Page 1
SEMANGAT ILMUAN MUSLIM DALAM PENGEMBANGAN
INSTITUSI PENDIDIKAN MADRASAH NIZHAMIYAH
DAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA
DINASTI ABBASIYAH
Tesis
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Persyaratan
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan (M. Pd.)
Oleh:
Jaenal Mutaqin
21170110000002
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
Page 6
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis dibawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
Page 7
iii
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
ھـ H Ha
Apostrof ` ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia terdiri dari
vokal tunggal vokal rangkap. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih
aksaranya adalah:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـــ A Fathah
ـــ I Kasrah
ـــ U Dammah
Page 8
iv
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يـ ــ Ai a dan i
وـ ــ Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
اــ Â a dengan topi di atas
يــ Î i dengan topi di atas
وــ Û u dengan topi di atas
4. Kata SandangKata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf
kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ـ ــ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta MarbûtahBerkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
Page 9
v
No Kata Arab Alih Aksara
طريقة 1 Tarîqah
اجلامعة اإلسالمية 2 al-jâmî‟ah al-islâmiyyah
وحدة الوجود 3 wahdat al-wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-
Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal
dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd alSamad
al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat
dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
ذذىب األستا dzahaba al-ustâdzu
ثبت األجر tsabata al-ajru
al-harakah al-„asriyyah احلركة العصرية
أشهد أن الإلو اال اهلل asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
موالن ملك الصاحل Maulânâ Malik al-Sâlih
Page 10
vi
يؤثركم اهلل yu‟atstsirukum Allâh
ادلظاىر العقلية al-mazâhir al-„aqliyyah
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.
Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan
Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân
Page 11
vii
ABSTRAK
Tesis atas nama Jaenal Mutaqin, NIM: 21170110000002 yang berjudul
“Semangat Ilmuwan Muslim dalam Pengembangan Institusi Pendidikan
Madrasah Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah”
Penelitian ini untuk menganalisis Semangat Ilmuan Muslim dalam
Pengembangan Institusi Pendidikan Madrasah Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan pada
Masa Dinasti Abbasiyah, bertujuan untuk mengetahui pertama, menganalisis tentang
bentuk pendidikan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Kedua, untuk
menganalisis apa saja faktor yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan lembaga
pendidikan Islam pada masa itu. Ketiga, menelaah hubungan pendidikan yang
berkembang pada masa Bani Abbasiyah dan hubungannya dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Dalam penelitian ini menggunakan metode dengan menganalisis ruang
lingkup ilmu sejarah, yang selanjutnya disebut metode sejarah. Karena penelitian ini
berupaya untuk mengkontruksi sejarah perkembangan lembaga pendidikan dan ilmu
pengetahuan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yang berkembang pada kurun
waktu tahun 750-1258 M, sebab itulah penelitian ini akan menggunakan metode sejarah.
Sebuah metode yang dibingkai dengan seperangkat aturan atau prinsip-prinsip dasar
yang sistematis yang digunakan dalam proses pengumpulan data, proses memahami dan
menafsirkan serta menyajikannya dalam bentuk sebuah tulisan sejarah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perkembangan Lembaga Pendidikan dan
Ilmu Pengetahuan pada perkembangannya beriringan kala Dinasti Abbasiyah berkuasa.
Hal tersebut dapat dimengerti ditinjau dari berkembangnya lembaga pendidikan seperti
madrasah Bait al-Hikmah dan Nizhamiyah kemudian melahirkan produk-produk ilmiah
dan gerakan penerjemahan diantaranya; Persia, Sanskerta, Suriah, khususnya yang
berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab menyebabkan tumbuh suburnya gerakan
intelektualitas Islam yang mengilhami lahirnya Ilmuwan-Ilmuwan terkemuka.
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya masa kejayaannya ketika
pemerintahan berada di bawah kekuasaan khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan
penerusnya yakni Al-Ma‟mun (813-833 M). Kondisi kekhalifahan Abbasiyah kala itu
dimana masyarakat terjamin kesejahteraan hidupnya, kesehatannya terjamin sebab
rumah sakit berdiri dengan fasilitas memadai dan dokter-dokter yang kompeten dalam
keIlmuwannya, begitu pula pendidikan berkembang dengan pesat namun dinamis
disokong oleh negara secara penuh, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat,
kesusastraan menjadi budaya masyarakat, sehingga zaman Dinasti Abbasiyah disebut
era keemasan zaman Islam klasik.
Kata Kunci: Ilmuan Muslim, Lembaga Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Dinasti
Abbasiyah
Page 12
viii
ABSTRACT
Jaenal Mutaqin, NIM: 21170110000002. The Spirit of Muslim Scientists in the
Development of Educational Madrasah Nizhamiyah and Scientific Institutions in
the Abbasid Dynasty.
The objective of this study is to analyze the Spirit of Muslim Scientists in the
Development of Educational Madrasah Nizhamiyah and Scientific Institutions in the
Abbasid Dynasty. Those analysis are; firstly, to analyze the form of education during the
reign of the Abbasids. Secondly, to analyze the factors were driving the growth and the
development of Islamic education institutions at that time. Thirdly, to examine the
relationship between the education in the Abbasids and its relationship with the
development of science. The method used in this study was analysis of the scope of
historical science, namely as the historical method since the study constructed the
history of the development of educational and scientific institutions in the reign of the
Abbasids in the period 750-1258 AD. A systematic rules or principles method used in
the process of collecting data, the process of understanding, interpreting and presenting
it in the form of a historical writing.
The results showed that the development of the Institute of Education and
Science simultaneously got along with the reign of the Abbasids. This can be analyzed
in terms of the development of educational institutions such as the Bait al-Hikmah and
Nizhamiyah madrassas as pioneered the scientific products and the translation
movement in several languages; Persia, Sanskrit, Syria, especially from Greek into
Arabic that led many notable scientists appeared. The Abbasid dynasty reached its peak
when the government was under the authority of the caliph Harun Al-Rashid (786-809
AD) and his successor, Al-Ma'mmun (813-833 AD). The best condition of the Abbasid
Caliphate at that time when the government guaranteed the society welfare, the
numerous hospitals built not only with adequate facilities but also professional doctors,
the education developed significantly and got full support from the government, the
science had expeditious progress, the literature was a cultural community, so that the
Abbasid Dynasty was called the golden era of the classical Islamic era.
Keywords: Muslim Scientists, Educational Institutions, Abbasid Dynasty
Page 13
ix
ملخصزين المتقين
07771272222220بعنوان
والعلمية خالل عهد الساللة العباسية" نظاميو مدرسةيمية"روح العلماء ادلسلمني يف تطوير ادلؤسسات التعلنظاميو مدرسةهتدف ىذه الدراسة لتحليل الروح اإلسالمية للعلم يف تطوير ادلؤسسات التعليمية
والعلمية خالل الساللة العباسية، إىل معرفة أوال، وحتليل شكل التعليم يف عهد العباسيني. ثانيا: حتليل العوامل ز منو وتطور ادلؤسسات التعليمية اإلسالمية يف ذلك الوقت. ثالثا، دراسة العالقة التبوية اليت تتطور يف اليت تعز
زمن العباسيني وعالقتها بتطور العلم. يف ىذه الدراسة باستخدام أساليب من خالل حتليل نطاق علم التاريخ، التعاقد مع تاريخ تطور ادلؤسسات والعلوم وفيما يلي ما يسمى طريقة التاريخ. وألن ىذا البحث يسعى إىل
م، فإن الدراسة ستستخدم 8951إىل 057التعليمية يف عهد العباسيني الذي ازدىر على مدى الفتة من األساليب التارخيية. طريقة تصاغ مبجموعة من القواعد أو ادلبادئ األساسية ادلنهجية ادلستخدمة يف عملية مجع
تفسريىا وعرضها يف شكل كتابة تارخيية.وأظهرت النتائج أن تطوير معهد التبية والعلوم البيانات وعملية فهمها و يف تطور الساللة العباسية وصل إىل السلطة. وميكن فهم ذلك من خالل تطوير ادلؤسسات التعليمية مثل مدرسة
بيت احلكمة والنيزمهية، وقد أجنبت ادلنتجاتأدت بالد فارس، السنسكريتية، سوريا، وخاصة اللغة اليونانية إىل العلمية وحركة التمجة فيما بينها.
اللغة العربية إىل منو احلركات الفكرية اإلسالمية اليت أذلمت والدة علماء بارزين. وصلت الساللة العباسية إىل -:18م( وخليفتو ادلأمون )172-017ذروة رلدىا عندما كانت احلكومة حتت سلطة اخلليفة الراشد )
(. حالة الكاخاليف العباسية اليت أكد فيها اجملتمع رفاىية حياتو، الصحة مضمونة ألن ادلستشفى يقف م::1بتسهيالت كافية وأطباء أكفاء يف علمو، فضال عن أن التعليم يتطور بسرعة ولكن ديناميكيا بدعم الدولة
الساللة العباسية العصر الذىيب بالكامل، فالعلم يتقدم بسرعة، واألدب يف ثقافة اجملتمع، حىت يسمى زمن لإلسالم الكالسيكي.
الكلمات الرئيسية: العلماء المسلمون، المؤسسات التعليمية، العلوم، الساللة العباسية
Page 14
x
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan ni‟mat,
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam
penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW., beserta keluarganya,
para sahabat, dan kepada kita semua yang mengharapkan safaatnya di hari kiamat nanti.
Alhamdulillah penulis berhasil menyelesaikan Tesis yang berjudul “Semangat
Ilmuan Muslim dalam Pengembangan Institusi Pendidikan Madrasah Nizhamiyah
dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah”. Semoga Tesis ini menjadi
salah satu sumbangsih penulis dalam khazanah keilmuan Pendidikan Agama Islam pada
khususnya serta ilmu pendidikan dan ilmu keislaman pada umumnya.
Pada dasarnya dalam proses penulisan tesis ini, penulis mengalami berbagai
kesulitan, akan tetapi dengan adanya bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak
akhirnya tesis ini dapat selesai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis perlu
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya terutama
kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag. selaku Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
selalu memberikan motivasi arahan dalam menyelesaikan penulisan Tesis untuk
mahasiswa/i khususnya dalam menyelesaikan program Magister.
3. Dr. H. Sapiuddin Shidiq, M.Ag. Ketua Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
yang senantiasa memberikan arahan dan motivasi agar para mahasiswa MPAI
menyelesaikan Tesis dengan baik dan tepat waktu.
4. Dr. Zaimudin, M.A. selaku pembimbing tesis, yang telah membimbing,
memberikan saran, motivasi, nasihat dan arahan serta meluangkan waktu, tenaga
dan pemikiran disela-sela kesibukannya dalam penyusunan tesis ini.
5. Direktur dan Wadir Madrasah Pembangunan, kepala dan waka. MTs Pembangunan
UIN Jakarta beserta seluruh guru dan karyawan yang berpartisipasi dan
memberikan kontribusinya.
6. Ketua Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta dan para pengurus yang lainnya yang
berpartisipasi dan memberikan kontribusinya.
7. Pimpinan dan staf Administrasi Perpustakaan Utama, Perpustakaan FIT&K dan
perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk meminjamkan buku-buku yang
berhubungan dengan tesis ini.
Page 15
xi
8. Ibunda (Usiah) dan ayahanda (alm. Moch. Dju‟I Abdurrahman) dan ibu mertua dan
keluarga besar Abah tercinta yang telah mensupport kuliah, memberikan do‟a,
limpahan kasih sayang, motivasi dan saran baik secara moril maupun materiil
sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan kuliah ini. Syukron
jazakumullah khairan katsir atas perjuangan ema dan apa tercinta, ananda tidak
mungkin bisa membalasnya, semoga Allah SWT memberikan balasan yang
setimpal atas semua yang telah diberikan oleh Ema dan Apa untuk ananda.
9. Kakak-kakakku tercinta (Drs. Sihabuddin, Drs. Hilmuddin, Hamdan, Nasyaroh,
Solihah, Ela dan Ade) serta Keponakanku-keponakanku, saudara dan saudariku,
yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Syukron jaza kumullah khairan katsir.
10. Sahabat-sahabatku di MP UIN jakarta Syukron jaza kumullah khairan katsir.
Semoga kita tetap bersama dan yakinkan bahwa usaha kita akan tercapai.
11. Isteriku tercinta Hj. Raudatul Jannah dan anak-anaku (Adhwa dan Zafran) yang
selalu memberikan motivasi, perhatian, dan nasehatnya yang tak pernah usang
ditelan waktu dari sejak kuliah hingga selesainya pembuatan tesis ini, mudah-
mudahan motivasi dan perhatiannya tidak cukup sampai disini.
12. Kanda-kanda dan teman-temanku di Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) dan
HMI tercinta.
13. Sahabat-sahabatku di MPAI, terima kasih atas segala bantuan, informasi, kerja
sama, dan kekeluargaannya semoga kita tetap bersama dan selalu menjaga
silaturrahim sampai akhir hayat.
14. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, atas segala bantuan dan
doanya untuk penyelesaian tesis ini.
Akhirnya penulis serahkan semuanya kepada Allah SWT, Semoga segala perhatian,
partisifasi, motivasi semuanya dibalas oleh Allah SWT sebagai amal kebaikan. Mudah-
mudahan tesis ini bermanfaat dan sekaligus dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan dan wawasan kepada kita semua. Amiin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, Agustus 2020
Penulis
Page 16
xii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KARYA SENDIRI ...................................................................... ii PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Kajian Kepustakaan .............................................................................. 5
C. Permasalahan ........................................................................................ 5
1. Identifikasi Masalah ......................................................................... 5
2. Pembatasan Masalah ........................................................................ 5
3. Perumusan Masalah ......................................................................... 5
D. Metodologi Penelitian ........................................................................... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 9
BAB II Kajian Teori ............................................................................................... 11
A. Sejarah Sosial Politik Bani Abbasiyah .................................................. 11
1. Konsep Ilmu Sejarah ........................................................................ 11
2. Sejarah Kemunculan Dinasti Bani Abbasiyah .................................. 15
3. Kondisi Sosial Bani Abbasiyah ........................................................ 19
4. Politik dan Militer ............................................................................ 22
B. Kemunduran Dinasti Abbasiyah ........................................................... 25
C. Ilmuan Muslim Pada Masa Bani Abbasiyah ......................................... 31
D. Konsep Lembaga Pendidikan ................................................................ 34
E. Lembaga Pendidikan Pada Masa Bani Abbasiyah ................................ 37
F. Ilmu Pengetahuan dan Kemajuan Peradaban Dinasti Abbasiyah ......... 40
G. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan ............................................ 42
H. Gerakan Penerjemahan di Era Abbasiyah ............................................. 43
I. Kemajuan dalam Bidang Agama ........................................................... 45
J. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi .............................. 46
K. Perkembangan Politik, Ekonomi dan Administrasi ............................... 47
BAB III Faktor Pendorong Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Pemerintahan
Bani Abbasiyah ......................................................................................... 49
A. Kilas Balik Sejarah Kekuasaan Bani Abbasiyah ................................... 49
B. Faktor Politik Politik yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah ....................... 59
C. Faktor Ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan
lembaga pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah ......................... 62
D. Faktor Sosial Budaya yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan
lembaga pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah ......................... 64
Page 17
xiii
BAB IV Bait al-Hikmah dan Madrasah Nizhamiyah Sebagai Manifestasi Semangat
Keilmuan Ilmuan Muslim Pada Masa Dinasti Abbasiyah .................... 69
A. Bait al-Hikmah, Institusi Pendidikan yang Mewakili Semangat Keilmuan
Kaum Muslim pada Masa Dinasti Abbasiyah ....................................... 69
1. Kegiatan Intelektual Islam di Bait Al-Hikmah ................................. 75
2. Aktivitas Bait Al-Hikmah dan Ilmuan-ilmuan Muslim .................... 76
B. Transformasi Institusi Pendidikan pada Masa Pemerintahan Bani
Abbasiyah ............................................................................................. 84
C. Madrasah Nizhamiyah Merupakan Eksistensi Pendidikan pada Masa
Pemerintahan Bani Abbasiyah .............................................................. 89
a. Sejarah singkat Bani Saljuk ............................................................... 90
b. Perkembangan Pendidikan dan Ilmu Ketika Bani Saljuk Berkuasa ... 93
c. Sejarah Madrasah Nizhamiyah .......................................................... 94
d. Model dan Kurikulum Madrasah Nizhamiyah ................................... 97
e. Madrasah Nizamiyah dan Perkembangan Intelektual Islam .............. 100
f. Tokoh-tokoh Intelektual Muslim dan Guru yang Membesarkan
Madrasah Nizamiyah ........................................................................ 102
BAB V Hubungan Pendidikan yang Berkembang Pada Masa
Pemerintahan Bani Abbasiyah Terhadap Perkembangan
Ilmu Pengetahuan ....................................................................................... 111
A. Gambaran Umum Hubungan Perkembangan Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan Pada Masa Bani Abbasiyah .............................................. 111
B. Faktor Kepemimpinan Politik Dinasti Abbasiyah dalam Pengembangan
Ilmu Pengetahuan.................................................................................. 114
C. Perkembangan Ilmu dan Ilmuan-Ilmuan Terkemuka Pada Masa
Pemerintahan Bani Abbasiyah .............................................................. 116
1. Ilmu Tafsir ....................................................................................... 116
2. Ilmu Hadits ...................................................................................... 119
3. Ilmu fiqih ......................................................................................... 122
4. Ilmu Sosial/Sosiologi ....................................................................... 124
5. Matematika ...................................................................................... 129
6. Kedokteran ....................................................................................... 131
7. Filsafat Islam ................................................................................... 133
BAB VI Kesimpulan, Implikasi dan Saran ........................................................... 137
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 147
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah ...................................................... 161
2. Silsilah Keluarga Dinasti Bani Abbasiyah ........................................... 161
3. Gambar Istana Dinasti Abbasiyah ......................................................... 162
4. Gambar Baitul Hikmah ......................................................................... 163
5. Gambar Majlis Munazarah .................................................................... 163
6. Gambar Madrasah Nizhamiyah ............................................................. 164
Riwayat Hidup Penulis ............................................................................... 165
Page 18
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari awal kemunuculannya agama Islam di Makkah telah bertumbuh
konsep pengajaran dan pendidikan di dalam agama Islam, adapun pendidikan
dan pengajaran tersebut akan terus mengalami perkembangan dan pertumbuhan
sesuai dengan konteks masyarakatnya, dimana Islam sebagai sebuah ajaran
telah berkontribusi menyumbangkan konsep tersendiri terhadap perkembangan
ilmu dan penyebarannya bagi umat muslim, begitu pula Islam sebagai agama
tidak hanya mengorientasikan ajarannya dalam kehidupan ritual belaka, akan
tetapi mengorientasikan pula pada berbagai bentuk pengajaran, bimbingan,
serta memberikan rambu-rambu berupa aturan ke segala aspek kehidupan dan
peradaban umat manusia termasuk dalam bidang pendidikan dan lembaga
pendidikan itu sendiri.
Dalam hal ini Islam sebagai agama yang memiliki kebenaran universal
berhasil membuktikan dirinya membawa perubahan yang signifikan terhadap
kemajuan peradaban khususnya masyarakat Arab dan secara umum pada
seluruh pemeluknya. Para pemeluk agama Islam berhasil mendirikan hingga
membentuk sebuah kerajaan besar yang dikenal sebagai Abbasiyah, adapun
wilayahnya mencakup jazirah Arabia, sebagian benua Afrika, Asia pun
dikuasai, begitu pula dengan Eropa bermula pada abad ke-7 hingga pada abad
12 M (Masehi)—merupakan penguasaan yang relatif panjang. Kemunculan
Dinasti Abbasiyah dalam konteks kejayaan umat Muslim dimana Islam sebagai
pengusung kejayaan tersebut. Bermula dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah
itulah hingga terlahirnya konsep pendidikan yang mapan dan tumbuhnya
perkembangan ilmu sehingga para pengajar muslim berkembang dengan pesat
dan tersebar di seluruh Negara khusunya yang berhaluan Islam. Hal inilah yang
membidangi terlahirnya sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah yang tersebar
di seluruh negeri berpenghuni pemeluk Islam baik yang tersebar di kota
maupun di pelosok desa-desa. Anak-anak maupun para pemuda, meninggalkan
kampung halamannya menuju pusat-pusat pendidikan untuk belajar dan
bersekolah untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Puncak kejayaan peradaban Islam terjadi pada masa Daulah Abbasiyah.
Saat itu, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Mulanya, kegiatan
menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing kedalam bahasa Arab. Seperti
bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Selain itu didirikan pula pusat
pengmbangan ilmu dan perpustakaan, sehingga semakin jelas perkembangan
yang terjadi. Bahkan pada masa itu pula terbentuk madzhab ilmu pengetahuan
dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir para ulama. Maka, masa
itu, Dinasti Abbasiyah menjadi Dinasti yang paling berhasil dalam
mengembangkan peradaban Islam.
Kerajaan atau kekhalifahan Abbasiyah dalam terminologi Bahasa Arab:
ةیالعباس اخلالفة alkhilāfah al-‗abbasiyyah) yang kemudian dikenal sebagai Bani
Abbasiyah (Arab: ونیالعباس al‗abbāsīyyūn) merupakan Khalifahan yang kemudian
Page 19
2
berkembang di wilayah Baghdad yang sekarang telah menjadi daerah ibu kota
negara Irak. Kekhalifahan Abbasiyah mengalami pererkembangan yang begitu
mengagumkan sehingga menjadikan berhasil, Islam sebagai agama yang
menjunjung tinggi pengetahuan dengan cara melakukan kegiatan keilmuan
berupa menerjemahkan-penerjemahan serta melanjutkan tradisi ke-Ilmuwan
yang diwarisi bangsa Yunani dan bangsa Persia yang mahsyur karena
perkembangan pemikirannya. Seiring dengan perkembangan sejarah dimana
Dinasti Abbasiyah sebagai pelanjut atau pengganti dinasti sebelumnya yaitu
Dinasti Umayyah. Maka dalam hal ini Dinasti Abbasiyah merupakan
kekhalifahan terbesar sekaligus terpanjang dalam catatan perkembangan sejarah
Islam di era Klasik.
Dinasti Abbasiyah membentuk kebesaran masyarakat Muslim selama
nyaris empat setengah abad lamanya telah berhasil mengubah image bangsa
Arab yang dikenal suka bertikai dan berperang satu sama lain menjadi bangsa
Arab yang berperadaban maju, humanis dan menjunjung tinggi kebenaran ilmu.
Pada masa Dinasti Abbasiyah berkuasa dan pada kurun waktu tersebut, dimana
peradaban Islam telah berjasa dalam hal mempersiapkan sendi-sendi kemajuan
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di
zaman modern.
Dinasti Abbasiyah merupakan bagian dari bukti kekuasaan Islam telah
berhasil merekam sejarah umat Islam pada masa awal berdiri dinasti ini sampai
masa keruntuhannya yang memang memotret perkembangan ilmu pengetahuan
dan lembaga pendidikan. Adapun ketika dibidik dari konteks perkembangan
dakwah Islam pada zaman Abbasiyah merupakan kelanjutan dari proses
dakwah Islam yang telah dilakukan Dinasti Umayyah, akan tetapi jika dipotret
dari persepektif politik, dimana Dinasti Abbasiyah dapat dikatan bukan
merupakan perpanjangan tangan kepentingan politik dari dinasti Umayyah.
Kendatipun begitu dimana Dinasti Abbasiyah boleh dikatakan sebagai
kelanjutan dari Dinasti Umayyah, kendati pada perkembangannya pada tiap
periodenya memiliki kahas atau karakteristik yang menjadi pembeda di antara
pergantian pemerintahan di dalam tubuh Islam.
Dalam buku karya A. Syalabi, mengatakan, pada abad ketujuah terjadi
sebuah pemberontakan di seluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat,
bahkan pula dikatakan sebagai puncaknya. Yakni, pemberontakan atau perang
antara pasukan Abul Abbas dengan pasukan Marwan Ibn Muhammad (Dinasti
Bani Umayyah). Akhirnya peperangan ini dimenangkan oleh Abul Abbas,
sehingga berakhirlah masa Dinasti Umayyah bersamaan dengan itu maka
bangkitlah kekuasaan Bani Abbasiyah ( A. Syalabi, 1995: 175).
Dengan bangkitnya Dinasti Abbasiyah dan kemajuan dalam berbagai
bidang ditunjukkan, seperti kemajuan dalam bidang pendidikan, ekonomi,
politik dan system pemerintahan.
Hal yang cukup menarik menjadi sorotan; ternyata peralihan kekuasaan
dari Umayyah kepada Abbasiyah tidaklah semata terbatas pada pergantian
kepemimpinan namun jauh dari itu mengubah wajah dunia Islam dalam refleksi
kegiatan khusunya dalam aktifitas intelektual dan ilmiah. Adapun
pengembangan ilmu pengetahuan ketika zaman Dinasti Abbasiyah boleh
Page 20
3
dikatakan sebagai perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan wawasan dan
disiplin serta tradisi keilmuan dan intelektualitas. Lebih lanjut sumbangsih
Abbasiyah terhadap perkembangan ilmu hal itu teramati dari upaya Harun al-
Rasyid dan putranya al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama
dilengkapi pusat penopang bintang, perpustakaan besar dan dilengkapi pula
dengan lembaga untuk penerjemahan merupakan titik tolak dari perkembangan
ilmu dan lembaga pendidikan (Fadil, 2008: 155). Dalam hal ini banyak faktor
yang mempengaruhinya sehingga menyebabkan perkembangan ilmu
pengetahuan, sains dan juga filsafat yang mana ketika Bani Abbas berkuasa.
Adapun faktor-faktor pendorongnya diantaranya sebagai berikut; Pertama),
terjadinya kontak diantara Islam serta bangsa Persia yang kemudian menjalin
perkembangan dan pertumbuhan filsafat dan sains sebab cultural Persia
memiliki peran berupa pengembangan tradisi keilmuan bangsa Yunani, dalam
hal ini adalah Akademi Jundisapur serta pusat-pusat ilmiah semacam, Ctesipon,
Salonika dan Nishapur. Kedua), etos atau semangat keilmuan pemimpin
Khalifah Bani Abbas, khusunya Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun
mereka sangat mencintai sains dan filsafat serta keilmuan secara umum.
Ketiga), peran atau pengaruh keluarga Barmak sebagai guru atau pendidik
dilingkaran keluarga istana. Keluarga Barmak secara turun temurun menjadi
penasehat intelektual Khalifah. Keempat), berupa aktivitas atau kegiatan
penerjemahan literatur-literatur keilmuan Yunani kedalam literatur berbahasa
Arab yang didukung penuh kebijakan Khalifah saat itu dengan diberi upah atau
imbalan yang sangat besar pada siapa saja yang berhasil menerjemahkan atau
alih bahasa tersebut. Hal sangat menarik tidak mudah dilupakan yakni banyak
karya berupa karya sastra dari negri Persia yang tidak luput untuk
diterjemahkan kedalam Bahasa Arab, berujung pada sastra Persia yang
mengalami perkembangan pesat dan inilah cikal bakal helenisasi Islam
pemikiran filsafat yang sekaligus merupakan islamisasi pemikiran helenistik
dari dunia Yunani kedalam dunia Islam. Kelima), perkembangan peradaban
serta kebudayaan yang beragam, heterogen di wilayah Bagdad sehingga
menimbulkan sebuah interaksi yang kontinyu diantara kebudayaan yang hidup
kala itu. Kenam), perkembangan situasi politik dan sosial di Baghdad
berbentuk kosmopolit bermacam suku, etnis dan ras dilengkapi aneka kultur
masing-masing mengalami berinteraksi satu sama lain sehingga mendorong
keberadaan perpecahan masalah dengan pendekatan keilmuan dan budaya
intelektual masa itu (Fadil, 2008: 156-157). Hal inilah yang cukup menarik
untuk dikaji dalam tesis ini, pada perkembangan sejarah disinilah letak batu
pertama Islam mengemuka sebagai agama yang memberi sumbangsih
peradaban yang teramat tinggi dari sisi perjalanan sejarah intelektualitas dan
ilmu pengetahuan yang berkembang hingga saat ini.
Hal inilah Bagdad bergeliat sebagai pusat peradaban Islam bahkan dunia.
Baghdad secara alamiah merupakan hasil atau produk pergolakan, penyebaran
atau pergerakan dinamika penduduk, perubahan perkembangan ekonomi, serta
peralihan dari kebudayaan yang beberapa kebudayaan sebelum Abbasiyah
berkuasa. Baghdad berkembang dan terbentuk secara megah menjadi kota yang
kosmopolitan, dengan masyarakat yang dinasmis dan heterogen dibawah panji-
Page 21
4
panji imperium kebesaran Arab dalam hal ini adalah Islam. Selanjutnya, hal ini
terjadi pada Dinasti Abbasiyah yang menjadi imperium di dalamnya terdapat
kebersamaan, keterbukaan sebagai Arab yang berkebangsaan, kendati Arab
memiliki peran sebagai aktor kepemimpinnya, akan tetapi Dinasti Abbasiyah
menjalankannya atas dasar sebagai semangat kesatuan umat Islam dan yang
paling penting berupa ajaran Islam yang menjunjung tinggi atas perkembangan
ilmu pengetahuan (Zubaedi, 2012: 27). Pada periode Abbasiyah inilah puncak
kejayaan Islam khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan mengemuka
kepermukaan Islam berbaur menjadi milik bersama masyarakat dunia.
Perkembangan selanjutnya yaitu pembauran bangsa-bangsa Arab dan non-Arab
terjadi secara alamiah, menumbuhkan situasi akulturasi yang dinamis dalam
konteks pergumulan dan interaksi intelektual yang mengalami penyebaran
perluasan serta menjadi kepemilikan bersama masyarakat secara universal.
Perluasan perkembangan serta universalisme itu, disebabkan dengan dasar
kebutuhan pada pentingnya ilmu-ilmu guna menyelesaikan berbagai
permasalahan atau masalah kehidupan sosial yang berkembang pada
masyarakat Abbasiyah saat itu. Mengingat hal tersebut, sehingga penguasaan
ilmu tertentu dan intelektualitas melihat kondisi kebutuhan tersebut sehingga
sadar betapa pentingnya ilmu dan pengetahuan dalam kehidupan
kemasyarakatan dalam kehidupan sosial (Qadir, 1988: 15). Dalam hal ini penerjemahan yang tidak bersumber dari Islam, diadopsi dalam pemikiran
karya-karya Muslim dan memberi kontribusi besar dalam pemikiran filsafat dan
ilmiah (Qadir, 104).
Pada abad pertengahan, peradaban Islam mulai menguat dan mendominasi.
Islam menjadi ―pusat kiblat‖ masyarakat Eropa yang mulai meniru budaya
Islam yang memiliki suatu peradaban yang maju pada masa itu. Pada masa ini,
Islam mencapai puncak masa kejayaan yang disebut sebagai ―The Golden Age
of Islam‖ atau dapat diartikan sebagai masa keemasan Islam. Masa keemasan
Islam ini terjadi pada masa kepemimpinan Bani Abbasiyah, tepatnya pada saat
kepemimpinan Harun dan anaknya Ma‘mun. Berbagai macam kemajuan terjadi
pada masa ini, seperti ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya. Hal ini
tidak terlepas dari adanya Darul Hikmah yang diketahui sebagai perpustakan
terbesar dengan ratusan ribu buku yang bersumber dari berbagai literatur dunia
yang telah dialih bahasakan (Thohir, 2004: 57). Pemberlakuan gerakan
mencintai ilmu pengetahuan melalui metode pembangunan perpustakaan besar
dan budaya belajar menjadikan masyarakat muslim pada masa itu benar-benar
dalam gulungan ombak ilmu yang melimpah. Marshall berpendapat bahwa
periode kekhalifahan pada masa Bani Abbasiyah merupakan periode
pengembangan di bidang ilmu. Proses Islamisasi tradisi merupakan aktivitas
yang melampaui sebuah integrasi ataupun perbaikan. Sehingga menghasilkan
energi kreatif yang luar biasa dari tokoh-tokoh di bidang keilmuannya masing-
masing. Terdapat berbagai pusat pendidikan dan perpustakaan besar di berbagai
wilayah, seperti di Cordova, Palermo, Nisyapur, Kairo, Baghdad, Damaskus,
dan Bukhara. Kehidupan kebudayaan dan politik masyarakat setempat mulai
berkembang dengan peradaban Islam sebagai alirannya, meskipun terdapat
berbagai macam suku dan agama yang berbeda (Abdurrahman, 2003: 51).
Page 22
5
Peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah melampaui peradaban bangsa-
bangsa yang ada di Eropa.
Supaya lebih jelasnya mengenai pembahasan ini, dimana Saya akan
mencoba memaparkan secara seksama dan detail dalam Tesis yang saya beri
judul: “Semangat Ilmuan Muslim Dalam Pengembangan Institusi
Pendidikan Madrasah Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa
Dinasti Abbasiyah”.
B. Kajian Kepustakaan
Jika diperhatikan berupa buku-buku yang membahas Sejarah Kebudayaan
Islam yang selama ini beredar di masyarakat, maka boleh dikatakan
bahwasanya Sejarah Pendidikan Islam masih belum secara maksimal mendapat
perhatian secara umum dalam katagori baik. Adapun Penelitian-penelitian
seputar sejarah perkembangan kebudayaan Islam ini lebih banyak berfokus
seputar membicarakan persoalan politik, ekonomi, budaya dan sosial
perkembangan ummat muslim. Masih sedikit penelitian yang berfokus tentang
pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan, walaupun tidaklah bisa dipungkiri
dimana kemunculan-kemunculan berupa tulisan-tulisan tentang sejarah
pendidikan Islam akhir-akhir ini mengalami kemajuan dan perkembangan
(Jamaluddin, 1983: 22).
Dapat disimak adapun penelitian-penelitian yang fokus mengkaji
perkembangan sejarah pendidikan Islam yang dilakukan dalam berbagai aspek
dan corak, dapat disimak di antaranya:
1. Mengenai penelitian yang mengkaji perkembangan sejarah pendidikan Islam
dalam berbagai sudut pandang dari mulai aspek pendidikan sepanjang
sejarah peradaban Islam, dapat diamati dari penelitian yang dilakukan
Syalabi. Dalam hal ini Buku tersebut merupakan buku pionir atau pencetus
penelitian sejarah pendidikan Islam, diterbitkan pertama kalinya yaitu di
tahun 1954, merupakan referensi hasil kajian dan penelitian adapun
penulisnya dalam usaha untuk memperoleh gelar doktor di negara
Cambridge University di tahun 1952.
2. Berikutnya, berupa disertasi yang ditulis Abdul Jabar Majid berjudul‖
Perkembangan Institusi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa
Pemerintahan Bani Buwaihi‖ ditulis pada tahun 2008 silam. Disertasi
tersebut berisikan pembahasan tentang sejarah perkembangan pendidikan
dan ilmu pengetahuan ketika masa Dinasti Buwaihi. Menurutnya;
bahwasanya terjadi kemajuan-kemajuan signifikan dihasilkan dari
pamerintahan Dinasti Buwaihi itu.
C. Permasalahan
Adapun permasalah yang diambil dalam tesis ini dapat disimak sebagai serikut:
a. Adapun Identifikasi Masalah pada Penelitian ini yang berjudul “Semangat
Ilmuan Muslim Dalam Pengembangan Institusi Pendidikan Madrasah
Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah”. hal
ini bermula rasa penasaran dan berkeinginan untuk mendapatkan
pengetahuan berupa gambaran Semangat Ilmuwan Muslim dalam
Page 23
6
Pengembangan Institusi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa
Dinasti Abbasiyah dimana pada masa itu dianggap merupakan masa
kemajuan keemasan umat Islam dalam konteks ilmu pengetahuan.
Sebetulnya, banyak faktor penyebab yang dapat mempengaruhi dalam hal
kemajuan dan perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan tersebut.
Bisa berasal dari faktor-faktor pertumbuhan dan perkembangan ilmu pada
masa-masa sebelumnya, bisa juga dalam konteks ini dimana penerjemahan
atau dalam rangka usaha-usaha untuk memajukan ilmu yang dilakukan para
Ilmuwan-ilmuan Muslim. Selain dari itu yang mana khalifah telah
memberikan berupa motivasi yang dapat diandalkan baik dalam bentuk
imbalan atau gaji yang besar ataupun dukungan khalifah berupa fasilitas-
fasilitas atau tempat penelitian berupa majlis-mejlis ilmu dan berupa
perpustakaan yang besar dan megah. Dalam hal ini artinya khalifah telah
memberikan ruang kebebasan pada para Ilmuwan guna menyampaikan
risalah berbagai pengetahuan dan pandangan-pandangannya dari sisi
berbagai macam masalah ilmu yang berkembang pada zaman itu. Karenanya
tentu saja hal inilah yang memberikan kontribusi berupa kemajuan terhadap
perkembangan dalam dunia pendidikan dan dunia ilmu pengetahuan kala
itu.
b. Adapun Pembatasan Masalah dalam penelitian ini. Bahwasanya penelitian
ini sebatas hanya untuk ditujukan mengkaji menelaah berbagai
perkembangan institusi pendidikan yang ada pada masa Dinasti Abbasiyah
berkuasa dan tentunya akan mengkaji perihal bentuk-bentuk kontribusi yang
telah dilakukan oleh institusi pendidikan madrasah Nizhamiyah pada masa
Dinasti Abbasiyah terhadap pengembangan lembaga pendidikan
perkembangan di bidang ilmu pengetahuan kala itu. Dari sinilah ada
kemungkinan dapat menjelaskan atau menggambarkan hubungan lembaga-
lembaga pendidikan dalam konteks pengembangan dinamika sosial
kemasyarakatan khusunya didalam bidang kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan tradisi intelektual muslim. Selain dari hal itu pula
akan dikemukakan sumbangsih peran dan pemikiran para khalifah atau
penguasa serta para Ilmuwan terkemuka kala itu dalam pengembangan
berupa lembaga pendidikan serta ilmu pengetahuan, ditarik suatu simpulan
awal hipotesa bahwasanya peranan dan pemikiran para khilafah dan ilmuan
tersebut cenderung mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan
lembaga-lembaga pendidikan pada zaman tersebut, atas karenanya dapat
dikatakan peran dan pemikiran tersebut akan memperoleh tempat istimewa
di dalam masyarakat baik di dunia Barat maupun Timur.
c. Adapun Perumusan Masalah dalam penelitian ini. Tentunya sesuai dengan
identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, dalam hal ini masalah
yang akan diteliti yakni apakah lembaga pendidika Islam yang berkembang
pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dan faktor-faktor apa saja yang
kemudian mendorong kemajuan perkembangan berupa ilmu pengetahuan
dan lembaga pendidikan pada kala itu, dan sejauhmana peran lembaga-
lembaga tersebut dalam mendorong perkembangan dan kemajuan ilmu
Page 24
7
pengetahuan masa itu. Untuk lebih jelasnya maka dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagimana terbentuknya dan model institusi pendidikan Madrasah
Nizhamiyah dan Bait al-Hikmah?
2. Apa saja yang menjadi faktor-faktor pendorong perkembangan institusi
pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa tersebut?
3. Bagaimana hubungan institusi pendidikan Islam pada masa itu terhadap
perkembangan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan?
4. Sejauhmana semangat Ilmuwan muslim dalam pengembangan institusi
pendidikan madrasah Nizhamiyah dan Ilmu pengetahuan pada masa
Dinasti Abbasiyah?
D. Metodologi Penelitian
Secara teoritis Metode merupakan serangkaian cara, tahapan, langkah-
langkah dalam proses dan berupa kerangka dasar yang dapat dijadikan sebagai
pedoman untuk menangani topik-topik permasalahan dalam suatu penelitian
tertentu (Basri MS, 2006: 39). Intinya metode dalam penelitian ilmiah dapat
dikatagorikan kedalam empat katagori atau kelompok, yaitu; pertama metode
filosofis, kedua matode historis, ketiga metode deskriptif, dan keempat metode
eksperimen demikianlah metode-metode dalam empat kelompok besar tersebut.
Adalah metode deskriptif dan eksperimen yang banyak mengkaji dalam hal ini
fenomena sosial serta gejala alam baik terjadi pada masa kini maupun yang
mungkin terjadi pada masa yang akan datang dalam hal ini bukan berbicara
mengenai fenomena yang terjadi pada masa lampau. Selanjutnya dalam metode
historis kajiannya terfokus pada persoalan berupa peristiwa yang telah terjadi
pada masa lalu menyangkut aspek pengalaman manusia sebagai pelaku sejarah.
Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya.
Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk
merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah
sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup ilmu sejarah, metode
penelitian itu disebut metode sejarah. Sebab, dalam penelitian ini berusaha
untuk menguak serta melakukan pembentukan atau mengkontruksi sejarah
kemajuan lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah yang terjadi pada tahun 750-1258 Masehi, atas karenanya
penelitian akan memakai menggunakan metode sejarah tersebut. Yakni metode
yang mampu dibentuk dengan melakukan seperangkat prosedur aturan, prinsip-
prinsip umum sistematis digunakan dalam upaya proses dalam usaha
pengumpulan data penelitian, serta proses dalam upaya memahami atau
menafsirkan peristiwa sejarah selanjutnya akan menyajikannya dalam sutau
produk ilmiah berupa tulisan tentang sejarah.
Selanjutnya, dalam konteks penelitian sejarah atau kesejarahan dengan
memakai pendekatan sosilogis terdapat beberapa berkembang kalasifikasi
model studi yang ditujukan sebagai strategi dalam suatu usaha penulisan
sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan pengorganisasian serta
mensintesakan suatu tulisan tentang sejarah. Maka, model ini sangat berguna
Page 25
8
untuk pencarian serta usaha pengumpulan data bahan untuk menyusun tulisan
sejarah (Kuntowijaya, 1994:42).
Penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam model studi tematik bertujuan
untuk meneliti topik-topik khusus dari permasalahan sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan agama dilihat dari berbagai aspek tertentu. Atas sadar itulah
penelitian ini mencoba mengkaji dari berbagaimacam aspek masalah pada masa
Bani Abbasiyah berkuasa tentunya yang memiliki ikatan dengan perkembangan
lembaga pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan kala itu, yang termaktub
kedalam masalah sosial, politik, budaya ekonomi, ataupun agama. Masalah-
masalah tersebut akan dikaji jalinan hubungannya bersama aspek
perkembangan lembaga pendidikan serta kemajuan ilmu pengetahuan pada
masa Dinasti Abbasiyah.
Guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam penelitian ini, maka dalam
hal ini peneliti akan melakukan langkah-langkah penelitian, diantaranya berikut
ini:
1. peneliti menghimpun data dari tulisan para tokoh sejarah tentang
perkembangan Bani Abbasiyah dan berbagai perkmbangan lembaga
pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa itu. Terutama tulisan tokoh
sejarah yang melihat kejadian sejarah pada masa yang menjadi objek
penelitian. Sumber-sumber ini akan dijadikan sumber primer.
2. mengkritisi data yang telah terkumpul, terutama kritik intern, yakni
mengecek validitas dan akurasi data. Dalam arti apakah data yang
terdapat itu valid dan akurat atau tidak (Hariyono,2003 : 110).
Kemudian data yang telah dikritisi tersebut dapat dipastikan akurasi dan
validitasnya barulah dianggap sebagai fakta.
3. melakukan interpretasi atau analisis dengan membuat berbagai sintesis
dan penafsiran terhadap sejumlah fakta yang diperoleh dari berbagai
sumber. Pada langkah akhir ini, fakta tersebut bersamaan dengan
berbagai teori, sintesis dan interpretasi itu dituliskan sebagai hasil
penelitian.
E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa dan bagimana bentuk Madrasah Nizhamiyah dan
Bait al-Hikmah serta model institusi pendidikan Islam yang berkembang
pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah?
2. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi faktor-faktor pendorong
perkembangan institusi pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa
tersebut?
3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan institusi pendidikan Islam pada
masa itu terhadap perkembangan sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan?
4. Untuk mengetahui sejauhmana semangat Ilmuwan muslim dalam
pengembangan institusi pendidikan dan Ilmu pengetahuan pada masa
Dinasti Abbasiyah?
Sedangkan manfaat penelitian ini paling tidak dapat:
Page 26
9
1. Memberikan informasi tentang pendidikan yang pernah muncul pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah, baik yang dipraktekkan oleh masyarakat, dan
didukung oleh pemerintah ataupun yang dikembangkan oleh para pemikir
dan Ilmuwan terkemuka pada masa tersebut.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan saham kepada pembinaan
konsep pendidikan Islam dan usaha yang perlu ditempuh dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping juga memberikan motivasi
bagi diadakannya pembahasan-pembahasan lebih lanjut tentang pendidikan
Islam.
F. Sistimatika Penulisan
Sejalan dengan batasan dan perumusan masalah serta tujuan yang hendak
dicapai, maka sistimatika pembahasan tesis ini diawali dengan Bab I
pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, kajian kepustakaan,
permasalahan yang akan dikaji dan metodologi yang akan digunakan.
Bab II Ilmuwan muslim pada masa Bani Abbasiyah dan sejarah sosial
politik Bani Abbasiyah yang dimulai dengan kajian terhadap asal usul, proses
kemunculan kekuasaan dan kemunduran atau kejatuhan pemerintahan dan
diteruskan dengan kajian terhadap kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
Bab III tentang faktor pendorong pertumbuhan pertumbuhan dan
perkembangan lembaga pendidikan Islam pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah yang mengkaji kilas balik sejarah kekuasaan masa pemerintahan
Bani Abbasiyah, faktor politik yang mendorong pertumbuhan dan
perkembangan lembaga pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah, faktor
ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan lembaga
pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah, dan faktor sosial budaya yang
mendorong pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam pada
masa Bani Abbasiyah.
Bab IV tentang Bait al-Hikmah dan Madrasah Nizhamiyah sebagai
manifestasi semangat keilmuan muslim pada masa Dinasti Abbasiyah. Bab ini
menguraikan tentang perhatian dan usaha yang dilakukan oleh pemerintahan
Bani Abbasiyah untuk mendorong pengembangan Bait al-Hikmah dan
Madrasah Nizhamiyah tersebut.
Sedangkan Bab V tentang hubungan pendidikan yang berkembang pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Dan Bab terakhir memuat kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh penelitian
ini dan implikasi kesimpulan tersebut bagi usaha pengembangan lembaga
pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Page 28
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pemerintahan Bani Abbasiyah dalam Sejarah Sosial dan Politik
1. Konsep Ilmu Sejarah
Asal kata sejarah terdapat berbagai macam versi yang berusaha menariknya
ke dalam bahasa asalnya. Ada yang menduga berasal dari bahasa Arab yaitu
shajarat yang berarti pohon yang bermakna konotatif sejarah layaknya pohon
yang tumbuh, berkembang, berbuah, layu dan akhirnya mati. Di samping itu
yang pasti kata sejarah dalam bahasa Inggris disebut history, yang asal
mulanya dari bahasa Yunani historia yang berarti ilmu (Tambaruka, 1-2).
Lebih tegasnya, kata sejarah berasal dari bahasa Arab (شجرة : šajaratun) yang
artinya pohon. Dalam bahasa Arab, kata sejarah disebut tarikh (تاريخ ).
Adapun kata tarikh dalambahasa Indonesia artinya waktu. Kata Sejarah lebih
dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu. Dalam bahasa
Inggris berasal dari history, yakni masa lalu. Dalam bahasa Prancis historie,
bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan
bahasa Belanda dikenal gescheiedenis (Iskandar, 1996: 1040).
Lebih lanjut Ibn Khaldun, ia menyoroti menekankan kepada para pemerhati
sejarah bahwa untuk melihat kembali secara objektif, seorang sejarawan harus
bisa mengenal dengan jelas berbagai struktur kebudayaan dan sosial manusia
yang akan ditelitinya, termasuk berbagai pemahaman metodologi kearah ini.
Tanpa mengenal dan mengerti dari dekat objek yang akan dikaji berikut
metodologinya, mustahil ia bisa menjelaskan fenomena sejarah secara
objektif. Tanpa metodologi yang jelas maka, alur penjelasan secara rasional
atau rekonstruksi, sistematika-kronologis dan analisisnya akan sulit
dimengerti (Khaldun, 1986: 13). Pada umumnya dalam pencatatan sejarah
dilakukan mengacu pada data serta fakta yang terjadi pada masa lalu yang
bertujuan guna merekamnya dalam usaha pewarisan pada generasi yang akan
datang. Adapun pada perekaman hal kejadian pada masa lalu merupakan
suatu tujuan yang utama. Dari hasil perkembangan perekaman lalu akan
disebarluaskan, yang terkadang diubah menjadi sebuah buku wajib yang
dipergunakan untuk sekolah ataupun kampus, universitas, dijadikan sebagai
referensi suatu kejadian sejarah tertentu dalam konteks narasi ilmiah yang
dibahas tentunya akan memerlukan kondisi pertanggungjawaban ilmiah
secara utuh dan komprehensif. Betapa sering terlupakan bahwasanya
pencatatan atau perekaman kejadian sejarah telah mengalami proses persepsi
dari perekamnya atas karenanya mengalami pemaknaan atau interprestasi
juga. Dengan begitu diperlukan bahan referensi yang sebenarnya yang telah
mendapatkan suatu data sekunder bukan lagi dalam bentuk data primer itu.
Memang betul ada kalanya dimana data primer sangat sulit didapatkan, yang
berujung terpaksa menggunakan data-data yang ada berupa data sekunder
tersebut, sebagai salah satu sumber yang dianggap otentik dan dapat
dipertanggungjawabkan (Leinssa, dkk. 1984: 52).
Page 29
12
Secara tekstual dan kontekstual sejarah dapat dimaknai tiga hal, yakni; (1)
sejarah sebagai peristiwa; (2) sejarah sebagai cerita, dan; (3) sejarah sebagai
ilmu (Ismaun, 1993: 277):
1. sejarah sebagai peristiwa; adalah sesuatu yang terjadi pada masyarakat
manusia di masa lampau. Pengertian pada ‗masyarakat manusia‘ dan
‗masa lampau‘ sesuatu yang penting dalam definisi sejarah. Sebab
kejadian yang tidak memiliki hubungan dengan kehidupan masyarakat
manusia, dalam pengertian di sini, bukanlah merupakan suatu peristiwa
sejarah. Sebaliknya juga peristiwa yang terjadi pada umat manusia namun
terjadi pada sekarang, bukan pula peristiwa sejarah. Karena itu konsep
siapa yang menjadi subyek dan obyek sejarah serta konsep waktu, dua-
duanya menjadi penting. Pengertian sejarah sebagai peristiwa, sebenarnya
memiliki makna yang sangat luas dan beraneka ragam. Keluasan dan
keanekaragaman tersebut sama dengan luasnya dan kompleksitas
kehidupan manusia. Beberapa aspek kehidupan kita seperti aspek sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan, politik, kesehatan, agama, keamanan, dan
sebagainya semuanya terjalin dalam peristiwa sejarah. Dengan demikianm
sangat wajar jika untuk memudahkan pemahaman kita tentang para ahli
sejarah mengelompokkan lagi atas beberapa tema. Pembagian sejarah
yang demikian itulah yang disebut pembagian sejarah secara tematis,
seperti: sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah perekonomian, sejarah
agama, sejarah pendidikan, sejarah kesehatan, dan sebagainya.
2. sejarah sebagai ilmu secara tegas ―History is science; no less, and no
more‖. Sejarah itu adalah ilmu, tidak kurang dan tidak lebih.
3. sejarah sebagai cerita; bahwa sejarah itu pada hakikatnya merupakan
hasil rekonstruksi sejarawan terhadap sejarah sebagai peristiwa
berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dimilikinya. Dengan demikian di
dalamnya terdapat pula penafsiran sejarawan terhadap makna suatu
peristiwa. Perlu diketahui bahwa buku-buku sejarah yang kita baca, baik
buku pelajaran di sekolah, karya ilmiah di perguruan tinggi, maupun
bukubuku sejarah lainnya, pada hakekatnya merupakan bentuk-bentuk
konkrit sejarah sebagai peristiwa (Ismaun, 1993: 280).
Pada perkembangannya dimana sejarah yang terlihat nampak di dalam
dinamika yang tumbuh di masyarakat akan timbul kepermukaan disebabkan
adanya kekuatan sejarah dan perkembangannya, baik berupa kekuatan
alamiah yang natural, misalnya; ada atau tidakan-tindakan sumber ekonomis,
perkembangan penduduk, tak jarang pula berupa kepentingan kelas, individu,
penemuan-penemuan baru teknologi, perkembangan politik dan ideologi,
kepercayaan-kepercayaan, serta pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.
Sehingga model berbentuk dinamis begitu penting menunt adanya suatu
duration, dalam kelangsungan perjalan waktu di dalam sebuah ruang, bukan
hanya semata function saja. Ihwal sejarah berupa konteks urutan, suatu
kejadian mengawali sebuah peristiwa, berupa rangkaian sebab akibat sebuah
peristiwa sejarah tertentu. Sebab itulah sejarah bukanlah sebatas hanya
menjelaskan atau mengemukakan suatu kejadian umum dari suatu ilmu yang
bercorak monothetis, akan tetapi berupa keunikan dari ilmu yang bersifat
Page 30
13
ideografis itu. Maka karenanya diperlukan bagi seorang sejarawan
menciptakan sendiri berupa inovasi-inovasi model yang tepat guna
menggambarkan sesuatu hal yang sebenarnya betul-betul terjadi di dalam
dinamika sejarah dan sosial yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat
tertentu (Leinssa, dkk. 198426).
Lebih lanjut menurut Azyumardi Azra (Yatim, 1999: ix-x) mengenai
konsep ilmu sejarah dalam thesis ini merupakan sekema sejarah sosial yang
dapat dimaknai menjadi tiga bagian sebagai berikut:
a. Sejarah sosial sebagai sejarah kehidupan sehari-hari (daily life). Dalam
artian ini sejarah memberi perhatian besar terhadap hal-hal 'kecil' yang
sering luput dari perhatian justeru karena sedemikian biasanya.
Kecenderungan ini dilandasi oleh sebuah asumsi bahwa hal-hal biasa dan
kecil pun bila terjadi berulang-ulang dalam waktu lama akan memberi
pengaruh besar terhadap sebuah masyarakat.
b. Sejarah sosial sebagai sejarah gerakan protes (protest movement).
