BAB I PENDAHULUAN Perdarahan postpartum adalah penyebab utama kematian ibu. Semua wanita yang sedang hamil lebih dari 20 minggu beresiko untuk mengalami perdarahan post-partum dan turunannya. Walaupun frekuensi kematian ibu telah menurun sangat pesat di negara-negara maju, namun perdarahan postpartum tetap merupakan penyebab kematian utama di negara-negara miskin dan berkembang. Maternal mortality rate yang berhubungan langsung dengan kehamilan di Amerika Serikat adalah sekitar 7-10 wanita per 100.000 kelahiran hidup. Statistik nasional mencatat bahwa kira-kira 8% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh karena perdarahan postpartum. Di negara-negara maju, perdarahan postpartum biasanya termasuk peringkat 3 teratas penyebab mortalitas ibu, bersama-sama dengan embolism dan hipertensi. Di negara-negara berkembang, beberapa negara memiliki angka kematian ibu lebih dari 1000 wanita per 100.000 kelahiran hidup, dan statistik WHO mencatat bahwa 25% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh karena perdarahan postpartum, atau mencapai lebih dari 100.000 kematian ibu per tahun. Frekuensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 8%. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IPENDAHULUAN
Perdarahan postpartum adalah penyebab utama kematian ibu. Semua wanita yang
sedang hamil lebih dari 20 minggu beresiko untuk mengalami perdarahan post-partum dan
turunannya. Walaupun frekuensi kematian ibu telah menurun sangat pesat di negara-negara
maju, namun perdarahan postpartum tetap merupakan penyebab kematian utama di negara-
negara miskin dan berkembang.
Maternal mortality rate yang berhubungan langsung dengan kehamilan di Amerika
Serikat adalah sekitar 7-10 wanita per 100.000 kelahiran hidup. Statistik nasional mencatat
bahwa kira-kira 8% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh karena perdarahan
postpartum. Di negara-negara maju, perdarahan postpartum biasanya termasuk peringkat 3
teratas penyebab mortalitas ibu, bersama-sama dengan embolism dan hipertensi. Di negara-
negara berkembang, beberapa negara memiliki angka kematian ibu lebih dari 1000 wanita
per 100.000 kelahiran hidup, dan statistik WHO mencatat bahwa 25% dari kematian tersebut
adalah disebabkan oleh karena perdarahan postpartum, atau mencapai lebih dari 100.000
kematian ibu per tahun.
Frekuensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan
adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di
negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 8%.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut: atonia uteri (50%-60%),
retensio plasenta (16%-17%), sisa plasenta (23%-24%), laserasi jalan lahir (4%-5%),
kelainan darah (0,5-0,8%)
1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Definisi dari perdarahan postpartum masih sangat subjektif dan problematis.
Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya darah lebih dari 500 ml setelah
kelahiran pervaginam atau lebih dari 1000 ml setelah kelahiran dengan sectio cesarean.
Hilangnya darah dalam 24 jam pertama disebut sebagai perdarahan postpartum primer,
sedangkan hilangnya darah setelah 24 jam dari kelahiran disebut perdarahan postpartum
sekunder.
Perkiraan hilangnya darah selama proses kelahiran adalah sangat subjektif dan sangat
tidak akurat. Penelitian-penelitian menemukan bahwa banyak petugas-petugas penolong
persalinan secara konsisten meremehkan jumlah darah yang sebenarnya hilang. Beberapa
proposal lain menyatakan dengan memakai patokan turunnya hematokrit sebanyak 10%
untuk mendefinisikan perdarahan postpartum, tetapi perubahan ini tergantung dari waktu
pemeriksaan dan jumlah resusitasi cairan yang diberikan.
Pertimbangan lain adalah perbedaan kapasitas dari setiap individual untuk merespons
hilangnya darah. Seorang wanita yang sehat mengalami peningkatan volume darah sebanyak
30-50% pada kehamilan tunggal dan lebih toleran terhadap kehilangan darah daripada wanita
yang menderita anemia, gangguan jantung, ataupun dehidrasi dan preeklampsia. Oleh karena
itu, banyak peneliti menyarankan untuk menegakkan diagnosis perdarahan postpartum
dengan berapapun jumlah darah yang hilang yang mengancam stabilitas hemodinamik dari
ibu.
