Page 1
DIABETES MELITUS TIPE 2
Yoseph Adi Kristian – NIM 102008015
Mahasiswa semester 5 FK UKRIDA angkatan 2008
[email protected] / +62 81390 357 073
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang mengalami
peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO memprediksi kenaikan jumlah
penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik,
diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133
juta jiwa, dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan
8,1 juta di daerah rural (Soegondo et. al, 2006).
Efek kronik dari penyakit DM juga menjadi perhatian yang serius selain dari segi
epidemologi. Penyakit Diabetes Mellitus merupakan the great imitator. Hal ini disebabkan
penyakit DM mampu menyebabkan kerusakan organ secara menyeluruh secara anatomis
maupun fungsional (Lawrence, 2005). Komplikasi kronik dari penyakit DM menyebabkan
kelainan pada makrovaskular, mikrovaskular, gastrointestinal, genito urinari, dermatologi,
infeksi, katarak, glaukoma dan sistem muskulo skeletal (Harrison 2007, h. 2161; Smith L
2002, h. 30).
1
Page 2
Pada era globalisasi saat ini umumnya masih banyak gaya hidup masyarakat yang masih
belum memahami tentang pentingnya kesehatan. Mereka pada umumnya mengkonsumsi
segala jenis makanan, seperti : makanan tinggi lemak dan kolesterol tanpa diimbangi dengan
olahraga atau aktifitas fisik untuk membakar lemak dan gaya hidup yang salah, seperti :
kebiasaan merokok dan minum - minuman keras ataupun mengkonsumsi narkoba yang
kesemuanya itu dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan. Diantara masalah
kesehatan tersebut akan mengakibatkan timbulnya penyakit Reumatik, Diabetes Mellitus,
Jantung, Ginjal dan sebagainya.
Dari berbagai penyakit diatas diantaranya adalah Diabetes Mellitus. Diabetes Mellitus adalah
sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia (Smeltzer C, Suzanne, 2001). Diabetes Mellitus mempunyai dua tipe yang
pertama Diabetes Mellitus tipe I (IDDM) yaitu diabetes mellitus yang tergantung insulin dan
yang kedua Diabetes mellitus tipe II (NIDDM) yaitu diabetes mellitus yang tidak tergantung
insulin. Diabetes mellitus tipe I biasanya terjadi pada usia kurang dari 30 tahun dengan
persentase 5% - 10% dari seluruh penderita diabetes mellitus. Sedangkan pada kasus diabetes
mellitus tipe II sering ditemukan pada usia lebih dari 30 tahun dengan persentase 90% - 95%
seluruh penderita diabetes mellitus, obesitas 80% dan non obesitas 20% (Smeltzer C.
Suzanne, 2001).
Menurut riset, penderita diabetes mellitus di Indonesia mencapai 12 juta jiwa atau 5% dari
seluruh penduduk. Sekitar 30% dari penderita mengalami kebutaan akibat komplikasi
retinopati dan 10% harus menjalani amputasi. Untuk resiko kematiannya 4 – 5 kali lebih
tinggi dari pada non diabetes dengan sebab akibat 50% jantung koroner dan 30% akibat gagal
ginjal.
Penyakit diabetes mellitus memerlukan penatalaksanaan medis dan keperawatan untuk
mencegah komplikasi akut seperti ketoasidosis dan sindrom koma hiperglikemik
hiperosmolar non ketotik yang dapat menyebabkan kematian dan juga dapat menimbulkan
komplikasi jangka panjang, seperti penyakit makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler dan
penyakit oftamologi lainnya.
2
Page 3
Penyakit diabetes mellitus perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik oleh perawat.
Secara kuratif dan rehabilitatif seperti pengontrolan kadar gula darah, melakukan perawatan
luka dan mengatur diet makanan yang harus dimakan sehingga tidak terjadi peningkatan
kadar gula darah. Selain itu perawat juga berperan secara preventif yaitu dengan cara
memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit diabetes mellitus untuk meningkatkan
pemahaman klien dan mencegah terjadinya komplikasi.
1.2 Epidemiologi
Secara epidemiologic diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulainya
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan
mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini. Penelitian lain menyatakan
bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 meningkat 5 – 10 kali lipat karena
terjadi perubahan perilaku rural – tradisional menjadi urban1.
Factor risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia,
lebih banyak dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, dan berkurangnya aktivitas
jasmani.semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa factor genetic yang berhubungan
dengan terjadinya DM tipe 2.
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan
diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6 kecuali di dua tempat yaitu di
Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.
Suatu penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi
DM tipe 2 sebesar 14.7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar
prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 mencapai 12.5%
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan terutama
disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian
dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang
akan dating kekerapan DM di Indonesia akan meningkat drastis.
Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO seperti tampak pada tabel 1,
Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes
sebanyak 12.4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995.
3
Page 4
Tabel 1. Prevalensi DM di berbagai negara1
Urutan Negara 1995 (juta) Urutan Negara 2025 (juta)1 India 19.4 1 India 57.22 China 16.0 2 China 37.63 USA 13.9 3 USA 21.94 Russia 8.9 4 Pakistan 14.55 Jepang 6.3 5 Indonesia 12.46 Brazil 4.9 6 Russia 12.27 Indonesia 4.5 7 Mexico 11.78 Pakistan 4.3 8 Brazil 11.69 Mexico 3.8 9 Mesir 8.810 Ukraina
Semua negara
lain
Jumlah
3.6
49.7
135.3
10 Jepang 8.5
103.6
300
Dari angka – angka diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka waktu 30 tahun
penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang
jauh lebih besar yaitu 86 – 138% yang disebabkan oleh karena:
• Factor demografi
• Gaya hidup ke barat - baratan
• Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
• Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang
1.3 Rumusan masalah
Masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana batasan dan klasifikasi diabetes mellitus tipe 2 ?
