-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 1/43
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit batu ginjal merupakan masalah kesehatan yang cukup
bermakna, baik di
Indonesia maupun di dunia. Prevalensi penyakit batu diperkirakan
sebesar 13% pada laki-laki
dewasa dan 7% pada perempuan dewasa.1 Prevalensi batu ginjal di
Amerika bervariasi
tergantung pada ras, jenis kelamin dan lokasi geografis. Empat
dari lima pasien adalah laki-laki,
sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga sampai keempat.2
Angka kejadian batu ginjal di
Indonesia tahun 2002 berdasarkan data yang dikumpulkan dari
rumah sakit di seluruh Indonesia
adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan
sebesar 58.959 orang. Sedangkan
jumlah pasien yang dirawat adalah sebesar 19.018 orang, dengan
jumlah kematian adalah
sebesar 378 orang.3
Beban ekonomi akibat batu saluran kemih sangat besar. Pada tahun
2000, biaya total
untuk pengobatan urolitiasis di Amerika Serikat diperkirakan 2,1
milyar dolar, yang meliputi 971
juta dolar untuk pasien rawat inap, 607 juta dolar untuk pasien
rawat jalan dan kunjungan praktik
dokter, serta 490 juta dolar untuk pelayanan gawat darurat.
Angka-angka tersebut
menggambarkan kenaikan sebesar 50% dari biaya pengobatan
urolitiasis sebesar 1,34 milyar
dolar pada tahun 1994.1 Di Indonesia belum ada data mengenai
beban biaya kesehatan untuk
batu saluran kemih.
Dalam memilih pendekatan terapi optimal untuk pasien
urolitiasis, berbagai faktor harus
dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor batu
(ukuran, jumlah, komposisi dan
lokasi), faktor anatomi ginjal (derajat obstruksi,
hidronefrosis, obstruksi uretero-pelvic junction,
divertikel kaliks, ginjal tapal kuda), dan faktor pasien (adanya
infeksi, obesitas, deformitas habitus
tubuh, koagulopati, anak-anak, orang tua, hipertensi dan gagal
ginjal).4
Kemajuan dalam bidang endourologi telah secara drastis mengubah
tatalaksana pasien
dengan batu simtomatik yang membutuhkan operasi terbuka untuk
pengangkatan batu.
Perkembangan terapi invasif minimal mutakhir, yaitu retrograde
ureteroscopic intrarenal surgery
(RIRS), percutaneus nephrolithotomy (PNL), ureteroskopi (URS)
dan extracorporeal shock wave
lithotripsy (ESWL) telah memicu kontroversi mengenai teknik mana
yang paling efektif.
ESWL merupakan terapi non invasif yang menggunakan gelombang
kejut berintensitas
tinggi. Gelombang ini dibangkitkan di luar tubuh pasien lalu
ditembakkan ke batu ginjal atau
ureter. Sejak ESWL diperkenalkan pada tahun 1980-an, teknologi
dalam bidang litotripsi
gelombang kejut telah sangat berkembang. Kemajuan dalam
teknologi ESWL dipusatkan ke arah
peningkatan peralatan pencitraan (imaging), pengembangan sumber
energi ESWL,
pengembangan suatu alat yang dapat berfungsi sebagai litotriptor
dan meja tindakan
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 2/43
endourologi, serta usaha untuk mengurangi tekanan gelombang
kejut sehingga mengurangi
ketidaknyamanan yang dirasakan pasien dan memungkinkan prosedur
ESWL tanpa
mengunakan anestesi.
Permasalahan
Penggunaan ESWL sudah sangat luas, namun sampai saat ini di
Indonesia belum ada
keseragaman dalam hal indikasi ESWL; ini menyangkut jenis,
ukuran dan lokasi batu yang
bagaimana yang memberikan hasil terbaik dengan terapi ESWL.
Masih banyak pula kontroversi
lainnya seputar penggunaan ESWL, antara lain efektivitas dan
cost-effectiveness ESWL
dibandingkan modalitas terapi invasif minimal lain (URS dan
PNL); bilamana ESWL perlu
dikombinasi dengan modalitas terapi lain; pemberian antibiotik
profilaksis untuk ESWL; serta tak
kalah pentingnya kemajuan dalam teknologi mesin ESWL sendiri,
yang menuntut pertimbangan
yang rasional dalam memilih mesin yang paling sesuai untuk suatu
institusi.
Tujuan
Tujuan Umum
Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar rekomendasi dalam
menetapkan kebijakan
mengenai penggunaan ESWL untuk batu saluran kemih di
Indonesia.
Tujuan Khusus
Melakukan penapisan teknologi ESWL, yang meliputi penetapan
indikasi, prosedur, dan
teknologi mesin ESWL berdasarkan bukti ilmu kedokteran yang
mutakhir dan sahih.
Rekomendasi HTA bertujuan untuk memberikan masukan bagi para
pengambil
kebijakan, baik di lingkungan Departemen Kesehatan, Rumah Sakit,
Instistusi Pendidikan, Badan
Penelitian, maupun institusi terkait lainnya. Rekomendasi ini
tidak dimaksudkan untuk
menggantikan pertimbangan klinis. Keputusan definitif dalam
penanganan pasien bergantung
pada kasus pasien, kondisi lokal, pilihan pasien dan
pertimbangan klinis dari tim kesehatan yang
terlibat.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 3/43
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
II.1. Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui
kepustakaan elektronik:
Pubmed, Cochrane Library, British Medical Journal, The Journal
of Urology, British Journal of
Urology International, Urology dalam 15 tahun terakhir
(1990-2005). Informasi juga didapatkan
dari beberapa guidelines antara lain yang disusun oleh American
Urological Association (AUA)
dan European Association of Urology (EAU).
Kata kunci yang digunakan adalah ESWL, Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy,
ureteral stone, renal stone, kidney stone, staghorn stone, ESWL
+ cost effectiveness.
II.2. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi
Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence
based medicine,
ditentukan hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi.
Hierarchy of evidence dan derajat
rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish
Intercollegiate Guidelines
Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency
for Health Care Policy and
Research.
Hierarchy of evidence:
Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials.
Ib. Minimal satu randomised controlled trials.
IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled trials.
IIb. Cohort dan Case control studies
IIIa. Cross-sectional studies
IIIb. Case series dan case report
IV. Konsensus dan pendapat ahli
Derajat rekomendasi :
A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan IIb.
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 4/43
II.3. Pengumpulan Data Lokal
Data lokal diperoleh dari jumlah pasien yang menjalani ESWL di
RSCM selama 1 tahun
terakhir, daftar tarif ESWL di RSCM serta RS pemerintah dan
swasta lain.
II.4. Ruang Lingkup
Kajian ESWL ini dibatasi pada kontroversi seputar ESWL yang
meliputi indikasi,
kontraindikasi, komplikasi, pemberian antibiotik profilaksis,
prosedur tambahan pra ESWL,
kompetensi profesi pelaku, pemilihan jenis mesin ESWL serta
analisis biaya.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 5/43
BAB III
BATU SALURAN KEMIH
III.1 Anatomi Saluran Kemih
Pembagian ureter secara anatomi perlu diketahui karena berkaitan
dengan tatalaksana
batu ureter. Ureter dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ureter
atas, mulai dari ureteropelvic junction
sampai ke tepi atas os ileum, ureter tengah yaitu mulai dari
tepi atas os ileum sampai ke tepi atas
sacroileal joint dan ureter bawah, mulai dari tepi atas
sacroileal joint sampai ke orifisium ureter.
Pembagian ureter menjadi tiga bagian ini terutama berkaitan
dengan pendekatan bedah untuk
mengangkat batu.1
Saat ini, operasi terbuka untuk mengangkat batu ureter sudah
jarang dilakukan, kecuali
pada kasus-kasus tertentu. Pembedahan saat ini telah digantikan
oleh terapi-terapi baru yang
non invasif maupun invasif minimal, seperti extracorporeal
shockwave lithotripsy (ESWL),
ureterorenoskopi dan percutaneus nephrolithotomy. Sebagai
konsekuensinya, ureter saat ini
dibagi hanya menjadi dua bagian, yaitu ureter proksimal atau
ureter atas (gabungan dari ureter
atas dan tengah berdasarkan pembagian sebelumnya) dan ureter
distal atau ureter bawah.
Batas dari ureter proksimal dan ureter distal adalah titik
potong saat ureter menyilang arteri iliaka
dan menyempit, sehingga menciptakan hambatan bagi ureteroskop.5
Pedoman dari American
Urological Association (AUA) dan European Urological Asociation
(EUA) menggunakan
pembagian ureter yang terbaru.5,6
III.2 Komposisi Batu Saluran Kemih
Komposisi dari batu ureter bervariasi, Pada umumnya batu
terbentuk dari garam kalsium
seperti kalsium oksalat monohidrat, kalsium oksalat dihidrat dan
kalsium fosfat. Tipe lain yang
kurang sering didapat yaitu batu asam urat dan batu struvit,
sedangkan yang jarang didapat
adalah batu sistin.5
Beberapa material batu sulit dihancurkan oleh metode apa pun,
misalnya batu kalsium
oksalat monohidrat, yang keras dan padat. Apabila batu tersebut
terletak di distal, maka ekstraksi
menggunakan ureteroskopi dengan keranjang atau forseps akan
lebih efektif daripada
fragmentasi. Sebaliknya, batu kalsium oksalat dihidrat akan
dengan mudah dipecah dan
biasanya merupakan kandidat yang baik untuk ESWL atau litotripsi
intrakorporal. 5
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 6/43
III.3 Diagnosis Batu Saluran Kemih
Klinis
Pasien dengan kolik ginjal biasanya mengeluh nyeri pinggang,
muntah dan
demam, serta mungkin mempunyai riwayat penyakit batu. Diagnosis
klinis haruslah
ditunjang oleh pemeriksaan pencitraan yang sesuai. Hal ini akan
membantu memutuskan
apakah cukup dengan terapi konservatif atau dibutuhkan terapi
lain. 6
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai
mempunyai
batu. Hampir semua batu saluran kemih (98%) merupakan batu
radioopak. Pada kasus
ini, diagnosis ditegakkan melalui radiografi. Pemeriksaan rutin
meliputi foto abdomen dari
ginjal, ureter dan kandung kemih (KUB) ditambah USG atau
excretory pyelography
(Intravenous Pyelography, IVP). Excretory pyelography tidak
boleh dilakukan pada
pasien dengan alergi media kontras, kreatinin serum > 2
mg/dL, pengobatan metformin,
dan myelomatosis.6
Pemeriksaan radiologi khusus yang dapat dilakukan meliputi :
6
Retrograde atau antegrade pyelography
Spiral (helical) unenhanced computed tomography (CT)
Scintigraphy
CT Scan tanpa kontras (unenhanced) merupakan pemeriksaan terbaik
untuk
diagnosis nyeri pinggang akut, sensitivitasnya mencapai 100% dan
spesifisitas 98%. CT
Scan tanpa kontras tersedia luas di negara-negara maju dan juga
dapat memberikan
informasi mengenai abnormalitas di luar saluran kemih. IVP
memiliki sensitivitas 64%
dan spesifisitas 92%. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu cukup
lama dan harus
dilakukan dengan hati-hati karena kemungkinan alergi terhadap
kontras. 7
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin meliputi: sedimen urin / tes
dipstik untuk
mengetahui sel eritrosit, lekosit, bakteri (nitrit), dan pH
urin. Untuk mengetahui fungsi
ginjal, diperiksa kreatinin serum. Pada keadaan demam, sebaiknya
diperiksa C-reactive
protein, hitung leukosit sel B, dan kultur urin. Pada keadaan
muntah, sebaiknya diperiksa
natrium dan kalium darah. Untuk mencari faktor risiko metabolik,
sebaiknya diperiksa
kadar kalsium dan asam urat darah.6
Panduan pemeriksaan laboratorium selengkapnya
dapat dilihat pada Pedoman Tatalaksana Urolitiasis dari European
Association of
Urology.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 7/43
III.4 Macam Modalitas Terapi
Terapi untuk pasien dengan batu ureter dapat dikelompokkan ke
dalam lima kategori secara
garis besar :5
1. Observasi (juga disebut expectant management dan watchful
waiting)
2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
3. Percutaneus Nephrolithotomy (PNL)
4. Ureterorenoskopi (URS)
5. Pembedahan terbuka (merujuk kepada setiap tindakan yang
memerlukan paparan bedah
terbuka terhadap ureter dan pengangkatan batu).
