Top Banner

of 33

Fresh Marketing-Ippho Santosa

Jul 06, 2018

Download

Documents

jaja
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    1/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    2/33

     

    Fresh Marketing:

    Cara-Cara Paling Segar

    Memoles Merek

    Ippho Santosa

    Kontributor:

    Datie, Ardi Tendi

    Sekiranya Anda mendapat manfaat dari buku ini, silakan Anda

    ceritakan isi buku ini kepada sahabat-sahabat terbaik Anda,

    agar mereka mendapat manfaat yang sama.

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    3/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    4/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    5/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    6/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    7/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    8/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    9/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    10/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    11/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    12/33

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    13/33

     

    Aturan 4

    Bentuklah

    erson lity

     

    Merek akan tetap menjadi benda mati,

    sebelum dibentuk personality- nya.

     Wujudkanlah personality  , agar

    merek terkesan hidup juga

    berinteraksi dengan pelanggan.Lantas, bagaimanakah cara-caranya?

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    14/33

    Bentuklah

    erson lity

     

    Seorang gadis rupawan yang jutek  bersedia dinikahi oleh pria jelek yang penyabar.Harapan si gadis, kelak anaknya akan rupawan seperti dirinya dan penyabar seperti

    suaminya. Setelah tahun demi tahun berlalu, lahirlah anak mereka. Ternyata, setelah

    dewasa, si anak tidak tumbuh seperti yang diharap-harapkan oleh si gadis. Si anak,sudahlah jelek seperti suaminya, jutek pula seperti dirinya! Hehehe! Memang,

    kepribadian (personality) seseorang tidak gampang dibentuk. Berbeda dengan merek,

    yang cenderung lebih gampang untuk dibentuk.

    Awalnya, merek adalah benda mati. Anda setuju? Apabila setuju, saya persilakan Anda

    untuk membaca kalimat berikutnya. Sebenarnya, Extra Joss tidak lebih dari sekedarminuman. Mont Blanc hanya pena. Calvin Klein hanya parfum. Net TV hanya stasiun

    televisi. Betul-betul benda mati ‘kan? Ya. Namun, dengan segala perangkat pemasaran

    yang mereka berdayakan, kini kita mengakui Extra Joss sebagai merek yang berciri

    tangguh, Mont Blanc elegan, Calvin Klein muda, dan Net TV pendobrak. Itulah yangsaya maksud dengan kepribadian (personality).

    Terus apa bedanya dengan ‘roh’? Kalau ‘roh’ itu bersifat umum, maka personality itulebih bersifat khusus. Paham ya? Lazimnya, satu perusahaan hanya menyimpan satu

    ‘roh’. Sedangkan personality? Bisa berjubel. Tergantung berapa merek yang dikelola.

    Misalnya, Unilever memasarkan Sunsilk, Clear, Pepsodent, Close Up, Rinso, Surf,Molto, dan masih banyak lagi –yang masing-masing mengusung personality berbeda-

     beda.

    Sejenak Anda perhatikan fakta-fakta tentang Nestle berikut ini. Pertama, 90 persen lebih pendapatannya berasal dari luar Swiss, bukan di Swiss. Kedua, 90 persen lebih

    karyawannya berada di luar Swiss, bukan di Swiss. Ketiga, 60 persen lebih sahamnya

    dikuasai oleh orang asing, bukan orang Swiss. Keempat, sebagian besar direksinya adalahorang asing, bukan orang Swiss. Jadi, seberapa Swiss-kah Nestle? Who cares? Tetap saja

    ‘susu bermutu dari Swiss’ menjadi citra Nestle. Nestle itu Swiss banget!

    Haier dan Lenovo, dua merek yang lumayan kesohor di dunia. Kok bisa ya? Bukankah

    keduanya berasal dari China? Bukankah perusahaan-perusahaan China biasanya cuma peduli dengan produksi? Lain halnya dengan Haier dan Lenovo. Mereka melek

     pemasaran dan permerekan, tidak seperti saudara-saudara mereka setanah-air. Dan

    sekarang mereka berupaya merias personality mereknya.

    Tolong dicatat, merek akan tetap menjadi benda mati, selagi Anda belum memoles

     personality-nya. Dengan wujudnya personality, merek akan terkesan hidup dan seolah-olah berinteraksi dengan pelanggan. Tidak cukup sampai di situ, merek tersebut akan

    menyemai emotional bond dengan pelanggan, yang pada akhirnya menumbuhkan

    loyalitas merek. Semenjak akhir 90-an, aturan Fresh Marketing yang satu ini semakinsering ditaati oleh marketer .

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    15/33

    Selain itu –tentu saja– personality layak dijadikan diferensiasi. Ketika Guess eksklusif,maka Giordano memilih merakyat. Ketika majalah Kartini keibuan, maka majalah

    Cosmopolitan memilih muda. Ketika Swiss Army gagah, maka Swatch memilih santai.

    Ketika Julia Perez genit, maka Agnes Monica memilih positif. Ketika Golkar Suhartois,maka PDIP memilih Sukarnois.

    Baiklah, baiklah! Saya tahu Anda mulai setuju dengan saya. Lantas, bagaimana caranya?

    Yang jelas, Anda tidak bisa mengirim merek Anda ke kursus kepribadian. Mana ada?Personality tersebut kudu Anda konkretkan. Umpamanya, demi menjadi ‘begitu dekat, begitu nyata’, Telkomsel memperbanyak BTS-nya. Demi menjadi syariah, BNI Syariah

    mengedepankan akad-akad yang islami. Demi menjadi kokoh, Harley-Davidson

    memperbesar ukuran mesinnya. Demi menjadi cool, Samsung menyodorkan beranekadesain. Bukan semata-mata slogan, ada follow-up-nya.

    Selanjutnya, untuk menyempurnakan personality, maka merek haruslah dihumanisasikan.Setidak-tidaknya, itulah yang disarankan oleh Paul Temporal, pakar merek Asia. Maucontoh? Mercedes-Benz adalah seorang pengusaha mapan yang peduli penampilan.

