Top Banner
Kompas Minggu, 30 Oktober 2005 Mengemas Budaya Nusantara Lewat Desain Kursi Adi Santosa Ditinjau dari sejarahnya, kursi sebagai fasilitas duduk bukan berakar dari budaya Nusantara. Ini dapat dibuktikan lewat artefak-artefak kuno, misalnya watu gilang di Kotagede yang merupakan singgasana (”dampar”) Istana Panembahan Senopati berwujud sebongkah batu persegi. Kalangan rakyat jelata hanya mengenal balai-balai yang masih banyak dijumpai hingga kini di desa-desa. Baik dampar maupun balai-balai berbeda dari kursi dalam konsep filosofis, perwujudan bentuk, maupun struktur teknisnya. Budaya penggunaan fasilitas duduk berupa kursi baru masuk ke Nusantara sejak adanya interaksi dengan bangsa Barat. Itu pun masih terbatas sebagai simbol status kaum bangsawan, birokrat kolonial, dan saudagar besar; sama halnya dengan sejarah perkembangan kursi itu sendiri yang awalnya digunakan bangsa Mesir kuno untuk meninggikan wibawa penguasa. Kursi sebagai fasilitas duduk baru berkembang menjadi produk massal lintas negara dan budaya sejak Revolusi Industri di Inggris. Waktu itu kursi-kursi bergaya klasik yang lebih berfungsi sebagai simbol status namun kurang nyaman dan fungsional mulai ditinggalkan. Kursi modern yang didesain dengan pertimbangan kenyamanan dari segi ergonomi, fungsional dari segi bentuk, dan ekonomis dari segi produksi berkembang pesat dan diminati banyak orang. Contoh kursi modern yang diproduksi massal waktu itu adalah desain karya Michael Thonet yang sukses menembus pasar dunia. Kesuksesan desain kursi modern ini sekaligus mematahkan batas budaya antarbangsa. Dengan latar belakang sejarah tersebut di mana kursi pada hakikatnya tidak berakar dari budaya Nusantara, sesungguhnya merupakan dua hal yang tidak relevan, bahkan kontradiktif antara ide mengemas budaya Nusantara dan desain kursi sebagai perwujudannya. Namun demikian, justru di sinilah pintu masuk sebuah kreativitas. Citra budaya Kursi modern yang didesain dengan pendekatan rasional di satu sisi dapat diterima secara luas oleh setiap orang dengan latar belakang budaya beragam karena kursi modern dapat memenuhi kebutuhan akan rasa nyaman dan sisi ekonomis. Namun, satu hal yang terabaikan adalah
9

Adi Santosa. . Mengemas Budaya Nusantara Lewat Desain Kursi ...

Jan 15, 2017

Download

Documents

duongdien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Adi Santosa. . Mengemas Budaya Nusantara Lewat Desain Kursi ...

Kompas Minggu, 30 Oktober 2005

Mengemas Budaya Nusantara Lewat Desain Kursi

Adi Santosa

Ditinjau dari sejarahnya, kursi sebagai fasilitas duduk bukan berakar dari budaya Nusantara. Ini dapat dibuktikan lewat artefak-artefak kuno, misalnya watu gilang di Kotagede yang merupakan singgasana (”dampar”) Istana Panembahan Senopati berwujud sebongkah batu persegi.

Kalangan rakyat jelata hanya mengenal balai-balai yang masih banyak dijumpai hingga kini di desa-desa. Baik dampar maupun balai-balai berbeda dari kursi dalam konsep filosofis, perwujudan bentuk, maupun struktur teknisnya.

Budaya penggunaan fasilitas duduk berupa kursi baru masuk ke Nusantara sejak adanya interaksi dengan bangsa Barat. Itu pun masih terbatas sebagai simbol status kaum bangsawan, birokrat kolonial, dan saudagar besar; sama halnya dengan sejarah perkembangan kursi itu sendiri yang awalnya digunakan bangsa Mesir kuno untuk meninggikan wibawa penguasa.

Kursi sebagai fasilitas duduk baru berkembang menjadi produk massal lintas negara dan budaya sejak Revolusi Industri di Inggris. Waktu itu kursi-kursi bergaya klasik yang lebih berfungsi sebagai simbol status namun kurang nyaman dan fungsional mulai ditinggalkan.

Kursi modern yang didesain dengan pertimbangan kenyamanan dari segi ergonomi, fungsional dari segi bentuk, dan ekonomis dari segi produksi berkembang pesat dan diminati banyak orang. Contoh kursi modern yang diproduksi massal waktu itu adalah desain karya Michael Thonet yang sukses menembus pasar dunia. Kesuksesan desain kursi modern ini sekaligus mematahkan batas budaya antarbangsa.

Dengan latar belakang sejarah tersebut di mana kursi pada hakikatnya tidak berakar dari budaya Nusantara, sesungguhnya merupakan dua hal yang tidak relevan, bahkan kontradiktif antara ide mengemas budaya Nusantara dan desain kursi sebagai perwujudannya. Namun demikian, justru di sinilah pintu masuk sebuah kreativitas.

Citra budaya

Kursi modern yang didesain dengan pendekatan rasional di satu sisi dapat diterima secara luas oleh setiap orang dengan latar belakang budaya beragam karena kursi modern dapat memenuhi kebutuhan akan rasa nyaman dan sisi ekonomis. Namun, satu hal yang terabaikan adalah hilangnya nilai citra dari kursi. Padahal sesuai sejarah perkembangannya, kursi lahir untuk memenuhi kebutuhan akan citra.

