I. AUTOIMUNITAS Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen
jaringan tubuh sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang
gagal berperan untuk mempertahankan self-telorance sel B, sel T
atau keduanya.1 Secara normal sel T yang belum matang dapat
ditemukan dimanapun dan akan mengalami delesi klonal di timus,
sedangkan sel T yang matang berada dalam keadaan inaktif klonal
(anergi) hal ini dikarenakan sel di jaringan tidak memberikan
sinyal kostimulasi. Sel T spesifik autoantigen, pada keadaan
tertentu tidak teraktivasi , meskipun dapat mengenali antigen
(immunological ignorance).2
Penyakit autoimun adalah penyakit yang menyebabkan kerusakan
jaringan atau gangguan fungsi fisiologis akibat respon autoimun.
Perbedaan tersebut penting diketahui, karena respon imun dapat
terjadi tanpa disertai penyakit atau berupa penyakit yang
diticetuskan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).1,2Tabel 1.
Insidensi penyakit autoimun yang meningkat pada wanita
Jenis Penyakit AutoimmunRASIO
Penyakit Hashimoto50:1
Lupus Eritematus Sistemik (LES)9:1
Penyakit Sjgren 9:1
Antiphospholipid syndrome 9:1
Primary biliary cirrhosis 9:1
Mixed connective tissue disease 8:1
Chronic active hepatitis 8:1
Penyakit Graves7:1
Type I diabetes2:1
Rheumatoid arthritis 4:1
Scleroderma3:1
Myasthenia gravis 2:1
Multiple sclerosis 2:1
Chronic idiopathic thrombocytopenic purpura 2:1
Dikutip dari: Utama1Dalam populasi, sekitar 3,5% orang menderita
penyakit autoimun, 94% dari jumlah tersebut berupa penyakit Grave
(hipertiroidism), diabetes melitus tipe I, anemia pernisiosa,
artritis reumatoid, tiroiditis, vitiligo, sklerosis multipel dan
Lupus Eritematus Sistemik (LES). Penyakit lebih banyak ditemukan
pada wanita (2,7 x dibanding pria), diduga karena peran hormon.
Lupus Eritematus Sistemik mengenai wanita 10 kali lebih sering
dibanding pria. I.1 KRITERIA AUTOIMUN
Untuk membuktikan bahwa autoimunitas merupakan sebab penyakit
tertentu, diperlukan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi, seperti
halnya postulat Koch untuk penyakit infeksi mikroorganisme. Ada 6
butir yang diperlukan untuk menentukan kriteria autoimunitas. Bukti
terbaik adanya autoimunitas pada manusia adalah transfer pasif IgG
melalui plasenta yang terjadi pada kehamilan trismester ketiga. Hal
ini dapat menerangkan terjadinya penyakit autoimun sementara pada
janin dan neonatus.
Tabel 2. Contoh beberapa auto-antigen dan penyakit yang
berhubungan
Self antigenContoh Penyakit
Reseptor hormon
Reseptor neurotransmitor
Molekul adhesi
Protein Plasma
Protein permukaan sel lain
Enzim intraselular
Molekul intraselular yang berperan dalam transkripsi dan
translasi Reseptor TSH
Reseptor Insulin
Reseptor asetikolin
Molekul adhesi sel epidermal
Faktor VIII
2-Glikoprotein I dan protein antikoagulan lain
SDM (antigen multipel)
Trombosit
Peroksidase tiroid
Steroid 21-hidroksilasi (korteks adrenal)
Dekarboksilase glutamat ( Sel pulau Langerhans)
Enzim lisosom (sel fagositik)
Enzim mitokondrial (terutama dehidroginase piruvat)
Ds-DNA
Histon
Topoisomerase I
Sintase amino asil t-RNA
Protein sentromerHiper/hipo-tiroidisme
Hiper/hipo-glikemia
Miastenia gravis
Penyakit kulit dengan lepuh
Hemofilia didapat
Sindrom antifosfolipid
Anemia hemolitik
Trombositopenia purpura
Hipotiroidisme
Kegagalan adrenokortikal (Penyakit Addison)
Diabetes autoimun
Vaskulitis sistemik
Sirosis bilier primer
LES
LES
Skleroderma difus
Polimiositis
Skleroderma yang terbatas
Dikutip dari: Utama1 II. PENYEBAB AUTOIMUN
Penyebab dari autoimun tidak sepenuhnya jelas, tetapi
pembentukan autoantibodi dan aktivasi sel T didasarkan oleh
mekanisme yang sama dengan yang berkerja pada reaksi imun terhadap
benda asing
Adapun penyebab penyakit autoimun diantaranya : 2A. Predisposisi
genetik
Genetik memegang peranan penting untuk penyakit autoimun.
Peranan gen suseptibilitas. Meskipun penyakit autoimun yang
multipel sangat berkaitan dengan alel HLA yang spesifik , tetapi
ekspresi molekul HLA tertentu tidak dengan sendirinya menjadi
penyebab autoimunitas. Defek pada jalur yang secara normal akan
mengatur toleransi sentral atau perifer juga ikut terlibat; jadi,
defek pada jalur faal-faal atau molekul meolekul lain yang terlibat
dalam proses kematian yang ditimbulkan oleh aktivasi dapat mencegah
apoptosis sel T autoreaktif. Perkembangan sel T regulator yang
cacat atau ekspresi antigen sendiri yang cacat oleh epitelium
kelenjar timus juga merupakan jalur yang dapat dipintas toleransi.