4
Page 5
2. Bagaimana diagnose dini terhadap diabetes mellitus tipe 2 ?
3. Bagaimana upaya pengelolaan dan pencegahan yang tepat terhadap diabetes mellitus tipe
2 ?
1.4 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui batasan dan klasifikasi diabetes mellitus tipe 2
2. Mengetahui diagnose dini terhadap diabetes mellitus tipe 2
3. Mengetahui upaya pengelolaan dan pencegahan yang tepat terhadap diabetes mellitus tipe
2
1.5 Manfaat
Penulisan ini diharapkan dapat memberi informasi kepada pembaca tentang upaya
pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 beserta komplikasinya berdasarkan
batasan, klasifikasi, dan diagnose dini diabetes mellitus tipe 2.
5
Page 6
BAB II
ISI
SKENARIO
Tn.A umur 50 th datang dengan keluhan kaki kesemutan terus menerus,kram dan sakit bila
berjalan 50 – 100m. Riwayat pasien juga sering bangun untuk kencing 5x/malam, BAK banyak
bisa kira – kira 1 – 2 gelas aqua, gatal diselakangan sudah 3 bulan lalu. Pasien pernah berobat 3
bulan lalu ke dokter kulit, tidak membaik melainkan bertambah merah dan tetap gatal dan perih.
PF: KU baik, kesadaran: compos mentis, TD 120/80mmHg, nadi 84x/menit, pada pemeriksaan
abdomen: hepar tidak teraba membesar, Lien: tidak teraba membesar. APR: +menurun/
+menurun, KPR:+menurun/+menurun. GDS:210mg/dL. Ureum: 88mg/dL, glukosa urin (+)
I. ANAMNESIS
• KELUHAN UTAMA
Kaki kesemutan terus menerus, kram dan sakit bila berjalan 50 – 100m.
Dapat ditanyakan kepada pasien :
o Berat badan turun
o Lemas – lemas
o 3P (polifagi, polidipsi, poliuri)
• KELUHAN PENYERTA
6
Page 7
Banyak kencing pada malam hari (nokturia), dengan jumlah urin yang
berlebih (poliuria).
• RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU
Gatal diselakangan sejak 3 bulan yang sudah diberobatkan namun tak kunjung
sembuh, melainkan bertambah merah, tetap gatal, dan perih.
II. PEMERIKSAAN FISIK
• INSPEKSI
Evaluasi keadaan umum pasien, menilai tingkat kesadaran pasien, melihat
kemungkinan adanya ulkus/ gangrene diabetikum, retinopati.
• PALPASI
Perabaan hepar dan lien : tidak membesar
• REFLEX FISIOLOGIS
KPR +menurun/+menurun
APR +menurun/+menurun
7
Page 8
III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
• LABORATORIUM
TD : 120/80 mmHg (normal)
Gula darah sewaktu :210 mg/dL (meningkat)
Ureum : 88mg/dL (meningkat)
Hb : 10g/dL (anemis)
Glukosa urin (+)
Nilai rujukan :
o GDS plasma vena : ≤110 mg/dL
o GDP plasma vena : ≤110 mg/dL
o Hb : 12 – 14 g/dL (P), 13 – 16 g/dL (L)
o Ureum : 20 – 40 mg/dL
IV. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
• DIABETES MELLITUS TIPE 1
Pada DM tipe I ( DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut
diabetes juvenilis;A), terdapat kekurangan insulin absolut sehinga pasien
membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi pada
sel beta pancreas karena mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu
dipicu oleh infeksi virus. Pulau pancreas diinfiltrasi oleh limfosit T dan dapat
ditemukan autoantibody terhadap jaringan pulau (ICA) dan insulin (IAA).
8
Page 9
ICA pada beberapa kasus dapat dideteksi selama bertahun-tahun sebelum
onset penyakit. Setelah kematian sel beta, ICA akan menghilang kembali.
Sekitar 80% pasien membentuk antibody terhadap glutamate dekarboksilase
yang di ekspresikan di sel beta. DM tipe I terjadi lebih sering pada pembawa
antigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal ini terdapat disposisi
genetic2.
Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset
diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi
darah akibat defek sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans
pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun
lebih sering didapat pada anak – anak.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan,
bahkan dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1
memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai
dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin
umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah
kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi
autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin,
dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat
monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk
tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin,
ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya
hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya,
juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan
9
Page 10
untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah
ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (bolus) dari insulin yang
dibutuhkan pada saat makan.
Tabel 2. Diagnosis banding DM tipe 1 dengan DM tipe 2 (2)
Type 1 Diabetes Type 2 DiabetesEtiology Autoimmune Peripheral resistanceFormerly known as
IDDM (juvenile diabetes)
NIDDM or “adult onset” diabetes
Age of onset Younger OlderObesity Rare CommonFamily History/Twin concordance
Rare Common
HLA association
Yes No
Ketosis Yes YesInsulin resistance
No Yes
Endogenous insulin
No Yes
Respond to Oral Agents
No Yes
Metabolic lability
Labile Not labile
• DIABETES MELLITUS TIPE 3
Merupakan diabetes mellitus yang diakibatkan oleh berbagai hal 2 :
a) Defek genetic fungsi sel beta
Glukosa transporter 2, glukokinase, mitokondria
b) Defek genetic kerja insulin
10
Page 11
Insulin gen, reseptor insulin, resisten insulin tipe A,
leprechaunism, sindrom Rabson Medenhall, diabetes
lipoatropik
c) Penyakit eksokrin pancreas
Pancreatitis, neoplasma, fibrosis, calculus, pankreatektomi
d) Endokrinopati
Akromegali, cushing syndrome, hipertiroidisme,
feokromositoma (tumor anak ginjal), somatostatinoma,
aldosteroma.