2.2 Etiologi
Perdarahan postpartum dapat disebabkan oleh banyak faktor potensial, namun yang
paling sering adalah oleh karena atonia uteri, yaitu kegagalan dari uterus untuk berkontraksi
dan beretraksi setelah kelahiran plasenta. Perdarahan postpartum pada kehamilan sebelumnya
adalah faktor resiko utama dan setiap usaha harus dilakukan untuk mengetahui keparahan
dan penyebabnya. Pada suatu penelitian di Amerika Serikat, induksi dan augmentasi
kelahiran, chorioamnioitis, penggunaan MgSO4 dan riwayat perdarahan postpartum
2
sebelumnya, semuanya berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya perdarahan
postpartum.
Sebuah penelitian population-based yang baru-baru dipublikasikan mendapatkan
faktor resiko yang menyebabkan perdarahan post-partum adalah retensio plasenta, distosia
pada kala II, plasenta akreta, laserasi, kelahiran dengan bantuan instrumen, bayi besar,
hipertensi, induksi kelahiran, dan augmentasi kelahiran dengan oksitosin.
Untuk mempermudah mengingat penyebab dari perdarahan postpartum, singkatan 4T
sering digunakan, yaitu: Tonus, Tissue, Trauma, dan Thrombosis.
2.2.1 TONUS
Atonia uteri dan kegagalan kontraksi dan retraksi otot-otot pada myometrium dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat dan parah dan juga shock hipovolemik.
Overdistensi uterus, baik absolut ataupun relatif, adalah faktor resiko utama untuk terjadinya
atoni. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh karena kehamilan multifetal, makrosomia,
polihidramnion, atau kelainan kongenital (seperti hidrocephalus), abnormalitas struktural
uterus, atau kegagalan dalam melahirkan plasenta.
Kontraksi miometrium yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh karena kelelahan
karena partus lama atau pun oleh karena proses kelahiran yang terlalu cepat, terutama jika
dilakukan dengan rangsangan. Hal ini juga dapat disebabkan oleh karena inhibisi oleh obat-
obatan seperti agen anestesi golongan halotan, nitrat, NSAID, MgSO4, beta-simpatomimetik,
dan nifedipine. Penyebab lain adalah plasenta yang terletak pada segmen bawah uterus, toxin
bakteri (seperti chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia), hipoksia karena hiperperfusi
atau Couvelaire uterus pada abruptio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif.
2.2.2 TISSUE
Kontraksi uterus dan retraksi memicu terjadinya pelepasan dan ekspulsi plasenta.
Pelepasan yang komplit dan ekspulsi plasenta menyebabkan berlanjutnya retraksi dan oklusi
optimal pembuluh-pembuluh darah endometrium.
Retensio beberapa bagian plasenta sering terjadi jika plasenta memiliki succenturiate
atau lobus tambahan. Setelah lahirnya plasenta dan perdarahan minimal terjadi, plasenta
harus diinspeksi untuk mencari adanya pembuluh darah fetal yang muncul dari tepi plasenta
3
dan terputus pada ujung membran. Hal ini merupakan tanda adanya lobus tambahan yang
mungkin masih tersisa.
Plasenta biasanya mengalami retensio pada kehamilan preterm (terutama <24
minggu) dan perdarahan yang signifikan biasanya terjadi. Hal ini harus menjadi
pertimbangan pada semua kelahiran pada masa-masa awal gestasi, baik yang terjadi spontan
maupun dirangsang. Penggunaan misoprostol untuk terminasi kehamilan trimester kedua
ternyata dapat menurunkan frekuensi terjadinya retensio plasenta jika dibandingkan dengan
penggunaan teknik intrauterin prostaglandin.
Kegagalan pelepasan lengkap plasenta terjadi juga pada plasenta akreta dan
variannya. Pada kondisi ini, plasenta telah menginvasi melebihi tempat melekatnya dan
menempel secara abnormal. Perdarahan yang signifikan dari daerah normal tempat
melekatnya plasenta sebelumnya mungkin menandakan adanya akreta parsial. Komplit akreta
dimana seluruh permukaan plasenta melekat secara abnormal, atau invasi yang lebih luas
pada plasenta inkreta atau perkreta, mungkin tidak secara langsung menyebabkan perdarahan
yang banyak, namun dapat berkembang bersamaan dengan usaha yang lebih agresif untuk
memisahkan plasenta.
Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan tentang resiko terjadi
perdarahan postpartum yang gawat, termasuk kemungkinan diperlukannya transfusi dan
histerektomi. Darah dapat menyebabkan terjadi distensi pada uterus dan menghambat
kontraksi yang efektif.