Sebagian besar penyakit autoimun pada manusia memiliki pola
suseptibilitas/kerentanan yang kompleks,multigenik dan tidak dapat
dikaitkan hanya dengan mutasi gen yang tunggal.
B. Pengaruh hormon
Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung
menderita penyakit autoimun dibandingkan pria. Wanita pada umumnya
juga memproduksi lebih banyak antibodi dibanding pria yang biasanya
merupakan respon proinflamasi Th1. Kehamilan sering disertai dengan
memburuknya penyakit terutama artritis rheumatik dan relaps sering
terjadi setelah melahirkan. Pengangkatan ovarium mencegah awitan
autoimunitas spontan pada hewan (terutama SLE) dan pemberian
estrogen mempercepat awitan penyakit. Hormon hipofise, prolaktin
menunjukkan efek stimulator terutama terhdap sel T. Kadar prolaktin
yang timbul tiba-tiba setelah kehamilan berhubungan dengan
kecenderungan terjadinya penyakit autoimun seperti Rheumatoid
Arthritis.
C. Infeksi
Infeksi sebagai penyebab autoimun sangat banyak diketahui, namun
proses secara pasti masih belum diketahui. Pembahasan untuk infeksi
sebagai penyebab autoimun akan dibahas pada bab khusus pada referat
ini.
D. Obat
Banyak obat berhubungan dengan efek samping berupa idiosinkrasi
dan patogenesisnya terjadi melalui komponen autoimun (Gambar 1).
Konsep autoimun melibatkan 2 komponen yaitu respon imun tubuh
berupa respon autoagresif dan antigen. Hal yang akhir sulit untuk
dibuktikan pada banyak autoimunitas oleh obat. Contoh-contoh
sindrom autoimun yang diduga ditimbulkan obat terlihat pada tabel
3. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.
Gambar 1. Skema pembentukan autoantibodiDikutip dari:
Utama1Tabel 3. Autoimmun akibat obatGejala/PenyakitObat
Hepatitis kronis aktif
Anemia hemolitik
Anti membran basal glomerular
Miastenia gravis
Pemfigus
LESGlomerulonefritisHalotan (anestesi umum)
Metildopa (antihipertensi)
D-penisilamin (RA)
D-penisilamin
D-penisilamin
Hidralazin (antihipertensi)
Prokainamid (antiaritmia)
D-penisilamin
D-penisilamin
Dikutip dari: Utama1E. Radiasi UV
Pajanan dengan radiasi ultraviolet (biasanya sinar matahari)
diketahui merupakan pemicu inflamasi kulit dan kadang pemicu SLE.
Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self
antigen yang meningkatkan imunogenitas. F. Oksigen radikal
bebas
Bentuk lain dari kerusakan fisik dapat mengubah imunogenitas
self antigen terutama kerusakan self molekul oleh radikal bebas
oksigen yang menimbulkan sebagian proses inflamasi. Pemicu lainnya
adalah stres psikologi dan faktor makanan.
G. Logam
Berbagai logam seperti Zn, Cu, Cr, Pb, Cd, Pt, Perak dan
metaloid (silikon) diduga dapat menimbulkan efek terhadap sistem
imun, baik in vitro maupun in vivo dan kadang serupa autoimmunitas.
Salah satu bentuk yang sudah banyak diteliti antara lain adalah
reaksi terhadap silikon. Silikon adalah kristal non metal, elemen
ringan dan bentuk dioksidnya disebut silika. Pajanan inhalasi debu
silikon yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menimbulkan
penyakit yang disebut silikosis. Respon imun yang terjadi dapat
berupa produksi ANA, RF dan beberapa karyawan menunjukkan gejala
serupa skleroderma dengan endapan kompleks imun di glomerulus dan
glomerulosklerosis lokal. Penderita dengan silikosis menunjukkan
kadar antibodi terhadap kolagen tipe I dan III. Bentuk fulminan
silikosis dikenal sebagai silikoproteinosis ditandai oleh
peningkatan ANA dan glomerulonefritis kresentik yang progrsif
cepat. Meskipun banyak dugaan keterlibatan logam dalam autoimunitas
, namun masih banyak penelitian yang harus dilakukan terhadap
keterlibatan logam dalam autoimunitas.