Berikut ini akan djelaskan secara singkat satu per satu dari
modalitas terapi di atas.
III.4.1. Manajemen Observasi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, mayoritas batu ureter cukup
kecil sehingga
dapat lewat spontan tanpa menimbulkan keluhan/gejala klinis yang
berarti. Untuk batu-
batu seperti ini, observasi merupakan pilihan terapi yang
terbaik. Pasien diinstruksikan
untuk meningkatkan asupan cairan sedikitnya 3 liter/hari, yang
bertujuan untuk
mempertahankan produksi urin sebanyak 2500 ml/hari. Pasien harus
membatasi asupan
oksalat dan natrium, juga restriksi protein hewani.8 Obat obatan
yang digunakan untuk
mengatasi kolik sementara sebelum batu lewat mencakup analgesik
narkotik dan obat
anti inflamasi non steroid.5,6
Dalam pertimbangan awal apakah akan memilih atau menolak
intervensi, ukuran
dan lokasi batu merupakan faktor utama. Batu dengan lebar 5 mm
di ureter proksimal
memiliki kemungkinan 70-80% untuk mengalami pengeluaran spontan
dan kemungkinan
ini akan lebih besar apabila batu tersebut terletak di ureter
distal.5
Namun, ukuran mungkin pula bukan merupakan faktor terpenting
jika pasien
mengalami nyeri yang tak tertahankan. Dalam kasus ini, terapi
yang terbaik adalah
intervensi, tanpa memperhitungkan ukuran batu. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka
ginjal berisiko mengalami pielonefritis dan atau pionefrosis
sehingga perlu dilakukan
terapi segera, tanpa memperhitungkan ukuran batu.5
Faktor lain adalah derajat penyumbatan. Sebuah contoh yang
ekstrim, pasien
dengan batu asimtomatik di ureter distal tanpa obstruksi dapat
diobservasi selama satu
tahun atau lebih sebelum akhirnya batu lewat atau diambil
keputusan untuk terapi aktif.
Pasien dengan fungsi renal mendekati ambang batas, ginjal
soliter, dan ginjal
transplantasi tidak dapat bertahan terhadap obstruksi ringan
sekalipun.5
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 8/43
Irving, Calleja, Lee et al. melakukan uji klinis terhadap pasien
dengan batu ureter
unilateral simtomatik, yang direkrut saat datang ke unit gawat
darurat dengan keluhan
kolik ureter. Kriteria batu yaitu radioopak, telah dipastikan
terletak dalam ureter dan
diameter 5mm. Kriteria inklusi untuk pasien adalah fungsi ginjal
yang baik (dengan
renografi), nyeri terkontrol dengan analgesia oral dan tidak ada
tanda sepsis urologik.
Posisi batu dikonfirmasi menggunakan urografi kontras. Renogram
dengan radioisotop
MAG3 dilakukan dalam waktu 48 jam setelah pasien masuk rumah
sakit dan 1 bulan
setelah bebas batu. Indikasi untuk intervensi adalah kehilangan
fungsi ( 5%) ipsilateral,
infeksi, nyeri atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Dari
54 pasien yang direkrut (18
batu ureter sepertiga atas, 12 ureter tengah dan 24 sepertiga
bawah), terapi konservatif
dilakukan pada 18 pasien, namun pada perjalanan, 4 pasien
memerlukan intervensi
dikarenakan keluhan nyeri. Pasien lain memerlukan intervensi
segera karena nyeri (8
pasien), penurunan fungsi ginjal (15), dan penurunan fungsi
ginjal disertai infeksi (13).
Hasilnya, tidak ada batu >7mm yang keluar tanpa intervensi.
Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa manajemen konservatif untuk batu berdiameter 5-7 mm
adalah aman,
dengan syarat dilakukan renografi radioisotop untuk
mengidentifikasi ginjal yang
memerlukan intervensi.9
Pekerjaan pasien juga dapat menjadi pertimbangan dalam memilih
terapi.
Misalnya, bila pasien sering melakukan perjalanan jauh atau
menghabiskan banyak
waktu di negara asing, terapi aktif dapat dipertimbangkan bahkan
untuk batu
asimtomatik.5
III.4.2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) telah menjadi
metode yang
paling sering digunakan dalam tatalaksana aktif batu ureter.
ESWL didasarkan pada
prinsip bahwa gelombang kejut bertekanan tinggi akan melepaskan
energi ketika
melewati area-area yang memiliki kepadatan akustik berbeda.
Gelombang kejut yang
dibangkitkan di luar tubuh dapat difokuskan ke sebuah batu
menggunakan berbagai
teknik geometrik. Gelombang kejut melewati tubuh dan melepaskan
energinya saat
melewati sebuah batu. Tujuan dari metode ini adalah untuk
memecah batu menjadi
partikel-partikel yang cukup kecil sehingga dapat melewati
ureter tanpa menimbulkan
nyeri yang berarti.5,10
III.4.3. Ureterorenoskopi (URS)
Penemuan ureteroskopi pada tahun 1980-an telah mengubah secara
dramatis
manajemen batu saluran kemih. Ureteroskopi rigid digunakan
bersama dengan litotripsi
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 9/43
ultrasonik, litotripsi elektrohidrolik, litotripsi laser dan
litotripsi pneumatik agar
memberikan hasil lebih baik. Pengangkatan batu juga dapat
dilakukan dengan ekstraksi
keranjang di bawah pengamatan langsung dengan fluoroskopi.
Perkembangan dalam bidang serat optik dan sistem irigasi
menghasilkan alat
baru yaitu ureteroskop semirigid yang lebih kecil. (6,9 sampai
8,5 F). Penemuan
miniskop semirigid dan ureteroskop fleksibel membuat kita dapat
mencapai ureter atas
dan sistem pengumpul intrarenal secara lebih aman. Namun,
keterbatasan dari alat
semirigid dan fleksibel ini adalah sempitnya saluran untuk
bekerja.5
Saat ini, pilihan alat tergantung dari lokasi batu, komposisi
batu dan pengalaman
klinikus, serta ketersediaan alat.
III.4.4. Percutaneus Nephrolithotomy (PNL)
Prosedur ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu akses perkutan dan
pengangkatan
batu. Untuk mencapai akses perkutan, urolog atau radiolog
memasang kabel penuntun
fleksibel berukuran kecil di bawah kontrol fluoroskopi melalui
pinggang pasien ke dalam
ginjal lalu turun ke ureter. Jika akses sudah diperoleh, saluran
dilebarkan sampai ukuran
30 F dan dimasukkan selongsong, lalu nefroskop atau ureteroskop
rigid / fleksibel
dimasukkan melalui selongsong. Dengan tuntunan fluoroskopi dan
endokamera, batu
diangkat secara utuh atau setelah dipecahkan menggunakan
litotripsi intrakorporal.
PNL memiliki keuntungan sebagai berikut : (1) Jika batu dapat
dilihat, hampir
dipastikan batu tersebut dapat dihancurkan. (2) Dengan alat
fleksibel, ureter dapat dilihat
secara langsung sehingga fragmen kecil dapat diidentifikasi dan
diangkat. (3) Proses
cepat, dengan hasil yang dapat diketahui saat itu juga.
Perawatan di rumah sakit biasanya 3 sampai 5 hari, pasien dapat
kembali
melakukan aktivitas ringan setelah 1 sampai 2 minggu. Angka
transfusi PNL sekitar 2-
6%. Angka perawatan kembali, yaitu angka dimana instrumen harus
dimasukkan kembali
untuk mengangkat batu yang tersisa bervariasi dari 10% sampai
40-50%. Angka bebas
batu adalah 75-90%. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi
perdarahan, infeksi, dan
fistula arteri-vena.5
III.4.5. Pembedahan Terbuka
Berbagai variasi operasi spesifik dapat dilakukan untuk
mengangkat batu ureter.
Bergantung pada anatomi dan lokasi batu, ureterolitotomi dapat
dilakukan melalui insisi
samping, dorsal atau anterior. Saat ini, ureterolitotomi sudah
jarang dilakukan, kecuali
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 10/43
pada kasus dimana batu berukuran besar atau pasien memiliki
kelainan anatomi ginjal
atau ureter.
Perawatan di rumah sakit berkisar antara 2 sampai 7 hari.
Disabilitas pasca
operasi berkisar antara 4 sampai 6 minggu.5
III.4.6. Stenting
Stenting bukanlah pilihan utama, namun memegang peranan penting
sebagai
terapi tambahan pada hampir semua tatalaksana batu ureter.
Misalnya, pasien dengan
sepsis dan obstruksi membutuhkan drainase internal (menggunakan
Double J stent) atau
drainase eksternal (menggunakan nefrostomi perkutan). 5
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 11/43
BAB IV
EXTRACORPOREAL SHOCKWAVE LITHOTRIPSY
Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur
dimana batu ginjal dan
ureter dihancurkan menjadi fragmen fragmen kecil dengan
menggunakan gelombang kejut.
Fragmen kecil ini kemudian dapat keluar secara spontan. Terapi
non-invasif ini membuat pasien
terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi.
IV.1. Teknologi Mesin ESWL
Dornier HM3 (Human Model 3) adalah prototip mesin ESWL pertama
yang dirancang
oleh Christian Chaussy dari Jerman, dan menjadi standar
pembanding untuk mesin-mesin baru.
Mesin ini menggunakan generator gelombang kejut spark-gap.
Pasien dan dan generator
ditempatkan pada sebuah bak air, sehingga gelombang kejut dengan
mudah melalui air serta
jaringan dan terarah pada batu. Lokalisasi dilakukan menggunakan
fluoroskopi biplanar.
Dalam perkembangannya, dilakukan modifikasi untuk mengurangi
penggunaan anestesi,
lokalisasi batu lebih akurat, dan meningkatkan efektivitas. Bak
air yang digunakan oleh Dornier
HM3 digantikan oleh generator kecil dan kasur air. Dengan desain
baru ini, pasien dapat diterapi
dalam berbagai posisi yang membantu lokalisasi dan maksimalisasi
efek. Generator
elektromagnetik merupakan generator yang banyak digunakan saat
ini. Alat ini memiliki zona
fokus lebih kecil dari Dornier HM3 dan lebih sedikit menggunakan
anestesi. Pada mesin generasi
baru juga dijumpai kombinasi ultrasonik dan fluoroskopi. 4
Semua mesin litotripsi tersusun atas 4 komponen dasar : (1)
sumber energi (generator
gelombang kejut), (2) focusing system, (3) pencitraan atau unit
lokalisasi, dan (4) mekanisme
coupling.4
IV.1.1. Generator gelombang kejut
Semua generator gelombang kejut didasari oleh prinsip geometri
elips.
