Hariyanto, (Jakarta, Elex Media Kompotindo, 1990), p. 120

  • 44

    mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan karyawan dalam

    bekerja.

    Pelaksanaan diklat sangat beragam jenis program dan model yang

    digunakan. Berikut adalah dua model diklat yang biasa dilakukakan dalam

    berbagai kegiatan.

    2. Competence Based Education and Training (CBET)

    Competence Based Education Training (Pendidikan dan Pelatihan

    Berbasis Kompetensi) merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan

    yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan

    secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja

    (performance target) yang telah ditetapkan. Target kinerja yang dimaksud

    adalah kompetensi. Artinya, pendidikan dan pelatihan yang diperuntukkan

    bagi sumberdaya bukan sekedar membentuk kompetensi, tetapi

    kompetensi tersebut harus relevan dengan tugas dan jabatannya. Dengan

    kata lain, kompetensi itu secara langsung dapat membantu di dalam

    melaksanakan tugas sehari-hari dari sumber daya tersebut.

    Makna kompetensi secara umum menurut Anderson adalah

    sebagai sebagai karakteristik dasar yang terdiri dari kemampuan (skill),

    pengetahuan (knowledge) serta atribut lainnya yang mampu membedakan

    seseorang yang perform dan tidak perform. Berdasarkan pengertian

    tersebut diatas, kompetensi dipandang sebagai alat penentu untuk

    memprediksi keberhasilan kerja seseorang.

  • 45

    Senada dengan pengertian tersebut, Mulyasa41 menjelaskan bahwa

    kompetensi merupakan indikator yang menunjuk pada perbuatan yang bisa

    diamati dan sebagai konsep yang mencakup aspekaspek pengetahuan,

    keterampilan, nilai dan sikap serta tahaptahap pelaksanaannya secara

    utuh.

    Bagi Spencer dan Spencer kompetensi adalah karakteristik yang

    mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu

    dalam pekerjaannnya.42 Kompentensi seorang individu merupakan sesuatu

    yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi

    tingkat kinerjanya. Sesuatu yang dimaksud bisa menyangkut motif, konsep

    diri, sifat, pengetahuan maupun kemampuan/keahlian. Kompentensi

    individu yang berupa kemampuan dan pengetahuan bisa dikembangkan

    melalui pendidikan dan pelatihan.

    Selanjutnya menurut Spencer dan Spencer kompetensi dapat

    dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu threshold competencies dan differentiating

    compentencies. Threshold competencies adalah karakteristik utama yang

    harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya.

    Tetapi tidak untuk membedakan seorang yang berkinerja tinggi dan rata-

    rata. Sedangkan differentiating competiencie adalah factor-faktor yang

    membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah.43 Misalnya

    seorang dosen harus mempunyai kemampuan utama mengajar, itu berarti

    41

    E. Mulyasa, Dr., M.Pd., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja

    Rosda Karya, 2007), h. 88 42

    M.Lyle Spencer and M.Signe Spencer , Competence at Work:Models for Superrior Performance (New York: John Wily & Son,Inc,New York,1993), h.120 43

    Ibid., h.122

  • 46

    pada tataran threshold competencies, selanjutnya apabila dosen dapat

    mengajar dengan baik, cara mengajarnya mudah dipahami dan analisanya

    tajam sehingga dapat dibedakan tingkat kinerjanya maka hal itu sudah

    masuk kategori differentiating competencies.

    Mengacu pada berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan

    bahwa kompetensi yang dimaksud adalah kompetesi yang mencakup

    tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh seseorang

    untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai tugas pokok dan fungsi

    sumber daya tersebut.

    Kompetensi seseorang dapat berkembang atau meningkat melalui

    beberapa cara, seperti melalui pengalaman, belajar sendiri, pendidikan

    formal maupun melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) tertentu. Masing-

    masing pola perkembangan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan,

    namun sebaiknya diperoleh melalui perpaduan dari semua cara tersebut.