Pada hewan dilaporkan : Litium menimbulkan penyakit tiroid
autoimun; merkuri menimbulkan penyakit ginjal autoimun, artritis
dan vaskulitis.Tabel 4. Berbagai logam yang berhubungan dengan
autoimunitas pada manusiaJenis LogamJenis respon autoimun
Penyakit
Kadmium
Krom
Tembaga
Emas
Timah
Lithium
Platinum
Silikon
Perak Auto-Ab terhadap laminin 1
Antibodi antinuklear
Autoimun terhadap SDM
Auto-Ab anti-Ro, auto-Ab terhadap trombosit, ANA
Autoantibodi Ig M terhadap NF160 dan MBP
Autoantibodi IgG terhadap NF68 dan GFAP
Autoantibodi terhadap tiroglobulin/peroksidase tiroid/sel
parietal gaster, ANAANA
ANA
Autoantibodi terhadap fibrilarin Tidak dilaporkan
Sindrom serupa SLE
Tidak dilaporkan
Penyakit ginjal autoimun, trombositopenia autoimun, serupa SLE,
pemfigus
Tidak dilaporkan Tiroid autoimun, sindrom serupa SLE
Tidak dilaporkan
Penyakit serupa skleroderma
Tidak dilaporkan
Dikutip dari: Utama1H. Kesalahan pengaturan sistem imun
T -helper yang mengendalikan imunitas seluler maupun humoral,
sehingga toleransi T-helper dianggap sangat penting bagi pencegahan
penyakit autoimun. Ada lebih dari satu jalur yang memungkinkan
toleransi dapat dipintas dan semua jalur tersebut meliputi
kombinasi gen suseptibilitas serta adanya pemicu dari lingkungan
(khususnya infeksi).III. PATOFISIOLOGI AUTOIMUN
Ada beberapa patofisiologi terjadinya autoimun, diantaranya:31.
Pelepasan Ag yang terasing
Beberapa penyakit yang berhubungan dengan pelepasan Ag yang
terasing, dikarenakan adanya kerusakan sel yang di awali suatu
faktor lingkungan misalnya infeksi dan faktor lainnya seperti asap
rokok sehingga menyebabkan penyakit autoimun. Beberapa contoh
diantaranya: Merokok yang dapat menyebabkan Goodpastures
syndrome
Pada keadaan normal, alveolar tidak terekspose untuk sistem
imun. Adanya asap rokok yang dapat merusak alveoli, menyebabkan
kolagen yang terkespose. Kolagen yang terekspose tadi akan
membentuk anti kolagen antigen yang dapat merusak alveoli dan
jaringan ginjal. Anti-sperm Ab yang diproduksi pada beberapa pria
yang telah dilakukan vasectomy. Juga merupakan suatu proses
autoimun.
Gambar 2. Proses pelepasan Ag yang terasing
2. Stimulasi imunMikroba dapat mengaktifkan APC untuk
mengekspresikan kostimulator, dan ketika APC ini muncul sebagai
self antigen sehingga Self reactive Tcells menjadi aktif melebihi
toleransi yang ada, sehingga menyebabkan autoimunitas pada jaringan
manusia.
Gambar 3. Proses stimulasi imun yang menyebabkan autoimunitas3.
Molecular mimicry
Beberapa antigen mikroba mempunyai reaksi silang terhadap self
antigen (Molecular mimicry). Hal ini menyebabkan respon kekebalan
yang dicetuskan oleh mikroba yang dapat mengaktifkan sel T spesifik
untuk self antigen.
Gambar 4. Proses molecular mimicry4. Faktor genetik Beberapa
genetik dengan alel MHC spesifik sangat rentan terhadap terjadinya
proses autoimun. Diabetes Tipe 1 salah satu contoh proses autoimun
yang terjadi pada alel MHC spesifik. Berawal dari sel B yang
mempunyai alel MHC spesifik memproses sel antigen dengan antigen
fragmen yang tampak pada MHC II. Fragmen Dengan adanya presentasi
antigen pada T sel4-7 akan menyebabkan B cell antigen berikatan
dengan T-cell receptor (TCR) dan hal ini akan menyebabkan
perangsangan signal pada T cell4-6. Karena aktifasi T cell sehingga
terjadinya produksi sitokin inflamasi yang kemudian mengaktifasi
makrofag4-6. Gambar 5. Faktor genetik yang menyebabkan
autoimunitas
IV. INFEKSI SEBAGAI TRIGGER
Sampai saat ini belum diketahui apa faktor yang dapat
mencetuskan atau mengawali penyakit autoimun. Pada suatu hipotesis
dipikirkan adanya faktor genetik (alel MHC, mutasi gen sitokin atau
apoptosis molekuler) dan infeksi. Hipotesis tentang infeksi sebagai
faktor pencetus penyakit autoimun timbul akibat adanya peranan
primer pada sistem imun yaitu ada pertahanan dan proteksi tubuh
terhadap agen eksogen yang biasanya adalah infeksi. Peranan sistem
imun ini adalah timbulnya sel B atau T yang autoreaktif sehingga
dapat menggiring ke arah penyakit autoimun. Hubungan antara infeksi
