2.5 Abses Periapikal
2.5.1 EtiologiAbses periapikal biasanya terjadi sebagai akibat
dari nfeksi yang mengikuti karies gigi atau infeksi pulpa, setelah
trauma pada gigi yang mengakibatkan pulpa nekrosis, iritasi
jaringan periapikal baik oleh manipulasi mekanik maupun oleh
aplikasi bahan-bahan kimia di dalam prosedur endodontik, yang dapat
berkembang langsung dari periodontitis periapikal akut
(Saunders,2003).
Abses periapikal akut juga dapat berkembang dari abses kronis
yang mengalami eksaserbasi akut. Hal ini dapat terjadi oleh karena
beberapa factor yaitu terganggunya keseimbangan antara pertahanan
tubuh pasien dan virulensi dari mikroorganisme yang mempertahankan
keadaan infeksi kronis. Jadi jika pertahanan tubuh pasien menurun,
maka mikroorganisme mampu menyerang jaringan dengan lebih mudah dan
menghasilkan abses yang akut. Factor lain adalah pada saat sinus
dari absesperiapikal kronis tertutup debris-debris, hal ini dapat
menghalangi eksudat untuk keluar, maka keadaan akut dapat terjadi
(Saunders,2003).
Gambar 2.5.1 Abses Periapikal(Saunders,2003).2.5.1.1 Gambaran
Klinis
Gambaran klinis dari abses periapikal akut adalah sebagai
berikut:
1. Terasa sakit sekali di daerah gigi yang non vital karena
penekanan abses dan efek bahan-bahan kimia pada jaringan
syaraf.
2. Gigi sedikit ekstrusi dari soketnya yang disebabkan eksudat
dan neutrofil dari abses menyebabkan penekanan di daerah jaringan
gigi.
3. Kadang-kadang memperlihatkan manifestasi sistemik dari proses
infeksi seperti demam, malaise dan leukositosis.
4. Biasanya pasien mengalami ketidaknyamanan yang moderat sampai
parah atau pembengkakan
5. Gigi yang terlibat tidak menimbulkan respon terhadap
stimulasi elektrik dan termis karena pulpa telah nekrosis.
6. Gigi terasa nyeri terhadap palpasi dan perkusi
7. Perluasan abses periapikal akut pada jaringan lunak yang akan
menunjukkan gambaran yang biasa dari inflamasi akut yaitu merah,
bengkak dan panas.
Gambaran klinis dari abses periapikal kronis adalah sebagai
berikut:
1. Karena adanya drainase, abses periapikal kronis biasanya
asimtomatik, kecuali ada penutupan jalan masuk sinus yang kadang-
kadang terjadi yang menimbulkan nyeri.
2. Menunjukkan ketidaknyamanan yang ringan.
3. Gigi tidak mengalami respon terhadap stimulus termis dan
elektris karena pulpa sudah nekrosis.
4. Perkusi menyebabkan nyeri sedikit atau tidak sama sekali.
5. Gigi sedikit sensitive terhadap palpasi.
6. Adanya saluran sinus yan gsebagian atau seluruhnya dapat
dibatasi oleh epitel yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang
terinflamasi.
2.5.1.2 Penegakan Diagnosa
Abses periapikal akut dapat didiagnosis pasti dengan pemeriksaan
radiologi dan histopatologi. Gambaran histopatologi dari abses
periapikal akut adalah sebagai berikut :
a. Daerah supurasi disusun oleh pus yang terdiri dari leukosit
polimorfonukleus yang didominasi oleh neutrofil dalam berbagai
tahap penghancuran, eksudat protein dan jaringan nekrotik.
Kadang-kadang juga terlihat plasma sel dan limfosit dalam jumlah
yang sedikit.
b. Pus dikelilingi oleh sel inflamasi leukosit yang didominasi
oleh polimorfonuklear neutrofil serta sedikit plasma sel dan
limfosit.
c. Dilatasi pembuluh darah dan neutrofil yang berinfiltrasi pada
ligament periodontal dan sumsum tulang yang berdekatan dengan
cairan nekrotik.
d. Di dalam ruang sumsum tulang juga terdapat sel-sel inflamasi
yang terinfiltrasi.
e. Jaringan di sekitar daerah supurasi mengandung cairan
serous.
Gambaran histopatologi pada abses periapikal kronis adalah
sebagai berikut :
a. Sel-sel yang utama adalah limfosit dan plasma sel serta
polimorfonukleus dalam jumlah tertentu.
b. Kadang-kadang terdapat sel-sel makrofag dan lebih jarang lagi
terdapat sel-sel raksasa berinti banyak.
c. Di tengah abses ini terdapat suatu kumpulan jaringan
fibroblast dan sedikit kapiler darah yang baru terbentuk.
d. Di daerah luar terdapat kapsul jaringan fibrous yang berbeda
umur dan kondisinya.
Pada tahap awal sebelum terjadinya resorbsi tulang, belum
terlihat adanya gambaran rontgenologi. Gambaran rontgenologi baru
terlihat jika ada pengrusakan tulang, dimana diperlukan waktu 2-3
minggu agar cukup tejadi resorbsi tulang sehingga tampak adanya
daerah radiolusen yang difus dengan batas tidak jelas pada apeks
gigi. Dapat juga terjadi penebalan ligament periodonsium tetapi
jarang terjadi (Saunders,2003).
Di sekitar apeks dari gigi terlihat daerah yang radiolusen dan
berangsur-angsur menyatu di sekeliling tulang tanpa danya batas
yang jelas di antara keduanya.
Gambaran rontgenologi pada abses periapikal akut adalah sebagai
berikut :
Gambar 2.5.5 Gambaran radiologi abses periapikal
(Saunders,2003).
3.5 DIAGNOSIS BANDING
Kista Periapikal
Granuloma Periapikal (Saunders,2003).
2.5.2 Patogenesis
Abses periapikal umumnya berasal dari nekrosis jaringan pulpa.
Jaringan yang terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan hancur,
meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang
terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh
dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan
setelah memfagosit bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah
putih yang mati inilah yang membentuk nanah yang mengisi rongga
tersebut. Akibat penimbunan nanah ini maka jaringan sekitarnya akan
terdorong dan menjadi dinding pembatas abses. Hal ini merupakan
mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih
lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar
tergantung kepada lokasi abses. Sel-sel darah putih yang mati
seharusnya bisa dihancurkan oleh makrofag, namun makrofag tidak
sanggup menghancurkan semua sel darah putih yang mati tersebut
karena jumlahnya yang sudah terlalu banyak dan tidak menemukan
jalan keluar.Timbunan pus tersebut kemudian akan menekan sel syaraf
dan menimbulkan rangsangan nyeri. Sehingga, abses ini tergolong
symptomatik dan disebut sebagai abses apikalis akut. Apabila pus
dalam jaringan tulang tersebut dapat menembus kosrteks tulang dan
menuju jaringan lunak, maka akan membentuk penyebaran abses baru.
Sehingga, abses apikalis berkembang menjadi abses apikalis kronik
(Neville,2002).
Gambar 2.5.6 Periapikal abses. Pendarahan jaringan lunak
bilateral dari palatum (Neville,2002)
Gambar 2.5.7 Periapikal abses (pasien yang sama dengan gambar
1). Terlihat adanya overlapping radiolusen pada bagian palatum.
Pada keempat insisif terlihat adanya nekrosis pulpa
(Neville,2002).Abses periapikal dapat berlangsung secara akut dan
kronis. Apabila ada keseimbangan antara pus dan imunitas penderita
maka abses periapikal dapat berlangsung secara kronis. Jika tekanan
hidrostatik dalam pus meningkat mengakibatkan pus dalam abses
periapikal berkembang progesif sehingga pus membuat jalan yang
mengekibatkan penyebaran pus di dalam intra oral maupun ekstra oral
((Saunders,2003).
Gambar 2.5.8 Gambaran penyebaran pus pada abses
periapikal(Saunders,2003).
Dari gambar tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pus yang
terdapat pada abses periapikal dapat keluar melalui ruang saluran
pulpa yang ditunjukan dengan angka (1), pus dapat melewati
ligamentum periodontal menuju sulkus gingival (2), pus menyebabkan
fistula pada jaringan lunak rongga mulut menembus gingival sehingga
terjagi gum boil (3), pus dapat menyebar menjauhi jaringan apical.
Selain keadaan tersebut abses periapikal juga dapat menyebabkan
terjadinya abses maxillaries dan abses mandibularis yang dapat
membahayakan kondisi pasien jika dibiarkan lama oleh pasien tanpa
ada penanganan dari dokter gigi (Saunders,2003).Proses infeksi pada
jaringan pulpo-periapikal dapat menyebabkan beberapa kondisi ketika
melibatkan jaringan periapikal, dapat berupa granuloma, abses,
kista, atau osteomyelitis. Saluran pulpa yang sempit menyebabkan
drainase yang tidak sempurna pada pulpa yang terinfeksi, namun
dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri dan menyebar kearah
jaringan periapikal secara progresif. Ketika infeksi mencapai akar
gigi, jalur patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh
jumlah dan virulensi bakteri, ketahanan host, dan anatomi jaringan
yang terlibat. (Oliet,1988).
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan
oleh infeksi bakteri campuran. Bakteri yang berperan dalam proses
pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus
mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif
yang disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin.
Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan
dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase, streptodornase,
dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat merusak
jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini
berperan layaknya parang yang digunakan petani untuk merambah hutan
(Oliet,1988).Bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya disingkat
S.mutans) memiliki 3 macam enzim yang sifatnya destruktif, salah
satunya adalah enzim hyaluronidase. Enzim ini berperan layaknya
parang petani yang membuka hutan untuk dijadikan ladang
persawahannya, ya.. enzim ini merusak jembatan antar sel yang
terbuat dari jaringan ikat (hyalin/hyaluronat), kalau ditilik dari
namanya hyaluronidase, artinya adalah enzim pemecah
hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting
adanya, sebagai transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur
komunikasi antar sel, juga sebagai unsur penyusun dan penguat
jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka dapat
diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas
sel-sel dapat terancam rusak/mati/nekrosis (Oliet,1988).
Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah
enzim dari S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan
menjadi media perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya
mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan
periapikal. Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat
dalam proses abses, karenanya infeksi pulpo-periapikal seringkali
disebut sebagai mixed bacterial infection. Kondisi abses kronis
dapat terjadi apabila ketahanan host dalam kondisi yang tidak
terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang terjadi
dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses
disertai pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan apabila tidak
diberi penanganan (Oliet,1988).
Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya
mengundang respon keradangan untuk datang ke jaringan yang
terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu
baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi, yang terjadi alih-alih
kesembuhan, namun malah menciptakan kondisi abses yang merupakan
hasil sinergi dari bakteri S.mutans dan S.aureus. S.mutans dengan 3
enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu merusak
jaringan yang ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan
enzim koagulasenya mampu mendeposisi fibrin di sekitar wilayah
kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat
dari jaringan ikat, yang sering kita kenal sebagai membran abses
(oleh karena itu, jika dilihat melalui ronsenologis, batas abses
tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat adalah
jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan ronsen
foto). Ini adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi
dirinya dan S.mutans dari reaksi keradangan dan terapi antibiotika
(Oliet,1988).
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran
abses saja yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi
juga ada pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah
satunya juga adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh
sinergi dua kelompok bakteri tadi, tidak kosong, melainkan terisi
oleh pus yang konsistensinya terdiri dari leukosit yang mati (oleh
karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan
bakteri dalam jumlah besar. Secara alamiah, sebenarnya pus yang
terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha mencari jalan
keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali merepotkan
pasien dengan timbulnya gejala-gejala yang cukup mengganggu seperti
nyeri, demam, dan malaise. Karena mau tidak mau, pus dalam rongga
patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi
atau keluar secara alami (Oliet,1988).
Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam
daerah periapikal, yang notabene adalah di dalam tulang. Untuk
mencapai luar tubuh, maka abses ini harus menembus jaringan keras
tulang, mencapai jaringan lunak, lalu barulah bertemu dengan dunia
luar. Terlihat sederhana memang, tapi perjalanan inilah yang
disebut pola penyebaran abses. Pola penyebaran abses dipengaruhi
oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri, ketahanan
jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu
menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah,
ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan
menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot
mempengaruhi arah gerak pus (Oliet,1988).
Sebelum mencapai dunia luar, perjalanan pus ini mengalami
beberapa kondisi, karena sesuai perjalanannya, dari dalam tulang
melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah tepian tulang
atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks
tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi
oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi
tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki
vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi
ketika pus mulai mencapai korteks, dan melakukan eksudasinya dengan
melepas komponen keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal
(antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus
yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini
alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung menimbulkan rasa sakit,
terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan,
peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya
tambahan istilah serous disebabkan karena konsistensi eksudat yang
dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70%
plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada
keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung
selama 2-3 hari, tergantung keadaan host (Oliet,1988).
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas
tidak mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat
berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses
subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela
antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya adalah..
di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus sudah
berhasil menembus korteks dan memasuki rongga subperiosteal,
karenanya nama abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah
terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena lapisan periosteum
adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah
tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat
berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya
lebih serous (Oliet,1988).
DAFTAR PUSTAKAOliet, S. & Pollock,S. : Bull. Phila. Dent.
Soc., 34:12, 1968 dalam Grossman, L.I., Oliet, S. & Del Rio,
C.E. 1988. Endodontic Practice. 11 th ed. Philadelphia :Lea &
Febiger.
Neville, B. W., Damm, D. D., Allen, C. M., Bouquot, J. E. 2002.
Oral & Maxillofacial Pathology, 2nd ed. USA: W. B. Saunders
Company.Saunders WB; Regezi JA; Sciubba JJ; Jordan R. 2003. Oral
Pathology, clinical pathological correlations fifth Edision.
Sitanggang, Ima.RH. 2002. Abses Periapikal Sebagai Penyebab
Terjadinya Osteomyelitis Supuratif Akut. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatra Utara, Medan..
Gambar 2.5.2 Gambaran klinis abses periapikal
(Sitanggang,2002)
Gambar 2.5.3 Gambaran histologi abses periapikal akut
(Sitanggang,2002)
Gambar 2.5.4 Gambaran histologi abses periapikal
(Sitanggang,2002)
kronis
Gambaran radiolusen berbatas difus di periapikal.