Keratocystic Odontogenic Tumor and Its Radiological Diagnosis by
3 Dimensional Cone Beam Computed Tomography (CBCT)Elly Ardina
Putri1, drg. Setiadi W. Logamarta, Sp.Ort.21Kedokteran Gigi,
Universitas Jenderal Soedirman, Purworketo, Jawa Tengah2Bidang
Radiologi, Kedokteran Gigi, Universitas Jenderal Soedirman,
Puworketo, Jawa TengahAlamat Korespondensi: Kedokteran Gigi
Universitas Jenderal Soedirman, Purworketo, Jawa Tengah, Indonesia,
53122. Email: [email protected]
ABSTRAKTumor keratosis odontogenik adalah tipe khusus dari kista
odontogenik. Tumor ini sering kambuh setelah operasi pengangkatan.
Menurut WHO tumor ini merupakan kista. Ini adalah tantangan nyata
untuk ahli bedah oral dan maksilofasial untuk menangani tumor ini.
Radiologi dapat membantu diagnosis secara rinci dan membantu untuk
mencegah kekambuhan. Kasus ini menggunakan radiologi Cone Beam
Computed Tomography (CBCT) untuk mengetahui batas perpanjangan dari
perforasi kortikal, diameter lesi dan jenis kerusakan tulang.Kata
kunci : kista odontogenik, cone beam computed tomography, perforasi
kortikal
Case Report : Dentistry of Jenderal Soedirman University | 1
PENDAHULUANTumor keratosis odontogenik adalah neoplasma jinak
yang lapisan epitelnya mengalami keratinisasi dan tingkat
kekambuhannya sangat tinggi. Tumor keratosis odontogenik disebabkan
oleh perkembangan dari sel-sel dental lamina dan sel-sel epitel
basal dari stellata reticulum enamel.1 Pembentukan keratosis
odontogenik kebanyakan oleh proliferasi dari lapisan epitel
sisa-sisa pembentukan gigi. Pertumbuhan terus menerus dari
keratosis odontogenik menyebabkan perubahan kategori dari kista ke
tumor jinak.2Cone Beam Computed Tomography (CBCT) adalah teknik
pencitraan medis yang sangat baik dalam perencanaan, diagnosis dan
pengobatan kasus kelainan oral dan maksilofasial. Selama scan CBCT
berputar, scanner akan berputar disekitar kepala pasien.3 CBCT akan
mengasilkan hampir 600 gambar yang berbeda. Perangkat lunak scanner
akan mengumpulkan data, merekonstruksinya, memproses dan
menghasilkan volum digital yang terdiri dari tiga dimensi voxel
data anatomis yang kemudian dapat dimanipulasi dan divisualisasikan
dengan software khusus.4
LAPORAN KASUSLaki-laki berusia 18 tahun datang ke rumah sakit
perguruan tinggi dengan keluhan sakit dan bengkak pada rahang kanan
bawah selama enam bulan terakhir. Hasil pemeriksaan, rahang kanan
ditemukan pembengkakan dengan konsistensi keras meluas ke daerah
bukal dan pergeseran gigi di sisi kanan rahang bawah. Secara
klinis, molar pertama rahang bawah kanan tidak ditemukan. Kelenjar
getah bening daerah leher tidak teraba. Pasien disarankan untuk
foto panoramik untuk mengetahui dari gambaran radiologi.
Gambar 1. Radiografi panoramik menunjukkan lesi
Radiografi panoramik (Gambar.1) menunjukkan lesi radiolusen yang
meluas dari molar kedua kanan sampai ke insisiv lateral kiri. Molar
pertama kanan rahang bawah terlihat impaksi. Lesi radiolusen
terlihat menekan canal alveolaris invferior lebih ke bawah lagi.
Terlihat pula pergeseran gigi. Bagaimanapun gambaran radiografi
panoramik tidak bisa melihat perluasan lesi pada arah bukal
lingual, posisi dari molar pertama kanan rahang bawah yang impaksi
atau kemungkinan adaanya perforasi kortikal lain. Penegakkan
diagnosis yang akurat, disarankan untuk menggunakan radiologi Cone
Beam Computed Tomography (CBCT) yang dapat memberikan gambaran tiga
dimensi.
Gambar 2. Hasil Cone Beam Computed Tomography
Hasil radiografi Cone Beam Computed Tomography (Gambar. 2)
menunjukkan gambar tiga dimensi di kedua rahang. Gambar menunjukkan
sebuah multiolkular rongga di sisi kanan mandibula. Rongga meluas
antero-posterior sekitar 56,79 mm, dan supero-inferior sekitar
31.98 mm. Posisi gigi molar pertama yang impaksi terletak disekitar
batas bawah dan mahkota terletak lebih ke lingual (Gambar 3).