dan penyakit autoimun telah lama diketahui namun mekanisme
molekuler dan selulernya belum diketahui secara pasti. 1,7Infeksi
dapat menyebabkan penyakit autoimun lewat beberapa mekanisme, yaitu
:1,7 Kemiripan molekuler (molecular mimicry) Ekspresi antigen yang
baru dan termodifikasi
Super antigen
Peningkatan proses dan presentasi antigen
Pelepasan sitokin dan aktifasi imun
Aktifasi limfosit
Pada terminologi kemiripan molekuler, didapatkan bahwa epitope
peptida dari agen infeksius memiliki bagian yang sama dengan
epitope peptida tubuh, sehingga peptida asing tersebut dapat
mengaktifasi sel T spesifik autoreaktif untuk berespon terhadap
peptida tubuh. Adanya molekul patogen yang mirip dengan antigen
tubuh akan menghambat respon imun untuk melawan patogen tersebut
karena toleransi imun terhadap antigen tubuh sendiri. Walaupun agen
infeksi mirip dengan antigen tubuh, tapi agen tersebut memiliki
sedikit perbedaan sehingga tubuh meningkatkan respon imun
terhadapnya. Namun peningkatan respon imun dapat melawan antigen
tubuh sendiri karena adanya reaktifitas silang. Maka kemiripan
molekuler ini dapat mengawali reaksi autoimun namun tidak cukup
untuk menyebabkan penyakit autoimun. Dibutuhkan beberapa faktor
lain untuk terjadinya penyakit auotimun seperti faktor genetik dan
lingkungan. 1,7 Super antigen merupakan protein yang diproduksi
oleh sel yang terinfeksi bakteri, mycoplasma, dan virus yang dapat
berikatan dengan reseptor sel T melalui major histocompatibility
complex (MHC) class II. Super antigen dapat berperan dalam
patogenesis penyakit autoimun melalui beberapa cara. Dengan
berikatan dengan sel B melalui MHC class II , super antigen dapat
mengaktifkan sel B tubuh untuk memproduksi auto antibodi, akibatnya
limfosit T juga teraktifasi. Mekanisme lainnya yaitu dengan
mengaktifasi antigen presenting cells seperti makrofag dengan
produksi sitokin dan radikal bebas sehingga mediator inflamasi
lainnya juga dilepaskan. Aktifasi ini dapat mengganggu presentasi
antigen yang normal sehingga menyebabkan terpaparnya antigen tubuh
sendiri terhadap sel T yang teraktivasi. Adanya super antigen ini
memang harus dibuktikan dengan adanya bukti infeksi melalui
pemeriksaan mikrobiologi, serologis atau isolasi material genetik
dari patogen. Walaupun demikian peranan super antigen ini
sebenarnya juga belum jelas, namun dari beberapa penelitian
didapatkan beberapa bukti yang mengarah kepada peranan super
antigen. 7Pembentukan limfosit T terjadi di thymus. Selama proses
(proses pusat) ini berlangsung, limfosit T yang bereaksi terhadap
antigen tubuh sendiri dihilangkan. Selain proses di pusat, terjadi
juga proses di perifer. Namun dalam proses ini ada juga limfosit T
yang tidak dihilangkan dan terdapat di perifer. Hal ini terjadi
karena antigen sendiri ini (disebut juga antigen cryptic atau
subdominan) belum dipresentasikan secara sesuai untuk menginduksi
toleransi. Pada beberapa infeksi, terjadi kerusakan jaringan dan
kematian sel, dimana cryptic antigen ini menjadi terpapar dan dapat
dikenali oleh limfosit T. Yang belum diketahui yaitu bagaimana
cryptic antigen ini dapat bersifat imunogenik sehingga dapat
mengaktifkan limfosit dan memulai suatu respon imun. Mekanisme yang
serupa juga dapat dialami oleh non cryptic antigen, yang dapat
terjadi akibat kerusakan sel, kematian sel, stres oksidatif dan
produksi radikal bebas yang terjadi pada infeksi. 7Mekanisme lain
yang dapat terjadi yaitu adanya peningkatan ekspresi molekul MHC
class I atau II, peningkatan proses dan presentasi antigen tubuh
sendiri, pelepasan sitokin melalui aktifasi imun, aktifasi limfosit
langsung oleh limfotropik virus, dan perubahan fungsi limfosit dan
makrofag. 7V. JENIS JENIS INFEKSI SEBAGAI PENYEBAB /PENCETUS
AUTOIMUN
Terdapat beberapa penyebab ataupun pencetus dari proses
autoimun. Diantaranya infeksi bakterial, viral.Beberapa agen
infeksi yang dapat menyebabkan penyakit autoimun diantaranya :
virus, bakteri dan parasit lainnya.Hubungan antara infeksi dan
autoimunitas yang terjelas timbul karena kemiripan (mimicry).
