~~~~Pikiran Rakyat • Selasa 0 Rabu o Minggu o Kamis o Jumat o Sabtu 456 7 20 21 22 8 23 10 (D) 24 25 26 12 13 27 28 14 15 16 29 30 31 ONov ODe~ o Mar OApr OMei 9 OJun OJul 0 Ags OSep OOkt Polemik Gedung DPR Oleh GUN GUN HERYANTO M EMULAI 2011, DPR langsung mem- buat gebrakan. Bu- kan prestasi seputar legislasi bukan pula soal optimalisasi fungsi pengawasan dan ang- garan, melainkan isu lama yang dihidupkan lagi, yakni pemba- ngunan gedung baru DPR. Gedung baru 36 lantai ini ren- cananya akan menyedot APBN kurang lebih 1,3 triliun. Semen- tara dana tahap awalnya akan digelontorkan dari APBN 2011 sebesar Rp 800 miliar. Argumentasinya tetap me- ngacu kepada over kapasitas gedung DPR yang ada, teruta- ma jika menampung anggota DPR plus tenaga ahli dan alat kelengkapannya. Hal barn yang cukup membuat kita terheran- heran adalah padunya suara para politisi senayan lintas frak- si, sehingga kebijakan pemban- gunan gedung mewah itu kian bulat menjelma menjadi kebi- jakan dewan. Jika tak ada aral melintang, dalam masa persi- dangan III tahun sidang 2010- 2011 yang akan berlangsung pertengahan Januari, rencana ini intensif dibahas. Inilah strategi "mundur satu langkah untuk maju seribu langkah" dari para politisi yang konon klaimnya adalah wakil rakyat. Setelah diguncang ke- rasnya resistensi opini publik yang memuncak September- Oktober 2010, DPR mengen- dapkan usulan. Media massa saat itu menjadi saluran ampuh dalam menyuarakan protes ma- syarakat. Masifnya penenta- ngan membuat benteng perta- hanan DPR goyah. Dari pola bertahan, menjadi akomodatif dan akhirnya terpaksa kompro- mistis dengan suara pemi.lik mandat, yakni rakyat Indonesia. Itu tentunya cerita lama. Di- namikanya kini, DPR kembali tampil percaya diri. Persis se- perti pemain bola yang baru bangkit dari cedera, perge-ra- kannya gesit dan jika tak dian- tisipasi akan leluasa mengem- bangkan permainan. Ada be- berapa hal yang sudah sernes- tinya mendapat perhatian ma- syarakat seiring dengan pemba- hasan kembali rencana ini. Pertama, menyangkut be- saran anggaran. Dana Rp 1,3 triliun masih merupakan angka yang fantastis! Saat menunda rencana pembangunan gedung baru DPR di akhir 2010, DPR menjanjikan akan meninjau ulang skema anggaran yang terkesan tak memiliki sense of crisis. Saat itu, usulannya ber- kisar di angka Rp 1,8 triliun dengan omamen segala fasilitas yang tak terkait langsung de- ngan efektivitas kerja-kerja DPR. Penurunan angka ke Rp 1,3 tri-liun juga masih menun- jukkan belum signifikannya pe- ninjauan ulang tersebut. Tentu, kita hams menyadari betul bahwa MBN kita masih hams terbebani oleh cicilan utang pemerintah sebesar Rp 100 triliun per tahun dari perki- raan utang di 2010 yang menca- pai kurang lebih Rp 1.878 trili- un. Satu keharnsan di saat AP- BN kita terbebani cicilan utang, adalah penghematan agar pe- merintah punya daya dalam menyelaraskan laju birokrasi- nya. Mengeluarkan anggaran di atas Rp 1 triliun untuk gedung barn tentu saja tak mendukung pencanangan program efisiensi tadi. Kedua, rencana ini dapat menciptakan communication gap antara para politisi Senayan dengan rakyat. Satu asumsi yang dapat kita rasakan adalah DPR tidak menunjukkan au- ranya sebagai wakil rakyat, akan tetapi lebih menyerupai suara kaum "bangsawan" senayan. Konsep perwakilan kita tentu bukan mengacu pada versi John Locke (1632-1704). Locke dalam karyanya Two Treatises of Gov- ernment menyatakan, legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat, hanya saja masya- rakat yang dimaksud adalah ka- um bangsawan. DPR sebagai wakil rakyat tentunya memjuk pada perspektif Secondat de Montesquieu. Dalam karyanya Spirits of the Laws, Montesqui- eu menekankan le-gislatif seba- gai lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dibuat guna menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat secara ke- seluruhan, termasuk rakyat jela- ta. Tentu, aspirasi masyarakat atas rencana pembangunan ge- dung baru itu sudah sangat je- las, yakni menolak rumah rak- yat dijadikan monumen keang- kuhan para "bangsawan" Sena- yan. Resistensi masyarakat ten- tunya sangat beralasan. Pertama, dalam rencana pembangunan gedung -ham beberapa waktu lalu, yang me- nonjol adalah berbagai fasi-litas yang tak terlampau relevan de- ngan fungsi kerja dewan. Se- harnsnya, jika rencana ini tetap dihidupkan kembali sekarang, hal pertama yang mestinya dije- laskan Ketua DPRyang sekali- 'b._~~~~~~_ gus menjabat sebagai Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) ialah fasilitas-fasilitas apa saja yang logis dan mende- sak dimiliki sehingga nantinya da at dirasakan masyarakat. KlIplng Humas Onpad 2011 Tentu hal ini penting disam- paikan mengingat hakikat dasar Gedung DPR sebag i rumah rakyat. Misalnya ruang hearing yang representatif, puhlic sphere untuk penyampaian aspirasi yang memadai dan tak meng- ganggu fasilitasjalan umum, pe- nguatan perpustakaan dewan demi keunggulan ber agai draf legislasi yang disusun oleh ba- dan legislasibeserta staf ahlinya. Jika Marzuki Ali, saat jumpa wartawan, Jumat (7/1) itu me- nyentuh penggambaran-peng- gambaran gedung de an yang ramah pada rakyat, tentu akan mengurangi sinisme yang men- garah pada rencana le ebut. Kedua, sangat wajar muncul resistensi kembali mengingat adanya kesan kuat kolaborasi lintas fraksi. Saat muncul ge- lombang penentangan masya- rakat beberapa waktu lalu, ba- nyak anggota dewan tampil di media menyuarakan penolakan. Jadi, jika tiba-tiba saat.ini wakil rakyat menjadi paduan suara untuk bersepakat, lumrah me- munculkan kecurigaan. Suatu kebijakan, apalagi menyedot biaya besar, sudah selayaknya mendengar aspirasi yang ber- kembang di masyarakat, bukan semata-mata didasarkan atas persekongkolan. Ketiga, menyangkut waktu yang menjadi konteks pengu- muman kembali rencana terse- but. Mengapa hams disam- paikan mendahului prioritas- prioritas kerja DPR lainnya. Se- tumpuk pekerjaan rumah 2010 belum usai, termasuk revisi DU Pemilu yang mendesak. Akan lebih eleganjika DPR me-nga- wali 2011 ini dengan menun- jukkan stimulus kerja optimal ke publik, baik di fungsi legis- lasi, kontrol, maupun anggaran. Bukan serta merta menstimu- lasi dengan rencana pembangu- nan gedung baru. Lagi-lagi ini menunjukkan cara berkomu- nikasi politik yang lemah. *** Penulis, Direkiur Eksekutif The Political Literacy Institute, kandidat Doktor Komunikasi Unpad.