e) Akibat obat – obatan / zat kimia
Glukokortikoid, hormone tiroid, vacor, pentamidin, asam
nikotinat, diazoxid, agonis beta adrenergic, tiazid, dilantin,
interferon alfa, streptozotocin, alloxan, nitrosamine.
f) Infeksi
Coxsackie virus, rubella congenital, CMV
g) Akibat reaksi imun (jarang)
Antibody, antiinsulin (tubuh memproduksi zat anti terhadap
insulin sehingga glukosa tidak dapat dimasukkan ke dalam sel)
h) Sindrom genetic lain
Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, Sindrom
Wolfram’s.
11
Page 12
V. DIAGNOSIS KERJA
• DIABETES MELLITUS TIPE 2
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di
laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali
mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga
dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan
angka – angka kriteria diangostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk
pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler 3.
Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic
DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostic akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitive.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM
sebagai berikut 3 :
1) Usia > 45 tahun
12
Page 13
2) Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT >23 kg/m2
3) Hipertensi (≥ 140/90 mmHg)
4) Riwayat DM dalam garis keturunan
5) Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000gr
6) Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau TG ≥ 250 mg/dL
Catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negative,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka
yang berusia >45 tahun tanpa factor risiko, pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan tiap 3 tahun.
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya
(mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tidak
lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan
untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up) adanya
pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat
dianjurkan.
13
Page 14
Gambar 1. Langkah – langkah diagnosis DM dan toleransi glukosa terganggu (3)
Gambar 2. Langkah diagnosis DM dan TGT dari TTGO (3)
14
Page 15
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu(GDPT), sehingga dapat
ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3
kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 menjadi
normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT
ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan
dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM
dapat ditegakan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera
diterapkan.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu dan kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) standar.
Tabel 3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis
Kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dL)
Plasma vena < 110 110 – 199 ≥ 200Darah kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200
Kadar glukosa darah
puasa (mg/dL)
Plasma vena < 110 110- 125 ≥ 126Darah kapiler < 90 90 – 109 ≥ 110
Langkah-langkah Untuk Menegakan Diagnosis DM dan GTG
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
15
Page 16
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200mg/dL sudah cukup
untuk menentukan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥
126 mg/dL juga digunakan untuk patokan penegak diagnosis DM. Untuk kelompok
tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk melakukan diagnosis DM. Diperlukan pemastian
lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah
puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain,
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah
pasca pembebanan ≥200 mg/dl (nilai rujukan pasca TTGO <140 mg/dL) (3).
VI. ETIOLOGI
Etiologi DM tipe 2 bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai
defisisensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin (4).
VII. PATOFISIOLOGI
Diabetes mellitus disebabkan oleh kekurangan insulin yang bersifat absolute atau
relative, dan diantara beberapa akibatnya menyebabkan peningkatan konsentrasi
glukosa plasma. Penyakit ini diberikan nama demikian karena ekskresi glukosa di
dalam urin. Penyakit ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, tergantung dari
penyebab dan perjalanan penyakitnya. Klasifikasi ini berguna, meskipun sangat
sederhana (5).
Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM), sebelumnya disebut
dengan DM tipe dewasa;B) hingga saat ini merupakan diabetes yang paling sering
terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetic juga berperan penting. Namun terdapat
16
Page 17
defisiensi insulin relative; pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari
luar. Pelepasan insulin dapat normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target
memiliki sensitifitas yang berkurang terhadap insulin.
Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat badan berlebih. Obesitas terjadi
karena disposisi genetic, asupan makanan yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang
terlalu sedikit.
Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energy meningkatkan konsentrasi
asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan penggunaan
glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi insulin yang
memaksa untuk meningkatan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun pada
reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang
penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang
lebih penting adalah adanya disposisi genetic yang menurunkan sensitifitas insulin.
Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah di
identifikasi sebagai gen yang menigkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe II (5).
Diantara beberapa factor, kelaian genetic pada protein yang memisahkan rangkaian di
mitokondria membatasi penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetic yang
kuat, diabetes tipe II dapat terjadi pada usia muda (onset maturitas diabetes pada usia
muda (MODY)).
Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek insulin pada metabolism
glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolism lemak dan protein dapat
dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan
hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.
Defisiensi insulin relative juga dapat disebabkan oleh kelainan yang sangat jarang
pada biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel.
Bahkan tanpa ada disposisi genetic, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit
lain, seperti pancreatitis dengan kerusakan sel beta atau karena kerusakan toksik di sel
beta. Diabetes mellitus ditingkatkan oleh peningkatan pelepasan hormone antagonis,
diantaranya, somatotropin (pada akromegali), glukokortikoid (pada penyakit
Cushingatau stress), epinefrin (pada stress), progestogen dan kariomamotropin (pada
kehamilan), ACTH, hormone tiroid dan glucagon. Infeksi yang berat meningkatkan
17
Page 18
pelepasan beberapa hormone yang telah disebutkan di atas sehingga meningkatkan
pelepasan beberapa hormone yang telah disebutkan diatas sehingga meningkatkan
manifestasi diabetes mellitus. Somatostatinoma dapat menyebabkan diabetes karena
somatostatin yang diekskresikan akan menghambat pelepasan insulin.