Sebelumnya, gerakan protes biasa dianggap berada di luar arus utama
sejarah dan tidak mendapat perhatian yang memadai, karena gerakan
tersebut hampir selalu berarti masyarakat bawahan menentang elit politik.
Belakangan, para eksponen sejarah sosial berhasil mendemonstrasikan
betapa gerakan protes sangat signifikan dalam dinamika dan
perkembangan sebuah masyarakat.
c. Sejarah sosial yang mengambil beberapa aspek non politik secara selektif
yang dianggap faktor dominan dalam sejarah sebuah masyarakat. Dalam
pengertian ini sejarah sosial menembus batas elitis-politis sejarah
konvensional, tetapi tidak cukup detail untuk menjadi sejarah kehidupan
sehari-hari. Seorang peneliti misalnya memberikan perhatian pada aspek
intelektual, ekonomi, atau kultural, di samping politik dalam menjelaskan
sejarah suatu masyarakat
Lebih lanjut mengenai sejarah sosial; pada perkembangannya sebelum
sejarah sosial populer di kalangan ilmuan bidang Sejarah, ·dimana sejarah
Politik dalam hal ini dikenal lebih dahulu. Sejak dahulu perhatian bidang
sejarah terfokus pada konteks sejarah politik tersebut, yakni sejarah dalam
perkembangannya mengkhusukan pada persolan-persoalan perkembangan
suatu negara serta hubungan yang mempengaruhinya, terutama pada suatu
golongan yang berusaha memegang kekuasaan negara tersebut, misalnya
kajian tentang para raja, para pemuka militer, dan para aktor politik. ilmuan-
ilmuan sejarah pada perkembangannya di abad ke-16 M hingga ke-18 M
banyak memfokuskan perhatiannya dalam suatu usaha penulisan sejarah
biografi para raja atau seputar keluarga para raja tersebut. Seringkali para
ilmuan sejarah dipekerjakan para raja-raja demi melakukan pengerjaan
penulisan sejarah raja dan keluarganya, hal inipun terjadi di daerah Jawa
dengan corak penulisan dalam bentuk babad yang dikerjakan oleh para
pujangga yang hidup di keraton Jawa tersebut. Para pujangga itu menulis
sejarah untuk mendapatkan kemashuran dan kebesaran para raja, bukan
bertujuan menceritakan pernak-pernik kehidupan rakyat yang hidup di
wilayah kerajaan. Pada perkembangannya muncul sebuah genre tentang
Page 31
14
sejarah perkembangan agama yang tentunya dipengaruhi dari akibat
pertentangan agama yang terjadi berabad-abad di tengah kerajaan dan
masyarakat sekitar. Sekitar akhir abad 18 M terjadi perubahan dan mulai
tertarik pada perkembangan ekonomi yang tumbuh dalam suatu negara, hal
ini tentunya berhubungan dengan perkembangan dan lahirnya Ilmu
Ekonomi sebagai salah satu dari cabang ilmu yang kala itu dikembangkan
(Adam Smith, Matthus) sebab itulah tumbuh sejarah ekonomi terjadi sekitar
abad 19 M. Adapun perkembangan sejarah hukum atau legal history ia
muncul sekitar pertengahan abad 19 M dan kemudian diikuti pertumbuhan
cabang sejarah lainnya adapun isinya berupa sejarah sosial, sejarah
kebudayaan, sejarah kesenian, sejarah peradaban, serta sejarah pemikiran
atau sejarah intelektual. Zaman terus melaju pengaruh perkembangan
romanticisme, juga nasionalisme, serta perkembangan ilmu yang begitu
pesat di periode tersebut cukuplah berarti dalam perkembangan ilmu sejarah
selanjutnya. Perhatian terhadap perkembangan di bidang-bidang ilmu
sejarah tersebut terakhir semakin meningkatkan bertumbuhnya spesialisasi-
spesialisasi dalam bidang ilmu sejarah. Misalnya spesialisasi Sejarah Sosial
Ekonomi yang lahir seperti Sejarah Agraria, kemudian Sejarah Demografi,
Sejarah Industeri, Sejarah Perdagangan, Sejarah Uang dan Sejarah Bank dan
seterusnya. Timbulnya dan berkembangnya spesialisasi tersebut pada suatu
sisi menyebabkan para sejarawan mengalami perkembangan dengan
berbagai bidang di luar fokus perhatian mereka, namun di lain sisi bidang
sejarah mengalami perkembangan yang semakin di luar Sejarah Politik
bercorak konvensional dan tradisional itu. Tidak berbeda dengan Sejarah
Ekonomi dan bidang-bidang sejarah lainnya, Sejarah Sosial dalam
pertumbuhannya menjadi lawan bagi Sejarah Politik. Apabila Sejarah
Politik lebih menitik beratkan kepada golongan elite, maka Sejarah Sosial
menitik beratkan pada golongan non-elite. Keterbatasan Sejarah Politik
dalam menjelaskan/menerangkan proses sejarah ingin dilengkapi oleh
Sejarah Sosial, dengan mengungkap proses kehidupan yang ada di bawah
permukaan Sejarah Politik yang konvensional.
Perkembangan selanjutnya, Sejarah Sosial menunjukkan sisi yang berbeda
dari sutau kehidupan yang berkembang dalam masyarakat sehingga
menyebabkan dimana Sejarah Sosial mengalami pemantapan kedudukannya
dalam ilmu sejarah. Selain dari hal tersebut timbulnya suatu teori, konsep-
konsep sosiologi turut dipergunakan untuk pembedahan analisa dan
pendekatan di bidang ilmu sejarah tersebut, hal ini telah menyebabkan
hubungan sejarah dengan ilmu sosiologi menjadi erat, akan tetapi telah
membuat ilmu sejarah menjadi lebih peka lagi terhadap masalah sosial
kemasyarakatan di wilayah penelitian dan perkembangan ilmunya. Dalam
arti yang lebih luas dimana obyek Sejarah Sosial muncul mencakup semua
sisi atau semua segi kehidupan masyarakat yang berkembang dan selain
aktivitas politik (Leinssa, dkk. 1984: 1-3).
Page 32
15
2. Sejarah Kemunculan Dinasti Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah tak lain merupakan suatu Dinasti berkuasa setelah
berhasil mengalahkan Dinasti sebelumnya yakni; Dinasti Bani Umayyah. Nama
Dinasti Abbasiyah berasal dari nama pendirinya yakni Abbul Abbas Al- Saffah
yang merupakan keturunan Bani Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Nama
lengkapnya yakni Abdullah al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn
al-Abbas, dilahirkan di wilayah Humairah pada 104 H. Resmi menjadi khalifah
tepatnya di tanggal 3 Rabi‘ul awwal pada tahun 132 H. Adapun kekuasaan
Dinasti ini berlangsung cukup lama dari tahun 750-1258 M (Suntiah dan
Maslani, 1997:44).
Hal-hal yang cukup mempengaruhi akan berdirinya Bani Abbasiyah,
diantaranya disebabkan oleh adanya kelompok-kelompok masyarakat yang
tidak lagi mendukung terhadap Bani Umayyah saat itu. Karena masyarakat saat
itu menilai bahwa para pemegang kekuasaan Bani Umayyah sering melakukan
tindakan korupsi, sekuler serta memihak pada sebagian kelompok madzhab
tertentu yaitu Syi‘ah dan Khawarij (Badri Yatim. 2008:49-50) serta kaum
Mawali (orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persia).
Mereka merasa diperlakukan tidak adil dengan kelompok Arab dalam hal
pembebanan pajak yang terlalu tinggi, kelompok inilah yang mendukung
revolusi Abbasiyah.
Imam Muhammad bin Ali Al-Abbasi melihat bahwa pengalihan kekuasaan
dari satu keluarga kepada keluarga yang lain harus didahului oleh konsep dan
persiapan mental. Setiap upaya yang dilakukan secara tiba-tiba hanya akan
berujung kegagalan. Setelah melihat keadaan ia berkesimpulan bahwa langkah
yang hendak ditempuh harus ekstra hati-hati. Untuk itu, ia meminta para
pendukungnya dalam menyeru masyarakat agar mendukung upaya pengalihan
kekuasaan kepada Ahlulbait tanpa menyebut nama tertentu demi menghindari
bahaya dari Bani Umayyah. Ia mendapati wilayah Kufah dan Khurasan
merupakan tempat yang tepat untuk dijadikan markas propogandanya. Ia
melihat Kufah merupakan tempat para pendukung Ahlul Bait sejak lama.
Sedangkan penduduk Khurasan merupakan masyarakat yang respon terhadap
pemikiran Syi‘ah. Mereka adalah masyarakat yang berakidah bahwa kerajaan
adalah hak sakral, akidah yang mendominasi rakyat Persia sejak masa keluarga
Sasanid.
Demikian apa yang dilihat oleh Imam Muhammad bin Ali Al Abbasi, di
samping melihat bahwa bangsa Persia berada di bawah tekanan para penguasa
Amawi dan ini pula faktor yang mendukung sukses propoganda kaum Abbasiah
di sana. Ia telah menggambarkan kecenderungan masyarakat di wilayah-
wilayah pemerintahan Islam sebagai berikut: Adapun Kufah dan sekitarnya
adalah kelompok pendukung Ali, sedangkan Basrah adalah pendukung Usman.
Sementara Jazirah adalah kelompok Hauriyyah, yakni kaum Khawarij, dan
orang-orang dungu bagai keledai liar; mereka adalah kaum muslimin yang
berakhlak Nasrani. Kemudian penduduk Syam sebagai orang-orang yang tidak
tahu apa-apa selain Muawiyah dan hanya taat kepada Bani Umayyah; mereka
adalah orang-orang yang hanya memendam permusuhan dan super bodoh.
Selanjutnya penduduk Mekkah dan Madinah adalah orang-orang yang fanatik
Page 33
16
Abu Bakar dan Umar. Kalian harus mengarahkan perhatian ke Khurasan.
Sebab, di sana ada sejumlah besar orang-orang kuat, berhati bersih dan kosong
belum tercemar. Mereka adalah pasukan yang bisa diandalkan. Saya menaruh
perhatian dan harapan dari Timur (Hasan Ibrahim Hasan, 2013: 17).
Muhammad bin Ali Al Abbasi bangkit untuk melakukan propaganda. Ia
mengangkat para agen dan juru bicara. Kepada mereka ia berpesan agar
propaganda dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun kepada kaum Alawi
hendaknya propaganda dilakukan secara terbuka bahwa ini untuk kepentingan
Ahlul Bait.
Propaganda kaum Abbasiyah secara tersembunyi dilakukan pada awal abad
ke-2 H dari al Hamimah, sebagai pusat propaganda mereka, yakni pada masa
Abdul Aziz bin Umar, Muhammad Ali Al-Abbasi mengarahkan para juru
bicaranya ke berbagai wilayah pemerintahan Islam. Maisirah ditugaskan di Irak
dan tiga orang lainnya, salah satunya Abu Ikrimah As Siraj, di Khurasan.
Mereka melakukan propaganda bagi kepentingan kaum Abbasiyah secara
sembunyi-sembunyi, mereka pura-pura sebagai pedagang atau jemaah yang
hendak berhaji ke Mekkah. Abu Ikrimah mengangkat 70 orang juru bicara dan
12 orang di antaranya sebagai kepala cabang. Mereka aktif berkampanye untuk
kepentingan kaum Abbasiyah dan sangat tabah saat menghadapi rintangan
walau sampai dibunuh dan diusir. Muhammad bin Ali Al Abbasi berkirim surat
kepada mereka yang berisi aturan dan pedoman yang harus ditepati saat
berkampanye, yakni apa yang dilakukan adalah untuk kepentingan keluarga
Nabi Muhammad yang mencakup keturunan Ali dan Abbas paman Nabi saw.
Propaganda untuk kepentingan kaum Abbasiyah dapat kita bagi menjadi dua
periode:
Periode Pertama: Propaganda yang dimulai di penghujung abad ke-1 H
yang berujung bergabungnya Abu Muslim Al Khurasani ke Bani Abbasiyah.
Pada periode ini propaganda dilakukan tanpa kekerasan. Para juru kampanye
melakukan misinya di berbagai wilayah pemerintahan Islam dengan berpura-
pura sebagai pedagang atau jemaah haji.
Periode Kedua: Propaganda periode ke-2 yang dimulai sejak Abu Muslim
Al Khurasani bergabung. Pada periode ini muncul sengketa antara kaum
Amawi dengan Abbasiyah, yakni meletus perang yang berakhir runtuhnya
Daulah Umayyah. (Hasan Ibrahim Hasan, 2013: 18).
Pada akhir masa kekuasaan Dinasti Umayyah I, telah terjadi berbagai
macam kekacauan, beberapa penyebabnya adalah: kekacauan pertama, adanya
diskriminasi pengikut Ali serta kelompok dari Bani Hasyim dalam bentuk
penindasan yang kejam. Kekacauan Kedua, adanya diskriminasi terhadap kaum
muslimin yang bukan berasal dari bangsa Arab, sehingga mereka tidak
mendapatkan hak yang sama dengan kaum muslim yang berasal dari kaum
Arab. Kaum ‗ajam ini tidak mendapatkan tempat dalam pemerintahan.
Kekacauan Ketiga, kaum Bani Umayyah tidak menjalankan ajaran agama Islam
dengan baik serta tidak mengindahkan hak-hak asasi manusia kepada
masyarakat di negerinya. Karena itulah, cukup rasional jika golongan dari Bani
Hasyim mengusahakan solusi dengan cara melakukan suatu gerakan bersifat
tertutup untuk mengalahkan dan menumbangkan Daulah yang dibentuk oleh
Page 34
17
golongan Bani Umayyah. Adapun gerakan tersebut dikuti antara lain sebagai
berikut (Sunanto, 2003: 48):
1. Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah,
2. Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman,
3. 21 Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.
Pusat gerakan rahasia ini berada di Khurasan. Dengan adanya usaha ini,
maka pada tahun 132 H/750 M tumbanglah Daulah Umayyah dengan
terbunuhnya Marwan bin Muhammad yang merupakan khalifah terakhir Bani
Umayyah. Dengan terbunuhnya Marwan mulailah berdiri Daulah Abbasiyah
dengan diangkatnya khalifah pertama, Abdullah bin Muhammad, dengan gelar
Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H/750-754 M.
Sebutan As-Saffāh yang berarti Penumpah darah bagi Abdullah sebagai
khalifah pertama. Hal itu menandai berdirinya Daulah Abbasiyah yang
dipenuhi dengan pertumpahan darah antara sesama keluarga Bani Hasyim, di
satu pihak, dengan keluarga Daulah Umayyah yang memerintah sebelumnya, di
pihak lain. Pada bagian akhir pidato pelantikannya sebagai khalifah, Abdullah
menyebutkan dirinya sebagai as-Saffāh, sang Penumpah darah. Sebagian
sejarawan ada yang berpendapat bahwa arti as-Saffāh adalah penderma (orang
yang suka memberi), karena dia dikenal sebagai seorang yang senang berderma
(sangat dermawan) (Hasan, 1965: 21)
Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah
geografis dunia islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan,
Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan
terjadinya interaksi intensif antara daerah satu dengan daerah lainnya. Interaksi
ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah.
Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka
istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar
dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal
bermunculan, diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya
Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari
pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-pelayan wanita.
Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa
persamaan. Pendekatan terhadap kaum Malawi dilakukan antara lain dengan
mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi setempat (Persia) mengambil
beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan meletakan ibu kota
kerajaannya, Baghdad di wilayah yang dikelilingi oleh bangsa dan agama yang
berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen, dan Majusi.
Pembagian kelas dalam masyarakat Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan
ras atau kesukaan, melainkan berdasarkan jabatan, menurut jarzid Zaidan,
masyarakat Abbasiyah terbagi dalam dua kelompok besar, kelas khusus dan
kelas umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani
Hasyim) para pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima), Kaum
bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy) pada umumnya. Dan para petugas
khusus, tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para
seniman, ulama, pujangga fukoha, saudagar dan penguasa buruh dan petani
(Yatim, 2008: 49-50).
Page 35
18
Terjadi suatu masa dimana disintegrasi politik telah terjadi sebenarnya
dimulai ketika pada akhir zaman Bani Umayyah berkuasa, tetapi menemui
puncaknya ketika pemerintahan Bani Abbasiyah yang berkuasa. Dalam catatan
sejarah daerah kekuasaan Bani Umayyah terhitung semenjak awal berdirinya
hingga keruntuhannya terjadi, dan itu keluasannya sejajar batas-batas
kewilayahan kekuasaan kaum muslim, Islam. Tentunya hal ini sangatlah beda
dengan masa-masa ketika pemerintahan Bani Abbasiyah berkuasa. Kekuasaan
dinasti ini tidaklah diakui oleh bangsa Spanyol dan seluruh daerah di kawasan
Afrika Utara, terkecuali wilayah Mesir. Secara fakta, dimana daerah-daerah
tersebut berada di bawah payung kekuasaan para gubernur provinsi-provinsi
yang bersangkutan itu. Adapun hubungannya dengan kekuasaan khalifah
ditandai adanya berupa pembayaran upeti. Ketika pemerintahan Bani
Abbasiyah berkuasa, tidak terdapat lagi suatu usaha dalam rangka merebut
posisi khilafah dari Bani Abbas tersebut. Dalam hal ini rakyat penuh ketaatan
membiarkan posisi khalifah tetap berada dalam genggaman Bani Abbasiyah itu.
Hal tersebut terjadi disesbabkan kedudukan khalifahan telah dianggap sebagai
jabatan bersifat relegius keagamaan sehingga sakral dan tabu untuk
diperebutkan mutlak tidak lagi bisa digugat dan diganggu. Sementara itu
dimana kekuasaan dapatlah didirikan baik di pusat ataupun daerah yang
terbilang jauh keberadaannya dari pusat pemerintahan Bani Abbas terbentuklah
pemerintahan-pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti yang kecil namun
independen, merdeka. Terdapat kemungkinan bahwasanya para khalifah
Abbasiyah sudah puas atas pengakuan dari berbagai provinsi tertentu yang
mendaulat sebagai bagian dari pemerintahan Abbasiyah, dengan pembuktian
berupa pembayaran upeti tersebut. Akibat munculnya kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang cenderung menekankan berupa pembinaan-pembinaan
peradaban serta kebudayaan bercorak Islam dari pada hal ikhwal persoalan-
persoalan politik dan kekuasaan, begitupula wilayah-wilayah provinsi
khususnya di pinggiran mereka mulai melepaskan diri dari pengaruh dan
genggaman Bani Abbasiyah itu. Dalah hal ini terkecuali Bani Umayyah di
wilayah Spanyol dan Idrisiyyah daerah Marokko, provinsi-provinsi pada
awalnya patuh dan tetap melakukan pemembayar upeti ketika mereka
mengamati bahwasanya Baghdad menunjukkan stabilitas dan khalifah berdiri
tegak mampu menangkis dan mengatasi berbagai pergolakan yang
mengganggu. Namun ketika wibawa khalifah surut dan bahkan memudar,
mereka perlahan-lahan memerdekakan diri dari genggaman kekuasaan Baghdad
dalam hal ini Bani Abbasiyah.
Watt berpendapat, sebenarnya terjadinya keruntuhan Bani Abbas bermula
teramati dari sejak awal abad ke-9 M. Fenomena tersebut datangnya bersamaan
dengan pemimpin- pemimpin adanya para pemimpin berkekuatan militer pada
kawasan provinsi-provinsi hal inilah yang membuat mereka betul-betul
independen dan muncul keberanian untuk melakukan perlawanan setidanya
oposisi. Di sisi lain kekuatan militer Abbasiyah kala itu sedang mengalami
penurunan, kemunduran. Sebagai taruhannya, dimana para penguasa Bani
Abbasiyah menunjuk kaum profesional untuk memegang kemiliteran,
khususnya para tentara dari Turki dengan suatu sistem perbudakan.
Page 36
19
Pengangkatan dan penunjukkan anggota militer dari Turki inilah dalam
perkembangan berikutnya ternyata mereka menjadi sebuah ancaman besar bagi
eksistensi khalifah Bani Abbasiyah yang sedang berkuasa itu. Lagi pula Pada
periode pertama dinasti Abbasiyah dalam pemerintahannya telah bermunculan
fanatisme seperti gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti Arab) sebuah
gerakan fanatisme kebangsaan anti Arab. Dari gerakan ini yang menyebabkan
banyaknya inspirasi terhadap perkembangan gerakan-gerakan politik, di
samping gerakan-gerakan keagamaan lainnya. Dalam hal ini nampaknya, para
khalifah tidaklah menyadari akan terjadinya suatu ancaman politik dari gerakan
fanatisme kebangsaan itu serta gerakan keagamaan tersebut, pada akhirnya
meskipun hal itu dirasakan pada hampir seluruh sendi-sendi kehidupan
bernegara, dalam kasus-kasus kesusasteraan serta karya-karya ilmiah pun
dimana mereka tidaklah melakukan penghapusan ajaran fanatisme itu, malah
justru diantara mereka melebur dalam konflik kebangsaan serta keagamaan
tersebut.
Adapun dinasti-dinasti yang berhasil melepaskan diri dari kekuasaan
Baghdad khilafah Abbasiyah diantara dari mereka yaitu bangsa Persia, Arab,
Turki, dan Kurdi. Ketika mendekati masa berakhirnya kekuasaan Bani
Abbasiyah, dimana para tentara Turki mampu berhasil melakukan perebutan
kekuasaan kekhalifahan, pada akhirnya menyebabkan khalifah menjadi boneka
yang hanya simbol kekuasaan saja tanpa dapat berbuat apapun selain tunduk.
Kekuasaan Abbasiyah pada era selanjutnya tercatat dikuasai Bani Buwaih.
Dalam hal ini Bani Abbasiyah masih diakui, akan tetapi sepenuhnya kekuasaan
dikuasai para sultan Buwaihi. Perkembangan selanjutnya kekuasaan Buwaihi
atas wilayah Baghdad selanjutnya dirampas Dinasti Seljuk yang kemudian
berkuasa berikutnya. Sang Seljuk merupakan salah satu dari pemuka suku kaum
Turki berasal dari wilayah Turkestan. Dinasti Seljuk dengan segenap
kekuasaannya menjadi pemicu terjadinya perang besar yakni perang salib yang
terjadi dalam kejdian perang yang tahap-tahap, hal ini menyebabkan
keguncangan kekuasaan yang panjang sehingg semakin melemahnya kekuatan
Islam, tambah lagi dari serangan tentara bangsa Mongolia bersekutu dengan
gereja–gereja kristen, menyebabkan terjadinya penghancurleburan daerah
utama atau pusat-pusat kekusaan kaum mulimin, Islam, hingga terjadinya
jatuhnya Bagdad ke Tangan Khulagu Kan, Mongol. (Firdawaty, 2015: 78-79).
3. Kondisi Sosial Bani Abbasiyah
Sebab musabab Dinasti Abbasiyah berdiri hal ini tidak akan terlepas
dari silsilahnya bantuan dari masyarakat muslim yang lainnya. Beberapa
kelompok muslim berkebangsaan Arab telah memberikan dukungan secara
penuh pada Dinasti Bani Abbasiyah kelompok tersebut diantaranya
kalangan penduduk Mekkah, masyarakat Madinah, kelompuk Irak serta
kaum Syi‘ah mereka adalah pendukung setia Ali serta keturunannya.
Dengan satu suara berupa seruan kaum yang mengalami ketertindasan dan
sesama berasal dari Bani Hasyim, mereka bersatu padu dan mendapatkan
suatu dukungan penuh dari kaum-kaum itu. Begitu pula dukungan dari
kalangan kaum muslimin non-Arab terbesar berdatangan dari kalangan
Page 37
20
bangsa Persia. Dalam hal ini merekalah yang dianggap sebagai kaum
mawali ketika Dinasti Umayyah berkuasa dan mengalami diskriminasi
dikelompokkan golongan warga Negara sekunder atau kelas dua. Kaum
Mawali merasa hak-haknya tidak dipenuhi padahal mereka juga warga
negara. Akhirnya Dukungan-dukungan itu bersatu padu membentuk suatu
kekuatan besar bagi kelompok Dinasti Abbasiyah hingga dapat
menumbangkan meruntuhkan Dinasti Umayyah. Dengan demikian, ketika
mereka merasa ketika masa Dinasti Abbasiyah hak-hak mereka terpenuhi.
Dan juga, pada beberapa periode, masyarakat muslim yang bukan berasal
dari bangsa Arab juga ikut berperan dalam kepemerintahan Dinasti
Abbasiyah. Terdapat beberapa kelompok non-Arab memiliki peranan
penting yaitu pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah keluarga besar
Barmak, selanjutnya Dinasti Buwaihiyah, dan pada perkembanggannya
Dinasti Seljuk.
Dalam hal ini keluarga Barmak merupakan keluarga bergolongan
bangsawan sehingga dapat dikatagorikan sebagai keluarga terpandang
berasal Balkh, negeri Persia itu. Selanjutnya, Khalid bin Barmak merupakan
yang pertama kalinya dari kalangan keluarga Barmak menjalin hubungan
spesial bersama khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah yang sangat berkuasa
itu. Mereka selalu ikut dalam perjuangan dan proses semangat pergerakan
dakwah Dinasti Abbasiyah ikut serta secara aktif sehingga berperan dalam
berdirinya Dinasti Abbasiyah hingga kokoh. Dalam perjuangannya Khalid
bin Barmak sangat berjasa dalam upaya meredakan berbagai
pemberontakan-pemberontakan yang berkembang di wilayah Mesopotamia
hingga beberapa waktu lamanya sehingga ia dinobatkan sebagai Gubernur di
kawasan tersebut.
Dinasti Buwaihiyah juga ikut berpengaruh pada proses berdirinya
Dinasti Abbasiyah. Golongan Buwaihiyah ini berasal dari golongan Syi‘ah,
mereka juga ikut berperan penting selama kurang lebih satu abad, yakni
sejak tahun 945 M hingga tahun 1055 M. Pada masa-masa itulah dimana
khalifah hanyalah bayangan dibawah kekuasaan, Dinasti Buwaihiyah.
Kemunculan Dinasti Seljuk ke pemerintahan Dinasti Abbasiyah
menyerupai Dinasti Buwaihiyah. Kalangan mereka menjadi para penguasa
yang sebenarnya berkuasa, sehingga khalifah yang dipegang Dinasti
Abbasiyah hanya dijadikan simbol belaka di lingkungan Istana Baghdad.
Dalam hal ini lain dengan ketika Dinasti Buwaihiyah yang berkuasa namun
beraliran Syi‘ah, dan Dinasti Seljuk merupakan golongan Islam beraliran
Sunni, memiliki kesamaan dengan Dinasti Abbasiyah yang beraliran Sunni
pula. Sehingga menyebabkan terjadinya Interaksi antara Arab dengan non
Arab memberikan suatu khazanah yang segar dan baru dalam berbagai
bidang; bidang politik, bidang sosial, keagamaan, dan budaya. Selama
pemerintahan Banni Saljud dalam Dinasti Abbasiyah tidaklah terjadi
pembedaan antar kelas sosial-ekonomi dianatara penduduk bangsa Arab dan
bangsa non-Arab. Dengan dinamika masyarakat seperti itu sehingga mampu
memberikan sumbangan yang teramat penting dalam kemajuan dan
Page 38
21
perkembangan dibidang ilmu pengetahuan dan peradaban umat muslim
(Ibrahim, 2016: 24).
Waktu itu dimana kebijakan para penguasa Abbasiyah dalam usahanya
mengakhiri realitas elisitas suku Arab membuka lebar dinamika mobilitas
sosial bagi bangsa-bangsa Arab dengan diwarnai intensitas tradisi keilmua
dan pergumulan intelektualitas secara ajeg dan dinamis. Terbentuklah
kosmopolitanisme Islam dalam konteks kehidupan dalam bermasyarakat
dimana para pembesar Dinasti Abbasiyah membuka dengan lebar kran guna
menyerap berbagai unsur budaya-budaya baik pada kalangan Arab maupun
kalangan asing tentunya dengan beberapa penyesuaian yang kemudian
disinkronkan bersama ajaran-ajaran Islam. Interaksi tersebut kemudian
membidangi terlahirnya hal-hal positif yang membangun, adanya sikap
keterbukaan pada kalangan pemeluk Islam guna mempelajari serta
menerima berbagai sesuatu hal ditemukannya dan dikembangkan kearah
yang positif. Watak keterbukaan dan budaya toleransi, telah menjadikan
kaum Muslim berabad-abad lamanya menyatu dan menyerap berbagai
macam aktualisasi manifestasi kultu kebudayaan dan mengembangnya
wawasan keilmuan pada kamum muslim yang didatangkan dari peradaban-
peradaban bangsa lain, baik yang masih ada kala itu ataupun yang telah
punah atau telah terjadi penyusutan yang teramat sangat (Wahid, 2007: 2).
Pembauran yang terjadi diantara bangsa-bangsa non-Arab dan bangsa Arab,
melahirkan akulturasi yang dinamis dan menumbuhkan tradisi
intelektualitas lambat laun mengalami peningkatan serta perluasan dan
menjadi keumuman bagi segenap masyarakat dan bersifat universal,
menyeluruh dan komprehensif. Universalisme dan perluasan tersebut,
disebabkan urgensinya kebutuhan terhadap ilmu-ilmu pengetahuan dalam
menyelesaikan persoalan kehidupan dalam sosial kemasyarakatatan
Abbasiyah kala itu. Mengingat, kepemilikan atau penguasaan ilmu dan daya
intelektual mengingatkan kebutuhan dan betapa pentingnya ilmu
pengetahuan itu di dalam kondisi berkehidupan sosial di dalam masyarakat
(Qadir, 1988: 15). Masyarakat Baghdad dimana populasinya bersifat
heterogen serta kosmopolitan, dan hal itu memunculkan kesadaran akan
kebutuhan serta keterampilan yang khusus untuk menangani masalah-
masalah kehidupan yang berkembang pada masyarakat urban tinggi.
Keterampilan atau skill menjadi salah satu tuntutan yang mesti dipenuhi
khusunya pada sektor pendidikan guna menghasilkan sumber daya manusia
yang unggul dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan
dengan cara mempergunakan ilmu pengetahuan yang dikuasainya (Worsley,
1970: 171). Keberadaan suku-suku bangsa yang beraneka ragam dalam
imperium Dinasti Abbasiyah dibentengi oleh legitimasi agama yang evektif
menundukkan orang Arab dan bangsa-bangsa non Arab berfungsi alat
pengendali keambisiusan berkuasa dan mencegah ketidak searahan dalam
usaha untuk mencapai suatu tujuan berdirinya sebuah negara (Sadzali, 1993:
69). Dalam hal ini masa keemasan dinasti Abbasiyah meliputi beberapa
aspek (Sari, 2015. 54-55), yaitu:
Page 39
22
1. Ilmu Pengetahuan. Sudah tidak dapat dibantah lagi kalau kemajuan
ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah sangat pesat. Kemajuan ilmu
pengetahuan diawali dengan penerjemahan besar-besaran karya-karya
berbahasa Persia, Sansekerta, Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab.
Ketua Para Penerjemah adalah Hunayn ibn Ishaq, seorang pemeluk
Kristen Nestor. Dengan dukungan penuh dari khalifah umat Islam
dengan giat melakukan penerjemahan. Dukungan besar khalifah
dibuktikan dengan memberikan imbalan berupa emas kepada setiap
orang yang menerjemahkan buku. Berat emas yang diberikan
disesuaikan dengan berat buku hasil terjemahannya. Imbalan besar
khalifah ini membuat kaum muslim berlomba-lomba menerjemahkan
buku. Pada rentang waktu tiga perempat abad, dunia literatur Arab telah
memiliki karya-karya besar filsafat Yunani, seperti Aristoteles, karya
para komentator neo-Platonis, karya kedokteran Galen, di antaranya
tujuh buku Galen tentang anatomi yang versi Yunaninya tidak
ditemukan lagi, juga karya ilmiah Persia (kesenian dan kaligrafi) dan
India (mistisme, astronomi, dan matematika). Melalui penerjemahan
karya-karya ilmuwan sebelum Islam menyebabkan kaum muslim bisa
mempelajari ilmu-ilmu di Yunani Kuno, Persia, dan India. Ilmu-ilmu
yang mereka pelajari itu selanjutnya dikembangkan dan diberi teori
baru oleh ilmuwan-ilmuwan Islam. Berbagai penemuan penting
berhasil dilakukan oleh ilmuwan Islam. Ibn Sina misalanya menjadi
Bapak Kedokteran Modern karena bukunya menjadi rujukan ilmuwan
Barat selama berabad-abad.
2. Organisasi Militer. Organisasi militer pemerintahan Abbasiyah terdiri
dari para tentara sukarelawan, tentara bayaran, tentara dari suku dan
distrik, serta tentara pengawal khalifah. Pasukan sukarelawan menerima
gaji ketika bertugas saja. Mereka ini beranggotakan petani, orang badui,
dan orang kota. Pasukan pengawal khalifah memperoleh bayaran yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pasukan lainnya. Mereka juga
memiliki persenjataan lengkap dan berseragam.
3. Wilayah Pemerintahan. Pemerintahan pada masa Abbasiyah terbagi ke
dalam beberapa provinsi yang dipimpin oleh amir. Di antara provinsi
pada masa Abbasiyah adalah Afrika, Mesir, Suriah dan Palestina, Hijaz
dan Yamamah, Yaman dan Arab Selatan, Bahrain dan Oman, Sawad,
Jazirah, Azerbaijan, Jibal, Kuzistan, Faris, Karman, Mukran, Sijistan,
Khurasan, Kawarizm, Shougda, Farganah, Tashken, dan Turki.
4. Biro Pemerintahan Dinasti Abbasiyah memiliki beberapa biro
pemerintahan, yaitu biro pajak, kantor pegawas, dewan korespondensi
atau kantor arsip, dewan penyelidik keluhan, dewan kepolisian dan pos.
4. Politik dan Militer
Suatu negara tentunya tidaklah terlepas dari perkembangan politik dan
militer adapun perkembangan politik dan militer saat Dinasti Abbasiyah
berkuasa dalam hal ini terbagi kedalam beberapa bagian dan kurang lebih
menjadi lima periode diaman setiap periodenya telah terjadi suatu perubahan
Page 40
23
pemegangan kekuasaan, dan perubahan sistem pemerintahan, begitu pula
dengan kebijaksanaan militer tentu saja turut berubah. Pembahasasan
berikut ini akan mengemukakan perkembangan politik dan militer Dinasti
Abbasiyah, adapun periode sasinya dapat disimak berikut ini:
a. Adapun Khalifah Dinasti Abbasiyah periode pertama dapat disimak
berikut ini: 1. Abu Abbas al-Saffah 750-754 M, 2 Abu Ja‘far al-Mansur
754-775 M, 3. Al- Mahdi 775-785 M, 4. Al-Hadi 785-786 M, 5. Harun
al-Rasyid 786-809 M, 6. Al-Amin 809-813 M, 7. Al-Ma`mun 813-833
M, 8. Al-Mu‘tasim 833-842 M, 9. Al-Wasiq 842-847 M. pada Periode
inilah yang merupakan periode pengaruh bangsa Persia yang pertama.
Disebut demikian sebab pada periode inilah terdapat keluarga bangsawan
keturunan Persia yang amat sangat berpengaruh besar dalam
perkembangan Dinasti Abbasiyah, yaitu keluarga Barmak. Pada periode
inilah, dimana Dinasti Abbasiyah mengalami kejayaan dan masa
keemasan. Meskipun begitu, terdapat pula cikal bakal dari kemunduran
Dinasti Abbasiyah tersebut, hal itu telah dimulai ketika pertumbuhan
Dinasti Abbasiyah pada periode awal. Yaitu ketika berlangsungnya
perang saudara diantara khalifah al-Amin dan khalifah al-Ma‘mun kala
itu.
b. Periode kedua. Adapun Khalifah Dinasti Abbasiyah pada periode ini
dapat disimak berikut ini: 1. Al-Mutawakkil 847-861 M, 2. Al-Muntasir
861-862 M, 3. Al-Musta‘in 862-866 M, 4. Al-Mu‘taz 866-869 M, 5. Al-
Muhtadi 860-870 M, 6. Al-Mu‘tamid 870-892 M, 7. Al-Mu‘tadid 892-
902 M, 8. Al-Muktafi 902-908 M, 9. Al-Muktadir 908-932 M, 10. Al-
Qahir 932-934 M, 11. Ar-Radi 934-940 M, 12. Al-Muttaqi 940-944 M.
Periode kedua merupakan periode pengaruh Turki pertama. Karena pada
periode ini tentara Turki yang menjadi tentara Dinasti Abbasiyah berhasil
mendominasi pemerintahan Dinasti ini.
c. Periode ketiga. Khalifah Dinasti Abbasiyah pada periode ketiga dapat
disimak sebagai berikut: 1. Al-Muktafi 944-946 M, 2. Al-Muti 946-974
M, 3. At-Ta‘i 974-991 M, 5. Al-Qadir 991-1031 M, 5. Al-Qa‘im 1031-
1075 M. Pada periode ketiga dapat dikatakan pula sebagai periode
pengaruh Persia yang kedua. Karena pada saat itu dimana Dinasti
Buwaihiyah yang merupakan sebuah golongan dari bangsa Persia.
Dinasti ini juga memberikan peranan penting dalam pemerintahan
Dinasti Abbasiyah.
d. Periode keempat. Khalifah Dinasti Abbasiyah dapat disimak berikut
ini:1. Al-Qa‘im 1031-1075 M, 2. Al-Muqtadi 1075-1094 M, 3. Al-
Mustazir 1094-1118 M, 4. Al-Mustarsid 1118-1135 M, 5. Ar-Rasyid
1135-1136 M, 6. Al-Muqtafi 1136-1160 M, 7. Al-Mustanjid 1160-1170
M, 8. Al-Mustadi 1170-1180 M, 9. An-Nasir 1180-1225 M. pada periode
keempat pula disebut periode pengaruh Turki yang kedua. Karena pada
periode inilah sebuah golongan Bangsa Turki amat berkuasa dalam
kontelasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yakni Dinasti Seljuk.
e. Periode kelima. Adapun periode kelima dari Khalifah Dinasti Abbasiyah
dapat disimak sebagai berikut: 1. An-Nasir 1180-1225 M, 2. Az-Zahir
Page 41
24
1225-1226 M, 3. Al-Muntansir 1226-1242 M, 4. Al-Musta‘sim 1242-
1258M. Periode kelima inilah dimana Dinasti Abbasiyah tidak
dipengaruhi pihak manapun. Namun, kekuatan politik dan militer di
tubuh Dinasti Abbasiyah sangatlah lemah sehingga menyebabkan
kekuasaan dinasti ini menyusut hanya meliputi Irak dan wilayah
sekitarnya. Pada puncaknya Dinasti Abbasiyah mengalami kerutuhan di
tahun 1258 M karena ekspansi serangan tentara Mongol dipimpin Hulagu
Khan.
Lebuh lanjut Dinasti Bani ‗Abbasiyah pada periode pertama lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada
perluasan wilayah kekuasaan. Inilah perbedaan yang menonjol antara dinasti
Bani ‗Abbasiyah dengan Bani Umayyah. Selain itu, ciri-ciri yang menonjol
dari dinasti Bani ‗Abbasiyah yang tak terdapat pada zaman Bani Umayyah,
adalah:
1. Berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani ‗Abbasiyah
menjadi jauh dari pengaruh ‗Arab. Sedangkan dinasti Umayyah sangat
berorientasi kepada ‗Arab. Ada pengaruh kebudayaan dalam sistem
pemerintahan ‗Abbasiyah, yaitu: (a) pada periode pertama dan ketiga
pemerintahan ‗Abbasiyah dipengaruhi oleh kebudayaan Persia yang
sangat kuat, (b) pada periode kedua dan keempat pemerintahan
‗Abbasiyah, bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan
pemerintahan dinasti ‗Abbasiyah.
2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani ‗Abbasiyah ada jabatan
wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Sedangkan jabatan
ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
3. Ketenteraan professional baru terbentuk pada masa pemerintahaan Bani
‗Abbasiyah. Sebelumnya, pada dinasti Bani Umayyah belum ada tentara
khusus yang professional.
4. Perbedaan lain, pada masa Bani Umayyah merupakan masa ekspansi
daerah kekuasaan dan da‘wah Islam, sedangkan pada masa Bani
‗Abbasiyah adalah masa pembentukan dan dperkembangan kebudayaan
dan peradaban Islam (Yatim, 1998: 50)
Dalam hal ini, Pemerintahan dinasti Abbasiyah dipegang oleh seorang
khalifah yang memiliki wewenang sebagai pemegang semua kekuasaan.
Kepala Negara atau seorang khalifah dapat melimpahkan otoritas sipilnya
kepada seorang wazir, misalkan otoritas pengadilan dilimpahkan kepada
seorang hakim (qadhi) dan otoritas militer dilimpahkan kepada seorang
jenderal (amir). Kedudukan khalifah yaitu sebagai kepala negara tetap
dibutuhkan atau dinomor satukan yaitu sebagai pengambilan keputusan akhir
dalam semua urusan pemerintahan (Karim, 2007: 143).
Sebetulnya militer Dinasti Abbasiyah sangatlah kuat namun kekuatan
mereka di penghujung kejayaan kian bercerai-berai. Sebagaiamana dijelaskan
(Irawan, 2017: 20-21); Hulagu sengaja meminta menteri Muayyiduddin Al-
‗Alqami agar ia meyakinkan Khalifah Abbasiyah Al-Musta‘shim Billah agar
menurunkan budget militer, menurunkan jumlah tentara, agar negara tidak
mempunyai perhatian masalahmasalah persenjataan dan perang, tetapi tentara
Page 42
25
hendaknya bekerja di sektor-sektor sipil seperti pertanian, industri dan lain-
lain. Semua orang melihat sekarang, tentara di beberapa negara Islam
menanam sayur-sayuran, membangun jembatan, membangun pabrik roti dan
lain-lain. Tanpa menaruh perhatian dengan masalahmasalah: latihan tempur,
senjata dan jihad.
Menteri antek Tartar Muayyiduddin Al-‗Alqami itu benar-benar
melakukan permintaan Tartar itu. Ini tidaklah aneh bagi orang seperti dirinya,
yang benar-benar aneh adalah kenapa khalifah mau menerima ide-ide
memalukan itu. Hal itu sudah seharusnya dilakukan, sebagaimana dinyatakan
oleh menteri busuk itu agar tidak menimbulkan keberatan Tartar, dan untuk
membuktikan kepada mereka bahwa khalifah adalah tokoh perdamaian dan
tidak ingin perang, dan khalifah benar-benar menurunkan budget
persenjataan. Ia juga menurunkan jumlah tentara, sampai-sampai tentara
Abbasiyah yang dulu jumlahnya mencapai 100 ribu tentara kuda di akhir
masa Al-Mustanshir Billah, ayahanda Al-Musta‘shim Billah tahun 640 H, kini
jumlah tentara itu tidak lebih dari 10 ribu tentara kuda saja tahun 654 H Ini
berarti penurunan drastis dalam kemampuan militer Abbasiyah.
Tidak itu saja, bahkan para tentara itu kehidupannya fakir dan tersia-
siakan, sampai-sampai mereka mengemis di pasar-pasar. Latihan-latihan
militer juga diabaikan. Para perwira militer juga kehilangan posisi mereka. Di
antara mereka tidak ada lagi yang memiliki kemampuan dalam bidang
perencanaan, adminstrasi dan leadership. Muslimin lupa seni bertempur dan
berkelahi. Benak mereka benar-benar kosong akan makna jihad.
Ibnu Katsir sepenuhnya menyalahkan Muayyiduddin Al-‗Alqami dengan
nasehat-nasehatnya kepada khalifah Al-Musta‘shim Billah. Namun, Dr.
Raghib As-Sirjani lebih menyalahkan khalifah yang mau menerima kehinaan
ini dan rela dengan kerendahan. Dalam benak khalifah telah hilang bahwa
kewajiban terpenting sebagai penguasa adalah menjamin keamanan dan rasa
aman bagi rakyat. Ia harus mempertahankan tanah dan wilayahnya dari
serangan setiap serangan atau pendudukan musuh. Ia harus melakukan upaya
sekuat tenaga untuk memperkuat tentara, mempersenjatai prajuritnya. Ia harus
mendidik rakyat seluruhnya –bukan tentara saja- untuk cinta jihad dan mati di
jalan Allah. Khalifah Al-Musta‘shim Billah tidak melakukan itu semua.
Sebenarnya, ia tidak punya alasan. Sebab ia memiliki kekuasaan sepenuhnya
yang menjadikannya mampu mengambil keputusan. Namun, mentalnya
lemah, tidak kuat untuk mengambil keputusan-keputusan yang menentukan
(Irawan, 2017: 20-21).
B. Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah Menurut Badri yatim,
diantara hal yang menyebabkan kemunduran dinasti Abbasiyah adalah sebagai
berikut:
a. Adanya persaingan antar bangsa. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abbul
Abbas yang mana saat itu menjalin persekutuan dengan orang-orang Persia.
Adanya persekutuan tersebut karena dilatarbelakangi oleh persamaan nasib
yang sama-sama menjadi golongan tertindas saat Daulah Bani Umayyah
Page 43
26
berkuasa. Tetapi, setelah Dinasti Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap
mempertahankan persekutuan dengan orang-orang Persia.
b. Terjadinya Kemerosotan Ekonomi. Khilafah Abbasiyah juga mengalami
kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang
politik. Pada awal kekuasaannya, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan
pemerintahan yang kaya dan kuat. Aliran dana yang masuk lebih besar
daripada yang keluar sehingga bail-al-Mal penuh dengan harta. (Badri
Yatim, 2007: 82).
c. Timbulnya Konflik Keagamaan. Adanya fanatisme dalam beragama sangat
lekat kaitannya dengan permasalahan kebangsaan. Pada periode
Abbaasiyah, adanya konflik dalam tubuh pemerintahan Bani Abbasiyah
menjadi isu yang sangat kuat seahingga menimbulkam perpecahan. Adanya
berbagai macam aliran keagamaan seperti Mu‘tazilah, Syi‘ah Ahlus Sunnah
dan kelompok-kelompok lainnya menimbulkan kesulitan bagi pemerintahan
Abbasiyah dalam mempersatukan berbagai macam faham yang berbeda
tersebut.
d. Terjadinya Perang Salib. Perang Salib yang terjadi pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah termasuk salah satu sebab kemunduran dari Daulah Bani
Abbasiyah secara eksternal. Perang salib terjadi dalam kurun waktu yang
relatif lama dan panjang serta terbagi dalam beberapa gelombang. Perang
salib juga banyak menarik perhatian pemerintah masyarakat muslim saat itu.
Sehingga akibat dari terjadinya perang salib banyak korban yang gugur di
medan perang sehingga melemahkan pertahanan.
e. Serangan Bangsa Mongol. Tubuh pemerintahan yang kian melemah serta
penguasa yang sudah tidak memiliki kekuatan berarti membuat Dinasti
Abbasiyah mudah dikalahkan oleh pasukan Mongol yang brutal. Semua
peradaban dan kemajuan yang telah dibangun masyarakat muslim Bani
Abbasiyah hancur lebur berubah menjadi puing dan abu.
Adapun sebab-sebab kehancuran dinasti Abbasiyah ada dua faktor,
yaitu faktor intern dan faktor ekstern:
1. Faktor intern:
a. Lemahnya semangat patriotisme berbangsa dan bernegara
b. Tidak adanya sifat amanah para penguasa sehingga rusaknya moral
dan kerendahan budi
c. Tidak percaya akan kekuatan sendiri
d. Kefanatikan terhadap madzhab tertentu menjadikan adanya
persaingan dan perebutan dan melemahkan kesatuan umat
e. Kemerosotan ekonomi karena terlalu banyak biaya yang
dikeluarkan untuk anggaran tentara, sedangkan para penguasa
berfoya-foya, para pejabat dan keluarganya hidup mewah sehingga
banyak provinsi yang memisahkan diri dan membuat dinasti kecil di
luar Dinasti Abbasiyah
2. Faktor ekstern yaitu disintegrasi, akibat kebijakan untuk lebih
mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada
politik, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan dari
genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka bukan sekedar
Page 44
27
memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan
berusaha merebut pusat kekuasaan di bagdad. Hal ini di manfaatkan
oleh pihak luar dan banyak mengorbankan umat, yang berarti juga
menghancurkan Sumber Daya Manusia (SDM).
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan (Sari, 2015: 55-56); Keruntuhan
Dinasti Abbasiyah didorong oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Di antara yang menjadi faktor internal adalah kebijakan menyewa
tentara bayaran dari Turki untuk mengamankan pemerintahan. Kebijakan itu
menyebabkan keuangan negara menjadi sangat sulit karena biaya yang
dikeluarkan untuk menggaji tentara bayaran sangat besar. Padahal pada saat itu,
khalifah sudah tidak lagi punya kekuatan untuk memaksa provinsi-provinsi
membayar pajak ke Baghdad. Tentara bayaran asal Turki, pada akhirnya
semakin kuat menguasai pemerintahan. Selanjutnya, pada masa khalifah al-
Mutawakkil, orang-orang Turki berhasil merebut kekuasaan. Sejak saat itu,
kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas. Faktor internal lainnya
adalah kegemaran hidup bermewah yang dilakukan oleh para khalifah
sepeninggal Harunar-Rasyid. Setiap khalifah ingin hidupnya lebih mewah dari
khalifah sebelumnya. Gaya hidup mewah itu juga menjangkiti para hartawan
dan anak-anak pejabat. Ini mengakibatkan jumlah masyarakat miskin naik
tajam. Kemudian, terjadilah guncangan politik, ekonomi, dan sosial. Adapun
yang menjadi faktor eksternal adalah Perang Salib dan serangan tentara Mongol
ke wilayah kekuasaan Islam, terutama serangan langsung ke jantung kekuasaan
Abbasiyah, Bagdad.
Lebih lanjut menurut (Irawan, 2017: 11-12) Bani Abbasiyah mulai
mengalami kemunduran ketika pada masa periode kedua, yaitu dimulai ketika
masa Khalifah Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan
kemunduran Bani Abbasiyah, di antaranya adalah:
a. Lemahnya khalifah. Setelah kekuasaan Bani Saljuk berakhir, khalifah
Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu. Para
khalifah yang sudah merdeka dan berkuasa kembali wilayah kekuasaan
mereka sangat sempit dan terbatas, yaitu hanya di Baghdad dan
sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit menunjukkan
kelemahan politiknya.
b. Persaingan antarbangsa. Khilafah Bani Abbasiyah didirikan oleh Bani
Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Setelah berkuasa,
persekutuan itu tetap dipertahankan. Orangorang Persia masih belum
puas dan mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai
dari Persia pula. Selain fanatisme karaban, muncul juga fanatisme
bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu‘ubiyah. Sementara itu,
khalifah mengangkat budak-budak dari Persia dan Turki untuk menjadi
tentara atau pegawai. Hal ini mempertinggi pengaruh mereka terhadap
kekhalifahan. Ketika pada masa Al-Mutawakkil, seorang khalifah yang
dianggap lemah, kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang Turki dan
khalifah hanya dijadikan sebagai boneka. Posisi ini kemudian direbut
oleh Bani Buwaih, bangsa Persia , selanjutnya beralih ke tangan dinasti
Saljuk.
Page 45
28
c. Kemerosotan ekonomi. Bersamaan dengan kemunduran dibidang politik,
dinasti Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi.
Penerimaan negara menurun disebabkan makin menyempitnya wilayah
kekuasaan, banyak kerusuhan yang mengganggu perekonomian, dan
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri. Sementara
pengeluaran membengkak dikarenakan kehidupan para khalifah dan
pejabat yang bermewah-mewahan. Kondisi politik yang tidak stabil
menyebabkan perekonomian khilafah morat-marit.
d. Konflik sektarian. Munculnya gerakan Zindiq, yang dilatar belakangi
kekecewaan orang-orang Persia, membuat khalifah merasa perlu
mendirikan jawatan untuk mengawasi kegiatan orang-orang tersebut dan
memberantasnya. Gerakan ini mempropagandakan ajaran Maniisme,
Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Ketika mulai terpojok, mereka
berlindung di balik ajaran Syi‘ah. Sehingga banyak aliran Syi‘ah yang
dianggap ekstrem dan menyimpang. Syi‘ah adalah aliran yang dikenal
sebagai aliran politik yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah.
Keduanya, sering terjadi konflik yang kadang melibatkan penguasa.
Selain itu juga terjadi konflik antar aliran dalam Islam. Seperti konflik
antara Mu‘tazilah dengan gologan Salafiyah. Akibat dari kemunduran
dinasti Bani Abbasiyah ini, membuat mereka sangat rentan terhadap
serangan dari luar. Lemahnya para khalifah dan tidak adanya persatuan
di antara umat, mengakibatkan pertahanan negara mudah ditembus.
Sehingga ketika Mongol menyerang Baghdad, mereka dapat dengan
mudah menguasainya tanpa perlawanan yang berarti.
Lebih lanjut (Irawan, 2017: 15-16) menjelaskan mengenai detik-detik
kehancuran Dinasti Abbasiyah; Pada peristiwa penyerbuan bangsa Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu, cucu Jenghis Khan di Baghdad, selain motivasi
invasi dan penaklukan wilayah, penyerbuan ini adalah puncak dari sengketa
yang telah dimulai sejak tahun 1212 M. Pada bulan Shafar 656 H/1253 M,
Hulagu bersama ribuan tentaranya membasmi kelompok pembunuh
Hasyasyin dan menyerang Khilafah Abbasiyah. Hulagu mengundang Khalifah
Al-Musta‘shim (1242-1258) untuk bekerja sama menghancurkan kelompok
Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi, undangan itu tidak mendapat jawaban. Pada
tahun 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk ―kastil induk‖ di
Alamut, telah direbut. Dr. Raghib As-Sirjani, di dalam bukunya Qishshah At-
Tatar min Al-Bidayah ila „Ain Jalut. (Kairo: Mu‘assasah Iqra‘, 2006)
mendetilkan berbagai persiapan, usaha, dan operasi yang dilakukan oleh
Hulagu pada sebelum hingga penyerangan Baghdad. Upaya politis dan
diplomatis Hulagu juga merambah ke ranah tokoh-tokoh penting di istana
Abbasiyah. Ia bisa menggandeng Perdana Menteri Khilafah Abbasiyah. Ia
adalah orang kedua setelah khalifah di tubuh pemerintahan. Dialah Menteri
Muayyiduddin Ibnu Al-‗Alqami. Muayyiduddin adalah orang yang rusak, keji
dan pengikut Syiah Rafidhah (sekte syiah yang menolak khilafah Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khatthab). Ia sangat fanatik dengan syiahnya,
sangat benci dengan Sunnah dan Ahlussunnah. Sungguh aneh, ia bisa
Page 46
29
memperoleh pangkat tinggi ini dengan karakternya seperti itu, di sebuah
negara Sunni dengan nama khilafah.