Pergeseran gigi lebih terlihat jelas. Gambar 3. dari arah buko
lingual terlihat terjadi resorpsi tulang kurang dari kortikal
bukal. Terlihat pula perforasi kortikal lingual yang disebabkan
oleh impaksi gigi molar pertama kanan bawah.
Gambar 3. Cone Beam Computed Tomography dari arah buko -
lingual
Gambar 4a. Pandangan dari axial dengan section level yang
berbeda
Hasil dari aksial tomografi dengan section level yang berbeda
(Gambar 4a.), menunjukkan baik bukal dan lingual kortikal mengalami
perforasi. Gambar 4b, menunjukkan bahwa perforasi kortikal
disebabkan oleh impaksi gigi molar pertama kanan rahang bawah.
Gambar 4b. Pandangan dari axial dengan section level yang
berbeda
Gambar 5a. Pandangan dari arah sagital
Gambar 5b. Pandangan dari arah coronal
Hasil gambaran dari arah sagital dan koronal (Gambar 5a &
5b) menunjukkan rongga yang mengalami pembengkakan menunjukkan lesi
seperti kista. Pemeriksaan penujang berikutnya dilakukan insisi
biopsi. Hasil biopsi menunjukkan bahwa lesi tersebut adalah
keratosis kista yang dinding tepinya dilapisi oleh lapisan epitel
squamous stratified keratinized. Berdasarkan hasil pemeriksaan
radiologi dan histopatologi, dilakukan operasi pengambilan kista
dengan metode enukleasi dan mengambil gigi yang terlibat. Pasien
disarankan untuk tetap kontrol dalam jangka waktu yang lama dan
pasien juga dirujuk ke prosthodontist untuk keperluan prostetik
mengganti gigi yang hilang. Biopsi eksisi menunjukkan hasil yang
sama dengan hasil insisi sebelum operasi.
PEMBAHASANKista odontogenik adalah kista yang dinding epitelnya
berasal dari sisa-sisa organ pembentuk gigi yang mampu
berpoliferasi dan berpotensi menjadi tumor.5 Keratosis odontogenik
merupakan kista odontogenik yang disebabkan oleh sisa-sisa epitel
atau gland of serres yang tersisa setelah terputusnya dental
lamina. Kista ini terbentuk oleh suatu epithelium skuamous
stratified yang memproduksi ortokeratin dan parakeratin.6 Kista ini
memiliki gambaran klinis yang sangat besar dan penegakkan diagnosis
harus dilakukan pemeriksaan histopatologi. Keratosis dapat tumbuh
terus menerus dan sulit diangkat dan bersifat agresif. Menurut WHO
penyakit ini disebut dengan tumor keratosis odontogenik.7 Tumor
keratosis memiliki potensi besar untuk kambuh dan lesinya yang
meluas dan menyebabkan perforasi kortikal.8 Pemeriksan radiografi
sangat penting untuk menentukan diagnosis dan rencana perawatan.
Penggunaan radiografi konvensional untuk kasus tumor rahang seperti
pada kasus dapat menggunakan radiografi panoramik, sefaometri dan
PA skull.7 Kasus ini awalnya pasien difoto dengan radiografi
panoramik. Terlihat pada hasil foto lesi meluas dan adanya gigi
yang impaksi, namun kekurangan dari panoramik tidak dapat melihat
kedalaman perforasi pada kortikal. Arah gigi yang impaksi juga
sulit ditentukan dengan menggunakan panoramik. Sefalometri adalah
radiografi yang digunakan untuk mempelajari pertumbuhan kepala dan
pola pertumbuhan wajah. Sefalometri sering digunakan sebagai
pemeriksaan penunjang sebelum dilakukan perawatan ortodontik.9
Sefalometri menghasilkan pencitraan dari arah lateral, oleh karena
itu sefalometri pada kasus ini dapat digunakan tetapi kurang akurat
karena lesi tumor meluas dari daerah gigi molar kedua sampai gigi
insisif sehingga proyeksi lateral kurang tepat. Posteroanterior
skull (PA skull) adalah radiografi ekstra oral skull dan
maxillofacial projection. Teknik radiografi ini dapat memberikan
gambaran kepala secara lengkap. Kegunaan PA skull untuk memeriksa
tulang tengkorak dan kelainan seperti tumor, kista, fraktur,
acromegali dan hydrocephalus.2 PA skull dapat digunakan pada kasus
ini, tumor akan terlihat pada hasil radiografi, tetapi PA skull
kurang memberikan gambaran tumor pada daerah rahang yang jelas. PA
skull lebih diindikasikan untuk melihat gambaran tulang kepala
seacara keseluruhan, tulang frontalis, ethmoid-sinus, nasal fossa,
dan tulang orbita.7Sejak keratosis odontogenik ditetapkan sebagai
