Top Banner
SEMANGAT ILMUAN MUSLIM DALAM PENGEMBANGAN INSTITUSI PENDIDIKAN MADRASAH NIZHAMIYAH DAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA DINASTI ABBASIYAH Tesis Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Pendidikan (M. Pd.) Oleh: Jaenal Mutaqin 21170110000002 PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020
182

21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

Jan 16, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

SEMANGAT ILMUAN MUSLIM DALAM PENGEMBANGAN

INSTITUSI PENDIDIKAN MADRASAH NIZHAMIYAH

DAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA

DINASTI ABBASIYAH

Tesis

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Persyaratan

Memperoleh Gelar Magister Pendidikan (M. Pd.)

Oleh:

Jaenal Mutaqin

21170110000002

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

Page 2: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf
Page 3: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf
Page 4: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf
Page 5: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

i

Page 6: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

ii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

H h dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis di bawah ص

D de dengan garis di bawah ض

T te dengan garis dibawah ط

Z zet dengan garis bawah ظ

Page 7: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

iii

koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

ھـ H Ha

Apostrof ` ء

Y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia terdiri dari

vokal tunggal vokal rangkap. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih

aksaranya adalah:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـــ A Fathah

ـــ I Kasrah

ـــ U Dammah

Page 8: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

iv

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

يـ ــ Ai a dan i

وـ ــ Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اــ Â a dengan topi di atas

يــ Î i dengan topi di atas

وــ Û u dengan topi di atas

4. Kata SandangKata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf

kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ـ ــ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-

darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

6. Ta MarbûtahBerkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/

(lihat contoh 3).

Page 9: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

v

No Kata Arab Alih Aksara

طريقة 1 Tarîqah

اجلامعة اإلسالمية 2 al-jâmî‟ah al-islâmiyyah

وحدة الوجود 3 wahdat al-wujûd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.

Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital

tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.

Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-

Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal

dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd alSamad

al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis

secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat

dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

ذذىب األستا dzahaba al-ustâdzu

ثبت األجر tsabata al-ajru

al-harakah al-„asriyyah احلركة العصرية

أشهد أن الإلو اال اهلل asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

موالن ملك الصاحل Maulânâ Malik al-Sâlih

Page 10: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

vi

يؤثركم اهلل yu‟atstsirukum Allâh

ادلظاىر العقلية al-mazâhir al-„aqliyyah

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama

orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.

Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan

Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân

Page 11: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

vii

ABSTRAK

Tesis atas nama Jaenal Mutaqin, NIM: 21170110000002 yang berjudul

“Semangat Ilmuwan Muslim dalam Pengembangan Institusi Pendidikan

Madrasah Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah”

Penelitian ini untuk menganalisis Semangat Ilmuan Muslim dalam

Pengembangan Institusi Pendidikan Madrasah Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan pada

Masa Dinasti Abbasiyah, bertujuan untuk mengetahui pertama, menganalisis tentang

bentuk pendidikan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Kedua, untuk

menganalisis apa saja faktor yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan lembaga

pendidikan Islam pada masa itu. Ketiga, menelaah hubungan pendidikan yang

berkembang pada masa Bani Abbasiyah dan hubungannya dengan perkembangan ilmu

pengetahuan. Dalam penelitian ini menggunakan metode dengan menganalisis ruang

lingkup ilmu sejarah, yang selanjutnya disebut metode sejarah. Karena penelitian ini

berupaya untuk mengkontruksi sejarah perkembangan lembaga pendidikan dan ilmu

pengetahuan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yang berkembang pada kurun

waktu tahun 750-1258 M, sebab itulah penelitian ini akan menggunakan metode sejarah.

Sebuah metode yang dibingkai dengan seperangkat aturan atau prinsip-prinsip dasar

yang sistematis yang digunakan dalam proses pengumpulan data, proses memahami dan

menafsirkan serta menyajikannya dalam bentuk sebuah tulisan sejarah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perkembangan Lembaga Pendidikan dan

Ilmu Pengetahuan pada perkembangannya beriringan kala Dinasti Abbasiyah berkuasa.

Hal tersebut dapat dimengerti ditinjau dari berkembangnya lembaga pendidikan seperti

madrasah Bait al-Hikmah dan Nizhamiyah kemudian melahirkan produk-produk ilmiah

dan gerakan penerjemahan diantaranya; Persia, Sanskerta, Suriah, khususnya yang

berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab menyebabkan tumbuh suburnya gerakan

intelektualitas Islam yang mengilhami lahirnya Ilmuwan-Ilmuwan terkemuka.

Pemerintahan Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya masa kejayaannya ketika

pemerintahan berada di bawah kekuasaan khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan

penerusnya yakni Al-Ma‟mun (813-833 M). Kondisi kekhalifahan Abbasiyah kala itu

dimana masyarakat terjamin kesejahteraan hidupnya, kesehatannya terjamin sebab

rumah sakit berdiri dengan fasilitas memadai dan dokter-dokter yang kompeten dalam

keIlmuwannya, begitu pula pendidikan berkembang dengan pesat namun dinamis

disokong oleh negara secara penuh, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat,

kesusastraan menjadi budaya masyarakat, sehingga zaman Dinasti Abbasiyah disebut

era keemasan zaman Islam klasik.

Kata Kunci: Ilmuan Muslim, Lembaga Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Dinasti

Abbasiyah

Page 12: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

viii

ABSTRACT

Jaenal Mutaqin, NIM: 21170110000002. The Spirit of Muslim Scientists in the

Development of Educational Madrasah Nizhamiyah and Scientific Institutions in

the Abbasid Dynasty.

The objective of this study is to analyze the Spirit of Muslim Scientists in the

Development of Educational Madrasah Nizhamiyah and Scientific Institutions in the

Abbasid Dynasty. Those analysis are; firstly, to analyze the form of education during the

reign of the Abbasids. Secondly, to analyze the factors were driving the growth and the

development of Islamic education institutions at that time. Thirdly, to examine the

relationship between the education in the Abbasids and its relationship with the

development of science. The method used in this study was analysis of the scope of

historical science, namely as the historical method since the study constructed the

history of the development of educational and scientific institutions in the reign of the

Abbasids in the period 750-1258 AD. A systematic rules or principles method used in

the process of collecting data, the process of understanding, interpreting and presenting

it in the form of a historical writing.

The results showed that the development of the Institute of Education and

Science simultaneously got along with the reign of the Abbasids. This can be analyzed

in terms of the development of educational institutions such as the Bait al-Hikmah and

Nizhamiyah madrassas as pioneered the scientific products and the translation

movement in several languages; Persia, Sanskrit, Syria, especially from Greek into

Arabic that led many notable scientists appeared. The Abbasid dynasty reached its peak

when the government was under the authority of the caliph Harun Al-Rashid (786-809

AD) and his successor, Al-Ma'mmun (813-833 AD). The best condition of the Abbasid

Caliphate at that time when the government guaranteed the society welfare, the

numerous hospitals built not only with adequate facilities but also professional doctors,

the education developed significantly and got full support from the government, the

science had expeditious progress, the literature was a cultural community, so that the

Abbasid Dynasty was called the golden era of the classical Islamic era.

Keywords: Muslim Scientists, Educational Institutions, Abbasid Dynasty

Page 13: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

ix

ملخصزين المتقين

07771272222220بعنوان

والعلمية خالل عهد الساللة العباسية" نظاميو مدرسةيمية"روح العلماء ادلسلمني يف تطوير ادلؤسسات التعلنظاميو مدرسةهتدف ىذه الدراسة لتحليل الروح اإلسالمية للعلم يف تطوير ادلؤسسات التعليمية

والعلمية خالل الساللة العباسية، إىل معرفة أوال، وحتليل شكل التعليم يف عهد العباسيني. ثانيا: حتليل العوامل ز منو وتطور ادلؤسسات التعليمية اإلسالمية يف ذلك الوقت. ثالثا، دراسة العالقة التبوية اليت تتطور يف اليت تعز

زمن العباسيني وعالقتها بتطور العلم. يف ىذه الدراسة باستخدام أساليب من خالل حتليل نطاق علم التاريخ، التعاقد مع تاريخ تطور ادلؤسسات والعلوم وفيما يلي ما يسمى طريقة التاريخ. وألن ىذا البحث يسعى إىل

م، فإن الدراسة ستستخدم 8951إىل 057التعليمية يف عهد العباسيني الذي ازدىر على مدى الفتة من األساليب التارخيية. طريقة تصاغ مبجموعة من القواعد أو ادلبادئ األساسية ادلنهجية ادلستخدمة يف عملية مجع

تفسريىا وعرضها يف شكل كتابة تارخيية.وأظهرت النتائج أن تطوير معهد التبية والعلوم البيانات وعملية فهمها و يف تطور الساللة العباسية وصل إىل السلطة. وميكن فهم ذلك من خالل تطوير ادلؤسسات التعليمية مثل مدرسة

بيت احلكمة والنيزمهية، وقد أجنبت ادلنتجاتأدت بالد فارس، السنسكريتية، سوريا، وخاصة اللغة اليونانية إىل العلمية وحركة التمجة فيما بينها.

اللغة العربية إىل منو احلركات الفكرية اإلسالمية اليت أذلمت والدة علماء بارزين. وصلت الساللة العباسية إىل -:18م( وخليفتو ادلأمون )172-017ذروة رلدىا عندما كانت احلكومة حتت سلطة اخلليفة الراشد )

(. حالة الكاخاليف العباسية اليت أكد فيها اجملتمع رفاىية حياتو، الصحة مضمونة ألن ادلستشفى يقف م::1بتسهيالت كافية وأطباء أكفاء يف علمو، فضال عن أن التعليم يتطور بسرعة ولكن ديناميكيا بدعم الدولة

الساللة العباسية العصر الذىيب بالكامل، فالعلم يتقدم بسرعة، واألدب يف ثقافة اجملتمع، حىت يسمى زمن لإلسالم الكالسيكي.

الكلمات الرئيسية: العلماء المسلمون، المؤسسات التعليمية، العلوم، الساللة العباسية

Page 14: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

x

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan ni‟mat,

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam

penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW., beserta keluarganya,

para sahabat, dan kepada kita semua yang mengharapkan safaatnya di hari kiamat nanti.

Alhamdulillah penulis berhasil menyelesaikan Tesis yang berjudul “Semangat

Ilmuan Muslim dalam Pengembangan Institusi Pendidikan Madrasah Nizhamiyah

dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah”. Semoga Tesis ini menjadi

salah satu sumbangsih penulis dalam khazanah keilmuan Pendidikan Agama Islam pada

khususnya serta ilmu pendidikan dan ilmu keislaman pada umumnya.

Pada dasarnya dalam proses penulisan tesis ini, penulis mengalami berbagai

kesulitan, akan tetapi dengan adanya bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak

akhirnya tesis ini dapat selesai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis perlu

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya terutama

kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Sururin, M.Ag. selaku Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

selalu memberikan motivasi arahan dalam menyelesaikan penulisan Tesis untuk

mahasiswa/i khususnya dalam menyelesaikan program Magister.

3. Dr. H. Sapiuddin Shidiq, M.Ag. Ketua Prodi Magister Pendidikan Agama Islam

yang senantiasa memberikan arahan dan motivasi agar para mahasiswa MPAI

menyelesaikan Tesis dengan baik dan tepat waktu.

4. Dr. Zaimudin, M.A. selaku pembimbing tesis, yang telah membimbing,

memberikan saran, motivasi, nasihat dan arahan serta meluangkan waktu, tenaga

dan pemikiran disela-sela kesibukannya dalam penyusunan tesis ini.

5. Direktur dan Wadir Madrasah Pembangunan, kepala dan waka. MTs Pembangunan

UIN Jakarta beserta seluruh guru dan karyawan yang berpartisipasi dan

memberikan kontribusinya.

6. Ketua Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta dan para pengurus yang lainnya yang

berpartisipasi dan memberikan kontribusinya.

7. Pimpinan dan staf Administrasi Perpustakaan Utama, Perpustakaan FIT&K dan

perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk meminjamkan buku-buku yang

berhubungan dengan tesis ini.

Page 15: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

xi

8. Ibunda (Usiah) dan ayahanda (alm. Moch. Dju‟I Abdurrahman) dan ibu mertua dan

keluarga besar Abah tercinta yang telah mensupport kuliah, memberikan do‟a,

limpahan kasih sayang, motivasi dan saran baik secara moril maupun materiil

sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan kuliah ini. Syukron

jazakumullah khairan katsir atas perjuangan ema dan apa tercinta, ananda tidak

mungkin bisa membalasnya, semoga Allah SWT memberikan balasan yang

setimpal atas semua yang telah diberikan oleh Ema dan Apa untuk ananda.

9. Kakak-kakakku tercinta (Drs. Sihabuddin, Drs. Hilmuddin, Hamdan, Nasyaroh,

Solihah, Ela dan Ade) serta Keponakanku-keponakanku, saudara dan saudariku,

yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Syukron jaza kumullah khairan katsir.

10. Sahabat-sahabatku di MP UIN jakarta Syukron jaza kumullah khairan katsir.

Semoga kita tetap bersama dan yakinkan bahwa usaha kita akan tercapai.

11. Isteriku tercinta Hj. Raudatul Jannah dan anak-anaku (Adhwa dan Zafran) yang

selalu memberikan motivasi, perhatian, dan nasehatnya yang tak pernah usang

ditelan waktu dari sejak kuliah hingga selesainya pembuatan tesis ini, mudah-

mudahan motivasi dan perhatiannya tidak cukup sampai disini.

12. Kanda-kanda dan teman-temanku di Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) dan

HMI tercinta.

13. Sahabat-sahabatku di MPAI, terima kasih atas segala bantuan, informasi, kerja

sama, dan kekeluargaannya semoga kita tetap bersama dan selalu menjaga

silaturrahim sampai akhir hayat.

14. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, atas segala bantuan dan

doanya untuk penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis serahkan semuanya kepada Allah SWT, Semoga segala perhatian,

partisifasi, motivasi semuanya dibalas oleh Allah SWT sebagai amal kebaikan. Mudah-

mudahan tesis ini bermanfaat dan sekaligus dapat menambah khazanah ilmu

pengetahuan dan wawasan kepada kita semua. Amiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, Agustus 2020

Penulis

Page 16: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

xii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KARYA SENDIRI ...................................................................... ii PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ............................................................................................. x

DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Kajian Kepustakaan .............................................................................. 5

C. Permasalahan ........................................................................................ 5

1. Identifikasi Masalah ......................................................................... 5

2. Pembatasan Masalah ........................................................................ 5

3. Perumusan Masalah ......................................................................... 5

D. Metodologi Penelitian ........................................................................... 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8

F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 9

BAB II Kajian Teori ............................................................................................... 11

A. Sejarah Sosial Politik Bani Abbasiyah .................................................. 11

1. Konsep Ilmu Sejarah ........................................................................ 11

2. Sejarah Kemunculan Dinasti Bani Abbasiyah .................................. 15

3. Kondisi Sosial Bani Abbasiyah ........................................................ 19

4. Politik dan Militer ............................................................................ 22

B. Kemunduran Dinasti Abbasiyah ........................................................... 25

C. Ilmuan Muslim Pada Masa Bani Abbasiyah ......................................... 31

D. Konsep Lembaga Pendidikan ................................................................ 34

E. Lembaga Pendidikan Pada Masa Bani Abbasiyah ................................ 37

F. Ilmu Pengetahuan dan Kemajuan Peradaban Dinasti Abbasiyah ......... 40

G. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan ............................................ 42

H. Gerakan Penerjemahan di Era Abbasiyah ............................................. 43

I. Kemajuan dalam Bidang Agama ........................................................... 45

J. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi .............................. 46

K. Perkembangan Politik, Ekonomi dan Administrasi ............................... 47

BAB III Faktor Pendorong Pertumbuhan dan Perkembangan

Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Pemerintahan

Bani Abbasiyah ......................................................................................... 49

A. Kilas Balik Sejarah Kekuasaan Bani Abbasiyah ................................... 49

B. Faktor Politik Politik yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan

Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah ....................... 59

C. Faktor Ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan

lembaga pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah ......................... 62

D. Faktor Sosial Budaya yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan

lembaga pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah ......................... 64

Page 17: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

xiii

BAB IV Bait al-Hikmah dan Madrasah Nizhamiyah Sebagai Manifestasi Semangat

Keilmuan Ilmuan Muslim Pada Masa Dinasti Abbasiyah .................... 69

A. Bait al-Hikmah, Institusi Pendidikan yang Mewakili Semangat Keilmuan

Kaum Muslim pada Masa Dinasti Abbasiyah ....................................... 69

1. Kegiatan Intelektual Islam di Bait Al-Hikmah ................................. 75

2. Aktivitas Bait Al-Hikmah dan Ilmuan-ilmuan Muslim .................... 76

B. Transformasi Institusi Pendidikan pada Masa Pemerintahan Bani

Abbasiyah ............................................................................................. 84

C. Madrasah Nizhamiyah Merupakan Eksistensi Pendidikan pada Masa

Pemerintahan Bani Abbasiyah .............................................................. 89

a. Sejarah singkat Bani Saljuk ............................................................... 90

b. Perkembangan Pendidikan dan Ilmu Ketika Bani Saljuk Berkuasa ... 93

c. Sejarah Madrasah Nizhamiyah .......................................................... 94

d. Model dan Kurikulum Madrasah Nizhamiyah ................................... 97

e. Madrasah Nizamiyah dan Perkembangan Intelektual Islam .............. 100

f. Tokoh-tokoh Intelektual Muslim dan Guru yang Membesarkan

Madrasah Nizamiyah ........................................................................ 102

BAB V Hubungan Pendidikan yang Berkembang Pada Masa

Pemerintahan Bani Abbasiyah Terhadap Perkembangan

Ilmu Pengetahuan ....................................................................................... 111

A. Gambaran Umum Hubungan Perkembangan Pendidikan dan Ilmu

Pengetahuan Pada Masa Bani Abbasiyah .............................................. 111

B. Faktor Kepemimpinan Politik Dinasti Abbasiyah dalam Pengembangan

Ilmu Pengetahuan.................................................................................. 114

C. Perkembangan Ilmu dan Ilmuan-Ilmuan Terkemuka Pada Masa

Pemerintahan Bani Abbasiyah .............................................................. 116

1. Ilmu Tafsir ....................................................................................... 116

2. Ilmu Hadits ...................................................................................... 119

3. Ilmu fiqih ......................................................................................... 122

4. Ilmu Sosial/Sosiologi ....................................................................... 124

5. Matematika ...................................................................................... 129

6. Kedokteran ....................................................................................... 131

7. Filsafat Islam ................................................................................... 133

BAB VI Kesimpulan, Implikasi dan Saran ........................................................... 137

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 147

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah ...................................................... 161

2. Silsilah Keluarga Dinasti Bani Abbasiyah ........................................... 161

3. Gambar Istana Dinasti Abbasiyah ......................................................... 162

4. Gambar Baitul Hikmah ......................................................................... 163

5. Gambar Majlis Munazarah .................................................................... 163

6. Gambar Madrasah Nizhamiyah ............................................................. 164

Riwayat Hidup Penulis ............................................................................... 165

Page 18: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dari awal kemunuculannya agama Islam di Makkah telah bertumbuh

konsep pengajaran dan pendidikan di dalam agama Islam, adapun pendidikan

dan pengajaran tersebut akan terus mengalami perkembangan dan pertumbuhan

sesuai dengan konteks masyarakatnya, dimana Islam sebagai sebuah ajaran

telah berkontribusi menyumbangkan konsep tersendiri terhadap perkembangan

ilmu dan penyebarannya bagi umat muslim, begitu pula Islam sebagai agama

tidak hanya mengorientasikan ajarannya dalam kehidupan ritual belaka, akan

tetapi mengorientasikan pula pada berbagai bentuk pengajaran, bimbingan,

serta memberikan rambu-rambu berupa aturan ke segala aspek kehidupan dan

peradaban umat manusia termasuk dalam bidang pendidikan dan lembaga

pendidikan itu sendiri.

Dalam hal ini Islam sebagai agama yang memiliki kebenaran universal

berhasil membuktikan dirinya membawa perubahan yang signifikan terhadap

kemajuan peradaban khususnya masyarakat Arab dan secara umum pada

seluruh pemeluknya. Para pemeluk agama Islam berhasil mendirikan hingga

membentuk sebuah kerajaan besar yang dikenal sebagai Abbasiyah, adapun

wilayahnya mencakup jazirah Arabia, sebagian benua Afrika, Asia pun

dikuasai, begitu pula dengan Eropa bermula pada abad ke-7 hingga pada abad

12 M (Masehi)—merupakan penguasaan yang relatif panjang. Kemunculan

Dinasti Abbasiyah dalam konteks kejayaan umat Muslim dimana Islam sebagai

pengusung kejayaan tersebut. Bermula dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah

itulah hingga terlahirnya konsep pendidikan yang mapan dan tumbuhnya

perkembangan ilmu sehingga para pengajar muslim berkembang dengan pesat

dan tersebar di seluruh Negara khusunya yang berhaluan Islam. Hal inilah yang

membidangi terlahirnya sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah yang tersebar

di seluruh negeri berpenghuni pemeluk Islam baik yang tersebar di kota

maupun di pelosok desa-desa. Anak-anak maupun para pemuda, meninggalkan

kampung halamannya menuju pusat-pusat pendidikan untuk belajar dan

bersekolah untuk menuntut ilmu pengetahuan.

Puncak kejayaan peradaban Islam terjadi pada masa Daulah Abbasiyah.

Saat itu, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Mulanya, kegiatan

menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing kedalam bahasa Arab. Seperti

bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Selain itu didirikan pula pusat

pengmbangan ilmu dan perpustakaan, sehingga semakin jelas perkembangan

yang terjadi. Bahkan pada masa itu pula terbentuk madzhab ilmu pengetahuan

dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir para ulama. Maka, masa

itu, Dinasti Abbasiyah menjadi Dinasti yang paling berhasil dalam

mengembangkan peradaban Islam.

Kerajaan atau kekhalifahan Abbasiyah dalam terminologi Bahasa Arab:

ةیالعباس اخلالفة alkhilāfah al-‗abbasiyyah) yang kemudian dikenal sebagai Bani

Abbasiyah (Arab: ونیالعباس al‗abbāsīyyūn) merupakan Khalifahan yang kemudian

Page 19: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

2

berkembang di wilayah Baghdad yang sekarang telah menjadi daerah ibu kota

negara Irak. Kekhalifahan Abbasiyah mengalami pererkembangan yang begitu

mengagumkan sehingga menjadikan berhasil, Islam sebagai agama yang

menjunjung tinggi pengetahuan dengan cara melakukan kegiatan keilmuan

berupa menerjemahkan-penerjemahan serta melanjutkan tradisi ke-Ilmuwan

yang diwarisi bangsa Yunani dan bangsa Persia yang mahsyur karena

perkembangan pemikirannya. Seiring dengan perkembangan sejarah dimana

Dinasti Abbasiyah sebagai pelanjut atau pengganti dinasti sebelumnya yaitu

Dinasti Umayyah. Maka dalam hal ini Dinasti Abbasiyah merupakan

kekhalifahan terbesar sekaligus terpanjang dalam catatan perkembangan sejarah

Islam di era Klasik.

Dinasti Abbasiyah membentuk kebesaran masyarakat Muslim selama

nyaris empat setengah abad lamanya telah berhasil mengubah image bangsa

Arab yang dikenal suka bertikai dan berperang satu sama lain menjadi bangsa

Arab yang berperadaban maju, humanis dan menjunjung tinggi kebenaran ilmu.

Pada masa Dinasti Abbasiyah berkuasa dan pada kurun waktu tersebut, dimana

peradaban Islam telah berjasa dalam hal mempersiapkan sendi-sendi kemajuan

bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di

zaman modern.

Dinasti Abbasiyah merupakan bagian dari bukti kekuasaan Islam telah

berhasil merekam sejarah umat Islam pada masa awal berdiri dinasti ini sampai

masa keruntuhannya yang memang memotret perkembangan ilmu pengetahuan

dan lembaga pendidikan. Adapun ketika dibidik dari konteks perkembangan

dakwah Islam pada zaman Abbasiyah merupakan kelanjutan dari proses

dakwah Islam yang telah dilakukan Dinasti Umayyah, akan tetapi jika dipotret

dari persepektif politik, dimana Dinasti Abbasiyah dapat dikatan bukan

merupakan perpanjangan tangan kepentingan politik dari dinasti Umayyah.

Kendatipun begitu dimana Dinasti Abbasiyah boleh dikatakan sebagai

kelanjutan dari Dinasti Umayyah, kendati pada perkembangannya pada tiap

periodenya memiliki kahas atau karakteristik yang menjadi pembeda di antara

pergantian pemerintahan di dalam tubuh Islam.

Dalam buku karya A. Syalabi, mengatakan, pada abad ketujuah terjadi

sebuah pemberontakan di seluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat,

bahkan pula dikatakan sebagai puncaknya. Yakni, pemberontakan atau perang

antara pasukan Abul Abbas dengan pasukan Marwan Ibn Muhammad (Dinasti

Bani Umayyah). Akhirnya peperangan ini dimenangkan oleh Abul Abbas,

sehingga berakhirlah masa Dinasti Umayyah bersamaan dengan itu maka

bangkitlah kekuasaan Bani Abbasiyah ( A. Syalabi, 1995: 175).

Dengan bangkitnya Dinasti Abbasiyah dan kemajuan dalam berbagai

bidang ditunjukkan, seperti kemajuan dalam bidang pendidikan, ekonomi,

politik dan system pemerintahan.

Hal yang cukup menarik menjadi sorotan; ternyata peralihan kekuasaan

dari Umayyah kepada Abbasiyah tidaklah semata terbatas pada pergantian

kepemimpinan namun jauh dari itu mengubah wajah dunia Islam dalam refleksi

kegiatan khusunya dalam aktifitas intelektual dan ilmiah. Adapun

pengembangan ilmu pengetahuan ketika zaman Dinasti Abbasiyah boleh

Page 20: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

3

dikatakan sebagai perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan wawasan dan

disiplin serta tradisi keilmuan dan intelektualitas. Lebih lanjut sumbangsih

Abbasiyah terhadap perkembangan ilmu hal itu teramati dari upaya Harun al-

Rasyid dan putranya al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama

dilengkapi pusat penopang bintang, perpustakaan besar dan dilengkapi pula

dengan lembaga untuk penerjemahan merupakan titik tolak dari perkembangan

ilmu dan lembaga pendidikan (Fadil, 2008: 155). Dalam hal ini banyak faktor

yang mempengaruhinya sehingga menyebabkan perkembangan ilmu

pengetahuan, sains dan juga filsafat yang mana ketika Bani Abbas berkuasa.

Adapun faktor-faktor pendorongnya diantaranya sebagai berikut; Pertama),

terjadinya kontak diantara Islam serta bangsa Persia yang kemudian menjalin

perkembangan dan pertumbuhan filsafat dan sains sebab cultural Persia

memiliki peran berupa pengembangan tradisi keilmuan bangsa Yunani, dalam

hal ini adalah Akademi Jundisapur serta pusat-pusat ilmiah semacam, Ctesipon,

Salonika dan Nishapur. Kedua), etos atau semangat keilmuan pemimpin

Khalifah Bani Abbas, khusunya Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun

mereka sangat mencintai sains dan filsafat serta keilmuan secara umum.

Ketiga), peran atau pengaruh keluarga Barmak sebagai guru atau pendidik

dilingkaran keluarga istana. Keluarga Barmak secara turun temurun menjadi

penasehat intelektual Khalifah. Keempat), berupa aktivitas atau kegiatan

penerjemahan literatur-literatur keilmuan Yunani kedalam literatur berbahasa

Arab yang didukung penuh kebijakan Khalifah saat itu dengan diberi upah atau

imbalan yang sangat besar pada siapa saja yang berhasil menerjemahkan atau

alih bahasa tersebut. Hal sangat menarik tidak mudah dilupakan yakni banyak

karya berupa karya sastra dari negri Persia yang tidak luput untuk

diterjemahkan kedalam Bahasa Arab, berujung pada sastra Persia yang

mengalami perkembangan pesat dan inilah cikal bakal helenisasi Islam

pemikiran filsafat yang sekaligus merupakan islamisasi pemikiran helenistik

dari dunia Yunani kedalam dunia Islam. Kelima), perkembangan peradaban

serta kebudayaan yang beragam, heterogen di wilayah Bagdad sehingga

menimbulkan sebuah interaksi yang kontinyu diantara kebudayaan yang hidup

kala itu. Kenam), perkembangan situasi politik dan sosial di Baghdad

berbentuk kosmopolit bermacam suku, etnis dan ras dilengkapi aneka kultur

masing-masing mengalami berinteraksi satu sama lain sehingga mendorong

keberadaan perpecahan masalah dengan pendekatan keilmuan dan budaya

intelektual masa itu (Fadil, 2008: 156-157). Hal inilah yang cukup menarik

untuk dikaji dalam tesis ini, pada perkembangan sejarah disinilah letak batu

pertama Islam mengemuka sebagai agama yang memberi sumbangsih

peradaban yang teramat tinggi dari sisi perjalanan sejarah intelektualitas dan

ilmu pengetahuan yang berkembang hingga saat ini.

Hal inilah Bagdad bergeliat sebagai pusat peradaban Islam bahkan dunia.

Baghdad secara alamiah merupakan hasil atau produk pergolakan, penyebaran

atau pergerakan dinamika penduduk, perubahan perkembangan ekonomi, serta

peralihan dari kebudayaan yang beberapa kebudayaan sebelum Abbasiyah

berkuasa. Baghdad berkembang dan terbentuk secara megah menjadi kota yang

kosmopolitan, dengan masyarakat yang dinasmis dan heterogen dibawah panji-

Page 21: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

4

panji imperium kebesaran Arab dalam hal ini adalah Islam. Selanjutnya, hal ini

terjadi pada Dinasti Abbasiyah yang menjadi imperium di dalamnya terdapat

kebersamaan, keterbukaan sebagai Arab yang berkebangsaan, kendati Arab

memiliki peran sebagai aktor kepemimpinnya, akan tetapi Dinasti Abbasiyah

menjalankannya atas dasar sebagai semangat kesatuan umat Islam dan yang

paling penting berupa ajaran Islam yang menjunjung tinggi atas perkembangan

ilmu pengetahuan (Zubaedi, 2012: 27). Pada periode Abbasiyah inilah puncak

kejayaan Islam khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan mengemuka

kepermukaan Islam berbaur menjadi milik bersama masyarakat dunia.

Perkembangan selanjutnya yaitu pembauran bangsa-bangsa Arab dan non-Arab

terjadi secara alamiah, menumbuhkan situasi akulturasi yang dinamis dalam

konteks pergumulan dan interaksi intelektual yang mengalami penyebaran

perluasan serta menjadi kepemilikan bersama masyarakat secara universal.

Perluasan perkembangan serta universalisme itu, disebabkan dengan dasar

kebutuhan pada pentingnya ilmu-ilmu guna menyelesaikan berbagai

permasalahan atau masalah kehidupan sosial yang berkembang pada

masyarakat Abbasiyah saat itu. Mengingat hal tersebut, sehingga penguasaan

ilmu tertentu dan intelektualitas melihat kondisi kebutuhan tersebut sehingga

sadar betapa pentingnya ilmu dan pengetahuan dalam kehidupan

kemasyarakatan dalam kehidupan sosial (Qadir, 1988: 15). Dalam hal ini penerjemahan yang tidak bersumber dari Islam, diadopsi dalam pemikiran

karya-karya Muslim dan memberi kontribusi besar dalam pemikiran filsafat dan

ilmiah (Qadir, 104).

Pada abad pertengahan, peradaban Islam mulai menguat dan mendominasi.

Islam menjadi ―pusat kiblat‖ masyarakat Eropa yang mulai meniru budaya

Islam yang memiliki suatu peradaban yang maju pada masa itu. Pada masa ini,

Islam mencapai puncak masa kejayaan yang disebut sebagai ―The Golden Age

of Islam‖ atau dapat diartikan sebagai masa keemasan Islam. Masa keemasan

Islam ini terjadi pada masa kepemimpinan Bani Abbasiyah, tepatnya pada saat

kepemimpinan Harun dan anaknya Ma‘mun. Berbagai macam kemajuan terjadi

pada masa ini, seperti ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya. Hal ini

tidak terlepas dari adanya Darul Hikmah yang diketahui sebagai perpustakan

terbesar dengan ratusan ribu buku yang bersumber dari berbagai literatur dunia

yang telah dialih bahasakan (Thohir, 2004: 57). Pemberlakuan gerakan

mencintai ilmu pengetahuan melalui metode pembangunan perpustakaan besar

dan budaya belajar menjadikan masyarakat muslim pada masa itu benar-benar

dalam gulungan ombak ilmu yang melimpah. Marshall berpendapat bahwa

periode kekhalifahan pada masa Bani Abbasiyah merupakan periode

pengembangan di bidang ilmu. Proses Islamisasi tradisi merupakan aktivitas

yang melampaui sebuah integrasi ataupun perbaikan. Sehingga menghasilkan

energi kreatif yang luar biasa dari tokoh-tokoh di bidang keilmuannya masing-

masing. Terdapat berbagai pusat pendidikan dan perpustakaan besar di berbagai

wilayah, seperti di Cordova, Palermo, Nisyapur, Kairo, Baghdad, Damaskus,

dan Bukhara. Kehidupan kebudayaan dan politik masyarakat setempat mulai

berkembang dengan peradaban Islam sebagai alirannya, meskipun terdapat

berbagai macam suku dan agama yang berbeda (Abdurrahman, 2003: 51).

Page 22: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

5

Peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah melampaui peradaban bangsa-

bangsa yang ada di Eropa.

Supaya lebih jelasnya mengenai pembahasan ini, dimana Saya akan

mencoba memaparkan secara seksama dan detail dalam Tesis yang saya beri

judul: “Semangat Ilmuan Muslim Dalam Pengembangan Institusi

Pendidikan Madrasah Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa

Dinasti Abbasiyah”.

B. Kajian Kepustakaan

Jika diperhatikan berupa buku-buku yang membahas Sejarah Kebudayaan

Islam yang selama ini beredar di masyarakat, maka boleh dikatakan

bahwasanya Sejarah Pendidikan Islam masih belum secara maksimal mendapat

perhatian secara umum dalam katagori baik. Adapun Penelitian-penelitian

seputar sejarah perkembangan kebudayaan Islam ini lebih banyak berfokus

seputar membicarakan persoalan politik, ekonomi, budaya dan sosial

perkembangan ummat muslim. Masih sedikit penelitian yang berfokus tentang

pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan, walaupun tidaklah bisa dipungkiri

dimana kemunculan-kemunculan berupa tulisan-tulisan tentang sejarah

pendidikan Islam akhir-akhir ini mengalami kemajuan dan perkembangan

(Jamaluddin, 1983: 22).

Dapat disimak adapun penelitian-penelitian yang fokus mengkaji

perkembangan sejarah pendidikan Islam yang dilakukan dalam berbagai aspek

dan corak, dapat disimak di antaranya:

1. Mengenai penelitian yang mengkaji perkembangan sejarah pendidikan Islam

dalam berbagai sudut pandang dari mulai aspek pendidikan sepanjang

sejarah peradaban Islam, dapat diamati dari penelitian yang dilakukan

Syalabi. Dalam hal ini Buku tersebut merupakan buku pionir atau pencetus

penelitian sejarah pendidikan Islam, diterbitkan pertama kalinya yaitu di

tahun 1954, merupakan referensi hasil kajian dan penelitian adapun

penulisnya dalam usaha untuk memperoleh gelar doktor di negara

Cambridge University di tahun 1952.

2. Berikutnya, berupa disertasi yang ditulis Abdul Jabar Majid berjudul‖

Perkembangan Institusi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa

Pemerintahan Bani Buwaihi‖ ditulis pada tahun 2008 silam. Disertasi

tersebut berisikan pembahasan tentang sejarah perkembangan pendidikan

dan ilmu pengetahuan ketika masa Dinasti Buwaihi. Menurutnya;

bahwasanya terjadi kemajuan-kemajuan signifikan dihasilkan dari

pamerintahan Dinasti Buwaihi itu.

C. Permasalahan

Adapun permasalah yang diambil dalam tesis ini dapat disimak sebagai serikut:

a. Adapun Identifikasi Masalah pada Penelitian ini yang berjudul “Semangat

Ilmuan Muslim Dalam Pengembangan Institusi Pendidikan Madrasah

Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah”. hal

ini bermula rasa penasaran dan berkeinginan untuk mendapatkan

pengetahuan berupa gambaran Semangat Ilmuwan Muslim dalam

Page 23: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

6

Pengembangan Institusi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa

Dinasti Abbasiyah dimana pada masa itu dianggap merupakan masa

kemajuan keemasan umat Islam dalam konteks ilmu pengetahuan.

Sebetulnya, banyak faktor penyebab yang dapat mempengaruhi dalam hal

kemajuan dan perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan tersebut.

Bisa berasal dari faktor-faktor pertumbuhan dan perkembangan ilmu pada

masa-masa sebelumnya, bisa juga dalam konteks ini dimana penerjemahan

atau dalam rangka usaha-usaha untuk memajukan ilmu yang dilakukan para

Ilmuwan-ilmuan Muslim. Selain dari itu yang mana khalifah telah

memberikan berupa motivasi yang dapat diandalkan baik dalam bentuk

imbalan atau gaji yang besar ataupun dukungan khalifah berupa fasilitas-

fasilitas atau tempat penelitian berupa majlis-mejlis ilmu dan berupa

perpustakaan yang besar dan megah. Dalam hal ini artinya khalifah telah

memberikan ruang kebebasan pada para Ilmuwan guna menyampaikan

risalah berbagai pengetahuan dan pandangan-pandangannya dari sisi

berbagai macam masalah ilmu yang berkembang pada zaman itu. Karenanya

tentu saja hal inilah yang memberikan kontribusi berupa kemajuan terhadap

perkembangan dalam dunia pendidikan dan dunia ilmu pengetahuan kala

itu.

b. Adapun Pembatasan Masalah dalam penelitian ini. Bahwasanya penelitian

ini sebatas hanya untuk ditujukan mengkaji menelaah berbagai

perkembangan institusi pendidikan yang ada pada masa Dinasti Abbasiyah

berkuasa dan tentunya akan mengkaji perihal bentuk-bentuk kontribusi yang

telah dilakukan oleh institusi pendidikan madrasah Nizhamiyah pada masa

Dinasti Abbasiyah terhadap pengembangan lembaga pendidikan

perkembangan di bidang ilmu pengetahuan kala itu. Dari sinilah ada

kemungkinan dapat menjelaskan atau menggambarkan hubungan lembaga-

lembaga pendidikan dalam konteks pengembangan dinamika sosial

kemasyarakatan khusunya didalam bidang kemajuan dan perkembangan

ilmu pengetahuan dan tradisi intelektual muslim. Selain dari hal itu pula

akan dikemukakan sumbangsih peran dan pemikiran para khalifah atau

penguasa serta para Ilmuwan terkemuka kala itu dalam pengembangan

berupa lembaga pendidikan serta ilmu pengetahuan, ditarik suatu simpulan

awal hipotesa bahwasanya peranan dan pemikiran para khilafah dan ilmuan

tersebut cenderung mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan

lembaga-lembaga pendidikan pada zaman tersebut, atas karenanya dapat

dikatakan peran dan pemikiran tersebut akan memperoleh tempat istimewa

di dalam masyarakat baik di dunia Barat maupun Timur.

c. Adapun Perumusan Masalah dalam penelitian ini. Tentunya sesuai dengan

identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, dalam hal ini masalah

yang akan diteliti yakni apakah lembaga pendidika Islam yang berkembang

pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dan faktor-faktor apa saja yang

kemudian mendorong kemajuan perkembangan berupa ilmu pengetahuan

dan lembaga pendidikan pada kala itu, dan sejauhmana peran lembaga-

lembaga tersebut dalam mendorong perkembangan dan kemajuan ilmu

Page 24: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

7

pengetahuan masa itu. Untuk lebih jelasnya maka dirumuskan dalam bentuk

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagimana terbentuknya dan model institusi pendidikan Madrasah

Nizhamiyah dan Bait al-Hikmah?

2. Apa saja yang menjadi faktor-faktor pendorong perkembangan institusi

pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa tersebut?

3. Bagaimana hubungan institusi pendidikan Islam pada masa itu terhadap

perkembangan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan?

4. Sejauhmana semangat Ilmuwan muslim dalam pengembangan institusi

pendidikan madrasah Nizhamiyah dan Ilmu pengetahuan pada masa

Dinasti Abbasiyah?

D. Metodologi Penelitian

Secara teoritis Metode merupakan serangkaian cara, tahapan, langkah-

langkah dalam proses dan berupa kerangka dasar yang dapat dijadikan sebagai

pedoman untuk menangani topik-topik permasalahan dalam suatu penelitian

tertentu (Basri MS, 2006: 39). Intinya metode dalam penelitian ilmiah dapat

dikatagorikan kedalam empat katagori atau kelompok, yaitu; pertama metode

filosofis, kedua matode historis, ketiga metode deskriptif, dan keempat metode

eksperimen demikianlah metode-metode dalam empat kelompok besar tersebut.

Adalah metode deskriptif dan eksperimen yang banyak mengkaji dalam hal ini

fenomena sosial serta gejala alam baik terjadi pada masa kini maupun yang

mungkin terjadi pada masa yang akan datang dalam hal ini bukan berbicara

mengenai fenomena yang terjadi pada masa lampau. Selanjutnya dalam metode

historis kajiannya terfokus pada persoalan berupa peristiwa yang telah terjadi

pada masa lalu menyangkut aspek pengalaman manusia sebagai pelaku sejarah.

Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai

pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya.

Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk

merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah

sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup ilmu sejarah, metode

penelitian itu disebut metode sejarah. Sebab, dalam penelitian ini berusaha

untuk menguak serta melakukan pembentukan atau mengkontruksi sejarah

kemajuan lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa pemerintahan

Bani Abbasiyah yang terjadi pada tahun 750-1258 Masehi, atas karenanya

penelitian akan memakai menggunakan metode sejarah tersebut. Yakni metode

yang mampu dibentuk dengan melakukan seperangkat prosedur aturan, prinsip-

prinsip umum sistematis digunakan dalam upaya proses dalam usaha

pengumpulan data penelitian, serta proses dalam upaya memahami atau

menafsirkan peristiwa sejarah selanjutnya akan menyajikannya dalam sutau

produk ilmiah berupa tulisan tentang sejarah.

Selanjutnya, dalam konteks penelitian sejarah atau kesejarahan dengan

memakai pendekatan sosilogis terdapat beberapa berkembang kalasifikasi

model studi yang ditujukan sebagai strategi dalam suatu usaha penulisan

sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan pengorganisasian serta

mensintesakan suatu tulisan tentang sejarah. Maka, model ini sangat berguna

Page 25: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

8

untuk pencarian serta usaha pengumpulan data bahan untuk menyusun tulisan

sejarah (Kuntowijaya, 1994:42).

Penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam model studi tematik bertujuan

untuk meneliti topik-topik khusus dari permasalahan sosial, budaya, politik,

ekonomi, dan agama dilihat dari berbagai aspek tertentu. Atas sadar itulah

penelitian ini mencoba mengkaji dari berbagaimacam aspek masalah pada masa

Bani Abbasiyah berkuasa tentunya yang memiliki ikatan dengan perkembangan

lembaga pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan kala itu, yang termaktub

kedalam masalah sosial, politik, budaya ekonomi, ataupun agama. Masalah-

masalah tersebut akan dikaji jalinan hubungannya bersama aspek

perkembangan lembaga pendidikan serta kemajuan ilmu pengetahuan pada

masa Dinasti Abbasiyah.

Guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam penelitian ini, maka dalam

hal ini peneliti akan melakukan langkah-langkah penelitian, diantaranya berikut

ini:

1. peneliti menghimpun data dari tulisan para tokoh sejarah tentang

perkembangan Bani Abbasiyah dan berbagai perkmbangan lembaga

pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa itu. Terutama tulisan tokoh

sejarah yang melihat kejadian sejarah pada masa yang menjadi objek

penelitian. Sumber-sumber ini akan dijadikan sumber primer.

2. mengkritisi data yang telah terkumpul, terutama kritik intern, yakni

mengecek validitas dan akurasi data. Dalam arti apakah data yang

terdapat itu valid dan akurat atau tidak (Hariyono,2003 : 110).

Kemudian data yang telah dikritisi tersebut dapat dipastikan akurasi dan

validitasnya barulah dianggap sebagai fakta.

3. melakukan interpretasi atau analisis dengan membuat berbagai sintesis

dan penafsiran terhadap sejumlah fakta yang diperoleh dari berbagai

sumber. Pada langkah akhir ini, fakta tersebut bersamaan dengan

berbagai teori, sintesis dan interpretasi itu dituliskan sebagai hasil

penelitian.

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apa dan bagimana bentuk Madrasah Nizhamiyah dan

Bait al-Hikmah serta model institusi pendidikan Islam yang berkembang

pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah?

2. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi faktor-faktor pendorong

perkembangan institusi pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa

tersebut?

3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan institusi pendidikan Islam pada

masa itu terhadap perkembangan sosial dan perkembangan ilmu

pengetahuan?

4. Untuk mengetahui sejauhmana semangat Ilmuwan muslim dalam

pengembangan institusi pendidikan dan Ilmu pengetahuan pada masa

Dinasti Abbasiyah?

Sedangkan manfaat penelitian ini paling tidak dapat:

Page 26: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

9

1. Memberikan informasi tentang pendidikan yang pernah muncul pada masa

pemerintahan Bani Abbasiyah, baik yang dipraktekkan oleh masyarakat, dan

didukung oleh pemerintah ataupun yang dikembangkan oleh para pemikir

dan Ilmuwan terkemuka pada masa tersebut.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan saham kepada pembinaan

konsep pendidikan Islam dan usaha yang perlu ditempuh dalam

pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping juga memberikan motivasi

bagi diadakannya pembahasan-pembahasan lebih lanjut tentang pendidikan

Islam.

F. Sistimatika Penulisan

Sejalan dengan batasan dan perumusan masalah serta tujuan yang hendak

dicapai, maka sistimatika pembahasan tesis ini diawali dengan Bab I

pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, kajian kepustakaan,

permasalahan yang akan dikaji dan metodologi yang akan digunakan.

Bab II Ilmuwan muslim pada masa Bani Abbasiyah dan sejarah sosial

politik Bani Abbasiyah yang dimulai dengan kajian terhadap asal usul, proses

kemunculan kekuasaan dan kemunduran atau kejatuhan pemerintahan dan

diteruskan dengan kajian terhadap kehidupan sosial, politik dan ekonomi.

Bab III tentang faktor pendorong pertumbuhan pertumbuhan dan

perkembangan lembaga pendidikan Islam pada masa pemerintahan Bani

Abbasiyah yang mengkaji kilas balik sejarah kekuasaan masa pemerintahan

Bani Abbasiyah, faktor politik yang mendorong pertumbuhan dan

perkembangan lembaga pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah, faktor

ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan lembaga

pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah, dan faktor sosial budaya yang

mendorong pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam pada

masa Bani Abbasiyah.

Bab IV tentang Bait al-Hikmah dan Madrasah Nizhamiyah sebagai

manifestasi semangat keilmuan muslim pada masa Dinasti Abbasiyah. Bab ini

menguraikan tentang perhatian dan usaha yang dilakukan oleh pemerintahan

Bani Abbasiyah untuk mendorong pengembangan Bait al-Hikmah dan

Madrasah Nizhamiyah tersebut.

Sedangkan Bab V tentang hubungan pendidikan yang berkembang pada

masa pemerintahan Bani Abbasiyah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Dan Bab terakhir memuat kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh penelitian

ini dan implikasi kesimpulan tersebut bagi usaha pengembangan lembaga

pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Page 27: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

10

Page 28: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

11

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pemerintahan Bani Abbasiyah dalam Sejarah Sosial dan Politik

1. Konsep Ilmu Sejarah

Asal kata sejarah terdapat berbagai macam versi yang berusaha menariknya

ke dalam bahasa asalnya. Ada yang menduga berasal dari bahasa Arab yaitu

shajarat yang berarti pohon yang bermakna konotatif sejarah layaknya pohon

yang tumbuh, berkembang, berbuah, layu dan akhirnya mati. Di samping itu

yang pasti kata sejarah dalam bahasa Inggris disebut history, yang asal

mulanya dari bahasa Yunani historia yang berarti ilmu (Tambaruka, 1-2).

Lebih tegasnya, kata sejarah berasal dari bahasa Arab (شجرة : šajaratun) yang

artinya pohon. Dalam bahasa Arab, kata sejarah disebut tarikh (تاريخ ).

Adapun kata tarikh dalambahasa Indonesia artinya waktu. Kata Sejarah lebih

dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu. Dalam bahasa

Inggris berasal dari history, yakni masa lalu. Dalam bahasa Prancis historie,

bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan

bahasa Belanda dikenal gescheiedenis (Iskandar, 1996: 1040).

Lebih lanjut Ibn Khaldun, ia menyoroti menekankan kepada para pemerhati

sejarah bahwa untuk melihat kembali secara objektif, seorang sejarawan harus

bisa mengenal dengan jelas berbagai struktur kebudayaan dan sosial manusia

yang akan ditelitinya, termasuk berbagai pemahaman metodologi kearah ini.

Tanpa mengenal dan mengerti dari dekat objek yang akan dikaji berikut

metodologinya, mustahil ia bisa menjelaskan fenomena sejarah secara

objektif. Tanpa metodologi yang jelas maka, alur penjelasan secara rasional

atau rekonstruksi, sistematika-kronologis dan analisisnya akan sulit

dimengerti (Khaldun, 1986: 13). Pada umumnya dalam pencatatan sejarah

dilakukan mengacu pada data serta fakta yang terjadi pada masa lalu yang

bertujuan guna merekamnya dalam usaha pewarisan pada generasi yang akan

datang. Adapun pada perekaman hal kejadian pada masa lalu merupakan

suatu tujuan yang utama. Dari hasil perkembangan perekaman lalu akan

disebarluaskan, yang terkadang diubah menjadi sebuah buku wajib yang

dipergunakan untuk sekolah ataupun kampus, universitas, dijadikan sebagai

referensi suatu kejadian sejarah tertentu dalam konteks narasi ilmiah yang

dibahas tentunya akan memerlukan kondisi pertanggungjawaban ilmiah

secara utuh dan komprehensif. Betapa sering terlupakan bahwasanya

pencatatan atau perekaman kejadian sejarah telah mengalami proses persepsi

dari perekamnya atas karenanya mengalami pemaknaan atau interprestasi

juga. Dengan begitu diperlukan bahan referensi yang sebenarnya yang telah

mendapatkan suatu data sekunder bukan lagi dalam bentuk data primer itu.

Memang betul ada kalanya dimana data primer sangat sulit didapatkan, yang

berujung terpaksa menggunakan data-data yang ada berupa data sekunder

tersebut, sebagai salah satu sumber yang dianggap otentik dan dapat

dipertanggungjawabkan (Leinssa, dkk. 1984: 52).

Page 29: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

12

Secara tekstual dan kontekstual sejarah dapat dimaknai tiga hal, yakni; (1)

sejarah sebagai peristiwa; (2) sejarah sebagai cerita, dan; (3) sejarah sebagai

ilmu (Ismaun, 1993: 277):

1. sejarah sebagai peristiwa; adalah sesuatu yang terjadi pada masyarakat

manusia di masa lampau. Pengertian pada ‗masyarakat manusia‘ dan

‗masa lampau‘ sesuatu yang penting dalam definisi sejarah. Sebab

kejadian yang tidak memiliki hubungan dengan kehidupan masyarakat

manusia, dalam pengertian di sini, bukanlah merupakan suatu peristiwa

sejarah. Sebaliknya juga peristiwa yang terjadi pada umat manusia namun

terjadi pada sekarang, bukan pula peristiwa sejarah. Karena itu konsep

siapa yang menjadi subyek dan obyek sejarah serta konsep waktu, dua-

duanya menjadi penting. Pengertian sejarah sebagai peristiwa, sebenarnya

memiliki makna yang sangat luas dan beraneka ragam. Keluasan dan

keanekaragaman tersebut sama dengan luasnya dan kompleksitas

kehidupan manusia. Beberapa aspek kehidupan kita seperti aspek sosial,

budaya, ekonomi, pendidikan, politik, kesehatan, agama, keamanan, dan

sebagainya semuanya terjalin dalam peristiwa sejarah. Dengan demikianm

sangat wajar jika untuk memudahkan pemahaman kita tentang para ahli

sejarah mengelompokkan lagi atas beberapa tema. Pembagian sejarah

yang demikian itulah yang disebut pembagian sejarah secara tematis,

seperti: sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah perekonomian, sejarah

agama, sejarah pendidikan, sejarah kesehatan, dan sebagainya.

2. sejarah sebagai ilmu secara tegas ―History is science; no less, and no

more‖. Sejarah itu adalah ilmu, tidak kurang dan tidak lebih.

3. sejarah sebagai cerita; bahwa sejarah itu pada hakikatnya merupakan

hasil rekonstruksi sejarawan terhadap sejarah sebagai peristiwa

berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dimilikinya. Dengan demikian di

dalamnya terdapat pula penafsiran sejarawan terhadap makna suatu

peristiwa. Perlu diketahui bahwa buku-buku sejarah yang kita baca, baik

buku pelajaran di sekolah, karya ilmiah di perguruan tinggi, maupun

bukubuku sejarah lainnya, pada hakekatnya merupakan bentuk-bentuk

konkrit sejarah sebagai peristiwa (Ismaun, 1993: 280).

Pada perkembangannya dimana sejarah yang terlihat nampak di dalam

dinamika yang tumbuh di masyarakat akan timbul kepermukaan disebabkan

adanya kekuatan sejarah dan perkembangannya, baik berupa kekuatan

alamiah yang natural, misalnya; ada atau tidakan-tindakan sumber ekonomis,

perkembangan penduduk, tak jarang pula berupa kepentingan kelas, individu,

penemuan-penemuan baru teknologi, perkembangan politik dan ideologi,

kepercayaan-kepercayaan, serta pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.

Sehingga model berbentuk dinamis begitu penting menunt adanya suatu

duration, dalam kelangsungan perjalan waktu di dalam sebuah ruang, bukan

hanya semata function saja. Ihwal sejarah berupa konteks urutan, suatu

kejadian mengawali sebuah peristiwa, berupa rangkaian sebab akibat sebuah

peristiwa sejarah tertentu. Sebab itulah sejarah bukanlah sebatas hanya

menjelaskan atau mengemukakan suatu kejadian umum dari suatu ilmu yang

bercorak monothetis, akan tetapi berupa keunikan dari ilmu yang bersifat

Page 30: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

13

ideografis itu. Maka karenanya diperlukan bagi seorang sejarawan

menciptakan sendiri berupa inovasi-inovasi model yang tepat guna

menggambarkan sesuatu hal yang sebenarnya betul-betul terjadi di dalam

dinamika sejarah dan sosial yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat

tertentu (Leinssa, dkk. 198426).

Lebih lanjut menurut Azyumardi Azra (Yatim, 1999: ix-x) mengenai

konsep ilmu sejarah dalam thesis ini merupakan sekema sejarah sosial yang

dapat dimaknai menjadi tiga bagian sebagai berikut:

a. Sejarah sosial sebagai sejarah kehidupan sehari-hari (daily life). Dalam

artian ini sejarah memberi perhatian besar terhadap hal-hal 'kecil' yang

sering luput dari perhatian justeru karena sedemikian biasanya.

Kecenderungan ini dilandasi oleh sebuah asumsi bahwa hal-hal biasa dan

kecil pun bila terjadi berulang-ulang dalam waktu lama akan memberi

pengaruh besar terhadap sebuah masyarakat.

b. Sejarah sosial sebagai sejarah gerakan protes (protest movement).

Sebelumnya, gerakan protes biasa dianggap berada di luar arus utama

sejarah dan tidak mendapat perhatian yang memadai, karena gerakan

tersebut hampir selalu berarti masyarakat bawahan menentang elit politik.

Belakangan, para eksponen sejarah sosial berhasil mendemonstrasikan

betapa gerakan protes sangat signifikan dalam dinamika dan

perkembangan sebuah masyarakat.

c. Sejarah sosial yang mengambil beberapa aspek non politik secara selektif

yang dianggap faktor dominan dalam sejarah sebuah masyarakat. Dalam

pengertian ini sejarah sosial menembus batas elitis-politis sejarah

konvensional, tetapi tidak cukup detail untuk menjadi sejarah kehidupan

sehari-hari. Seorang peneliti misalnya memberikan perhatian pada aspek

intelektual, ekonomi, atau kultural, di samping politik dalam menjelaskan

sejarah suatu masyarakat

Lebih lanjut mengenai sejarah sosial; pada perkembangannya sebelum

sejarah sosial populer di kalangan ilmuan bidang Sejarah, ·dimana sejarah

Politik dalam hal ini dikenal lebih dahulu. Sejak dahulu perhatian bidang

sejarah terfokus pada konteks sejarah politik tersebut, yakni sejarah dalam

perkembangannya mengkhusukan pada persolan-persoalan perkembangan

suatu negara serta hubungan yang mempengaruhinya, terutama pada suatu

golongan yang berusaha memegang kekuasaan negara tersebut, misalnya

kajian tentang para raja, para pemuka militer, dan para aktor politik. ilmuan-

ilmuan sejarah pada perkembangannya di abad ke-16 M hingga ke-18 M

banyak memfokuskan perhatiannya dalam suatu usaha penulisan sejarah

biografi para raja atau seputar keluarga para raja tersebut. Seringkali para

ilmuan sejarah dipekerjakan para raja-raja demi melakukan pengerjaan

penulisan sejarah raja dan keluarganya, hal inipun terjadi di daerah Jawa

dengan corak penulisan dalam bentuk babad yang dikerjakan oleh para

pujangga yang hidup di keraton Jawa tersebut. Para pujangga itu menulis

sejarah untuk mendapatkan kemashuran dan kebesaran para raja, bukan

bertujuan menceritakan pernak-pernik kehidupan rakyat yang hidup di

wilayah kerajaan. Pada perkembangannya muncul sebuah genre tentang

Page 31: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

14

sejarah perkembangan agama yang tentunya dipengaruhi dari akibat

pertentangan agama yang terjadi berabad-abad di tengah kerajaan dan

masyarakat sekitar. Sekitar akhir abad 18 M terjadi perubahan dan mulai

tertarik pada perkembangan ekonomi yang tumbuh dalam suatu negara, hal

ini tentunya berhubungan dengan perkembangan dan lahirnya Ilmu

Ekonomi sebagai salah satu dari cabang ilmu yang kala itu dikembangkan

(Adam Smith, Matthus) sebab itulah tumbuh sejarah ekonomi terjadi sekitar

abad 19 M. Adapun perkembangan sejarah hukum atau legal history ia

muncul sekitar pertengahan abad 19 M dan kemudian diikuti pertumbuhan

cabang sejarah lainnya adapun isinya berupa sejarah sosial, sejarah

kebudayaan, sejarah kesenian, sejarah peradaban, serta sejarah pemikiran

atau sejarah intelektual. Zaman terus melaju pengaruh perkembangan

romanticisme, juga nasionalisme, serta perkembangan ilmu yang begitu

pesat di periode tersebut cukuplah berarti dalam perkembangan ilmu sejarah

selanjutnya. Perhatian terhadap perkembangan di bidang-bidang ilmu

sejarah tersebut terakhir semakin meningkatkan bertumbuhnya spesialisasi-

spesialisasi dalam bidang ilmu sejarah. Misalnya spesialisasi Sejarah Sosial

Ekonomi yang lahir seperti Sejarah Agraria, kemudian Sejarah Demografi,

Sejarah Industeri, Sejarah Perdagangan, Sejarah Uang dan Sejarah Bank dan

seterusnya. Timbulnya dan berkembangnya spesialisasi tersebut pada suatu

sisi menyebabkan para sejarawan mengalami perkembangan dengan

berbagai bidang di luar fokus perhatian mereka, namun di lain sisi bidang

sejarah mengalami perkembangan yang semakin di luar Sejarah Politik

bercorak konvensional dan tradisional itu. Tidak berbeda dengan Sejarah

Ekonomi dan bidang-bidang sejarah lainnya, Sejarah Sosial dalam

pertumbuhannya menjadi lawan bagi Sejarah Politik. Apabila Sejarah

Politik lebih menitik beratkan kepada golongan elite, maka Sejarah Sosial

menitik beratkan pada golongan non-elite. Keterbatasan Sejarah Politik

dalam menjelaskan/menerangkan proses sejarah ingin dilengkapi oleh

Sejarah Sosial, dengan mengungkap proses kehidupan yang ada di bawah

permukaan Sejarah Politik yang konvensional.

Perkembangan selanjutnya, Sejarah Sosial menunjukkan sisi yang berbeda

dari sutau kehidupan yang berkembang dalam masyarakat sehingga

menyebabkan dimana Sejarah Sosial mengalami pemantapan kedudukannya

dalam ilmu sejarah. Selain dari hal tersebut timbulnya suatu teori, konsep-

konsep sosiologi turut dipergunakan untuk pembedahan analisa dan

pendekatan di bidang ilmu sejarah tersebut, hal ini telah menyebabkan

hubungan sejarah dengan ilmu sosiologi menjadi erat, akan tetapi telah

membuat ilmu sejarah menjadi lebih peka lagi terhadap masalah sosial

kemasyarakatan di wilayah penelitian dan perkembangan ilmunya. Dalam

arti yang lebih luas dimana obyek Sejarah Sosial muncul mencakup semua

sisi atau semua segi kehidupan masyarakat yang berkembang dan selain

aktivitas politik (Leinssa, dkk. 1984: 1-3).

Page 32: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

15

2. Sejarah Kemunculan Dinasti Bani Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah tak lain merupakan suatu Dinasti berkuasa setelah

berhasil mengalahkan Dinasti sebelumnya yakni; Dinasti Bani Umayyah. Nama

Dinasti Abbasiyah berasal dari nama pendirinya yakni Abbul Abbas Al- Saffah

yang merupakan keturunan Bani Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Nama

lengkapnya yakni Abdullah al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn

al-Abbas, dilahirkan di wilayah Humairah pada 104 H. Resmi menjadi khalifah

tepatnya di tanggal 3 Rabi‘ul awwal pada tahun 132 H. Adapun kekuasaan

Dinasti ini berlangsung cukup lama dari tahun 750-1258 M (Suntiah dan

Maslani, 1997:44).

Hal-hal yang cukup mempengaruhi akan berdirinya Bani Abbasiyah,

diantaranya disebabkan oleh adanya kelompok-kelompok masyarakat yang

tidak lagi mendukung terhadap Bani Umayyah saat itu. Karena masyarakat saat

itu menilai bahwa para pemegang kekuasaan Bani Umayyah sering melakukan

tindakan korupsi, sekuler serta memihak pada sebagian kelompok madzhab

tertentu yaitu Syi‘ah dan Khawarij (Badri Yatim. 2008:49-50) serta kaum

Mawali (orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persia).

Mereka merasa diperlakukan tidak adil dengan kelompok Arab dalam hal

pembebanan pajak yang terlalu tinggi, kelompok inilah yang mendukung

revolusi Abbasiyah.

Imam Muhammad bin Ali Al-Abbasi melihat bahwa pengalihan kekuasaan

dari satu keluarga kepada keluarga yang lain harus didahului oleh konsep dan

persiapan mental. Setiap upaya yang dilakukan secara tiba-tiba hanya akan

berujung kegagalan. Setelah melihat keadaan ia berkesimpulan bahwa langkah

yang hendak ditempuh harus ekstra hati-hati. Untuk itu, ia meminta para

pendukungnya dalam menyeru masyarakat agar mendukung upaya pengalihan

kekuasaan kepada Ahlulbait tanpa menyebut nama tertentu demi menghindari

bahaya dari Bani Umayyah. Ia mendapati wilayah Kufah dan Khurasan

merupakan tempat yang tepat untuk dijadikan markas propogandanya. Ia

melihat Kufah merupakan tempat para pendukung Ahlul Bait sejak lama.

Sedangkan penduduk Khurasan merupakan masyarakat yang respon terhadap

pemikiran Syi‘ah. Mereka adalah masyarakat yang berakidah bahwa kerajaan

adalah hak sakral, akidah yang mendominasi rakyat Persia sejak masa keluarga

Sasanid.

Demikian apa yang dilihat oleh Imam Muhammad bin Ali Al Abbasi, di

samping melihat bahwa bangsa Persia berada di bawah tekanan para penguasa

Amawi dan ini pula faktor yang mendukung sukses propoganda kaum Abbasiah

di sana. Ia telah menggambarkan kecenderungan masyarakat di wilayah-

wilayah pemerintahan Islam sebagai berikut: Adapun Kufah dan sekitarnya

adalah kelompok pendukung Ali, sedangkan Basrah adalah pendukung Usman.

Sementara Jazirah adalah kelompok Hauriyyah, yakni kaum Khawarij, dan

orang-orang dungu bagai keledai liar; mereka adalah kaum muslimin yang

berakhlak Nasrani. Kemudian penduduk Syam sebagai orang-orang yang tidak

tahu apa-apa selain Muawiyah dan hanya taat kepada Bani Umayyah; mereka

adalah orang-orang yang hanya memendam permusuhan dan super bodoh.

Selanjutnya penduduk Mekkah dan Madinah adalah orang-orang yang fanatik

Page 33: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

16

Abu Bakar dan Umar. Kalian harus mengarahkan perhatian ke Khurasan.