Gelombang kejut dibuat pada titik fokus pertama dari ellipsoid
(F1 dalam separuh elips)
dan dikirim ke titik fokus kedua (F2) pada pasien. Zona fokus
adalah daerah pada F2
dimana gelombang kejut terkonsentrasi.
Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk membangkitkan gelombang
kejut, yaitu
elektrohidrolik, pizoelektrik dan energi elektromagnetik.
Energi elektrohidrolik. Teknik ini paling sering digunakan untuk
membangkitkan
gelombang kejut. Pengisian arus listrik voltase tinggi terjadi
melintasi sebuah elektroda
spark-gap yang terletak dalam kontainer berisi air. Pengisian
ini menghasilkan
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 12/43
gelembung uap, yang membesar dan kemudian pecah, membangkitkan
gelombang
energi bertekanan tinggi.
Energi pizoelektrik. Pada teknik ini, ratusan sampai ribuan
keramik atau kristal
pizo dirangsang dengan denyut listrik energi tinggi. Ini
menyebabkan vibrasi atau
perpindahan cepat dari kristal sehingga menghasilkan gelombang
kejut.
Energi elektromagnetik. Aliran listrik di alirkan ke koil
elektromagnet pada silinder
berisi air. Lapangan magnetik menyebabkan membran metalik di
dekatnya bergetar
sehingga menyebabkan pergerakan cepat dari membran yang
menghasilkan gelombang
kejut.10
IV.1.2. Focusing system
Semua litotriptor gelombang kejut memiliki sebuah focusing
system yang
mengkonsentrasikan dan mengarahkan energi gelombang kejut ke
batu, yaitu pada F2,
sehingga batu hancur menjadi fragmen.
Sistem elektrohidrolik menggunakan prinsip dari elips untuk
mengarahkan energi
yang di buat dari elektroda spark-gap. Pada sistem pizoelektrik,
kristal diatur pada
lempeng hemisfer, sehingga energi yang dihasilkan diarahkan pada
satu titik pusat.
Sistem elektromagnetik menggunakan lensa akustik atau reflektor
silindris untuk
memfokuskan gelombang.10
IV.1.3. Sistem lokalisasi
Pencitraan dikerjakan untuk melokalisasi batu dan mengarahkan
gelombang
kejut pada batu. Selama terapi, pencitraan tetap dilakukan
dengan tujuan untuk
membantu meyakinkan gelombang kejut ditembakkan pada arah yang
tepat. Terdapat
dua metode yang digunakan untuk melokalisasi batu, yaitu
fluoroskopi dan ultrasound.
Fluoroskopi memiliki keuntungan yaitu dapat mengidentifikasi
batu renal dan
ureter dan dapat membantu menghitung perpindahan fragmen.
Kerugian fluoroskopi
adalah penggunaan radiasi ion dan ketidakmampuan untuk
memvisualisasikan batu
radiolusen atau radioopak minimal. Penggunaan kontras intravena
selama terapi
bermanfaat untuk melokalisasi batu dengan fluoroskopi. Teknik
visualisasi yang lain juga
menggunakan kateter ureter yang ditempatkan sebelumnya sehingga
kontras dapat
langsung dimasukkan ke dalam ureter dan pelvis ginjal kapan pun.
Jika menggunakan
double-J stent, kontras dapat dimasukkan ke kandung kemih dengan
kateter, kemudian
kontras mengalami refluks ke ginjal sehingga dapat
divisualisasi.
Ultrasound dapat memvisualisasikan kedua batu radioopak dan
radiolusen tanpa
kontras intravena seperti pada fluoroskopi. Ultrasound juga
dapat langsung memonitor
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 13/43
proses litotripsi. Meskipun memiliki keuntungan tidak ada
paparan radiasi, batu ureter
seringkali sulit dilokalisasi dengan sonografi.10
IV.1.4. Mekanisme coupling
Sistem coupling dibutuhkan untuk menyalurkan energi yang
dihasilkan oleh
generator dan gelombang tekanan pada permukaan kulit, yang
kemudian akan
menembus jaringan tubuh untuk mencapai batu. Dahulu hal ini
dilakukan dengan
menempatkan pasien pada bak mandi besar (Dornier HM3, generasi
ke-1). Saat ini,
mesin generasi ke-2 dan ke-3 menggunakan kolam kecil berisi air
atau bantal berisi air
dilapisi membran silikon untuk mencegah kontak udara dengan
kulit pasien.10
IV.2. Pedoman Penggunaan ESWL
Kajian ini bertujuan untuk menyusun suatu pedoman penggunaan
ESWL, yang meliputi
indikasi, kontraindikasi, prosedur tambahan pra ESWL,
perkembangan teknologi mesin beserta
perbandingan klinis efektivitas berbagai jenis mesin, dan
analisis biaya.
American Urological Asociation (AUA) dan European Association of
Urology (EAU)
telah mengeluarkan pedoman tatalaksana batu saluran kemih.
Pedoman tersebut juga
merupakan referensi dalam menyusun rekomendasi ini.
IV.2.1. Indikasi ESWL
A. Penggunaan ESWL untuk Batu Ureter
Berdasarkan pedoman dari AUA, ESWL merupakan pilihan terapi
untuk batu
ureter distal maupun proksimal, namun tidak untuk batu ureter
tengah. Sedangkan
pedoman dari EAU lebih rinci menguraikan bahwa ESWL in situ
merupakan pilihan
pertama terapi untuk batu radioopak, batu infeksi dan batu
sistin semua ukuran di ureter
proksimal; batu radioopak, urat, batu infeksi dan sistin semua
ukuran di ureter tengah;
serta batu radioopak, urat, batu infeksi dan sistin semua ukuran
di ureter distal, ureter
tengah. Terdapat kontroversi dalam hal terapi mana yang terbaik
untuk batu ureter,
terutama batu ureter distal, apakah ESWL atau URS. 5,6
B. Penggunaan ESWL untuk Batu Ginjal
Tujuan tatalaksana batu ginjal adalah untuk mencapai bersihan
batu maksimal
(dinyatakan dengan angka bebas batu) dengan morbiditas minimal.
Dalam memilih
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 14/43
pendekatan terapi , beberapa faktor harus dipertimbangkan, yaitu
faktor batu, anatomi
ginjal, serta pasien. Faktor-faktor tersebut akan diuraikan
sebagai berikut.
Tabel 1 . Faktor-faktor yang mempengaruhi tatalaksana batu
ginjal 4
Batu Anatomi ginjal Pasien (klinis)
Ukuran Jumlah Komposisi Lokasi Primer/Residif
Obstruksi/stasis Hidronefrosis Obstruksi ureteropelvic junction
Divertikel kaliks Ginjal tapal kuda dan anomali ektopik Anatomi
kutub bawah ginjal
Infeksi Obesitas Deformitas habitus tubuh Koagulopati Anak-anak
Orangtua Hipertensi Gagal ginjal
Batu berukuran diameter 2cm
paling baik diterapi dengan teknik endoskopi.11
El-Anany melakukan uji klinis terhadap 30
pasien dengan batu ginjal >2cm yang diterapi dengan laser
holmium melalui ureteroskop.
Keberhasilan didefinisikan sebagai fragmentasi total mencapai
3cm,
terapi membutuhkan 135 (75-160) menit dan sukses pada tiga
pasien. Semakin kecil
beban batu, semakin besar kesuksesan dan semakin sedikit waktu
yang dibutuhkan.
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa terapi batu ginjal
menggunakan
ureteropieloskopik merupakan terapi invasif minimal dibandingkan
PNL dan operasi
terbuka, aman serta efektif untuk batu pelvis besar.12
IV.2.2. Kontradindikasi ESWL
A. Kontraindikasi Absolut
Kontra indikasi absolut adalah : infeksi saluran kemih akut,
gangguan
perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta
obstruksi batu distal.10
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 15/43
Mengenai kehamilan, Asgari et al, melakukan studi kasus kontrol
dari data
sekunder terhadap 824 wanita usia reproduksi dengan batu ginjal
yang menjalani terapi
ESWL (Dornier HM3). Dari jumlah tersebut, enam wanita sedang
mengalami kehamilan
bulan pertama saat menjalani ESWL. Sebelum ESWL, keenam pasien
pernah
melahirkan bayi cukup bulan tanpa malformasi. Follow-up
terhitung sejak sesi terakhir
ESWL adalah 32,1 (10-58) bulan. Rata-rata jumlah gelombang kejut
yang diberikan
adalah 2850 (800-6300), sedangkan rata-rata ukuran batu adalah
12 (5-18) mm. Keenam
wanita tersebut melahirkan bayi tanpa malformasi ataupun anomali
kromosom. Studi ini
menyimpulkan bahwa ESWL dengan tuntunan ultrasound untuk batu
ginjal tampaknya
aman pada wanita hamil. Namun, jumlah pasien yang lebih besar
dengan studi prospektif
dibutuhkan untuk menilai efek jangka panjang; studi ini tidak
menyarankan litotripsi
sebagai terapi batu ginjal untuk wanita hamil.13
Frankenschmidt melaporkan kasus seorang wanita 28 tahun, hamil
25 minggu
dengan nyeri pinggang kanan. Ultrasound menunjukkan dilatasi
sistem pengumpul ginjal
kiri dan ureter proksimal, terdapat batu berukuran 16x5 mm di
ureter proksimal. Upaya
mendorong batu dengan stent tidak berhasil dan pasien mengalami
serangan kolik
berulang yang tidak reda dengan narkotik parenteral, oleh karena
itu dianjurlkan
nefrostomi perkutan. Namun, ketika pasien dijelaskan mengenai
risiko perdarahan,
infeksi, pergeseran tube dan oklusi serta kemungkinan diversi
ureter, sehingga pasien
meminta dilakukan ESWL. Dari pemeriksaan didapatkan jarak yang
cukup (11 cm)
antara batu/fokus dan uterus, kemudian dilakukan ESWL
pizoelektrik dengan penuntun
ultrasound. Batu berhasil dihancurkan dan fragmen keluar spontan
tanpa kolik. Untuk
menghindari steinstrasse, dimasukkan Double J stent selama 3
minggu.14
B. Kontraindikasi Relatif
Kontra indikasi relatif untuk terapi ESWL adalah :10
Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan
mengerti prosedur.
Berat badan > 300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang
kejut mencapai batu,
karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor.
Pada pasien seperti ini
sebaiknya dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu
Pasien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik
dan atau malformasi
ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami kesulitan
dalam pengaturan
posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase
intrarenal dapat
menghambat pengeluaran fragmen yang dihasilkan oleh ESWL
Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat
diatasi dengan
anestesi.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 16/43
Pasien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan
perhatian dan
pertimbangan khusus.
Pasien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan
peningkatan insidens
hematom perirenal pasca terapi.
Pasien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami
eksaserbasi
pasca terapi walaupun jarang terjadi.