    Kijang adalah seorang ayah yang mencintai keluarganya. Yamaha Mio adalah gadis belia

    yang mandiri. BMX adalah anak laki-laki yang suka berpetualang. Kalau perlu, buatlah pelanggan bergumam dalam hati, “Saya ingin dianggap mapan. Makanya, saya

    mengendarai Mercy,” atau “Oh, Yamaha Mio itu ‘kan gue banget !”

    Bagaimana pula dengan bisnis skala kecil? Yah, aturannya sama saja. Katakanlah Andamembuka kafe untuk ABG. Apa yang mesti Anda otak-atik? Personality mungkin bisa

    Anda create dengan memajang gitar listrik dan menempelkan poster rock-and-roll band .

    Pastikan juga lagu-lagu yang diputar, seragam pelayan, nama menu, dan lain-lain, klopdengan selera mereka. Sehingga, pada akhirnya para ABG dapat melihat diri mereka padamerek kafe Anda. Sesederhana itu. Terakhir –camkan baik-baik– merek tanpa personality 

     bagai manusia tanpa kepribadian. Ia tidak akan jadi apa-apa. Pun mudah terlupakan.

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    16/33

     

    Aturan 5

    Nikmati Masa Kecil 

    Adakah yang salah

    dengan bisnis yang masih kecil?

    Ternyata bisnis kecil itu menyimpan

    kenikmatan tersendiri, yang jarang

    sekali diendus oleh marketer .Apa saja kelebihannya?

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    17/33

    Nikmati Masa Kecil

    Seorang istri memarahi suaminya, Harry, yang gemar berjudi. Namun, Harrytidak terima dirinya dipersalahkan.

    “Walau bagaimanapun, toh, saya tetap menunaikan kewajiban saya sebagai

    ayah,” Harry membela diri.“Apa buktinya?” tukas istrinya.

    “Saya tetap mendidik anak,” sahut Harry. Untuk memperkuat argumennya, maka

    ia pun memanggil anaknya yang masih berusia tiga tahun.“Nak, ayah ‘kan sudah mengajarkan kamu berhitung. Masih ingat?” tanya Harry.

    Setelah anaknya mengangguk, kemudian Harry mengajukan sebuah pertanyaan,

    “Sesudah angka tujuh, angka berapa, ya?”“Delapan!” seru anaknya bersemangat.

    “Sesudah angka delapan?” tanya Harry lagi.

    “Sembilan!” seru anaknya dengan tetap bersemangat.

    Harry tersenyum. Ia bangga sekali akan jawaban-jawabannya anaknya yang begitu tepat dan begitu percaya diri. Menurutnya, walaupun gemar berjudi, ia sudah

     berhasil mendidik anaknya, tidak seperti persangkaan istrinya.

    “Sesudah angka sembilan?” kembali Harry bertanya.“Sepuluh!” teriak anaknya.

    “Sesudah angka sepuluh?” lagi-lagi Harry bertanya.

    “Jack!” teriak anaknya dengan lantangnya.Mendengar jawaban anaknya yang terakhir, istri Harry langsung terperanjat.

    Hehehe!

    Begitulah anak kecil. Mudah sekali untuk diarahkan dan dibelokkan. Ibaratnya, kapal besar dan kapal kecil. Ketika sedang melaju, kira-kira kapal mana yang lebih gampang

    untuk berubah arah atau berbelok? Ah, rasanya tidak diperlukan gelar MBA hanya untuk

    mengetahui jawabannya. Yah, karena semua orang maklum, kapal kecil akan jauh lebihmudah untuk berubah arah atau berbelok.

    Bisnis juga seperti itu. Saya pribadi sangat enjoy ketika bisnis saya masih terhitung kecil.

    Alasannya, saya berkesempatan untuk menjejalkan dan menjajal ide-ide liar saya. Saya

     juga bisa menyuntik improvisasi di sana-sini. Tentu saja, dengan segera! Dan perkaraserupa menjadi mustahil seandainya bisnis saya sudah menggurita. Ary Ginanjar – 

     penggagas ESQ– pernah bercerita kepada saya, sebagai kota yang baru berkembang,

    Batam mestinya bersyukur. Kok bisa? Karena dengan kondisi sedemikian, Batam masih berpeluang untuk meluruskan haluan dan mengendalikan perubahan.

    Saya tahu persis bahwa Anda atau siapapun pastilah mengidam-idamkan merek yang

    kuat dan bisnis yang besar. Sama, saya pun begitu. Toss dulu! Tetapi, adakah yang salahdengan bisnis yang masih kecil? Ternyata bisnis kecil itu menyimpan kenikmatan

    tersendiri, yang jarang sekali diendus oleh kebanyakan marketer . (Kecuali, marketer

    yang sudah membeli buku ini.) Segeranya perubahan, itulah manfaat yang pertama.

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    18/33

    Sedangkan tidak kelihatannya ‘dosa-dosa’ menjadi manfaat yang kedua. Coba bayangkanseorang presiden yang berbuat salah. Pastilah rakyat satu negara akan mengetahui dan

    menghujatnya. Tetapi, bagaimana dengan kesalahan seorang ketua RW? Hanya segelintir

    yang peduli dan segelintir pula yang meminta pertanggung-jawaban. Iya ‘kan?

    Tidak jauh berbeda dengan landskap bisnis. Begitu merek Anda meraksasa, maka

    otomatis publik akan menyoroti, bahkan publik merasa ‘memiliki’ merek Anda. Jadi,agak sukar bagi masyarakat untuk toleran sekiranya merek-merek sekaliber Astra, Sinar

    Mas, dan Podomoro melakoni kesilapan. Sedangkan merek kemarin sore? Ah, who cares! 

    Manfaat yang berikutnya adalah positifnya citra. Sejenak, berhentilah membaca dan

     perhatikanlah anak kecil. Menyenangkan? Yah, begitulah. Bahkan Hitler dan Firaun puntampak menggemaskan sewaktu kecil. Lucu. Tetapi, coba tengok beberapa tahun lagi.

    Saat si anak beranjak remaja apalagi dewasa, maka ia kelihatan sudah tidak lucu lagi.

