Page 1
Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Goiter adalah salah satu cara mekanisme kompensasi tubuh terhadap kurangnya
unsure yodium dalam makanan dan minuman. Asupan yodium dapat diperiksa secara
langsung yaitu dengan cara menganalisis makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
yang mengidap goiter, sedangkan pemeriksaan secara tidak langsung dipakai berbagai cara
antara lain : pemeriksaan kadar yodium dalam urine dan dengan studi kinetik yodium.
Berdasarkan kejadiannya atau penyebarannya ada yang disebut struma endemis dan
sporadik. Secara sporadik dimana kasus-kasus struma ini dijumpai menyebar diberbagai
Page 2
tempat atau daerah. Bila dihubungkan dengan penyebab maka struma sporadik banyak
disebabkan oleh faktor goitrogenik, anomali, penggunaan obat-obat anti tiroid, peradangan
dan neoplasma, secara endemis, dimana kasus-kasus struma ini dijumpai pada sekelompok
orang didaerah tertentu, sdihubungkan dengan penyakit defisiensi yodium.Pada umumnya
goiter sering dijumpai pada daerah pegunungan, namun ada juga yang ditemukan di dataran
rendah dan ditepi pantai.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar
tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong
trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal
tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tindakan anastesi pada
tindakan tiroidektomi atau isthmelobektomi.
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis
pada khususnya mengenai adenomatous goiter dan tatalaksananya.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan ini merupakan tulisan yang ditulis berdasarkan studi kepustakaan yang
merujuk kepada berbagai literatur.
Page 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Adenomatous Goiter, disebut juga multinodular goiter, adalah tumor yang terbentuk
akibat hiperplasia kelenjar tiroid.
2.2. Epidemiologi
Adenomatous goiter biasanya terjadi di negara berkembang, terutama di daerah
pegunungan yang airnya kurang mengandung yodium. Penyakit ini biasanya terjadi pada
wanita berusia lanjut.
2.3. Etiologi & Faktor Resiko
Penyebab utama adenomatous goiter adalah defisiensi yodium. Faktor resiko untuk
adenomatous goiter adalah jenis kelamin wanita, berusia lanjut, dan adanya ingesti
goitrogens, yaitu faktor-faktor yang menghambat sintesis hormon tiroid, contohnya obat-
obatan yang mengandung thioamides dan thiocyanates (propilthiourasil).
2.4. Patogenesis
Akibat adanya gangguan sintesis hormon tiroid, terdapat penurunan kadar T4 serum
dan peningkatan kadar TSH serum yang progresif. Pada tahap awal terbentuknya goiter,
terjadi pembesaran difus kelenjar tiroid, dengan hiperplasia sel akibat stimulasi TSH.
Selanjutnya, terbentuk folikel-folikel yang membesar dengan sel epitel folikel yang
menipis dan adanya akumulasi tiroglobulin. Akibat stimulasi TSH terus-menerus,
terbentuk nodul multipel di beberapa area dan atrofi dan fibrosis di area lain, sehingga
membentuk adenomatous goiter.
2.5 Manifestasi klinis
Pasien dapat memperlihatkan penonjolan di sepertiga bagian bawah leher.Struma
yang besar dapat menimbulkan masalah kompresi mekanik, disertai pergeseran letak trakea
dan oesofagus dan gejala-gejala obstruksi. Biasanya struma adenomatosa benigna walaupun
besar tidak menyebabkan gangguan neurologik , muskuloskolotal, vaskuler, atau menelan
Page 4
karena tekanan atau dorongan. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher, sewaktu menelan,
trakea naik untuk menutup laring dan epiglottis sehingga tiroid terasa berat karena terfiksasi
pada trakea1, 2, 3.
2.6 Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai jumlah nodul, konsistensi, nyeri
pada penekanan dan pembesaran gelenjar getah bening. Inspeksi dari depan, nampak suatu
benjolan pada leher bagian depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita
menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk,
ulserasi.Palpasi dari belakang dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan jari-
jari lain meraba benjolan pada leher.Pada palpasi harus diperhatikan lokasi, ukuran,
konsistensi, mobilitas, perlengketan terhadap kulit/jaringan sekitar dan batas benjolan.1,3
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Tes laboratorium
Hasil pengukuran T4, T3, TSH atau T3RU biasanya normal, tetapi ambilan radio –
yodium dan kadar TSH dapat sedikit meningkat.
