ABSTRAK Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan aktifitas berbagai bidang khususnya dibidang hukum, sosial, ekonomi berkembang dengan pesat. Dokumen elektronik yang telah ditandatangani dengan tanda tangan elektronik, mempunyai pembuktian yang sama dengan akta autentik yang dibuat oleh pejabat umum, setelah disahkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berikut peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik. Terkait transaksi yang dilakukan secara Elektronik yang menjadi salah satu kewenangan lain notaris yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak secara jelas menyebutkan terkait mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik, sehingga ada kekaburan norma dalam pasal tersebut, para notaris berpendapat dokumen elektronik yang ditandatangani dengan tanda tangan elektronik terhadap transaksi elektronik hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan, karena tidak memenuhi syarat sebagai akta autentik, hal ini berpengaruh terhadap pelayanan jasa notaris didalam membuat Akta. Dari hal tersebut diatas dirumuskan permasalahan Mengapa Notaris dapat menjadi pihak ketiga terpercaya dalam menjamin keautentikan terhadap transaksi elektronik. Bagaimanakah reformulasi hukum agar notaris sebagai pejabat umum dapat menjalankan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya dalam transaksi perdagangan secara elektronik. Penelitian disertasi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada bahan hukum sekunder, Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah Pendekatan Undang-undang (statute approach), Pendekatan historis (Historical approach), Pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perbandiangan hukum ( Comparative approach) permasalahan dikaji dengan mempergunakan intepretasi hukum, serta diberikan argumentasi berdasarkan teori-teori hukum yang ada. Hasil penelitian menunjukan bahwa notaris dapat menjadi pihak ketiga terpercaya dalam menjamin keautentikan terhadap transaksi elektronik berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris sebagai pejabat umum yang mengemban amanat kepercayaan publik, Reformulasi hukum agar notaris dapat menjalankan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya dalam transaksi perdagangan secara elektronik dengan merubah bunyi Penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Jabatan Notaris bahwa “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cybernotary), menjadi “kewenangan sebagai pihak ketiga terpercaya menguatkan transaksi yang dilakukan secara elektronik”. Kata Kunci : Notaris, Pihak Ketiga Terpercaya, Transaksi Elektronik, Perdagangan Secara Elektronik. ABSTRACT The development of information technology has led to the activities of various fields,
43
Embed
ABSTRAK - Universitas Udayana...dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan” dengan penjelasan bahwa yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ABSTRAK
Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan aktifitas berbagai bidang
khususnya dibidang hukum, sosial, ekonomi berkembang dengan pesat. Dokumen elektronik
yang telah ditandatangani dengan tanda tangan elektronik, mempunyai pembuktian yang sama
dengan akta autentik yang dibuat oleh pejabat umum, setelah disahkan Undang-undang Nomor
19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik berikut peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012
tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik. Terkait transaksi yang dilakukan
secara Elektronik yang menjadi salah satu kewenangan lain notaris yang disebutkan dalam
Penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak secara jelas menyebutkan terkait
mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik, sehingga ada kekaburan norma dalam
pasal tersebut, para notaris berpendapat dokumen elektronik yang ditandatangani dengan tanda
tangan elektronik terhadap transaksi elektronik hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah
tangan, karena tidak memenuhi syarat sebagai akta autentik, hal ini berpengaruh terhadap
pelayanan jasa notaris didalam membuat Akta. Dari hal tersebut diatas dirumuskan permasalahan
Mengapa Notaris dapat menjadi pihak ketiga terpercaya dalam menjamin keautentikan terhadap
transaksi elektronik. Bagaimanakah reformulasi hukum agar notaris sebagai pejabat umum dapat
menjalankan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya dalam transaksi perdagangan secara
elektronik.
Penelitian disertasi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada bahan hukum sekunder,
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah Pendekatan Undang-undang (statute
Dengan Fungsi Hash Berbasis Lattice Pada Notaris Digital, Jurnal UPN Veteran, Yogyakarta, h. 317.
memeratakan pendapatan, serta memperkuat daya saing Produk Dalam Negeri demi kepentingan
nasional.
Adanya perubahan zaman menembus digital maka revolusi perdagangan yang awalnya
bertatap menjadi (konvensional) menjadi pertukaran informasi (digital) dengan media internet
dengan jaringan komputer. UNCITRAL merupakan Komisi PBB yang dibentuk oleh Majelis
Umum (General Assembly) pada tanggal 17 Desember 1966 melalui Resolusi 2205 (XXI).
Tujuannya untuk melakukan harmonisasi dan unifikasi aturan dalam rangka memperlancar
perdagangan internasional, antara lain dengan cara mengurangi berbagai hambatan (obstacles)
dan kesenjangan peraturan (disparities) di masing-masing negara anggota PBB. Dalam
perjalanannya UNCITRAL berkembang menjadi legal body PBB yang berwenang menangani
berbagai isu terkait perdagangan internasional. UNCITRAL adalah badan PBB yang mengkaji
pembaharuan hukum dagang internasional. UNCITRAL merupakan salah satu organisasi
internasional yang pertama kali mulai membahas mengenai perkembangan teknologi informasi
dan dampaknya terhadap perniagaan elektronik dalam lingkup hukum perdagangan internasional.