Sebab, di sana ada sejumlah besar orang-orang kuat, berhati bersih dan kosong

belum tercemar. Mereka adalah pasukan yang bisa diandalkan. Saya menaruh

perhatian dan harapan dari Timur (Hasan Ibrahim Hasan, 2013: 17).

Muhammad bin Ali Al Abbasi bangkit untuk melakukan propaganda. Ia

mengangkat para agen dan juru bicara. Kepada mereka ia berpesan agar

propaganda dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun kepada kaum Alawi

hendaknya propaganda dilakukan secara terbuka bahwa ini untuk kepentingan

Ahlul Bait.

Propaganda kaum Abbasiyah secara tersembunyi dilakukan pada awal abad

ke-2 H dari al Hamimah, sebagai pusat propaganda mereka, yakni pada masa

Abdul Aziz bin Umar, Muhammad Ali Al-Abbasi mengarahkan para juru

bicaranya ke berbagai wilayah pemerintahan Islam. Maisirah ditugaskan di Irak

dan tiga orang lainnya, salah satunya Abu Ikrimah As Siraj, di Khurasan.

Mereka melakukan propaganda bagi kepentingan kaum Abbasiyah secara

sembunyi-sembunyi, mereka pura-pura sebagai pedagang atau jemaah yang

hendak berhaji ke Mekkah. Abu Ikrimah mengangkat 70 orang juru bicara dan

12 orang di antaranya sebagai kepala cabang. Mereka aktif berkampanye untuk

kepentingan kaum Abbasiyah dan sangat tabah saat menghadapi rintangan

walau sampai dibunuh dan diusir. Muhammad bin Ali Al Abbasi berkirim surat

kepada mereka yang berisi aturan dan pedoman yang harus ditepati saat

berkampanye, yakni apa yang dilakukan adalah untuk kepentingan keluarga

Nabi Muhammad yang mencakup keturunan Ali dan Abbas paman Nabi saw.

Propaganda untuk kepentingan kaum Abbasiyah dapat kita bagi menjadi dua

periode:

Periode Pertama: Propaganda yang dimulai di penghujung abad ke-1 H

yang berujung bergabungnya Abu Muslim Al Khurasani ke Bani Abbasiyah.

Pada periode ini propaganda dilakukan tanpa kekerasan. Para juru kampanye

melakukan misinya di berbagai wilayah pemerintahan Islam dengan berpura-

pura sebagai pedagang atau jemaah haji.

Periode Kedua: Propaganda periode ke-2 yang dimulai sejak Abu Muslim

Al Khurasani bergabung. Pada periode ini muncul sengketa antara kaum

Amawi dengan Abbasiyah, yakni meletus perang yang berakhir runtuhnya

Daulah Umayyah. (Hasan Ibrahim Hasan, 2013: 18).

Pada akhir masa kekuasaan Dinasti Umayyah I, telah terjadi berbagai

macam kekacauan, beberapa penyebabnya adalah: kekacauan pertama, adanya

diskriminasi pengikut Ali serta kelompok dari Bani Hasyim dalam bentuk

penindasan yang kejam. Kekacauan Kedua, adanya diskriminasi terhadap kaum

muslimin yang bukan berasal dari bangsa Arab, sehingga mereka tidak

mendapatkan hak yang sama dengan kaum muslim yang berasal dari kaum

Arab. Kaum ‗ajam ini tidak mendapatkan tempat dalam pemerintahan.

Kekacauan Ketiga, kaum Bani Umayyah tidak menjalankan ajaran agama Islam

dengan baik serta tidak mengindahkan hak-hak asasi manusia kepada

masyarakat di negerinya. Karena itulah, cukup rasional jika golongan dari Bani

Hasyim mengusahakan solusi dengan cara melakukan suatu gerakan bersifat

tertutup untuk mengalahkan dan menumbangkan Daulah yang dibentuk oleh

Page 34: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

17

golongan Bani Umayyah. Adapun gerakan tersebut dikuti antara lain sebagai

berikut (Sunanto, 2003: 48):

1. Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah,

2. Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman,

3. 21 Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.

Pusat gerakan rahasia ini berada di Khurasan. Dengan adanya usaha ini,

maka pada tahun 132 H/750 M tumbanglah Daulah Umayyah dengan

terbunuhnya Marwan bin Muhammad yang merupakan khalifah terakhir Bani

Umayyah. Dengan terbunuhnya Marwan mulailah berdiri Daulah Abbasiyah

dengan diangkatnya khalifah pertama, Abdullah bin Muhammad, dengan gelar

Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H/750-754 M.

Sebutan As-Saffāh yang berarti Penumpah darah bagi Abdullah sebagai

khalifah pertama. Hal itu menandai berdirinya Daulah Abbasiyah yang

dipenuhi dengan pertumpahan darah antara sesama keluarga Bani Hasyim, di

satu pihak, dengan keluarga Daulah Umayyah yang memerintah sebelumnya, di

pihak lain. Pada bagian akhir pidato pelantikannya sebagai khalifah, Abdullah

menyebutkan dirinya sebagai as-Saffāh, sang Penumpah darah. Sebagian

sejarawan ada yang berpendapat bahwa arti as-Saffāh adalah penderma (orang

yang suka memberi), karena dia dikenal sebagai seorang yang senang berderma

(sangat dermawan) (Hasan, 1965: 21)

Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah

geografis dunia islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan,

Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan

terjadinya interaksi intensif antara daerah satu dengan daerah lainnya. Interaksi

ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah.

Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka

istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar

dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal

bermunculan, diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya

Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari

pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-pelayan wanita.

Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa

persamaan. Pendekatan terhadap kaum Malawi dilakukan antara lain dengan

mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi setempat (Persia) mengambil

beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan meletakan ibu kota

kerajaannya, Baghdad di wilayah yang dikelilingi oleh bangsa dan agama yang

berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen, dan Majusi.

Pembagian kelas dalam masyarakat Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan

ras atau kesukaan, melainkan berdasarkan jabatan, menurut jarzid Zaidan,

masyarakat Abbasiyah terbagi dalam dua kelompok besar, kelas khusus dan

kelas umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani

Hasyim) para pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima), Kaum

bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy) pada umumnya. Dan para petugas

khusus, tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para

seniman, ulama, pujangga fukoha, saudagar dan penguasa buruh dan petani

(Yatim, 2008: 49-50).

Page 35: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

18

Terjadi suatu masa dimana disintegrasi politik telah terjadi sebenarnya

dimulai ketika pada akhir zaman Bani Umayyah berkuasa, tetapi menemui

puncaknya ketika pemerintahan Bani Abbasiyah yang berkuasa. Dalam catatan

sejarah daerah kekuasaan Bani Umayyah terhitung semenjak awal berdirinya

hingga keruntuhannya terjadi, dan itu keluasannya sejajar batas-batas

kewilayahan kekuasaan kaum muslim, Islam. Tentunya hal ini sangatlah beda

dengan masa-masa ketika pemerintahan Bani Abbasiyah berkuasa. Kekuasaan

dinasti ini tidaklah diakui oleh bangsa Spanyol dan seluruh daerah di kawasan

Afrika Utara, terkecuali wilayah Mesir. Secara fakta, dimana daerah-daerah

tersebut berada di bawah payung kekuasaan para gubernur provinsi-provinsi

yang bersangkutan itu. Adapun hubungannya dengan kekuasaan khalifah

ditandai adanya berupa pembayaran upeti. Ketika pemerintahan Bani

Abbasiyah berkuasa, tidak terdapat lagi suatu usaha dalam rangka merebut

posisi khilafah dari Bani Abbas tersebut. Dalam hal ini rakyat penuh ketaatan

membiarkan posisi khalifah tetap berada dalam genggaman Bani Abbasiyah itu.

Hal tersebut terjadi disesbabkan kedudukan khalifahan telah dianggap sebagai

jabatan bersifat relegius keagamaan sehingga sakral dan tabu untuk

diperebutkan mutlak tidak lagi bisa digugat dan diganggu. Sementara itu

dimana kekuasaan dapatlah didirikan baik di pusat ataupun daerah yang

terbilang jauh keberadaannya dari pusat pemerintahan Bani Abbas terbentuklah

pemerintahan-pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti yang kecil namun

independen, merdeka. Terdapat kemungkinan bahwasanya para khalifah

Abbasiyah sudah puas atas pengakuan dari berbagai provinsi tertentu yang

mendaulat sebagai bagian dari pemerintahan Abbasiyah, dengan pembuktian

berupa pembayaran upeti tersebut. Akibat munculnya kebijaksanaan-

kebijaksanaan yang cenderung menekankan berupa pembinaan-pembinaan

peradaban serta kebudayaan bercorak Islam dari pada hal ikhwal persoalan-

persoalan politik dan kekuasaan, begitupula wilayah-wilayah provinsi

khususnya di pinggiran mereka mulai melepaskan diri dari pengaruh dan

genggaman Bani Abbasiyah itu. Dalah hal ini terkecuali Bani Umayyah di

wilayah Spanyol dan Idrisiyyah daerah Marokko, provinsi-provinsi pada

awalnya patuh dan tetap melakukan pemembayar upeti ketika mereka

mengamati bahwasanya Baghdad menunjukkan stabilitas dan khalifah berdiri

tegak mampu menangkis dan mengatasi berbagai pergolakan yang

mengganggu. Namun ketika wibawa khalifah surut dan bahkan memudar,

mereka perlahan-lahan memerdekakan diri dari genggaman kekuasaan Baghdad

dalam hal ini Bani Abbasiyah.

Watt berpendapat, sebenarnya terjadinya keruntuhan Bani Abbas bermula

teramati dari sejak awal abad ke-9 M. Fenomena tersebut datangnya bersamaan

dengan pemimpin- pemimpin adanya para pemimpin berkekuatan militer pada

kawasan provinsi-provinsi hal inilah yang membuat mereka betul-betul

independen dan muncul keberanian untuk melakukan perlawanan setidanya

oposisi. Di sisi lain kekuatan militer Abbasiyah kala itu sedang mengalami

penurunan, kemunduran. Sebagai taruhannya, dimana para penguasa Bani

Abbasiyah menunjuk kaum profesional untuk memegang kemiliteran,

khususnya para tentara dari Turki dengan suatu sistem perbudakan.

Page 36: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

19

Pengangkatan dan penunjukkan anggota militer dari Turki inilah dalam

perkembangan berikutnya ternyata mereka menjadi sebuah ancaman besar bagi

eksistensi khalifah Bani Abbasiyah yang sedang berkuasa itu. Lagi pula Pada

periode pertama dinasti Abbasiyah dalam pemerintahannya telah bermunculan

fanatisme seperti gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti Arab) sebuah

gerakan fanatisme kebangsaan anti Arab. Dari gerakan ini yang menyebabkan

banyaknya inspirasi terhadap perkembangan gerakan-gerakan politik, di

samping gerakan-gerakan keagamaan lainnya. Dalam hal ini nampaknya, para

khalifah tidaklah menyadari akan terjadinya suatu ancaman politik dari gerakan

fanatisme kebangsaan itu serta gerakan keagamaan tersebut, pada akhirnya

meskipun hal itu dirasakan pada hampir seluruh sendi-sendi kehidupan

bernegara, dalam kasus-kasus kesusasteraan serta karya-karya ilmiah pun

dimana mereka tidaklah melakukan penghapusan ajaran fanatisme itu, malah

justru diantara mereka melebur dalam konflik kebangsaan serta keagamaan

tersebut.

Adapun dinasti-dinasti yang berhasil melepaskan diri dari kekuasaan

Baghdad khilafah Abbasiyah diantara dari mereka yaitu bangsa Persia, Arab,

Turki, dan Kurdi. Ketika mendekati masa berakhirnya kekuasaan Bani

Abbasiyah, dimana para tentara Turki mampu berhasil melakukan perebutan

kekuasaan kekhalifahan, pada akhirnya menyebabkan khalifah menjadi boneka

yang hanya simbol kekuasaan saja tanpa dapat berbuat apapun selain tunduk.

Kekuasaan Abbasiyah pada era selanjutnya tercatat dikuasai Bani Buwaih.

Dalam hal ini Bani Abbasiyah masih diakui, akan tetapi sepenuhnya kekuasaan

dikuasai para sultan Buwaihi. Perkembangan selanjutnya kekuasaan Buwaihi

atas wilayah Baghdad selanjutnya dirampas Dinasti Seljuk yang kemudian

berkuasa berikutnya. Sang Seljuk merupakan salah satu dari pemuka suku kaum

Turki berasal dari wilayah Turkestan. Dinasti Seljuk dengan segenap

kekuasaannya menjadi pemicu terjadinya perang besar yakni perang salib yang

terjadi dalam kejdian perang yang tahap-tahap, hal ini menyebabkan

keguncangan kekuasaan yang panjang sehingg semakin melemahnya kekuatan

Islam, tambah lagi dari serangan tentara bangsa Mongolia bersekutu dengan

gereja–gereja kristen, menyebabkan terjadinya penghancurleburan daerah

utama atau pusat-pusat kekusaan kaum mulimin, Islam, hingga terjadinya

jatuhnya Bagdad ke Tangan Khulagu Kan, Mongol. (Firdawaty, 2015: 78-79).

3. Kondisi Sosial Bani Abbasiyah

Sebab musabab Dinasti Abbasiyah berdiri hal ini tidak akan terlepas

dari silsilahnya bantuan dari masyarakat muslim yang lainnya. Beberapa

kelompok muslim berkebangsaan Arab telah memberikan dukungan secara

penuh pada Dinasti Bani Abbasiyah kelompok tersebut diantaranya

kalangan penduduk Mekkah, masyarakat Madinah, kelompuk Irak serta

kaum Syi‘ah mereka adalah pendukung setia Ali serta keturunannya.

Dengan satu suara berupa seruan kaum yang mengalami ketertindasan dan

sesama berasal dari Bani Hasyim, mereka bersatu padu dan mendapatkan

suatu dukungan penuh dari kaum-kaum itu. Begitu pula dukungan dari

kalangan kaum muslimin non-Arab terbesar berdatangan dari kalangan

Page 37: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

20

bangsa Persia. Dalam hal ini merekalah yang dianggap sebagai kaum

mawali ketika Dinasti Umayyah berkuasa dan mengalami diskriminasi

dikelompokkan golongan warga Negara sekunder atau kelas dua. Kaum

Mawali merasa hak-haknya tidak dipenuhi padahal mereka juga warga

negara. Akhirnya Dukungan-dukungan itu bersatu padu membentuk suatu

kekuatan besar bagi kelompok Dinasti Abbasiyah hingga dapat

menumbangkan meruntuhkan Dinasti Umayyah. Dengan demikian, ketika

mereka merasa ketika masa Dinasti Abbasiyah hak-hak mereka terpenuhi.

Dan juga, pada beberapa periode, masyarakat muslim yang bukan berasal

dari bangsa Arab juga ikut berperan dalam kepemerintahan Dinasti

Abbasiyah. Terdapat beberapa kelompok non-Arab memiliki peranan

penting yaitu pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah keluarga besar

Barmak, selanjutnya Dinasti Buwaihiyah, dan pada perkembanggannya

Dinasti Seljuk.

Dalam hal ini keluarga Barmak merupakan keluarga bergolongan

bangsawan sehingga dapat dikatagorikan sebagai keluarga terpandang

berasal Balkh, negeri Persia itu. Selanjutnya, Khalid bin Barmak merupakan

yang pertama kalinya dari kalangan keluarga Barmak menjalin hubungan

spesial bersama khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah yang sangat berkuasa

itu. Mereka selalu ikut dalam perjuangan dan proses semangat pergerakan

dakwah Dinasti Abbasiyah ikut serta secara aktif sehingga berperan dalam

berdirinya Dinasti Abbasiyah hingga kokoh. Dalam perjuangannya Khalid

bin Barmak sangat berjasa dalam upaya meredakan berbagai

pemberontakan-pemberontakan yang berkembang di wilayah Mesopotamia

hingga beberapa waktu lamanya sehingga ia dinobatkan sebagai Gubernur di

kawasan tersebut.

Dinasti Buwaihiyah juga ikut berpengaruh pada proses berdirinya

Dinasti Abbasiyah. Golongan Buwaihiyah ini berasal dari golongan Syi‘ah,

mereka juga ikut berperan penting selama kurang lebih satu abad, yakni

sejak tahun 945 M hingga tahun 1055 M. Pada masa-masa itulah dimana

khalifah hanyalah bayangan dibawah kekuasaan, Dinasti Buwaihiyah.

Kemunculan Dinasti Seljuk ke pemerintahan Dinasti Abbasiyah

menyerupai Dinasti Buwaihiyah. Kalangan mereka menjadi para penguasa

yang sebenarnya berkuasa, sehingga khalifah yang dipegang Dinasti

Abbasiyah hanya dijadikan simbol belaka di lingkungan Istana Baghdad.

Dalam hal ini lain dengan ketika Dinasti Buwaihiyah yang berkuasa namun

beraliran Syi‘ah, dan Dinasti Seljuk merupakan golongan Islam beraliran

Sunni, memiliki kesamaan dengan Dinasti Abbasiyah yang beraliran Sunni

pula. Sehingga menyebabkan terjadinya Interaksi antara Arab dengan non

Arab memberikan suatu khazanah yang segar dan baru dalam berbagai

bidang; bidang politik, bidang sosial, keagamaan, dan budaya. Selama

pemerintahan Banni Saljud dalam Dinasti Abbasiyah tidaklah terjadi

pembedaan antar kelas sosial-ekonomi dianatara penduduk bangsa Arab dan

bangsa non-Arab. Dengan dinamika masyarakat seperti itu sehingga mampu

memberikan sumbangan yang teramat penting dalam kemajuan dan

Page 38: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

21

perkembangan dibidang ilmu pengetahuan dan peradaban umat muslim

(Ibrahim, 2016: 24).

Waktu itu dimana kebijakan para penguasa Abbasiyah dalam usahanya

mengakhiri realitas elisitas suku Arab membuka lebar dinamika mobilitas

sosial bagi bangsa-bangsa Arab dengan diwarnai intensitas tradisi keilmua

dan pergumulan intelektualitas secara ajeg dan dinamis. Terbentuklah

kosmopolitanisme Islam dalam konteks kehidupan dalam bermasyarakat

dimana para pembesar Dinasti Abbasiyah membuka dengan lebar kran guna

menyerap berbagai unsur budaya-budaya baik pada kalangan Arab maupun

kalangan asing tentunya dengan beberapa penyesuaian yang kemudian

disinkronkan bersama ajaran-ajaran Islam. Interaksi tersebut kemudian

membidangi terlahirnya hal-hal positif yang membangun, adanya sikap

keterbukaan pada kalangan pemeluk Islam guna mempelajari serta

menerima berbagai sesuatu hal ditemukannya dan dikembangkan kearah

yang positif. Watak keterbukaan dan budaya toleransi, telah menjadikan

kaum Muslim berabad-abad lamanya menyatu dan menyerap berbagai

macam aktualisasi manifestasi kultu kebudayaan dan mengembangnya

wawasan keilmuan pada kamum muslim yang didatangkan dari peradaban-

peradaban bangsa lain, baik yang masih ada kala itu ataupun yang telah

punah atau telah terjadi penyusutan yang teramat sangat (Wahid, 2007: 2).

Pembauran yang terjadi diantara bangsa-bangsa non-Arab dan bangsa Arab,

melahirkan akulturasi yang dinamis dan menumbuhkan tradisi

intelektualitas lambat laun mengalami peningkatan serta perluasan dan

menjadi keumuman bagi segenap masyarakat dan bersifat universal,

menyeluruh dan komprehensif. Universalisme dan perluasan tersebut,

disebabkan urgensinya kebutuhan terhadap ilmu-ilmu pengetahuan dalam

menyelesaikan persoalan kehidupan dalam sosial kemasyarakatatan

Abbasiyah kala itu. Mengingat, kepemilikan atau penguasaan ilmu dan daya

intelektual mengingatkan kebutuhan dan betapa pentingnya ilmu

pengetahuan itu di dalam kondisi berkehidupan sosial di dalam masyarakat

(Qadir, 1988: 15). Masyarakat Baghdad dimana populasinya bersifat

heterogen serta kosmopolitan, dan hal itu memunculkan kesadaran akan

kebutuhan serta keterampilan yang khusus untuk menangani masalah-

masalah kehidupan yang berkembang pada masyarakat urban tinggi.

Keterampilan atau skill menjadi salah satu tuntutan yang mesti dipenuhi

khusunya pada sektor pendidikan guna menghasilkan sumber daya manusia

yang unggul dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan

dengan cara mempergunakan ilmu pengetahuan yang dikuasainya (Worsley,

1970: 171). Keberadaan suku-suku bangsa yang beraneka ragam dalam

imperium Dinasti Abbasiyah dibentengi oleh legitimasi agama yang evektif

menundukkan orang Arab dan bangsa-bangsa non Arab berfungsi alat

pengendali keambisiusan berkuasa dan mencegah ketidak searahan dalam

usaha untuk mencapai suatu tujuan berdirinya sebuah negara (Sadzali, 1993:

69). Dalam hal ini masa keemasan dinasti Abbasiyah meliputi beberapa

aspek (Sari, 2015. 54-55), yaitu:

Page 39: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

22

1. Ilmu Pengetahuan. Sudah tidak dapat dibantah lagi kalau kemajuan

ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah sangat pesat. Kemajuan ilmu

pengetahuan diawali dengan penerjemahan besar-besaran karya-karya

berbahasa Persia, Sansekerta, Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab.

Ketua Para Penerjemah adalah Hunayn ibn Ishaq, seorang pemeluk

Kristen Nestor. Dengan dukungan penuh dari khalifah umat Islam

dengan giat melakukan penerjemahan. Dukungan besar khalifah

dibuktikan dengan memberikan imbalan berupa emas kepada setiap

orang yang menerjemahkan buku. Berat emas yang diberikan

disesuaikan dengan berat buku hasil terjemahannya. Imbalan besar

khalifah ini membuat kaum muslim berlomba-lomba menerjemahkan

buku. Pada rentang waktu tiga perempat abad, dunia literatur Arab telah

memiliki karya-karya besar filsafat Yunani, seperti Aristoteles, karya

para komentator neo-Platonis, karya kedokteran Galen, di antaranya

tujuh buku Galen tentang anatomi yang versi Yunaninya tidak

ditemukan lagi, juga karya ilmiah Persia (kesenian dan kaligrafi) dan

India (mistisme, astronomi, dan matematika). Melalui penerjemahan

karya-karya ilmuwan sebelum Islam menyebabkan kaum muslim bisa

mempelajari ilmu-ilmu di Yunani Kuno, Persia, dan India. Ilmu-ilmu

yang mereka pelajari itu selanjutnya dikembangkan dan diberi teori

baru oleh ilmuwan-ilmuwan Islam. Berbagai penemuan penting

berhasil dilakukan oleh ilmuwan Islam. Ibn Sina misalanya menjadi

Bapak Kedokteran Modern karena bukunya menjadi rujukan ilmuwan

Barat selama berabad-abad.

2. Organisasi Militer. Organisasi militer pemerintahan Abbasiyah terdiri

dari para tentara sukarelawan, tentara bayaran, tentara dari suku dan

distrik, serta tentara pengawal khalifah. Pasukan sukarelawan menerima

gaji ketika bertugas saja. Mereka ini beranggotakan petani, orang badui,

dan orang kota. Pasukan pengawal khalifah memperoleh bayaran yang

lebih tinggi dibandingkan dengan pasukan lainnya. Mereka juga

memiliki persenjataan lengkap dan berseragam.

3. Wilayah Pemerintahan. Pemerintahan pada masa Abbasiyah terbagi ke

dalam beberapa provinsi yang dipimpin oleh amir. Di antara provinsi

pada masa Abbasiyah adalah Afrika, Mesir, Suriah dan Palestina, Hijaz

dan Yamamah, Yaman dan Arab Selatan, Bahrain dan Oman, Sawad,

Jazirah, Azerbaijan, Jibal, Kuzistan, Faris, Karman, Mukran, Sijistan,

Khurasan, Kawarizm, Shougda, Farganah, Tashken, dan Turki.

4. Biro Pemerintahan Dinasti Abbasiyah memiliki beberapa biro

pemerintahan, yaitu biro pajak, kantor pegawas, dewan korespondensi

atau kantor arsip, dewan penyelidik keluhan, dewan kepolisian dan pos.

4. Politik dan Militer

Suatu negara tentunya tidaklah terlepas dari perkembangan politik dan

militer adapun perkembangan politik dan militer saat Dinasti Abbasiyah

berkuasa dalam hal ini terbagi kedalam beberapa bagian dan kurang lebih

menjadi lima periode diaman setiap periodenya telah terjadi suatu perubahan

Page 40: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

23

pemegangan kekuasaan, dan perubahan sistem pemerintahan, begitu pula

dengan kebijaksanaan militer tentu saja turut berubah. Pembahasasan

berikut ini akan mengemukakan perkembangan politik dan militer Dinasti

Abbasiyah, adapun periode sasinya dapat disimak berikut ini:

a. Adapun Khalifah Dinasti Abbasiyah periode pertama dapat disimak

berikut ini: 1. Abu Abbas al-Saffah 750-754 M, 2 Abu Ja‘far al-Mansur

754-775 M, 3. Al- Mahdi 775-785 M, 4. Al-Hadi 785-786 M, 5. Harun

al-Rasyid 786-809 M, 6. Al-Amin 809-813 M, 7. Al-Ma`mun 813-833

M, 8. Al-Mu‘tasim 833-842 M, 9. Al-Wasiq 842-847 M. pada Periode

inilah yang merupakan periode pengaruh bangsa Persia yang pertama.

Disebut demikian sebab pada periode inilah terdapat keluarga bangsawan

keturunan Persia yang amat sangat berpengaruh besar dalam

perkembangan Dinasti Abbasiyah, yaitu keluarga Barmak. Pada periode

inilah, dimana Dinasti Abbasiyah mengalami kejayaan dan masa

keemasan. Meskipun begitu, terdapat pula cikal bakal dari kemunduran

Dinasti Abbasiyah tersebut, hal itu telah dimulai ketika pertumbuhan

Dinasti Abbasiyah pada periode awal. Yaitu ketika berlangsungnya

perang saudara diantara khalifah al-Amin dan khalifah al-Ma‘mun kala

itu.

b. Periode kedua. Adapun Khalifah Dinasti Abbasiyah pada periode ini

dapat disimak berikut ini: 1. Al-Mutawakkil 847-861 M, 2. Al-Muntasir

861-862 M, 3. Al-Musta‘in 862-866 M, 4. Al-Mu‘taz 866-869 M, 5. Al-

Muhtadi 860-870 M, 6. Al-Mu‘tamid 870-892 M, 7. Al-Mu‘tadid 892-

902 M, 8. Al-Muktafi 902-908 M, 9. Al-Muktadir 908-932 M, 10. Al-

Qahir 932-934 M, 11. Ar-Radi 934-940 M, 12. Al-Muttaqi 940-944 M.

Periode kedua merupakan periode pengaruh Turki pertama. Karena pada

periode ini tentara Turki yang menjadi tentara Dinasti Abbasiyah berhasil

mendominasi pemerintahan Dinasti ini.

c. Periode ketiga. Khalifah Dinasti Abbasiyah pada periode ketiga dapat

disimak sebagai berikut: 1. Al-Muktafi 944-946 M, 2. Al-Muti 946-974

M, 3. At-Ta‘i 974-991 M, 5. Al-Qadir 991-1031 M, 5. Al-Qa‘im 1031-

1075 M. Pada periode ketiga dapat dikatakan pula sebagai periode

pengaruh Persia yang kedua. Karena pada saat itu dimana Dinasti

Buwaihiyah yang merupakan sebuah golongan dari bangsa Persia.

Dinasti ini juga memberikan peranan penting dalam pemerintahan

Dinasti Abbasiyah.

d. Periode keempat. Khalifah Dinasti Abbasiyah dapat disimak berikut

ini:1. Al-Qa‘im 1031-1075 M, 2. Al-Muqtadi 1075-1094 M, 3. Al-

Mustazir 1094-1118 M, 4. Al-Mustarsid 1118-1135 M, 5. Ar-Rasyid

1135-1136 M, 6. Al-Muqtafi 1136-1160 M, 7. Al-Mustanjid 1160-1170

M, 8. Al-Mustadi 1170-1180 M, 9. An-Nasir 1180-1225 M. pada periode

keempat pula disebut periode pengaruh Turki yang kedua. Karena pada

periode inilah sebuah golongan Bangsa Turki amat berkuasa dalam

kontelasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yakni Dinasti Seljuk.

e. Periode kelima. Adapun periode kelima dari Khalifah Dinasti Abbasiyah

dapat disimak sebagai berikut: 1. An-Nasir 1180-1225 M, 2. Az-Zahir

Page 41: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

24

1225-1226 M, 3. Al-Muntansir 1226-1242 M, 4. Al-Musta‘sim 1242-

1258M. Periode kelima inilah dimana Dinasti Abbasiyah tidak

dipengaruhi pihak manapun. Namun, kekuatan politik dan militer di

tubuh Dinasti Abbasiyah sangatlah lemah sehingga menyebabkan

kekuasaan dinasti ini menyusut hanya meliputi Irak dan wilayah

sekitarnya. Pada puncaknya Dinasti Abbasiyah mengalami kerutuhan di

tahun 1258 M karena ekspansi serangan tentara Mongol dipimpin Hulagu

Khan.

Lebuh lanjut Dinasti Bani ‗Abbasiyah pada periode pertama lebih

menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada

perluasan wilayah kekuasaan. Inilah perbedaan yang menonjol antara dinasti

Bani ‗Abbasiyah dengan Bani Umayyah. Selain itu, ciri-ciri yang menonjol

dari dinasti Bani ‗Abbasiyah yang tak terdapat pada zaman Bani Umayyah,

adalah:

1. Berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani ‗Abbasiyah

menjadi jauh dari pengaruh ‗Arab. Sedangkan dinasti Umayyah sangat

berorientasi kepada ‗Arab. Ada pengaruh kebudayaan dalam sistem

pemerintahan ‗Abbasiyah, yaitu: (a) pada periode pertama dan ketiga

pemerintahan ‗Abbasiyah dipengaruhi oleh kebudayaan Persia yang

sangat kuat, (b) pada periode kedua dan keempat pemerintahan

‗Abbasiyah, bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan

pemerintahan dinasti ‗Abbasiyah.

2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani ‗Abbasiyah ada jabatan

wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Sedangkan jabatan

ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.

3. Ketenteraan professional baru terbentuk pada masa pemerintahaan Bani

‗Abbasiyah. Sebelumnya, pada dinasti Bani Umayyah belum ada tentara

khusus yang professional.

4. Perbedaan lain, pada masa Bani Umayyah merupakan masa ekspansi

daerah kekuasaan dan da‘wah Islam, sedangkan pada masa Bani

‗Abbasiyah adalah masa pembentukan dan dperkembangan kebudayaan

dan peradaban Islam (Yatim, 1998: 50)

Dalam hal ini, Pemerintahan dinasti Abbasiyah dipegang oleh seorang

khalifah yang memiliki wewenang sebagai pemegang semua kekuasaan.

Kepala Negara atau seorang khalifah dapat melimpahkan otoritas sipilnya

kepada seorang wazir, misalkan otoritas pengadilan dilimpahkan kepada

seorang hakim (qadhi) dan otoritas militer dilimpahkan kepada seorang

jenderal (amir). Kedudukan khalifah yaitu sebagai kepala negara tetap

dibutuhkan atau dinomor satukan yaitu sebagai pengambilan keputusan akhir

dalam semua urusan pemerintahan (Karim, 2007: 143).

Sebetulnya militer Dinasti Abbasiyah sangatlah kuat namun kekuatan

mereka di penghujung kejayaan kian bercerai-berai. Sebagaiamana dijelaskan

(Irawan, 2017: 20-21); Hulagu sengaja meminta menteri Muayyiduddin Al-

‗Alqami agar ia meyakinkan Khalifah Abbasiyah Al-Musta‘shim Billah agar

menurunkan budget militer, menurunkan jumlah tentara, agar negara tidak

mempunyai perhatian masalahmasalah persenjataan dan perang, tetapi tentara

Page 42: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

25

hendaknya bekerja di sektor-sektor sipil seperti pertanian, industri dan lain-

lain. Semua orang melihat sekarang, tentara di beberapa negara Islam

menanam sayur-sayuran, membangun jembatan, membangun pabrik roti dan

lain-lain. Tanpa menaruh perhatian dengan masalahmasalah: latihan tempur,

senjata dan jihad.

Menteri antek Tartar Muayyiduddin Al-‗Alqami itu benar-benar

melakukan permintaan Tartar itu. Ini tidaklah aneh bagi orang seperti dirinya,

yang benar-benar aneh adalah kenapa khalifah mau menerima ide-ide

memalukan itu. Hal itu sudah seharusnya dilakukan, sebagaimana dinyatakan

oleh menteri busuk itu agar tidak menimbulkan keberatan Tartar, dan untuk

membuktikan kepada mereka bahwa khalifah adalah tokoh perdamaian dan

tidak ingin perang, dan khalifah benar-benar menurunkan budget

persenjataan. Ia juga menurunkan jumlah tentara, sampai-sampai tentara

Abbasiyah yang dulu jumlahnya mencapai 100 ribu tentara kuda di akhir

masa Al-Mustanshir Billah, ayahanda Al-Musta‘shim Billah tahun 640 H, kini

jumlah tentara itu tidak lebih dari 10 ribu tentara kuda saja tahun 654 H Ini

berarti penurunan drastis dalam kemampuan militer Abbasiyah.

Tidak itu saja, bahkan para tentara itu kehidupannya fakir dan tersia-

siakan, sampai-sampai mereka mengemis di pasar-pasar. Latihan-latihan

militer juga diabaikan. Para perwira militer juga kehilangan posisi mereka. Di

antara mereka tidak ada lagi yang memiliki kemampuan dalam bidang

perencanaan, adminstrasi dan leadership. Muslimin lupa seni bertempur dan

berkelahi. Benak mereka benar-benar kosong akan makna jihad.

Ibnu Katsir sepenuhnya menyalahkan Muayyiduddin Al-‗Alqami dengan

nasehat-nasehatnya kepada khalifah Al-Musta‘shim Billah. Namun, Dr.

Raghib As-Sirjani lebih menyalahkan khalifah yang mau menerima kehinaan

ini dan rela dengan kerendahan. Dalam benak khalifah telah hilang bahwa

kewajiban terpenting sebagai penguasa adalah menjamin keamanan dan rasa

aman bagi rakyat. Ia harus mempertahankan tanah dan wilayahnya dari

serangan setiap serangan atau pendudukan musuh. Ia harus melakukan upaya

sekuat tenaga untuk memperkuat tentara, mempersenjatai prajuritnya. Ia harus

mendidik rakyat seluruhnya –bukan tentara saja- untuk cinta jihad dan mati di

jalan Allah. Khalifah Al-Musta‘shim Billah tidak melakukan itu semua.

Sebenarnya, ia tidak punya alasan. Sebab ia memiliki kekuasaan sepenuhnya

yang menjadikannya mampu mengambil keputusan. Namun, mentalnya

lemah, tidak kuat untuk mengambil keputusan-keputusan yang menentukan

(Irawan, 2017: 20-21).

B. Kemunduran Dinasti Abbasiyah

Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah Menurut Badri yatim,

diantara hal yang menyebabkan kemunduran dinasti Abbasiyah adalah sebagai

berikut:

a. Adanya persaingan antar bangsa. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abbul

Abbas yang mana saat itu menjalin persekutuan dengan orang-orang Persia.

Adanya persekutuan tersebut karena dilatarbelakangi oleh persamaan nasib

yang sama-sama menjadi golongan tertindas saat Daulah Bani Umayyah

Page 43: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

26

berkuasa. Tetapi, setelah Dinasti Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap

mempertahankan persekutuan dengan orang-orang Persia.

b. Terjadinya Kemerosotan Ekonomi. Khilafah Abbasiyah juga mengalami

kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang

politik. Pada awal kekuasaannya, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan

pemerintahan yang kaya dan kuat. Aliran dana yang masuk lebih besar

daripada yang keluar sehingga bail-al-Mal penuh dengan harta. (Badri

Yatim, 2007: 82).

c. Timbulnya Konflik Keagamaan. Adanya fanatisme dalam beragama sangat

lekat kaitannya dengan permasalahan kebangsaan. Pada periode

Abbaasiyah, adanya konflik dalam tubuh pemerintahan Bani Abbasiyah

menjadi isu yang sangat kuat seahingga menimbulkam perpecahan. Adanya

berbagai macam aliran keagamaan seperti Mu‘tazilah, Syi‘ah Ahlus Sunnah

dan kelompok-kelompok lainnya menimbulkan kesulitan bagi pemerintahan

Abbasiyah dalam mempersatukan berbagai macam faham yang berbeda

tersebut.

d. Terjadinya Perang Salib. Perang Salib yang terjadi pada masa pemerintahan

Bani Abbasiyah termasuk salah satu sebab kemunduran dari Daulah Bani

Abbasiyah secara eksternal. Perang salib terjadi dalam kurun waktu yang

relatif lama dan panjang serta terbagi dalam beberapa gelombang. Perang

salib juga banyak menarik perhatian pemerintah masyarakat muslim saat itu.

Sehingga akibat dari terjadinya perang salib banyak korban yang gugur di

medan perang sehingga melemahkan pertahanan.

e. Serangan Bangsa Mongol. Tubuh pemerintahan yang kian melemah serta

penguasa yang sudah tidak memiliki kekuatan berarti membuat Dinasti

Abbasiyah mudah dikalahkan oleh pasukan Mongol yang brutal. Semua

peradaban dan kemajuan yang telah dibangun masyarakat muslim Bani

Abbasiyah hancur lebur berubah menjadi puing dan abu.

Adapun sebab-sebab kehancuran dinasti Abbasiyah ada dua faktor,

yaitu faktor intern dan faktor ekstern:

1. Faktor intern:

a. Lemahnya semangat patriotisme berbangsa dan bernegara

b. Tidak adanya sifat amanah para penguasa sehingga rusaknya moral

dan kerendahan budi

c. Tidak percaya akan kekuatan sendiri

d. Kefanatikan terhadap madzhab tertentu menjadikan adanya

persaingan dan perebutan dan melemahkan kesatuan umat

e. Kemerosotan ekonomi karena terlalu banyak biaya yang

dikeluarkan untuk anggaran tentara, sedangkan para penguasa

berfoya-foya, para pejabat dan keluarganya hidup mewah sehingga

banyak provinsi yang memisahkan diri dan membuat dinasti kecil di

luar Dinasti Abbasiyah

2. Faktor ekstern yaitu disintegrasi, akibat kebijakan untuk lebih

mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada

politik, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan dari

genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka bukan sekedar

Page 44: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

27

memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan

berusaha merebut pusat kekuasaan di bagdad. Hal ini di manfaatkan

oleh pihak luar dan banyak mengorbankan umat, yang berarti juga

menghancurkan Sumber Daya Manusia (SDM).

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan (Sari, 2015: 55-56); Keruntuhan

Dinasti Abbasiyah didorong oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Di antara yang menjadi faktor internal adalah kebijakan menyewa

tentara bayaran dari Turki untuk mengamankan pemerintahan. Kebijakan itu

menyebabkan keuangan negara menjadi sangat sulit karena biaya yang

dikeluarkan untuk menggaji tentara bayaran sangat besar. Padahal pada saat itu,

khalifah sudah tidak lagi punya kekuatan untuk memaksa provinsi-provinsi

membayar pajak ke Baghdad. Tentara bayaran asal Turki, pada akhirnya

semakin kuat menguasai pemerintahan. Selanjutnya, pada masa khalifah al-

Mutawakkil, orang-orang Turki berhasil merebut kekuasaan. Sejak saat itu,

kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas. Faktor internal lainnya

adalah kegemaran hidup bermewah yang dilakukan oleh para khalifah

sepeninggal Harunar-Rasyid. Setiap khalifah ingin hidupnya lebih mewah dari

khalifah sebelumnya. Gaya hidup mewah itu juga menjangkiti para hartawan

dan anak-anak pejabat. Ini mengakibatkan jumlah masyarakat miskin naik

tajam. Kemudian, terjadilah guncangan politik, ekonomi, dan sosial. Adapun

yang menjadi faktor eksternal adalah Perang Salib dan serangan tentara Mongol

ke wilayah kekuasaan Islam, terutama serangan langsung ke jantung kekuasaan

Abbasiyah, Bagdad.

Lebih lanjut menurut (Irawan, 2017: 11-12) Bani Abbasiyah mulai

mengalami kemunduran ketika pada masa periode kedua, yaitu dimulai ketika

masa Khalifah Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan

kemunduran Bani Abbasiyah, di antaranya adalah:

a. Lemahnya khalifah. Setelah kekuasaan Bani Saljuk berakhir, khalifah

Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu. Para

khalifah yang sudah merdeka dan berkuasa kembali wilayah kekuasaan

mereka sangat sempit dan terbatas, yaitu hanya di Baghdad dan

sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit menunjukkan

kelemahan politiknya.

b. Persaingan antarbangsa. Khilafah Bani Abbasiyah didirikan oleh Bani

Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Setelah berkuasa,

persekutuan itu tetap dipertahankan. Orangorang Persia masih belum

puas dan mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai

dari Persia pula. Selain fanatisme karaban, muncul juga fanatisme

bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu‘ubiyah. Sementara itu,

khalifah mengangkat budak-budak dari Persia dan Turki untuk menjadi

tentara atau pegawai. Hal ini mempertinggi pengaruh mereka terhadap

kekhalifahan. Ketika pada masa Al-Mutawakkil, seorang khalifah yang

dianggap lemah, kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang Turki dan

khalifah hanya dijadikan sebagai boneka. Posisi ini kemudian direbut

oleh Bani Buwaih, bangsa Persia , selanjutnya beralih ke tangan dinasti

Saljuk.

Page 45: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

28

c. Kemerosotan ekonomi. Bersamaan dengan kemunduran dibidang politik,

dinasti Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi.

Penerimaan negara menurun disebabkan makin menyempitnya wilayah

kekuasaan, banyak kerusuhan yang mengganggu perekonomian, dan

banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri. Sementara

pengeluaran membengkak dikarenakan kehidupan para khalifah dan

pejabat yang bermewah-mewahan. Kondisi politik yang tidak stabil

menyebabkan perekonomian khilafah morat-marit.

d. Konflik sektarian. Munculnya gerakan Zindiq, yang dilatar belakangi

kekecewaan orang-orang Persia, membuat khalifah merasa perlu

mendirikan jawatan untuk mengawasi kegiatan orang-orang tersebut dan

memberantasnya. Gerakan ini mempropagandakan ajaran Maniisme,

Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Ketika mulai terpojok, mereka

berlindung di balik ajaran Syi‘ah. Sehingga banyak aliran Syi‘ah yang

dianggap ekstrem dan menyimpang. Syi‘ah adalah aliran yang dikenal

sebagai aliran politik yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah.

Keduanya, sering terjadi konflik yang kadang melibatkan penguasa.

Selain itu juga terjadi konflik antar aliran dalam Islam. Seperti konflik

antara Mu‘tazilah dengan gologan Salafiyah. Akibat dari kemunduran

dinasti Bani Abbasiyah ini, membuat mereka sangat rentan terhadap

serangan dari luar. Lemahnya para khalifah dan tidak adanya persatuan

di antara umat, mengakibatkan pertahanan negara mudah ditembus.

Sehingga ketika Mongol menyerang Baghdad, mereka dapat dengan

mudah menguasainya tanpa perlawanan yang berarti.

Lebih lanjut (Irawan, 2017: 15-16) menjelaskan mengenai detik-detik

kehancuran Dinasti Abbasiyah; Pada peristiwa penyerbuan bangsa Mongol

yang dipimpin oleh Hulagu, cucu Jenghis Khan di Baghdad, selain motivasi

invasi dan penaklukan wilayah, penyerbuan ini adalah puncak dari sengketa

yang telah dimulai sejak tahun 1212 M. Pada bulan Shafar 656 H/1253 M,

Hulagu bersama ribuan tentaranya membasmi kelompok pembunuh

Hasyasyin dan menyerang Khilafah Abbasiyah. Hulagu mengundang Khalifah

Al-Musta‘shim (1242-1258) untuk bekerja sama menghancurkan kelompok

Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi, undangan itu tidak mendapat jawaban. Pada

tahun 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk ―kastil induk‖ di

Alamut, telah direbut. Dr. Raghib As-Sirjani, di dalam bukunya Qishshah At-

Tatar min Al-Bidayah ila „Ain Jalut. (Kairo: Mu‘assasah Iqra‘, 2006)

mendetilkan berbagai persiapan, usaha, dan operasi yang dilakukan oleh

Hulagu pada sebelum hingga penyerangan Baghdad. Upaya politis dan

diplomatis Hulagu juga merambah ke ranah tokoh-tokoh penting di istana

Abbasiyah. Ia bisa menggandeng Perdana Menteri Khilafah Abbasiyah. Ia

adalah orang kedua setelah khalifah di tubuh pemerintahan. Dialah Menteri

Muayyiduddin Ibnu Al-‗Alqami. Muayyiduddin adalah orang yang rusak, keji

dan pengikut Syiah Rafidhah (sekte syiah yang menolak khilafah Abu Bakar

Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khatthab). Ia sangat fanatik dengan syiahnya,

sangat benci dengan Sunnah dan Ahlussunnah. Sungguh aneh, ia bisa

Page 46: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

29

memperoleh pangkat tinggi ini dengan karakternya seperti itu, di sebuah

negara Sunni dengan nama khilafah.

Tentu saja penyebabnya karena kebodohan, ketiadaan visi dan

perencanaan dari Khalifah Al-Mus‘tashim Billah yang menyerahkan posisi

yang begitu penting kepada menteri yang busuk. Menteri seperti itulah yang

disebut dengan bithanah su‟ (pembisik, kabinet yang busuk). Dan semua

orang berakal tahu bagaimana bithana su‟ itu berperan dalam merusak negara

dan menghancurkan rakyat. Lebih parahnya lagi, menteri itu berada di

posisinya tidak cuma sebulan, dua bulan, atau setahun dua tahun, tetapi ia

berada dalam jabatannya selama 14 tahun penuh, dari tahun 642 H –tahun 656

H, yaitu ketika Baghdad jatuh. Jika selama masa itu khalifah tidak mengetahui

kebusukannya, maka jelas ini bukti kebodohan khalifah.

Hulagu menghubungi Muayyidduddin Al-‗Alqami, dengan

memanfaatkan kebusukan, fanatik syiah, dan kebenciannya terhadap sunni. Ia

bersepakat dengannya untuk mempermudah masuknya tentara Tartar ke

Baghdad dan membantu Tartar dengan memberi pendapat-pendapat dan

usulan-usulan menyesatkan kepada Khalifah Abbasiyah Al-Musta'shim

Billah. Sebagai imbalannya, ia akan memperoleh posisi strategis dalam

―dewan penguasa‖ yang akan menyetir urusan Baghdad setelah runtuhnya

khilafah dan dihabisinya khalifah. Menteri busuk itu melakukan tugasnya

dengan sebaik-baiknya.

Kesimpulan dari upaya-upaya diplomatik Tartar adalah mereka

melakukan kerjasama yang erat dan penting dengan para raja Nasrani dari

Armenia, Kurj dan Anthiokia. Membuat para emir Nasrani di Syam sedikit

banyak berbuat netral. Membangun koalisi rahasia dengan kaum Nasrani di

Syam dan Iraq. Juga membuat koalisi dengan emir-emir muslimin dan

Perdana Menteri Muayyidduddin Al- ‗Alqami. Ia mempunyai pengaruh yang

kentara dalam keputusan-keputusan khalifah, juga berada di balik peristiwa-

peristiwa yang terjadi di kawasan pada masa-masa itu. Melihat upaya-upaya

diplomatik yang dilakukan Minko Khan dan Hulagu, nampak keduanya telah

melakukan upaya besar bagi mempersiapkan serangan hebat, yang tujuannya

untuk mewujudkan hal yang sangat penting dan belum pernah terjadi di dunia,

walau sekalipun, yaitu menumbangkan ibukota khilafah Islam. Tentu, semua

upaya-upaya diplomatik ini mempunyai peran yang besar dalam

mensukseskan rencana Tartar untuk menjatuhkan khilafah Islam.Patut

disebutkan di sini, muslimin secara umum –kecuali sedikit- mengawasi situasi

ini dari jauh, seolah-olah hal itu bukan urusannya. Atau mereka merasa sangat

terpukul sehingga membuat seorang yang punya semangat bergerak menjadi

mandek (Irawan, 2017: 11-12).

Lebih lanjut Irawan menyimpulkan; Puing-puing kemegahan kota

Baghdad sebagai pusat kajian khazanah keilmuan dan peradaban Islam tinggal

kenangan. Selain berakhirnya kekuasaan Khilafah Abbasiyah juga menandai

mundurnya peradaban Islam dalam percaturan internasional. Pemusnahan

naskah-naskah, manuskrip, dan karya para ilmuwan tidak hanya berupa

hancurnya Baitul Hikmah tetapi juga berarti lenyapnya karyakarya

monumental para ilmuwan terdahulu.

Page 47: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

30

Ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan, tentang alasan mengapa

bengisnya Hulagu Khan dalam menaklukan Baghdad. Ada yang berpendapat

karena ―dendam‖ persia yang mengalir dalam darah istri kesayanganya, tapi

ini juga banyak yang meragukan karena panjangnya masa yang terbentang

dari penaklukan Persia (th. 661 M) ke penaklukan Baghdad (1258 M). Teori

kedua adalah masalah ekonomi. Beberapa kali dalam transaksi perdagangan,

Persia mongol yang dipimpin Hulagu selalu dikadali pihak Baghdad sehingga

menimbulkan kerugian yang besar. Di dalam negeri pun (kekuasaan

Abbasyiah saat itu sudah menyempit hanya seputar Iraq) Khalifah Mus‘tasim

juga dibenci penduduknya karena tinggi-nya pajak. Sehingga beberapa daerah

otonom mendeklarasikan kemerdekaannya. Teori kedua ini diperkuat dengan

ilustrasi bagaimana Hulagu Khan memperlakukan si Khalifah yang

ditaklukannya. Sang Khalifah di penjara bersama harta kekayaannya, seperti

ingin menertawakan kegilaan harta Al-Musta‘shim. Praktik menarik pungutan

seraya mengancam akan membumihanguskan menjadi gambaran biasam Ini

baru satu gambaran tentang masa-masa akhir Dinasti Abbasyiah yang jauh

dari apa yang disebut akhlaqul Islamiyah. Gambaran lain adalah potret

perdagangan yang jujur menjadi hal langka, bahkan pedagang asal Baghdad

terkenal akan kelicikannya pada masa itu.

Meskipun demikian, ada hikmah di balik musibah. Terjadilah hal yang

mungkin dianggap musykil dan tidak terbayangkan, di mana dari keturunan

mereka yang memusuhi umat Islam di bawah komando Jenghis Khan ternyata

banyak yang kemudian justru memeluk Islam. Pengaruhnya bisa dirasakan

ketika sebagian besar bangsa di Asia Tengah memeluk Islam hingga saat ini.

Apa yang terjadi dahulu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.

Para penguasa menyedot kekayaan negara untuk dirinya sendiri dan

menetapkan hukum secara sewenang-wenang terhadap masyarakat menurut

selera mereka. Siapa saja yang menyanjung perbuatan mereka yang

melanggar syariat pasti akan dinaikkan pangkatnya. Dan siapa saja yang

menyelisihi atau mengingkari kemungkaran dan perbuatan buruk itu pasti

akan dihancurkan haknya dan akan direndahkan kedudukannya.

Sebagaimana dimaklumi bahwa aspek-aspek kehidupan manusia saling

terkait satu sama lainnya. Seiring rusaknya kehidupan politik yang semakin

terpuruk, pada akhirnya juga merusak kehidupan sosial hingga jatuh ke

derajat yang paling hina dan rendah. Selanjutnya, lemahnya solidaritas dan

perpecahan adalah sumber kehancuran, sehingga menjadi kesempatan

mengundang pihak musuh Islam untuk mengksploitasinya. Gambaran singkat

dampak serangan pasukan Mongol di Baghdad terhadap perjalanan sejarah

peradaban Islam, yang mana catatan hitam ini menjadi pelajaran berharga

bagi generasi selanjutnya. Bahkan, sejarah ini juga menjadi catatan penting

dalam pembangunan sejarah peradaban Islam selanjutnya (Irawan, 2017: 29-

30).

Page 48: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

31

C. Ilmuwan Muslim pada Masa Bani Abbasiyah

1. Pengertian Ilmu dan Ilmuwan

Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang begitu saja seperti

barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu

merupakan suatu cara berpikir yang demikian rumit dan mendalam tentang

suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga

menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang handal. Handal

dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan

secara terbuka untuk diuji oleh siapapun.

Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab

masalah-masalah kehidupan. Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan

manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya

kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya. Dengan demikian

maka pengertian yang mendalam terhadap hakikat ilmu, bukan saja akan

mengikatkan apresiasi kita terhadap ilmu, namun juga membuka mata kita

terhadap berbagai kekurangan (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 3).

Ilmuwan adalah orang yang ahli atau memiliki banyak pengetahuan

mengenai suatu ilmu. Dalam arti yang lain, ilmuwan adalah orang yang

berkecimpung dalam ilmu pengetahuan.

Dalam konteks pengembangan ilmu, seorang ilmuwan harus memiliki sikap

ilmiah sebagai bagianintegral dari sifat ilmu. Hal ini disebabkan oleh karena

sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu

pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan

bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk

mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat

dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan

alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya

selaras dengan kehendak manusia dan kehendak Tuhan.

Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain:

a. pertama tidak ada rasa pamrih (disinterestedness), artinya suatu sikap yang

diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan

menghilangkan suatu pamrih atau kesenangan pribadi;

b. kedua, bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan

mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi.

Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing

menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu

cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya;

c. ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun

terhadap alat-alat indera serta budi (mind),

d. keempat, adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan

dengan merasa pasti (cinviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang

terdahulu telah mencapai kepastian,

e. kelima, adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu

tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada

dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang meninjol dalam

hidupnya,

Page 49: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

32

f. keenam, seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlaq) yang selalu

berkehendak untuk mengembangkan ilmu untukkemajuan ilmu dan untuk

kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara

(Abbas Hamami, 1996: 161-162).

2. Ilmuan Muslim Pada Masa Bani Abbasiyah

Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak

golongan sarjana dan Ilmuwan yang cukup hebat dalm berbagai bidang

keilmuwan. Dalam ajaran Islam, jika seseorang menemukan alat atau apapun

yang belum ada diciptakan oleh siapapun, maka wajiblah baginya untuk

menyebarkannya kepada umat manusia agar mereka semakin dapat

mempermudah pekerjaannya dan menjadikan mereka semakin bersyukur

kepada Allah.

Pada masa Bani Abbasiyah, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Mulai

dari bidang kedokteran, astronomi, kimia, matematika, filsafat dan yang

lainnya. Di setiap bidang ilmu pengetahuan tentu saja ada tokoh yang

mempeloporinya. Berikut beberapa tokoh Ilmuwan muslim pada masa Bani

Abbasiyah di antaranya;

1. Al-Kindi. Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya‘qub bin Ishaq ibn

Sabbah ibn Imran ibn Ismail bin Muhammad bin Al-Ash‘ats bin Qais Al-

Kindi. (Dedi Supriyadi, 2019: 50). Lahir di Kufah, iraq sekarang tahun 801

M, pada masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dari Dinasti Bani

Abbasiyah. Pendidikan al-Kindi dimulai di Kufah, dengan pelajaran yang

umum saat itu, yaitu al-Qur‘an, tata bahasa Arab, kesusteraan, ilmu hitung,

fiqih dan teologi. Yang perlu dicatat, kota kufah sst itu merupakan pusat

keilmuwan dan kebudayaan Islam, di samping Basrah, dan Kufah cenderung

pada studi keilmuwan rasional (aqliyah). Kondisi dan situasi inilah

tampaknya yang kemudian meggiring Al-Kindi untuk memilih dan

mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.

2. Al-Khawarizmi (194-266 H). Beliau telah menyusun buku Aljabar dan

menemukan angka nol (0). Angka 1-9 berasal dari Hindu, yang telah

dikembangkan oleh umat Islam (Arab).

3. Umar Khayam. Buku karyanya adalah Treatise On Algebra dan buku ini

telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis.

Lebih lanjut, Naskah Yunani diterjemahkan dalam bahasa Syiria Kuno lalu

dalam bahasa Arab. Hal ini karena penerjemah pendeta Kristen Syiria hanya

memahami bahasa Yunani. Kemudian ilmuan berbahasa Syiria dan Arab

menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pelopor penerjemahan Khalifah Abu

Ja`far Al Manshur. Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya,

makmur sebaliknya dunia Barat masih dalam kegelapan, bodoh dan primitif

(Sunanto, 2003: 54).

Pada masa tersebut dikenal ahli agama antara lain Imam Syafi`i yang pernah

mengajar fiqh di Baqdad. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi`i

menolak menjadi Qadi Dinasti Abbasiyah (Ahmad, 1996: 89). muncul tokoh

dalam bidang keilmuan masing-masing misalnya: Yahya ibn Haris, Hamzah ibn

Habib, Abu Abdurrahman Al Muqri, Khalaf ibn Hisyam, Abdullah ibn Abbas,

Page 50: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

33

Muqatil ibn Sulaiman, Muhammad ibn Ishak, Imam Muslim, Ibnu Muqaffa dll.

Adanya tokoh-tokoh intelektual menjadi bukti konkret kemajuan Islam yang

identik dengan The Golden Age (Bakar, 2000: 84). Ilmuan-ilmuan muslim

bermunculan ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa; a. Ilmu Naql Ilmu Naql

adalah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur`an, mencakup: ilmu qiraat,

tafsir, ilmu hadits, fiqh, ilmu kalam, nahwu, bahasa, bayan dan adab

(kesusastraan). 1) Ilmu Qiraat Ilmu qiraat dianggap fase awal dan cikal bakal

tafsir Al-Qur`an. Penyebab terjadinya beragam qiraat menjadi tujuh. Ahli qiraat

yang terkenal:Yahya ibn Haris Az Zamari, Hamzah ibn Habib Az Zayyat, Abu

Abdurrahman Al Muqri dan Khalaf ibn Hisyam Al Bazzar. 2) Tafsir Ahli tafsir

dalam menafsirkan Al-Qur`an berorientasi pada dua arah yaitu: at tafsir bi al

ma`sur dan at tafsir bi ar ra`yi. Seiring berjalannya waktu at tafsir bi al ma`sur

menerima pendapat ahli kitab yang masuk Islam, yaitu pendapat dari Taurat

dan Injil. Ahli tafsir yang terkenal adalah Abdullah ibn Abbas, Muqatil ibn

Sulaiman Al Azadi, Muhammad ibn Ishak, Jarir At Tabari. Pada masa ini

muncul kelompok Mu`tazilah (para pemikir bebas), mereka pendapatnya

bersandar pada akal. Dalam memerangi kelompok ini didirikan pendidikan

yang berasaskan Al-Qur`an dan membuat dalil yang mematahkan dalil musuh

yang terambil dari Al-Qur`an melalui tafsir. 3) Hadits Bangsa Arab baru

membukukan hadits sejak abad kedua hijriyah. Sehingga lahir ulama hadits

antara lain: Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, pengarang Sahih

Bukhari-Muslim. Kemudian muncul Abu Daud, pengarang kitab As Sunan, At

Tirmizi, pengarang kitab Al Jami`, An Nasa`i dan Ibnu Majah keduanya

pengarang kitab As Sunan dengan nama Al Kutub As Sittah. 4) Fiqh Diantara

ahli fiqh masa ini adalah Imam Malik ibn Anas, mengarang kitab Al Muwata`,

Al Mudawwanah. Ahmad ibn Hambal, Imam Syafi`i, Abu Hanifah, Al Lais ibn

Sa`d, Abu Yusuf, karyanya berupa Kitab Al Kharraj (disusun atas permintaan

Khalifah Harun Al-Rasyid). Kitab ini memuat urusan keuangan negara yang

hanya dikuasai oleh pejabat seperti Abu Yusuf dan berada dekat dari khalifah

serta menguasai fiqh. 5) Ilmu Kalam Ilmu kalam dirangkai berdasarkan logika,

terutama dalam hal yang berhubungan dengan akidah. Orang yang fokus dalam

ilmu ini disebut mutakallimun. Pada awalnya mutakallimun ditujukan kepada

orang yang fokus pada akidah keagamaaan, namun selanjutnya ditujukan

kepada yang menyalahi Mu`tazilah dan menjadi pengikut Ahlu Sunnah Wal

Jamaah. Ahli ilmu kalam terkemuka adalah Wasil ibn Ata, Abu Huzail Al

`Allaf, An Nizam, Abu Hasan Al Asy`arid an Hujjatul Islam Imam Gazali. 6)

Ilmu Nahwu Ahli ilmu nahwu Basrah disebut ―ahli logika‖. Diantara ilmuan itu

adalah Al-Asma`i dan Abu Ubaidah, Al-Mubarrad pengarang kitab Al Kamil. 7)

Kesusastraan a) Syair Penyair Abbasiyah yang terkenal adalah Abu Nawas,

dengan syairnya tentang arak, asrama, berburu dan ragam obyek syair lainnya

sejalan dengan kebudayaan dan kemewahan yang tersebar masa itu. Kehidupan

penyair tergantung kedekatan pada khalifah dan pembesar negara, oleh karena

itu syair sanjungan menjadi ciri utama syair masa ini. b) Prosa Abdullah ibn Al

Muqaffa menerjemahkan buku Pahlevi (Persia Kuno). Diantaranya Kalilah Wa

Dimnah dalam bahasa sanskerta. Ini dianggap sebagai buku prosa tertua sastra

Arab, tinggi susunan kalimat dan ungkapan. Pujangga masa ini, Abdul Hamid

Page 51: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

34

Al Katib, melakukan hal baru dalam menulis surat di awal surat ada pujian,

pembagian paragraf dan pasal, penutup surat, termasuk muatan surat yang

panjang lebar berkenaan dengan raja dan politik. b. Ilmu Aql Ilmu aql adalah

ilmu yang diambil orang Arab dari bangsa non Arab. Ilmu aql mencakup :

geografi, matematika, astronomi, kimia, filsafat, sihir, sejarah, teknik, ilmu

astrologi, musik, kedokteran dan seni arsitektur. 1. Geografi (ilmu bumi)

Perluasan wilayah dagang mendorongnya menulis untuk menerangkan apa

yang dialami. Tokohnya Ibn Khurdadbih menulis Kitab al-Masalik. Buku ini

merupakan petunjuk resmi dan hasil karya geografi tertua dalam bahasa Arab 2.

Matematika dan astrologi Pithagoras merupakan guru bangsa Arab dalam

bidang matematika, menurutnya seseorang tidak akan menjadi filosof dan

dokter yang baik tanpa mempelajari matematika. Dalam ilmu hitung terkenal

Imran ibn Al Wadhdhah dan Shihab ibn Kasir. Astrologi sangat dibutuhkan,

contohnya saat pembangunan kota Bagdad. Serta pemilihan waktu untuk

membai`at Ali Ar Rida. Ahlinya Al-Haris dan Ja`far ibn Umar Al Balkhi,

penulis Isbat Al`Ulum dan Haiah Al Falak. 3. Astronomi Ibn Ma`shar awalnya

ahli hadits, kemudian mempelajari astronomi dan setelah 47 tahun berhasil

membuat karya. 4. Kimia Jabir ibn Hayyan (ahli kimia), adalah orang Tarsus di

Eropa terkenal dengan nama Gaber. Ia banyak menulis buku kimia,

pertambangan dan batu-batuan yang bermanfaat bagi Eropa. 5. Filsafat Pada

periode ini ide Yunani memasuki pemikiran Islam. Beberapa filsuf Islam

karyanya diterjemahkan dalam bahasa Latin. Tokoh pertama yang mengenalkan

filsafat Yunani ke dalam dunia Islam adalah Al-Kindi. Teologi Al-Kindi dekat

dengan kaum Mu`tazilah sehingga disukai Khalifah Al-Ma`mun, Al-Mu`tasim

dan Al-Watsiq. Setelah kebijakan di bawah Al-Mutawakkil ia mengalami

penderitaan, bahkan perpustakaannya pernah disita walaupun pada akhirnya

dikembalikan, 6. Sejarah Ibn Muqaffa menerjemahkan Kitab Khuday Nameh

(Kitab Al Muluk) dari bahasa Pahlevi ke dalam bahasa Arab, dan dinamai Siyar

Muluk Al `Ajm. Buku ini dianggap contoh buku sejarah dikalangan bangsa

Arab. Hisyam ibn Muhammad Al Kalbi (wafat 204 H) dan ayahnya adalah

orang pertama bangsa Arab yang menulis dalam ilmu sejarah (Oktaviyani, 2018

188-191).

D. Konsep Lembaga Pendidikan Islam

Mengulas mengenai lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini Madrasah

merupakan lembaga pendidikan di dalamnya terdapat kurikulumnya yang

mengajarkan mata pelajaran dari berbagai disiplin keilmuan namun secara

umum ada tambahan pendidikan Islam melalui mata pelajaran seperti Aqidah

Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudaayaan Islam, Al Qur‘an Hadits, Bahasa Arab dan

lain sebagainya. Adapun kata ―madrasah‖ berasal dari bahasa Arab yang artinya

tempat belajar. Kata madrasah dalam bahasa Indonesia disamakan dengan kata

sekolah Islam, karena jika dikatakan madrasah maka sudah jelas maksudnya

adalah sekolah yang berbasis agama Islam, tetapi berbeda dengan lembaga

pendidikan Islam seperti pesantren walaupun sama sama sekolah Islam. Perlu

diketahui yang membuat madrasah dan pesantren berbeda adalah kurikulum

dan sistem pendidikan yang dipakai masing-masing lembaga, serta elemen-

Page 52: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

35

elemen dasar yang dimiliki tiap lembaga pendidikan. Elemen-elemen dasar

pesantren adalah kiai, santri, pondok, mesjid dan pengajaran kitab-kitab klasik,

sedangkan di madrasah tidak mengharuskan memiliki elemen-elemen tersebut

(Thoha, 2011: 239).