2) Pemeriksaan sidik tiroid.
Hasil pemeriksaan dengan radio isotop adalah ukuran, bentuk, lokasi dan yang utama
ialah fungsi bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi nal pol oral, dan setelah 24
jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radio aktif yang ditangkap oleh
tiroid. Dari hasil sidik tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu: 3, 5
a. Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.
b. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya,
keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebihan.
c. Nodul hangat bila penangkapan yoidum sama dengan sekitarnya, ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
3) Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Page 5
Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan yang padat dan cair.Selain itu, dengan
berbagai penyempurnaan sekarang, USG dapat membedakan beberapa bentuk kelainan,
tetapi belum dapat membedakan dengan pasti apakah suatu nodul itu ganas atau jinak.
Gambaran USG yang dapat dibedakan atau dasar kelainan yang difus atau lokal yang
kemudian juga dibedakan atas dasar derajat ekonya, yaitu : hypoekoik, isoekoik,
campuran. 3,4
4) Biopsi Aspirasi Jarum Halus.
Biopsi jarum sekarang diterima sebagai prosedur skrining diagnosis paling tepat untuk
membedakan nodul tiroid jinak dari yang ganas. Biopsi jarum halus tidak nyeri, tidak
menyebabkan dan hampir tidak ada bahaya penyebaran sel-sel ganas. Pada kista dapat
juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul, jadi selain
diagnostik, bias juga terapeutik.
2.7 Tatalaksana
Terapi antara lain dengan penekanan TSH oleh hormon tiroid. Pengobatan dengan
tiroksin yang lama akan mengakibatkan penekanan TSH hipofisis dan penghambatan fungsi
tiroid disertai atropi kelenjar tiroid. Struma yang besar mungkin perlu dibedah untuk
menghilangkan gangguan mekanis dan kosmetik yang diakibatkannya. Tindakan operasi
yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya satu sisi saja
dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan subtotal
tiroidektomi.1,2, 3.
2.7.1Tindakan Anestesi dalam Tatalaksana Adenomatous Goiter
Tatalaksana dapat melalui isthmelobektomi dimana jenis tindakan anestesi yang
dapat dilakukan berupa anestesi umum. Anestesi umum dapat dilakukan dengan cara inhalasi
dan parenteral.
Tindakan anestesi umum bertujuan untuk meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).Komponen anestesi yang ideal
terdiri dari analgetik, hipnotik, dan relaksasi otot.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.
Page 6
A. Persiapan Pra Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan
baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut.
Adapun tujuan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik
dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V :Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat .
Macam-macam teknik anestesi yang dapat digunakan :
Open drop method : cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang
diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
Semi open drop method : hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi
terbuangnya zat anestetik , digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering
terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume
fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
Semi closed method : udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang
dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik
Page 7
dapat ditentukan. Udara panas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya
dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan
hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100 %
kebutuhan.
Closed method : cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi
dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung
anestetik dapat digunakan lagi.
Pada kasus isi dipakai semi closed anestesi karena memiliki beberapa keuntungan,
yaitu:
Konsentrasi inspirasi relatif konstan
Konservasi panas dan uap
Menurunkan polusi kamar
Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.
B. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain:
1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. memberikan analgesia, misal : pethidin
5. mencegah muntah, misal : droperidol
6. memperlancar induksi, misal : pethidin
7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin
Obat-obatan Premedikasi:
a. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk mengurangi
sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan
parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Efek lainnya yaitu melemaskan otot
polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa
mual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan
Page 8
kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal maupun regional. Dalam dosis
toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien.
Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian prostigmin 1 –2 mg intravena2 .
Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB.
Pemberian: SC, IM, IV
b. Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk premedikasi. Keuntungan
penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi,
menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan
buatan , dan dapat diantagonis dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan
hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan
hipovolemia. Juga dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan di medula yang dapat
ditunjukkan dengan respon turunnya CO2.mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi
narkotik pada pusat muntah di medula.Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut.
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc.
Dosis : 1 mg/ kgBB.
Pemberian : IV, IM
c. Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat yang
sangat mirip dengan golongan benzodiazepine.Merupakan benzodiapin kerja cepat yang
bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat
di berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum system limbic
serta korteks serebri. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila
sebelumnya diberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi
narkotika sebelumnya.
Sediaan : dalam ampul 10 mg/ml
Dosis dewasa : 0,07- 0,1 mg/ kg BB secara IM sesuai dengan keadaan umum pasien,
lazimnya diberikan 5mg.Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05 mg/ kg BB (IM).
Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10 menit sebelum permulaan
Page 9
operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis tidak melebihi
3,5 mg IV.
C. Induksi
Pada kasus ini digunakan Propofol.Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis
yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara cepat.Rasa
nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis.
Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat,
N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme
otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih
cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal.
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi pernapasan, apnea,
brokospasme dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia,
takikardia, bradikardia, hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, kejang, mual dan muntah.3
D. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa,
lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime
absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui
stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu
tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya
Page 10
dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% :
50%.
b. Ethrane ( Enflurane)
Merupakan anestesi yang poten.Dapat mendepresi SSP menimbulkan efek hipnotik.
Pada kontrasepsi inspirasi 3 – 3,5 % dapat menimbulkan perubahan EEG yaitu epileptiform,
karena itu sebaiknya tidak digunakan pada pasien epilepsi. Dan dapat meningkatkan aliran
darah ke otak.Pada anestesi yang dalam dapat menurunkan tekanan darah disebabkan depresi
pada myokardium.Aritmia jarang terjadi dan penggunaan adrenalin untuk infiltrasi relatif
aman.Pada sistem pernafasan, mendepresi ventilasi pulmoner dengan menurunkan volume
tidal dan mungkin pula meningkatkan laju nafas.Tidak menyebabkan hipersekresi dari
bronkus.Pada otot, Ethrane menimbulkan efek relaksasi yang moderat.Menyebabkan
peningkatan aktivitas obat pelumpuh otot non depolarisasi. Penggunaan Ethrane pada operasi
sectio cesaria cukup aman pada konsentrasi rendah (0,5 - 0,8 vol %) tanpa menimbulkan
depresi pada fetus. Berhati-hati pada penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat
menimbulkan relaksasi otot uterus.1
Untuk induksi, Ethrane 2 – 4 vol % dikombinasikan O2 atau campuran N2O-O2,
sedangkan untuk mempertahankan anestesi diperlukan 0,5 – 3 %.
Keuntungan dari Ethrane adalah harum, induksi dan pemulihan yang cepat, tidak ada
iritasi, sebagai bronkodilator, relaksasi otot baik, dapat mempertahankan stabilitas dari sistem
kardiovaskuler serta bersifat non emetik.Sedangkan kerugiannya bersifat myocardial
depresan, iritasi pada CNS, ada kemungkinan kerusakan hati. Sebaiknya dihindari
pemberiannya pada pasien dengan keparahan ginjal.6
c. Halothane (Fluothane)
Berbentuk cairan jernih, sangat mudah menguap dan berbau manis, tidak tajam dan
mempunyai titik didih 50 C. Konsentrasi yang digunakan untuk anestesi beragam dari 0,2 –
3%. Merupakan zat yang poten sehingga membutuhkan vaporizer yang dikalibrasi untuk
mencegah dosis yang berlebihan. Karena kurang larut dalam darah dibandingkan dengan eter,
maka saturasi dalam darah lebih cepat, sehingga induksi inhalasi relatif lebih cepat dan
menyenangkan untuk pasien. Jika persediaan terbatas maka sebaiknya Halothane digunakan
untuk menstabilkan setelah indeuksi intravena.Pada kondisi klinis halothane tidak mudah
terbakar dan meledak.