Hasil dari UNCITRAL berupa model law yang sifatnya tidak mengikat, namun menjadi acuan
atau model bagi negara-negara untuk mengadopsi atau memberlakukannya dalam hukum
nasional.
Seiring perkembangan dunia digital maka pada tahun 1996 UNCITRAL membentuk
suatu aturan dengan judul UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to
Enactment 1996 dengan tujuan hukum ini mengacu pada 6 (enam) aspek yaitu:
1. Data message, a means information generated, sent, received or stored by electronic,
optical or similar means including, but not limited to, electronic data interchange
(EDI), electronic mail, telegram, telex or telecopy;
2. Electronic data interchange (EDI), a means the electronic transfer from computer to
computer of information using an agreed standard to structure the information;
3. Originator, of a data message means a person by whom, or on whose behalf, the
data message purports to have been sent or generated prior to storage, if any, but it
does not include a person acting as an intermediary with respect to that data
message;
4. Addressee, of a data message means a person who is intended by the originator to
receive the data message, but does not include a person acting as an intermediary
with respect to that data message;
5. Intermediary, with respect to a particular data message, means a person who, on
behalf of another person, sends, receives or stores that data message or provides
other services with respect to that data message;
6. Information system, means a system for generating, sending, receiving, storing or
otherwise processing data messages.
Instrumen Model Law on Electronic Commerce didukung kembali dengan adanya
Model Law on Electronic Signatures, pada tahun 2001 dengan tujuan:
“One of the main benefits to be drawn from focusing on PKI (Public Key Infrastructure)
issues was to facilitate the structuring of the Model Law by reference to three functions (or
roles) with respect to electronic signatures, namely, the signatory function, the
certification function and the relying function. Two of those functions are common to all
PKI (Public Key Infrastructure) models (i.e. creating and relying on an electronic
signature). The third function is involved in many PKI (Public Key Infrastructure)models
(i.e. certifying an electronic signature). Those three functions should be dealt with
irrespective of whether they are in fact served by three or more separate entities (e.g.
where various aspects of the certification function are shared between different entities), or
whether two of those functions are served by the same person (e.g. where the certification
service provider is also a relying party). Focusing on the functions performed in a PKI
environment and not on any specific model also makes it easier to develop a fully media-
neutral rule to the extent that similar functions are served in non PKI electronic signature
technology”.
Sejalan antara Model Law on Electronic Commerce dengan Model Law on Electronic Signatures
memberikan manfaat utama pada PKI (Public Key Infrastructure) dalam hal penataan Electronic
Commerce dengan mengacu pada tiga fungsi (atau peran) sehubungan dengan tanda tangan
elektronik, yaitu,
1). fungsi penandatangan, 2). fungsi sertifikasi dan 3). fungsi yang mengandalkan. Dua fungsi-
fungsi tersebut adalah umum untuk semua model PKI (yaitu membuat dan mengandalkan pada
tanda tangan elektronik). Fungsi ketiga terlibat dalam banyak PKI model (yaitu mensertifikasi
tanda tangan elektronik). Tiga fungsi itu seharusnya ditangani terlepas dari apakah mereka
sebenarnya dilayani oleh tiga atau entitas yang lebih terpisah (misalnya di mana berbagai aspek
fungsi sertifikasi dibagi antara entitas yang berbeda), atau apakah dua fungsi tersebut
dilayani oleh orang yang sama (misalnya di mana penyedia layanan sertifikasi
juga merupakan pihak yang mengandalkan). Berfokus pada fungsi yang dilakukan dalam lingkup
PKI (Public Key Infrastructure) dan bukan pada model tertentu seakan membuatnya lebih mudah
untuk mengembangkan sepenuhnya fungsi-fungsi serupa disajikan dalam tanda tangan elektronik
PKI, dalam melaksanakan kegiatan perdagangan secara elektronik, terdapat potensi besar
terjadinya perselisihan, bahkan sengketa. Terkait dengan adanya penyelesaian sengketa, yang
terdapat dalam Dispute Settlement Understanding (DSU) yang dimana daya ikat suatu
perdagangan bebas adalah suatu perjanjian yang terintegrasi yang sering disebut dengan Covered
Agreement3. Salah satu penunjang Covered Agreement dalam upaya pencegahan terjadinya
perselisihan atau sengketa diperlukannya suatu lembaga independent yang bebas dan sebagai
pihak ketiga terpercaya dalam menunjang kemajuan teknologi informasi yaitu Notaris.