    Bahkan terkadang ia kelihatan menjengkelkan, sehingga orang-orang ingin melabraknya.

    Serupa dengan bisnis. Tidak jarang merek-merek kelas kakap dituding kolonialis,

    kapitalis, monopolis, hedonis, wah, pokoknya macam-macam. Cerita punya cerita,

    setidak-tidaknya Nike, McDonald’s, Windows dan Louis Vuitton sempat mengalaminya.

    Sebaliknya, merek-merek kelas teri tidak akan pernah dikecam seperti itu.

    Manfaat yang keempat adalah teredamnya persaingan. Siapa sih yang mau melirik dan

    sirik kepada merek anak bawang? Ndak  ada ‘kan? Lain halnya kalau merek Anda sudahmentereng. Mata kompetitor akan melotot kepada Anda dan mereka akan memutar akal

    siang-malam untuk menjatuhkan Anda. Sungguh, saya tidak melebih-lebihkan.

    Tidak kepalang tanggungnya daya juang adalah manfaat yang kelima. Merek-merek yangminor dan bisnis-bisnis yang kecil biasanya lebih tahu diri. Mereka akan berupaya

    sekeras dan sekreatif mungkin agar tidak terlindas oleh merek-merek yang superior.

    Pantas saja rental mobil nomor dua di Amerika, Avis pernah mengaku, “We try harder. Because we are only number two.”

    Selain itu, bisnis yang kecil juga memungkinkan personal touch kepada setiap pelanggan.

    Kalau bisnis besar? Yah, rada repot. Adapun manfaat yang terakhir adalah terhindarnyadari kesombongan. Lha, apa yang mau dia sombongkan? Wong bisnisnya masih kecil.

    Kalau dia masih sombong juga, itu sih kebangetan. Malaikat bisa geleng-geleng kepala.

    Maka, tidak muluk-muluk rasanya apabila ungkapan ‘small is beautiful’ jamak dijumpaidi mana-mana. Begitulah, kecil itu indah. Ya, iyalah! Malah ada yang bersikukuh bahwa

    masa kecil itu adalah masa yang paling indah. Jadi, ketika Anda berbisnis, nikmati sajamasa kecil Anda.

     Namun demikian, jangan salah kaprah, ya! Ini semua kudu diiringi dengan upaya-upayauntuk menjadi besar. Sebab itulah, sepanjang hayat saya tidak pernah sreg dengan istilah

    UKM alias Usaha Kecil dan Menengah. Kecil sih boleh, tetapi jangan mau dicap begitu.Kecil seumur-umur, baru tahu rasa! Cukuplah istilah UKM itu berputar di kalangan

     perbankan dan pemerintahan saja. Bilamana bisnis Anda masih kecil, sebut saja BBB

    alias Bisnis Bakal Besar atau Be a Big Brand . Nah, itu ‘kan lebih memberdayakan!

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    19/33

     

    Aturan 6

    Perkuat Barisan Internal 

    Sebuah bisnis tak ubahnya seperti helikopter.

    Mengudaralah setelah memeriksa mesinnya

    terlebih dahulu. Dengan kata lain,

    perkuatlah barisan internal,

    sebelum Anda mengurusi pemasaran.Apa akibatnya apabila aturan ini ditabrak?

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    20/33

    Perkuat Barisan Internal

    Sewaktu berusia 18 tahun, Miss C sudah menoreh sederet prestasi di Kanada. Obsesinya,ingin menjadi penyanyi kelas dunia. Hal ini diketahui oleh manajernya. Tapi, walau

     bagaimanapun hebatnya ia menarik suara, manajernya paham betul bahwa ia masih

    menyandang setumpuk kekurangan, terutama ketidakmampuannya berbahasa Inggris.Maka, mulai saat itu, batang hidungnya tidak pernah lagi kelihatan di depan publik. Oleh

    manajernya, ia dipaksa mengikuti kursus bahasa Inggris di Ecole Berlitz School, sembari

    mengasah skil berbicara di muka umum.

    Serupa dengan Miss A yang berasal dari Indonesia. Sewaktu merantau ke Perancis,sebagai penyanyi ia terbentur satu masalah besar. Kebanyakan demo yang ia serahkan ke

     perusahaan rekaman langsung dicampakkan hanya karena demonya berbahasa Inggris.

    Menurut perusahaan rekaman, album berbahasa Inggris tidak pernah laku di pasarPerancis. Maka tanpa membuang-buang waktu, ia pun coba menguasai bahasa Prancis,dengan belajar di Alliance Français Paris selama beberapa tahun.

    Ternyata, tetesan keringat Miss C dan Miss A tidaklah sia-sia. Pada tahun 2004, dengantotal penjualan album mencapai angka 175 juta keping, Miss C menjadi salah satu

     pengolah vokal terkaya di dunia. Sementara itu, Miss A selain menjadi penembang

    Indonesia tersukses di tingkat internasional, ia juga terpilih sebagai juru bicara bagiUNICEF sekaligus endorser bagi Audemars Piguet, sebuah arloji mewah asal Swiss.

    Miss C itu adalah Céline Dion dan Miss A itu adalah Anggun C. Sasmi. Apa persamaan

    keduanya? Mereka memperkuat dulu aspek internal, sebelum aspek eksternal.

    Secara umum, aktivitas perusahaan dibedakan menjadi dua, internal dan eksternal. Di

    mana SDM, administrasi, keuangan, purchasing dan produksi dikategorikan sebagaifungsi internal, yang sangat mengandalkan efficiency. Sedangkan pemasaran, distribusi,

    dan business development  dikategorikan sebagai fungsi eksternal, yang sangat

    mengandalkan effectiveness.

    Yah, walaupun berdasarkan pengalaman saya, sebenarnya bidang-bidang tadi tidak bisa

    dikotak-kotakkan sesederhana itu. Saling terkait semuanya. Terus, di mana branding? Ya,tepat sekali! Branding –yang sering dihubungkan dengan pemasaran– dianggap sebagai

    fungsi yang bersifat eksternal.

