REFERAT RHINOSINUSITIS KRONIS ALERGIKA Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan pendidikan profesi dokter Pembimbing : dr. Dony Hartanto, Sp.THT, M.Kes Disusun Oleh : IDA WULANDARI J500050028 RISA AGUSTINA J500050035 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 201 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REFERAT
RHINOSINUSITIS KRONIS ALERGIKA
Diajukan untuk memenuhi
sebagian persyaratan pendidikan profesi dokter
Pembimbing :
dr. Dony Hartanto, Sp.THT, M.Kes
Disusun Oleh :
IDA WULANDARI J500050028
RISA AGUSTINA J500050035
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
201
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama
dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung
dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-
Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut
adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis.1
Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama
sesuai dengan letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan
sinus ethmoidalis (sinus paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran
pernapasan yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan
bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus
terutama berisi udara.2
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi
bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan
maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari.
Sampai saat ini sinusitis maksila kronis masih merupakan masalah dan
merupakan subjek yang selalu diperdebatkan, baik mengenai etiologi, keluhan,
diagnosis maupun tindakan selanjutnya. 3 Berbeda dengan sinusitis akut, sinusitis
kronis biasanya sukar disembuhkan dan hasil pengobatan sering mengecewakan,
baik untuk dokter dan terutama untuk penderita. Penderita biasanya mempunyai
keluhan hidung tersumbat, sakit kepala, cairan mengalir dibelakang hidung,
hidung berbau dan penciuman berkurang.6 Berbagai etiologi dan faktor
2
predisposisi berperan dalam timbulnya penyakit ini, seperti deviasi septum, polip
kavum nasi, tumor hidung dan nasofaring serta alergi.6 Menurut Lucas seperti
yang dikutip Moh. Zaman , etiologi sinusitis adalah sangat kompleks. Hanya 25%
disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan
ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahan-
perubahan pada mukosa sinus.3
Alergi adalah salah satu faktor prediposisi dalam patogenesis sinusitis
maksila kronis, yang mengakibatkan edema mukosa dan hipersekresi, keadaan ini
akan menimbulkan penyumbatan muara sinus mengakibatkan stasis sekret. Hal ini
sebagai medium infeksi yang akhirnya menyebabkan sinusitis kronis.2 Penyakit
alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing
yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada
kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.3 Gangguan alergi pada
hidung ternyata lebih sering dari perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu
menyerang sekitar 10 % dari populasi umum.4
Prevalensi rinitis alergi telah diketahui bervariasi antara 5 – 10 %
panduduk diberbagai kota di dunia. Insiden rinitis di Bandung 1,5 % , di Sub
Bagian Alergi-Imunologi Bagian THT FKUI/RSCM selama setahun 1992 adalah
1,14 % dan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 1993-1994 sebesar 16,44%.5
Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata
gatal, ingus encer lebih dari satu jam dan hidung tersumbat, maka dinyatakan
positif. Hampir 50 % diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
Oleh karena faktor alergi merupakan salah satu penyebab timbulnya sinusitis
maksila kronis, maka perlu dilakukan tes kulit epidermal berupa tes kulit cukit
(Prick tes, tes tusuk). 7
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Sinusitis
Rhinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu inflamasi dari hidung
dan mukosa sinus paranasal dengan durasi lebih dari 12 minggu. Sinusitis
diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut
pansinusitis.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Perdefinisi,
sinusitis kronis berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Sinusitis
kronis berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar
disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Pada sinusitis akut,
perubahan patologik membrana mukosa berupa infiltrat polimorfonuklear,
kongesti vaskular dan deskuamasi epitel permukaan, yang semuanya
reversibel. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan
irreversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau
pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi,
regenerasi, metaplasi, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada
suatu irisan histologis yang sama. Pembentukan mikroabses dan jaringan
granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara
4
menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam
lapisan submukosa.10
Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronis cukup beragam.
Pada era pre-antibiotik, sinusitis hiperplastik kronis timbul akibat sinusitis
akut berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Dalam
patofisiologi sinusitis kronis beberapa faktor ikut berperan dalam siklus
peristiwa yang berulang. Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak,
sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung
dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan
mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi
kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna. Adanya
infeksi akan menyebabkan udem konka, sehingga drainase sekret akan
terganggu. Drainase sekret yang terganggu akan menyebabkan silia rusak
dan begitu seterusnya.2
Sinusitis kronik adalah sinusitis yang terjadi lebih dari 8 minggu.
Pada sinusitis kronik, rongga di sekitar lubang hidung (sinus) menjadi
meradang dan bengkak. Ini mengganggu drainase yang menyebabkan
lendir menumpuk. Kondisi umum seperti ini disebut juga rinosinusitis
kronik. Daerah sekitar mata dan wajah mungkin akan terasa bengkak, sakit
wajah atau sakit kepala. Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh infeksi,
tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya polip hidung atau septum hidung
yang bengkok (menyimpang).8
5
2. Anatomi Sinus Paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 – 4 bulan, kecuali
sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak
lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8
– 10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus – sinus
ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15 – 18 tahun.2
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian
lateral rongga udara hidung; jumlah, ukuran, bentuk, dan simetri bervariasi. Sinus
– sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama
sesuai : sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir
biasanya berupa kelompok – kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang
saling berhubungan, masing – masing kelompok bermuara ke dalam hidung.
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi,
dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga
hidung. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara.2
6
Pembagian sinus paranasalis :11
a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6 – 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang
disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi
mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
keempat fetus, berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel
infundibulum etmoid. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4
cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat – sekat dan tepi sinus
berlekuk – lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus
frontal. Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear
yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri
7
carotis interna. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan
supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus.
c. Sinus Etmoid
Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid
berongga – rongga, terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka
media dan dinding medial orbita. Sel – sel ini jumlahnya bervariasi antara 4 – 17
sel (rata – rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel – sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – kecil dan banyak,
letaknya dibawah perlekatan konka media, sedangkan sel – sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-
superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior
ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri sphenopalatina.
Inervasi mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus trigeminus.
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm.
Volumenya bervariasi dari 5 – 7,5 ml.
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmikus, sedangkan
8
arteri oftalmikus berasal dari arteri karotis interna. Yang penting ialah arteri
sphenopalatina dan ujung dari arteri palatina mayor.
Bagian depan dan atas dari rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari nervus etmoid anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus (nervus V – 1). Rongga hidung lainnya sebagian
besar mendapatkan persarafan sensoris dari nervus maksilla melalui ganglion
sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina disamping memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor/ otonom pada mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut – serabut sensoris dari nervus maksila (nervus V –
2), serabut parasimpatis dari nervus petrosis superfisialis mayor, dan serabut –
serabut simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak
di belakang dan sedikit diatas dari ujung posterior konka media
3. Fungsi Sinus Paranasal 11
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain :
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi
sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga
dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus
b. Sebagai panahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan
fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
tidak dianggap bermakana.
d. Membantu resonansi udara
9
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan
mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.
4. Patofisiologi
Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke
dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi
dan tahap efektor.20
Fase sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung
sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama
inhalasi udara napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung
tersebut kemudian diproses oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai
fagosit dan sel penyaji antigen (APC) menjadi peptida pendek yang terdiri dari
atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari
komplek MHC klas II. Sel APC ini akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil
atau limfonodi. Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limposit Tho
bersama molekul CD4 dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel
penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi antara reseftor sel T
(TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan B7 serta
molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu
terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel, sitoplasma maupun nukleus
sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.20
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang
10
mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji
antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel
B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang
diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan
dengan reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi dipermukaan sel basofil
dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di mukosa yang
kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa
dan sub-mukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam
keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi. Dalam fase ini seseorang dapat
belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit yang lain, tetapi jika
dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.
11
12
13
Fase elisitasi
1. Tahap aktifasi
Pada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan ulang
dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa
hidung dapat terjadi ikatan/ bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan
pada permukaan sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-
linking) (Suprihati, 2006). Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel
mast atau basofil dengan alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosine
triphospate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C
untuk mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol
triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG) pada membran PIP2. Inositol
triphosphate menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel (Ca++) dari reticulum
endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung mengaktifkan beberapa enzim
seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-calmodulin yang mengaktifkan enzim
myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++ dan DAG bersama-sama dengan
membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi
14
ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong dalam newly formed
mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet
activating factors (PAF) dan exositosis granula sel mast yang berisi mediator
kimia yang disebut pula sebagai preformed mediator seperti histamin, tryptase dan
bradikinin.20
Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast
karena histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung
( bersin, rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek
langsung pada endotel yaitu meningkatkan permeaibilitas kapiler yang
menyebabkan proses transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin
pada reseptor saraf nocicetif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N-V
menyebabkan rasa gatal di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin.
Efek histamin pada kelenjar karena aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek
meningkatkan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala rinore yang serous.
Selain itu histamine juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama konka.
Gejala yang segera timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau
reaksi fase segera (RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan
dimetabolisme oleh histamine N-methyl transferase (HMT) pada sel epitel
maupun pada endotel.20
2. Tahap efektor
Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah
mengalami metabolisme dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan
berkurang. Setelah reaksi fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan
aktifasi endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat
terjadi pada sebagian penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah
paparan alergen dan menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah
tertariknya berbagai macam sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi
alergi yang merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi kronik seperti RA dan
asma bronkhial. Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke
jaringan/ lokasi alergi melalui beberapa tahap seperti migrasi (perpindahan)
15
eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan secara
reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling) yang diikuti
perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul
adesi endotel seperti ICAM-1 ( inter cell adhesi molecul-1) dan VCAM-1
(vascular cell adhesi
molekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel
eosinophil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1.
ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang
mendapatkan paparan alergen spesifik terus-menerus dan menjadi dasar konsep
adanya minimal persistent inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitas alergi
terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala (Suprihati, 2006).
Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan
perilaku spesifik terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-
inflamasi dan peran pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal
dan merupakan subyek penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum
tulang berupa progenitor, kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan
di mukosa hidung penderita rhinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan
sebagian kecil sel darah (1%) dan mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam).
Pada mukosa hidung penderita RA sel eosinofil berperan penting pada perubahan
patofisiologis RA karena mengandung berbagai mediator kimia seperti mayor
basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein (ECP), eosinophiel derived
neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase (EPO) yang mempunyai efek
menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf
mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas.20
Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rinitis
alergi
Reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada
rhinitis alergi ditandai oleh gejala bersin, beringus, gatal hidung, dan buntu
hidung. Gejala-gejala tersebut diakibatkan kinerja histamine dan berbagai
mediator lain.15
1. Bersin-bersin (sneezing)
16
Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya
merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan
alergen dihubungkan dengan degranulasi mastosit (terlepasnya histamin), dan
hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan stimulasi reseptor
H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida endotelin-1 yang
dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin.15
2. Gatal-gatal (pruritus)
Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya diketahui
dengan baik. Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf halus C tak
bermyelin (unmyelinated) dekat bagian basal, epidermis,atau mukosa, yang Dapat
menimbulkan rasa gatal khusus, yang disalurkan secara lambat sepanjang neuron
sensoris yang kecil didalam nervus spinalis ke thalamus dan korteks sensoris.
Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang RAFC dan pada rhinitis alergi secara
khas menimbulkan gatal palatum. Gatal-gatal terjadi pada saat histamin berikatan
dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan dapat terjadi
langsung pasca provokasi histamine. Mungkin juga prostatglandin berperan
namun hanya kecil saja disalurkan secara lamba.15
3. Beringus (rhinorrhea)
Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membrane mukosa
hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan allergen dan
berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Beringus merupakan gejala dominan
sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang RAFL. Sekresi kelenjar tersebut
merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya cairan
plasma dan molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler pembuluh
darah hidung. Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus, yang
diduga karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi
langsung pada reseptor H1. Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus
dapat terjadi pada hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks
nasonasal dan sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat dihambat oleh
atrophin pretreatment. Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat
17
kombinasi proses penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa
hidung ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral.
Pacuan hidung dengan leukotriene dan bradikinin juga menyebabkan beringus
melalui mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi kelenjar.
Mediator lain yang juga berperan pada proses
beringus(ECP,PAF,LTC4,Substance P dan VIP).15
4. Buntu hidung (nasal congestion)
Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang
tidak menetap, tetapi terjadi temporer akibat kongesti sementara yang bersifat
vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang
berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka, sehingga
terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret dalam hidung
juga menambah sumbatan hidung.
Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan
akibat buntu hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung
lebih dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin,bradikinin, PGD2,
LTC4, LTD4, PAF. Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung
singkat saja,tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL,
peran histamine terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran
leukotrien (LTC4, LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat
dibanding histamin. Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan peningkatan
tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan tanpa beringus.
PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung.
Demikian juga neuropeptida substance P dan calcitonin-gene related dapat
menimbulkan vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya buntu hidung
(Sumarman,2001).
Peran sitokin pada rinitis alergi
Peran sitokin pada penyakit alergi mendapat perhatian para ahli setelah ditemukan
oleh Mosmann et al (1986). Dilaporkan bahwa sel Th (CD4+) cenderung
memproduksi dua jenis sitokin yang berbeda. Berdasarkan jenis produk
sitokinnya, pada awalnya sel Th dibedakan menjadi sel Th1 dan sel Th2.
18
Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi oleh jenis
antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji antigen yang terlibat,
lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal kostimulator yang diterima sel T
serta faktor genetik. Pada infeksi intrasel dihasilkan satu set sitokin yang disebut
sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN-∂ dan IL-2.
Penelitian lebih lanjut ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan
IL-13 yang diproduksi oleh sel Th2. Sitokin IFN-∂ dianggap sebagai prototipe
sitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan protipe sitokin Th2.
Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan mengalami
polarisasi menjadi sel Th2 yang akan melepaskan kombinasi khas berbagai sitokin
yang disebut pula sebagai sitokin tipe 2 antara lain antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-
9, IL-10, IL-13 dan GM CF yang sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik
yaitu menginduksi sellimfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-sel
dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain
yang diproduksi oleh sel Th1, yaitu:IFN-∂ dan IL-2.
Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang diproduksi
oleh sel Th2, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transien,
dapat dideteksi dalam w aktu 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam.
Efek sitokin IL-4 selain pada perkembangan Th2 adalah mengarahkan sel B untuk
memproduksi IgE dan IgG4. Seperti diketahui IgE merupakan kunci untuk
terjadinya penyakit atopi.
Sitokin IFN-∂ selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh sel
NK dan sel T cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1. Dilaporkan bahwa
sebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T,
sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh
makrofag berupa TNF-a dan IL-12 dan IFN-∂ sendiri. Dalam respon primernya
terhadap rangsangan antigen, aktifasi sel Th0 ditentukan oleh pengaruh
lingkungan mikrositokin yang ada. Secara bersamaan IFN-∂ dan IL-12 terlibat
dalam menentukan diferensiasi sel Th0 untuk menjadi fenotipe Th1.
Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh monosit-
makrofag yang teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC) yang lain. Yang
19
merupakan sumber utamanya adalah sel-sel dendrit yang memproses dan
menyajikan antigen terlarut (soluble) pada sel T. Sel dendrit merupakan sel
penyaji antigen kunci yang mengaktifkan sel T naive dan dapat dikatakan sel
dendrit merupakan pengatur diferensiasi sel Th1. Peran tersebut terutama setelah
dendrit mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau sinyal bahaya kuat yang
lain . Sel dendrit yang sudah matur berkurang kemampuan endositosisnya,
sedangkan kemampuan presentasi antigennya meningkat dengan mengubah
ekspresi reseptor, berada di limfonodi regional dan meningkatkan produksi sitokin
imunoregulator termasuk IL-12. Sinyal bahaya ditransduksikan oleh tool like
receptor (TLR) yang diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal
bahaya ini cenderung memacu respon imun Th1 dengan memacu sel dendrit untuk
memproduksi sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin tipe 1 yang lain.
Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin lingkungan yang
terdapat selama berlangsungnya respon imun. Mediator yang meningkatkan
produksi IL-12 adalah IFN-∂ dan TNF-ß, sedangkan yang menghambat
produksinya adalah IL-4, IL-13, TGF-B dan IL-10. Di antara mediator-mediator
tersebut IFN-∂ merupakan stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementara
itu diketahui IL-12 mempunyai efek memicu produksi IFN-∂, meskipun secara
invitro untuk mendapatkan kadar IL-12 yang terukur diperlukan IFN-∂. Produksi
IL-12 oleh makrofag dan neutrofil dapat dipicu secara langsung oleh
lipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari mikroorganisme patogen. Dengan
demikian sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral imunitas
seluler yang mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama untuk
diferensiasi sel Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN-∂
oleh sel Th1 dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam
makrofag dan monosit oleh IFN-∂ sehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu
jalur feedback positif. Gangguan kerja sitokin IL-12 mengakibatkan tidak ada
respon Th1 yang persisten, sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat
ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4 dan IL-10 yang merupakan produksi sel
Th2.
20
Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan antara
sitokin Th2 dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya IL-4 dan IL-13
akan menekan produksi IL-12 bila kedua sitokin tersebut ditambahkan saat
stimulasi monosit tetapi preinkubasi yang lama dengan kedua sitokin tersebut (IL-
4 dan IL-13) akan memicu produksi IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang
penting pada penyakit alergi, yaitu PGE2 dan histamin, ternyata juga mempunyai
efek menekan produksi IL-12.
Heterogenitas sel Th (Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara luas
karena perbedaan tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas yaitu hubungan
timbal balik antara imunitas humoral dan seluler dan menjelaskan terjadinya
penyakit alergi sebagai akibat produksi berlebihan oleh sel Th2. Sementara itu
diketahui bahwa sitokin Th1 (IFN- ∂) dapat menghambat produksi sitokin Th2
(IL-4) dan sebaliknya, sitokin Th2 (IL-4) dapat menghambat produksi sitokin Th1
(IFN-∂). Dilaporkan bahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah mengalami diferensiasi
penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin yang relatif
tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Akan tetapi
sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya
dapat diubah sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan demikian
sel memori Th2 menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL-
12 yang merupakan pemicu IFN-∂ yang poten. Suatu penemuan yang
menunjukkan bahwa profil sitokin dari populasi sel memori relatif fleksibel dan
dapat dirubah (reprogrammed) merupakan suatu konsep penting dan mempunyai
arti yang bermakna untuk pengobatan penyakit alergi.
Kemampuan sitokin IL-12 untuk merubah kembali respon imun Th2
menjadi respon imun TH1 telah disemonstrasikan baik secara invitro maupun
invivo. Secara in vitro diperlihatkan bahwa IL-12 mengahambat produksi IL-4
dalam suatu kultur darah tepi penderita alergi dan menekan produksi IgE oleh
monosit darah tepi. Penelitian lain menunju bahwa IL-12 menekan sintesis IL-4
dan IL-10 secara spesifik dan meningkatkan produksi IFN-∂ pada sel T CD4+
pada penderita rinitis alergi.
2.9 Antigen
21
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut alergen.
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas adalah protein atau zat
kimia yang terikat protein terhadap mana individu atopi bersangkutan terpapar
secara kronik. Pemaparan antigen sebelumnya secara alami merupakan faktor
penting yang akan menentukan tingginya kadar IgE spesifik. Secara umum
paparan ulang terhadap antigen tertentu diperlukan untuk menghasilkan reaksi
atopi terhadap antigen bersangkutan.16
Belum diketahui mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat
dan antigen lain tidak. Ada kemungkinan bahwa alergen tidak sering disertai
adjuvan alami, karena itu gagal merangsang respon imun bawaan yang kuat yang
seharusnya dapat meningkatkan aktivasi makrofag dan sekresi sitokin penginduksi
sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-8. Sifat alergenik diduga terletak pada antigen itu
sendiri, mungkin dalam epitop yang dikenal oleh sel tertentu. Walaupun tidak ada
struktur protein khusus yang dapat digunakan untuk memprediksi secara tepat
bahwa protein itu alergenik, ada beberapa gambaran khas pada alergen yang
sering dijumpai. Gambaran itu menyangkut berat molekul kemudian glikosilasi,
dan sifat kelarutannya dalam cairan tubuh.16
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala
asma bronkial dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing kedalam tubuh,
terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
nonspesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.Bila Ag masih ada atau ada
defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier.
22
Reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh .20
23
Fungsi drainase dan ventilasi berperan penting dalam menjaga sinus tetap
normal. Ini berhubungan erat dengan keadaan dari komplek osteomeatal pasien itu
sendiri. Pada komplek osteomeatal yang terganggu yang menyebabkan terjadi
gangguan drainase serta ventilasi yang dapat mempengaruhi kandungan oksigen,
24
peningkatan p C02 dan gangguan PH serta pembengkakan mukosa hidung dan
akhirnya menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar (Busquets ,2006 ;
Ballenger , 1994; Wilma ,2007). Obstruksi ostium sinus menyebabkan retensi
lendir dan menurunkan kandungan oksigen, peningkatan pCO2, menurunkan pH,
mengurangi aliran darah mukosa. Pembengkakan membran mukosa juga akan
menyempitkan ostium dan menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar.16
Menurut Sakakura(1997), patogenesis dari rhinosinusitis kronik berawal
dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator