BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) merupakan masalah global yang penting dan merupakan masalah yang sangat kompleks. Dewasa ini dunia telah mengalami suatu pandemi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) sebagai penyebab AIDS. Penyakit HIV/AIDS sampai sekarang masih ditakuti karena sangat mematikan. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan kemanusiaan. 1,2 Menurut data UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) yaitu badan WHO dunia yang menanggulangi permasalahan AIDS memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 24 juta orang di dunia sejak tahun 1981 dan menjadikannya sebagai suatu destruksi pandemik yang terbesar dalam sejarah manusia. 3 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) merupakan masalah
global yang penting dan merupakan masalah yang sangat kompleks. Dewasa
ini dunia telah mengalami suatu pandemi virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) sebagai penyebab AIDS. Penyakit HIV/AIDS
sampai sekarang masih ditakuti karena sangat mematikan. HIV/AIDS
menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis
kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan
kemanusiaan. 1,2
Menurut data UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) yaitu badan
WHO dunia yang menanggulangi permasalahan AIDS memperkirakan bahwa
AIDS telah membunuh lebih dari 24 juta orang di dunia sejak tahun 1981 dan
menjadikannya sebagai suatu destruksi pandemik yang terbesar dalam sejarah
manusia. 3
Sampai saat ini, benua Afrika masih menjadi region terbanyak dengan
penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan fakta epidemiologi
HIV/AIDS di Afrika Selatan menurut UNAIDS pada tahun 2008 ini, bahwa
sekitar 5,7 juta (64%) orang yang telah menjadi ODHA (Orang Dengan HIV
AIDS), dengan rata-rata prevalensi usia 15-49 tahun sekitar 5,4 juta orang,
3,2 juta diantaranya termasuk wanita 15 tahun keatas, 280.000 anak-anak usia
0-14 tahun dan telah tercatat 350.000 pengidap HIV AIDS yang meninggal.
1
Kemudian disusul Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan,
sehingga menyebabkan kematian lebih dari 500.000 anak.4
Statistik kasus yang dilaporkan oleh Ditjen PPM & PL Depkes RI,
sampai dengan September 2009 secara kumulatif jumlah kasus yang
dilaporkan adalah 18442 di 32 Provinsi. Proporsi kumulatif kasus AIDS
tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun, disusul kelompok
umur 30-39 tahun dan kelompok umur 40-49 tahun.5
Di Indonesia yang terletak diantara benua Asia dan Australia, yang
memiliki sekitar 17.000 pulau dengan populasi 220 juta penduduk,
menjadikan Indonesia sebagai negara ke empat tertinggi di dunia untuk
penyebaran HIV. Indonesia termasuk wilayah endemik HIV/AIDS, dimana
dari tahun ke tahun meningkat dengan cepat dan tidak memperlihatkan
adanya penurunan. 4,6,7
Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit menular
yang endemis di Indonesia. Tahun 1940 sampai 1970an ditemukan berbagai
obat TB sehingga angka TB diberbagai negara Eropa dan Amerika menurun
dengan amat tajam dari waktu ke waktu, tetapi belakangan tampak fenomena
baru dan penurunan yang tajam ini tidak terjadi. Beberapa faktor jelas
berperan dalam perlambatan penurunan TB ini seperti perpindahan penduduk,
pengungsi akibat perang, kemiskinan dan infeksi HIV.4,6,8
Antara TB dan HIV mempunyai hubungan yang kuat karena dengan
infeksi HIV maka angka penyakit TB mengalami peningkatan lagi.
Tuberkulosis paru merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi
2
pada penderita HIV. Infeksi HIV merupakan faktor resiko untuk
berkembangnya TB melalui mekanisme berupa reaktivasi infeksi laten,
progresiviti yang cepat pada infeksi primer atau reinfeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis).4,9
Sebanyak 24% - 45% kasus TB pada infeksi HIV asimptomatik
menjadi 70 % pada pasien dengan AIDS, bentuk terbanyak adalah TB
ekstrapulmoner termasuk limfadenitis, bakteremia, penyakit sistem saraf
pusat (tuberkuloma, meningitis TB). Tingginya angka kejadian TB pada
penderita HIV dengan uji tuberkulin positif dan berpotensi terjadi TB aktif
maka perlu diadakan strategi terapi pencegahan TB yang optimal dan
sebaiknya mendapat prioriti tinggi pada pasien HIV.9
Menurut data dari WHO tahun 2008, TB merupakan penyebab utama
kematian terkait HIV di seluruh Dunia. Di beberapa negara dengan prevalensi
HIV yang lebih tinggi, hingga 80% dari orang uji TB positif HIV. Sekitar
30% dari orang yang terinfeksi HIV diperkirakan memiliki infeksi laten TB.