     Nah, satu aturan yang ingin saya kemukakan di sini adalah, “Jangan aktifkan pemasaran

    serta fungsi-fungsi eksternal yang terkait, sebelum fungsi-fungsi internal beres.” Tidak

     jadi soal, apakah bisnis Anda masih kecil atau sudah besar. Bagi saya, bisnis tidakubahnya seperti helikopter. Anda pernah naik helikopter? Yang jelas, begini ceritanya.

    Sebelum helikopter mengudara, Anda kudu memeriksa mesinnya terlebih dahulu. Kalau

    tidak? Anda bisa celaka! Seterusnya, begitu lepas landas, Anda juga harus mampumengendalikannya. Kalau tidak? Yah, Anda tahu sendiri jawabannya.

    Coba bayangkan! Anda beriklan segencar-gencarnya. Anda janjikan offering setinggi-tingginya. Anda kirim salesforce sebanyak-banyaknya. Anda undang konsumen seramai-

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    21/33

    ramainya. Anda lambungkan demand  setinggi-tingginya. Sekilas, semua kesibukantersebut bernilai positif  terhadap bisnis Anda. Memang begitulah adanya.

    Tetapi –jangan salah!– itu semua dapat menjelma menjadi blunder atau bumerang,seandainya fungsi-fungsi internal Anda bermasalah. Misal, pelayan kurang sigap. Bahan

     baku habis. Mesin ngadat . Akhirnya? Duh! Konsumen bisa menggelegak amarahnya

    karena tidak memperoleh produk atau layanan yang sudah Anda gembar-gemborkan. 

    Tidak bosan-bosannya saya sampaikan, aksi pemasaran yang lupa di-back-up dengan

    fungsi-fungsi internal dapat mengakibatkan bencana! Konsumen yang mengamuk –kalau

     bukan bencana, lantas apa namanya? Ayo jawab, apa namanya? Saya pernahmenyaksikan fenomena di atas pada sebuah pusat perbelanjaan. Sekali waktu, pihak

    manajemen sengaja memboyong artis agar dapat menyedot massa. Padahal mereka sama

    sekali tidak siap, terutama dari segi operasional seperti parkir, AC dan tenant . Minta

    ampun deh!

    Bagi saya, itu tindakan yang luar biasa konyolnya. Memang, untuk satu atau dua hari, jumpa artis tersebut berhasil meramaikan suasana. Namun, beberapa hari kemudian – 

    terbukti– pusat perbelanjaan tersebut kembali sepi, bahkan sekarat. Pihak manajemen

    tidak sadar, apa yang mereka perbuat hanyalah menggiring pengunjung seramai-ramainyauntuk melihat berbagai ketidaksiapan di tempat mereka.

    Ada dua ungkapan yang apik dan menarik untuk kejadian ini. Pertama, berkenalanlahsetelah Anda berpakaian rapi. Kedua, jangan mengundang, apabila Anda belum bersedia

    menyambut. Rasanya, kedua ungkapan itu pas dan pantas sekali.

    Sebagai penutup, saya ingatkan Anda dengan salah satu situs ritel di Indonesia. Mereka

    sih maunya meniru amazon.com. Sayangnya, supply chain mereka keteteran. Walhasil, ending ceritanya tidak jauh berbeda dengan cerita pusat perbelanjaan di atas. Bubar jalan!

    Sekali lagi, perkuatlah barisan internal, sebelum Anda mengurusi pemasaran dan pernak-

     pernik eksternal yang terkait. Bukannya saya cerewet, tetapi tolong pegang aturan Fresh Marketing yang satu ini! 

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    22/33

     

    Aturan 7

    Tebarlah Story for lory 

    Merek tidak melulu dibangun dengan iklan.

    Suatu ketika, merek sangat membutuhkan

    Story for Glory . Karena, secara alamiah

    manusia akan mendengar percakapan

    manusia di sekitarnya dan di situlahStory for Glory  bekerja.

    Tebarlah!

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    23/33

    Tebarlah

    Story for lory

     

    Mengapa sewaktu anak babi berjalan, kepalanya sering menunduk dan ia selalu menjauhdari keramaian? Mau tahu jawabannya? Ternyata, anak babi merasa minder. Pasalnya,

    induknya adalah babi. Ah, ada-ada saja. Yang jelas, mana boleh marketer  bersikap seperti

    itu? Sebaliknya, marketer  harus percaya diri dan suka akan keramaian. Nah, Story forGlory adalah salah satu caranya. Story for Glory, apa sih maksudnya?

     Nanti saya jelaskan. Sekarang, Anda amati dulu contoh-contohnya. Pada tahun 1995,

    Michael Jackson dan adiknya kandungnya Janet Jackson menghabiskan 7 juta dolar

    hanya untuk membikin video klip Scream – video klip termahal ketika itu. Pada tahun2001, produser Pearl Harbour  merogoh 5,5 juta dolar hanya untuk merekayasa ledakan

     berturut –ledakan berturut termahal ketika itu. Film Avengers 2 dan Furious 7 juga tak

     jauh berbeda.

    Apakah proyek-proyek di atas memang memerlukan dana yang sedemikian besar?

    Mungkin saja sih. Tetapi, satu hal yang pasti, proyek dengan embel-embel ‘termahal’

    seperti itu akan memicu sensasi, menggedor perhatian publik, menjadi buah bibir, dan pada akhirnya meroketkan  penjualan.

    Tidak jauh berbeda dengan Damon Albarn –vokalis Blur. Menjelang tahun 2000-an, ia

     bersama Jamie Hewlett menciptakan band virtual Gorillaz. Virtual? Terus, personilnya?Yah, ndak  ada. Yang ada hanyalah tokoh-tokoh kartun. Penasaran ‘kan? Masyarakat

    awam juga. Makanya, albumnya laris manis, 3 juta keping. Memang, penasaran itu

    identik dengan pemasaran. Untuk lebih jelasnya, silakan simak buku 10 Jurus Terlarang!

    Kok Masih Mau Bisnis Cara Biasa?