VIII. PENATALAKSANAAN
Langkah pertama dalam mengelola DM selalu dimulai dengan pendekatan non
farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan/ terapi nutrisi medic, kegiatan jasmani
dan penurunan berat badan bila didapatkan obesitas.bila dengan langkah-langkah
tersebut sasaran pengendalian diabetes belum tercapai, maka dilanjutkan dengan
penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan
intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-
macam penyebab terjadinya hiperglikemia. Pada kegawatan tertentu (ketoasidosis,
diabetes dengan infeksi, stress), pengelolaam farmakologis dapat langsung diberikan,
umumnya dibutuhkan insulin. Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di rumah
sakit.
Terapi gizi medis
Merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi
penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan
melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual (6).
Beberapa manfaat telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain :
1) Menurunkan berat badan
2) Menurunkan tekanan darah
3) Menurunkan kadar glukosa darah
4) Memperbaiki profil lipid
18
Page 19
5) Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
6) Memperbaiki system koagulasi darah
Tujuan terapi gizi medis
Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan:
Kadar glukosa darah mendekati normal
• Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
• Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl
• Kadar A1c <7%
Tekanan darah <130/80 mmHg
Profil lipid
• LDL <100 mg/dl
• HDL >40 mg/dl
Berat badan senormal mungkin
Kebutuhan zat gizi
1. Protein
Hanya sedikit data ilmiah untuk membuat rekomendasi yang kuat tentang asupan
protein orang dengan diabetes. Menurut konsensus pengelolaan diabetes di Indonesia
kebutuhan protein untuk orang dengan diabetes adalah 10 – 15% energi. Perlu
penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg perhari atau 10% dari kebutuhan energi
dengan timbulnya nefropati pada orang dewasa dan 65% hendaknya bernilai biologi
tinggi (6).
19
Page 20
2. Lemak
Asupan lemak dianjurkan < 10% energi dari lemak jenuh dan tidak lebih 10% energi
dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan selebihnya yaitu 60 – 70% total energi dari
lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) dan karbohidrat. Distribusi energi dari lemak dan
karbohidrat dapat berbeda-beda setiap individu berdasarkan pengkajian gizi dan
tujuan pengobatan. Anjuran persentase energi dari lemak tergantung dari hasil
pemeriksaan glukosa, lipid, dan berat badan yang diinginkan.
Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat memperbaiki kadar glukosa darah,
menurunkan kadar trigliserid, kolesterol total, kolesterol VLDL, dan meningkatkan
HDL. Sedangkan PUFA dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida,
memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang
dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim
lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga
dapat menurunkan kadar LDL(6,7).
3. Karbohidrat dan Pemanis
Rekomendasi tahun 1994 lebih menfokuskan pada jumlah total karbohidrat dari pada
jenisnya. Rekomendasi untuk sukrosa lebih liberal, menilai kembali fruktosa dan
lebih konservatif untuk serat. Buah dan susu sudah terbukti mempunyai respon
glikemik menyerupai roti, nasi dan kentang. Walaupun berbagai tepung-tepungan
mempunyai respon glikemik yang berbeda, prioritas hendaknya lebih pada jumlah
total karbohidrat yang dikonsumsi dari pada sumber karbohidrat. Anjuran konsumsi
karbohidrat untuk orang dengan diabetes di Indonesia adalah 60 – 70% energi(6,7).
5. Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa sebagai bagian dari
perencanaan makan tidak memperburuk kontrol glukosa darah pada individu dengan
diabetes tipe 1 dan 2. Sukrosa dan makanan yang mengandung sukrosa harus
diperhitungkan sebagai pengganti karbohidrat makanan lain dan tidak hanya dengan
menambahkannya pada perencanaan makan. Dalam melakukan substitusi ini
20
Page 21
kandungan zat gizi dari makanan-makanan manis yang pekat dan kandungan zat gizi
makanan yang mengandung sukrosa harus dipertimbangkan, demikian juga adanya
zat gizi-zat gizi lain pada makanan tersebut seperti lemak yang sering dimakan
bersama sukrosa. Mengkonsumsi makanan yang bervariasi memberikan lebih banyak
zat gizi dari pada makanan dengan sukrosa sebagai satu-satunya zat gizi(6,7).
6. Pemanis
a. Fruktosa menaikkan glukosa plasma lebih kecil dari pada sukrosa dan
kebanyakannya karbohidrat jenis tepung-tepungan. Dalam hal ini fruktosa dapat
memberikan keuntungan sebagai bahan pemanis pada diet diabetes. Namun demikian,
karena pengaruh penggunaan dalam jumlah besar (20% energi) yang potensial
merugikan pada kolesterol dan LDL, Fruktosa tidak seluruhnya menguntungkan
sebagai bahan pemanis untuk orang dengan diabetes. Penderita dislipidemia
hendaknya menghindari mengkonsumsi fruktosa dalam jumlah besar, namun tidak
ada alas an untuk menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang mengnadung
fruktosa alami ataupun konsumsi sejumlah sedang makanan yang mengandung
pemanis fruktosa(7).
b. Sorbitol mannitol dan xylitol adalah gula alkohol biasa (polyols) yang
menghasilkan respon glikemik lebih rendah dari pada sukrosa dan karbohidrat lain.
Penggunaan pemanis tersebut secra berlebihan dapat mempunyai pengaruh laxatif(7).
c. Sakarin, aspartam, acesulfame, sukralosa adalah pemanis non kalori yang dapat
diterima sebagai pemanis pada semua penderita DM(7).
7. Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetes sama dengan untuk orang
yang tidak diabetes. Dianjurkan mengkonsumsi 25 – 50 gr serat makanan dari
berbagai sumber bahan makanan(7).
