35 BAB III PEMBUNUHAN BERANTAI MENURUT HUKUM POSITIF A. Pembunuhan Menurut Hukum Positif 1. Gambaran Umum Tentang Pembunuhan a. Pengertian Pembunuhan Pembunuhan secara bahasa diartikan sebagai perkara membunuh atau perbuatan membunuh, sementara itu membunuh adalah mematikan yakni menghilangkan (menghabisi; mencabut) nyawa. 1 Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. 2 Tindak pidana pembunuhan, di dalam kitab Undang- undang hukum Pidana termasuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. 3 Meskipun secara umum ada anggapan bahwa dimanapun tindak pembunuhan dianggap sebagai tindak kejahatan, namun bila kita berpegang pada paham cultural realitism (kebudayaan) maka kita akan tetap menyadari bahwa apakah tindak pembunuhan itu sebagai kejahatan atau bukan, sangatlah 1 Anton M. Moeliono, et., al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1989, hlm, 138. 2 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, cet. 1, Bandung: Bina Cipta, 1986, hlm. 1. 3 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002, hlm. 55.
24
Embed
4. BAB III - eprints.walisongo.ac.ideprints.walisongo.ac.id/2727/4/092211024_Bab3.pdfPengertian Pembunuhan Pembunuhan secara bahasa diartikan sebagai perkara membunuh atau perbuatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
35
BAB III
PEMBUNUHAN BERANTAI MENURUT HUKUM POSITIF
A. Pembunuhan Menurut Hukum Positif
1. Gambaran Umum Tentang Pembunuhan
a. Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan secara bahasa diartikan sebagai perkara membunuh atau
perbuatan membunuh, sementara itu membunuh adalah mematikan yakni
menghilangkan (menghabisi; mencabut) nyawa.1 Sedangkan dalam istilah
KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.2
Tindak pidana pembunuhan, di dalam kitab Undang- undang hukum Pidana
termasuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa
adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain.3
Meskipun secara umum ada anggapan bahwa dimanapun tindak
pembunuhan dianggap sebagai tindak kejahatan, namun bila kita berpegang
pada paham cultural realitism (kebudayaan) maka kita akan tetap menyadari
bahwa apakah tindak pembunuhan itu sebagai kejahatan atau bukan, sangatlah
1 Anton M. Moeliono, et., al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1989,
nganjuk/. Di unduh pada tanggal 21 Februari 2014 jam 12.00 WIB. 25
Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana I , Jakarta: Aksara Baru, 1980, hlm. 236-238.
55
2. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
a. Pencabutan beberapa hak tertentu.
b. Perampasan barang-barang tertentu.
c. Pengumuman putusan Hakim.26
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan, namun
dari berbagai macam tersebut dikelompokkan ke dalam tiga golongan besar.27
sebagai berikut :
1. Teori absolute atau retributif atau teori pembalasan (vergekdings theorien)
Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada
sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan.
Dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadi
kejahatan, tujuan utama dari pidana menurut teori retributif ialah untuk
memuaskan tuntutan keadilan (to safisfy the claims of justice) sedangkan
pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan
keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat
Emmanuel Kant dalam buku nya berjudul “philosophy of law” sebagaimana
dikutip oleh Barda Nawawi dan Muladi yang menyatakan bahwa “pidana
tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan
tujuan atau kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi
26
Leden Marpaung, Asas,Teori Praktek Hukum Pidana cet-6, op cit, hlm. 107. 27 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta; Raja Grafindo, 2002. hlm 153.
56
masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang
bersangkutan telah melakukan kejahatan.
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk
menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakat) pembunuh
terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum
resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini
harus dilakukan karena setiap orang yang seharusnya menerima ganjaran dari
perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota
masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang
sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan
pelanggaran terhadap keadilan umum”. Jadi menurut Kant pidana merupakan
suatu tuntutan kesusilaan. Kant memandang pidana sebagai “kategorist
imperatief” yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah
melakukan kejahatan. Pidana bukan merupakan satu alat untuk mencapai
suatu tujuan melainkan mencerminkan keadilan. 28
2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)
Lahirnya teori ini merupakan suatu bentuk negasi terhadap teori
absolut (walaupun secara historis teori ini bukanlah suatu bentuk
penyempurnaan dari teori absolut) yang hanya menekankan pada pembalasan
dalam penjatuhan hukuman terhadap penjahat. Teori yang juga dikenal
28
Barda Nawawi Arif dan Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung; Alumni, 2005. hlm 11
57
dengan nama teori nisbi ini menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada
tujuan dan maksud hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu
penghukuman (nut van destraf).
Teori ini berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib
masyarakat yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan. Wujud
pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan.
Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki
agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.29
Pada prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi si
penjahat agar ia tidak lagi mengulangi perbuatan yang dilakukannya. Van
Hamel dalam hal ini menunjukkan bahwa prevensi khusus dari suatu pidana
ialah :
1) Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah
penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat
buruknya.
2) Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki si terpidana.
3) Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak
mungkin diperbaiki.
4) Tujuan satu-satunya pidana ialah mem pertahankan tertib
hukum.30
29
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 34. 30
Ibid. hlm.36.
58
3. Teori gabungan (vernegins theorien)
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan
asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi
dasar dari penjatuhan pidana. Dalam teori ini orientasi pelarangan hukum
pidana ditujukan kepada orang dan perbuatannya, konsep perbuatan yang di
lakukan menggunakan konsep normatif empirik. Teori ini menganggap pidana
diperlukan, tetapi bukan balas dendam dan bertujuan, pidana merupakan
bagian dari per tanggung jawaban pilihan bebas, tetapi dipertimbangkan
faktor-faktor lain yang meringankan. Per tanggung jawaban seseorang
berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahaya nya si pembuat.
Bentuk per tanggung jawaban kepada si pembuat lebih bersifat tindakan untuk
perlindungan masyarakat. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua
golongan yaitu:
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi
pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu
dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tetib masyarakat.
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.31
31
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung; Nusa Media, 2010. hlm 74