Halothane memberikan induksi anestesi yang mulus, tetapi mempunyai sifat analgesi
yang buruk. Penggunaan zat ini untuk anestesi secara tunggal akan menyebabkan depresi
kardiopulmoneryang ditandai dengan sianosis, kecuali bila gas inspirasi mengandung oksigen
Page 11
dengan konsentrasi tinggi. Halothane mempunyai efek relaksasi otot yang lebih kecil
daripada eter, merupakan suatu bronkodilator.Depresi pusat pernafasan oleh halothane
ditandai dengan pernafasan yang cepat dan dangkal, peningkatan frekuensi pernafasan ini
lebih kecil bila diberikan premedikasi dengan opium.Efek pada kardiovaskuler adalah depresi
langsung pada miokardium dengan penurunan curah jantung dan tekanan darah, tetapi terjadi
vasodilatasi kulit sehingga mungkin perfusi jaringan lebih baik.Kerugian dari halothane dapat
diatasi dengan dikombinasikan dengan N2O (50 – 70%) atau trikloroetilen (0,5-1%).
E. Obat Pelumpuh Otot
a. Suksametonium (Succynil choline).
Terutama digunakan untuk mempermudah/ fasilitas intubasi trakea karena mula
kerja cepat (1-2 menit) dan lama kerja yang singkat (3 – 5 menit). Juga dapat dipakai untuk
memelihara relaksasi otot dengan cara pemberian kontinyu per infus atau suntikan
intermitten. Dosis untuk intubasi 1-2 mg/kgBB/I.V.
Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah (1) bradikardi, bradiaritma dan
asistole pada pemberian berulang atau terlalu cepat serta pada anak-anak; (2) takikardi dan
takiaritmia; (3) lama kerja memanjang terutama bila kadar kolinesterase plasma berkurang;
(4) peningkatan tekanan intra okuler; (5) hiperkalemi; (6) dan nyeri otot fasikulasi.
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 500 mg. Pengenceran
dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga membentuk larutan 2 %.
Cara pemberian I.V/I.M/ intra lingual/ intra bukal.1
b. Atrakurium besylate ( tracrium)
Sebagai pelumpuh otot dengan struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa
keuntungan antara lain bahwa metabolisme di dalam darah (plasma) melalui suatu reaksi
yang disebut eliminasi hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan fungsi ginjal, tidak
mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna.
Menurut Chapple DJ dkk (1987) dan Tateishi (1989) bahwa pada binatang
atracurium tidak mempunyai efek yang nyata pada CBF, CMR O2 atau ICP. Metabolitnya
yang disebut laudanosin, menembus blood brain barrier dan dapat menimbulkan kejang EEG,
tetapi kadar laudanosin pada dosis klinis atracurium tidak menimbulkan efek ini. Lanier dkk
mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ambang kejang dengan lidokain pada kucing yang
diberikan atracurium.pancuronium, atau vecuronium.Obat ini menurunkan MAP tetapi tidak
Page 12
menyebabkan perubahan ICP. Dosis atracurium untuk intubasi adalah 0,5 mg/kg dan dosis
pemeliharaan adalah 5-10 ug/kg/menit. Kemasan : 2,5 ml dan 5 ml yang berisi 25 mg dan 50
mg atrakurium besylate. Mula kerja pada dosis intubasi 2-3 menit sedangkan lama kerjanya
pada dosis relaksasi 15-35 menit.
F. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut1.
G. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstriktif, perdarahan, luka
bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam.
Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml / kgBB/jam
Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang.
Page 13
Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi
ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
H. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi
pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
1. Evaluasi
a. Penilaian status pasien
b. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang sesuai
indikasi
2. Persiapan praoperatif
a. Persiapan rutin
b. Persiapan khusus
3. Premedikasi, disesuaikan dengan kebutuhan
4. Pilihan anestesinya
a. Pasien dewasa dan diperkirakan operasi lebih dari 1 jam: analgesia spinal
subarachnoid rendah.
b. Pada pasien dewasa yang operasi <1jam : anesthesia umum inhalasi sungkup
muka atau anesthesia umum intravena diazepam ketamine.
c. Pada bayi atau anak: anesthesia umum, sesuai dengan anesthesia pediatric.
d. Pasien rawat jalan: sesuai dengan tatalaksana anesthesia – analgesia rawat
jalan.
5. Pemantauan selama anesthesia, sesuai dengan standar pemantauan dasar intra operatif
6. Terapi cairan disesuaikan dengan pilihan aneatesinya
7. Pemulihan anastesia sesuai dengan pilihan anastesianya
8. Pasca anesthesia
Page 14
a. Pasien dirawat di ruang pulih sesuai dengan tatalaksana pasca anesthesia-
analgesia.
b. Pasien kembali ke ruangan, setelah memenuhi kriteria pemulihan.