Notaris sebagai pihak ketiga terpercaya dalam era digital teknologi informasi bisa
disebut sebagai cyber notary, yang dikemukakan dalam United Nation Commission on
International Trade Law (UNCITRAL). Perkembangan notaris dalam UNCITRAL telah
menggulirkan Model Law on E-Commerce pada tahun 1996, Model Law on E-Signatures pada
tahun 2001, United Convention on the Use of Ecommunication in International Contracts pada
tahun 2005, dan kajian tentang Promoting Confidence in E-Commerce: Legal Issues on
3Yati Marlinawati, 2014, Menindaklanjuti Paket Bali: Titik Terang Yang Jangan Sampai Meredup Kembali,
Jurnal Dirjen Multilateral Kementerian Luar Negeri, Volume III, No. 2., h. 3
International Use of Electronic Authentication and Signature Methods pada tahun 20094. Kajian
tersebut mengemukakan pentingnya harrnonisasi untuk menye1esaikan isu metode otentikasi
secara global agar tercipta suatu kepercayaan dalarn perdagangan berbasis Internasional secara
elektronik (e-commerce). Kajian tersebut menyinggung peranan notaris publik dalarn mencapai
efektifitas e-commerce dan memperlihatkan pentingnya notaris dalam perdagangan.
Maka dari itu UNCITRAL dalam kajiannya berupa Promoting Confidence in E-
Commerce: Legal Issues on International Use of Electronic Authentication and Signature
Methods sebagai langkah awal dalam menjamin transaksi elektronik. Dalam penjaminan
transaksi elektronik notaris harus memiliki inkredibiltas yang tinggi dan memiliki kebebasan
tanpa adanya terikat dalam pembuatan perjanjian atau akta yang dibuatnya memiliki legitimasi
hukum.
Secara filosofis mengenai suatu akta dalam pendekatan secara historis dapat dimaknai
tiga hal:
1. Writing;
Writing dimaknai sebuah akta tersebut dapat ditulis dan dibaca mengenai unsur unsur apa
yang terkandung dalam suatu akta tersebut.
2. Sign;
Sign dimaknai sebuah akta adalah sebagai pemaknaan akan identitas dalam pembuatan
akta dan sebagai simbol adanya persetujuan mengenai pembuatan akta tersebut.
3. Original;
4Edmon Makarim, 2011, Modernisasi Hukum Notaris Masa Depan: Kajian Hukum Terhadap Kemungkinan
Cybernotary di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 3, (Selanjutnya disebut Jurnal Edmon Makarim I),
h. 470
Original dimaknai sebuah akta tersebut dapat dibawa dan dilihat kembali. Original bisa
dikategorikan akta sebagai adanya alat bukti yang menyatakan bahwa para pihat adanya
perikatan yang dimaknai dengan asas pacta sun servanda.
Pengertian akta otentik dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Staatsblaad Nomor 23
Tahun 1847 Tentang Burgerlijk Wetboek (Selanjutnya disebut KUH Perdata) Pasal 1868 yaitu
“akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu dan di tempat di mana akta
dibuatnya” 5
. Menurut R. Soergondo, akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam
bentuk hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berwenang untuk berbuat sedemikian
itu, ditempat dimana akta itu dibuat. Irwan Soerodjo mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur
esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:6
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di
tempat dimana akta itu di buat.
Akta otentik7 adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa menurut ketentuan yag telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-
5 R. Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Selanjutnya disebut R. Soegondo
I). h. 89
6 Irwan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, h. 148.
7 Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, h. 46. Menyatakan
alasan mengapa akta harus dibuat secara otentik: 1) Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan
hukum. Dengan kata lain akta merupakan syarat mutlak untuk adanya suatu perbuatan hukum tertentu, dengan
tidak adanya atau tidak dibuatnya akta berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Dan 2) Sebagai alat bukti. Atas
kehendak para pihak agar perjanjian dibuat secara notariil. Contoh perjanjian sewa menyewa dan perjanjian
kerjasama. Pasal 1870 KUH Perdata mengatakan “suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli
waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa
pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh
pihak- pihak yang berkepentingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat
yang menerangkan tentang apa yang dilakukan atau dilihat dihadapannya8. Akta otentik adalah
suatu akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Akta-akta lain yang bukan otentik dinamakan akta di
bawah tangan dan akta harus dibuat secara otentik.
Pengertian akta otentik juga dijelaskan dalam Pasal 165 HIR bahwa akta otentik adalah
surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya,
mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang
yang mendapat hak dari padanya, yaitu tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan juga
tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai suatu pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut
kemudian hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta
itu.
Menurut R. Soergondo, akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam
bentuk hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berwenang untuk berbuat sedemikian
yang dimuat didalamnya”. Berdasarkan hal tersebut, akta otentik merupakan suatu alat bukti yang mengikat dalam
proses suatu perkara-di pengadilan, mengingat HIR menganut asas pembuktian formal, sehingga apa yang ditulis
dalam akta tersebut haras dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak
dapat dibuktikan. Akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti disamping akta otentik tersebut
sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Akta otentik merupakan suatu alat bukti yang mengikat
dan sempurna. Suatu akta otentik tidak hanya membuktikan benar bahwa para pihak betul sudah menghadap
kepada notaris pada hari dan tanggal yang disebutkan dalam akta, dan bahwa para pihak menerangkan apa yang
ditulis dalam akta., tapi juga menjamin bahwa apa yang diterangkan para pihak adalah benar.