A. Virus dan autoimunitas
Berbagai virus berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun
yang mengenai sendi. Virus adeni dan Coxsackie A9, B2, B4, B6
sering berhubungan dengan poliartritis, pleuritis , mialgia, ruam
kulit, faringitis, miokarditis dan leukositosis. Respons autoimun
terhadap virus Hepatitis C (HCV) adalah multifaktorial. Resolusi
HCV terjadi pada penderita dengan respon antibodi yang cepat dan
infeksi cenderung menjadi kronis pada penderita dengan respons
antibodi yang lambat. Sekitar 10%-30% penderita dengan HCV kronis
disertai kadar rendah ANA dan 60-80% disertai RF. ACA ditemukan
pada 22% penderita HCV dan berbagai antibodi lainnya telah juga
ditemukan. (Tabel 5.) Tabel 5. Autoantibodi yang ditemukan pada
penderita HCV
Krioglobulin
Faktor Reumatoid
Antibodi antinuclear
Antibodi antikardiolipin
Antibodi antineutrofil sitoplasma
Antibodi antitiroid
Antibodi anti-otot polos atau anti mikrosom ginjal
Dikutip dari: Utama1B. Bakteri dan autoimunitas
B.1 Karditis reumatik-demam reumatik akut
Beberapa penyakit autoimun yang ditimbulkan bakteri adalah demam
reumatik paska infeksi streptokok yang disebabkan oleh antibodi
terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan
miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen protein jantung
dan antigen Klamidia Tripanozoma cruzi. Keduanya berhubungan dengan
miokarditis. Demam reumatik adalah gejala sisa nonsupuratif
penyakit Streptokok A, biasanya berupa faringitis dengan
manifestasi 2-4 minggu pasca infeksi akut. Ada tiga gejala utama
yaitu artritis (tersering), karditis dan korea (gerakan tidak
terkontrol, tidak teratur dari otot muka,lengan dan tungkai) yang
dapat disertai gejala kulit berupa ruam tidak sakit dan nodul
subkutan. Gejala-gejala tersebut biasanya timbul pada penderita
yang menunjukkan beberapa gambaran klinis utama dan jarang terjadi
sendiri. Pada pemeriksaan imunologik ditemukan antibodi yang
beraksi dengan protein M dari mikroba penyebab. Antigen streptokok
tersebut memiliki epitop yang mirip dengan jaringan miokard jantung
manusia dan antibodi terhadap streptokok akan menyerang jantung
(jaringan,katup). Pada pemeriksaan biopsi katup jantung ditemukan
infiltrasi sel plasma, endapan antibodi dan protein komplemen
jaringan. Antibodi terhadap antigen streptokok bereaksi silang
dengan antigen otot jantung dan menimbulkan kerusakan dan penyakit
demam rematik. Penyakit menghilang bila bakteri dieliminasi dan
tidak terjadi produksi antibodi.1 B.2 Sindrom Reiter dan artritis
reaktif
Infeksi saluran cerna oleh Salmonela, Sigela atau Kampilobakter
dan saluran kencing oleh Klamidia trakomatis atau
Ureaplasmaurealitikum dapat memacu sindrom Reiter yang berupa triad
uretritis, artritis dan uveitis. Inflamasi insersi tendon dan
ligamen pada tulang merupakan ciri sindrom Reiter dan artritis
reaktif. Penderita dengan artritis perifer asimetris, sakit tumit
dan tendon akiles dapat merupakan ciri utama. Sel-sel inflamasi
ditemukan dalam cairan sinovial.1B.3 Eritema nodosum
Biasanya terjadi pada orang dewasa usia antara 18 tahun sampai
dengan 33 tahun. Infeksi streptokok ditemukan pada 28%, Klamidia
1.5% dan pada satu kasus masing-masing ditemukan infeksi spesies
mikoplasma, yersinia, HBV dan Tuberkulosis. Klinis berupa nodul
terutama pada ekstremitas bawah di permukaan ekstensor, namun lesi
dapat pula ditemukan di kaki atau lengan bawah. Dapat pula
ditemukan sindrom Lofgren yang terdiri atas eritema nodosum
limfadenopati hilus bilateral dan poliartritis terutama
dipergelangan kaki seperti halnya juga terlihat pada
sarkoidosis.1B.4 Yersinia enterokolitis
Dua protein envelop Yersinia enterokolitis memiliki epitop yang
sama dengan domen ekstraselular respon TSH. Pada sindrom
Guillain-Barre, antibodi terhadap gangliosid manusia beraksi silang
dengan endotoksin C. jejuni. Antibodi kolon yang ditemukan pada
kolitis ulseratif beraksi silang dengan E. coli. Antigen dalam T.
cruzi juga dapat beraksi silang dengan antigen otot jantung dan
susunan saraf perifer dan memacu beberapa lesi imunopatologik
seperti terlihat pada penyakit Chagas. Kemiripan molekul homolog
antara mikroba dan komponen tubuh yang dianggap menimbulkan reaksi
silang dapat di lihat pada Tabel 6. 1Tabel 6. Kemiripan molekul
homolog antara mikroba dan komponen tubuh yang dianggap menimbulkan
reaksi silangMolekul mikrobaKomponen tubuh
Bakteri
Sigela fleksneri artritogenik
Nitrogenase Klebsiela
Urease Proteus mirabilis
65 kDa hsp M. tuberkulosis HLA-B27
HLA-B27
HLA-DR4
Sendi (artritis ajuvan)
Virus
Koksaki B
Koksaki B
EBV gp 110
(DNAJ hsp E. coli)
Oktamer HBV
Glikoprotein HSV
Hemaglutinin campak
Gag p32 retrovirusMiokard
Dekarboksilase asam glutamat
RA dengan epitop sel T Dw4
Protein dasar mielin
Reseptor asetikolin
Subset sel T
RNA U-1
Dikutip dari: Utama1VI. INFEKSI SEBAGAI FAKTOR YANG MEMEPERBERAT
AKTIVITAS PENYAKIT AUTOIMUN
Infeksi selain berperan dalam pencetus/ trigger penyakit
autoimun juga berperan terhadap aktifitas pada penyakit autoimun
dan menyebabkan keadaan yang memburuk dan bahkan kematian.