Pada tahun 2008, ada sebuah perkiraan 1,4 juta kasus baru TB di antara orang
dengan infeksi HIV dan TB menyumbang 23% dari kematian terkait AIDS.10
Jumlah kepadatan yang tinggi, rendahnya akses ke tempat kesehatan,
dan populasi beresiko tinggi di antara para tahanan berperan dalam
peningkatan infeksi TB dan HIV di antara penghuni penjara. Dr. Fabienne
Hariga dari UN Office on Drugs and Crime dan Dr. Alasdair Reid dari UNAIDS
menyoroti suramnya statistik kesehatan untuk orang-orang di balik jeruji besi.
Menurut Hariga, beberapa penjara memiliki sampai 65% populasi orang yang
3
terinfeksi HIV. DCS statistik melaporkan bahwa terjadi peningkatan
sebanyak 700% untuk penderita HIV di penjara sejak tahun 199511,12
Angka TB di penjara mencapai angka 50 kali lebih tinggi daripada
populasi umum. Angka peningkatan ditemukan pada tahanan yang dihukum
lebih lama. Hal ini mengakibatkan adanya keterkaitan antara infeksi TB dan
lama tahanan. Narapidana juga lebih mungkin meninggal akibat TB dan/atau
dari pengobatan dibandingkan dengan populasi di luar penjara. Dilaporkan
bahwa 90-95% kematian di penjara berhubungan dengan HIV dengan
koinfeksi TB. 11,12
Berdasarkan data dari DEPKES RI tahun 2006, bahwa jumlah penderita
HIV di Penjara Kelas 1 Makassar sebanyak 33 orang dan penderita TB
sebanyak 22 orang dari 925 tahanan19. Hingga saat ini belum tersedia data ko-
infeksi TB-HIV/AIDS di rumah tahanan Gunung Sari Makassar.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
karakteristik kejadian ko-infeksi penderita HIV/AIDS dengan penyakit
Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar ?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik kejadian ko-infeksi
penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Tuberkulosis di rumah tahanan
Gunung Sari Jalan Sultan Alauddin Makassar
4
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui prevalensi penderita HIV/AIDS di rumah tahanan
Gunung Sari Makassar
2. Untuk mengetahui prevalensi penderita TB di rumah tahanan Gunung
Sari Makassar.
3. Untuk mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan umur
4. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan jenis kelamin.
5. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan jumlah CD4.
6. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan foto thoraks.
7. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan BTA.
8. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan pemberian terapi.
1.3 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi
pihak Rumah tahanan Gunung Sari jalan Sultan Alauddin dalam
peningkatan upaya pencegahan dan penanganan HIV/AIDS dengan
infeksi Tuberkulosis di masa yang akan datang.
5
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi perbandingan untuk
peneliti selanjutnya.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan
bagi mahasiswa kedokteran dan peneliti selanjutnya.
AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan
rusaknya/menurunnya sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit.
Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HIV
tersebut menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian
dari sistem kekebalan tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan
penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak sel darah putih hingga tidak
bisa berfungsi dengan baik.1,4,6
2.1.2 Sejarah
Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat
pada tahun 1978. Pada tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasus-
kasus Sarkoma Kaposi dan penyakit-penyakit infeksi yang jarang terjadi di
Eropa, penyakit ini menyerang orang-orang Afrika yang bermukim di
Eropa. Sampai saat ini belum disadari oleh para ilmuwan bahwa kasus-
kasus tersebut adalah AIDS. Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh
dunia ini pertama kali dilaporkan oleh Gotlieb dan kawan-kawan di Los
Angeles pada tahun 1981. Orang yang terinfeksi virus HIV akan berpotensi
sebagai pembawa dan penular virus selama hidupnya walaupun orang
tersebut tidak merasa sakit dan tampak sehat. 4,13
7
Dalam tahun yang sama yaitu pada tahun 1981 Amerika Serikat
melaporkan adanya kasus Sarkoma Kapusi dan penyakit infeksi yang jarang
terjadi di kalangan homoseksual. Hal ini menimbulkan dugaan yang kuat
bahwa transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan seksual. Pada tahun