8 Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris,Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 11.
itu, ditempat dimana akta itu dibuat9. Irwan Soerodjo mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur
esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:10
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di
tempat dimana akta itu di buat.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa
menurut ketentuan yag telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-pihak
yang berkepentingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang
menerangkan tentang apa yang dilakukan atau dilihat dihadapannya yaitu Notaris11
. Lembaga
notariat sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat umum, yang perjalanannya diawali dari
Italia sampai ke Perancis, yang puncak perkembanganya diakui karena kebutuhan dan
kegunaannya mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Pada permulaan abad ke-19 lembaga
notariat sebagaimana dikenal sekarang, meluas kenegara-negara disekelilingnya dan bahkan ke
negara lain. Revolusi Perancis mengakibatkan diundangkannya undang-undang di bidang
notariat pada tanggal 6 Oktober 1791 yang menjadikan para notaris selaku “ambtenaar”.
Tujuan utamanya lembaga notariat adalah untuk memberikan jaminan yang lebih baik
untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu notariat mempunyai fungsi yang harus diabdikan
untuk kepentingan masyarakat umum dan tidaklah dimaksudkan oleh undang-undang untuk
9 R.Soegondo I, Op.Cit, h. 89
10 Irwan Soerodjo , Op.Cit, h. 148
11 Husni Thamrin, 2011,Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 11
memberikan kepada notariat suatu kedudukan yang kuat bagi kepentingan notariat itu sendiri,
kan tetapi untuk kepentingan umum.
Dapat dipahami secara umum bahwa notary public pada sistem hukum anglo-saxon
tugasnya hanya sejauh membubuhkan stempel dan tanda tangannya, sedangkan notariat latin
berkewajiban dari keterangan yang diberikan oleh para pihak menyelidiki terlebih dahulu
keterangan tersebut sebelum menyusun redaksi aktanya. Untuk membedakan jabatan yang
berbeda tersebut para notaris pada notariat latin lebih menyukai memakai sebutan Civil Law
Notary dari pada Notary Public.
Dikaitkan dengan adanya UNCITRAL dengan kajian berupa Promoting Confidence in
E-Commerce: Legal Issues on International Use of Electronic Authentication and Signature
Methods. Dengan adanya UNCITRAL pada tahun 2009 terjadi perubahan dalam dunia Notaris
mengenai peran dan fungsi. Peran dan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya (trusted third
parties) yang termuat dalam kongres UINL pada tanggal 19-20 Oktober 2016 di Paris, Perancis
dengan agenda yang dihasilkan adalah The Notary A Trusted Third Party. Tujuan dari UINL
adalah:
in a first section devoted to legal confidence, we will attempts to compile the needs which,
according to the various stakeholders, justify recourse to a trusted third party. We will then
be able to answers a first question: Why is the notary a trusted third party in legal matters.
In a second section, we will examine the extent to which legal certainty strengthens and
sustains economic security; this will allow us to re examine the aguments reasserting that
the notary plays a pertinent role in today's economy.
Berdasarkan pengembangan dalam UINL menyatakan akan memperkuat peran dan fungsi
Notaris dalam menjamin keberlanjutkan perekonomian yang tidak lepas dari tujuan notaris
tersebut. Peran dan fungsi Notaris itu adalah sebagai berikut:
1. Notary to Government;
Notary to Government dapat dimaknai Notaris sebagai pejabat umum dimana fungsinya
memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam membangun good governance menuju
clean government dengan mengutamakan pelayanan yang profesional, cepat, tepat,
efisien, murah dan bebas punggutan liar. Kemudian akan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi para Notaris dalam memberikan kepastian waktu penyelesaian pelayanan
terhadap masyarakat, dengan demikian berdampak pada berkembangnya perdagangan
dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Notary to Business;
Notary to Busines dapat dimaknai Notaris sebagai pejabat yang berwenang untuk
membuat suatu perjanjian ataupun akta dengan tujuan memberikan pelayanan kepada
masyarakat untuk menjalankan bentuk suatu niaga dalam membuat perikatan antara para
pihak dalam menjamin keamanan dalam berbisnis. Misalkan seperti Notaris membuat
Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa berbasis elektronik.
3. Notary to Society;
Notary to Society dapat dimaknai Notaris sebagai pejabat yang terpercaya dimana
fungsinya menjamin masyarakat dalam hal memberikan konsultasi atau penyuluhan
hukum dan membuat wasiat dan perjanjian pra nikah secara elektronik.