Page 15
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. L
Jenis Kelamin : Perempuan
MR : 872704
Usia : 55 tahun
1. Laporan Pre-Operasi
Anamnesis
Keluhan Utama :
Seorang pasien perempuan usia 55 tahun dirawat di bagian bedah wanita RSUP Dr.M.Djamil
Padang pada tanggal 29 September 2014 dengan keluhan benjolan di leher sejak 4 tahun yang
lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Benjolan di leher telah dirasakan sejak 4 tahun yang lalu, awalnya sebesar kelereng
makin lama makin membesar. Pasien tidak membawa berobat lebih cepat karena
benjolan tidak terasa nyeri.
Pasien menyangkal keluhan seperti gangguan menelan, suara serak, ataupun sesak
nafas yang menyertai benjolan di leher tersebut.
Pasien menyangkal keluhan seperti suka berkeringat, gemetaran, ataupun berdebar-
debar yang menyertai benjolan di leher tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM dan Hipertensi.
Riwayat alergi obat (-)
Anamnesis Penyulit Anastesi
Asma (-)
DM (-)
Page 16
Alergi (-)
Angina Pectoris (-)
Hipertensi (-)
Penyakit Hati (-)
Penyakit Ginjal (-)
Gigi Palsu (-)
Kejang (-)
Batuk (+) tidak berdahak dan jarang
Pilek (-)
Demam (-)
Kelainan Kardiovesikular (-)
Riwayat obat yang sedang/telah digunakan
Anti Hipertensi (-)
Anti Reumatik (-)
Anti Diabetes (-)
Obat Jantung (-)
Riwayat operasi sebelumnya : (-)
Riwayat Anastesi : (-)
Kebiasaan buruk sehari-hari yang mempersulit operasi :
Rokok : (-)
Alkohol : (-)
Obat Penenang : (-)
ASA : 2
Pemeriksaan Fisik (sekarang 01-09-2014) :
Keadaan umum:
Kesadaran : Composmentis Cooperative
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Page 17
Nadi : 80 x/menit, teratur dan kuat angkat
Nafas : 22x /menit, reguler
Suhu : afebris
Mata : konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Pupil isokor
Jalan Napas : bebas
Paru : vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Jantung : irama teratur, bising (-)
Abdomen : Bising usus (+) Normal, mual (-), muntah (-), distensi abdomen (-)
Genitalia : kateter (-), hematuria (-)
Ekstrimitas : edema -/-, akral teraba hangat, kering, dan merah.
Neurologis : defisit neurologis (-), hemiparesis (-)
Hasil Laboratorium (15Agustus 2014)
Hb : 13,4 g/dl
Ht : 38,7%
Leukosit : 7.800
Trombosit : 230.000
PT : 10,4 s
APTT : 27,2 s
Ureum : 20 mg%
Kreatinin : 0,7 mg%
Hasil Rontgen :
Page 18
Tampak infiltrat di perihiller kanan. Kesan suspect Bronkopneumoia
Hasil USG :
Multiple nodul thyroid degenerasi kistik
Hasil BAJAH (27 Juli 2014):
Tampak sebaran epitel dengan inti bulat monomorf yang tersusun berkelompok membentuk
mikrofolikel dan tampak pula beberapa kelompokan fibrosit.