1982 CDC-USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untuk
pertamakali membuat defenisi kasus AIDS. Sejak tahun 1982 dilakukan
surveilans terhadap kasus-kasus AIDS. Pada tahun 1982 –1983 mulai
diketahui adanya transmisi diluar jalur hubungan seksual, yaitu melalui
transfusi darah, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh para
penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. 4,14
Di Indonesia pertama kali mengetahui adanya kasus AIDS pada bulan
April tahun 1987, pada seorang warganegara Belanda yang meninggal di
RSUP Sanglah Bali akibat infeksi sekunder pada paru-paru, sampai pada
tahun 1990 penyakit ini masih belum mengkhawatirkan, namun sejak awal
tahun 1991 telah mulai adanya peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua
kali lipat (doubling time) kurang dari setahun, bahkan mengalami
peningkatan kasus secara ekponensial. 15,16
2.1.3 Epidemiologi
Saat ini diperkirakan ada 5 – 10 juta orang pengidap HIV (Human
Immuno Deficeincy Virus) yang belum menunjukkan gejala apapun tetapi
potensial sebagai sumber penularan. Di samping itu telah dilaporkan adanya
lebih kurang 100.000 orang penderita AIDS dan 300.000 – 500.000 orang
penderita ARC (AIDS Related Complex) sampai 1 Maret 1989 telah
8
dilaporkan 141.000 kasus AIDS ke WHO oleh 145 negara. AIDS adalah
suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate
100 % dalam 5 tahun, artinya dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis AIDS
ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Pada populasi normal Adult
Mortality Rate adalah 50/10.000 bila seroprevalensi infeksi HIV adalah 10
% maka dalam 5 tahun mendatang Adult Mortality Rate ini akan meningkat
dua kali menjadi 100/10.000 4,16. Dari Tahun 2001 – 2007, terjadi
peningkatan penderita HIV dari 93.000-270.000.
Grafik 2.1 Estimasi angka manusia yang hidup dengan HIV17
Distribusi umur penderita AIDS di AS, Eropa dan Afrika tidak
berbeda jauh, kelompok terbesar berada pada umur 30 – 39 tahun, dan
menurun pada kelompok umur yang lebih besar dan lebih kecil. Hal ini
membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual
merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi AIDS yang
berkisar dari 5 tahun ke atas, maka infeksi terbesar terjadi pada kelompok
9
umur muda/seksual paling aktif yaitu 20 – 30 tahun11,12. Distribusi penderita
HIV menurut umur dapat dilihat dari gambar 2.
Grafik 2.2. Distribusi penderita HIV/AIDS menurut umur17.
Depkes RI melaporkan bahwa sampai pada tahun 2009 kasus
HIV/AIDS tercatat sebanyak 18442 orang yang menyebar di 33 Propinsi.
Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia dapat dilihat pada tabel
berikut :5
Tabel 2.1 Perkembangan HIV AIDS di Indonesia
Jenis Kelamin/Sex AIDS AIDS/IDU
Laki-laki/Male 13654 6877
Perempuan/Female 4701 574
Tak Diketahui/Unknown 87 47
Jumlah/Total 18442 7498
Statistik Kasus HIV/AIDS di IndonesiaSumber : Ditjen PPM & PL Depkes RI5
10
Rasio jenis kelamin pria wanita adalah 10 – 15 : 1 karena sebagian
besar penderita adalah kaum homoseksual. Perbandingan antara penderita
dari daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan) umumnya lebih tinggi di
daerah urban, karena di kota lebih banyak dilakukan promiskuitas
(hubungan seksual dengan banyak mitra seksual), maka kelompok
masyarakat berisiko tinggi adalah kelompok masyarakat yang melakukan
promiskuitas, yaitu kaum homoseksual termasuk kelompok biseksual,
heteroseksual, dan penyalahguna narkotik suntik, serta penerima transfusi
darah termasuk penderita hemofili dan penyakit-penyakit darah, anak dan
bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV. Prevalensi infeksi HIV dikalangan
ini terus meningkat dengan pesat. Di San Fransisco pada tahun 1978, hanya
4 % kaum homoseksual diperkirakan mengidap HIV, 3 tahun kemudian
angka ini bertambah menjadi 24 %, 8 tahun kemudian menjadi 80 % dan
pada saat ini telah menjadi 100 %. 4, 18
Kelompok heteroseksual risiko tinggi ini di Indonesia adalah para
WTS, para pramupijat, pramuria bar dan club malam dan para
pelanggannya. Kelompok penyalah guna narkotik suntik, mereka ini
menggunakan alat suntik bersama dan sering masih terdapat sisa darah di
dalam jarum atau alat suntik. Kelompok ini di Eropa meliputi 11 % dari
semua kasus AIDS dan di Amerika Serikat 25 % dari seluruh kasus AIDS 4.