Pendidikan Islam mempunyai objek kajian yang sangat luas untuk dipelajari

dan dipahami, salah satu diantaranya adalah objek sejarah yang bersumber

melalui penuturan secara mutawatir yang terbukti bersumber dari pelaku

sejarah, bisa juga sejarah yang bersumber dari data-data yang ditemukan

melalui tulisan-tulisan yang representatif dan pembuktian dari benda-benda

bersejarah yang menjadikan sejarah itu menjadikan suatu yang benar-benar

terjadi (Thoha, 2011: 1). Lebih lanjut; pendidikan Islam sebagai proses

bimbingan (pimpinan, tuntunan, asuhan) oleh pendidik terhadap perkembangan

jiwa dan raga anak didik dengan bahan-bahan materi tertentu dengan alat

perlengakapan yang ada ke arah tercapainya pribadi tertentu (Islami) disertai

evaluasi dengan ajaran Islam (Thoha, 2011: 3). Pada perkembangannya

lembaga pendidikan Islam dibagi menjadi tiga bagian: Langgar, atau Surau,

selain merupakan tempat mengenalkan dadsar-dasar dan jiwa keagamaan.

Pengajarannya Al Quran, do‘a dan bacaan sholat bagi anak-anak yang

dilakukan dengan cara meniru, mengulang, dan menghapal. Tujuan yang utama

agar murid dapat membaca Al Quran sampai khatam. Pondok Pesantren,

merupakan ciri khas bagi kehidupan para santri untuk mendalami ilmu agama.

Ciri utama dari pondok pesantren adalah adanya masjid sebagai pusat kegiatan

para santri. Lamanya belajar di pesantren tidak dibatasi, sedangkan materinya

hanya pelajaran keagamaan. Yang meliputi: Ushuluddin (pokok-pokok

keimanan), Fiqih, Ushul Fiqih, Nahwu, Sharaf, dan sebagainya. Namun, sistem

ini lambat laun berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan

zaman. Pesantren mulai mempelajari materi-materi lain, selain materi

keagamaan, dengan tanpa mengesampingkan nuansa keagamaannya, tradisi

pesantren yang telah ada (Tafsir dkk, 2004: 51-52).

Khusus mengenai lembaga pendidikan Islam Masrasah di mana

perkembangannya pada era modern mengalami banyak transformasi misalnya

di Indonesia Madrasah, adalah lembaga pendidikan formal (sekolah) yang tidak

hanya mempelajari ilmu pengetahuan keagamaan, namun juga ilmu

pengetahuan umum. Lain halnya dengan pesantren, biasanya siswa-siswi

madrasah tidak harus tinggal di asrama. Madrasah ini dengan tahapan, MI

(Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah

Aliyah), Al Ja>mi‘ah (Perguruan Tinggi/UIN) Sedangkan dari sisi lain,

lembaga-lembaga pendidikan Islam dewasa ini, terdapat banyak jenis dan

bentuknya. Secara garis besar, ada tiga macam bentuk lembaga pendidikan

Islam, yaitu: lembaga pendidikan informal, lembaga pendidikan nonformal,

lembaga pendidikan formal (Suharto dkk, 2005: 102-105);

a. Lembaga Pendidikan Informal. Maksud dari lembaga informal ini adalah

pendidikan keluarga. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang

pertama bagi anak-anak. Di dalam keluarga inilah tempat meletakkan

dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia dini, karena pada usia ini,

Page 53: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

36

anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidikan orang tuanya atau

anggota keluarga lainnya.

b. Lembaga Pendidikan Nonformal. Maksudnya adalah lembaga pendidikan

yang ada di masyarakat, baik berupa pengajianpengajian, majelis taklim

atau yang lainnya. Majelis taklim misalnya, ia adalah lembaga pendidikan

yang ada di masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari kalangan

masyarakat Islam itu sendiri, yang kepentingannya untuk kemaslahatan

umat manusia. Maka, majelis taklim adalah lembaga swadaya masyarakat

yang keberadaannya didasarkan pada keinginan untuk membangun

masyarakat yang madani.

c. Lembaga Pendidikan Formal atau Sekolah. Sekolah adalah lembaga

pendidikan yang penting setelah keluarga. Semakin besar kebutuhan anak

dan semakin besar kehidupan keluarga, orang tua biasanya menyerahkan

tanggung jawab pendidikannya kepada lembaga sekolah. Sekolah di sini

berfungsi sebagai pembantu lembaga keuarga dalam mendidik anak. Tugas

guru dan pemimpin sekolah, di samping memberikan ilmu pengetahuan

dan keterampilan, juga memberikan bimbingan yang sesuai dengan tuntutn

agama.

Lebih lanjut (Suharto dkk, 2005) menjelaskan bahwa lembaga pendidikan

Islam khususnya di Indonesia menghadapi tantangan adapun tantangan yang

dimaksud sebagai berikut:

a. Tantangan bidang politik. Lembaga pendidikan Islam harus menghadapi

tantangan di bidang ini dengan obyektif, yaitu mau tidak mau harus

mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah di

dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), demi

mencapai tujuan perjuangan nasional, yaitu dengan cara terlibat aktif dalam

perumusan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan kependidikan.

b. Tantangan bidang kebudayaan. Di antara budaya asing yang mempengaruhi

kebudayaan bangsa ini adalah ―tren seks bebas‖. Ini merupakan tantangan

besar bagi lembaga pendidikan Islam untuk membentengi anak-anak bangsa

dari pengaruh-pengaruh negatif yang diakibatkan oleh kebudayaan tersebut.

Kalau tidak demikian, nilai-nilai kultural bangsa ini akan terancam pudar

dan akan musnah seiring berlalunya waktu.

c. Tantangan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehadiran alat-alat

canggih, sepert radio, televisi, komputer dan alat-alat elektronik lainnya

tentunya akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Alat-alat canggih

ini merupakan tantangan bagi pendidik dalam pengembangan sumber daya

manusia. Sebab, alat-alat ini dapat membawa dampak positif dan negatif,

termasuk juga adanya internet. Maka, tujuan pendidikan masa sekarang

tidak hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan,

keimanan, dan ketakwaaan saja, tetapi juga harus diarahkan pada upaya

melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri, dan produktif,

mengingat dunia yang akan datang adalah dunia yang kompetitif, penuh

persaingan.

d. Tantangan bidang ekonomi. Ekonomi merupakan tulang punggung

kehidupan suatu bangsa yang dapat menentukan maju-mundur, lemah-kuat,

Page 54: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

37

dan lambat-cepatnya suatu proses perkembangan sistem kependidikan dalam

masyarakat suatu bangsa. Oleh karena itu, kehidupan ekonomi suatu bangsa

banyak mempengaruhi pertumbuhan lembaga pendidikan. Maka, problem-

problem kehidupan ekonomi perlu dijawab oleh lembaga-lembaga

pendidikan.

e. Tantangan bidang sistem nilai. Sistem nilai adalah tumpuan norma-norma

yang dipegang oleh manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk

sosial, baik itu berupa norma tradisional maupun norma agama yang telah

berkembang dalam masyarakat. Sistem nilai juga dijadikan tolok ukur bagi

tingkah laku manusia dalam mayarakat yang mengandung potensi

mengendalikan, mengatur dan mengarahkan perkembangan masyarakat itu

sendiri. Namun demikian, sistem nilai tersebut bukannya tidak dapat

mengalami perubahan, terutama diakibatkan oleh faktor kemajuan berpikir

manusia itu sendiri maupun dari desakan oleh sistem nilai yang sianggap

lebih baik. Oleh karena itu, lembaga pendidikan perlu memberikan jawaban

yang tepat, sehingga kecenderungan dan sikap berpikir masyarakat tidak

terombang-ambing tanpa arah yang jelas.

Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari masyarakat

atau bangsa. Dalam operasionalitasnya selalu mengacu dan tanggap kepada

kebutuhan perkembangan masyarakat. Tanpa bersikap demikian, lembaga

pendidikan Islam dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural.

Kesenjangan inilah menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan dan

masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya

berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat. Oleh karena

itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam haruslah sesuai dengan tuntutan dan

aspirasi masyarakat, sebab tanpa memperhatikan hal tersebut, barangkali

untuk mencapai kemajuan dalam perkembangannya agak sulit (Hasbullah,

1996: 38-39).

E. Lembaga Pendidikan Pada Masa Bani Abbasiyah

Pada masa dinasti Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang

dengan sangat pesat sehingga anak-anak bahkan orang dewasa berlomba-lomba

menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat-pusat pendidikan meninggalkan

kampung halaman mereka, demi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dan

salah satu indikator berkembang pesatnya pendidikan dan pengajaran ditandai

dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Dalam dunia Islam sebelum munculnya lembaga pendidikan formal, mesjid

dijadikan sebagai pusat pendidikan selain untuk tempat menunaikan ibadah dan

mesjid-mesjid yang didirikan oleh para penguasa pada umumnya dilengkapi

dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan diantaranya

tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari ulama-ulama

yang merupakan kelompok-kelompok (khalaqah), tempat untuk berdiskusi dan

munazharah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan

ruang perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan

yang cukup banyak. Selain mesjid sebenarnya telah berkembang pula lembaga-

lembaga pendidikan Islam lainnya baik yang bersifat formal maupun non

Page 55: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

38

formal, lembaga-lembaga ini berkembang terus bersamaan dengan tumbuh dan

berkembangnya bentuk-bentuk lembaga pendidikan baik non formal maupun

formal yang semakin luas.

Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa dinasti

Abbasiyah tersebut adalah :

a. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar sewaktu agama Islam diturunkan

Allah sudah ada di antara para sahabat yang pandai tulis baca. Kemudian

tulis baca tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat

dalam Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam.

Kepandaian tulis baca dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam

ternyata memegang peranan penting dikarenakan dari awal pengajaran

alqur‘an juga telah memerlukan kepandaian tulis baca, karena tulis baca

semakin terasa perlu maka kuttab sebagai tempat belajar menulis dan

membaca, terutama bagi anak-anak berkembang dengan pesat.

b. Pendidikan rendah di istana, Pendidikan rendah di istana muncul

berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan

anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia

dewasa. Atas pemikiran tersebut khalifah dan keluarganya serta para

pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan pendidikan rendah ini agar

anak-anaknya sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan

tugas-tugas yang akan diembannya nanti. (Zuhairini, 2004:92).

c. Toko-toko kitab, Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam

yang semakin pesat terus diikuti dengan banyak buku-buku yang dibuat

dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka

banyaklah toko-toko yang berdiri yang menyediakan buku-buku yang telah

dibuat oleh para penulis buku. Sehingga menjadi lahan ekonomi juga bagi

para pedagang.

d. Rumah-rumah Para Ulama. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan

penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum.

Pelaksanaan kegiatan belajar di rumah pernah terjadi pada awal permulaan

Islam, Rasulullah Saw misalnya pernah menggunakan rumah al-Arqam

(Dar al-Arqam) bin Abi al-Arqam sebagai tempat belajar dan mengajar

tentang dasar-dasar agama yang baru serta membacakan ayat-ayat al-

qur‘an yang di turunkan. Dan pada masa Abbasiyah di antara rumah-

rumah para ulama yang digunakan sebagai lembaga pendidikan, rumah

yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-Rais Ibn

Sina; sebagian ada yang membaca kitab al-Syifa‘ dan sebagian lain

membaca kitab al-Qanun. (Abuddin Nata, 2011:156-157).

e. Majelis atau Salon Kesusastraan. Majelis atau salon kesusastraan adalah

sebuah majelis khusus yang dibangun oleh khalifah Harun al-Rasyid, dan

dipergunakan sebagai sarana atau tempat untuk membahas berbagai

macam ilmu pengetahuan. Pada masa itu, yaitu masa khalifah Harus al-

Rasyid, majelis sastra ini sangat diminati dan mengalami kemajuan yang

gemilang, karena Harun al-Rasyid sendiri adalah salah seorang yang mahir

dan ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan beliau juga

seseorang yang cerdas, maka beliau juga terjun aktif dalam mengisi kajian

Page 56: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

39

di majelis tersebut. Bahkan pada masa beliau juga sering diadakan

perlombaan antara ahli-ahli syair, debat antar fuqaha serta sayembara bagi

ahli kesenian dan pujangga. (Suwito, 2008:103).

f. Badiah. Badiah merupakan dusun-dusun tempat tinggal orang Arab yang

mana mereka tetap konsisten mempertahankan keaslian dan kemurnian

bahasa Arab. Mereka sangat memperhatikan kefasihan atau artikulasi yang

baik dan benar dalam berbahasa Arab dan memelihara kaidah-kaidah tata

bahasanya. Biasanya para khalifah mengirim anak-anaknya ke badiah

untuk mempelajari bahasa Arab murni serta syair-syair sastra Arab dari

sumber yang terpercaya. Bukan hanya anak-anak, para ulama serta ahli

ilmu juga datang ke badiah untuk belajar, karena fungsi badiah juga

sebagai lembaga pendidikan Islam.

g. Rumah Sakit. Untuk mewujudkan kesejahteraan para khalifah dan

pembesarpembesar Negara pada masa ini, banyak mendirikan rumah-

rumah sakit, rumah-rumah sakit tersebut selain sebagai tempat merawat

dan mengobati orang-orang sakit juga berfungsi sebagai tempat untuk

mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan

pengobatan serta tempat untuk mengadakan berbagai penelitian dan

percobaan (praktikum) dalam bidang kedokteran dan obat-obatan,

sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau

farmasi. Dengan demikian rumah sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi

sebagai lembaga pendidikan. (Zuhairini, 2004: 97).

h. Perpustakaan dan Observatorium. Dalam rangka mengembangkan ilmu

pengetahuan yang terjadi pada masa Abbasiyah, maka didirikanlah

perpustakaan dan observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah

lainnya. Pada lembaga ini, para penuntut ilmu diberikan kesempatan untuk

belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuannya. Tempat-tempat ini

juga digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti yang luas, yaitu

belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang

umumnya dipahami, melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada

aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan cara memecahkan

masalah, eksperimen, belajar sambil bekerja (learning by doing), dan

inquiry (penemuan). (Abuddin Nata, 2011:161). Kegiatan belajar yang

demikian ini dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-

lembaga pusat kajian ilmiah.

i. Madrasah. Madrasah muncul pada masa dinasti Abbasiyah sebagai

kelanjutan dari pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di

masjid-masjid dan tempat lainnya, selain minat masyarakat yang semakin

meningkat untuk mempelajari ilmu pengetahuan juga semakin

berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan untuk

mengajarkannya diperlukan guru yang lebih banyak, sarana dan prasarana

yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi yang lebih teratur. Untuk

menyelesaikan semua keperluan ini dibutuhkan suatu lembaga yang

bersifat formal, yaitu: madrasah.

Page 57: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

40

F. Ilmu Pengetahuan dan Kemajuan Peradaban Dinasti Abbasiyah

Sebagaimana Dinasti dalam sejarah pasti mengalami masa keemasan atau

kejayaan. Masa keemasan bisa ditandai dengan kemajuan yang pesat pada

bidang-bidang tertentu. Kemajuan dan keemasan dalam Islam, dapat dikatakan

terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah. Sehingga masa itu

dikenal dengan istilah ―The Golden Age of Islam‖.

Dinasti Bani Abbasiyah yang didirikan oleh al-Saffah dan al-Mansur ini

mencapai masa kejayaannya sejak masa khalifah al-Mansur hingga Khaifah

Wathiq. Kejayaan yang paling gemilang adalah pada masa pemerintahan Harun

al-Rasyid dan puteranya khalifah al-Makmun. bahkan, istana khalifah Harun ini

sangat terlihat kemegahan dan kemewahannya, dan disana sering kedatangan

para pujangga, ilmuan dan tokoh-tokoh penting dunia.

Sesungguhnya umat Islam telah banyak dipersiapkan dan dimotivasi untuk

dapat mengembangkan, melakukan inovasi serta kreatifitas dalam upaya

membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan hidup.

Dari sejarah yang ada, Bani Abbasiyah telah lebih banyak memberikan

sumbangsih kepada peradaban Islam jika dibandingkan dangan Bani Umayyah.

Runtuhnya Bani Umayyah yang kemudian digantikan oleh Bani Abbasiyah

bukan hanya sebagai pergantian kepemimpinan, tetapi lebih dari itu. Bani

Abbasiyah telah menorehkan sebuah sejarah peradaban Islam yang gemilang.

Dunia Islam pada masa kepemimpinan Abbasiyah telah memberikan banyak

kontribusi, refleksi kegiatan ilmiah, pengembangan ilmu pengetahuan, serta

wawasan dan disiplin keilmuan.

Salah satu kontribusi yang telah diupayakan Harun al-Rasyid dan putranya

al-Makmun adalah telah didirikannya sebuah akademi pendidikan pertama yang

juga dilengkapi dengan peneropongan bintang dan perpustakaan terbesar serta

lembaga penerjemahan yang diberi nama Baitul Hikmah. (Ali Mufrodi, 1997:

102).

Namun, serangan Bangsa Mongol yang memporak porandakan Dinasti

Abbasiyah sangan mempengaruhi peradaban Islam dan sejarah intelektualitas

ke depan sebagaimana dikemukakan oleh (Irawan, 2017: 26-27): Bangsa

Mongol meninggalkan catatan hitam dalam sejarah peradaban Islam dan dunia.

Bangsa Mongol memang dikenal sebagai bangsa yang pemberani,

keberadaannya, kekejamannya dan kebengisannya mencapai puncak pada masa

kepemimpinan Jenghis Khan dan beberapa garis keturunan ke bawah.

Meskipun demikian, kesalahan-kesalahan itu sebagian dianggap telah ditebus

oleh beberapa keturunannya yang tampil sebagai pembela Islam dan

memberikan energi baru untuk membangkitkan kembali peradaban Islam.

Namun, hancurnya peninggalan sejarah dan khazanah intelektual Islam sulit

terlupakan. Keruntuhan Baghdad juga menjadi catatan penting dalam

pembangunan sejarah peradaban Islam selanjutnya. Lemahnya solidaritas dan

perpecahan adalah sumber kehancuran, sehingga menjadi kesempatan

mengundang pihak musuh Islam untuk meleburkan keretakan yang sudah ada.

Serangan Mongol di negeri Islam, khususnya di Baghdad, selain berdampak

berakhirnya masa Khilafah Abbasiyah juga menjadi awal kemunduran umat

Islam terkait pewarisan khazanah ilmiahnya. Yang jelas, serangan Mongol di

Page 58: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

41

Baghdad meninggalkan catatan hitam yang penting untuk dijadikan pelajaran

berharga bagi generasi selanjutnya. Gambaran singkat dampak serangan

Mongol terhadap Baghdad di antaranya:

a. Politik. Kehancuran ibu kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan

Khilafah Abbasiyah berpengaruh besar terhadap mundurnya peradaban

Islam. Kekosongan kekhalifahan melemahkan kekuatan umat Islam,

bahkan peradaban islam banyak dipandang tenggelam setelah diapit

diantara dua kekuatan musuh Islam, tentara Salib di barat dan pasukan

Mongol di timur. Namun, anehnya Kota baghdad tidak semuanya.

dihancurkan, mungkin hulagu bermaksud menjadikan baghdad sebagai

tempat kediamannya, sehingga tidak dihancurkan seperti kota-kota

lainnya. Pada rezim Il- Khan atau Hulagu, Baghdad di turunkan posisinya

menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq Al-Arabi.

b. Sosial. Dampak sosial akibat serangan mongol di ibukota khalifah

abbasiyah tidak jauh berbeda dengan kondisi politiknya. Pembunuhan

massal, pembantaian bayi, anak, wanita, pemerkosaan, penjarahan.

Menjadi catatan hitam umat islam dalam perjalanan sejarah peradaban

islam. Kemakmuran yang perna dicapai pada masa Khalifah Harun Al-

Rasyid dan anaknya tinggal cerita.

c. Pendidikan dan keilmuan. Baghdad pada masa Khilafah Abbasiyah adalah

pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan budaya kecintaan terhadap

ilmu terlihat dari besarnya kontribusi ilmuan masa itu terhadap

perkembangan keilmuan setelahnya. Pembangunan perpustakaan, tokoh

buku, sekolah-sekolah, pusat kajian dan diskusi adalah aktivitas kaum

intelektualnya. Pada masa kehancuran kota baghdad sejarah mencatat

kisah pemusnahan buku-buku di Baitul Hikmah yang sebagiannya di

buang di sungai Tigris. Hanya beberapa karya yang sempat diselamatkan.

Ibnu Jubair menyatakan bahwa di Baghdad pada masa itu terdapat sekitar

tiga puluh madrasah. 10 salah satu sekolah yang selamat dari malapetaka

pemusnahan oleh bangsa Mongol adalah Madrasah Nizhamiyah dan dari

sana sejarah dan karya-karya para ilmuwan kembali dihidupkan.

d. Agama. Kehancuran Khilafah Abbasiyah menandai hancurnya

pemerintahan Islam bahkan mulai mundurnya peradaban Islam dalam

percaturan Internasional. Dampak dari serangan ini memperluas pengaruh

kristen, dengan ditandai dengan pemberian anugerah istimewah kepada

kepala keluarga Nestor dan keberpihakan Hulagu terhadap pasukan Perang

Salib dan Hulagu sendiri lebih menyukai warga Kristen dibanding warga

Islam. Meskipun demikian, pada masa kekuasaan Ghazan Mahmud (1295–

1304), penerus ketujuh Il-Khan, Islam menjadi Agama Negara, meskipun

tercatat ada sebagian kecenderungan kepada mazhab Syiah (Irawan, 2017:

26-27).

Lebih lanjut Irawan menjelaskan setelah penaklukkan Bani Abbasiyah,

bangsa Mongol banyak yang memeluk Islam; Setelah 35 tahun masuk wilayah

Islam dan berinteraksi dengan kaum muslimin, orang-orang Mongol mulai

tertarik dengan agama Islam. Bahkan, tidak sampai 50 tahun, mayoritas dari

mereka telah memeluk agama yang mulia ini. Mongol pun terbagi menjadi

Page 59: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

42

Mongol muslim dan Mongol paganis (penyembah berhala). Mereka korbankan

persaudaraan sesuku demi membela agama ini. Meskipun telah menjadi

muslim, ada sifat-sifat asli bangsa Mongol yang tidak hilang. Baik kepercayaan

maupun karakter. Memang, Islam telah merubah mereka, tapi perubahan itu

tidak terjadi menyeluruh seperti generasi awal Islam dulu. Di sisi lain, kita tidak

boleh melupakan jasa-jasa mereka. Orang-orang Mongol telah memberikan

sumbangsih besar dalam peradaban Islam. Bahkan apa yang mereka lakukan

tidak pernah terjadi sebelumnya dan tidak terulang lagi di masa setelahnya.

Wilayah-wilayah yang belum pernah diinjak oleh kaum muslimin menjadi

negeri Islam. Dari ujung timur hingga perbatasan provinsi-provinsi Arab, dan

batas-batas Eropa, menjadi wilayah Islam. Tak terbayangkan sebelumnya, tiba-

tiba dakwah Islam menyebar begitu saja di tengah orang-orang Mongol.

Dakwah masuk ke hati mereka tanpa tombak-tombak dan pedang-pedang. Juga

tanpa perebutan kekuasaan. Begitulah kemuliaan agama ini, pun dikenal oleh

musuh-musuhnya. Menyentuh hati-hati mereka. Menundukkan ruh raga yang

telah mengalahkan kaum muslimin. Ketertarikan masyarakat Mongol terhadap

Islam memang terbilang unik. Karena sebelumnya mereka menyerang dan

menyebar bagaikan hama belalang di suatu perkebunan. Merusak dan

menghancurkan. Tiba-tiba mereka menjadi saudara dan tunduk dengan petuah

para ulama. Thomas W. Arnold, seorang sejarawan dan orientalis asal Inggris,

juga merasakan keheranannya. Dalam bukunya The Preaching of Islam, ia

mengutarakan perasaan herannya pada para penakluk itu sekaligus rasa takjub

dengan kesungguhan pendakwah Islam. Mereka mengalahkan tantangan besar

dan melewati ujian yang sulit dalam berdakwah. Arnold takjub bagaimana bisa

pendakwah Islam bisa mengalahkan pendakwah Budha dan Kristen dalam

menarik hati penguasa Mongol. Padahal Islam adalah musuh Mongol.

Ditambah mereka memiliki hati yang keras, yang sebelumnya tertutup tidak

menerima keyakinan kecuali Samanisme Sebelumnya, nasib para ulama Islam

adalah dibunuh atau ditawan. Jenghis Khan memerintahkan hukuman mati bagi

siapa saja yang menyembelih hewan seperti kurban yang dilakukan umat Islam.

Hal ini terus berlangsung hingga masa Kubilai Khan. Kaisar Mongol dari

Dinasti Ilkhan, Arghun Khan (1284-1291), juga melakukan penyiksaan

terhadap umat Islam di negeri mereka. Dengan demikian, masuknya sejumlah

besar bangsa Mongol ke agama Islam adalah sebuah peristiwa yang luar biasa.

Wilayah mereka yang luas pun menjadi wilayah Islam (Irawan, 2017: 27-28).

G. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan

Sejak dahulu, masa awal dunia Islam, pusat segala kegiatan masyarakat,

baik bidang keilmuan maupun pemerintahan selalu bertempat di masjid.

Masjid merupakan muara segala bentuk kegiatan masyarakat. Bahkan dikatakan

pula masjid sebagai center of education. Maka, pada Dinasti Abbasiyah inilah

mulai adanya pengembangan lembaga pusat ilmu pengetahuan dan teknologi,

yang mana ma‟had dijadikan sebagai tempatnya. Lembaga ini kita kenal

dengan dua tingkatan yaitu :

a. Maktab atau Kuttab dan masjid. Yakni sebuah lembaga pendidikan yang

paling awal, dimana anak-anak dapat mulai belajar disana. Mengenal dasar-

Page 60: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

43

dasar bacaan, menghitung dan menulis, serta para remaja yang mulai

mempelajari dasar-dasar ilmu agama.

b. Pada tingkat selanjutnya, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya

dapat pergi ke luar daerah tempat tinggal, menuju tempat-tempat lain seperti

masjid atau mencari kerumah-rumah gurunya.

Pada perkembangan selanjutnya, mulailah banyak didirikan madrasah-

madrasah sebagai sarana untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Awal

mulanya yakni Nizham al-Mulk yang memerintah pada tahun 456-485 H.

Lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah.

Nizhamul Muluk merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam

bentuk yang ada seperti sekarang ini dengan nama madrasah. Madrasah ini

dapat ditemukan di beberapat kota seperti, Baghdad, Balkan, Naishabur, Hara,

Isfahan, Bashrah, Mausil dan kota-kota lainnya. Madrasah yang didirikan ini

mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang imu

pengetahuan.

H. Gerakan Penerjemahan di Era Abbasiyah

Berbicara mengenai gerakan penerjemahan yang terjadi pada masa Dinasti

Bani Abbasiyah, bahwasannya hal tersebut merupakan kelanjutan dari upaya-

upaya yang telah dilakukan pada masa Dinasti Umayyah. Ketika itu, setelah

terjadinya penaklukkan besar-besaran hingga sampai ke wilayah tiga benua,

saat itu keadaan politik dalam negeri dalam keadaan stabil, upaya penerjemahan

telah dilakukan meski dalam skala yang tidak besar.

Sejarah mencatat, bahwasannya, Khalifah Khalid ibn Yazid ibn Mu‘awiyah

pernah memerintahkan sejumlah filosof Yunani yang menguasai bahasa Arab

dan bermukim di Mesir untuk melakukan penerjemahan buku-buku yang

berbahasa Yunani dan Mesir Kuno (Qibti), kedalam bahasa Arab. Buku-buku

yang diterjemahkan tersebut antara lain yang yang berkaitan dengan ilmu medis

dan kimia. Selain itu, pada masa Abdul Malik ibn Marwan juga pernah

dilakukan penerjemahan diwan dari bahasa aslinya, yakni bahasa Pahavi-Persia

maupun Mesir Kuno ke dalam bahasa Arab.

Upaya penerjemahan yang dilakukan pada masa Dinasti Umayyah berbeda

dengan upaya yang dilakukan pada masa Dinasti Abbasiyah. Jika sebelumnya

upaya penerjemhan hanya dilakukan dalam skala kecil, maka pada masa

setelahnya dilakukan dalam skala besar. Penerjemahan di Era Abbasiyah sangat

didukung penuh oleh para khalifah, yang mana para khalifah saat itu memiliki

kecenderungan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan baik yang berasal dari

Yunani maupun Persia. Khalifah al-Mansur misalnya, beliau selalu

memberikan motivasi kepada para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Dalam

gerakan penerjemahan ini, beliau tidak membedakan agama maupun bangsa

para penerjemah. Bahkan di era ini, ada beberapa tokoh penerjemah yang

muncul yang bukan berasal dari ilmuwan muslim, salah satunya yaitu Abdullah

ibn al-Muqaffa (757 M). Ia adalh seorang Majusi yang kemudian memeluk

Islam. Karya yang berhasil ia terjemahkan adalah buku Kalilah wa Dimnah.

Hunain ibn Ishaq juga menerjemahkan buku-buku medis karya Hippocrates dan

Galen.

Page 61: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

44

Pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (170-194 H), banyak

para ilmuwan dan cendekiawan yang menetap di Baghdad. Masa itu juga,

khalifah mendirikan Baitu Hikmah sepagai pusat ilmu pengetahuan. Seperti

halnya sebuah akademi ilmiah, Baitul Hikmah ini dijadikan tempat sebagai

pusat segala aktivitas keilmuan mulai perpustakaan terbesar, penelitian,

penerjemahan bahkan juga dilengkapi dengan teropong bintang. Kemudian,

lembaga ini dikembangkan kembali pada masa Khalifah al-Ma`mun, dan

menjadi puncaknya di bawah tanggung jawab Hunayn ibn Ishaq. Pada masa

inilah al-Ma`mun melengkapinya dengan dibangun sebuah observatorium

sebagai pusat kajian astronomi, dan memiliki teropong bintang.

Selanjutnya, Baitul Hikmah menjadi sebuah pusat keilmuan yang sangat

gemilang dan tak tertandingi. Berbagai macam kegiatan keilmuan terjadi di

dalamnya. Penerjemahan dan penelitian dalam berbagai bidang dan tokoh

banyak dilakukan disana. Bidang yang meliputi ilmu-ilmu sosial dan sains,

seperti matematika, kimia, astronomi, kedokteran zoology, geografi, dan lain-

lain. Buku-buku penting karya Pythagoras, Plato, Aristotekes, Hippocrates,

Eculid, Plotinus, Galen, Sushruta, Charaka, Aryabhata maupun Brahmagupta

tak luput dari mereka. Maka tidak heran jika Philip K. Hitti mnyatakan

bahwasanya, Bitul Hikmah merupakan lembaga keilmuan yang paling penting

yang pernah dibangun peradaban manusia setelah sebelumya pernah

didirikannya Perpustakaan Alexandria pada pertengahan pertama abad ketiga

sebelum Masehi.

Popularitas Bayt al-Hikmah ini terus berlangsung sampai kepemimpinan Al-

Mu`tasim (berkuasa 833-842M) dan Al-Wātsiq (berkuasa 842-847M), tetapi

mulai tenggelam dan mengalami kemunduran pada masa kekuasaan Al-

Mutawakkil (847-861M).

Satu hal yang menarik untuk dicatat bahwa mayoritas para penerjemah

buku-buku kuno ke dalam bahasa Arab tersebut berasal dari warga non muslim

(ahl al-dzimmah) seperti Yohana ibn Māsawayh, Hunayn ibn Ishāq, Ishāq ibn

Hunayn, Hubaysh ibn al-A`sam, Tsābit ibn Qarrah al-Sābi‘i, Yahya ibn al-

Bitrīq, Iqlīdis ibn Nā`imah, Zarūbā ibn Mājwah al-Himsi, Āwī ibn Ayyub,

Qustā ibn Lūqā, Astufun ibn Bāsīl, Salībā Ayyūb al-Rahāwi, Dārī` al-Rāhib dan

lain-lain masih banyak lagi.

Catatan menarik lainnya, bahwa gerakan penerjemahan ini ternyata tidak

hanya menjadi perhatian pemerintah dan para khalifah sahaja, melainkan juga

oleh para pribadi dari kalangan elit semisal Banū Shākir yang juga mengelola

penerjemah-penerjemah handal yang bekerja siang malam untuk mereka.

Keluarga elit lain diceritakan bahkan sangat getol mengeluarkan harta

berlimpah untuk membayar para penerjemah mereka, seperti dilakukan oleh

Banū Al-Munajjim yang berani membayar 500 dinar kepada para penerjemah

tiap bulannya sebagai upah penerjemahan penuh waktu (li al-naql wa al-

mulāzamah).

Page 62: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

45

I. Kemajuan dalam Bidang Agama

Di bidang ilmu-ilmu agama, Era Abbasiyah mencatat dimulainya

sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan Fiqh.

Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam

bentuknya yang sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir, Hadits maupun Fiqh.

Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah Ibn Jurayj (w. 150 H) yang

menulis kumpulan haditsnya di Mekah, Mālik ibn Anas (w. 171) yang menulis

Al-Muwatta' nya di Madinah, Al-Awza`i di wilayah Syam, Ibn Abi `Urūbah

dan Hammād ibn Salāmah di Basrah, Ma`mar di Yaman, Sufyān al-Tsauri di

Kufah, Muhamad Ibn Ishāq (w. 151H) yang menulis buku sejarah (Al-

Maghāzi), Al-Layts ibn Sa‘ad (w. 175H) serta Abū Hanīfah.

Pada masa ini ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu

Hadits. Buku tafsir lengkap dari al-Fātihah sampai al-Nās juga mulai disusun.

Menurut catatan Ibn al-Nadīm yang pertama kali melakukan penyusunan tafsir

lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyād al-Daylamy atau yang lebih dikenal

dengan sebutan Al-Farrā. Tapi luput dari catatan Ibn al-Nadīm bahwa `Abd al-

Razzāq ibn Hammam al-San`āni (w.211 H) yang hidup sezaman dengan Al-

Farā juga telah menyusun sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa.

Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh

yang disebut sebagai empat imam mazdhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu

Abu Hanīfah (w.150 H), Mālik ibn Anas (w.179H), Al-Shāfi`i (w.204) dan

Ahmad ibn Hanbal (w. 241H).

Tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang dialami oleh ilmu Tafsir

dan ilmu Fiqh, ilmu Hadits juga mengalami masa penting khususnya terkait

dengan sejarah penulisan hadits-hadits Nabi yang memunculkan tokoh-tokoh

yang telah disebutkan diatas seperti Ibn Jurayj, Mālik ibn Anas, juga al-Rabī`

ibn Sabīh (w.160) dan Ibn Al-Mubārak (w. 181 H).

Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru

penulisan hadits Nabi dalam bentuk musnad. Diantara tokoh yang menulis

musnad antara lain Ahmad ibn Hanbal, `Ubaydullah ibn Mūsa al-`Absy al-Kūfi,

Musaddad ibn Musarhad al-Basri, Asad ibn Mūsā al-Amawi dan Nu`aym ibn

Hammād al-Khuzā`i.

Perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu

mulai pada pertengahan abad ketiga, muncul trend baru yang bisa dikatakan

sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadits, yaitu munculnya

kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan penelitian dan

pemisahan hadits-hadits sahīh dari yang dla`īf sebagaimana dilakukan oleh Al-

Bukhari (w.256), Muslim (w.261), Ibn Mājah (w.273), Abu Dāwud (w.275),

Al-Tirmidzi (w. 279), serta Al-Nasā‘i (w.303).

Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup

signifikan pada era Abbasiyah adalah ilmu sejarah, yang awal penulisannya

dilakukan oleh Ibn Ishāq (w. 152) dan kemudian diringkas oleh Ibn Hisyām (w.

218). Selanjutnya muncul pula Muhamad ibn `Umar al-Wāqidi (w. 207) yang

menulis buku berjudul Al-Tārīkh al-Kabīr dan Al-Maghāzi. Buku yang pertama

dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarahwan Al-Tabari

(838-923M). Sejarahwan lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad

Page 63: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

46

ibn Sa‘ad (w.230 H) dengan Al-Tabaqāt al-Kubrā-nya serta Ahmad Ibn Yahya

al-Balādhuri (w.279) yang menulis Futūh al-Buldān.

J. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi

Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya

terbatas pada ilmu-ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan `ulūm

naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan kemajuan ilmu-ilmu sains dan

teknologi (`ulūm aqliyah). Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia

Islam mendahului perkembangan ilmu filsafat yang juga berkembang pesat di

era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari kecenderungan bangsa

Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang

memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka (dzāt

al-atsar al-māddi fī hayātihim) dibanding buku-buku olah pikir (filsafat).

Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan

besar kepada peradaban manusia modern dan sejarah ilmu pengetahun masa

kini. Dalam bidang matematika misalnya, ada Muhamad ibn Mūsa al-

Khawārizmi sang pencetus ilmu algebra. Algoritma, salah satu cabang

matematika bahkan juga diambil dari namanya. Astronomi juga merupakan

ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslim era Abbasiyah dan

didukung langsung oleh Khalifah Al-Mansūr yang juga sering disebut sebagai

seorang astronom. Penelitian di bidang astronomi oleh kaum muslimin dimulai

pada era Al-Mansūr ketika Muhamad ibn Ibrāhīm al-Fazāri menerjemahkan

buku "Siddhanta" (yang berarti Pengetahuan melalui Matahari) dari bahasa

Sanskerta ke bahasa Arab.

Pada era Hārūn al-Rashīd dan Al-Ma‘mūn sejumlah teori-teori astronomi

kuno dari Yunani direvisi dan dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom

muslim yang terkenal pada era Abbasiyah antara lain Al-Khawārizmi, Ibn Jābir

Al-Battāni (w. 929), Abu Rayhān al-Biruni (w.1048) serta Nāsir al-Dīn al-Tūsi

(w.1274).

Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam atau yang

dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen. Beliau pula yang memegembangkan

teori-teori awal metodologi sains ilmiyah melalui eksperimen (ujicoba). Untuk

itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics. Ibn al-Haytsam juga

dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi

dan gerhana.

Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jābir ibn

Hayyān (atau Geber di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain

itu ada Abu Bakr Zakariya al-Rāzi yang pertama kali mampu menjelaskan

pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol. Dari para pakar kimia

muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang

memperkenalkan metode empiris ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar.

Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi yang

pertama kali mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika

dalam dunia medis dan farmakologi. Atau juga Al-Rāzi yang menemukan

penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina dan lain-lain. Disebutkan

pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era

Page 64: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

47

Abbasiyah, bahwa pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah (907-932M/295-

390H) terdapat sekitar 860 orang yang berprofesi debagai dokter.

Di samping kemajuan beberapa disiplin ilmu sains sebagaimana yang telah

dipaparkan di atas umat Islam Era Abbasiyah juga mengalami kemajuan ilmu

dibidang ilmu lainnya seperti biologi, geografi, arsitektur dan lainnya.

Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan

inovasi penting yang sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah

pengembangan teknologi pembuatan kertas. Kertas yang pertama kali

ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh bangsa China berhasil

dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi

pembuatannya dipelajari melalui para tawanan perang dari Cina yang berhasil

ditangkap setelah meletusnya Perang Talas. Setelah itu kaum Muslim berhasil

mengembangkan teknologi pembuatan kertas tersebut dan mendirikan pabrik

kertas di Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M di Baghdad

terdapat ratusan percetakan yang mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid

untuk membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat itu mulai

bermunculan, termasuk perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang

sejarah. Dari Baghdad teknologi pembuatan kertas kemuddian menyebar hingga

Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia pada abad 13M.

Selain itu, dalam bidang sejarah dan geografi, pada masa Abbasiyah

terdapat sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin Al-Yakubi, Abu

Jafar Muhammad bin Jafar bin Jarir Al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang

masyhur adalah ibnu Khurdazabah.

K. Perkembangan Politik, Ekonomi dan Administrasi

Sejarah telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam

benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat

itu. Masa pemerintahan ini merupakan golden age dalam perjalanan sejarah

peradaban Islam, terutama pada masa Khalifah Al-Makmun.

Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-1258 M).

pemerintahan yang panjang tersebut dapat dibagi dalam dua periode. Periode I

adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas

sampai Al-Mustakfi. Periode II adalah masa antara tahun 945-1258 M, yaitu

masa Al-Mu‘ti sampai Al-Mu‘tasim. Pembagian periodisasi ini diasumsikan

bahwa pada periode pertama, perkembangan di berbagai bidang masih

menunjukkan grafik vertikal, stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II,

kejayaan terus merosot sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil

menghancurkan Dinasti Abbasiyah.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik

yang dikembangkan antara lain:

a. Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad

b. Memusnahkan keturunan Bani Umayyah

c. Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri,

Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum

mawali

d. Menumpas pemberontakan-pemberontakan

Page 65: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

48

e. Menghapus politik kasta

Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil

dalam program politiknya adalah:

1. Para Khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima

perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali

2. Kota Bagdad ditetapkan sebagai ibukota Negara dan menjadi pusat kegiatan

politik, ekonomi dan kebudayaan

3. Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah II, kekuasaan politik mulai menurun

dan terus menurun, terutama kekuasaan politik pusat. Karena negara-negara

bagian sudah tidak begitu mempedulikan lagi pemerintahan pusat, kecuali

pengakuan secara politis saja.

Dalam masa permulaan pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi

dapat dikatakan cukup stabil dan menunjukkan angka vertikal Devisa negara

penuh berlimpah-limpah. Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh ekonom

Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang

ekonomi dan keuangan negara.

Di sektor pertanian, daerah-daerah pertanian diperluas disegenap wilayah

negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah

pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi. Disektor perdagangan, kota

Bagdad disamping sebagai kota politik agama dan kebudayaan, juga merupakan

kota perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan kota Damaskus

merupakan kota kedua Sungai Tigris dan Efrat menjadi pelabuhan transmisi

bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontrak

perdagangan tingkat Internasional ini semenjak Khalifah Al-Mansur.

Dalam bidang administrasi negara, masa Dinasti Abbasiyah tidak jauh

berbeda dengan masa Umayyah. Hanya saja pada masa ini telah mengalami

kemajuan-kemajuan, perbaikan dan penyemprunaan. Secara umum, menurut

Philip K. Hitti, kendali pemerintahan dipegang oleh khalifah sendiri. Sementara

itu, dalam operasionalnya, yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan

kepada wazir (menteri), masalah hukum diserahkan kepada qadi (hakim) dan

masalah militer dipegang oleh amir (Ajid Thohir, 2004: 55).

Page 66: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

49

BAB III

FAKTOR PENDORONG PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN BANI

ABBASIYAH

A. Kilas Balik Sejarah Kekuasaan Masa Pemerintahan Bani Abbasiyah

Mengulas pada awal mula tegak berdirinya Bani Abbasiyah; pilar berdirinya

dinasti Bani Abbasiyah, berawal ketika melemahnya sistem internal dan

performance pemerintahan Bani Umayyah yang mengakibatkan pada

kemunduhran dan keruntuhan Dinasti Umayyah di Damaskus, maka upaya

untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah dari kalangan

Bani Abbasiyah. Kalangan syi‘ah dan masyarakat lain sangat simpati dengan

Propaganda revolusi Abbasiyah, karena bernuansa keagamaan, dan berjanji

akan menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh

khulafaurrasyidin (Abdurrahman dkk, 2003: 118).

Di antara yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah

adanya beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung lagi terhadap

kekuasaan imperium bani Umayyah yang notabenenya korupsi, sekuler dan

memihak sebagian kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij

(Yatim, 2008: 49-50).

Abu Al-Abbas telah membuka drama besar politik Islam (750-754 M) yang

berperan sebagai pelopor, pangung drama besar ada di Irak. Dalam khotbah

penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di masjid Kufah,

Khalifah Abbasiyah pertama yang menyebut dirinya As-saffah, penumpah

darah, yang kemudian menjadi julukanya. As-Saffah menjadi pendiri dinasti

Arab Islam ketiga setelah khulafa Ar-Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang

sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M hingga 1258 M. Keluarga Abu Al-

Abbas memegang pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa.

Keluarga Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati

kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, pengganti pemerintahan sekuler

(mulk) Dinasti Umayyah. Misalkan dalam berbagai kesempatan seremonial,

Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana kerajaanya, ketika dinobatkan

sebagai khalifah dan pada shalat jumat, khalifah mengenakan jubah (burdah)

yang pernah di kenakan oleh saudara sepupunya, Nabi Muhammad SAW. Masa

pemerintahan As-Saffah begitu singkat, ia berkuasa (754-775 M.), dan wafat

karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an.

Di bawah ini merupakan silsilah para khalifah dari Bani Abbasiyah, mulai

dari Abbas bin Abdul-Muththalib sampai khalifah terakhir dari Bani Abbasiyah

yang berkuasa di Baghdad, dalam perkembangan pemikiran dan peradaban

umat Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah Bani

Abbasiyah berjumlah 37 khalifah (Munir, 2014: 141-143) yang dapat dilihat

dari tabel berikut:

Page 67: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

50

Tabel 1: Bani Abbasiyah Berjumlah 37 Khalifah

Nomor Urutan Kekuasaan Nama Khalifah dan Periode Berkuasa

1 Abul Abbas Ash-Shafah

(Pendiri) 749-754 M

2 Abu Ja‘far Al-Manshur

754-775 M

3 Abu Abdullah Muhammad

Al-Mahdi 775-785 M

4 Abu Muhammad Musa Al-

Hadi785-786 M

5 Abu Ja‘far Harun Ar-Rasyid

786-809 M

6 Abu Musa Muhammad Al-

Amin809-813 M

7 Abu Ja‘far Abdullah Al-

Ma‘mun813-833 M

8 Abu Ishaq Muhammad Al-

Mu‘tashim 833-842 M

9 Abu Ja‘far harun Al-Watsiq

842-847 M

10 Abu Fadl ja‘far Al-

Mutawakil847-861

11 Abu Ja‘far Muhammad Al-

Muntashir 861-862 M

12 Abul Abbas Ahmad Al-

Musta‘in862-866 M

13 Abu Abdullah Muhammad

Al-Mu‘taz 866-869 M

14 Abu Ishaq Muhammad Al-

Muhtadi 869-870 M

15 Abul Abbas Ahmad Al-

Mu‘tamid 870-892 M

16 Abul Abbas Ahmad Al-

Mu‘tadid892-902 M

17 Abul Muhammad Ali Al-

Muktafi 802-905 M

18 Abul Fadl Ja‘far Al-

Muqtadir905-932 M

19 Abu Mansur Muhammad Al-

Qahir 932-934 M

20 Abul abbas Ahmad Ar-

Radi934-940 M

21 Abu Ishaq Iabrahim Al-

Muttaqi 940-944 M

Page 68: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

51

22 Abul Qasim Abdullah

Al-Mustaqfi 944-946 M

23 Abul Qasim Al-Fadl Al-

Mu‘ti946-974 M

24 Abul Fadl Abdul Karim

At-Thai 974-991 M

25 Abul Abbas Ahmad Al-

Qadir991-1031 M

26 Abu Ja‘far Abdullah Al-

Qaim1031-1075 M

27 Abul Qasim Abdullah

Al-Muqtadi 1075-1094

M

28 Abul Abbas Ahmad Al-

Mustadzir 1094-1118 M

29 Abu Manshur Al-Fadl

Al-Mustarsyid 1118-

1135 M

30 Abu Ja‘far Al-Mansur

Ar-Rasyid 1135-1136 M

31 Abu Abdullah

Muhammad Al-Muqtafi

1136-1160 M

32 Abul Mudzafar Al-

Mustanjid1160-1170 M

33 Abu Muhammad Al-

Hasan Al-Mustadi 1170-

1180 M

34 Abul Abbas Ahmad An-

Nasir1180-1225 M

35 Abu Nasr Muhammad

Az-Zahir 1225-1226 M

36 Abu Ja‘far Al-Mansur

Al-mustansir 1226-1242

M

37 Abu Abdullah Al-

Mu‘tashim Billah 1242-

1258 M

Sumber: (Munir, 2014: 143)

Untuk mencapai kejayaan tersebut, tergambar bahwa strategi dan aktivitas

yang efektif dilakukan oleh para Khalifah Dinasti Abbasiyah adalah: Pertama,

keterbukaan. Jika dibandingkan dengan masa kekhalifahan Umayyah yang

sangat membatasi diri dengan pihak luar, keadaan pemerintah Dinasti

Abbasiyah sebaliknya. Bentuk pemerintahan Dinasti Umayyah lebih menonjol

Page 69: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

52

kepada pemerintahan Arab, sedangkan politik Dinasti Abbasiyah merupakan

pemerintahan campuran dari segala bangsa. Kedua, kecintaan pada ilmu

pengetahuan. Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan Islam banyak

digali oleh para ulama (intelektual) Islam. Sebab para Khalifahnya sangat

senang dengan ilmu pengetahuan. Karena itu dinasti ini sangat besar jasanya

dalam memajukan peradaban Islam di mata dunia. Ketiga, toleran dan

akomodatif. Corak kehidupan orang-orang Abbasiyah lebih banyak meniru tata

cara kehidupan bangsa Persia. Pada masa ini kebudayaan Persia berkembang

sangat maju, sebab bangsa Persia mempunyai kedudukan yang baik di kalangan

keluarga istana. Banyak orang Persia yang dipilih untuk mengendalikan

pemerintahan Dinasti Abbasiyah (Al Muhdar dan Arifin, 1983: 135). Peradaban

Islam maju dan berkembang di semua sektor kehidupan karena ditunjang oleh

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Baghdad merupakan kota terbesar

dan kosmopolitan yang menjadi perantara antara dunia Mediterania dan Hindu-

China di timur. Kebesaran Baghdad didukung oleh adanya tiga wilayah

kekuasaan Islam yang memicu perkembangan sains dan teknologi ke arah

kemajuan, yaitu Timur Tengah Mesir, Pantai Utara Afrika dan Andalusia. Saat

itu, dunia Islam memiliki gaya hidup khas lebih superior dari dunia Barat yang

masih dalam kegelapan (Yusuf, 2006: 11-12).

Perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian,

melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas,

tembaga dan besi ketika pada masa al-Mahdi. Namun Popularitas Daulah

‗Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809

M) dan puteranya al-Ma‘mun (813-833M). Harun al-Rasyid memanfaatkan

kekayaannya untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter,

dan farmasi. Maka sekitar 800 orang dokter yang disiapkan oleh Harun Al-

Rasyid. Selain itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Maka pada

masa khalifah beliau inilah mencapai puncak kemakmuran Dinasti Abbasiyah.

Kesehatan, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan

kebudayaan serta kekuasaan berada pada zaman keemasannya. Pada masa

inilah Islam menempati dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi

(Yatim, 1998: 53).

Sejarah kekuasaan Bani Abbasiyah menunjukkan gejolak politik yang

begitu kuat di kalangan umat Islam, kendati demikian kemajuan ilmu

pengetahuan berkembang begitu pesat sejalan dengan perkembangan sosial,

politik, ekonomi, dan kebudayaan. Kecintaan kaum Muslimin terhadap ilmu

sangatlah kuat sebab bagi kaum Muslim menuntut ilmu merupakan suatu

kewajiban dari mulai buayan ibu hingga liang lahat. Selain itu, kaum Muslimin

juga cinta terhadap Al-Quran yang berbahasa Arab, hal tersebut mempengaruhi

pertumbuhan filsafat dan ilmu pengetahuan serta literasi—yang pada masa

keemasan Bani Abbasiyah bahasa Arab dijadikan bahasa ilmiah serta alat

pemersatu kaum Muslim. Dalam hal ini (Syalabi, 2003: 160) mengkatagorikan

masa keemasan ilmuan yang berlangsung pada pemerintahan Dinasti

Abbasiyah dalam tiga bidang kegiatan, yaitu penyusunan buku-buku ilmiah,

penerjemahan dari bahasa asing kedalam Bahasa Arab dan pengaturan kembali

ilmu-ilmu Islam. Hal inilah yang kemudian memberi warna tersendiri bagi

Page 70: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

53

perkembangan intelektualitas kaum Muslimin—banyak sudah karya-karya

filsuf Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab—ini artinya budaya

Islam masuk kedalam Bahasa Arab yang mempengaruhi cara pandang kaum

muslim terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi mereka.

Ada hal yang menarik bahwasanya Dinasti Abbasiyah pada periode Harun

Ar-Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833) dimana pada masa

ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada

perluasan wilayah. Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa

khalifah. Ketika Ar-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur,

kekayaan melimpah, ilmu pengetahuan berkembang, keamanan terjamin, dan

wilayahnya meluas mulai dari Afrika Utara hingga ke India. Atas dasar itulah

dipandang penting untuk mengulas biografi Harus ar-Rasyid dan Al-Makmun

sebab melalui kedua khalifah inilah lembaga pendidikan Islam, kemajuan ilmu

pengetahuan dan semangat intelektualitas Islam mengalami gairah atau

kemajuan yang sangat pesat melampaui masa khalifahan yang lain.

1. Biografi Singkat Harun Ar-Rasyid F. Al-Rasyid yang legendaris ini

terlahir pada 17 Maret 763 M di Rayy, Teheran, Iran. Dia adalah putera

dari Khalifah Al-Mahdi bin Abu Ja‘far Al-Mansur - khalifah Abbasiyah

ketiga (Yatim, 2006: 52). Dalam hal ini ar-Rasyid dirinya mendapatkan

pendidikan dalam lingkungan istana kekehalifahan Abbasiyah, baik dari

segi pendidikan keagamaan maupun dalam hal segi ilmu bidang

pemerintahan dan kekuasaan. Ar-Rasyid dididik dan mendapat pembinaan

dari kekuasaan Bani Barmaki, yaitu Yahya bin Khalid yang merupakan

salah seorang dari keluarga Barmak tentunya memilik peran yang

signifikan dalam hal pemerintahan pada masa Bani Abbasiyah, sehingga

tidaklah heran jika dirinya menjadi atau tergolong sebagai kaum terpelajar

terdidik, cendikiawan yang cerdas, serta pasih dalam berbicara dan

memiliki berkepribadian berkarakter kuat (Ahmad, 1996: 105). Karena

itulah ia memiliki kecerdasan yang mumpuni kendati usianya terbilang

masihlah sangat muda, dirinya telah terlibat dalam urusan-urusan

kekuasaan dan pemerintahan ayahandanya. Serta, mendapatkan

pengajaran dan pendidikan keprajuritan atau ketentaraan kala itu. kala

ayah Harun ar-Rasyid berkuasa dirinya dipercaya 2 (dua) kali untuk

memimpin penyebaran wilayah atau ekspedisi militer dalam melakukan

penyerangan ke Bizantium 779 hingga780 dan pada 781 hingga 782

ekpansi militer tersebut hingga sampai ke wilayah pantai Bosporus.

Dirinya didampingi pejabat-pejabat bergolongan tinggi serta para jenderal

pensiunan. Sebelum dirinya dilantik menduduki kursi kekuasaan khalifah,

ar-Rasyid pernah dinobatkan sebagai pemegang kekuasaan sebagai

gubernur sebanyak dua kali secara berturut-turut, yakni di daerah as-

Saifah tahun 163 Hijriah \779 Masehi dan pada wilayah Magribi tahun

780 Masehi (Ensiklopedi Islam, 1994: 86). Setelah dua kali menjabat

sebagai gubernur, kemudian pada 166 Hijriah /782 Masehi Khalifah Al-

Mahdi melakukan pengukuhkan putra Mahkota menjadi khalifah sesudah

saudaranya, Al-Hadi, setelah pengukuhannya selanjutnnya 4 tahun

setelahnya tepatnya tanggal 14 September 786 Masehi dimana ar-Rasyid

Page 71: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

54

secara tegas memproklamirkan dirinya menjadi seorang khalifah, dalam

hal ini untuk mengganti saudaranya itu yang wafat. Ketika menduduki

kursi kekuasaan kekhalifahan, dirinya pun melakukan pengangkatan

Yahya bin Khalid dilantik menjadi wazir (perdana menteri) demi untuk

menjalankan pemerintahan yang dapat dinilai kekuasaan yang penuh tidak

mengenal batas atau kekuasaan tak terbatas. Harun ar-Rasyid secara tegas

memberi mandat pada Yahya: ―Sesungguhnya Aku serahkan kepadamu

urusan rakyat, tetapkanlah segala sesuatu menurut pendapatmu, pecat

orang yang patut dipecat, pekerjakanlah orang yang pantas menurut

kamu dan jalankan segala urusan menurut pendapatmu.‖( Ensiklopedi

Islam, 1994: 86). Yahya tidaklah menyiakan kebaikan kepadanya

sehingga ia tidaklah pernah melakukan penangguh dalam hal membalas

kebaikan tersebut (Maududi, 1996: 253). Adapun sifat-sifat khalifah

Harun ar-Rasyid diantaranya yang menonjol beliau terkadang diibaratkan

angin ribut berhembus kencang, akan tetapi kadang diibaratkan angin

yang berhembus sepoi basah, dimana ia mengutamakan kekuatan akalnya

dan mengenyampingkan emosi-emosi pribadinya, jika beliau marah

begitu sangatlah garang serta menggeletar bagian seluruh tubuhnya itu

dan kala beliau menuturkan nasihat begitu lembut hingga beliau menangis

tersedu (Syalabi, 1993: 108). Pada zaman Harun Al- Rasyid inilah

perkembangan Islam dari segi ilmu pengetahuan melejit dengan pesat dan

Islam mempelopori sebagai agama yang haus dengan ilmu pengetahuan,

Terbukti dengan maraknya proyek-proyek penerjemahan buku-buku dari

berbagai bahasa ke dalam bahasa Arab. Pada masa pemerintahannya

hidup tiga tokoh utama fikih Islam; Imam Malik bin Anas yang wafat

pada 179 H/795 H, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi‘i yang wafat

pada tahun 204 H/ 817 M dan Imam Ahmad bin Hambal yang wafat pada

tahun 780 H/ 855 M. Selain itu, pada masa kepemimpinannya muncul

tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam dunia bahasa dan

kesusatraan, tasawwuf serta tokoh-tokoh dalam ilmu-ilmu eksak. Kitab al-

Aghani yang sangat terkenal itu merupakan karya dalam dunia sastra yang

muncul pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Disamping itu, salah

satu karya sastra yang dikenal oleh dunia hingga saat ini adalah kisah

seribu satu malam (Sou‘yb, 1997: 131).

2. Biografi Singkat Al-Makmun. Beliau memiliki nama lengkap Abdullah

Abbas Al-Ma‘mun. Abdullah Al-Ma‘mun dilahirkan pada tanggal 15

rabi‘ul awal 170 H/ 786 M. Bertepatan dengan wafat kakeknya Musa Al-

Hadi dan naik tahta ayahnya, Harun Al- Rasyid. Al-ma‘mun termasuk

putra yang jenius, sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca

Al-Qur‘an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama kasai Nahvi dan

Yazidi. Selain belajar Al-Qur‘an, ia juga belajar Hadits dari Imam Malik

di Madinah. Kitab yang digunakan adalah karya Imam Malik sendiri,

yaitu kitab Al-muwatha. Disamping ilmu-ilmu itu, ia juga pandai Ilmu

sastra, belajar Ilmu tata Negara, hukum filsafat, astronomi, dan lain

sebagainya. Sehingga ia dikenal sebagai pemuda yang pandai. Setelah

berhasil mengatasi berbagai konflik internal, terutama dengan saudaranya

Page 72: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

55

bernama Al-Amin, akhirnya Al-Ma‘mun menggapai cita-citanya menjadi

khalifah pada tahun 198 H/ 813 H Al-Ma‘mun adalah Seorang Khalifah

termasyhur sepanjang sejarah dinasti Bani Abbasiyah. Selain seorang

pejuang pemberani, juga seorang penguasa yang bijaksana.

Pemerintahannya menandai kemajuan yang sangat hebat dalam sejarah

Islam. Selama lebih kurang 21 tahun masa kepemimpinannya mampu

meninggalkan warisan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga.

Kemajuan itu meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan, seperti

matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat. Al-Makmun memerintah

dari tahun 198-218 H/808-833 M demikianlah menurut Ali Nurpiah

(Nizar, 2011: 71). Pada zaman Al Makmunlah Bait Al-Hikmah berfungsi

secara maksimal. Bait al-Hikmah merupakan bagian dari bangunan istana

khalifah yang terletak di kota Baghdad, lembaga ini dikelola oleh

sejumlah mudir (direktur) para ilmuwan yang diberi gelar ―Shahib‖.

Direktur Bait al-Hikmah ini disebut dengan ―Shahib Baitul Hikmah‖.

Direktur pertamanya yaitu Sahal Ibn Harun al-Farisi (215 H/ 830 M). Ia

diangkat oleh Khalifah al-Ma‘mun, selain itu ia dibantu oleh Said ibn

Harun yang dijuluki juga dengan Ibn Harim, untuk mengurusi Bait al-

Hikmah. Hasan Ibn Marar Adz-Dzabi juga diangkat di kantor Bait al-

Hikmah (As-Sirjani, 2003: 248); Pada masa al-Ma‘mun pula Bait al-

Hikmah tidak hanya sebagai perpustakaan tapi juga sebagai akademi dan

biro penerjemahan sekaligus, serta turut dikembangkan pula sebagai pusat

aktivitas intelektual yang kemudian berlanjut pada masa penerusnya.

Berkembangnya perpustakaan Bait al-Hikmah, tidak terlepas dari

beberapa faktor sebagai berikut. Pertama, kecintaan Khalifah Abbasiyah,

dalam hal ini khususnya al-Manshur, Harun al-Rasyid, dan al-Ma‘mun

terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, adanya kegiatan penerjemahan secara

besar-besar yang berlangsung sepanjang abad kesembilan dan sebagian

besar abad kesepuluh. Ketiga, berkembangnya penggunaan kertas dalam

dunia Islam. Keempat, banyaknya ilmuwan dari berbagai penjuru dunia

yang datang untuk belajar dan melakukan penelitian di Kota Baghdad.

Kelima, kekayaan Dinasti Abbasiyah dan dukungan materil untuk

berbagai aktivitas intelektual, seperti memberikan imbalan yang besar

bagi setiap ilmuwan, pendanaan untuk lembaga penerjemahan dan

observatorium dan lain-lain. Keenam, adanya tuntunan menuntut ilmu

yang ditanamkan dalam ajaran Islam, yang mendasari semangat khalifah

dan para ilmuwan (Watt, 1995: 199). Lembaga ini menggabungkan

perpustakaan, sanggar sastra, lingkaran studi dan observatium sekaligus,

yang kesemuanya itu di bawah kekuasaan al-Ma‘mun. Baitul Hikmah

merupakan perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembangan

ilmu pengetahuan. Institusi ini merupakan kelanjutan dari institusi serupa

dimasa Imperium Sasania Persia yang bernama Jundhisapur Academi

(Khuluq, 2003: 126). Dalam hal ini dimana Khalifah al-Ma‘mun dirinya

dikenal sosok pribadi yang tinggi, bahwasanya ia memiliki minat yang

amat tinggi bagi berbagai perkembangan ilmu pengetahuan. Dirinya telah

melakukan berusaha maksimal dalam hal mengumpulkan buku-buku yang

Page 73: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

56

langka berharga banyak pula lokasi yang lengkap dengan aneka

perbedaannya kemudian ia kumpulkan di Bait al-Hikmah. Bahkan al-

Ma‘mun membeli buku-buku bahkan ia mengirim utusannya untuk pergi

ke wilayah konstatinopel dengan tujuan mendapatkan hal apapun

diinginkannya itu. Bahkan, tak jarang pula ia pergi membeli buku-buku

tersebut sebab buku itu ia nilai memiliki isi yang dapat menarik

perhatiannya, atau dilakukan dengan cara mengirim utusan ke negeri-

negri asing, yang kemudian diperuntukkan demi menunjukkan ihwal

kitab-kitab di tangan mereka yang sejatinya mereka koleksi. (As-Sirjani,

2003: 241).

Demikianlah biografi singkat Harun Ar-Rasyid dan Al-Makmun,

melalui dua khalifah inilah Dinasti Abbasiyah mempelopori keilmuan

yang berpengaruh dari timur hingga barat dan Dinasti Abbasiyah

membuktikan dirinya sebagai negara maju, bukan hanya dari sisi ekonomi

dan politik, melainkan juga dari sisi peradaban kebudayaan khususnya

intelektualitas dan keilmuan. Dalam perkembangan pendidikan dan

intelektualis Islam tentunya kelompok Sunni dan Syi‘ah memiliki peranan

yang besar dalam mempengaruhinya sebagaimana motivasi pendirian

Madrasah Nizhamiyah salah satunya bertujuan untuk melakukan

pembinaan dan penyebaran paham sunni Asy'ary guna menghadapi

paham syi'ah yang beberapa ajarannya cenderung ke Mu'tazilah. Atas

karena itulah, terutama Asy'arisme di ajarkan secara khusus dan intensif.