Tentu saja penyebabnya karena kebodohan, ketiadaan visi dan
perencanaan dari Khalifah Al-Mus‘tashim Billah yang menyerahkan posisi
yang begitu penting kepada menteri yang busuk. Menteri seperti itulah yang
disebut dengan bithanah su‟ (pembisik, kabinet yang busuk). Dan semua
orang berakal tahu bagaimana bithana su‟ itu berperan dalam merusak negara
dan menghancurkan rakyat. Lebih parahnya lagi, menteri itu berada di
posisinya tidak cuma sebulan, dua bulan, atau setahun dua tahun, tetapi ia
berada dalam jabatannya selama 14 tahun penuh, dari tahun 642 H –tahun 656
H, yaitu ketika Baghdad jatuh. Jika selama masa itu khalifah tidak mengetahui
kebusukannya, maka jelas ini bukti kebodohan khalifah.
Hulagu menghubungi Muayyidduddin Al-‗Alqami, dengan
memanfaatkan kebusukan, fanatik syiah, dan kebenciannya terhadap sunni. Ia
bersepakat dengannya untuk mempermudah masuknya tentara Tartar ke
Baghdad dan membantu Tartar dengan memberi pendapat-pendapat dan
usulan-usulan menyesatkan kepada Khalifah Abbasiyah Al-Musta'shim
Billah. Sebagai imbalannya, ia akan memperoleh posisi strategis dalam
―dewan penguasa‖ yang akan menyetir urusan Baghdad setelah runtuhnya
khilafah dan dihabisinya khalifah. Menteri busuk itu melakukan tugasnya
dengan sebaik-baiknya.
Kesimpulan dari upaya-upaya diplomatik Tartar adalah mereka
melakukan kerjasama yang erat dan penting dengan para raja Nasrani dari
Armenia, Kurj dan Anthiokia. Membuat para emir Nasrani di Syam sedikit
banyak berbuat netral. Membangun koalisi rahasia dengan kaum Nasrani di
Syam dan Iraq. Juga membuat koalisi dengan emir-emir muslimin dan
Perdana Menteri Muayyidduddin Al- ‗Alqami. Ia mempunyai pengaruh yang
kentara dalam keputusan-keputusan khalifah, juga berada di balik peristiwa-
peristiwa yang terjadi di kawasan pada masa-masa itu. Melihat upaya-upaya
diplomatik yang dilakukan Minko Khan dan Hulagu, nampak keduanya telah
melakukan upaya besar bagi mempersiapkan serangan hebat, yang tujuannya
untuk mewujudkan hal yang sangat penting dan belum pernah terjadi di dunia,
walau sekalipun, yaitu menumbangkan ibukota khilafah Islam. Tentu, semua
upaya-upaya diplomatik ini mempunyai peran yang besar dalam
mensukseskan rencana Tartar untuk menjatuhkan khilafah Islam.Patut
disebutkan di sini, muslimin secara umum –kecuali sedikit- mengawasi situasi
ini dari jauh, seolah-olah hal itu bukan urusannya. Atau mereka merasa sangat
terpukul sehingga membuat seorang yang punya semangat bergerak menjadi
mandek (Irawan, 2017: 11-12).
Lebih lanjut Irawan menyimpulkan; Puing-puing kemegahan kota
Baghdad sebagai pusat kajian khazanah keilmuan dan peradaban Islam tinggal
kenangan. Selain berakhirnya kekuasaan Khilafah Abbasiyah juga menandai
mundurnya peradaban Islam dalam percaturan internasional. Pemusnahan
naskah-naskah, manuskrip, dan karya para ilmuwan tidak hanya berupa
hancurnya Baitul Hikmah tetapi juga berarti lenyapnya karyakarya
monumental para ilmuwan terdahulu.
Page 47
30
Ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan, tentang alasan mengapa
bengisnya Hulagu Khan dalam menaklukan Baghdad. Ada yang berpendapat
karena ―dendam‖ persia yang mengalir dalam darah istri kesayanganya, tapi
ini juga banyak yang meragukan karena panjangnya masa yang terbentang
dari penaklukan Persia (th. 661 M) ke penaklukan Baghdad (1258 M). Teori
kedua adalah masalah ekonomi. Beberapa kali dalam transaksi perdagangan,
Persia mongol yang dipimpin Hulagu selalu dikadali pihak Baghdad sehingga
menimbulkan kerugian yang besar. Di dalam negeri pun (kekuasaan
Abbasyiah saat itu sudah menyempit hanya seputar Iraq) Khalifah Mus‘tasim
juga dibenci penduduknya karena tinggi-nya pajak. Sehingga beberapa daerah
otonom mendeklarasikan kemerdekaannya. Teori kedua ini diperkuat dengan
ilustrasi bagaimana Hulagu Khan memperlakukan si Khalifah yang
ditaklukannya. Sang Khalifah di penjara bersama harta kekayaannya, seperti
ingin menertawakan kegilaan harta Al-Musta‘shim. Praktik menarik pungutan
seraya mengancam akan membumihanguskan menjadi gambaran biasam Ini
baru satu gambaran tentang masa-masa akhir Dinasti Abbasyiah yang jauh
dari apa yang disebut akhlaqul Islamiyah. Gambaran lain adalah potret
perdagangan yang jujur menjadi hal langka, bahkan pedagang asal Baghdad
terkenal akan kelicikannya pada masa itu.
Meskipun demikian, ada hikmah di balik musibah. Terjadilah hal yang
mungkin dianggap musykil dan tidak terbayangkan, di mana dari keturunan
mereka yang memusuhi umat Islam di bawah komando Jenghis Khan ternyata
banyak yang kemudian justru memeluk Islam. Pengaruhnya bisa dirasakan
ketika sebagian besar bangsa di Asia Tengah memeluk Islam hingga saat ini.
Apa yang terjadi dahulu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.
Para penguasa menyedot kekayaan negara untuk dirinya sendiri dan
menetapkan hukum secara sewenang-wenang terhadap masyarakat menurut
selera mereka. Siapa saja yang menyanjung perbuatan mereka yang
melanggar syariat pasti akan dinaikkan pangkatnya. Dan siapa saja yang
menyelisihi atau mengingkari kemungkaran dan perbuatan buruk itu pasti
akan dihancurkan haknya dan akan direndahkan kedudukannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa aspek-aspek kehidupan manusia saling
terkait satu sama lainnya. Seiring rusaknya kehidupan politik yang semakin
terpuruk, pada akhirnya juga merusak kehidupan sosial hingga jatuh ke
derajat yang paling hina dan rendah. Selanjutnya, lemahnya solidaritas dan
perpecahan adalah sumber kehancuran, sehingga menjadi kesempatan
mengundang pihak musuh Islam untuk mengksploitasinya. Gambaran singkat
dampak serangan pasukan Mongol di Baghdad terhadap perjalanan sejarah
peradaban Islam, yang mana catatan hitam ini menjadi pelajaran berharga
bagi generasi selanjutnya. Bahkan, sejarah ini juga menjadi catatan penting
dalam pembangunan sejarah peradaban Islam selanjutnya (Irawan, 2017: 29-
30).
Page 48
31
C. Ilmuwan Muslim pada Masa Bani Abbasiyah
1. Pengertian Ilmu dan Ilmuwan
Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang begitu saja seperti
barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu
merupakan suatu cara berpikir yang demikian rumit dan mendalam tentang
suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang handal. Handal
dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan
secara terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab
masalah-masalah kehidupan. Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan
manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya
kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya. Dengan demikian
maka pengertian yang mendalam terhadap hakikat ilmu, bukan saja akan
mengikatkan apresiasi kita terhadap ilmu, namun juga membuka mata kita
terhadap berbagai kekurangan (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 3).
Ilmuwan adalah orang yang ahli atau memiliki banyak pengetahuan
mengenai suatu ilmu. Dalam arti yang lain, ilmuwan adalah orang yang
berkecimpung dalam ilmu pengetahuan.
Dalam konteks pengembangan ilmu, seorang ilmuwan harus memiliki sikap
ilmiah sebagai bagianintegral dari sifat ilmu. Hal ini disebabkan oleh karena
sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu
pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan
bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk
mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan
alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya
selaras dengan kehendak manusia dan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain:
a. pertama tidak ada rasa pamrih (disinterestedness), artinya suatu sikap yang
diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan
menghilangkan suatu pamrih atau kesenangan pribadi;
b. kedua, bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan
mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi.
Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing
menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu
cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya;
c. ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun
terhadap alat-alat indera serta budi (mind),
d. keempat, adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan
dengan merasa pasti (cinviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang
terdahulu telah mencapai kepastian,
e. kelima, adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu
tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada
dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang meninjol dalam
hidupnya,
Page 49
32
f. keenam, seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlaq) yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untukkemajuan ilmu dan untuk
kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara
(Abbas Hamami, 1996: 161-162).
2. Ilmuan Muslim Pada Masa Bani Abbasiyah
Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak
golongan sarjana dan Ilmuwan yang cukup hebat dalm berbagai bidang
keilmuwan. Dalam ajaran Islam, jika seseorang menemukan alat atau apapun
yang belum ada diciptakan oleh siapapun, maka wajiblah baginya untuk
menyebarkannya kepada umat manusia agar mereka semakin dapat
mempermudah pekerjaannya dan menjadikan mereka semakin bersyukur
kepada Allah.
Pada masa Bani Abbasiyah, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Mulai
dari bidang kedokteran, astronomi, kimia, matematika, filsafat dan yang
lainnya. Di setiap bidang ilmu pengetahuan tentu saja ada tokoh yang
mempeloporinya. Berikut beberapa tokoh Ilmuwan muslim pada masa Bani
Abbasiyah di antaranya;
1. Al-Kindi. Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya‘qub bin Ishaq ibn
Sabbah ibn Imran ibn Ismail bin Muhammad bin Al-Ash‘ats bin Qais Al-
Kindi. (Dedi Supriyadi, 2019: 50). Lahir di Kufah, iraq sekarang tahun 801
M, pada masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dari Dinasti Bani
Abbasiyah. Pendidikan al-Kindi dimulai di Kufah, dengan pelajaran yang
umum saat itu, yaitu al-Qur‘an, tata bahasa Arab, kesusteraan, ilmu hitung,
fiqih dan teologi. Yang perlu dicatat, kota kufah sst itu merupakan pusat
keilmuwan dan kebudayaan Islam, di samping Basrah, dan Kufah cenderung
pada studi keilmuwan rasional (aqliyah). Kondisi dan situasi inilah
tampaknya yang kemudian meggiring Al-Kindi untuk memilih dan
mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.
2. Al-Khawarizmi (194-266 H). Beliau telah menyusun buku Aljabar dan
menemukan angka nol (0). Angka 1-9 berasal dari Hindu, yang telah
dikembangkan oleh umat Islam (Arab).
3. Umar Khayam. Buku karyanya adalah Treatise On Algebra dan buku ini
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis.
Lebih lanjut, Naskah Yunani diterjemahkan dalam bahasa Syiria Kuno lalu
dalam bahasa Arab. Hal ini karena penerjemah pendeta Kristen Syiria hanya
memahami bahasa Yunani. Kemudian ilmuan berbahasa Syiria dan Arab
menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pelopor penerjemahan Khalifah Abu
Ja`far Al Manshur. Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya,
makmur sebaliknya dunia Barat masih dalam kegelapan, bodoh dan primitif
(Sunanto, 2003: 54).
Pada masa tersebut dikenal ahli agama antara lain Imam Syafi`i yang pernah
mengajar fiqh di Baqdad. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi`i
menolak menjadi Qadi Dinasti Abbasiyah (Ahmad, 1996: 89). muncul tokoh
dalam bidang keilmuan masing-masing misalnya: Yahya ibn Haris, Hamzah ibn
Habib, Abu Abdurrahman Al Muqri, Khalaf ibn Hisyam, Abdullah ibn Abbas,
Page 50
33
Muqatil ibn Sulaiman, Muhammad ibn Ishak, Imam Muslim, Ibnu Muqaffa dll.
Adanya tokoh-tokoh intelektual menjadi bukti konkret kemajuan Islam yang
identik dengan The Golden Age (Bakar, 2000: 84). Ilmuan-ilmuan muslim
bermunculan ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa; a. Ilmu Naql Ilmu Naql
adalah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur`an, mencakup: ilmu qiraat,
tafsir, ilmu hadits, fiqh, ilmu kalam, nahwu, bahasa, bayan dan adab
(kesusastraan). 1) Ilmu Qiraat Ilmu qiraat dianggap fase awal dan cikal bakal
tafsir Al-Qur`an. Penyebab terjadinya beragam qiraat menjadi tujuh. Ahli qiraat
yang terkenal:Yahya ibn Haris Az Zamari, Hamzah ibn Habib Az Zayyat, Abu
Abdurrahman Al Muqri dan Khalaf ibn Hisyam Al Bazzar. 2) Tafsir Ahli tafsir
dalam menafsirkan Al-Qur`an berorientasi pada dua arah yaitu: at tafsir bi al
ma`sur dan at tafsir bi ar ra`yi. Seiring berjalannya waktu at tafsir bi al ma`sur
menerima pendapat ahli kitab yang masuk Islam, yaitu pendapat dari Taurat
dan Injil. Ahli tafsir yang terkenal adalah Abdullah ibn Abbas, Muqatil ibn
Sulaiman Al Azadi, Muhammad ibn Ishak, Jarir At Tabari. Pada masa ini
muncul kelompok Mu`tazilah (para pemikir bebas), mereka pendapatnya
bersandar pada akal. Dalam memerangi kelompok ini didirikan pendidikan
yang berasaskan Al-Qur`an dan membuat dalil yang mematahkan dalil musuh
yang terambil dari Al-Qur`an melalui tafsir. 3) Hadits Bangsa Arab baru
membukukan hadits sejak abad kedua hijriyah. Sehingga lahir ulama hadits
antara lain: Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, pengarang Sahih
Bukhari-Muslim. Kemudian muncul Abu Daud, pengarang kitab As Sunan, At
Tirmizi, pengarang kitab Al Jami`, An Nasa`i dan Ibnu Majah keduanya
pengarang kitab As Sunan dengan nama Al Kutub As Sittah. 4) Fiqh Diantara
ahli fiqh masa ini adalah Imam Malik ibn Anas, mengarang kitab Al Muwata`,
Al Mudawwanah. Ahmad ibn Hambal, Imam Syafi`i, Abu Hanifah, Al Lais ibn
Sa`d, Abu Yusuf, karyanya berupa Kitab Al Kharraj (disusun atas permintaan
Khalifah Harun Al-Rasyid). Kitab ini memuat urusan keuangan negara yang
hanya dikuasai oleh pejabat seperti Abu Yusuf dan berada dekat dari khalifah
serta menguasai fiqh. 5) Ilmu Kalam Ilmu kalam dirangkai berdasarkan logika,
terutama dalam hal yang berhubungan dengan akidah. Orang yang fokus dalam
ilmu ini disebut mutakallimun. Pada awalnya mutakallimun ditujukan kepada
orang yang fokus pada akidah keagamaaan, namun selanjutnya ditujukan
kepada yang menyalahi Mu`tazilah dan menjadi pengikut Ahlu Sunnah Wal
Jamaah. Ahli ilmu kalam terkemuka adalah Wasil ibn Ata, Abu Huzail Al
`Allaf, An Nizam, Abu Hasan Al Asy`arid an Hujjatul Islam Imam Gazali. 6)
Ilmu Nahwu Ahli ilmu nahwu Basrah disebut ―ahli logika‖. Diantara ilmuan itu
adalah Al-Asma`i dan Abu Ubaidah, Al-Mubarrad pengarang kitab Al Kamil. 7)
Kesusastraan a) Syair Penyair Abbasiyah yang terkenal adalah Abu Nawas,
dengan syairnya tentang arak, asrama, berburu dan ragam obyek syair lainnya
sejalan dengan kebudayaan dan kemewahan yang tersebar masa itu. Kehidupan
penyair tergantung kedekatan pada khalifah dan pembesar negara, oleh karena
itu syair sanjungan menjadi ciri utama syair masa ini. b) Prosa Abdullah ibn Al
Muqaffa menerjemahkan buku Pahlevi (Persia Kuno). Diantaranya Kalilah Wa
Dimnah dalam bahasa sanskerta. Ini dianggap sebagai buku prosa tertua sastra
Arab, tinggi susunan kalimat dan ungkapan. Pujangga masa ini, Abdul Hamid
Page 51
34
Al Katib, melakukan hal baru dalam menulis surat di awal surat ada pujian,
pembagian paragraf dan pasal, penutup surat, termasuk muatan surat yang
panjang lebar berkenaan dengan raja dan politik. b. Ilmu Aql Ilmu aql adalah
ilmu yang diambil orang Arab dari bangsa non Arab. Ilmu aql mencakup :
geografi, matematika, astronomi, kimia, filsafat, sihir, sejarah, teknik, ilmu
astrologi, musik, kedokteran dan seni arsitektur. 1. Geografi (ilmu bumi)
Perluasan wilayah dagang mendorongnya menulis untuk menerangkan apa
yang dialami. Tokohnya Ibn Khurdadbih menulis Kitab al-Masalik. Buku ini
merupakan petunjuk resmi dan hasil karya geografi tertua dalam bahasa Arab 2.
Matematika dan astrologi Pithagoras merupakan guru bangsa Arab dalam
bidang matematika, menurutnya seseorang tidak akan menjadi filosof dan
dokter yang baik tanpa mempelajari matematika. Dalam ilmu hitung terkenal
Imran ibn Al Wadhdhah dan Shihab ibn Kasir. Astrologi sangat dibutuhkan,
contohnya saat pembangunan kota Bagdad. Serta pemilihan waktu untuk
membai`at Ali Ar Rida. Ahlinya Al-Haris dan Ja`far ibn Umar Al Balkhi,
penulis Isbat Al`Ulum dan Haiah Al Falak. 3. Astronomi Ibn Ma`shar awalnya
ahli hadits, kemudian mempelajari astronomi dan setelah 47 tahun berhasil
membuat karya. 4. Kimia Jabir ibn Hayyan (ahli kimia), adalah orang Tarsus di
Eropa terkenal dengan nama Gaber. Ia banyak menulis buku kimia,
pertambangan dan batu-batuan yang bermanfaat bagi Eropa. 5. Filsafat Pada
periode ini ide Yunani memasuki pemikiran Islam. Beberapa filsuf Islam
karyanya diterjemahkan dalam bahasa Latin. Tokoh pertama yang mengenalkan
filsafat Yunani ke dalam dunia Islam adalah Al-Kindi. Teologi Al-Kindi dekat
dengan kaum Mu`tazilah sehingga disukai Khalifah Al-Ma`mun, Al-Mu`tasim
dan Al-Watsiq. Setelah kebijakan di bawah Al-Mutawakkil ia mengalami
penderitaan, bahkan perpustakaannya pernah disita walaupun pada akhirnya
dikembalikan, 6. Sejarah Ibn Muqaffa menerjemahkan Kitab Khuday Nameh
(Kitab Al Muluk) dari bahasa Pahlevi ke dalam bahasa Arab, dan dinamai Siyar
Muluk Al `Ajm. Buku ini dianggap contoh buku sejarah dikalangan bangsa
Arab. Hisyam ibn Muhammad Al Kalbi (wafat 204 H) dan ayahnya adalah
orang pertama bangsa Arab yang menulis dalam ilmu sejarah (Oktaviyani, 2018
188-191).
D. Konsep Lembaga Pendidikan Islam
Mengulas mengenai lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini Madrasah
merupakan lembaga pendidikan di dalamnya terdapat kurikulumnya yang
mengajarkan mata pelajaran dari berbagai disiplin keilmuan namun secara
umum ada tambahan pendidikan Islam melalui mata pelajaran seperti Aqidah
Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudaayaan Islam, Al Qur‘an Hadits, Bahasa Arab dan
lain sebagainya. Adapun kata ―madrasah‖ berasal dari bahasa Arab yang artinya
tempat belajar. Kata madrasah dalam bahasa Indonesia disamakan dengan kata
sekolah Islam, karena jika dikatakan madrasah maka sudah jelas maksudnya
adalah sekolah yang berbasis agama Islam, tetapi berbeda dengan lembaga
pendidikan Islam seperti pesantren walaupun sama sama sekolah Islam. Perlu
diketahui yang membuat madrasah dan pesantren berbeda adalah kurikulum
dan sistem pendidikan yang dipakai masing-masing lembaga, serta elemen-
Page 52
35
elemen dasar yang dimiliki tiap lembaga pendidikan. Elemen-elemen dasar
pesantren adalah kiai, santri, pondok, mesjid dan pengajaran kitab-kitab klasik,
sedangkan di madrasah tidak mengharuskan memiliki elemen-elemen tersebut
(Thoha, 2011: 239).
Pendidikan Islam mempunyai objek kajian yang sangat luas untuk dipelajari
dan dipahami, salah satu diantaranya adalah objek sejarah yang bersumber
melalui penuturan secara mutawatir yang terbukti bersumber dari pelaku
sejarah, bisa juga sejarah yang bersumber dari data-data yang ditemukan
melalui tulisan-tulisan yang representatif dan pembuktian dari benda-benda
bersejarah yang menjadikan sejarah itu menjadikan suatu yang benar-benar
terjadi (Thoha, 2011: 1). Lebih lanjut; pendidikan Islam sebagai proses
bimbingan (pimpinan, tuntunan, asuhan) oleh pendidik terhadap perkembangan
jiwa dan raga anak didik dengan bahan-bahan materi tertentu dengan alat
perlengakapan yang ada ke arah tercapainya pribadi tertentu (Islami) disertai
evaluasi dengan ajaran Islam (Thoha, 2011: 3). Pada perkembangannya
lembaga pendidikan Islam dibagi menjadi tiga bagian: Langgar, atau Surau,
selain merupakan tempat mengenalkan dadsar-dasar dan jiwa keagamaan.
Pengajarannya Al Quran, do‘a dan bacaan sholat bagi anak-anak yang
dilakukan dengan cara meniru, mengulang, dan menghapal. Tujuan yang utama
agar murid dapat membaca Al Quran sampai khatam. Pondok Pesantren,
merupakan ciri khas bagi kehidupan para santri untuk mendalami ilmu agama.
Ciri utama dari pondok pesantren adalah adanya masjid sebagai pusat kegiatan
para santri. Lamanya belajar di pesantren tidak dibatasi, sedangkan materinya
hanya pelajaran keagamaan. Yang meliputi: Ushuluddin (pokok-pokok
keimanan), Fiqih, Ushul Fiqih, Nahwu, Sharaf, dan sebagainya. Namun, sistem
ini lambat laun berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan
zaman. Pesantren mulai mempelajari materi-materi lain, selain materi
keagamaan, dengan tanpa mengesampingkan nuansa keagamaannya, tradisi
pesantren yang telah ada (Tafsir dkk, 2004: 51-52).
Khusus mengenai lembaga pendidikan Islam Masrasah di mana
perkembangannya pada era modern mengalami banyak transformasi misalnya
di Indonesia Madrasah, adalah lembaga pendidikan formal (sekolah) yang tidak
hanya mempelajari ilmu pengetahuan keagamaan, namun juga ilmu
pengetahuan umum. Lain halnya dengan pesantren, biasanya siswa-siswi
madrasah tidak harus tinggal di asrama. Madrasah ini dengan tahapan, MI
(Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah
Aliyah), Al Ja>mi‘ah (Perguruan Tinggi/UIN) Sedangkan dari sisi lain,
lembaga-lembaga pendidikan Islam dewasa ini, terdapat banyak jenis dan
bentuknya. Secara garis besar, ada tiga macam bentuk lembaga pendidikan
Islam, yaitu: lembaga pendidikan informal, lembaga pendidikan nonformal,
lembaga pendidikan formal (Suharto dkk, 2005: 102-105);
a. Lembaga Pendidikan Informal. Maksud dari lembaga informal ini adalah
pendidikan keluarga. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang
pertama bagi anak-anak. Di dalam keluarga inilah tempat meletakkan
dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia dini, karena pada usia ini,
Page 53
36
anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidikan orang tuanya atau
anggota keluarga lainnya.
b. Lembaga Pendidikan Nonformal. Maksudnya adalah lembaga pendidikan
yang ada di masyarakat, baik berupa pengajianpengajian, majelis taklim
atau yang lainnya. Majelis taklim misalnya, ia adalah lembaga pendidikan
yang ada di masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari kalangan
masyarakat Islam itu sendiri, yang kepentingannya untuk kemaslahatan
umat manusia. Maka, majelis taklim adalah lembaga swadaya masyarakat
yang keberadaannya didasarkan pada keinginan untuk membangun
masyarakat yang madani.
c. Lembaga Pendidikan Formal atau Sekolah. Sekolah adalah lembaga
pendidikan yang penting setelah keluarga. Semakin besar kebutuhan anak
dan semakin besar kehidupan keluarga, orang tua biasanya menyerahkan
tanggung jawab pendidikannya kepada lembaga sekolah. Sekolah di sini
berfungsi sebagai pembantu lembaga keuarga dalam mendidik anak. Tugas
guru dan pemimpin sekolah, di samping memberikan ilmu pengetahuan
dan keterampilan, juga memberikan bimbingan yang sesuai dengan tuntutn
agama.
Lebih lanjut (Suharto dkk, 2005) menjelaskan bahwa lembaga pendidikan
Islam khususnya di Indonesia menghadapi tantangan adapun tantangan yang
dimaksud sebagai berikut:
a. Tantangan bidang politik. Lembaga pendidikan Islam harus menghadapi
tantangan di bidang ini dengan obyektif, yaitu mau tidak mau harus
mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah di
dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), demi
mencapai tujuan perjuangan nasional, yaitu dengan cara terlibat aktif dalam
perumusan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan kependidikan.
b. Tantangan bidang kebudayaan. Di antara budaya asing yang mempengaruhi
kebudayaan bangsa ini adalah ―tren seks bebas‖. Ini merupakan tantangan
besar bagi lembaga pendidikan Islam untuk membentengi anak-anak bangsa
dari pengaruh-pengaruh negatif yang diakibatkan oleh kebudayaan tersebut.
Kalau tidak demikian, nilai-nilai kultural bangsa ini akan terancam pudar
dan akan musnah seiring berlalunya waktu.
c. Tantangan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehadiran alat-alat
canggih, sepert radio, televisi, komputer dan alat-alat elektronik lainnya
tentunya akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Alat-alat canggih
ini merupakan tantangan bagi pendidik dalam pengembangan sumber daya
manusia. Sebab, alat-alat ini dapat membawa dampak positif dan negatif,
termasuk juga adanya internet. Maka, tujuan pendidikan masa sekarang
tidak hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan,
keimanan, dan ketakwaaan saja, tetapi juga harus diarahkan pada upaya
melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri, dan produktif,
mengingat dunia yang akan datang adalah dunia yang kompetitif, penuh
persaingan.
d. Tantangan bidang ekonomi. Ekonomi merupakan tulang punggung
kehidupan suatu bangsa yang dapat menentukan maju-mundur, lemah-kuat,
Page 54
37
dan lambat-cepatnya suatu proses perkembangan sistem kependidikan dalam
masyarakat suatu bangsa. Oleh karena itu, kehidupan ekonomi suatu bangsa
banyak mempengaruhi pertumbuhan lembaga pendidikan. Maka, problem-
problem kehidupan ekonomi perlu dijawab oleh lembaga-lembaga
pendidikan.
e. Tantangan bidang sistem nilai. Sistem nilai adalah tumpuan norma-norma
yang dipegang oleh manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk
sosial, baik itu berupa norma tradisional maupun norma agama yang telah
berkembang dalam masyarakat. Sistem nilai juga dijadikan tolok ukur bagi
tingkah laku manusia dalam mayarakat yang mengandung potensi
mengendalikan, mengatur dan mengarahkan perkembangan masyarakat itu
sendiri. Namun demikian, sistem nilai tersebut bukannya tidak dapat
mengalami perubahan, terutama diakibatkan oleh faktor kemajuan berpikir
manusia itu sendiri maupun dari desakan oleh sistem nilai yang sianggap
lebih baik. Oleh karena itu, lembaga pendidikan perlu memberikan jawaban
yang tepat, sehingga kecenderungan dan sikap berpikir masyarakat tidak
terombang-ambing tanpa arah yang jelas.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari masyarakat
atau bangsa. Dalam operasionalitasnya selalu mengacu dan tanggap kepada
kebutuhan perkembangan masyarakat. Tanpa bersikap demikian, lembaga
pendidikan Islam dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural.
Kesenjangan inilah menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan dan
masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya
berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat. Oleh karena
itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam haruslah sesuai dengan tuntutan dan
aspirasi masyarakat, sebab tanpa memperhatikan hal tersebut, barangkali
untuk mencapai kemajuan dalam perkembangannya agak sulit (Hasbullah,
1996: 38-39).
E. Lembaga Pendidikan Pada Masa Bani Abbasiyah
Pada masa dinasti Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang
dengan sangat pesat sehingga anak-anak bahkan orang dewasa berlomba-lomba
menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat-pusat pendidikan meninggalkan
kampung halaman mereka, demi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dan
salah satu indikator berkembang pesatnya pendidikan dan pengajaran ditandai
dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Dalam dunia Islam sebelum munculnya lembaga pendidikan formal, mesjid
dijadikan sebagai pusat pendidikan selain untuk tempat menunaikan ibadah dan
mesjid-mesjid yang didirikan oleh para penguasa pada umumnya dilengkapi
dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan diantaranya
tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari ulama-ulama
yang merupakan kelompok-kelompok (khalaqah), tempat untuk berdiskusi dan
munazharah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan
ruang perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan
yang cukup banyak. Selain mesjid sebenarnya telah berkembang pula lembaga-
lembaga pendidikan Islam lainnya baik yang bersifat formal maupun non
Page 55
38
formal, lembaga-lembaga ini berkembang terus bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya bentuk-bentuk lembaga pendidikan baik non formal maupun
formal yang semakin luas.
Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa dinasti
Abbasiyah tersebut adalah :
a. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar sewaktu agama Islam diturunkan
Allah sudah ada di antara para sahabat yang pandai tulis baca. Kemudian
tulis baca tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat
dalam Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam.
Kepandaian tulis baca dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam
ternyata memegang peranan penting dikarenakan dari awal pengajaran
alqur‘an juga telah memerlukan kepandaian tulis baca, karena tulis baca
semakin terasa perlu maka kuttab sebagai tempat belajar menulis dan
membaca, terutama bagi anak-anak berkembang dengan pesat.
b. Pendidikan rendah di istana, Pendidikan rendah di istana muncul
berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan
anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia
dewasa. Atas pemikiran tersebut khalifah dan keluarganya serta para
pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan pendidikan rendah ini agar
anak-anaknya sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan
tugas-tugas yang akan diembannya nanti. (Zuhairini, 2004:92).
c. Toko-toko kitab, Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam
yang semakin pesat terus diikuti dengan banyak buku-buku yang dibuat
dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka
banyaklah toko-toko yang berdiri yang menyediakan buku-buku yang telah
dibuat oleh para penulis buku. Sehingga menjadi lahan ekonomi juga bagi
para pedagang.
d. Rumah-rumah Para Ulama. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan
penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum.
Pelaksanaan kegiatan belajar di rumah pernah terjadi pada awal permulaan
Islam, Rasulullah Saw misalnya pernah menggunakan rumah al-Arqam
(Dar al-Arqam) bin Abi al-Arqam sebagai tempat belajar dan mengajar
tentang dasar-dasar agama yang baru serta membacakan ayat-ayat al-
qur‘an yang di turunkan. Dan pada masa Abbasiyah di antara rumah-
rumah para ulama yang digunakan sebagai lembaga pendidikan, rumah
yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-Rais Ibn
Sina; sebagian ada yang membaca kitab al-Syifa‘ dan sebagian lain
membaca kitab al-Qanun. (Abuddin Nata, 2011:156-157).
e. Majelis atau Salon Kesusastraan. Majelis atau salon kesusastraan adalah
sebuah majelis khusus yang dibangun oleh khalifah Harun al-Rasyid, dan
dipergunakan sebagai sarana atau tempat untuk membahas berbagai
macam ilmu pengetahuan. Pada masa itu, yaitu masa khalifah Harus al-
Rasyid, majelis sastra ini sangat diminati dan mengalami kemajuan yang
gemilang, karena Harun al-Rasyid sendiri adalah salah seorang yang mahir
dan ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan beliau juga
seseorang yang cerdas, maka beliau juga terjun aktif dalam mengisi kajian
Page 56
39
di majelis tersebut. Bahkan pada masa beliau juga sering diadakan
perlombaan antara ahli-ahli syair, debat antar fuqaha serta sayembara bagi
ahli kesenian dan pujangga. (Suwito, 2008:103).
f. Badiah. Badiah merupakan dusun-dusun tempat tinggal orang Arab yang
mana mereka tetap konsisten mempertahankan keaslian dan kemurnian
bahasa Arab. Mereka sangat memperhatikan kefasihan atau artikulasi yang
baik dan benar dalam berbahasa Arab dan memelihara kaidah-kaidah tata
bahasanya. Biasanya para khalifah mengirim anak-anaknya ke badiah
untuk mempelajari bahasa Arab murni serta syair-syair sastra Arab dari
sumber yang terpercaya. Bukan hanya anak-anak, para ulama serta ahli
ilmu juga datang ke badiah untuk belajar, karena fungsi badiah juga
sebagai lembaga pendidikan Islam.
g. Rumah Sakit. Untuk mewujudkan kesejahteraan para khalifah dan
pembesarpembesar Negara pada masa ini, banyak mendirikan rumah-
rumah sakit, rumah-rumah sakit tersebut selain sebagai tempat merawat
dan mengobati orang-orang sakit juga berfungsi sebagai tempat untuk
mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan
pengobatan serta tempat untuk mengadakan berbagai penelitian dan
percobaan (praktikum) dalam bidang kedokteran dan obat-obatan,
sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau
farmasi. Dengan demikian rumah sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi
sebagai lembaga pendidikan. (Zuhairini, 2004: 97).
h. Perpustakaan dan Observatorium. Dalam rangka mengembangkan ilmu
pengetahuan yang terjadi pada masa Abbasiyah, maka didirikanlah
perpustakaan dan observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah
lainnya. Pada lembaga ini, para penuntut ilmu diberikan kesempatan untuk
belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuannya. Tempat-tempat ini
juga digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti yang luas, yaitu
belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang
umumnya dipahami, melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada
aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan cara memecahkan
masalah, eksperimen, belajar sambil bekerja (learning by doing), dan
inquiry (penemuan). (Abuddin Nata, 2011:161). Kegiatan belajar yang
demikian ini dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-
lembaga pusat kajian ilmiah.
i. Madrasah. Madrasah muncul pada masa dinasti Abbasiyah sebagai
kelanjutan dari pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di
masjid-masjid dan tempat lainnya, selain minat masyarakat yang semakin
meningkat untuk mempelajari ilmu pengetahuan juga semakin
berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan untuk
mengajarkannya diperlukan guru yang lebih banyak, sarana dan prasarana
yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi yang lebih teratur. Untuk
menyelesaikan semua keperluan ini dibutuhkan suatu lembaga yang
bersifat formal, yaitu: madrasah.
Page 57
40
F. Ilmu Pengetahuan dan Kemajuan Peradaban Dinasti Abbasiyah
Sebagaimana Dinasti dalam sejarah pasti mengalami masa keemasan atau
kejayaan. Masa keemasan bisa ditandai dengan kemajuan yang pesat pada
bidang-bidang tertentu. Kemajuan dan keemasan dalam Islam, dapat dikatakan
terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah. Sehingga masa itu
dikenal dengan istilah ―The Golden Age of Islam‖.
Dinasti Bani Abbasiyah yang didirikan oleh al-Saffah dan al-Mansur ini
mencapai masa kejayaannya sejak masa khalifah al-Mansur hingga Khaifah
Wathiq. Kejayaan yang paling gemilang adalah pada masa pemerintahan Harun
al-Rasyid dan puteranya khalifah al-Makmun. bahkan, istana khalifah Harun ini
sangat terlihat kemegahan dan kemewahannya, dan disana sering kedatangan
para pujangga, ilmuan dan tokoh-tokoh penting dunia.
Sesungguhnya umat Islam telah banyak dipersiapkan dan dimotivasi untuk
dapat mengembangkan, melakukan inovasi serta kreatifitas dalam upaya
membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan hidup.
Dari sejarah yang ada, Bani Abbasiyah telah lebih banyak memberikan
sumbangsih kepada peradaban Islam jika dibandingkan dangan Bani Umayyah.
Runtuhnya Bani Umayyah yang kemudian digantikan oleh Bani Abbasiyah
bukan hanya sebagai pergantian kepemimpinan, tetapi lebih dari itu. Bani
Abbasiyah telah menorehkan sebuah sejarah peradaban Islam yang gemilang.
Dunia Islam pada masa kepemimpinan Abbasiyah telah memberikan banyak
kontribusi, refleksi kegiatan ilmiah, pengembangan ilmu pengetahuan, serta
wawasan dan disiplin keilmuan.
Salah satu kontribusi yang telah diupayakan Harun al-Rasyid dan putranya
al-Makmun adalah telah didirikannya sebuah akademi pendidikan pertama yang
juga dilengkapi dengan peneropongan bintang dan perpustakaan terbesar serta
lembaga penerjemahan yang diberi nama Baitul Hikmah. (Ali Mufrodi, 1997:
102).
Namun, serangan Bangsa Mongol yang memporak porandakan Dinasti
Abbasiyah sangan mempengaruhi peradaban Islam dan sejarah intelektualitas
ke depan sebagaimana dikemukakan oleh (Irawan, 2017: 26-27): Bangsa
Mongol meninggalkan catatan hitam dalam sejarah peradaban Islam dan dunia.
Bangsa Mongol memang dikenal sebagai bangsa yang pemberani,
keberadaannya, kekejamannya dan kebengisannya mencapai puncak pada masa
kepemimpinan Jenghis Khan dan beberapa garis keturunan ke bawah.
Meskipun demikian, kesalahan-kesalahan itu sebagian dianggap telah ditebus
oleh beberapa keturunannya yang tampil sebagai pembela Islam dan
memberikan energi baru untuk membangkitkan kembali peradaban Islam.
Namun, hancurnya peninggalan sejarah dan khazanah intelektual Islam sulit
terlupakan. Keruntuhan Baghdad juga menjadi catatan penting dalam
pembangunan sejarah peradaban Islam selanjutnya. Lemahnya solidaritas dan
perpecahan adalah sumber kehancuran, sehingga menjadi kesempatan
mengundang pihak musuh Islam untuk meleburkan keretakan yang sudah ada.
Serangan Mongol di negeri Islam, khususnya di Baghdad, selain berdampak
berakhirnya masa Khilafah Abbasiyah juga menjadi awal kemunduran umat
Islam terkait pewarisan khazanah ilmiahnya. Yang jelas, serangan Mongol di
Page 58
41
Baghdad meninggalkan catatan hitam yang penting untuk dijadikan pelajaran
berharga bagi generasi selanjutnya. Gambaran singkat dampak serangan
Mongol terhadap Baghdad di antaranya:
a. Politik. Kehancuran ibu kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan
Khilafah Abbasiyah berpengaruh besar terhadap mundurnya peradaban
Islam. Kekosongan kekhalifahan melemahkan kekuatan umat Islam,
bahkan peradaban islam banyak dipandang tenggelam setelah diapit
diantara dua kekuatan musuh Islam, tentara Salib di barat dan pasukan
Mongol di timur. Namun, anehnya Kota baghdad tidak semuanya.
dihancurkan, mungkin hulagu bermaksud menjadikan baghdad sebagai
tempat kediamannya, sehingga tidak dihancurkan seperti kota-kota
lainnya. Pada rezim Il- Khan atau Hulagu, Baghdad di turunkan posisinya
menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq Al-Arabi.
b. Sosial. Dampak sosial akibat serangan mongol di ibukota khalifah
abbasiyah tidak jauh berbeda dengan kondisi politiknya. Pembunuhan
massal, pembantaian bayi, anak, wanita, pemerkosaan, penjarahan.
Menjadi catatan hitam umat islam dalam perjalanan sejarah peradaban
islam. Kemakmuran yang perna dicapai pada masa Khalifah Harun Al-
Rasyid dan anaknya tinggal cerita.
c. Pendidikan dan keilmuan. Baghdad pada masa Khilafah Abbasiyah adalah
pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan budaya kecintaan terhadap
ilmu terlihat dari besarnya kontribusi ilmuan masa itu terhadap
perkembangan keilmuan setelahnya. Pembangunan perpustakaan, tokoh
buku, sekolah-sekolah, pusat kajian dan diskusi adalah aktivitas kaum
intelektualnya. Pada masa kehancuran kota baghdad sejarah mencatat
kisah pemusnahan buku-buku di Baitul Hikmah yang sebagiannya di
buang di sungai Tigris. Hanya beberapa karya yang sempat diselamatkan.
Ibnu Jubair menyatakan bahwa di Baghdad pada masa itu terdapat sekitar
tiga puluh madrasah. 10 salah satu sekolah yang selamat dari malapetaka
pemusnahan oleh bangsa Mongol adalah Madrasah Nizhamiyah dan dari
sana sejarah dan karya-karya para ilmuwan kembali dihidupkan.
d. Agama. Kehancuran Khilafah Abbasiyah menandai hancurnya
pemerintahan Islam bahkan mulai mundurnya peradaban Islam dalam
percaturan Internasional. Dampak dari serangan ini memperluas pengaruh
kristen, dengan ditandai dengan pemberian anugerah istimewah kepada
kepala keluarga Nestor dan keberpihakan Hulagu terhadap pasukan Perang
Salib dan Hulagu sendiri lebih menyukai warga Kristen dibanding warga
Islam. Meskipun demikian, pada masa kekuasaan Ghazan Mahmud (1295–
1304), penerus ketujuh Il-Khan, Islam menjadi Agama Negara, meskipun
tercatat ada sebagian kecenderungan kepada mazhab Syiah (Irawan, 2017:
26-27).
Lebih lanjut Irawan menjelaskan setelah penaklukkan Bani Abbasiyah,
bangsa Mongol banyak yang memeluk Islam; Setelah 35 tahun masuk wilayah
Islam dan berinteraksi dengan kaum muslimin, orang-orang Mongol mulai
tertarik dengan agama Islam. Bahkan, tidak sampai 50 tahun, mayoritas dari
mereka telah memeluk agama yang mulia ini. Mongol pun terbagi menjadi
Page 59
42
Mongol muslim dan Mongol paganis (penyembah berhala). Mereka korbankan
persaudaraan sesuku demi membela agama ini. Meskipun telah menjadi
muslim, ada sifat-sifat asli bangsa Mongol yang tidak hilang. Baik kepercayaan
maupun karakter. Memang, Islam telah merubah mereka, tapi perubahan itu
tidak terjadi menyeluruh seperti generasi awal Islam dulu. Di sisi lain, kita tidak
boleh melupakan jasa-jasa mereka. Orang-orang Mongol telah memberikan
sumbangsih besar dalam peradaban Islam. Bahkan apa yang mereka lakukan
tidak pernah terjadi sebelumnya dan tidak terulang lagi di masa setelahnya.
Wilayah-wilayah yang belum pernah diinjak oleh kaum muslimin menjadi
negeri Islam. Dari ujung timur hingga perbatasan provinsi-provinsi Arab, dan
batas-batas Eropa, menjadi wilayah Islam. Tak terbayangkan sebelumnya, tiba-
tiba dakwah Islam menyebar begitu saja di tengah orang-orang Mongol.
Dakwah masuk ke hati mereka tanpa tombak-tombak dan pedang-pedang. Juga
tanpa perebutan kekuasaan. Begitulah kemuliaan agama ini, pun dikenal oleh
musuh-musuhnya. Menyentuh hati-hati mereka. Menundukkan ruh raga yang
telah mengalahkan kaum muslimin. Ketertarikan masyarakat Mongol terhadap
Islam memang terbilang unik. Karena sebelumnya mereka menyerang dan
menyebar bagaikan hama belalang di suatu perkebunan. Merusak dan
menghancurkan. Tiba-tiba mereka menjadi saudara dan tunduk dengan petuah
para ulama. Thomas W. Arnold, seorang sejarawan dan orientalis asal Inggris,
juga merasakan keheranannya. Dalam bukunya The Preaching of Islam, ia
mengutarakan perasaan herannya pada para penakluk itu sekaligus rasa takjub
dengan kesungguhan pendakwah Islam. Mereka mengalahkan tantangan besar
dan melewati ujian yang sulit dalam berdakwah. Arnold takjub bagaimana bisa
pendakwah Islam bisa mengalahkan pendakwah Budha dan Kristen dalam
menarik hati penguasa Mongol. Padahal Islam adalah musuh Mongol.
Ditambah mereka memiliki hati yang keras, yang sebelumnya tertutup tidak
menerima keyakinan kecuali Samanisme Sebelumnya, nasib para ulama Islam
adalah dibunuh atau ditawan. Jenghis Khan memerintahkan hukuman mati bagi
siapa saja yang menyembelih hewan seperti kurban yang dilakukan umat Islam.
Hal ini terus berlangsung hingga masa Kubilai Khan. Kaisar Mongol dari
Dinasti Ilkhan, Arghun Khan (1284-1291), juga melakukan penyiksaan
terhadap umat Islam di negeri mereka. Dengan demikian, masuknya sejumlah
besar bangsa Mongol ke agama Islam adalah sebuah peristiwa yang luar biasa.
Wilayah mereka yang luas pun menjadi wilayah Islam (Irawan, 2017: 27-28).
G. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Sejak dahulu, masa awal dunia Islam, pusat segala kegiatan masyarakat,
baik bidang keilmuan maupun pemerintahan selalu bertempat di masjid.
Masjid merupakan muara segala bentuk kegiatan masyarakat. Bahkan dikatakan
pula masjid sebagai center of education. Maka, pada Dinasti Abbasiyah inilah
mulai adanya pengembangan lembaga pusat ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang mana ma‟had dijadikan sebagai tempatnya. Lembaga ini kita kenal
dengan dua tingkatan yaitu :
a. Maktab atau Kuttab dan masjid. Yakni sebuah lembaga pendidikan yang
paling awal, dimana anak-anak dapat mulai belajar disana. Mengenal dasar-
Page 60
43
dasar bacaan, menghitung dan menulis, serta para remaja yang mulai
mempelajari dasar-dasar ilmu agama.
b. Pada tingkat selanjutnya, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya
dapat pergi ke luar daerah tempat tinggal, menuju tempat-tempat lain seperti
masjid atau mencari kerumah-rumah gurunya.
Pada perkembangan selanjutnya, mulailah banyak didirikan madrasah-
madrasah sebagai sarana untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Awal
mulanya yakni Nizham al-Mulk yang memerintah pada tahun 456-485 H.
Lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah.
Nizhamul Muluk merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam
bentuk yang ada seperti sekarang ini dengan nama madrasah. Madrasah ini
dapat ditemukan di beberapat kota seperti, Baghdad, Balkan, Naishabur, Hara,
Isfahan, Bashrah, Mausil dan kota-kota lainnya. Madrasah yang didirikan ini
mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang imu
pengetahuan.
H. Gerakan Penerjemahan di Era Abbasiyah
Berbicara mengenai gerakan penerjemahan yang terjadi pada masa Dinasti
Bani Abbasiyah, bahwasannya hal tersebut merupakan kelanjutan dari upaya-
upaya yang telah dilakukan pada masa Dinasti Umayyah. Ketika itu, setelah
terjadinya penaklukkan besar-besaran hingga sampai ke wilayah tiga benua,
saat itu keadaan politik dalam negeri dalam keadaan stabil, upaya penerjemahan
telah dilakukan meski dalam skala yang tidak besar.
Sejarah mencatat, bahwasannya, Khalifah Khalid ibn Yazid ibn Mu‘awiyah
pernah memerintahkan sejumlah filosof Yunani yang menguasai bahasa Arab
dan bermukim di Mesir untuk melakukan penerjemahan buku-buku yang
berbahasa Yunani dan Mesir Kuno (Qibti), kedalam bahasa Arab. Buku-buku
yang diterjemahkan tersebut antara lain yang yang berkaitan dengan ilmu medis
dan kimia. Selain itu, pada masa Abdul Malik ibn Marwan juga pernah
dilakukan penerjemahan diwan dari bahasa aslinya, yakni bahasa Pahavi-Persia
maupun Mesir Kuno ke dalam bahasa Arab.
Upaya penerjemahan yang dilakukan pada masa Dinasti Umayyah berbeda
dengan upaya yang dilakukan pada masa Dinasti Abbasiyah. Jika sebelumnya
upaya penerjemhan hanya dilakukan dalam skala kecil, maka pada masa
setelahnya dilakukan dalam skala besar. Penerjemahan di Era Abbasiyah sangat
didukung penuh oleh para khalifah, yang mana para khalifah saat itu memiliki
kecenderungan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan baik yang berasal dari
Yunani maupun Persia. Khalifah al-Mansur misalnya, beliau selalu
memberikan motivasi kepada para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Dalam
gerakan penerjemahan ini, beliau tidak membedakan agama maupun bangsa
para penerjemah. Bahkan di era ini, ada beberapa tokoh penerjemah yang
muncul yang bukan berasal dari ilmuwan muslim, salah satunya yaitu Abdullah
ibn al-Muqaffa (757 M). Ia adalh seorang Majusi yang kemudian memeluk
Islam. Karya yang berhasil ia terjemahkan adalah buku Kalilah wa Dimnah.
Hunain ibn Ishaq juga menerjemahkan buku-buku medis karya Hippocrates dan
Galen.
Page 61
44
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (170-194 H), banyak
para ilmuwan dan cendekiawan yang menetap di Baghdad. Masa itu juga,
khalifah mendirikan Baitu Hikmah sepagai pusat ilmu pengetahuan. Seperti
halnya sebuah akademi ilmiah, Baitul Hikmah ini dijadikan tempat sebagai
pusat segala aktivitas keilmuan mulai perpustakaan terbesar, penelitian,
penerjemahan bahkan juga dilengkapi dengan teropong bintang. Kemudian,
lembaga ini dikembangkan kembali pada masa Khalifah al-Ma`mun, dan
menjadi puncaknya di bawah tanggung jawab Hunayn ibn Ishaq. Pada masa
inilah al-Ma`mun melengkapinya dengan dibangun sebuah observatorium
sebagai pusat kajian astronomi, dan memiliki teropong bintang.
Selanjutnya, Baitul Hikmah menjadi sebuah pusat keilmuan yang sangat
gemilang dan tak tertandingi. Berbagai macam kegiatan keilmuan terjadi di
dalamnya. Penerjemahan dan penelitian dalam berbagai bidang dan tokoh
banyak dilakukan disana. Bidang yang meliputi ilmu-ilmu sosial dan sains,
seperti matematika, kimia, astronomi, kedokteran zoology, geografi, dan lain-
lain. Buku-buku penting karya Pythagoras, Plato, Aristotekes, Hippocrates,
Eculid, Plotinus, Galen, Sushruta, Charaka, Aryabhata maupun Brahmagupta
tak luput dari mereka. Maka tidak heran jika Philip K. Hitti mnyatakan
bahwasanya, Bitul Hikmah merupakan lembaga keilmuan yang paling penting
yang pernah dibangun peradaban manusia setelah sebelumya pernah
didirikannya Perpustakaan Alexandria pada pertengahan pertama abad ketiga
sebelum Masehi.
Popularitas Bayt al-Hikmah ini terus berlangsung sampai kepemimpinan Al-
Mu`tasim (berkuasa 833-842M) dan Al-Wātsiq (berkuasa 842-847M), tetapi
mulai tenggelam dan mengalami kemunduran pada masa kekuasaan Al-
Mutawakkil (847-861M).
Satu hal yang menarik untuk dicatat bahwa mayoritas para penerjemah
buku-buku kuno ke dalam bahasa Arab tersebut berasal dari warga non muslim
(ahl al-dzimmah) seperti Yohana ibn Māsawayh, Hunayn ibn Ishāq, Ishāq ibn
Hunayn, Hubaysh ibn al-A`sam, Tsābit ibn Qarrah al-Sābi‘i, Yahya ibn al-
Bitrīq, Iqlīdis ibn Nā`imah, Zarūbā ibn Mājwah al-Himsi, Āwī ibn Ayyub,
Qustā ibn Lūqā, Astufun ibn Bāsīl, Salībā Ayyūb al-Rahāwi, Dārī` al-Rāhib dan
lain-lain masih banyak lagi.
Catatan menarik lainnya, bahwa gerakan penerjemahan ini ternyata tidak
hanya menjadi perhatian pemerintah dan para khalifah sahaja, melainkan juga
oleh para pribadi dari kalangan elit semisal Banū Shākir yang juga mengelola
penerjemah-penerjemah handal yang bekerja siang malam untuk mereka.
Keluarga elit lain diceritakan bahkan sangat getol mengeluarkan harta
berlimpah untuk membayar para penerjemah mereka, seperti dilakukan oleh
Banū Al-Munajjim yang berani membayar 500 dinar kepada para penerjemah
tiap bulannya sebagai upah penerjemahan penuh waktu (li al-naql wa al-
mulāzamah).
Page 62
45
I. Kemajuan dalam Bidang Agama
Di bidang ilmu-ilmu agama, Era Abbasiyah mencatat dimulainya
sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan Fiqh.
Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam
bentuknya yang sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir, Hadits maupun Fiqh.
Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah Ibn Jurayj (w. 150 H) yang
menulis kumpulan haditsnya di Mekah, Mālik ibn Anas (w. 171) yang menulis
Al-Muwatta' nya di Madinah, Al-Awza`i di wilayah Syam, Ibn Abi `Urūbah
dan Hammād ibn Salāmah di Basrah, Ma`mar di Yaman, Sufyān al-Tsauri di
Kufah, Muhamad Ibn Ishāq (w. 151H) yang menulis buku sejarah (Al-
Maghāzi), Al-Layts ibn Sa‘ad (w. 175H) serta Abū Hanīfah.
Pada masa ini ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu
Hadits. Buku tafsir lengkap dari al-Fātihah sampai al-Nās juga mulai disusun.
Menurut catatan Ibn al-Nadīm yang pertama kali melakukan penyusunan tafsir
lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyād al-Daylamy atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Al-Farrā. Tapi luput dari catatan Ibn al-Nadīm bahwa `Abd al-
Razzāq ibn Hammam al-San`āni (w.211 H) yang hidup sezaman dengan Al-
Farā juga telah menyusun sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa.
Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh
yang disebut sebagai empat imam mazdhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu
Abu Hanīfah (w.150 H), Mālik ibn Anas (w.179H), Al-Shāfi`i (w.204) dan
Ahmad ibn Hanbal (w. 241H).
Tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang dialami oleh ilmu Tafsir
dan ilmu Fiqh, ilmu Hadits juga mengalami masa penting khususnya terkait
dengan sejarah penulisan hadits-hadits Nabi yang memunculkan tokoh-tokoh
yang telah disebutkan diatas seperti Ibn Jurayj, Mālik ibn Anas, juga al-Rabī`
ibn Sabīh (w.160) dan Ibn Al-Mubārak (w. 181 H).
Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru
penulisan hadits Nabi dalam bentuk musnad. Diantara tokoh yang menulis
musnad antara lain Ahmad ibn Hanbal, `Ubaydullah ibn Mūsa al-`Absy al-Kūfi,
Musaddad ibn Musarhad al-Basri, Asad ibn Mūsā al-Amawi dan Nu`aym ibn
Hammād al-Khuzā`i.
Perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu
mulai pada pertengahan abad ketiga, muncul trend baru yang bisa dikatakan
sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadits, yaitu munculnya
kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan penelitian dan
pemisahan hadits-hadits sahīh dari yang dla`īf sebagaimana dilakukan oleh Al-
Bukhari (w.256), Muslim (w.261), Ibn Mājah (w.273), Abu Dāwud (w.275),
Al-Tirmidzi (w. 279), serta Al-Nasā‘i (w.303).
Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup
signifikan pada era Abbasiyah adalah ilmu sejarah, yang awal penulisannya
dilakukan oleh Ibn Ishāq (w. 152) dan kemudian diringkas oleh Ibn Hisyām (w.
218). Selanjutnya muncul pula Muhamad ibn `Umar al-Wāqidi (w. 207) yang
menulis buku berjudul Al-Tārīkh al-Kabīr dan Al-Maghāzi. Buku yang pertama
dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarahwan Al-Tabari
(838-923M). Sejarahwan lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad
Page 63
46
ibn Sa‘ad (w.230 H) dengan Al-Tabaqāt al-Kubrā-nya serta Ahmad Ibn Yahya
al-Balādhuri (w.279) yang menulis Futūh al-Buldān.
J. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya
terbatas pada ilmu-ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan `ulūm
naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan kemajuan ilmu-ilmu sains dan
teknologi (`ulūm aqliyah). Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia
Islam mendahului perkembangan ilmu filsafat yang juga berkembang pesat di
era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari kecenderungan bangsa
Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang
memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka (dzāt
al-atsar al-māddi fī hayātihim) dibanding buku-buku olah pikir (filsafat).
Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan
besar kepada peradaban manusia modern dan sejarah ilmu pengetahun masa
kini. Dalam bidang matematika misalnya, ada Muhamad ibn Mūsa al-
Khawārizmi sang pencetus ilmu algebra. Algoritma, salah satu cabang
matematika bahkan juga diambil dari namanya. Astronomi juga merupakan
ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslim era Abbasiyah dan
didukung langsung oleh Khalifah Al-Mansūr yang juga sering disebut sebagai
seorang astronom. Penelitian di bidang astronomi oleh kaum muslimin dimulai
pada era Al-Mansūr ketika Muhamad ibn Ibrāhīm al-Fazāri menerjemahkan
buku "Siddhanta" (yang berarti Pengetahuan melalui Matahari) dari bahasa
Sanskerta ke bahasa Arab.
Pada era Hārūn al-Rashīd dan Al-Ma‘mūn sejumlah teori-teori astronomi
kuno dari Yunani direvisi dan dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom
muslim yang terkenal pada era Abbasiyah antara lain Al-Khawārizmi, Ibn Jābir
Al-Battāni (w. 929), Abu Rayhān al-Biruni (w.1048) serta Nāsir al-Dīn al-Tūsi
(w.1274).
Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam atau yang
dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen. Beliau pula yang memegembangkan
teori-teori awal metodologi sains ilmiyah melalui eksperimen (ujicoba). Untuk
itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics. Ibn al-Haytsam juga
dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi
dan gerhana.
Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jābir ibn
Hayyān (atau Geber di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain
itu ada Abu Bakr Zakariya al-Rāzi yang pertama kali mampu menjelaskan
pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol. Dari para pakar kimia
muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang
memperkenalkan metode empiris ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar.
Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi yang
pertama kali mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika
dalam dunia medis dan farmakologi. Atau juga Al-Rāzi yang menemukan
penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina dan lain-lain. Disebutkan
pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era
Page 64
47
Abbasiyah, bahwa pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah (907-932M/295-
390H) terdapat sekitar 860 orang yang berprofesi debagai dokter.
Di samping kemajuan beberapa disiplin ilmu sains sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas umat Islam Era Abbasiyah juga mengalami kemajuan ilmu
dibidang ilmu lainnya seperti biologi, geografi, arsitektur dan lainnya.
Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan
inovasi penting yang sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah
pengembangan teknologi pembuatan kertas. Kertas yang pertama kali
ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh bangsa China berhasil
dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi
pembuatannya dipelajari melalui para tawanan perang dari Cina yang berhasil
ditangkap setelah meletusnya Perang Talas. Setelah itu kaum Muslim berhasil
mengembangkan teknologi pembuatan kertas tersebut dan mendirikan pabrik
kertas di Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M di Baghdad
terdapat ratusan percetakan yang mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid
untuk membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat itu mulai
bermunculan, termasuk perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang
sejarah. Dari Baghdad teknologi pembuatan kertas kemuddian menyebar hingga
Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia pada abad 13M.
Selain itu, dalam bidang sejarah dan geografi, pada masa Abbasiyah
terdapat sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin Al-Yakubi, Abu
Jafar Muhammad bin Jafar bin Jarir Al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang
masyhur adalah ibnu Khurdazabah.
K. Perkembangan Politik, Ekonomi dan Administrasi
Sejarah telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam
benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat
itu. Masa pemerintahan ini merupakan golden age dalam perjalanan sejarah
peradaban Islam, terutama pada masa Khalifah Al-Makmun.
Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-1258 M).
pemerintahan yang panjang tersebut dapat dibagi dalam dua periode. Periode I
adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas
sampai Al-Mustakfi. Periode II adalah masa antara tahun 945-1258 M, yaitu
masa Al-Mu‘ti sampai Al-Mu‘tasim. Pembagian periodisasi ini diasumsikan
bahwa pada periode pertama, perkembangan di berbagai bidang masih
menunjukkan grafik vertikal, stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II,
kejayaan terus merosot sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil
menghancurkan Dinasti Abbasiyah.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik
yang dikembangkan antara lain:
a. Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad
b. Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
c. Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri,
Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum
mawali
d. Menumpas pemberontakan-pemberontakan
Page 65
48
e. Menghapus politik kasta
Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil
dalam program politiknya adalah:
1. Para Khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima
perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali
2. Kota Bagdad ditetapkan sebagai ibukota Negara dan menjadi pusat kegiatan
politik, ekonomi dan kebudayaan
3. Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah II, kekuasaan politik mulai menurun
dan terus menurun, terutama kekuasaan politik pusat. Karena negara-negara
bagian sudah tidak begitu mempedulikan lagi pemerintahan pusat, kecuali
pengakuan secara politis saja.
Dalam masa permulaan pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi
dapat dikatakan cukup stabil dan menunjukkan angka vertikal Devisa negara
penuh berlimpah-limpah. Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh ekonom
Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang
ekonomi dan keuangan negara.
Di sektor pertanian, daerah-daerah pertanian diperluas disegenap wilayah
negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah
pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi. Disektor perdagangan, kota
Bagdad disamping sebagai kota politik agama dan kebudayaan, juga merupakan
kota perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan kota Damaskus
merupakan kota kedua Sungai Tigris dan Efrat menjadi pelabuhan transmisi
bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontrak
perdagangan tingkat Internasional ini semenjak Khalifah Al-Mansur.
Dalam bidang administrasi negara, masa Dinasti Abbasiyah tidak jauh
berbeda dengan masa Umayyah. Hanya saja pada masa ini telah mengalami
kemajuan-kemajuan, perbaikan dan penyemprunaan. Secara umum, menurut
Philip K. Hitti, kendali pemerintahan dipegang oleh khalifah sendiri. Sementara
itu, dalam operasionalnya, yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan
kepada wazir (menteri), masalah hukum diserahkan kepada qadi (hakim) dan
masalah militer dipegang oleh amir (Ajid Thohir, 2004: 55).
Page 66
49
BAB III
FAKTOR PENDORONG PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN BANI
ABBASIYAH
A. Kilas Balik Sejarah Kekuasaan Masa Pemerintahan Bani Abbasiyah
Mengulas pada awal mula tegak berdirinya Bani Abbasiyah; pilar berdirinya
dinasti Bani Abbasiyah, berawal ketika melemahnya sistem internal dan
performance pemerintahan Bani Umayyah yang mengakibatkan pada
kemunduhran dan keruntuhan Dinasti Umayyah di Damaskus, maka upaya
untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah dari kalangan
Bani Abbasiyah. Kalangan syi‘ah dan masyarakat lain sangat simpati dengan
Propaganda revolusi Abbasiyah, karena bernuansa keagamaan, dan berjanji
akan menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh
khulafaurrasyidin (Abdurrahman dkk, 2003: 118).
Di antara yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah
adanya beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung lagi terhadap
kekuasaan imperium bani Umayyah yang notabenenya korupsi, sekuler dan
memihak sebagian kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij
(Yatim, 2008: 49-50).
Abu Al-Abbas telah membuka drama besar politik Islam (750-754 M) yang
berperan sebagai pelopor, pangung drama besar ada di Irak. Dalam khotbah
penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di masjid Kufah,
Khalifah Abbasiyah pertama yang menyebut dirinya As-saffah, penumpah
darah, yang kemudian menjadi julukanya. As-Saffah menjadi pendiri dinasti
Arab Islam ketiga setelah khulafa Ar-Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang
sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M hingga 1258 M. Keluarga Abu Al-
Abbas memegang pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa.
Keluarga Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati
kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, pengganti pemerintahan sekuler
(mulk) Dinasti Umayyah. Misalkan dalam berbagai kesempatan seremonial,
Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana kerajaanya, ketika dinobatkan
sebagai khalifah dan pada shalat jumat, khalifah mengenakan jubah (burdah)
yang pernah di kenakan oleh saudara sepupunya, Nabi Muhammad SAW. Masa
pemerintahan As-Saffah begitu singkat, ia berkuasa (754-775 M.), dan wafat
karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an.
Di bawah ini merupakan silsilah para khalifah dari Bani Abbasiyah, mulai
dari Abbas bin Abdul-Muththalib sampai khalifah terakhir dari Bani Abbasiyah
yang berkuasa di Baghdad, dalam perkembangan pemikiran dan peradaban
umat Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah Bani
Abbasiyah berjumlah 37 khalifah (Munir, 2014: 141-143) yang dapat dilihat
dari tabel berikut:
Page 67
50
Tabel 1: Bani Abbasiyah Berjumlah 37 Khalifah
Nomor Urutan Kekuasaan Nama Khalifah dan Periode Berkuasa
1 Abul Abbas Ash-Shafah
(Pendiri) 749-754 M
2 Abu Ja‘far Al-Manshur
754-775 M
3 Abu Abdullah Muhammad
Al-Mahdi 775-785 M
4 Abu Muhammad Musa Al-
Hadi785-786 M
5 Abu Ja‘far Harun Ar-Rasyid
786-809 M
6 Abu Musa Muhammad Al-
Amin809-813 M
7 Abu Ja‘far Abdullah Al-
Ma‘mun813-833 M
8 Abu Ishaq Muhammad Al-
Mu‘tashim 833-842 M
9 Abu Ja‘far harun Al-Watsiq
842-847 M
10 Abu Fadl ja‘far Al-
Mutawakil847-861
11 Abu Ja‘far Muhammad Al-
Muntashir 861-862 M
12 Abul Abbas Ahmad Al-
Musta‘in862-866 M
13 Abu Abdullah Muhammad
Al-Mu‘taz 866-869 M
14 Abu Ishaq Muhammad Al-
Muhtadi 869-870 M
15 Abul Abbas Ahmad Al-
Mu‘tamid 870-892 M
16 Abul Abbas Ahmad Al-
Mu‘tadid892-902 M
17 Abul Muhammad Ali Al-
Muktafi 802-905 M
18 Abul Fadl Ja‘far Al-
Muqtadir905-932 M
19 Abu Mansur Muhammad Al-
Qahir 932-934 M
20 Abul abbas Ahmad Ar-
Radi934-940 M
21 Abu Ishaq Iabrahim Al-
Muttaqi 940-944 M
Page 68
51
22 Abul Qasim Abdullah
Al-Mustaqfi 944-946 M
23 Abul Qasim Al-Fadl Al-
Mu‘ti946-974 M
24 Abul Fadl Abdul Karim
At-Thai 974-991 M
25 Abul Abbas Ahmad Al-
Qadir991-1031 M
26 Abu Ja‘far Abdullah Al-
Qaim1031-1075 M
27 Abul Qasim Abdullah
Al-Muqtadi 1075-1094
M
28 Abul Abbas Ahmad Al-
Mustadzir 1094-1118 M
29 Abu Manshur Al-Fadl
Al-Mustarsyid 1118-
1135 M
30 Abu Ja‘far Al-Mansur
Ar-Rasyid 1135-1136 M
31 Abu Abdullah
Muhammad Al-Muqtafi
1136-1160 M
32 Abul Mudzafar Al-
Mustanjid1160-1170 M
33 Abu Muhammad Al-
Hasan Al-Mustadi 1170-
1180 M
34 Abul Abbas Ahmad An-
Nasir1180-1225 M
35 Abu Nasr Muhammad
Az-Zahir 1225-1226 M
36 Abu Ja‘far Al-Mansur
Al-mustansir 1226-1242
M
37 Abu Abdullah Al-
Mu‘tashim Billah 1242-
1258 M
Sumber: (Munir, 2014: 143)
Untuk mencapai kejayaan tersebut, tergambar bahwa strategi dan aktivitas
yang efektif dilakukan oleh para Khalifah Dinasti Abbasiyah adalah: Pertama,
keterbukaan. Jika dibandingkan dengan masa kekhalifahan Umayyah yang
sangat membatasi diri dengan pihak luar, keadaan pemerintah Dinasti
Abbasiyah sebaliknya. Bentuk pemerintahan Dinasti Umayyah lebih menonjol
Page 69
52
kepada pemerintahan Arab, sedangkan politik Dinasti Abbasiyah merupakan
pemerintahan campuran dari segala bangsa. Kedua, kecintaan pada ilmu
pengetahuan. Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan Islam banyak
digali oleh para ulama (intelektual) Islam. Sebab para Khalifahnya sangat
senang dengan ilmu pengetahuan. Karena itu dinasti ini sangat besar jasanya
dalam memajukan peradaban Islam di mata dunia. Ketiga, toleran dan
akomodatif. Corak kehidupan orang-orang Abbasiyah lebih banyak meniru tata
cara kehidupan bangsa Persia. Pada masa ini kebudayaan Persia berkembang
sangat maju, sebab bangsa Persia mempunyai kedudukan yang baik di kalangan
keluarga istana. Banyak orang Persia yang dipilih untuk mengendalikan
pemerintahan Dinasti Abbasiyah (Al Muhdar dan Arifin, 1983: 135). Peradaban
Islam maju dan berkembang di semua sektor kehidupan karena ditunjang oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Baghdad merupakan kota terbesar
dan kosmopolitan yang menjadi perantara antara dunia Mediterania dan Hindu-
China di timur. Kebesaran Baghdad didukung oleh adanya tiga wilayah
kekuasaan Islam yang memicu perkembangan sains dan teknologi ke arah
kemajuan, yaitu Timur Tengah Mesir, Pantai Utara Afrika dan Andalusia. Saat
itu, dunia Islam memiliki gaya hidup khas lebih superior dari dunia Barat yang
masih dalam kegelapan (Yusuf, 2006: 11-12).
Perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian,
melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas,
tembaga dan besi ketika pada masa al-Mahdi. Namun Popularitas Daulah
‗Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809
M) dan puteranya al-Ma‘mun (813-833M). Harun al-Rasyid memanfaatkan
kekayaannya untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter,
dan farmasi. Maka sekitar 800 orang dokter yang disiapkan oleh Harun Al-
Rasyid. Selain itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Maka pada
masa khalifah beliau inilah mencapai puncak kemakmuran Dinasti Abbasiyah.
Kesehatan, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kekuasaan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah Islam menempati dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi
(Yatim, 1998: 53).
Sejarah kekuasaan Bani Abbasiyah menunjukkan gejolak politik yang
begitu kuat di kalangan umat Islam, kendati demikian kemajuan ilmu
pengetahuan berkembang begitu pesat sejalan dengan perkembangan sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan. Kecintaan kaum Muslimin terhadap ilmu
sangatlah kuat sebab bagi kaum Muslim menuntut ilmu merupakan suatu
kewajiban dari mulai buayan ibu hingga liang lahat. Selain itu, kaum Muslimin
juga cinta terhadap Al-Quran yang berbahasa Arab, hal tersebut mempengaruhi
pertumbuhan filsafat dan ilmu pengetahuan serta literasi—yang pada masa
keemasan Bani Abbasiyah bahasa Arab dijadikan bahasa ilmiah serta alat
pemersatu kaum Muslim. Dalam hal ini (Syalabi, 2003: 160) mengkatagorikan
masa keemasan ilmuan yang berlangsung pada pemerintahan Dinasti
Abbasiyah dalam tiga bidang kegiatan, yaitu penyusunan buku-buku ilmiah,
penerjemahan dari bahasa asing kedalam Bahasa Arab dan pengaturan kembali
ilmu-ilmu Islam. Hal inilah yang kemudian memberi warna tersendiri bagi
Page 70
53
perkembangan intelektualitas kaum Muslimin—banyak sudah karya-karya
filsuf Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab—ini artinya budaya
Islam masuk kedalam Bahasa Arab yang mempengaruhi cara pandang kaum
muslim terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi mereka.
Ada hal yang menarik bahwasanya Dinasti Abbasiyah pada periode Harun
Ar-Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833) dimana pada masa
ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada
perluasan wilayah. Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa
khalifah. Ketika Ar-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur,
kekayaan melimpah, ilmu pengetahuan berkembang, keamanan terjamin, dan
wilayahnya meluas mulai dari Afrika Utara hingga ke India. Atas dasar itulah
dipandang penting untuk mengulas biografi Harus ar-Rasyid dan Al-Makmun
sebab melalui kedua khalifah inilah lembaga pendidikan Islam, kemajuan ilmu
pengetahuan dan semangat intelektualitas Islam mengalami gairah atau
kemajuan yang sangat pesat melampaui masa khalifahan yang lain.
1. Biografi Singkat Harun Ar-Rasyid F. Al-Rasyid yang legendaris ini
terlahir pada 17 Maret 763 M di Rayy, Teheran, Iran. Dia adalah putera
dari Khalifah Al-Mahdi bin Abu Ja‘far Al-Mansur - khalifah Abbasiyah
ketiga (Yatim, 2006: 52). Dalam hal ini ar-Rasyid dirinya mendapatkan
pendidikan dalam lingkungan istana kekehalifahan Abbasiyah, baik dari
segi pendidikan keagamaan maupun dalam hal segi ilmu bidang
pemerintahan dan kekuasaan. Ar-Rasyid dididik dan mendapat pembinaan
dari kekuasaan Bani Barmaki, yaitu Yahya bin Khalid yang merupakan
salah seorang dari keluarga Barmak tentunya memilik peran yang
signifikan dalam hal pemerintahan pada masa Bani Abbasiyah, sehingga
tidaklah heran jika dirinya menjadi atau tergolong sebagai kaum terpelajar
terdidik, cendikiawan yang cerdas, serta pasih dalam berbicara dan
memiliki berkepribadian berkarakter kuat (Ahmad, 1996: 105). Karena
itulah ia memiliki kecerdasan yang mumpuni kendati usianya terbilang
masihlah sangat muda, dirinya telah terlibat dalam urusan-urusan
kekuasaan dan pemerintahan ayahandanya. Serta, mendapatkan
pengajaran dan pendidikan keprajuritan atau ketentaraan kala itu. kala
ayah Harun ar-Rasyid berkuasa dirinya dipercaya 2 (dua) kali untuk
memimpin penyebaran wilayah atau ekspedisi militer dalam melakukan
penyerangan ke Bizantium 779 hingga780 dan pada 781 hingga 782
ekpansi militer tersebut hingga sampai ke wilayah pantai Bosporus.
Dirinya didampingi pejabat-pejabat bergolongan tinggi serta para jenderal
pensiunan. Sebelum dirinya dilantik menduduki kursi kekuasaan khalifah,
ar-Rasyid pernah dinobatkan sebagai pemegang kekuasaan sebagai
gubernur sebanyak dua kali secara berturut-turut, yakni di daerah as-
Saifah tahun 163 Hijriah \779 Masehi dan pada wilayah Magribi tahun
780 Masehi (Ensiklopedi Islam, 1994: 86). Setelah dua kali menjabat
sebagai gubernur, kemudian pada 166 Hijriah /782 Masehi Khalifah Al-
Mahdi melakukan pengukuhkan putra Mahkota menjadi khalifah sesudah
saudaranya, Al-Hadi, setelah pengukuhannya selanjutnnya 4 tahun
setelahnya tepatnya tanggal 14 September 786 Masehi dimana ar-Rasyid
Page 71
54
secara tegas memproklamirkan dirinya menjadi seorang khalifah, dalam
hal ini untuk mengganti saudaranya itu yang wafat. Ketika menduduki
kursi kekuasaan kekhalifahan, dirinya pun melakukan pengangkatan
Yahya bin Khalid dilantik menjadi wazir (perdana menteri) demi untuk
menjalankan pemerintahan yang dapat dinilai kekuasaan yang penuh tidak
mengenal batas atau kekuasaan tak terbatas. Harun ar-Rasyid secara tegas
memberi mandat pada Yahya: ―Sesungguhnya Aku serahkan kepadamu
urusan rakyat, tetapkanlah segala sesuatu menurut pendapatmu, pecat
orang yang patut dipecat, pekerjakanlah orang yang pantas menurut
kamu dan jalankan segala urusan menurut pendapatmu.‖( Ensiklopedi
Islam, 1994: 86). Yahya tidaklah menyiakan kebaikan kepadanya
sehingga ia tidaklah pernah melakukan penangguh dalam hal membalas
kebaikan tersebut (Maududi, 1996: 253). Adapun sifat-sifat khalifah
Harun ar-Rasyid diantaranya yang menonjol beliau terkadang diibaratkan
angin ribut berhembus kencang, akan tetapi kadang diibaratkan angin
yang berhembus sepoi basah, dimana ia mengutamakan kekuatan akalnya
dan mengenyampingkan emosi-emosi pribadinya, jika beliau marah
begitu sangatlah garang serta menggeletar bagian seluruh tubuhnya itu
dan kala beliau menuturkan nasihat begitu lembut hingga beliau menangis
tersedu (Syalabi, 1993: 108). Pada zaman Harun Al- Rasyid inilah
perkembangan Islam dari segi ilmu pengetahuan melejit dengan pesat dan
Islam mempelopori sebagai agama yang haus dengan ilmu pengetahuan,
Terbukti dengan maraknya proyek-proyek penerjemahan buku-buku dari
berbagai bahasa ke dalam bahasa Arab. Pada masa pemerintahannya
hidup tiga tokoh utama fikih Islam; Imam Malik bin Anas yang wafat
pada 179 H/795 H, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi‘i yang wafat
pada tahun 204 H/ 817 M dan Imam Ahmad bin Hambal yang wafat pada
tahun 780 H/ 855 M. Selain itu, pada masa kepemimpinannya muncul
tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam dunia bahasa dan
kesusatraan, tasawwuf serta tokoh-tokoh dalam ilmu-ilmu eksak. Kitab al-
Aghani yang sangat terkenal itu merupakan karya dalam dunia sastra yang
muncul pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Disamping itu, salah
satu karya sastra yang dikenal oleh dunia hingga saat ini adalah kisah
seribu satu malam (Sou‘yb, 1997: 131).
2. Biografi Singkat Al-Makmun. Beliau memiliki nama lengkap Abdullah
Abbas Al-Ma‘mun. Abdullah Al-Ma‘mun dilahirkan pada tanggal 15
rabi‘ul awal 170 H/ 786 M. Bertepatan dengan wafat kakeknya Musa Al-
Hadi dan naik tahta ayahnya, Harun Al- Rasyid. Al-ma‘mun termasuk
putra yang jenius, sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca
Al-Qur‘an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama kasai Nahvi dan
Yazidi. Selain belajar Al-Qur‘an, ia juga belajar Hadits dari Imam Malik
di Madinah. Kitab yang digunakan adalah karya Imam Malik sendiri,
yaitu kitab Al-muwatha. Disamping ilmu-ilmu itu, ia juga pandai Ilmu
sastra, belajar Ilmu tata Negara, hukum filsafat, astronomi, dan lain
sebagainya. Sehingga ia dikenal sebagai pemuda yang pandai. Setelah
berhasil mengatasi berbagai konflik internal, terutama dengan saudaranya
Page 72
55
bernama Al-Amin, akhirnya Al-Ma‘mun menggapai cita-citanya menjadi
khalifah pada tahun 198 H/ 813 H Al-Ma‘mun adalah Seorang Khalifah
termasyhur sepanjang sejarah dinasti Bani Abbasiyah. Selain seorang
pejuang pemberani, juga seorang penguasa yang bijaksana.
Pemerintahannya menandai kemajuan yang sangat hebat dalam sejarah
Islam. Selama lebih kurang 21 tahun masa kepemimpinannya mampu
meninggalkan warisan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga.
Kemajuan itu meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan, seperti
matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat. Al-Makmun memerintah
dari tahun 198-218 H/808-833 M demikianlah menurut Ali Nurpiah
(Nizar, 2011: 71). Pada zaman Al Makmunlah Bait Al-Hikmah berfungsi
secara maksimal. Bait al-Hikmah merupakan bagian dari bangunan istana
khalifah yang terletak di kota Baghdad, lembaga ini dikelola oleh
sejumlah mudir (direktur) para ilmuwan yang diberi gelar ―Shahib‖.
Direktur Bait al-Hikmah ini disebut dengan ―Shahib Baitul Hikmah‖.
Direktur pertamanya yaitu Sahal Ibn Harun al-Farisi (215 H/ 830 M). Ia
diangkat oleh Khalifah al-Ma‘mun, selain itu ia dibantu oleh Said ibn
Harun yang dijuluki juga dengan Ibn Harim, untuk mengurusi Bait al-
Hikmah. Hasan Ibn Marar Adz-Dzabi juga diangkat di kantor Bait al-
Hikmah (As-Sirjani, 2003: 248); Pada masa al-Ma‘mun pula Bait al-
Hikmah tidak hanya sebagai perpustakaan tapi juga sebagai akademi dan
biro penerjemahan sekaligus, serta turut dikembangkan pula sebagai pusat
aktivitas intelektual yang kemudian berlanjut pada masa penerusnya.
Berkembangnya perpustakaan Bait al-Hikmah, tidak terlepas dari
beberapa faktor sebagai berikut. Pertama, kecintaan Khalifah Abbasiyah,
dalam hal ini khususnya al-Manshur, Harun al-Rasyid, dan al-Ma‘mun
terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, adanya kegiatan penerjemahan secara
besar-besar yang berlangsung sepanjang abad kesembilan dan sebagian
besar abad kesepuluh. Ketiga, berkembangnya penggunaan kertas dalam
dunia Islam. Keempat, banyaknya ilmuwan dari berbagai penjuru dunia
yang datang untuk belajar dan melakukan penelitian di Kota Baghdad.
Kelima, kekayaan Dinasti Abbasiyah dan dukungan materil untuk
berbagai aktivitas intelektual, seperti memberikan imbalan yang besar
bagi setiap ilmuwan, pendanaan untuk lembaga penerjemahan dan
observatorium dan lain-lain. Keenam, adanya tuntunan menuntut ilmu
yang ditanamkan dalam ajaran Islam, yang mendasari semangat khalifah
dan para ilmuwan (Watt, 1995: 199). Lembaga ini menggabungkan
perpustakaan, sanggar sastra, lingkaran studi dan observatium sekaligus,
yang kesemuanya itu di bawah kekuasaan al-Ma‘mun. Baitul Hikmah
merupakan perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembangan
ilmu pengetahuan. Institusi ini merupakan kelanjutan dari institusi serupa
dimasa Imperium Sasania Persia yang bernama Jundhisapur Academi
(Khuluq, 2003: 126). Dalam hal ini dimana Khalifah al-Ma‘mun dirinya
dikenal sosok pribadi yang tinggi, bahwasanya ia memiliki minat yang
amat tinggi bagi berbagai perkembangan ilmu pengetahuan. Dirinya telah
melakukan berusaha maksimal dalam hal mengumpulkan buku-buku yang
Page 73
56
langka berharga banyak pula lokasi yang lengkap dengan aneka
perbedaannya kemudian ia kumpulkan di Bait al-Hikmah. Bahkan al-
Ma‘mun membeli buku-buku bahkan ia mengirim utusannya untuk pergi
ke wilayah konstatinopel dengan tujuan mendapatkan hal apapun
diinginkannya itu. Bahkan, tak jarang pula ia pergi membeli buku-buku
tersebut sebab buku itu ia nilai memiliki isi yang dapat menarik
perhatiannya, atau dilakukan dengan cara mengirim utusan ke negeri-
negri asing, yang kemudian diperuntukkan demi menunjukkan ihwal
kitab-kitab di tangan mereka yang sejatinya mereka koleksi. (As-Sirjani,
2003: 241).
Demikianlah biografi singkat Harun Ar-Rasyid dan Al-Makmun,
melalui dua khalifah inilah Dinasti Abbasiyah mempelopori keilmuan
yang berpengaruh dari timur hingga barat dan Dinasti Abbasiyah
membuktikan dirinya sebagai negara maju, bukan hanya dari sisi ekonomi
dan politik, melainkan juga dari sisi peradaban kebudayaan khususnya
intelektualitas dan keilmuan. Dalam perkembangan pendidikan dan
intelektualis Islam tentunya kelompok Sunni dan Syi‘ah memiliki peranan
yang besar dalam mempengaruhinya sebagaimana motivasi pendirian
Madrasah Nizhamiyah salah satunya bertujuan untuk melakukan
pembinaan dan penyebaran paham sunni Asy'ary guna menghadapi
paham syi'ah yang beberapa ajarannya cenderung ke Mu'tazilah. Atas
karena itulah, terutama Asy'arisme di ajarkan secara khusus dan intensif.
Dalam hal ini harus diakui bahwa beberapa pengajar pada madrasah ini
juga dikenal ahli dalam ilmu kalam, bahkan penganut asy'arisme,
umpamanya Imam Al-Harmain Abdul Ma'ali Yusuf Al- Juwaini (w
1084M/478H) dan Abdul Hamid Al-Ghazali (w 1111 M/505H).
Madrasah Nizhamiyah mempunyai tugas pokok tersendiri yaitu
mengajarkan fiqih yang sejalan dengan satu atau lebih, dari mazhab
ahlisunah, dan juga menjadi tempat-tempat menarik pelajaran untuk
menggunakan waktu mereka sepenuhnya dalam belajar, hal ini terlihat
bahwa hampir semua Madrasah Nizhamiyah di baghdad yang mencapai
30 buah semuanya melebihi keindahan istana. Melalui Madrasah
Nizhamiyah ini, penanaman ideologi sunni dilakukan dinasti saljuk
berlangsung secara efektif, terutama untuk mempertahankan stabilitas
pemerintah dari bahaya pemberontakan yang kerap muncul atas nama
aliran Islam tertentu yang berideologi berbeda dari dinasti saljuk.
Berdasarkan keterangan diatas, dapatlah diketahui bahwa Madrasah
Nizhamiyah tidak mengajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat duniawi,
tetapi lebih terfokus pada pelajaran ilmu agama terutama ilmu fiqih.
Mazhab fiqih yang menonjol adalah fiqih Syafi'i dan teologi Asy'ariyah
keduanya secara aktif dipelajari dan didalami. Walaupun yang menonjol
adalah mazhab Syafi'i, tetapi mazhab yang lain juga tetap dipelajari
dengan adanya imam-imam khusus untuk masing-masing mazhab dan
khalifah membentuk kiayai yang ahli dalam bidang masing-masing
mazhab (Ahmad, 2012: 32). Selanjutnya dapat dipahami bahwa materi
pelajaran di madrasah nizhamiyah hanya mempelajari ilmu agama, tidak
Page 74
57
ada mengenai ilmu umum, seperti ilmu filsafat, ilmu mantik, dan ilmu
keterampilan lainnya. Karena terlihat madrasah ini khusus di dirikan
untuk meyebarkan mazhab sunni atau kepentingan politik, sebab dari latar
belakang diadakannya madrasah nizhamiyah untuk pengaruh mu'tazilah
dan syi'ah yang sangat kuat sebelumnya di lingkungan masyarakat pada
masa itu (Ahmad, 2012: 133). Adapun materi yang diberikan di madrasah
Nizhamiyah adalah diarahkan untuk mengembangkan mazhab sunni dan
melemahkan mazhab syi'ah serta Mu'tazilah oleh karena itu materinya
lebih berorientasi pada ilmu keagamaan melalui empat mazhab, tetapi
yang paling menonjol adalah mazhab Syafi'i. Para lulusannya
dipersiapkan untuk duduk di pemerintahan saljuk yang bermazhab sunni
(Ahmad, 2012: 136). Lebih lanjut dalam hal ini Dinasti Saljūk salah satu
suku dari Bangsa Turki yang muncul di Baghdad pada abad XI M mereka
memiliki aliran Sunni. Posisi dan kedudukan khalīfah Abbāsiyyah di
Baghdad lebih baik setelah Dinasti Saljuk berkuasa. Paling tidak,
kewibawaannya dalam bidang agama bisa dikembalikan setelah beberapa
lama dirampas oleh orang-orang Syi‘ah. Penguasa Bani Saljuk merupakan
pengikut fanatik Sunni yang menginginkan akidah mereka tertanam kuat
dan terkikisnya paham-paham Syi‘ah. Semua itu dirasa akan dapat
terealisasi dengan jalan penyebaran ilmu, maka dari itu kemudian mereka
mendirikan sebuah madrasah. Pendirian madrasah ini adalah karena suatu
pertimbangan bahwasanya untuk melawan Syi‘ah tidak cukup dengan
kekuatan senjata, melainkan juga harus melalui penanaman ideologi yang
dapat melawan ideologi Syi‘ah. Ini dilakukan karena Syi‘ah sangat aktif
dan sistematik dalam melakukan indoktrinasi (Nata, 2004: 66). Dalam
hal ini salah satunya Imam al-Ghazālī yang dikenal sebagai ulama‘ Sunni
juga sangat berperan penting dalam penyebaran dan mempertahankan
Sunni agar tetap mendominasi. Imam al-Ghazali merupakan salah satu
tokoh utama intelektual yang hidup pada tahun 450-505 H/1058-1111 M
yang mana alam pemikirannya telah menjadi rujukan para intelektual
Islam dari dulu hingga saat ini.
Mazhab Sunni masih tetap mendominasi sebagai mazhab yang dianut
masyarakat Baghdad dari pada aliran lain seperti Syi‘ah, Khawarij dan
Mu‘tazilah bahkan mazhab Sunni menjadi mazhab resmi pemerintahan
Abbāsiyyah di Baghdad. Akan tetapi, pada awal abad XI M hingga
pertengahan abad Daulah Abbāsiyyah di Baghdad berada dibawah
pengaruh Dinasti Buwaihi yang bermazhab Syi‘ah, Dinasti Buwaihi ini
sangatlah bersemangat dalam menyebarkan Syi‘ah (Bosworth, 1993 122).
Seiring waktu pergerakan sunni dan Syi‘ah pun terus berdialektika pada
zaman Dinasti Abbasiyah; Sejak Dinasti Buwaihi menguasai
pemerintahan di Bahgdad dan sebagai penganut Syi‘ah Dua Belas, Dinasti
Buwaihi banyak menghidupkan syi‘ar Syi‘ah. Buwaihiyah sangat bersifat
Muslim Syi‘ah dan juga menunjukkan ciri-ciri Iran yang menonjol.
Buwaihiyah mendorong masyarakat untuk merayakan hari-hari raya
Syi‘ah dan berziarah ketempat-tempat suci Syi‘ah, misalnya Karbalā dan
Najaf (Bokhari dan Seddon, 2010: 80-81).
Page 75
58
Perayaan Syi‘ah mulai diadakan, terutama upacara kematian Husein
bin Alī bin Abi Thalib setiap tanggal 10 Muharam, pedagang-pedagang
diharuskan menutup kedai-kedai mereka, laki-laki diharuskan berpakain
luar serba hitam sedangkan kaum wanita jika ingin keluar harus menutup
rambut mereka, menghitamkan wajah, berpakaian koyak-koyak sambil
menangis dan meratap serta menampar muka mereka sendiri. Sedangkan
pada 18 Zulhijjah, Mu‘izz ad- Daulah memerintahkan supaya rakyat pada
waktu itu menggunakan pakaian yang paling baik, menghias dinding-
dinding rumah, memasang lampu-lampu agar terang benderang dan
merayakan peristiwa Ghadir Khum (Shalabi, 1997: 332).
Dalam konteks ini; dimana Awal masa kekuasaan Dinasti Saljuk
masuk ke Baghdad, kondisi sosial politik sedang tidak stabil, bahkan
cenderung kacau. Kekhalīfahan Abbāsiyyah dalam kondisi mundur.
Kekuasaan etnik Arab sedang kalah bersaing. Ini menunjukkan bahwa
kekuasaan Baghdad secara otomatis lemah. Dalam kekuasaannya, Saljuk
Turki tampil sebagai penguasa yang kukuh dalam mengembangkan
paham Sunni di wilayah kekuasaannya. Pasca keruntuhan Dinasti
Buwaihi yang notabene berpaham Syi‘ah, penguasa Saljuk menghadirkan
beberapa program untuk menekan perkembangan paham Syi‘ah sekaligus
mengembangkan paham Sunni yang menjadi identitas awal kekhalīfahan
Daulah Abbāsiyah (Taufiqurrahman, 2003: 32). Ketika kekuasaan
dibawah pemerintahan Buwaihiyah bahkan keluarga Buwaihi selama
memegang tampuk kekuasaan, mendirikan bangunan-bangunan besar dan
megah pada tempat-tempat yang terpandang bersejarah oleh aliran Syi‘ah.
Misalnya pada makam para al-Imam didirikan bangunan besar yang
megah. Sampai saat ini bangunan-bangunan tersebut masih dapat
disaksikan, seperti makam Musa al-Kazhim di Baghdad dan al-Ridha di
Meshad dan lain sebagainya (So‘uyb, 1977: 175). Pendirian pusat-pusat
pengajaran Syi‘ah diberbagai kota, termasuk Baghdad, dan pemberian
dukungan terhadap para pemikir dan penulis Syi‘ah. Memang pada masa
kekuasaan Dinasti Buwaihi bersamaan dengan bermulanya masa ―ketidak
hadiran agung‖ (al-ghaibah al-kubra) imam ke-12 dan saat itu pula terjadi
kristalisasi penting dalam periode pembentukan madzhab Syi‘ah. Periode
Buwaihi diwarnai dengan kegiatan penulisan. Para pemikir penting, di
samping pakar-pakar teori Syi‘ah, sempat menuliskan ide-ide mereka
(Muzayyana, 2014: 50-51). Kendati mereka berbuat demikian, khalīfah
Abbāsiyyah tetap dibiarkan meneruskan kepemimpinan simbolis bagi
Umat Islam. Ketika Dinasti Buwaihi mencoba memaksakan kehendaknya
untuk memasukkan Syi‘ah ke dalam masyarakat di Baghdad, reaksi
masyarakat memberontak karena tidak sepaham dengan mayoritas
masyarakat di Baghdad yang kebanyakan beraliran Sunni (Abdullah,
2003: 85).
Page 76
59
B. Faktor Politik yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah
Kondisi politik tentunya akan mempengaruhi sistem pendidikan dan arah
gerak pendidikan suatu negara, begitu pula lembaga pendidikan Islam sewaktu
zaman klasik Bani Abbasiyah—kontelasi politik akan begitu kuat
mempengaruhi sistem pendidikan kala itu. Adapun pendidikan memiliki tujuan
atau sasaran untuk dicapai, dalam hal ini tujuan dari pendidikan paling yang
sederhana yakni untuk perubahan diinginkan serta diusahakan dalam sebuah
sistem dan proses berupa pendidikan dan pengajaran, baik secara tingkah laku
secara individu dan tentunya dalam kehidupannya baik dari aspek individu,
begitu pula dalam tatanan sosial dan begitu pula dengan keprofesionalismenya
(Al-Toumy Al-Syaibani, 1979: 389-399).
Dengan naiknya Dinasti Abbasiyah ke panggung kekuasaan, sejarah Islam
memasuki fase baru. Semenjak masa ini berakhirlah riwayat entitas politik
Islam yang didomonasi golongan aristokrasi Arab, dan sebaliknya mulai
periode ini pula kaum Muslim Arab dan non Arab bergandengan tangan, tidak
hanya dalam menegakkan entitas politik Islam, tetapi juga membangun dan
mengembangkan peradaban Islam. Pada masa Dinasti Abbasiyah, peradaban
dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaan.
Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbasiyah pada periode ini lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah.
Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Ar-
Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833). Ketika Ar-Rasyid
memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, ilmu
pengetahuan berkembang, keamanan terjamin, dan wilayahnya meluas mulai
dari Afrika Utara hingga ke India. (Amin, 2016: 87-88).
Pada permulaannya Dinasti Abbasiyah menduduki wilayah Kuffah sebagai
ibu kota yang berpusat di kawasan di Istana Hasyimiah. Namun, karena suatu
kondisi yang begitu urgen secara dinamika politik Kuffah tak lain merupakan
basis Syi‘ah dan pusat pemberontakan suku Arab pendukung Bani Umayyah
atas karena itulah kemudian mereka membangun kota Baghdad selanjutnya
memindahkan pusat pemerintahan ke kota Baqhdad.
Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai 656 H (1250 M). Selama dinasti ini
berkuasa pola pemerintahan maupun pendidikan Islam yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan politik, sosial, dan kultur budaya yang terjadi pada
masa-masa tersebut. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah dibagi dalam lima periode,
yaitu: (Suwito, 2008: 11).Pertama :Periode I (132 H/750 M-232 H/847 M),
masa pengaruh Persia pertama.Kedua :Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M),
masa pengaruh Turki pertama.Ketiga :Periode III (334 H/945 M-447 H/1055
M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh Persia kedua.Keempat :Periode
IV (447 H/1055 M-590 H/1194 M), masa Bani Saljuk, pengaruh Turki
kedua.Kelima :Periode V (590 H/1104 M-656 H/1250 M), masa kebebasan dari
pengaruh Dinasti lain. Zaman pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai
zaman keemasan dan kejayaan Islam, secara politis para Khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan cinta ilmu pengetahuan sekaligus merupakan pusat
Page 77
60
kekuasaan politik dan agama. Disisi lain, kemakmuran masyarakat pada saat ini
mencapai tingkat tertinggi. Pada masa ini pula umat Islam banyak melakukan
kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan sehingga berhasil menyiapkan landasan
bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Dinasti
Abbasiyah menyumbang peran penting dalam soal alih bahasa atau terjemahan,
penerjemahan karya-karya penting sebenarnya sudah dimulai sejak pertengahan
dinasti Umayyah. Ketika kekuasaan beralih ketangan dinasti Abbasiyah,
kegiatan penerjemahan ke dalam bahasa Arab semakin marak dan dilakukan
secara besar-besaran. Al- Manshur termasuk khalifah Abbasiyah yang ikut
andil dalam membangkitkan pemikiran, dia mendatangkan begitu banyak ulama
cendikia dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan ke Baghdad. Di samping
itu, dia juga mengirimkan utusan untuk mencari buku-buku ilmiah dari negeri
Romawi dan mengalihkannya ke bahasa Arab. Akibatnya pada masa ini banyak
para ilmuwan dan cendikiawan bermunculan sehingga membuat ilmu
pengetahuan menjadi maju pesat. Adapun puncak keemasan dari dinasti ini
berada pada tujuh khalifah yaitu al-Mahdi, al-Hadi, Harun al-Rasyid, al-
Ma‘mun, al- Mu‘tashim, al-Wasiq dan al-Mutawakkil.
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di
sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti
perak, emas, tembaga dan besi. Popularitas daulat ‗Abbasiyah mencapai
puncaknya di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-
Ma‘mun (813-833M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid
untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi
didirikannya. Pada masanya juga sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuam, dan
kebudayaan serta kekuasaan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah Islam menempati dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi
(Yatim, 1998: 53). Hal tersebut menarasikan bagaimana kekuasaan politik dan
pengaruh politik terhadap kemajuan pendidikan pada masa Bani Abbasiyah.
Sepanjang sejarah kekuasaan politik Bani Abbasiyah dalam segi intitusi
pendidikan dan intelektualitas yakni Harun al- Rasyid (786-809 M) dan
puteranya al-Ma‘mun (813-833M) citra Islam sebagai agama yang cinta akan
ilmu melejit melampaui negara manapun di dunia. Usaha terpenting Harun al-
Rasyid adalah perhatiannya yang tinggi terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam dengan taraf yang belum pernah dicapai
sebelumnya. Ia mendirikan beberapa lembaga pendidikan, seperti bait al-
hikmah, majelis al-mudzakarah, lembaga pengkajian masalah-masalah
keagamaan, rumah-rumah, dan masjid-masjid (Dewan Redaksi, 1994: 88). Pula
dengan al-Makmun, ia adalah penguasa yang masyhur sepanjang sejarah daulah
Abbasiyah Di samping sebagai pejuang pemberani, ia juga penguasa yang
bijaksana. Semangat berkarya, bijaksana, pengampun, adil, cerdas dan bebas
dalam berfikir merupakan sifat-sifat utama yang menonjol dalam pribadi al-
Makmun. Ia dikenal lantaran inisiatifnya dalam memajukan intelektual Islam
yang membuatnya sebagai satu di antara khalifah yang sekaligus sebagai
Page 78
61
intelektual besar. Ia menyadari bahwa kemakmuran rakyatnya bergantung
kepada kemajuan peradaban dan pendidikan. Masa pemerintahannya diwarnai
dengan gerakan pendidikan dengan mendatangkan para ilmuwan, penulis,
pujangga, fisikawan dan filosof untuk berkarya di istana Baghdad. Dialah yang
mula-mula mendirikan gerakan pemikiran dalam sejarah, sekaligus sebagai
pemprakarsa paling besar dalam penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani
dan Suryani. Disebabkan karena ibunya dulu adalah seorang budak perempuan
dari Persia, maka al-Makmun lebih familiar terhadap peradaban Persia dan
dikenal subyektivitasnya terhadap kebangsaan Persiasjid, istana khalifah, dan
rumah sakit (Glasse, 1999: 251).
Secara khusus dinamika politik sangatlah mempengaruhi perkembangan
politik pada masa zaman Bani Abbasiyah; adapun deskripsinya seperti
dikemukakan berikut ini; Akhir dari pemerintahan Bani Buwaihi adalah pada
masa pemerintahan Raja Rahim, salah seorang panglimanya yang bernama
Basasiri memberontak serta menentang khalifah Abbasiyah. Khalifah
Abbasiyah meminta pertolongan dari Tughrul Bey pemimpin dari Bani Saljuk.
Tughrul Bey berhasil menumpas pemberontakan, dan atas jasanya diberi gelar
oleh khalifah sebagai Yamin Amirul Mu‘minin. Tughrul Bey menangkap Raja
Rahim dan mengirimnya ke penjara Raiyi. Dengan demikian berakhirlah zaman
Bani Buwaih dan berawalnya kekuasaan Bani Saljuk.
Sebelumnya, Bani Saljuk pada masa pertikaian dan peperangan yang terjadi
antara Samaniyah dan Ghaznah, memihak kaum Samaniyah. Kaum Samaniyah
mengizinkan kaum Saljuk untuk menetap di tebing sungai Sihun. Setelah
keruntuhan kaum Ghaznah, Bani Saljuk memerdekakan diri bersama dengan
sisa kekuatan dari kerajaan. Samaniyah. Anak keturunan Saljuk bernama Israel
memimpin Bani Saljuk dengan baik, sehingga Sultan Mahmud (pemimpin
kaum Ghaznah) merasa curiga, namun berpura-pura cinta damai dan mengajak
Israel berunding, akhirnya Israel ditangkap dan dipenjarakan. Bani Saljuk
kemudian melantik saudara Israel yaitu Mikael untuk memimpin. Mikael
menunjukkan sikap damai kepada bani Ghaznah. Namun Sultan Mahmud telah
mempropagandakan kaum Saljuk, hingga Mikael meninggal dunia. Akhirnya
pemerintahan Bani Saljuk diserahkan kepada kedua orang putranya yaitu Jughri
Bey dan Tughrul Bey. Tak lama setelah wafatnya Sultan Mahmud,
pemerintahan Ghaznah digantikan oleh putranya Mas‘ud, namun ia tewas
ditangan kaum Saljuk di medan pertempuran Sarkahs pada tahun 429 H. Sejak
tahun itu Tughrul Bey mengumumkan pendirian kerajaan Saljuk dan di ikhtiraf
oleh khalifah Abbasiyah pada tahun 432 H, setelah kedudukan kerajaan Saljuk
mantap (Syalabi, 1997: 335).
Seiring dengan stabilitas politik yang membaik maka pada masa inilah
institusi pendidikan dibangun—pemerintah menyalurkan dana untuk
pengembangan penelitian, penerjemahan dan pembuatan madrasah-madrasah
atau institusi pendidikan formal salah satunya madrasah Nizhamiyah di
Baghdad, sehingga Islam muncul sebagai agama dan sistem kenegaraan yang
begitu cinta pada ilmu dan peradaban akal manusia. Politik dan pendidikan
senantiasa akan beriringan perkembangannya sebab idiologi politik,
nasionalisme, definisi atau pandangan masyarakat terhadap negara—akan
Page 79
62
dipengaruhi oleh pendidikan. Melalui pendidikan juga negara merekrut para
pegawai, pejabat yang merumuskan kebijakan serta menentukan haluan
pemerintahan, begitu pula kala Dinasti Abbasiyah berkuasa orientasi
pembangunan politik bertumpu pada institusi atau lembaga politik baik dalam
bentuk pendidikan formas madrasah maupun aktivitas intelektual berupa
perpustakaan.
C. Faktor Ekonomi yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah
Faktor ekonomi sudah tentu akan mempengaruhi kekuatan suatu negara—
sehingga negara tak lagi memikirkan isi perut para warganya melainkan
berpikir bagaimana mengisi otak para warganya hal tersebut terjadi ketika Bani
Abbasiyah berkuasa dan pada zaman khalifah Harun Ar-rasyid ini tercapai
zaman keemasan Dinasti Abbasiyah. Pada masa inilah banyak sekali ilmuwan-
ilmuwan terkenal diantaranya Abu Yusuf. Sikap yang dilakukan oleh Khalifah
Harun Ar-rasyid berbeda dengan para khalifah sebelumnya, ia tidak bersikap
keras terhadap keturunan Ali bin Abu Thalib. Hanya satu orang dari keturunan
Ali bin Abu Thalib yang ia perangi yakni Yahya bin Khalid Al-Barmaki yang
melarikan diri pada zaman Al-hadi ke negara Dailam. Sikap Harun hampir
sama dengan sikap Abu Ja‘far (khalifah kedua) ia merasa khawatir terhadap
wazir-wazir yang telah diangkat oleh Al-Hadi dapat mengancam jabatan
khalifah. Kekhawatiran itu diselesaikan olehnya dengan melakukan serangkaian
pembunuhan.
Dalam masa pemerintahannya, ia banyak melakukan perlawanan atau
penyerangan terhadap kerajaan Romawi. Dari penyerangan tersebut ia banyak
memperoleh kemenangan sehinga banyak dari daerah kerajaan Romawi yang
membayar jizyah dan mengakui kekuasaan khalifah Harun Ar-Rasyid.
Setelah Harun Ar-rasyid wafat maka jabatan khalifah digantikan oleh Al-
Amin yang merupakan putra Harun Ar-Rasyid. Masa jabatan Al-Amin di mulai
tahun 193 H / 809 M. Harun Ar-Rasyid mempunyai dua orang anak yakni Al-
Amin dan Al-Ma‘mun. kedua anak ini mendapatkan wasiat dari ayahnya
menjadi khalifah secara bergantian. Akan tetapi setelah Al-Amin naik tahta, ia
mengingkari isi wasiat ayahnya dengan cara memindahkannya kepada putra Al-
Amin sendiri. Peristiwa itu membuat Al-Ma‘mun kecewa dan ia melakukan
perlawanan demi menuntut haknya yang telah terampas. Dalam peperangan itu
Al-Amin kalah dan terbunuh oleh tentara Al-Ma‘mun. Setelah Al-Amin
terbunuh, maka sebagai gantinya naiklah Al-Ma‘mun sebagai khalifah.