2.2.3 TRAUMA
Kerusakan pada traktus genitalis dapat terjadi spontan atau melalui manipulasi dalam
usaha melahirkan bayi. Kelahiran melalui sectio cesarea rata-rata menyebabkan kehilangan
darah dua kali lipat daripada kelahiran pervaginam. Beberapa penyebab perdarahan
postpartum yang dapat terjadi karena trauma antara lain adalah:
a. Ruptur Uteri
Ruptur uterus sering terjadi pada pasien dengan scar dari operasi sectio cesarea
sebelumnya. Semua uterus yang telah mengalami prosedur yang menyebabkan terjadinya
disrupsi total maupun parsial dinding uterus harus dipertimbangkan beresiko untuk
mengalami ruptur uterus pada kehamilan yang akan datang. Hal ini meliputi
4
fibroidektomi, uteroplasti untuk kelainan kongenital, reseksi cornual atau cervical, dan
perforasi uterus saat dilatasi, kuret, biopsi, histeroskopi, laparoskopi, atau pemasangan
IUD.
Ruptur uteri adalah kejadian yang jarang terjadi tetapi merupakan kegawatan
obstetrik yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi, dengan angka insiden kira-kira 1
dari 1514 kehamilan (0.07%). Di negara-negara maju, angka ruptur uteri pada wanita
normal tanpa parut uterus adalah 1 dari 7440 kehamilan (0.013%).
Sebagian besar ruptur uteri terjadi pada wanita yang memiliki parut uterus, yang
sebagian besar adalah karena riwayat kelahiran melalui sectio cesarean. Satu parut bekas
SC angka resiko terjadinya ruptur uteri sebanyak 0.51%, sedangkan wanita dengan dua
atau lebih parut uterus resikonya meningkat menjadi 2%. Kelompok wanita yang juga
beresiko terjadi ruptur uteri antara lain adalah wanita yang menjalani penutupan
histerotomi satu lapis, jarak kehamilan yang pendek setelah kelahiran sebelumnya
melalui sectio cesarean, kelainan kongenital pada uterus, fetus dengan macrosomia,
sejarah pemakaian prostaglandin, dan kegagalan percobaan kelahiran pervaginam (trial of
labor).
Intevensi pembedahan setelah terjadinya ruptur uteri dalam waktu kurang dari 10-
37 menit sangat penting untuk meminimalkan resiko cedera perinatal pada fetus. Namun
kelahiran dalam jangka waktu ini tidak menjamin tidak terjadi hipoksia dan asidosis
metabolik pada fetus.
Ruptura uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya,
yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua.
Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus.
Pada robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula. Apabila robekan tidak terjadi
pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal itu dinamakan kolpaporeksis.
Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptura uteri dan kolpaporeksis. Apabila pada
ruptura uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut robek, hal itu dinamakan ruptura
uteri kompleta; jika tidak ruptura uteri inkompleta. Pinggir ruptura biasanya tidak rata;
letaknya pada uterus melintang, atau membujur, atau miring dan bisa agak ke kiri atau ke
kanan. Ada kemungkinan pula terdapat robekan dinding kandung kencing.
5
Tanda awal yang paling penting dan konsisten pada ruptur uteri adalah adanya
bradikardi fetus yang berlangsung lama dan persisten. Tanda-tanda lain antara lain adalah
nyeri abdomen, kelainan pada perjalanan persalinan, dan perdarahan per vaginam.
Mekanisme Ruptur Uteri
Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar: korpus uteri dan serviks uteri.
Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila
kehamilan sudah kira-kira ± 20 mg, dimana ukuran janin sudah lebih besar dari ukuran
kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR ismus ini.
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dari
Bandl. Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat pada 2-3 jari di atas simfisis,
bila meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptura uteri
mengancam (RUM).
Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus.
Sedangkan kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti, karena adanya lokus minoris
resistens (LMR).
Rumus mekanisme terjadinya ruptura uteri: R = H + O
dimana:
R = Ruptura
H = His kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in-partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap dan
cervix menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak
dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his
kuat), rnaka SBR yang pasif ini akan tertarik ke atas, menjadi bertambah regang dan tipis.
Lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi.
Dalam hal terjadinya ruptur uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring
apparatus untuk memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum latum,
ligamentum sacrouterina, dan jaringan parametra.
Menurut cara terjadinya ruptura uteri diadakan perbedaan antara: 1) ruptura uteri