    Merujuk pada aspek teoritis dan praktis perkembangan kompetensi

    yang diperoleh melalui Diklat dapat dikatakan lebih lengkap dan mendalam

    dari pada melewati pengalaman. Hal ini karena pada pelaksanaan diklat

    dirancang berdasarkan sistem belajar yang terstruktrur yang dibimbing oleh

    banyak fasilitator dan penyelenggara. Lain halnya dengan perkembangan

    kompetensi yang diperoleh melalui pengalaman, dimana lebih banyak

    didasarkan pada kegiatan praktek langsung sebagai respon dari kebutuhan

    hidup dimana selama ini sumber daya tersebut tinggal dan bermukim.

    Competency Based Education and Training (CBET) merupakan

    salah satu pendekatan dalam pengembangan kompetensi sumber daya

  • 47

    manusia yang berfokus pada hasil akhir (outcome). Competency Based

    Education and Training (CBET) sangat fleksibel dalam proses kesempatan

    untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Hasil Competency

    Based Education and Training (CBET) menuntut persyaratan dan

    karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara

    nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada

    umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input),

    proses, dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak

    sesuai dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas.

    Tujuan Competency Based Education and Training (CBET) adalah

    agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan

    sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara khusus, tujuan utama

    Competency Based Education and Training (CBET) adalah menghasilkan

    kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk

    pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam

    berbagai pekerjaan dan jabatan.

    Penelusuran (penilaian) kompetensi yang telah dicapai dan

    sertifiikasi. Hasil Competency Based Education and Training (CBET)

    hendaknya dihubungkan dengan standar kompetensi yang akan diberikan.

    Program pendidikan dan pelatihan didasarkan atas uraian kerja Kebutuhan

    multi skilling Alur karir (career path). Menurut Rylatt 44, terdapat 9 prinsip

    yang harus diperhatikan dalam Competency Based Education and Training

    (CBET):

    44

    Rylatt , Op. Cit ,1993, p.88-89

  • 48

    a) Bermakna.

    Praktek terbaik Kompetensi harus merefleksikan kebutuhan utama

    bisnis, yang didasarkan atas standar industri / kejuruan yang terbaik.

    b) Hasil pembelajaran

    Competency Based Education and Training (CBET) lebih difokuskan

    pada hasil pembelajaran, bukan pada penyampaian pendidikan dan

    pelatihan.

    c) Fleksibel

    Competency Based Education and Training (CBET) dapat dilakukan

    dengan berbagai cara dan metode, baik yang bersifat formal maupun

    informal.

    d) Mengakui pengalaman belajar sebelumnya.

    Competency Based Education and Training (CBET) mengakui

    pengalaman belajar yang dimiliki oleh peserta, sehingga mereka tidak

    dituntut harus mengikuti pendidikan dan pelatihan sampai akhir. Bila

    kemudian peserta mengikuti ujian dan lulus ujian kompetensi maka

    mereka berhak memperoleh kelulusan dan kualifikasi.

    e) Tidak didasarkan atas waktu.

    Competency Based Education and Training (CBET) tidak dibatasi oleh

    waktu. Perbedaan kemampuan setiap peserta akan menentukan

    lamanya proses pendidikan dan pelatihan

  • 49

    f) Penilaian yang diperlukan.

    Competency Based Education and Training (CBET) sangat

    memperhatikan kemampuan memperagakan kompetensi sehingga

    setiap orang perlu untuk dnilai tingkat kompetensinya.

    g) Monitoring dan evaluasi.

    Proses ini mutlak diperlukan mulai dari masukan, proses sampai pada

    keluaran.

    h) Konsistensi secara nasional.

    Competency Based Education and Training (CBET) berlandaskan pada

    penampilan kompetensi yang secara nasional konsisten dengan

    kebutuhan industri sehingga hasilnya seseorang karyawan dapat

    dterima di tempat lain dan dapat dipekerjakan secara nasional.

    i) Akredetasi pembelajaran

    Kurikulum yang digunakan dalam Competency Based Education and

    Training (CBET)harus memperoleh pengakuan dari badan / instansi

    yang berkompeten.