8. Natrium
Anjuran asupan untuk orang dengan diabetes sama dengan penduduk biasa yaitu tidak
21
Page 22
lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi yang menderita hipertensi ringan sampai sedang,
dianjurkan 2400 mg natrium perhari(7).
PRINSIP PERENCANAAN MAKAN ORANG DENGAN DIABETES DI INDONESIA
A. Kebutuhan Kalori.
Kebutuhan kalori sesuai untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Komposisi
energi adalah
60 – 65% karbohidrat,
15 - 20% protein
20 – 25% lemak.
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan orang dengan diabetes.
Diantaranya adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu
jenis kelamin, umur, aktivitas, kehamilan/laktasi, demam (tiap kenaikan 1˚C + 13% basal)
adanya komplikasi dan berat badan (7).
Cara lain adalah seperti tabel 3. Sedangkan cara yang lebih gampang lagi adalah dengan
pegangan kasar, yaitu untuk pasien kurus 2100 – 2500 kalori, normal 1700 – 1900 kalori dan
gemuk 1100 - 1500 kalori .
Tabel 3. Kebutuhan kalori orang dengan diabetes (7)
Dewasa Kalori/kgBB idealKerja ringan Kerja sedang Kerja berat
Gemuk 25 30 35
Normal 30 35 40
Kurus 35 40 40 -50
22
Page 23
Penentuan status gizi berdasarkan rumus Broca
Pertama – tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus : berat badan
idaman (BBI kg) = (TB cm – 100) – 10%.
Untuk laki – laki <160cm, wanita <150cm, perhitungan BB idaman tidak dikurangi 10%.
Penentuan status gizi dihitung dari : (BB actual/BB idaman) x 100%
• Berat badan kurang BB <90% BBI
• Berat badan normal BB 90 – 110% BBI
• Berat badan lebih BB 110 – 120% BBI
• Gemuk BB >120% BBI
Untuk kepentingan praktis di lapangan, digunakan rumus Broca.
Penentuan kebutuhan kalori per hari :
1. Kebutuhan basal :
• Laki – laki : BB idaman (kg) X 30 kalori
• Wanita : BB idaman (kg) X 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian :
• Umur diatas 40 th : -5%
• Aktivitas ringan : +10%
(duduk-duduk, nonton tv)
• Aktivitas sedang : +20%
(kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat, dokter)
• Aktivitas berat : +30%
(olahragawan, tukang becak)
• Berat badan gemuk : -20%
• Berat badan lebih : -10%
• Berat badan kurus : + 20%
3. Stress metabolic : + 10 – 30 %
(infeksi, operasi, stroke)
4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori
23
Page 24
5. Kehamilan trimester III dan menyusui : +500 kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 prosi besar untuk makan pagi (20%), makan siang
(30%), makan malam (25%) serta 2 – 3 porsi ringan (10 – 15%) di antara makan besar.
Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturan
jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola makan ini secara
bertahap sesuai dengan kondisi dan kebiasaan penderita (6).
Contoh :
Pasien seorang laki – laki usia 48 th, mempunyai tinggi 160 cm dan berat badan 63 kg,
mempunyai pekerjaan sbg penjaga toko.
Perhitungan kebutuhan kalori:
• Berat badan ideal = (TB cm – 100) kg – 10 %
= (160 cm – 100)kg – 10%
= 60kg – 6kg
= 54 kg
• Status gizi = (BB actual / BB ideal) X 100 %
= (63 kg / 54 kg) X 100 %
= 116 % (termasuk berat badan lebih)
• Jumlah kebutuhan kalori per hari :
o Kebutuhan kalori basal = BB ideal X 30 kalori
= 54 X 30 kalori = 1620 kalori
o Kebutuhan untuk aktivitas ditambah 20% = 20% X 1620 kalori =
324 kalori
o Koreksi karena kelebihan berat badan dikurangi 10 % = 10% X 1620 =
162 kalori
Distribusi makanan :
1. Karbohidrat 60 % = 60 % X 1700 kalori = 1020 kalori dari karbohidrat yang
setara dengan 255 gram karbohidrat (1020 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat)
2. Protein 20 % = 20% X 1700 kalori = 340 kalori dari protein yang setara dengan
85 gram protein (340 kalori : 4 kalori/gram protein)
24
Page 25
3. Lemak 20 % = 20% X 1700 kalori = 340 kalori dari lemak yang setara dengan
37.7 gram lemak (340 kalori : 9 kalori/gram lemak)
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori
1. Jenis Kelamin.
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria, untuk ini dapat dipakai angka 25
kal/kg BB untuk wanita dan angka 30 kal/kg BB untuk pria(7).
2. Umur.
• Pada bayi dan anak-anak kebutuhan kalori adalah jauh lebih tinggi daripada orang
dewasa, dalam tahun pertama bisa mencapai 112 kg/kg BB.
• Umur 1 tahun membutuhkan lebih kurang 1000 kalori dan selanjutnya pada anak - anak
lebih daripada 1 tahun mendapat tambahan 100 kalori untuk tiap tahunnya.
• Penurunan kebutuhan kalori diatas 40 tahun harus dikurangi 5% untuk tiap dekade
antara 40 dan 59 tahun, sedangkan antara 60 dan 69 tahun dikurangi 10%, diatas 70
tahun dikurangi 20%.
3. Aktifitas Fisik atau Pekerjaan.
Jenis aktifitas yang berbeda membutuhkan kalori yang berbeda pula. Jenis aktifitas
dikelompokan sebagai berikut :
• Keadaan istirahat : kebutuhan kalori basal ditambah 10%.