    Ternyata, kejadian seperti tadi bukan cuma mainan para selebriti. Marketer  pun tidak

    mau ketinggalan. Umpamanya, pada tahun 2000 Baskin-Robbins –perusahaan es krim

    ternama di dunia– sengaja menyusun 3.100 scoop es krim demi membangun piramidascoop es krim tertinggi di dunia. Akhirnya –seperti yang diduga sebelumnya– cerita

    mengenai piramida scoop es krim ala Baskin-Robbins ini pun menyebar.

    Cerita di balik merek (story) –disengaja atau tidak– mampu mendorong kesuksesan

    merek (glory). Inilah yang saya istilahkan dengan Story for Glory. Tentu saja, ceritatersebut mesti mengandung unsur-unsur yang tidak lazim. Misalnya, Body Shop

    menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. iPod mengusung konsep yang

    revolusioner. Begitu pula dengan SpongeBob, Empat Mata, dan Laskar Pelangi.Sehingga, khalayak plus media massa terpikat dan bersedia menceritakan merek Anda – 

    tanpa Anda minta, tanpa Anda bayar sekalipun. Keberadaan SMS, milis, blog, twitter, 

    dan sejenisnya menjadikan kobaran Story for Glory semakin menyala-nyala.

    Siapa yang tidak tertarik menceritakan sebuah klinik gigi yang bernuansa serba Star

    Trek? Itulah yang diterobos oleh Dr. Denis di Orlando. Siapa yang tidak tertarikmenceritakan seorang jutawan yang melintasi Samudera Atlantic dan Pasific dengan

     balon gas? Itulah yang dijajal oleh Richard Branson, pendiri kerajaan bisnis Virgin.

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    24/33

    Masih mau contoh lagi? Baiklah, baiklah. Siapa yang tidak tertarik menceritakan seorang pengusaha yang bisa menulis, menggambar kartun, memainkan piano, menciptakan lagu,

    membawakan acara, hingga mencetuskan MURI Award dan kelirumologi sekaligus?

    Itulah yang ditekuni oleh Jaya Suprana, presiden komisaris Jamu Jago.

    Jangan pernah memandang enteng Story for Glory! Zaman sekarang, Story for Glory bisa

     bergerak lebih mencolok dan lebih menohok ketimbang iklan. Tidak ada yang salah sih

    dengan iklan. Hanya saja, menurut Chris Fill, iklan tidak memiliki satu hal yang dimilikioleh Story for Glory. Apa itu? Kredibilitas. Siapa sih yang percaya janji-janji yangterpampang di iklan? Hei, saya serius nih!

    Sebaliknya, Story for Glory dinilai lebih dipercaya. Karena, secara alamiah, kita akanmendengarkan dan mempercayai omongan orang-orang di sekitar kita. Nah, di situlah

    Story for Glory bekerja! Anda boleh pegang kata-kata saya kali ini, “Merek tidak melulu

    dibangun dengan iklan.” Suatu saat, Anda membutuhkan Story for Glory. Inilah salahsatu aturan terpenting dalam Fresh Marketing. 

    Ada pula yang memanfaatkan Guinness World Record dan MURI Award sebagai ajang

    untuk melahirkan Story for Glory. Yah, boleh-boleh saja. Cuma, perhatikanlah tiga hal.Pertama, perkuat dulu barisan internal. Kedua, pastikan berdampak positif, bukan sekadar

     populer (popularity with positivity). Ketiga, jangan sampai keseringan. Publik bisa

    resisten. Itu saja. Sekian.

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    25/33

     

    Aturan 8

    Waspadai Pisau Bermata Dua 

    Di satu sisi, sales promotion  dapat membawa

    sejumlah manfaat. Namun di sisi lainnya,

    sales promotion  yang seradak-seruduk

    juga dapat mengundang malapetaka,

    terutama terhadap kekebalan merek. Waspadailah pisau bermata dua!

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    26/33

    Waspadai Pisau Bermata Dua

    Toyota –sebagai perusahaan mobil terbesar ketiga di dunia dari segi unit sales dan netsales – terkenal akan kelihaian dan kepiawaiannya menghasilkan 5,5 juta unit mobil di

    seluruh dunia. Hitung punya hitung, angka ini ekuivalen dengan produksi 1 unit mobil

    dalam 6 detik. Prestasi gemilang ini membuat seorang pejabat Indonesia terkagum-kagum. Apalagi ia ingin menghadirkan kembali mobil nasional di tanah air.

    Si pejabat pun melakukan studi banding dengan berkunjung ke pabrik Toyota di

    Jepang. Menimbang Indonesia adalah pasar yang besar dan posisi si pejabat yang amatmenentukan, maka CEO perusahaan tersebut berinisitif menghadiahkan sebuah mobil

    untuk si pejabat.

    Kata sang CEO, “Kami akan memberikan satu unit mobil terbaru kami kepadaBapak. Yah, hitung-hitung sebagai tanda persahabatan kedua negara. Mohon diterima.”

    Untunglah, si pejabat ini terjaga integritasnya. Dengan santun ia menjawab,

    “Wah, maaf beribu maaf. Saya tidak bisa menerimanya. Bukan apa-apa. Nanti saya bisa

    dianggap menerima suap.”Mendengar jawaban itu, sang CEO tercenung sejenak. Kemudian ia kembali

     berujar, “Kalau begitu, khusus kepada Bapak, mobil ini kami jual satu juta rupiah.

    Bagaimana? Bapak berkenan membelinya?”Giliran si pejabat yang terdiam. Setelah berpikir sesaat, lantas ia menyahut

    dengan suara pelan, “Hm, kalau begitu, saya beli sepuluh. Salah satunya Lexus, boleh

    ‘kan?”Sang CEO langsung melongo.

    Cerita di atas memang fiktif. Tapi yang jelas, potongan harga memang dapat menggoda

    ‘iman’. Dan marketer tahu betul soal itu. Maka, lahirlah seabrek iming-iming. Diskon 70

     persen! Super murah! Banting harga! Cuci gudang! Konsumen sendiri sudah tidak asingdengan potongan-potongan harga sedemikian. Sidang pembaca sekalian, inilah salah satu

     bentuk sales promotion. Jika iklan sering dikatakan sebagai alasan untuk membeli

    (reason to buy), maka sales promotion sering disebut-sebut sebagai insentif untukmembeli (incentive to buy).