Menurut data dari National AIDS reports, jumlah penderita HIV
sebanyak 56,1 % pada perempuan, dan 52,2 % pada laki-laki. Sedangkan
11
pada umur <25 tahun, terdapat 41,7% penderita HIV, dan pada umur >25
tahun ada 57,9% penderita HIV17. Ini dapat dilihat pada gambar 3.
Grafik 2.3 Persentase dari resiko tinggi penderita HIV berdasarkan umur
dan jenis kelamin.17
2.1.4 Gejala
Gejala-gejala yang muncul dari HIV bisa mempengaruhi seseorang
secara bertahap. Setelah virus memasuki tubuh, maka virus akan
berkembang dengan cepat. Virus ini akan menyerang limfosit CD4 (sel T)
dan menghancurkan sel-sel darah putih sehingga mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh. Setiap tahapan dari infeksi akan menunjukkan gejala
yang berbeda. Tahap awal dari infeksi virus ini biasanya tidak
menunjukkan tanda-tanda atau gejala apapun, gejala baru akan muncul
setelah dua sampai empat minggu setelah terinfeksi. Seseorang bisa
mengeluh mengalami sakit kepala yang berat dan persisten disertai dengan
demam.5,8 Terdapat 4 gejala stadium klinis HIV yang dapat digunakan
untuk mendiagnosis HIV, yaitu :
12
Tabel 2.2 Stadium klinis untuk mendiagnosis HIV
Stadium 1 Asimptomatik Tidak ada penurunan berat badan Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan Penurunan BB 5-10% ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE) Dermatitis seboroik Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang Penurunan berat badan > 10% Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal Oral hairy leukoplakia TB Paru dalam 1 tahun terakhir Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan. Kandidosis esophageal TB Extraparu* Sarkoma kaposi Retinitis CMV* Abses otak Toksoplasmosis* Encefalopati HIV Meningitis Kriptokokus* Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Kondisi dengan tanda* perlu diagnosis dokter yang dapat diambil dari rekam medis RS sebelumnya
Dikutip dari DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II– 200719
2.1.5 Penularan AIDS.
13
HIV dapat ditularkan melalui :
A. Hubungan seksual (homoseksual ataupun heteroseksual) dengan
seorang yang mengidap HIV.
B. Transfusi darah yang tercemar HIV.
C. Melalui alat suntik, alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas
dipakai orang yang mengidap HIV.
D. Pemindahan HIV dari ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin
yang dikandungnya.18,19
2.1.6 Penilaian Imunologi
Jumlah CD4 adalah cara yang terpercaya dalam menilai status
imuunitas seorang ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan
klinis yang mana dapat memandu dalam menentukan kapan pasien
memerlukan pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum
penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah.18,19
2.1.7 Terapi ARV
A. Tidak tersedia tes CD4
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4
harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus
dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk
pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis
yang baru.18,19
B. Tersedia tes CD4
14
Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien
jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan
lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3
dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila
tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4
kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi
ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis
maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru
atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil
stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. 18,19,20
Tabel 2.3 Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
15
StadiumKlinis
Bila tersedia pemeriksaan
Bila tidak tersediapemeriksaan CD4
1 Terapi antiretroviral dimulai bila
Terapi ARV tidak
diberikan
2 CD4 <200 Bila jumlah total
limfosit <1200
3 Jumlah CD4 200 – 350/mm3,pertimbangkan terapi sebelumCD4 <200/mm3Pada kehamilan atau TB: Mulai terapi ARV
pada semua ibu hamil dengan CD4 ,350
Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah limfosit
4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4
Dikutip dari DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II– 200719
Keterangan:a CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB
paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
b Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat ditentukan.
c Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal initidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I ) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumberdaya terbatas.
Panduan ARV lini pertama yang dianjurkan adalah :
1. Pilih lamivudin (3TC), ditambah
16
2. Pilih salah satu obat dari golongan nucleoside revere transcriptase
inhibitor (NRTI), zidovudine (AZT) atau stavudin (d4T)
Tabel 2.4 Pilihan Paduan ARV untuk Lini- Pertama
Anjuran Paduan ARV Keterangan
Pilihan utama AZT + 3TC +NVP
AZT dapat menyebabkan anemia, dianjurkanuntuk pemantauan hemoglobin, tapi AZT lebihdisuka dari pada stavudin (d4T) oleh karenaefek toksik d4T (lipoatrofi, asidosis laktat,neropati perifer).Pada awal penggunaan NVP terutama padapasien perempuan dengan CD4 >250 berisikountuk timbul gangguan hati simtomatik, yangbiasanya berupa ruam kulit. Risiko gangguanhati simtomatik tersebut tidak tergantung beratringannya penyakit, dan tersering pada 6minggu pertama dari terapi.