Dalam hal ini harus diakui bahwa beberapa pengajar pada madrasah ini

juga dikenal ahli dalam ilmu kalam, bahkan penganut asy'arisme,

umpamanya Imam Al-Harmain Abdul Ma'ali Yusuf Al- Juwaini (w

1084M/478H) dan Abdul Hamid Al-Ghazali (w 1111 M/505H).

Madrasah Nizhamiyah mempunyai tugas pokok tersendiri yaitu

mengajarkan fiqih yang sejalan dengan satu atau lebih, dari mazhab

ahlisunah, dan juga menjadi tempat-tempat menarik pelajaran untuk

menggunakan waktu mereka sepenuhnya dalam belajar, hal ini terlihat

bahwa hampir semua Madrasah Nizhamiyah di baghdad yang mencapai

30 buah semuanya melebihi keindahan istana. Melalui Madrasah

Nizhamiyah ini, penanaman ideologi sunni dilakukan dinasti saljuk

berlangsung secara efektif, terutama untuk mempertahankan stabilitas

pemerintah dari bahaya pemberontakan yang kerap muncul atas nama

aliran Islam tertentu yang berideologi berbeda dari dinasti saljuk.

Berdasarkan keterangan diatas, dapatlah diketahui bahwa Madrasah

Nizhamiyah tidak mengajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat duniawi,

tetapi lebih terfokus pada pelajaran ilmu agama terutama ilmu fiqih.

Mazhab fiqih yang menonjol adalah fiqih Syafi'i dan teologi Asy'ariyah

keduanya secara aktif dipelajari dan didalami. Walaupun yang menonjol

adalah mazhab Syafi'i, tetapi mazhab yang lain juga tetap dipelajari

dengan adanya imam-imam khusus untuk masing-masing mazhab dan

khalifah membentuk kiayai yang ahli dalam bidang masing-masing

mazhab (Ahmad, 2012: 32). Selanjutnya dapat dipahami bahwa materi

pelajaran di madrasah nizhamiyah hanya mempelajari ilmu agama, tidak

Page 74: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

57

ada mengenai ilmu umum, seperti ilmu filsafat, ilmu mantik, dan ilmu

keterampilan lainnya. Karena terlihat madrasah ini khusus di dirikan

untuk meyebarkan mazhab sunni atau kepentingan politik, sebab dari latar

belakang diadakannya madrasah nizhamiyah untuk pengaruh mu'tazilah

dan syi'ah yang sangat kuat sebelumnya di lingkungan masyarakat pada

masa itu (Ahmad, 2012: 133). Adapun materi yang diberikan di madrasah

Nizhamiyah adalah diarahkan untuk mengembangkan mazhab sunni dan

melemahkan mazhab syi'ah serta Mu'tazilah oleh karena itu materinya

lebih berorientasi pada ilmu keagamaan melalui empat mazhab, tetapi

yang paling menonjol adalah mazhab Syafi'i. Para lulusannya

dipersiapkan untuk duduk di pemerintahan saljuk yang bermazhab sunni

(Ahmad, 2012: 136). Lebih lanjut dalam hal ini Dinasti Saljūk salah satu

suku dari Bangsa Turki yang muncul di Baghdad pada abad XI M mereka

memiliki aliran Sunni. Posisi dan kedudukan khalīfah Abbāsiyyah di

Baghdad lebih baik setelah Dinasti Saljuk berkuasa. Paling tidak,

kewibawaannya dalam bidang agama bisa dikembalikan setelah beberapa

lama dirampas oleh orang-orang Syi‘ah. Penguasa Bani Saljuk merupakan

pengikut fanatik Sunni yang menginginkan akidah mereka tertanam kuat

dan terkikisnya paham-paham Syi‘ah. Semua itu dirasa akan dapat

terealisasi dengan jalan penyebaran ilmu, maka dari itu kemudian mereka

mendirikan sebuah madrasah. Pendirian madrasah ini adalah karena suatu

pertimbangan bahwasanya untuk melawan Syi‘ah tidak cukup dengan

kekuatan senjata, melainkan juga harus melalui penanaman ideologi yang

dapat melawan ideologi Syi‘ah. Ini dilakukan karena Syi‘ah sangat aktif

dan sistematik dalam melakukan indoktrinasi (Nata, 2004: 66). Dalam

hal ini salah satunya Imam al-Ghazālī yang dikenal sebagai ulama‘ Sunni

juga sangat berperan penting dalam penyebaran dan mempertahankan

Sunni agar tetap mendominasi. Imam al-Ghazali merupakan salah satu

tokoh utama intelektual yang hidup pada tahun 450-505 H/1058-1111 M

yang mana alam pemikirannya telah menjadi rujukan para intelektual

Islam dari dulu hingga saat ini.

Mazhab Sunni masih tetap mendominasi sebagai mazhab yang dianut

masyarakat Baghdad dari pada aliran lain seperti Syi‘ah, Khawarij dan

Mu‘tazilah bahkan mazhab Sunni menjadi mazhab resmi pemerintahan

Abbāsiyyah di Baghdad. Akan tetapi, pada awal abad XI M hingga

pertengahan abad Daulah Abbāsiyyah di Baghdad berada dibawah

pengaruh Dinasti Buwaihi yang bermazhab Syi‘ah, Dinasti Buwaihi ini

sangatlah bersemangat dalam menyebarkan Syi‘ah (Bosworth, 1993 122).

Seiring waktu pergerakan sunni dan Syi‘ah pun terus berdialektika pada

zaman Dinasti Abbasiyah; Sejak Dinasti Buwaihi menguasai

pemerintahan di Bahgdad dan sebagai penganut Syi‘ah Dua Belas, Dinasti

Buwaihi banyak menghidupkan syi‘ar Syi‘ah. Buwaihiyah sangat bersifat

Muslim Syi‘ah dan juga menunjukkan ciri-ciri Iran yang menonjol.

Buwaihiyah mendorong masyarakat untuk merayakan hari-hari raya

Syi‘ah dan berziarah ketempat-tempat suci Syi‘ah, misalnya Karbalā dan

Najaf (Bokhari dan Seddon, 2010: 80-81).

Page 75: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

58

Perayaan Syi‘ah mulai diadakan, terutama upacara kematian Husein

bin Alī bin Abi Thalib setiap tanggal 10 Muharam, pedagang-pedagang

diharuskan menutup kedai-kedai mereka, laki-laki diharuskan berpakain

luar serba hitam sedangkan kaum wanita jika ingin keluar harus menutup

rambut mereka, menghitamkan wajah, berpakaian koyak-koyak sambil

menangis dan meratap serta menampar muka mereka sendiri. Sedangkan

pada 18 Zulhijjah, Mu‘izz ad- Daulah memerintahkan supaya rakyat pada

waktu itu menggunakan pakaian yang paling baik, menghias dinding-

dinding rumah, memasang lampu-lampu agar terang benderang dan

merayakan peristiwa Ghadir Khum (Shalabi, 1997: 332).

Dalam konteks ini; dimana Awal masa kekuasaan Dinasti Saljuk

masuk ke Baghdad, kondisi sosial politik sedang tidak stabil, bahkan

cenderung kacau. Kekhalīfahan Abbāsiyyah dalam kondisi mundur.

Kekuasaan etnik Arab sedang kalah bersaing. Ini menunjukkan bahwa

kekuasaan Baghdad secara otomatis lemah. Dalam kekuasaannya, Saljuk

Turki tampil sebagai penguasa yang kukuh dalam mengembangkan

paham Sunni di wilayah kekuasaannya. Pasca keruntuhan Dinasti

Buwaihi yang notabene berpaham Syi‘ah, penguasa Saljuk menghadirkan

beberapa program untuk menekan perkembangan paham Syi‘ah sekaligus

mengembangkan paham Sunni yang menjadi identitas awal kekhalīfahan

Daulah Abbāsiyah (Taufiqurrahman, 2003: 32). Ketika kekuasaan

dibawah pemerintahan Buwaihiyah bahkan keluarga Buwaihi selama

memegang tampuk kekuasaan, mendirikan bangunan-bangunan besar dan

megah pada tempat-tempat yang terpandang bersejarah oleh aliran Syi‘ah.

Misalnya pada makam para al-Imam didirikan bangunan besar yang

megah. Sampai saat ini bangunan-bangunan tersebut masih dapat

disaksikan, seperti makam Musa al-Kazhim di Baghdad dan al-Ridha di

Meshad dan lain sebagainya (So‘uyb, 1977: 175). Pendirian pusat-pusat

pengajaran Syi‘ah diberbagai kota, termasuk Baghdad, dan pemberian

dukungan terhadap para pemikir dan penulis Syi‘ah. Memang pada masa

kekuasaan Dinasti Buwaihi bersamaan dengan bermulanya masa ―ketidak

hadiran agung‖ (al-ghaibah al-kubra) imam ke-12 dan saat itu pula terjadi

kristalisasi penting dalam periode pembentukan madzhab Syi‘ah. Periode

Buwaihi diwarnai dengan kegiatan penulisan. Para pemikir penting, di

samping pakar-pakar teori Syi‘ah, sempat menuliskan ide-ide mereka

(Muzayyana, 2014: 50-51). Kendati mereka berbuat demikian, khalīfah

Abbāsiyyah tetap dibiarkan meneruskan kepemimpinan simbolis bagi

Umat Islam. Ketika Dinasti Buwaihi mencoba memaksakan kehendaknya

untuk memasukkan Syi‘ah ke dalam masyarakat di Baghdad, reaksi

masyarakat memberontak karena tidak sepaham dengan mayoritas

masyarakat di Baghdad yang kebanyakan beraliran Sunni (Abdullah,

2003: 85).

Page 76: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

59

B. Faktor Politik yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan

Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah

Kondisi politik tentunya akan mempengaruhi sistem pendidikan dan arah

gerak pendidikan suatu negara, begitu pula lembaga pendidikan Islam sewaktu

zaman klasik Bani Abbasiyah—kontelasi politik akan begitu kuat

mempengaruhi sistem pendidikan kala itu. Adapun pendidikan memiliki tujuan

atau sasaran untuk dicapai, dalam hal ini tujuan dari pendidikan paling yang

sederhana yakni untuk perubahan diinginkan serta diusahakan dalam sebuah

sistem dan proses berupa pendidikan dan pengajaran, baik secara tingkah laku

secara individu dan tentunya dalam kehidupannya baik dari aspek individu,

begitu pula dalam tatanan sosial dan begitu pula dengan keprofesionalismenya

(Al-Toumy Al-Syaibani, 1979: 389-399).

Dengan naiknya Dinasti Abbasiyah ke panggung kekuasaan, sejarah Islam

memasuki fase baru. Semenjak masa ini berakhirlah riwayat entitas politik

Islam yang didomonasi golongan aristokrasi Arab, dan sebaliknya mulai

periode ini pula kaum Muslim Arab dan non Arab bergandengan tangan, tidak

hanya dalam menegakkan entitas politik Islam, tetapi juga membangun dan

mengembangkan peradaban Islam. Pada masa Dinasti Abbasiyah, peradaban

dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaan.

Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbasiyah pada periode ini lebih menekankan

pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah.

Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Ar-

Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833). Ketika Ar-Rasyid

memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, ilmu

pengetahuan berkembang, keamanan terjamin, dan wilayahnya meluas mulai

dari Afrika Utara hingga ke India. (Amin, 2016: 87-88).

Pada permulaannya Dinasti Abbasiyah menduduki wilayah Kuffah sebagai

ibu kota yang berpusat di kawasan di Istana Hasyimiah. Namun, karena suatu

kondisi yang begitu urgen secara dinamika politik Kuffah tak lain merupakan

basis Syi‘ah dan pusat pemberontakan suku Arab pendukung Bani Umayyah

atas karena itulah kemudian mereka membangun kota Baghdad selanjutnya

memindahkan pusat pemerintahan ke kota Baqhdad.

Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang

panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai 656 H (1250 M). Selama dinasti ini

berkuasa pola pemerintahan maupun pendidikan Islam yang diterapkan

berbeda-beda sesuai dengan politik, sosial, dan kultur budaya yang terjadi pada

masa-masa tersebut. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah dibagi dalam lima periode,

yaitu: (Suwito, 2008: 11).Pertama :Periode I (132 H/750 M-232 H/847 M),

masa pengaruh Persia pertama.Kedua :Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M),

masa pengaruh Turki pertama.Ketiga :Periode III (334 H/945 M-447 H/1055

M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh Persia kedua.Keempat :Periode

IV (447 H/1055 M-590 H/1194 M), masa Bani Saljuk, pengaruh Turki

kedua.Kelima :Periode V (590 H/1104 M-656 H/1250 M), masa kebebasan dari

pengaruh Dinasti lain. Zaman pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai

zaman keemasan dan kejayaan Islam, secara politis para Khalifah betul-betul

tokoh yang kuat dan cinta ilmu pengetahuan sekaligus merupakan pusat

Page 77: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

60

kekuasaan politik dan agama. Disisi lain, kemakmuran masyarakat pada saat ini

mencapai tingkat tertinggi. Pada masa ini pula umat Islam banyak melakukan

kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan sehingga berhasil menyiapkan landasan

bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Dinasti

Abbasiyah menyumbang peran penting dalam soal alih bahasa atau terjemahan,

penerjemahan karya-karya penting sebenarnya sudah dimulai sejak pertengahan

dinasti Umayyah. Ketika kekuasaan beralih ketangan dinasti Abbasiyah,

kegiatan penerjemahan ke dalam bahasa Arab semakin marak dan dilakukan

secara besar-besaran. Al- Manshur termasuk khalifah Abbasiyah yang ikut

andil dalam membangkitkan pemikiran, dia mendatangkan begitu banyak ulama

cendikia dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan ke Baghdad. Di samping

itu, dia juga mengirimkan utusan untuk mencari buku-buku ilmiah dari negeri

Romawi dan mengalihkannya ke bahasa Arab. Akibatnya pada masa ini banyak

para ilmuwan dan cendikiawan bermunculan sehingga membuat ilmu

pengetahuan menjadi maju pesat. Adapun puncak keemasan dari dinasti ini

berada pada tujuh khalifah yaitu al-Mahdi, al-Hadi, Harun al-Rasyid, al-

Ma‘mun, al- Mu‘tashim, al-Wasiq dan al-Mutawakkil.

Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di

sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti

perak, emas, tembaga dan besi. Popularitas daulat ‗Abbasiyah mencapai

puncaknya di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-

Ma‘mun (813-833M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid

untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi

didirikannya. Pada masanya juga sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang

dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat

kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.

Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuam, dan

kebudayaan serta kekuasaan berada pada zaman keemasannya. Pada masa

inilah Islam menempati dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi

(Yatim, 1998: 53). Hal tersebut menarasikan bagaimana kekuasaan politik dan

pengaruh politik terhadap kemajuan pendidikan pada masa Bani Abbasiyah.

Sepanjang sejarah kekuasaan politik Bani Abbasiyah dalam segi intitusi

pendidikan dan intelektualitas yakni Harun al- Rasyid (786-809 M) dan

puteranya al-Ma‘mun (813-833M) citra Islam sebagai agama yang cinta akan

ilmu melejit melampaui negara manapun di dunia. Usaha terpenting Harun al-

Rasyid adalah perhatiannya yang tinggi terhadap pengembangan ilmu

pengetahuan dan peradaban Islam dengan taraf yang belum pernah dicapai

sebelumnya. Ia mendirikan beberapa lembaga pendidikan, seperti bait al-

hikmah, majelis al-mudzakarah, lembaga pengkajian masalah-masalah

keagamaan, rumah-rumah, dan masjid-masjid (Dewan Redaksi, 1994: 88). Pula

dengan al-Makmun, ia adalah penguasa yang masyhur sepanjang sejarah daulah

Abbasiyah Di samping sebagai pejuang pemberani, ia juga penguasa yang

bijaksana. Semangat berkarya, bijaksana, pengampun, adil, cerdas dan bebas

dalam berfikir merupakan sifat-sifat utama yang menonjol dalam pribadi al-

Makmun. Ia dikenal lantaran inisiatifnya dalam memajukan intelektual Islam

yang membuatnya sebagai satu di antara khalifah yang sekaligus sebagai

Page 78: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

61

intelektual besar. Ia menyadari bahwa kemakmuran rakyatnya bergantung

kepada kemajuan peradaban dan pendidikan. Masa pemerintahannya diwarnai

dengan gerakan pendidikan dengan mendatangkan para ilmuwan, penulis,

pujangga, fisikawan dan filosof untuk berkarya di istana Baghdad. Dialah yang

mula-mula mendirikan gerakan pemikiran dalam sejarah, sekaligus sebagai

pemprakarsa paling besar dalam penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani

dan Suryani. Disebabkan karena ibunya dulu adalah seorang budak perempuan

dari Persia, maka al-Makmun lebih familiar terhadap peradaban Persia dan

dikenal subyektivitasnya terhadap kebangsaan Persiasjid, istana khalifah, dan

rumah sakit (Glasse, 1999: 251).

Secara khusus dinamika politik sangatlah mempengaruhi perkembangan

politik pada masa zaman Bani Abbasiyah; adapun deskripsinya seperti

dikemukakan berikut ini; Akhir dari pemerintahan Bani Buwaihi adalah pada

masa pemerintahan Raja Rahim, salah seorang panglimanya yang bernama

Basasiri memberontak serta menentang khalifah Abbasiyah. Khalifah

Abbasiyah meminta pertolongan dari Tughrul Bey pemimpin dari Bani Saljuk.

Tughrul Bey berhasil menumpas pemberontakan, dan atas jasanya diberi gelar

oleh khalifah sebagai Yamin Amirul Mu‘minin. Tughrul Bey menangkap Raja

Rahim dan mengirimnya ke penjara Raiyi. Dengan demikian berakhirlah zaman

Bani Buwaih dan berawalnya kekuasaan Bani Saljuk.

Sebelumnya, Bani Saljuk pada masa pertikaian dan peperangan yang terjadi

antara Samaniyah dan Ghaznah, memihak kaum Samaniyah. Kaum Samaniyah

mengizinkan kaum Saljuk untuk menetap di tebing sungai Sihun. Setelah

keruntuhan kaum Ghaznah, Bani Saljuk memerdekakan diri bersama dengan

sisa kekuatan dari kerajaan. Samaniyah. Anak keturunan Saljuk bernama Israel

memimpin Bani Saljuk dengan baik, sehingga Sultan Mahmud (pemimpin

kaum Ghaznah) merasa curiga, namun berpura-pura cinta damai dan mengajak

Israel berunding, akhirnya Israel ditangkap dan dipenjarakan. Bani Saljuk

kemudian melantik saudara Israel yaitu Mikael untuk memimpin. Mikael

menunjukkan sikap damai kepada bani Ghaznah. Namun Sultan Mahmud telah

mempropagandakan kaum Saljuk, hingga Mikael meninggal dunia. Akhirnya

pemerintahan Bani Saljuk diserahkan kepada kedua orang putranya yaitu Jughri

Bey dan Tughrul Bey. Tak lama setelah wafatnya Sultan Mahmud,

pemerintahan Ghaznah digantikan oleh putranya Mas‘ud, namun ia tewas

ditangan kaum Saljuk di medan pertempuran Sarkahs pada tahun 429 H. Sejak

tahun itu Tughrul Bey mengumumkan pendirian kerajaan Saljuk dan di ikhtiraf

oleh khalifah Abbasiyah pada tahun 432 H, setelah kedudukan kerajaan Saljuk

mantap (Syalabi, 1997: 335).

Seiring dengan stabilitas politik yang membaik maka pada masa inilah

institusi pendidikan dibangun—pemerintah menyalurkan dana untuk

pengembangan penelitian, penerjemahan dan pembuatan madrasah-madrasah

atau institusi pendidikan formal salah satunya madrasah Nizhamiyah di

Baghdad, sehingga Islam muncul sebagai agama dan sistem kenegaraan yang

begitu cinta pada ilmu dan peradaban akal manusia. Politik dan pendidikan

senantiasa akan beriringan perkembangannya sebab idiologi politik,

nasionalisme, definisi atau pandangan masyarakat terhadap negara—akan

Page 79: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

62

dipengaruhi oleh pendidikan. Melalui pendidikan juga negara merekrut para

pegawai, pejabat yang merumuskan kebijakan serta menentukan haluan

pemerintahan, begitu pula kala Dinasti Abbasiyah berkuasa orientasi

pembangunan politik bertumpu pada institusi atau lembaga politik baik dalam

bentuk pendidikan formas madrasah maupun aktivitas intelektual berupa

perpustakaan.

C. Faktor Ekonomi yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan

Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah

Faktor ekonomi sudah tentu akan mempengaruhi kekuatan suatu negara—

sehingga negara tak lagi memikirkan isi perut para warganya melainkan

berpikir bagaimana mengisi otak para warganya hal tersebut terjadi ketika Bani

Abbasiyah berkuasa dan pada zaman khalifah Harun Ar-rasyid ini tercapai

zaman keemasan Dinasti Abbasiyah. Pada masa inilah banyak sekali ilmuwan-

ilmuwan terkenal diantaranya Abu Yusuf. Sikap yang dilakukan oleh Khalifah

Harun Ar-rasyid berbeda dengan para khalifah sebelumnya, ia tidak bersikap

keras terhadap keturunan Ali bin Abu Thalib. Hanya satu orang dari keturunan

Ali bin Abu Thalib yang ia perangi yakni Yahya bin Khalid Al-Barmaki yang

melarikan diri pada zaman Al-hadi ke negara Dailam. Sikap Harun hampir

sama dengan sikap Abu Ja‘far (khalifah kedua) ia merasa khawatir terhadap

wazir-wazir yang telah diangkat oleh Al-Hadi dapat mengancam jabatan

khalifah. Kekhawatiran itu diselesaikan olehnya dengan melakukan serangkaian

pembunuhan.

Dalam masa pemerintahannya, ia banyak melakukan perlawanan atau

penyerangan terhadap kerajaan Romawi. Dari penyerangan tersebut ia banyak

memperoleh kemenangan sehinga banyak dari daerah kerajaan Romawi yang

membayar jizyah dan mengakui kekuasaan khalifah Harun Ar-Rasyid.

Setelah Harun Ar-rasyid wafat maka jabatan khalifah digantikan oleh Al-

Amin yang merupakan putra Harun Ar-Rasyid. Masa jabatan Al-Amin di mulai

tahun 193 H / 809 M. Harun Ar-Rasyid mempunyai dua orang anak yakni Al-

Amin dan Al-Ma‘mun. kedua anak ini mendapatkan wasiat dari ayahnya

menjadi khalifah secara bergantian. Akan tetapi setelah Al-Amin naik tahta, ia

mengingkari isi wasiat ayahnya dengan cara memindahkannya kepada putra Al-

Amin sendiri. Peristiwa itu membuat Al-Ma‘mun kecewa dan ia melakukan

perlawanan demi menuntut haknya yang telah terampas. Dalam peperangan itu

Al-Amin kalah dan terbunuh oleh tentara Al-Ma‘mun. Setelah Al-Amin

terbunuh, maka sebagai gantinya naiklah Al-Ma‘mun sebagai khalifah.

Khalifah Al-Ma‘mun ini adalah seorang yang bijaksana dan ahli dalam ilmu

politik, dia juga seorang alim, filosof dan rajin membaca karangan-karangan

ahli fikir kuno. Pada masa pemerintahannya ini perkembangan ilmu

pengetahuan berkembang sangat pesat. Ia melakukan serangkaian

penerjemahan buku-buku dari bahasa asing diantaranya: Hindustan, Persia,

Yunani, Romawi, Latin (Hakiki, 2012: 117-118).

Dalam masa permulaan pemerintahan Bani Abbasiyah, pertumbuhan

ekonomi (economic growth) dikatakan cukup stabil dan menunjukkan angka

vertikal. Devisa negara penuh berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak dari

Page 80: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

63

pada pengeluaran. Kue nasional membengkak melebihi dari anggaran belanja

negara. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonom Abbasiyyah yang telah

mempu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan

negara. Keutamaan al-Mansur dalam menguatkan dasar Daulah Abbasiyyah

dengan ketajaman pikiran, disiplin, dan adil adalah sama halnya dengan

Khalifah Umar ibn Khattab dalam menguatkan Islam. Pada waktu khalifah al-

Mansur meninggal dunia setelah memerintah selama 22 tahun, dalam kas

negara tersisa kekayaan negara sebanyak 810.000.000 dirham. Sedangkan pada

Khalifah harun al-Rasyid meninggalkan kekayaan negara sebanyak

900.000.000 dirham. Kecakapan Harun dalam menggunakan anggaran belanja

negara sama dengan al- Mansur, hanya saja Harun lebih banyak mengeluarkan

dibanding dengan al- Mansur, mungkin karena tuntutan zaman yang berbeda

(Hasjmy, 1993: 239).

Terutama ketika masa Harun dan Makmun lembaga pendidikan Islam

bergerak dengan pesat didukung oleh kekuatan ekonomi yang besar. Yang

memotivasi berdirinya lembaga Baitul Hikmah yaitu didorong oleh keinginan

meniru lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen Nestorians;

yakni gondhesaphur yang salah satu tokohnya georgius Gabriel pernah ditunjuk

menjadi kepala sebuah rumah sakit pada jaman khalifah al-Mansur. Tokoh ini

juga aktif menerjemahkan karya-karya Yunani (Albert, 2004)

Adapun sektor ekonomi yang dikembangkan meliputi pertanian,

perindustrian, dan perdagangan. Di sektor pertanian, usaha-usaha yang

dilakukannya antara lain: 1) memperlakukan ahl zimmah dan mawali dengan

perlakuan baik dan adil, serta menjamin hak milik dan jiwa mereka, hingga

kembalilah mereka bertani di seluruh penjuru negeri. 2) mengambil tindakan

keras terhadap para pejabat yang berlaku kejam kepada para petani. 3)

memperluas daerah-daerah di segenap wilayah negara. 4) membangun dan

menyempurnakan sarana perhubungan ke daerah-daerah pertanian, baik darat

maupun air. 5) membangun bendungan-bendungan dan menggali kanal-kanal

baik besar maupun kecil, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak

terjangkau irigasi (Hasjmy, 1993: 239).

Selain sektor pertanian industri pun dikembangkan, atas karenanya dengan

banyaknya dibangun tempat-tempat industri, maka terkenallah, misalnya:

Bashrah, terkenal dengan industri sabun dan gelas; Kufah dengan industri

suteranya; Khuzastan, dengan tekhtil sutera bersulam; Damaskus, dengan

kemeja sutera; Khurasan, dengan selendang, wol, emas, dan peraknya; Syam,

dengan keramik dan gelas berwarnanya; Andalusia, dengan kapal, kulit, dan

senjata; Baghdad sebagai ibu kota negara memiliki berbagai macam tempat

industri. Dalam catatan sejarah, Baghdad mempunyi lebih 100 kincir air, 4000

pabrik gellas, 30.000 kilang keramik. Di samping itu, Baghdad mempunyai

industri-industri khusus barang-barang mewah (lux) baik gelas, tekstil, keramik,

dan sebagainya. Di kota Baghdad diadakan pasar-pasar khusus untuk macam-

macam hasil produksi, seperti pasar besi, pasar kayu jati, pasar keramik, pasar

tekstil, dan sebagainya (Hasjmy, 1993: 240). Pada masa Abbasiyyah dibangun

tempat-tempat perindustrian hampir meliputi seluruh wilayah tanah air.

Perindustrian terbesar dari sektor pertambangan yang meliputi: tambang perak,

Page 81: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

64

tembaga, seng, dan besi yang dihasilkan dari tambang-tambang di Persia dan

Khurasan. Dekat Beirut terdapat beberapa tambang besi, seperti halnya marmer

di Tibris, dan sebagainya. Juga di Asia barat terdapat pabrik-pabrik, seperti

pabrik permadani, sutera, katun, wol, brokat (baju perempuan), sofa, dan lain-

lain (Hitti, 2002: 345).

Di samping hal tersebut sektor perdagangan berjalan dengan pesat kota-kota

pusat perdagangan dibangun dan dikembangkan; Kecuali Baghdad dan

Damaskus, juga terkenal sebagai kota dagang adalah Bashrah, Kufah, Madinah,

Kairo, dan kota-kota di Persia. Kapal-kapal dagang Arab Islam telah sampai ke

Ceylon, Bombai, Malaka, pelabuhan-pelabuhan di Indocina, tiongkok, dan

India (Hitti, 2002: 343). Harun al Rasyid telah menerapkan sistem ekonomi

yang berorientasi pada pelanggan, menindak tegas segala bentuk pelanggaran

perdagangan termasuk dalam hal mengurangi takaran atau kiloan dalam

perdagangan, bahkan membentuk biro khusus yang konsen mengurusi masalah-

masalah jual-beli dalam perdagangan tersebut.

Dengan kekuatan ekonominya Dinasti Abbasiyah dapat mengorientasikan

kebijakannya dalam pengembangan pendidikan dan institusi pendidikan. Dalam

hal ini Nizamiyah al-Mulk mendirikan madrasah-madrasah bertujuan untuk

memperkuat pemerintahan Turki-Saljuk dan menyiarkan mazhab keagamaan

pemerintahan. Sultan-sultan Turki adalah dari golongan Suni. Oleh karena itu,

madrasah-madrasah Nizamiyah ini menyokong Sultan dan menyiarkan mazhab

Suni ke seluruh rakyat. Menurut Muhammad Abduh, anggaran belanja yang

diberikan Nizamiyah–Mulk untuk perbelanjaan madrasah secara keseluruhan

besarannya ialah 600.000 dinar tiap tahunnya. Madrasah Baghdad sendiri

anggarannya 60.000 dinar (Yunus, 1992: 72-73). Hal tersebut terjadi ketika

kejayaan Bani Abbasiyah, sehingga dalam arti modern pemerintah terlibat

dalam pencerdasan rakyat dan pemerintah menggelontorkan anggarannya buat

pembangunan institusi pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan.

D. Faktor Sosial Budaya yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan

Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah

Kelahiran agama Islam memicu para pemeluknya untuk mencari dan

mencintai ilmu, sehingga kecintaan terhadap ilmu bagi kaum Muslimin

merupakan sebagian dari kewajiban—atas karenanya tradisi intelektual bagi

orang-orang merupakan akar sosial budaya untuk perkembangan lembaga

pendidikan dan tradisi ilmiah khsusunya bagi Dinasti Abbasiyah. Lembaga-

lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas,

dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih

merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, juga

dapat digunakan untuk membaca, menulis, dan berdiskusi (Syamruddin, 2007:

83).

Nyatanya, hanya orang-orang pilihan yang dapat menjadi seorang ilmuwan

atau ulama. al- Quran, sejak awal kemunculannya di Jazirah Arab Utara (Hijaz)

pada awal abad ke-7 H. telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap

tradisi keilmuwan. Ayat al-Quran yang pertama kali turun-dan disepakati oleh

para ahli tafsir (al-mufassirun) sebagai surat pertama dalam al-Quran-

Page 82: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

65

menyerukan tentang perintah baca (iqra) dan tulis (al-qolam) dengan menyebut

nama Tuhan.

Selain secara tekstual, secara kontekstual dan pengalaman empirik

kesejarahan awal Islam menunjukkan pola dinamika dan mobilitas keilmuwan

yang progres. Penelusuran dalam sejarah awal Islam masa Nabi Muhammad

SAW,. secara historis-empiris akan semakin mempertegaskan dinamika

progresifitas ini. Masyarakat Arab pra, menjelang dan awal Islam yang asalnya

ummi, tidak mengenal baca tulis, berubah menjadi masyarakat pembaca dan

pecinta ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad SAW,. pernah

memerintahkan para tawanan Perang Badar, yaitu kelompok musyrikin Quraisy

penentang Islam, untuk mengajarkan baca-tulis kepada orang-orang Muslim

Madinah (sahabat-sahabat Nabi SAW,.) sebagai syarat untuk memerdekakan

para tawanan tersebut. Setiap satu orang tawanan perang diperintahkan

mengajari 10 orang Muslim Madinah baca-tulis. Sementara sebagian sahabat

yang sudah mahir baca-tulis al-Quran dan dianggap mampu diperintah oleh

Nabi Muhammad SAW,. untuk mempelajari bahasa Asing, seperti bahasa

Ibrani (Yahudi) agar mengerti bahasa kitab mereka. Zaid Bin Thabit r.a. adalah

salah-seorang contoh sahabat yang diperintah beliau agar mempelajari bahasa

asing. Zaid Bin Thabit r.a. kemudian mengikuti perintahnya dengan

mempelajari beberapa bahasa, meliputi bahasa Ibrani (Yahudi), bahasa

Romawi, bahasa Abbesinia (Afrika Utara) dan bahasa Qibti (Mesir) (Hak,

2010: 110). Berdasarkan narasi tersebut tradisi keilmuwan telah menjadi akar

sosial budaya bagi masyarakat Muslim.

Pada masa berkuasanya Bani Abbasiyah terjadi pergerakan keilmuwan yang

begitu pesat didirikannya madrasah-madrasah dan perpustakaan-perpustakaan

yang menopang kemajuan ipetek (ilmu pengetahuan dan teknologi) hal tersebut

sangat dipengaruhi oleh sosial budaya yang berkembang pada masa itu;

Pertama, terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain

yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.

Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang

masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-

bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan

dalam Islam. Pengaruh Persia juga sangat kuat di bidang pemerintahan seperti

yang sudah disebutkan di atas, Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa

dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam

bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh

Yunani masuk melalui terjemahanterjemahan dalam banyak bidang ilmu,

terutama filsafat.

Kedua, gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama,

pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang

banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan

manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun

300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan

kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah

adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin

meluas (Yatim, 2008: 49-50).

Page 83: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

66

Pemerintahan Bani Abbasiyah dengan tradisi Islamnya yang mencintai ilmu

mengalami kontak dengan bangsa-bangsa lain, khususnya Yunani dalam

kemajuan tradisi intelektual dan filsafat selanjutnya mengalami banyak

asimilasi yang mempengaruhi kemajuan ilmu pengetahuan, yang paling penting

adalah pengaruh Yunani. Gerakan intelektual itu ditandai dengan proyek

penerjemahan karya-kara berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan yunani ke

bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang ilmu pengetahuan,

filsafat, atau sastra yang tidak terlalu banyak, orang Arab memiliki

keingintahuan yang tinggi dan minat belajar yang besar, segera menjadi

penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa yang lebih tua dan berbudaya

yang mereka taklukkan, atau yang mereka temui. Di Suriah menyerap

paradaban Aramaik yang telah ada sebelumnya, yang telah dipengaruhi Yunani.

Di Irak mengadopsi peradaban yang telah dipengaruhi oleh Persia. Tiga

perempat Abad setelah berdirinya Baghdad, dunia literatur Arab telah memiliki

karya-karya filsafat, terutama Aristoteles, karya para komentator neo Platonis,

dan tulisan kedokteran Galen juga karya-karya ilmiah Persia dan India.

Persentuhan dengan budaya Yunani bermula ketika orang Arab bergerak

menaklukkan daerah Bulan Sabit Subur, khazanah intelektual Yunani

merupakan harta karun tak ternilai. Hellenisme akhirnya menjadi unsur paling

penting yang memengaruhi kehidupan orang Arab. Iskandariah menjadi tempat

pertemuan filsafat Barat dan Timur; Suriah dan Mesopotamia menjadi pusat

berkembangnya kajian keagamaan, ilmiah dan filosofis, memancarkan

pengaruh Hellenisme.

Dalam proses penyerapan tersebut, gagasan utama Yunani dan Persia Islam

telah kehilangan sebagian besar karakteristik utamanya, yang bernafaskan

semangat gurun pasir dan melahirkan nasionalisme Arab, namun dengan begitu

berhasil menempati kedudukan penting dalam unit budaya abad pertengahan

yang menghubungkan Eropa Selatan dengan Timur. Perlu diingat bahwa

budaya ini dibawa oleh satu aliran saja, aliran yang bersumber dari Mesir Kuno,

Babilonia, Phonisia, dan Yahudi, yang semuanya mengalir ke Yunani, dan kini

kembali lagi ke Timur dalam bentuk budaya hellenis, dan kita akan melihat

bagaimana aliran yang sama ini dibelokkan kembali ke Eropa oleh orang Arab

di Spanyol dan Sisilia, yang membidani lahirnya Renaisan Eropa (Mahroes,

2015: 82-83).

Pertemuan antara peradaban Islam dengan kebudayaan Yunani dan Persia

dilatari oleh banyak faktor, secara georgafis dari dunia muslim yang strategis

dikenal dengan bangsa tengah/ middle nation/ ummatan washatan) pertemuan

antaran dua kebudayaan yang sudah maju, yaitu Yunani dan Persia. Secara

teologis, terdapat ayat yang menjadi perintah Allah dan Rasul untuk

menghargai kekuatan akal yang dianugerahkan, dan anjuran Rasulullah untuk

senantiasa mencari ilmu pengetahuan. Kontak dengan kebudayaan Barat itu

akan berpengaruh signifikan terhadap kejayaan umat Islam. Secara historis,

kemajuan dan kejayaan peradaban yang dicapai Islam tidak terlepas dari dua

peradaban besar dunia sebelumnya, yaitu Persi dan Yunani (Mahroes, 2015:

103).

Page 84: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

67

Lebih lanjut, dengan adanya asimilasi, Arab-Mawali membawa dinasti ini

kehilangan jati diri sebagai bangsa Arab menjadi bangsa majemuk. Untuk

memperlancar proses pembaruan antara Arab dengan rakyat taklukan, lembaga

poligami, selir, dan perdagangan budak terbukti efektif. Saat unsur Arab murni

surut, orang Mawali dan anak-anak perempuan yang dimerdekakan, mulai

menggantikan posisi mereka. Aristokrasi Arab mulai digantikan oleh hierarki

pejabat yang mewakili berbagai bangsa, yang semula didominasi oleh Persia dan

kemudian oleh Turki (Karim, 2007: 171). Perkembangan sosial budaya sangat

mempengaruhi kondisi politik dan tradisi inetelektual pada masyarakat Islam kala

Bani Abbasiyah berkuasa.

Page 85: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

68

Page 86: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

BAB IV

BAIT AL HIKMAH DAN MADRASAH NIZHAMIYAH SEBAGAI

MANIFESTASI SEMANGAT KEILMUAN MUSLIM PADA MASA

DINASTI ABBASIYAH

A. Bait al-Hikmah, Institusi Pendidikan yang Mewakili Semangat Keilmuan

Kaum Muslim pada Masa Dinasti Abbasiyah

Bait al-Hikmah diulas pada bab IV ini merupakan suatu jiwa bahwasanya

kala Dinasti Abbasiyah berkuasa kaum muslimin bergeliat menjadi kaum yang

memiliki semangat keilmuan yang amat tinggi seperti halnya yang melekat

pada Madrasah Nizamiyah. Sehingga Bait al Hikmah berkembang dan

mewakili semangat keilmuan kaum muslimin yang selanjutnya negara khilafah

menorehkan prestasi amat besar pada masyarakatnya termasuk pembentukan

masyarakat Islam yang toleran dan kosmopolitan.

Kekuasaan Abbasiyah mengorientasikan dalam membangun peradaban

intelektualitas hal ini dapat dilihat dari berbagai literatur yang menyatakan

bahwa Dinasti Abbasiyah mulai membangun dan mendirikan perpustakaan,

observatorium, tempat penelitian dan tempat kajian ilmiah lainnya sebagai

sarana mengembangakan ilmu pengetahuan—secara formal dan melibatkan

negara dalam pembangunan dan pembiayaannya.

Pemerintahan Bani Abbasiyah betul-betul eksis dalam pengelolaan ilmu

pengetahuan hal tersebut dapat teramati dengan adanya konsep perpustakaan

pada masa itu yakni Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah tak lain berfungsi sebagai

perpustakaan dan berfungsi pula sebagai lembaga yang pengembangan bidang-

bidang ilmu berbagai jenis keilmuan. Adapun lembaga tersebut merupakan

bentuk kelanjutan jenis institusi serupa ketika imperium besar Sasania Persia

juga memiliki lembaga yang disebut Jundishapur Academy. Namun memiliki

perbedaan ketika masa Persia dimana institusi inilah yang menyimpan berbagai

karya puisi-puisi juga cerita-cerita yang diperuntukkan para Raja kala itu,

begitu juga ketika Dinasti Abbasiyah kala Harun Al- Rasyid berkuasa dimana

instutusi inilah yang kemudian bernama Khizanah al-Hikmah berfungsi

perpustakaan dan merupakan pusat dari penelitian. Ketika al-Makmun berkuasa

diubah penamaanya yaitu Bait al-Hikmah yang kemudian diperuntukkan

sebagai penyimpan buku-buku lama (kuno) yang semula didapatkan dari

bangsa Persia, Bizantium, bahkan Etiopia serta India (Abdurrahman, 2002:

126).

Adapun sumber lain menyatakan bahwasanya Bait al-Hikmah kemudian

didirikan kali pertamanya oleh khalifah ke-7 Dinasti Abbasiyah, yakni Al-

Ma‘mun di tahun 215 Hijriah/830 Masehi di wilayah Baghdad. Bahwasanya,

ada sumber berlainan menyebutkan bahwasanya Bait al-Hikmah yang didirikan

ketika zaman Khalifah Harun al-Rasyid berkuasa, khalifah ke-5 merupakan

ayah al-Ma‘mun berkuasa 170-193 H/ 786-809 M (Amin, 1978: 76-77).

Dalam hal ini, Langkah-langkah kemudian dilancarkan oleh khalifah al-

Makmun yakni membentuk institusi Bait al-Hikmah di tahun 832 Masehi. Yang

bertujuan mendorong untuk memasukkan hal-hal positif kebudayaan Yunani

69

Page 87: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

70

kedalam aspek pengetahuan yang khususnya berada pada wilayah filsafat

berbasis Islam (Sitompul, 2006: 9).

Selanjutnya, ketika Khilafah Abbasiyah berkuasa, dimana berbagai macam

buku dikumpulkan di perpustakaan yang bernama ―Bait al-Hikmah‖. Ketika itu

dimana perpustakaan tak lain merupakan sebagai sarana belajar umat Islam

sehingga mampu membentuk peradaban yang besar beberapa abad selanjutnya.

Banyaknya informasi yang masuk dan penyebaran ilmu yang tidaklah

terdokumentasi oleh umat Islam kemudian dilupakan. Sehingga mengakibatkan

tatanan umat Muslim dilihat dari aspek ekonomi ataupun politik, budaya, sosial

dan aspek-aspek kekehidupan lainnya terjadinya stagnasi atau kemandegan.

Pada akhirnya Islam hanyalah sebagai umat yang hanya menjadi pengikut

belaka dari bangsa yang maju, dalam konteks ini yakni perkembangan di barat.

Sebenarnya, kitapun menyadari bahwasanya kemajuan yang terjadi di dunia

belahan barat yang dicapai melalui penguatan dan penguasaan pengetahuan

yang kemudian sebenarnya diambil pula berasal di pusat-pusat pengembangan

kepengetahuan umat muslim dalam sistem perpustakaannya (Qolyubi dkk,

2003: 47).

Perpustakaan tentunya menyimpan banyak buku: Buku merupakan produk

pemikiran manusia yang menggambarkan kebudayaan dan peradaban manusia

pada masanya. Melalui buku, generasi sesudahnya dapat melihat adanya

transformasi ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Buku

mewakili manusia untuk menceritakan kebudayaan dan peradabannya, dalam

tradisi intelektual Islam tidak terlepas dari peran dan keberadaan buku di tengah

umat (Fadjar dkk, 2006: 11).

Dari sinilah teramati pentingnya fungsi-fungsi peran perpustakaan-

perpustakaan sumbangsihnya terhadap kemajuan peradaban, khususnya

sumbangsih yang diberikan oleh ―Dar al Ulum‖ atau ―Bait al-Hikmah‖ yang

berkembang kala itu tak lain perpustakaan yang terbesar didirikan awal abad ke

IX Masehi pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid. Dimana perpustakaan yang

ada yaitu Bait al-Hikmah yang merupakan lembaga menyerupai bentuk

universitas bertujuan membantu dalam hal perkembangan keilmuan dan

pembelajaran, serta mendorong dan menyokong penelitian-penelitian ilmiah,

begitu pula dengan penerjemaahan teks-teks yang dianggap sangat penting. Hal

inilah yang kemudian menjadi dasar alasan terbukanya bagi setiap orang dan

setiap komponen bangsa yang memiliki cakap untuk menggunakan, atas karena

itulah Baitul Hikmah pada perkembangan mendatangkan menjadi aspek penting

bagi terjalinnya kehidupan budaya dan intelektualitas yang pada waktu itu telah

menjadi rujukan umum dan referesensi perkembangan keilmuan dalam

masyarakat (Hitti, 2006: 386).

Salah satu aktivitas Bait al- Hikmah yakni menterjemahkan karya-karya

asing, sehingga memperkaya koleksi perpustakaan, tambah lagi kegiatan

penerjemahan dilakukan secara profesional tanpa memandang perbedaan suku

bangsa dan agama, nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan

kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip-manuskrip dan

penerjemahan buku-buku sains dari Yunani. Hal ini melingkupi dalam aktivitas

penyelenggaraan Bait al-Hikmah, baik kepada para sarjana muslim maupun non

Page 88: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

71

muslim. Penghargaan yang diberikan al-Makmun (sang khalifah) kepada

mereka adalah dengan membayar mahal kepada para penerjemah dengan emas

setara bobot buku yang mereka terjemahkan. 42 Interaksi positif antara orang

Arab muslim dengan kalangan bukan muslim melebur dalam suasana penuh

kebebasan, toleransi dan keterbukaan (Majid, 2000: 222).

Perbedaan etnik kultural dan agama bukan halangan dalam melakukan

penerjemahan. Para penerjemah tersebut antara lain; (1) Abu Sahl Fazhl bin

Nawbakht, berkebangsaan Persia; (2) Alan al-Syu‘ubi, berkebangsaan Persia;

(3) Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh (w.857) (Hitti, 2002: 390).

1. Berkembangnya penggunaan kertas dalam dunia Islam,

2. Adanya kegiatan penerjemahan secara besar-besar yang berlangsung

sepanjang abad kesembilan dan sebagian besar abad kesepuluh,

3. Kecintaan Khalifah Abbasiyah, dalam hal ini khususnya al-Mansyur,

Harun al-Rasyid, dan al-Ma‘mun terhadap ilmu pengetahuan,

4. Kekayaan Dinasti Abbasiyah dan dukungan materil untuk berbagai

aktivitas intelektual, seperti memberikan imbalan yang besar bagi setiap

ilmuwan, pendanaan untuk lembaga penerjemahan dan observatorium

dan lain-lain,

5. Adanya tuntunan menuntut ilmu yang ditanamkan dalam ajaran Islam,

yang mendasari semangat khalifah dan para ilmuwan,

6. Banyaknya ilmuwan dari berbagai penjuru dunia yang datang untuk

belajar dan melakukan penelitian di Kota Baghdad (Watt, 1995: 76).

Dalam hal ini nampaknya dapatlah ditarik benang merah ketika al-Ma‘mun

berkuasa dimana Bait al-Hikmah tidaklah sebatas hanyalah berfungsi

perpustakaan akan tapi berfungsi pula sebagai kampus atau akademi yang

menjadi embrio pusat penerjemahan, serta pula dikembangkan sebagai tempat

untik aktivitas-aktivitas keintelektualan yang pada kemudian harinya berlanjut

ketika penerusnya yang berkuasa (Hitti, 2006: 386).

Menurut Mubarrok (Suriana, 2017: 112) Pada awal berdirinya Khizanah al-

Hikmah berfungsi sebagai perpustakaan, tempat penerjemahan dan penelitian.

Kemudian pada tahun 815 M putra Harun al-Rasyid; al-Ma‘mun (813-833 M)

mengganti namanya menjadi Baitul Hikmah dan menambah fungsinya menjadi

tempat penyimpanan buku-buku kuno yang berasal dari Persia, Bizantium,

Eithopia, dan India. menurut Yatim menjelaskan; Al-Ma‘mun dikenal sebagai

khalifah yang amat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga penerjemahan buku-

buku Yunani digalakkan, dia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan

Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Keadaan ini menjadikan Baitul

Hikmah sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi

dengan perpustakaan yang besar. Lembaga ini selanjutnya mengantarkan

Bagdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Suriana, 2017: 112).

Dalam satu misi untuk mendapatkan buku, al-ma‘mun mengirim Hajjaj ibn

Matar, Ibn al-Bitriq, Salma dan Yuhana ibn Ishaq ke Kerajaan Romawi untuk

memilih buku-buku yang dimiliki oleh raja Romawi. Pada awalnya, raja

Romawi enggan memberikan namun akhirnya ia menjawab dan menyambut

baik seruan itu. Al-Ma‘mun kemudian menyiapkan duta keilmuwan, menambah

beberapa rombongan penerjemah, dan mengangkat pemimpin sebagai Mushrif

Page 89: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

72

Ulya (Penanggung jawab) di Bait al-Hikmah. Lalu dimulailah perjalanan para

utusan tersebut ke daerah-daerah yang berbeda, di mana diperkirakan terdapat

buku-buku perbendaharaan Yunani kuno. Kemudian mereka kembali dengan

membawa berbagai macam kitab yang aneh-aneh. al-Ma‘mun juga menanyakan

agar memperkenankan utusan-utusannya untuk mengadakan pengkajian dan

penelitian di perpustakaan kuno (Amin, 1978: 78). Adapun para pengajarnya

salah satunya ialah Az-Zajaj dalam hal ini ia dapat mengais rezeki kurang

lebih 200 dinar pada tiap-tiap bulannya gazi seorang fuqaha juga ulama. Begitu

dengan Hakim al-Muqtadli ibn Daraid dirinya dapat mengais rezeki senilai 50

dinar pada tiap-tiap bulan sebagai gaji (As-Sirjani, 2003: 247-256).

Pada masa Khalifah al-Ma‘mun, ada tiga ilmuwan yang tercatat sebagai

pustakawan di Bait al-Hikmah, di mana mereka diberi tanggung jawab

memimpin keseluruhan lembaga Bait al-Hikmah yang tidak hanya sebatas

perpustakaan saja. Pada perpustakaan tersebut juga memperkerjakan lebih dari

satu pustakawan yang mempunyai kedudukan yang sejajar, di antara

pustakawan yang tercatat pernah bekerja di sana adalah Salma, Sahl ibn Harun

dan Hasan ibn Marar al-Dzabi (Amin, 1978: 79). Menurut Myers (Laili dkk,

2019: 201-202); ada banyak penerjemah yang telah ikut andil dalam

memeriahkan penerjemahan di masa abad pertengahan ini antara lain:

1. Periode 650-800 M:

a. Serverus Sebokht, pendeta biara Qen-neshre di Upper Euphrates yang

terkenal sekitar tahun 650 M adalah seorang ahli dan filosof.

b. Khalid ibn Yazid ibn Murawiya, seorang penguasa Umayyah (704-708

M) dan filosof dianggap sebagai orang yang mendorong para sarjana

Yunani di Mesir untuk menerjemahkan bukubuku Yunani ke dalam

bahasa Arab.

c. Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari menerjemahkan karya astronomi

Shiddhanta berbahasa Sanskrit ke dalam bahasa Arab sekitar tahun 772

M. Sementara ayahnya Muslim pertama yang mengkonstruksi astrolobe

(ilmu perbintangan) serta juda ia dipercayakan sebagai salah satu

sarjana yang pertama kali memiliki hubungan dengan Matematika

Hindu. Penerjemahan yang dilakukannya telah membawa huruf-huruf

hindu ke dalam Islam.

d. Abu Sahl al Fadl ibn Naubakht, ia adalah seorang Kepala Pustakawan

berkebangsaan Persia pada masa Harun Al Rasyid. Adapun karya-karya

yang diterjemahkannya tentang karya-karya Astronomi dari bahasa

Persia ke dalam bahasa Arab.

e. Jirjis ibn Jibril Bakhtyashu, ia adalah seorang berkebangsaan Persia

pengikut Nestorian, merupakan orang pertama yang menerjemahkan

karya-karya kedokteran ke dalam bahasa Arab. Di samping itu ia juga

merupakan orang pertama yang menerjemahkan karya-karya

kedokteran kedalam bahasa Arab.

2. Periode 800-900 M:

a. Al-Makmun, penguasa Baghdad (813-833 M) merupakan pemprakarsa

pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi masa kekuasaan ayahnya

Harun al Rasyid. Dengan berdirinya Bait al Hikmah beratus-ratus

Page 90: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

73

manuskrip telah diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahsa

Arab.

b. Abu Zakariya Yahya ibn Bathriq, menerjemahkan ke dalam bahasa

Arab. Buku-buku Hipocrates tentang tanda-tanda kematian, beberapa

karya Aristoteles, karya-karya Galen De Theriacca dan pisonem dan

mungkin juga secretorum.

c. al-Kindi seorang filosof pernah menerjemahkan dan memimpin proses

penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya

terjemahannya yang paling terkenal adalah sebuah karya Neoplatonik

yang didasarkan pada buku-buku IV hingga VI dari buku Enneads

karya Plotinus.

d. Jibrail ibn Bakhtyashu, cucu dari seorang penerjemah pendahaulu

dengan nama yang sama menjadi dokter ahli bagi al Makmun dan

Harun al Rasyid dan menerjemahkan banyak manuskrip Yunani dalam

bidang kedokteran.

e. Abd. Al-Masih Naima dari Hims menerjemahkan beberapa dari tulisan-

tulisan Neoplatonik sekiatar 835 M yang secara ironis dianggap sebagai

The Ethics of Aristotle. Karya ini kemudian diperbaiki oleh al Kindi.

3. Periode 900-1000 M

a. Matta ibn Yunus, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab Analytica

Posterior dan Poeties karya Aristoteles, Karya Alexander tentang

Komentar Aphrodisias dalam DeGeneratione et De Corruptione dan

Komentar Themistios terhadap buku 30.

b. Metaphysics, semuanya dan versi-versi bahasa Syria. Ia adalah salah

seorang guru dari al-Farabi.

c. Yahya ibn ‗Adi adalah murid dari lbn Yunus dan al- Farabi. Ia merevisi

terjemahan Matta terhadap Komentar Themistios tentangDe Coelo

karya Aristoteles dan menerjemahakan komentar Alexander

Aphrodisias tentangMeteorology karya Aristoteles.

d. Abu Utsman al-Dismisqhi, bersinar dibawah ke Khalifahan al-

Muqtadir, Ia adalah seorang tabib, ahli matematika dan seorang

penerjemah. Ia menerjemahkan karya-karya Aristoteles, Galen,

Porphyry dan Euclid. Karya terjemahan terpentingnya adalah

terjemahannya terhadap buku X Euclid bersamaan dengan Komentar

Pappus tentangnya yang cuma ada dalam versi bahasa Arab.

e. Al-Hakam II atau Ibnu Abd aI-Rahman III terkenal juga dengan al-

Mustansir bi-llah adalah Khalifah Umayyah kesembilan di Kordova

(961 —976), pemprakarsa hebat dari ilmu pengetahuan seni dan

pendidikan dan mungkin juga seorang penguasa Islam yang paling

terdidik (the most scholarly ruler of Islam). Ia sangat mendukung kajian

tentang ilmu matematika, astronomi dan kedokteran. Karena jasa dan

pengaruhnya, Cardova menjadi kota terbesar kedua Islam yang hanya

dapat ditandingi oleh Konstatinopel, dan Universitas yang dimilikinya

menjadi pusat utama dari pengetahuan Islam. Al-Hakam mengirim para

intelektualnya serta pejabat-pejabat pemerintahannya ke seluruh dunia

Muslim untuk mendapatkan manuskrip- manuskrip dan mengkopinya,

Page 91: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

74

perpustakaan yang dimilikinya memiliki sekitar 400.000 jilid buku dan

katalog berjumlah 44 jilid.

Berdasarkan hasil penelitian (Laili dkk, 2019: 203) menyatakan bahwa

Bait al-Hikmah: Sejarah sosial-intelektual pendirian Bayt al-Hikmah, dalam

hal ini harus dilihat dari beberapa aspek simpulannya dapat disimak berikut

ini:

1. Aspek Politis, pada aspek ini sistem politik yang dilakukan:

a. Para Menteri turunan Persia diberi hak penuh dalam menjalankan

pemerintahan.

b. Para khalifah tetap dari turunan Arab Murni, sementara para Menteri,

para Gubernur, para Panglima dan para pegawai lainya banyak diangkat

dari golongan Mawaly turunan Persia.

c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan

mulia.

d. Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya.

e. Kota Baghdad sebagai Ibukota Negara, menjadi pusat kegiatan politik,

ekonomi sosial dan kebudayaan serta dijaadikan sebagai Kota

Internasional.

2. Aspek Agama, pemerintah menganut aliran muktazilah sebagai panutan

resmi negara, dalam penerapannya ditegakkan dengan keras melalui gerakan

Mihnah.

3. Aspek Intelektual, pemerintah dan masyarakat memilki visi yang sama

yakni cinta dengan ilmu. Sehingga pergerakan dan perkembangan

keilmuwan berkembang cepat. Hal ini juga didukung peran-peran

penerjemah. Berupa:

a. Penerjemahan di Bayt al-Hikmah dilakukan dengan dua langkah.

Pertama manuskrip-manuskrip berbahasa asing diterjemahkan ke dalam

bahasa Syiria kuno kemudian pada tahap kedua diterjemahkan ke dalam

bahasa Arab. Selain itu penerjemah memberikan ta‟liq (komentar)

terhadap kitab-kitab tersebut serta menukilnya seperti menyesuaikan

konteks, menyempurnakan kekurangan dan mengoreksi setiap

kesalahan.

b. Tema-tema karya yang diterjemahkan di Bayt al-Hikmah secara umum

lebih diutamakan pada ilmu praktis seperti kedokteran, matematika,

astrologi, astronomi dan filsafat yang berasal dari karya Plato

sepertiThatetus, Aristoteles sepertiAnalitica Priora (Uraian Pertama)

membicarakan tentang kiyas (sylogisme), Hellenisme Romawi

sepertiPoimandres dan Neo-Platonisme seperti Enneads dan Ptolemy

seperti Almagest tentang astronomi, Galen seperti Materia Medika

tentang kedokteran dan masih banyak tema lainnya yang diterjemahkan

ke daam bahasa Arab. Di samping itu karya dari India juga

diterjemahkan seperti bukuSiddhanta tentang matematika. Bait al-

Hikmah memiliki peran yang begitu besar bagi peradaban manusia,

hingga dampaknya masih terasa hingga kini. Sebelum masa

penterjemahan berakhir (masih efektifnya Bait al-Hikmah), semua

karya-karya Aristoteles sudah dibaca oleh orang-orang berbahasa Arab.

Page 92: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

75

Ini terjadi tatkala Eropa hampir belum mempunyai pengetahuan apa-

apa tentang alam pikiran dan ilmu pengetahuan Yunani. Tatkala Harun

al-Rasyid dan Al-Makmun sudah giat menyelami filsafat Yunani dan

Persia, orang-orang di zaman mereka di dunia Barat, Yakni Karl Agung

dan kaum ningratnya, masih mencakar-cakar untuk menulis namanya.

c. Pengumpulan buku-buku Yunani di Bait al-Hikmah dapat dilakukan

dengan berbagai cara antara lain mengirim utusan Islam ke negeri asing

dan membelinya seperti dari Konstatinopel, kemudian cara lain yang

ditempuh adalah hasil penaklukan suatu negara seperti Byzantium dan

Persia maka negara yang ditaklukkan tersebut memberikan kepingan-

kepingan atau menuskrip karya kuno sebagai jalur damai yang

ditempuh oleh kahalifah. Selain itu juga pengumpulan buku-buku

Yunani juga pengambilan jizyah (pembayaran pajak) yang terkadang

wajib dibayar dengan buku (Hitti, 2006: 315).

1. Kegiatan Intelektual Islam di Bait Al-Hikmah

Bait Al-Hikmah berkembang sebagai perpustakaan yang amat megah dan

menggambarkan betapa kaum muslim amat mencintai ilmu pada masa itu.

Perpustakaanperpustakaan yang dibangun untuk umum terdiri atas ruangan-

ruangan yang dilengkapi dengan karpet-karpet dan meja-meja yang mewah,

tinta dan kertas yang tersedia bagi para ilmuwan dan mahasiswa. Di beberapa

perpustakaan besar, khususnya di Baghdad dan Kairo, sebanyak 40-50 ruangan

dibangun untuk menyimpan buku-buku dan untuk ruang belajar bagi para

ilmuwan dan mahasiswa. Manuskrip-manuskrip ditata di rak-rak sedemikian

rupa sehingga para pengunjung dapat dengan mudah menemukannya.

Perpustakaan-perpustakaan itu menyimpan buku-buku dari semua bidang, dari

buku-buku yang berasal dari bangsa Timur dalam bahasa Sangsekerta sampai

karya-karya terjemahan bahasa Arab atas buku-buku sains dan filsafat bangsa

Yunani. Jumlah seri (volume) buku yang ada di perpustakaan umum sulit

diperkirakan, tetapi banyak perpustakaan dilaporkan memiliki antara 100.000

dan 1.000.000 volume (Stanton, 1984: 167). Bani Abbasiyah membuktikan

dirinya amat perhatian bagi perkembangan ilmu, lain halnya ketika zaman Bani

Umayyah; Mesti bersentuhan dengan filsafat dan teologi Hellenistik, Bani

Umayyah tidak begitu tertarik untuk memajukan kajian filsafat dan teologi.

Mereka lebih tertarik pada pengembangan kekuasaan dan kerajaannya (Stanton,

1984: 80). Lebih lanjut, Bait al-Ḥikmah adalah universitas yang pertama sekali

tempat berkumpul-nya ulama-ulama dan penyelidik-penyelidik ilmiah,

pelajarpelajar dan mahasiswa-mahasiswa. Dengan demikian, Bait al-Ḥikmah

adalah suatu ―Pusat Ilmu Pengetahuan‖ yang pertama kali, yang telah

menyumbangkan ilmu pengetahuan yang teramat banyak kepada penuntut-

pentuntutnya, terutama sekali dalam bidang kedokteran, filsafat hikmah, dan

lainnya (Syalabi, 1993: 172).

Dalam hal ini al-Ma‘mun secara masif mendirikan sebuah institusi yang

mengurusi tentang observatori astronomi begitu pula dengan Sa‘id ‗Ali dan

Yaḥya ibn Abi Manṣur diberi kepercayaan untuk memimpin dan ditunjuk

sebagai bidang peneliti ia diangkat juga diber kepercayaan khalifah sebagai

Page 93: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

76

ahli matematika atau matematikawan sekaligus seorang astronomi genius, al-

Khawarizmi. Para pakar yang berasal dari lembaga tersebut tidak hanyalah

melakukan suatu observasi yang sistematik gerakangerakan dari benda-benda

langit akan tetapi ia membuktikan sengan tepat perihal unsur-unsur yang

fundamental terdapat, Almagest karya dari Ptolemius yang berhubungan garis

gerak tidak beraturan itu yakni garis peedaran matahari pada sepanjang

tahunnya yaitu syamsiah dan lain sebagainya (Shiddiqi, 1996: 29).

2. Aktivitas Bait Al-Hikmah dan Ilmuan-ilmuan Muslim

Kegiatan penerjemahan telah melahirkan karya-karya orisinil, sebagai

cikal-bakal kemajuan peradaban Islam dalam bidang ilmu pengetahuan.

Perkembangan selanjutnya kedokteran berkembang dengan pesat adapun tokoh-

tokohnya seperti Ali ibn Sahl Rabban al-Thabari, pada pertengahan abad 9

Masehi; begitu pula dengan Abu Bakr Muh ibn Zakariyya al-Razi muncul

sebagai tokoh bidang kedokteran (Rhazes, 865-925); Ali ibn al Abbas (w.994);

Ibn Sina, 980 hingga 1037 Masehi (Hitti, 2010: 459). Langkah strategis yang

kemudian dilakukan oleh khalifah al-Makmun, ia membentuk institusi atau

lembaga yang dikenal sebagai Bait al-Hikmah di 832 Masehi. Demi ambisi

mendorong memasukkan hal yang baik dari yang terkasung di dalam

kebudayaan yang berkembang di Yunani pada masa kono diartikulasikan

pengetahuan tersebut khususnya pada wilayah kajian keilmuan bergendere

filsafat yang mengarah pada khazanah Islam dalam persepektif kefilsafatan

Islam (Abdurrahman, 2005: 126). Adapun nilai yang mengorientasikan pada

kebebasan berpendapat dan berberekspresi, memiliki watak keterbukaan,

mengembangkan nilai-nilai toleransi dan juga kesetaraan atau kesejajaran

dapatlah ditemua dalam proses-proses pengumpulan manuskrip-manuskrip dan

penerjemahan buku-buku sains dari Yunani. Hal ini melingkupi dalam aktivitas

penyelenggaraan Bait al-Hikmah, baik kepada para sarjana muslim maupun non

muslim. Penghargaan yang diberikan al-Makmun (sang khalifah) kepada

mereka adalah dengan membayar mahal kepada para penerjemah dengan emas

setara bobot buku yang mereka terjemahkan (Hitti, 2010: 390). Interaksi positif

antara orang Arab muslim dengan kalangan bukan muslim melebur dalam

suasana penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan (Madjid, 2000: 22).