Khalifah Al-Ma‘mun ini adalah seorang yang bijaksana dan ahli dalam ilmu
politik, dia juga seorang alim, filosof dan rajin membaca karangan-karangan
ahli fikir kuno. Pada masa pemerintahannya ini perkembangan ilmu
pengetahuan berkembang sangat pesat. Ia melakukan serangkaian
penerjemahan buku-buku dari bahasa asing diantaranya: Hindustan, Persia,
Yunani, Romawi, Latin (Hakiki, 2012: 117-118).
Dalam masa permulaan pemerintahan Bani Abbasiyah, pertumbuhan
ekonomi (economic growth) dikatakan cukup stabil dan menunjukkan angka
vertikal. Devisa negara penuh berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak dari
Page 80
63
pada pengeluaran. Kue nasional membengkak melebihi dari anggaran belanja
negara. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonom Abbasiyyah yang telah
mempu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan
negara. Keutamaan al-Mansur dalam menguatkan dasar Daulah Abbasiyyah
dengan ketajaman pikiran, disiplin, dan adil adalah sama halnya dengan
Khalifah Umar ibn Khattab dalam menguatkan Islam. Pada waktu khalifah al-
Mansur meninggal dunia setelah memerintah selama 22 tahun, dalam kas
negara tersisa kekayaan negara sebanyak 810.000.000 dirham. Sedangkan pada
Khalifah harun al-Rasyid meninggalkan kekayaan negara sebanyak
900.000.000 dirham. Kecakapan Harun dalam menggunakan anggaran belanja
negara sama dengan al- Mansur, hanya saja Harun lebih banyak mengeluarkan
dibanding dengan al- Mansur, mungkin karena tuntutan zaman yang berbeda
(Hasjmy, 1993: 239).
Terutama ketika masa Harun dan Makmun lembaga pendidikan Islam
bergerak dengan pesat didukung oleh kekuatan ekonomi yang besar. Yang
memotivasi berdirinya lembaga Baitul Hikmah yaitu didorong oleh keinginan
meniru lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen Nestorians;
yakni gondhesaphur yang salah satu tokohnya georgius Gabriel pernah ditunjuk
menjadi kepala sebuah rumah sakit pada jaman khalifah al-Mansur. Tokoh ini
juga aktif menerjemahkan karya-karya Yunani (Albert, 2004)
Adapun sektor ekonomi yang dikembangkan meliputi pertanian,
perindustrian, dan perdagangan. Di sektor pertanian, usaha-usaha yang
dilakukannya antara lain: 1) memperlakukan ahl zimmah dan mawali dengan
perlakuan baik dan adil, serta menjamin hak milik dan jiwa mereka, hingga
kembalilah mereka bertani di seluruh penjuru negeri. 2) mengambil tindakan
keras terhadap para pejabat yang berlaku kejam kepada para petani. 3)
memperluas daerah-daerah di segenap wilayah negara. 4) membangun dan
menyempurnakan sarana perhubungan ke daerah-daerah pertanian, baik darat
maupun air. 5) membangun bendungan-bendungan dan menggali kanal-kanal
baik besar maupun kecil, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak
terjangkau irigasi (Hasjmy, 1993: 239).
Selain sektor pertanian industri pun dikembangkan, atas karenanya dengan
banyaknya dibangun tempat-tempat industri, maka terkenallah, misalnya:
Bashrah, terkenal dengan industri sabun dan gelas; Kufah dengan industri
suteranya; Khuzastan, dengan tekhtil sutera bersulam; Damaskus, dengan
kemeja sutera; Khurasan, dengan selendang, wol, emas, dan peraknya; Syam,
dengan keramik dan gelas berwarnanya; Andalusia, dengan kapal, kulit, dan
senjata; Baghdad sebagai ibu kota negara memiliki berbagai macam tempat
industri. Dalam catatan sejarah, Baghdad mempunyi lebih 100 kincir air, 4000
pabrik gellas, 30.000 kilang keramik. Di samping itu, Baghdad mempunyai
industri-industri khusus barang-barang mewah (lux) baik gelas, tekstil, keramik,
dan sebagainya. Di kota Baghdad diadakan pasar-pasar khusus untuk macam-
macam hasil produksi, seperti pasar besi, pasar kayu jati, pasar keramik, pasar
tekstil, dan sebagainya (Hasjmy, 1993: 240). Pada masa Abbasiyyah dibangun
tempat-tempat perindustrian hampir meliputi seluruh wilayah tanah air.
Perindustrian terbesar dari sektor pertambangan yang meliputi: tambang perak,
Page 81
64
tembaga, seng, dan besi yang dihasilkan dari tambang-tambang di Persia dan
Khurasan. Dekat Beirut terdapat beberapa tambang besi, seperti halnya marmer
di Tibris, dan sebagainya. Juga di Asia barat terdapat pabrik-pabrik, seperti
pabrik permadani, sutera, katun, wol, brokat (baju perempuan), sofa, dan lain-
lain (Hitti, 2002: 345).
Di samping hal tersebut sektor perdagangan berjalan dengan pesat kota-kota
pusat perdagangan dibangun dan dikembangkan; Kecuali Baghdad dan
Damaskus, juga terkenal sebagai kota dagang adalah Bashrah, Kufah, Madinah,
Kairo, dan kota-kota di Persia. Kapal-kapal dagang Arab Islam telah sampai ke
Ceylon, Bombai, Malaka, pelabuhan-pelabuhan di Indocina, tiongkok, dan
India (Hitti, 2002: 343). Harun al Rasyid telah menerapkan sistem ekonomi
yang berorientasi pada pelanggan, menindak tegas segala bentuk pelanggaran
perdagangan termasuk dalam hal mengurangi takaran atau kiloan dalam
perdagangan, bahkan membentuk biro khusus yang konsen mengurusi masalah-
masalah jual-beli dalam perdagangan tersebut.
Dengan kekuatan ekonominya Dinasti Abbasiyah dapat mengorientasikan
kebijakannya dalam pengembangan pendidikan dan institusi pendidikan. Dalam
hal ini Nizamiyah al-Mulk mendirikan madrasah-madrasah bertujuan untuk
memperkuat pemerintahan Turki-Saljuk dan menyiarkan mazhab keagamaan
pemerintahan. Sultan-sultan Turki adalah dari golongan Suni. Oleh karena itu,
madrasah-madrasah Nizamiyah ini menyokong Sultan dan menyiarkan mazhab
Suni ke seluruh rakyat. Menurut Muhammad Abduh, anggaran belanja yang
diberikan Nizamiyah–Mulk untuk perbelanjaan madrasah secara keseluruhan
besarannya ialah 600.000 dinar tiap tahunnya. Madrasah Baghdad sendiri
anggarannya 60.000 dinar (Yunus, 1992: 72-73). Hal tersebut terjadi ketika
kejayaan Bani Abbasiyah, sehingga dalam arti modern pemerintah terlibat
dalam pencerdasan rakyat dan pemerintah menggelontorkan anggarannya buat
pembangunan institusi pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan.
D. Faktor Sosial Budaya yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah
Kelahiran agama Islam memicu para pemeluknya untuk mencari dan
mencintai ilmu, sehingga kecintaan terhadap ilmu bagi kaum Muslimin
merupakan sebagian dari kewajiban—atas karenanya tradisi intelektual bagi
orang-orang merupakan akar sosial budaya untuk perkembangan lembaga
pendidikan dan tradisi ilmiah khsusunya bagi Dinasti Abbasiyah. Lembaga-
lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas,
dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih
merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, juga
dapat digunakan untuk membaca, menulis, dan berdiskusi (Syamruddin, 2007:
83).
Nyatanya, hanya orang-orang pilihan yang dapat menjadi seorang ilmuwan
atau ulama. al- Quran, sejak awal kemunculannya di Jazirah Arab Utara (Hijaz)
pada awal abad ke-7 H. telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
tradisi keilmuwan. Ayat al-Quran yang pertama kali turun-dan disepakati oleh
para ahli tafsir (al-mufassirun) sebagai surat pertama dalam al-Quran-
Page 82
65
menyerukan tentang perintah baca (iqra) dan tulis (al-qolam) dengan menyebut
nama Tuhan.
Selain secara tekstual, secara kontekstual dan pengalaman empirik
kesejarahan awal Islam menunjukkan pola dinamika dan mobilitas keilmuwan
yang progres. Penelusuran dalam sejarah awal Islam masa Nabi Muhammad
SAW,. secara historis-empiris akan semakin mempertegaskan dinamika
progresifitas ini. Masyarakat Arab pra, menjelang dan awal Islam yang asalnya
ummi, tidak mengenal baca tulis, berubah menjadi masyarakat pembaca dan
pecinta ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad SAW,. pernah
memerintahkan para tawanan Perang Badar, yaitu kelompok musyrikin Quraisy
penentang Islam, untuk mengajarkan baca-tulis kepada orang-orang Muslim
Madinah (sahabat-sahabat Nabi SAW,.) sebagai syarat untuk memerdekakan
para tawanan tersebut. Setiap satu orang tawanan perang diperintahkan
mengajari 10 orang Muslim Madinah baca-tulis. Sementara sebagian sahabat
yang sudah mahir baca-tulis al-Quran dan dianggap mampu diperintah oleh
Nabi Muhammad SAW,. untuk mempelajari bahasa Asing, seperti bahasa
Ibrani (Yahudi) agar mengerti bahasa kitab mereka. Zaid Bin Thabit r.a. adalah
salah-seorang contoh sahabat yang diperintah beliau agar mempelajari bahasa
asing. Zaid Bin Thabit r.a. kemudian mengikuti perintahnya dengan
mempelajari beberapa bahasa, meliputi bahasa Ibrani (Yahudi), bahasa
Romawi, bahasa Abbesinia (Afrika Utara) dan bahasa Qibti (Mesir) (Hak,
2010: 110). Berdasarkan narasi tersebut tradisi keilmuwan telah menjadi akar
sosial budaya bagi masyarakat Muslim.
Pada masa berkuasanya Bani Abbasiyah terjadi pergerakan keilmuwan yang
begitu pesat didirikannya madrasah-madrasah dan perpustakaan-perpustakaan
yang menopang kemajuan ipetek (ilmu pengetahuan dan teknologi) hal tersebut
sangat dipengaruhi oleh sosial budaya yang berkembang pada masa itu;
Pertama, terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang
masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-
bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Pengaruh Persia juga sangat kuat di bidang pemerintahan seperti
yang sudah disebutkan di atas, Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa
dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam
bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahanterjemahan dalam banyak bidang ilmu,
terutama filsafat.
Kedua, gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama,
pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang
banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan
manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun
300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan
kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah
adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin
meluas (Yatim, 2008: 49-50).
Page 83
66
Pemerintahan Bani Abbasiyah dengan tradisi Islamnya yang mencintai ilmu
mengalami kontak dengan bangsa-bangsa lain, khususnya Yunani dalam
kemajuan tradisi intelektual dan filsafat selanjutnya mengalami banyak
asimilasi yang mempengaruhi kemajuan ilmu pengetahuan, yang paling penting
adalah pengaruh Yunani. Gerakan intelektual itu ditandai dengan proyek
penerjemahan karya-kara berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan yunani ke
bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang ilmu pengetahuan,
filsafat, atau sastra yang tidak terlalu banyak, orang Arab memiliki
keingintahuan yang tinggi dan minat belajar yang besar, segera menjadi
penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa yang lebih tua dan berbudaya
yang mereka taklukkan, atau yang mereka temui. Di Suriah menyerap
paradaban Aramaik yang telah ada sebelumnya, yang telah dipengaruhi Yunani.
Di Irak mengadopsi peradaban yang telah dipengaruhi oleh Persia. Tiga
perempat Abad setelah berdirinya Baghdad, dunia literatur Arab telah memiliki
karya-karya filsafat, terutama Aristoteles, karya para komentator neo Platonis,
dan tulisan kedokteran Galen juga karya-karya ilmiah Persia dan India.
Persentuhan dengan budaya Yunani bermula ketika orang Arab bergerak
menaklukkan daerah Bulan Sabit Subur, khazanah intelektual Yunani
merupakan harta karun tak ternilai. Hellenisme akhirnya menjadi unsur paling
penting yang memengaruhi kehidupan orang Arab. Iskandariah menjadi tempat
pertemuan filsafat Barat dan Timur; Suriah dan Mesopotamia menjadi pusat
berkembangnya kajian keagamaan, ilmiah dan filosofis, memancarkan
pengaruh Hellenisme.
Dalam proses penyerapan tersebut, gagasan utama Yunani dan Persia Islam
telah kehilangan sebagian besar karakteristik utamanya, yang bernafaskan
semangat gurun pasir dan melahirkan nasionalisme Arab, namun dengan begitu
berhasil menempati kedudukan penting dalam unit budaya abad pertengahan
yang menghubungkan Eropa Selatan dengan Timur. Perlu diingat bahwa
budaya ini dibawa oleh satu aliran saja, aliran yang bersumber dari Mesir Kuno,
Babilonia, Phonisia, dan Yahudi, yang semuanya mengalir ke Yunani, dan kini
kembali lagi ke Timur dalam bentuk budaya hellenis, dan kita akan melihat
bagaimana aliran yang sama ini dibelokkan kembali ke Eropa oleh orang Arab
di Spanyol dan Sisilia, yang membidani lahirnya Renaisan Eropa (Mahroes,
2015: 82-83).
Pertemuan antara peradaban Islam dengan kebudayaan Yunani dan Persia
dilatari oleh banyak faktor, secara georgafis dari dunia muslim yang strategis
dikenal dengan bangsa tengah/ middle nation/ ummatan washatan) pertemuan
antaran dua kebudayaan yang sudah maju, yaitu Yunani dan Persia. Secara
teologis, terdapat ayat yang menjadi perintah Allah dan Rasul untuk
menghargai kekuatan akal yang dianugerahkan, dan anjuran Rasulullah untuk
senantiasa mencari ilmu pengetahuan. Kontak dengan kebudayaan Barat itu
akan berpengaruh signifikan terhadap kejayaan umat Islam. Secara historis,
kemajuan dan kejayaan peradaban yang dicapai Islam tidak terlepas dari dua
peradaban besar dunia sebelumnya, yaitu Persi dan Yunani (Mahroes, 2015:
103).
Page 84
67
Lebih lanjut, dengan adanya asimilasi, Arab-Mawali membawa dinasti ini
kehilangan jati diri sebagai bangsa Arab menjadi bangsa majemuk. Untuk
memperlancar proses pembaruan antara Arab dengan rakyat taklukan, lembaga
poligami, selir, dan perdagangan budak terbukti efektif. Saat unsur Arab murni
surut, orang Mawali dan anak-anak perempuan yang dimerdekakan, mulai
menggantikan posisi mereka. Aristokrasi Arab mulai digantikan oleh hierarki
pejabat yang mewakili berbagai bangsa, yang semula didominasi oleh Persia dan
kemudian oleh Turki (Karim, 2007: 171). Perkembangan sosial budaya sangat
mempengaruhi kondisi politik dan tradisi inetelektual pada masyarakat Islam kala
Bani Abbasiyah berkuasa.
Page 86
BAB IV
BAIT AL HIKMAH DAN MADRASAH NIZHAMIYAH SEBAGAI
MANIFESTASI SEMANGAT KEILMUAN MUSLIM PADA MASA
DINASTI ABBASIYAH
A. Bait al-Hikmah, Institusi Pendidikan yang Mewakili Semangat Keilmuan
Kaum Muslim pada Masa Dinasti Abbasiyah
Bait al-Hikmah diulas pada bab IV ini merupakan suatu jiwa bahwasanya
kala Dinasti Abbasiyah berkuasa kaum muslimin bergeliat menjadi kaum yang
memiliki semangat keilmuan yang amat tinggi seperti halnya yang melekat
pada Madrasah Nizamiyah. Sehingga Bait al Hikmah berkembang dan
mewakili semangat keilmuan kaum muslimin yang selanjutnya negara khilafah
menorehkan prestasi amat besar pada masyarakatnya termasuk pembentukan
masyarakat Islam yang toleran dan kosmopolitan.
Kekuasaan Abbasiyah mengorientasikan dalam membangun peradaban
intelektualitas hal ini dapat dilihat dari berbagai literatur yang menyatakan
bahwa Dinasti Abbasiyah mulai membangun dan mendirikan perpustakaan,
observatorium, tempat penelitian dan tempat kajian ilmiah lainnya sebagai
sarana mengembangakan ilmu pengetahuan—secara formal dan melibatkan
negara dalam pembangunan dan pembiayaannya.
Pemerintahan Bani Abbasiyah betul-betul eksis dalam pengelolaan ilmu
pengetahuan hal tersebut dapat teramati dengan adanya konsep perpustakaan
pada masa itu yakni Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah tak lain berfungsi sebagai
perpustakaan dan berfungsi pula sebagai lembaga yang pengembangan bidang-
bidang ilmu berbagai jenis keilmuan. Adapun lembaga tersebut merupakan
bentuk kelanjutan jenis institusi serupa ketika imperium besar Sasania Persia
juga memiliki lembaga yang disebut Jundishapur Academy. Namun memiliki
perbedaan ketika masa Persia dimana institusi inilah yang menyimpan berbagai
karya puisi-puisi juga cerita-cerita yang diperuntukkan para Raja kala itu,
begitu juga ketika Dinasti Abbasiyah kala Harun Al- Rasyid berkuasa dimana
instutusi inilah yang kemudian bernama Khizanah al-Hikmah berfungsi
perpustakaan dan merupakan pusat dari penelitian. Ketika al-Makmun berkuasa
diubah penamaanya yaitu Bait al-Hikmah yang kemudian diperuntukkan
sebagai penyimpan buku-buku lama (kuno) yang semula didapatkan dari
bangsa Persia, Bizantium, bahkan Etiopia serta India (Abdurrahman, 2002:
126).
Adapun sumber lain menyatakan bahwasanya Bait al-Hikmah kemudian
didirikan kali pertamanya oleh khalifah ke-7 Dinasti Abbasiyah, yakni Al-
Ma‘mun di tahun 215 Hijriah/830 Masehi di wilayah Baghdad. Bahwasanya,
ada sumber berlainan menyebutkan bahwasanya Bait al-Hikmah yang didirikan
ketika zaman Khalifah Harun al-Rasyid berkuasa, khalifah ke-5 merupakan
ayah al-Ma‘mun berkuasa 170-193 H/ 786-809 M (Amin, 1978: 76-77).
Dalam hal ini, Langkah-langkah kemudian dilancarkan oleh khalifah al-
Makmun yakni membentuk institusi Bait al-Hikmah di tahun 832 Masehi. Yang
bertujuan mendorong untuk memasukkan hal-hal positif kebudayaan Yunani
69
Page 87
70
kedalam aspek pengetahuan yang khususnya berada pada wilayah filsafat
berbasis Islam (Sitompul, 2006: 9).
Selanjutnya, ketika Khilafah Abbasiyah berkuasa, dimana berbagai macam
buku dikumpulkan di perpustakaan yang bernama ―Bait al-Hikmah‖. Ketika itu
dimana perpustakaan tak lain merupakan sebagai sarana belajar umat Islam
sehingga mampu membentuk peradaban yang besar beberapa abad selanjutnya.
Banyaknya informasi yang masuk dan penyebaran ilmu yang tidaklah
terdokumentasi oleh umat Islam kemudian dilupakan. Sehingga mengakibatkan
tatanan umat Muslim dilihat dari aspek ekonomi ataupun politik, budaya, sosial
dan aspek-aspek kekehidupan lainnya terjadinya stagnasi atau kemandegan.
Pada akhirnya Islam hanyalah sebagai umat yang hanya menjadi pengikut
belaka dari bangsa yang maju, dalam konteks ini yakni perkembangan di barat.
Sebenarnya, kitapun menyadari bahwasanya kemajuan yang terjadi di dunia
belahan barat yang dicapai melalui penguatan dan penguasaan pengetahuan
yang kemudian sebenarnya diambil pula berasal di pusat-pusat pengembangan
kepengetahuan umat muslim dalam sistem perpustakaannya (Qolyubi dkk,
2003: 47).
Perpustakaan tentunya menyimpan banyak buku: Buku merupakan produk
pemikiran manusia yang menggambarkan kebudayaan dan peradaban manusia
pada masanya. Melalui buku, generasi sesudahnya dapat melihat adanya
transformasi ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Buku
mewakili manusia untuk menceritakan kebudayaan dan peradabannya, dalam
tradisi intelektual Islam tidak terlepas dari peran dan keberadaan buku di tengah
umat (Fadjar dkk, 2006: 11).
Dari sinilah teramati pentingnya fungsi-fungsi peran perpustakaan-
perpustakaan sumbangsihnya terhadap kemajuan peradaban, khususnya
sumbangsih yang diberikan oleh ―Dar al Ulum‖ atau ―Bait al-Hikmah‖ yang
berkembang kala itu tak lain perpustakaan yang terbesar didirikan awal abad ke
IX Masehi pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid. Dimana perpustakaan yang
ada yaitu Bait al-Hikmah yang merupakan lembaga menyerupai bentuk
universitas bertujuan membantu dalam hal perkembangan keilmuan dan
pembelajaran, serta mendorong dan menyokong penelitian-penelitian ilmiah,
begitu pula dengan penerjemaahan teks-teks yang dianggap sangat penting. Hal
inilah yang kemudian menjadi dasar alasan terbukanya bagi setiap orang dan
setiap komponen bangsa yang memiliki cakap untuk menggunakan, atas karena
itulah Baitul Hikmah pada perkembangan mendatangkan menjadi aspek penting
bagi terjalinnya kehidupan budaya dan intelektualitas yang pada waktu itu telah
menjadi rujukan umum dan referesensi perkembangan keilmuan dalam
masyarakat (Hitti, 2006: 386).
Salah satu aktivitas Bait al- Hikmah yakni menterjemahkan karya-karya
asing, sehingga memperkaya koleksi perpustakaan, tambah lagi kegiatan
penerjemahan dilakukan secara profesional tanpa memandang perbedaan suku
bangsa dan agama, nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan
kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip-manuskrip dan
penerjemahan buku-buku sains dari Yunani. Hal ini melingkupi dalam aktivitas
penyelenggaraan Bait al-Hikmah, baik kepada para sarjana muslim maupun non
Page 88
71
muslim. Penghargaan yang diberikan al-Makmun (sang khalifah) kepada
mereka adalah dengan membayar mahal kepada para penerjemah dengan emas
setara bobot buku yang mereka terjemahkan. 42 Interaksi positif antara orang
Arab muslim dengan kalangan bukan muslim melebur dalam suasana penuh
kebebasan, toleransi dan keterbukaan (Majid, 2000: 222).
Perbedaan etnik kultural dan agama bukan halangan dalam melakukan
penerjemahan. Para penerjemah tersebut antara lain; (1) Abu Sahl Fazhl bin
Nawbakht, berkebangsaan Persia; (2) Alan al-Syu‘ubi, berkebangsaan Persia;
(3) Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh (w.857) (Hitti, 2002: 390).
1. Berkembangnya penggunaan kertas dalam dunia Islam,
2. Adanya kegiatan penerjemahan secara besar-besar yang berlangsung
sepanjang abad kesembilan dan sebagian besar abad kesepuluh,
3. Kecintaan Khalifah Abbasiyah, dalam hal ini khususnya al-Mansyur,
Harun al-Rasyid, dan al-Ma‘mun terhadap ilmu pengetahuan,
4. Kekayaan Dinasti Abbasiyah dan dukungan materil untuk berbagai
aktivitas intelektual, seperti memberikan imbalan yang besar bagi setiap
ilmuwan, pendanaan untuk lembaga penerjemahan dan observatorium
dan lain-lain,
5. Adanya tuntunan menuntut ilmu yang ditanamkan dalam ajaran Islam,
yang mendasari semangat khalifah dan para ilmuwan,
6. Banyaknya ilmuwan dari berbagai penjuru dunia yang datang untuk
belajar dan melakukan penelitian di Kota Baghdad (Watt, 1995: 76).
Dalam hal ini nampaknya dapatlah ditarik benang merah ketika al-Ma‘mun
berkuasa dimana Bait al-Hikmah tidaklah sebatas hanyalah berfungsi
perpustakaan akan tapi berfungsi pula sebagai kampus atau akademi yang
menjadi embrio pusat penerjemahan, serta pula dikembangkan sebagai tempat
untik aktivitas-aktivitas keintelektualan yang pada kemudian harinya berlanjut
ketika penerusnya yang berkuasa (Hitti, 2006: 386).
Menurut Mubarrok (Suriana, 2017: 112) Pada awal berdirinya Khizanah al-
Hikmah berfungsi sebagai perpustakaan, tempat penerjemahan dan penelitian.
Kemudian pada tahun 815 M putra Harun al-Rasyid; al-Ma‘mun (813-833 M)
mengganti namanya menjadi Baitul Hikmah dan menambah fungsinya menjadi
tempat penyimpanan buku-buku kuno yang berasal dari Persia, Bizantium,
Eithopia, dan India. menurut Yatim menjelaskan; Al-Ma‘mun dikenal sebagai
khalifah yang amat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga penerjemahan buku-
buku Yunani digalakkan, dia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan
Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Keadaan ini menjadikan Baitul
Hikmah sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Lembaga ini selanjutnya mengantarkan
Bagdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Suriana, 2017: 112).
Dalam satu misi untuk mendapatkan buku, al-ma‘mun mengirim Hajjaj ibn
Matar, Ibn al-Bitriq, Salma dan Yuhana ibn Ishaq ke Kerajaan Romawi untuk
memilih buku-buku yang dimiliki oleh raja Romawi. Pada awalnya, raja
Romawi enggan memberikan namun akhirnya ia menjawab dan menyambut
baik seruan itu. Al-Ma‘mun kemudian menyiapkan duta keilmuwan, menambah
beberapa rombongan penerjemah, dan mengangkat pemimpin sebagai Mushrif
Page 89
72
Ulya (Penanggung jawab) di Bait al-Hikmah. Lalu dimulailah perjalanan para
utusan tersebut ke daerah-daerah yang berbeda, di mana diperkirakan terdapat
buku-buku perbendaharaan Yunani kuno. Kemudian mereka kembali dengan
membawa berbagai macam kitab yang aneh-aneh. al-Ma‘mun juga menanyakan
agar memperkenankan utusan-utusannya untuk mengadakan pengkajian dan
penelitian di perpustakaan kuno (Amin, 1978: 78). Adapun para pengajarnya
salah satunya ialah Az-Zajaj dalam hal ini ia dapat mengais rezeki kurang
lebih 200 dinar pada tiap-tiap bulannya gazi seorang fuqaha juga ulama. Begitu
dengan Hakim al-Muqtadli ibn Daraid dirinya dapat mengais rezeki senilai 50
dinar pada tiap-tiap bulan sebagai gaji (As-Sirjani, 2003: 247-256).
Pada masa Khalifah al-Ma‘mun, ada tiga ilmuwan yang tercatat sebagai
pustakawan di Bait al-Hikmah, di mana mereka diberi tanggung jawab
memimpin keseluruhan lembaga Bait al-Hikmah yang tidak hanya sebatas
perpustakaan saja. Pada perpustakaan tersebut juga memperkerjakan lebih dari
satu pustakawan yang mempunyai kedudukan yang sejajar, di antara
pustakawan yang tercatat pernah bekerja di sana adalah Salma, Sahl ibn Harun
dan Hasan ibn Marar al-Dzabi (Amin, 1978: 79). Menurut Myers (Laili dkk,
2019: 201-202); ada banyak penerjemah yang telah ikut andil dalam
memeriahkan penerjemahan di masa abad pertengahan ini antara lain:
1. Periode 650-800 M:
a. Serverus Sebokht, pendeta biara Qen-neshre di Upper Euphrates yang
terkenal sekitar tahun 650 M adalah seorang ahli dan filosof.
b. Khalid ibn Yazid ibn Murawiya, seorang penguasa Umayyah (704-708
M) dan filosof dianggap sebagai orang yang mendorong para sarjana
Yunani di Mesir untuk menerjemahkan bukubuku Yunani ke dalam
bahasa Arab.
c. Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari menerjemahkan karya astronomi
Shiddhanta berbahasa Sanskrit ke dalam bahasa Arab sekitar tahun 772
M. Sementara ayahnya Muslim pertama yang mengkonstruksi astrolobe
(ilmu perbintangan) serta juda ia dipercayakan sebagai salah satu
sarjana yang pertama kali memiliki hubungan dengan Matematika
Hindu. Penerjemahan yang dilakukannya telah membawa huruf-huruf
hindu ke dalam Islam.
d. Abu Sahl al Fadl ibn Naubakht, ia adalah seorang Kepala Pustakawan
berkebangsaan Persia pada masa Harun Al Rasyid. Adapun karya-karya
yang diterjemahkannya tentang karya-karya Astronomi dari bahasa
Persia ke dalam bahasa Arab.
e. Jirjis ibn Jibril Bakhtyashu, ia adalah seorang berkebangsaan Persia
pengikut Nestorian, merupakan orang pertama yang menerjemahkan
karya-karya kedokteran ke dalam bahasa Arab. Di samping itu ia juga
merupakan orang pertama yang menerjemahkan karya-karya
kedokteran kedalam bahasa Arab.
2. Periode 800-900 M:
a. Al-Makmun, penguasa Baghdad (813-833 M) merupakan pemprakarsa
pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi masa kekuasaan ayahnya
Harun al Rasyid. Dengan berdirinya Bait al Hikmah beratus-ratus
Page 90
73
manuskrip telah diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahsa
Arab.
b. Abu Zakariya Yahya ibn Bathriq, menerjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Buku-buku Hipocrates tentang tanda-tanda kematian, beberapa
karya Aristoteles, karya-karya Galen De Theriacca dan pisonem dan
mungkin juga secretorum.
c. al-Kindi seorang filosof pernah menerjemahkan dan memimpin proses
penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya
terjemahannya yang paling terkenal adalah sebuah karya Neoplatonik
yang didasarkan pada buku-buku IV hingga VI dari buku Enneads
karya Plotinus.
d. Jibrail ibn Bakhtyashu, cucu dari seorang penerjemah pendahaulu
dengan nama yang sama menjadi dokter ahli bagi al Makmun dan
Harun al Rasyid dan menerjemahkan banyak manuskrip Yunani dalam
bidang kedokteran.
e. Abd. Al-Masih Naima dari Hims menerjemahkan beberapa dari tulisan-
tulisan Neoplatonik sekiatar 835 M yang secara ironis dianggap sebagai
The Ethics of Aristotle. Karya ini kemudian diperbaiki oleh al Kindi.
3. Periode 900-1000 M
a. Matta ibn Yunus, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab Analytica
Posterior dan Poeties karya Aristoteles, Karya Alexander tentang
Komentar Aphrodisias dalam DeGeneratione et De Corruptione dan
Komentar Themistios terhadap buku 30.
b. Metaphysics, semuanya dan versi-versi bahasa Syria. Ia adalah salah
seorang guru dari al-Farabi.
c. Yahya ibn ‗Adi adalah murid dari lbn Yunus dan al- Farabi. Ia merevisi
terjemahan Matta terhadap Komentar Themistios tentangDe Coelo
karya Aristoteles dan menerjemahakan komentar Alexander
Aphrodisias tentangMeteorology karya Aristoteles.
d. Abu Utsman al-Dismisqhi, bersinar dibawah ke Khalifahan al-
Muqtadir, Ia adalah seorang tabib, ahli matematika dan seorang
penerjemah. Ia menerjemahkan karya-karya Aristoteles, Galen,
Porphyry dan Euclid. Karya terjemahan terpentingnya adalah
terjemahannya terhadap buku X Euclid bersamaan dengan Komentar
Pappus tentangnya yang cuma ada dalam versi bahasa Arab.
e. Al-Hakam II atau Ibnu Abd aI-Rahman III terkenal juga dengan al-
Mustansir bi-llah adalah Khalifah Umayyah kesembilan di Kordova
(961 —976), pemprakarsa hebat dari ilmu pengetahuan seni dan
pendidikan dan mungkin juga seorang penguasa Islam yang paling
terdidik (the most scholarly ruler of Islam). Ia sangat mendukung kajian
tentang ilmu matematika, astronomi dan kedokteran. Karena jasa dan
pengaruhnya, Cardova menjadi kota terbesar kedua Islam yang hanya
dapat ditandingi oleh Konstatinopel, dan Universitas yang dimilikinya
menjadi pusat utama dari pengetahuan Islam. Al-Hakam mengirim para
intelektualnya serta pejabat-pejabat pemerintahannya ke seluruh dunia
Muslim untuk mendapatkan manuskrip- manuskrip dan mengkopinya,
Page 91
74
perpustakaan yang dimilikinya memiliki sekitar 400.000 jilid buku dan
katalog berjumlah 44 jilid.
Berdasarkan hasil penelitian (Laili dkk, 2019: 203) menyatakan bahwa
Bait al-Hikmah: Sejarah sosial-intelektual pendirian Bayt al-Hikmah, dalam
hal ini harus dilihat dari beberapa aspek simpulannya dapat disimak berikut
ini:
1. Aspek Politis, pada aspek ini sistem politik yang dilakukan:
a. Para Menteri turunan Persia diberi hak penuh dalam menjalankan
pemerintahan.
b. Para khalifah tetap dari turunan Arab Murni, sementara para Menteri,
para Gubernur, para Panglima dan para pegawai lainya banyak diangkat
dari golongan Mawaly turunan Persia.
c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan
mulia.
d. Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya.
e. Kota Baghdad sebagai Ibukota Negara, menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi sosial dan kebudayaan serta dijaadikan sebagai Kota
Internasional.
2. Aspek Agama, pemerintah menganut aliran muktazilah sebagai panutan
resmi negara, dalam penerapannya ditegakkan dengan keras melalui gerakan
Mihnah.
3. Aspek Intelektual, pemerintah dan masyarakat memilki visi yang sama
yakni cinta dengan ilmu. Sehingga pergerakan dan perkembangan
keilmuwan berkembang cepat. Hal ini juga didukung peran-peran
penerjemah. Berupa:
a. Penerjemahan di Bayt al-Hikmah dilakukan dengan dua langkah.
Pertama manuskrip-manuskrip berbahasa asing diterjemahkan ke dalam
bahasa Syiria kuno kemudian pada tahap kedua diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Selain itu penerjemah memberikan ta‟liq (komentar)
terhadap kitab-kitab tersebut serta menukilnya seperti menyesuaikan
konteks, menyempurnakan kekurangan dan mengoreksi setiap
kesalahan.
b. Tema-tema karya yang diterjemahkan di Bayt al-Hikmah secara umum
lebih diutamakan pada ilmu praktis seperti kedokteran, matematika,
astrologi, astronomi dan filsafat yang berasal dari karya Plato
sepertiThatetus, Aristoteles sepertiAnalitica Priora (Uraian Pertama)
membicarakan tentang kiyas (sylogisme), Hellenisme Romawi
sepertiPoimandres dan Neo-Platonisme seperti Enneads dan Ptolemy
seperti Almagest tentang astronomi, Galen seperti Materia Medika
tentang kedokteran dan masih banyak tema lainnya yang diterjemahkan
ke daam bahasa Arab. Di samping itu karya dari India juga
diterjemahkan seperti bukuSiddhanta tentang matematika. Bait al-
Hikmah memiliki peran yang begitu besar bagi peradaban manusia,
hingga dampaknya masih terasa hingga kini. Sebelum masa
penterjemahan berakhir (masih efektifnya Bait al-Hikmah), semua
karya-karya Aristoteles sudah dibaca oleh orang-orang berbahasa Arab.
Page 92
75
Ini terjadi tatkala Eropa hampir belum mempunyai pengetahuan apa-
apa tentang alam pikiran dan ilmu pengetahuan Yunani. Tatkala Harun
al-Rasyid dan Al-Makmun sudah giat menyelami filsafat Yunani dan
Persia, orang-orang di zaman mereka di dunia Barat, Yakni Karl Agung
dan kaum ningratnya, masih mencakar-cakar untuk menulis namanya.
c. Pengumpulan buku-buku Yunani di Bait al-Hikmah dapat dilakukan
dengan berbagai cara antara lain mengirim utusan Islam ke negeri asing
dan membelinya seperti dari Konstatinopel, kemudian cara lain yang
ditempuh adalah hasil penaklukan suatu negara seperti Byzantium dan
Persia maka negara yang ditaklukkan tersebut memberikan kepingan-
kepingan atau menuskrip karya kuno sebagai jalur damai yang
ditempuh oleh kahalifah. Selain itu juga pengumpulan buku-buku
Yunani juga pengambilan jizyah (pembayaran pajak) yang terkadang
wajib dibayar dengan buku (Hitti, 2006: 315).
1. Kegiatan Intelektual Islam di Bait Al-Hikmah
Bait Al-Hikmah berkembang sebagai perpustakaan yang amat megah dan
menggambarkan betapa kaum muslim amat mencintai ilmu pada masa itu.
Perpustakaanperpustakaan yang dibangun untuk umum terdiri atas ruangan-
ruangan yang dilengkapi dengan karpet-karpet dan meja-meja yang mewah,
tinta dan kertas yang tersedia bagi para ilmuwan dan mahasiswa. Di beberapa
perpustakaan besar, khususnya di Baghdad dan Kairo, sebanyak 40-50 ruangan
dibangun untuk menyimpan buku-buku dan untuk ruang belajar bagi para
ilmuwan dan mahasiswa. Manuskrip-manuskrip ditata di rak-rak sedemikian
rupa sehingga para pengunjung dapat dengan mudah menemukannya.
Perpustakaan-perpustakaan itu menyimpan buku-buku dari semua bidang, dari
buku-buku yang berasal dari bangsa Timur dalam bahasa Sangsekerta sampai
karya-karya terjemahan bahasa Arab atas buku-buku sains dan filsafat bangsa
Yunani. Jumlah seri (volume) buku yang ada di perpustakaan umum sulit
diperkirakan, tetapi banyak perpustakaan dilaporkan memiliki antara 100.000
dan 1.000.000 volume (Stanton, 1984: 167). Bani Abbasiyah membuktikan
dirinya amat perhatian bagi perkembangan ilmu, lain halnya ketika zaman Bani
Umayyah; Mesti bersentuhan dengan filsafat dan teologi Hellenistik, Bani
Umayyah tidak begitu tertarik untuk memajukan kajian filsafat dan teologi.
Mereka lebih tertarik pada pengembangan kekuasaan dan kerajaannya (Stanton,
1984: 80). Lebih lanjut, Bait al-Ḥikmah adalah universitas yang pertama sekali
tempat berkumpul-nya ulama-ulama dan penyelidik-penyelidik ilmiah,
pelajarpelajar dan mahasiswa-mahasiswa. Dengan demikian, Bait al-Ḥikmah
adalah suatu ―Pusat Ilmu Pengetahuan‖ yang pertama kali, yang telah
menyumbangkan ilmu pengetahuan yang teramat banyak kepada penuntut-
pentuntutnya, terutama sekali dalam bidang kedokteran, filsafat hikmah, dan
lainnya (Syalabi, 1993: 172).
Dalam hal ini al-Ma‘mun secara masif mendirikan sebuah institusi yang
mengurusi tentang observatori astronomi begitu pula dengan Sa‘id ‗Ali dan
Yaḥya ibn Abi Manṣur diberi kepercayaan untuk memimpin dan ditunjuk
sebagai bidang peneliti ia diangkat juga diber kepercayaan khalifah sebagai
Page 93
76
ahli matematika atau matematikawan sekaligus seorang astronomi genius, al-
Khawarizmi. Para pakar yang berasal dari lembaga tersebut tidak hanyalah
melakukan suatu observasi yang sistematik gerakangerakan dari benda-benda
langit akan tetapi ia membuktikan sengan tepat perihal unsur-unsur yang
fundamental terdapat, Almagest karya dari Ptolemius yang berhubungan garis
gerak tidak beraturan itu yakni garis peedaran matahari pada sepanjang
tahunnya yaitu syamsiah dan lain sebagainya (Shiddiqi, 1996: 29).
2. Aktivitas Bait Al-Hikmah dan Ilmuan-ilmuan Muslim
Kegiatan penerjemahan telah melahirkan karya-karya orisinil, sebagai
cikal-bakal kemajuan peradaban Islam dalam bidang ilmu pengetahuan.
Perkembangan selanjutnya kedokteran berkembang dengan pesat adapun tokoh-
tokohnya seperti Ali ibn Sahl Rabban al-Thabari, pada pertengahan abad 9
Masehi; begitu pula dengan Abu Bakr Muh ibn Zakariyya al-Razi muncul
sebagai tokoh bidang kedokteran (Rhazes, 865-925); Ali ibn al Abbas (w.994);
Ibn Sina, 980 hingga 1037 Masehi (Hitti, 2010: 459). Langkah strategis yang
kemudian dilakukan oleh khalifah al-Makmun, ia membentuk institusi atau
lembaga yang dikenal sebagai Bait al-Hikmah di 832 Masehi. Demi ambisi
mendorong memasukkan hal yang baik dari yang terkasung di dalam
kebudayaan yang berkembang di Yunani pada masa kono diartikulasikan
pengetahuan tersebut khususnya pada wilayah kajian keilmuan bergendere
filsafat yang mengarah pada khazanah Islam dalam persepektif kefilsafatan
Islam (Abdurrahman, 2005: 126). Adapun nilai yang mengorientasikan pada
kebebasan berpendapat dan berberekspresi, memiliki watak keterbukaan,
mengembangkan nilai-nilai toleransi dan juga kesetaraan atau kesejajaran
dapatlah ditemua dalam proses-proses pengumpulan manuskrip-manuskrip dan
penerjemahan buku-buku sains dari Yunani. Hal ini melingkupi dalam aktivitas
penyelenggaraan Bait al-Hikmah, baik kepada para sarjana muslim maupun non
muslim. Penghargaan yang diberikan al-Makmun (sang khalifah) kepada
mereka adalah dengan membayar mahal kepada para penerjemah dengan emas
setara bobot buku yang mereka terjemahkan (Hitti, 2010: 390). Interaksi positif
antara orang Arab muslim dengan kalangan bukan muslim melebur dalam
suasana penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan (Madjid, 2000: 22).
Tentunya ketika Bait Al Hikmah mengemuka inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal trensformasi filsafat Barat ke filsafat Islam. Bait al-Hikmah
(akademi penerjemahan) yang didirikan oleh khalifah al- Ma‘mun. Lembaga ini
sangat besar perannya dalam aktivitas penerjemahan buku-buku ilmiah dan
filsafat Yunani yang bakal menyemarakkan kegiatan ilmiah dan filsafat
dikalangan umat Islam. Untuk mengarahkan lembaga dan perpustakaan resmi
ini kepada kegiatan penelitian dan penerjemahan, khalifah Al-Ma‘mun
mengirimkan para pegawai sampai ke Binzantium untuk mencari dan membeli
karya-karya ilmiah dan filsafat (Pervez, 1997: 128).
Perkembangan filsafat begitu pesat di dalam tubuh Islam, adapun filsuf-
filsup barat yang berpengaruh dalam perkembangan filsafat Islam sebagaimana
dijalaskan oleh Ahmad Hanafi dapat disimak berikut ini:
Page 94
77
1. Thales (640-556 SM). Merupakan salah satu filosof pendiri dari filsafat
alam atau kosmologi. Filsafat kosmologi atau kosmos merupakan
mempertanyakan aliran yang berpendapat bahwasanya unsur tunggal
menjadi dasar dari perubahan dari struktur semesta.
2. Pythagoras (572-497 SM). merupakan pendiri dari filsafat aliran yang
disebut Pythagorianisme. Mengemukakan bahwasaya lebih memuat
metafisis, berupa bilangan-bilangan merupakan sebuah intisari semua
benda-benda atau pokok sifat-sifat dari benda apapun.
3. Socrates (469-349 SM). Merupakan filosof di wilayah moral muncul
pasca Thales di kala Yunani kuno. ajarannya disampaikan ka khalayak
ramai kehususnya para anak muda, pendapatnya ialah pengetahuan
merupakan kebajikan, serta kebajikan untuk mencapai puncak
kebahagiaan dalam kehidupan.
4. Plato (427-347 SM.). merupakan filosof Yunani yang mahsyur
pengaruhnyapun menyentuh bagi konsep filsafat dalam khazanah Islam
yang kemudian dikembangkan oleh para filsuf Islam. Adapun kala
Daulah Abbasiah berkuasa filsafat Plato berkembang dalam kajian-
kajian ilmiah.
5. Aristoteles (348-322 SM.). Aristoteles merupakan murid dari Plato,
Aristoteles salah seorang filosof Yunani ia konsentrasi dalam filsafat
baik metafisik maupun yang logis rasional yang pada
perkembangannya sangat mempengaruhi pekembangan filsafat Islam.
Menurut pandangannya sophia atau kearifan tak lain merupakan sebuah
kebajikan dimana intelekktualitas memiliki peranan tertinggi, dan
philosophia tak ubahnya merupakan (episteme) suatu kumpulan yang
teratur dalam pengetahuan yang bersifat logis rasional (Hanafi, 2000:
21).
Dalam tulisan ini tidak akan membahas para filosof Barat namun hanya
mengungkap para filosof Islam yang memang berkaitan erat dengan
perkambangan Bait al-Hikmah. Pada perkembangan selanjutnya, Pendidikan
di Bait al-Hikmah meliputi cabang-cabang ilmu seperti filsafat, falak,
kedokteran, matematika juga berbagai macam bahasa seperti bahasa Yunani,
Persia, India di samping bahasa Arab itu sendiri. Setelah lulus dari Bait al-
Hikmah, mereka diberi ijazah oleh para ustadz. Ijazah tersebut sebagai bukti
bahwa mereka telah mendalami ilmu tersebut dan bahkan memperoleh izin
untuk mengajarkannya kembali. Ijazah juga diberikan bagi mereka yang
mendapatkan peringkat istimewa dalam pelajarannya, ijazah itu hanya
berhak diberikan dan ditulis oleh ustadz yang bersangkutan. Dalam ijazah
tersebut terdapat nama murid, syaikhnya, mazhab fiqihnya serta tanggal
dikeluarkannya ijazah tersebut (Rahman, 2000: 247). al-Hikmah ini
membawa perkembangan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan sastra di kalangan kaum muslimin. Ilmu pengetahuan asing
dimasukan, lantas dikuasai dan dimiliki oleh kaum muslimin. Dengan
demikian perbendaharaan karya ilmiah ini jadi terpelihara dan dapat
dipusakakan kepada generasi-generasi yang datang kemudian, di kala
hamper-hampir saja lenyap dan musnah (Syalabi, 1993: 70).
Page 95
78
Untuk menggiring lahirnya cikal bakal ilmuwan-ilmuwan Muslim, al-
Ma‘mûn memandang bahwa penggalian sumber-sumber keilmuan itu harus
dikuasai terlebih dahulu. Salah satu jalan yang ditempuh untuk penggalian
sumber-sumber keilmuan itu adalah melalui aktivitas penerjemahan. Pada
saat itu, orang-orang yang memiliki keahlian dalam menguasai bahasa asing
selain Bahasa Arab masih sangat langka di kalangan umat Islam. Sementara
sumber-sumber keilmuan itu banyak yang tertulis dalam bahasa Yunani,
Syria, dan Persia (Al Farabi, 2013: 69). Lebih lanjut, Al Farabi menjelaskan;
Atas dasar pertimbangan demikian, al-Ma‘mûn memandang penting untuk
mengambil tindakan agar para ahli dari luar Islam pun harus dilibatkan
dalam aktivitas penerjemahan. Dengan pertimbangan ini, terjalinlah
hubungan ―patron‖ penerjemahan yang melibatkan tenaga-tenaga ahli yang
beragama Kristen Nestorian dan Jakobite untuk berperan serta dalam
membangun tradisi ilmiah di Bayt al-Hikmah. Adapun para patron dari luar
Islam yang terlibat dalam aktivitas penerjemahan dimaksud dapat
dipaparkan sebagai berikut:
a. Yuhanna ibn Masawayh (155 H/777 M–235 H/857 M). Hitti
menjelaskan; Yuhanna ibn Masawayh atau yang biasa disebut Ibn
Masawayh merupakan salah seorang penerjemah awal yang turut
memberikan andil yang berharga bagi pengembangan tradisi keilmuan di
Bayt al-Hikmah. Ia hidup dari periode kekhalifahan al-Mahdi sampai
periode al-Mutawakkil. Di wilayah Barat, dia lazim disebut Mesue dan
ayahnya adalah seorang apoteker. Ia adalah murid dari Jibril ibn
Bakhtisyu dan guru dari Hunain ibn Ishâq. Disambung Nakosteen; salah
satu karya Ibn Masawayh yang terkenal adalah kitab al-Mushajjar al-
Kabîr. Dalam kitab yang ditulisnya itu, Ibn Masawayh membuat daftar
sekitar 30 macam aromatik. Kitab ini semacam ensiklopedia yang berisi
daftar penyakit berikut tata cara pengobatannya melalui obat-obatan serta
kiat-kiat diet. Nakosteen menyebutkan bahwa Ibn Masawayh tidak hanya
penerjemah terkemuka di Bayt al-Hikmah, tetapi juga ahli dalam bidang
obat-obatan, dan karyanya menjadi rujukan untuk pengobatan berbagai
penyakit yang diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew dan Latin (Al
Farabi, 2013: 69).
b. Hunain ibn Ishâq (187 H/809 M–291 H/873 M). Hunain ibn Ishâq,
nama lengkapnya Abû Zaid Hunain ibn Ishâq al-‘Ibâdi; dikenal dalam
bahasa Latin sebagai Johannitius, merupakan tokoh beragama Kristen
Nestorian yang terkenal dalam kegiatan penerjemahan di Bayt al-
Hikmah. Khalifah al-Ma‘mûn menempatkannya sebagai orang terdepan
dalam kegiatan tersebut, dan menurut sebagian sumber sejarah, Hunain
ditetapkan oleh al-Ma‘mûn sebagai pimpinan komite penerjemahan.
Hunain banyak menerjemahkan karya ilmiah dari bahasa Yunani dan
Syria ke dalam bahasa Arab pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Ia
dikenal sebagai penerjemah produktif. Sebagian besar Risâlah ilmiah dan
medis yang berbahasa Yunani dan Syria ia terjemahkan ke dalam Bahasa
Arab. Hasil penerjemahan dia sangat mengesankan, sehingga terjemahan
Hunain ini tidak membutuhkan koreksi sama sekali. Keunggulan ini
Page 96
79
mungkin terjadi karena ia menguasai empat bahasa, yakni Arab, Syria,
Yunani dan Persia. Karena itu, ia menjadi dikenal di kalangan orang
Arab sebagai ―Syaikh dari penerjemah.‖ Metode Hunain dalam
penerjemahan, diikuti secara luas oleh penerjemah kemudian Dalam
karirnya sebagai penerjemah, Hunain telah menerjemahkan 20 buku
karya Galen ke dalam bahasa Syria dan 14 buku lain ke dalam bahasa
Arab. Di antara karyakarya yang ia terjemahkan antara lain, filsafat
Galen tentang Risâlah tentang Pembuktian (Treatise on Demonstration),
Silogisme Hipotesis (Hypothetical Syllogism), Etika (Ethics), dan
beberapa komentar Galen terhadap karya-karya Plato seperti Sophist,
Parmindes, Cryatylus, Euthydenus, Timaeus, Statesman, Republic, dan
Laws (Al Farabi, 2013: 70).
c. ‘Umar ibn Farkhân al-Thabarî (w. 194 H/816 M). Sebagaimana Tsâbit,
‗Umar ibn Farkhân al-Thabarî juga aktif terlibat dalam aktivitas
penerjemahan di Bayt al-Hikmah. Ia merupakan cendikiawan Yahudi
dari Tabaristan dan salah seorang cendekiawan teologi terbesar pada
dasawarsa terakhir abad kedelapan dan pada dasawarsa awal abad
kesembilan yang telah menerjemahkan beberapa buku tentang
kedokteran dan matematik dari bahasa Syria dan Yunani ke dalam bahasa
Arab. Selain dikenal sebagai penerjemah terkemuka, dia juga peneliti
yang berwawasan luas di bidang ilmu astronomi. Hal ini dinyatakan oleh
Abu Ma‘shar Ja‘far ibn Muhammad ibn ‗Umar al-Balkhî dalam bukunya
al-Mudhâhakât bahwa ‗Umar ibn Farkhân al-Thabarî adalah orang
terdekat dan bekerja sebagai penerjemah pribadi bagi Khalifah al-
Ma‘mûn yang telah menerjemahkan sebagian besar buku-buku asing dan
menghasilkan penelitian astronomi yang diabadikan sebagai arsip
sejarah. Ia juga banyak menulis buku tentang perbintangan dan karya-
karya lain tentang filsafat (Al Farabi, 2013: 70).
d. Tsâbit ibn Qurrâ’ al-Harrânî (214 H/836 M–279 H/901 M) Tsâbit ibn
Qurrâ‘ al-Harrânî dilahirkan pada tahun 214 H/836 M di Harran, sebuah
kota kecil di wilayah Mesopotamia. Ia termasuk salah seorang
penerjemah handal yang bertugas di Bayt al-Hikmah. Tsâbit memiliki
latar belakang tersendiri dalam merubah nasib hidupnya yang
menempatkan dirinya sebagai penerjemah yang sangat bermanfaat dan ia
menjadi terkenal dalam kegiatan penerjemahan ilmu matematika dan
astronomi yang berasal dari Yunani. Sebagaimana kebanyakan
penerjemah lain ke dalam bahasa Arab, terjemahannya Tsabit tidaklah
tergolong terjemahan sederhana (Al Farabi, 2013: 71).
e. Ishâq ibn Hunain (w. 289 H/911 M) Ishâq ibn Hunain tak lain ia adalah
putra Hunain ibn Ishâq, dirinya memiliki larat belakang keluarga terkenal
dalam bidang penerjemahan. Seperti halnya ayahandanya, yaitu Ishâq
seorang pemeluk Kristen Nestorian asal negara Irak. Ia tergolong juga
dari salah satu sederetan penerjemah yang sangat berpengaruh di daam
Bait al-Hikmah dalam peengalih bahasa dalam ilmu pengetahuan yang
ilmiah seperti di bidang matematika Yunani yang kemudian ia
terjemahkan ke bahasa Arab (Al Farabi, 2013: 71).