Penderita dengan penyakit autoimun mempunyai kerentanan terhadap
terjadinya infeksi, dan biasanya infeksi dapat menjadi lebih berat
dibandingkan dengan orang normal. Infeksi dapat terjadi walaupun
dengan virulensi yang rendah. Pasien dengan penyakit autoimun
mempunyai gejala klinis yang tidak jelas jika terjadi suatu
infeksi, sehingga dibutuhkan kewaspadaan dan diagnostik yang cepat
dan tepat untuk menentukan infeksi pada penderita autoimun. Jika
tidak ditemukan diagnostik yang tepat akan mengakibatkan keadaan
fatal akibat infeksi tersebut.Kerentanan terhadap terjadinya
infeksi yang berat pada penderita dengan penyakit autoimun dapat
disebabkan terapi yang dijalani. Penggunaan kortikosteroid dengan
dosis tinggi dan lama. Penderita LES menggunakan terapi
kortikosteroid terutama pada dosis lebih 20 mg prednison (atau yang
setara) dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pemakaian
kortikosteroid jangka panjang akan meningkatkan resiko infeksi
karena akan mempengaruhi respon tubuh terhadap mikroorganisme
dengan cara menurunkan respon inflamasi, menurunkan respon sel
efektor pada sel yang dimediasi oleh imunitas, lisis folikel
limfoid, dan penurunan sintesis immunoglobulin. Pada suatu studi di
spanyol tahun 1993, dikatakan bahwa pemakaian steroid selang sehari
dibandingkan dengan pemakaian setiap hari akan menurunkan resiko
terjadinya infeksi. Obat-obat lain yang digunakan pada lupus
seperti obat imunosupresan terutama azatriopin dan siklofosfamid
juga akan meningkatkan resiko infeksi. 7-9 Walapun tidak dalam
terapi kortikosteroid, namun resiko untuk terjadinya infeksi masih
meningkat pada penderita LES. Pada suatu studi yang dilakukan oleh
Ropes, tanpa pemberian kortikosteroid atau pemberian kortikosteroid
yang jarang, ditemukan 79% kasus infeksi berat dalam perjalanan
penyakitnya. Kasus infeksi tersebut biasanya berhubungan dengan
eksaserbasi penyakit. Pada studi di Downstate eksaserbasi akut dari
penyakit LES berhubungan dengan peningkatan angka kejadian infeksi.
Studi yang lain juga menyebutkan bahwa aktifitas penyakit yang
diukur dengan SLE disease activity Index (SLEDAI) atau lupus
activity index (LAI) berhubungan dengan insidensi infeksi.
8Penderita LES walaupun dalam keadaan remisi, namun tetap beresiko
untuk mendapatkan infeksi karena terdapat defek genetik dalam
mempertahankan fungsi imun yang normal. Staples dkk membandingkan
kejadian infeksi pada penderita LES dengan penderita artritis
rematoid dan sindroma nefrotik idiopatik, didapatkan kejadian
infeksi 10 kali lebih banyak pada LES dibandingkan dengan kedua
kelompok lainnya. 8Insidensi infeksi pada LES mencerminkan
keseluruhan morbiditas dan mempengaruhi prognosis secara
signifikan. Infeksi menjadi alasan terbanyak pasien dengan LES
dirawat di rumah sakit. Dari sebuah rumah sakit dilaporkan infeksi
sebagai penyebab pasien LES dirawat yaitu sebanyak 42% pasien.
Infeksi menyebabkan 30-50% morbiditas dan mortalitas dan menjadi
penyebab pertama atau kedua kematian. Dari data di Down State
Medical Center New York didapatkan insidensi infeksi sebanyak 59
kasus dari 100 pasien per tahun, dan didapatkan infeksi bakteri
sebanyak 25 kasus dari 100 pasien per tahun. Pada studi
epidemiologis di Swedia tahun 1985 didapatkan insidensi infeksi
sebanyak 142 kasus dari 100 pasien per tahun. Lebih dari setengah
kasus infeksi akibat virus dan 40% akibat bakteri. 10,11Beberapa
infeksi yang sering pada penderita LES diantaranya bakteri, virus
dan jamur.
Sebagian besar infeksi pada LES disebabkan bakteri patogen
(90%). Sumber infeksi yang paling sering pada penderita lupus yaitu
pada saluran urin, pernafasan dan kulit. Mikroorganisme yang paling
sering didapatkan pada kultur yaitu S. Aureus, E. Coli, Klebsiella
sp., dan Pseudomonas sp. Pada umumnya kokus gram positif dan batang
gram negatif sering menjadi penyebab infeksi yang berakhir dengan
kematian. Bakteriemia sering terjadi terutama pada pasien yang
dirawat dengan lupus, dan kadang sulit dibedakan antara sepsis dan
eksaserbasi dari lupus. Contoh kasus didapat dari studi selama 20
tahun pada 3165 pasien SLE, didapatkan 17 kasus infeksi susunan
saraf pusat. Eksaserbasi lupus terdapat sebanyak 94% pada saat
terjadi infeksi susunan saraf pusat. 11Pada penderita dengan
Rematoid arthritis (RA) infeksi yang tersering diantaranya paru,
kulit dan infeksi sendi.12 Beberapa faktor penyebab terjadinya
infeksi pada RA diantaranya imunosupresi baik itu dari penyakit RA
sendiri maupun agen imunosupresi. Pasien dengan perokok aktif dapat
menyebabkan meningkatnya inflamasi paru pada penderita RA.
13Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada RA juga berperan
terhadap resiko terjadinya infeksi. 14 Penelitian terhadap
hipotesis ini sudah dilakukan yaitu observasi pada 609 pasien RA
dan dengan jumlah yang sama dengan kontrol, penilaian penderita
setelah penggunaan kortikosteroid, leukopenia, usia, perokok, dan
diabetes, dan RA sendiri sebagai faktor terjadinya infeksi.12
Berbeda dengan resiko infeksi yang dihubungkan dengan penggunaan
kortikosteroid dan berpotensi menjadi imunosupresif dimana
penggunaan nonbiologic disease modifying antirheumatic drugs
(DMARDs) tidak menunjukkan hubungan dengan meningkatnya suatu
resiko infeksi. Hal ini diilustrasikan pada penelitian retrospektif
pada 27.710 pada pasien RA di Kanada, pada pasien tidak menggunakan
kortikosteroid , dimana Relative Risk (RR) untuk infeksi yang
serius pada pasien yang menggunakan DMARD tidak mempunyai
signifikan yang berbeda dibandingkan pasien yang tidak menggunakan
DMARD (adjusted RR for DMARD users 0.92 [95% CI 0.88-1.0]).15VII.
INFEKSI SEBAGAI FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMATIAN PADA PENDERITA
DENGAN PENYAKIT AUTOIMUNPenderita dengan penyakit autoimun
mempunyai kerentanan terhadap terjadinya infeksi dan memperberat
perjalanan penyakitnya, dan dapat menyebabkan kematian. Penyebab
utama pada tahun pertama pada penderita LES adalah aktifitas dari
penyakitnya (dengan keterlibatan renal, neurologi, dan
kardiovaskular) atau dikarenakan infeksi yang terjadi karena
imunosupresif, dan karena perjalanan akhir dari penyakitnya
misalnya pada lupus nefritis dengan stadium akhir dari penyakit
ginjal/ end stage renal disease (ESRD). Penyebab kematian juga
dapat disebabkan komplikasi dari terapi obat-obatan, non-Hodgkin
Lymphoma dan kanker paru. 16-21Penelitian yang dilakukan pada 9547
pasien yang diikuti perjalananya selama 8.1 tahun, dimana diukur
standar mortality rates (SMR) pada pasien LES dengan penyebab
kematian yang disebabkan penyakit kardiovaskular (SMR1.7),
non-Hodgkin lumphoma (SMR 2.8), kanker paru (SMR 19.4), Infeksi
(SMR 9.0) khususnya pneumonia (SMR 2.8), dan penyakit ginjal (SMR
4.3). Penelitian ini menunjukkan resiko tinggi pada penderita
wanita muda, kulit hitam dan waktu untuk severitas penyakitnya
kurang dari 1 tahun. 21Suatu studi pada 408 pasien dengan LES yang
diikuti perkembangannya dengan periode mean 11 tahun, dengan 144
orang meninggal dunia (35%). Penyebab utama kematian yaitu lupus
yang aktif (34%), Infeksi (22 %), penyakit kardiovaskular (16%),
dan kanker (6%).22
Studi prospektif lainnya pada 1000 pasien selama 10 tahun,
dimana penyebab utama kematian diantaranya LES yang aktif (26%),
infeksi (25%) dan thrombosis (26%).23
Penyebab kematian pada penyakit Reumatoid arthritis diantaranya
yang berhubungan dengan komplikasi penyakit RA itu sendiri seperti
vaskulitis rematoid, Feltys syndrome, dan rheumatoid lung. Penyakit
kronik sistemik pada RA secara tidak langsung memberikan respon dan
menyebabkan kematian pada RA termasuk infeksi serius seperti
pneumonia, penyakit kardiovaskular , akselerasi aterosklerosis, dan
neoplasma (primary lymphoma). Beberapa penyebab kematian pada
penderita RA dapat dilihat pada tabel 7. Infeksi dengan penyebab
kematian ketiga setelah kardiovaskular dan kanker.24Tabel 7.
Penyebab kematian pada RA pada populasi USA
Penyebab kematian RA (%)
Penyakit kardiovaskluar42.1
Kanker 14.1
Infeksi 9.1
Penyakit ginjal7.8
Penyakit saluran nafas 7.2
RA5.3
Penyakit saluran cerna4.2
Penyakit susunan syaraf pusat4.2
Kecelakaan1.0
Dikutip dari: Utama1Prevalensi infeksi paru pada pasien RA
menyebabkan angka kejadian yang meningkat dan angka kematian yang
meningkat dibandingkan pada orang lain tanpa RA. Hal ini
dikarenakan keadaan seperti bronkiektasis, empyema dan nodul
infektif. Beberapa factor predisposisi diantaranya penyakit paru
yang sudah ada, daya tahan yang berkurang (lymphocytopenia), dan
obat obat immunosupresif. 24Suatu studi lainnya menunjukkan pada
pasien RA dengan peningkatan resiko 50% untuk terjadinya mortalitas
premature dengan angka harapan hidup 3 sampai 10 tahun. Angka
mortalitas yang langsung disebabkan RA sangat rendah yaitu 9.8
persen dari kematian. 25Beberapa penyebab kematian pada RA termasuk
penyakit jantung, amyloidosis, instabilitas tulang servikal, gagal
nafas akibat fibrosis alveoli. Beberapa yang berhubungan dengan
komorbid penyakit terutama penyakit kardiovaskular,
serebrovaskular, infeksi, lymphoma dan perdarahan gastrointestinal.
26 VIII. KESIMPULANPenyakit autoimun merupakan penyakit yang timbul
karena respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk
mempertahankan self-telorance sel B, sel T atau keduanya.
Banyak penyebab terjadinya autoimunitas salah satunya adalah
infeksi. Berbagai macam infeksi diantaranya bakterial dan virus.
Infeksi memegang peranan besar hampir sebagian besar untuk
patogenisis terjadinya penyakit autoimun. Infeksi selain sebagai
pencetus terjadinya penyakit autoimun juga berperan sebagai faktor
pemberat penyakit autoimun itu sendiri dan bahkan sebagai penyebab
kematian. VII DAFTAR PUSTAKA
1. Utama Hendra. Autoimunitas dalam Imunologi Dasar. Balai
Penerbit FK UI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
. Edisi ke-8, 2009; 120-126.2. Silbernagl S. Patofisiologi penyakit
autoimun dalam patofisiologi penyakit. Penerbit ECG Jakarta. 2007;
53-54.3. Abbas AK. Disease cause by immune responses
hypersensitivity and autoimmunity. Dalam cellular and molecular
immunology. Shiv PilIai. 6th ed. 2007;419-440.4. Silverman GJ et
al. Arthritis Res Ther. 2003;5(suppl 4):S1-S6. 5. Dale DC et al.
WebMD Scientific American Medicine. Chapter 6. WebMD Professional
Publishing. 2002; 173-174.6. Klippel JH et al. Genetic and disease
in Primer on the Rheumatic Diseases. 13th ed. Arthritis Foundation;
2008. Hal 108. 7. Samarkos M, Vaiopoulos G. The role of infections
in the pathogenesis of autoimmune diseases. Current drug targets-
Inflammation and allergy, 2005;4:99-103.8. Ginzler EM, Dvorkina O.
Infections in systemic lupus erythematosus. In Wallace D.J, Hahn BH
editors : Dubois` lupus erythematosus, 7th ed. California.
Lippincott Williams & Wilkins. 2002; 901-907.
9. Lupus and infections. Available at
www.betterhealth.vic.gov.au.p1-3
10. Lu L.Y. Infections : inseparable from lupus? J Rheumatol
R.O.C. 2007;21:1-3
11. Jamil B. Infections in systemic lupus erythematosus.
Infection disease journal of Pakistan.2004:18-21.
12. Doran, MF, Crowson, CS, Pond, GR, et al. Frequency of
infection in patients with rheumatoid arthritis compared with
controls: a population-based study. Arthritis Rheum 2002;
46:2287.
13. Doran, MF, Crowson, CS, Pond, GR, et al. Predictors of
infection in rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2002;
46:2294.14. Smitten, AL, Choi, HK, Hochberg, MC, et al. The risk of
hospitalized infection in patients with rheumatoid arthritis. J
Rheumatol 2008; 35:387.
15. Lacaille, D, Guh, DP, Abrahamowicz, M, et al. Use of
nonbiologic disease-modifying antirheumatic drugs and risk of
infection in patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum
2008; 59:1074.16. Ward, MM, Pyun, E, Studenski, S. Mortality risks
associated with specific clinical manifestations of systemic lupus
erythematosus. Arch Intern Med 1996; 156:1337.17. Rubin, LA,
Urowitz, MB, Gladman, DD. Mortality in systemic lupus
erythematosus: the bimodal pattern revisited. Q J Med 1985;
55:87.
18. Abu-Shakra, M, Urowitz, MB, Gladman, DD, Gough, J. Mortality
studies in systemic lupus erythematosus. Results from a single
center. I. Causes of death. J Rheumatol 1995; 22:1259.
19. Abu-Shakra, M, Urowitz, MB, Gladman, DD, Gough, J. Mortality
studies in systemic lupus erythematosus. Results from a single
center. II. Predictor variables for mortality. J Rheumatol 1995;
22:1265.
20. Moss, KE, Ioannou, Y, Sultan, SM, et al. Outcome of a cohort
of 300 patients with systemic lupus erythematosus attending a
dedicated clinic for over two decades. Ann Rheum Dis 2002;
61:409.
21. Bernatsky, S, Boivin, JF, Joseph, L, et al. Mortality in
systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2006; 54:255022.
Ward, MM, Pyun, E, Studenski, S. Causes of death in systemic lupus
erythematosus. Long-term followup of an inception cohort. Arthritis
Rheum 1995; 38:1492.23. Cervera, R, Khamashta, MA, Font, J, et al.
Morbidity and mortality in systemic lupus erythematosus during a
10-year period: a comparison of early and late manifestations in a
cohort of 1,000 patients. Medicine (Baltimore) 2003; 82:299.24.
Cush JJ, Weinblait EE, Kavanaugh A. Prognostic in Rheumatoid
arthritis. Professional communication Inc; 2010; 500-502. 25.
Myasoedova, E, Davis JM, 3rd, Crowson, CS, Gabriel, SE.
Epidemiology of rheumatoid arthritis: rheumatoid arthritis and
mortality. Curr Rheumatol Rep 2010; 12:379.
26. Krishnan, E, Lingala, VB, Singh, G. Declines in mortality
from acute myocardial infarction in successive incidence and birth
cohorts of patients with rheumatoid arthritis. Circulation 2004;
110:1774.11