Tentunya ketika Bait Al Hikmah mengemuka inilah yang kemudian menjadi

cikal bakal trensformasi filsafat Barat ke filsafat Islam. Bait al-Hikmah

(akademi penerjemahan) yang didirikan oleh khalifah al- Ma‘mun. Lembaga ini

sangat besar perannya dalam aktivitas penerjemahan buku-buku ilmiah dan

filsafat Yunani yang bakal menyemarakkan kegiatan ilmiah dan filsafat

dikalangan umat Islam. Untuk mengarahkan lembaga dan perpustakaan resmi

ini kepada kegiatan penelitian dan penerjemahan, khalifah Al-Ma‘mun

mengirimkan para pegawai sampai ke Binzantium untuk mencari dan membeli

karya-karya ilmiah dan filsafat (Pervez, 1997: 128).

Perkembangan filsafat begitu pesat di dalam tubuh Islam, adapun filsuf-

filsup barat yang berpengaruh dalam perkembangan filsafat Islam sebagaimana

dijalaskan oleh Ahmad Hanafi dapat disimak berikut ini:

Page 94: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

77

1. Thales (640-556 SM). Merupakan salah satu filosof pendiri dari filsafat

alam atau kosmologi. Filsafat kosmologi atau kosmos merupakan

mempertanyakan aliran yang berpendapat bahwasanya unsur tunggal

menjadi dasar dari perubahan dari struktur semesta.

2. Pythagoras (572-497 SM). merupakan pendiri dari filsafat aliran yang

disebut Pythagorianisme. Mengemukakan bahwasaya lebih memuat

metafisis, berupa bilangan-bilangan merupakan sebuah intisari semua

benda-benda atau pokok sifat-sifat dari benda apapun.

3. Socrates (469-349 SM). Merupakan filosof di wilayah moral muncul

pasca Thales di kala Yunani kuno. ajarannya disampaikan ka khalayak

ramai kehususnya para anak muda, pendapatnya ialah pengetahuan

merupakan kebajikan, serta kebajikan untuk mencapai puncak

kebahagiaan dalam kehidupan.

4. Plato (427-347 SM.). merupakan filosof Yunani yang mahsyur

pengaruhnyapun menyentuh bagi konsep filsafat dalam khazanah Islam

yang kemudian dikembangkan oleh para filsuf Islam. Adapun kala

Daulah Abbasiah berkuasa filsafat Plato berkembang dalam kajian-

kajian ilmiah.

5. Aristoteles (348-322 SM.). Aristoteles merupakan murid dari Plato,

Aristoteles salah seorang filosof Yunani ia konsentrasi dalam filsafat

baik metafisik maupun yang logis rasional yang pada

perkembangannya sangat mempengaruhi pekembangan filsafat Islam.

Menurut pandangannya sophia atau kearifan tak lain merupakan sebuah

kebajikan dimana intelekktualitas memiliki peranan tertinggi, dan

philosophia tak ubahnya merupakan (episteme) suatu kumpulan yang

teratur dalam pengetahuan yang bersifat logis rasional (Hanafi, 2000:

21).

Dalam tulisan ini tidak akan membahas para filosof Barat namun hanya

mengungkap para filosof Islam yang memang berkaitan erat dengan

perkambangan Bait al-Hikmah. Pada perkembangan selanjutnya, Pendidikan

di Bait al-Hikmah meliputi cabang-cabang ilmu seperti filsafat, falak,

kedokteran, matematika juga berbagai macam bahasa seperti bahasa Yunani,

Persia, India di samping bahasa Arab itu sendiri. Setelah lulus dari Bait al-

Hikmah, mereka diberi ijazah oleh para ustadz. Ijazah tersebut sebagai bukti

bahwa mereka telah mendalami ilmu tersebut dan bahkan memperoleh izin

untuk mengajarkannya kembali. Ijazah juga diberikan bagi mereka yang

mendapatkan peringkat istimewa dalam pelajarannya, ijazah itu hanya

berhak diberikan dan ditulis oleh ustadz yang bersangkutan. Dalam ijazah

tersebut terdapat nama murid, syaikhnya, mazhab fiqihnya serta tanggal

dikeluarkannya ijazah tersebut (Rahman, 2000: 247). al-Hikmah ini

membawa perkembangan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan,

kebudayaan dan sastra di kalangan kaum muslimin. Ilmu pengetahuan asing

dimasukan, lantas dikuasai dan dimiliki oleh kaum muslimin. Dengan

demikian perbendaharaan karya ilmiah ini jadi terpelihara dan dapat

dipusakakan kepada generasi-generasi yang datang kemudian, di kala

hamper-hampir saja lenyap dan musnah (Syalabi, 1993: 70).

Page 95: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

78

Untuk menggiring lahirnya cikal bakal ilmuwan-ilmuwan Muslim, al-

Ma‘mûn memandang bahwa penggalian sumber-sumber keilmuan itu harus

dikuasai terlebih dahulu. Salah satu jalan yang ditempuh untuk penggalian

sumber-sumber keilmuan itu adalah melalui aktivitas penerjemahan. Pada

saat itu, orang-orang yang memiliki keahlian dalam menguasai bahasa asing

selain Bahasa Arab masih sangat langka di kalangan umat Islam. Sementara

sumber-sumber keilmuan itu banyak yang tertulis dalam bahasa Yunani,

Syria, dan Persia (Al Farabi, 2013: 69). Lebih lanjut, Al Farabi menjelaskan;

Atas dasar pertimbangan demikian, al-Ma‘mûn memandang penting untuk

mengambil tindakan agar para ahli dari luar Islam pun harus dilibatkan

dalam aktivitas penerjemahan. Dengan pertimbangan ini, terjalinlah

hubungan ―patron‖ penerjemahan yang melibatkan tenaga-tenaga ahli yang

beragama Kristen Nestorian dan Jakobite untuk berperan serta dalam

membangun tradisi ilmiah di Bayt al-Hikmah. Adapun para patron dari luar

Islam yang terlibat dalam aktivitas penerjemahan dimaksud dapat

dipaparkan sebagai berikut:

a. Yuhanna ibn Masawayh (155 H/777 M–235 H/857 M). Hitti

menjelaskan; Yuhanna ibn Masawayh atau yang biasa disebut Ibn

Masawayh merupakan salah seorang penerjemah awal yang turut

memberikan andil yang berharga bagi pengembangan tradisi keilmuan di

Bayt al-Hikmah. Ia hidup dari periode kekhalifahan al-Mahdi sampai

periode al-Mutawakkil. Di wilayah Barat, dia lazim disebut Mesue dan

ayahnya adalah seorang apoteker. Ia adalah murid dari Jibril ibn

Bakhtisyu dan guru dari Hunain ibn Ishâq. Disambung Nakosteen; salah

satu karya Ibn Masawayh yang terkenal adalah kitab al-Mushajjar al-

Kabîr. Dalam kitab yang ditulisnya itu, Ibn Masawayh membuat daftar

sekitar 30 macam aromatik. Kitab ini semacam ensiklopedia yang berisi

daftar penyakit berikut tata cara pengobatannya melalui obat-obatan serta

kiat-kiat diet. Nakosteen menyebutkan bahwa Ibn Masawayh tidak hanya

penerjemah terkemuka di Bayt al-Hikmah, tetapi juga ahli dalam bidang

obat-obatan, dan karyanya menjadi rujukan untuk pengobatan berbagai

penyakit yang diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew dan Latin (Al

Farabi, 2013: 69).

b. Hunain ibn Ishâq (187 H/809 M–291 H/873 M). Hunain ibn Ishâq,

nama lengkapnya Abû Zaid Hunain ibn Ishâq al-‘Ibâdi; dikenal dalam

bahasa Latin sebagai Johannitius, merupakan tokoh beragama Kristen

Nestorian yang terkenal dalam kegiatan penerjemahan di Bayt al-

Hikmah. Khalifah al-Ma‘mûn menempatkannya sebagai orang terdepan

dalam kegiatan tersebut, dan menurut sebagian sumber sejarah, Hunain

ditetapkan oleh al-Ma‘mûn sebagai pimpinan komite penerjemahan.

Hunain banyak menerjemahkan karya ilmiah dari bahasa Yunani dan

Syria ke dalam bahasa Arab pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Ia

dikenal sebagai penerjemah produktif. Sebagian besar Risâlah ilmiah dan

medis yang berbahasa Yunani dan Syria ia terjemahkan ke dalam Bahasa

Arab. Hasil penerjemahan dia sangat mengesankan, sehingga terjemahan

Hunain ini tidak membutuhkan koreksi sama sekali. Keunggulan ini

Page 96: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

79

mungkin terjadi karena ia menguasai empat bahasa, yakni Arab, Syria,

Yunani dan Persia. Karena itu, ia menjadi dikenal di kalangan orang

Arab sebagai ―Syaikh dari penerjemah.‖ Metode Hunain dalam

penerjemahan, diikuti secara luas oleh penerjemah kemudian Dalam

karirnya sebagai penerjemah, Hunain telah menerjemahkan 20 buku

karya Galen ke dalam bahasa Syria dan 14 buku lain ke dalam bahasa

Arab. Di antara karyakarya yang ia terjemahkan antara lain, filsafat

Galen tentang Risâlah tentang Pembuktian (Treatise on Demonstration),

Silogisme Hipotesis (Hypothetical Syllogism), Etika (Ethics), dan

beberapa komentar Galen terhadap karya-karya Plato seperti Sophist,

Parmindes, Cryatylus, Euthydenus, Timaeus, Statesman, Republic, dan

Laws (Al Farabi, 2013: 70).

c. ‘Umar ibn Farkhân al-Thabarî (w. 194 H/816 M). Sebagaimana Tsâbit,

‗Umar ibn Farkhân al-Thabarî juga aktif terlibat dalam aktivitas

penerjemahan di Bayt al-Hikmah. Ia merupakan cendikiawan Yahudi

dari Tabaristan dan salah seorang cendekiawan teologi terbesar pada

dasawarsa terakhir abad kedelapan dan pada dasawarsa awal abad

kesembilan yang telah menerjemahkan beberapa buku tentang

kedokteran dan matematik dari bahasa Syria dan Yunani ke dalam bahasa

Arab. Selain dikenal sebagai penerjemah terkemuka, dia juga peneliti

yang berwawasan luas di bidang ilmu astronomi. Hal ini dinyatakan oleh

Abu Ma‘shar Ja‘far ibn Muhammad ibn ‗Umar al-Balkhî dalam bukunya

al-Mudhâhakât bahwa ‗Umar ibn Farkhân al-Thabarî adalah orang

terdekat dan bekerja sebagai penerjemah pribadi bagi Khalifah al-

Ma‘mûn yang telah menerjemahkan sebagian besar buku-buku asing dan

menghasilkan penelitian astronomi yang diabadikan sebagai arsip

sejarah. Ia juga banyak menulis buku tentang perbintangan dan karya-

karya lain tentang filsafat (Al Farabi, 2013: 70).

d. Tsâbit ibn Qurrâ’ al-Harrânî (214 H/836 M–279 H/901 M) Tsâbit ibn

Qurrâ‘ al-Harrânî dilahirkan pada tahun 214 H/836 M di Harran, sebuah

kota kecil di wilayah Mesopotamia. Ia termasuk salah seorang

penerjemah handal yang bertugas di Bayt al-Hikmah. Tsâbit memiliki

latar belakang tersendiri dalam merubah nasib hidupnya yang

menempatkan dirinya sebagai penerjemah yang sangat bermanfaat dan ia

menjadi terkenal dalam kegiatan penerjemahan ilmu matematika dan

astronomi yang berasal dari Yunani. Sebagaimana kebanyakan

penerjemah lain ke dalam bahasa Arab, terjemahannya Tsabit tidaklah

tergolong terjemahan sederhana (Al Farabi, 2013: 71).

e. Ishâq ibn Hunain (w. 289 H/911 M) Ishâq ibn Hunain tak lain ia adalah

putra Hunain ibn Ishâq, dirinya memiliki larat belakang keluarga terkenal

dalam bidang penerjemahan. Seperti halnya ayahandanya, yaitu Ishâq

seorang pemeluk Kristen Nestorian asal negara Irak. Ia tergolong juga

dari salah satu sederetan penerjemah yang sangat berpengaruh di daam

Bait al-Hikmah dalam peengalih bahasa dalam ilmu pengetahuan yang

ilmiah seperti di bidang matematika Yunani yang kemudian ia

terjemahkan ke bahasa Arab (Al Farabi, 2013: 71).

Page 97: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

80

f. Qusthâ ibn Luqâ al-Ba’labaki (w. 291 H/913 M) beliau tergolong

seorang penerjemah ilmiah di dalam Bait al- Hikmah. Tak lain seorang

yang menganut ajaran Kristen Syria ia dikenal sebagai ahli dalam

penerjemahan, kehususnya menerjemahkan dari bahasa Syria serta

Yunani dialih bahasakan menjadi berbahasa Arab. Selain dari itu dikenal

juga sebagai penerjemah dari karya-karya dalam bidang kedokteran serta

matematik yang dirumuskan dalam bahasa Yunani. Adapun karya

tersebut diantaranya adalah karya Diophantus, Autolycus, Hypsicles,

Theodosius, Aristarchus, juga karya Heron. (Al Farabi, 2013: 72).

g. Hubaisy ibn Hasan al-A’sham al-Dimasyqî (w. 295 H/917 M) Hubaisy

beliau tercatat aktif dalam berbagai aktivitas usaha penerjemahan pada

Bayt al- Hikmah. Menerjemahkan karya Syria serta Yunani khusunya

pada bidang kedokteran. ia berhasil menyelesaikan suatu terjemahan

yang populer yaitu Quaestiones Medicales karya dari Hunain

h. Abû Bisyr Matka ibn Yûnus (w. 328 H/949 M) dalam hal penerjemahan

Ia menerjemahkan Analytica Posteriora karya dari filsuf besar

Aristoteles, pula Alexander Aphrodisias atas korupsi, menulis pula

berupa ulasan Kategori-kategori dari Aristoteles serta „Isagoge dari

Porphyry (Al Farabi, 2013: 72).

Adapun sekilas dari banyaknya para ilmuwan yang dipaparkan di atas,

lebih lanjut berikut pula dipaparkan berupa deretan nama yang dianggap penting

untuk disajikan biografinya, dapatlah disimak berikut ini:

a. Banû Mûsâ (Abad 3 H/9 M) ia merupakan ilmuwan insinyur, Banu Musa

seorang pendiri dari observatorium ia dirikan berada pada rumahnya. Ia

melakukan pengamatan dimana hasilnya dapatlah diandalkan sangat

dihargai dan dikagumi para ilmuwan-ilmuan setelahnya, pengamatan

tersebut mempelajari secara seksama berupa berbagai gejala yang terjadi

dalam atmosfir, ia juga menjadi salah satu dari anggota dalam misi-misi

penelitian dibidang ilmiah yang berhubungan dengan benda-benda langit.

Karya-karyanya terjaga keorisinalannya salah satu dari karyanya yakni

Kitab al-Hiyâl atau Kitab Alat-alat Pintar, yang merupakan salah satu dari

hasil sari yang mereka rancang di dalam observatorium tersebut (Al Farabi,

2013: 73).

b. Muhammad ibn Mûsâ al-Khawârizmî (194 H/780 M-266 H/848 M) ia

merupakan salah satu ilmuwan muslim yang terkemuka ahli dalam bidang

matematika, geografi, dan astronomi. Ia yang pada perkembangan

selanjutnya dikenal nama Algoarisme. Dirinya dikenal pula sebagai salah

satu pendiri cabang dan konsep-konsep dasar dalam ilmu matematika. (Al

Farabi, 2013: 74).

c. Al-Jâhiz (159 H/781 M–246H/868 M) ia memiliki nama lengkap Abu Amr

‗Utsmân ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Bashri, yang kemudian dikenal

dengan julukan al-Jahiz, seorang ilmuwan keturunan Arab Negro Timur

Afrika, tempat kelahirannya Basrah 159 H/781 Masehi. Ia dikenal penulis

ulung Prosa Arab, Biologi, Sastra Arab, Zoologi, Filsafat, Sejarah, Filsafat

Islam era awa, Psikologi Islam, serta perumus utama dalam Teologi ajaran-

Page 98: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

81

ajaran Mu‘tazilah serta menulis mengenai Polemik-polemik politik dan

agama. (Al Farabi, 2013: 74-75).

d. Al-Kindî (185 H/807 M–256 H/869 M) Nama lengkap al-Kindî adalah Abû

Yûsuf Ya‗qûb ibn Ishâq ibn Shabbâh ibn Imrân ibn Ismâ‗îl ibn Muhammad

ibn al-Asy‘at ibn Qais al-Kindî. Dia lahir di Kufah, Irak, pada 185 H/807 M

Nama al-Kindî berasal dari nama salah satu suku Arab di wilayah Arabia

Selatan, yaitu suku Kindah Al-Kindî adalah filosof Muslim pertama yang

mempelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya

para filosof Yunani di dunia Islam, terutama pada abad pertengahan di masa

pemerintahan Khalifah al-Ma‘mûn (191 H/813 M-211 H/833 M) yang

mengundangnya untuk mengajar di Bayt al-Hikmah. al-Kindî hidup di masa

pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai dari periode Khalifah al-Amîn (187

H/809 M-191 H/ 813 M), al-Ma‘mûn (191 H/813-211 H/833 M), al-

Mu‘tashim (211 H/833-220 H/842 M), al-Watsîq (220 H/842 M-225 H/847

M), dan al-Mutawakkil (225 H/847 M-239 H/861 M). Sejak didirikannya

Bayt al-Hikmah oleh al-Ma‘mûn, al-Kindî sendiri turut aktif dalam kegiatan

penerjemahan ini. Di samping menerjemah, al-Kindî juga memperbaiki

terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan

pandangannya, dia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra

Khalifah al-Mu‘tashim, Ahmad. Di antara sebab utama dipilihnya al-Kindî

bekerja di Bayt al-Hikmah, karena dia menguasai bahasa Yunani dan bahasa

Suryani di samping bahasa Arab, suatu kelebihan yang jarang dimiliki orang

pada masa itu Al-Kindî merupakan satu-satunya filosof Islam yang berasal

dari keturunan Arab, dan karenanya dia disebut Failasauf al-„Arab (Filosof

Orang Arab). Di samping itu, dia juga dikenal sebagai filosof pertama di

dunia Islam.48 Dia adalah farmakolog, musisi, penulis, filosof, astronom,

dan kaligrafer terkemuka di era kekhalifahan al-Ma‘mûn.49 Al-Kindî telah

menulis hampir seluruh bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada

saat itu. Beliau mulai giat menulis tentang filsafat, logika, ilmu hitung,

sferika, ilmu kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, meteorologi, dan

politik. Di antara contoh dari hasil karya tulisnya adalah Risâlah fi al-

Kammiyât al-Mudhafah, Risâlah fî al-Tajhîd min Jihat al-„Adad, Risâlatuh

fi Madkhâl al-Manthiq bi Istîfa al-Qawl fîhi, Ikhtishâr Kitab „Îsâghuji li

Farfuris, Risâlah fi Masâ‟il Su‟ila „anha min Ahwâl al-Kawâtib, Risâlah

Ah‟ad Masâfât al-Aqâlîm, dan sebagainya (Al Farabi, 2013: 75-76).

e. Al-Battânî (228 H/850 M-301 H/923 M) ia merupakan ahli dalam bidang

astronomi serta matematikawan pada kalangan orang Arab. Memiliki nama

‗Abd Allah Muhammad ibn Jabir ibn Sinân al-Raqqi al-Harrani al-Sabi al-

Battanî, lahir di Harran, di Turki pada tahun 228 H/850 Masehi dan wafat di

daerah Kasr al-Jiss, daerah Suriah di tahun 301 H/923 Masehi. Dari

kalangan dari penganut dari sekte Sabian melakukan ihwal berupa ritual-

ritual pemujaan terhadap bintang-bintang. Namun dirinya tidaklah

mengikuti langkah ritual leluhur atau moyangnya tersebut, dirinya memilih

memeluk Islam sebagai agamanya dan perilaku dari ritualnya. Adapun

ketertarikannya terhadap benda-benda langit membuatnya yang pada

kemudian hari menekuni bidang ilmu astronomi serta mendalami ilmu

Page 99: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

82

bidang matematika.. Al-Battani aktivitasnya banyak dihabiskan untuk

melakukan suatu observasi atau pengamatan astronomi dalam observatorium

yang terdapat pada Bayt al-Hikmah kala itu (Al Farabi, 2013: 76-78).

f. Abû Bakar Muhammad ibn Zakariâ’ al-Râzî (243 H/865 M-303 H/925 M)

Beliau ketika hidup banyak meluangkan waktunya untuk melakukan kajian-

kajian ilmu diantaranya musik, kedokteran, kimia, filsafat, matematika,

logika, dan fisika. Aktivitas kegiatan keilmuan tersebut dirinya bergabung

pada Bayt al-Hikmah adapun yang menjadi tarbelakangnya dirinya berguru

pada Abû Hasan Alî ibn Sahl al-Rabbanî yang merupakan seorang ulama

besar murid Hunain ibn Ishaq, yang kala itu merupakan kepala dari komite

penerjemahan pada Bayt al-Hikmah. (Al Farabi, 2013: 78).

g. Al-Farghânî (w. 248 H/870 M) ia merupakan salah seorang dari para

ilmuwan Muslim terkena era kekuasaan al-Ma‘mûn ketika sebagai khalifah.

Dirinya, merupakan astronom Bayt al-Hikmah. Al-Farghânî berasal dari

Uzbekistan, dan di dunia Barat ia dikenal dengan nama Alfraganus. Ia

banyak melakukan pengamatan terhadap benda-benda angkasa pada sebuah

observatorium di Baghdad, dan ia pun berhasil menghimpun data-data

tentang apoge dan perige, yakni titik terjauh dan terdekat pada lintasan

benda-benda angkasa dari Bumi. Di antara karyanya yang terkenal adalah

The Elements of Astronomy (Unsur-unsur Astronomi), yang banyak

membahas tentang gerakan-gerakan benda-benda langit; Kitab Fî al-

Harakât al-Samawî wa Jawâmi‟ Ilmu al-Nujûm (Elemen-elemen

Astronomi); dan dua karya di bidang teknik, yaitu Kitab al-Fushûl, Ikhtiyâr

al-Majisthî dan Kitab Amal al- Rukhmât atau Book on the Constructions of

Sun-Dials (Al Farabi, 2013: 78).

h. Al-Bîrûnî (351 H/973 M-426 H/1048 M) dalam hal ini ia merupakan salah

satu matematikawan asal Persia, yang juga seorang astronom, dan

fisikawan, dirinya merupakan pembuat ensiklopedia. Dengan kehandalan

yang begitu mahsyur, ia mampu melahirkan berbagai karya di bidang

matematika, fisika, astronomi, kedokteran, metafisika, sastra, ilmu bumi,

dan sejarah. Bahkan ia juga berhasil menemukan fenomena rotasi bumi dan

bumi mengelilingi matahari setiap harinya. Tatkala melibatkan diri dalam

aktivitas keilmuan di Bayt al-Hikmah, al-Bîrûnî telah berperan mengenalkan

metode saintifik dalam setiap bidang yang dipelajarinya, misalnya, dalam

karyanya al-Jamâwir yang sangat eksperimental. Pada bidang optik, al-

Bîrûnî bersama Ibn al-Haytsam, digolongkan sebagai ilmuwan pertama

yang mengkaji ilmu itu. Dialah yang pertama kali menemukan bahwa

kecepatan cahaya lebih cepat dari kecepatan suara. Dalam bidang ilmu

sosial, al-Bîrûnî disebut sebagai antropolog pertama di dunia. Ia menulis

secara detail studi perbandingan terkait antropologi manusia, agama, dan

budaya di Timur Tengah, Mediterania, dan Asia Selatan. Dia dipuji

sejumlah ilmuwan karena telah mengembangkan antropologi Islam. Di

samping itu, ia juga menulis tentang pengetahuan umum lainnya seperti

kitab Al-Jawâmir fî Ma‟rifat al-Jawâhîr (kumpulan pengetahuan tentang

batu-batu permata), al-Syahdalah fî al-Thibb (farmasi dalam ilmu

Kedokteran), al-Maqâlid „Ilm al-Hai‟ah (kunci ilmu perbintangan), Tahdîd

Page 100: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

83

Nihâyah al-Amâkîn (penentuan koordinat kota-kota), kitab al-Kusûf wa al-

Khusûf „ala Khayâl al-Hunûd (kitab tentang pandangan orang India

mengenai peristiwa gerhana bulan), dan kitab al-Tafhîm fi al-Tanjîm (kitab

tentang pemahaman astronomi) (Al Farabi, 2013: 79).

i. Nâsir al-Dîn al-Thûsî (597 H/1201 M-672 H/1274 M) Nâsir al-Dîn al-

Thûsî, nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan

al-Thûsî. Ia lahir di Thûs, daerah yang terletak dekat dengan Meshed Iran,

sebelah timur laut dari lembah Sungai Kashaf, pada tahun 597 H (1201 M).

Ia meninggal di Baghdâd pada tanggal 8 Zulhijjah 672 H atau 25 Juni 1274

M. Al-Thûsî turut berperan serta dalam kegiatan ilmiah di Bait al-Hikmah

pada masa penghujung Dinasti Abbasiyah. Ketiga Baghdad diinvasi dan

ditaklukkan oleh pasukan Mongolia, ia terpaksa hijrah ke berbagai tempat.

Pada masa akhir Dinasti Abbasiyah inilah ia banyak memberikan kontribusi

dalam bidang sains, meliputi bidang fisika, kimia, matematika, biologi, dan

astronomi. Khusus di bidang astronomi, al-Thûsî pernah meyakinkan

Hulagu Khan, penguasa dari Mongol, untuk membangun observatorium

untuk membuat tabel astronomi yang lebih akurat dan digunakan untuk

prediksi astrologi. Akhirnya pada tahun 657 H/1259 M, dibangunlah

Observatorium Maragheh (Rasad Khaneh) di Maraghen, provinsi

Azerbaijan Timur, Iran. Observatorium ini terbesar pada zamannya, terdiri

atas deretan bangunan di area 150 x 350 meter. Dalam buku Zij-i il-Khani,

terdapat tabel yang akurat tentang pergerakan planet dan juga nama-nama

bintang (Al Farabi, 2013: 80).

j. Al-Kazwinî (600 H/1203 M- 682 H/1283 M) kegiatan ilmiahnya dilakukan

di Bayt al-Hikmah di penghujung Abbasiyah berkuasa. Al-Kazwinî

memiliki karya monumental dalam bidang ilmu falak yang berjudul „Ajâ‟ib

al-Makhlûqât wa Gharâ‟ib al-Maujûdât (Keajaiban Makhluk dan Keanehan

Alam). Selain itu, karya lain al-Kazwinî adalah Asrâr al-Bilâd wa Akhbâr

al-„Ibâd (Sejarah Negerinegeri dan Kabar tentang Rakyatnya) (Al Farabi,

2013: 80).

Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan besar pertama di Baghdad pada

masa Dinasti Abbasiyah juga sebagai perpustakaan Islam paling terkenal

dalam sejarah.tercatat ilmuwan-ilmuwan besar lahir dengan mengambil

manfaat dari ―rumah kebijaksanaan‖ ini seperti Al-Hasan bin Al-Hitsam,

ilmuwan terhebat sepanjang sejarah dalam ilmu penglihatan (mata),

Iyadullah Al-Battani seorang ilmuwan falak yang terkenal di Timur dan

Barat. Kemudian Al-Khawarizmi ilmuwan yang mempersembahkan

ilmunya bagi kemajuan ilmu matematika, juga Abu Hanifah Al-Dinawari

seorang ilmuwan tumbuh-tumbuhan dan klasifikator terbesar (al-

Mushannif), Al-Bairuni, begitu juga filosof Muslim terkenal seperti Al-

Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina (Umar, 2006: 7), hal ini tentunya telah dibahasi

secara seksama di atas.

Page 101: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

84

B. Transformasi Institusi Pendidikan pada Masa Pemerintahan Bani

Abbasiyah

Bani Abbasiyah muncul sebagai negara adi daya yang kuat, bukan hanya

dari sisi militer dan jenderal-jenderal perang yang handal. Namun, bergeliat

menuju kebangkitan ilmu pengetahuan—yang sisa-sisa peradabannya masih

berguna hingga saat ini. Ketika dinasti Abbasiyah berjaya dimana pendidikan

dan pengajaran berkembang sehingga tergambar dimana masyarakat Bani

Abbasiyah menunjukkan kegairahan dalam mengejar ilmu—berdatangan ke

pusat-pusat pendidikan. para warga dengan gembira meninggalkan kampung

halaman demi menimba pengetahuan. Tentunya, hal tersebut dapat diamati dari

berkembangnya pendidikan dan pengajaran pada waktu itu serta

berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Perkembangan pendidikan Islam, ditandai dengan berdiri madrasah yang tak

terhitung banyaknya, masyarakat berlomba-lomba menuntut ilmu, melawat ke

pusat pendidikan walau meninggalkan kampung halaman demi mendapatkan

pengetahuan. Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan hidup manusia,

yakni menjadi Insan pengabdi Allah ‗abdullah‟ sekaligus delegasi Tuhan

pengatur alam semesta ‗khalifatullah‟. Apa yang menjadi benang merah dalam

menemukan titik temu masyiatullah (kehendak Allah) dan masyiatul „ibad

(keinginan yang dikehendaki manusia) hanyalah dapat tercapai melalui

pendidikan (Mahroes, 2015: 75).

Gerakan Kebangkitan intelektual ditandai oleh proyek penerjemahan karya-

karya berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan terutama yang berbahasa Yunani

ke bahasa Arab (Hitti, 2002: 381). Pendirian pusat pengembangan ilmu dan

perpustakaan yaitu Bait al-Hikmah, dan terbentuknya mazhab-mazhab ilmu

pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berpikir

(Abdurrahman dkk , 2003: 116).

Institusi pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa Bani Abbasiyah

dapat dikategorikan sebagai berikut menurut (Mahroes, 2015: 91-94) dapat

disimak berikut ini;

Pertama, Lembaga pendidikan sebelum madrasah. 1) Maktab/ Kuttab.

Adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang diajarkan adalah khat,

kaligrafi, al-quran, akidah, dan syair. Kuttab dapat diklasifikasikan menjadi

dua, yaitu yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan umum dan yang terbuka

terhadap pengetahuan umum. Dalam ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa

Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam, pada

awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan

membaca bagi anak-anak, dan dinyatakan bahwa kuttab ini sudah ada di negeri

Arab sebelum datangnya agama Islam, namun belum dikenal. Di antara

penduduk Mekah yang pernah belajar adalah Sofwan bin Umayyah bin Abdul

Syam. 2) halaqah artinya lingkaran. Halaqah merupakan institusi pendidikan

Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college. Sistem ini

merupakan gambaran tipikal dari murid-murid yang berkumpul untuk belajar

pada masa itu. Guru biasanya duduk di atas lantai sambil menerangkan,

membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya

pemikiran. Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru dengan duduk

Page 102: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

85

di atas lantai, yang melingkari gurunya. 3) majelis adalah institusi pendidikan

yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuwan dari berbagai disiplin

ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7 macam mejelis, yaitu: (1)

majelis al-Hadis; (2) majelis al- Tadris; (3) majelis al-Munazharah; (4) majelis

al-Muzakarah; (5) majelis al- Syu‟ara; (6) majelis al-Adab; dan (7) majel al-

Fatwa. 4) masjid tak lain merupakan salah satu institusi pendidikan bercorak

Islam dan sudah eksis sejmenjak masa dahulu zaman nabi. Masjid didirikan

atas inisiatif penguasa pada umumnya yang dilengkapi oleh berbagai aneka

macam peralatan atau fasilitas yang dapat menunjang pendidikan semisal

tempat belajar, dan ruang perpustakaan serta buku-buku yang berasal dari

banyak berbagai macam-macam keilmuwan yang berkembang kala itu. 5)

kemudian Khan. Ia berfungsi semacam asrama para pelajar serta merupakan

tempat penyelenggaraan dalam pengajaran khususnya agama diantaranya yaitu

fikih. 6) selanjutnya adalah ribath tempat kegiatan-kegiatan kaum sufi mereka

yang ingin benar-benar menjauh dari prikehidupan yang bersifat duniawi guna

mengonsentrasikan khususnya dalam beribadah dan semata pada Allah. Ribath

inilah yang biasanya dipakai dihuni kalangan miskin. 7) selanjutnya rumah-

rumah para ulama, yang digunakan diperuntukkan melakukan proses transmisi

khususnya ilmu agama serta ilmu umum juga kemungkinan terdapat berupa

perdebatan yang bersifat ilmiah. Para Ulama tidak diberikan kesempatan untuk

mengajar di dalam institusi pendidikan yang bersifat formal dan ia akan

mengajar di dalam rumah-rumah kalangan mereka. 8) selanjutnya toko-toko

buku juga perpustakaan, memiliki peran sebagai tempat-tempat transmisi ilmu

dan tranmisi Islam. Perihal ini di Baghdad kurang lebih terdapat 100 toko buku

yang tersebar. 9), berupa observatorium serta rumah sakit berfungsi sebagai

tempat untuk kajian keilmuan pengetahuan serta filsafat Yunani ditambah

tempat transmisi ilmu khususnya bidang kedokteran.

Kedua, adalah Madrasah. Madrasah telah eksis ketika periode awal masa

kekuasaan umat Islam pada Dinasti Bani Abbasiyah sepertihalnya Bait al-

Hikmah, yang merupakan institusi pengajaran dan pendidikan tinggi versi Islam

yang pertama dibangun pada sekitar tahun 830 M dilakukan khalifah al-

Makmun. Adapun institusi inilah yang kemudian mengukir torehan sejarah baru

dalam kontek peradaban dunia Islam dengan berupa konsep yang menjunjung

tinggi multikulturalisme dalam konsep pendidikannya, karena dalam hal ini

dimana subjek toleransi merupakan perbedaan antar etnik dan kultural, serta

agama telah dikenal dan merupakan sesuatu hal yang biasa. Seperti halnya Bait

al-Hikmah, yang merupakan institusi pendidikan tinggi dalam Islam yang

pertama kalinya yang dibangun sekitar tahun 830 M yang membangunnya

yakni khalifah al-Makmun. Institusi inilah yang dikemudian hari mengukir

sejarah baru peradaban Islam.

Lebih lanjut pada catatan lainnya, dimana al-Makrizi ia berasumsi

bahwasanya madrasah kali pertamanya ialah Nizhamiyah didirikan sekitar

tahun 457 H. Madrasah ini selalu pada perkembangannya dikaitkan bersamaan

dengan tokoh bernama Nidzam Al-Mulk W. 485 H/ 1092 M, ia merupakan

seorang wazir dari kalangan dinasti Saljuk pada 456 H/ 1068 M hingga

wafatnya, usahanya tersebut membangun institusi madrasah Nizhamiyah di

Page 103: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

86

kawasan berbagai kota-kota utama yaitu daerah dimana kekuasaan Saljuk

secara penuh. Pada perkembangannya Madrasah Nizhamiyah diidentikan

sebagai bentuk atau prototype awal lembaga pendidikan level tinggi, beliau

dianggap merupakan tonggak perjalanan baru dalam kensep penyelenggaraan

pendidikan dalam Islam, serta merupakan bentuk dari karakteristik tradisi

kultural pendidikan Islam sebagai lembaga pendidikan yang resmi dalam sistem

asrama itu. Pemerintah, penguasa ikut serta dan terlibat langsung dalam

menentukan dari tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, hingga pendanaan, dan

sarana fisik lainnya. Kendati demikian madrasah Nizhamiyah telah mampu

melestarikan tradisi transmisi keilmuwan serta menyebarkan Islam konteks

ajarannya dalam versinya sendiri. Akan tetapi bentuk keterkaitan dengan

standarisasi juga pelestarian ajaran kurang begitu mampu menunjang

perkembangan ilmu, penelitian dan inovatif. Madrasah yang terdapat di

Makkah dan Madinah. Adapun informasi mengenai madrasah mendapat

sambutan atau dukungan dari banyak berbagai literatur yang beredar selama ini.

Namun sayang para sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasah di

Mekah dan Madinah. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya pelacakan

informasi mengenai keberadaan permasalahan tersebut yang kurang begitu

lengkap. Jika ditelaah secara kuantitatif dimana madrasah di Makkah lebih

banyak jika dibandingkan yang ada di Madinah. Diantaranya adalah madrasah

Abu Hanifah, Maliki, madrasah Ursufiyah, madrasah Muzhafariah, sedangkan

madrasah megah yang dijumpai di Mekah adalah madrasah qoi‟it bey, didirikan

oleh Sultan Mamluk di Mesir.

Konsep secara hierarkis ketika masa Dinasti Abbasiyah yakni sekolah-

sekolah yang terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: a) Tingkat sekolah rendah,

namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada

pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir

pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Alquran dan

menghafalnya, pokok-pokok ajaran Islam, menulis, kisah orangorang besar

Islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga

pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya. b) Tingkat sekolah menengah, yaitu

di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai sambungan

pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Alquran, bahasa

Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq,

Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga musik. c) Tingkat perguruan

tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di

masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari

dua jurusan: Pertama, Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta

kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu

yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Alquran, Hadits, Fiqih, Nahwu,

Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab. Kedua, Jurusan ilmu-ilmu hikmah

(filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang

diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, Ilmu Alam dan Kimia, Musik,

ilmu-ilmu pasti, Ilmu Ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), Ilmu Hewan, dan juga

Kedokteran.

Page 104: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

87

Mengenai kurikulum, Adapun kurikulum pendidikan Islam pada masa

dinasti Abbasiyah (Suhartini, 2012: 105-107).

1. Kurikulum Pendidikan Dasar (kuttab) : Membaca al-qur‘an dan

menghafalnya, Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudlu, shalat,

puasa dan sebagainya, Menulis, Kisah atau riwayat orang-orang besar

Islam, Membaca dan menghafal syair-syair atau natsar (prosa), Berhitung,

Pokok-pokok nahwu dan sharaf ala kadarnya

2. Kurikulum Pendidikan Menengah : Rencana pelajaran untuk pendidikan

tingkat menengah tidak ada keseragaman di seluruh Negara Islam. Pada

umumnya, rencana pelajaran tersebut meliputi mata pelajaran-mata

pelajaran yang bersifat umum, sebagai berikut: (a) Al-Qur‘an, (b) Bahasa

Arab dan Kesusasteraan, (c) Fiqh, (d) Tafsir, (e) Hadits, (f)

Nahwu/Sharaf/Balaghah, (g) Ilmu-ilmu Pasti, (h) Mantiq, (i) Ilm Falak, (j)

Tarikh (Sejarah), (k) Ilmu-ilmuAlam, (l) Kedokteran, (m) Musik

3. Kurikulum Pendidikan Tinggi : Pada umumnya, rencana pelajaran pada

perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua jurusan, yaitu: pertama :

Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa serta sastra Arab, yang juga disebut

sebagai ilmu-ilmu Naqliyah, yang meliputi: Tafsir al-Qur‘an, Hadits, Fiqh

dan Ushul Fiqh, Nahwu/Sharaf, Balaghah, Bahasa dan Kesusastraannya,

kedua : Jurusan ilmu-ilmu umum, yang disebut sebagai ilmu Aqliyah,

meliputi: Mantiq, Ilmu-ilmu Alam dan Kimia, Musik, Ilmu-ilmu Pasti,

Ilmu Ukur, Ilmu Falak, Ilmu Ilahiyah (ketuhanan), Ilmu hewan, Ilmu

tumbuh-tumbuhan,dan Kedokteran.

Dapat difahami bahwa perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan

pada zaman Bani Abbasiyah berkembang dan merupakan salah satu bentuk

tingginya peradaban pada masa itu.

Adapun tujuan dari pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dapat disimak

menurut (Yunus, 1990: 46) dapat disimak berikut ini:

Pertama. Tujuan Keagamaan dan Akhlak, seperti pada masa sebelumnya.

Anak-anak dididik dan diajar membaca/menghafal Al-Qur‘an, ialah karena hal

itu suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikuti ajaran agama dan

berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu tafsir, hadits dan

sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.

Kedua. Tujuan Kemasyarakatan, dalam hal ini selain berupa tujuan

keagamaan berbasis akhlak namun ada pula berupa tujuan kemasyarakatan

yang lain, ialah pemuda-pemuda konsen belajar serta menuntut suatu ilmu, agar

mereka kedepannya dapat perubahan memperbaiki kondisi masyarakat, dari

masyarakat yang kala itu masih penuh kejahilan/ kebodohan menjadi

masyarakat terbersinari ilmu sehingga berpengetahuan, dari yang semula

masyarakat berperadaban mundur menjadikan masyarakat dengan kemajuan

dan kemakmuran.

Ketiga. Selain dari itu ada pula tujuan berupa visi pendidikan, yakni cinta

pada ilmu pengetahuan dan gemar serta merasakan kelezatan dalam mencapai

ilmu pengetahuan itu. Konsentrasi belajar mereka tak semata mengharapkan

keuntungan, selain dari hal tersebut pada layaknya dalam perombaan dalam hal

mengejar ilmu pengetahuan. Mereka sepenuh hati melawat ke berbagai Negara

Page 105: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

88

Islam, demi menuntut suatu ilmu, tanpa harus memperdulikan dan susah dalam

perjalanannya, pada umumnya mereka melakukannya dengan berjalan kaki

tiada lelah ataupun mengendarai keledai sebagai tunggangan. bertujuan demi

untuk pemenuhan memuaskan segenap jiwa yang begitu semangat dalam

pencarian ilmu pengetahuan tersebut.

Keempat. Di samping hal tersebut ada pula yang bertujuan berpendidikan

sebab sebagian Muslimin, tujuan untuk kebendaan. Mereka golongan ini

menuntut ilmu pengetahuan, guna mendapatkan suatu penghidupan layak dan

sejahtera, dan berpangkat tinggi, atau bahkan jika mungkin mereka

mendapatkan suatu kemegahan serta kekuasaan dunia.

Dari rentetan sejarah mencatat: menurut Kekuasaan Dinasti Abbasiyah

berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M)

sampai 656 H (1250 M). Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan

maupun pendidikan Islam yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan politik,

sosial, dan kultur budaya yang terjadi pada masa-masa tersebut. Kekuasaan

Dinasti Abbasiyah dibagi dalam lima periode, yaitu menurut (Suwito, 2008:

11). Periode I (132 H/750 M-232 H/847 M), masa pengaruh Persia pertama.

Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama. Periode

III (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh

Persia kedua. Periode IV (447 H/1055 M-590 H/1194 M), masa Bani Saljuk,

pengaruh Turki kedua. Periode V (590 H/1104 M-656 H/1250 M), masa

kebebasan dari pengaruh Dinasti lain.

Menurut kajian (Maryamah, 2015: 2) mengemukakan; sejak terlahirnya

Islam sebagai agama, lahirlah pula pendidikan dan bentuk pengajaran dalam

Islam, adapun pendidikan dan pengajaran itu pada perkembangannya terus-

menerus bertumbuh dan mengalami perberkembangan, dalam hal ini Islam

sebagai berupa ajaran telah memberikan konsep yang mandiri dan tersendiri

terhadap perkembangan keilmuan dan penyebaran keilmuan bagi para

pemeluknya, Islam dalam konteks keagamaan tidaklah hanya memiliki fungsi

sebagai aturan ritual keagamaan belaka, namun melainkan pula menaungi,

membimbing dan pembimbingan, serta memberikan berupa arahan-arahan dan

aturan-aturan merembas ke segala aspek bidang kehidupan ini hingga

peradaban pun mengalami ketumbuhan dan perkerkembangan dalam konteks

kehidupan dalam masyarakat. Secara faktual Islam telah mampu membawa

pada perubahan yang teramat besar khususnya untuk masyarakat Arab dan

umunya bagi seluruh pemeluknya serta bahkan non-Muslim sekalipun.

Masyarakat muslim telah berhasil berproses dan membentuk kerajaan besar

kani Dinasti Abbasiyah dimana wilayahnya meliputi jazirah Arabia, sebagian

benua Afrika, Asia, dan Eropa dari abad ke-7 M hingga 12 M dan sejak itu pula

telah muncul Dinasti Abbasiyah dan disinilah dimana Islam mengalami torekah

masa keemasan dan kejayaan.

Page 106: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

89

C. Madrasah Nizhamiyah Merupakan Eksistensi Pendidikan pada Masa

Pemerintahan Bani Abbasiyah

Madrasah secara etimologi merupakan isim makan dari kata “darasa” yang

berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi peserta didik atau

bangunan tempat pendidikan atau proses belajar mengajar secara formal.

Penjelmaan istilah madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah

yang melalui tiga tahapan yaitu: tahap masjid, tahap masjid khan, dan tahap

madrasah. Sedangkan fenomena madrasah mulai menonjol sejak awal abad 11-

12 M, atau abad 5 H, tepatnya ketika Wazir Bani Saljuk, Nizam al–Mulk

mendirikan Madrasah Nizhamiyah di Baghdad (Asrohah, 1999: 64).

Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni

dengan kebangkitan madrasah. Secara tradisional sejarawan pendidikan Islam,

seperti Munir ad-Din Ahmed, George Makdisi, Ahmad Syalabi dan Charles

Michael Stanton menganggap, bahwa madrasah pertama kali didirikan oleh

Wazir Nizam al-Muluk pada 1064; madrasah ini kemudian terkenal sebagai

Madrasah Nizam al-Muluk. Akan tetapi, penelitian lebih akhir, misalnya yang

dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih

tua di kawasan Nishapur, Iran. Pada tahun 400/1009 terdapat madrasah di

wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah;

yang tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abu Ishaq Ibrahim

ibn Mahmudi di Nishapur (Azra, 1999: viii).

Dengan berdirinya suatu madrasah tak lain merupakan awal tonggak sejarah

baru dalam hal penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan dalam Islam serta

guna membedakannya era pendidikan ketika Islam sebelumnya. Dimana

Madrasah Nizhamiyyah inilah merupakan salah satu dari madrasah yang

terbilang khas dan terkenal ketika Bani Saljuk berkuasa di lingkungan Dinasti

Abbasiyah. Para pendidik di dalam Madrasah Nizhamiyah pun tak lain

merupakan para pendidik berkompeten dalam bidang keilmuannya masing-

masing. Madrasah Nizamiyah telah menjadi salah satu fenomena amat

menonjol dimulai dari abad 11 sampai dengan abad 12 M atau abad 5 H, dalam

hal ini khususnya kala itu seorang wazir dari kalangan Bani Saljuk, yakni

Nizham al-Muluk, ia mendirikan suatu madrasah Nizhamiyah di wilayah

Baghdad sebagai pusat dari pemerintahan kala itu. Walaupun bukan berarti ia

orang pertama yang mendirikan madrasah, kendati ia memiliki jasa dalam hal

mempopulerkan pendidikan madrasah bersamaan dengan reputasinya sebagai

kewaziran. selain itu dimana lembaga madrasah telah dianggap prototype pada

awal lembaga pendidikan tinggi dan setelahnya itu. Menimbang hal tersebut

bahwasanya lembaga pendidikan madrasah tak lain merupakan salah satu dari

kekhasan lembaga pendidikan tinggi bercorak Islam, merupakan lembaga

pendidikan yang tergolong resmi yang mana di sini pemerintah secara langsung

terlibat di dalam pengelolaannya. Seperti halnya Madrasah Nizhamiyah, seperti

yang telah disebutkan pemerintah secara langsung terlibat di dalam

pengeloalaanya tersebut. Besarnya peran serta pihak pemerintah bagi Madrasah

Nizhamiyah tersebut, sehingga kesejahteraan kehidupan para guru lebih

meningkat keterjaminannya, dan tidaklah akan mengalami kendala dengan

masalah keuangan dalam keluarganya (Siregar, 2015: 81-82). Berdasarkan

Page 107: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

90

kajian literatur Madrasah Nizhamiah dalam pendiriannya berhubungan dengan

Bani Saljuk karenanya penting diulas hal tersebut.

a. Sejarah singkat Bani Saljuk.

Saljuk atau yang kemudian dikenal Bani Saljuk ialah nama salah satu

dari suku bangsa yang berkuasa pada abad ke-9 M dan ke 12 M atau 429-

590/1038-1194. Adapun Nama dari saljuk tak lain diambil dari salah

seorang pemimpin kabilah suku di turki yaitu Ghuzz atau oghuz yakni

Saljuk bin Tuqaq ia mendiami suatu wilayah di emperium uighur itu.

Adapun luas wilayah tersebut berbatasan tiongkok pada sebelah timurnya

hingga ke pantai laut Kira selanjutnya memanjang ke wilayah

marawarannahar itu. Ia telah diangkat jadi panglima ketika masa Imperium

Uighar itu menempati daerah bagian selatan di lembah Tarim dan Kasgar

yang berfungsi wilayah ibu kota sebab cita- citanya yang begitu tinggi

dsertai kecerdasan akal pikiran dan kemuliaan rakyatpun terpesona cinta dan

menaruh hormat teramat sangat kepadanya. Pengaruhnya kepada rakyatpun

khusunya yang makin amatlah besar. Akhirnya timbullah suatu

kekhawatiran permaisuri Khagar (raja) Uighur bernama Khagar Baigu, itu

jika suatu hari nanti pengaruh Saljuk melebihi dari pengaruhnya sang suami.

Kemudian dirinya direncanakan dalam suatu usaha pembunuhan. Namun,

rencana ini dapatlah diketahui Saljuk, atas karenanya Ia mengumpulkan

keluarga serta sukunya guna meninggalkan atau hengkang dari daerah itu

membela wilayah pergunungan Thian Shandan dengan tujuan masuk

kesebelah di barat, yakni suatu wilayah dimana Islam yang berkuasa.

Akhirnya, saljuk juga pengikut-pengikutnya sampai pula di wilayah Amir

Abdul Malik ibn Nuh yang berkuasa kala itu di 343-350/954-961 M

merupakan penguasa yang berdaulat Samaniah serta para pengikutnya

kemudian mendiami wilayah Jundi, wilayah yang dekat dengan daerah

Bukhara. Lebih lanjut, sesampainya di daerah Samaniah itu mereka

memeluk Islam sebagai agama mereka beraliran Sunni (Ali, 1996: 48).

Adapun kemunduran pemerintahan Bani Buwaihi bermula dari

terjadinya konflik secara intern diantara mereka disebabkan perebutan

dalam konteks kekuasaan, diantara putra Muiz al-Daulah dan putra Imam al-

Daulah mereka berkonflik saling meperebutankan jabatan kekuasaan amir

al-umara. Salain dari hal itu ada juga gangguan yang berasal dari luar atau

eksternal dimana semakin gencar-gencarnya serangan yang berasal dari

daerah kekuasaan Bizantium ke daerah kekuasaan Islam serta semakin

menjamurnya daulah-daulah yang kecil memisahkan diri melakukan

pemberontakan seperti Fatimiyah di daerah Mesir, Ikhsidiyah di daerah

Mesir dan juga Syiria, begitu pula dengan daulah Saljuk yang berkuasa dari

1055 hingga 1194 M. Ketika pada masa-masa tersebut yang mana kondisi

posisi dan kedudukan khalifah terbilang baik, dan setidaknya diamana

kewibawaannya dalam hal keagamaan dikembalikan sesudah beberapa

lamanya dirampas orang-orang Syiah masa itu. Kendatipun Bagdad dapatlah

dikuasai, akan tetapi Bagdad tidaklah dijadikan pusat bagi pemerintahan.

Tughrul Beg memilih Naishapur dengan Ray sebagai pusatnya (Hasanuddin,

Page 108: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

91

2011: 99). Lebih lanjut, akhir sebuah daulah Abbasiyah berawal ketika

daulah Saljuk terjadinya peristiwa yang disebut Manzikart di tahun 1011

Masehi, yakni suatu ekspansi gerakan dilakukan Alep Arselan yang

berkekuatan 15.000 kekuatan balatentara, kemudian berhasil memporak

porandakan pasukan Romawi dengan jumlah kurang lebih 200.000 yang

terdiri pasukan Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis serta Armenia.

Peristiwa tersebutlah yang menjadi benih-benih bagi perang salib

dikemudian hari. Pemerintahan bani Seljuk sangatlah dikenal atas nama al-

Salajikah al-Kubra atau Seljuk Besar atau Seljuk Agung.

Selain dari itu, terdapat beberapa pemerintah Seljuk yang lain

dibeberapa daerah-daerah. Ketika Alep Arselan itulah ilmu pengetahuan dan

agama mulai terlihat mengalami berkembangan serta mengalami kemajuan

ketika di zamannya Sultan Malik Syah dibantu perdana menterinya yang

bernama Nizam al-Mulk itu. Adapun perdana menteri itu yang kemudian

memprakarsai tegak berdirinya suatu Universitas yakni Nizamiyah pada

1065 M dan juga Madrasah Hanafiyah di wilayah Bagdad itu. Dalam hal ini

hampir tiap kota wilayah Irak serta Khurasan didirikanlah cabang-cabang

Nizhamiyah tersebut (Yatim, 2006: 75). Lebih lanjut, Saljuk sangatlah

dikenal ia seorang dengan kemampuan orator yang baik dan dermawan

merupakan kegemarannya kerena itulah disukai ditaati masyarakatnya,

namun dilain pihak dimana istri dari raja Turki merasa khawatir pada suatu

saat nanti saljuk akan melakukan gerakan pemberontakan, atas karenanya

dibuatlah rencana membunuh Saljuk itu tentunya dengan secara-cara yang

licik, dan untungnya Saljuk mengetahuinya rencana pembunuhan tersebut

kemudian ia bergerak mengumpulkan pasukan-pasukannnya membawa

mereka ke daerah Janad, untuk sementara waktu mereka tinggal disana

bertetangga bersama kaum muslimin negeri Turkistan itu, ketika diri Saljuk

mengamati melihat aspek prilaku orang-orang Islam yang begitu baik dan

menunjukkan akhlak yang luhur ia pun akhirnya memeluk Islam sebagai

agamanya serta kabilah-kabilah Oghuz pun pada akhirnya mereka memeluk

Islam sebagai agama mereka. semenjak itu Saljuk melakukan suatu

perlawanan peperangan terhadap orang-orang Turk kafir, dan akhirnya

dirinya mampu mengalahkan dan mengusir bawahan-bawahan raja Turki

menghapus segala bentuk pajak bagi umat muslim (Dar al-‗ilm, 2011: 95-

96). Kaum Saljuk mendirikan kesultanan Islam yang dikenali sebagai

Kesultanan Saljuk Agung. Kesultanan ini terbentang dari Anatolia hingga ke

Rantau Punjab di Asia Selatan. Kesultanan ini juga adalah sasaran utama

tentara Salib Pertama. Dinasti ini diasaskan oleh suku Oghuz Turki yang

berasal dari Asia Tengah. Dinasti Saljuk juga menandai penguasaan Bangsa

Turki di Timur Tengah. Mereka dianggap sebagai penggagas kebudayaan

Turki Barat yang kentara di Azerbaijan, Turki dan Turkmenistan, Pada masa

pemerintahan Saljuk ini, mereka menguasai dan memerintah di Baghdad

selama sekitar 93 tahun yaitu dari tahun 429 H/1037 M hingga tahun 522

H/1127 M (Yatim, 2006: 65). Thughril Bek, cucu Saljuk, yang memulai

penampilan kaum Saljuk dalam panggung sejarah. Pada tahun 429H/1037M

ia tercatat sudah menguasai Marw dan Naisabur dari genggaman penguasa

Page 109: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

92

Ghaznawi. Segera setelah itu mereka juga merebut Balkh, Jurjan,

Thabaristan dan Khawarizm, Hamadhan, Rayyi, dan Isfahan (Hitti, 2010:

603).

Di bawah Panglima Tughril Bek, orang Saljuk berhasil menghancurkan

Daulah Ghaznawiyah dan menduduki singgasana kerajaan Naisabur pada

tahun 429 H/1038 M. Oleh karena itu Tughril Bek dipandang sebagai

pendiri Dinasti Saljuk yang sebenarnya (Zuhad, 2005: 194). Pencapaian

gemilang yang dilakukan oleh pemerintahan Tughril Bek adalah menguasai

Baghdad dan mengakhiri Dinasti Buwaihi yang pada saat itu dipimpin oleh

al-Malik al-Rahim dengan panglima tentaranya yaitu al-Basasiri,serta

menguasai beberapa wilayah yang telah disebutkan sebelumnya. Atas dasar

kegemilangan Tughril Bek inilah kemudian dia mendapatkan dua gelar

kehormatan, yaitu : a. Yamin Amir al-Mu'minin, gelar ini diperoleh karena

menumpas Bani Buwaih di Baghdad, b. Malik al-Syarqi al-Gharb, gelar ini

diperoleh karena menewaskan al-Basasiri dan mengembalikan kekuasaan

Khalifah al-Qa'im (Yahya dan Halimi, 1993: 309). Setelah Tughril Bek

meninggal, kepemimpinan diteruskan oleh Alp Arselan, keponakan dari

Tughril Bek, karena ia tidak mempunyai seorang putra. Dia memerintah

sejak tahun 1063 M hingga 1072 M. Perluasan daerah yang sudah dimulai

pada kepemimpinan Thugril Bek dilanjutkan oleh Alp Arselan ke arah Barat

sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia kecil, yaitu Bizantium (Yahaya,

dkk, 1993: 300). Dalam gerakan ekspansi itu terdapat peristiwa penting,

yaitu yang dikenal dengan peristiwa Manzikart 463 H/1071 M, dimana

tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan kekuatan besar tentara Romawi

yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Perancis dan

Armenia. Dikuasainya Manzikart pada tahun 463 H/1071 M (Shallabi,

1998: 286). Pada periode inilah dinasti Saljuk mencapai masa kejayaannya,

wilayah kekuasaannya membentang mulai dari Kasgar, satu kota di ujung

wilayah Turki, sampai ke Yerusalem dan luasnya dari wilayah

Constantinopel sampai ke laut Kaspia. Atas dasar ini dinasti Saljuk dikenal

gemar melakukan ekspansi perluasan wilayah yang sangat luas, seperti

halnya penguasa Turki Usmani yang di kemudian hari berhasil mendirikan

sebuah imperium besar pada abad ke-14 M (Dar al-‗ilm, 2002: 300). Dalam

hal ini Periode Keempat (447 H∕1055 M – 590 H∕1194 M), masa kekuasa

Dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya

disebut juga dengan masa pengaruh Turki Kedua.

b. Perkembangan Pendidikan dan Ilmu Ketika Bani Saljuk Berkuasa.

Karir politik Nizam al-Mulk secara langsung berkaitan dengan kondisi

politik pada masa itu. Pada abad ke-5 terjadi konflik antara kelompok-

kelompok keagamaan dalam Islam. Misalnya kelompok Syi‘ah, Mu‘tazilah,

Asy‘ariyah, Hanafiah, Hanbaliah dan Syafi‘iyah. Ketika Khalifah

Abbasyiah lemah, berdiri dinasti baru yaitu, dinasti Buwaihi yang beraliran

Syi‘ah Ismai‘liyah yang mendukung pemikiran rasional dan menganut

paham teologi yang sama dengan Mu‘tazilah.

Page 110: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

93

Pada masa itu, pengajaran ilmu-ilmu filosofis dan ilmu pengetahuan

yang dulu dijauhi oleh masyarakat Sunni dihadapkan kembali. Banyak

tokoh Mu‘tazilah yang diberi posisi penting dalam pemerintahan. Merespon

hal ini dinasti Saljuk merasa bertanggung jawab untuk melancarkan

propaganda melawan paham Syi‘ah yang telah ditanamkan Bani Buwaihi.

Sebelum dinasti Saljuk berkuasa, kekuasaan atas sebagian besar wilayah

Islam dipegang oleh Dinasti Buwaihi (945-1055) dan Dinasti Fatimiyah

yang beraliran Syi‘ah (Shaban, 1981: 56).

Salah satu kebijakan besar yang dilakukan Nizam al-Mulk pada masa

itu adalah mendirikan madrasah Nizamiyah. Ia membangun madrasah

pertama di Nisyapur untuk al- Juwaini (Lapidus, 1999: 50). Nizhamiyah ini

tetap dipahami sebagai lembaga terpenting dan menjadi model (prototype)

dalam sejarah pendidikan Islam, yakni sebagai lembaga pendidikan Islam

yang pertama sekali didirikan di dunia Islam Timur di mana bangunan, dan

orientasi lembaga pendidikan ini menjadi a function of state dalam skala

luas. Lagi pula oleh karena tersedianya dokumen-dokumen tentang

madrasah ini, para ilmuwan mengetahui Nizhamiyah dan cara kerjanya lebih

baik, dari madrasah lain manapun (Stanton, 1990: 49). Bahwa Nizamiyah

adalah salah satu madrasah yang, menjadi model bagi madrasah-madrasah

lain di seluruh daerah kekuasaan Islam dengan corak Syafi'i dapat dilihat

dari dokumen wakaf Nizhamiyah yang masih terpelihara dengan baik,

seperti yang dikemukakan Stanton sebagai berikut: 1) Nizhamiyah

merupakan wakaf yang disediakan untuk kepentingan penganut madzhab

Syafi'i dalam fiqh dan ushul al-fiqh, 2) Harta benda yang diwakafkan

kepada Nizhamiyah adalah untuk kepentingan penganut madzhab Syafi'i

dalamfiqh dan ushul al-fiqh, 3) Pejabat-pejabat utama Nizhamiyah harus

bermadzhab Syafi'i dan fiqh dan ushul al-ftqh; ini mencakup mudarris,

wa'izh danpustakawan, 4) Nizhamiyah; harus mempunyai seorang tenaga

pengajar bidang kajian al-Qur'an, 5) Nizhamiyah harus mempunyai seorang

tenaga pengajar bidang bahasa Arab, 6) Setiap staf menerima bagian tertentu

dari penghasilan yang diperoleh dari harta wakaf Nizhamiyah (Stanton,

1990: 50). Lebih lanjut, Pendirian madrasah madrasah disamping untuk

mengembangkan pendidikan Islam juga sebagai media untuk menanamkan

ajaran-ajaran dari paham Sunni. Nizham al-Mulk mendirikan gedung-

gedung ilmiah untuk ahli fikih, membangun madrasah-madrasah untuk para

ulama dan asrama untuk orang beribadah serta fakir miskin. Pelajar yang

tinggal di asrama diberi belanja secukupnya dari uang negara dengan jumlah

yang tidak sedikit. Akibatnya, Nizham al-Mulk mendapat teguran dari

Malik Syah karena diadukan orang, bahwa uang yang dibelanjakan untuk

kepentingan pendidikan dan pengajaran tersebut merupakan usaha Nizham

al-Mulk untuk menaklukkan kota Qustantiah(Constantinopel). Tindakan

Nizham al-Mulk ini akhirnya dapat diterima oleh Malik Syah setelah

dijelaskan alasan yang logis dan bahkan dapat menyadarkan khalifah.

Begitu besarnya perhatian Nizham al-Mulk terhadap pendidikan dan

pengajaran sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Syalabi : Tidak

satupun negeri yang didapatkan tidak mendirikan madrasah oleh Nizham al-

Page 111: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

94

Mulk, sehingga pulau yang terpencil di sudut dunia yang jarang didatangani

manusia juga didirikan madrasah yang besar lagi bagus (Nizar, 2009: 48).

Sistem belajar di Madrasah Nizhamiyah adalah: tenaga pengajar berdiri di

depan ruang kelas menyajikan materi-materi, sementara para pelajar duduk

dan mendengarkan di atas meja-meja kecil (rendah) yang disediakan.

Kemudian dilanjutkan dengan dialog (tanya-jawab) antara dosen dan para

mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat

keilmuan tinggi (Stanton, 1990: 59). Dimasa keruntuhan Dinasti Abbasiyah

dimana Madrasah Nizamiah yang sistem pendidikan dan organisasinya

ditiru di kawasan Eropa ini sempat berjaya sampai akhir abad ke-14M,

namun ketika Timur Lenk menghancurkan Baghdad. Timur Lenk dengan

bala tentaranya menyerbu kota Baghdad secara brutal dan semena-mena

selanjutnya menghancurkan segala peradaban serta membantai ribuan orang

di wilayah yang ditaklukkannya. Baghdad hancur lebur sekitar tahun 1393

M (Yatim, 2006: 120).

c. Sejarah Madrasah Nizhamiyah

Madrasah Nizhamiyah adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh

perdana mentri Nizham al-Mulk pada saat Sultan Alp Arslan memimpin

Dinasti Saljuk. Menurut Philip K. Hitti dalam bukunya History Of The

Arabs ia mengatakan bahwa Madrasah Nizamiyah didirikan pada 1065 -

1067 M oleh Nizham al-Mulk, seorang menteri dari persia pada kesultanan

Dinasti Saljuk, Sultan Alp Arslan dan Maliksyah, yang juga merupakan

penyokong „Umar Khayyam (K. Hitti, 2013: 515).

Pada saat kekuasaan Abbasiyah madrasah Nizhamiah merupakan

lembaga pendidikan yang termasyhur seluruh dunia. Hampir di seluruh kota

kekuasaan Abbasiyah didirikan satu madrasah yang besar, diantaranya: di

Baghdad, Balkh, Nisabur, Harat, Ashfahan, Bashrah, Marw, Mausul. Tetapi

Madrasah Nizhamiah Bagdad adalah yang terbesar dan terpenting dari

semua madrasah itu, disamping bangunanya yang paling besar, letaknya

yang berada di pusat kekuasaan Abbasiyah menjadikan madrasah Nizhamiah

Baghdad sebagai yang paling menonjol (Yunus, 1992: 72). Madrasah

Nizamiah Bagdad terletak di dekat sungai Tigris di tengahtengah pasar

Salasah di Baghdad (Nata, 2004: 62).