• Ringan : pegawai kantor, pegawai toko, guru, ahli hukum, ibu rumah tangga, dan
lain-lain kebutuhan harus ditambah 20% dari kebutuhan basal.
• Sedang : pegawai di insdustri ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang,
kebutuhan dinaikkan menjadi 30% dari basal.
• Berat : petani, militer dalam keadaan latihan, penari, atlit, kebutuhan ditambah 40%.
• Sangat berat : tukang beca, tukang gali, pandai besi, kebutuhan harus ditambah
50% dari basal.
25
Page 26
4. Kehamilan/Laktasi.
Pada permulaan kehamilan diperlukan tambahan 150 kalori/hari dan pada trimester II dan III
350 kalori/hari. Pada waktu laktasi diperlukan tambahan sebanyak 550 kalori/hari.
5. Adanya komplikasi. Infeksi,
Trauma atau operasi yang menyebabkan kenaikan suhu memerlukan tambahan kalori
sebesar 13% untuk tiap kenaikkan 1 derajat celcius.
6. Berat Badan.
Bila kegemukan/terlalu kurus, dikurangi/ditambah sekitar 20-30% bergantung kepada
tingkat/kekurusannya.
B. Gula.
Gula dan produk-produk lain dari gula dikurangi, kecuali pada keadaan tertentu, misalnya
pasien dengan diet rendah protein dan yang mendapat makanan cair, gula boleh diberikan
untuk mencukupi kebutuhan kalori, dalam jumlah terbatas. Penggunaaan gula sedikit dalam
bumbu diperbolehkan sehingga memungkinkan pasien dapat makan makanan keluarga.
Penggunaaan gula untuk minuman dapat diberikan sesuai petunjuk bila diperlukan(7).
C. Standard Diet Diabetes Mellitus.
Untuk perencanaan pola makan sehari, pasien diberi petunjuk berapa kebutuhan bahan
makanan setiap kali makan dalam sehari dalam bentuk Penukar (P). Berdasarkan pola makan
pasien tersebut dan daftar bahan makanan penukar, dapat disuusn menu makanan sehari-
hari(7).
D. Daftar Makanan Penukar.
Daftar bahan makanan penukar adalah suatu daftar nama bahan makanan dengan ukuran
tertentu dan dikelompokkan berdasarkan kandungan kalori, protein, lemak dan karbohidrat(7).
Setiap kelompok bahan makanan dianggap mempunyai nilai gizi yang kurang lebih sama .
26
Page 27
Dikelompokkan menjadi 7 kelompok bahan makanan yaitu :
• Golongan 1 : bahan makanan sumber karbohidrat.
• Golongan 2 : bahan makanan sumber protein hewani.
• Golongan 3 : bahan makanan sumber protein nabati.
• Golongan 4 : sayuran.
• Golongan 5 : buah-buahan.
• Golongan 6 : Susu.
• Golongan 7 : Minyak
Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit,
sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive training). Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal (220/umur), disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah
berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit dan
olahraga berat misalnya joging(6).
Terapi Farmakologis
Insulin
Termasuk peptide golongan IGFs ( Insuline like Growth Factor ) IGF-1 dan IGF-2
Mekanisme kerjanya :
Merubah glukosa menjadi glikogen (glikogenesis)
Mencegah perubahan glikogen (hati) menjadi glukosa (glikogenolisis)
Hambatan perubahan protein dan lemak menjadi glukosa (glukoneogenesis)
27
Page 28
Farmakokinetik :
Absorpsi parenteral : subkutan daerah abdominal (paling baik puasa)
Distribusi ke seluruh jaringan tubuh
Waktu paruh : 6 – 8 menit
Ekskresi melalui ginjal
Preparat :
Insulin kerja cepat : semilente dan regular insulin (RI)
Insulin kerja sedang : intermediate lente, isophane, monotard
Insulin kerja lama : protamin zinc insulin (PZI), ultralente
Insulin campuran : mixtard, humulin 30/70
Continous pump, pencil injection, dll
Obat Anti Hiperglikemik Oral / Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1. GOLONGAN INSULIN SENSITIZISER
Biguanid. Saat ini golongan biguanid yang sering dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak
dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan oleh ginjal. Karena cepatnya proses tersebut
maka metformin biasanya diberikan 2 – 3x/hari kecuali dalam bentuk extended release.
Pengobatan dengan dosis maksimal akan dapat menurunkan A1C sebesar 1-2%. Efek
samping yang terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak
28
Page 29
diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1,3 mg/dl pada perempuan
dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus
diberikan dengan hati-hati pada orang lanjut usia(8).
Mekanisme kerja.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada
tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin meningkatkan pemakain glukosa oleh usus sehingga menurunkan glukosa darah
dan juga diduga menghambat absorbsi glukosa diusus sesudah asupan makanan.
Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah
2 jam dan akan diekskresi lewat urin secara utuh dengan waktu paruh 2-5 jam.
Penelitian terakhir melaporkan bahwa efek metformin diatas diduga terjadi melalui
peningkatan glukosa oleh jaringan perifer yang dipengaruhi AMP acticated protein kinase
(AMPK), yang merupakan regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan glukosa.
Aktifasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktifitas acetil co-A karboksilase (ACC)
dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan ekspresi enzim lipogenik.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan hipoglikemik
sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Pada
pemakaian kombinasi dengan sulfonylurea, hipoglikemi dapat terjadi akibat pengaruh
sulfonylureanya. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah
sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak
menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada pemakaian sulfonylurea.