Kemajuan teknologi informasi juga akan berdampak pada kinerja notaris yang perlahan-
lahan akan berubah di masa depan, sesuai dengan tuntutan masyarakat modern dan kemajuan
zaman yang berkembang pesat. Sehubungan dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang memanfaatkan internet tersebut, tentu saja berpengaruh terhadap pelaksanaan
tugas dan wewenang bagi notaris. Notaris selaku pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik12
yang pada awalnya menggunakan cara-cara konvensional (masih terpaku dengan
cara harus bertemu secara langsung dihadapan notaris dan data-data penghadap diberikan secara
langsung kepada notaris dengan akta yang dibuat dan disahkan dalam kertas) dalam pembuatan
akta otentik dan memiliki kekuatan hukum yang sempurna oleh pihak-pihak yang
membutuhkannya dalam fungsi pembuktian, menuju ke arah jasa pelayanan notaris secara
elektronik atau memanfaatkan ruang maya atau cyberspace dalam menjalankan fungsi notaris.
Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud
untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat
otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum. Dengan dasar ini notaris harus
memiliki semangat untuk melayani masyarakat13
.
Mengenai melayani masyarakat dibidang bisnis secara elektronik Notaris berpegang
teguh dengan hukum. Dasar pengaturan mengenai Notaris secara elektronik dapat dilihat dengan
pemaknaan cyber notary, yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris (selanjutnya disingkat dengan UU Perubahan Jabatan Notaris) Pasal 15 ayat (3) yaitu
“Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai
kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Pengertian Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud
dalam Undang Undang ini terdapat di Penjelasan yaitu ”Yang dimaksud dengan “kewenangan
12
Tobing, G.H.S. Lumban, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, Jakarta, (Selanjutnya
disebut Tobing, G.H.S. Lumban I), h. 3-4. Selanjutnya dijelaskan pula, bahwa Pengertian akta autentik juga
dijelaskan dalam Pasal 165 HIR bahwa akta autentik adalah surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai
umum yang berkuasa untuk membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya
serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, yaitu tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan juga
tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai suatu pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian hanya
sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta itu. 13
R.A. Emma Nurita, 2012, Cyber Notary (Pemahaman Awal Dalam Konsep Pemikiran), Ctk. Kesatu, Refika
Aditama, Bandung, h. 15
lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi
transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan
hipotek pesawat terbang”.
Di Negara Belanda spesialisasi Notaris terkait teknologi informasi berbentuk dua hal,
yakni sebagai pihak ketiga terpercaya (trusted third parties), dan menjalankan fungsi Escrow-
agreement terhadap source code program komputer. di Negara lain, perkembangan tersebut
bahkan sampai dengan penyelenggaraan jasa kenotariatan secara elektronik itu sendiri, sehingga
electronic notary adalah sama dengan electronic notarization, dengan kata lain, electronic
notarization adalah mengacu kepada proses notarisasi secara elektronik itu sendiri yang
dilakukan oleh notaris14
. Secara sosiologis Notaris di Indonesia belum siap untuk mengemban
posisi trusted third parties yang dikemukakan oleh UINL di Paris, Perancis. Idealnya untuk
mendukung proses autentikasi diperlukan fungsi dan peran pihak ketiga terpercaya trusted third
party yang akan menguatkan informasi yang dilakukan secara elektronik dimana pihak ketiga
akan menerbitkan suatu pernyataan informasi yang menjelaskan originalitas dan jaminan
keutuhan terhadap suatu informasi atau dokumen elektronik dalam setiap proses pembuatan,
penyimpanan, pengiriman dan penerimaan atas informasi atau dokumen elektronik tersebut.
Meskipun suatu informasi atau dokumen elektronik mempunyai kerentanan keamanan terhadap
adanya perubahan, namun melalui sistem keamanan informasi dan komunikasi maka
keautentikannya harus melalui proses e-identification and e-authentication system (e-IDAS).
Transaksi elektronik di bidang perdagangan banyak mengalami problematika
dikarenakan tidak adanya suatu lembaga yang terpercaya dalam penyaksian yang bersfungsi
sebagai alat bukti adanya suatu perikatan. Salah satu problematika secara yuridis mengenai
14
Edmon Makarim, 2013, Notaris & Transaksi Elektronik Kajian Hukum tentang Cybernotary atau
electronic Notary, Edisi Kedua, Cetakan ke-2, Rajawali Pers, (Selanjutnya disebut Edmon Makarim I), h. 117
hambatan cyber notary adalah adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Selanjutnya disebut UU ITE) Pasal 1 angka 2
menyatakan “Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Mengenai alat
bukti tersirat dalam Pasal 5 ayat (4) yaitu “ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)15
tidak berlaku untuk :
a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis.
b. Surat berharga beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta”.
Didalam penelitian ini beranjak dari kekaburan norma dalam Pasal 15 ayat (3) UU
Perubahan Jabatan Notaris yang merumuskan “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan”. Didalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara
lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cybernotary),
membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang. Kewenangan yang dimaksud didalam
penjelasan pasal tersebut belum cukup jelas didalam mendefinisikan dan menjawab tantangan
terhadap pelayanan jasa notaris didalam mengisi pembangunan di Indonesia, paradigma notaris
konvensional menuju notaris digital atau dengan istilah notaris to bussines menjadi hal yang
urgent didalam memajukan perekonomian, sehingga notaris memiliki kewenangan penuh
15
Lihat UU ITE Pasal 5 ayat (1) menyatakan “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”.
didalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai pejabat umum untuk mendukung pelayanan
publik dalam transaksi bisnis elektronik.
Berdasarkan penelusuran penelitian sebelumnya, dan melakukan diskusi di beberapa
Perguruan Tinggi Negeri seperti di Universitas Padjajaran (UNPAD) dan Universitas Indonesia (
UI ) penulis tidak menemukan karya tulis yang mirip seperti karya tulis yang penulis angkat
berjudul “PENGATURAN JABATAN NOTARIS SEBAGAI PENDUKUNG SISTEM
KEAUTENTIKAN DALAM TRANSAKSI PERDAGANGAN SECARA ELEKTRONIK”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan antara lain
sebagai berikut :
1. Mengapa notaris menjadi pihak ketiga terpercaya dalam menjamin keautentikan
terhadap transaksi elektronik?
2. Bagaimanakah reformulasi hukum agar notaris sebagai pejabat umum dapat
menjalankan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya dalam transaksi perdagangan
secara elektronik?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk memahami ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
Hukum Kenotariatan, mengungkap sebab normatif tentang Pengaturan Jabatan Notaris Sebagai
Pendukung Sistem Keautentikan Dalam Transaksi Perdagangan Secara Elektronik.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sesuai permasalahan yang dibahas maka tujuan khusus dari penelitian ini, adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mencari, menemukan, mengetahui dan menganalisa mengapa notaris
menjadi pihak ketiga terpercaya dalam menjamin keautentikan terhadap transaksi
elektronik.
2. Untuk menemukan, mengetahui dan menganalisa Bagaimanakah reformulasi
hukum agar notaris sebagai pejabat umum dapat menjalankan fungsi sebagai pihak
ketiga terpercaya dalam transaksi perdagangan secara elektronik.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi pengembangan ilmu
hukum, baik dari sisi Ontologi, Epistimologi, maupun Aksiologi dalam bentuk :
1. Secara ontologi, penelitian ini dapat menemukan konsep-konsep baru dalam
reformulasi hukum agar notaris sebagai pejabat umum dapat menjalankan fungsi
sebagai pihak ketiga terpercaya dalam transaksi perdagangan secara elektronik.
2. Secara epistimologi, penelitian ini dapat memahami latar belakang notaris menjadi
pihak ketiga terpercaya dalam menjamin keautentikan terhadap transaksi elektronik.
3. Aksiologi dari reformulasi hukum agar notaris sebagai pejabat umum dapat
menjalankan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya dalam transaksi perdagangan
secara elektronik.
1.4.2 Manfaat praktis
Untuk dijadikan bahan masukan bagi pembentukan hukum atau kebijakan kebijakan
yang mengatur agar notaris indonesia dapat menjalankan pelayanan publik dalam mendukung
sistem keutentikan terhadap transaksi perdagangan secara elektronik.
1.5 Kerangka Berpikir
Berdasarkan dari adanya latar belakang masalah yang dituangkan kedalam rumusan
masalah, dapat digambarkan mengenai kerangka berpikir di bawah ini.
Berdasarkan kerangka berpikir diatas dapat diuraikan bahwa Disertasi ini berjudul
Pengaturan Jabatan Notaris Sebagai Pendukung Sistem Keautentikan Terhadap Transaksi
Pengaturan Jabatan Notaris Sebagai Pendukung Sistem Keautentikan Dalam
Transaksi Perdagangan Secara Elektronik
1. Mengapa notaris menjadi pihak ketiga terpercaya dalam menjamin keautentikan terhadap transaksi elektronik?
1. Teori Dekontruksi (Derrida) 2. Teori Cita Hukum (Gustav
Radbruch) 3. Teori Hukum Pembangunan
(Mochtar Kusumaatmaja)
Metode penelitian hukum normatif dengan teknik pendekatan statute approach, teknik
pendekatan historical approach, teknik pendekatan comparative approach, teknik pendekatan
conceptual approach, yang disertai teknik pengolahan gramaticale interpretatie, teknik pengolahan
systematische interpretative, teknik pengolahan comparative interpretative, dan teknik pengolahan
teleologische interpretatie
Pasal 15 ayat (3) UUJN yang
merumuskan “Selain kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), Notaris mempunyai
kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan”.
Didalam penjelasan Pasal 15 ayat (3)
menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “kewenangan lain yang diatur
dalam peraturan perundang-
undangan”, antara lain, kewenangan
mensertifikasi transaksi yang dilakukan
secara elektronik (cybernotary),
2. Bagaimanakah reformulasi hukum
agar notaris sebagai pejabat umum
dapat menjalankan fungsi sebagai
pihak ketiga terpercaya dalam
transaksi perdagangan secara
elektronik?
1. Teori Dekontruksi (Derrida) 2. Teori Cybernetics (Nobert Wiener)
3. Teori Hukum Pembangunan (Mochtar
Kusumaatmaja)
1. Secara ontologi, penelitian ini dapat menemukan konsep-konsep baru dalam reformulasi hukum agar notaris sebagai pejabat umum dapat menjalankan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya dalam transaksi perdagangan secara elektronik.
2. Secara epistimologi, penelitian ini dapat memahami latar belakang notaris menjadi pihak ketiga terpercaya dalam menjamin keautentikan terhadap transaksi elektronik.
3. Aksiologi dari reformulasi hukum agar notaris sebagai pejabat umum dapat menjalankan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya dalam transaksi perdagangan secara elektronik.
Perdagangan Secara Elektronik dengan tujuan untuk memberikan manfaat secara ontoogi,
epistemologi serta dapat diaplikasi secara aksiologi.
1.6 Metode Penelitian
Kata metode yang biasanya disandingkan dengan frase penelitian hukum, tentunya
dapat diinterpretasikan luas, apakah yang dimaksud adalah metode ilmiah atau metode hanya
sebagai cara, sebagaimana makna gramatikalnya, bahwa penelitian hukum sebagaimana dapat
diartikan secara luas, namun terhadap bidang profesi hukum tertentu, bahkan mahasiswa hukum
yang kesemuanya adalah penstudi hukum harus tunduk pada suatu otoritas individu maupun
lembaga yang ada maupun tidak ada dasar maupun mengejar tujuan tertentu dihadapkan pada
kategorisasi penelitian hukum yang didasarkan oleh aturan main tersendiri yang disepakati antara
peneliti dan lembaga yang dimana hasil penelitian tersebut akan didedikasikan. C.F.G. Sunaryati
Hartono menegaskan bahwa Bagaimanapun juga, metode penelitian selalu mencari titik-titik
tolak yang pasti dan peraturan-peraturan penelitian yang diharapkan tentang bagaimana suatu
penelitian harus dilakukan supaya dapat menghasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggung
jawabkan (reliable) dan sah (valid).16
Di sisi lain William H. Putman di dalam bukunya yang berjudul Legal Research,
Analysis and Writing berpendapat bahwa “So what do wemeanby research we do not mean
experiments which scientists tend to meanby research. The word research means to find things
out”17
. Kemudian, setelah kita mengetahui bahwa produk-produk karya tulis hukum sebagaimana
disebutkan di atas tidak hanya untuk kegunaan atau bersifat teoritis maupun akademis,
16
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir
Abad ke-20, Penerbit Alumni, Bandung, h. 108
17 William H. Putman, 2004, Legal Research, Analysis and Writing, Thoms on Delmar Learning, Australia, hal
.27
melainkan juga ada yang dikategorikan untuk kegunaan dan bersifat praktis, maka tentunya kita
tidak menyangkal bahwa di dalam pembuatan produk-produk karya tulis hukum untuk kegunaan
dan bersifat praktis, yang biasanya ditekuni oleh para praktisi hukum tersebut, juga merupakan
kegiatan penelitian (bukan eksperimen seperti yang dilakukan ilmuwan eksakta) dan
membutuhkan metode-metode khusus dalam pelaksanaan dan penyajiannya,18
bahkan tujuan
akhirnya tidak lain untuk mendapatkan klarifikasi dari pertanyaan maupun permasalahan hukum
tertentu. Dalam hal ini tentunya timbul pertanyaan dapatkah kegiatan penelitian seperti itu
dikategorikan sebagai penelitian hukum namun demikian, tidak sedikit para penstudi hukum
yang beranggapan bahwa penelitian hukum hanya merupakan wilayah otoritas para penstudi
hukum yang berprofesi sebagai akademisi mupun penelitihukum saja, yang produk akhirnya
berupa skripsi, tesis, disertasi, artikel jurnal ilmiah dan laporan penelitian dibidang hukum, dan
lain-lain.
Disadari ilmu hukum adalah ilmu yang sangatlah kompleks, mulai dari kajiannya
filosofis, pengembangan keilmuannya baik teoritis maupun praktis, sampai kepada wujud
konkret dari eksistesinya yang tidak lain didedikasikan kepada masyarakat berupa produk-
produk hukum, solusi terhadap baik perkara hukum publik maupun perkara hukum privat yang
ditemukan sehari-hari di tengah masyarakat, bahkan tidak jarang beraspek multidimensi, atau
dengan kata lain ilmu hukum tanpa dukungan ilmu-ilmu lain terkadang tidak mampu
menyelesaikan permasalahan hukum secara tuntas dan menyeluruh. Kajian hukum yang filosofis
18
C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.Cit, h. 84, Dalam konteks ini makna “ penelitian” tentunya harus dibedakan
dengan kategori penelitian ilmiah yang biasa dilakukan oleh para penstudi maupun peneliti di bidang ilmu-ilmu
non hukum (logicohypothetico verivicatie).
misalnya, diawali dengan sulitnya mendefinisikan konsepsi hukum itu sendiri, tarik menarik
antara pencapaian keadilan dan kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat dan lain-lain19
.
Secara garis besar sebagaimana yang telah digulirkan oleh doktrin hukum alam dan
positivisme hukum. Timbul pertanyaan besar mengenai fungsi hukum dari yang abstrak hingga
yang lebih konkret tentang bagaimana menjadikan hukum yang sesungguhnya diinginkan oleh
masyarakat (responsive), valid, sekaligus efektif, dan lain-lain. Metode penelitian hukum adalah
sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode. Secara
harfiah mul-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi
penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.
Mengingat begitu sulitnya mendeskripsikan konsepsi hukum tersebut, maka tidak
sedikit para filsuf hukum baik disadari maupun tidak telah terseret kedalam pembentukan
mazhab atau aliran tertentu (school of thought) yang menurut pemikiran mereka dan para
pendukungnya masing-masing dianggap paling rasional, empiris, bahkan ide-ide pemikirannya
sampai kepada persoalan pemilihan nilai-nilai atau ideologi tertentu guna mencapai suatu
kesamaan presepsi tentang konsepsi yang biasa disebut keadilan, moralitas, validitas, dan lain-
lain20
. Di sisi lain, para penstudi hukum juga menghadapi pertanyaan-pertanyan yang kerap
diajukan oleh para sesama penstudi hukum itu sendiri maupun para penstudi non hukum, tentang
bagaimanakah para penstudi hukum itu melakukan kegiatan penelitian guna memecahkan
masalah masalah hukum konkret seperti kekosongan hukum, konflik dan sengketa,dan lain-lain,
19
H. Salim HS. dan H. Abdullah, 2007, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, Jakarta, h.101-102.
20 Lord Lloyd of Hampstead and M.D.A Freeman, 1985., Lihat Lloyd’s Introduction to Jursprudence, 5th Edisi,
Stevens & Sons, London, h. 4, “Jurisprudence involves the study of general theoritical questions about nature of law
and legal system, about the relationship of law to justice and morality, and about social nature of law a study of
jurisprudence should encourage the student to question assumption and to develop a wider understanding of the
nature and working of law”.
maupun dalam upaya mengembangkan disiplin hukum itu sendiri atau dengan kata lain apakah
metode penelitian yang dipergunakan oleh para penstudi hukum, guna memecahkan
permasalahan hukum baik yang bersifat teoritis maupun praktis bahkan sampai dengan
pertanyaan kritis bahwa apakah metode penelitian hukum tersebut ilmiah pertanyaan kritis ini
dikaitkan dengan kajian filsafat ilmu demi mencari jawaban yang memuaskan bahwa ilmu
hukum itu adalah salah satu dari bidang keilmuan yang selama ini biasa dikelompokan para
ilmuwan.
Namun, sebagai patokan awal untuk memahami permasalahan di atas, berikut kutipan
pendapat Soerjono Soekanto sebagai salah seorang ahli hukum mengenai penelitian hukum21
,
permasalahan yang agak konkret mengenai masalah pengenalan metode ini terjadi beberapa
sudut pandang yang berbeda di antara nya bahwa keberadaan metode penelitian hukum,
khususnya berkaitan dengan tahapan-tahapan penelitian, sistematika penulisan serta teknik
penulisan pada komunitas akademis, khususnya dalam membuat produk karya ilmiah hukum di
setiap fakultas hukum di beberapa universitas cenderung tidak seragam. Menurut Peter Mahmud,
penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi22
.
21
Soekanto, Suryono & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal .1-2.” oleh karena penelitian merupakan sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan
ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Hal ini tidaklah selalu berarti metodologi penelitian yang dipergunakan
pelbagai ilmu pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Akan tetapi setiap ilmu pengetahuan mempunyai
identitas masing-masing, sehingga pasti akan ada pelbagai perbedaan. Demikian juga halnya dengan metodologi
penelitian hukum yang mempunyai karakteristik khusus yang menjadi identitasnya, sehingga dapat dibedakan dari
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan sebagian ilmuwan nonhukum masih mempertanyakan tentang apakah
penelitian hukum tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penelitian ilmiah yang biasa dipredikatkan kepada bidang
ilmu lain khususnya dalam bidang-bidang ilmu alam (eksakta) maupun ilmu sosial.
22 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 35
Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai
dengan penggunaan metode. Secara harfiah mul-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang
harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana
tertentu23
. Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan
sebuah penelitian. Secara lebih lanjut Soerjono Soekanto menerangkan bahwa penelitian hukum
merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan
jalan menganalisanya24
.
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu penelitian hukum
empiris/sosiologis atau non doktrinal bersifat kuantitatif (bentuk angka) dan penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum doktrinal.25
Metode penelitian empiris/sosiologis atau non
doktrinal adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran materiil
berdasarkan penelitian lapangan atas suatu permasalahan pada lembaga atau masyarakat.
Sedangkan metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif.26
Bahan
23
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publlishing, Malang, h. 26