Page 97
80
f. Qusthâ ibn Luqâ al-Ba’labaki (w. 291 H/913 M) beliau tergolong
seorang penerjemah ilmiah di dalam Bait al- Hikmah. Tak lain seorang
yang menganut ajaran Kristen Syria ia dikenal sebagai ahli dalam
penerjemahan, kehususnya menerjemahkan dari bahasa Syria serta
Yunani dialih bahasakan menjadi berbahasa Arab. Selain dari itu dikenal
juga sebagai penerjemah dari karya-karya dalam bidang kedokteran serta
matematik yang dirumuskan dalam bahasa Yunani. Adapun karya
tersebut diantaranya adalah karya Diophantus, Autolycus, Hypsicles,
Theodosius, Aristarchus, juga karya Heron. (Al Farabi, 2013: 72).
g. Hubaisy ibn Hasan al-A’sham al-Dimasyqî (w. 295 H/917 M) Hubaisy
beliau tercatat aktif dalam berbagai aktivitas usaha penerjemahan pada
Bayt al- Hikmah. Menerjemahkan karya Syria serta Yunani khusunya
pada bidang kedokteran. ia berhasil menyelesaikan suatu terjemahan
yang populer yaitu Quaestiones Medicales karya dari Hunain
h. Abû Bisyr Matka ibn Yûnus (w. 328 H/949 M) dalam hal penerjemahan
Ia menerjemahkan Analytica Posteriora karya dari filsuf besar
Aristoteles, pula Alexander Aphrodisias atas korupsi, menulis pula
berupa ulasan Kategori-kategori dari Aristoteles serta „Isagoge dari
Porphyry (Al Farabi, 2013: 72).
Adapun sekilas dari banyaknya para ilmuwan yang dipaparkan di atas,
lebih lanjut berikut pula dipaparkan berupa deretan nama yang dianggap penting
untuk disajikan biografinya, dapatlah disimak berikut ini:
a. Banû Mûsâ (Abad 3 H/9 M) ia merupakan ilmuwan insinyur, Banu Musa
seorang pendiri dari observatorium ia dirikan berada pada rumahnya. Ia
melakukan pengamatan dimana hasilnya dapatlah diandalkan sangat
dihargai dan dikagumi para ilmuwan-ilmuan setelahnya, pengamatan
tersebut mempelajari secara seksama berupa berbagai gejala yang terjadi
dalam atmosfir, ia juga menjadi salah satu dari anggota dalam misi-misi
penelitian dibidang ilmiah yang berhubungan dengan benda-benda langit.
Karya-karyanya terjaga keorisinalannya salah satu dari karyanya yakni
Kitab al-Hiyâl atau Kitab Alat-alat Pintar, yang merupakan salah satu dari
hasil sari yang mereka rancang di dalam observatorium tersebut (Al Farabi,
2013: 73).
b. Muhammad ibn Mûsâ al-Khawârizmî (194 H/780 M-266 H/848 M) ia
merupakan salah satu ilmuwan muslim yang terkemuka ahli dalam bidang
matematika, geografi, dan astronomi. Ia yang pada perkembangan
selanjutnya dikenal nama Algoarisme. Dirinya dikenal pula sebagai salah
satu pendiri cabang dan konsep-konsep dasar dalam ilmu matematika. (Al
Farabi, 2013: 74).
c. Al-Jâhiz (159 H/781 M–246H/868 M) ia memiliki nama lengkap Abu Amr
‗Utsmân ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Bashri, yang kemudian dikenal
dengan julukan al-Jahiz, seorang ilmuwan keturunan Arab Negro Timur
Afrika, tempat kelahirannya Basrah 159 H/781 Masehi. Ia dikenal penulis
ulung Prosa Arab, Biologi, Sastra Arab, Zoologi, Filsafat, Sejarah, Filsafat
Islam era awa, Psikologi Islam, serta perumus utama dalam Teologi ajaran-
Page 98
81
ajaran Mu‘tazilah serta menulis mengenai Polemik-polemik politik dan
agama. (Al Farabi, 2013: 74-75).
d. Al-Kindî (185 H/807 M–256 H/869 M) Nama lengkap al-Kindî adalah Abû
Yûsuf Ya‗qûb ibn Ishâq ibn Shabbâh ibn Imrân ibn Ismâ‗îl ibn Muhammad
ibn al-Asy‘at ibn Qais al-Kindî. Dia lahir di Kufah, Irak, pada 185 H/807 M
Nama al-Kindî berasal dari nama salah satu suku Arab di wilayah Arabia
Selatan, yaitu suku Kindah Al-Kindî adalah filosof Muslim pertama yang
mempelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya
para filosof Yunani di dunia Islam, terutama pada abad pertengahan di masa
pemerintahan Khalifah al-Ma‘mûn (191 H/813 M-211 H/833 M) yang
mengundangnya untuk mengajar di Bayt al-Hikmah. al-Kindî hidup di masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai dari periode Khalifah al-Amîn (187
H/809 M-191 H/ 813 M), al-Ma‘mûn (191 H/813-211 H/833 M), al-
Mu‘tashim (211 H/833-220 H/842 M), al-Watsîq (220 H/842 M-225 H/847
M), dan al-Mutawakkil (225 H/847 M-239 H/861 M). Sejak didirikannya
Bayt al-Hikmah oleh al-Ma‘mûn, al-Kindî sendiri turut aktif dalam kegiatan
penerjemahan ini. Di samping menerjemah, al-Kindî juga memperbaiki
terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan
pandangannya, dia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra
Khalifah al-Mu‘tashim, Ahmad. Di antara sebab utama dipilihnya al-Kindî
bekerja di Bayt al-Hikmah, karena dia menguasai bahasa Yunani dan bahasa
Suryani di samping bahasa Arab, suatu kelebihan yang jarang dimiliki orang
pada masa itu Al-Kindî merupakan satu-satunya filosof Islam yang berasal
dari keturunan Arab, dan karenanya dia disebut Failasauf al-„Arab (Filosof
Orang Arab). Di samping itu, dia juga dikenal sebagai filosof pertama di
dunia Islam.48 Dia adalah farmakolog, musisi, penulis, filosof, astronom,
dan kaligrafer terkemuka di era kekhalifahan al-Ma‘mûn.49 Al-Kindî telah
menulis hampir seluruh bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada
saat itu. Beliau mulai giat menulis tentang filsafat, logika, ilmu hitung,
sferika, ilmu kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, meteorologi, dan
politik. Di antara contoh dari hasil karya tulisnya adalah Risâlah fi al-
Kammiyât al-Mudhafah, Risâlah fî al-Tajhîd min Jihat al-„Adad, Risâlatuh
fi Madkhâl al-Manthiq bi Istîfa al-Qawl fîhi, Ikhtishâr Kitab „Îsâghuji li
Farfuris, Risâlah fi Masâ‟il Su‟ila „anha min Ahwâl al-Kawâtib, Risâlah
Ah‟ad Masâfât al-Aqâlîm, dan sebagainya (Al Farabi, 2013: 75-76).
e. Al-Battânî (228 H/850 M-301 H/923 M) ia merupakan ahli dalam bidang
astronomi serta matematikawan pada kalangan orang Arab. Memiliki nama
‗Abd Allah Muhammad ibn Jabir ibn Sinân al-Raqqi al-Harrani al-Sabi al-
Battanî, lahir di Harran, di Turki pada tahun 228 H/850 Masehi dan wafat di
daerah Kasr al-Jiss, daerah Suriah di tahun 301 H/923 Masehi. Dari
kalangan dari penganut dari sekte Sabian melakukan ihwal berupa ritual-
ritual pemujaan terhadap bintang-bintang. Namun dirinya tidaklah
mengikuti langkah ritual leluhur atau moyangnya tersebut, dirinya memilih
memeluk Islam sebagai agamanya dan perilaku dari ritualnya. Adapun
ketertarikannya terhadap benda-benda langit membuatnya yang pada
kemudian hari menekuni bidang ilmu astronomi serta mendalami ilmu
Page 99
82
bidang matematika.. Al-Battani aktivitasnya banyak dihabiskan untuk
melakukan suatu observasi atau pengamatan astronomi dalam observatorium
yang terdapat pada Bayt al-Hikmah kala itu (Al Farabi, 2013: 76-78).
f. Abû Bakar Muhammad ibn Zakariâ’ al-Râzî (243 H/865 M-303 H/925 M)
Beliau ketika hidup banyak meluangkan waktunya untuk melakukan kajian-
kajian ilmu diantaranya musik, kedokteran, kimia, filsafat, matematika,
logika, dan fisika. Aktivitas kegiatan keilmuan tersebut dirinya bergabung
pada Bayt al-Hikmah adapun yang menjadi tarbelakangnya dirinya berguru
pada Abû Hasan Alî ibn Sahl al-Rabbanî yang merupakan seorang ulama
besar murid Hunain ibn Ishaq, yang kala itu merupakan kepala dari komite
penerjemahan pada Bayt al-Hikmah. (Al Farabi, 2013: 78).
g. Al-Farghânî (w. 248 H/870 M) ia merupakan salah seorang dari para
ilmuwan Muslim terkena era kekuasaan al-Ma‘mûn ketika sebagai khalifah.
Dirinya, merupakan astronom Bayt al-Hikmah. Al-Farghânî berasal dari
Uzbekistan, dan di dunia Barat ia dikenal dengan nama Alfraganus. Ia
banyak melakukan pengamatan terhadap benda-benda angkasa pada sebuah
observatorium di Baghdad, dan ia pun berhasil menghimpun data-data
tentang apoge dan perige, yakni titik terjauh dan terdekat pada lintasan
benda-benda angkasa dari Bumi. Di antara karyanya yang terkenal adalah
The Elements of Astronomy (Unsur-unsur Astronomi), yang banyak
membahas tentang gerakan-gerakan benda-benda langit; Kitab Fî al-
Harakât al-Samawî wa Jawâmi‟ Ilmu al-Nujûm (Elemen-elemen
Astronomi); dan dua karya di bidang teknik, yaitu Kitab al-Fushûl, Ikhtiyâr
al-Majisthî dan Kitab Amal al- Rukhmât atau Book on the Constructions of
Sun-Dials (Al Farabi, 2013: 78).
h. Al-Bîrûnî (351 H/973 M-426 H/1048 M) dalam hal ini ia merupakan salah
satu matematikawan asal Persia, yang juga seorang astronom, dan
fisikawan, dirinya merupakan pembuat ensiklopedia. Dengan kehandalan
yang begitu mahsyur, ia mampu melahirkan berbagai karya di bidang
matematika, fisika, astronomi, kedokteran, metafisika, sastra, ilmu bumi,
dan sejarah. Bahkan ia juga berhasil menemukan fenomena rotasi bumi dan
bumi mengelilingi matahari setiap harinya. Tatkala melibatkan diri dalam
aktivitas keilmuan di Bayt al-Hikmah, al-Bîrûnî telah berperan mengenalkan
metode saintifik dalam setiap bidang yang dipelajarinya, misalnya, dalam
karyanya al-Jamâwir yang sangat eksperimental. Pada bidang optik, al-
Bîrûnî bersama Ibn al-Haytsam, digolongkan sebagai ilmuwan pertama
yang mengkaji ilmu itu. Dialah yang pertama kali menemukan bahwa
kecepatan cahaya lebih cepat dari kecepatan suara. Dalam bidang ilmu
sosial, al-Bîrûnî disebut sebagai antropolog pertama di dunia. Ia menulis
secara detail studi perbandingan terkait antropologi manusia, agama, dan
budaya di Timur Tengah, Mediterania, dan Asia Selatan. Dia dipuji
sejumlah ilmuwan karena telah mengembangkan antropologi Islam. Di
samping itu, ia juga menulis tentang pengetahuan umum lainnya seperti
kitab Al-Jawâmir fî Ma‟rifat al-Jawâhîr (kumpulan pengetahuan tentang
batu-batu permata), al-Syahdalah fî al-Thibb (farmasi dalam ilmu
Kedokteran), al-Maqâlid „Ilm al-Hai‟ah (kunci ilmu perbintangan), Tahdîd
Page 100
83
Nihâyah al-Amâkîn (penentuan koordinat kota-kota), kitab al-Kusûf wa al-
Khusûf „ala Khayâl al-Hunûd (kitab tentang pandangan orang India
mengenai peristiwa gerhana bulan), dan kitab al-Tafhîm fi al-Tanjîm (kitab
tentang pemahaman astronomi) (Al Farabi, 2013: 79).
i. Nâsir al-Dîn al-Thûsî (597 H/1201 M-672 H/1274 M) Nâsir al-Dîn al-
Thûsî, nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan
al-Thûsî. Ia lahir di Thûs, daerah yang terletak dekat dengan Meshed Iran,
sebelah timur laut dari lembah Sungai Kashaf, pada tahun 597 H (1201 M).
Ia meninggal di Baghdâd pada tanggal 8 Zulhijjah 672 H atau 25 Juni 1274
M. Al-Thûsî turut berperan serta dalam kegiatan ilmiah di Bait al-Hikmah
pada masa penghujung Dinasti Abbasiyah. Ketiga Baghdad diinvasi dan
ditaklukkan oleh pasukan Mongolia, ia terpaksa hijrah ke berbagai tempat.
Pada masa akhir Dinasti Abbasiyah inilah ia banyak memberikan kontribusi
dalam bidang sains, meliputi bidang fisika, kimia, matematika, biologi, dan
astronomi. Khusus di bidang astronomi, al-Thûsî pernah meyakinkan
Hulagu Khan, penguasa dari Mongol, untuk membangun observatorium
untuk membuat tabel astronomi yang lebih akurat dan digunakan untuk
prediksi astrologi. Akhirnya pada tahun 657 H/1259 M, dibangunlah
Observatorium Maragheh (Rasad Khaneh) di Maraghen, provinsi
Azerbaijan Timur, Iran. Observatorium ini terbesar pada zamannya, terdiri
atas deretan bangunan di area 150 x 350 meter. Dalam buku Zij-i il-Khani,
terdapat tabel yang akurat tentang pergerakan planet dan juga nama-nama
bintang (Al Farabi, 2013: 80).
j. Al-Kazwinî (600 H/1203 M- 682 H/1283 M) kegiatan ilmiahnya dilakukan
di Bayt al-Hikmah di penghujung Abbasiyah berkuasa. Al-Kazwinî
memiliki karya monumental dalam bidang ilmu falak yang berjudul „Ajâ‟ib
al-Makhlûqât wa Gharâ‟ib al-Maujûdât (Keajaiban Makhluk dan Keanehan
Alam). Selain itu, karya lain al-Kazwinî adalah Asrâr al-Bilâd wa Akhbâr
al-„Ibâd (Sejarah Negerinegeri dan Kabar tentang Rakyatnya) (Al Farabi,
2013: 80).
Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan besar pertama di Baghdad pada
masa Dinasti Abbasiyah juga sebagai perpustakaan Islam paling terkenal
dalam sejarah.tercatat ilmuwan-ilmuwan besar lahir dengan mengambil
manfaat dari ―rumah kebijaksanaan‖ ini seperti Al-Hasan bin Al-Hitsam,
ilmuwan terhebat sepanjang sejarah dalam ilmu penglihatan (mata),
Iyadullah Al-Battani seorang ilmuwan falak yang terkenal di Timur dan
Barat. Kemudian Al-Khawarizmi ilmuwan yang mempersembahkan
ilmunya bagi kemajuan ilmu matematika, juga Abu Hanifah Al-Dinawari
seorang ilmuwan tumbuh-tumbuhan dan klasifikator terbesar (al-
Mushannif), Al-Bairuni, begitu juga filosof Muslim terkenal seperti Al-
Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina (Umar, 2006: 7), hal ini tentunya telah dibahasi
secara seksama di atas.
Page 101
84
B. Transformasi Institusi Pendidikan pada Masa Pemerintahan Bani
Abbasiyah
Bani Abbasiyah muncul sebagai negara adi daya yang kuat, bukan hanya
dari sisi militer dan jenderal-jenderal perang yang handal. Namun, bergeliat
menuju kebangkitan ilmu pengetahuan—yang sisa-sisa peradabannya masih
berguna hingga saat ini. Ketika dinasti Abbasiyah berjaya dimana pendidikan
dan pengajaran berkembang sehingga tergambar dimana masyarakat Bani
Abbasiyah menunjukkan kegairahan dalam mengejar ilmu—berdatangan ke
pusat-pusat pendidikan. para warga dengan gembira meninggalkan kampung
halaman demi menimba pengetahuan. Tentunya, hal tersebut dapat diamati dari
berkembangnya pendidikan dan pengajaran pada waktu itu serta
berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Perkembangan pendidikan Islam, ditandai dengan berdiri madrasah yang tak
terhitung banyaknya, masyarakat berlomba-lomba menuntut ilmu, melawat ke
pusat pendidikan walau meninggalkan kampung halaman demi mendapatkan
pengetahuan. Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan hidup manusia,
yakni menjadi Insan pengabdi Allah ‗abdullah‟ sekaligus delegasi Tuhan
pengatur alam semesta ‗khalifatullah‟. Apa yang menjadi benang merah dalam
menemukan titik temu masyiatullah (kehendak Allah) dan masyiatul „ibad
(keinginan yang dikehendaki manusia) hanyalah dapat tercapai melalui
pendidikan (Mahroes, 2015: 75).
Gerakan Kebangkitan intelektual ditandai oleh proyek penerjemahan karya-
karya berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan terutama yang berbahasa Yunani
ke bahasa Arab (Hitti, 2002: 381). Pendirian pusat pengembangan ilmu dan
perpustakaan yaitu Bait al-Hikmah, dan terbentuknya mazhab-mazhab ilmu
pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berpikir
(Abdurrahman dkk , 2003: 116).
Institusi pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa Bani Abbasiyah
dapat dikategorikan sebagai berikut menurut (Mahroes, 2015: 91-94) dapat
disimak berikut ini;
Pertama, Lembaga pendidikan sebelum madrasah. 1) Maktab/ Kuttab.
Adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang diajarkan adalah khat,
kaligrafi, al-quran, akidah, dan syair. Kuttab dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan umum dan yang terbuka
terhadap pengetahuan umum. Dalam ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa
Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam, pada
awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan
membaca bagi anak-anak, dan dinyatakan bahwa kuttab ini sudah ada di negeri
Arab sebelum datangnya agama Islam, namun belum dikenal. Di antara
penduduk Mekah yang pernah belajar adalah Sofwan bin Umayyah bin Abdul
Syam. 2) halaqah artinya lingkaran. Halaqah merupakan institusi pendidikan
Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college. Sistem ini
merupakan gambaran tipikal dari murid-murid yang berkumpul untuk belajar
pada masa itu. Guru biasanya duduk di atas lantai sambil menerangkan,
membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya
pemikiran. Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru dengan duduk
Page 102
85
di atas lantai, yang melingkari gurunya. 3) majelis adalah institusi pendidikan
yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuwan dari berbagai disiplin
ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7 macam mejelis, yaitu: (1)
majelis al-Hadis; (2) majelis al- Tadris; (3) majelis al-Munazharah; (4) majelis
al-Muzakarah; (5) majelis al- Syu‟ara; (6) majelis al-Adab; dan (7) majel al-
Fatwa. 4) masjid tak lain merupakan salah satu institusi pendidikan bercorak
Islam dan sudah eksis sejmenjak masa dahulu zaman nabi. Masjid didirikan
atas inisiatif penguasa pada umumnya yang dilengkapi oleh berbagai aneka
macam peralatan atau fasilitas yang dapat menunjang pendidikan semisal
tempat belajar, dan ruang perpustakaan serta buku-buku yang berasal dari
banyak berbagai macam-macam keilmuwan yang berkembang kala itu. 5)
kemudian Khan. Ia berfungsi semacam asrama para pelajar serta merupakan
tempat penyelenggaraan dalam pengajaran khususnya agama diantaranya yaitu
fikih. 6) selanjutnya adalah ribath tempat kegiatan-kegiatan kaum sufi mereka
yang ingin benar-benar menjauh dari prikehidupan yang bersifat duniawi guna
mengonsentrasikan khususnya dalam beribadah dan semata pada Allah. Ribath
inilah yang biasanya dipakai dihuni kalangan miskin. 7) selanjutnya rumah-
rumah para ulama, yang digunakan diperuntukkan melakukan proses transmisi
khususnya ilmu agama serta ilmu umum juga kemungkinan terdapat berupa
perdebatan yang bersifat ilmiah. Para Ulama tidak diberikan kesempatan untuk
mengajar di dalam institusi pendidikan yang bersifat formal dan ia akan
mengajar di dalam rumah-rumah kalangan mereka. 8) selanjutnya toko-toko
buku juga perpustakaan, memiliki peran sebagai tempat-tempat transmisi ilmu
dan tranmisi Islam. Perihal ini di Baghdad kurang lebih terdapat 100 toko buku
yang tersebar. 9), berupa observatorium serta rumah sakit berfungsi sebagai
tempat untuk kajian keilmuan pengetahuan serta filsafat Yunani ditambah
tempat transmisi ilmu khususnya bidang kedokteran.
Kedua, adalah Madrasah. Madrasah telah eksis ketika periode awal masa
kekuasaan umat Islam pada Dinasti Bani Abbasiyah sepertihalnya Bait al-
Hikmah, yang merupakan institusi pengajaran dan pendidikan tinggi versi Islam
yang pertama dibangun pada sekitar tahun 830 M dilakukan khalifah al-
Makmun. Adapun institusi inilah yang kemudian mengukir torehan sejarah baru
dalam kontek peradaban dunia Islam dengan berupa konsep yang menjunjung
tinggi multikulturalisme dalam konsep pendidikannya, karena dalam hal ini
dimana subjek toleransi merupakan perbedaan antar etnik dan kultural, serta
agama telah dikenal dan merupakan sesuatu hal yang biasa. Seperti halnya Bait
al-Hikmah, yang merupakan institusi pendidikan tinggi dalam Islam yang
pertama kalinya yang dibangun sekitar tahun 830 M yang membangunnya
yakni khalifah al-Makmun. Institusi inilah yang dikemudian hari mengukir
sejarah baru peradaban Islam.
Lebih lanjut pada catatan lainnya, dimana al-Makrizi ia berasumsi
bahwasanya madrasah kali pertamanya ialah Nizhamiyah didirikan sekitar
tahun 457 H. Madrasah ini selalu pada perkembangannya dikaitkan bersamaan
dengan tokoh bernama Nidzam Al-Mulk W. 485 H/ 1092 M, ia merupakan
seorang wazir dari kalangan dinasti Saljuk pada 456 H/ 1068 M hingga
wafatnya, usahanya tersebut membangun institusi madrasah Nizhamiyah di
Page 103
86
kawasan berbagai kota-kota utama yaitu daerah dimana kekuasaan Saljuk
secara penuh. Pada perkembangannya Madrasah Nizhamiyah diidentikan
sebagai bentuk atau prototype awal lembaga pendidikan level tinggi, beliau
dianggap merupakan tonggak perjalanan baru dalam kensep penyelenggaraan
pendidikan dalam Islam, serta merupakan bentuk dari karakteristik tradisi
kultural pendidikan Islam sebagai lembaga pendidikan yang resmi dalam sistem
asrama itu. Pemerintah, penguasa ikut serta dan terlibat langsung dalam
menentukan dari tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, hingga pendanaan, dan
sarana fisik lainnya. Kendati demikian madrasah Nizhamiyah telah mampu
melestarikan tradisi transmisi keilmuwan serta menyebarkan Islam konteks
ajarannya dalam versinya sendiri. Akan tetapi bentuk keterkaitan dengan
standarisasi juga pelestarian ajaran kurang begitu mampu menunjang
perkembangan ilmu, penelitian dan inovatif. Madrasah yang terdapat di
Makkah dan Madinah. Adapun informasi mengenai madrasah mendapat
sambutan atau dukungan dari banyak berbagai literatur yang beredar selama ini.
Namun sayang para sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasah di
Mekah dan Madinah. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya pelacakan
informasi mengenai keberadaan permasalahan tersebut yang kurang begitu
lengkap. Jika ditelaah secara kuantitatif dimana madrasah di Makkah lebih
banyak jika dibandingkan yang ada di Madinah. Diantaranya adalah madrasah
Abu Hanifah, Maliki, madrasah Ursufiyah, madrasah Muzhafariah, sedangkan
madrasah megah yang dijumpai di Mekah adalah madrasah qoi‟it bey, didirikan
oleh Sultan Mamluk di Mesir.
Konsep secara hierarkis ketika masa Dinasti Abbasiyah yakni sekolah-
sekolah yang terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: a) Tingkat sekolah rendah,
namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada
pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir
pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Alquran dan
menghafalnya, pokok-pokok ajaran Islam, menulis, kisah orangorang besar
Islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga
pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya. b) Tingkat sekolah menengah, yaitu
di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai sambungan
pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Alquran, bahasa
Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq,
Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga musik. c) Tingkat perguruan
tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di
masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari
dua jurusan: Pertama, Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta
kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu
yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Alquran, Hadits, Fiqih, Nahwu,
Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab. Kedua, Jurusan ilmu-ilmu hikmah
(filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang
diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, Ilmu Alam dan Kimia, Musik,
ilmu-ilmu pasti, Ilmu Ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), Ilmu Hewan, dan juga
Kedokteran.
Page 104
87
Mengenai kurikulum, Adapun kurikulum pendidikan Islam pada masa
dinasti Abbasiyah (Suhartini, 2012: 105-107).
1. Kurikulum Pendidikan Dasar (kuttab) : Membaca al-qur‘an dan
menghafalnya, Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudlu, shalat,
puasa dan sebagainya, Menulis, Kisah atau riwayat orang-orang besar
Islam, Membaca dan menghafal syair-syair atau natsar (prosa), Berhitung,
Pokok-pokok nahwu dan sharaf ala kadarnya
2. Kurikulum Pendidikan Menengah : Rencana pelajaran untuk pendidikan
tingkat menengah tidak ada keseragaman di seluruh Negara Islam. Pada
umumnya, rencana pelajaran tersebut meliputi mata pelajaran-mata
pelajaran yang bersifat umum, sebagai berikut: (a) Al-Qur‘an, (b) Bahasa
Arab dan Kesusasteraan, (c) Fiqh, (d) Tafsir, (e) Hadits, (f)
Nahwu/Sharaf/Balaghah, (g) Ilmu-ilmu Pasti, (h) Mantiq, (i) Ilm Falak, (j)
Tarikh (Sejarah), (k) Ilmu-ilmuAlam, (l) Kedokteran, (m) Musik
3. Kurikulum Pendidikan Tinggi : Pada umumnya, rencana pelajaran pada
perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua jurusan, yaitu: pertama :
Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa serta sastra Arab, yang juga disebut
sebagai ilmu-ilmu Naqliyah, yang meliputi: Tafsir al-Qur‘an, Hadits, Fiqh
dan Ushul Fiqh, Nahwu/Sharaf, Balaghah, Bahasa dan Kesusastraannya,
kedua : Jurusan ilmu-ilmu umum, yang disebut sebagai ilmu Aqliyah,
meliputi: Mantiq, Ilmu-ilmu Alam dan Kimia, Musik, Ilmu-ilmu Pasti,
Ilmu Ukur, Ilmu Falak, Ilmu Ilahiyah (ketuhanan), Ilmu hewan, Ilmu
tumbuh-tumbuhan,dan Kedokteran.
Dapat difahami bahwa perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan
pada zaman Bani Abbasiyah berkembang dan merupakan salah satu bentuk
tingginya peradaban pada masa itu.
Adapun tujuan dari pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dapat disimak
menurut (Yunus, 1990: 46) dapat disimak berikut ini:
Pertama. Tujuan Keagamaan dan Akhlak, seperti pada masa sebelumnya.
Anak-anak dididik dan diajar membaca/menghafal Al-Qur‘an, ialah karena hal
itu suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikuti ajaran agama dan
berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu tafsir, hadits dan
sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.
Kedua. Tujuan Kemasyarakatan, dalam hal ini selain berupa tujuan
keagamaan berbasis akhlak namun ada pula berupa tujuan kemasyarakatan
yang lain, ialah pemuda-pemuda konsen belajar serta menuntut suatu ilmu, agar
mereka kedepannya dapat perubahan memperbaiki kondisi masyarakat, dari
masyarakat yang kala itu masih penuh kejahilan/ kebodohan menjadi
masyarakat terbersinari ilmu sehingga berpengetahuan, dari yang semula
masyarakat berperadaban mundur menjadikan masyarakat dengan kemajuan
dan kemakmuran.
Ketiga. Selain dari itu ada pula tujuan berupa visi pendidikan, yakni cinta
pada ilmu pengetahuan dan gemar serta merasakan kelezatan dalam mencapai
ilmu pengetahuan itu. Konsentrasi belajar mereka tak semata mengharapkan
keuntungan, selain dari hal tersebut pada layaknya dalam perombaan dalam hal
mengejar ilmu pengetahuan. Mereka sepenuh hati melawat ke berbagai Negara
Page 105
88
Islam, demi menuntut suatu ilmu, tanpa harus memperdulikan dan susah dalam
perjalanannya, pada umumnya mereka melakukannya dengan berjalan kaki
tiada lelah ataupun mengendarai keledai sebagai tunggangan. bertujuan demi
untuk pemenuhan memuaskan segenap jiwa yang begitu semangat dalam
pencarian ilmu pengetahuan tersebut.
Keempat. Di samping hal tersebut ada pula yang bertujuan berpendidikan
sebab sebagian Muslimin, tujuan untuk kebendaan. Mereka golongan ini
menuntut ilmu pengetahuan, guna mendapatkan suatu penghidupan layak dan
sejahtera, dan berpangkat tinggi, atau bahkan jika mungkin mereka
mendapatkan suatu kemegahan serta kekuasaan dunia.
Dari rentetan sejarah mencatat: menurut Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M)
sampai 656 H (1250 M). Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan
maupun pendidikan Islam yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan politik,
sosial, dan kultur budaya yang terjadi pada masa-masa tersebut. Kekuasaan
Dinasti Abbasiyah dibagi dalam lima periode, yaitu menurut (Suwito, 2008:
11). Periode I (132 H/750 M-232 H/847 M), masa pengaruh Persia pertama.
Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama. Periode
III (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh
Persia kedua. Periode IV (447 H/1055 M-590 H/1194 M), masa Bani Saljuk,
pengaruh Turki kedua. Periode V (590 H/1104 M-656 H/1250 M), masa
kebebasan dari pengaruh Dinasti lain.
Menurut kajian (Maryamah, 2015: 2) mengemukakan; sejak terlahirnya
Islam sebagai agama, lahirlah pula pendidikan dan bentuk pengajaran dalam
Islam, adapun pendidikan dan pengajaran itu pada perkembangannya terus-
menerus bertumbuh dan mengalami perberkembangan, dalam hal ini Islam
sebagai berupa ajaran telah memberikan konsep yang mandiri dan tersendiri
terhadap perkembangan keilmuan dan penyebaran keilmuan bagi para
pemeluknya, Islam dalam konteks keagamaan tidaklah hanya memiliki fungsi
sebagai aturan ritual keagamaan belaka, namun melainkan pula menaungi,
membimbing dan pembimbingan, serta memberikan berupa arahan-arahan dan
aturan-aturan merembas ke segala aspek bidang kehidupan ini hingga
peradaban pun mengalami ketumbuhan dan perkerkembangan dalam konteks
kehidupan dalam masyarakat. Secara faktual Islam telah mampu membawa
pada perubahan yang teramat besar khususnya untuk masyarakat Arab dan
umunya bagi seluruh pemeluknya serta bahkan non-Muslim sekalipun.
Masyarakat muslim telah berhasil berproses dan membentuk kerajaan besar
kani Dinasti Abbasiyah dimana wilayahnya meliputi jazirah Arabia, sebagian
benua Afrika, Asia, dan Eropa dari abad ke-7 M hingga 12 M dan sejak itu pula
telah muncul Dinasti Abbasiyah dan disinilah dimana Islam mengalami torekah
masa keemasan dan kejayaan.
Page 106
89
C. Madrasah Nizhamiyah Merupakan Eksistensi Pendidikan pada Masa
Pemerintahan Bani Abbasiyah
Madrasah secara etimologi merupakan isim makan dari kata “darasa” yang
berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi peserta didik atau
bangunan tempat pendidikan atau proses belajar mengajar secara formal.
Penjelmaan istilah madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah
yang melalui tiga tahapan yaitu: tahap masjid, tahap masjid khan, dan tahap
madrasah. Sedangkan fenomena madrasah mulai menonjol sejak awal abad 11-
12 M, atau abad 5 H, tepatnya ketika Wazir Bani Saljuk, Nizam al–Mulk
mendirikan Madrasah Nizhamiyah di Baghdad (Asrohah, 1999: 64).
Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni
dengan kebangkitan madrasah. Secara tradisional sejarawan pendidikan Islam,
seperti Munir ad-Din Ahmed, George Makdisi, Ahmad Syalabi dan Charles
Michael Stanton menganggap, bahwa madrasah pertama kali didirikan oleh
Wazir Nizam al-Muluk pada 1064; madrasah ini kemudian terkenal sebagai
Madrasah Nizam al-Muluk. Akan tetapi, penelitian lebih akhir, misalnya yang
dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih
tua di kawasan Nishapur, Iran. Pada tahun 400/1009 terdapat madrasah di
wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah;
yang tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abu Ishaq Ibrahim
ibn Mahmudi di Nishapur (Azra, 1999: viii).
Dengan berdirinya suatu madrasah tak lain merupakan awal tonggak sejarah
baru dalam hal penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan dalam Islam serta
guna membedakannya era pendidikan ketika Islam sebelumnya. Dimana
Madrasah Nizhamiyyah inilah merupakan salah satu dari madrasah yang
terbilang khas dan terkenal ketika Bani Saljuk berkuasa di lingkungan Dinasti
Abbasiyah. Para pendidik di dalam Madrasah Nizhamiyah pun tak lain
merupakan para pendidik berkompeten dalam bidang keilmuannya masing-
masing. Madrasah Nizamiyah telah menjadi salah satu fenomena amat
menonjol dimulai dari abad 11 sampai dengan abad 12 M atau abad 5 H, dalam
hal ini khususnya kala itu seorang wazir dari kalangan Bani Saljuk, yakni
Nizham al-Muluk, ia mendirikan suatu madrasah Nizhamiyah di wilayah
Baghdad sebagai pusat dari pemerintahan kala itu. Walaupun bukan berarti ia
orang pertama yang mendirikan madrasah, kendati ia memiliki jasa dalam hal
mempopulerkan pendidikan madrasah bersamaan dengan reputasinya sebagai
kewaziran. selain itu dimana lembaga madrasah telah dianggap prototype pada
awal lembaga pendidikan tinggi dan setelahnya itu. Menimbang hal tersebut
bahwasanya lembaga pendidikan madrasah tak lain merupakan salah satu dari
kekhasan lembaga pendidikan tinggi bercorak Islam, merupakan lembaga
pendidikan yang tergolong resmi yang mana di sini pemerintah secara langsung
terlibat di dalam pengelolaannya. Seperti halnya Madrasah Nizhamiyah, seperti
yang telah disebutkan pemerintah secara langsung terlibat di dalam
pengeloalaanya tersebut. Besarnya peran serta pihak pemerintah bagi Madrasah
Nizhamiyah tersebut, sehingga kesejahteraan kehidupan para guru lebih
meningkat keterjaminannya, dan tidaklah akan mengalami kendala dengan
masalah keuangan dalam keluarganya (Siregar, 2015: 81-82). Berdasarkan
Page 107
90
kajian literatur Madrasah Nizhamiah dalam pendiriannya berhubungan dengan
Bani Saljuk karenanya penting diulas hal tersebut.
a. Sejarah singkat Bani Saljuk.
Saljuk atau yang kemudian dikenal Bani Saljuk ialah nama salah satu
dari suku bangsa yang berkuasa pada abad ke-9 M dan ke 12 M atau 429-
590/1038-1194. Adapun Nama dari saljuk tak lain diambil dari salah
seorang pemimpin kabilah suku di turki yaitu Ghuzz atau oghuz yakni
Saljuk bin Tuqaq ia mendiami suatu wilayah di emperium uighur itu.
Adapun luas wilayah tersebut berbatasan tiongkok pada sebelah timurnya
hingga ke pantai laut Kira selanjutnya memanjang ke wilayah
marawarannahar itu. Ia telah diangkat jadi panglima ketika masa Imperium
Uighar itu menempati daerah bagian selatan di lembah Tarim dan Kasgar
yang berfungsi wilayah ibu kota sebab cita- citanya yang begitu tinggi
dsertai kecerdasan akal pikiran dan kemuliaan rakyatpun terpesona cinta dan
menaruh hormat teramat sangat kepadanya. Pengaruhnya kepada rakyatpun
khusunya yang makin amatlah besar. Akhirnya timbullah suatu
kekhawatiran permaisuri Khagar (raja) Uighur bernama Khagar Baigu, itu
jika suatu hari nanti pengaruh Saljuk melebihi dari pengaruhnya sang suami.
Kemudian dirinya direncanakan dalam suatu usaha pembunuhan. Namun,
rencana ini dapatlah diketahui Saljuk, atas karenanya Ia mengumpulkan
keluarga serta sukunya guna meninggalkan atau hengkang dari daerah itu
membela wilayah pergunungan Thian Shandan dengan tujuan masuk
kesebelah di barat, yakni suatu wilayah dimana Islam yang berkuasa.
Akhirnya, saljuk juga pengikut-pengikutnya sampai pula di wilayah Amir
Abdul Malik ibn Nuh yang berkuasa kala itu di 343-350/954-961 M
merupakan penguasa yang berdaulat Samaniah serta para pengikutnya
kemudian mendiami wilayah Jundi, wilayah yang dekat dengan daerah
Bukhara. Lebih lanjut, sesampainya di daerah Samaniah itu mereka
memeluk Islam sebagai agama mereka beraliran Sunni (Ali, 1996: 48).
Adapun kemunduran pemerintahan Bani Buwaihi bermula dari
terjadinya konflik secara intern diantara mereka disebabkan perebutan
dalam konteks kekuasaan, diantara putra Muiz al-Daulah dan putra Imam al-
Daulah mereka berkonflik saling meperebutankan jabatan kekuasaan amir
al-umara. Salain dari hal itu ada juga gangguan yang berasal dari luar atau
eksternal dimana semakin gencar-gencarnya serangan yang berasal dari
daerah kekuasaan Bizantium ke daerah kekuasaan Islam serta semakin
menjamurnya daulah-daulah yang kecil memisahkan diri melakukan
pemberontakan seperti Fatimiyah di daerah Mesir, Ikhsidiyah di daerah
Mesir dan juga Syiria, begitu pula dengan daulah Saljuk yang berkuasa dari
1055 hingga 1194 M. Ketika pada masa-masa tersebut yang mana kondisi
posisi dan kedudukan khalifah terbilang baik, dan setidaknya diamana
kewibawaannya dalam hal keagamaan dikembalikan sesudah beberapa
lamanya dirampas orang-orang Syiah masa itu. Kendatipun Bagdad dapatlah
dikuasai, akan tetapi Bagdad tidaklah dijadikan pusat bagi pemerintahan.
Tughrul Beg memilih Naishapur dengan Ray sebagai pusatnya (Hasanuddin,
Page 108
91
2011: 99). Lebih lanjut, akhir sebuah daulah Abbasiyah berawal ketika
daulah Saljuk terjadinya peristiwa yang disebut Manzikart di tahun 1011
Masehi, yakni suatu ekspansi gerakan dilakukan Alep Arselan yang
berkekuatan 15.000 kekuatan balatentara, kemudian berhasil memporak
porandakan pasukan Romawi dengan jumlah kurang lebih 200.000 yang
terdiri pasukan Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis serta Armenia.
Peristiwa tersebutlah yang menjadi benih-benih bagi perang salib
dikemudian hari. Pemerintahan bani Seljuk sangatlah dikenal atas nama al-
Salajikah al-Kubra atau Seljuk Besar atau Seljuk Agung.
Selain dari itu, terdapat beberapa pemerintah Seljuk yang lain
dibeberapa daerah-daerah. Ketika Alep Arselan itulah ilmu pengetahuan dan
agama mulai terlihat mengalami berkembangan serta mengalami kemajuan
ketika di zamannya Sultan Malik Syah dibantu perdana menterinya yang
bernama Nizam al-Mulk itu. Adapun perdana menteri itu yang kemudian
memprakarsai tegak berdirinya suatu Universitas yakni Nizamiyah pada
1065 M dan juga Madrasah Hanafiyah di wilayah Bagdad itu. Dalam hal ini
hampir tiap kota wilayah Irak serta Khurasan didirikanlah cabang-cabang
Nizhamiyah tersebut (Yatim, 2006: 75). Lebih lanjut, Saljuk sangatlah
dikenal ia seorang dengan kemampuan orator yang baik dan dermawan
merupakan kegemarannya kerena itulah disukai ditaati masyarakatnya,
namun dilain pihak dimana istri dari raja Turki merasa khawatir pada suatu
saat nanti saljuk akan melakukan gerakan pemberontakan, atas karenanya
dibuatlah rencana membunuh Saljuk itu tentunya dengan secara-cara yang
licik, dan untungnya Saljuk mengetahuinya rencana pembunuhan tersebut
kemudian ia bergerak mengumpulkan pasukan-pasukannnya membawa
mereka ke daerah Janad, untuk sementara waktu mereka tinggal disana
bertetangga bersama kaum muslimin negeri Turkistan itu, ketika diri Saljuk
mengamati melihat aspek prilaku orang-orang Islam yang begitu baik dan
menunjukkan akhlak yang luhur ia pun akhirnya memeluk Islam sebagai
agamanya serta kabilah-kabilah Oghuz pun pada akhirnya mereka memeluk
Islam sebagai agama mereka. semenjak itu Saljuk melakukan suatu
perlawanan peperangan terhadap orang-orang Turk kafir, dan akhirnya
dirinya mampu mengalahkan dan mengusir bawahan-bawahan raja Turki
menghapus segala bentuk pajak bagi umat muslim (Dar al-‗ilm, 2011: 95-
96). Kaum Saljuk mendirikan kesultanan Islam yang dikenali sebagai
Kesultanan Saljuk Agung. Kesultanan ini terbentang dari Anatolia hingga ke
Rantau Punjab di Asia Selatan. Kesultanan ini juga adalah sasaran utama
tentara Salib Pertama. Dinasti ini diasaskan oleh suku Oghuz Turki yang
berasal dari Asia Tengah. Dinasti Saljuk juga menandai penguasaan Bangsa
Turki di Timur Tengah. Mereka dianggap sebagai penggagas kebudayaan
Turki Barat yang kentara di Azerbaijan, Turki dan Turkmenistan, Pada masa
pemerintahan Saljuk ini, mereka menguasai dan memerintah di Baghdad
selama sekitar 93 tahun yaitu dari tahun 429 H/1037 M hingga tahun 522
H/1127 M (Yatim, 2006: 65). Thughril Bek, cucu Saljuk, yang memulai
penampilan kaum Saljuk dalam panggung sejarah. Pada tahun 429H/1037M
ia tercatat sudah menguasai Marw dan Naisabur dari genggaman penguasa
Page 109
92
Ghaznawi. Segera setelah itu mereka juga merebut Balkh, Jurjan,
Thabaristan dan Khawarizm, Hamadhan, Rayyi, dan Isfahan (Hitti, 2010:
603).
Di bawah Panglima Tughril Bek, orang Saljuk berhasil menghancurkan
Daulah Ghaznawiyah dan menduduki singgasana kerajaan Naisabur pada
tahun 429 H/1038 M. Oleh karena itu Tughril Bek dipandang sebagai
pendiri Dinasti Saljuk yang sebenarnya (Zuhad, 2005: 194). Pencapaian
gemilang yang dilakukan oleh pemerintahan Tughril Bek adalah menguasai
Baghdad dan mengakhiri Dinasti Buwaihi yang pada saat itu dipimpin oleh
al-Malik al-Rahim dengan panglima tentaranya yaitu al-Basasiri,serta
menguasai beberapa wilayah yang telah disebutkan sebelumnya. Atas dasar
kegemilangan Tughril Bek inilah kemudian dia mendapatkan dua gelar
kehormatan, yaitu : a. Yamin Amir al-Mu'minin, gelar ini diperoleh karena
menumpas Bani Buwaih di Baghdad, b. Malik al-Syarqi al-Gharb, gelar ini
diperoleh karena menewaskan al-Basasiri dan mengembalikan kekuasaan
Khalifah al-Qa'im (Yahya dan Halimi, 1993: 309). Setelah Tughril Bek
meninggal, kepemimpinan diteruskan oleh Alp Arselan, keponakan dari
Tughril Bek, karena ia tidak mempunyai seorang putra. Dia memerintah
sejak tahun 1063 M hingga 1072 M. Perluasan daerah yang sudah dimulai
pada kepemimpinan Thugril Bek dilanjutkan oleh Alp Arselan ke arah Barat
sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia kecil, yaitu Bizantium (Yahaya,
dkk, 1993: 300). Dalam gerakan ekspansi itu terdapat peristiwa penting,
yaitu yang dikenal dengan peristiwa Manzikart 463 H/1071 M, dimana
tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan kekuatan besar tentara Romawi
yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Perancis dan
Armenia. Dikuasainya Manzikart pada tahun 463 H/1071 M (Shallabi,
1998: 286). Pada periode inilah dinasti Saljuk mencapai masa kejayaannya,
wilayah kekuasaannya membentang mulai dari Kasgar, satu kota di ujung
wilayah Turki, sampai ke Yerusalem dan luasnya dari wilayah
Constantinopel sampai ke laut Kaspia. Atas dasar ini dinasti Saljuk dikenal
gemar melakukan ekspansi perluasan wilayah yang sangat luas, seperti
halnya penguasa Turki Usmani yang di kemudian hari berhasil mendirikan
sebuah imperium besar pada abad ke-14 M (Dar al-‗ilm, 2002: 300). Dalam
hal ini Periode Keempat (447 H∕1055 M – 590 H∕1194 M), masa kekuasa
Dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya
disebut juga dengan masa pengaruh Turki Kedua.
b. Perkembangan Pendidikan dan Ilmu Ketika Bani Saljuk Berkuasa.
Karir politik Nizam al-Mulk secara langsung berkaitan dengan kondisi
politik pada masa itu. Pada abad ke-5 terjadi konflik antara kelompok-
kelompok keagamaan dalam Islam. Misalnya kelompok Syi‘ah, Mu‘tazilah,
Asy‘ariyah, Hanafiah, Hanbaliah dan Syafi‘iyah. Ketika Khalifah
Abbasyiah lemah, berdiri dinasti baru yaitu, dinasti Buwaihi yang beraliran
Syi‘ah Ismai‘liyah yang mendukung pemikiran rasional dan menganut
paham teologi yang sama dengan Mu‘tazilah.
Page 110
93
Pada masa itu, pengajaran ilmu-ilmu filosofis dan ilmu pengetahuan
yang dulu dijauhi oleh masyarakat Sunni dihadapkan kembali. Banyak
tokoh Mu‘tazilah yang diberi posisi penting dalam pemerintahan. Merespon
hal ini dinasti Saljuk merasa bertanggung jawab untuk melancarkan
propaganda melawan paham Syi‘ah yang telah ditanamkan Bani Buwaihi.
Sebelum dinasti Saljuk berkuasa, kekuasaan atas sebagian besar wilayah
Islam dipegang oleh Dinasti Buwaihi (945-1055) dan Dinasti Fatimiyah
yang beraliran Syi‘ah (Shaban, 1981: 56).
Salah satu kebijakan besar yang dilakukan Nizam al-Mulk pada masa
itu adalah mendirikan madrasah Nizamiyah. Ia membangun madrasah
pertama di Nisyapur untuk al- Juwaini (Lapidus, 1999: 50). Nizhamiyah ini
tetap dipahami sebagai lembaga terpenting dan menjadi model (prototype)
dalam sejarah pendidikan Islam, yakni sebagai lembaga pendidikan Islam
yang pertama sekali didirikan di dunia Islam Timur di mana bangunan, dan
orientasi lembaga pendidikan ini menjadi a function of state dalam skala
luas. Lagi pula oleh karena tersedianya dokumen-dokumen tentang
madrasah ini, para ilmuwan mengetahui Nizhamiyah dan cara kerjanya lebih
baik, dari madrasah lain manapun (Stanton, 1990: 49). Bahwa Nizamiyah
adalah salah satu madrasah yang, menjadi model bagi madrasah-madrasah
lain di seluruh daerah kekuasaan Islam dengan corak Syafi'i dapat dilihat
dari dokumen wakaf Nizhamiyah yang masih terpelihara dengan baik,
seperti yang dikemukakan Stanton sebagai berikut: 1) Nizhamiyah
merupakan wakaf yang disediakan untuk kepentingan penganut madzhab
Syafi'i dalam fiqh dan ushul al-fiqh, 2) Harta benda yang diwakafkan
kepada Nizhamiyah adalah untuk kepentingan penganut madzhab Syafi'i
dalamfiqh dan ushul al-fiqh, 3) Pejabat-pejabat utama Nizhamiyah harus
bermadzhab Syafi'i dan fiqh dan ushul al-ftqh; ini mencakup mudarris,
wa'izh danpustakawan, 4) Nizhamiyah; harus mempunyai seorang tenaga
pengajar bidang kajian al-Qur'an, 5) Nizhamiyah harus mempunyai seorang
tenaga pengajar bidang bahasa Arab, 6) Setiap staf menerima bagian tertentu
dari penghasilan yang diperoleh dari harta wakaf Nizhamiyah (Stanton,
1990: 50). Lebih lanjut, Pendirian madrasah madrasah disamping untuk
mengembangkan pendidikan Islam juga sebagai media untuk menanamkan
ajaran-ajaran dari paham Sunni. Nizham al-Mulk mendirikan gedung-
gedung ilmiah untuk ahli fikih, membangun madrasah-madrasah untuk para
ulama dan asrama untuk orang beribadah serta fakir miskin. Pelajar yang
tinggal di asrama diberi belanja secukupnya dari uang negara dengan jumlah
yang tidak sedikit. Akibatnya, Nizham al-Mulk mendapat teguran dari
Malik Syah karena diadukan orang, bahwa uang yang dibelanjakan untuk
kepentingan pendidikan dan pengajaran tersebut merupakan usaha Nizham
al-Mulk untuk menaklukkan kota Qustantiah(Constantinopel). Tindakan
Nizham al-Mulk ini akhirnya dapat diterima oleh Malik Syah setelah
dijelaskan alasan yang logis dan bahkan dapat menyadarkan khalifah.
Begitu besarnya perhatian Nizham al-Mulk terhadap pendidikan dan
pengajaran sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Syalabi : Tidak
satupun negeri yang didapatkan tidak mendirikan madrasah oleh Nizham al-
Page 111
94
Mulk, sehingga pulau yang terpencil di sudut dunia yang jarang didatangani
manusia juga didirikan madrasah yang besar lagi bagus (Nizar, 2009: 48).
Sistem belajar di Madrasah Nizhamiyah adalah: tenaga pengajar berdiri di
depan ruang kelas menyajikan materi-materi, sementara para pelajar duduk
dan mendengarkan di atas meja-meja kecil (rendah) yang disediakan.
Kemudian dilanjutkan dengan dialog (tanya-jawab) antara dosen dan para
mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat
keilmuan tinggi (Stanton, 1990: 59). Dimasa keruntuhan Dinasti Abbasiyah
dimana Madrasah Nizamiah yang sistem pendidikan dan organisasinya
ditiru di kawasan Eropa ini sempat berjaya sampai akhir abad ke-14M,
namun ketika Timur Lenk menghancurkan Baghdad. Timur Lenk dengan
bala tentaranya menyerbu kota Baghdad secara brutal dan semena-mena
selanjutnya menghancurkan segala peradaban serta membantai ribuan orang
di wilayah yang ditaklukkannya. Baghdad hancur lebur sekitar tahun 1393
M (Yatim, 2006: 120).
c. Sejarah Madrasah Nizhamiyah
Madrasah Nizhamiyah adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh
perdana mentri Nizham al-Mulk pada saat Sultan Alp Arslan memimpin
Dinasti Saljuk. Menurut Philip K. Hitti dalam bukunya History Of The
Arabs ia mengatakan bahwa Madrasah Nizamiyah didirikan pada 1065 -
1067 M oleh Nizham al-Mulk, seorang menteri dari persia pada kesultanan
Dinasti Saljuk, Sultan Alp Arslan dan Maliksyah, yang juga merupakan
penyokong „Umar Khayyam (K. Hitti, 2013: 515).
Pada saat kekuasaan Abbasiyah madrasah Nizhamiah merupakan
lembaga pendidikan yang termasyhur seluruh dunia. Hampir di seluruh kota
kekuasaan Abbasiyah didirikan satu madrasah yang besar, diantaranya: di
Baghdad, Balkh, Nisabur, Harat, Ashfahan, Bashrah, Marw, Mausul. Tetapi
Madrasah Nizhamiah Bagdad adalah yang terbesar dan terpenting dari
semua madrasah itu, disamping bangunanya yang paling besar, letaknya
yang berada di pusat kekuasaan Abbasiyah menjadikan madrasah Nizhamiah
Baghdad sebagai yang paling menonjol (Yunus, 1992: 72). Madrasah
Nizamiah Bagdad terletak di dekat sungai Tigris di tengahtengah pasar
Salasah di Baghdad (Nata, 2004: 62).
Lebih lanjut, Nizhamiyah merupakan lembaga pendidikan didirikan di
tahun 457 Hijriah atau 1065 Masehi. Madrasah Nizhamiyah awa mulanya
didirikan pada kawasan pinggir sungai daerah Dijlah tepat pada tengah-
tengah lokasi pasar Salasah, Baghdad. Madrasah Nizhamiyah inilah yang
mula-mulanya hanya dibangung di Baghdad, yang kala itu sebagai ibu kota
pusat pemerintahan Islam. Nizhamiyah kala waktu tersebut tercatat sebagai
pusat pendidikan termashur, yang kemudian mengembangkannya dengan
membuka cabang di berbagai kota, baik di wilayah Barat maupun di wilayah
Timur yang merupakan daerah kekuasaan Islam. Di antaranya didirikan di
kota-kota seperti kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mosul, Basra, dan Tibristan.
Oleh karena itu, kota-kota tersebut kemudian menjadi pusat-pusat studi
keilmuwan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu, bahkan pada tiap
Page 112
95
kota di seluruh Iraq dan Khurasan terdapat satu Madrasah Nizhamiyah, dan
pusat yang paling besar adalah di kota Baghdad sebagai pusat dan induk
Madrasah Nizhamiyah (Lisdawati dan Zuhairansyah, 2014: 80-81). Dalam
hal ini Madrasah Nizhamiyah dibangun diberbagai tempat terutama daerah
kekuasaan dinasti Saljuk dalam membangun sejumlah lembaga secara besar-
besaran dan menggunakan Mesjid-khan sebagai model madrasah yaitu
masjid yang di sisinya didirikan khan (asrama atau pemondokan) sebagai
tempat penginapan bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota.
Bahwasanya, Nizhamiyah adalah sebuah lembaga yang didirikan pada
tahun 457- 459 H pada abad ke IV oleh Nizhamiyah Al-Mulk dari Dinasti
Saljuk yang merupakan madrasah yang pertama muncul dalam sejarah
pendidikan Islam yang berbentuk lembaga pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah. Sejarah pendidikan Islam
mencapai puncak kejayaannya pada masa Abbasiyah dan Umayyah, ini
tidak terlepas dari keberhasilan para pakar pendidikan dimasa itu. Bukti dari
keberhasilan tersebut telah dapat dirasakan oleh umat Islam dalam berbagai
bidang dan juga merupakan cikal bakal munculnya pencerahan di dunia
Eropa (Nizar, 2011: 157).
Dalam hal ini Nizamiyah al-Mulk mendirikan madrasah-madrasah
bertujuan untuk memperkuat pemerintahan Turki-Saljuk dan menyiarkan
mazhab keagamaan pemerintahan. Sultan-sultan Turki adalah dari golongan
Suni. Oleh karena itu, madrasah-madrasah Nizamiyah ini menyokong Sultan
dan menyiarkan mazhab Suni ke seluruh rakyat. Menurut Muhammad
Abduh, anggaran belanja yang diberikan Nizamiyah–Mulk untuk
perbelanjaan madrasah secara keseluruhan besarannya ialah 600.000 dinar
tiap tahunnya. Madrasah Baghdad sendiri anggarannya 60.000 dinar (Yunus,
1992: 72-73).
Terdapat hal-hal yang dikemukakan yang kemudian melatarbelakangi
terwujunya Madrasah Nizhamiyah dalam pendiriannya ialah dapat disimak
berikut ini: yang Pertama, dimana penyebaran ilmu-ilmu pengetahuan yang
dilakukan Nizham Al-Mulk dilatarbelakangi bahwasanya ia sarjana. Jadi
pantas dirinya miliki suatu semangat yang tinggi demi membangun
lembaga-lembaga pendidikan bercorak modern kala itu. Kedua, yang mana
konflik-konflik agama yang sangatlah panjang di dalam catatan sejarah
Islam terjadi abad 5/11 diantara kelompok yang mana mereka
mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan mereka dalam ajaran
Islam, sebut saja Mu'tazilah, Syi'ah, Asy'ariyah, Hanafiyah, Hanbaliyah dan
Syafi'iyah.
Wazir atau Perdana Menteri Saljuk yang lebih dulu dari Nizham Al-
Mulk yakni Al-Kunduri ia bermazhab Hanafiyah sekaligus pendukung
teologi Mu'tazilah ketika itu. Salah satu cara ia mengambil kebijakan wazir
ia melakukan pengusiran dan melakukan penganiayaan pada penganut
Asy'ariyah yang kemudian dijuluki kelompok penganut Syafi'iyah. Namun,
setelah Nizham al-Mulk berkuasa, dalam hal ini beberapa para penulis soal
sejarah pendidikan Islam menyebutkan bahwasanya tidak adanya indikasi-
indikasi berupa pergantian soal pejabat atau jabatan yang memiliki
Page 113
96
perbedaan pemahaman teologi serta mazhab fiqih tersebut sehingga
merubah kebijakan-kebijakan politik yang bernuansa keagamaan yang
tumbuh sebelumnya, sehingga terjadi suat aksi atau tindakan balasan.
Dimana Nizham al-Mulk yang berperan sebagai salah satu dari penganut
Syafi'iyah ia mampu membangun madrasah-madrasah yang secara khusus
memang diperuntukkan bagi meluasnya mazhab Syafi'iyah tersebut. Tidak
adanya bukti yang kuat bahwasanya ia telah melakukan tindakan-tindakan
yang bersifat pembalasan, sehingga menyebabkan kehancuran mazhab-
mahzab yang lainnya, semisal Mu‘tazilah dan Syiah itu. Adapun kelompok-
kelompok tersebut akhirnya melemah sendirinya. Ujungnya, ia beringinan
memiliki posisi Syafi'iyah-Asy'ariyah yang kemudian menguat dengan
melalui jalur-jalur pendidikan. Ketiga, dalam hal ini Nizhamiyyah
dimaksudkan berfungsi untuk mewadahi sebagai penataran untuk para
pegawai di pemerintahan khususnya dalam hal mengurusi serta
memperbaiki dalam sistem administrasi negara atau pemerintahan. Alumni
madrasah dicetak siap pakai dan kemudian ditempatkan pada kepegawaian
sesuai keahlian bidangnya masing-masing, misalkan dalam bidang katib
(kesekretarisan), qadhi (kehakiman) dan lainnya. Hal tersebut terbukti,
dimana sistem yang dijalankan dalam madrasah menuai hasil dalam hal
tersebut. Keempat, dimana pengembangan stabilatas bidang politik di dalam
negara. tentunya, sebagai perdana menteri atau wazir, dimana tindakan-
tindakan Nizham al-Mulk yang melakukan pembangunan madrasah tak lain
demi menguatkan jaringan-jaringannya serta membuat kerangka kerja bagi
para ulama serta umara dalam hal ini berarti terjadinya hubungan yang
selaras dan serasi diantara pemerintah serta rakyatnya, khususnya pada
kelompok-kelompok Syafi'iyah-Asy'ariyah itu. Madrasah ketika Nizham al-
Mulk berkuasa dibangun atas rangka dalam hal memenuhi akan kebutuhan
yang khusus yakni berupa penerapan-penerapan kebijakan dibidang politik
pada seluruh negeri yang berada dalam kekuasaannya. Adapun lembaga-
lembaga terbaik demi menyelenggarakan hubungannya bersama para rakyat
yaitu lembaga-lembaga yang tanpa ikatan secara resmi, misalnya saja dalam
otoritas kekuasaan khalifah, semisal mesjid. Adapun lembaga yang
independen itu ialah madrasah tersebut yang dibangun olehnya (Ahmad,
2015: 130-131).
Pada perrmulaan masa Abbasiyah, dimana bangsa Persia sangat
mempengaruhi kebijakan pemerintah baik secara praktis maupun dalam
persepektif lain seperti idiologis atas karenanya budaya atau kebudayaan
Islam secara umum sangat dipengaruhi kebudayaan Persia. Setelah itu,
barulah bagsa Turki ikut ambil bagian dalam pengembangan kebudayaan
Islam. Masa inilah berdiri madrasah-madrasah yang tidak sedikit
bilangannya hampir di seluruh kawasan wilayah pemerintahan Dinasti
Abbasiyah kala itu.
Lebih lanjut mengenai sejarah Madrasah Nizhamiyah; Nizham al-Mulk
juga menyediakan beasiswa untuk mahasiswa dan memberi mereka fasilitas
asrama. Mereka yang tinggal di asrama diberi belanja secukupnya. Ia
mengumumkan kepada semua orang bahwa pengajaran di sekolah-
Page 114
97
sekolahnya terbuka untuk siapa saja tanpa membedakannya. Ia memberikan
bantuan untuk semua pelajar tanpa mengharap kembali, dan seluruh biaya
pendidikan di situ gratis. Ia juga menetapkan beasiswa secara teratur kepada
para siswa yang kurang mampu, di antara yang memanfaatkan kesempatan
ini adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali dan saudaranya Ahmad (Nata, 2004:
69-70).
Namun, Syalabi mengatakan bahwa madrasah yang pertama kali
muncul di dunia Islam dan dalam sejarah pendidikan Islam adalah
Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang Perdana
Menteri (wazir) Dinasti Saljuk pada masa pemerintahan Alp Arselon dan
Sultan Malik Syah, pada tahun 457-459 H/1065-1067 M di Baghdad.
Bahkan Imam Al-Ghazali pernah menjadi dekan di akademi ini (Hitti, 2002:
608) Masa itu merupakan masa menurunnya kejayaan Khilafah Bani
Abbasiyah yang disebut dengan masa Disintegrasi Islam (1000- 1250 M),
karena pada masa tersebut, muncul banyak dinasti yang memerdekaan diri
dari Baghdad dan banyak terjadi perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan
(Yatim, 2004: 75).
d. Model dan Kurikulum Madrasah Nizhamiyah
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang dan berkembang
seiring dengan laju perkembangan peradaban Islam. Kedatangan Islam
mengantarkan transformasi yang sangat berarti bagi masyarakat Arab.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab belum memiliki model
pendidikan formal yang sistematis (Idi dan Suharto, 2006: 19). Madrasah
juga merupakan hasil transformasi dari perkembangan sistem pendidikan
dalam dunia Islam yang sebelumnya terjadi dalam rumah ibadah atau
mesjid-mesjid seiring dengan kemajuan peradaban Islam sehingga madrasah
menjadi salah satu model atau metode pengajaran dalam dunia Islam.
Asumsi ini diperkuat oleh Makdisi, antara lain bahwa masjid khan yang
menjadi cikal bakal madrasah dan fiqh merupakan bidang studi utama. Salah
satu kemajuan yang patut dibanggakan dengan adanya pendirian madrasah
sebagai institusi pendidikan Islam par-excellence ini adalah adanya
kontribusi besar dalam melahirkan atau ‖memberikan bekal‖ kepada kaum
cendikiawan, terpelajar, negarawan dan administrator. Pada saat bersamaan,
bermunculan dari berbagai disiplin ilmu agama maupun ilmu pengetahuan
umum (sains) (Pardi, 2005: 209).
Dalam hal ini Nizhamiyah tetap dipahami sebagai lembaga terpenting
dan menjadi model (prototype) dalam sejarah pendidikan Islam, yakni
sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama sekali didirikan di dunia
Islam Timur di mana bangunan dan orientasi lembaga pendidikan ini
menjadi a function of state dalam skala luas. Lagi pula oleh karena
tersedianya dokumen-dokumen tentang madrasah ini, para ilmuwan
mengetahui Nizhamiyah dan cara kerjanya lebih baik dari madrasah lain
yang manapun (Stanton, 1994: vi).
Perencanaan dalam pengajaran pada Madrasah Nizhamiyah tidaklah
dapat ditemui atau diketahui secara tegas dan jelas, dalam hal ini (Ahmad,
Page 115
98
2015: 132) berpendapat perencanaan dalam pengajaran berupa ilmu-ilmu
syariah saja dan tidak ada ilmu-ilmu hikmah (filsafat), ini terbukti sebagai
berikut :
1. Para ahli sejarah tidak seorang pun yang mengatakan bahwa diantara
mata pelajaran ada ilmu kedokteran, ilmu falak dan ilmu-ilmu pasti,
mereka hanya menyebutkan mata pelajaran nahu, ilmu kalam dan fiqih.
2. Guru-guru yang mengajar di Madrasah Nizhamiyah adalah ulama-ulama
syariah sehingga madrasah tersebut merupakan madrasah syariah bukan
madrasah filsafat.
3. Pendiri Madrasah Nizhamiyah itu bukanlah orang yang membela ilmu
filsafat dan bukan pula orang-orang yang membantu pembebasan
filsafat.
4. Zaman berdirinya menindas filsafat serta orang-orang filsuf.
Dalam hal ini Madrasah Nizhamiyah dapatlah difahami memiliki tujuan
diantaranya:
1. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk mengajarkan madzhab resmi
Negara yakni ajaran-ajaran Sunni.
2. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk mengkanter ajaran-ajaran
Mu‘tazilah dan Syi‘ah.
3. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk mendidik pegawai-pegawai
pemerintah dan kader-kader ulama Sunni.
4. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan
rakyat.
5. Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk menyebarluaskan kebudayaan
Muslim (Mukti, 2007: 191).
Konteks madrasah Nizhamiyah dalam hal ini memiliki tugas keutamaan
secara khusus mengajarkan ilmu fiqih yang tentunya berdampingan dengan
satu dengan yang lainnya dari mulai mazhab yang beraliran ahlussunnah,
juga telah menjadi tempat yang menarik para pelajaran menggunakan
waktunya secara penuh dalam rangka proses pembelajaran ilmu, hal inilah
memperlihatkan bahwasanya hampir seluruh dari Madrasah Nizhamiyah di
daerah Baghdad banyaknya hingga mencapai 30 buah madrasah dan
semuanya dalam hal keindahan, dapat dikatakan melampaui istana. Tentulah
melalui Madrasah Nizhamiyah inilah dilakukannya penanaman-penanaman
ideologis sunni oleh penguasa Dinasti Saljuk dan hal ini berlangsung efektif,
khususnya untuk membina stabilitas politik di dalam pemerintahan dari
rongrongan bahaya akan pemberontakan-pemberontakan yang kala itu kerap
bermunculan atas nama suatu aliran Islam yang berideologi pastinya
berbeda dengan idiologi yang dianut Dinasti Saljuk.
Dalam hal ini Madrasah Nizhamiyah tidaklah memberi peluang untuk
mengajarkan ilmu-ilmu penegetahuan bersifat cederung ke arah duniawi,
namun lebih fokus dalam pelajaran berupa ilmu-ilmu keagamaan saja dan
khusunya ilmu-ilmu fiqih itu. Adapun mazhab fiqih tersebut kemudian
menonjol yakni fiqih beraliran Syafi'i serta teologi Asy'ariyah dimana
keduanya berdampingan dan aktif untuk dipelajari dan kemudian dialami
serta diamalkan. Kendati yang kemudian hari menonjol yakni mazhab
Page 116
99
Syafi'i, akan tetapi mazhab-mazhab lainpun tetap masih pula dipelajari
dengan tentunya adanya imam khusus yang mana mazhab-mazhab tersebut
dan khalifah turut campur tangan dalam membentuk kiayai-kiyai ahli di
dalam bidangnya masing-masing dalam hal mazhab-mahzab tersebut
(Ahmad, 2015: 132).
Dalam hal ini pertumbuhan perkembangan dalam sistem pendidikan
bercorak Islam memasuki ke periode yang baru sekaligus periode terakhir
dalam perkembangannya, semenjak kemunculannya madrasah tersebut.
Sebab hal ini di dalam sistem-sistem madrasah kelebihannya selain
mengatasi kelemahan yang memang berpotensi yang ada dalam lembaga-
lembaga yang tergolong pendidikan tinggi sebelumnya baik itu masjid,
masjid-khan, Bayt al-Hikmat dan lainnya. Sistem pendidikan tersebut
terbilang lebih sempurna jika dibandingkan yang lain, hal ini tentunya
tercermin dalam sistem yang terdapat di Madrasah Nizhamiyah itu yang
memang tidaklah semata hanya salah satu dari organisasi negara yang resmi,
yang dapat mengeluarkan pekerja-pekerjanya serta pegawai negerinya itu,
akan tetapi pelajarannyapun telah formal dan resmi, bergerak berjalan sesuai
dengan undang-undang yang berlaku sesuai dengan peraturan negara yang
ada, yang kita kenal pada masa sekarang dimana Madrasah Nizhamiyah tak
lain satu-satunya dari lembaga pendidikan tinggi Islam yang amat terkenal
dan bergengsi setelah Bayt al-Hikmat dalam literasi dunia Muslim di bagian
Timur itu. Popularitas madrasah Nizamiyah dapatlah disamakan dengan
petama Jami‟ al-Azhar ini. kedua Dar al-„Ilm di Mesir, dan ketiga Jami‟
Cordova di wilayah Spanyol yang terkenal itu (Shiddiqi, 186: 85).
Maka dari Uraian di atas, hemat penulis dalam masalah kurikulum
Madrasah Nizhamiyah dapat disimpulkan bahwa, kurikulum Madrasah
Nizhamiyah dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu:
a. Ilmu-ilmu agama semacam: ilmu al-Qur‘an, hadis, tafsir, fiqih, ushul
fiqih, ilmu kalam, dan disiplin-disiplin lain yang tergolong dalam
kelompok ini. Meskipun deskripsi madrasah-madrasah menunjukkan
adanya variasi dalam hal penekanan dan porsi yang ditempati dalam
kurikulum, secara umum kelompok ilmu ini adalah bagian inti dari
kurikulum semua madrasah. Ilmu fiqih dan teologi yang di ajarkan
sesuai dengan mazhab yang di anut oleh kepala pemerintahan dan para
pemberi wakaf, yaitu mazhab Asy- Syafi‘i untuk ilmu fiqih dan Al-
Asy‘ari untuk Teologi.
b. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung kajian ilmu- ilmu
agama juga diajarkan di madrasah, tetapi bukan menjadi bagian utama
dari kurikulum. Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa
ahli gramatika bahasa Arab (nahwi) adalah merupakan bagian dari staf
beberapa madrasah; namun posisinya jelas tidak sepenting posisi
mudarris yang mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Page 117
100
e. Madrasah Nizamiyah dan Perkembangan Intelektual Islam
Mengenai perkembangan Madrasah Nizamiyah dalam hal ini (Makdisi,
1991: 51) berpendapat; bahwasanya Nizhamul-Mulk dapatlah memberikan
dasar-dasar penanaman dokrin dalam arti kenegaraan sehingga dapat
memperkuat kerajaan dalam kedudukannya. Oleh sebab itulah Madrasah
Nizhamiyah tak lain merupakan jembatan yang dipakai sebagai alat tempat
melintas proses penyadaran para warga negara dan ditumbuhkanlah
kesadaran hukum mereka, maka dalam hal ini dimana kontrol ketat yang
dilakukan pemerintah bagi madrasah adalah merupakan secara logis.
Patronase atau hubungan Nizhamul Mulk tidaklah hanya sebatas yang
menyangkut masalah-masalah keuangan belaka melainkan juga mengenai
pengadaan atau penyediaan para sarana saja, bahkan lebih jauh dari itu
dimana pemerintah secara langsung melibatkan dirinya ka dalam untuk
menentukan hak ikhwal tujuan-tujuannya, turut menentukan menggariskan
tentang kurikulum pembelajaran, menentukan para guru dan segala hal yang
diperlukan dalam pendidikan. Dalam hal ini (Yunus, 1966: 73) menyatakan
bahwasanya anggaran yang diperuntukkan Madrasah Nizhamiyah pada tiap-
tiap tahunnya cukuplah besar hingga 600.000 Dinar. Dan 60.000 Dinar
darinya dipruntukkan pemenuhan kepentingan-kepentingan Madrasah
Nizhamiyah Baghdad tersebut. Lebih lanjut pendapatnya (Syalabi, 1973:
376) ia menyatakan bahwasanya dalam anggaran pembiayaan Madrasah
Nizhamiyah Baghdad hanyalah kisaran 15.000 pada tiap-tiap tahun
ajarannya. Menyambung (Syalabi, 1973: 181) menjelaskan bahwasanya
Abdul al-Salam al-Qazwaini memberikan penghargaan menghadiahkan pada
Nizhamul Mulk sebanyak sepuluh jilid kitab Gharibul Hadits karyanya
Ibrahim al-Harbi ditulis tangan Umar Ibnu Hajawaih. Ketika itu, tatkala
Nizhamul Mulk sedang mendirikan madrasah-madrasah, secara otomatis
setiap madrasah tersebut pasilitasnya dilengkapi perpustakaan-perpustakaan
yang terbilang mewah. Karenanya Nizhamul Mulk menghibahkan berupa
kitab Gharibul Hadits pada perpustakaan tersebut dimaksudkan supaya
dipelajari para siswa kala itu.
Nizhamiyah memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu aritmetika
misalnya, sedangkan madrasah-madrasah yang lain mengajarkan ilmu
nahwu, tafsir, hadits, fiqh, bahkan ada pula yang mengajarkan ilmu
kedokteran. Walaupun memang secara umum madrasah-madrasah
mengajarkan ilmu keislaman. Seperti terlihat dari topik-topik utama dalam
kurikulum mereka mempelajari Al-Qur'an, fiqh, teologi dan lain-lain (Nata,
2004: 176). Nizhamiyah mempunyai potensi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan memperhatikan kepada pengajaran aritmetika, seperti
juga terdapat di madrasah Muntansyiriyah. Hal ini menarik untuk dikaji
lebih lanjut, karena dahulu mereka tidak menyukai ilmu-ilmu seperti itu,
tetapi pada gilirannya ternyata ilmu tersebut mereka butuhkan. Bahkan,
ditemukan sebuah masjid dan madrasah yang telah mengajarkan ilmu
pengetahuan Yunani, misalnya masjid Mustansyiriyah di Baghdad yang
telah mengajarkan ilmu-ilmu murni, seperti obat-obatan, farmasi dan
geometri (Nata, 2004: 177).
Page 118
101
Madrasah Nizamiyyah merupakan perkembangan pesat tersendiri dari
usaha sistemisasi pendidikan Islam sebelumnya. Namun di sisi lain, arah dan
tujuan Madrasah Nizamiyyah lebih ditentukan oleh wazir bernama Nizam
al-Mulk itu (Maksidi, 1994: 46). Pelajar Madrasah Nizamiyyah mayoritas
berasal dari daerah Irak, Persia dan sebagainya yang sudah berusia antara
16-18 tahun. Kuantitas pelajar disesuaikan dengan kapasitas ruang
perkuliahan yang ada. Para pelajar tersebut berasal dari semua lapisan
masyarakat dan bagi yang kurang mampu disediakan beasiswa. Di antara
para alumni yang terkenal adalah al-Ghazaly, Ahmad al-Ghazaly, Abu
Mahasin, Abd Razaq al-Tusy, Abu Abd Allah Muhammad ibn ‗Abd Allah,
Abu Hasan al-Harashy, Abu Sa‘ad Muhammad al-Nishapury dan Musa ibn
Abu al-Fad al-Mosuly (Mukti, 2000: 330-331).
Perwujudan sebagai lembaga pendidikan Islam yang bermutu juga
dilakukan Madrasah Nizhamiyah dengan menggelar proses rekruitmen guru
yang sangat ketat. Itu digelar untuk melahirkan sosok pendidik yang
berkualitas, tidak sekedar melaksanakan transfer of knowledge dalam proses
pembelajarannya. Pemberlakuan mutasi terhadap guru yang mengajar
Madrasah Nizhamiyah, juga merupakan konsep baru dari perkembangan
pendidikan Islam sampai detik itu. Mutasi ini diberlakukan sebagai upaya
penyegaran kembali terhadap motivasi dan strategi pembelajaran yang
dilakukan guru, sehingga tidak mudah jenuh karena hanya bertugas di satu
tempat saja. Kurikulum yang disusun dan kemudian diberlakukan di
Madrasah Nizhamiyah juga mencerminkan pemenuhan hak-hak dasar rakyat
dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Tidak ditemukan adanya
dikotomi antara ilmu umum (secular science) dengan ilmu agama (religious
science). Sistem pendidikan yang diberlakukan dan sudah mengenal jenjang
diasumsikan sebagai sebuah akomodasi terhadap perbedaan karakteristik
peserta didik. Berbagai spesialisasi yang dibuka juga merupakan upaya
Madrasah Nizhamiyah untuk memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik memperoleh spesialisasi yang diinginkan. Tidak
mengherankan jika kemudian para alumni dari madrasah ini memegang
peranan penting dalam menjalankan roda pemerintahan Dinasti Saljuk,
karena memang mereka sudah disiapkan dengan matang untuk mengemban
tugas itu (Mukani, 161-162). Berbagai metode belajar yang dikembangkan
di lembaga Nizhamiyah dipandang cukup relevan untuk materi kajian yang
diselenggarakan. Metode debat dan hafalan dalam proses pembelajaran
merupakan salah satu petunjuk bahwa keunggulan intelektual kaum
terpelajar pada saat itu ditentukan oleh kemampuan mengkombinasikan
potensi dasar intuitif dan rasionalitas. Suasana belajar dan interaksi antara
guru dan siswa juga merupakan indikasi bahwa madrasah Nizhamiyah tidak
menganut sistem feodalisme pendidikan yang menindas. Karena dengan
pola interaksi yang demikian sebenarnya sistem pendidikan Islam klasik ini
telah mencontohkan pola pendidikan demokrasi dengan menempatkan siswa
sebagai sosok yang berpotensi untuk menguasai dan memahami realitas
secara manusia dan ilmiah (Abdurrahmansyah, 2005: 18)
Page 119
102
f. Tokoh-tokoh Intelektual Muslim dan Guru yang Membesarkan
Madrasah Nizamiyah
Madrasah Nizamiyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang
mahsyur dan telah diteliti oleh banyak ilmuan di seluruh dunia, maka
tidaklah heran jika terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai berdirinya
Madrasah Nizamiyah tersebut. Adapun perbedaan pendapat tersebut
diantaranya: Pendapat pertama menyatakan bahwasanya Madrasah
Nizamiyyah kali pertama didirikan di Baghdad pada tahun 1067 M.
Pendapat ini dikemukakan Ibnu Khallikan yang dibenarkan oleh Ahmad
Amin, Muhammad Ghanimat, Jurji Zaydan, al-Zahaby dan Ahmad Syalaby.
Pendapat kedua menyatakan bahwasanya Madrasah Nizamiyyah kali
pertamanya didirikan di Nishapur pada tahun 1058 M, yaitu ketika Alp
Arslan menjadi Gubernur di Khurasan. Baru ketika menjadi pemimpin di
Baghdad, Nizam al-Mulk mendirikan madrasah-madrasah yang sama di
daerah kekuasaan Dinasti Saljuq, termasuk di Baghdad. Pendapat ini
didukung oleh Taj al-Din al-Subky dan Taqy al-Din al-Maqrizy. Kedua
pendapat tersebut tentunya telah didukung oleh fakta-fakta sejarah. Dalam
hal ini penulis cenderung pada pendapat yang pertama sebab Madrasah
Nizamiyah identik dengan Nizam al-Mulk.
Adapun mengenai Madrasah Nizamiyah telah dipaparkan pada
pembahasan sebelumnya. Dalam literasi-literasi terdapat tiga Madrasah
Nizamiyah yang besar era kekuasaan Islam kelasik Dinasti Abbasiyah;
Pertama adalah di Nishapur yang didirikan pada tahun 1058 M. Rektor
pertamanya adalah al- Juwainy. Madrasah ini memiliki asrama untuk guru
besar(syaikh) dan pelajar. Perpustakaannya terdiri dari gabungan almari-
almari, memberikan pelayanan kepada masyarakat luas sejak Dzuhur sampai
dengan Ashar yang dijaga oleh Abu al-Qasim al-Ansary yang juga tinggal di
asrama (Azra, 1994: 21). Lebih lanjut; Pada periode rektor Abu Sa‘ad
Muhammad bin Yahya al-Nishapury, murid al-Ghazali, madrasah ini
dihancurkan oleh orang-orang Oghuz pada tahun 1153 M. Kedua adalah di
Baghdad yang didirikan pada tahun 1065 M. Rektor pertamanya adalah Abu
Ishaq al-Shirazy, seorang ulama Syafi‘i. Dalam perkembangannya, sejak
tahun 1233 M, madrasah ini juga mengajarkan fiqh madzhab Hanafi,
Hambali dan Maliki dengan guru yang didatangkan langsung dari Maroko.
Madrasah ini dibangun dengan menghabiskan dana 200.000 dinar dari kas
negara dan biaya operasionalnya setiap tahun mencapai 60.000 dinar
(Yunus, 1990: 75). Ketiga adalah di Isfahan. Para pelajar di madrasah ini,
dengan dibantu loyalis Nizam al-Mulk, memberikan kontribusi besar bagi
Barkiyaruq yang menduduki tahta sebagai penguasa di Isfahan. Ketika
Turkan Khatun, ibu Mahmud bin Malik Syah, penguasa Saljuq di Baghdad
menyerang Barkiyaruq di dekat Burujird (Hamazan), para pelajar Madrasah
Nizamiyyah Isfahan memberikan bantuan, sehingga Barkiyaruq
memperoleh kemenangan. Kemudian Barkiyaruq menuju Baghdad untuk
mendapatkan legimitasi sebagai penguasa baru di Isfahan dari khalifah
Dinasti Abbasiyyah ketika itu, al-Muqtadi, pada tanggal 4 Januari 1094 M
(Syalabi, 1993: 47).
Page 120
103
Perkembangan Madrasah Nizamiyah tidaklah terlepas dari para guru
dan sarjana lulusannya yang selanjutnya mengisi jabatan-jabatan strategis
dalam pemerintahan. Adapun para guru tersebut diangkat dan tidaklah
terlepas dari tujuan-tujuan yang mendasari didirikanya madrasah yaitu:
1. Menyebarkan pemikiran sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran
syi'ah,
2. Menyediakan guru-guru sunni yang cakap untuk mengajarkan mazhab
sunni dan menyebarkannya ke tempattempat lain,
3. Membentuk kelompok pekerja sunni untuk berpartisipasi dalam
menjalankan pemerintahan, memimpin kantor khususnya di bidang
peradilan dan manajemen
Lembaga atau staf pengajar mendapat perhatian besar dalam lembaga
pendidikan manapun, tidak terkecuali Madrasah Nizhamiyah. Hal itu di
sebabkan bahwa kesuksesan sebuah madrasah di barengi dengan
keberhasilan para pengajarnya dalam melaksanakan visi-misi dan tugas
mereka dengan sebaik mungkin.
a. Martabah Ash- Shadr (Direktur)
Martabah Ash- Shadr adalah Orang yang memiliki posisi yang prestisius
di madrasah. Kata Ash- Shadr sendiri merupakan sebutan bagi imam yang
terkemuka pada masanya baik dalam bidang fikih, hadits atauun tafsir, atau
juga bisa di sebut sebagai imam yang terkemuka pada masanya dan memiliki
wawasan dan pengetahuan paling kaya. Dari tangannyalah banyak dihasilkan
tenaga-tenaga pengajar yang berkompeten.
Banyak pejabat, pemimpin negara, komandan militer, walikota, perdana
mentri ataupun para ulama terkemuka lainnya yang menghadap kepadanya
untuk mendengarkannya atau memperoleh manfaat darinya. Tidak setiap
madrasah memiliki Ash- Shadr, seabab orang yang mencapai tingkat wawasan
semacam itu sangatlah sedikit. Merupakan keberuntungan suatu madrasah dan
popularitas yang sempurna jika mempunyai seorang Ash- Shadr (Ali Ar-
Rajub,1997:135).
b. Tenaga pengajar atau Mudarris
Pemilihan para dewan guru untuk mengajar di Madrasah Nizhamiyah
berjalan dengan sesuai tradisi yang diberlakukan perguruan tinggi modern
terkemuka. Sebelum memutuskan untuk mengangkat seorang guru, Nizham al-
Mulk terlebih dahulu menguji wawasan dan pengetahuan mereka melalui
serangkaian perdebatan yang diadakan dalam berbagai kesempatan. Mereka
diberikan sejumlah pertanyan yang telah dirumuskan dan dipersiapkan
sebelumnya. Apabila Nizham al-Mulk menemukan adanya pengetahuan dan
wawasan yang mendalam serta kecerdasan intelektual pada salah satu di antara
mereka. Mereka yang berkompeten dalam bidang pendidikan, maka akan di
angkat sebagai tenaga pengajar saat itu juga, bahkan dibangun sebuah madrasah
dan perpustakaan baginya atau dikirim ke wilayah yang yang penduduknya
masih rendah kwalitas pendidikannya (Imad Al Din Al Asphani: 1978. 45).
Pada lembaga Madrasah Nizhamiyah ini tingkatan pengajar sangat di
perhatikan, berikut adalah tingkatan pengajar dalam Madrasah Nizhamiyah:
Page 121
104
1. Al Mudarris (Guru Besar), seseorang disebut sebagai mudarris apabila dia
telah mampu mengajarkan ilmu-ilmu fiqih dengan baik, tingkat popularitas
yang tinggi dalam hal pengetahuan dan wawasan keilmuan serta banyak
menelurkan karya tulis, seperti yang di alami oleh Al-Ghazali, yang
menjabat sebagai Guru Besar Madarasa Nizhamiyah Bagdad.
2. An-naib (wakil) adalah orang yang di tugaskan mengajar materi
pembelajaran, ketika mudarris (Guru Besar) berhalangan untuk mengajar
karena kesibukan pekerjaan dalam tugas administrasi, pengadilan maupun
ketika beliau sakit.
3. Al –Mu‟id (pembantu dosen) adalah mahasiswa yang di tunjuk atau di
percaya mudarris untuk membantunya dalam proses pembelajaran,
tugasnya adalah menyampaikan pelajaran kepada para pelajar dan
membantu mereka memahaminya. Karena itu, pembantu dosen ini
membutuhkan kemampuan diplomasi dan memiliki wawasan dn
pengetahuan yang luas, oleh karena itu, pembantu dosen ini terdiri dari
pengajar di madrasah atau lembaga pendidikan lainnya (Ahmad Tafsir,
1992: 53).
c. Jenjang pelajar
Jenjang pertama yang di peroleh palajar ialah sebagai tilmidz atau thalib
(siswa). Kemudian setelah mendapatkan pengetahuan yang mendalam atau
luas disebut mutssaqaf (terpelajar) dan kemudian faqih (ahli fikih/pakar).
Apabila kemudian ia melanjutkan studinya dengan metodenya itu dan tetap dan
mendapingi gurunya agar ilmunya lebih sempurna. Seringkali dosen pengampu
mengangkatnya sebagai pembantunya untuk mengajarkan materi pelajaran, dan
mentranskip karya-karyanya di bawah bimbingannya (Ali Muhammad Ash-
Shallabi, 2014: 357).
Adapun para guru yang kemudian memberikan pengajaran dalam
madrasah Nizhamiyah antara lain yaitu :, Abu Ishak al-Syirazi (w.476 H = 1083
M), Abu Nashr al-Shabbagh (w.477 H = 1084 M), Abu Qosim al-A'lawi (w.482
H = 1089 M), Abu Abdullah al-Thabari (w.495 H = 1101 M), Abu Hamid al-
Ghazali (w.505 H = 1111 M), Radliyud Din al-Qazwaini (w.575 H = 1179 M),
Al-Firuzabadi (w.817 H = 1414 M).
Itulah di antara para guru yang mempelopori dan membesarkan Madrasah
Nizamiyah (As'ari, 1994: 60). Dalam hal ini As‘Ari menjelaskan pada mulanya
dalam hal ini Syekh Abu Iskhak as-Syrazi awalnya ia menolak untuk
beraktivitas mengajar dalam sistem Nizhamiyah namun sebab ia bertemu
dengan seorang dan seseorang tersebut berkata padanya "Mengapa Tuan
mengajar ditempat yang dirampas." akhirnya keenganannya itu diganti oleh
Abu Nashr as Sabbagh dan Abu Ishak sendiri hanya mengajar selama 20 hari
saja. Al-Ghazali mulai mengajar di madrasah Nizhamiyah berawal dari dari
turut sertanya beliau pada suatu hari dalam perdebatan-perdebatan ilmiah
dengan ulama-ulama terkemuka yang di hadiri oleh Nizham al-Mulk, dalam
perdebatan itu Al-Ghzali ternyata dapat menundukan lawannya dan semua yang
hadir dapat membenarkan ucapannya. Oleh karena itu ia diangkat Nizham al-
Mulk sebagai maha guru sekolah terkenal (al-Abrasyi, 1986: 72).
Page 122
105
Dalam hal ini Imam sepeninggalnya Al-Haramayn pada tahun 478 H/1085
M lalu beliau digantikan putranya yaitu Abu al-Qasim al-Muzhaffar, ia
kemudian memegang suatu jabatan hingga pada suatu waktu ia dibunuh terjadi
pada 493 H/1099 Masehi. Selanjutnya, pimpinan yang berikutnya ialah seorang
yang telah berguru pada Imam al-Haramayn yaitu Ilkiya al-Harrasiy yang hidup
dari 450 H/1058 hingga 504 H/1110 M). Beliau tidaklah lama dalam
memegang dan menduduki jabatan tersebut disebabkan di tahun 498 H/1104 M
beliau pindah tempat ke daerah Baghdad selanjutnya memegang kepercayaan
jabatan pimpinan di Madrasah Nizhamiyah di Baghdad itu. al-Harrasiy setelah
berpindah ke Baghdad terjadilah suatu kekosongan kepemimpinan di Madrasah
Nizhamiyah Naysabur dalam tempo waktu tidaklah lama. Untuk keperluan
pengisian kekosongan tersebut Fakhr al-Mulk (490- 500 H/1096-1106 M), yang
berpangkat sebagai menteri Gubernur daerah Sanjar dalam kurun waktu (490-
511 H/1097-1118 M), ia memanggil seseorang yaitu Al-Ghazali, ia adalah
murid dari Imam al-Haramayn yang begitu teramat terkenal berasal dari daerah
Thus, guna memimpin serta melaksanakan tugas mengajar di Madrasah
Nizhamiyah Naysabur tersebut di 499 H/1105 M. Pada perkembangan
selanjutnya Al-Ghazli kemudia memegang perihal jabatan tersebut hingga 501
H/ 1107 M sekitar selama dua tahunlah, kemudian ia kembali ke daerah Thus
dan melaksanakan tugas pengajarnya di wilayah Khanaqahnya sepanjang
hidupnya hingga ia meninggal di tempat kelahirannya tersebut di tahun 505 H
atau 1111 M (Mukti, 2007: 178-179). Suasana belajar dan interaksi antara guru
dan siswa juga merupakan indikasi bahwa madrasah Nizhamiyah tidak
menganut sistem feodalisme pendidikan yang menindas. Karena dengan pola
interaksi yang demikian sebenarnya sistem pendidikan Islam klasik ini telah
mencontohkan pola pendidikan demokrasi dengan menempatkan siswa sebagai
sosok yang berpotensi untuk menguasai dan memahami realitas secara manusia
dan ilmiah (Abdurrahmansyah, 2005: 18). Madrasah Nizhamiyah adalah
satusatunya lembaga pendidikan Islam yang telah melanggengkan dikotomisme
dalam pendidikan Islam. Meskipun nampaknya terdapat celah untuk
menunjukkan indikasi tidak bersemangatnya civitas akademika Nizhamiyah
dalam menegakkan gaya pemikiran rasionalistik-filosofis, mengingat al-Ghazali
(pengarang Tahâfut al- Falâsifah) sebagai tokoh berpengaruh di kalangan Islam
untuk beberapa waktu pernah menjadi guru besar pada madrasah ini
(Abdurrahmansyah, 2005: 13). Madrasah Nizamiyah telah tercatat sebagai
lembaga pendidikan yang berpengaruh hingga saat ini baik di barat maupun di
timur. Adapun Madrasah Nizamiyah telah mencatat nama-nama besar dan
orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar. Di antaranya
sebagai berikut:
1. Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi
2. Syekh Abu Nasr as-Sabbagh
3. Abu Abdullah at-Tabari
4. Abu Muhammad asy-Syirazi
5. Abu Qasim al-Alawi
6. at-Tibrizi
7. al-Qazwini
Page 123
106
8. al-FairuzabadiImam al-Haramain
9. Abdul Ma‘ali al-Juwaini
10. Imam al-Ghazali
Demikianlah yang tercatat (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 2002: 44)
mengindikasikan bahwasanya peradaban intelektualitas Islam begitu tinggi dan
masih terasa hingga kini. Untuk mempertegas sumbangsih Madrasah
Nizamiyah terhadap pergerakan intelektualitas kaum Muslim disini akan
dipaparkan secara seingkat biografi dari Imam al-Gazali sebab peranan beliau
yang sangat menonjol dan masih melekat hingga saat ini, adapun pemaparannya
dapat disimak berikut ini:
1. Biogarafi Singkat Imam al-Ghazali. Adapun Imam al-Ghazali memiliki nama lengkap yaitu Abu Hamid
Muhammad ibnu Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali. Ia dikenal
sebagai ahli fiqih, kalam, seorang filosof dan seorang yang membawa
pembaharu terhadap tafsiran ajaranajaran Islam, dan yang berkenaan dengan
kemasyarakatan, bahkan juga sebagai tokoh pendidik akhlak bersetandar
Islam. Imam al-Ghazali dilahirkan di tahun 450 Hijriah. (1058 M.) di suatu
kampung bernama Ghazalah, Tunisia, suatu kota di Khurasan, Persia (Asari,
1993: 27). terdapat dua dua) bentuk cara penulisan nama atau sebutan Al-
Ghazali. Yang pertama sebutan tersebut ditulis dengan satu huruf ―z‖ yaitu
Al-Ghazali. Sedangkan yang kedua ditulis dengan dua huruf ―z‖ atau
dengan tasydid yaitu Al-Ghazzali. Tantang hal ini Ali al-Jumbulati Abdul
Futuh at- Tuwaanisi berpendapat bahwa sebutan Al-Ghazzali (dengan dua
huruf ―z‖) dinisbatkan atau dikaitkan kepada pekerjaan ayahnya sebagai
pemintal wool (Futuh at-Tuwaanisi, 1994: 131). Ayahnya seorang miskin
yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan ia seringkali
mengunjungi rumah alim ulama‘, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada
mereka. Ia (ayah Al-Ghazali) sering berdo‘a kepada Allah swt. agar
diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat
menyaksikan (menikmati) jawaban Allah (karunia) atas do‘anya, ia
meninggal dunia pada saat putra idamannya masih usia anak-anak (Ahmad,
1975: 28). Dalam hal ini sebelum beliau meninggal , beliau menitipkan
anak-anaknya yaitu Muhammad yang kemudian dijuluki Al-Ghazali, pula
dengan adiknya yang bernama Ahmad itu pada sahabatnya yang merupakan
ahli dalam bidang tasawwuf dan sambil berkata dengan kalimat bernada
dalam sebuah penyesalan adapun ungkapan tersebut: ―Nasib saya sangat
malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya
kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka
dan pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini
untuk mengajar mereka.‖ (Ahmad, 1975: 7).
Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi
sang sufi untuk memberi nafkah kepada mereka berdua, sang sufipun
berkata: ―ketahuilah bahwa saya telah membelanjakan bagi kalian seluruh
harta peninggalan ayah kalian. Saya seorang miskin dan bersahaja dalam
hidupku. Saya kira hal yang terbaik yang dapat kalian lakukan ialah masuk
ke dalam sebuah madrasah sebagai murid. Dengan jalan ini kalian akan
Page 124
107
mendapatkan makan untuk kelangsungan hidupmu.‖ Kedua anak tersebut
pun berlaku demikian dan ini menjadi sebab dari kebahagiaan dan
tercapainya cita-cita luhur mereka (Ahmad, 1975: 8). Dengan kehidupannya
yang sederhana itu, ayahnya menggemari pola hidup sufi. Sehingga ketika ia
sudah merasa ajalnya segera tiba, ia sempat berwasiat kepada seorang sufi,
teman karibnya yang bernama Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-
Thusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus, untuk memelihara dua orang
anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan
bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta
tersebut habis, sufi yang hidup fakir itu tak mampu memberinya tambahan.
Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk
bisa memperoleh pakaian, makan, dan pendidikan. Di sinilah awal mula
perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai
akhir hayatnya (Jahja, 1996: 64).
Al-Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu
pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun
diterpa suka cita, dilanda aneka rupa dan nestapa serta dilamun sengsara.
Dalam sebuah karyanya ia mengisahkan bahwa kehausan untuk mencari
hakikat kebenaran sesuatu sebagai habit dan favorit saya sejak kecil dan
masa mudaku adalah merupakan insting dan bakat yang dicampakkan Allah
swt. pada temperamen saya, bukan merupakan usaha dan rekaan saja
(Ahmad, 1975: 8). Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali adalah salah
seorang pemikir besar Islam dan filsafat kemanusiaan, di samping sebagai
salah seorang pribadi yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya.
Al-Ghazali adalah pakar ilmu syari‘ah pada masanya, di samping itu ia juga
menguasai ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, Kalam, Mantiq, Filsafat, Tasawuf,
Akhlak, dan sebagainya. Pada tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, Al-Ghazali
telah menulisnya secara mendalam, murni, dan bernilai tinggi. Banyak tokoh
yang mengungkapkan pujian dan kekagumannya pada al-Ghazali. Imam al-
Haramain (seorang mantan gurunya), misalnya, berkata: ‚Al-Ghazali adalah
lautan tanpa tepi‛. Sementara salah seorang muridnya, yaitu Imam
Muhammad bin Yahya, berkata: ‚Imam Al-Ghazali adalah asy-Syafi‘i
kedua‛. Pujian juga diungkapkan oleh salah seorang ulama sezamannya,
yaitu Abu al-Hasan ‗Abdul Ghafir al-Farisiy, yang mengatakan: ‚Imam al-
Ghazali adalah Hujjatul Islam bagi kaum muslimin, imam dari para imam
agama, pribadi yang tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh
selainnya, baik lisannya, ucapannya, kecerdasan, maupun tabiatnya (al-
Qardhawi, 1996: 39-40).
Pada tanggal 14 Jumadil Akhir, tahun 505 H atau 19 Desember 1111 M,
al-Ghazali meninggal dunia di Thus dalam usia 53 tahun. Dan kemudian
dimakamkan dengan makam penyair besar terkenal, yaitu Firdausi (Ahmad,
1975: 53). Beliau wafat dengan meninggalkan tiga orang anak, dua
perempuan dan satu laki-laki, sedangkan anak laki-lakinya yang bernama
Hamid sudah meninggal dunia sebelum beliau wafat. al-Ghazali digelari
dengan Hujjatul Islam, karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap
Page 125
108
agama, terutama dalam menyanggah aliran-aliran kebatinan dan para filosof
(Daudy, 1984: 60).
2. Kiprah Imam al- Gazali dalam Perkembangan Pemikiran dan
Pendididikan di Dunia Islam.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwasanya, al-Ghazali hidup mada
masa pemerintahan Bani Saljuk. Ia lahir dua puluh tahun setelah kerajaan ini
berdiri, sejak berusia muda, ia telah menyaksikan pertumbuhan awal dinasti
ini, sampai akhirnya mengalami masa kemunduran dan kehancurannya.
Karena kecemerlangan intelektual al-Ghazali, ia diangkat oleh wazir
Nizham al-Mulk sebagai pimpinan ulama hukum yang memberi pengesahan
atas keputusan-keputusan pemerintah dan guru besar pada Universitas
Nizhamiyah (Thaha, 1994: 11). Lebih lanjut, dalam hal ini Imam al-Ghazali
melakukan suatu kritikan pada aliran ilmu-ilmu kalam, salah satunya ialah
Mu‘tazilah dipelopori Washil bin Atha serta Amar bin ‗Ubaid, dimana
tokoh-tokoh inilah yang berpendapat bahwasanya orang-orang mukmin
mukminat yang telah melakukan suatu hal dosa yang besar dia tidaklah
termasuk kafir tidaklah mu‘min akan tapi mereka akan berada di dalam
posisi al-Manzila baina al-Manzilatain, dari pendapat-pendapat inilah yang
tentunya sangatlah berbeda dari pendapat-pendapat dari kaum muslimin
umumnya. saat itulah, Washil bin Atha, ia berinisiatif untuk keluar tidak
lagi bersama gurunya yaitu Hasan al- Bashri dan dirinya membangun sebuah
aliran yang bersifat teologis (Nurdin, 2012: 52). Adapun Aliran tersebut
sebetulnya telah terpengaruh dengan kuat oleh aliran yang dibawa kaum
Yahudi serta Nasrani, yang kemudian aliran inilah yang mempelajari
filsafat-filsafat dari Yunani. dimana Aliran tersebut lebih cenderung pada
penggunaan akal, sehingga al-Qur‘an dan Hadits dijadikannya sebagai
bahan yang tidaklah pokok hanyalah bahan kedua saja setelah akal tersebut.
Mengenai hal tersebut dapatlah disimak di dalam ajaran-ajarannya itu,
misalnya saja mengenai kebaruan dalam al-Qur‘an, dimana manusia
bersama dengan kekuatan akalnya maka manusia dapatlah mengetahui
bahwasanya keberadaan akan Tuhan itu, cara pembenaran dalam agama
dimana alasan-alasan yang bersifat pikiran-pikiran Inilah yang harus
dikoreksi dikritik al- Ghazali itu. Adapun contoh yang lainnya yaitu aliran
Asy‘ariah dipelopori Abu al- Hasan Ali Asy‘ari. Adapun diantara ajaran-
ajarannya dibawakan tokoh yang ini berbeda cara pandangannya al-Ghazali
yakni mengenai taqlid yang membuta sangatlah melekat pada kaum
pengikutnya. Sehingga kibat mengakibatkan diamana kefanatikan tersebut
yang kemudiang menimbulkan berupa tuduhan-tuduhan kekafiran pada
kelompok atau orang yang tidak sejalan dengannya. Dalam hal ini al-
Ghazali tidaklah mencoba untuk membentuk atau membuat aliran lain yang
baru, ilmu kalam. Atas karena al-Ghazali berpendapat bahwasanya ketika
melakukan hal itu hanyalah akan menyebabkan umat kian melemah. Dalam
hal memahami ajaran-ajaran Islam cukuplah mempelajari secara seksama 3
(tiga) warisan besar yaitu; al-Qur‘an, Hadits, dan Ulama (Rusn, 1998: 14).
Al- Ghazali merupakan seorang ilmuan muslim yang darinya banyak
melahirkan buku-buku atau kitab-kitab adapun karya-karnya (Dewan
Page 126
109
Redaksi Ensiklopedi Islam, 2002: 406) dapat disimak berikut ini: Bidang
Akhlak dan Tasawuf Ihya‘ ‗Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu
Agama), Minhaj al-‗Abidin (Jalan Orang-orang Yang Beribadah), Kimiya
al-Sa‘adah (Kimia Kebahagiaan), Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat
dari Kesesatan), Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak
Orang-orang yang Baik dan Keselamatan dari Kejahatan), Misykah al-
Anwar (Sumber Cahaya), Asrar ‗Ilm al-Din (Rahasia Ilmu Agama), Al-
Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‗Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara yang Megah
dalam Menyingkap Ilmu-ilmu Akhirat), Al-Qurbah ila Allah ‗Azza wa Jalla
(Mendekatkan Diri kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung),
Adab al-Sufiyah. Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku), Al-Adab fi al-Din
(Adab Keagamaan), Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang Soal-soal
Batin). 2). Bidang Fiqih, Al-Basit (Yang Sederhana), Al-Wasit (Yang
Pertengahan), Al-Wajiz (Yang Ringkas), Al-Zari‘ah ila Makarim al-Syari‘ah
(Jalan Menuju Syari‘at yang Mulia), Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk
(Batang Logam Mulia: Uraian tentang Nasihat kepada Para Raja). 3).
Bidang Ushul Fiqih, Al-Mankhul min Ta‘liqat al-Ushul (Pilihan yang
Tersaring dari Noda-noda Ushul Fiqh), Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah
wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta‘lil (Obat Orang yang Dengki: Penjelasan
tentang Hal-hal yang Samar serta Cara-cara Pengilhatan), Tahzib al-Ushul
(Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh), Al-Mustashfa min ‗Ilm al-Ushul
(Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh), Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi‘i, Kitab
Asas al-Qiyas. 5) Bidang Filsafat dan Logika, Maqasid al-Falasifah (Tujuan
Para Filsuf), Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), Mizan al-‗Amal
(Timbangan Amal), Mi‘yar al-‗Ilm fi al-Mantiq. 5) Bidang Teologi dan Ilmu
Kalam, Al-Iqtisad fi al-I‘tiqad (Kesederhanaan dalam Beritikad), Faisal at-
Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara Islam dan
Kezindikan), Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang Lurus), Iljam al-
‗Awam ‗an ‗Ilm al-Kalam. 6) Bidang Ilmu al-Qur‘an Jawahir al-Qur‘an
(Mutiara-Mutiara al-Qur‘an) ) Yaqut at-Ta‘wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata
Takwil dalam Menafsirkan al-Qur‘an). Selain dari itu dalam karya-karya
bernuansa politik pun al-Ghazali memiliki tulisannya yang ditulis oleh
(Ahmad, 1975: 74-86); 7) Bidang Politik, Al-Mustazhiri, nama lengkapnya
Fadhaih al-Batiniyah wa fadhail al-Mustazhiriyah (Bahayanya Haluan
Bathiniyah yang Ilegal dan Kebaikan Pemerintah Mustazhir yang Legal),
Fatihat al-‗Ulum (Pembuka Pengetahuan), Suluk as-Sulthaniyah (Cara
Menjalankan Pemerintahan).
Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjdi Guru Besar di Universitas
Nizhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu ia laksanakan
dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga
mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiranpikiran golongan batiniyah,
ismailiyah, filsafat, dan lainnya (Ahmad, 1975: 8). Imam al-Ghazali Setelah
Imam al-Haromain wafat lalu Perdana Menteri Nizamul Mulk memngangkat
al-Ghazali menjadi rektor di universitas Nizamiyah kala itu. Ketika itu
umunya baru menginjak 28 tahun. Namun, kecakapannya mampu menarik
Perdana Menteri Nizamul Mulk dan meminta dimana Imam Ghazali untuk
Page 127
110
pindah ke tempat kediaman Perdana Menteri (kota Mu‘askar) dan pembesar-
pembesar tinggi negara serta ulama-ulama besar dari berbagai disiplin ilmu.