    Sistem Competency Based Education and Training (CBET) dapat

    dilakukan dengan berbagai model, salah satu diantaranya adalah Model

    Sistem Strategik Competency Based Education and Training (CBET) pada

    perusahaan yang dilakukan melalui 5 tahap. Menurut Dubois45, tahap-tahap

    tersebut adalah Analisis kebutuhan penilaian dan perencanaan,

    Pengembangan Model Kompetensi, Perencanaan Kurikulum, Perancangan

    dan Pengembangan Intervensi Pembelajaran, dan Evaluasi.

    45

    Dubois, Op.Cit, 88

  • 50

    3. Pelatihan Konvensional

    Pelatihan konvensional adalah kegiatan pelatihan yang lebih

    banyak menekankan pada input (masukan berupa misalnya materi, kriteria

    peserta dan lain lain) dan proses serta produk yang banyak variasi dalam

    upaya meningkatkan kinerja peserta. Model pelatihan ini karena terlalu

    banyak variasi kadang-kadang output yang ingin dicapai menjadi tidak

    terukur.

    Memperhatikan pelatihan model konvensional, kriteria keberhasilan

    selalu ditentukan oleh pihak penyelenggara. Peserta latih hanya menjadi

    objek pelatihan yang tidak dapat menentukan kehendak yang ingin

    dicapainya sendiri sebagaimana dalam Competency Based Education and

    Training (CBET).

    Pemahaman yang dimaksud model pelatihan konvensional dalam

    peneltian ini adalah segala kegiatan pendidikan dan pelatihan yang lebih

    menekakan kepada variasi input, proses dan produk (lulusan) dalam

    mencapai peningkatan kinerja. Atau dengan kata lain, model pelatihan

    konvensional adalah model pendidikan dan pelatihan yang tidak berbasis

    kompetensi.

  • 51

    B. Motivasi Kerja Kerja

    1. Pengertian Motivasi Kerja

    Tindakan seseorang dalam kontek apapun termasuk dalam

    melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya diawali oleh adanya tenaga

    dorongan dari dalam dirinya serta rangsangan yang berasal dari

    lingkungannya. Dorongan dari dalam dirinya berkaitan erat dengan

    kebutuhannya, sedangkan rangsangan dari luar berkaitan erat dengan cita-

    cita dan harapannya seperti status sosial, uang, jabatan dan lain-lain.

    Menurut Danim, motivasi (motivation) diartikan sebagai kekuatan,

    dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan atau mekanisme psikologi yang

    mendorong seseorang atau kelompok orang untuk mencapai prestasi

    tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya.46 Terkait arti kognitif,

    motivasi diasumsikan sebagai aktivitas individu untuk menentukan

    kerangka dasar tujuan dan penentuan perilaku untuk mencapai tujuan.

    Menekankan pada arti afeksi, motivasi bermakna sikap dan nilai dasar yang

    dianut oleh seseorang atau sekelompok orang untuk bertindak atau tidak

    bertindak.

    Menurut Hasibuan, motivasi adalah daya penggerak yang

    menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama,

    bekerja efektif dan terintegerasi dengan segala upaya-upayanya untuk

    46

    Sudarwan Danim, Prof.,Dr., Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok, (PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2004), hlm. 2.

  • 52

    mencapai kepuasan.47 Selanjutnya menurut Hasibuan ada hal-hal yang

    dapat memotivasi bawahan, yaitu:

    1) Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang

    yang mencakup perasaan untuk berprestasi, bertanggungjawab,

    kemajuan dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya

    penagkuan atas semuanya itu.

    2) Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama faktor yang

    bersifat embel-embel pada pekerjaan, tunjangan, sebutan jabatan, hak,

    gaji, dan lain-lain.

    3) Karyawan kecewa jika peluang untuk berprestasi terbatas, mereka

    akan sensitif pada lingkungannya serta mencari-cari kesalahan.