    Saya maklum, di satu sisi sales promotion –berupa potongan harga, kupon dan hadiah–dapat memboyong sejumlah manfaat, katakanlah untuk mempercepat action dari

     pelanggan, serta menambah value kepada pelanggan dan distributor. Namun, itu tidak

    semudah yang Anda bayangkan. Di sisi lainnya, sales promotion yang tanpa arah juga

    dapat mengundang malapetaka. Persis seperti pisau bermata dua!

    Bacalah lagi kata-kata di atas. Diskon 70 persen! Super murah! Banting harga! Tidakkahgimmick  seperti itu membuat sebagian konsumen kesal? Tempatkanlah diri Anda sebagai

    konsumen, niscaya Anda akan merasakan kekesalan yang sama. Pasalnya? Pertama,

    konsumen ndak  dapat membedakan apakah itu DJ (baca: diskon jadi-jadian) atau diskonbeneran. Kedua, diskon tersebut menyadarkan konsumen bahwa selama ini marketer  

    telah mengeruk keuntungan yang berlebihan. Ketiga, dengan digelarnya diskon setiap

    saat, maka konsumen akan berpikir “Huh! Ini sih bukan diskon. Memang harganyasegitu.”

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    27/33

    Selanjutnya, sales promotion juga akan memangkas margin. Cukupkah sampai di situ?Tidak, tidak. Masih ada lagi, nih. Ternyata, setiap kali Anda ber-sales-promotion-ria,

    maka di waktu yang sama Anda juga mesti menyisihkan anggaran untuk mengiklankan

     program sales promotion tersebut kepada publik. Artinya –disukai atau tidak– Andaterpaksa tekor dua kali.

    Parahnya lagi –inilah yang paling saya takuti–  dalam jangka panjang sales promotion 

     juga bisa menggerogoti kekebalan merek (debranding). Ingatlah, obat hanya akan

     berfungsi bilamana digunakan sesekali dan sesuai dosis. Kalau kebanyakan? Jadilahracun yang paling jahat! Kalau keterusan? Ah, jangan ditanya. Anda sudah tahu jawabannya. Nah, sales promotion juga bekerja seperti itu. Tidak lebih, tidak kurang.

    Karena, sales promotion dalam wujud apapun –potongan harga, kupon atau hadiah–

    dapat mengikis kesetiaan pelanggan terhadap merek (brand loyalty). Hm, maksudnya?Jangan kuatir, saya akan menjelaskannya.

    Amatilah hubungan orangtua dan anak, lelaki dan wanita, pemimpin dan pengikut.Cobalah iming-imingi dan manjakan salah satunya dengan uang. Terus, apa jadinya? Tak

    diragukan lagi, komitmen si anak bisa beralih pada uang, bukan lagi pada orangtua.

    Kesetiaan si wanita bisa beralih pada uang, bukan lagi pada si lelaki. Loyalitas si

     pengikut bisa beralih pada uang, bukan lagi pada si pemimpin.

    Kendati uang mutlak Anda perlukan untuk memelihara hubungan, namun apabila Anda

    hanya mengandalkan uang untuk menjaga hubungan, maka itu akan berakibat buruk.Sangat buruk! Tidak terkecuali dalam pemasaran! Dalam jangka panjang, kesetiaan

     pelanggan bisa melenceng pada insentif, bukan lagi pada merek. Duh, jangan sampai

    deh!

    Yakinlah, ujung-ujungnya hoki akan menyambar marketer  yang mengembangkan merek,

     bukan pada marketer  yang menghambur-hamburkan insentif atau membanting-banting

    harga. Terakhir, boleh dicatat, sekali waktu barangkali sales promotion memangdibutuhkan. Saya tidak menyangkalnya. Tetapi –mohon maaf– sepengetahuan saya tidak

    satupun merek berharga di muka bumi ini dibesarkan semata-mata dengan sales

     promotion.

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    28/33

     

    Aturan 9

    Abaikan Mitos Kualitas

    Kualitas adalah kualitas.

    Penjualan adalah hal yang lain.

    Terkadang, hampir-hampir tidak ada

    hubungan di antara keduanya.

    Mengapa bisa begitu? Karena,terdapat dua jenis kualitas.

    Berhati-hatilah!

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    29/33

    Abaikan Mitos Kualitas

    Peserta training saya di berbagai kota sering kaget ketika saya mengulas aturan Fresh

     Marketing yang satu ini, “Kualitas adalah kualitas. Penjualan adalah hal yang lain. Kadangkala, hampir-hampir tidak ada hubungan di antara keduanya.” Selama ini, baik marketer  

    maupun konsumen awam percaya sepenuhnya bahwa merek yang berkualitas akan laku di

     pasaran. Begitu? Ah, jangan terburu-buru mengangguk! Pendapat itu belum tentu benar.

    Akhir tahun 90-an, sebuah lembaga survey di Negeri Paman Sam coba meneliti dan

    memeringkat 16 jenis mobil kecil dari segi kualitasnya. Hasilnya, Volkswagen Jetta keluardi urutan pertama. Urutan kedua dan ketiga ditempati oleh Acura Integra dan Volkswagen

    Golf. Artinya, hasil survey ini menobatkan Jetta, Integra dan Golf sebagai tiga mobil kecil

    yang paling berkualitas.

    Orang-orang kontan meramalkan Jetta, Integra dan Golf otomatis mencetak sukses aliaslaku keras di pasaran. Gampang dipahami, konsumen menyukai dan hanya membeli

    merek-merek yang berkualitas. Benarkah demikian?

    Sejarah mencatat, ternyata mobil kecil yang paling laris pada tahun itu adalah Ford Escort.

    Bukan Jetta, Integra ataupun Golf. Padahal Escort berada di urutan ke-11 dari segi

    kualitas. Lantas bagaimana dengan prestasi penjualan mobil-mobil yang kononnya paling berkualitas -Jetta, Integra dan Golf? Masing-masing hanya menduduki posisi 12, 9 dan 16.