Kombinasi anatara metformin dan sulfonylurea saat ini merupakan kombinasi yang rasional
karena mempunyai cara kerja yang sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan
glukosa darah lebih banyak dari pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis
maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dengan dosis
maksimal dapat menurunkan glukosa darah yang lebih banyak.
29
Page 30
Pemakaian kombinasi dengan sulfonylurea sudah dianjurkan sejak awal pengelolaan
diabetes, berdasarkan penelitian UKPDS(United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan
hanya 50% pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal
metformin atau sulfonylurea sampai dosis maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan
glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonylurea lebih baik
daripada insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan kombinasi insulin
dengan metformin lebih baik daripada dengan insulin saja(8).
Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal metformin dan
ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan
bersamaan dengan makanan.
Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen
lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga plasminogen activator inhibitor
(PAI-1).
Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai
kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase dan glitazone.
Penelitian klinik memberikan hasil yang bermakna dalam penurunan glukosa darah puasa
(60-70 mg/dl) dan A1C(1-2%) dibandingkan dengan placebo pada pasien yang tidak dapat
terkendali dengan diet. Efektifitas metformin menurunkan glukosa darah pada orang gemuk
sebanding dengan kekuatan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin,
mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan
resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila denan monoterapi tidak berhasil
maka dilakukan kombinasi dengan SU atau obat antidiabetik lain.
Glitazone.
Golongan Thiazoliadinediones atau glitazon adalah golongan obat yang juga mempunyai
efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini bisa diberikan secara
oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya.
30
Page 31
Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-
80 mg/dl dan A1C 1,4-2,6% dibandingkan dengan placebo.
Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi
dengan metformin dan sekretagok insulin(8).
2. GOLONGAN SEKRETAGOK INSULIN
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh
sel beta pancreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid(8).
Sulfonylurea (generasi I) telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950an.
Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai,
terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. SU
sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dan sedikit
efek samping (termasuk hipoglikemia) dan relative murah. Berbagai macam obat golongan
ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan
mekanisme kerjanya.
Glinid (generasi II). Sekretagok insulin yabg baru, bukan merupakan SU dan merupakan
glinid. Kerjanya juga melalui reseptor SU (SUR) dan mempunyai struktur mirip dengan SU
tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi
dengan cepat setelah pmeberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolism dalam
hati sehingga diberikan 2-3 kali sehari. Reaglinid dapat menurunkan kadar glukosa darah
puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena menempel pada kompleks SUR
sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.
Sedang Nateglinid mempunyai masa tinggal leih singkat dan tidak menurunkan glukosa
darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan gluklosa
postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek
terhadap glukosa darah puasa maka kekuatannya untuk menurunkan A1C tidak begitu kuat(8).
31
Page 32
3. PENGHAMBAT ALFA GLIKOSIDASE
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase didalam saluran
cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia posprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah Acarbose dengan efek samping flatulence dan
diare(8).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih OHO:
1) Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikan secara
bertahap.
2) Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping dari obat
tersebut.
3) Bila memberikannya bersama obat lain, harus dipikirkan interaksi yang mungkin
terjadi
4) Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan
obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin.
5) Usahakanlah agar obat terjangkau oleh pasien.
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi-komplikasi Diabetes Melitus antara lain(9):
a. Komplikasi Akut merupakan keadaan gawat darurat yang terjadi pada perjalanan
penyakit Diabetes Melitus. Menurut Subekti (2004), komplikasi akut dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu:
32
Page 33
(1). Hipoglikemia
Suatu keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan gukosa darah.
Gejala ini dapat ringan berupa koma dengan kejang.
(2). Ketoasidosis Diabetik
Merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit Diabetes
Melitus.
(3). Hiperosmolar non ketotik
Gejala poliuri, polidipsi, letargi. Insulin masih cukup untuk mengatur lipolisis.
Terjadi gangguan metabolisme karbohidrat dan protein. Tidak terjadi peningkatan
produksi benda keton. Terjadi hiperglikemi, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit.
Kadar bikarbonat plasma dan pH darah dalam batas normal.
b. Komplikasi Kronik merupakan komplikasi yang terjadi dalam waktu yang lama.
Menurut Waspadji (2004), komplikasi kronik dibagi menjadi :
(1). Mikroangiopati
a. Ginjal
Mengalami kegagalan ginjal karena fungsi ginjal makin menurun ditandai sembab
muka, tekanan darah tinggi dan pucat.
b. Retina mata
Mengalami kebutaan atau pengurangan penglihatan karena terjadi kelainan yang
timbul pada retina akibat proses retinopati diabetic menyebabkan lensa, saraf, otot,
selaput pembuluh darah mata dapat terganggu fungsinya.
(2). Makroangiopati
a. Jantung koroner atau penyakit jantung arteriosklerotik karena otot jantung kurang
mendapatkan darah dari pembuluh darah jantung.
33
Page 34
b. Pembuluh darah tepi. Terjadi penyempitan hingga penutupan pembuluh darah
sehingga peredaran darah didalam tungkai dan kaki menjadi inadekuat menyebabkan
kematian jaringan tungkai dan kaki.
c. Gejala cerebrovascular diseas. Risiko stroke pada penderita DM meningkat 8x lipat
dibanding orang sehat.
X. PROGNOSIS
Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien diatas
prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi (meminimalkan) risiko
timbulnya komplikasi dengan baik.