Lebih lanjut, Nizhamiyah merupakan lembaga pendidikan didirikan di

tahun 457 Hijriah atau 1065 Masehi. Madrasah Nizhamiyah awa mulanya

didirikan pada kawasan pinggir sungai daerah Dijlah tepat pada tengah-

tengah lokasi pasar Salasah, Baghdad. Madrasah Nizhamiyah inilah yang

mula-mulanya hanya dibangung di Baghdad, yang kala itu sebagai ibu kota

pusat pemerintahan Islam. Nizhamiyah kala waktu tersebut tercatat sebagai

pusat pendidikan termashur, yang kemudian mengembangkannya dengan

membuka cabang di berbagai kota, baik di wilayah Barat maupun di wilayah

Timur yang merupakan daerah kekuasaan Islam. Di antaranya didirikan di

kota-kota seperti kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mosul, Basra, dan Tibristan.

Oleh karena itu, kota-kota tersebut kemudian menjadi pusat-pusat studi

keilmuwan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu, bahkan pada tiap

Page 112: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

95

kota di seluruh Iraq dan Khurasan terdapat satu Madrasah Nizhamiyah, dan

pusat yang paling besar adalah di kota Baghdad sebagai pusat dan induk

Madrasah Nizhamiyah (Lisdawati dan Zuhairansyah, 2014: 80-81). Dalam

hal ini Madrasah Nizhamiyah dibangun diberbagai tempat terutama daerah

kekuasaan dinasti Saljuk dalam membangun sejumlah lembaga secara besar-

besaran dan menggunakan Mesjid-khan sebagai model madrasah yaitu

masjid yang di sisinya didirikan khan (asrama atau pemondokan) sebagai

tempat penginapan bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota.

Bahwasanya, Nizhamiyah adalah sebuah lembaga yang didirikan pada

tahun 457- 459 H pada abad ke IV oleh Nizhamiyah Al-Mulk dari Dinasti

Saljuk yang merupakan madrasah yang pertama muncul dalam sejarah

pendidikan Islam yang berbentuk lembaga pendidikan dasar sampai

perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah. Sejarah pendidikan Islam

mencapai puncak kejayaannya pada masa Abbasiyah dan Umayyah, ini

tidak terlepas dari keberhasilan para pakar pendidikan dimasa itu. Bukti dari

keberhasilan tersebut telah dapat dirasakan oleh umat Islam dalam berbagai

bidang dan juga merupakan cikal bakal munculnya pencerahan di dunia

Eropa (Nizar, 2011: 157).

Dalam hal ini Nizamiyah al-Mulk mendirikan madrasah-madrasah

bertujuan untuk memperkuat pemerintahan Turki-Saljuk dan menyiarkan

mazhab keagamaan pemerintahan. Sultan-sultan Turki adalah dari golongan

Suni. Oleh karena itu, madrasah-madrasah Nizamiyah ini menyokong Sultan

dan menyiarkan mazhab Suni ke seluruh rakyat. Menurut Muhammad

Abduh, anggaran belanja yang diberikan Nizamiyah–Mulk untuk

perbelanjaan madrasah secara keseluruhan besarannya ialah 600.000 dinar

tiap tahunnya. Madrasah Baghdad sendiri anggarannya 60.000 dinar (Yunus,

1992: 72-73).

Terdapat hal-hal yang dikemukakan yang kemudian melatarbelakangi

terwujunya Madrasah Nizhamiyah dalam pendiriannya ialah dapat disimak

berikut ini: yang Pertama, dimana penyebaran ilmu-ilmu pengetahuan yang

dilakukan Nizham Al-Mulk dilatarbelakangi bahwasanya ia sarjana. Jadi

pantas dirinya miliki suatu semangat yang tinggi demi membangun

lembaga-lembaga pendidikan bercorak modern kala itu. Kedua, yang mana

konflik-konflik agama yang sangatlah panjang di dalam catatan sejarah

Islam terjadi abad 5/11 diantara kelompok yang mana mereka

mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan mereka dalam ajaran

Islam, sebut saja Mu'tazilah, Syi'ah, Asy'ariyah, Hanafiyah, Hanbaliyah dan

Syafi'iyah.

Wazir atau Perdana Menteri Saljuk yang lebih dulu dari Nizham Al-

Mulk yakni Al-Kunduri ia bermazhab Hanafiyah sekaligus pendukung

teologi Mu'tazilah ketika itu. Salah satu cara ia mengambil kebijakan wazir

ia melakukan pengusiran dan melakukan penganiayaan pada penganut

Asy'ariyah yang kemudian dijuluki kelompok penganut Syafi'iyah. Namun,

setelah Nizham al-Mulk berkuasa, dalam hal ini beberapa para penulis soal

sejarah pendidikan Islam menyebutkan bahwasanya tidak adanya indikasi-

indikasi berupa pergantian soal pejabat atau jabatan yang memiliki

Page 113: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

96

perbedaan pemahaman teologi serta mazhab fiqih tersebut sehingga

merubah kebijakan-kebijakan politik yang bernuansa keagamaan yang

tumbuh sebelumnya, sehingga terjadi suat aksi atau tindakan balasan.

Dimana Nizham al-Mulk yang berperan sebagai salah satu dari penganut

Syafi'iyah ia mampu membangun madrasah-madrasah yang secara khusus

memang diperuntukkan bagi meluasnya mazhab Syafi'iyah tersebut. Tidak

adanya bukti yang kuat bahwasanya ia telah melakukan tindakan-tindakan

yang bersifat pembalasan, sehingga menyebabkan kehancuran mazhab-

mahzab yang lainnya, semisal Mu‘tazilah dan Syiah itu. Adapun kelompok-

kelompok tersebut akhirnya melemah sendirinya. Ujungnya, ia beringinan

memiliki posisi Syafi'iyah-Asy'ariyah yang kemudian menguat dengan

melalui jalur-jalur pendidikan. Ketiga, dalam hal ini Nizhamiyyah

dimaksudkan berfungsi untuk mewadahi sebagai penataran untuk para

pegawai di pemerintahan khususnya dalam hal mengurusi serta

memperbaiki dalam sistem administrasi negara atau pemerintahan. Alumni

madrasah dicetak siap pakai dan kemudian ditempatkan pada kepegawaian

sesuai keahlian bidangnya masing-masing, misalkan dalam bidang katib

(kesekretarisan), qadhi (kehakiman) dan lainnya. Hal tersebut terbukti,

dimana sistem yang dijalankan dalam madrasah menuai hasil dalam hal

tersebut. Keempat, dimana pengembangan stabilatas bidang politik di dalam

negara. tentunya, sebagai perdana menteri atau wazir, dimana tindakan-

tindakan Nizham al-Mulk yang melakukan pembangunan madrasah tak lain

demi menguatkan jaringan-jaringannya serta membuat kerangka kerja bagi

para ulama serta umara dalam hal ini berarti terjadinya hubungan yang

selaras dan serasi diantara pemerintah serta rakyatnya, khususnya pada

kelompok-kelompok Syafi'iyah-Asy'ariyah itu. Madrasah ketika Nizham al-

Mulk berkuasa dibangun atas rangka dalam hal memenuhi akan kebutuhan

yang khusus yakni berupa penerapan-penerapan kebijakan dibidang politik

pada seluruh negeri yang berada dalam kekuasaannya. Adapun lembaga-

lembaga terbaik demi menyelenggarakan hubungannya bersama para rakyat

yaitu lembaga-lembaga yang tanpa ikatan secara resmi, misalnya saja dalam

otoritas kekuasaan khalifah, semisal mesjid. Adapun lembaga yang

independen itu ialah madrasah tersebut yang dibangun olehnya (Ahmad,

2015: 130-131).

Pada perrmulaan masa Abbasiyah, dimana bangsa Persia sangat

mempengaruhi kebijakan pemerintah baik secara praktis maupun dalam

persepektif lain seperti idiologis atas karenanya budaya atau kebudayaan

Islam secara umum sangat dipengaruhi kebudayaan Persia. Setelah itu,

barulah bagsa Turki ikut ambil bagian dalam pengembangan kebudayaan

Islam. Masa inilah berdiri madrasah-madrasah yang tidak sedikit

bilangannya hampir di seluruh kawasan wilayah pemerintahan Dinasti

Abbasiyah kala itu.

Lebih lanjut mengenai sejarah Madrasah Nizhamiyah; Nizham al-Mulk

juga menyediakan beasiswa untuk mahasiswa dan memberi mereka fasilitas

asrama. Mereka yang tinggal di asrama diberi belanja secukupnya. Ia

mengumumkan kepada semua orang bahwa pengajaran di sekolah-

Page 114: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

97

sekolahnya terbuka untuk siapa saja tanpa membedakannya. Ia memberikan

bantuan untuk semua pelajar tanpa mengharap kembali, dan seluruh biaya

pendidikan di situ gratis. Ia juga menetapkan beasiswa secara teratur kepada

para siswa yang kurang mampu, di antara yang memanfaatkan kesempatan

ini adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali dan saudaranya Ahmad (Nata, 2004:

69-70).

Namun, Syalabi mengatakan bahwa madrasah yang pertama kali

muncul di dunia Islam dan dalam sejarah pendidikan Islam adalah

Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang Perdana

Menteri (wazir) Dinasti Saljuk pada masa pemerintahan Alp Arselon dan

Sultan Malik Syah, pada tahun 457-459 H/1065-1067 M di Baghdad.

Bahkan Imam Al-Ghazali pernah menjadi dekan di akademi ini (Hitti, 2002:

608) Masa itu merupakan masa menurunnya kejayaan Khilafah Bani

Abbasiyah yang disebut dengan masa Disintegrasi Islam (1000- 1250 M),

karena pada masa tersebut, muncul banyak dinasti yang memerdekaan diri

dari Baghdad dan banyak terjadi perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan

(Yatim, 2004: 75).

d. Model dan Kurikulum Madrasah Nizhamiyah

Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang dan berkembang

seiring dengan laju perkembangan peradaban Islam. Kedatangan Islam

mengantarkan transformasi yang sangat berarti bagi masyarakat Arab.

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab belum memiliki model

pendidikan formal yang sistematis (Idi dan Suharto, 2006: 19). Madrasah

juga merupakan hasil transformasi dari perkembangan sistem pendidikan

dalam dunia Islam yang sebelumnya terjadi dalam rumah ibadah atau

mesjid-mesjid seiring dengan kemajuan peradaban Islam sehingga madrasah

menjadi salah satu model atau metode pengajaran dalam dunia Islam.

Asumsi ini diperkuat oleh Makdisi, antara lain bahwa masjid khan yang

menjadi cikal bakal madrasah dan fiqh merupakan bidang studi utama. Salah

satu kemajuan yang patut dibanggakan dengan adanya pendirian madrasah

sebagai institusi pendidikan Islam par-excellence ini adalah adanya

kontribusi besar dalam melahirkan atau ‖memberikan bekal‖ kepada kaum

cendikiawan, terpelajar, negarawan dan administrator. Pada saat bersamaan,

bermunculan dari berbagai disiplin ilmu agama maupun ilmu pengetahuan

umum (sains) (Pardi, 2005: 209).

Dalam hal ini Nizhamiyah tetap dipahami sebagai lembaga terpenting

dan menjadi model (prototype) dalam sejarah pendidikan Islam, yakni

sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama sekali didirikan di dunia

Islam Timur di mana bangunan dan orientasi lembaga pendidikan ini

menjadi a function of state dalam skala luas. Lagi pula oleh karena

tersedianya dokumen-dokumen tentang madrasah ini, para ilmuwan

mengetahui Nizhamiyah dan cara kerjanya lebih baik dari madrasah lain

yang manapun (Stanton, 1994: vi).

Perencanaan dalam pengajaran pada Madrasah Nizhamiyah tidaklah

dapat ditemui atau diketahui secara tegas dan jelas, dalam hal ini (Ahmad,

Page 115: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

98

2015: 132) berpendapat perencanaan dalam pengajaran berupa ilmu-ilmu

syariah saja dan tidak ada ilmu-ilmu hikmah (filsafat), ini terbukti sebagai

berikut :

1. Para ahli sejarah tidak seorang pun yang mengatakan bahwa diantara

mata pelajaran ada ilmu kedokteran, ilmu falak dan ilmu-ilmu pasti,

mereka hanya menyebutkan mata pelajaran nahu, ilmu kalam dan fiqih.

2. Guru-guru yang mengajar di Madrasah Nizhamiyah adalah ulama-ulama

syariah sehingga madrasah tersebut merupakan madrasah syariah bukan

madrasah filsafat.

3. Pendiri Madrasah Nizhamiyah itu bukanlah orang yang membela ilmu

filsafat dan bukan pula orang-orang yang membantu pembebasan

filsafat.

4. Zaman berdirinya menindas filsafat serta orang-orang filsuf.

Dalam hal ini Madrasah Nizhamiyah dapatlah difahami memiliki tujuan

diantaranya:

1. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk mengajarkan madzhab resmi

Negara yakni ajaran-ajaran Sunni.

2. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk mengkanter ajaran-ajaran

Mu‘tazilah dan Syi‘ah.

3. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk mendidik pegawai-pegawai

pemerintah dan kader-kader ulama Sunni.

4. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan

rakyat.

5. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk menyebarluaskan kebudayaan

Muslim (Mukti, 2007: 191).

Konteks madrasah Nizhamiyah dalam hal ini memiliki tugas keutamaan

secara khusus mengajarkan ilmu fiqih yang tentunya berdampingan dengan

satu dengan yang lainnya dari mulai mazhab yang beraliran ahlussunnah,

juga telah menjadi tempat yang menarik para pelajaran menggunakan

waktunya secara penuh dalam rangka proses pembelajaran ilmu, hal inilah

memperlihatkan bahwasanya hampir seluruh dari Madrasah Nizhamiyah di

daerah Baghdad banyaknya hingga mencapai 30 buah madrasah dan

semuanya dalam hal keindahan, dapat dikatakan melampaui istana. Tentulah

melalui Madrasah Nizhamiyah inilah dilakukannya penanaman-penanaman

ideologis sunni oleh penguasa Dinasti Saljuk dan hal ini berlangsung efektif,

khususnya untuk membina stabilitas politik di dalam pemerintahan dari

rongrongan bahaya akan pemberontakan-pemberontakan yang kala itu kerap

bermunculan atas nama suatu aliran Islam yang berideologi pastinya

berbeda dengan idiologi yang dianut Dinasti Saljuk.

Dalam hal ini Madrasah Nizhamiyah tidaklah memberi peluang untuk

mengajarkan ilmu-ilmu penegetahuan bersifat cederung ke arah duniawi,

namun lebih fokus dalam pelajaran berupa ilmu-ilmu keagamaan saja dan

khusunya ilmu-ilmu fiqih itu. Adapun mazhab fiqih tersebut kemudian

menonjol yakni fiqih beraliran Syafi'i serta teologi Asy'ariyah dimana

keduanya berdampingan dan aktif untuk dipelajari dan kemudian dialami

serta diamalkan. Kendati yang kemudian hari menonjol yakni mazhab

Page 116: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

99

Syafi'i, akan tetapi mazhab-mazhab lainpun tetap masih pula dipelajari

dengan tentunya adanya imam khusus yang mana mazhab-mazhab tersebut

dan khalifah turut campur tangan dalam membentuk kiayai-kiyai ahli di

dalam bidangnya masing-masing dalam hal mazhab-mahzab tersebut

(Ahmad, 2015: 132).

Dalam hal ini pertumbuhan perkembangan dalam sistem pendidikan

bercorak Islam memasuki ke periode yang baru sekaligus periode terakhir

dalam perkembangannya, semenjak kemunculannya madrasah tersebut.

Sebab hal ini di dalam sistem-sistem madrasah kelebihannya selain

mengatasi kelemahan yang memang berpotensi yang ada dalam lembaga-

lembaga yang tergolong pendidikan tinggi sebelumnya baik itu masjid,

masjid-khan, Bayt al-Hikmat dan lainnya. Sistem pendidikan tersebut

terbilang lebih sempurna jika dibandingkan yang lain, hal ini tentunya

tercermin dalam sistem yang terdapat di Madrasah Nizhamiyah itu yang

memang tidaklah semata hanya salah satu dari organisasi negara yang resmi,

yang dapat mengeluarkan pekerja-pekerjanya serta pegawai negerinya itu,

akan tetapi pelajarannyapun telah formal dan resmi, bergerak berjalan sesuai

dengan undang-undang yang berlaku sesuai dengan peraturan negara yang

ada, yang kita kenal pada masa sekarang dimana Madrasah Nizhamiyah tak

lain satu-satunya dari lembaga pendidikan tinggi Islam yang amat terkenal

dan bergengsi setelah Bayt al-Hikmat dalam literasi dunia Muslim di bagian

Timur itu. Popularitas madrasah Nizamiyah dapatlah disamakan dengan

petama Jami‟ al-Azhar ini. kedua Dar al-„Ilm di Mesir, dan ketiga Jami‟

Cordova di wilayah Spanyol yang terkenal itu (Shiddiqi, 186: 85).

Maka dari Uraian di atas, hemat penulis dalam masalah kurikulum

Madrasah Nizhamiyah dapat disimpulkan bahwa, kurikulum Madrasah

Nizhamiyah dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu:

a. Ilmu-ilmu agama semacam: ilmu al-Qur‘an, hadis, tafsir, fiqih, ushul

fiqih, ilmu kalam, dan disiplin-disiplin lain yang tergolong dalam

kelompok ini. Meskipun deskripsi madrasah-madrasah menunjukkan

adanya variasi dalam hal penekanan dan porsi yang ditempati dalam

kurikulum, secara umum kelompok ilmu ini adalah bagian inti dari

kurikulum semua madrasah. Ilmu fiqih dan teologi yang di ajarkan

sesuai dengan mazhab yang di anut oleh kepala pemerintahan dan para

pemberi wakaf, yaitu mazhab Asy- Syafi‘i untuk ilmu fiqih dan Al-

Asy‘ari untuk Teologi.

b. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung kajian ilmu- ilmu

agama juga diajarkan di madrasah, tetapi bukan menjadi bagian utama

dari kurikulum. Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa

ahli gramatika bahasa Arab (nahwi) adalah merupakan bagian dari staf

beberapa madrasah; namun posisinya jelas tidak sepenting posisi

mudarris yang mengajarkan ilmu-ilmu agama.

Page 117: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

100

e. Madrasah Nizamiyah dan Perkembangan Intelektual Islam

Mengenai perkembangan Madrasah Nizamiyah dalam hal ini (Makdisi,

1991: 51) berpendapat; bahwasanya Nizhamul-Mulk dapatlah memberikan

dasar-dasar penanaman dokrin dalam arti kenegaraan sehingga dapat

memperkuat kerajaan dalam kedudukannya. Oleh sebab itulah Madrasah

Nizhamiyah tak lain merupakan jembatan yang dipakai sebagai alat tempat

melintas proses penyadaran para warga negara dan ditumbuhkanlah

kesadaran hukum mereka, maka dalam hal ini dimana kontrol ketat yang

dilakukan pemerintah bagi madrasah adalah merupakan secara logis.

Patronase atau hubungan Nizhamul Mulk tidaklah hanya sebatas yang

menyangkut masalah-masalah keuangan belaka melainkan juga mengenai

pengadaan atau penyediaan para sarana saja, bahkan lebih jauh dari itu

dimana pemerintah secara langsung melibatkan dirinya ka dalam untuk

menentukan hak ikhwal tujuan-tujuannya, turut menentukan menggariskan

tentang kurikulum pembelajaran, menentukan para guru dan segala hal yang

diperlukan dalam pendidikan. Dalam hal ini (Yunus, 1966: 73) menyatakan

bahwasanya anggaran yang diperuntukkan Madrasah Nizhamiyah pada tiap-

tiap tahunnya cukuplah besar hingga 600.000 Dinar. Dan 60.000 Dinar

darinya dipruntukkan pemenuhan kepentingan-kepentingan Madrasah

Nizhamiyah Baghdad tersebut. Lebih lanjut pendapatnya (Syalabi, 1973:

376) ia menyatakan bahwasanya dalam anggaran pembiayaan Madrasah

Nizhamiyah Baghdad hanyalah kisaran 15.000 pada tiap-tiap tahun

ajarannya. Menyambung (Syalabi, 1973: 181) menjelaskan bahwasanya

Abdul al-Salam al-Qazwaini memberikan penghargaan menghadiahkan pada

Nizhamul Mulk sebanyak sepuluh jilid kitab Gharibul Hadits karyanya

Ibrahim al-Harbi ditulis tangan Umar Ibnu Hajawaih. Ketika itu, tatkala

Nizhamul Mulk sedang mendirikan madrasah-madrasah, secara otomatis

setiap madrasah tersebut pasilitasnya dilengkapi perpustakaan-perpustakaan

yang terbilang mewah. Karenanya Nizhamul Mulk menghibahkan berupa

kitab Gharibul Hadits pada perpustakaan tersebut dimaksudkan supaya

dipelajari para siswa kala itu.

Nizhamiyah memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu aritmetika

misalnya, sedangkan madrasah-madrasah yang lain mengajarkan ilmu

nahwu, tafsir, hadits, fiqh, bahkan ada pula yang mengajarkan ilmu

kedokteran. Walaupun memang secara umum madrasah-madrasah

mengajarkan ilmu keislaman. Seperti terlihat dari topik-topik utama dalam

kurikulum mereka mempelajari Al-Qur'an, fiqh, teologi dan lain-lain (Nata,

2004: 176). Nizhamiyah mempunyai potensi untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan dengan memperhatikan kepada pengajaran aritmetika, seperti

juga terdapat di madrasah Muntansyiriyah. Hal ini menarik untuk dikaji

lebih lanjut, karena dahulu mereka tidak menyukai ilmu-ilmu seperti itu,

tetapi pada gilirannya ternyata ilmu tersebut mereka butuhkan. Bahkan,

ditemukan sebuah masjid dan madrasah yang telah mengajarkan ilmu

pengetahuan Yunani, misalnya masjid Mustansyiriyah di Baghdad yang

telah mengajarkan ilmu-ilmu murni, seperti obat-obatan, farmasi dan

geometri (Nata, 2004: 177).

Page 118: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

101

Madrasah Nizamiyyah merupakan perkembangan pesat tersendiri dari

usaha sistemisasi pendidikan Islam sebelumnya. Namun di sisi lain, arah dan

tujuan Madrasah Nizamiyyah lebih ditentukan oleh wazir bernama Nizam

al-Mulk itu (Maksidi, 1994: 46). Pelajar Madrasah Nizamiyyah mayoritas

berasal dari daerah Irak, Persia dan sebagainya yang sudah berusia antara

16-18 tahun. Kuantitas pelajar disesuaikan dengan kapasitas ruang

perkuliahan yang ada. Para pelajar tersebut berasal dari semua lapisan

masyarakat dan bagi yang kurang mampu disediakan beasiswa. Di antara

para alumni yang terkenal adalah al-Ghazaly, Ahmad al-Ghazaly, Abu

Mahasin, Abd Razaq al-Tusy, Abu Abd Allah Muhammad ibn ‗Abd Allah,

Abu Hasan al-Harashy, Abu Sa‘ad Muhammad al-Nishapury dan Musa ibn

Abu al-Fad al-Mosuly (Mukti, 2000: 330-331).

Perwujudan sebagai lembaga pendidikan Islam yang bermutu juga

dilakukan Madrasah Nizhamiyah dengan menggelar proses rekruitmen guru

yang sangat ketat. Itu digelar untuk melahirkan sosok pendidik yang

berkualitas, tidak sekedar melaksanakan transfer of knowledge dalam proses

pembelajarannya. Pemberlakuan mutasi terhadap guru yang mengajar

Madrasah Nizhamiyah, juga merupakan konsep baru dari perkembangan

pendidikan Islam sampai detik itu. Mutasi ini diberlakukan sebagai upaya

penyegaran kembali terhadap motivasi dan strategi pembelajaran yang

dilakukan guru, sehingga tidak mudah jenuh karena hanya bertugas di satu

tempat saja. Kurikulum yang disusun dan kemudian diberlakukan di

Madrasah Nizhamiyah juga mencerminkan pemenuhan hak-hak dasar rakyat

dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Tidak ditemukan adanya

dikotomi antara ilmu umum (secular science) dengan ilmu agama (religious

science). Sistem pendidikan yang diberlakukan dan sudah mengenal jenjang

diasumsikan sebagai sebuah akomodasi terhadap perbedaan karakteristik

peserta didik. Berbagai spesialisasi yang dibuka juga merupakan upaya

Madrasah Nizhamiyah untuk memberikan kesempatan kepada semua

peserta didik memperoleh spesialisasi yang diinginkan. Tidak

mengherankan jika kemudian para alumni dari madrasah ini memegang

peranan penting dalam menjalankan roda pemerintahan Dinasti Saljuk,

karena memang mereka sudah disiapkan dengan matang untuk mengemban

tugas itu (Mukani, 161-162). Berbagai metode belajar yang dikembangkan

di lembaga Nizhamiyah dipandang cukup relevan untuk materi kajian yang

diselenggarakan. Metode debat dan hafalan dalam proses pembelajaran

merupakan salah satu petunjuk bahwa keunggulan intelektual kaum

terpelajar pada saat itu ditentukan oleh kemampuan mengkombinasikan

potensi dasar intuitif dan rasionalitas. Suasana belajar dan interaksi antara

guru dan siswa juga merupakan indikasi bahwa madrasah Nizhamiyah tidak

menganut sistem feodalisme pendidikan yang menindas. Karena dengan

pola interaksi yang demikian sebenarnya sistem pendidikan Islam klasik ini

telah mencontohkan pola pendidikan demokrasi dengan menempatkan siswa

sebagai sosok yang berpotensi untuk menguasai dan memahami realitas

secara manusia dan ilmiah (Abdurrahmansyah, 2005: 18)

Page 119: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

102

f. Tokoh-tokoh Intelektual Muslim dan Guru yang Membesarkan

Madrasah Nizamiyah

Madrasah Nizamiyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang

mahsyur dan telah diteliti oleh banyak ilmuan di seluruh dunia, maka

tidaklah heran jika terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai berdirinya

Madrasah Nizamiyah tersebut. Adapun perbedaan pendapat tersebut

diantaranya: Pendapat pertama menyatakan bahwasanya Madrasah

Nizamiyyah kali pertama didirikan di Baghdad pada tahun 1067 M.

Pendapat ini dikemukakan Ibnu Khallikan yang dibenarkan oleh Ahmad

Amin, Muhammad Ghanimat, Jurji Zaydan, al-Zahaby dan Ahmad Syalaby.

Pendapat kedua menyatakan bahwasanya Madrasah Nizamiyyah kali

pertamanya didirikan di Nishapur pada tahun 1058 M, yaitu ketika Alp

Arslan menjadi Gubernur di Khurasan. Baru ketika menjadi pemimpin di

Baghdad, Nizam al-Mulk mendirikan madrasah-madrasah yang sama di

daerah kekuasaan Dinasti Saljuq, termasuk di Baghdad. Pendapat ini

didukung oleh Taj al-Din al-Subky dan Taqy al-Din al-Maqrizy. Kedua

pendapat tersebut tentunya telah didukung oleh fakta-fakta sejarah. Dalam

hal ini penulis cenderung pada pendapat yang pertama sebab Madrasah

Nizamiyah identik dengan Nizam al-Mulk.

Adapun mengenai Madrasah Nizamiyah telah dipaparkan pada

pembahasan sebelumnya. Dalam literasi-literasi terdapat tiga Madrasah

Nizamiyah yang besar era kekuasaan Islam kelasik Dinasti Abbasiyah;

Pertama adalah di Nishapur yang didirikan pada tahun 1058 M. Rektor

pertamanya adalah al- Juwainy. Madrasah ini memiliki asrama untuk guru

besar(syaikh) dan pelajar. Perpustakaannya terdiri dari gabungan almari-

almari, memberikan pelayanan kepada masyarakat luas sejak Dzuhur sampai

dengan Ashar yang dijaga oleh Abu al-Qasim al-Ansary yang juga tinggal di

asrama (Azra, 1994: 21). Lebih lanjut; Pada periode rektor Abu Sa‘ad

Muhammad bin Yahya al-Nishapury, murid al-Ghazali, madrasah ini

dihancurkan oleh orang-orang Oghuz pada tahun 1153 M. Kedua adalah di

Baghdad yang didirikan pada tahun 1065 M. Rektor pertamanya adalah Abu

Ishaq al-Shirazy, seorang ulama Syafi‘i. Dalam perkembangannya, sejak

tahun 1233 M, madrasah ini juga mengajarkan fiqh madzhab Hanafi,

Hambali dan Maliki dengan guru yang didatangkan langsung dari Maroko.

Madrasah ini dibangun dengan menghabiskan dana 200.000 dinar dari kas

negara dan biaya operasionalnya setiap tahun mencapai 60.000 dinar

(Yunus, 1990: 75). Ketiga adalah di Isfahan. Para pelajar di madrasah ini,

dengan dibantu loyalis Nizam al-Mulk, memberikan kontribusi besar bagi

Barkiyaruq yang menduduki tahta sebagai penguasa di Isfahan. Ketika

Turkan Khatun, ibu Mahmud bin Malik Syah, penguasa Saljuq di Baghdad

menyerang Barkiyaruq di dekat Burujird (Hamazan), para pelajar Madrasah

Nizamiyyah Isfahan memberikan bantuan, sehingga Barkiyaruq

memperoleh kemenangan. Kemudian Barkiyaruq menuju Baghdad untuk

mendapatkan legimitasi sebagai penguasa baru di Isfahan dari khalifah

Dinasti Abbasiyyah ketika itu, al-Muqtadi, pada tanggal 4 Januari 1094 M

(Syalabi, 1993: 47).

Page 120: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

103

Perkembangan Madrasah Nizamiyah tidaklah terlepas dari para guru

dan sarjana lulusannya yang selanjutnya mengisi jabatan-jabatan strategis

dalam pemerintahan. Adapun para guru tersebut diangkat dan tidaklah

terlepas dari tujuan-tujuan yang mendasari didirikanya madrasah yaitu:

1. Menyebarkan pemikiran sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran

syi'ah,

2. Menyediakan guru-guru sunni yang cakap untuk mengajarkan mazhab

sunni dan menyebarkannya ke tempattempat lain,

3. Membentuk kelompok pekerja sunni untuk berpartisipasi dalam

menjalankan pemerintahan, memimpin kantor khususnya di bidang

peradilan dan manajemen

Lembaga atau staf pengajar mendapat perhatian besar dalam lembaga

pendidikan manapun, tidak terkecuali Madrasah Nizhamiyah. Hal itu di

sebabkan bahwa kesuksesan sebuah madrasah di barengi dengan

keberhasilan para pengajarnya dalam melaksanakan visi-misi dan tugas

mereka dengan sebaik mungkin.

a. Martabah Ash- Shadr (Direktur)

Martabah Ash- Shadr adalah Orang yang memiliki posisi yang prestisius

di madrasah. Kata Ash- Shadr sendiri merupakan sebutan bagi imam yang

terkemuka pada masanya baik dalam bidang fikih, hadits atauun tafsir, atau

juga bisa di sebut sebagai imam yang terkemuka pada masanya dan memiliki

wawasan dan pengetahuan paling kaya. Dari tangannyalah banyak dihasilkan

tenaga-tenaga pengajar yang berkompeten.

Banyak pejabat, pemimpin negara, komandan militer, walikota, perdana

mentri ataupun para ulama terkemuka lainnya yang menghadap kepadanya

untuk mendengarkannya atau memperoleh manfaat darinya. Tidak setiap

madrasah memiliki Ash- Shadr, seabab orang yang mencapai tingkat wawasan

semacam itu sangatlah sedikit. Merupakan keberuntungan suatu madrasah dan

popularitas yang sempurna jika mempunyai seorang Ash- Shadr (Ali Ar-

Rajub,1997:135).

b. Tenaga pengajar atau Mudarris

Pemilihan para dewan guru untuk mengajar di Madrasah Nizhamiyah

berjalan dengan sesuai tradisi yang diberlakukan perguruan tinggi modern

terkemuka. Sebelum memutuskan untuk mengangkat seorang guru, Nizham al-

Mulk terlebih dahulu menguji wawasan dan pengetahuan mereka melalui

serangkaian perdebatan yang diadakan dalam berbagai kesempatan. Mereka

diberikan sejumlah pertanyan yang telah dirumuskan dan dipersiapkan

sebelumnya. Apabila Nizham al-Mulk menemukan adanya pengetahuan dan

wawasan yang mendalam serta kecerdasan intelektual pada salah satu di antara

mereka. Mereka yang berkompeten dalam bidang pendidikan, maka akan di

angkat sebagai tenaga pengajar saat itu juga, bahkan dibangun sebuah madrasah

dan perpustakaan baginya atau dikirim ke wilayah yang yang penduduknya

masih rendah kwalitas pendidikannya (Imad Al Din Al Asphani: 1978. 45).

Pada lembaga Madrasah Nizhamiyah ini tingkatan pengajar sangat di

perhatikan, berikut adalah tingkatan pengajar dalam Madrasah Nizhamiyah:

Page 121: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

104

1. Al Mudarris (Guru Besar), seseorang disebut sebagai mudarris apabila dia

telah mampu mengajarkan ilmu-ilmu fiqih dengan baik, tingkat popularitas

yang tinggi dalam hal pengetahuan dan wawasan keilmuan serta banyak

menelurkan karya tulis, seperti yang di alami oleh Al-Ghazali, yang

menjabat sebagai Guru Besar Madarasa Nizhamiyah Bagdad.

2. An-naib (wakil) adalah orang yang di tugaskan mengajar materi

pembelajaran, ketika mudarris (Guru Besar) berhalangan untuk mengajar

karena kesibukan pekerjaan dalam tugas administrasi, pengadilan maupun

ketika beliau sakit.

3. Al –Mu‟id (pembantu dosen) adalah mahasiswa yang di tunjuk atau di

percaya mudarris untuk membantunya dalam proses pembelajaran,

tugasnya adalah menyampaikan pelajaran kepada para pelajar dan

membantu mereka memahaminya. Karena itu, pembantu dosen ini

membutuhkan kemampuan diplomasi dan memiliki wawasan dn

pengetahuan yang luas, oleh karena itu, pembantu dosen ini terdiri dari

pengajar di madrasah atau lembaga pendidikan lainnya (Ahmad Tafsir,

1992: 53).

c. Jenjang pelajar

Jenjang pertama yang di peroleh palajar ialah sebagai tilmidz atau thalib

(siswa). Kemudian setelah mendapatkan pengetahuan yang mendalam atau

luas disebut mutssaqaf (terpelajar) dan kemudian faqih (ahli fikih/pakar).

Apabila kemudian ia melanjutkan studinya dengan metodenya itu dan tetap dan

mendapingi gurunya agar ilmunya lebih sempurna. Seringkali dosen pengampu

mengangkatnya sebagai pembantunya untuk mengajarkan materi pelajaran, dan

mentranskip karya-karyanya di bawah bimbingannya (Ali Muhammad Ash-

Shallabi, 2014: 357).

Adapun para guru yang kemudian memberikan pengajaran dalam

madrasah Nizhamiyah antara lain yaitu :, Abu Ishak al-Syirazi (w.476 H = 1083

M), Abu Nashr al-Shabbagh (w.477 H = 1084 M), Abu Qosim al-A'lawi (w.482

H = 1089 M), Abu Abdullah al-Thabari (w.495 H = 1101 M), Abu Hamid al-

Ghazali (w.505 H = 1111 M), Radliyud Din al-Qazwaini (w.575 H = 1179 M),

Al-Firuzabadi (w.817 H = 1414 M).

Itulah di antara para guru yang mempelopori dan membesarkan Madrasah

Nizamiyah (As'ari, 1994: 60). Dalam hal ini As‘Ari menjelaskan pada mulanya

dalam hal ini Syekh Abu Iskhak as-Syrazi awalnya ia menolak untuk

beraktivitas mengajar dalam sistem Nizhamiyah namun sebab ia bertemu

dengan seorang dan seseorang tersebut berkata padanya "Mengapa Tuan

mengajar ditempat yang dirampas." akhirnya keenganannya itu diganti oleh

Abu Nashr as Sabbagh dan Abu Ishak sendiri hanya mengajar selama 20 hari

saja. Al-Ghazali mulai mengajar di madrasah Nizhamiyah berawal dari dari

turut sertanya beliau pada suatu hari dalam perdebatan-perdebatan ilmiah

dengan ulama-ulama terkemuka yang di hadiri oleh Nizham al-Mulk, dalam

perdebatan itu Al-Ghzali ternyata dapat menundukan lawannya dan semua yang

hadir dapat membenarkan ucapannya. Oleh karena itu ia diangkat Nizham al-

Mulk sebagai maha guru sekolah terkenal (al-Abrasyi, 1986: 72).

Page 122: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

105

Dalam hal ini Imam sepeninggalnya Al-Haramayn pada tahun 478 H/1085

M lalu beliau digantikan putranya yaitu Abu al-Qasim al-Muzhaffar, ia

kemudian memegang suatu jabatan hingga pada suatu waktu ia dibunuh terjadi

pada 493 H/1099 Masehi. Selanjutnya, pimpinan yang berikutnya ialah seorang

yang telah berguru pada Imam al-Haramayn yaitu Ilkiya al-Harrasiy yang hidup

dari 450 H/1058 hingga 504 H/1110 M). Beliau tidaklah lama dalam

memegang dan menduduki jabatan tersebut disebabkan di tahun 498 H/1104 M

beliau pindah tempat ke daerah Baghdad selanjutnya memegang kepercayaan

jabatan pimpinan di Madrasah Nizhamiyah di Baghdad itu. al-Harrasiy setelah

berpindah ke Baghdad terjadilah suatu kekosongan kepemimpinan di Madrasah

Nizhamiyah Naysabur dalam tempo waktu tidaklah lama. Untuk keperluan

pengisian kekosongan tersebut Fakhr al-Mulk (490- 500 H/1096-1106 M), yang

berpangkat sebagai menteri Gubernur daerah Sanjar dalam kurun waktu (490-

511 H/1097-1118 M), ia memanggil seseorang yaitu Al-Ghazali, ia adalah

murid dari Imam al-Haramayn yang begitu teramat terkenal berasal dari daerah

Thus, guna memimpin serta melaksanakan tugas mengajar di Madrasah

Nizhamiyah Naysabur tersebut di 499 H/1105 M. Pada perkembangan

selanjutnya Al-Ghazli kemudia memegang perihal jabatan tersebut hingga 501

H/ 1107 M sekitar selama dua tahunlah, kemudian ia kembali ke daerah Thus

dan melaksanakan tugas pengajarnya di wilayah Khanaqahnya sepanjang

hidupnya hingga ia meninggal di tempat kelahirannya tersebut di tahun 505 H

atau 1111 M (Mukti, 2007: 178-179). Suasana belajar dan interaksi antara guru

dan siswa juga merupakan indikasi bahwa madrasah Nizhamiyah tidak

menganut sistem feodalisme pendidikan yang menindas. Karena dengan pola

interaksi yang demikian sebenarnya sistem pendidikan Islam klasik ini telah

mencontohkan pola pendidikan demokrasi dengan menempatkan siswa sebagai

sosok yang berpotensi untuk menguasai dan memahami realitas secara manusia

dan ilmiah (Abdurrahmansyah, 2005: 18). Madrasah Nizhamiyah adalah

satusatunya lembaga pendidikan Islam yang telah melanggengkan dikotomisme

dalam pendidikan Islam. Meskipun nampaknya terdapat celah untuk

menunjukkan indikasi tidak bersemangatnya civitas akademika Nizhamiyah

dalam menegakkan gaya pemikiran rasionalistik-filosofis, mengingat al-Ghazali

(pengarang Tahâfut al- Falâsifah) sebagai tokoh berpengaruh di kalangan Islam

untuk beberapa waktu pernah menjadi guru besar pada madrasah ini

(Abdurrahmansyah, 2005: 13). Madrasah Nizamiyah telah tercatat sebagai

lembaga pendidikan yang berpengaruh hingga saat ini baik di barat maupun di

timur. Adapun Madrasah Nizamiyah telah mencatat nama-nama besar dan

orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar. Di antaranya

sebagai berikut:

1. Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi

2. Syekh Abu Nasr as-Sabbagh

3. Abu Abdullah at-Tabari

4. Abu Muhammad asy-Syirazi

5. Abu Qasim al-Alawi

6. at-Tibrizi

7. al-Qazwini

Page 123: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

106

8. al-FairuzabadiImam al-Haramain

9. Abdul Ma‘ali al-Juwaini

10. Imam al-Ghazali

Demikianlah yang tercatat (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 2002: 44)

mengindikasikan bahwasanya peradaban intelektualitas Islam begitu tinggi dan

masih terasa hingga kini. Untuk mempertegas sumbangsih Madrasah

Nizamiyah terhadap pergerakan intelektualitas kaum Muslim disini akan

dipaparkan secara seingkat biografi dari Imam al-Gazali sebab peranan beliau

yang sangat menonjol dan masih melekat hingga saat ini, adapun pemaparannya

dapat disimak berikut ini:

1. Biogarafi Singkat Imam al-Ghazali. Adapun Imam al-Ghazali memiliki nama lengkap yaitu Abu Hamid

Muhammad ibnu Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali. Ia dikenal

sebagai ahli fiqih, kalam, seorang filosof dan seorang yang membawa

pembaharu terhadap tafsiran ajaranajaran Islam, dan yang berkenaan dengan

kemasyarakatan, bahkan juga sebagai tokoh pendidik akhlak bersetandar

Islam. Imam al-Ghazali dilahirkan di tahun 450 Hijriah. (1058 M.) di suatu

kampung bernama Ghazalah, Tunisia, suatu kota di Khurasan, Persia (Asari,

1993: 27). terdapat dua dua) bentuk cara penulisan nama atau sebutan Al-

Ghazali. Yang pertama sebutan tersebut ditulis dengan satu huruf ―z‖ yaitu

Al-Ghazali. Sedangkan yang kedua ditulis dengan dua huruf ―z‖ atau

dengan tasydid yaitu Al-Ghazzali. Tantang hal ini Ali al-Jumbulati Abdul

Futuh at- Tuwaanisi berpendapat bahwa sebutan Al-Ghazzali (dengan dua

huruf ―z‖) dinisbatkan atau dikaitkan kepada pekerjaan ayahnya sebagai

pemintal wool (Futuh at-Tuwaanisi, 1994: 131). Ayahnya seorang miskin

yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan ia seringkali

mengunjungi rumah alim ulama‘, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada

mereka. Ia (ayah Al-Ghazali) sering berdo‘a kepada Allah swt. agar

diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat

menyaksikan (menikmati) jawaban Allah (karunia) atas do‘anya, ia

meninggal dunia pada saat putra idamannya masih usia anak-anak (Ahmad,

1975: 28). Dalam hal ini sebelum beliau meninggal , beliau menitipkan

anak-anaknya yaitu Muhammad yang kemudian dijuluki Al-Ghazali, pula

dengan adiknya yang bernama Ahmad itu pada sahabatnya yang merupakan

ahli dalam bidang tasawwuf dan sambil berkata dengan kalimat bernada

dalam sebuah penyesalan adapun ungkapan tersebut: ―Nasib saya sangat

malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya

kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka

dan pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini

untuk mengajar mereka.‖ (Ahmad, 1975: 7).

Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi

sang sufi untuk memberi nafkah kepada mereka berdua, sang sufipun

berkata: ―ketahuilah bahwa saya telah membelanjakan bagi kalian seluruh

harta peninggalan ayah kalian. Saya seorang miskin dan bersahaja dalam

hidupku. Saya kira hal yang terbaik yang dapat kalian lakukan ialah masuk

ke dalam sebuah madrasah sebagai murid. Dengan jalan ini kalian akan

Page 124: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

107

mendapatkan makan untuk kelangsungan hidupmu.‖ Kedua anak tersebut

pun berlaku demikian dan ini menjadi sebab dari kebahagiaan dan

tercapainya cita-cita luhur mereka (Ahmad, 1975: 8). Dengan kehidupannya

yang sederhana itu, ayahnya menggemari pola hidup sufi. Sehingga ketika ia

sudah merasa ajalnya segera tiba, ia sempat berwasiat kepada seorang sufi,

teman karibnya yang bernama Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-

Thusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus, untuk memelihara dua orang

anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan

bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta

tersebut habis, sufi yang hidup fakir itu tak mampu memberinya tambahan.

Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk

bisa memperoleh pakaian, makan, dan pendidikan. Di sinilah awal mula

perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai

akhir hayatnya (Jahja, 1996: 64).

Al-Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu

pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun

diterpa suka cita, dilanda aneka rupa dan nestapa serta dilamun sengsara.

Dalam sebuah karyanya ia mengisahkan bahwa kehausan untuk mencari

hakikat kebenaran sesuatu sebagai habit dan favorit saya sejak kecil dan

masa mudaku adalah merupakan insting dan bakat yang dicampakkan Allah

swt. pada temperamen saya, bukan merupakan usaha dan rekaan saja

(Ahmad, 1975: 8). Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali adalah salah

seorang pemikir besar Islam dan filsafat kemanusiaan, di samping sebagai

salah seorang pribadi yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya.

Al-Ghazali adalah pakar ilmu syari‘ah pada masanya, di samping itu ia juga

menguasai ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, Kalam, Mantiq, Filsafat, Tasawuf,

Akhlak, dan sebagainya. Pada tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, Al-Ghazali

telah menulisnya secara mendalam, murni, dan bernilai tinggi. Banyak tokoh

yang mengungkapkan pujian dan kekagumannya pada al-Ghazali. Imam al-

Haramain (seorang mantan gurunya), misalnya, berkata: ‚Al-Ghazali adalah

lautan tanpa tepi‛. Sementara salah seorang muridnya, yaitu Imam

Muhammad bin Yahya, berkata: ‚Imam Al-Ghazali adalah asy-Syafi‘i

kedua‛. Pujian juga diungkapkan oleh salah seorang ulama sezamannya,

yaitu Abu al-Hasan ‗Abdul Ghafir al-Farisiy, yang mengatakan: ‚Imam al-

Ghazali adalah Hujjatul Islam bagi kaum muslimin, imam dari para imam

agama, pribadi yang tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh

selainnya, baik lisannya, ucapannya, kecerdasan, maupun tabiatnya (al-

Qardhawi, 1996: 39-40).

Pada tanggal 14 Jumadil Akhir, tahun 505 H atau 19 Desember 1111 M,

al-Ghazali meninggal dunia di Thus dalam usia 53 tahun. Dan kemudian

dimakamkan dengan makam penyair besar terkenal, yaitu Firdausi (Ahmad,

1975: 53). Beliau wafat dengan meninggalkan tiga orang anak, dua

perempuan dan satu laki-laki, sedangkan anak laki-lakinya yang bernama

Hamid sudah meninggal dunia sebelum beliau wafat. al-Ghazali digelari

dengan Hujjatul Islam, karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap

Page 125: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

108

agama, terutama dalam menyanggah aliran-aliran kebatinan dan para filosof

(Daudy, 1984: 60).

2. Kiprah Imam al- Gazali dalam Perkembangan Pemikiran dan

Pendididikan di Dunia Islam.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwasanya, al-Ghazali hidup mada

masa pemerintahan Bani Saljuk. Ia lahir dua puluh tahun setelah kerajaan ini

berdiri, sejak berusia muda, ia telah menyaksikan pertumbuhan awal dinasti

ini, sampai akhirnya mengalami masa kemunduran dan kehancurannya.

Karena kecemerlangan intelektual al-Ghazali, ia diangkat oleh wazir

Nizham al-Mulk sebagai pimpinan ulama hukum yang memberi pengesahan

atas keputusan-keputusan pemerintah dan guru besar pada Universitas

Nizhamiyah (Thaha, 1994: 11). Lebih lanjut, dalam hal ini Imam al-Ghazali

melakukan suatu kritikan pada aliran ilmu-ilmu kalam, salah satunya ialah

Mu‘tazilah dipelopori Washil bin Atha serta Amar bin ‗Ubaid, dimana

tokoh-tokoh inilah yang berpendapat bahwasanya orang-orang mukmin

mukminat yang telah melakukan suatu hal dosa yang besar dia tidaklah

termasuk kafir tidaklah mu‘min akan tapi mereka akan berada di dalam

posisi al-Manzila baina al-Manzilatain, dari pendapat-pendapat inilah yang

tentunya sangatlah berbeda dari pendapat-pendapat dari kaum muslimin

umumnya. saat itulah, Washil bin Atha, ia berinisiatif untuk keluar tidak

lagi bersama gurunya yaitu Hasan al- Bashri dan dirinya membangun sebuah

aliran yang bersifat teologis (Nurdin, 2012: 52). Adapun Aliran tersebut

sebetulnya telah terpengaruh dengan kuat oleh aliran yang dibawa kaum

Yahudi serta Nasrani, yang kemudian aliran inilah yang mempelajari

filsafat-filsafat dari Yunani. dimana Aliran tersebut lebih cenderung pada

penggunaan akal, sehingga al-Qur‘an dan Hadits dijadikannya sebagai

bahan yang tidaklah pokok hanyalah bahan kedua saja setelah akal tersebut.

Mengenai hal tersebut dapatlah disimak di dalam ajaran-ajarannya itu,

misalnya saja mengenai kebaruan dalam al-Qur‘an, dimana manusia

bersama dengan kekuatan akalnya maka manusia dapatlah mengetahui

bahwasanya keberadaan akan Tuhan itu, cara pembenaran dalam agama

dimana alasan-alasan yang bersifat pikiran-pikiran Inilah yang harus

dikoreksi dikritik al- Ghazali itu. Adapun contoh yang lainnya yaitu aliran

Asy‘ariah dipelopori Abu al- Hasan Ali Asy‘ari. Adapun diantara ajaran-

ajarannya dibawakan tokoh yang ini berbeda cara pandangannya al-Ghazali

yakni mengenai taqlid yang membuta sangatlah melekat pada kaum

pengikutnya. Sehingga kibat mengakibatkan diamana kefanatikan tersebut

yang kemudiang menimbulkan berupa tuduhan-tuduhan kekafiran pada

kelompok atau orang yang tidak sejalan dengannya. Dalam hal ini al-

Ghazali tidaklah mencoba untuk membentuk atau membuat aliran lain yang

baru, ilmu kalam. Atas karena al-Ghazali berpendapat bahwasanya ketika

melakukan hal itu hanyalah akan menyebabkan umat kian melemah. Dalam

hal memahami ajaran-ajaran Islam cukuplah mempelajari secara seksama 3

(tiga) warisan besar yaitu; al-Qur‘an, Hadits, dan Ulama (Rusn, 1998: 14).

Al- Ghazali merupakan seorang ilmuan muslim yang darinya banyak

melahirkan buku-buku atau kitab-kitab adapun karya-karnya (Dewan

Page 126: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

109

Redaksi Ensiklopedi Islam, 2002: 406) dapat disimak berikut ini: Bidang

Akhlak dan Tasawuf Ihya‘ ‗Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu

Agama), Minhaj al-‗Abidin (Jalan Orang-orang Yang Beribadah), Kimiya

al-Sa‘adah (Kimia Kebahagiaan), Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat

dari Kesesatan), Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak

Orang-orang yang Baik dan Keselamatan dari Kejahatan), Misykah al-

Anwar (Sumber Cahaya), Asrar ‗Ilm al-Din (Rahasia Ilmu Agama), Al-

Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‗Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara yang Megah

dalam Menyingkap Ilmu-ilmu Akhirat), Al-Qurbah ila Allah ‗Azza wa Jalla

(Mendekatkan Diri kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung),

Adab al-Sufiyah. Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku), Al-Adab fi al-Din

(Adab Keagamaan), Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang Soal-soal

Batin). 2). Bidang Fiqih, Al-Basit (Yang Sederhana), Al-Wasit (Yang

Pertengahan), Al-Wajiz (Yang Ringkas), Al-Zari‘ah ila Makarim al-Syari‘ah

(Jalan Menuju Syari‘at yang Mulia), Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk

(Batang Logam Mulia: Uraian tentang Nasihat kepada Para Raja). 3).

Bidang Ushul Fiqih, Al-Mankhul min Ta‘liqat al-Ushul (Pilihan yang

Tersaring dari Noda-noda Ushul Fiqh), Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah

wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta‘lil (Obat Orang yang Dengki: Penjelasan

tentang Hal-hal yang Samar serta Cara-cara Pengilhatan), Tahzib al-Ushul

(Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh), Al-Mustashfa min ‗Ilm al-Ushul

(Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh), Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi‘i, Kitab

Asas al-Qiyas. 5) Bidang Filsafat dan Logika, Maqasid al-Falasifah (Tujuan

Para Filsuf), Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), Mizan al-‗Amal

(Timbangan Amal), Mi‘yar al-‗Ilm fi al-Mantiq. 5) Bidang Teologi dan Ilmu

Kalam, Al-Iqtisad fi al-I‘tiqad (Kesederhanaan dalam Beritikad), Faisal at-

Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara Islam dan

Kezindikan), Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang Lurus), Iljam al-

‗Awam ‗an ‗Ilm al-Kalam. 6) Bidang Ilmu al-Qur‘an Jawahir al-Qur‘an

(Mutiara-Mutiara al-Qur‘an) ) Yaqut at-Ta‘wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata

Takwil dalam Menafsirkan al-Qur‘an). Selain dari itu dalam karya-karya

bernuansa politik pun al-Ghazali memiliki tulisannya yang ditulis oleh

(Ahmad, 1975: 74-86); 7) Bidang Politik, Al-Mustazhiri, nama lengkapnya

Fadhaih al-Batiniyah wa fadhail al-Mustazhiriyah (Bahayanya Haluan

Bathiniyah yang Ilegal dan Kebaikan Pemerintah Mustazhir yang Legal),

Fatihat al-‗Ulum (Pembuka Pengetahuan), Suluk as-Sulthaniyah (Cara

Menjalankan Pemerintahan).

Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjdi Guru Besar di Universitas

Nizhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu ia laksanakan

dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga

mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiranpikiran golongan batiniyah,

ismailiyah, filsafat, dan lainnya (Ahmad, 1975: 8). Imam al-Ghazali Setelah

Imam al-Haromain wafat lalu Perdana Menteri Nizamul Mulk memngangkat

al-Ghazali menjadi rektor di universitas Nizamiyah kala itu. Ketika itu

umunya baru menginjak 28 tahun. Namun, kecakapannya mampu menarik

Perdana Menteri Nizamul Mulk dan meminta dimana Imam Ghazali untuk

Page 127: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

110

pindah ke tempat kediaman Perdana Menteri (kota Mu‘askar) dan pembesar-

pembesar tinggi negara serta ulama-ulama besar dari berbagai disiplin ilmu.

Dia meminta Imam Al-Ghazali untuk memberikan kuliah dua kali seminggu

di hadapan para pembesar dan para ahli, di samping kedudukannya sebagai

Penasehat Agung Perdana Menteri. Kedekatan Imam Al-Ghazali terhadap

pemerintah pada waktu itu sangat mempengaruhi terhadap berbagai

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintahan Abbasiyah pada

masa al-Ma‘mun banyak dipengaruhi oleh aliran Mu‘tazilah serta filsafat

Yunani, telah dapat dikembalikan oleh Imam Al-Ghazali kepada ajaran

Islam yang murni. Di lapangan aqidah diajarkan faham Asy‘ari, sedangkan

di lapangan akhlak diperkuatnya ilmu tasawwuf (Ahmad, 1975: 38).

Dalam aktifitas intelektualnya, semula al-Ghazali menjalankan

serangkaian riset untuk meneliti kitab-kitab yang beredar dan menjadi rujukan

kaum aliran kebatinan, selanjutnya al-Ghazali membuat serangkaian pertanyaan

mengenai Imam Ma‘sum yang suci itu dan kapankah mereka dapat ditemui,

ternyata tidaklah satu orangpun para pengikut aliran-aliran kebatinan tersebut

mampu memberikan jawaban atau pun yang menunjukkannya. Atas dasar

ketidak berdayaan para pengikut kebatinan tersebut dan untuk berargumentasi

menunjukkan suatu bukti-bukti Imam Ma‘sum tersebut. Atas dasar itulah al-

Ghazali menarik suatu kesimpulan bahwasanya memberikan pernyataan yakni

Imam Ma‘sum yang dianggap para kaum kebatinan tersebut tak lain hanya

berada di ruang angan-angan belaka tidaklah hadir atau ada dalam sebuah

kenyataan yang sejati (Rusn,1998: 20). Pada perkembangan selanjutnya al-

Ghazali memilih jalan taswuf: ketika ia mulai mengalami konflik batin dalam

dirinya, antara menurutkan keinginan hawa nafsu kepada kedudukan,

kemewahan dan popularitas dengan kehidupan yang ―abadi‖. Disisi lain, al-

Ghazali merasa ilmu yang digeluti sebelumnya tidak membawa ia kepada

kebenaran yang hakiki. Selama enam bulan, ia mengalami kebingungan. Hal ini

menyebabkan lidahnya kelu sehingga tidak dapat mengajar dan tubuhnya pun

menjadi lemas dan lemah (Al-Ghazali, 2005: 41). Al-Ghazali selanjutnya

memohon diri untuk istirahat mengajar dan meninggalkan Baghdad untuk

menuju ke Syam. Di Syiria, al-Ghazali mengasingkan diri selama dua tahun.

Selama dalam pengasingannya, ia tidak melakukan kegiatan apapun, selain

„uzlah, khalwat, riyadhah dan mujahadah dengan tujuan untuk menyucikan

jiwa, memperbaiki akhlak dengan senantiasa berzikir kepada Allah.

Sekembalinya dari pengasingan, al-Ghazali menuju kekampung halamannya di

Thus. Setelah berada dikampung halamannya, al-Ghazali tetap melakukan

khalwat, semua itu ia jalani dalam masa kurang lebih sepuluh tahun (Al-

Ghazali, 2005: 41).

Page 128: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

111

BAB V

HUBUNGAN PENDIDIKAN YANG BERKEMBANG PADA MASA

PEMERINTAHAN BANI ABBASIYAH TERHADAP PERKEMBANGAN

ILMU PENGETAHUAN.

A. Gambaran Umum Hubungan Perkembangan Pendidikan dan Ilmu pada

Masa Bani Abbasiyah

Sejarah peradaban Islam terus mengemuka dari zaman ke zaman sebab

fakta menjelaskan sumbangsih Islam membangun peradaban dunia baik secara

sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Khususnya dalam bidang

pendidikan berikut sejarah intelektualitas dan perkembangan ilmunya—Islam

khususnya ketika zaman pemerintahan Bani Abbasiyah kiprahnya begitu nyata

hingga masih terasa sampai kini. Pendidikan terus bertumbuh dan berkembang

pada masa khulafaur rasyidin, masa Bani Umayyah dan masa Bani Abbasiyah.

Pada masa Bani Abbasiyah pendidikan meluas dengan pesat ke seluruh negara

Islam hingga berdiri madrasah yang tak terhitung banyaknya, masyarakat

berlomba-lomba menuntut ilmu, melawat ke pusat pendidikan walau

meninggalkan kampung halaman demi mendapatkan pengetahuan. Tujuan

pendidikan Islam sama dengan tujuan hidup manusia, yakni menjadi Insan

pengabdi Allah ‗abdullah‟ sekaligus delegasi Tuhan pengatur alam semesta

‗khalifatullah‟. Apa yang menjadi benang merah dalam menemukan titik temu

masyiatullah (kehendak Allah) dan masyiatul „ibad (keinginan yang

dikehendaki manusia) hanyalah dapat tercapai melalui pendidikan. Diperlukan

konsep kesadaran sejarah dalam menganalisis hubungan sebab akibat antara

fakta-fakta sejarah yang ada dan tersusun dari waktu ke waktu, meniscayakan

pula kepada kita akan kesadaran evaluatif terhadap hal yang telah dilakukan

dan telah dicapai realitas, dibandingkan dengan hal yang sesungguhnya

diinginkan dicapai dalam tataran ideal (Mahroes, 2015: 78).

Secara umum kemajuan pendidikan dan ilmu pada masa Bani Abbasiyah

dapat disimak berikut ini; Pada masa Dinasti Abbasiyah kehidupan peradaban

Islam sangat maju, sehingga pada masa itu dikatakan sebagai jaman keemasan

Islam. Kaum muslimin telah menggapai puncak kemuliaan dan kekayaan, baik

itu di bidang kekuasaan, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam bidang

kebudayaan dan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan tentang ilmu agama dan

ilmu pengetahuan umum mengalami kemajuan yang sangat pesat. Berbagai

ilmu telah lahir pada zaman tersebut. Hal ini dikarenakan antara lain:

Berbagai macam penelitian dan kajian tentang ilmu pengetahuan yang

dilakukan oleh para kaum muslimin itu sendiri, kegiatan penerjemahan buku

berbahasa asing seperti Yunani, Mesir, Persia, India, dan lain-lain ke dalam

bahasa Arab dengan sangat gencar. Buku-buku yang diterjemahkan antara lain:

ilmu kedokteran, kimia, ilmu alam, mantiq (logika), filasat al jabar, ilmu falak,

matematika, seni, dan lain-lain. Penerjemahan dan penelitian tersebut pada

umumnya dilaksanakan pada masa kekhalifahan Abu Ja‘far, Harun ar-Rasyid,

al-Makmum, dan Mahdi.

Khalifah Harun ar-Rasyid sangat concern dalam memajukan pengetahuan

tersebut. Beliau mendirikan lembaga ilmu pengetahun yang diberi nama Baitul

Page 129: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

112

Hikmah sebagai pusat penerjemahan, penelitian, dan pengkajian ilmu

perpustakaan serta lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi).

Buah dari perhatian tersebut kaum muslimin dapat mempelajari berbagai

ilmu dalam bahasa Arab. dan hasilnya bermunculan sarjana-sarjana besar

muslim dari berbagai disiplin ilmu yang sangat terkenal juga ulama-ulama

besar yang sangat tersohor seperti halnya Imam Abu Hanafi-Imam Malik-Imam

Syafei-Imam Hambali, Imam Bukhari, dan Imam Muslim.

Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan

mulia. Para khalifah dan pembesar lainnya membuka peluang sebesar-besarnya

untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah sendiri

pada umumnya adalah ulama-ulama yang mencintai ilmu, menghormati para

sarjana dan memuliakan para pujangga.

Mereka sungguh menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mereka

menerapkan subtansi dari mempraktikkan syariat Islam: bahwa tinggi

rendahnya derajat dan martabat seseorang tergantung pada banyak sedikitnya

pengetahuan yang ia miliki di samping ketakwaannya pada Allah swt. Allah

swt. berfiman dalam Q.S al-Mujaddalah/58: 11: Artinya: ―Niscaya Allah akan

mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang

yang diberi ilmu beberapa derajat. (Q.S al-Mujadalah/58: 11)

Para khalifah dalam memandang ilmu pengetahuan sangat menghargai dan

memuliakannya. Oleh karena itu, mereka membuka peluang seluas-luasnya

terhadap pengembangan ilmu pengetahuan kepada seluruh mahasiswa baik dari

kalangan Islam maupun kalangan lainnya. Para khalifah sendiri pada umumnya

seorang ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan para pujangga.

Kebebasan berfikir sangat dijunjung tinggi. Para sarjana (ulama) dibebaskan

untuk berijtihad mengembangkan daya intelektualnya dan bebas dari belenggu

taqlid. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan umum atau agama berkembang

sangat tinggi. Sebagai bukti antara lain:

Dibentuk Korps Ulama yang anggotanya terdiri dari berbagai negara dan

berbagai agama yang bertugas menerjemahkan, membahas, dan menyusun sisa-

sisa kebudayaan kuno, sehingga pada masa itu muncullah tokoh-tokoh muslim

yang menyebarluaskan agama Islam dan menghasilkan karya-karya yang

besar.

Didirikanlah Baitul Hikmah sebagai pusat penterjemahan, penelitian dan

pengkajian ilmu pengetahuan baik agama maupun umum.

Didirikan ‗Majelis Munazarat‘ yaitu suatu tempat berkumpulnya para

sarjana muslim, untuk membahas ilmu pengetahuan, para sarjana muslim diberi

kebabasan berfikir atas ilmu pengetahuan tersebut.

Hasil Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam pada Masa Dinasti

Abbasiyah. Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada masa

Dinasti Abbasiyah sangat pesat, sehingga lahir beberapa ilmu dalam agama

Islam, antara lain: Ilmu Hadis, Ilmu Tafsir, Ilmu Fikih, Filsafat Islam, Ilmu

Tasawuf, Sejarah, Kedokteran, Matematika, dan Astronomi.

Demikianlah deskripsi umum mengenai kemajuan ilmu ketika zaman

pemerintahan Abbasiyah. Adapun secara institusi pendidikan, umat Islam masa

Bani Abbasiyah dalam sejarahnya memperlihatkan tentang pentingnya

Page 130: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

113

pendidikan hal ini dapat ditelusuri dari beberapa catatan sejarah (Mahroes,

2015: 91-94) menyatakan: Lembaga pendidikan sebelum madrasah Pertama,

Maktab/ Kuttab. Adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajara yang

diajarkan adalah khat, kaligrafi, al-quran, akidah, dan syair. Kuttab dapap

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan

umum dan yang terbuka terhadap pengetahuan umum. Dalam ensiklopedi Islam

dijelaskan bahwa Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di

dunia Islam, pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan

pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak, dan dinyatakan bahwa kuttab

ini sudah ada di negeri Arab sebelum datangnya agama Islam, namun belum

dikenal. Kedua) halaqah artinya lingkaran. Halaqah merupakan institusi

pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college.

Sistem ini merupakan gambaran tipikal dari murid-murid yang berkumpul

untuk belajar pada masi itu. Guru biasanya duduk di atas lantai sambil

menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap

suatu karya pemikiran. Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru

dengan duduk di atas lantai, yang melingkari gurunya. Ketiga) majelis adalah

institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuwan dari

berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7 macam

mejelis, yaitu: (1) majelis al-Hadis; (2) majelis al- Tadris; (3) majelis al-

Munazharah; (4) majelis al-Muzakarah; (5) majelis al- Syu‟ara; (6) majelis al-

Adab; dan (7) majel al-Fatwa. 4) masjid merupakan institusi pendidikan Islam

yang sudah ada sejak masa nabi. Masjid yang didirikan oleh penguasa

umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti

tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari berbagai macam

disiplin keilmuwan yang berkembang pada saat itu. 5) Khan. Berfungsi sebagai

asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama antara lain fikih.

6) ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauh dari kehidupan

duniawi untuk mengonsentrasikan diri beribadah semata-mata. Ribath biasanya

dihuni oleh orang-orang miskin. 7) rumah-rumah ulama, digunakan untuk

melakukan transmisi ilmu agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain

perdebatan ilmiah. Ulama yang tidak diberi kesempatan mengajar di institusi

pendidikan formal akan mengajar di rumah-rumah mereka. 8) toko buku dan

perpustakaan, berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan Islam. Di Baghdad

terdapat 100 toko buku. Kesembilan, observatorium dan rumah sakit sebagai

tempat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dan transmisi ilmu

kedokteran.

Madrasah sudah eksis semenjak awal masa kekuasaan Islam bani

Abbasiyah seperti Bait al-Hikmah, yaitu institusi pendidikan tinggi Islam

pertama yang dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al-Makmun, dalam hal

ini Mahroes mengutif dari Asar. Institusi yang mengukir sejarah baru dalam

peradaban Islam dengan konsep multikultural dalam pendidikan, karena subjek

toleransi, perbedaan etnik kultural, dan agama sudah dikenal dan merupakan

hal biasa. Di catatan lain, al-Makrizi berasumsi bahwa madrasah pertama

adalah madrasah Nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.53 Madrasah selalu

dikaitkan dengan nama Nidzam Al-Mulk (W. 485 H/1092 M), salah seorang

Page 131: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

114

wazir dinasti Saljuk sejak 456 H/1068 M sampai dengan wafatnya, dengan

usahanya membangun madrasah Nizhamiyah di berbagai kota utama daerah

kekuasaan Saljuk. Madrasah Nizhamiyah merupakan prototype awal bagi

lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam

penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi

pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem

asrama. Pemerintah atau penguasa ikut terlibat didalam menentukan tujuan,

kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan lain-lain. Kendati

madrasah Nizhamiyah mampu melestarikan tradisi keilmuwan dan

menyebarkan ajaran Islam dalam versi tertentu. Tetapi keterkaitan dengan

standarisasi dan pelestarian ajaran kurang mampu menunjang pengembangan

ilmu dan penelitian yang inovatif. Madrasah di Mekah dan Madinah. Informasi

tentang madrasah mendapat dukungan banyak dari berbagai literatur. Namun

sayang para sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasah di Mekah dan

Madinah. Hal ini mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan

tersebut kurang lengkap. Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah di Mekah

lebih banyak dibandingkan di Madinah. Di antara madrasah Abu Hanifah,

Maliki, madrasah ursufiyah, madrasah muzhafariah, sedangkan madrasah

megah yang dijumpai di Mekah adalah madrasah qoi‟it bey, didirikan oleh

Sultan Mamluk di Mesir.

B. Faktor Kepemimpinan Politik Dinasti Abbasiyah dalam Pengembangan

Ilmu Pengetahuan

Sejarah mencatat; Setelah keruntuhan Dinasti Umayyah, Dinasti

Abbasiyah membangun peradaban Islam atas asas ilmu pengetahuan. Selain itu,

Dinasti Abbasiyah pernah menjadikan aliran Muktazilah sebagai aliran resmi

negara. Aliran ini didukung oleh Khalifah al-Makmun anak dari Harun al-

Rasyid (Amin, 1966: 8). Sebetulnya sebelum al-Makmun, ayahandanya yakni

Harun ar-Rasyid telah menjadi tokoh sentral dari perkembangan sejarah

kebangkitan intelektual pada zaman Abbasiyah. Gerakan intelektual itu ditandai

oleh proyek penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, Sansekerta, Suriah,

dan Yunani ke bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang ilmu

pengetahuan, filsafat, atau sastra yang tidak terlalu banyak. Orang Arab Islam

yang memiliki keingintahuan yang tinggi dan minat belajar yang besar segera

menjadi penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa yang lebih tua dan

berbudaya yang mereka taklukkan atau yang mereka temui (Hitti, 2002: 375).

Selain dari itu Khalifah Abu Ja‘far al-Manshur membangun perpustakaan

Baitul Hikmah, yang kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan serta

pengembangan peradaban intelektual pada masa Abbasiyah. Dalam hal ini

Baghdad sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh khalifah

al-Mansur mencapai puncak kejayaan di masa al-Rasyid walau kota itu belum

lima puluh tahun dibangun. Kemegahan dan kemakmuran tercermin dari istana

khalifah, kemewahan istana muncul terutama dalam upacara-upacara penobatan

khalifah, perkawinan, keberangkatan berhaji, dan jamuan untuk para duta

negara asing (Mufrodi, 1997: 104).

Page 132: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

115

Sumber lain mencatat bahwasanya Dinasti Abbasiyah terutama pada fase

pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansyur, Khalifah Harun

al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun, merupakan khalifah-khalifah yang sangat

cinta pada ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaannya khalifah-khalifah

sangat menjaga dan memelihara buku-buku baik yang bernuansa agama

maupun umum, baik karya Ilmuwan muslim maupun non muslim, baik karya-

karya Ilmuwan yang semasanya maupun pendahulunya. Hal ini terlihat jelas

dari sikap-sikap khalifah seperti pesannya Harun al-Rasyid kepada para

tentaranya untuk tidak merusak kitab apapun yang ditemukan dalam medan

perang. Begitu juga khalifah al-Makmun yang mengkaji penerjemah-

penerjemah dari golongan Kristen dan lainnya untuk menerjemahkan buku-

buku Yunani, sampai pada akhirnya masih dilalukan pada masa khalifah al-

Makmun Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Suwito,

2005: 47).

Dinasti Abbasiyah pada periode 132 H/750 M. – 232 H./847 M. mencapai

zaman keemasan. Pada periode ini usaha peletakan landasan bagi eksistensi

filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam dinyatakan berhasil. Sejarawan C.E

Bosworth, pernah menyatakan, bahwa tiga abad pertama pemerintahan

Abbasiyah, yakni dari abad ke-8 sampai abad ke-11, ia dapat menyaksikan sisa-

sisa kejayaan Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu eksistensi ilmu pengetahuan

dirasakan benar adanya. Hal tersebut ditandai dengan berbagai literatur ilmu

pengetahuan yang eksis saat itu. Diantaranya seperti kitab kesusastraan, teologi,

filsafat, dan ilmu alam.

Pada sumber yang lain dapat ditemukan pula bahwa popularitas

pemerintahan Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di saat pemerintahan

berada di bawah kekuasaan khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan

putranya Al-Ma‘mun (813-833 M). Kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, ilmu

pengetahuan, kesusantraan, dan kebudayaan mengalami zaman keemasan. Pada

masa inilah zaman keemasan negara Islam menempatkan dirinya sebagai

negara terkuat yang tidak tertandingi. Naiknya Harun Al-Rasyid sebagai

khalifah kalima menggantikan Al-Hadi sangat membawa perubahan besar

dalam sejarah Dinasti Abbasiyah. Hal ini ditandai pula dengan banyaknya para

ilmuwan yang hidup pada masa pemerintahannya. Di antaranya, Qadri Abu

Yusuf, keluarga Bermakid, Abu Atahiyah, Ishak al-Mausuli.

Kemajuan yang dicapai Dinasti Abbasiyah di bawah kekuasan khalifah

Harun Al-Rasyid beserta putranya tersebut di atas, paling tidak disokong oleh

gaya kepemimpinan yang mereka anut bersifat terbuka. Hal ini dibuktikan

dengan adanya data keperibadian khalifah Harun Al- Rasyid yang terkenal

murah hati, lebih mengedepankan akal dari pada emosi dan senantiasa berlaku

sopan santun serta dermawan terhadap seluruh rakyatnya. Di masa ini kota

Bagdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan yang sangat pesat.

Data sejarah juga membuktikan bahwa pada masa pemerintahan beliau,

dibangun pula sebuah perpustakaan sebagai pusat telaah referensi ilmu

pengetahuan dan sebagai pusat diskusi ilmu pengetahuan yang diberi nama

Baitul Hikmah yang berarti gedung ilmu pengetahuan.

Page 133: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

116

Diberitakan pula bahwa pada masa kekuasaan khalifah Harun al-Rasyid,

cabang-cabang ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, astronomi dan

kemiliteran turut mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga para

sejarawan telah membandingkan bahwa khalifah Harun al-Rasyid benar-benar

menempati sebuah derajat yang sangat tinggi dan agung dalam hal kebudayaan

dan peradaban, jika dibandingkan dengan Karel Agung di Eropa yang menjalin

persahabatan dengannya. Bagdad sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah memang

tidak ada yang dapat menyaingi walaupun dengan Kostantinopel yang

merupakan ibu kota Binzantium (Muksin, 2016: 16-17).

Pada masa berkuasanya dinasti Abbasiyah lembaga pendidikan dan

perkembangan ilmu pengetahuan bergerak begitu cepat menurut (Amin, 1978:

207) disebabkan karena beberapa faktor diantaranya sebagai berikut:

Pertama, pada masa ini perkembangan pemikiran baik itu intelektual

maupun keagamaan sangat pesat sekali. Hal tersebut disebabkan pada masa ini

adanya kesiapan umat Islam untuk menyerap berbagai budaya dan khazanah

peradaban besar dan melakukan perkembangan secara inovatif. Pada masa ini

umat Islam atas dukungan dari khalifah yang berkuasa bersikap terbuka

terhadap seluruh umat manusia yang non Arab (mawali) yang pada akhirnya

mereka masuk Islam.

Kedua, Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan

kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah seperti yang terjadi pada masa

Dinasti Umayyah.

Ketiga, adanya toleransi sehingga Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab

(dinasti abbasiyah) dengan bangsa lain (non-Arab) yang lebih dahulu

mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Adanya asimilasi

yang intens tersebut menyebabkan bangsa non-Arab banyak yang menganut

agama Islam. Sehingga dengan masuk Islam, mereka dapat memberikan saham

bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Seperti pengaruh bangsa

Persia yang sangat baik dalam menata sistem pemerintahan, penguasaan dalam

ilmu filsafat dan sastra.

C. Perkembangan Ilmu dan Ilmuwan-Ilmuwan Terkemuka pada Masa

Pemerintahan Bani Abbasiyah

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan ilmu dengan

lembaga pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah berkembang dengan pesat.

Pada bagian ini akan dikemukakan para Ilmuwan yang kompeten dalam

bidangnya masing-masing, hal ini perlu dideskripsikan untuk memperkuat

bahwa perkembangan ilmu ketika itu begitu pesat.

1. Ilmu Tafsir

Masuknya pengaruh pemikiran para ilmuwan dan filsuf Yunani sejak

masa Dinasti Abbasiyah, memunculkan nuansa baru dalam upaya

penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‘an. Para ulama Muslim coba

melakukan penafsiran dengan pisau filsafat. Mereka juga berusaha

menggali berbagai ilmu pengetahuan dari al-Qur‘an terutama ketika harus

menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan alam (kawniyyah).

Page 134: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

117

Banyak di antara para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat kawniyyah

berusaha membekali dirinya dengan teori-teori ilmiah yang sudah ada.

Penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat kawniyyah dengan pendekatan

teori atau penemuan-penemuan ilmiah tersebut menimbulkan term baru

dalam sejarah perkembangan tafsir. Dan dalam perkembangan berikutnya

corak penafsiran ini kemudian lebih dikenal dengan istilah al-tafsir al-

„ilmiy (Pasya, 2006: 98).

Pada permulaan zaman Abbasiyah, barulah ulama-ulama

mengumpulkan hadits-hadits tafsir yang diterima dari sahabat dan tabi‘in.

Mereka menyusun tafsir dengan cara menyebut sesuatu ayat, kemudian

menyebut nukilan-nukilan mengenai tafsir ayat itu dari sahabat dan

tabi‟in. Selain itu, tafsir juga belum mempunyai bentuk yang tertentu dan

belum tertib mushhaf. Hadis-hadis tafsir diriwayatkan secara berserak-

serak untuk tafsir bagi ayat-ayat yang terpisah-pisah dan masih bercampur

dengan hadits-hadits lain yakni hadits-hadits mu‟amalah, hadits

munakahah dan sebagainya. Demikian keadaan tafsir pada tingkat

pertama. Adapun tafsir-tafsir yang terkenal zaman itu adalah :Tafsir As-

Suddy (127 H), Tafsir Ibn Jurraij (150 H), Tafsir Muqatil (150 H), Tafsir

Muhammad ibn Ishaq, Tafsir Ibnu Uyainah, Tafsir Waki‟ ibn Al-Jarrah.

Semua tafsir-tafsir ini telah hilang dibawa arus masa, tidak ada yang

sampai kepada kita. Selain itu kebanyakan isi kandungannya telah

ditampung oleh tafsir Ibnu Jarir ath-Thabary (310 H).

Lebih lanjut "tafsir" merupakan ilmu yang membuka tabir tentang

makna ayat-ayat al-Quran serta menguraikan maksud dan tujuan Allah dari

ayat itu sesuai dengan kemampuan manusia (Musthafa, 1989: 15). Abu

Jarir at-Tabari dengan tafsirnya Al-Qur‘anul Azim sebanyak 30 juz

merupakan salah satu ahli hadist ketika masa pemerintahan Bani

Abbasiyah. Nama lengkapnya Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid

bin Katsir bin Khalid al-Tabari, ada pula yang mengatakan Abu Ja'far

Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Tabari (Husain al-

Dzahabi, 1976: 205). Al-Tabari dilahirkan pada tahun 223 H (838-839 M),

sumber lain menyebutkan bahwa al-Tabari lahir pada tahun 224 H atau

awal 225 H (839- 840 M), dan meninggal pada tahun 311 H/923 M,

sementara sumber lain menyebutkan pada tahun 310 H (Yusuf, 2004: 20-

21).

Al-Tabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang

memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan terutama

dibidang keagamaan, berbarengan dengan situasi Islam yang sedang

mengalami kejayaan dan kemajuan dibidang pemikirannya. Kondisi sosial

yang demikian secara psikologis turut berperan dalam membentuk

kepribadian al-Tabari dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu.

Iklim kondusif seperti itulah secara ilmiah telah mendorongnya untuk

mencintai ilmu semenjak kecil (Yusuf, 2004: 21).

Karir pendidikan di awali dari kampung halamannya Amul tempat yang

cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan

al-Tabari. Ia di asuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy,

Page 135: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

118

Basrah, Kufah, Mesir, Siria dalam rangka al-rihlah fi thalab al-ilm dalam

usianya yang sangat belia. Di Rayy ia berguru kepada ibn Humayd, Abu

Abdullah Muhammad Bin Humayd al-Razi. Selanjutnya ia menuju ke

Bagdad untuk berguru kepada Ibn Hambal, ternyata sesampainya di

Bagdad Ibn Hambal telah wafat dan al-Tabari pun berputar haluan menuju

dua kota besar selatan Bagdad yakni Basrah dan Kufah, sambil mampir ke

wasit karena satu jalur perjalanan dalam rangka studi dan riset. Di Basrah

ia berguru kepada Muhammad bin „Abd „Ala al-San‟ani (W 245 H/859

M), Muhammad bin Musa al-Harasi (W 248 H/862 M) dan Abu As‟as

Ahmad bin al-Miqdam (W 253 H/867 M). Dalam bidang fikih khususnya

mazhab al-Syafi‟I ia berguru pada al-Hasan Ibn Muhammad al-Za‟farany.

Khusus dalam bidang tafsir al-Tabari berguru pada seorang Basrah

Humayd bin Mas‟adah dan Basir bin Mu‟az al-„Aqadi (W akhir 245

H/859-860 M), meski sebelumnya pernah banyak menyerap pengetahuan

tafsir dari seorang kufah yang bernama Hannad bin al-Sari (W 243 H/857

M (Yusuf, 2004: 5-6).

Kota Bagdad, menjadi domisili terakhir al-Tabari, sejumlah karya telah

berhasil ia keluarkan dan akhirnya wafat pada Senin, 27 Syawwal 310 H

bertepatan dengan 17 Februari 923M. Kematiannya dishalati oleh

masyarakat siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya

(Rosenthal, 1989: 78).

Dalam dunia ilmu tafsir disebutkan bahwa tafsir Ibnu Jarir al-Tabari ini

merupakan tafsir yang pertama di antara sekian banyak kitab-kitab tafsir

pada abad-abad pertama, juga sebagai tafsir pertama pada waktu itu karena

merupakan kitab tafsir yang pertama yang diketahui, sedangkan kitab-kitab

tafsir yang mungkin ada sebelumnya telah hilang ditelan peradaban waktu

atau zaman (Salimuddin, 1990: 135). Syekh al-Islam Taqi ad-Din Ahmad

bin Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang manakah yang lebih dekat

dengan al-Qur‗an dan As-Sunnah? Beliau menjawab bahwa di antara

semua tafsir yang ada pada kita, tafsir Muhammad bin Jarir al-Tabari lah

yang paling otentik (Ushama, 2000: 68).

Ia tidak memakan lemak dan daging yang akan dimakannya terlebih

dahulu dibersihkan dari tulang dan lemaknya serta dimasak dengan zabib

(anggur atau buah tin yang telah dikeringkan/kismis). Ia berpantang dari

kurma yang dinilainya dapat merusak gigi. Susu kambing diminumnya

setelah disaring. Di samping itu ia selalu menyiapkan obat-obatan yang

diminumnya setelah makan. Ia tidur dengan baju lengan pendek yang

terbuat dari bahan halus dan dicelup dengan air mawar serta kayu gaharu.

Bila ia duduk (mengajar) hampir tidak terdengar ia mendehem, tidak pula

pernah terlihat meludah. Ia dikenal sangat memperhatikan keserasian dan

keindahan pakaiannya, sehingga selalu nampak tampan dan teratur.

Ayahnya tergolong kaya dan saleh, meniggalkan warisan berupa kebun

yang dari hasilnya membiayai kehidupan al-Tabari; namun demikian, ia

dikenal sangat zahid (tidak terpengaruh oleh kenikmatan duniawi). Ia

hidup membujang sepanjang usianya (Ismatulloh, 2012: 206). Ia

meninggal pada usia 85 tahun.

Page 136: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

119

2. Ilmu Hadist

Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat pada zaman dinasti

Abbasiyah, khusunya ketika al-Rasyid dan penerusnya al-Makmun

berkuasa. Ilmu hadist merupakan salah satu ilmu yang penting bagi umat

Islam untuk mengetahui hukum-hukum Islam dari A hingga Z, sebab hadis

sendiri diperuntukkan menjelaskan kandungan ayat suci al-Quran. Abad ke

3 Hijriah disaksikan penyusunan enam kitab hadis yang saat itu menjadi

kitab hadis standar. Yang paling otoritatif adalah yang dihimpun

Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (810-870) dengan shahih Bukharinya;

diikuti Muslim ibn al-Hajjaj (w.875) dengan shahih muslimnya, Sunan

Abu Dawud dari Bashrar (w.888), jami‘ al-Tirmizi (w.±892), Sunan Ibn

Majah dari Qazwin (w.886), dan Sunan al-Nasa‘i (w.915) Begitulah

perjalanan sejarah kebangkitan intelektual Islam, dimulai dari era

penerjemahan berlanjut pada babak aktivitas kreatif penulisan karya-karya

orisinil mengantarkan peradaban Islam menjadi perdaban terhormat di

abad pertengahan. Era ini ditandai sebagai proyek pembangunan budaya

melalui dua pendekatan atau strategi, (1) membaurkan kebijakan kuno

Persia dan klasik Yunani, (2) Mengadaptasi keduanya sesuai kebutuhan

khusus dan paradigma ‗pola pikir‘ peneliti. Upaya transmisi pengetahuan

tersebut masuk ke daratan Eropa melalui Suriah, Spanyol dan Sisilia, dan

gerakannya mendominasi pemikiran eropa abad pertengahan yang

mendobrak munculnya renaisan Eropa (Mahroes, 2015: 89).

Adapun beberapa ahli ilmu hadist pada zaman Abbasiyah dapat disimak

berikut ini:

1. Imam Bukhari. Terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan

dengan 21 Juli 810 M. Beliau adalah ahli hadis termasyhur. Imam

Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau pemimpin kaum

mukmin dalam hal ilmu hadis. Nama lengkapnya Abu Abdullah

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-

Ju‘fi al-Bukhari. Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan

penglihatannya. Bersama gurunya Syekh Ishaq, ia menghimpun

hadits-hadis shahih dalam satu kitab, dari satu juta hadis yang

diriwayatkan 80 ribu perawi disaringnya menjadi 7.275 hadis. Ia

menghabiskan waktunya untuk menyeleksi hadits shahih selama 16

tahun. Shahih Bukhari adalah salah satu karyanya yang paling

fenomenal.

2. Imam Muslim. Imam Muslim lahir pada 204 H atau 819 M. Ada pula

yang berpendapat beliau lahir pada tahun 202 H atau 206 H. Seorang

ahli hadis kontemporer asal India, Muhammad Mustafa Azami, lebih

menyetujui kelahiran Imam Muslim pada 204 H. Azami dalam

Studies In Hadith Methodology and Literature, mengatakan, sejarah

tidak dapat melacak garis keturunan dan keluarga sang imam. ejarah

hanya mencatat aktivitas Imam Muslim dalam proses pembelajaran

dan periwayatan hadis. Pada masa beliau, rihlah (pengembaraan)

untuk mencari hadis merupakan aktivitas yang sangat penting. Imam

Muslim pun tak ketinggalan mengunjungi hampir seluruh pusat-pusat

Page 137: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

120

pengajaran hadis. Adz-Dzahabi dalam karyanya Tadzkirat al-Hufazh

menyebutkan bahwa Imam Muslim mulai mempelajari hadis pada

218 H. Ia menulis kitab Al-Musnad ash-Shahih atau yang lebih

dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab yang satu ini menempati

kedudukan istimewa dalam tradisi periwayatan hadis. Dan, dipercaya

sebagai kitab hadis terbaik kedua setelah kitab Shahih Bukhari karya

Imam Bukhari.

3. Imam Abu Dawud. Ia bernama lengkap Sulaiman bin al-Asy'ats bin

Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amru bin Amir al-Azdi al-Sijistani.

Dunia Islam menyebutnya Abu Dawud. Beliau adalah seorang imam

ahli hadis yang sangat teliti dan merupakan tokoh terkemuka para

periwayat hadis. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Menurut Syekh Muhammad Said Mursi, dalam Tokoh-tokoh Besar

Islam Sepanjang Sejarah, Imam Abu Dawud, dikenal sebagai

penghafal hadis yang sangat kuat. Ia menguasai sekitar 500 ribu

hadis. Sejak kecil, Abu Dawud sudah mencintai ilmu pengetahuan.

4. Imam At-Tirmizi. Imam At-Tirmidzi adalah orang pertama yang

mengelompokkan hadis dalam kategori hasan, di antara sahih dan

dhaif. Imam At-Tirmidzi adalah satu dari enam ulama hadis

terkemuka. Nama besarnya mengacu kepada tempat kelahirannya,

yaitu Turmudz, sebuah kota kecil di bagian utara Iran. Nama

lengkapnya Muhammad bin Isa bin Saurah bin Adh-Dhahak As-

Salami Al-Bughi. Ia sering dipanggil Abu Isa. Lahir pada bulan

Zulhijjah tahun 209 Hijrah. Yusuf bin Ahmad al-Baghdadi,

menuturkan, Abu Isa mengalami kebutaan pada masa menjelang akhir

usianya.Semenjak kecil, At-Tirmidzi sudah gemar mempelajari

berbagai disiplin ilmu keislaman, termasuk ilmu hadis. Ia mulai

mempelajari ilmu hadis ketika berumur 20 tahun di sejumlah kota-

kota besar di wilayah kekuasaan Islam saat itu, di antaranya adalah

Kota Khurasan, Bashrah, Kufah, Wasith, Baghdad, Makkah,

Madinah, Ray, Mesir, dan Syam.

5. An-Nasa‘i. Ia lahir di Nasa, Khurasan pada tahun 830 M dan

meninggal di Damaskus pada tahun 915 M. Nama lengkapnya adalah

Ahmad bin Syu‘aib bin Ali bin Bahr bin Sinan. An-Nasa‘i menulis

beberapa kitab, di antaranya yaitu as-Sunan al-Kubra (sunah-sunah

yang Agung), as-Sunah al-Mujtaba (sunah-sunah pilihan) dan banyak

yang lainnya.

6. Ibnu Majah. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid

bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini. Ia dilahirkan pada tahun 207

Hijriah dan meninggal pada hari selasa, delapan hari sebelum

berakhirnya bulan Ramadan tahun 275. Ia menuntut ilmu hadis dari

berbagai negara hingga beliau mendengar hadis dari madzhab Maliki

dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari

beliau. Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah, salah satu

kitab yang masuk dalam Kutub As-Sittah.

Page 138: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

121

Dalam hal ilmu hadist imam Bukhori memiliki tempat yang

menonjol, baik secara metodologi maunpun secara spiritual. Sebelum

menetapkan sebuah hadis menjadi sahih, Bukhari senantiasa menelitinya,

mulai dari kualitas hadis, jumlah periwayat (perawi), keadilan dan tingkat

hafalan periwayat, hingga mutawatir (bersambung) ke Rasulullah. Imam

Bukhari dikenal sebagai seorang ulama dan ahli dalam ilmu hadis.

Ketelitian dan kecermatannya untuk mengumpulkan hadis-hadis sahih

telah diakui para ulama. Bahkan, kitab hadis yang disusunnya (Sahih

Bukhari) menjadi rujukan hampir semua ulama di dunia. Nama besarnya

sejajar dengan para ahli hadis yang pernah ada sepanjang zaman. Nama

lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin

al-Mugirah bin Bardizbah al-Bukhari. Dilahirkan di Bukhara, Samarkand

(sekarang), Uzbekistan, Asia Tengah, pada 13 Syawal 194 H atau

bertepatan pada 21 Juli 810 M. Tak lama setelah lahir, beliau kehilangan

penglihatannya. Kemudian, dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa pada

suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi melihat Nabi Ibrahim AS

yang mengatakan, ''Hai Fulanah, sesungguhnya Allah telah

mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau

berdoa.'' Ternyata, pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa kedua

mata putranya telah bisa melihat kembali.

Iman Bukhari kecil dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama.

Dalam kitab Ast-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal

sebagai orang yang wara' dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang

bersifat syubhat (samar) hukumnya, terlebih lagi terhadap hal yang haram.

Ayahnya adalah seorang ulama bermazhab Maliki dan merupakan murid

dari Imam Malik, yaitu seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat

ketika Bukhari masih kecil. Sejak kecil, Imam Bukhari memang telah

menunjukkan bakatnya yang cemerlang dan luar biasa. Dia mempunyai

ketajaman ingatan dan hafalan yang melebihi orang lain. Ketika berusia 10

tahun, Bukhari selalu datang dan mempelajari ilmu hadis kepada ad-

Dakhili, salah seorang ulama yang ahli dalam bidang tersebut. Setahun

kemudian, ia mulai menghafal hadis Nabi SAW dan sudah mulai berani

mengoreksi kesalahan dari guru yang keliru menyebutkan periwayatan

hadis. Pada usia 16 tahun, dia telah menghafal hadis-hadis yang terdapat

dalam kitab karangan Ibnu Mubarak dan karangan Waki' al-Jarrah.

Menurut Ahmad Shalaby (Intan, 2018: 171-172) menyatakan

bahwasanya perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era

Abbasiyah, yaitu mulai pada pertengahan abad ketiga, muncul trend baru

yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadits, yaitu

munculnya kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan

penelitian dan pemisahan hadits-hadits sahīh dari yang dla`īf sebagaimana

dilakukan oleh Al-Bukhari (w.256), Muslim (w.261), Ibn Mājah (w.273),

Abu Dāwud (w.275), Al-Tirmidzi (w. 279), serta Al-Nasā‘i (w.303).

Pada masa ini, ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari

ilmu Hadis. Buku tafsir lengkap dari al-Fātihah sampai al-Nās juga mulai

disusun. Menurut catatan Ibn al-Nadīm yang pertama kali melakukan

Page 139: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

122

penyusunan tafsir lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyād al-Daylamy

atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farrā.

3. Ilmu Fiqih

Pada akhir kekuasaan Bani Umayyah dan awal kekuasaan Bani

Abbasiyah perkembangan ilmu fiqih semakin pesat, terutama yakni empat

imam yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. pengaruh peristiwa

politik dengan perkembangan fikih terjadi pada abad II H sejak akhir

pemerintahan Bani Umayyah hingga masa munculnya khalifah Bani

Abasiyyah. Kemudian pada masa Bani Abbasiyah ulama dibagi menjadi

dua kelompok, yaitu kelompok ulama Kuffah dan Madinah, di mana

pemerintahan Kuffah. Setelah itu pada abad III H kelompok ulama tersebut

lebih mengarah pada penokohan pribadi sebagai contoh: Mazhab Hanafi,

Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali (terkenal dengan fikih personal). Awal abad

ketiga hijriyah ini telah berkembang di masyarakat muslim lebih dari lima

ratus mazhab, namun yang mampu bertahan hanya ada beberapa mazhab

yang berkembang, di antaranya Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi‘i, Hanbali,

Zaidiyah, Imamiyah, dan Ibadiyah (Imbabi: 140).

Keempat mazhab fiqih ini telah mempengaruhi perkembangan Islam.

Perbedaan implementasi fiqih berdasarkan mazhab masing-masing dalam

suatu komunitas tak jarang menjadi perdebatan yang tak berkesudahan.

Namun toleransi merupakan kunci terjaganya persaudaraan dalam iman.

Berikut empat sejarah dan karakteristik mazhab fiqih tersebut yang dilansir

dari kanal Youtube Catatan Ringan.

1. Hanafi. Mazhab Hanafi atau Hanafiah didirikan oleh Nu'man bin

Tsabit atau yang lebih terkenal dengan nama Abu Hanifah. Ia wafat

767 masehi. Pemikiran hukumnya bercorak rasional. Mazhab ini

berasal dari Kufah, sebuah kota yang telah mencapai kemajuan yang

tinggi di Iraq. Sehingga persoalan yang muncul banyak dipecahkan

melalui pendapat, analogi, dan qiyas khafi. Karyanya yang terkenal

adalah Fiqh Al-Akbar. Mazhab Hanafi merupakan mazhab fiqih

dengan jumlah pengikut terbesar di dunia dengan jumlah pengikut

sebanyak 675 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak

mazhab ini adalah Pakistan, India, Bangladesh, Turki, Afganistan, dan

Uzbekistan. Pada masa Turki Utsmani, mazhab ini merupakan

mazhab resmi kerajaan. Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah

Abu Yusuf yaitu guru Imam Ahmad, asy-Syaibani yaitu guru Imam

Syafi'i, Abu Mansur Al-Maturidi, Jalaluddin Al-Rumi, dan Bahauddin

Naqsyaban.

2. Maliki. Mazhab Maliki atau Maliki adalah mazhab yang didirikan

oleh Malik bin Anas atau yang biasa dikenal dengan nama Imam

Malik. Imam Malik wafat pada 797 Masehi. Sepanjang hidupnya

Malik tidak pernah meninggalkan Madinah, kecuali untuk keperluan

ibadah haji. Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunnah yang

cenderung tekstual. Imam Malik juga termasuk periwayat hadist.

Karyanya yang terkenal adalah al-Muwattha', yaitu hadis yang

bercorak fiqih. Imam Malik juga dikenal sebagai seorang Mufti dalam

Page 140: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

123

kasus-kasus yang dihadapi. Salah satu fatwanya bahwa baiat yang

dipaksakan hukumnya tidak sah. Selain itu pemikirannya juga banyak

menggunakan tradisi bangsa Madinah. Mazhab Maliki merupakan

mazhab fiqih dengan pengikut yang terkonsentrasi pada wilayah

Afrika Utara dan Afrika Barat dengan jumlah pengikut sebanyak 270

juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini

adalah Maroko, Al-Jazair, Mesir, Sudan, Nigeria, dan Tunisia. Murid

atau pengikutnyayang terkenal adalah Imam Syafi'i, Yahya Al-Laitsi,

Ibnu Rusdi, AI Qurthubi, Ibnu Batutah, dan Ibnu Khaldun.

3. Syafi'i Mazhab Syafi'i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin

ldris as-syafi'i. Ia wafat pada 767 masehi. Selama hidup Beliau pernah

tinggal di Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak

pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis

dan tradisionalis. Selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan

ijma, Imam Syafl'i juga berpegang pada qiyas. Beliau disebut juga

sebagai orang pertama yang membukukan ilmu usul Fiqih. Karyanya

yang terkenal adalah AI-Umm dan Ar-Risalah. Pemikirannya yang

cenderung moderat diperlihatkan dalam Qaul Qadim (pendapat yang

baru) dan Qaul Jadid (pendapat yang lama). Untuk penyebarannya

mazhab Syafl'i diikuti oleh 495 juta jiwa. Negara-negara dengan

mayoritas pengikut mazhab ini adalah Indonesia, Ethiopia, Malaysia,

Yaman, Mesir, dan Somalia. Murid atau pengikutnya yang terkenal

adalah Imam Ahmad AI Ghazali, lbnu Katsir, lbnu Majah, An

Nawawi, Ibnu Hajar al-'Asqalani, Abu Hasan Al Asy'ari, dan Said

Nursi.

4. Hambali. Mazhab Hambali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin

Muhammad bin Hambal atau dikenal dengan nama Imam Hambali. Ia

wafat pada 855 masehi. Pada masa mudanya beliau berguru kepada

Abu Yusuf dan Imam Syafi'i. Corak pemikirannya tradisionalis, selain

berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijtihad, Beliau juga

menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa. Selain sebagai

seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist. Karyanya yang

terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi SAW.

Mazhab Hambali merupakan mazhab fiqih dengan pengikut

terkonsentrasi di wilayah Teluk Persia dengan jumlah pengikut

sebanyak 41 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak

mazhab ini adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Murid

atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Bukhori, Abdul Qodir

Al Jailani, lbnu Qudammah, lbnu Taimiyah, Ibnu Qaiyyim Al

jauziyyah, Adz-Dzahabi, dan Muhammad bin Abdul Wahab.

Abu Hanifah adalah orang pertama yang sibuk dengan fiqih prediksi,

yakni memaparkan permasalahan yang belum terjadi dan menjelaskan

hukum-hukumnya dengan harapan bila peristiwa itu terjadi maka

hukumnya telah tersedia (As-Sayis, 1996: 142). Dimulai pada abad ke-8

M, sejumlah pakar memberi sumbangan luar biasa kepada disiplin ilmu

fiqih, sehingga merangsang kemunculan berbagai tradisi atau mazhab.

Page 141: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

124

Pakar-pakar terpenting dalam tradisi tradisi Sunni antara lain: Abu

Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i, dan Ahmad

ibn Hanbal, yang dinisbahkan kepada mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‘i,

dan Hanbali (Esposito, 2002:192). Mahzab Hanafi berkembang saat Abu

Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qodli dalam tiga

pemerintahan Abbasiyah, yaitu khalifah al-Mahdi, al-Hadi, dan Harun al-

Rasyid (dengan kitab al-Kharaj disusun atas permintaannya). Mazhab

Malik berkembang atas dukungan al-Mansur di Khalifah Timur dan

Yahya bin Yahya diangkat menjadi qodli oleh para penguasa Andalusia.

Di Afrika, Mu‘iz Badis mewajibkan seluruh penduduk mengikuti

mazhab Maliki. Mahzab Syafi‘i membesar di Mesir setelah Shalahuddin

al-Ayyubi merebut negeri itu. Mazhab Hanbali kuat setelah al-

Mutawakkil diangkat menjadi Khalifah Abbasiyah. Ketika itu,al-

Mutawakkil tidak akan mengangkat seorang qadli kecuali atas

persetujuan Ahmad bin Hanbal (Mubarok, 2000:132-133).

4. Ilmu Sosial/ Sosiologi

Ibnu Khaldun merupakan tokoh Ilmuwan yang hidup pada zaman

dinasti Abbasiyah, prestasi keilmuwannya mencangkup hampir semuan

wilayah ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi sehingga tersemat padanya

sebagai bapak sosiolog Islam. Tak terkecuali sumbangsih keilmuwannya

mencakup bidang pendidikan dan psikologi. Keluarganya berasal dari

Hadramaut dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi yang

bernama Wayl ibn Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu Wayl,

Khalid ibn ‗Utsman, memasuki Andalusia bersama orang-orang Arab

penakluk di awal abad ke-3 H/ 9 M. Anak cucu Khalid membentuk satu

keluarga besar dengan nama Bani Khaldun. Bani Khaldun ini pertama

kali berkembang di kota Qarmunah di Andalusia. Di kota inilah mereka

bertempat tinggal sebelum hijrah ke kota Seville. Di kota ini, anggota

keluarga Bani Khaldun mulai menduduki jabatan penting. Namun, ketika

dinasti Al-Muwahhidun mengalami kemunduran di Andalusia dan

kekuasaannya jatuh ke penguasa Kristen, Bani Hafs pun penguasa Seville

hijrah ke Tunisia. Begitu juga dengan Bani Khaldun. Di sana Abu Bakar

Muhammad (kakek kedua Ibnu Khaldun) diangkat sebagai Gubernur

Tunisia sedangkan anaknya, Muhammad ibn Abi Bakar yaitu kakek

pertama Ibnu Khaldun, diangkat sebagai menteri kehakiman (Yatim,

1997: 139).

Lebih lanjut mengenai Ibnu Khaldun; Dunia mendaulatnya sebagai

Bapak Sosiologi Islam'. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba

bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir

Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint,

Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer

mengagumi pemikirannya. Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood

menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus

sarjana. Dialah Ibnu Khaldun, penulis buku yang melegenda, Al-

Muqaddimah. Ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332

Page 142: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

125

atau 1 Ramadhan 732 H itu memiliki nama lengkap Waliuddin

Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili.

Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (Yaman) yang bermigrasi ke

Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M, setelah semenanjung itu ditaklukan

Islam. Setelah Spanyol direbut penguasa Kristen, keluarga besar Ibnu

Khaldun hijrah ke Maroko dan kemudian menetap di Tunisia. Di kota itu,

keluarga Ibnu Khaldun dihormati pihak istana dan tinggal di lahan milik

dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibnu Khaldun sudah hidup dalam

komunitas kelas atas.

Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam berada diambang

degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah Abbasiyah di ambang

keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad

dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar

tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Guru pertama

Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal

Alquran dan menguasai tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama,

fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Andalusia yang hijrah ke

Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam semua

bidang studi. Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak

usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah penyakit pes yang

menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai

Black Death itu, para ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh

(Maroko).

Ahmad Syafii Ma‘arif dalam bukunya Ibn Khaldun dalam

pandangan Penulis Barat dan Timur memaparkan, di usia yang masih

muda, Ibnu Khaldun sudah menguasi berbagai ilmu Islam klasik seperti

filsafat, tasawuf, dan metafisika. Selain menguasai ilmu politik, sejarah,

ekonomi serta geografi, di bidang hukum, ia juga menganut madzhab

Maliki. Sejak muda, Ibnu Khaldun sudah terbiasa berhadapan dengan

berbagai intrik politik. Pada masa itu, Afrika Utara dan Andalusia sedang

diguncang peperangan. Dinasti-dinasti kecil saling bersaing

memperebutkan kekuasaan, di saat umat Islam terusir dari Spanyol. Tak

heran, bila dia sudah terbiasa mengamati fenomena persaingan keras,

saling menjatuhkan, saling menghancurkan. Di usianya yang ke-21, Ibnu

Khaldun sudah diangkat menjadi sekretaris Sultan Al-Fadl dari Dinasti

Hafs yang berkedudukan di Tunisia. Dua tahun kemudian, dia berhenti

karena penguasa yang didukungnya itu kalah dalam sebuah pertempuran.

Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di Maghrib Tengah (Aljazair). Ia

berupaya untuk bertemu dengan Sultan Abu Anam, penguasa Bani Marin

dari Fez, Maroko, yang tengah berada di Maghrib Tengah. Lobinya

berhasil. Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis ilmu

pengetahuan dan sekretaris sultan setahun kemudian. Ia menduduki

jabatan itu selama dua kali dan sempat pula dipenjara. Ibnu Khaldun

kemudian meninggalkan negeri itu setelah Wazir Umar bin Abdillah

murka. Ia kemudian terdampar di Granada pada 764 H. Sultan Bani

Ahmar menyambut kedatangannya dan mempercayainya sebagai duta

Page 143: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

126

negar di Castilla, sebuah kerajaan Kristen yang berpusat di Seville.

Tugasnya dijalankan dengan baik dan sukses. Namun tak lama

kemudian, hubungannya dengan Sultan kemudian retak.

Dua tahun berselang, jabatan strategis kembali didudukinya.

Penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad mengangkatnya menjadi

perdana menteri sekaligus, khatib dan guru di Bijayah. Setahun

kemudian, Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, gubernur

Qasanthinah (sebuah kota di Aljazair). Ibnu Khaldun lalu hijrah ke

Baskarah. Ia kemudian berkirim surat kepada Abu Hammu, sultan

Tilmisan dari Bani Abdil Wad yang isinya akan memberi dukungan.

Tawaran itu disambut hangat Sultan dan kemudian memberinya jabatan

penting. Iming-iming jabatan itu ditolak Ibnu Khaldun, karena akan

melanjutkan studinya secara otodidak. Ia bersedia berkampanye untuk

mendukung Abu Hammu. Sikap politiknya berubah, tatkala Abu Hammu

diusir Sultan Abdul Aziz. Ibnu Khaldun kemudian berpihak kepada

Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Tak lama kemudian, Tilmisan

kembali direbut Abu Hammu. Ia lalu menyelamatkan diri ke Fez,

Maroko pada 774. Saat Fez jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad,

ia kembali pergi ke Granada buat yang kedua kalinya. Namun, penguasa

Granada tak menerima kehadirannya. Ia balik lagi ke Tilmisan. Meski

telah dikhianati, namun Abu Hammu menerima kehadiran Ibnu Khaldun.

Sejak saat itulah, Ibnu Khaldun memutuskan untuk tak berpolitik praktis

lagi. Ibnu Khaldun lalu menyepi di Qa'lat Ibnu Salamah dan menetap di

tempat itu sampai tahun 780 H. Dalam masa menyepinya itulah, Ibnu

Khaldun mengarang sejumlah kitab yang monumental. Di awali dengan

menulis kitab Al-Muqaddimah yang mengupas masalah-masalah sosial

manusia, Ibnu Khaldun juga menulis kitab Al-`Ibar (Sejarah Umum).

Pada 780 H, Ibnu Khaldun sempat kembali ke Tunisia. Di tanah

kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab Al'Ibar. Empat tahun

kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan

politik di Maghrib. Di Kairo, Ibnu Khaldun disambut para ulama dan

penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia didaulat raja

menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak

lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ibnu

Khaldun sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran

keluarganya mengalami kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi

menjadi dosen di sejumlah madrasah. Setelah menunaikan ibadah haji, ia

kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada

803 H, dia bersama pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus

untuk mengusir Timur Lenk, penguasa Mogul. Berkat diplomasinya yang

luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa bertemu Timur Lenk yang dikenal

sebagai penakluk yang disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur.

Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo dan kembali ditunjuk menjadi

ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808 H di

Kairo. Meski dia telah berpulang enam abad yang lalu, pemikiran dan

Page 144: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

127

karya-karyanya masih tetap dikaji dan digunakan hingga saat ini

(https://republika.co.id, 2017: Akses 2020).

Gagasan mengenai ilmu-ilmu sosial merupakan ciri khas dari Ibnu

Khaldun ia begitu rasional membaca perihal gejala-gejala sosial termasuk

dalam bidang politik. Gagasan Ibnu Khaldun tentang negara yang dikaji

melalui pendekatan sosiologis diilustrasikan dengan sifat alamiah

manusia yang senantiasa hidup berkelompok, saling menggantungkan

diri, dan tidak mampu hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang

lain (zon politicon). Sehingga dari sifat alamiah tersebut serta dibarengi

adanya tujuan yang sama dari masing-masing manusia, kemudian

terbentuklah „ashabiyah di antara mereka. Kesatuan sosial ini terbentuk

sejak mulai dari kelompok terkecil sampai kepada kesatuan kelompok

manusia yang paling besar (Muhammad, 2000: 8). Pendirian lembaga

tersebut pada akhirnya membentuk kekuasaan terpusat pada satu orang

pemegang kepemimpinan, dan memegang penuh atas berjalannya roda

pemerintahan. Kekuasaan yang dipegang seseorang maka dimungkinkan

akan terjadi distorsi dan anomali terhadap kewenangan pemerintah.

Kekuasaan yang begitu besar akan membawa kekuasaan yang

berorientasi untuk mendapatkan kesenangan, kemewahan, dan

kepentingan pribadi (self-interest), sehingga akan berdampak negatif bagi

kelangsungan negara tersebut (Muhammad, 2000: 8). Demikian potret

singkat kehebatan Ibnu Khaldun sebagai sosok Ilmuwan sosial kendati

hidup ketika dinasti Abbasiyah diambang kehancurannya. Hal yang

menarik disoroti yakni risalah-risahan Ibnu Khaldun tentang pendidikan:

Ia menjelaskan bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk

memahami keadaan dengan kekuatan pemahaman melalui perantara

pikirannya yang ada dibalik panca indera. Manusia juga mempunyai

kecenderungan untuk mengembangkan diri dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya sehingga tercapai realitas kemanusiaan dengan pendidikan

yang merupakan hasil pengembangan diri. Dengan hal tersebut akan

membentuk kehidupan masyarakat yang berbudaya dan masyarakat yang

mampu bekerja untuk melestarikan dan meningkatkan kehidupan. Oleh

karena itu, pendidikan merupakan usaha mengembangkan segenap

potensi yang dimiliki manusia (Siregar, 1999: 16). pendidikan adalah

upaya untuk memperoleh suatu kepandaian, pengertian dan kaidah-

kaidah yang baru. Karena setiap diri manusia bisa berubah setiap saat,

setiap kehidupan yang terjadi merupakan proses dari pendidikan yang

besar dan luas (Walidin, 2005: 77). Pendidikan merupakan proses

mentranformasikan nilai-nilai dari pengalaman untuk berusaha

mempertahankan eksistensi manusia dalam berbagai bentuk kebudayaan

serta zaman yang terus berkembang, dan untuk mempertahankan

diperlukan satu kemampuan dan keberanian, berbuat dan bertindak yang

didasarkan kepada pendidikan, pengalaman, pergaulan dan sikap mental

serta kemandirian yang biasanya disebut dengan sumber daya manusia

yang berkualitas (Darmuin, 1999: 16). Menurut (Siregar, 1999: 37)

Pendidikan pada dasarnya adalah proses untuk menghasilkan sesuatu

Page 145: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

128

yang dapat mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia

yang berkualitas tinggi dan mempunyai disiplin tinggi. Rumusan

pendidikan yang dikemukakan Ibnu Khaldun merupakan hasil dari

berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat dan

sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita.

Lebih lanjut bahwasanya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai

dalam proses pendidikan;

Pertama. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam

bidang tertentu. Seseorang pasti mempunyai pengetahuan dan

pemahaman akan tetapi kemahiran tidak dapat dimiliki oleh tiap orang

tanpa adanya usaha untuk mengembangkannya. Untuk memiliki

kemahiran tertentu diperlukan usaha yaitu dengan pendidikan yang

dilakukan dengan cara terus menerus sampai mendapatkan apa yang

diinginkan.

Kedua. Penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan

zaman. Pendidikan seharusnya dipergunakan untuk memperoleh

keterampilan yang tinggi pada profesi tertentu. Hal ini dapat menunjang

kemajuan zaman. Pendidikan seharusnya meletakkan keterampilan

sebagai salah satu tujuan yang akan dicapai, supaya dapat

mempertahankan dan memajukan peradaban sesuai tuntutan kemajuan

zaman.

Ketiga. Pembinaan pemikiran yang baik. Dengan pembinaan

diharapkan dapat mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya, karena

dengan adanya pemikiran yang baik dapat menciptakan peserta didik

yang mampu berpikir secara jernih karena didasarkan pada pengetahuan

dan kemampuan berpikir yang baik (Nizar, 2002: 93-94).

Adapun mengenai hakikat pendidikan Ibnu Khaldur berpandangan

memiliki beberapa aspek yaitu:

Pertama. Tujuan dan tugas manusia Manusia hidup di dunia ini

bukan karena kebetulan saja. Ia diciptakan dengan membawa tugas dan

tujuan hidup tertentu yaitu sebagai Khalifah Allah di muka bumi ini.

Oleh karena itu, manusia diciptakan oleh Allah dengan mempunyai otak

untuk berpikir agar bisa menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi.

Kedua. Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia Konsep tentang

manusia bahwa ia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi ini

dan untuk beribadah kepada Allah. Penciptaan itu dibekali dengan

berbagai macam fitrah manusia yang dimilikinya.

Ketiga. Tuntutan masyarakat Tuntutan ini baik berupa pelestarian

nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu

masyarakat maupun pemenuhan terhadap tuntutan kehidupan dalam

mengantisipasi perkembangan zaman.

Keempat. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Kehidupan ideal

Islam adalah keseimbangan dan keserasian antara hidup duniawi dan

ukhrawi. Adanya keseimbangan antara kehidupan di dunia dan akhirat

dimaksudkan supaya kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal

terhadap pengaruh negatif dari berbagai aspek kehidupan yang menggoda

Page 146: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

129

ketentraman hidup manusia baik yang bersifat spiritual, sosial dan

ekonomi dalam kehidupan pribadi manusia (Langgulung, 1989: 57).

5. Matematika

Matematikawan yang begitu menonjol pada zaman dinasti

Abbasiyah yakni Umar Khayam dan Muhammad bin Musa al-

Khawarizmi; Karena kepandaian dan kecerdasan yang dimilikinya,

mampu mengantarkan al-Khawarizmi masuk pada lingkungan Dar al-

Hukama, yaitu sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan yang didirikan pada masa Bani Abbasiyah oleh Khalifah

Harun ar-Rasyid (Murtiningsih, 2011: 46). Di Barat, terutama di Eropa,

al- Kawarizmi dikenal dengan nama Algorismi atau Algorism (Hitti,

2006: 57).

Karya Khwarizmi dalam bidang matematika tampak lewat karyanya

Hisab al Jabr wal Muqabla dan Kitabul Jama-wat-Tafriq. Kedua kitab

tersebut banyak menguraikan tentang persamaan linear dan kuadrat;

kalkulasi integrasi dan persamaan dengan 800 contoh yang berbeda;

tanda-tanda negatif yang sebelumnya belum pernah dikenal bangsa Arab

dan penjelasan beserta enam contohnya. Khusus dalam Kitabul Jama-

wat-Tafriq yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin Frattati

d'Arithmetica, Khwarizmi menerangkan seluk-beluk kegunaan angka-

angka, termasuk angka nol dalam kehidupan sehari-hari. Sumbangan al-

Khwarizmi dalam ilmu ukur sudut juga luar biasa. Tabel ilmu ukur

sudutnya yang berhubungan dengan fungsi sinus dan garis singgung

tangent telah membantu para ahli matematika Eropa memahami lebih

jauh tentang ilmu ini. Boleh dibilang, karya-karya Khwarizmi

mempengaruhi pemikir dan ilmuwan di masa kemudian seperti Umar

Khayam, Leonardo Fibonacci dari Pisa, dan Jacob dari Florence.

Selain matematika, Khwarizmi dikenal pula sebagai astronom. Di

bawah pengawasan Khalifah Ma'mun, sebuah tim astronom pimpinannya

berhasil menentukan ukuran dan bentuk bundaran bumi. Riset

pengukuran ini dilakukan di Sanjar dan Palmyra. Hasilnya, 56,75 Mil

Arab sebagai panjang derajat meridian. Menurut CA Nallino, ukuran ini

hanya selisih 2,877 kaki dari ukuran garis tengah bumi yang sebenarnya.

Sebuah perhitungan luar biasa yang bisa dilakukan pada saat itu. Dengan

kepandaiannya pula, Khwarizmi menyusun sebuah buku tentang

perhitungan waktu berdasarkan bayang-bayang matahari. Ia juga

menerjemahkan sebuah tabel perhitungan dari India, Sindhata, yang

kemudian diulasnya dengan baik. Dengan memperhatikan tabel tersebut

dan juga sumber-sumber lain, sebuah tabel karyanya sendiri menjadi

perhatian kalangan astronomi di Eropa, terutama setelah diterjemahkan

Adelard dari Bath pada 1126. Tabel ini kelak menggantikan tabel Yunani

dan India, setelah direvisi astronom Spanyol, Majriti. Ilmuwan Cina pun

mengadaptasi tabel ini, termasuk nilai-nilai ilmu ukur sudutnya, serta

fungsi sinus dan tangent. Masih berkait dengan masalah perhitungan,

ternyata Khwarizmi juga seorang ahli ilmu bumi. Bukunya Kitab Surat

Page 147: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

130

al-Ard, menjadi dasar dari ilmu bumi Arab. Naskah itu, hingga kini

masih tersimpan di Strassburg, Jerman. Oleh Abdul Fida, seorang ahli

ilmu bumi terkenal menyebut buku itu sebagai buku yang

menggambarkan bagian-bagian bumi yang dihuni manusia karena dihiasi

secara lengkap dengan peta beberapa bagian dunia. CA Nalino, seorang

penerjemah karya-karya Khwarizmi dalam bahasa Latin menegaskan tak

ada orang Eropa yang dapat menghasilkan karya seperti ini.

Tak hanya menguasai matematika dan astronomi, Khwarizmi juga

dikenal ahli seni musik. Dalam salah satu buku matematikanya, ia

menuliskan pula teori seni musik. Buku itu diterjemahkan oleh Adelard

dari Bath pada abad ke-12 dengan judul Liber Ysagogarum Alchorism.

Pengaruh buku ini kemudian sampai ke Eropa dan sejarawan Philip K

Hitti menyebutnya sebagai perkenalan pertama musik Arab ke dunia

Latin. Banyak pujian yang diberikan para sejarawan dan ilmuwan dari

Eropa kepada karya-karya Khwarizmi. Pujian itu antara lain ditulis

Phillip K Hitti, penyusun The History of The Arabs yang menyebut

Khwarizmi tokoh utama dalam sejarah awal matematika Arab. Di bagian

lain, Hitti menulis karya Khwarizmi, Hisab al Jabr wal Muqabla ini yang

diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada abad ke-12 oleh Gerard dari

Cremona sebagai berikut. "Hingga abad ke-16, buku ini telah digunakan

sebagai buku matematika rujukan berbagai perguruan tinggi di Eropa.

Karya-karya Khwarizmi juga berjasa dalam memperkenalkan angka-

angka Arab atau Algorisme ke dunia Barat." Sejarawan George Santon

begitu memuja Khwarizmi dengan menyebutnya sebagai salah seorang

Ilmuwan terkemuka dari bangsanya dan terbesar pada zamannya. Dengan

meninggalkan karya-karya penting bagi ilmu pengetahuan, khususnya

matematika dan astronomi, Khwarizmi meninggal pada 846 M.

Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al- Jabr wal Muqabalah. Dalam

bahasa Inggris kitab ini dikenal dengan nama "The Compendious Book

on Calculation by Completion and Balancing". Kitab ini merupakan

karya al-Khawarizmi pada abad ke-9 M yang sangat monumental.

Kemudian pada abad ke-12 kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin

oleh Gerard dari Cremona (Ahmad, 2009: 157). Kitab Shurah al-Ardh

(Buku Pemandangan Dunia atau Kenampakan Bumi) yaitu kitab yang

membahas mengenai bentuk bumi yang merupakan kitab yang menjadi

dasar ilmu bumi Arab. Naskah kitab ini disimpan di Strassburg (Jerman),

dalam kitab ini dihiasi peta-peta (Ahmad, 2009: 157).

Smith dan Karpinsk menggambarkan pribadi al-Khawarizmi sebagai

tokoh terbesar pada masa keemasan Bagdad, setelah seorang penulis

Muslim menggabungkan ilmu matematika kla sik Barat dan Timur, lalu

mengklasifikasikan, hingga akhirnya membangkitkan kesadaran daratan

Eropa (Abdurrahman, 2013: 93). Dalam bukunya al-Khawarizmi

memperkenalkan kepada dunia ilmu pengetahuan angka 0 (nol) yang

dalam bahasa arab disebut sifr. Sebelum al-Khawa rizmi

memperkenalkan angka nol, para ilmuwan mem pergunakan abakus,

semacam daftar yang menunjukkan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan

Page 148: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

131

seterusnya, untuk menjaga agar setiap angka tidak saling tertukar dari

tempat yang telah ditentukan dalam hitungan. Akan tetapi, hitungan

seperti ini tidak mendapat sambutan dari kalangan ilmuwan Barat ketika

itu dan mereka lebih tertarik untuk mempergunakan raqam albinji (daftar

angka arab, termasuk angka nol), hasil penemuan al-khawarizmi. Dengan

demikian angka nol baru dikenal dan di pergunakan orang Barat sekitar

250 tahun setelah di temukan al-Khawarizm (Jaudah, 2007: 101).

6. Kedokteran

Pada masa dinasti Abasiyah perkembangan ilmu begitu megah,

menunjukkan bahwa Islam merupakan suatu agama yang betul-betul

memotivasi pemeluknya untuk mengejal ilmu, sebagaimana telah

dikemukakan bahwasanya khususnya pada masa Harun ar-Rasyid dan

putranya al-Ma‘mun perkembangan lembaga pendidikan pesat dibarengi

oleh perkembangan ilmu itu sendiri.

Sumbangan Dinasti Abbasiyah terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan tidak sedikit. Banyak ilmuwan mumpuni dari berbagai

disiplin ilmu yang hidup pada masa dinasti ini. Salah satunya, yakni Abu

Bakr Ar-Razi yang disebut oleh dunia Barat sebagai Razhes.

Cendekiawan yang hidup pada 865- 925 M ini berasal dari Ray, sebuah

kota yang terletak di lembah selatan Dataran Tinggi Al borz. Kota ini

berada di utara Teheran. Ar- Razi tinggal di Ray hingga usia 30 tahun.

Dikutip dari Ensiklopedia Peradaban Islam, semasa kecil, Ar-Razi

menyukai musik. Namun, dia mulai belajar ilmu pengetahuan ketika

remaja. Ar Razi mempelajari filsafat, kimia, matematika, hingga sastra.

Pada usia 30 tahun, dia belajar ke Baghdad. Ar-Razi mendapatkan ilmu

kedokteran dari Ali Ibnu Sahl at-Tabari, seorang dokter sekaligus filosof

asal Merv. Ar-Razi pun dikenal luas sebagai dokter yang pandai.

Ketika penguasa Dinasti Abbasiyah hendak mendirikan rumah sakit

di Baghdad, dia terpilih sebagai ketuanya. Padahal, usia Ar- Razi ketika

itu baru 40 tahun. Dia menyisih kan ratusan dokter terbaik yang menjadi

kandidat posisi tersebut. Khalifah pun meminta Ar-Razi untuk mencari

tempat terbaik untuk rumah sakit. Dia lantas memanggil sejumlah

pembantu nya. Dia meminta mereka menggantungkan sepotong daging

di beberapa tempat yang ditentukan. Setelah digantung beberapa hari, dia

pun berkeliling untuk mengamati tempat mana yang dagingnya paling

lama busuk. Tempat itu menjadi lokasi rumah sakit. Ar-Razi pun dikenal

sebagai guru para dokter. Di rumah sakit, dia menempati se buah ruangan

bersama para muridnya. Mereka akan membentuk lingkaran. Lingkaran

paling luar merupakan murid-murid pemula. Sementara, lingkaran lapis

berikutnya dihuni oleh murid yang lebih berpenga laman. Ar-Razi akan

menyerahkan kepada murid-murid lingkaran luar terlebih dahulu ketika

ada pasien yang datang ke rumah sakit. Ketika mereka kesulitan, akan

dilemparkan ke murid bagian dalam. Demikian seterusnya. Jika bagian

paling dalam tidak juga berhasil, Ar-Razi yang akan turun ta ngan

mengobati pasien tersebut.

Page 149: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

132

Menjadi seorang guru, Ar-Razi pun menulis lebih dari 200 buku.

Karya monumentalnya adalah Al Hawiy. Buku ini menjadi rujukan

dalam bidang kedokteran dan praktik operasi. Al Hawi merupakan satu

dari sembilan buku wajib di fakultas kedokteran di Paris sepanjang abad

ke-14. Al Hawi diterbitkan dalam bahasa Latin pada 1486. Namun,

keberadaannya sudah tidak utuh lagi. Beberapa bagian dari buku ini

tersebar di berbagai perpustakaan dunia. Kitab Al Hawi terbagi menjadi

12 bab. Dalam buku ini, Ar Razi menjelaskan tentang cara pengobatan

pasien dan penyakit (bab 1), cara menjaga kesehatan (bab 2), potensi

obat, gizi dan bahan yang dibutuhkan dalam bidang kedokteran (bab 3).

Ar Razi juga menjelaskan tentang bentuk obat, warna, rasa, dan baunya.

Ukuran dan timbangan. Fisiologi dan kegunaan anggota tubuh hingga

pendahuluan untuk profesi dokter yang terdiri dari dua makalah

(https://republika.co.id, 2019, Akses: 2020).

Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran

terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Al-Nans, dan

Ibn Al-Maiman, Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama

Razes. Ia pernah menjadi dokter istana pangeran Abu Saleh Al-Mansur,

penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter

kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Buku kedokteran

yang dihasilkannya berjudul ―Al-Mansuri‖ (Liber Al-Mansofis) dan ―Al-

Hawi‖ (Fakhry, 1986: 151). Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahawi

(930-1013) atau dikenal di Barat Abuleasis. Dia adalah ahli bedah

terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universias

Cordoba. Dia adalah dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman

III. Sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku

kedokteran dan khususnya masalah bedah. Salah satu dari empat buku

kedokteran yang ditulisnya berjudul Al-Tastil Liman Ajiz‘an Al-Ta‘lif

Ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku ini

digunakan di Eropa hingga abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery

untuk mengendlikan pendarahan. Dia juga menggunakan alcohol dan

lilin untuk menghentikan pendarahan dari tengkorak selama mambedah

tengkorak. Al-Zahawi menulis buku tentang oprasi gigi. Dokter Muslim

yang termasyhur antara lain: Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M)

karyanya: Al-Qanun fi Al-Tibb‘ Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198

zM) karyanya:Al-Kulliyat fi Al-Tibb. -Al-Razi Karyanya : Al-Hawifi al-

Tibb. Ibnu El-Nafis (1208-1288 M) karyanya Mujaz al-Qanun -Ibnu

Wafid al-Lakhan dan Ibnu Tufail (1100-1185 M) tabib yang mengoleksi

tumbuh-tumbuhan (Hitti, 2002: 184).

Pada suatu waktu: Khalifah Abu Ja`far Al-Manshur saat sakit perut

memanggil Ibn Bakhtisyu seorang kepala rumah sakit Jundisyapur

penganut Kristen Nestor. Pada masa Harun Al-Rasyid Ibn Bakhtisyu

mahir ilmu jiwa dalam menentukan penyakit neurotis serta

pengobatannya. Pada masa Al-Mu`tashim terkenal Yahya ibn Masuwaih

sebagai dokter. Para khalifah Abbasiyah bergantung pada dokter Irak,

India dan Yunani. Pada masa Khlifah Al-Watsiq terkenal dokter Ibn

Page 150: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

133

Bakhtisyu, Ibn Musawaih, Mikhail dan Hunyn ibn Ishaq. Khalifah Al-

Watsiq (227-232 H/842-847 M) (Bosworth, 1993: 27), meminta seorang

dokter yang beragama Nasrani Hunayn ibn Ishaq menyusun sebuah buku,

yang menerangkan tentang perbedaan makanan, obat, laktasit, anatomi

tubuh, racun dan obat pelunturnya. Hunayn menulis buku The Book of

Physical Cases (Ibrahim, 1989: 136). Kemajuan kedokteran pada masa

Abbasiyah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: pertama, terjadinya

asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih

dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada

masa ini banyak bangsa non-Arab masuk Islam, dan terjadilah asimilasi

antara bangsa Arab dengan bangsa non-Arab yang memang lebih dahulu

mengalami kemajuan dalam bidang kedokteran yang banyak

berpengaruh dalam hal ini adalah bangsa India karena pada masa itu,

India terkenal akan kemajuan dalam bidang kedokteran. Kedua, gerakan

penerjemahan buku-buku asing yang sering dilakukan pada masa Dinasti

Abbasiyah. Pada periode terakhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah, ilmu

kedokteran terus berkembang meskipun pada saat itu terjadi banyak

konflik. Namun, hal itu tidak mempengaruhi terhadap perkembangan

kedokteran pada masa ini. Hal ini dapat dilihat ketika khalifah Al-

Muntashir Billah yang berkuasa tepat pada masa akhir kekuasaan Dinasti

Abbasiyah mendirikan Madrasah Muntashiriyah pada tahun 1233 yang

hingga saat ini masih tetap berdiri dan menghasilkan banyak ahli

pengobatan (Yatim, 2008: 115).

7. Filsafat Islam

Pada masa dinasti Abbasiyah berkuasa perkembangan ilmu filsafat

pun berkembang khusunya karena kontak dengan dunia luar serta

gerakan penerjemahan karya-karya filsafat Yunani Plato dan Aristoteles

diterjemahkan kedalam bahsa Arab. transmisi filsafat Yunani ke Arab

Islam pada dasarnya adalah suatu proses panjang dan kompleks di mana

ia justru sering banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan teologis para

pelakunya, kondisi budaya yang melingkupi dan seterusnya; termasuk

dalam hal istilah- istilah teknis yang digunakan tidak akan lepas dari

konteks dan problem bahasa Arab dan ajaran Islam. Konsekuensinya,

tugas re- konstruksi sumber-sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak

mungkin selalu diharapkan dalam terjemahan yang jelas ke dalam

sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan

aktivitas yang terjadi di luar teks. Begitu juga perluasan-perluasan,

pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al- Kindi

(801-878 M) sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi

(1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya dapat

dipahami tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang

mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut (Sabra, 1992:

90).

Lebih lanjut, Sejak kelahirannya, filsafat Islam menjadi salah satu

tradisi intelektual penting di dunia Islam. Menurut Ensiklopedi Oxford

Page 151: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

134

Dunia Islam Modern, filsafat Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang

warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada

abad ketiga Hijriah atau abad kesembilan Masehi. Penerjemahan

berlangsung intens ketika Dinasti Abbasiyah memegang kendali

pemerintahan. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, semula mereka

hanya tertarik menerjemahkan naskah ilmu pengobatan Yunani. Tetapi,

ketertarikan mereka juga merambah pada teks-teks filsafat. Perhatian

pada filsafat meningkat pada pemerintahan Khalifah al-Ma‘mun (813-

833), putra Harun al-Rasyid. Berbeda dengan orang Yunani, filsuf Islam

berfokus pada filsafat kenabian. Alquran dan hadis juga menjadi sumber

sentral spekulasi filosofis Islam selama berabad-abad.

Abad awal pertama filsafat Islam ditandai dengan munculnya

sejumlah mazhab. Salah satunya adalah masyasya‘un atau peripatetik.

Mazhab ini merupakan sintesis antara prinsip Islam dan aliran filsafat

Yunani, Arsitotelianisme dan Neoplatonisme. Pendiri mazhab ini adalah

Abu Yaqub al-Kindi. Sejumlah sumber mengungkapkan, Abu al-Abbas

Iransyhari merupakan Muslim pertama yang menuliskan karya filsafat.

Sayangnya, tak ada karyanya yang bertahan. Berbeda dengan al-Kindi

yang karya-karyanya diketahui banyak orang. Dalam mengembangkan

mazhab filsafatnya, ia menghadapi persoalan harmonisasi antara iman

dan akal. Kemudian, muncul Abu Nashr al-Farabi. Sejumlah kalangan

menganggap al-Farabi melebihi al-Kindi. Dan, Ibnu Sina muncul pula

dengan beragam karyanya. Selain adanya filasafat bermazhab, abad-abad

awal perkembangan filsafat Islam juga melahirkan filsuf independen.

Mereka juga berpengaruh. Salah satunya adalah Muhammad bin

Zakariya al-Razi. Selain filsuf, dia dikenal sebagai dokter terbesar setelah

Ibnu Sina. Pada akhirnya, filsafat Islam tak hanya berkembang di

wilayah Arab ataupun Persia, tapi juga di Barat, yaitu Spanyol, diawali

oleh munculnya filsuf bernama Ibnu Masarrah.

Filsuf awal lainnya adalah Ibnu Hazm. Ia merupakan ahli fikih,

teolog, filsuf, dan penulis salah satu karya Muslim pertama mengenai

perbandingan agama. Pada masa selanjutnya, ada nama Ibnu Thufail. Ia

terkenal dengan karya novel filsafatnya dengan judul Hayy ibnu

Yaqzhan. Pada abad ke-16, bersamaan dengan berdirinya Dinasti

Shafawiyah di Persia, dimulailah fase baru dalam filsafat Islam. Ini

berkaitan dengan keberadaan mazhab Isfahan yang didirikan Mir Damad.

Ia mempunyai seorang murid yang sangat terkenal bernama Shadr al-Din

Syirazi, yang biasa dikenal dengan panggilan Mulla Shadra. Mulla

Shadra dan pengikutnya memiliki pengaruh di wilayah Persia, India

Muslim, lingkaran Syiah di Irak. Di India, filsafatnya diajarkan oleh

tokoh ternama pula di antaranya Syah Wali Allah dari Delhi. Pada masa

berikutnya, Jamal al-Din al-Afghani, salah satu murid mazhab Mulla

Shadra, menghidupkan kajian filsafat di Mesir. Di sana, beberapa

cendekiawan mengikuti pemikiran Mulla Shadra, seperti Abd al-

HalimMahmud. Di Pakistan, ada Muhammad Iqbal. Bahkan

diungkapkan, Maulana Maududi, pendiri Jamaat-i-Islami di Pakistan,

Page 152: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

135

pada masa mudanya menerjemahkan sebagian al-Asfar karya Mulla

Shadra ke dalam bahasa Urdu (https://republika.co.id, 2017, Akses:

2020). Dalam hal ini gerakan penerjemahan sangat mempengaruhi

perkembangan filsafat Islam selanjutnya. Terutama ketika zaman

Khalifah al Ma‘mun yang kemudian mendirikan Bait al-Hikmah atau

rumah kebijakan, banyak sudah karya-karya filsafat Yunani klasik yang

diterjemahkan kedalam bahasa Arab yang selanjutnya mempengaruhi

perkembangan filsafat Islam.

Perkembangan ilmu pengetahuan zaman Dinasti Abbasiyah, merupakan

prestasi gemilang umat muslim dibidang budaya intelektualitas dan

perkembangan lembaga pendidikan yang modern yang pengaruhnya sangat

kuat hinggga saat ini. Al-Makmun tampil sebagai khalifah yang begitu masif

mempromosikan Islam sebagai agama yang mencintai perkembangan ilmu

pengetahuan. Keterbukaan dalam pemerintahan Abbasiyah pada masa

khalifah al Makmun sungguh-sungguh nyata Islam menjadi agama yang

kosmopolitan, banyak jurutulis tersebar dalam birokrasi adalah orang

khurosan, kelompok Kristen Nestorian berperan kuat, kelompok minoritas

tertentu seperti Yahudi banyak terlibat dalam urusan perpajakan dan

perbankan, keluarga-keluarga muslim Syi‘ah juga berpengaruh terhadap

kebijakan politik khalifah sebagaimana telah dikemukakan pada bagian

Madrasah Nizamiyah dan Bait Al-Hikmah. al Makmun berusaha mendekati

tokoh aliran Syi‘ah pada saat itu dengan cara menikahi salah satu putrid imam

Ali al Ridlo, Imam Syi‘ah kedelapan dan menyebut Ali al Ridla sebagai

pewaris kekhalifahan sesudahnya (Armstrong, 2002: 89). Adapun faham

keagamaan khalifah al Makmun adalah pengikut aliran Mu‘tazilah dalam

persolan ilmu Kalam. Sebagai sorang intelektual dan negarawan al Makmun

hamper tanpa cela seandainya ia tidak terseret yang terlalu dalam terhadap

rasionalitas Mu‘tazilah dan menjadikannya sebagai faham resmi dalam

kenegaraan pada tahun 212 H/827 M serta membuka sikap fanatisme aliran

yang kemudian membawa dampak adanya peristiwa yang dikenal dengan

Mihnah al Qur‘an yang pada prakteknya memeriksa batin seseorang

mengakui kemakhluqan al Qu‘an atau tidak. Jika tidak maka akan di hukum

berat, praktek inkuisisi ini muncul dimana-mana, dan faham Mu‘tazilah ini

ditentang oleh Aliran ahli hadits yang di komendani Ahmad bin Hambal

(Isma‘il, 2010: 244-245).

Peradaban Islam mencapai puncaknya pada Dinasti Abbasiyah. Dinasti

Abbasiyah merupakan Dinasti yang berkuasa setelah Dinasti Umayyah di

Damaskus runtuh. Setelah keruntuhan Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah

membangun peradaban Islam atas asas ilmu pengetahuan. Selain itu, Dinasti

Abbasiyah pernah menjadikan aliran Muktazilah sebagai aliran resmi negara.

Aliran ini didukung oleh Khalifah al-Makmun anak dari Harun al-Rasyid

(Amin, 1966: 8). Hal ini menimbulkan pengkajian Alquran secara rasional,

karena Muktazilah sendiri mengkaji Alquran sesuai dengan logika. Hal ini

dapat dianggap bahwa ternyata Post Modernisme telah ada jauh sebelum

Bangsa Eropa bangkit. Jika demikian, berarti Dinasti Abbasiyah memiliki

peranan penting dalam perkembangan peradaban dunia, oleh karena para

Page 153: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

136

ilmuwan banyak muncul pada era Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah

sebagai pesaing Dinasti Umayyah tentu ingin membangun peradaban Islam

melebihi Dinasti Umayyah. Sejarah persaingan di antara keduanya sebetulnya

telah dimulai sejak dahulu kala, yakni dimulai dari persaingan Bani Hasyim

dan Bani Umayyah. Persaingan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah

itu sudah berjalan lebih dari seratus tahun sebelum Nabi lahir (Haekal, 2010:

9).

Lebih lanjut, Sejarah menyebutkan bahwa puncak zaman keemasan

Baghdad terjadi selama masa kekhalifahan Harun al-Rasyid (786-809 M.)

Meskipun usianya kurang dari setengah abad, Baghdad pada saat itu muncul

menjadi pusat dunia dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional

yang luar biasa. Baghdad menjadi saingan tunggal bagi Bizantium.

Kejayaannya berjalan seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu

kotanya. Saat itulah Baghdad menjadi kota yang tidak ada bandingannya di

sekitar Jazirah Arab (Hitti, 2010: 375). Istana kerajaan dengan bangunan-

bangunan tambahan untuk para harem, pembantu laki-laki dan pejabatpejabat

khusus menempati sepertiga Kota Lingkaran itu. Bagian yang paling

mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi dengan karpet, gorden

dan bantal terbaik dari Timur (Hitti, 2010: 375). Gerakan intelektual itu

ditandai oleh proyek penerjemahan karyakarya berbahasa Persia, Sansekerta,

Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri

tentang ilmu pengetahuan, filsafat, atau sastra yang tidak terlalu banyak.

Orang Arab Islam yang memiliki keingintahuan yang tinggi dan minat belajar

yang besar segera menjadi penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa

yang lebih tua dan berbudaya yang mereka taklukkan atau yang mereka temui

(Hitti, 2010: 239). Selain dari itu Khalifah Abu Jafar al-Manshur membangun

perpustakaan Baitul Hikmah yang begitu mahsyur, merupakan salah satu

perpustakaan yang amat terkenal dan berkelas dunia. Perpustakaan tersebut

mencerminkan peranan ilmu di dunia tanpa dapat diketahui batasannya, dan

salah satu perbendaharaan ilmiah yang paling bernilai dalam pemikiran Islam

di era klasik Dinasti Abbasiyah. Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan

yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Instuisi

ini merupakan kelanjutan dari instuisi yang serupa di masa imperium Sasania

Persia yang bernama Jundi Shapur Academy. Perbedaannya, pada masa Persia

institusi ini hanya menyimpan puisi - puisi dan cerita-cerita untuk raja,

sedangkan pada masa Abbasiyah (Harun Al-Rasyid) instutusi ini diberi nama

Khizanah al-Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat

penelitian (Sodiqin, 2002: 105). Perhatiannya yang tinggi terhadap

pengembangan ilmu pengetahuan dan usaha penting Harun Al-Rasyid,

membawa namanya ke puncak kemasyhuran adalah Peradaban Islam dengan

taraf yang belum pernah dicapai sebelumnya. Ia mendirikan beberapa

lembaga pendidikan, seperti Bait al Hikmah, Majelis al Muzakarah, lembaga

pengkajian masalah-masalah keagamaan, rumah-rumah, masjid, istana

khalifah dan rumah sakit (Suwito,2005:101).

Page 154: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

137

BAB VI

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Semenjak kemunculannya agama Islam di Makkah sekitar abad ke 7

Masehi, secara umum telah mengubah peradaban manusia khususnya di

wilayah Semenanjung Arab yang semula jahiliyah (jauh dari ilmu

pengetahuan) menjadi terang benderang—sangat dekat dengan ilmu bahkan

dikemudian hari orang-orang Islamlah sebagai pewaris ilmu baik ilmu yang

berkembang di Timur maupun di Barat khususnya Yunani. Islam muncul

sebagai agama yang membawa ajaran komprehensif baik dari sisi sosial,

politik, budaya, maupun ekonomi. Khususnya dalam bidang pendidikan dan

ilmu dimana Islam hadir sebagai agama yang mendukung kemajuan dan

perkembangannya. Seperti yang dibahas dalam tulisan ini mengenai

Semangat Ilmuan Muslim dalam Pengembangan Institusi Pendidikan

Madrash Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti

Abbasiyah, menjelaskan perkembangan lembaga pendidikan dan

perkembangan ilmu pengetahuan kala itu.

Adapun sejarah kemunculan Dinasti Abbasiyah tidak terlepas dari

konflik internal pada kalangan pembesar-pembesar Islam itu sendiri—Dinasti

Abbasiyah muncul sebagai antitesis dari Dinasti Bani Umayyah, pendiri

Dinasti Abbasiyah yakni Abbul Abbas Al- Saffah yang merupakan keturunan

Bani Abbas, yang memiliki garis keturunan langsung paman Nabi

Muhammad SAW. Nama lengkapnya ialah Abdullah al-Saffah Ibn

Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas, ia dilahirkan di Humairah

pada tahun 104 H. Ia resmi menjadi kalifah pada tangal 3 Rabiul awwal 132

H. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M—cukup

lama sehingga Dinasti Abbasiyah merupakan fenomena khusus tentang

kejayaan Islam pada zaman klasik.

Secara umum berdirinya Dinasti Abbasiyah yang selanjutnya mengakhiri

Dinasti Umayyah merupakan reaksi kaum muslimin terhadap perkembangan

sosial ekonomi di antaranya mereka menganggap bahwa para penguasa

Umayyah sering melakukan tindakan tidak terpuji yang tidak sesuai dengan

ajaran Islam salah satunya yakni kasus korupsi, selain dari itu secara umum

kaum muslimin memandang bahwa kelompok Bani Umayyah terlalu pro

Barat atau dengan kata lain Bani Umayyah sekuler. Di samping itu Bani

Umayyah dipandang memiliki madzhab tertentu khusunya Syi‘ah dan

Khawarij, begitu pula dengan kaum Mawali (yang kala itu orang-orang baru

masuk Islam mereka mayoritas dari Persia). Mereka merasa diperlakukan

tidak adil dengan kelompok Arab dalam hal pembebanan pajak yang terlalu

tinggi, kelompok inilah yang mendukung revolusi Abbasiyah.

Pada periode pertama secara umum merupakan periode pengaruh Persia

pertama. Disebut demikian sebab pada periode ini terdapat sebuah keluarga

bangsawan Persia yang sangat berpengaruh dalam penggerakan roda

pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yakni keluarga Barmak. Pada periode

Page 155: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

138

pertama, dapat disimpulkan sebagai masa kejayaan dan keemasan bagi Dinasti

Abbasiyah. Kendati demikian bibit atau cikal-bakal dari kemunduran Dinasti

ini sudah mulai tumbuh pada masa periode awal ini. Yaitu saat terjadinya

perang saudara antara khalifah al-Amin dan khalifah al-Ma‘mun, ditambah

terjadinya kemerosotan ekonomi. Khilafah Abbasiyah juga mengalami

kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang

politik, telah terjadi pula timbulnya konflik keagamaan. Adanya fanatisme

dalam beragama sangat lekat kaitannya dengan permasalahan kebangsaan.

Pada periode Abbaasiyah, adanya konflik dalam tubuh pemerintahan Bani

Abbasiyah menjadi isu yang sangat kuat seahingga menimbulkam

perpecahan. Adanya berbagai macam aliran keagamaan seperti Mu‘tazilah,

Syi‘ah, Ahlus Sunnah, begitu pula dengan Perang Salib yang terjadi pada

masa pemerintahan Bani Abbasiyah termasuk salah satu sebab kemunduran

dari Daulah Bani Abbasiyah secara eksternal. Puncaknya serangan Bangsa

Mongol. Tubuh pemerintahan yang kian melemah serta penguasa yang sudah

tidak memiliki kekuatan berarti, membuat Dinasti Abbasiyah mudah

dikalahkan oleh pasukan Mongol yang brutal yang berujung musnahnya

kemegahan yang telah dibangun Dinasti Abbasiyah tersebut. Begitulah potret

secara histori mengenai berdirinya, perkembangan serta kehancuran Bani

Abbasiyah.

Manusia hidup bersamaan dengan sejarah yang terus berkembang,

Dinasti Abbasiyah telah berhasil meletakan pondasi yang kokoh terhadap

perkembangan pendidikan dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

yang berkembang dan menyentuh seluruh peradaban umat manusia baik itu

pada kalangan Islam itu sendiri maupun pada kalangan di luar Islam dalam hal

ini ialah perkembangan ilmu pengetahuan Barat.

Ditandai dengan munculnya proyek-proyek intelektual yakni

penerjemahan karya-karya berbahasa asing di antaranya; Persia, Sanskerta,

Suriah, khususnya yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab tambah pula

pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan yaitu Bait al-Hikmah

dan terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai

buah dari kebebasan berpikir, maka hal inilah yang kemudian penting digali

guna dijadikan referensi untuk perkembangan peradaban pendidikan dan

intelektualitas Islam pada zaman Abbasiyah. Dalam hal ini para guru pun

muncul sebagai bukti dari perkembangan intelektual dan institusi pendidikan

umat Islam.

Secara umum institusi pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa

Bani Abbasiyah dapat dikategorikan, lembaga pendidikan sebelum madrasah

dan Madrasah. Lembaga pendidikan sebelum madrasah pertama Maktab/

Kuttab Adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang diajarkan

adalah khat, kaligrafi, al-quran, akidah, dan syair. Kedua, halaqah artinya

lingkaran. Halaqah merupakan institusi pendidikan Islam setingkat dengan

pendidikan tingkat lanjutan atau college. Sistem ini merupakan gambaran

tipikal dari murid-murid yang berkumpul untuk belajar pada masa itu. Ketiga,

majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi

keilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya.

Page 156: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

139

Ada 7 macam mejelis, yaitu: (1) majelis al-Hadis; (2) majelis al- Tadris; (3)

majelis al-Munazharah; (4) majelis al-Muzakarah; (5) majelis al- Syu‟ara;

(6) majelis al-Adab; dan (7) majel al-Fatwa. Empat, masjid merupakan

institusi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa nabi. Lima, Khan.

Berfungsi sebagai asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran

agama antara lain fikih. Enam, ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang

ingin menjauh dari kehidupan duniawi untuk mengonsentrasikan diri

beribadah semata-mata. Tujuh, rumah-rumah ulama, digunakan untuk

melakukan transmisi ilmu agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain

perdebatan ilmiah. Delapan, toko buku dan perpustakaan, berperan sebagai

tempat transmisi ilmu dan Islam. Di Baghdad terdapat 100 toko buku.

Kesembilan, observatorium dan rumah sakit sebagai tempat kajian ilmu

pengetahuan dan filsafat Yunani dan transmisi ilmu kedokteran.

Lembaga pendidikan selanjutnya Madrasah. Madrasah telah muncul dan

menampakan eksistensinya semenjak awal masa kekuasaan Islam Bani

Abbasiyah yang paling terkenal dan fenomenal ialah Bait al-Hikmah,

merupakan institusi pendidikan tinggi atau perpustakaan Islam pertama yang

dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al-Makmun yang terkenal sebab

kecintaannya terhadap ilmu khususnya risalah-risalah filsafat Yunani. Institusi

yang mengukir sejarah baru dalam peradaban Islam dengan konsep

multikultural dalam pendidikan, karena subjek toleransi, perbedaan etnik

kultural, dan agama sudah dikenal dan merupakan hal biasa sehingga Islam

muncul sebagai entitas besar yang dibimbing oleh ilmu. Selain Bait al-

Hikmah ada pula Nizhamiyah berkembang di berbagai wilayah kota utama

daerah kekuasaan Saljuk. Madrasah Nizhamiyah merupakan prototype awal

bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam

penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi

pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem

asrama. Lebih lanjut Pemerintahan Bani Abbasiyah betul-betul eksis dalam

pengelolaan ilmu pengetahuan hal tersebut dapat teramati dengan adanya

konsep perpustaan pada masa itu yakni Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah

secara khusus merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat

pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam perkembangannya Instuisi ini

merupakan kelanjutan dari instuisi yang serupa di masa imperium Sasania

Persia yang bernama Jundishapur Academy. Perkembangan lembaga

pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah berbanding lurus dengan

perkembangan ilmu dan intelektualitas Islam. Dapat disebutkan sebagai

berikut Ilmu Hadis, Pada masa itu bermunculan ahli-ahli hadis yang besar dan

terkenal beserta hasil karyanya, antara lain: Imam Bukhari, Abu Dawud,

Imam Muslim dan Ibnu Majah. Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang

menjelaskan tentang makna/kandungan ayat Al-Qur‘an, Abu Jarir at-Tabari

dengan tafsirnya Al-Qur‘anul Azim sebanyak 30 juz. Abu Muslim

Muhammad bin Bahr Isfahany (mu‘tazilah), tafsirnya berjumlah 14 jilid. Ilmu

Fikih. Filsafat Islam diantara Ilmuwannya yang terkenal Al-Kindi, Al Farabi,

Ibnu Rusyd, Ibnu Sina. Begitu pula kedokteran pada masa Dinasti Abbasiyah

mengalami perkembangan dan kemajuan, khususnya tatkala pemerintahan

Page 157: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

140

Harun ar-Rasyid dan khalifah-khalifah besar sesudahnya. Matematika. Para

tokohnya antara lain Al-Khawarizmi, Umar Khayam. Astronomi berkambang

diantara ilmuwannya Abu Mansur al-Falaqi, Jabir al-Batani. Ahli kedokteran

Muslim Ilmuwan yang tersohor diantaranya Hunain Ibnu Iskak, Ibnu Sina.

Ahli sejarah diantara Ilmuwannya Ibnu Qutaibah, At-Thabari, Ibnu Khaldun.

Ahli fikih yang memiliki nama harum diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam

Malik Bin Anas, Imam Syafii, Imam Hambali. Berdasarkan hal tersebut

menandakan bahwa perkembangan lembaga pendidikan memacu kaum

muslimin menjadi para Ilmuwan.

a. Dari uraian diatas, penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa secara umum

institusi pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa Bani Abbasiyah

dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan sebelum madrasah dan

Madrasah. Adapun lembaga pendidikan sebelum madrasah di antaranya:

1. Maktab/ Kuttab (institusi pendidikan dasar)

2. halaqah artinya lingkaran (merupakan institusi pendidikan Islam

setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college)

3. Majelis / Salon Kesusastraan

4. Masjid

5. Khan (asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama

antara lain fikih)

6. Ribath (tempat kegiatan kaum sufi)

7. Rumah-rumah ulama

8. Toko buku dan perpustakaan

9. Observatorium dan rumah sakit.

Sedangkan lembaga pendidikan yang termasuk madrasah adalah bait al-

Hikmah dan Madrasah Nizhamiyah.

b. Faktor-faktor yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan pada masa

Dinasti Abbasiyah:

1. Faktor Politik yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan

Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah

2. Faktor Ekonomi yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan

Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah

3. Faktor Sosial Budaya yang Mendorong Pertumbuhan dan

Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah.

c. Hubungan institusi pendidikan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah terhadap

perkembangan sosial keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan yaitu

Hubungannya sangat erat sekali dan menguatkan untuk kemajuan

perkembangan sosial keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Terbukti dengan adanya institusi-institusi pendidikan yang dibangun oleh

khalifah Abbasiyah dan perhatian khalifah terhadap para ilmuan.

d. Pada masa Dinasti Abbasiyah kehidupan peradaban Islam sangat maju,

sehingga pada masa itu dikatakan sebagai jaman keemasan Islam

e. Berdasarkan catatan sejarah dimana popularitas pemerintahan Dinasti

Abbasiyah mencapai puncaknya atau masa kejayaannya ketika

pemerintahan berada di bawah kekuasaan khalifah Harun Al-Rasyid (786-

Page 158: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

141

809 M), dan penerusnya yakni Al-Ma‘mun (813-833 M). Kondisi

kakhalifahan Abbasiyah kala ini masyarakat terjamin kesejahteraan,

kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesusantraan, dan kebudayaan

mengalami zaman keemasan. Pada masa inilah yang kemudian difahami

sebagai zaman keemasan negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara

terkuat yang tidak tertandingi sebab ketahanan negara baik eksternal

maupun internal yang terjamin dan kokoh.

B. Imfilakasi

Dari awal kemunculannya, Islam terlahir ditengah-tengah masyarakat

jahiliyah kala itu, kemudian islam bertumbuh sebagai agama yang menjunjung

tinggi nilai-nilai keilmua sehingga Islam dapat membebaskan masyarakat

jahiliyah Makkah ke masyarakat yang terang benderang (tersinari oleh caha ilmu

pengetahuan). Dalam hal ini perkembangan ilmu pengetahuan dan

penyebarannya kesegala penjuru dunia bagi umat muslim dan begitu pula Islam

sebagai agama tidak hanya mengorientasikan ajarannya dalam kehidupan ritual

belaka, akan tetapi mengorientasikan pula pada berbagai bentuk pengajaran,

bimbingan, serta memberikan rambu-rambu berupa aturan ke segala aspek

kehidupan dan peradaban umat manusia termasuk dalam bidang pendidikan dan

lembaga pendidikan itu sendiri.

Para pemeluk Islam secara berangsur-angsur telah berhasil mendirikan

hingga membentuk sebuah kerajaan besar yang kokoh yang kemudian dikenal

sebagai dinasti Abbasiyah atau kekhalifahan Abbasiyah itu, adapun wilayahnya

terbentang luas mencakup jazirah Arabia, sebagian benua Afrika, Asia pun

dikuasai, begitu pula dengan bumi belahan Eropa hal tersebut terjadi bermula

pada abad ke-7 Masehi hingga pada abad 12 M Masehi yang merupakan

penguasaan yang begitu relatif panjang. Kemunculan Dinasti Abbasiyah dalam

konteks kejayaan umat Muslim dimana Islam sebagai pengusung kejayaan

tersebut. Bermula dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah itulah hingga terlahirnya

konsep pendidikan yang mapan dan tumbuhnya perkembangan ilmu sehingga

para pengajar muslim berkembang dengan pesat dan tersebar di seluruh Negara

khusunya yang berhaluan Islam. Hal inilah yang membidangi terlahirnya

sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah hingga perpustakaan-perpustakaan

yang tersebar di seluruh negeri berpenghuni pemeluk Islam baik yang tersebar di

kota maupun di pelosok desa-desa. Anak-anak maupun para pemuda,

meninggalkan kampung halamannya menuju pusat-pusat pendidikan demi untuk

belajar bersekolah guna menuntut ilmu pengetahuan setinggi mungkin.

Dinasti Abbasiyah merupakan tak lain suatu Dinasti yang berkuasa setelah

berhasil mengalahkan Dinasti sebelumnya yakni; Dinasti Bani Umayyah kala itu.

Dalam hal ini dimana nama dari Dinasti Abbasiyah berasal dari nama pendirinya

yakni Abbul Abbas Al- Saffah yang merupakan keturunan dari Bani Abbas,

paman Nabi Muhammad SAW. Nama lengkapnya yakni Abdullah al-Saffah Ibn

Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas, ia dilahirkan kala itu di wilayah

Humairah pada tahun 104 Hizriyah dan resmi menjadi khalifah tepatnya di

tanggal 3 Rabi‘ul awwal pada tahun 132 Hizriyah. Adapun kekuasaan Dinasti ini

berlangsung cukup lama dari tahun 750-1258 Masehi, penguasaan yang boleh

Page 159: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

142

dibilang relatif panjang dan mengalami masa keemasan ditandai dengan

berkembang pesatnya lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah dan

perpustakaan; yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi

perkembangan ilmu pengetahuan kala itu, sehingga Islam mencerminkan sebuah

agama dengan motivasi keilmuan yang tiada duanya kala itu. Di antara lembaga-

lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa dinasti Abbasiyah tersebut

adalah:

1. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar sewaktu agama Islam diturunkan

Allah sudah ada di antara para sahabat yang pandai tulis baca. Kemudian

tulis baca tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat dalam

Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam. Kepandaian tulis

baca dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang

peranan penting dikarenakan dari awal pengajaran alqur‘an juga telah

memerlukan kepandaian tulis baca, karena tulis baca semakin terasa perlu

maka kuttab sebagai tempat belajar menulis dan membaca, terutama bagi

anak-anak berkembang dengan pesat.

2. Pendidikan rendah di istana, Pendidikan rendah di istana muncul

berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan

anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia

dewasa. Atas pemikiran tersebut khalifah dan keluarganya serta para

pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan pendidikan rendah ini agar

anak-anaknya sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan

tugas-tugas yang akan diembannya nanti. (Zuhairini, 2004:92).

3. Toko-toko kitab, Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam

yang semakin pesat terus diikuti dengan banyak buku-buku yang dibuat

dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka

banyaklah toko-toko yang berdiri yang menyediakan buku-buku yang telah

dibuat oleh para penulis buku. Sehingga menjadi lahan ekonomi juga bagi

para pedagang.

4. Rumah-rumah Para Ulama. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan

penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum.

Pelaksanaan kegiatan belajar di rumah pernah terjadi pada awal permulaan

Islam, Rasulullah Saw misalnya pernah menggunakan rumah al-Arqam (Dar

al-Arqam) bin Abi al-Arqam sebagai tempat belajar dan mengajar tentang

dasar-dasar agama yang baru serta membacakan ayat-ayat al-qur‘an yang di

turunkan. Dan pada masa Abbasiyah di antara rumah-rumah para ulama

yang digunakan sebagai lembaga pendidikan, rumah yang sering digunakan

untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-Rais Ibn Sina; sebagian ada yang

membaca kitab al-Syifa‘ dan sebagian lain membaca kitab al-Qanun.

(Abuddin Nata, 2011:156-157).

5. Majelis atau Salon Kesusastraan. Majelis atau salon kesusastraan adalah

sebuah majelis khusus yang dibangun oleh khalifah Harun al-Rasyid, dan

dipergunakan sebagai sarana atau tempat untuk membahas berbagai macam

ilmu pengetahuan. Pada masa itu, yaitu masa khalifah Harus al-Rasyid,

majelis sastra ini sangat diminati dan mengalami kemajuan yang gemilang,

karena Harun al-Rasyid sendiri adalah salah seorang yang mahir dan ahli

Page 160: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

143

dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan beliau juga seseorang yang

cerdas, maka beliau juga terjun aktif dalam mengisi kajian di majelis

tersebut. Bahkan pada masa beliau juga sering diadakan perlombaan antara

ahli-ahli syair, debat antar fuqaha serta sayembara bagi ahli kesenian dan

pujangga. (Suwito, 2008:103).

6. Badiah. Badiah merupakan dusun-dusun tempat tinggal orang Arab yang

mana mereka tetap konsisten mempertahankan keaslian dan kemurnian

bahasa Arab. Mereka sangat memperhatikan kefasihan atau artikulasi yang

baik dan benar dalam berbahasa Arab dan memelihara kaidah-kaidah tata

bahasanya. Biasanya para khalifah mengirim anak-anaknya ke badiah untuk

mempelajari bahasa Arab murni serta syair-syair sastra Arab dari sumber

yang terpercaya. Bukan hanya anak-anak, para ulama serta ahli ilmu juga

datang ke badiah untuk belajar, karena fungsi badiah juga sebagai lembaga

pendidikan Islam.

7. Rumah Sakit. Untuk mewujudkan kesejahteraan para khalifah dan

pembesarpembesar Negara pada masa ini, banyak mendirikan rumah-rumah

sakit, rumah-rumah sakit tersebut selain sebagai tempat merawat dan

mengobati orang-orang sakit juga berfungsi sebagai tempat untuk mendidik

tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan serta

tempat untuk mengadakan berbagai penelitian dan percobaan (praktikum)

dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembanglah ilmu

kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi. Dengan demikian rumah

sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.

(Zuhairini, 2004: 97).

8. Perpustakaan dan Observatorium. Dalam rangka mengembangkan ilmu

pengetahuan yang terjadi pada masa Abbasiyah, maka didirikanlah

perpustakaan dan observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah

lainnya. Pada lembaga ini, para penuntut ilmu diberikan kesempatan untuk

belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuannya. Tempat-tempat ini juga

digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti yang luas, yaitu

belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang

umumnya dipahami, melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada

aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan cara memecahkan

masalah, eksperimen, belajar sambil bekerja (learning by doing), dan

inquiry (penemuan). (Abuddin Nata, 2011:161). Kegiatan belajar yang

demikian ini dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-

lembaga pusat kajian ilmiah.

9. Madrasah. Madrasah muncul pada masa dinasti Abbasiyah sebagai

kelanjutan dari pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di

masjid-masjid dan tempat lainnya, selain minat masyarakat yang semakin

meningkat untuk mempelajari ilmu pengetahuan juga semakin

berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan untuk

mengajarkannya diperlukan guru yang lebih banyak, sarana dan prasarana

yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi yang lebih teratur. Untuk

menyelesaikan semua keperluan ini dibutuhkan suatu lembaga yang bersifat

formal, yaitu: madrasah.

Page 161: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

144

Hal tersebut memberikan warna dan bukti bahwasanya kala Dinasti

Abbasiyah berkuasa semangat ilmuan muslim berkembang sebagai kekuatan

intelektualitas yang paling berpengaruh di dunia.

Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni

dengan kebangkitan madrasah. Secara tradisional sejarawan pendidikan Islam,

seperti Munir ad-Din Ahmed, George Makdisi, Ahmad Syalabi dan Charles

Michael Stanton menganggap, bahwa madrasah pertama kali didirikan oleh

Wazir Nizam al-Muluk pada 1064; madrasah ini kemudian terkenal sebagai

Madrasah Nizam al-Muluk. Akan tetapi, penelitian lebih akhir, misalnya yang

dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih

tua di kawasan Nishapur, Iran. Pada tahun 400/1009 terdapat madrasah di

wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah; yang

tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abu Ishaq Ibrahim ibn

Mahmudi di Nishapur (Azra, 1999: viii).

Dengan berdirinya suatu madrasah tak lain merupakan awal tonggak sejarah

baru dalam hal penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan dalam Islam serta

guna membedakannya era pendidikan ketika Islam sebelumnya. Dimana

Madrasah Nizhamiyyah inilah merupakan salah satu dari madrasah yang

terbilang khas dan terkenal ketika Bani Saljuk berkuasa di lingkungan Dinasti

Abbasiyah. Para pendidik di dalam Madrasah Nizhamiyah pun tak lain

merupakan para pendidik berkompeten dalam bidang keilmuannya masing-

masing. Madrasah Nizamiyah telah menjadi salah satu fenomena amat menonjol

dimulai dari abad 11 sampai dengan abad 12 M atau abad 5 H, dalam hal ini

khususnya kala itu seorang wazir dari kalangan Bani Saljuk, yakni Nizham al-

Muluk, ia mendirikan suatu madrasah Nizhamiyah di wilayah Baghdad sebagai

pusat dari pemerintahan kala itu. Walaupun bukan berarti ia orang pertama yang

mendirikan madrasah, kendati ia memiliki jasa dalam hal mempopulerkan

pendidikan madrasah bersamaan dengan reputasinya sebagai kewaziran. selain

itu dimana lembaga madrasah telah dianggap prototype pada awal lembaga

pendidikan tinggi dan setelahnya itu. Menimbang hal tersebut bahwasanya

lembaga pendidikan madrasah tak lain merupakan salah satu dari kekhasan

lembaga pendidikan tinggi bercorak Islam, merupakan lembaga pendidikan yang

tergolong resmi yang mana di sini pemerintah secara langsung terlibat di dalam

pengelolaannya. Seperti halnya Madrasah Nizhamiyah, seperti yang telah

disebutkan pemerintah secara langsung terlibat di dalam pengeloalaanya tersebut.

Besarnya peran serta pihak pemerintah bagi Madrasah Nizhamiyah tersebut,

sehingga kesejahteraan kehidupan para guru lebih meningkat keterjaminannya,

dan tidaklah akan mengalami kendala dengan masalah keuangan dalam

keluarganya (Siregar, 2015: 81-82). Berdasarkan kajian literatur Madrasah

Nizamiah dalam pendiriannya berhubungan dengan Bani Saljuk karenanya

penting diulas hal tersebut. Selain madrasah-madrasah yang kemudian

merangsang semangat ilmuan muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan

terdapat pula perpustakaan yang paling terkenal yakni Bait al-Hikmah;

Pemerintahan Bani Abbasiyah betul-betul eksis dalam pengelolaan ilmu

pengetahuan hal tersebut dapat teramati dengan adanya konsep perpustakaan

pada masa itu yakni Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah tak lain berfungsi sebagai

Page 162: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

145

perpustakaan dan berfungsi pula sebagai lembaga yang pengembangan bidang-

bidang ilmu berbagai jenis keilmuan. Adapun lembaga tersebut merupakan

bentuk kelanjutan jenis institusi serupa ketika imperium besar Sasania Persia juga

memiliki lembaga yang disebut Jundishapur Academy. Namun memiliki

perbedaan ketika masa Persia dimana institusi inilah yang menyimpan berbagai

karya puisi-puisi juga cerita-cerita yang diperuntukkan para Raja kala itu, begitu

juga ketika Dinasti Abbasiyah kala Harun Al- Rasyid berkuasa dimana instutusi

inilah yang kemudian bernama Khizanah al-Hikmah berfungsi perpustakaan dan

merupakan pusat dari penelitian. Ketika al-Makmun berkuasa diubah

pernamaanya yaitu Bait al-Hikmah yang kemudian diperuntukkan sebagai

penyimpan buku-buku lama (kuno) yang semula didapatkan dari bangsa Persia,

Bizantium, bahkan Etiopia serta India (Abdurrahman, 2002: 126).

C. Saran

Berdasarkan kesimpulan, dan implikasi tersebut, maka dapat ditarik suatu

saran atau rekomendasi, adapun rekomendasi tersebut dapat disimak berikut ini:

1. Lembaga pendidikan Islam berupa madrasah dan perpustakaan haruslah

dikembangkan secara terus menerus sebab hal itulah yang dapat memotivasi

semangat keilmuan ilmuan muslim, sehingga tanpa adanya madrasah dan

perpustakaan yang kokoh keberadaan ilmu pengetahuan tidaklah dapat

berkembang secara maksiman.

2. Lembaga pendidikan Islam harus didukung oleh kekuatan pemerintah,

sebagaimana yang terjadi pada zaman Dinasti Abbasyiah; dengan

keterlibatan negara dalam pembangunan lembaga pendidikan Islam akan

melahirkan lembaga pendidikan yang kokoh sebab ditopang oleh peraturan

yang formal dan resmi serta dengan pembiayaan yang dapat dipergunakan

demi kemajuan ilmu pengetahuan tersebut.

3. Pertumbuhan pesatuan pada diri umat Islam perlulah diperkuat secara nyata,

sebab persatuan merupakan modal dasar untuk menciptakan kondisifitas

keberlangsungan perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat memotivasi

para ilmuan muslim untuk terus berkarya sesuai dengan bidang keilmuannya

masing-masing

Demikianlah rekomendasi pada tulisan ini, adapun kiritik dan sarannya

sangatlah penulis tunggu sebab melalui hal tersebut perbaikan dapat dilakukan.

Page 163: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf
Page 164: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

147

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: LESFI.

---------------------------- . 2003. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga

Modern, Yogyakarta: LESFI

Abdurrahman, M. Yusuf. 2013. Cara Belajar Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pencetus

Sains-Sains Canggih Modern. Yogyakarta: Diva Press

Abdurrahman, M. Yusuf. 2003. Islam Pribumi. Jakarta: Erlangga

Abdurrahmansyah. 2005. Wacana Pendidikan Islam, Khazanah Filosofis dan

Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan

Moralitas. Yogyakarta: Global Pustaka Utama

Abdul, Karim M. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:

Pustaka Book Publisher

Abdullah, Taufik. 2003. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam 2. Jakarta: PT Ichtiar

Baru Van Hoeve

.

Amin, Ahmad. 1966. Dhuha al-Islam III. Cairo Mesir, al-Nahdhah al-Mishriyah

Ahmad, Jamil. 1996. Seratus Muslim Terkemuka. Cet. VI. Jakarta: Pustaka Firdaus

-----------------. 2009. Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka Firdaus

Ahmad, Entus Riyadhy. 2015. Madrasah Nizhamiyah Pengaruhnya terhadap

Perkembangan Pendidikan Islam dan Aktivitas Ortodok Sunni. UIN

Sunan Gunung Djati BandungJ URNAL TARBIYA Volume: 1 No: 1 -

2015 (127-138)

Ahmad, Jamil. 1996. Seratus Muslim Terkemuka terj. Hundred Great Muslims.

Jakarta: Pustaka Firdaus

Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Surabaya: Bulan

Bintang

Aibak, Kutbuddin. 2009. Teologi Pembacaan : Dari Tradisi Pembacaan Paganis

Menuju Rabbani, Yogyakarta: Teras

Ali, K. 1996. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi. Jakarta:

Raja Grafindo Persada

Page 165: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

148

Al-Abrasyi, M. Athiyah. 1986. Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa falsafatuha, Kairo :

Maktabah I sa al Babi al-Halabi

Al-Ghazali. 2005. al-Munqidz min al-Dhalal, tahkik ‗Abdul Halim Mahmud alih

bahasa Abdul Munip. Yogyakarta: Mitra Pustaka

Al-Maududi, Abu A‘la. 1996. Khilafah dan Kerajaan. Cet. VI. Bandung: Mizan

Al-Syaibani, Oemar Muhammad Al-Syaibani. 1979. Falsafah Pendidikan Islam.

Jakarta: Bulan Bintang

Al-Dzahabi, Muhammas Husain. 1976. Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, Cet.II

Al Farabi, Mohammad. 2013. Bayt Al-Hikmah: Institusi Awal Pengembangan

Tradisi Ilmiah Islam. Jurusan Pendidikan Agama Islam STAI Sumatera Jl.

Sambu No. 64 Medan, Sumatera Utara, 20231 MIQOT Vol. XXXVII No. 1

Januari-Juni

Al-Qardhawi, Yusuf. 1996. Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, terj. Abrori.

Surabaya: Pustaka Progressif

Amin Ahmad Husayn. 1999. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung:

Remaja Rosdakarya. Asrohah Hanun

Amin, Ahmad. 1966. Dhuha al-Islam III, Cairo Mesir, al-Nahdhah al-Mishriyah

------------------. 1978. Dhuha Al-Islam, jilid 2. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka

Amin, Muhammad. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah Serta

Dampaknya Terhadap Dunia Islam Kontemporer. Dosen UIN Raden Fatah

Palembang Jurnal el-Hekam, Vol. I, No. 1, Januari-Juli 2016

Armtrong, keren. 2002. Islam Sejarah singkat. Yogyakarta: Jendela

As'ari, Hasan. 1994. Menyikap Zaman Keemasan Islam, kajian atas Lembaga

Pendidikan. Bandung: Mizan

As-Sirjani, Raghib. 2003. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, terj. Sonif, M.

Irham dan M.Supar. Jakarta: Pustaka al-Kautsar

As-Sayis, Syekh Muhammad Ali. 1996. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Diterjemahkan

oleh Dedi Junaedi dengan judul Sejarah Pembentukan dan Perkembangan

Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo

Page 166: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

149

Asari, Hasan. 1993. The Educationalk Thought of al-Ghazali: Theori and Praktice,

Tesis, Montreal: Institute of Islamic Studies t.t. McGill University

At-Tuwaanisi, Ali al-Jumbulati Abdul Futuh. 1994. Perbandingan Pendidikan

Islam, terj., M. Arifin Jakarta: PT. Rineka Cipta

Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju

Milenium Baru. Jakarta: Logos

------------------------. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII-XVIII . Bandung: Mizan

Bakar, Istianah Abu. 1999. Sejarah Peradaban Islam: untuk Perguruan Tinggi

Islam dan Umum. Malang: UIN-Malang Press

Basri MS, Metodologi Penelitian Sejarah:Pendekatan, Teori dan Praktek, (Jakarta:

Restu Agung, 2006)

Bastoni, Hepi Andi. 2008. Sejarah Para Khalifah. Jakarta: Pustaka AlKautsar.

Bokhari, Rana dan Seddon, Mohammas. 2010. Ensiklopedia Islam.

Jakarta:Kementrian Agama RI

Bosworth, C.E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan

Cyril, Glasse Cyril. 1999. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Ahmad Daudy, Ahmad. 1984. Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta:

Bulan Bintang

Darmuin, Rustam Thoyyib. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Tokoh

Klasik dan Kontenporer). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dar al-‗ilm, Penyusun. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve

---------------------------. 2011. Atlas Sejarah Islam. Jakarta, Kaysa Media

Dewan Redaksi. 1994. Ensiklopedi Islam, vol. IV. Jakarta: Ichrtiar Baru Van Hoeve

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2002. Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10.

Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve

Esposito, John L. 2002. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Eva YN dkk

penj., Bandung: Mizan.

Page 167: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

150

Fadjar, Abdullah dkk. 2006. Khasanah Islam Indonesia: Monografi Penerbit Buku-

buku Islam. Jakarta: The Habibi Center Jakarta

Fadil SJ. 2008. PasangSurut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Malang:

UIN Malang Press

Fakhry, Majid. 1986. Sejarah Filsafat Islam , diterjemahkan dari AHistory of

Islamic Philosophy, Cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya

G.E Bosworth, G.E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam terj. The Islamic Dynasties.

Bandung: Mizan

Haekal, Muhammad Husain. 2010. Utsman Bin Affan, terj. Ali Audah, Usman Bin

Affan. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa

Hakiki, Kiki Muhamad. Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti

Abbasiyah. Jurnal TAPIs Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012

Hak, Nurul. Penyebarluasan Buku, Perkembangan Ilmu Pengetahuan, dan Dakwah

Dalam Proses Peradaban Islam Klasik Jurusan Bimbingan dan Konseling

Islam. Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurnal Dakwah,

Vol. XI No. 2, Juli-Desember 2010

Hamami, Abbas, 1996. Etika Keilmuan” dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat

Ilmu, Yogyakarta: Liberty

Hanun Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana

Ilmu

Hasjmy, A. 1993. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang

Hourani, Albert. 2004. Sejarah Bangsa-bangsa Muslim. Bandung: Mizan Pustaka.

Hasan Basri, M. Nur. 2001. Peran Islam dalam Kemajuan Eropa. Jakarta: Serambi

Indonesia.

Hanafi, Hassan. 2000. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat,

terjemahan M. Najib Buchori. Jakarta: Paramadina.

Hasan, Ibrahim Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta, Kota

Kembang. Munir, Samsul. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:

Amzah.

Hasan, Ibrahim. 1965. Tārīkh al-Islām: Al-Siyāsi wa al-Dīni, wa al- Tsaqafi wa al-

Ijtimā`i, juz II (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah

Page 168: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

151

Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Cet I. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Hasaruddin. 2011. Pluralitas Agama Dan Kebijakan Politik Pada Masa Abbasiyah.

Makassar: Alauddin University Press

Hitti, Philip K. 1974. History of The Arabs. London: The Macmillan

-----------------. 2002. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi

Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta

-------------------.2002. History of the Arabs, diterjemahkan oleh Ushuluddin

Hutagalung dengan judul, Dunia Arabs Sejarah Ringkas, Cet. VII;

Bandung: Sumur Bandun

-----------------. 2006. History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif

tentang Sejarah Peradaban Islams, terj. R.C. Yasin dan D.S. Riyadi.

Jakarta: Serambi

Hoodbhoy, Pervez. 1997. Islam dan Sailns: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas.

Terjemahan: Luqman. Bandung: Fustaka Firdaus

Philip K. Hitti. 2010. History of The Arabs. terj.R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi

Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Sejahtera

Ibn Khaldun, Ibn. 1986. Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha. Jakarta : Pustaka

Firdaus

Ibrahim, Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam diterjemahkan dari Islamic

History and Culture oleh Djahdan Humam Saleh, Yogyakarta: Depag RI

IAIN SUKA

Idi, Abullah dan Suharto, Toto. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta:

Tiara Wacana

Intan, Salmah. Kontribusi Dinasti Abbasiyah Bidang Ilmu Pengetahuan.

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Jurnal Rihlah Vol.6 No.

2/2018: Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-

Islāmiyah, Vol. 3

Irawan, F. 2017. Laporan: Invasi Mongol dan Keruntuhan Baghdad (1258). Edisi 17

Desember 2017 Lembaga Kajian Syamina

Faisal Ismail, Faisal. 2010. Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid

Seputar Isu Sekularisasi Dalam Islam. Jakarta Barat, Lasswell Visitama

Page 169: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

152

Ismatulloh, A.M. Konsepsi Ibnu Jarir Al-Thabari Tentang Al-Qur‟an, Tafsir dan

Ta‟wil. Jurnal Fenomena Vol. IV No. 2, 2012

Ismaun. 1990. Pengantar Ilmu Sejarah. Bandung: IKIP Bandung,

Jaudah, Muhammad Gharib. 2007. Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam.

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Jahja, H.M. Zurkani. 1996. Teologi: Pendekatan Metodologi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam (Cet. I;

Yogyakarta: Pustaka Book Publisher

Khuluq, Lathiful et.al. 2003. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga

Modern.Yogyakarta: Lesfi

Ira M. Lapidus, Ira M. 1999. A History of Islamic Societies, terj. Ghufron A

Mas‘adi, Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Lailil, Husni. Asari, Hasan dkk. Bayt Al-Hikmah: Sejarah Transmisi Ilmu

Pengetahuan Antar Peradaban: Edu Riligia Vol 3, No.2, April-Juni, 2019

Leinssa, R.Z dkk. 1984. Pemikiran Biografi dan Kesejarahan Suatu Kumpulan

Prasaran pada Berbagai Loka Karya Jilid III Departeman Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional: Jakarta

Firdawaty, Linda. Negara Islam pada Periode Klasik. Asas, Vol. 7, No. 1, Januari

2015

Langgulung, Hasan. 1989. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa dan Pendidikan.

Jakarta: Pustaka Al-Husna

Lisdawati dan Arifin, Zuhairansah. 2014. Sejarah Pendidikan Islam, Pekanbaru:

Kreasi Edukasi

Madjid, Nurcholis. 2000. Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis

tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:

Penerbit Paramadina

Majid, Jabar, Abdul. Disertasi: Perkembangan Institusi Pendidikan dan Ilmu

Pengetahuan Pada Masa Pemerintahan Bani Buwaihi (Program Doktor

Universitas Islam Negeri Jakarta 2008)

Makdisi, G. 1991. Religion, Law and Learning in Classical Islam: Varioum

Page 170: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

153

Maryamah. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah. Tadrib Vol. 1 No. 1 Juni

2015. Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang

Mahroes, Serli. Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah

Pendidikan Islam. Jurnal Tarbiya Volume: 1 No: 1 2015

Mubarok, Jaih. 2000, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya

Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Surabaya : Logos Wacana

Ilmu

Mukti, Abd. 2007. Konstruksi Prndidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media

Wahyu Murtiningsih, Wahyu. 2011. Para Pendekar Matematika dari Yunani

Hingga Persia. Yogyakarta: DIVA Press

Rusjdi Ali Muhammad, Rusdi Ali. 2000. Politik Islam: Sebuah Pengantar.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Maksidi, George. 1976. Madrasah and University in the Middle Ages, dalam Jurnal

Studia Islamica. 1976 dan Charles Michael Stanton. 1994. Pendidikan

Tinggi dalam Islam, terj. Afandi. Jakarta: Logos

Mukani. 2000. Pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam Dunia Pendidikan Islam

(studi kasus madrasah Nizamiyah) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)

Darussalam Krempyang Nganjuk dan Jombang.

Mukti, Abdul. 1999. Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mukti, Abd. 2000. Sejarah Sosial Pendidikan Islam Masa Dinasti Saljuq. Disertasi

Doktor, tidak dipublikasikan. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

-----------------. 2007. Konstruksi Prndidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media

Muksin, Mochamad. Islam dan Perkembangan Sains dan Teknologi (Studi

Perkembangan Sains dan Teknologi Dinasti Abbasiyah). Fakultas

Teknologi Informasi, Universitas Merdeka Malang Teknologi dan

Manajemen Informatika Volume 2, Nomor 4, Juni 2016

Munir, Samsul. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.

Muzayyana. 2014. Sejarah Peradaban Islam 2. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press

Page 171: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

154

Nadiyah Jamaluddin. 1983. Falsafah at-Tarbiyah „Inda Ikhwan al-Shafa, Kairo: al-

Markaz Al-Arabi li al-Shahfah

Nata, Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan

Pertengahan Jakarta: Raja Grafindo Persada

--------------------. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Interpratama

Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Tadrib Vol. 1 No.

1 Juni 2015

-----------------. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan

Praktis . Jakarta: Ciputat Press

------------------. 2009. Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta: Kencana Pradana

-----------------. 2011. Sejarah Pendidikan Islam menelusuri Jejak Sejarah

Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group

Nupiah, Ali. Pola dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Periode Abbasiyah,

dalam Samsul Nizar (Ed). 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Cetakan IV

Jakarta: Kencana

Nurcholis Madjid, Nurcholis. 2000. Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah

Kritis tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan, dan Kemodernan.

Jakarta: Penerbit Paramadina

Nurdin, M. Amin. 2012. Sejarah Pemikiranm Islam Teologi Ilmu Kalam. Cetakan

Pertama. Jakarta: Amzah

Nst, Syamrudin. 2007. Sejarah Peradaban Islam, Riau : Badan Penelitian dan

Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau

Oktaviyani, Vita Ery. 2018. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dinasti Abbasiyah

Periode Pertama Mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas

Interdiciplinary Islamic Studies, Program Pascasarjana, UIN Sunan

Kalijaga, Yogyakarta; JUSPI: Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 2

Tahun 2018 ISSN 2580-8311

Pardi, M. Habib Husnial. 2005. Eksistensi Madrasah Awal (Pada Abad IX-XI M)

dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. 2005.

Jakarta: Kencana.

Pasya, Ahmad Fuad. 2004. Dimensi Sains al-Qur‟an, terj. Muhammad Arifin, Cet. I

Solo: Tiga Serangkai

Page 172: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

155

Peter Worsley, Peter. 1970. Introducing Sociology. Great Britain: Penguin Books

Inc

Qadir, C.A. 1988. Philosophy and Science in the Islamic World. London: Routledge

Qolyubi, Syihabuddin dkk. 2003. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi.

Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Fakultas Adab

Rahman, Fazlur. 2000. Islam. Bandung: Pustaka

Rosenthal, Franz. 1989. The History of Al-Tabari. New York: State University of

New York Press

Rosdakarya. Undang-undang R. I. Nomor 20 Tahun 2003, 2003. tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Jakarta : BP. Dharma Bhakti.

Rusn, Abidin Ibnu. 1998. Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan. Cet. I;

Yogyakarta Pustaka Pelajar Offset

Rustam E. Tambaruka, Rustam E. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat

Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek. Yogyakarta: Rineka Cipta

Umar, Nasaruddin. 2006. Pasang Surut Tradisi Intelektualisme Islam. Dialog,

Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan

Ushama, Thamem. 2000. Metodologi Tafsir al-Qur'an. Jakarta: Rineka

Sabra. 1992. Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah

Pengantar, dalam Jurnal al-Hikmah, Edisi 6, Oktober 1992.

Sadzali, Munawir. 1933. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran

Jakarta: UI Press

Salimuddin. 1990. Tafsir al-Jami'ah. Bandung: Pustaka

Sari, Kartika., M.Hum. 2015. Sejarah Peradaban Islam Cetakan I, Shiddiq Press

Kampus STAIN Syaikh abdurrahman: dKabupaten Bangka Barat.

Shaban. 1981. Islamic History, A New Interpretation, Jilid II. Cambridge:

Cambridge University Press

Shiddiqi, Nourouzzaman. 1986. Tamaddun Muslim Bunga Rampai Kebudayaan

Muslim. Jakarta: Bulan Bintang

Page 173: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

156

Shiddiqi, Nourouzzaman. 1996. Jeram-Jeram Peradaban Muslim. cet. ke-1;

Yogyakarta: Pustaka Bintang

Sitompul, Agussalim. 2006. Pertemuan Kebudayaan Islam dan Kebudayaan

Yunani/ Persia Makalah Yogyakarta

Siregar, Lottung Raja. Madrasah Nizhamiyah; Eksistensi dan Pengaruhnya

Terhadap Perkembangan Pendidikan Islam dan Aktivitas Ortodoksi Sunni

Dosen STAI Tuanku Tambusai Pasir Pengaraian Vol 4, No 1 (2015)

Siregar

Siregar, Masarudin. 1999. Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun (suatu analisis

fenomenologi. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisango Semarang

Sodiqin, Ali dkk. 2004. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik hingga

Modern. Cet-2. Yogyakarta: LESFI

So‘uyb, Joesoef. 1977. Sejarah Daulah Abbasiyah II. Jakarta: Bulan Bintang

--------------------. 1997. Sejarah Daulat Abbasiyah I. Jakarta: Bulan Bintang

Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik:Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Islam. Jakarta: Kencana

Suriasumantri, Jujun S, 2006. Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

Stanton, Charles Michael. 1984. Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan

Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Terj. Afandi dan Hasan

Asy‘aril. cet. ke-1. Jakarta: Logos

---------------------------------. 1990. Higher Learning in Islam: The Clasiccal Period,

(Maryland: Rowman 7 dan Littlefield, Inc.

--------------------------------. 1994. Pendidikan Tinggi dalam Islam, ter. Afandi dan

Hasan Asari. Jakarta: Logos.

Syalabi, Ahmad. 1973. Sejarah Pendidikan Islam. (Terj.) H. Muchtar Yahya dan M.

Sanusi Latief. Jakarta: Bulan Bintang

-------------------. 1993. Sejarah dan Kebudayaan 3. Cet. III. Jakarta: Pustaka Al-

Husna

--------------------. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : PT Alhusna Zikra

Page 174: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

157

--------------------. 1998. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna

Baru

---------------------. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Terj.: Al Mukarram

Ustaz Muhammad Labib Ahmad. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru

Syukur NC., Fatah, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki

Putra, 2015

Suhartini, Andewi. 2012. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal

Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia.

Sunanto, Musyarifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Kencana, 2003.

Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Suriana. Refleksi Introspeksi: Tantangan dan Penopang Kemajuan Lembaga

Pendidikan Tinggi Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah Refleksi-Intropeksi:

Tantangan dan Penopang. Itqan, Vol. 8, No. 2, Juli - Desember 2017

Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Cet-1, Jakarta: Prenada Media

---------. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana.

Tafsir, Ahmad dkk. 2004. Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung:

Mimbar Pustaka

Taufiqurrahman. 2003. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah

Peradaban Islam. Surabaya: Pustaka Islamika

Tengku Iskandar, Tengku. 1996. Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Tim Ensiklopedi. 1998. Ensiklopedi Islam. Cet. III. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Houve

Thaha, Ahmadie. 1994. Dalam Pengantar Karya al-Ghazali, al-Tibbr al-Masbuk fi

Nashihat al-Muluk alih bahasa oleh Ahmadie Thaha. Bandung: Mizan

Thoha, As‘ad. 2011. Sejarah Pendidikan Islam,. Jogjakarta: Insan Madani

Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak

Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Page 175: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

158

Toto Suharto, Munir dkk. 2005. Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan

Islam, Corpus. (Circle Of Raden Fatah Postgraduate Students) dan Global

Pustaka Utama :Yogyakarta

Walidin, Warul. 2005. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun Perspektif

Pendidikan Modern. Yogyakarta: Suluh Press

Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan

Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute

Watt, Montgomery. 1995. Islam dan Peradaban Dunia terj. Hendro Prasetyo.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Watt, W. Montgomery. 1990. Kejayaan Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis.

Terj. Hartono Hadikusuma. Yogyakarta: Tiara Wacana.

-------------------------. 1995. Islam dan Peradaban Dunia terj. Hendro Prasetyo.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Yahya, Mahyudin dan Halimi, Ahmad J. 1993. Sejarah Islam. Kuala Lumpur: Fajar

Bakti

Yatim, Badri. 1997. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

----------------. 1998. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

-----------------. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

-----------------. 2006. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta :

Rajawali Pers

-----------------. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Rajawali Pers

Yunus, Mahmud. 1966. Sejarah pendidikan Islam. Jakarta: Mutiara.

---------------------. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya

Agung.

--------------------. 1992. Pendidikan Islam : Dari Zaman Nabi S.A.W Khalifah-

Khalifah Rasyidin, Bani Umaiyah dan Abbasiyah sampai Zaman Mamluks

dan Usmaniyah Turki. Jakarta: Hidakarya Agung

Yunus Ali Al, Muhdar dan Arifin, Bey. 1983. Sejarah Kesusastraan Arab. Jakarta:

Bina Ilmu.

Page 176: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

159

Yusuf, Ali Anwar. 2006. Islam dan Sains Modern, Sentuhan Islam terhadap

Berbagai Disiplin Ilmu, cet.I, Bandung: CV.Pustaka Setia

Yusuf, Muhammad Dkk. 2004. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan teks Yang Bisu),

Yogyakarta: TERAS

Zubaedi. 2012. Islam dan Benturan Antar Peradaban: Dialog Filsafat Barat dengan

Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Zuhad. 2005. Ensiklopedi Islam. vol. 6. ed. bahasa: Nina M. Armando et.al. Jakarta:

PT Ichtiar Baru Van Hoeve

Zuhairini, dkk. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumber Lain

Majid, Jabar, Abdul. Disertasi: Perkembangan Institusi Pendidikan dan Ilmu

Pengetahuan Pada Masa Pemerintahan Bani Buwaihi (Program Doktor

Universitas Islam Negeri Jakarta 2008).

Sri, Wahyuningsih, Jurnal Kependidikan: Implementasi Sistem Pendidikan Islam

Pada Masa Daulah Abbasiyah dan pada masa sekarang, (November 2014)

Page 177: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

160

Page 178: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

161

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah

2. Silsilah Keluarga Dinasti Bani Abbasiyah

Page 179: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

162

3. Istana Dinasti Abbasiyah

Istana Al-Hamra

Page 180: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

163

4. Gambar Baitul Hikmah

5. Gambar Majlis Munazarah

Page 181: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

164

6. Gambar Madrasah Nizhamiyah

Page 182: 21170110000002 Jaenal mutaqin water mark.pdf

165

BIODATA PENULIS

Penulis, dilahirkan di sebuah kampung Mekarsari Desa Mekarsari Kec.

Cihara Kab. Lebak-Banten. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1985. Penulis putra

terakhir dari sepuluh sanak saudara.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di Mekarsari pada tahun 1997.

Kemudian menyelesaikan sekolah di MTs MA Cisiih pada tahun 2000. Ketika di

MTs, penulis pernah aktif di OSIS dalam bidang pendidikan, aktif di remaja mesjid

Bai‘atunnisa. Kemudian masuk Madrasah Aliyah Al-Ishlah Kananga Menes sambil

mondok dari tahun 2000-2003. Di MA ini penulis aktif dalam berbagai kegiatan,

dari OSIS (Bidang Pendidikan), KOPASKAL (Komando Pasukan Khusus Santri Al-

Ishlah), Kepramukaan, Bendahara OSIS Pon-pes Al-Ishlah. Penulis juga pernah

menjadi ketua panitia pekan jelang ramadhan, serta penulis pernah mendapatkan

prestasi ketika mondok, diantaranya Juara 2 lomba Adzan, Juara I Pidato Bahasa

Arab, Juara II Pidato Bahasa Inggris dan juara III pidato bahasa Indonesia.

Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi di Jurusan PAI Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di

kampus UIN ini penulis aktif di organisasi baik di organisasi intra kampus maupun

di ekstra. Penulis aktif di organisasi intra kampus misalnya pernah menjabat Sekjend

BEM PAI (2005-2006), Tim redaksi majalah UEREKA PAI (2005-2006), Menteri

Kemahasiswaan BEM FITK (2006-2007). Sedangkan di ekstra misalnya HMI

Komtar, HMI Cabang Ciputat, dan Himpunan Mahasiswa Banten Jakarta.

Pada tahun 2007 penulis telah menyelesaikan studi S1. Penulis mulai

mengajar di SDN Negeri 11 Serang Banten dan di SMP Nuur El-Bantany pada

tahun 2007-2011. Pada tahun 2009-2011 Penulis diberikan amanah menjadi kepala

SMP Nuur El-Bantany. Pada tahun 2011-sekarang penulis mengajar di MTs

Pembangunan UIN Jakarta, selama mengajar penulis pernah membuat buku modul

SKI kelas 8 dan kelas 9.

Pada tahun 2017 penulis alhamdulillah mendapatkan beasiswa untuk

melanjutkan studi di MPAI Fakultas Tarbiyah dari Madrasah Pembangunan UIN

Jakarta. Dan insyaAllah pada tahun 2020 ini, tepatnya bulan Agustus mudah-

mudahan penulis bisa menyelesaikan studinya. Semoga tesis karya penulis ini

bermanfaat khususnya buat penulis dan umumnya buat para pembaca.