    Sedangkan Akitson dan Hilgard yang dikutip Hariandja motivasi

    diartikan sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku

    atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan

    dalam usaha yang keras atau lemah.48

    Bila apa yang merupakan kebutuhan pegawai itu sudah dapat

    diketahui dan dirumuskan dengan pasti, maka selanjutnya perlu

    direncanakan cara-cara memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan perkataan

    lain harus ditemukan pula metode-metode, alat dan sarana-sarana yang

    cocok untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

    Maslow seperti dikutip oleh Husein berhasil mengembangkan suatu

    teori tentang adanya tingkat kebutuhan manusia :

    47

    Hasibuan, Malayu H.SP, Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas, Bumi Aksara, Jakarta, 2003), hlm. 97.

    48 Hariandja,Op Cit, hlm. 321.

  • 53

    1) Kebutuhan fisik (the physiological needs)

    2) Kebutuhan akan rasa aman (the safety needs)

    3) Kebutuhan untuk dicintai (the love needs)

    4) Kebutuhan untuk dihargai (the esteem needs)

    5) Kebutuhan untuk aktualitas diri (the needs for self-actualization)49

    Teori Maslow mengenai motivasi didasarkan kepada adanya

    tingkat-tingkat kebutuhan dan perubahan daya dorongnya. Perubahan daya

    dorong dalam istilah Maslow disebut prepotency berarti bahwa apabila

    semua tingkat kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi, maka kebutuhan-

    kebutuhan dasar yang bersifat fisik seperti sandang, pangan, papan akan

    merupakan kebutuhan yang dominan. Apabila kebutuhan tingkat awal

    sudah dapat terpenuhi akan mendorong manusia untuk mencapai tingkat

    berikutnya dan seterusnya.

    Implikasi manajerial teori Maslow disini adalah bagaimana

    memotivasi pegawai atau mengaktifkan, menggerakan perilaku kerja

    pegawai kearah peningkatan efektivitas organisasi. Sesuai dengan teori ini,

    seorang pegawai tidak akan termotivasi untuk bekerja dengan baik

    bilamana pelaksanaan pekerjaan tidak dapat memenuhi kebutuhannya.

    Gaji, upah atau uang merupakan sarana yang sangat pentinguntuk

    memenuhi kebutuhan fisik. Oleh karena itu, memberikan gaji yang layak

    kepada karyawan menjadi factor motivasional yang penting untuk

    memenuhi kebutuhan tingkat pertama, meskipun gaji dapat juga menjadi

    sarana untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Sesuai dengan teori diatas

    49

    Husein, Op Cit, hlm. 36.

  • 54

    juga, bilamana kebutuhan fisik terpenuhi, kebutuhan rasa aman akan

    meningkat intensitasnya. Program seperti tunjangan kesehatan, pension,

    asuransi dan keselamatan kerja merupakan faktor motivasional yang

    sangat penting. Penyediaan sarana ibadat, olahraga, dan berbagai kegiatan

    yang bersifat social yang memungkinkan terjadinya interaksi intensif

    diantara karyawan juga merupakan faktor motivasional untuk memenuhi

    kebutuhan tingkat ketiga. Kesempatan mengembangkan diri melalui

    program pendidikan merupakan faktor motivasional untuk memenuhi

    kebutuhan tingkat yang lebih tinggi, meskipun tidak semua pegawai

    memiliki intensitas kebutuhan untuk ini.

    Kemudian Randall S. Schuler dalam Husein menerangkan kaitan

    antara motivasi dengan perilaku pegawai atau individu dalam suatu

    organisasi memotivasi pegawai berarti upaya mendapatkan pegawai

    dengan cara terus menerus berusaha menghilangkan prilaku yang tidak

    dikehendaki oleh organisasi.50 Perilaku yang tidak dikehendaki oleh

    organisasi adalah rendahnya kinerja pegawai, tingginya tingkat

    ketidakhadiran pegawai, tingkat keluar masuknya pegawai dan perilaku

    pegawai yang menghindari tugas dan tanggung jawab. Sedangkan perilaku

    yang diinginkan oleh organisasi adalah, kinerja, kehadiran, keterikatan

    pegawai pada organisasi dan budaya kerja.