Pasien harus menghentikan terapi antikoagulan, seperti coumarin,
sehingga
cukup waktu untuk faktor pembekuan kembali normal. Produk
aspirin dan anti inflamasi
non- steroid dihentikan 7-10 hari sebelum terapi untuk
menormalkan fungsi platelet.6,10
IV.2.3. Prosedur ESWL
Bila seseorang telah ditentukan memenuhi indikasi ESWL dan
memberikan
informed consent, maka perlu dilakukan pemeriksaan pra ESWL
sebagai berikut:6,10
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berikut dilakukan sebelum terapi untuk
memastikan
bahwa pasien tidak menderita infeksi saluran kemih ataupun
gangguan perdarahan :
- Fungsi ginjal : kreatinin serum
- Analisis urin, kultur urin
- Hitung darah lengkap, prothrombin time (PT) dan activated
parsial
thromboplastin time (APTT)
Pencitraan
- pielografi intravena
- ultrasonografi ginjal
- CT scan non kontras
Pemeriksaan lain
- EKG pada pasien berusia > 50 tahun
IV.2.4. Peranan Terapi Farmakologik
Beberapa studi melaporkan efektivitas dari terapi farmakologik
(antagonis
kalsium dan kortikosteroid) dalam memfasilitasi ekspulsi batu
ureter. Pada sebuah uji
acak terkontrol tersamar ganda dengan plasebo, nifedipin
(kalsium antagonis) digunakan
bersama dengan kortikosteroid (metilprednislon) untuk membantu
pengeluaran spontan
batu ureter.5
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 17/43
Porpiglia et al. melakukan uji klinis acak terkontrol terhadap
80 pasien dengan
yang menjalani ESWL. Pasien dibagi secara random ke dalam dua
kelompok : 40 pasien
mendapat terapi adjuvan dengan terapi medis oral (nifedipin dan
deflazacort); 40 pasien
lainnya sebagai kelompok kontrol. Hasilnya, ekspulsi komplit
terjadi pada 30 (75%)
pasien dari kelompok pertama dan 20 (50%) pasien dari kelompok
kontrol. Diperoleh
perbedaan signifikan dalam hal angka bebas batu (p=0,02).
Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa nifedipin dan deflazacort yang diberikan setelah
ESWL dapat
meningkatkan keberhasilan terapi. 15
IV.2.5. Komplikasi
Berikut ini merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat
terapi ESWL.
Komplikasi Ginjal10
Hematoma perinefrik, subkapsular dan intranefrik, yang dapat
mengakibatkan nyeri
hebat, ileus dan syok/hipotensi.
Hematuria. Ini terjadi pada sebagian besar pasien dan hilang
dalam beberapa jam
sampai beberapa hari. Kadang-kadang terjadi banyak bekuan darah
sehingga
memerlukan pencitraan segera untuk mencari sumber
retroperitoneal dan atau renal.
Sepsis. Hal ini jarang terjadi bila urin preoperatif steril.
Steinstrasse. Jika asimtomatik dan tidak menimbulkan obstruksi,
pasien dimonitor
dengan pencitraan berkala. Jika terjadi obstruksi, infeksi,
gejala klinis, maka
sebaiknya dilakukan nefrostomi perkutaneus atau ureteroskopi
dengan stenting.
Hipertensi. Hal ini jarang terjadi, kemungkinan akan lebih besar
bila terbentuk
hematom perinefrik yang besar. Elves melakukan uji klinis acak
terkontrol mengenai
efek ESWL terhadap tekanan arah. Sebanyak 228 pasien dengan batu
kaliks kecil
(
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 18/43
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah (1) komplikasi paru,
misalnya
hemoptisis, (2) pankreatitis, (3) hematom limpa, (4) peningkatan
sementara fungsi hati
dan (5) kolik bilier. 10
IV.2.6. Anestesi dan Analgesia dalam ESWL
Anestesi dalam ESWL bertujuan mengurangi rasa nyeri untuk
mempertahankan
posisi pasien stabil sehingga dihasilkan arah tembakan yang
akurat. Namun demikian,
anestesi umum tentunya mengakibatkan ketidaknyamanan dan
memerlukan pemulihan
yang lebih lama pasca prosedur. Selain itu, lewatnya fragmen
batu sering mengakibatkan
kolik yang berat.
Jermini dkk melakukan studi terhadap 165 pasien dengan batu
ureter yang
berjarak 5 cm dari ureterovesical junction, dan menjalani ESWL
dengan Lithostra Ultra
(Siemens, Erlangen, Jerman). Pasien diterapi dalam posisi
supinasi dan batu dilokalisasi
dengan ultrasound tanpa paparan sinar X. Terapi dimulai tanpa
anestesi atau analgesia;
analgesik hanya diberikan bila diminta oleh pasien selama
terapi. Hasilnya, 93% pasien
diterapi tanpa anestesi atau analgesia, sedangkan 7% memerlukan
petidin intravena 25
mg dosis tunggal. Kolik renal pasca operatif terjadi pada 40
pasien (24%). Dari semua
pasien, 7% menjalani terapi ulang. Setelah 3 bulan, 129 dari 130
pasien (99%)
mengalami bebas batu. Kesimpulan dari studi ini adalah ESWL
untuk batu yang terletak
pada ureter paling distal menggunakan mesin Lithostar Ultra
adalah efektif, aman dan
bebas radiasi. Prosedur tersebut dapat dilakukan tanpa anestesi
dan pada kebanyakan
kasus tanpa analgesik. Prosedur yang sederhana dan non invasif
ini merupakan terapi
lini pertama yang sangat baik untuk batu pra vesika dan
merupakan alternatif yang valid
terhadap manajemen konservatif atau endoskopi invasif.17
IV.3. Perbandingan Klinis Antara Berbagai Jenis Litotriptor
Sejak dari pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980, teknologi
mesin litotriptor telah
berkembang begitu pesat. Saat ini, secara garis besar terdapat
dua tipe litotriptor : (1) Meja
ESWL dengan desain optimal yang sebelumnya digunakan untuk mesin
berbiaya rendah. Alat ini
terdiri dari meja terapi, sumber gelombang kejut dengan
ultrasound lateral atau koaksial, dan
sebuah C-arm isosentrik sebagai sistem lokalisasi utama. Sistem
ini sesuai untuk departemen
dengan volume pemakaian rendah. (2) Uro-Lithotriptor dengan
sistem lokalisasi fluoroskopi
tunggal. Kekurangan mesin ini adalah keterbatasan pemeriksaan
diagnostik (foto polos sinar X:
KUB, IVP). Beberapa uro-lithotriptor dibuat dengan pencitraan
ganda, yaitu kombinasi fluoroskopi
dan ultrasound (Dornier Lithotriptor S. Siemens Lithoskop).
Mesin seperti ini terutama sesuai
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 19/43
untuk institusi dengan volume pemakaian tinggi, namun masih
cukup ekonomis untuk
departemen dengan volume pemakaian sedang.18
IV.3.1. Efficacy Quotient
Efficacy quotient (EQ) yang diperkenalkan oleh Preminger,
Clayman dan
Denstedt dapat menggambarkan efikasi klinis dari suatu
mesin.18
EQ ini didasarkan pada hipotesis bahwa setelah operasi terbuka
atau
nefrolitotomi perkutan (PCNL), setiap pasien seharusnya
mengalami bebas batu (angka
bebas batu = 100%) sehingga tidak membutuhkan prosedur tambahan
(perosedur
tambahan = 0%). Nilai EQ yang ideal adalah 1,0.
IV.3.2. Efficacy Quotient yang Diperluas
EQ yang diperkenalkan oleh Denstedt, Clayman dan Preminger
hanya
memperhitungkan prosedur tambahan pasca ESWL. Rumus tersebut
tidak
memperhitungkan prosedur tambahan pra ESWL yang juga bertujuan
untuk
meningkatkan hasil terapi. Taily memasukkan prosedur pra ESWL
ini dalam perhitungan
effectiveness quotient (EQB). Terlepas dari modifikasi ini,
harus disadari bahwa bayak
parameter tersembunyi yang berperan penting dalam EQ, seperti
imaging, strategi
terapi, regimen analgesia dan pengalaman operator.18
IV.3.3. Efficacy Quotient yang Dimodifikasi
Modifikasi lain dari Efficacy Quotient bertujuan untuk menilai
efektivitas litotriptor
dengan lebih akurat. Persentase prosedur pra ESWL berkisar
30-40%, yang terutama
berupa pemasangan stent ureter untuk batu besar (>2 cm) atau
untuk mengurangi nyeri.
EQ tidak dapat membedakan antara prosedur adjuvan atau kuratif
pasca ESWL, dimana
data ini diperlukan untuk mengeksklusi pasien yang mencapai
bebas batu oleh
ureteroskopi, nefrolitomi perkutan atau bahkan operasi terbuka.
Oleh karena itu, diajukan
EQmod sebagai berikut, yang memperhitungkan prosedur tambahan
baik pra maupun
pasca ESWL :
% pasien bebas batu EQ =
--------------------------------------------------------------------------
100% + %ESWL ulang + % prosedur post ESWL
%pasien bebas batu - %prosedur tambahan kuratif EQmod =
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
100% + %ESWL ulang + %prosedur tambahan pra ESWL + %prosedur tamb
pasca ESWL
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 20/43
Karena angka bebas batu sangat menentukan dalam penghitungan
rumus EQ,
rerata jangka waktu observasi harus disebutkan (misalnya,
EQ3bln). Pada studi yang
dilakukan oleh Rassweiler, angka bebas batu masih meningkat
melebihi jangka waktu 12
bulan.
Di RSCM, terdapat kesulitan dalam menghitung EQ, dikarenakan
data rekam
medis yang tidak lengkap dan pasien kontrol
berpindah-pindah.
IV.3.4. Standard Aktual ESWL
Tidak diragukan bahwa Dornier HM3 telah menjadi standard yang
cukup tinggi
dalam penentuan efektivitas klinis ESWL, dimana hal tersebut
tidak dapat dicapai oleh
mesin generasi kedua. Namun pada saat ini, perkembangan
teknologi dan klinis ESWL
telah berubah drastis :
Jumlah prosedur pra ESWL meningkat secara bermakna dari 0-10%
menjadi 20-
30% sehingga mengurangi morbiditas pasca ESWL
ESWL dilakukan di bawah anestesi minor atau bahkan tanpa
anestesi
Biaya ESWL sangat terjangkau, membutuhkan lebih sedikit ruangan
dan
pemeliharaan alat yang lebih baik.
Perubahan-perubahan tersebut memiliki dampak penting pada
pemilihan
litotriptor. Efficacy Quotient seperti yang diperkenalkan oleh
Clayman tidak dapat
diterapkan. Yang lebih tepat adalah EQ modifikasi yang
memasukkan jumlah prosedur
pra ESWL dan membedakan antara prosedur tambahan pasca ESWL yang
bersifat
adjuvan dan kuratif. Hal yang menarik adalah bahwa EQ modifikasi
dengan jelas
menyatakan bahwa efektivitas mesin generasi ketiga sama sekali
tidak berbeda dari
Dornier HM3 (tabel 2), bahkan memiliki kelebihan karena cukup
dilakukan analgesia
intravena dan prosedur tambahan dapat dilakukan di atas meja
yang sama.19
Bierkens juga melakukan studi perbandingan multisenter terhadap
17 pusat
ESWL yang menggunakan Siemen Lithostar, Dornier HM4, Wolf
Piezolith 2300, Direx
Tripter X-1 dan Breakstone Lithotriptor. Studi ini merupakan
studi prospektif, tanpa
kontrol dan tidak acak, dan menghitung efficacy quotient untuk
setiap mesin
menggunakan rumus dari Clayman. Hasilnya, angka kesuksesan
terapi dengan mesin
generasi kedua masih di bawah mesin generasi pertama, Dornier
HM3. Kelima mesin
generasi kedua tersebut memiliki perbedaan dalam jenis batu,
yang berkaitan dengan
teknik pencitraan, penggunaan anestesi, prosedur tambahan dan
hospitalisasi, tetapi
angka kesuksesan antara kelima mesin tersebut adalah sama.
Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa mesin ESWL generasi kedua kurang efektif
dibandingkan generasi
pertama.19
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 21/43
Tabel 2. Perbandingan antara Berbagai Generasi Litotriptor
menggunakan Efficacy Quotient (EQ1) dan Efficacy Quotient
modifikasi (EQ2)19
Litotriptor Batu ureter ESWL
ulang (%)
Prosedur tambahan (%) Angka bebas
batu (%)
Efficacy Quotient
Batu (%) >2cm (%) Pre Post Kuratif EQ1 EQ2
1st Generation
Dornier HM3
USA Study
Stuttgart
2nd Generation
Dornier HM3+
Piezolith 2000
3rd Generation
Lithostar Puls
Modulith SL 20
Actual Lithotriptor
Dornier Litho S
Siemens Multiline
13
17
31
23
37
34
30
34
14
13
15
17
9
6
9
9
16
14
16
45
27
28
13
25
-
10
22
15
33
31
2
8
8
14
5
14
9
7
8
6
5
3
1
3
6
3
2
2
66
73
75
72
85
84
87
78
0,53
0,57
0,61
0,45
0,63
0,62
0,71
0,56
0,51
0,52
0,52
0,40
0,49
0,50
0,70
0,55
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 22/43
BAB V
HASIL DAN DISKUSI
Masih banyak ditemui kontroversi mengenai indikasi ESWL untuk
jenis dan lokasi batu
tertentu, pengulangan ESWL pasca ESWL primer, tatalaksana efek
steinstrasse pasca ESWL,
pemberian antibiotik profilaksis, pemilihan mesin ESWL serta
kompetensi untuk melakukan
ESWL. Hal-hal tersebut membutuhkan pengkajian dan diskusi lebih
lanjut. Akan dibahas satu per
satu berikut ini.
V.1. Batu Ginjal
V.1.1. Batu Staghorn
Batu staghorn didefinisikan sebagai batu bercabang yang
menempati sistem
pengumpul ginjal. Tatalaksana optimal untuk batu ini perlu
mempertimbangkan tiga faktor
utama :
Beban batu keseluruhan
Lokasi beban batu (kaliks mana dan berapa banyak kaliks yang
terlibat)
Anatomi sistem pengumpul (misalnya, adakah dilatasi sistem
pengumpul)
Berikut ini adalah kriteria dalam pemilihan terapi untuk batu
staghorn :
Tabel 3. Kriteria pemilihan terapi untuk batu staghorn 20
Kriteria ESWL PCNL Kombinasi
Beban batu Minor Mayor Mayor
Distribusi batu Perifer Sentral sentral+perifer
Sistem pengumpul ginjal Sempit Dilatasi sempit/dilatasi
Radioopasitas Cukup Kurang Cukup
Komposisi kimiawi Tidak ada sistin - -
Operasi Terbuka
Operasi terbuka merupakan pilihan terapi yang potensial utuk
batu staghorn,
karena dapat membersihkan sebagian besar batu melalui sekali
prosedur dan
menghasilkan angka bebas batu yang sebanding. Oleh karena itu,
beberapa penulis
masih menganjurkan operasi terbuka untuk batu staghorn komplit.
Namun, kerugian dari
operasi ini adalah berkurangnya fungsi ginjal setelah pembedahan
yang ekstensif seperti
pielolitotomi intersegmental anatrofik, yang terjadi pada 30-50%
pasien. Angka residu
batu setelah operasi terbuka adalah 15%, dengan rekurensi 30%
setelah 6 tahun dan
risiko infeksi saluran kemih 40%. Berdasarkan hal tersebut,
Rassweiler membatasi
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 23/43
indikasi operasi terbuka hanya untuk pasien dengan beban batu
masif yang tidak dapat
dicapai secara endoskopik atau dengan beberapa kali tindakan
ESWL, atau bila
dibutuhkan operasi rekonstruktif tambahan (misalnya
kaliko-ureterostomi, pieloplasti).20
Pedoman dari AUA
Pedoman AUA untuk batu staghorn menyatakan bahwa standar terapi
untuk
batu staghorn struvite yang baru terdiagnosis adalah intervensi
aktif. Pasien harus
diinformasikan mengenai keempat modalitas intervensi aktif yaitu
: operasi terbuka,
percutaneus nephrolithotomy (PNL), ESWL serta kombinasi PNL dan
ESWL beserta
segenap keuntungan dan kerugian dari pilihan terapi
tersebut.11
Monoterapi ESWL atau Kombinasi ESWL+PNL ?
Meretyk, dkk melakukan uji klinis prospektif acak untuk
membandingkan hasil
antara monoterapi ESWL dengan kombinasi ESWL+PNL untuk batu
staghorn komplit.
Studi ini melibatkan 50 unit ginjal: 27 ginjal diterapi dengan
monoterapi ESWL (grup 1)
dan 23 (grup 2) diterapi dengan kombinasi PNL (inisial) + ESWL.
Kedua grup ini
dibandingkan dalam hal ukuran batu, derajat dilatasi sistem
pengumpul, kultur urin saat
presentasi, jumlah sesi terapi, dosis narkotik, episode kolik
renal, komplikasi septik,
prosedur tambahan yang tidak direncanakan, lama perawatan rumah
sakit, durasi terapi
total dan angka bebas batu setelah 6 bulan.
Hasilnya, angka bebas batu secara signifikan lebih besar pada
grup 2 daripada
grup 1 (74 versus 22%, p=0,0005). Angka komplikasi lebih besar
pada grup 1, yaitu 15
komplikasi septik pada 10 pasien dibandingkan dengan hanya 2
episode pada grup 2
(p=0,007). Lama terapi keseluruhan secara signifikan lebih
pendek pada grup 2 ( 1
versus 6 bulan, p=0,0006). Tidak terdapat perbedaan bermakna
dalam hal jumlah
prosedur yang dilakukan dengan anestesi atau lama hari perawatan
antara kedua grup.
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa kombinasi PNL dan ESWL
harus
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
batu staghorn.21
(Level of evidence IIa)
Batu Staghorn pada Anak
Terapi batu staghorn pada anak-anak merupakan tantangan.
Al-Busaidy
melakukan studi klinis terhadap 42 anak ( 9 bulan sampai 12
tahun) dengan batu
staghorn (33 parsial dan 9 komplit) menggunakan Piezolith 2501.
Kelompok awal
sebanyak 19 pasien menjalani ESWL tanpa stenting profilaksis,
sedangkan pada
kelompok lainnya (23 pasien) dilakukan pemasangan double J stent
sebelum sesi ESWL
pertama. Parameter yang dinilai adalah umur rata-rata pasien,
ukuran batu, jumlah
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 24/43
gelombang kejut, jumlah sesi ESWL, lama perawatan, angka bebas
batu dan komplikasi
mayor. Hasilnya, sebanyak 33 anak (79%) mengalami bebas batu
setelah 3 bulan.
Kedua grup sebanding dalam hal umur, ukuran batu, jumlah
gelombang kejur dan sesi
ESWL serta angka bebas batu. Komplikasi mayor terjadi pada 21%
kelompok tanpa
stent, dan tidak terjadi sama sekali pada kelompok yang distent
(p=0,035). Tujuh
prosedur tambahan pasca ESWL dibutuhkan pada kelompok tanpa
stent. Perawatan
rumah sakit lebih lama pada kelompok tanpa stent dibandingkan
kelompok stent
(p=0,022). Pada follow-up setelah 9 102 bulan (rata-rata 47)
terjadi rekurensi pada 2
anak, yang kemudian diterapi dengan ESWL.
Kesimpulan studi ini adalah monoterapi ESWL merupakan modalitas
yang
efisien dan aman utuk terapi batu staghorn anak-anak. Pasien
yang distent mengalami
komplikasi lebih sedikit dan masa perawatan lebih singkat.
Dianjurkan untuk melakukan
stenting profilaksis sebelum terapi ESWL pada anak-anak dengan
batu staghorn.22
(Level
of evidence IIa)
V.1.2. Batu Ginjal Kutub Bawah (Lower Calyx)
Batu kutub bawah dikenal memiliki tingkat kesulitan yang cukup
tinggi dan
menunjukkan angka bebas batu yang rendah dengan ESWL. Beberapa
faktor berkaitan
dengan anatomi ginjal telah dilaporkan berpengaruh terhadap
angka bersihan batu kutub
bawah. Sumino melakukan studi dengan tujuan menentukan
faktor-faktor prediktor
bersihan batu kutub bawah untuk membantu mengambil keputusan
dalam terapi ESWL
untuk batu kutub bawah. Studi dilakukan terhadap 63 pasien
dengan batu kutub bawah
tunggal unilateral berkuran 2 cm. Dilakukan urografi ekskretori
untuk menentukan sudut
infundibulopelvic bawah, tinggi caliceal pelvic dan panjang
serta diameter infundibulum
kutub bawah, rasio panjang terhadap diameter infundibulum bawah
dan jumlah kaliks
minor kutub bawah. Angka bebas batu dinilai dengan sinar X.
Hasilnya, angka bersihan
batu 54%. Dengan menggunakan analisis univariat terhadap tinggi
caliceal pelvic,
panjang, rasio panjang terhadap diameter, dan diameter
infundibulum bawah, serta
jumlah kaliks minor, didapatkan perbedaan dalam hal angka bebas
batu dan angka
residual. Namun menggunakan analisis multivariat logistik
didapatkan bahwa rasio
penjang terhadap diameter infundibulum bawah, diameter dan
jumlah kaliks minor
merupakan faktor prediktor independen untuk keberhasilan
bersihan batu. Ke-13 pasien
yang memiliki 3 faktor anatomi positif (rasio panjang terhadap
diameter infundibulum
bawah 4mm dan sebuah kaliks minor tunggal) mencapai angka
bersihan batu 84,6%. Pada pasien dengan hanya 1 atau 2 faktor
positif, angka bersihan
batu masih lebih besar dari 60%.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 25/43
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa kesuksesan ESWL sangat
dipengaruhi
oleh anatomi kutub bawah ginjal. Jika seorang pasien dengan batu
kutub bawah memiliki
sedikitnya satu dari faktor-faktor positif yang telah disebutkan
sebelumnya. ESWL dapat
dianjurkan sebagai terapi lini pertama dengan kemungkinan
keberhasilan > 60%. Pilihan
terapi lain harus dipertimbangkan pada mereka yang tidak
memiliki satu pun faktor
positif.23
(Level of evidence IIIa)
Lingeman melakukan evaluasi terhadap perbandingan hasil PNL dan
ESWL
dalam tatalaksana batu ginjal kutub bawah, melalui 32 pasien
yang menjalani PNL dan
meta analisis terhadap 13 studi tentang ESWL dan 3 studi tentang
tentang PNL. Angka
bebas batu secara keseluruhan pada ESWL sebesar 60%, sedangkan
pada PNL
sebesar 90% (p 20 mm, angka bebas batu untuk SWL sebesar 33%
dibandingkan
94% untuk PNL (p
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 26/43
menjalani ESWL sedangkan 115 dimasukkan ke dalam kelompok
kontrol. Pengukuran
hasil mencakup angka bebas batu, perlunya terapi tambahan,
gejala, kualitas hidup dan
fungsi ginjal. Dari kelompok ESWL, 28 pasien (28%) mengalami
bebas batu,
dibandingkan 16 (17%) dari kelompok observasi. (Rasio odds 1,95;
interval kepercayaan
95% 0,97-3,89; P=0,06). Kesimpulan dari penelitian ini adalah
ESWL profilaksis untuk
batu kaliks kecil asimtomatik tidak memberikan keuntungan bagi
pasien dalam hal angka
bebas batu, kualitas hidup, fungsi ginjal, gejala atau perawatan
rumah sakit.26
(Level of
evidence Ib)
V.2. Batu Ureter
V.2.1. Batu Ureter Proksimal
Perbandingan antara ESWL dengan ureteroskopi dengan laser
intrakorporeal
Lam, Greene dan Gupta melakukan uji klinis tanpa kontrol
untuk
membandingkan efikasi dan keamanan antara ureterosokopi dengan
laser Holmium:YAG
intrakorporeal versus ESWL untuk batu ureter proksimal. Sebanyak
67 pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi menjalani 81 prosedur
primer dimana pasien
bebas menentukan terapi apa yang dipilihnya setelah diberikan
informed consent. Angka
bebas batu awal pada pasien dengan batu 1 cm adalah 93% untuk
ureteroskopi laser
holmium: YAG dan 50% untuk ESWL in situ. Efficacy quotient untuk
batu ureter 1 cm
adalah 0,76 untuk litotripsi ureteroskopik dan 0,43 untuk ESWL.