    Jika survey ini terus dikupas, maka mencuatlah data sebagai berikut:

    Urutan Kualitas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

    Urutan Penjualan 12 9 16 5 7 2 3 4 15 6 1 11 8 10 13 15

    Selidik punya selidik, hampir tidak ada korelasi antara tingkat kualitas dengan skor

     penjualan. Heran? Seharusnya tidak. Nah, apa yang salah dengan survey di atas? Ndak  adayang salah, kecuali Anda sebagai marketer harus menyadari terdapat dua jenis kualitas,

    yaitu kualitas aktual (actual quality) dan kesan kualitas (perceived quality).

    Omong-omong, apa itu kesan kualitas (perceived quality)? Memenggal definisi Valarie

    Zeithaml dalam satu karya ilmiahnya, kesan kualitas adalah persepsi konsumen terhadaptotalitas mutu dan keunggulan merek. Inilah faktanya. Untuk memenangkan pasar,

    kualitas aktual semata tidaklah cukup. Perlu sih perlu. Tetapi, tidak cukup. Tidak bisa

    tidak, Anda harus merekayasa kesan kualitas (perception engineering).

    Jika kualitas aktual adalah realita, maka kesan kualitas adalah persepsi. Realita versus

     persepsi. Manakah yang lebih penting? Hei, jangan lupa, di benak konsumen persepsi itu

    sendiri adalah realita. Di pikiran konsumen, pastilah mobil Escort dikesan atau dipersepsi jauh lebih baik, sehingga akhirnya mobil ini dipilih. Hal sebaliknya terjadi pada mobil

    Jetta, Integra dan Golf. Boleh jadi mereka menang dari segi kualitas aktual, namun mereka

    kalah dari segi kesan kualitas.

    Tidak salah kalau David Aaker dalam Managing Brand Equity berpetuah, “Kesan kualitas

     berpengaruh langsung terhadap keputusan pembelian dan loyalitas merek, apalagi kalau

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    30/33

     pembeli tidak termotivasi atau tidak sanggup menganalisia secara detail.” Bahkan, di The

    PIMS Principle Robert Buzell dan Bradley Gale menegaskan, ”Dalam jangka panjang,

    faktor tunggal yang paling menentukan kinerja bisnis adalah kesan kualitas merek itu

    sendiri.”

     Nah, pahamilah! Konsumen hanya peduli dengan kesan kualitas atau kualitas yang

    dipersepsi. Jangan konsumen yang divonis bersalah! Tentu, konsumen lebih percaya pada pikirannya sendiri ketimbang realita yang dia nggak  pernah tahu. Kualitas dalam arti yang

    sesungguhnya, siapa sih yang tahu? Barangkali hanya manajer produksi yang tahu.

    Oleh karena itu, agar diterima di marketplace, teroboslah mindplace terlebih dahulu.

    Pantas saja selama hampir 30 tahun Al Ries bersikukuh, “ I believe that marketing is about

    building brands in the minds of consumers.” Itulah jawaban pamungkas Al Ries sewaktusaya tanya dia mengenai esensi pemasaran beberapa waktu yang lalu. Untuk melengkapi,

    tidak ada salahnya Anda baca buku 10 Jurus Terlarang!

    Umpamanya, dari segi rasa, McDonald’s dan Coca-Cola mungkin tidak senikmat Burger

    King dan Pepsi. Di negeri Barat, riset dengan sahih membuktikan Burger King dan Pepsi

    lebih enak. Tak ayal lagi, untuk kualitas aktual, Burger King dan Pepsi berada satulangkah di depan.

    Akan tetapi, apakah itu menjadi jaminan bagi mereka untuk menjadi market leader ? Nyatanya, fastfood  dan softdrink  yang paling digandrungi di dunia adalah McD dan Coke,

    karena mereka lebih mahir me-manage kesan kualitas ketimbang pesaing-pesaingnya.

    Memang, tidak di semua negara McD memenangkan kesan kualitas. Di Filipina, saya

    melihat McD gagal menaklukkan Jubilee.

    Well, saya percaya, segenap karyawan di perusahaan Anda tengah bergerak mengincarkualitas aktual yang sempurna. Teruskanlah! Namun di saat yang sama wajibkanlah

    mereka mengimbanginya dengan kesan kualitas yang prima. Inilah yang saya namakan

    dengan mengelola kualitas dalam persepsi konsumen. Sebut saja Perceived Quality Management . Orang-orang operasional selama ini hanya berkutat dengan Total Quality

     Management . 

    Saran saya yang terakhir, setiap kali Anda berkeringat mengembangkan kualitas aktual,

     pastikan konsumen Anda mengetahui jerih-payah tersebut. Pasalnya, adalah sia-sia belaka

     bila merek Anda berkualitas nomor wahid, tetapi konsumen tidak pernah menyadarinya.Setuju? Haruslah!

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    31/33

     

    Aturan 10

    Bergeraklah seperti

    W heel Drive 

    Selain sisi rasional dan emosional,

    manusia juga dikarunai dua sisi yang lain.

    Inilah yang luput dari perhatian marketer .

    Hendaklah sebuah merek mengerahkan

    dan mengarahkan daya tariknya pada

    empat sisi itu secara simultan.

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    32/33

     

    Bergeraklah seperti

    Wheel D rive

     

    Seorang gadis manis duduk sendiri di sebuah kafe yang ramai. Lantas, datanglah

    seorang pria menghampirinya.Dengan ramahnya si pria menegur, “Hai, saya traktir minum ya?”

    Ditanya begitu, tiba-tiba saja si gadis menjerit, “Apa? Ke hotel?”

    Si pria kontan gelagapan, “Bukan, bukan. Jangan salah paham. Saya cumamengajak Anda minum bareng.”

    Kembali si gadis menjerit, “Ke hotel? Huh, dasar laki-laki tidak tahu malu!”

    Terang saja jeritan si gadis yang berulang kali itu memancing perhatian banyakorang. Puluhan mata pun menatap si pria seolah-olah menyalahkan. Merasa malu

    dianggap lelaki hidung belang, akhirnya ia duduk menjauh dari si gadis. Selang beberapa

    menit, si gadis beringsut mendekati si pria.

    Dengan wajah penuh penyesalan, si gadis mengungkapkan, “Maafkan saya.Sebenarnya saya sedang menyamar. Aslinya, saya mahasiswi psikologi yang tengah

    mempelajari pengendalian emosi manusia di tengah situasi yang tidak diharapkan.”

    Mendengar penjelasan tersebut, si pria pun teringin untuk membalas dendam.Lalu, dengan lantangnya ia membentak, “Apa? Satu juta semalam?”

    Giliran si gadis yang gugup. Detik itu juga, puluhan mata menyorot ke arahnya.

    Memang, sisi emosional selalu menarik untuk diperbincangkan. Tidak akan adahabis-habisnya. Selama sekian tahun terakhir, secara intens saya diundang sebagai trainer  

    di beberapa kota-kota besar di tanah air. Menariknya, pada kesempatan-kesempatan itu

    sering saya mengupas sisi emosional dalam pemasaran.

    Hermawan Kartajaya sebagai marketing guru pernah menitipkan satu pesan,“Jangan abaikan sisi emosional konsumen.” Setiap kali saya melihat realita bisnis di

    lapangan, sepertinya saya kok makin yakin akan kebenaran statement  tersebut.

    Katakanlah, Anda adalah marketer untuk sebuah perumahan. Jelas-jelas tidakmemadai jika Anda cuma bermain di kutub rasional. Misalnya, Anda hanya

    mengandalkan harga per meter sebagai nilai jual. Ketahuilah, kutub emosional juga patut

    dieksplorasi. Contohnya, Anda menitikberatkan lokasi yang bergengsi, desain yangotentik, atau lingkungan yang asri. Biasanya, itu malah lebih ‘mengena’.

    Seterusnya untuk memasarkan mobil, apa yang harus Anda lakukan? Kok masih

    tanya? Yah, kurang-lebih sama saja. Dari segi rasional, tonjolkanlah fitur, harga jual, cara

     bayar dan layanan purna jual. Sedangkan dari segi emosional, kekuatan merek danreputasi perusahaan boleh diagul-agulkan. Pokoknya, aturan aveda-godiva atau rasional-

    emosional ini berlaku untuk hampir semua produk.

    Well, cukupkah sampai di situ? Ternyata, nggak  juga! Jangan lupa, manusia

    adalah makhluk yang sangat kompleks. Selain sisi rasional dan emosional, manusia jugadikarunai sisi spiritual dan physical. Kenyataan ini sering luput dari perhatian marketer .

    Oleh karena itu, idealnya sebuah merek mampu mengerahkan dan mengarahkan daya

    tariknya pada empat sisi tersebut –rasional, emosional, spiritual dan physical – secarasimultan. Inilah yang saya maksud dengan bergerak seperti 4-wheel-drive.

  • 8/16/2019 Fresh Marketing-Ippho Santosa

    33/33

      Sekarang, mari kita cermati ranah spiritual konsumen. Apa yang ingin sayagarisbawahi di sini adalah brand appeals hendaklah selaras dengan nilai-nilai vertikal

    yang dianut konsumen. Harus itu! Kalau kebablasan, yah bisa jadi blunder atau bumerang

     bagi marketer . Mau contoh? Pusat hiburan layaknya karaoke, massage dan fitness  barangkali cocok dengan dimensi rasional dan emosional konsumen pada umumnya.

    Sayangnya, citra tempat ini sedikit berbenturan dengan keyakinan sebagian

    konsumen. Menyerahkah marketer ? Untunglah, ada marketer  yang jeli. Mereka cobamengetengahkan karaoke keluarga, pijat suami-istri, dan fitness khusus wanita. Walhasil,

    konsumen yang dulunya resisten, kini malah berbondong-bondong ke tempat-tempat

    seperti itu. Fenomena ini juga saya bahas di buku 10 Jurus Terlarang!

    Terakhir, mari kita intip medan physical. Bahasa gampangnya adalah kenyamanan

    inderawi. Artinya, merek Anda mesti sanggup menembakkan stimulus-stimulus

    nonverbal yang memuaskan, baik stimulus yang dilihat (visual), didengar (auditory),

    dirasakan (kinesthetic), dikecap (gustatory), maupun dibaui (olfactory) oleh konsumen.Sejenak, kita ikuti dulu cerita berikut ini.

    Suatu ketika, seorang kakek mengeluh kepada cucunya, “Ah, film-film zamansekarang, kok jelek-jelek ya?”

    Si cucu paham bahwa film-film tersebut tidaklah jelek. Persoalan utamanya justru

    terletak pada si kakek itu sendiri. Maka, ia pun menjawab, “Jangan khawatir, Kek. Nanticucu akan pinjam VCD Mr. Bean dan Charlie Chaplin. Kakek pasti suka deh!”

    Tukas si kakek, “Huh, tahu dari mana kakek bakal suka?”

    Sahut cucunya, “Ya, pastilah. Karena kakek bisa mengikuti ceritanya tanpa perlumembaca teks dan mendengarkan dialognya.” Rupa-rupanya, indera penglihatan dan

     pendengaran si kakek sudah tidak terlalu berfungsi. Hehehe.

    Berbeda dengan si kakek, orang kebanyakan harus diladeni kelima inderanya.Umpamanya, demi memanjakan indera sentuhan dan indera pendengaran para

     pengunjung, manajemen mal sengaja memasang AC dan musik. Demi memanjakanindera penglihatan pembeli, pengelola taman bacaan tidak pernah main-main dengan

    display buku (Amati saja toko buku Gramedia). Demi memanjakan indera penciuman

     pelanggan, pemilik restoran membiarkan aroma masakan menyeruak ke mana-mana.Demi memanjakan indera penglihatan dan indera pendengaran penonton, si artis

    senantiasa all out  dengan tata suara dan tata lampu.

    Pahamilah, merek apapun sebenarnya dapat bergerak seperti 4-wheel-drive, dalam

    artian keempat sisi –rasional, emosional, spiritual dan physical – konsumen diakomodir

    sekaligus. Begitulah pemasaran. Kadang ribet dan njelimet . Iya ‘kan?