suatu tumor yang jinak, pemeriksaan penunjang dengan menggunakan
radiografi yang menghasilkan pencitraan tiga dimensi sangatlah
penting dilakukan. Tumor keratosis odontogenik bersifat jinak namun
dapat berkembang dan terus menerus. Tingkat kekambuhan dari tumor
ini juga sangat tinggi, sehingga radiografi yang menunjang dapat
membantu merencanakan prioritas perawatan dan meningkatkan hasil
perawatan dari kasus.1Cone Beam Computed Tomography (CBCT)
merupakan radiografi yang menghasilkan 3 dimensi data gambar. CBCT
menggunakan sinar X-ray berbentuk kerucut yang lebih baru daripada
sinar linear CT konvensional. CBCT scanner dapat menangkap
pandangan multiplanar dari pasien.3 CBCT menggunakan imaging
software yang dapat merekonstruksi data menjadi tampilan 3 dimensi
dan dimanipulasi dari berbagai sudut pandang, variasi kedalaman dan
ketebalan pada jaringan tertentu.4 Kelebihan CBCT selain dapat
menghasilan 3 dimensi, dosis yang digunakan cukup rendah yaitu 50
mGy. Waktu pemaparan juga pendek hanya 10-70 detik. Kekontrasan
gambar juga tinggi sehingga jelas dan sangat menunjang diagnosis
yang akurat.7Penggunaan CBCT pada kasus tumor keratosis odontogenik
sangat dianjurkan, pada kasus ini dengan radiografi CBCT tumor
dapat terlihat dan diukur kedalamnnya. Arah gigi yang impaksi juga
bisa terlihat dan diukur. Tumor keratosis odontogenik bersifat
agresif local, invasif, destruktif, ekstensif dan kecenderungan
kekambuhan yang tinggi.2Penatalaksanaan dapat berupa marsupialasi,
enukleasi, dan reseksi. Marsupialisasi dilakukan dengan membuka
atap kista dan untuk jalan masuk proses enukleasi. Pembukaan atap
kista juga diharapkan dapat mengerutkan tumor.2 Enukleasi adalah
pengambilan jaringan tumor secara keseluruhan. Lesi yang bersifat
agresif juga dapat dibedah dengan metode reseksi. Reseksi sagat
dianjurkan jika tumor telah menyebar dan berpotensi untuk ganas.
Reseksi dilakukan pada kasus yang tingkat kekambuhannya sangat
tinggi.1Pembedahan untuk tumor keratosis odontogenik sangatlah
penting keberhasilannya. Setelah operasi pasien harus tetap kontrol
rutin selama 6 bulan untuk memantau perkembangan keberhasilan
operasi dan mengetahui tanda-tanda kekambuhan.5
SIMPULANCone Beam Computed Tomography (CBCT) merupakan
pemeriksaan penunjang yang lebih baik daripada radiografi
konvensional untuk diagnosis dan menentukan rencana perawatan kasus
tumor keratosis odontogenik. Tumor yang bersifat agresif dan dapat
mengalami kekambuhan yang tinggi seperti keratosis odontogenik
dapat dilakukan pembedahan marsupialisasi, enukleasi, dan
reseksi.
REFERENSI1. Chkoura S., Chbicheb, El Wady W., 2009, Keratocystic
Odontogenic Tumor : A Case Report and Riview of The literature. The
Internet Journal of Dental Science, 6(2).2. Reichart P.A, Philipsen
H.P., Sciubba J.J., 2006, The New Classification of Head and Neck
Tumours (WHO) Any Changes, Oral Oncol, 42: 757-758.3. De Vos, et
al., 2009, Cone Beam Computerized Tomography (CBCT) Imaging of The
Oral and Maxillofacial Region: A Systematic Review of The
Literature. Journal Oral Maxillo Facial Surgery, 38: 609-625.4.
Hatcher D.C., 2010, Operational Principles for Cone Beam Computed
Tomography, JADA, 141 (10S): 3S-6S.5. El-Hajj G., Anneroth G.,
1996, Odontogenic Keratocysts A retrospective Clinical and
Histologic Study. International Journal Oral Maxillo Facial
Surgery, 25: 124-1296. Myoung H., Hong S.P., Hong S.D., et al.,
2001, Odontogenic Keratocyst : Review of 256 Cases For Recurrence
and Clinicopathologic Parameters, Oral Surgery Medicine Radiology
and Endodontic, 91 : 328-333.7. Madras J., Lapointe H., 2008.,
Keratocystic Odonteogenic Tumour: Reclassification of The
Odontogenic Keratocyst from Cyst to Tumour, JADA, 74 (2).8.
Patricia G.A, Akio T., Yuka O., Dai Y., 2008, Keratocystic
Odontogenic Tumour: A restropective Study od 183 Cases, Journal of
Oral Science, 50 (2): 205-2129. Ruth Mieke S.M.A., 2013, Selamoteri
Radiografi Dasar, Sagung Seto, Jakarta.