Serangan jantung , stroke, dan kerusakan saraf dapat terjadi. Beberapa orang dengan
diabetes mellitus tipe 2 menjadi tergantung pada hemodialisa akibat kompilkasi gagal
ginjal.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko komplikasi (2) :
• Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah gula),
perbanyak konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya, kedondong, salak,
tomat, semangka, dainjurkan pisang ambon namun dalam jumlah terbatas)
• Gunakan minyak tak jenuh / PUFA (minyak jagung)
• Hindari konsumsi alcohol dan olahraga yang berlebihan
• Pertahankan berat badan ideal
• Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid
• Konsumsi aspirin untuk cegah ateroskelrosis (pada orang dalam kategori
prediabetes)
34
Page 35
XI. PREVENTIF
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 tahap yaitu (1) :
Pencegahan primer: semua aktifitas ditujukan untuk mencegah timbulnya
hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi
umum. (cegah agar tidak sampai menjadi DM)
Pencegahan sekunder: menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan
tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan demikian pasien
diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian
dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada
komplikasi masih reversible. (cegah kompilkasi)
Pencegahan tersier: semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi yang
sudah ada. Usaha ini meliputi:
- Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan
organ (jangan sampai timbul chronic kidney disease)
- Mencegah kecacatan tubuh
Strategi pencegahan
Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang
efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada
pencegahan penyakit menular, ada 2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain (1):
1. Pendekatan populasi/masyarakat
Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang
dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup berisiko.
Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk
mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target
populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak saja oleh profesi
35
Page 36
tetapi harus oleh segala lapisan masyarakat termasuk pemerintah dan swasta
(LSM, pemuka masyarakat dan agama)
2. Pendekatan individu berisiko tinggi
Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu-individu yang
berisiko untuk menderita penyakit diabetes pada suatu saat kelak. Pada golongan
ini termasuk individu yang: berumur >40th, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga
DM, riwayat melahirkan >4kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.
Penyuluh diabetes
Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes dan meningkatnya
komplikasi terutama PJK, tadi sudah diuraikan upaya pencegahan, baik
primer,sekunder dan tersier adalah yang paling baik. Karena upaya itu sangat berat,
adalah tidak mungkin dilakukan hanya oleh dokter ahli diabetes atau endokrinologis.
Oleh karena itu diperlukan tenaga trampil yang berperan sebagai perpanjangan tangan
dokter ahli endokrinologis itu. Diluar negeri tenaga itu sudah lama ada disebut
diabetes educator yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi atau pekerja social dan
lain-lain yang berminat. Di Indonesia atau tepatnya di Jakarta oleh Pusat Diabetes dan
Lipid FKUI/RSCM melalui SIDL-nya sejak tahun 1993 telah diselenggarakan kursus
penyuluh diabetes yang sampai saat ini berlangsung secara teratur. Kursus itu ternyata
mendapat sambutan luar biasa dari rumah sakit seluruh Indonesia, bahkan di beberapa
kota misalnya di Bandung, Surabaya, Bali, Makassar, Manado dll. Mereka sudah
melaksanakan sendiri kursus itu. Untuk sementara kursus itu hanya dibatasi untuk
dokter, perawat dan ahli gizi yang merupakan satu kesatuan kerja di rumah sakit
masing-masing(1).
36
Page 37
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang mengalami
peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. Efek kronik dari penyakit DM juga menjadi
perhatian yang serius selain dari segi epidemologi. Penyakit Diabetes Mellitus merupakan the
great imitator. Hal ini disebabkan penyakit DM mampu menyebabkan kerusakan organ secara
menyeluruh secara anatomis maupun fungsional (Lawrence, 2005). Diabetes Mellitus adalah
sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia (Smeltzer C, Suzanne, 2001). Patogenesis diabetes mellitus memlibatkan factor –
factor genetic, biomolekuler, imunologi, dan lingkungan. Penyakit diabetes mellitus memerlukan
penatalaksanaan medis dan keperawatan untuk mencegah komplikasi akut seperti ketoasidosis
dan sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik yang dapat menyebabkan kematian
dan juga dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang, seperti penyakit makrovaskuler,
penyakit mikrovaskuler dan penyakit oftamologi lainnya.
Penyakit diabetes mellitus perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik oleh perawat.
Secara kuratif dan rehabilitatif seperti pengontrolan kadar gula darah, melakukan perawatan luka
dan mengatur diet makanan yang harus dimakan sehingga tidak terjadi peningkatan kadar gula
darah. Selain itu perawat juga berperan secara preventif yaitu dengan cara memberikan
pendidikan kesehatan tentang penyakit diabetes mellitus untuk meningkatkan pemahaman klien
37
Page 38
dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi DM akut dan kronik frekuensinya masih
sangat tinggi di Indonesia, karena kesadaran/ kepatuhan penderita masih rendah, tenaga medis
yang belum memadai dalam pencegahan primer, sekunder, dan tersier, dan fasilitas RS belum
memadai dan merata.
Daftar pustaka
1. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
2. http://www.intelihealth.com/IH/ihtIH/c/9339/9510.html diunduh 27 November 2010
12:57 WIB
3. Gustaviani, Reno. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
4. http://www.medicinenet.com/diabetes_mellitus/article.htm diunduh 28 November 2010
21:00 WIB
5. Silabernagi, Stefan. Florian Lang. Penyebab Diabetes Melitus. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Yunir, Em. Suharko Soebardi. Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
7. http://usupress.usu.ac.id/files/Penyakit-Penyakit%20yang%20Memengaruhi
%20Kehamilan%20dan%20Persalinan%20Edisi%20Kedua_Normal_bab%201.pdf
diunduh 28 November 2010 21:00 WIB
8. Soegondo, Sidartawan. Farmakoterapi pada Pengendalian Glkemia Diabetes Melitus
tipe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
38
Page 39
9. http://indodiabetes.com/ diunduh November 2010 12:57 WIB
39