    Teori tentang motivasi selanjutnya dijelaskan oleh Sudarwan

    Danim melalui teori Pengharapan (Expectancy theory) tentang motivasi

    dibangun atas pendekatan kognitif. Ada tiga konsep esensial yang

    50

    Ibid, hlm. 32.

  • 55

    mendasari motivasi manusia, yaitu pengharapan, nilai dan penghargaan.51

    Melalui teori Pengharapan (Expectancy theory) menerangkan bahwa

    manusia dalam pekerjaannya biasanya mempunyai beberapa alternatif-

    alternatif untuk dipilih. Dan dia harus memilih satu diantara alternatif-

    alternatif tersebut berdasarkan pengharapannya. Dengan perkataan lain,

    alternatif yang dipilih haruslah alternatif yang memberi imbalan yang sesuai

    dengan prestasi kerja yang dicapai pegawai bersangkutan. Nilai sendiri

    adalah tingkatan kesenangan atau kesukaan yang ada di dalam diri individu

    untuk mendapatkan sejumlah keuntungan. Nilai yang dimaksud di sini

    seperti insentif atau uang, prestasi yang dicapai, kondisi kerja yang baik,

    kesempatan untuk meningkatkan karier, dan lain-lain. Karena itu nilai juga

    dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mereka harapkan dari

    pekerjaan yang dilakukannya. Sedangkan penghargaan adalah

    kepercayaan bahwa perilaku yang ditampilkan oleh individu adalah esensial

    dalam kerangka pemerolehan keuntungan atau kepuasan atas nilai itu.

    Menurut Porter dan Miles yang dikutip Sudarwan Danim yang

    merupakan pengembangan teori pengharapan, mengemukakan bahwa ada

    tiga variabel yang mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja, yaitu:

    1) Sifat-sifat individual pekerja, antara lain meliputi kepentingan setiap

    individu, sikap, kebutuhan, atau harapan yang berbeda dari setiap

    individu.

    51

    Sudarwan damin, Op Cit., hlm. 34.

  • 56

    2) Sifat-sifat pekerjaan, antara lain mencakup tugas-tugas yang harus

    dilaksanakan, tanggung jawab yang diemban dan kepuasan yang

    muncul.

    3) Lingkungan kerja dan situasi kerja karyawan. Pola interaksi antar

    karyawan sangat mempengaruhi aktivitasnya dalam bekerja. Dia dapat

    dimotivator oleh rekan kerja. Penghargaan atasan dan manfaat

    organisasi menentukan motivasi bekerja seseorang.52

    Jelas terlihat bahwa maka motivasi memiliki peran penting bagi

    organisasi untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala

    daya dan potensi tenaga kerja yang ada kearah pemanfaatan yang optimal

    sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia dengan didukung sarana

    dan prasarana. Jelas terlihat bahwa motivasi berperan sebagai pendorong

    kemauan dan keinginan untuk melaksanakan tugas menurut ukuran dan

    batasan yang telah ditentukan. Adanya motivasi yang tinggi dari para

    sumber daya akan terdorong untuk bekerja keras dengan memanfaatkan

    kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam melaksanakan tugas

    pekerjaan yang dibebankannya.

    Pengertian motivasi kerja menurut Liang Gie yang dikutip

    Samsudin, motivasi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh manjer dalam

    memberikan inspirasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam

    hal ini karyawannya untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu.53

    Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan orang-orang atau

    52

    Ibid, hlm. 34-35. 53

    Sadili, Samsudin, Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan kesatu, (CV. Pustaka, Bandung: 2006), hlm. 281-282.

  • 57

    karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil yang

    dikehendaki orang-orang tersebut. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang

    menimbulkan dorongan atau semangat kerja karena dipengaruhi oleh

    beberapa faktor antara lain: atasan, kolega, sarana fisik, kebijaksanaan,

    peraturan, imbalan jasa uang dan non uang, jenis pekerjaan dan tantangan.

    Selain itu juga dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan kebutuhannya

    masing-masing.

    Menurut teori Modern tentang motivasi kerja antara lain

    dikembangkan Douglas McGregor yang dikutip Sudarwan Danim yang

    disebut Teori Y. Menekankan pada asumsi bahwa motivasi manusia akan

    terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan dihadapkan kepada

    tantangan-tantangan.54 Teori ini menggariskan bahwa didalam kerjasama

    antar-manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh yang

    signifikan atau tidak sedikit. Menurut teori ini juga, manusia modern bekerja

    semata-mata bukan karena rasa takut, terancam, diarahkan atau sebatas

    imbalan saja. Ada beberapa hal alasan manusia bekerja, yaitu:

    1) Adanya kebutuhan dan tuntutan untuk hidup layak

    2) Tugas pokok dan fungsinya menuntut dia bekerja dan menjadikan

    ukuran keberhasilannya.

    3) Dorongan untuk berprestasi

    4) Rasa ingin mencapai tujuan secara cepat atau kesadaran akan

    tujuannya, didasari oleh: pertama, memiliki kesediaan dan kesadaran

    yang tinggi untuk menerima ide dan memecahkan masalah-masalah

    54

    Sudarwan Danim, Op Cit., hlm. 36.

  • 58

    bersama secara inovatif. Kedua, berani mengemukakan pendapat dan

    mempertanggungjawabkan demi kemajuan organisasi. Ketiga,

    menghargai dunia organisasi dan kepemimpinan orang lain. Keempat,

    rasa hrga diri yang tinggi, dan tidak terjebak dalam fanatisme sempit.

    Kelima, menghargai data statistik sebagai hasil dari pengamatan

    langsung, menghargai prestasi diri sendiri dan orang lain secara wajar.

    Keenam, memeiliki antisipasi atau berpikir ke depan dengan

    memperhatikan masa sekarang dan kearifan masa lalu. Dan ketujuh,

    memperhatikan kepentingan umum di samping kebutuhan individu.

    5) Suasana atau iklim lingkungan kerja yang sehat

    6) Terpenuhinya kebutuhan pribadi, seperti rasa ingin tumbuh dan

    berkembang dalam hal rasa ingin berprestasi, keinginan menerima

    tanggungjawab, harga diri, kebutuhan biologis, dan penghargaan hasil

    yang dicapai.

    Mengacu pada berbagai pandangan diatas, dapat disimpulkan

    bahwa motivasi kerja merupakan dorongan dari dalam atau luar diri

    seseorang untuk bekerja dengan tekun dan fokus agar dapat mencapai

    tujuan perusahaan maupun tujuan pribadinya sehingga akan meningkatkan

    kinerja pegawai dalam suatu organisasi. Dengan termotivasinya pegawai

    didalam melakukan pekerjaannya maka dengan sendirinya kinerja pegawai

    akan meningkat juga.

  • 59

    2. Dimensi dan Indikator Motivasi Kerja

    Berpijak dari berbagai konsep teori motivasi yang dideskripsikan

    diatas, indikator motivasi kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    didasari oleh teori pengharapan menurut Porter dan Miles yang dikutip

    Danim yang merupakan pengembangan teori tersebut, mengemukakan

    bahwa ada tiga variabel yang mempengaruhi motivasi individu dalam

    bekerja, antara lain sifat-sifat individual pekerja, sifat-sifat pekerjaan, dan

    lingkungan kerja serta situasi kerja karyawan.55

    Selain itu, juga terkait teori modern tentang motivasi kerja yang

    dikembangkan Douglas McGregor sebagaimana dikutip Danim yang

    disebut dengan Teori Y dengan asumsi bahwa motivasi manusia akan

    terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan dihadapkan kepada

    tantangan-tantangan.56 Teori ini menggariskan bahwa didalam kerjasama

    antar-manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh yang

    signifikan atau tidak sedikit. Menurut teori ini juga, manusia modern bekerja

    semata-mata bukan karena