PilihanAlternatif
AZT + 3TC +EFV
Efavirenz (EFV) sebagai substitusi dari NVP manakala terjadi intoleransi dan bila pasien juga mendapatkan terapi rifampisin. EFV tidak boleh diberikan bila ada peningkatan enzim alanin aminotransferase (ALT) pada tingkat 4 atau lebih.Perempuan hamil tidak boleh diterapi denganEFV. Perempuan usia subur harus menjalani tes kehamilan terlebih dulu sebelum mulai terapi dengan EFV.
d4T + 3TC +NVP atau EFV
d4T dapat digunakan dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium.
Dikutip dari DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II– 200719
Tabel 2.5 Terapi ARV untuk Pasien dengan Koinfeksi TB dan HIV
CD4 Paduan yang Keterangan
17
Dianjurkan
CD4 <200/ mm3 Mulai terapi TB.Mulai terapi ARV segerasetelah terapi TB dapatditoleransi (antara 2 mingguhingga 2 bulan)Paduan yang mengandung EFV(AZT atau d4T) + 3TC + EFV(600 atau 800 mg/hari).Setelah OAT selesai maka bilaperlu EFV dapat diganti denganNVPBila NVP terpaksa harusdigunakan disamping OAT,maka dapat dilakukan denganmelakukan pemantauan fungsihati (SGOT/SGPT) secara
ketat
Saat mulai ART pada 2 – 8minggu setelah OAT
CD4 200-350/mm3
Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi TB
CD4 >350/ mm3 Mulai terapi TB. Tunda terapi ARVe , evaluaikembali pada saat minggu ke 8terapi TB dan setelah terapi TBlengkap
CD4 tidakmungkin diperiksa
Mulai terapi TB. Pertimbangkan terapi ARVmulai 2 – 8 minggu setelahterapi TB dimulai
Dikutip dari DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II– 200719
2.2. Tuberkulosis
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan
WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
18
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil
Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di
Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat
dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika
hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk, seperti terlihat pada tabel Diperkirakan angka kematian akibat
TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun
2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di
Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per
100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan
peningkatan cepat kasus TB yang muncul.21,22
Tabel 2.6 Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002
Jumlah(Ribu)
Kasus Kasus 100000duk
PerPendu
Kematian akibat TB
PembagiandaerahWHO
Semuakasus(%)
Sputumpositif
Semuakasus(%)
Sputumpositif
Jumlah(Ribu)
Per 100000Penduduk
Afrika 2354 (26) 1000 350 149 556 83Amerika 370 (4) 165 43 19 53 6Mediteranian timur
622 (7) 279 124 55 143 28
Eropa 472 (5) 211 54 24 73 8Asia Tenggara 2890 (33) 1294 182 81 625 39Pasifik barat 2090 (24) 939 122 55 373 22Global 8797
(100)2887 141 63 1823 29
Dikutip dari pedoman diagnosis dan penatalaksanaa Tuberkulosis di Indonesia12
19
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus
TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB
dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut
pada seluruh kalangan usia. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. berbentuk batang lurus
atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini
berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M.
tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor,
dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan
dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan
oleh jembatan fosfodiester.9,10,12,13
2.2.2 Patogenesis
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di
bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
20
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama
dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks
primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara Perkontinuitatum, secara bronkogen, hematogen
dan limfogen
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.
Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan
rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer
dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari
lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk
suatu sarang pneumonik kecil.9,12,16
2.2.3 Klasifikasi Tuberkulosis
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura
Berdasarkan Pemeriksaan dahak, Tuberkulosis pari dibagi menjadi :
21
- Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif, Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif, Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif12,17,19
- Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif, Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M. tuberculosis positif12,17,20
Berdasarkan Tipe Pasien, ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
b. Kasus kambuh (relaps)
c. Kasus defaulted atau drop out
d. Kasus gagal
e. Kasus kronik / persisten
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput
otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
22
alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur
positif atau patologi anatomi.12
2.2.4 Gambaran Klinik
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya12
2.2.4.1 Gejala klinik
1. Gejala respiratorik
- batuk ³ 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
2. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
2.2.4.2 Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan