35 4. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG PISANG TERMODIFIKASI SECARA FERMENTASI SPONTAN DAN SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN [Physicochemical characteristics of modified banana flour by fermentation and autoclaving-cooling cycles] ABSTRAK Kajian tentang karakteristik fisikokimia antara tepung pisang alami dan tepung pisang modifikasi dilakukan pada pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica). Tepung pisang alami (kontrol) dihasilkan dengan mengeringkan irisan pisang, menghancurkan dan mengayak tepung dengan ayakan 80 mesh. Tepung pisang modifikasi dihasilkan dengan cara irisan pisang diberi perlakuan fermentasi spontan (suhu kamar, 24 jam) dilanjutkan dengan satu atau dua siklus pemanasan bertekanan (121 o C, 15 menit) yang diikuti dengan pendinginan (4 o C, 24 jam) sebelum dilakukan proses pengeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri asam laktat tumbuh mendominasi hingga mencapai 10 6 CFU/ml selama fermentasi spontan pisang. Modifikasi proses mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung pisang. Fermentasi meningkatkan kadar amilosa. Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan meningkatkan pati resisten (RS) tepung pisang dengan nyata (28.88% bk) dibandingkan dengan yang satu siklus (24.72 bk). Proses pemanasan bertekanan-pendinginan merusak granula pati dan menurunkan kristalinitas tepung pisang dari 18.74-20.08% menjadi 6.98-9.52%. Difraksi sinar X menunjukkan granula pati pisang adalah granula tipe C yang merupakan campuran dari granula tipe A dan tipe B. ABSTRACT Studies on the physicochemical characteristics on the native banana flour and modified banana flour were carried out on “agung var semeru” banana (Musa paradisiaca formatypica). Native banana flour was produced by drying the banana slice, ground and passed through a 80 mesh screen. Modified banana flour were produced by spontaneous fermentation (room temperature, 24 h) and one or two cycles of autoclaving (121 o C, 15 min) followed by cooling (4 o C, 24 h)of the slices before drying process. The results showed that lactic acid bacteria were the dominating bacteria up to 10 6 CFU/ml during spontaneous fermentation of banana slices. The modification processes influenced physicochemical characteristics of banana flour. Spontaneous fermentation increased amylose content. Two cycles of autoclaving-cooling significantly increased resistant starch content of banana flour (28.88 db) than the one cycle (24.72 db). Retrogradation process destroyed the granules and decreased the crystalinity from 18.74% - 20.08% to 6.98% - 9.52%. X-ray diffraction showed that the starch granule was type C granule as a mixture of A and B polymorphs.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
35
4. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG PISANG TERMODIFIKASI SECARA FERMENTASI SPONTAN DAN
SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN [Physicochemical characteristics of modified banana flour by fermentation and
autoclaving-cooling cycles]
ABSTRAK Kajian tentang karakteristik fisikokimia antara tepung pisang alami dan
tepung pisang modifikasi dilakukan pada pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica). Tepung pisang alami (kontrol) dihasilkan dengan mengeringkan irisan pisang, menghancurkan dan mengayak tepung dengan ayakan 80 mesh. Tepung pisang modifikasi dihasilkan dengan cara irisan pisang diberi perlakuan fermentasi spontan (suhu kamar, 24 jam) dilanjutkan dengan satu atau dua siklus pemanasan bertekanan (121 oC, 15 menit) yang diikuti dengan pendinginan (4 oC, 24 jam) sebelum dilakukan proses pengeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri asam laktat tumbuh mendominasi hingga mencapai 106 CFU/ml selama fermentasi spontan pisang. Modifikasi proses mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung pisang. Fermentasi meningkatkan kadar amilosa. Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan meningkatkan pati resisten (RS) tepung pisang dengan nyata (28.88% bk) dibandingkan dengan yang satu siklus (24.72 bk). Proses pemanasan bertekanan-pendinginan merusak granula pati dan menurunkan kristalinitas tepung pisang dari 18.74-20.08% menjadi 6.98-9.52%. Difraksi sinar X menunjukkan granula pati pisang adalah granula tipe C yang merupakan campuran dari granula tipe A dan tipe B.
ABSTRACT Studies on the physicochemical characteristics on the native banana flour
and modified banana flour were carried out on “agung var semeru” banana (Musa paradisiaca formatypica). Native banana flour was produced by drying the banana slice, ground and passed through a 80 mesh screen. Modified banana flour were produced by spontaneous fermentation (room temperature, 24 h) and one or two cycles of autoclaving (121 oC, 15 min) followed by cooling (4 oC, 24 h)of the slices before drying process. The results showed that lactic acid bacteria were the dominating bacteria up to 106 CFU/ml during spontaneous fermentation of banana slices. The modification processes influenced physicochemical characteristics of banana flour. Spontaneous fermentation increased amylose content. Two cycles of autoclaving-cooling significantly increased resistant starch content of banana flour (28.88 db) than the one cycle (24.72 db). Retrogradation process destroyed the granules and decreased the crystalinity from 18.74% - 20.08% to 6.98% - 9.52%. X-ray diffraction showed that the starch granule was type C granule as a mixture of A and B polymorphs.
36
Keywords: Musa paradisiaca formatypica, spontaneous fermentation, autoclaving-cooling process.
PENDAHULUAN
Pisang merupakan salah satu bahan pangan yang sebagian besar terdiri atas
karbohidrat terutama pati. Pisang dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu: pisang
jenis banana yang dimakan dalam keadaan segar setelah buahnya masak, pisang
jenis plantain yang dimakan setelah diolah, pisang berbiji yang dimanfaatkan
daunnya dan pisang yang diambil seratnya. Salah satu jenis plantain yaitu pisang
var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) yang banyak dibudidayakan di
Kabupaten Lumajang Jawa Timur dengan produktivitas mencapai lebih dari 57
ribu ton per tahun (RPJM Deptan Lumajang 2009).
Tepung pisang cukup prospektif untuk dikembangkan sebagai pangan
fungsional. Manfaat pengolahan pisang menjadi tepung di antaranya yaitu lebih
tahan disimpan, lebih mudah dalam pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis
untuk diversifikasi produk olahan, mampu memberikan nilai tambah buah pisang,
mampu meningkatkan nilai gizi buah melalui proses fortifikasi selama
pengolahan, dan menciptakan peluang usaha untuk pengembangan agroindustri
pedesaan. Teknologi pengolahan tepung pisang secara konvensional dilakukan
dengan mengeringkan buah pisang mentah yang selanjutnya dihancurkan dan
diayak dengan ukuran mesh 60-100 (Deptan 2009).
Modifikasi proses pada pati pisang telah banyak dilakukan untuk
meningkatkan kadar pati resisten (resistant starch/RS). Pati yang diotoklaf pada
suhu 121 oC selama 1 jam diikuti dengan pendinginan 4 oC selama 24 jam dan
diulang sebanyak tiga siklus mampu meningkatkan kadar RS dari 1.51% menjadi
16.02% (Saguilan et al. 2005). Soto et al. (2004) juga melakukan modifikasi pati
pisang untuk meningkatkan kadar RS dengan menggunakan metode debranching
oleh enzim pululanase yang dikombinasi dengan pemanasan otoklaf dan
pendinginan.
37
Modifikasi proses pada tepung pisang telah dilakukan oleh Tribess et al.
(2009) untuk meningkatkan kadar RS selama proses pengeringan chip pisang
dengan mengatur kecepatan udara (0.6 - 1.4 m/detik pada suhu 55 oC). Jenie et al.
(2009) melaporkan bahwa fermentasi spontan irisan pisang yang dikombinasi
dengan satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan
kandungan RS tepung pisang lebih dari 17% berat kering (hampir dua kali).
Pengaruh dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan setelah proses fermentasi
belum dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik fisikokimia tepung pisang yang dihasilkan melalui proses modifikasi
secara fermentasi spontan yang dikombinasi dengan satu atau dua siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan dalam upaya meningkatkan kadar RS.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari
Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang
Propinsi Jawa Timur. Pisang dipanen pada minggu ke 16 dari awal pembungaan
dengan tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan kulit hijau merata.
Metode
Pembuatan Tepung Pisang Modifikasi melalui Fermentasi Spontan dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan
Pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm, selanjutnya direndam dalam akuades
steril (3:4) dan difermentasi selama 24 jam pada suhu kamar. Pisang yang sudah
difermentasi selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diberi pemanasan bertekanan
dengan menggunakan otoklaf (121 oC, 15 menit) yang dilanjutkan dengan
pendinginan (4 oC, 24 jam). Proses pemanasan bertekanan-pendinginan dilakukan
sebanyak satu dan dua siklus. Selanjutnya pisang dikeringkan (50 oC, 16 jam) dan
dihaluskan serta diayak dengan ayakan mesh 80. Tepung pisang kontrol dibuat
38
dari irisan pisang yang langsung dikeringkan dan dihaluskan serta diayak tanpa
proses modifikasi. Perlakuan diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan
teknik sampling bahan baku di lahan budidaya pisang var agung semeru.
Pengamatan Populasi Mikroba Selama Fermentasi Spontan
Selama fermentasi spontan irisan pisang dilakukan pengamatan jumlah
mikroba untuk mengetahui populasi kapang, khamir, bakteri pendegradasi pati,
bakteri asam laktat, total bakteri, pH dan jumlah asam laktat tertitrasi. Sebanyak
10 mL cairan fermentasi pisang diambil secara periodik pada jam pada jam ke-0,
12 dan 24, selanjutnya ditambah dengan 90 ml akuades steril dan dilakukan
pengenceran berseri. Tiga seri hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 mL dan
dilakukan pemupukan metode tuang pada media Potato Dextrose Agar (PDA)
yang mengandung 10% asam tartarat dengan inkubasi suhu kamar untuk kapang,
pada media PDA dengan inkubasi suhu 40 oC untuk khamir, pada media de Mann
Rogosa Sharp Agar (MRSA) dengan inkubasi suhu 37 oC untuk bakteri asam
laktat, pada media Starch Agar (SA) dengan inkubasi suhu 37 oC untuk bakteri
pendegradasi pati, dan pada media Nutrient Agar (NA) dengan inkubasi suhu 37 oC untuk total bakteri yang masing-masing diinkubasi selama 48-72 jam. Nilai pH
diukur dengan menggunakan pHmeter, sedangkan total asam laktat ditentukan
dengan menggunakan metode titrimetri.
Analisis Komposisi Kimia
Tepung pisang dianalisis kadar air, abu, protein, lemak dan kadar
karbohidrat (AOAC 1999). Selain itu juga dilakukan analisis kadar pati, amilosa
dan daya cerna pati (AACC 2000).
Analisis Komposisi Pati (RDS, SDS dan RS)
Komposisi pati yang meliputi kadar pati tercerna cepat (rapid digestable
starch/RDS), pati tercerna lambat (slowly digestable starch/SDS) dan pati resisten
39
(resistant starch/RS) ditentukan dengan menggunakan metode Englyst et al.
(1992). Tepung pisang sebanyak 1 g ditempatkan dalam tabung sentrifus. Sampel
dicuci menggunakan 8 ml etanol 80% selanjutnya disentrifus pada kecepatan 554
× g selama 10 menit dan diulang dua kali. Residu yang merupakan pati ditambah
20 mL buffer sodium asetat (0.1M pH 5.2), selanjutnya dididihkan dalam
penangas air selama 30 menit. Sampel didinginkan dan ditambah 5 mL larutan
enzim yang mengandung ekstrak pankreatin dan amiloglukosidase. Larutan enzim
disiapkan dengan cara mensuspensikan 3.0 g pankreatin (Sigma, Cat. No. P7545)
ke dalam 20 mL air deionisasi, selanjutnya distirer selama10 menit pada suhu
ruang dan disentrifus pada 1500 g selama 10 menit. Sebanyak 13.5 mL supernatan
pankreatin ditambah amiloglukosidase 210 U (Sigma Cat. No. A7095) dan 1.25
mL air deionisasi. Selanjutnya sampel diinkubasi dalam inkubator bergoyang pada
suhu 37 oC selama 30 menit untuk menentukan kadar pati cepat tercerna (RDS)
dan 120 menit untuk pati lambat tercerna (SDS). Jumlah gula hasil hidrolisis pati
diukur dengan menggunakan metode DNS. Kadar pati resisten dihitung sebagai
jumlah pati dikurangi jumlah pati yang terhidrolisis dengan penjabaran rumus
sebagai berikut:
Kadar pati resisten = [(pati-RDS-SDS)/pati] x 100%
Pengamatan Granula Pati
Pati pisang (0.1 g) disuspensikan dalam 1 mL akuades kemudian
diambil dua tetes dan ditempatkan pada kaca preparat. Struktur granula
diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi (Olympus C-35AD-4
Japan) pada perbesaran 400 kali (Santiago et al. 2004).
Analisis Kristalinitas
Tepung pisang disetimbangkan dalam wadah RH 100% pada suhu ruang
selama 24 jam. Difraktogram sinar X tepung pisang ditentukan dengan
difraktometer sinar X Shimadzu XRD-7000 Maxima. Daerah scanning dimulai
40
dari sudut difraksi 5o sampai 40o dengan ukuran 0.02o, 0.6 detik pada radiasi Cu,
40 kV, 30 mA (Waliszewski et al. 2003; Soto et al. 2007). Tingkat kristalinitas
tepung pisang ditentukan dengan menghitung luas area grafik landai (smooth)
dibagi dengan luas area utuh.
Analisis Statistik
Data dianalisis menggunakan prosedur Analysis of Variance (ANOVA).
Untuk mengetahui adanya perbedaan dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil pada
taraf uji 5% (p ≤ 0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Mikroba, pH dan Total Asam Laktat selama Fermentasi Spontan
Populasi mikroba yang tumbuh selama fermentasi spontan pisang var
agung semeru disajikan pada Gambar 4.1. Mikroba yang tumbuh selama 24 jam
fermentasi spontan pisang mentah adalah bakteri yang lebih didominasi oleh
bakteri asam laktat (BAL), sedangkan khamir dan kapang tidak tumbuh hingga
fermentasi 24 jam.
Gambar 4.1 Populasi ( ) bakteri pendegradasi pati; ( ) bakteri asam laktat dan
( ) total bakteri selama fermentasi spontan pisang
0123456789
0 12 24
Log
Bak
teri
(CFU
/ml)
Lama Fermentasi (Jam)
41
Populasi bakteri meningkat selama fermentasi hingga jam ke-24. Populasi
BAL hingga jam ke-24 sekitar 6 log CFU/mL. Abdillah (2010) melaporkan bahwa
fermentasi spontan pisang hingga jam ke-100 juga didominasi oleh BAL. Reddy
et al. (2008) menjelaskan BAL mampu tumbuh pada bahan pangan berpati karena
dapat menghasilkan enzim amilase untuk mendegradasi pati menjadi glukosa
sebagai sumber karbon selama pertumbuhannya. BAL tersebut dikenal sebagai
bakteri asam laktat amilolitik. Pada penelitian ini diduga BAL yang berperan
dalam fermentasi pisang adalah BAL amilolitik karena jumlah bakteri
pendegradasi pati mengalami peningkatan hingga pengamatan jam ke-24.
Peningkatan jumlah BAL selama fermentasi seiring dengan terjadinya
penurunan pH dari pH awal 6.36 menjadi pH 5.36 pada jam ke-24. Penurunan pH
tersebut disebabkan oleh metabolit yang dihasilkan BAL yaitu asam laktat atau
asam organik lainnya. Selama fermentasi pisang, produksi asam laktat meningkat
hingga mencapai 0.11% (Tabel 4.1). Vishnu et al. (2006) melaporkan bahwa
beberapa strain Lactobacillus spp mampu secara langsung memfermentasi
karbohidrat menjadi asam laktat.
Tabel 4.1 Nilai pH, konsentrasi asam laktat selama fermentasi spontan pisang
Lama Fermentasi (Jam) pH Asam Laktat Tertitrasi (% mL/mL)
0 6.36 ± 0.08 0.02 ± 0.00
12 6.12 ± 0.10 0.04 ± 0.00
24 5.36 ± 0.24 0.11 ± 0.01
Asam laktat merupakan asam organik yang tidak menguap pada suhu kamar
dan dapat berperan sebagai antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri lain. FDA USA juga telah mengklasifikasikan asam laktat ke dalam GRAS
(Generally Recognized As Safe) untuk digunakan sebagai bahan tambahan pangan
dan kepentingan lain seperti sebagai pengawet produk pangan (Datta & Henry
2006).
Asam laktat yang dihasilkan oleh BAL diduga dapat bereaksi dengan pati
pisang sehingga membentuk kopolimer pati-asam laktat. Gong et al. (2006)
42
menjelaskan bahwa kopolimer pati-asam laktat dapat menurunkan reaktivitas
gugus hidroksil pada unit glukopiranosa pati yaitu pada C6, C3 dan C2 sehingga
pati menjadi lebih resisten terhadap enzim pencernaan.
Fermentasi selama 24 jam tidak menyebabkan perubahan pada tekstur irisan
pisang. Abdillah (2010) melaporkan fermentasi pisang lebih dari 24 jam
menghasilkan tektur yang lebih lunak akibat degradasi oleh mikroba dan terjadi
kehilangan rendemen hingga mencapai lebih dari 30%.
Komposisi Kimia Tepung Pisang
Pengaruh fermentasi dan retrogradasi terhadap komposisi kimia tepung
pisang disajikan pada Tabel 4.2. Tepung pisang hasil fermentasi memiliki kadar
abu, dan karbohidrat lebih rendah daripada tepung pisang tanpa modifikasi
(kontrol), sedangkan kadar lemak dan protein tepung pisang modifikasi tidak
berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol.
Tabel 4.2 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi kimia tepung pisang
Komposisi (% bb)
Tanpa Fermentasi Spontan Fermentasi Spontan
Tanpa PBP Satu Siklus PBP
Dua Siklus PBP Tanpa PBP Satu Siklus
PBP Dua Siklus
PBP
Kadar Air 5.07 ± 0.05f 7.18 ± 0.06d 6.71 ± 0.02e 7.77 ± 0.03c 8.05 ± 0.07b 9.72 ± 0.03a
PBP = Pemanasan Bertekanan-Pendinginan Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji ≤ 0.05
Modifikasi proses fermentasi pisang dan pemanasan bertekanan-
pendinginan menyebabkan penurunan kadar karbohidrat. Hal ini diduga karena
mikroba yang tumbuh sudah memanfaatkan komponen karbohidrat sebagai
sumber karbon bagi pertumbuhannya. Selama proses pemanasan bertekanan pati
pecah dan tergelatinisasi, selanjutnya amilosa akan teretrogradasi pada saat
43
pendinginan. Proses pengeringan juga menyebabkan pati mengalami reaksi
pencoklatan sehingga dapat mengurangi kandungan karbohidrat tepung pisang.
Pemanasan suhu tinggi dan pengeringan dalam oven dapat menyebabkan
terbentuknya komponen pirodekstrin dari karbohidrat (Carrera et al. 2007).
Tabel 4.3 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi pati dan daya cerna tepung pisang
PBP = Pemanasan Bertekanan-Pendinginan RDS = rapid digestable starch SDS = slowly digestable starch RS = resistant starch 1 = berat kering tepung 2 = berat kering pati Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji < 0.05
Tabel 4.3 menunjukkan kadar pati resisten menurun dari 7.24% (tepung
pisang kontrol) menjadi 4.73% setelah fermentasi selama 24 jam. Hal ini
disebabkan karena granula pati mengalami pengembangan (swelling) selama
perendaman dan menjadi lebih mudah terhidrolisis oleh enzim mikroorganisme
sehingga sifat resisten dan kristalinitas pati menjadi berkurang (Zang et al. 2005).
Pati resisten yang terkandung dalam tepung pisang kontrol merupakan RS2 yaitu
pati resisten yang terbentuk karena struktur granula pati sedemikian rupa sehingga
sulit didegradasi oleh enzim alfa amilase pencernaan (Tribess et al. 2009).
Ambriz et al. (2008) melaporkan bahwa kadar pati resisten tepung pisang
menurun dengan adanya proses likuifikasi menggunakan enzim amilase Bacillus
subtilis. Hal ini terjadi akibat hidrolisis pati oleh enzim tersebut menghasilkan
gula sederhana.
Kadar amilosa tepung pisang meningkat oleh fermentasi selama 24 jam.
Peningkatkan ini diduga karena disebabkan oleh terjadinya pemotongan struktur
cabang dari amilopektin (debranching) menghasilkan oligomer dengan derajat
44
polimer lebih pendek seperti amilosa. Selanjutnya amilosa akan mengalami
retrogradasi setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan. Amilosa
yang teretrogradasi berperan dalam meningkatkan kadar RS (Soto et al. 2007).
Niba & Hoffman (2003) melaporkan bahwa kadar RS biji sorgum juga meningkat
hingga 60% dengan fermentasi spontan biji sorgum pada suhu 37 oC selama 10
hari. Fermentasi sangat lama karena biji sorgum memiliki lapisan aleuron yang
tebal sehingga diperlukan waktu lebih lama untuk absorbsi air dan
berlangsungnya fermentasi spontan.
Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan menghasilkan kadar RS
tepung pisang lebih tinggi daripada yang satu siklus baik pada pisang yang tanpa
difermentasi (dari 20.50% menjadi 26.26%) maupun pisang yang difermentasi
(dari 24.72% menjadi 28.88%), sedangkan kadar RS tepung pisang kontrol adalah
7.24%. Kombinasi proses fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan (retrogradasi) mampu meningkatkan kadar RS tepung
pisang dari 7.24% menjadi 28.88%. Pati resisten yang dihasilkan dari proses
retrogradasi merupakan pati resisten tipe III (RS3) yang merupakan amilosa
teretrogradasi (Soto et al. 2004). Saguilan et al. (2005) melakukan modifikasi di
tingkat pati pisang plantain dengan menggunakan tiga siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan sehingga kadar RS meningkat hingga 10 kali lipat.
Kadar RS yang dihasilkan dari modifikasi di tingkat pati lebih tinggi, akan
tetapi aplikasinya memiliki tahapan yang lebih banyak terutama tahap isolasi pati.
Proses modifikasi pada tepung pisang seperti yang dilakukan pada penelitian ini
lebih mudah dan lebih efisien yaitu fermentasi dan retrogradasi dilakukan pada
pisang tanpa perlu mengisolasi patinya terlebih dahulu. Tepung yang dihasilkan
dapat diaplikasikan langsung sebagai tepung pensubstitusi pada pembuatan
produk pangan seperti roti, cookies dan brownies (Jenie et al. 2010).
Daya cerna pati meningkat dengan adanya proses fermentasi dari 69.67%
(tepung pisang kontrol) menjadi 72.01% (tepung pisang fermentasi), sedangkan
proses pemanasan bertekanan-pendinginan menurunkan daya cerna pati.
Komposisi pati yang dapat dicerna menurun dengan semakin meningkatnya kadar
RS. Hasil analisis daya cerna secara in vitro juga menurun hampir 50% pada
45
tepung yang dihasilkan dari perlakuan fermentasi dengan retrogradasi. Farhat et
al. (2001) melaporkan bahwa daya cerna pati kentang meningkat dengan adanya
gelatinisasi akan tetapi menurun jika pati mengalami retrogradasi.
Sifat Birefringence Pati Pisang
Modifikasi proses secara dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan
mampu meningkatkan kadar RS dengan nyata. Oleh karena itu dalam pembahasan
selanjutnya mengamati karakteristik fisik yaitu sifat birefringence granula pada
tepung tanpa perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan untuk mewakili
tepung pisang yang mengandung RS2 dan tepung dengan kandungan RS tinggi
(tepung dari proses fermentasi maupun tanpa fermentasi yang dikombinasi dengan
dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan untuk mewakili tepung pisang
yang mengandung RS3. Gambar 4.2 menunjukkan granula pati tepung pisang
kontrol dan fermentasi menghasilkan efek birefringence pada pengamatan dengan
mikroskop polarisasi.
A B
C D
Gambar 4.2 Pengaruh proses fermentasi dan dua siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap sifat birefringence granula pati pisang.
(A).kontrol; (B) fermentasi; (C) dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan; (D) fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan pada perbesaran 400x
46
Efek birefringence terbentuk dari struktur ganula pati utuh yang tersusun
atas daerah amorf dan daerah kristalin. Bagian amorf dari granula pati dapat
menyerap air dingin hingga 30 % tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan,
sedangkan bagian kristalin dari granula pati lebih sulit menyerap air (Eliason &
Gudmunsson 1996). Granula pati pisang var agung semeru memiliki ukuran
panjang sekitar 50 – 80 µm dengan diameter 20 – 40 µm. Eggleston et al. (1992)
melaporkan bahwa ukuran granula pati pisang plantain beragam mulai dari 7.8 –
61.3 µm dengan diameter rata-rata adalah 26 µm. Proses mekanik dan pengolahan
panas basah (hidrotermal) dapat merusak granula pati. Pati pisang plantain tidak
membentuk granula lagi setelah menjadi pasta (Santiago et al. 2004). Aktivitas
enzim seperti amilase dan pululanase akan menghidrolisis amilosa dan
amilopektin sehingga merusak struktur granula pati. Hasil hidrolisis ini
menyebabkan granula nampak memiliki lubang (porous) dengan pengamatan
mikroskop elektron (Wijbenga 2000; Zang et al. 2005).
Reddy et al. (2008) menjelaskan bahwa bakteri asam laktat dapat
menghasilkan amilase dan pululanase sehingga mampu menghidrolisis pati
menjadi gula sederhana. Pelepasan cabang (debranching) amilopektin oleh
pululanase menghasilkan polimer glukosa rantai lurus yang merupakan amilosa
dengan derajat polimerisasi (DP) lebih kecil. Semakin banyak kadar amilosa maka
akan meningkatkan jumlah pati teretrogradasi akibat pemanasan basah dan
pendinginan sehingga akan meningkatkan kadar RS3 (Soto et al. 2004; Soto et al.
2007). Gambar 4.2 C dan D memperlihatkan struktur granula pati yang rusak
akibat pemanasan basah bertekanan sebagai bentuk kristal yang tidak beraturan
dan tidak menghasilkan sifat birefringence yang berarti tidak ada lagi bentuk
granula. (Saguilan et al. 2005) menjelaskan bahwa pemanasan basah
menyebabkan pati mengalami gelatinisasi sehingga struktur granula menjadi rusak
sedangkan pendinginan menyebabkan sineresis dan adanya proses yang diulang
meningkatkan retrogradasi pada gel pati.
Kristalinitas Tepung Pisang
47
Granula pati tepung pisang kontrol dan tepung pisang modifikasi fermentasi
menunjukkan adanya puncak (peak) difraksi yang kuat pada sudut 17-18o dan
sudut 23-24o (Gambar 4.3). Puncak difraksi pada sudut 17o merupakan puncak
difraksi untuk granula pati tipe A dan puncak pada sudut 24o merupakan puncak
difraksi untuk granula pati tipe B sehingga tepung pisang baik yang alami maupun
yang fermentasi dapat digolongkan sebagai granula pati tipe C yaitu granula pati
campuran dari tipe A dan tipe B. Beberapa pisang plantain dilaporkan memiliki
granula pati tipe C. Granula tipe A memiliki amilosa dengan berat molekul lebih
kecil, cabang amilopektin lebih pendek dan tingkat kristalinitas lebih tinggi,
sedangkan granula tipe B memiliki amilosa dengan berat molekul lebih besar,
cabang amilopektin lebih panjang dan tingkat kristalinitas lebih rendah (Hizukuri,
1961; Waliszewski et al. 2003; Soto et al. 2007).
Gambar 4.3 Pengaruh fermentasi spontan terhadap intensitas difraksi tepung
pisang. ( ) kontrol, ( ) fermentasi
Tepung pisang alami memiliki tingkat kristalinitas lebih tinggi (20.08% ±
0.09a) dibandingkan tepung pisang fermentasi (18.74% ± 0.11b) (Lampiran 2b).
Penurunan tingkat kristalinitas pada tepung pisang fermentasi mengindikasikan
terjadi perubahan bagian kristalin menjadi lebih amorf selama fermentasi.
Perubahan ini disebabkan oleh degradasi amilopektin sebagai komponen pati yang
berperan dalam pembentukan bagian kristalin pada granula pati. Bagian amorf
lebih mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan dan mengurangi sifat resistensi
tepung pisang. Modifikasi secara fermentasi spontan selama 24 jam yang
dikombinasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu
meningkatkan kadar RS tepung pisang hingga empat kali (28.88%).
Fermentasi spontan dapat meningkatkan kadar amilosa yang selanjutnya
akibat proses pemanasan bertekanan-pendinginan akan membentuk amilosa
teretrogradasi sebagai RS3. Proses retrogradasi mampu menurunkan kristalinitas
tepung pisang dari 18.74-20.08% menjadi 6.98-9.52%. Difraksi sinar X
menunjukkan granula pati pisang var agung semeru adalah granula tipe C yaitu
campuran granula tipe A dengan tipe B.
DAFTAR PUSTAKA
[AACC] American Association of Cereal Chemists. 2000. Approved Methods of the AACC.The Association, St. Paul, MN. 10th ed.
Abdillah F. 2010. Modifikasi Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiaca formatypica) melalui Proses Fermentasi Spontan dan Pemanasan Otoklaf
50
untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Ambriz SLR, Hernandez JJI, Acevedo EA, Tovar J, Perez LAB. 2008. Characterization of a fibre-rich powder prepared by liquefaction of unripe banana flour. J Food Chem. 107: 1515–1521.
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA
Carrera EC, Cruz AC, Guerrero LC, Ancona DB. 2007. Effect of pyrodextrinization on available starch content of Lima bean (Phaseolus lunatus) and Cowpea (Vigna unguiculata) starches. J Food Hydrocolloids. 21: 472–479
Datta R, Henry M. 2006. Lactic acid: recent advances in products, processes and technologies—a review. J Chem Technol Biotechnol. 81:1119–29
[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produktivitas Pisang di Kabupaten Lumajang dalam Laporan Departemen Pertanian Kabupaten Lumajang Tahun 2009.
Eggleston G, Swennen R, Akoni S. 1992. Physicochemical studies on starches isolated from plantain cultivarm plantain hybrids and cooking bananas. J Starch. 44: 121-128
Eliasson AC, Gudmunsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional properties aspects. In: Carbohy in Food (Edited by Eliasson A.C.), Marcel Dekker, Inc. New York. p 431-504.
Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992 Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eu J Clin Nutr. 46(Suppl.2):533-550.
Farhat IA, Protzmann J, Becker A, Valles-Pamies B, Neale R, Hill SE. 2001. Effect of the extent of conversion and retrogradation on the digestibility of potato starch. J Starch. 53: 431–436.
Gong Q, Wang LQ, Tu K. 2006. In situ polymerization of starch with lactic acid in aqueous solution and the microstructure characterization. J Carbohy Polymers. 64: 501–509
Hizukuri S. 1961. X-ray diffractometric studies on starches. Part VI. Crystalline types of amylodextrin and effect of temperature and concentration of mother liquor on crystalline type. J Agric and Biological Chem. 25: 45–49.
Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Jenie BSL, Widowati S, Kusumaningrum HD. 2010. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan
51
Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Niba LL, Hoffman J. 2003. Resistant starch and β-glucan levels in grain sorghum (Sorghum bicolor M.) are influenced by soaking and autoclaving. J Food Chem. 81: 113–118
Saguilan AA, Huicochea EF, Tovar JT, Meraza FG, Pérez LAB. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch. 57: 405-412.
Santiago MCN, Perez LAB, Tecante A. 2004. Swelling-solubility characteristics, granule size distribution and rheological behavior of banana (Musa paradisiaca) starch. J Carbohy Polymers. 56: 65–75
Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.
Soto RAG, Acevedo EA, Feria JS, Villalobos RR, Perez LAB. 2004. Resistant starch made from banana starch by autoclaving and debranching. J Starch/Stärke. 56: 495–499.
Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Perez LAB. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310.
Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.
[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.
Tovar J, Melito C, Herrera E, Rascon A, Perez E. 2002. Resistant starch formation does not parallel syneresis tendency in different starch gels. J Food Chem 76: 455–459.
Tribess TB, Hernandez-Uribe JP, Mendez-Montealvo MGC, Menezes EW, Perez LAB, Tadini CC. 2009. Thermal properties and resistant starch content of green banana flour (Musa cavendishii) produced at different drying conditions. J Food Sci and Technol. 42:1022-1025.
Vishnu C, Naveena BJ, Altaf MD, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct fermentation of starch to L(+) lactic acid. J Enzyme Microb Technol. 38:545–50.
Waliszewski KN, Aparicio MA, Perez LAB, Monroy JA. 2002. Changes of banana starch by chemical and physical modification. J Carbohy Polimer. 52: 237-242. Elsevier Science Ltd.
52
Wijbenga DJ. 2000. Enzymatic modification of starch granules: peeling off versus porosity. TNO Nutr and Food Research. www.voeding.tno.nl [12 Febr 2009].