Kesan Adenomatous Goiter
Hasil EKG :
Jantung dalam batas normal
Plan
Isthmelobectomy
Diagnosa
Adenomatous Goiter
2. Laporan Intra Operatif
Obat premedikasi :
Ranitidin 50 mg
Ondansentron 4mg
Fentanyl 150 µg
Obat medikasi
Anestesi Intravena :
Propofol 100 mg
Roculax 30 mg
Anestesi Inhalasi :
Oksigen 2liter
N2O 2 liter
Sevofluran
Page 19
Teknik Anestesi :
Intubasi dengan ETT no 7.0, Guedel (+), cuff (+)
Posisi :
Supine
Monitoring yang dilakukan :
Jam Tekanan Darah (sistole/diastole)
mmHg
Nadi (kali)
09.15 178/ 85 78
09.30 110/62 79
09.45 109/ 58 70
10.00 100/ 50 65
10.15 100/ 55 78
10.30 95/52 80
10.45 130/ 70 100
11.00 110/ 60 80
11.15 115/ 60 83
11.30 110/ 60 83
Jumlah cairan yang masuk : RL 500 cc sebanyak 3 kolf
Perdarahan : minimal
Jumlah urine : 500 cc, kateter (+)
3. Monitoring Post Operatif
Instruksi dokter yang diberikan :
Tramadol 100 mg IV
Jam Tekanan Darah (sistole/diastole)
mmHg
Nadi (kali)
Page 20
12.00 130/90 62
12.15 135/92 65
12.30 134/89 68
Skor Aldrete :
Motorik :bisa menggerakkan 2 ekstremitas (tangan saja) = 1
Respirasi : bisa batuk dan bernafas dalam = 2
Kardiovaskuler : TD dan HR bertambah 20% dari awal preanestesi = 2
Kesadaran : bangun (kesadaran full) = 2
Total skor aldrete = 9
Page 21
BAB IV
DISKUSI
Telah dilaporkan kasus seorang pasien perempuan, umur 55 tahun dirawat di bedah
wanita RSUP Dr.M.Djamil Padang dengan diagnosis adenomatous goiter. Dari anamnesa
didapatkan keluhan benjolan di leher sejak 4 tahun yang lalu. Pada pasien tidak ditemukan
penyulit anestesi,tidak ada riwayat penggunaan obat, tidak ada riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya, serta pasien juga tidak memiliki riwayat kebiasaan yang dapat mempersulit
operasi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan kondisi pasien dalam keadaan
umum baik, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang akan mempersulit
tindakan anestesi. Pemeriksaan rongga mulut dan leher didapatkan malampati 2, leher tidak
pendek dan tidak kaku sehingga tidak menyulitkan laringoskopi intubasi.Klasifikasi status
fisik pasien adalah ASA 2.Pada pasien ini didapatkan pemeriksaan laboratorium normal.
Pada pasien dilakukan tindakan isthmelobektomi dengan menggunakan anestesi
umum. Obat premedikasi yang diberikan berupa Ranitidin 50 mgdan Ondansentron 4 mg IV.
Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2 yang berfungsi mengurangi produksi asam
lambung dan meningkatkan pH asam lambung sehingga dapat mencegah risiko aspirasi
pneumonia.Ondansentron merupakan antiemetik pada periode pos operatif. Untuk anestesi
inhalasi yang diberikan adalah oksigen 2 liter, N2O 2 liter, Sevofluran 2 liter, sedangkan
anestesi intravena yang diberikan adalah Propofol 100 mg dan Roculax 30 mg.Propofol
memiliki onset yang cepat, lama aksinya pendek, akumulasi minimal dan cepat
dimetabolisme sehingga pemulihannya cepat.Sedangkan Roculax yang berisi Recuronium
(nondepolarizing) merupakan aminosteroid monoquaternary nondepolarizing yang bekerja
cepat dengan memblokade nicotinic cholinoreceptor pada motor end plate.Pada pasien
diberikan cairan kristaloid isotonik yaitu Ringer Laktat sebanyak 1500 ml. Kemudian obat
analgetik pasien diberikan tramadol 100 mg IV yang merupakan drug of choice sebagai
analgetik yang menghambat nyeri langsung pada reseptornya serta diberikan pada pasien
dengan nyeri derajat sedang sampai berat. Aldrete skor pasien 9menunjukkan bahwa pasien
sudah dapat pindah dari ruang pemulihan ke ruang perawatan karena skornya >8.
Page 22
DAFTAR PUSTAKA
1. Widjosono – Garjitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Syamsuhidayat
R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC,Jakarta, 1997 : 925 – 952.
2. Kariadi KS Sri hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 757 – 778.
3. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat, Buku Dua,
EGC, Jakarta, 1995 : 1071 – 0178.
4. Lyberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit Binarupa
Aksara, Jakarta, 1997 : 15 – 19.
5. Allo D. Maria, L. John Cameron, Goiter Non Toksik Terapi Bedah Mutakhir, Edisi
Keempat, Jilid Dua, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, 1993 : 146 – 150.