Dalam konsep desain modern, citra sebuah kursi justru diyakini akan muncul dari fungsi, kenyamanan, dan nilai ekonomis itu sendiri. Hal ini yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan ”kitsch” atau selera budaya massal yang rendah karena desain kursi modern kemudian memunculkan citra homogen yang berstandar baku pada fungsi, kenyamanan, dan nilai ekonomis saja. Dari sinilah kemudian baru bisa disadari bahwa dalam mendesain kursi mestinya juga harus dipertimbangkan faktor citra yang digali untuk melengkapi fungsi, kenyamanan, dan nilai ekonomis.

Kursi dapat menampilkan citra tertentu apabila didesain dengan karakteristik khas, baik pada segi bentuk, bahan, teknik konstruksi, teknik produksi hingga teknik finishing. Semua hal tersebut dapat diolah untuk memunculkan banyak model desain yang masing-masing memiliki

Page 2: Adi Santosa. . Mengemas Budaya Nusantara Lewat Desain Kursi ...

kekhasan tersendiri.

Pengolahan terhadap bentuk dapat dipengaruhi latar belakang budaya rupa yang berbeda-beda pada tiap kelompok masyarakat. Penggunaan bahan dapat dipengaruhi perbedaan lingkungan alam yang menyediakan beragam jenis bahan. Penerapan teknik konstruksi dapat dipengaruhi keragaman jenis dan sifat bahan yang digunakan. Penerapan teknik produksi dapat dipengaruhi oleh keragaman tingkatan teknologi yang dikuasai. Penerapan teknik finishing dapat dipengaruhi keragaman kondisi iklim atau lingkungan termal serta peruntukan kursi.

Keragaman dalam banyak faktor tersebut apabila diformulasikan secara tepat ke dalam desain kursi akan dapat memunculkan citra budaya yang khas, cerminan hasil pemikiran untuk mengolah sumber daya alam dan lingkungan secara cermat.

Budaya Nusantara

Dengan munculnya kesadaran akan realitas pluralitas budaya pada masyarakat postmodern, maka keyakinan paham modern akan universalitas yang dalam konteks desain diartikan sebagai selera massal yang homogen telah berakhir. Masyarakat dunia saat ini kembali mencari citra budaya sebagai wujud apresiasi terhadap nilai-nilai pluralitas. Oleh karena itu, sudah semestinya kita juga kembali mencari citra budaya bangsa kita.

Mencari citra budaya dalam lingkup sempit untuk diwujudkan dalam desain kursi berarti merupakan upaya menggali ide dari unsur budaya Nusantara. Dalam metodologi desain, upaya menggali ide dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui metode transformasi dan metode interpretasi.

Dengan metode transformasi, ide desain diambil langsung dari pengamatan wujud fisik budaya untuk ditransformasikan ke dalam wujud desain kursi. Sementara dengan metode interpretasi, maka ide desain diambil dari pemaknaan nilai-nilai budaya untuk diinterpretasikan kembali ke dalam wujud desain kursi. Baik metode transformasi maupun interpretasi keduanya dapat saling melengkapi.

Ide yang telah tergali kemudian dapat diwujudkan ke dalam pengolahan bentuk, pemilihan bahan, penerapan teknik konstruksi, teknik produksi, hingga teknik finishing. Dengan demikian, desain kursi mengandung unsur budaya Nusantara, baik lewat transformasi bentuk maupun interpretasi nilai budaya. Dari sini desain kursi akan dapat memancarkan citra budaya Nusantara.

Hal ini berbeda dari sekadar menghadirkan kembali model-model etnik ”bersifat eklektik, yaitu mencampuradukkan bentuk-bentuk lama atau tradisional” karena proses penggalian ide diintegrasikan ke dalam pola pikir modern yang rasional. Melalui pengolahan bentuk, penggunaan bahan, penerapan teknik konstruksi, teknik produksi, hingga teknik finishing yang tepat faktor fungsi, kenyamanan, dan nilai ekonomis tetap dapat dipertahankan. Dengan demikian citra budaya Nusantara merupakan nilai tambah dalam desain kursi.

Pada akhirnya kursi sebagai fasilitas duduk yang pada hakikatnya tidak berakar dari budaya Nusantara dapat diolah dengan daya kreativitas sehingga citra budaya Nusantara dapat dimunculkan di dalamnya dalam kemasan baru sesuai perkembangan zaman.

Adi Santosa Dosen Jurusan Desain Interior Universitas Kristen Petra, Surabaya

Page 3: Adi Santosa. . Mengemas Budaya Nusantara Lewat Desain Kursi ...

Lampiran Gambar:

Gambar 1: Ide desain kursi dengan menggali nilai budaya Bali karya Michael Nugroho

Page 4: Adi Santosa. . Mengemas Budaya Nusantara Lewat Desain Kursi ...

Gambar 2: Ide desain kursi dengan menggali nilai budaya Madura karya Sherly De Yong

Page 5: Adi Santosa. . Mengemas Budaya Nusantara Lewat Desain Kursi ...

Gambar 3: Ide desain kursi dengan menggali nilai budaya Jawa karya Vonny Irawan

Page 6: Adi Santosa. . Mengemas Budaya Nusantara Lewat Desain Kursi ...

Gambar 4: Ide desain kursi dengan menggali nilai budaya Kalimantan karya Merliana Kumala Dewi