Untuk batu ureter
proksimal 1 cm, angka bebas batu awal adalah 100% untuk
ureterosokopi laser dan
80% untuk ESWL, sedangkan efficacy quotient adalah 0,81 untuk
litotripsi ureteroskopik
dan 0,72 untuk ESWL. Tidak didapatkan komplikasi bermakna pada
kedua grup dan
semua prosedur dilakukan pada pasien rawat jalan. Kesimpulan
dari studi ini adalah
bahwa litotripsi ureteroskopik dengan dengan laser holmium: YAG
merupakan modalitas
terapi yang dapat diterima untuk batu ureter proksimal 1 cm.
Sedangkan untuk batu 1
cm, ESWL tetap menjadi terapi lini pertama karena morbiditas
yang lebih rendah, juga
kebutuhan anestesi dan analgesia yang lebih rendah.27
(Level of evidence IIa)
Perlukah manipulasi in situ ?
Kumar dkk melakukan uji klinis terkontrol prospektif terhadap 70
pasien dengan
batu ureter proksimal simtomatik. Sebanyak 35 pasien menjalani
ESWL insitu sedangkan
35 menjalani manipulasi sebelum ESWL berupa pemasangan double J
stent pada 30
pasien dan kateter ureter yang ditinggalkan di bawah batu pada 5
pasien. Sebanyak 80%
dari grup ESWL in situ serta 88,5% dari grup manipulasi
mengalami bebas batu pada
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 27/43
pemeriksaan IVP setelah 3 bulan. Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa batu ureter
proksimal harus diterapi in situ untuk menghindari morbiditas
akibat manipulasi. 28
(Level
of evidence IIa)
V.2.2. Batu Ureter Distal, ESWL atau Ureteroskopi ?
Peschel, Janetschek dan Bartsch melakukan studi prospektif acak
yang
bertujuan menentukan terapi lini pertama untuk batu ureter
distal. Sebanyak 80 pasien
dengan batu ureter distal (40 batu 5 mm, 40 batu 5 mm) diacak
dan diterapi dengan
ESWL atau ureteroskopi 9,5F atau 6,5F.
Hasilnya, ureteroskopi secara bermakna memberikan hasil lebih
baik dalah hal
lamanya prosedur, durasi fluoroskopi dan waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai bebas
batu. Semakin kecil batu, semakin besar perbedaan antar kedua
modalitas terapi
tersebut. Studi ini merekomendasikan ureteroskopi sebagai terapi
lini pertama untuk batu
ureter distal. Apabila batu 5 mm tidak lewat secara spontan,
kepada pasien
diinformasikan bahwa kemungkinan terjadi stenosis relatif dari
ureter intramural yang
akan mengakibatkan menurunnya harapan keberhasilan ESWL sehingga
membutuhkan
terapi ulang lebih sering.
Segura memberikan komentar bahwa studi ini merupakan studi yang
sangat baik
dan merupakan studi yang harus dilakukan pada situasi dimana
terdapat terapi-terapi
kompetitif untuk kasus spesifik. Aspek positif lain dari desain
studi ini adalah penundaan
terapi selama 3 minggu setelah diagnosis untuk mengoptimalisasi
kesempatan batu
lewat spontan. Studi ini juga sangat memperhatikan kepuasan
pasien, karena setelah
tercapai angka bebas batu atau setelah stent dilepas, pasien
ditanyakan apakah mereka
bersedia untuk menjalani prosedur yang sama lagi apabila terjadi
rekurensi, dan bila
tidak bersedia, apa alasannya. Uji kepuasan dilakukan dengan tes
berpasangan serasi
Wilcoxons dan test t. Hasilnya, semua pasien yang diterapi
ureteroskopi merasa puas
sedangkan hanya sebagian pada kelompok ESWL. 29
(Level of evidence IIa)
Pearle melakukan studi prospektif acak untuk membandingkan
efikasi ESWL dan
ureteroskopi untuk batu batu ureter distal. Sebanyak 64 pasien
dengan batu ureter distal
radioopak, soliter, diameter terbesar 15 mm diacak untuk terapi
dengan ESWL (32)
menggunakan Dornier HM3 dan ureteroskopi (32). Hasilnya, nyeri
pinggang dan disuri
postoperatif lebih berat pada grup ureteroskopi daripada grup
litotripsi, walaupun
perbedaannya tidak bermakna secara statistik (p disuri=0,109; p
nyeri pinggang=0,420).
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa baik ureteroskopi maupun
ESWL
memberikan angka kesuksesan yang tinggi dan angka komplikasi
rendah. Namun,
ESWL membutuhkan waktu prosedur yang lebih rendah secara
bermakna, juga
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 28/43
menunjukkan kecenderungan nyeri pinggang dan disuri yang lebih
rendah, komplikasi
yang lebih sedikit, serta penyembuhan yang lebih cepat. Walaupun
ureteroskopi dan
ESWL sama-sama efektif untuk batu ureter distal, penulis
menganjurkan penggunaan
ESWL karena lebih efisien dan morbiditas yang lebih rendah.
Kekurangan studi ini
adalah hanya menilai hasil klinis dan tidak menilai angka bebas
batu, padahal angka
bebas batu merupakan parameter penting untuk mengukur
keberhasilan suatu modalitas
terapi batu saluran kemih.30
(Level of Evidence IIa)
Studi kros seksional deskriptif dari Erturk et al. melibatkan
312 pasien dengan
batu ureter distal yang menjalani ESWL (Dornier HM3) sebagai
terapi primer. Hasilnya,
81% mengalami bebas batu setelah 3 bulan, sedangkan 27 pasien
(11%) tidak diketahui
dengan pasti status batunya. Dari 27 terapi yang mengalami
kegagalan, 22 diterapi
sukses dengan teknik ureteroskopik dan 5 pasien menjalani
operasi terbuka. Studi ini
menyimpulkan bahwa ESWL merupakan terapi yang efektif dalam
tatalaksana primer
batu ureter distal. 31
(Level of evidence IIIa)
Hasil studi tersebut juga didukung oleh Thomas, Macaluso, et al.
melalui uji klinis
terhadap 130 pasien dengan batu ureter sepertiga bawah
simtomatik yang diterapi
dengan ESWL (Medstone Lithotriptor). Pada mesin generasi pertama
(Dornier HM3)
ditemui kesulitan dalam pengaturan posisi pasien dan lokalisasi
batu, sedangkan mesin
generasi kedua memiliki kelebihan dalam hal pengaturan posisi
yang jauh lebih baik dan
mudah. Sebanyak 126 pasien menjalani monoterapi, dan 10 (8%)
dari antaranya drop-
out dalam follow-up, sedangkan dari 116 pasien sebanyak 101
pasien mengalami bebas
batu dengan terapi tunggal dan 15 pasien gagal. Ukuran batu pada
pasien yang gagal
lebih besar daripada ukuran batu rata-rata. Sebanyak 10 pasien
(8,6% dari total)
membutuhkan ureteroskopi dan 5 (4,3%) dari total memiliki
fragmen residu asimtomatik.
Kesimpulan dari uji klinis ini adalah bahwa ESWL in situ
merupakan terapi efektif untuk
batu ureter sepertiga bawah, terutama batu berukuran < 9mm.
Rata-rata ukuran batu dari
pasien yang sukses dengan satu sesi terapi ESWL adalah
8,22x5,17mm. Batu yang lebih
besar membutuhkan terapi multipel atau fragmentasi ureteroskopik
dan ekstraksi.32
(Level of evidence IIa)
V.3. Antibiotik Profilaksis
Akhir-akhir ini berkembang isu mengenai perlunya pemberian
antibiotik selama terapi
ESWL. Ilker et al. melakukan uji klinis acak terkontrol terhadap
400 pasien dengan batu ginjal
dan ureter yang memiliki urin steril sebelum terapi ESWL dan
tidak memilki risiko infeksi.
Kelompok terapi (180 pasien) menerima ofloksasin dosis tunggal
400 mg oral 1 jam sebelum
ESWL, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapat apa-apa.
Dilakukan kultur urin porsi tengah
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 29/43
1 minggu dan 1 hari sebelum ESWL. Evaluasi dilakukan melalui
urinalisis dan kultur sehari
setelah ESWL. Hasilnya, hanya 3 pasien (0,8%) yang memiliki
kultur urin positif 1 minggu setelah
ESWL. Dua dari 3 pasien tersebut telah menerima antibiotik
profilaksis. Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa insidens infeksi saluran kemih setelah ESWL sangat
rendah bagi pasien yang
memiliki urin steril sebelum ESWL, sehingga antibiotik
profilaksis tidak diperlukan. 33
(Level of
Evidence Ib)
V.4. Pengulangan ESWL setelah ESWL Primer
Retensi fragmen batu pasca ESWL terjadi pada lebih dari
seperlima pasien dan
merupakan sumber potensial komplikasi serta faktor risiko
pembentukan batu berulang. Krings
melakukan uji klinis acak terhadap 50 pasien dengan batu ginjal
unilateral yang telah mengalami
fragmentasi komplet dengan ESWL (Siemen Lithostar atau Wolf
Piezolith 2300) menjadi partikel
berukuran < 5mm, tetapi beberapa fragmen gagal melewati
kaliks tengah atau bawah. Pasien
diacak ke dalam 2 kelompok. Kedua kelompok tidak menunjukkan
perbedaan bermakna dalam
hal ukuran batu sebelum ESWL, beban batu residu dan lokasi
debris batu. Sebanyak 25 pasien
menjalani ESWL pizoelektrik, menggunakan ultrasonografi untuk
lokalisasi batu dan fragmen
dapat divisualisasi secara kontinu selama litotripsi. Sebanyak
25 pasien lain merupakan
kelompok kontrol dan tidak diterapi. Hasilnya, 83,3% pasien dari
kelompok terapi mengalami
penurunan bermakna dalam volum batu residu setelah 3 bulan.
Sebaliknya, penurunan massa
batu hanya terjadi pada 21,7% pada kelompok kontrol, dengan 1
pasien mengalami bebas batu.
Pada ginjal dimana terjadi penurunan batu tanpa bebas batu,
penurunannya jauh lebih signifikan
pada kelompok yang menjalani ESWL ulang daripada kelompok
kontrol (p
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 30/43
grup 1 dan 16 dari 26 pada grup 2. Steinstrasse sembuh spontan
pada 7 pasien di grup 1 dan 12
(46%) di grup 2 (p
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 31/43
adalah 8% dan 25%(p=0,003) dan untuk batu 6 mm adalah 1% dan 10%
(p=0,008). Pielonefritis
obstruktif terjadi sebanyak 1% pada HM3 dan 8% pada Lithostar
Plus (p=0,02). Angka terapi
ulang adalah 4% pada HM3 dan 13% pada Lithostar Plus (p=0,05).
Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa HM3 masih merupakan standar baku emas dalam hal
disintegrasi batu pelvis.
Disintegrasi batu dengan HM3 lebih baik dengan jumlah gelombang
kejut yang lebih sedikit,
angka terapi ulang lebih rendah dan dilatasi pasca terapi serta
komplikasi juga lebih rendah
daripada Lithostar.38
(Level of evidence IIa)
V.7. Kompetensi untuk Melakukan Tindakan ESWL
Berdasarkan US Congress Office of Technology Assessment,
kompetensi untuk
melakukan tindakan ESWL dimiliki oleh dokter spesialis
urologi.39
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 32/43
BAB VI
ANALISIS BIAYA
VII.1. Biaya Pengadaan dan Operasional
Biaya pengadaan dan operasional ESWL merupakan aspek yang
penting diperhatikan
dalam menyusun kebijakan nasional mengenai penggunaan alat ini.
Biaya pembelian dan
pemeliharaan mesin ESWL sangat mahal. Sebagai konsekuensinya,
bila hanya sedikit pasien
yang diterapi, biaya ESWL per pasien akan menjadi lebih tinggi,
sedangkan bila lebih banyak
pasien diterapi, biaya per pasien akan menurun.
Tarif tindakan ESWL bervariasi cukup luas dan dipengaruhi oleh
jumlah pasien yang
diobati, lokasi perawatan, peralatan yang digunakan dan tenaga
medis yang melakukan. Tarif
ESWL terdiri dari tiga komponen biaya, yaitu : 1) Biaya modal
tetap untuk pembelian dan
instalasi, 2) Biaya operasional, 3) Biaya perawatan pasien pasca
ESWL.39
VII.1.1. Biaya Modal
Dua komponen utama biaya modal tetap untuk ESWL adalah harga
mesin dan
biaya instalasi. Biaya instalasi ESWL lebih bervariasi, karena
dipengaruhi oleh kebutuhan
dan tujuan suatu rumah sakit yang memiliki peralatan tersebut.
Biaya pembelian dan
instalasi sebuah mesin Dornier saat ini sekitar $2 juta, dan
lama pemakaian alat
diperkirakan 5 tahun.
Mesin ESWL generasi kedua memiliki harga pembelian dan biaya
instalasi yang
lebih murah, hal ini disebabkan karena mesin ini tidak
membutuhkan ruangan khusus. 39
VII.1.2. Biaya Operasional
Dibandingkan dengan biaya modal tetap, biaya operasional ESWL
mungkin lebih
rendah dengan adanya penemuan alat yang lebih kecil. Biaya untuk
mengoperasikan
unit litotriptor mencakup biaya staf teknis dan perawat,
administrasi, insuransi, bahan
(seperti film sinar X, elektroda dan anestesi) dan biaya
pemeliharaan alat. Biaya kontrak
pemeliharaan dan biaya sumber energi (elektroda untuk mesin
Dornier) sangat
bervariasi, tergantung pada model mesin. Misalnya, elektroda
untuk order kecil adalah
$200, sedangkan untuk order besar seharga $160. Satu tindakan
ESWL membutuhkan
sekitar 2 elektrode per pasien.39
Biaya tambahan lain adalah tes laboratorium awal dan follow-up,
sinar X dan
perawatan rumah sakit rutin (bila pasien memerlukan rawat inap).
Prosedur tambahan
seperti pemasangan kateter ureter juga meningkatkan biaya.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 33/43
VII.2. Efek dari Jumlah pasien
Jumlah pasien merupakan aspek yang penting dalam perhitungan
biaya ESWL. Semakin
tinggi jumlah pasien, maka biaya per pasien dapat lebih murah.
Karakteristik ini disebabkan oleh
biaya tetap yang tinggi dari pembelian dan instalasi
litotriptor. Konsekuensinya, bila volume
pasien dipertahankan konstan tinggi, ESWL dapat menjadi bisnis
yang sangat menguntungkan.
Rumah Sakit Methodist, Indiana, misalnya, memeperkirakan bahwa
selama tahun pertama,
ESWL mengumpulkan keuntungan sebesar US$400 per kasus. Potensi
keuntungan ini
merupakan hal yang sangat menarik bagi banyak rumah sakit.39
VII.3. ESWL Rawat Jalan
Salah satu strategi untuk menurunkan biaya ESWL adalah dengan
menurunkan atau
menghilangkan biaya rawat inap rumah sakit. Sejak dari
diperkenalkannya ESWL sampai Juni
1985, ESWL dilakukan hampir selalu pada pasien rawat inap,
dimana pasien dirawat sebelum
prosedur dan 2-3 hari pasca prosedur untuk observasi. Terapi
ESWL yang dilakukan pada pasien
rawat jalan (tanpa dirawat) hanya kurang dari 3%. 39
Kekurangan dari ESWL rawat jalan adalah pasien tidak dapat
melakukan akses segera
ke fasilitas pelayanan kesehatan gawat darurat jika terjadi
komplikasi.
VII.4. Implikasi dari Tingginya Biaya Tetap
Biaya tetap ESWL yang tinggi memberi dampak penting baik ketika
ESWL menjadi
pilihan terapi tunggal ataupun bila dibandingkan dengan
teknologi lain. Semakin banyak rumah
sakit yang memiliki ESWL, maka masing-masing akan menangani
jumlah pasien yang lebih
sedikit sehingga berdampak pada biaya per pasien yang lebih
tinggi. Bila jumlah pasien yang
ditangani banyak, maka biaya akan menurun. Hal ini disebabkan
oleh dua hal, pertama, biaya
modal untuk pembelian dan instalasi ESWL dibagi di antara jumlah
pasien yang besar. Kedua,
harga per unit untuk elektroda Dornier (yang merupakan komponen
biaya operasional yang
bermakna) lebih murah bila elektroda dibeli dalam jumlah
besar.25
VII.5. Perbandingan Biaya Antara ESWL dan Modalitas Terapi
Lain
Perbandingan biaya antara ESWL dan modalitas terapi lainnya
dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 34/43
Tabel 4. Perbandingan tarif rata-rata untuk Tindakan
Pengangkatan Batu Saluran Kemih Atas
(Methodist Hospital, Indianapolis, )39
Tindakan
Operasi dan kamar pemu lihan
Ka mar dan pera watan
Biaya tambahan dan bahan
Lain Lain
Total Urolog Ahli anes tesi
Ahli Ra dio logi
Total Biaya total
ESWL satu kali $ 1,741 $ 951 $ 955 $ 184 $3,831 $ 1,515 $ 352 $
0 $ 1,867 $ 5,698
ESWL ulangan 3,006 1,623 1,626 307 6,562 2,179 822 0 3,001
9,563
Nefrolitotomi perkutaneus nonstaghorn
2,148 1,488 1,334 53 5,023 1,597 650 500 2,747 7,770
Nefrolitotomi perkutaneus staghorn
4,756 2,599 2,615 231 10,201 2,848 900 500 4,248 14,449
Operasi terbuka
3,122 3,131 3,399 120 9,772 1,812 950 0 2,762 12,534
Dari tabel tersebut terlihat bahwa biaya ESWL satu kali lebih
rendah daripada tindakan
nefrolitotomi perkutan atau operasi terbuka. Namun, bila
dibutuhkan lebih dari sekali tindakan
ESWL maka biaya dapat meningkat melebihi nefrostomi perkutan dan
operasi terbuka. Sebagai
pembanding, berikut ini adalah biaya tindakan ESWL di RSCM, RS
PGI Cikini, RS Dr. Soetomo,
Surabaya dan RS Hasan Sadikin, Bandung. Disertakan juga komponen
biaya tindakan pertama
ESWL di RSCM. Namun biaya tersebut masih belum mencakup
pemeriksaan
laboratorium/radiologi pra ESWL, tarif anestesi, biaya rawat
inap dan obat-obatan pasca ESWL.
Tabel 5. Tarif ESWL di RSCM dan RS PGI Cikini 40,41
Tindakan pertama Tindakan ulang
RSCM RS PGI Cikini
(non narkose)*
RSCM RS PGI Cikini
VVIP 4.000.000 sd
7.000.000
7.000.000
2.500.000 sd
6.000.000
50% dari biaya
(non narkose)
4.500.000
(narkose)
VIP
I 2.500.000
6.500.000
1.500.000
II 2.000.000 1.200.000
III 1.700.000 5.000.000 800.000
*Untuk pasien narkose dikenakan tambahan :
- jasa dokter anestesi (40%) = Rp 1.155.000, 00
- obat anestesi = Rp 1.100.000, 00
Sumber : Daftar tarif ESWL Klinik Khusus Urologi RSCM, RS
Pertamina, RS PGI Cikini
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 35/43
Tabel 6. Tarif ESWL di RS Dr. Soetomo, Surabaya 42
Paviliun/klas/swasta Poli Askes
ESWL ke-1 2.500.000 1.700.000 1.700.000 (Askes 1.500.000, iuran
pasien 200.000)
ESWL ke-2 1.675.000 1.000.000 1.000.000 (Askes 900.000, iuran
pasien 100.000)
ESWL ke-3 1.675.000 800.000 800.000
Tabel 7. Komponen Biaya Tindakan ESWL di RS Hasan Sadikin,
Bandung 43
Jenis Komponen Kls I Kls II Kls III Ket
Pra ESWL Pemeriksaan Radiologi
BNO IVP USG
Pemeriksaan Laboratorium - ureum - kreatinin - Hemoglobin -
Trombosit - Leukosit - BT - CT
Rp 40.500 Rp 487.500 Rp 75.000
Rp 8.000 Rp 8.000 Rp 8.000 Rp 8.000 Rp 8.000 Rp 8.000 Rp
8.000
Rp 350.000 Rp 380.000 Rp 60.000
Rp 7.000 Rp 7.000 Rp 7.000 Rp 7.000 Rp 7.000 Rp 7.000 Rp
7.000
Rp 35.000 Rp 300.000 Rp 55.000 Rp 6.000 Rp 6.000 Rp 6.000 Rp
6.000 Rp 6.000 Rp 5.000 Rp 5.000
Biaya Tindakan Rp 3.000.000 Rp 2.000.000 Rp 1.000.000
Pasca ESWL Antibiotik (siprofloksasin) Analgetik (asam
mefenamat)
Rp 7.500
Rp 3.150
Rp 3.150
2x1 (3 hari) 3x1 (3 hari)
Jumlah Rp 3.666.500 Rp 2.842.150 Rp 1.433.150
Tabel 8. Komponen Biaya Tindakan Pertama ESWL di RSCM 40
Biaya Operasional
Jasa Pemeliharaan Alat
Jasa Medis Bruto
7,5% PPH
4,5% Dept
8% RSCM
Jasa medis netto
Total bayar
Kelas III Poliklinik Askes
300.000 500.000 900.000 67.500 40.500 72.000 720.000
1.700.000
Kelas II 400.000 600.000 1.000.000 75.000 45.000 80.000 800.000
2.000.000
Kelas I 500.000 600.000 1.400.000 105.000 63.000 112.000
1.120.000 2.500.000
VIP/PKS/pasien luar Pasien pribadi
500.000 500.000
600.000 600.000
2.900.000 5.900.000
217.500 442.500
130.500 265.500
232.000 472.000
2.320.000 4.720.000
4.000.000 7.000.000
Sumber : Daftar Tarif Klinik Khusus Urologi RSCM 2005
Berikut ini dapat dilihat perbandingan biaya tindakan ESWL dan
modalitas terapi lain di Klinik
Khusus Urologi RSCM.
Tabel 9. Perbandingan biaya tindakan ESWL dan modalitas terapi
lain di Klinik Khusus Urologi RSCM 40
ESWL
(Tindakan Pertama)
ESWL
(Tindakan Kedua)
URS PCNL Extended
Pyelolitotomi
VIP/
Pasien luar
4.000.0000 sd
7.000.000
2.500.000 sd
6.000.000
6.600.000 sd
9.400.000
7.800.000 sd
11.000.000
6.600.000 sd
9.400.000
Kelas I 2.500.000 1.500.000 4.800.000 6.200.000 5.200.000
Kelas II 2.000.000 1.200.000 3.800.000 5.000.000 4.200.000
Kelas III 1.700.000 800.000 2.800.000 4.300.000 3.200.000
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 36/43
Dari tabel tersebut terlihat bahwa biaya ESWL lebih murah
dibandingkan dengan URS
dan PCNL, sehingga ESWL dapat dijadikan pilihan terapi untuk
batu saluran kemih atas. Namun
apabila dibutuhkan prosedur lain, seperti pemasangan DJ stent
atau lebih dari sekali tindakan
ESWL maka biaya akan meningkat melebihi URS dan PCNL. Biaya
tersebut hanya merupakan
biaya tindakan, masih harus diperhitungkan komponen biaya
pemeriksaan laboratorium dan
radiologi pra ESWL, biaya rawat inap dan obat-obatan pasca
ESWL.
VII.6. Cost effectiveness analysis 44
Karena penggunaan ESWL bukan berdiri sendiri, akan tetapi
merupakan suatu paket
tindakan, maka semua biaya yang berkaitan dengan paket tindakan
tersbut harus dihitung yaitu
sebagai berikut:
1. Biaya penggunaan alat ESWL:
a. biaya investasi
b. biaya pemeliharaan
c. biaya operasional (bahan habis pakai, tenaga, dll)
2. Biaya pre-tindakan
3. Biaya post-tindakan dan
4. Biaya pengobatan (kuratif)
Untuk menghitung biaya penggunaan alat ESWL per kasus diperlukan
data untuk
masing-masing pilihan alat sebagai berikut:
a. Harga beli
b. Masa pakai (umumnya umur ekonomis alat adalah 5 tahun)
c. Kapasitas pemakaian (jumlah pasien yang dapat dilayani per
hari)
d. Rata rata biaya pemeliharaan per tahun
e. Rata-rata biaya operasional per kali tindakan, termasuk
tenaga dan bahan habis
pakai
Kalau semua data yang disebutkan diatas tersedia, langkah
berikutnya adalah
menghitung biaya satuan per tindakan untuk masing-masing pilihan
alat. Hal itu bisa dilakukan
dengan menggunakan tabel berikut ini. Dalam kolom terakhir
diperoleh biaya satuan per satu kali
tindakan (Unit Cost). Biaya ini mencakup biaya investasi dan
pemeliharaan alat, biaya
operasional, biaya pra dan post tindakan serta biaya
kuratif.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 37/43
Tabel 9. Perhitungan biaya satuan per tindakan untuk berbagai
jenis mesin ESWL
Pilihan alat Harga beli (l)
Biaya pe meliharaan (M)
Kapasitas Biaya alat Per kasus
Biaya operasional per kasus
UC tindakan per kasus
Biaya pra tindakan
Biaya post tindakan
Biaya kuratif
UC total
a b c d=(a+b)/c e f=d+e g h l j=(f+g+h+i)
1. Dornier HM3
2. Dornier HM3+
3. Piezolith 2000
4. Lithostar Puls
5. Modulith SL 200
6. Dornier Litho S
7. Siemens Multiline
Sebetulnya angka UC total ini sudah menunjukkan perbandingan
cost effectiveness
masing-masing alat. Akan tetapi, di bab sebelumnya sudah
disampaikan bahwa efikasi masing-
masing alat tersebut bebeda, seperti ditunjukkan oleh nilai EQ1
(Efficacy Quotient) dan EQ2
(Modified Efficacy Quotient) (lihat tabel 2, hal. 21) .
Nilai EQ ini dapat dipergunakan untuk menghitung cost
effectiveness relative masing-
masing alat. Dalam tabel berikut disampaikan cara menghitung
CE-relative tersebut, yaitu
dengan menggunakan nilai EQ2. Pertama, nilai EQ2 dikonversi
menjadi EQ-relatif, yaitu dengan
memberi nilai satu untuk EQ terendah (yaitu Piezolith 2000).
Dengan demikian EQ relatif Donnier
HM3 adalah 1,3; Donnier HM3+ adalah 1,3; Lithostar Puls adalah
1,225; dan seterusnya.
Kolom terakhir dalam tabel berikut menujukkan nilai relative
cost effectiveness masing-
masing alat. CE relatif ini adalah nilai biaya satuan (Unit
Cost, UC) dikalikan dengan EQ relatif.
Untuk menentukan pilihan, kriterianya adalah CE relatif yang
terbesar.
Tabel 10. Perhitungan Relative Cost Effectiveness
Pilihan alat UC total EQ2 EQ relatif CE relatif
a b c d = a x c
1. Dornier HM3 0,52 1,3
2. Dornier HM3+ 0,52 1,3
3. Piezolith 2000 0,40 1
4. Lithostar Puls 0,49 1,225
5. Modulith SL 20 0,50 1,25
6. Dornier Litho S 0,70 1,75
7. Siemens Multiline 0,55 1,375
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 38/43
BAB VII
REKOMENDASI
1. Definisi dan ruang lingkup
Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) merupakan terapi non
invasif yang
menggunakan gelombang kejut berintensitas tinggi untuk
memecahkan batu. Gelombang ini
dibangkitkan di luar tubuh pasien lalu ditembakkan ke batu
ginjal atau ureter.
Kajian ini dibatasi pada penggunaan ESWL untuk terapi batu
saluran kemih.
2. Infrastruktur untuk instalasi mesin ESWL
Instansi yang memiliki ESWL harus memiliki infrastruktur yang
menunjang persyaratan
proteksi terhadap bahaya radiasi. (Derajat C)
3. Penggunaan ESWL pada batu saluran kemih
1. Batu ginjal :
1.1. Batu staghorn
Pilihan terapi ESWL kombinasi dengan PNL (Derajat B) atau
monoterapi
ESWL (Derajat C)
Operasi terbuka merupakan pilihan utama berdasarkan
pertimbangan
kondisi lokal, keamanan, cost-effectiveness dan persetujuan
pasien,
walaupun bukti ilmiah yang mutakhir dan sahih masih kurang
mendukung. (Derajat C)
1.2. Batu kaliks inferior
PNL lebih unggul daripada ESWL. (Derajat A)
1.3. Batu kaliks kecil asimtomatik
Tindakan yang terbaik adalah observasi (Derajat A)
1.4. Pada kasus batu kaliks media atau inferior yang telah
terpecah komplit
dengan ESWL primer, tetapi residu fragmen menetap, dapat
dilakukan
pengulangan ESWL. (Derajat A)
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 39/43
2. Batu ureter
ESWL merupakan pilihan terapi untuk batu ureter proksimal ukuran
1 cm,
sedangkan untuk batu berukuran > 1 cm pilihan terapi adalah
litotripsi
intrakorporal. (Derajat B)
ESWL merupakan pilihan terapi untuk batu ureter distal ukuran
< 1 cm,
sedangkan untuk batu berukuran 1 cm pilihan terapi adalah
ureteroskopi.
(Derajat C)
4. Antibiotik profilaksis tidak diperlukan bagi pasien yang
memiliki urin steril sebelum ESWL.
(Derajat A)
5. Penggunaan Double J stent sebelum ESWL dapat dilakukan pada
pasien dengan beban batu
1,5-3,5 cm untuk menurunkan insidens steinstrasse. (Derajat
A)
6. Pemilihan jenis mesin ESWL berdasarkan kriteria: (Derajat
C)
1. Mesin yang memungkinkan prosedur ESWL dapat dilakukan tanpa
anestesi atau
dengan anestesi minimal
2. Menghasilkan angka bebas batu yang tinggi
3. Memiliki sistem lokalisasi ganda (fluoroskopi dan USG)
7. Berdasarkan US Congress Office of Technology Assessment 1987,
yang berkompeten
melakukan tindakan ESWL adalah dokter spesialis urologi.(Derajat
C)
8. Untuk sebagian besar batu saluran kemih, ESWL merupakan
terapi yang paling cost effective
dibandingkan modalitas terapi lain.
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 40/43
BAB VIII
KEPUSTAKAAN
1. Lotan Y, Pearle MS. Economics of Stone Management. EAU Update
Series 2005;
3(1):51-60
2. Clark JY, Thompson IM, Optenberg SA. Economic Impact of
Urolithiasis in the United
States. J Urol 1995;154(6):2020-24
3. Statistik Rumah Sakit di Indonesia. Seri 3, Morbiditas dan
Mortalitas. Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik. Departemen Kesehatan RI. 2002
4. Paterson RF, Lifshitz DA, Kuo RL, et al. Shock Wave
Lithotripsy Monotherapy for Renal
Calculi. Int Braz J Urol 2002; 28(4):291-301
5. Segura JW, Preminger GM, Assimos DG, et al. Ureteral Stones
Clinical Guidelines Panel
Report on the Management of Ureteral Calculi. American
Urological Association. 1997
6. Tiselius HG, Ackermann D, Alken P, et al. Guidelines on
Urolithiasis. European
Association of Urology.
7. Bariol SV, Moussa SA, Tolley DA. Contemporary Imaging for the
Management of Urinary
Stones. EAU Update Series 2005;3(1):3-9
8. Sur RL, Preminger GM. Medical Treatment: Worthwhile and When?
EAU Update Series
2005;3(1):10-16
9. Irving SO, Calleja R, Lee F, et al. Is The Conservative
Management of Ureteric Calculi of
>4mm safe ? BJU Int 2000;85:637-640
10. Grasso M, Giddens J. Extracorporeal Shockwave Lithotripsy.
Available at :
www.emedicine.com, Last updated November 14, 2004
11. Segura JW, Preminger GM, Assimos DG, et al. Nephrolithiasis
Clinical Guidelines Panel
Summary Report on The Management of Staghorn Calculi. American
Urological
Association. 1997
12. El-Anany FG, Hammouda HM, Maghraby, Elakkad MA. Retrograde
Ureteropyeloscopic
Holmium Laser Lithotripsy for Large Renal Calculi. BJU Int
2001;88:850-853
13. Asgari MA, Safarinejad MR, Hosseini SY, Dadkhah F.
Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy of Renal Calculi During Pregnancy. BJU Int
1999;84:615-617
14. Frankenschmidt, Alexander, Sommerkamp. Shock Wave
Lithotripsy During Pregnancy: A
Successful Clinical Experiment. The Journal of Urology February
1998;159(2):501-2
15. Porpiglia F, Destefanis P, Fiori C, et al. Role of
Adjunctive Medical Therapy with
Nifedipine and Deflazacort After Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy of Ureteral
Stones. Urology 2002;59(6):835-838
-
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave
Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 41/43
16. Elves AWS, Tilling K, Menezes P, et al. Early Observation of
the Effect of Extracorporeal
Shockwave Lithotripsy on Blood Pressure : A Prospective
Randomized Control Clinical
Trial. BJU Int 2000;85:611-615
17. Jermini FR, Danuser H, Mattel A, et al. Noninvasive
Anesthesia, Analgesia and Radiation
Free Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy For Stones in The
Most Distal Ureter:
Experience with 165 Patients. The Journal of Urology
2002;168:446-449
18. Rassweiler JJ, Tailly GG, Chaussy C. Progress in
Lithotriptor Technology. Eur J Urol
Update Series 2005; 3(1):17-36
19. Bierkens AF, Hendrikx AJM, de Kort JW, et al. Efficacy of
Second Generation
Lithotriptors: A Multicenter Comparative Study of 2,206
Extracorporeal Shock Wave
Litho