Dia meminta Imam Al-Ghazali untuk memberikan kuliah dua kali seminggu
di hadapan para pembesar dan para ahli, di samping kedudukannya sebagai
Penasehat Agung Perdana Menteri. Kedekatan Imam Al-Ghazali terhadap
pemerintah pada waktu itu sangat mempengaruhi terhadap berbagai
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintahan Abbasiyah pada
masa al-Ma‘mun banyak dipengaruhi oleh aliran Mu‘tazilah serta filsafat
Yunani, telah dapat dikembalikan oleh Imam Al-Ghazali kepada ajaran
Islam yang murni. Di lapangan aqidah diajarkan faham Asy‘ari, sedangkan
di lapangan akhlak diperkuatnya ilmu tasawwuf (Ahmad, 1975: 38).
Dalam aktifitas intelektualnya, semula al-Ghazali menjalankan
serangkaian riset untuk meneliti kitab-kitab yang beredar dan menjadi rujukan
kaum aliran kebatinan, selanjutnya al-Ghazali membuat serangkaian pertanyaan
mengenai Imam Ma‘sum yang suci itu dan kapankah mereka dapat ditemui,
ternyata tidaklah satu orangpun para pengikut aliran-aliran kebatinan tersebut
mampu memberikan jawaban atau pun yang menunjukkannya. Atas dasar
ketidak berdayaan para pengikut kebatinan tersebut dan untuk berargumentasi
menunjukkan suatu bukti-bukti Imam Ma‘sum tersebut. Atas dasar itulah al-
Ghazali menarik suatu kesimpulan bahwasanya memberikan pernyataan yakni
Imam Ma‘sum yang dianggap para kaum kebatinan tersebut tak lain hanya
berada di ruang angan-angan belaka tidaklah hadir atau ada dalam sebuah
kenyataan yang sejati (Rusn,1998: 20). Pada perkembangan selanjutnya al-
Ghazali memilih jalan taswuf: ketika ia mulai mengalami konflik batin dalam
dirinya, antara menurutkan keinginan hawa nafsu kepada kedudukan,
kemewahan dan popularitas dengan kehidupan yang ―abadi‖. Disisi lain, al-
Ghazali merasa ilmu yang digeluti sebelumnya tidak membawa ia kepada
kebenaran yang hakiki. Selama enam bulan, ia mengalami kebingungan. Hal ini
menyebabkan lidahnya kelu sehingga tidak dapat mengajar dan tubuhnya pun
menjadi lemas dan lemah (Al-Ghazali, 2005: 41). Al-Ghazali selanjutnya
memohon diri untuk istirahat mengajar dan meninggalkan Baghdad untuk
menuju ke Syam. Di Syiria, al-Ghazali mengasingkan diri selama dua tahun.
Selama dalam pengasingannya, ia tidak melakukan kegiatan apapun, selain
„uzlah, khalwat, riyadhah dan mujahadah dengan tujuan untuk menyucikan
jiwa, memperbaiki akhlak dengan senantiasa berzikir kepada Allah.
Sekembalinya dari pengasingan, al-Ghazali menuju kekampung halamannya di
Thus. Setelah berada dikampung halamannya, al-Ghazali tetap melakukan
khalwat, semua itu ia jalani dalam masa kurang lebih sepuluh tahun (Al-
Ghazali, 2005: 41).
Page 128
111
BAB V
HUBUNGAN PENDIDIKAN YANG BERKEMBANG PADA MASA
PEMERINTAHAN BANI ABBASIYAH TERHADAP PERKEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN.
A. Gambaran Umum Hubungan Perkembangan Pendidikan dan Ilmu pada
Masa Bani Abbasiyah
Sejarah peradaban Islam terus mengemuka dari zaman ke zaman sebab
fakta menjelaskan sumbangsih Islam membangun peradaban dunia baik secara
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Khususnya dalam bidang
pendidikan berikut sejarah intelektualitas dan perkembangan ilmunya—Islam
khususnya ketika zaman pemerintahan Bani Abbasiyah kiprahnya begitu nyata
hingga masih terasa sampai kini. Pendidikan terus bertumbuh dan berkembang
pada masa khulafaur rasyidin, masa Bani Umayyah dan masa Bani Abbasiyah.
Pada masa Bani Abbasiyah pendidikan meluas dengan pesat ke seluruh negara
Islam hingga berdiri madrasah yang tak terhitung banyaknya, masyarakat
berlomba-lomba menuntut ilmu, melawat ke pusat pendidikan walau
meninggalkan kampung halaman demi mendapatkan pengetahuan. Tujuan
pendidikan Islam sama dengan tujuan hidup manusia, yakni menjadi Insan
pengabdi Allah ‗abdullah‟ sekaligus delegasi Tuhan pengatur alam semesta
‗khalifatullah‟. Apa yang menjadi benang merah dalam menemukan titik temu
masyiatullah (kehendak Allah) dan masyiatul „ibad (keinginan yang
dikehendaki manusia) hanyalah dapat tercapai melalui pendidikan. Diperlukan
konsep kesadaran sejarah dalam menganalisis hubungan sebab akibat antara
fakta-fakta sejarah yang ada dan tersusun dari waktu ke waktu, meniscayakan
pula kepada kita akan kesadaran evaluatif terhadap hal yang telah dilakukan
dan telah dicapai realitas, dibandingkan dengan hal yang sesungguhnya
diinginkan dicapai dalam tataran ideal (Mahroes, 2015: 78).
Secara umum kemajuan pendidikan dan ilmu pada masa Bani Abbasiyah
dapat disimak berikut ini; Pada masa Dinasti Abbasiyah kehidupan peradaban
Islam sangat maju, sehingga pada masa itu dikatakan sebagai jaman keemasan
Islam. Kaum muslimin telah menggapai puncak kemuliaan dan kekayaan, baik
itu di bidang kekuasaan, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam bidang
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan tentang ilmu agama dan
ilmu pengetahuan umum mengalami kemajuan yang sangat pesat. Berbagai
ilmu telah lahir pada zaman tersebut. Hal ini dikarenakan antara lain:
Berbagai macam penelitian dan kajian tentang ilmu pengetahuan yang
dilakukan oleh para kaum muslimin itu sendiri, kegiatan penerjemahan buku
berbahasa asing seperti Yunani, Mesir, Persia, India, dan lain-lain ke dalam
bahasa Arab dengan sangat gencar. Buku-buku yang diterjemahkan antara lain:
ilmu kedokteran, kimia, ilmu alam, mantiq (logika), filasat al jabar, ilmu falak,
matematika, seni, dan lain-lain. Penerjemahan dan penelitian tersebut pada
umumnya dilaksanakan pada masa kekhalifahan Abu Ja‘far, Harun ar-Rasyid,
al-Makmum, dan Mahdi.
Khalifah Harun ar-Rasyid sangat concern dalam memajukan pengetahuan
tersebut. Beliau mendirikan lembaga ilmu pengetahun yang diberi nama Baitul
Page 129
112
Hikmah sebagai pusat penerjemahan, penelitian, dan pengkajian ilmu
perpustakaan serta lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi).
Buah dari perhatian tersebut kaum muslimin dapat mempelajari berbagai
ilmu dalam bahasa Arab. dan hasilnya bermunculan sarjana-sarjana besar
muslim dari berbagai disiplin ilmu yang sangat terkenal juga ulama-ulama
besar yang sangat tersohor seperti halnya Imam Abu Hanafi-Imam Malik-Imam
Syafei-Imam Hambali, Imam Bukhari, dan Imam Muslim.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan
mulia. Para khalifah dan pembesar lainnya membuka peluang sebesar-besarnya
untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah sendiri
pada umumnya adalah ulama-ulama yang mencintai ilmu, menghormati para
sarjana dan memuliakan para pujangga.
Mereka sungguh menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mereka
menerapkan subtansi dari mempraktikkan syariat Islam: bahwa tinggi
rendahnya derajat dan martabat seseorang tergantung pada banyak sedikitnya
pengetahuan yang ia miliki di samping ketakwaannya pada Allah swt. Allah
swt. berfiman dalam Q.S al-Mujaddalah/58: 11: Artinya: ―Niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu beberapa derajat. (Q.S al-Mujadalah/58: 11)
Para khalifah dalam memandang ilmu pengetahuan sangat menghargai dan
memuliakannya. Oleh karena itu, mereka membuka peluang seluas-luasnya
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan kepada seluruh mahasiswa baik dari
kalangan Islam maupun kalangan lainnya. Para khalifah sendiri pada umumnya
seorang ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan para pujangga.
Kebebasan berfikir sangat dijunjung tinggi. Para sarjana (ulama) dibebaskan
untuk berijtihad mengembangkan daya intelektualnya dan bebas dari belenggu
taqlid. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan umum atau agama berkembang
sangat tinggi. Sebagai bukti antara lain:
Dibentuk Korps Ulama yang anggotanya terdiri dari berbagai negara dan
berbagai agama yang bertugas menerjemahkan, membahas, dan menyusun sisa-
sisa kebudayaan kuno, sehingga pada masa itu muncullah tokoh-tokoh muslim
yang menyebarluaskan agama Islam dan menghasilkan karya-karya yang
besar.
Didirikanlah Baitul Hikmah sebagai pusat penterjemahan, penelitian dan
pengkajian ilmu pengetahuan baik agama maupun umum.
Didirikan ‗Majelis Munazarat‘ yaitu suatu tempat berkumpulnya para
sarjana muslim, untuk membahas ilmu pengetahuan, para sarjana muslim diberi
kebabasan berfikir atas ilmu pengetahuan tersebut.
Hasil Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam pada Masa Dinasti
Abbasiyah. Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada masa
Dinasti Abbasiyah sangat pesat, sehingga lahir beberapa ilmu dalam agama
Islam, antara lain: Ilmu Hadis, Ilmu Tafsir, Ilmu Fikih, Filsafat Islam, Ilmu
Tasawuf, Sejarah, Kedokteran, Matematika, dan Astronomi.
Demikianlah deskripsi umum mengenai kemajuan ilmu ketika zaman
pemerintahan Abbasiyah. Adapun secara institusi pendidikan, umat Islam masa
Bani Abbasiyah dalam sejarahnya memperlihatkan tentang pentingnya
Page 130
113
pendidikan hal ini dapat ditelusuri dari beberapa catatan sejarah (Mahroes,
2015: 91-94) menyatakan: Lembaga pendidikan sebelum madrasah Pertama,
Maktab/ Kuttab. Adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajara yang
diajarkan adalah khat, kaligrafi, al-quran, akidah, dan syair. Kuttab dapap
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan
umum dan yang terbuka terhadap pengetahuan umum. Dalam ensiklopedi Islam
dijelaskan bahwa Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di
dunia Islam, pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan
pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak, dan dinyatakan bahwa kuttab
ini sudah ada di negeri Arab sebelum datangnya agama Islam, namun belum
dikenal. Kedua) halaqah artinya lingkaran. Halaqah merupakan institusi
pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college.
Sistem ini merupakan gambaran tipikal dari murid-murid yang berkumpul
untuk belajar pada masi itu. Guru biasanya duduk di atas lantai sambil
menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap
suatu karya pemikiran. Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru
dengan duduk di atas lantai, yang melingkari gurunya. Ketiga) majelis adalah
institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7 macam
mejelis, yaitu: (1) majelis al-Hadis; (2) majelis al- Tadris; (3) majelis al-
Munazharah; (4) majelis al-Muzakarah; (5) majelis al- Syu‟ara; (6) majelis al-
Adab; dan (7) majel al-Fatwa. 4) masjid merupakan institusi pendidikan Islam
yang sudah ada sejak masa nabi. Masjid yang didirikan oleh penguasa
umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti
tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari berbagai macam
disiplin keilmuwan yang berkembang pada saat itu. 5) Khan. Berfungsi sebagai
asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama antara lain fikih.
6) ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauh dari kehidupan
duniawi untuk mengonsentrasikan diri beribadah semata-mata. Ribath biasanya
dihuni oleh orang-orang miskin. 7) rumah-rumah ulama, digunakan untuk
melakukan transmisi ilmu agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain
perdebatan ilmiah. Ulama yang tidak diberi kesempatan mengajar di institusi
pendidikan formal akan mengajar di rumah-rumah mereka. 8) toko buku dan
perpustakaan, berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan Islam. Di Baghdad
terdapat 100 toko buku. Kesembilan, observatorium dan rumah sakit sebagai
tempat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dan transmisi ilmu
kedokteran.
Madrasah sudah eksis semenjak awal masa kekuasaan Islam bani
Abbasiyah seperti Bait al-Hikmah, yaitu institusi pendidikan tinggi Islam
pertama yang dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al-Makmun, dalam hal
ini Mahroes mengutif dari Asar. Institusi yang mengukir sejarah baru dalam
peradaban Islam dengan konsep multikultural dalam pendidikan, karena subjek
toleransi, perbedaan etnik kultural, dan agama sudah dikenal dan merupakan
hal biasa. Di catatan lain, al-Makrizi berasumsi bahwa madrasah pertama
adalah madrasah Nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.53 Madrasah selalu
dikaitkan dengan nama Nidzam Al-Mulk (W. 485 H/1092 M), salah seorang
Page 131
114
wazir dinasti Saljuk sejak 456 H/1068 M sampai dengan wafatnya, dengan
usahanya membangun madrasah Nizhamiyah di berbagai kota utama daerah
kekuasaan Saljuk. Madrasah Nizhamiyah merupakan prototype awal bagi
lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi
pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem
asrama. Pemerintah atau penguasa ikut terlibat didalam menentukan tujuan,
kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan lain-lain. Kendati
madrasah Nizhamiyah mampu melestarikan tradisi keilmuwan dan
menyebarkan ajaran Islam dalam versi tertentu. Tetapi keterkaitan dengan
standarisasi dan pelestarian ajaran kurang mampu menunjang pengembangan
ilmu dan penelitian yang inovatif. Madrasah di Mekah dan Madinah. Informasi
tentang madrasah mendapat dukungan banyak dari berbagai literatur. Namun
sayang para sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasah di Mekah dan
Madinah. Hal ini mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan
tersebut kurang lengkap. Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah di Mekah
lebih banyak dibandingkan di Madinah. Di antara madrasah Abu Hanifah,
Maliki, madrasah ursufiyah, madrasah muzhafariah, sedangkan madrasah
megah yang dijumpai di Mekah adalah madrasah qoi‟it bey, didirikan oleh
Sultan Mamluk di Mesir.
B. Faktor Kepemimpinan Politik Dinasti Abbasiyah dalam Pengembangan
Ilmu Pengetahuan
Sejarah mencatat; Setelah keruntuhan Dinasti Umayyah, Dinasti
Abbasiyah membangun peradaban Islam atas asas ilmu pengetahuan. Selain itu,
Dinasti Abbasiyah pernah menjadikan aliran Muktazilah sebagai aliran resmi
negara. Aliran ini didukung oleh Khalifah al-Makmun anak dari Harun al-
Rasyid (Amin, 1966: 8). Sebetulnya sebelum al-Makmun, ayahandanya yakni
Harun ar-Rasyid telah menjadi tokoh sentral dari perkembangan sejarah
kebangkitan intelektual pada zaman Abbasiyah. Gerakan intelektual itu ditandai
oleh proyek penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, Sansekerta, Suriah,
dan Yunani ke bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang ilmu
pengetahuan, filsafat, atau sastra yang tidak terlalu banyak. Orang Arab Islam
yang memiliki keingintahuan yang tinggi dan minat belajar yang besar segera
menjadi penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa yang lebih tua dan
berbudaya yang mereka taklukkan atau yang mereka temui (Hitti, 2002: 375).
Selain dari itu Khalifah Abu Ja‘far al-Manshur membangun perpustakaan
Baitul Hikmah, yang kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan serta
pengembangan peradaban intelektual pada masa Abbasiyah. Dalam hal ini
Baghdad sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh khalifah
al-Mansur mencapai puncak kejayaan di masa al-Rasyid walau kota itu belum
lima puluh tahun dibangun. Kemegahan dan kemakmuran tercermin dari istana
khalifah, kemewahan istana muncul terutama dalam upacara-upacara penobatan
khalifah, perkawinan, keberangkatan berhaji, dan jamuan untuk para duta
negara asing (Mufrodi, 1997: 104).
Page 132
115
Sumber lain mencatat bahwasanya Dinasti Abbasiyah terutama pada fase
pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansyur, Khalifah Harun
al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun, merupakan khalifah-khalifah yang sangat
cinta pada ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaannya khalifah-khalifah
sangat menjaga dan memelihara buku-buku baik yang bernuansa agama
maupun umum, baik karya Ilmuwan muslim maupun non muslim, baik karya-
karya Ilmuwan yang semasanya maupun pendahulunya. Hal ini terlihat jelas
dari sikap-sikap khalifah seperti pesannya Harun al-Rasyid kepada para
tentaranya untuk tidak merusak kitab apapun yang ditemukan dalam medan
perang. Begitu juga khalifah al-Makmun yang mengkaji penerjemah-
penerjemah dari golongan Kristen dan lainnya untuk menerjemahkan buku-
buku Yunani, sampai pada akhirnya masih dilalukan pada masa khalifah al-
Makmun Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Suwito,
2005: 47).
Dinasti Abbasiyah pada periode 132 H/750 M. – 232 H./847 M. mencapai
zaman keemasan. Pada periode ini usaha peletakan landasan bagi eksistensi
filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam dinyatakan berhasil. Sejarawan C.E
Bosworth, pernah menyatakan, bahwa tiga abad pertama pemerintahan
Abbasiyah, yakni dari abad ke-8 sampai abad ke-11, ia dapat menyaksikan sisa-
sisa kejayaan Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu eksistensi ilmu pengetahuan
dirasakan benar adanya. Hal tersebut ditandai dengan berbagai literatur ilmu
pengetahuan yang eksis saat itu. Diantaranya seperti kitab kesusastraan, teologi,
filsafat, dan ilmu alam.
Pada sumber yang lain dapat ditemukan pula bahwa popularitas
pemerintahan Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di saat pemerintahan
berada di bawah kekuasaan khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan
putranya Al-Ma‘mun (813-833 M). Kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, kesusantraan, dan kebudayaan mengalami zaman keemasan. Pada
masa inilah zaman keemasan negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat yang tidak tertandingi. Naiknya Harun Al-Rasyid sebagai
khalifah kalima menggantikan Al-Hadi sangat membawa perubahan besar
dalam sejarah Dinasti Abbasiyah. Hal ini ditandai pula dengan banyaknya para
ilmuwan yang hidup pada masa pemerintahannya. Di antaranya, Qadri Abu
Yusuf, keluarga Bermakid, Abu Atahiyah, Ishak al-Mausuli.
Kemajuan yang dicapai Dinasti Abbasiyah di bawah kekuasan khalifah
Harun Al-Rasyid beserta putranya tersebut di atas, paling tidak disokong oleh
gaya kepemimpinan yang mereka anut bersifat terbuka. Hal ini dibuktikan
dengan adanya data keperibadian khalifah Harun Al- Rasyid yang terkenal
murah hati, lebih mengedepankan akal dari pada emosi dan senantiasa berlaku
sopan santun serta dermawan terhadap seluruh rakyatnya. Di masa ini kota
Bagdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan yang sangat pesat.
Data sejarah juga membuktikan bahwa pada masa pemerintahan beliau,
dibangun pula sebuah perpustakaan sebagai pusat telaah referensi ilmu
pengetahuan dan sebagai pusat diskusi ilmu pengetahuan yang diberi nama
Baitul Hikmah yang berarti gedung ilmu pengetahuan.
Page 133
116
Diberitakan pula bahwa pada masa kekuasaan khalifah Harun al-Rasyid,
cabang-cabang ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, astronomi dan
kemiliteran turut mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga para
sejarawan telah membandingkan bahwa khalifah Harun al-Rasyid benar-benar
menempati sebuah derajat yang sangat tinggi dan agung dalam hal kebudayaan
dan peradaban, jika dibandingkan dengan Karel Agung di Eropa yang menjalin
persahabatan dengannya. Bagdad sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah memang
tidak ada yang dapat menyaingi walaupun dengan Kostantinopel yang
merupakan ibu kota Binzantium (Muksin, 2016: 16-17).
Pada masa berkuasanya dinasti Abbasiyah lembaga pendidikan dan
perkembangan ilmu pengetahuan bergerak begitu cepat menurut (Amin, 1978:
207) disebabkan karena beberapa faktor diantaranya sebagai berikut:
Pertama, pada masa ini perkembangan pemikiran baik itu intelektual
maupun keagamaan sangat pesat sekali. Hal tersebut disebabkan pada masa ini
adanya kesiapan umat Islam untuk menyerap berbagai budaya dan khazanah
peradaban besar dan melakukan perkembangan secara inovatif. Pada masa ini
umat Islam atas dukungan dari khalifah yang berkuasa bersikap terbuka
terhadap seluruh umat manusia yang non Arab (mawali) yang pada akhirnya
mereka masuk Islam.
Kedua, Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah seperti yang terjadi pada masa
Dinasti Umayyah.
Ketiga, adanya toleransi sehingga Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab
(dinasti abbasiyah) dengan bangsa lain (non-Arab) yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Adanya asimilasi
yang intens tersebut menyebabkan bangsa non-Arab banyak yang menganut
agama Islam. Sehingga dengan masuk Islam, mereka dapat memberikan saham
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Seperti pengaruh bangsa
Persia yang sangat baik dalam menata sistem pemerintahan, penguasaan dalam
ilmu filsafat dan sastra.
C. Perkembangan Ilmu dan Ilmuwan-Ilmuwan Terkemuka pada Masa
Pemerintahan Bani Abbasiyah
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan ilmu dengan
lembaga pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah berkembang dengan pesat.
Pada bagian ini akan dikemukakan para Ilmuwan yang kompeten dalam
bidangnya masing-masing, hal ini perlu dideskripsikan untuk memperkuat
bahwa perkembangan ilmu ketika itu begitu pesat.
1. Ilmu Tafsir
Masuknya pengaruh pemikiran para ilmuwan dan filsuf Yunani sejak
masa Dinasti Abbasiyah, memunculkan nuansa baru dalam upaya
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‘an. Para ulama Muslim coba
melakukan penafsiran dengan pisau filsafat. Mereka juga berusaha
menggali berbagai ilmu pengetahuan dari al-Qur‘an terutama ketika harus
menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan alam (kawniyyah).
Page 134
117
Banyak di antara para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat kawniyyah
berusaha membekali dirinya dengan teori-teori ilmiah yang sudah ada.
Penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat kawniyyah dengan pendekatan
teori atau penemuan-penemuan ilmiah tersebut menimbulkan term baru
dalam sejarah perkembangan tafsir. Dan dalam perkembangan berikutnya
corak penafsiran ini kemudian lebih dikenal dengan istilah al-tafsir al-
„ilmiy (Pasya, 2006: 98).
Pada permulaan zaman Abbasiyah, barulah ulama-ulama
mengumpulkan hadits-hadits tafsir yang diterima dari sahabat dan tabi‘in.
Mereka menyusun tafsir dengan cara menyebut sesuatu ayat, kemudian
menyebut nukilan-nukilan mengenai tafsir ayat itu dari sahabat dan
tabi‟in. Selain itu, tafsir juga belum mempunyai bentuk yang tertentu dan
belum tertib mushhaf. Hadis-hadis tafsir diriwayatkan secara berserak-
serak untuk tafsir bagi ayat-ayat yang terpisah-pisah dan masih bercampur
dengan hadits-hadits lain yakni hadits-hadits mu‟amalah, hadits
munakahah dan sebagainya. Demikian keadaan tafsir pada tingkat
pertama. Adapun tafsir-tafsir yang terkenal zaman itu adalah :Tafsir As-
Suddy (127 H), Tafsir Ibn Jurraij (150 H), Tafsir Muqatil (150 H), Tafsir
Muhammad ibn Ishaq, Tafsir Ibnu Uyainah, Tafsir Waki‟ ibn Al-Jarrah.
Semua tafsir-tafsir ini telah hilang dibawa arus masa, tidak ada yang
sampai kepada kita. Selain itu kebanyakan isi kandungannya telah
ditampung oleh tafsir Ibnu Jarir ath-Thabary (310 H).
Lebih lanjut "tafsir" merupakan ilmu yang membuka tabir tentang
makna ayat-ayat al-Quran serta menguraikan maksud dan tujuan Allah dari
ayat itu sesuai dengan kemampuan manusia (Musthafa, 1989: 15). Abu
Jarir at-Tabari dengan tafsirnya Al-Qur‘anul Azim sebanyak 30 juz
merupakan salah satu ahli hadist ketika masa pemerintahan Bani
Abbasiyah. Nama lengkapnya Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid
bin Katsir bin Khalid al-Tabari, ada pula yang mengatakan Abu Ja'far
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Tabari (Husain al-
Dzahabi, 1976: 205). Al-Tabari dilahirkan pada tahun 223 H (838-839 M),
sumber lain menyebutkan bahwa al-Tabari lahir pada tahun 224 H atau
awal 225 H (839- 840 M), dan meninggal pada tahun 311 H/923 M,
sementara sumber lain menyebutkan pada tahun 310 H (Yusuf, 2004: 20-
21).
Al-Tabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang
memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan terutama
dibidang keagamaan, berbarengan dengan situasi Islam yang sedang
mengalami kejayaan dan kemajuan dibidang pemikirannya. Kondisi sosial
yang demikian secara psikologis turut berperan dalam membentuk
kepribadian al-Tabari dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu.
Iklim kondusif seperti itulah secara ilmiah telah mendorongnya untuk
mencintai ilmu semenjak kecil (Yusuf, 2004: 21).
Karir pendidikan di awali dari kampung halamannya Amul tempat yang
cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan
al-Tabari. Ia di asuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy,
Page 135
118
Basrah, Kufah, Mesir, Siria dalam rangka al-rihlah fi thalab al-ilm dalam
usianya yang sangat belia. Di Rayy ia berguru kepada ibn Humayd, Abu
Abdullah Muhammad Bin Humayd al-Razi. Selanjutnya ia menuju ke
Bagdad untuk berguru kepada Ibn Hambal, ternyata sesampainya di
Bagdad Ibn Hambal telah wafat dan al-Tabari pun berputar haluan menuju
dua kota besar selatan Bagdad yakni Basrah dan Kufah, sambil mampir ke
wasit karena satu jalur perjalanan dalam rangka studi dan riset. Di Basrah
ia berguru kepada Muhammad bin „Abd „Ala al-San‟ani (W 245 H/859
M), Muhammad bin Musa al-Harasi (W 248 H/862 M) dan Abu As‟as
Ahmad bin al-Miqdam (W 253 H/867 M). Dalam bidang fikih khususnya
mazhab al-Syafi‟I ia berguru pada al-Hasan Ibn Muhammad al-Za‟farany.
Khusus dalam bidang tafsir al-Tabari berguru pada seorang Basrah
Humayd bin Mas‟adah dan Basir bin Mu‟az al-„Aqadi (W akhir 245
H/859-860 M), meski sebelumnya pernah banyak menyerap pengetahuan
tafsir dari seorang kufah yang bernama Hannad bin al-Sari (W 243 H/857
M (Yusuf, 2004: 5-6).
Kota Bagdad, menjadi domisili terakhir al-Tabari, sejumlah karya telah
berhasil ia keluarkan dan akhirnya wafat pada Senin, 27 Syawwal 310 H
bertepatan dengan 17 Februari 923M. Kematiannya dishalati oleh
masyarakat siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya
(Rosenthal, 1989: 78).
Dalam dunia ilmu tafsir disebutkan bahwa tafsir Ibnu Jarir al-Tabari ini
merupakan tafsir yang pertama di antara sekian banyak kitab-kitab tafsir
pada abad-abad pertama, juga sebagai tafsir pertama pada waktu itu karena
merupakan kitab tafsir yang pertama yang diketahui, sedangkan kitab-kitab
tafsir yang mungkin ada sebelumnya telah hilang ditelan peradaban waktu
atau zaman (Salimuddin, 1990: 135). Syekh al-Islam Taqi ad-Din Ahmad
bin Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang manakah yang lebih dekat
dengan al-Qur‗an dan As-Sunnah? Beliau menjawab bahwa di antara
semua tafsir yang ada pada kita, tafsir Muhammad bin Jarir al-Tabari lah
yang paling otentik (Ushama, 2000: 68).
Ia tidak memakan lemak dan daging yang akan dimakannya terlebih
dahulu dibersihkan dari tulang dan lemaknya serta dimasak dengan zabib
(anggur atau buah tin yang telah dikeringkan/kismis). Ia berpantang dari
kurma yang dinilainya dapat merusak gigi. Susu kambing diminumnya
setelah disaring. Di samping itu ia selalu menyiapkan obat-obatan yang
diminumnya setelah makan. Ia tidur dengan baju lengan pendek yang
terbuat dari bahan halus dan dicelup dengan air mawar serta kayu gaharu.
Bila ia duduk (mengajar) hampir tidak terdengar ia mendehem, tidak pula
pernah terlihat meludah. Ia dikenal sangat memperhatikan keserasian dan
keindahan pakaiannya, sehingga selalu nampak tampan dan teratur.
Ayahnya tergolong kaya dan saleh, meniggalkan warisan berupa kebun
yang dari hasilnya membiayai kehidupan al-Tabari; namun demikian, ia
dikenal sangat zahid (tidak terpengaruh oleh kenikmatan duniawi). Ia
hidup membujang sepanjang usianya (Ismatulloh, 2012: 206). Ia
meninggal pada usia 85 tahun.
Page 136
119
2. Ilmu Hadist
Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat pada zaman dinasti
Abbasiyah, khusunya ketika al-Rasyid dan penerusnya al-Makmun
berkuasa. Ilmu hadist merupakan salah satu ilmu yang penting bagi umat
Islam untuk mengetahui hukum-hukum Islam dari A hingga Z, sebab hadis
sendiri diperuntukkan menjelaskan kandungan ayat suci al-Quran. Abad ke
3 Hijriah disaksikan penyusunan enam kitab hadis yang saat itu menjadi
kitab hadis standar. Yang paling otoritatif adalah yang dihimpun
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (810-870) dengan shahih Bukharinya;
diikuti Muslim ibn al-Hajjaj (w.875) dengan shahih muslimnya, Sunan
Abu Dawud dari Bashrar (w.888), jami‘ al-Tirmizi (w.±892), Sunan Ibn
Majah dari Qazwin (w.886), dan Sunan al-Nasa‘i (w.915) Begitulah
perjalanan sejarah kebangkitan intelektual Islam, dimulai dari era
penerjemahan berlanjut pada babak aktivitas kreatif penulisan karya-karya
orisinil mengantarkan peradaban Islam menjadi perdaban terhormat di
abad pertengahan. Era ini ditandai sebagai proyek pembangunan budaya
melalui dua pendekatan atau strategi, (1) membaurkan kebijakan kuno
Persia dan klasik Yunani, (2) Mengadaptasi keduanya sesuai kebutuhan
khusus dan paradigma ‗pola pikir‘ peneliti. Upaya transmisi pengetahuan
tersebut masuk ke daratan Eropa melalui Suriah, Spanyol dan Sisilia, dan
gerakannya mendominasi pemikiran eropa abad pertengahan yang
mendobrak munculnya renaisan Eropa (Mahroes, 2015: 89).
Adapun beberapa ahli ilmu hadist pada zaman Abbasiyah dapat disimak
berikut ini:
1. Imam Bukhari. Terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan
dengan 21 Juli 810 M. Beliau adalah ahli hadis termasyhur. Imam
Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau pemimpin kaum
mukmin dalam hal ilmu hadis. Nama lengkapnya Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-
Ju‘fi al-Bukhari. Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan
penglihatannya. Bersama gurunya Syekh Ishaq, ia menghimpun
hadits-hadis shahih dalam satu kitab, dari satu juta hadis yang
diriwayatkan 80 ribu perawi disaringnya menjadi 7.275 hadis. Ia
menghabiskan waktunya untuk menyeleksi hadits shahih selama 16
tahun. Shahih Bukhari adalah salah satu karyanya yang paling
fenomenal.
2. Imam Muslim. Imam Muslim lahir pada 204 H atau 819 M. Ada pula
yang berpendapat beliau lahir pada tahun 202 H atau 206 H. Seorang
ahli hadis kontemporer asal India, Muhammad Mustafa Azami, lebih
menyetujui kelahiran Imam Muslim pada 204 H. Azami dalam
Studies In Hadith Methodology and Literature, mengatakan, sejarah
tidak dapat melacak garis keturunan dan keluarga sang imam. ejarah
hanya mencatat aktivitas Imam Muslim dalam proses pembelajaran
dan periwayatan hadis. Pada masa beliau, rihlah (pengembaraan)
untuk mencari hadis merupakan aktivitas yang sangat penting. Imam
Muslim pun tak ketinggalan mengunjungi hampir seluruh pusat-pusat
Page 137
120
pengajaran hadis. Adz-Dzahabi dalam karyanya Tadzkirat al-Hufazh
menyebutkan bahwa Imam Muslim mulai mempelajari hadis pada
218 H. Ia menulis kitab Al-Musnad ash-Shahih atau yang lebih
dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab yang satu ini menempati
kedudukan istimewa dalam tradisi periwayatan hadis. Dan, dipercaya
sebagai kitab hadis terbaik kedua setelah kitab Shahih Bukhari karya
Imam Bukhari.
3. Imam Abu Dawud. Ia bernama lengkap Sulaiman bin al-Asy'ats bin
Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amru bin Amir al-Azdi al-Sijistani.
Dunia Islam menyebutnya Abu Dawud. Beliau adalah seorang imam
ahli hadis yang sangat teliti dan merupakan tokoh terkemuka para
periwayat hadis. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Menurut Syekh Muhammad Said Mursi, dalam Tokoh-tokoh Besar
Islam Sepanjang Sejarah, Imam Abu Dawud, dikenal sebagai
penghafal hadis yang sangat kuat. Ia menguasai sekitar 500 ribu
hadis. Sejak kecil, Abu Dawud sudah mencintai ilmu pengetahuan.
4. Imam At-Tirmizi. Imam At-Tirmidzi adalah orang pertama yang
mengelompokkan hadis dalam kategori hasan, di antara sahih dan
dhaif. Imam At-Tirmidzi adalah satu dari enam ulama hadis
terkemuka. Nama besarnya mengacu kepada tempat kelahirannya,
yaitu Turmudz, sebuah kota kecil di bagian utara Iran. Nama
lengkapnya Muhammad bin Isa bin Saurah bin Adh-Dhahak As-
Salami Al-Bughi. Ia sering dipanggil Abu Isa. Lahir pada bulan
Zulhijjah tahun 209 Hijrah. Yusuf bin Ahmad al-Baghdadi,
menuturkan, Abu Isa mengalami kebutaan pada masa menjelang akhir
usianya.Semenjak kecil, At-Tirmidzi sudah gemar mempelajari
berbagai disiplin ilmu keislaman, termasuk ilmu hadis. Ia mulai
mempelajari ilmu hadis ketika berumur 20 tahun di sejumlah kota-
kota besar di wilayah kekuasaan Islam saat itu, di antaranya adalah
Kota Khurasan, Bashrah, Kufah, Wasith, Baghdad, Makkah,
Madinah, Ray, Mesir, dan Syam.
5. An-Nasa‘i. Ia lahir di Nasa, Khurasan pada tahun 830 M dan
meninggal di Damaskus pada tahun 915 M. Nama lengkapnya adalah
Ahmad bin Syu‘aib bin Ali bin Bahr bin Sinan. An-Nasa‘i menulis
beberapa kitab, di antaranya yaitu as-Sunan al-Kubra (sunah-sunah
yang Agung), as-Sunah al-Mujtaba (sunah-sunah pilihan) dan banyak
yang lainnya.
6. Ibnu Majah. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid
bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini. Ia dilahirkan pada tahun 207
Hijriah dan meninggal pada hari selasa, delapan hari sebelum
berakhirnya bulan Ramadan tahun 275. Ia menuntut ilmu hadis dari
berbagai negara hingga beliau mendengar hadis dari madzhab Maliki
dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari
beliau. Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah, salah satu
kitab yang masuk dalam Kutub As-Sittah.
Page 138
121
Dalam hal ilmu hadist imam Bukhori memiliki tempat yang
menonjol, baik secara metodologi maunpun secara spiritual. Sebelum
menetapkan sebuah hadis menjadi sahih, Bukhari senantiasa menelitinya,
mulai dari kualitas hadis, jumlah periwayat (perawi), keadilan dan tingkat
hafalan periwayat, hingga mutawatir (bersambung) ke Rasulullah. Imam
Bukhari dikenal sebagai seorang ulama dan ahli dalam ilmu hadis.
Ketelitian dan kecermatannya untuk mengumpulkan hadis-hadis sahih
telah diakui para ulama. Bahkan, kitab hadis yang disusunnya (Sahih
Bukhari) menjadi rujukan hampir semua ulama di dunia. Nama besarnya
sejajar dengan para ahli hadis yang pernah ada sepanjang zaman. Nama
lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
al-Mugirah bin Bardizbah al-Bukhari. Dilahirkan di Bukhara, Samarkand
(sekarang), Uzbekistan, Asia Tengah, pada 13 Syawal 194 H atau
bertepatan pada 21 Juli 810 M. Tak lama setelah lahir, beliau kehilangan
penglihatannya. Kemudian, dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa pada
suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi melihat Nabi Ibrahim AS
yang mengatakan, ''Hai Fulanah, sesungguhnya Allah telah
mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau
berdoa.'' Ternyata, pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa kedua
mata putranya telah bisa melihat kembali.
Iman Bukhari kecil dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama.
Dalam kitab Ast-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal
sebagai orang yang wara' dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang
bersifat syubhat (samar) hukumnya, terlebih lagi terhadap hal yang haram.
Ayahnya adalah seorang ulama bermazhab Maliki dan merupakan murid
dari Imam Malik, yaitu seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat
ketika Bukhari masih kecil. Sejak kecil, Imam Bukhari memang telah
menunjukkan bakatnya yang cemerlang dan luar biasa. Dia mempunyai
ketajaman ingatan dan hafalan yang melebihi orang lain. Ketika berusia 10
tahun, Bukhari selalu datang dan mempelajari ilmu hadis kepada ad-
Dakhili, salah seorang ulama yang ahli dalam bidang tersebut. Setahun
kemudian, ia mulai menghafal hadis Nabi SAW dan sudah mulai berani
mengoreksi kesalahan dari guru yang keliru menyebutkan periwayatan
hadis. Pada usia 16 tahun, dia telah menghafal hadis-hadis yang terdapat
dalam kitab karangan Ibnu Mubarak dan karangan Waki' al-Jarrah.
Menurut Ahmad Shalaby (Intan, 2018: 171-172) menyatakan
bahwasanya perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era
Abbasiyah, yaitu mulai pada pertengahan abad ketiga, muncul trend baru
yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadits, yaitu
munculnya kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan
penelitian dan pemisahan hadits-hadits sahīh dari yang dla`īf sebagaimana
dilakukan oleh Al-Bukhari (w.256), Muslim (w.261), Ibn Mājah (w.273),
Abu Dāwud (w.275), Al-Tirmidzi (w. 279), serta Al-Nasā‘i (w.303).
Pada masa ini, ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari
ilmu Hadis. Buku tafsir lengkap dari al-Fātihah sampai al-Nās juga mulai
disusun. Menurut catatan Ibn al-Nadīm yang pertama kali melakukan
Page 139
122
penyusunan tafsir lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyād al-Daylamy
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farrā.
3. Ilmu Fiqih
Pada akhir kekuasaan Bani Umayyah dan awal kekuasaan Bani
Abbasiyah perkembangan ilmu fiqih semakin pesat, terutama yakni empat
imam yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. pengaruh peristiwa
politik dengan perkembangan fikih terjadi pada abad II H sejak akhir
pemerintahan Bani Umayyah hingga masa munculnya khalifah Bani
Abasiyyah. Kemudian pada masa Bani Abbasiyah ulama dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok ulama Kuffah dan Madinah, di mana
pemerintahan Kuffah. Setelah itu pada abad III H kelompok ulama tersebut
lebih mengarah pada penokohan pribadi sebagai contoh: Mazhab Hanafi,
Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali (terkenal dengan fikih personal). Awal abad
ketiga hijriyah ini telah berkembang di masyarakat muslim lebih dari lima
ratus mazhab, namun yang mampu bertahan hanya ada beberapa mazhab
yang berkembang, di antaranya Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi‘i, Hanbali,
Zaidiyah, Imamiyah, dan Ibadiyah (Imbabi: 140).
Keempat mazhab fiqih ini telah mempengaruhi perkembangan Islam.
Perbedaan implementasi fiqih berdasarkan mazhab masing-masing dalam
suatu komunitas tak jarang menjadi perdebatan yang tak berkesudahan.
Namun toleransi merupakan kunci terjaganya persaudaraan dalam iman.
Berikut empat sejarah dan karakteristik mazhab fiqih tersebut yang dilansir
dari kanal Youtube Catatan Ringan.
1. Hanafi. Mazhab Hanafi atau Hanafiah didirikan oleh Nu'man bin
Tsabit atau yang lebih terkenal dengan nama Abu Hanifah. Ia wafat
767 masehi. Pemikiran hukumnya bercorak rasional. Mazhab ini
berasal dari Kufah, sebuah kota yang telah mencapai kemajuan yang
tinggi di Iraq. Sehingga persoalan yang muncul banyak dipecahkan
melalui pendapat, analogi, dan qiyas khafi. Karyanya yang terkenal
adalah Fiqh Al-Akbar. Mazhab Hanafi merupakan mazhab fiqih
dengan jumlah pengikut terbesar di dunia dengan jumlah pengikut
sebanyak 675 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak
mazhab ini adalah Pakistan, India, Bangladesh, Turki, Afganistan, dan
Uzbekistan. Pada masa Turki Utsmani, mazhab ini merupakan
mazhab resmi kerajaan. Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah
Abu Yusuf yaitu guru Imam Ahmad, asy-Syaibani yaitu guru Imam
Syafi'i, Abu Mansur Al-Maturidi, Jalaluddin Al-Rumi, dan Bahauddin
Naqsyaban.
2. Maliki. Mazhab Maliki atau Maliki adalah mazhab yang didirikan
oleh Malik bin Anas atau yang biasa dikenal dengan nama Imam
Malik. Imam Malik wafat pada 797 Masehi. Sepanjang hidupnya
Malik tidak pernah meninggalkan Madinah, kecuali untuk keperluan
ibadah haji. Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunnah yang
cenderung tekstual. Imam Malik juga termasuk periwayat hadist.
Karyanya yang terkenal adalah al-Muwattha', yaitu hadis yang
bercorak fiqih. Imam Malik juga dikenal sebagai seorang Mufti dalam
Page 140
123
kasus-kasus yang dihadapi. Salah satu fatwanya bahwa baiat yang
dipaksakan hukumnya tidak sah. Selain itu pemikirannya juga banyak
menggunakan tradisi bangsa Madinah. Mazhab Maliki merupakan
mazhab fiqih dengan pengikut yang terkonsentrasi pada wilayah
Afrika Utara dan Afrika Barat dengan jumlah pengikut sebanyak 270
juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini
adalah Maroko, Al-Jazair, Mesir, Sudan, Nigeria, dan Tunisia. Murid
atau pengikutnyayang terkenal adalah Imam Syafi'i, Yahya Al-Laitsi,
Ibnu Rusdi, AI Qurthubi, Ibnu Batutah, dan Ibnu Khaldun.
3. Syafi'i Mazhab Syafi'i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin
ldris as-syafi'i. Ia wafat pada 767 masehi. Selama hidup Beliau pernah
tinggal di Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak
pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis
dan tradisionalis. Selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan
ijma, Imam Syafl'i juga berpegang pada qiyas. Beliau disebut juga
sebagai orang pertama yang membukukan ilmu usul Fiqih. Karyanya
yang terkenal adalah AI-Umm dan Ar-Risalah. Pemikirannya yang
cenderung moderat diperlihatkan dalam Qaul Qadim (pendapat yang
baru) dan Qaul Jadid (pendapat yang lama). Untuk penyebarannya
mazhab Syafl'i diikuti oleh 495 juta jiwa. Negara-negara dengan
mayoritas pengikut mazhab ini adalah Indonesia, Ethiopia, Malaysia,
Yaman, Mesir, dan Somalia. Murid atau pengikutnya yang terkenal
adalah Imam Ahmad AI Ghazali, lbnu Katsir, lbnu Majah, An
Nawawi, Ibnu Hajar al-'Asqalani, Abu Hasan Al Asy'ari, dan Said
Nursi.
4. Hambali. Mazhab Hambali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin
Muhammad bin Hambal atau dikenal dengan nama Imam Hambali. Ia
wafat pada 855 masehi. Pada masa mudanya beliau berguru kepada
Abu Yusuf dan Imam Syafi'i. Corak pemikirannya tradisionalis, selain
berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijtihad, Beliau juga
menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa. Selain sebagai
seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist. Karyanya yang
terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi SAW.
Mazhab Hambali merupakan mazhab fiqih dengan pengikut
terkonsentrasi di wilayah Teluk Persia dengan jumlah pengikut
sebanyak 41 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak
mazhab ini adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Murid
atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Bukhori, Abdul Qodir
Al Jailani, lbnu Qudammah, lbnu Taimiyah, Ibnu Qaiyyim Al
jauziyyah, Adz-Dzahabi, dan Muhammad bin Abdul Wahab.
Abu Hanifah adalah orang pertama yang sibuk dengan fiqih prediksi,
yakni memaparkan permasalahan yang belum terjadi dan menjelaskan
hukum-hukumnya dengan harapan bila peristiwa itu terjadi maka
hukumnya telah tersedia (As-Sayis, 1996: 142). Dimulai pada abad ke-8
M, sejumlah pakar memberi sumbangan luar biasa kepada disiplin ilmu
fiqih, sehingga merangsang kemunculan berbagai tradisi atau mazhab.
Page 141
124
Pakar-pakar terpenting dalam tradisi tradisi Sunni antara lain: Abu
Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i, dan Ahmad
ibn Hanbal, yang dinisbahkan kepada mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‘i,
dan Hanbali (Esposito, 2002:192). Mahzab Hanafi berkembang saat Abu
Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qodli dalam tiga
pemerintahan Abbasiyah, yaitu khalifah al-Mahdi, al-Hadi, dan Harun al-
Rasyid (dengan kitab al-Kharaj disusun atas permintaannya). Mazhab
Malik berkembang atas dukungan al-Mansur di Khalifah Timur dan
Yahya bin Yahya diangkat menjadi qodli oleh para penguasa Andalusia.
Di Afrika, Mu‘iz Badis mewajibkan seluruh penduduk mengikuti
mazhab Maliki. Mahzab Syafi‘i membesar di Mesir setelah Shalahuddin
al-Ayyubi merebut negeri itu. Mazhab Hanbali kuat setelah al-
Mutawakkil diangkat menjadi Khalifah Abbasiyah. Ketika itu,al-
Mutawakkil tidak akan mengangkat seorang qadli kecuali atas
persetujuan Ahmad bin Hanbal (Mubarok, 2000:132-133).
4. Ilmu Sosial/ Sosiologi
Ibnu Khaldun merupakan tokoh Ilmuwan yang hidup pada zaman
dinasti Abbasiyah, prestasi keilmuwannya mencangkup hampir semuan
wilayah ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi sehingga tersemat padanya
sebagai bapak sosiolog Islam. Tak terkecuali sumbangsih keilmuwannya
mencakup bidang pendidikan dan psikologi. Keluarganya berasal dari
Hadramaut dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi yang
bernama Wayl ibn Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu Wayl,
Khalid ibn ‗Utsman, memasuki Andalusia bersama orang-orang Arab
penakluk di awal abad ke-3 H/ 9 M. Anak cucu Khalid membentuk satu
keluarga besar dengan nama Bani Khaldun. Bani Khaldun ini pertama
kali berkembang di kota Qarmunah di Andalusia. Di kota inilah mereka
bertempat tinggal sebelum hijrah ke kota Seville. Di kota ini, anggota
keluarga Bani Khaldun mulai menduduki jabatan penting. Namun, ketika
dinasti Al-Muwahhidun mengalami kemunduran di Andalusia dan
kekuasaannya jatuh ke penguasa Kristen, Bani Hafs pun penguasa Seville
hijrah ke Tunisia. Begitu juga dengan Bani Khaldun. Di sana Abu Bakar
Muhammad (kakek kedua Ibnu Khaldun) diangkat sebagai Gubernur
Tunisia sedangkan anaknya, Muhammad ibn Abi Bakar yaitu kakek
pertama Ibnu Khaldun, diangkat sebagai menteri kehakiman (Yatim,
1997: 139).
Lebih lanjut mengenai Ibnu Khaldun; Dunia mendaulatnya sebagai
Bapak Sosiologi Islam'. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba
bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir
Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint,
Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer
mengagumi pemikirannya. Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood
menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus
sarjana. Dialah Ibnu Khaldun, penulis buku yang melegenda, Al-
Muqaddimah. Ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332
Page 142
125
atau 1 Ramadhan 732 H itu memiliki nama lengkap Waliuddin
Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili.
Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (Yaman) yang bermigrasi ke
Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M, setelah semenanjung itu ditaklukan
Islam. Setelah Spanyol direbut penguasa Kristen, keluarga besar Ibnu
Khaldun hijrah ke Maroko dan kemudian menetap di Tunisia. Di kota itu,
keluarga Ibnu Khaldun dihormati pihak istana dan tinggal di lahan milik
dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibnu Khaldun sudah hidup dalam
komunitas kelas atas.
Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam berada diambang
degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah Abbasiyah di ambang
keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad
dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar
tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Guru pertama
Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal
Alquran dan menguasai tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama,
fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Andalusia yang hijrah ke
Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam semua
bidang studi. Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak
usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah penyakit pes yang
menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai
Black Death itu, para ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh
(Maroko).
Ahmad Syafii Ma‘arif dalam bukunya Ibn Khaldun dalam
pandangan Penulis Barat dan Timur memaparkan, di usia yang masih
muda, Ibnu Khaldun sudah menguasi berbagai ilmu Islam klasik seperti
filsafat, tasawuf, dan metafisika. Selain menguasai ilmu politik, sejarah,
ekonomi serta geografi, di bidang hukum, ia juga menganut madzhab
Maliki. Sejak muda, Ibnu Khaldun sudah terbiasa berhadapan dengan
berbagai intrik politik. Pada masa itu, Afrika Utara dan Andalusia sedang
diguncang peperangan. Dinasti-dinasti kecil saling bersaing
memperebutkan kekuasaan, di saat umat Islam terusir dari Spanyol. Tak
heran, bila dia sudah terbiasa mengamati fenomena persaingan keras,
saling menjatuhkan, saling menghancurkan. Di usianya yang ke-21, Ibnu
Khaldun sudah diangkat menjadi sekretaris Sultan Al-Fadl dari Dinasti
Hafs yang berkedudukan di Tunisia. Dua tahun kemudian, dia berhenti
karena penguasa yang didukungnya itu kalah dalam sebuah pertempuran.
Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di Maghrib Tengah (Aljazair). Ia
berupaya untuk bertemu dengan Sultan Abu Anam, penguasa Bani Marin
dari Fez, Maroko, yang tengah berada di Maghrib Tengah. Lobinya
berhasil. Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis ilmu
pengetahuan dan sekretaris sultan setahun kemudian. Ia menduduki
jabatan itu selama dua kali dan sempat pula dipenjara. Ibnu Khaldun
kemudian meninggalkan negeri itu setelah Wazir Umar bin Abdillah
murka. Ia kemudian terdampar di Granada pada 764 H. Sultan Bani
Ahmar menyambut kedatangannya dan mempercayainya sebagai duta
Page 143
126
negar di Castilla, sebuah kerajaan Kristen yang berpusat di Seville.
Tugasnya dijalankan dengan baik dan sukses. Namun tak lama
kemudian, hubungannya dengan Sultan kemudian retak.
Dua tahun berselang, jabatan strategis kembali didudukinya.
Penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad mengangkatnya menjadi
perdana menteri sekaligus, khatib dan guru di Bijayah. Setahun
kemudian, Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, gubernur
Qasanthinah (sebuah kota di Aljazair). Ibnu Khaldun lalu hijrah ke
Baskarah. Ia kemudian berkirim surat kepada Abu Hammu, sultan
Tilmisan dari Bani Abdil Wad yang isinya akan memberi dukungan.
Tawaran itu disambut hangat Sultan dan kemudian memberinya jabatan
penting. Iming-iming jabatan itu ditolak Ibnu Khaldun, karena akan
melanjutkan studinya secara otodidak. Ia bersedia berkampanye untuk
mendukung Abu Hammu. Sikap politiknya berubah, tatkala Abu Hammu
diusir Sultan Abdul Aziz. Ibnu Khaldun kemudian berpihak kepada
Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Tak lama kemudian, Tilmisan
kembali direbut Abu Hammu. Ia lalu menyelamatkan diri ke Fez,
Maroko pada 774. Saat Fez jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad,
ia kembali pergi ke Granada buat yang kedua kalinya. Namun, penguasa
Granada tak menerima kehadirannya. Ia balik lagi ke Tilmisan. Meski
telah dikhianati, namun Abu Hammu menerima kehadiran Ibnu Khaldun.
Sejak saat itulah, Ibnu Khaldun memutuskan untuk tak berpolitik praktis
lagi. Ibnu Khaldun lalu menyepi di Qa'lat Ibnu Salamah dan menetap di
tempat itu sampai tahun 780 H. Dalam masa menyepinya itulah, Ibnu
Khaldun mengarang sejumlah kitab yang monumental. Di awali dengan
menulis kitab Al-Muqaddimah yang mengupas masalah-masalah sosial
manusia, Ibnu Khaldun juga menulis kitab Al-`Ibar (Sejarah Umum).
Pada 780 H, Ibnu Khaldun sempat kembali ke Tunisia. Di tanah
kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab Al'Ibar. Empat tahun
kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan
politik di Maghrib. Di Kairo, Ibnu Khaldun disambut para ulama dan
penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia didaulat raja
menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak
lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ibnu
Khaldun sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran
keluarganya mengalami kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi
menjadi dosen di sejumlah madrasah. Setelah menunaikan ibadah haji, ia
kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada
803 H, dia bersama pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus
untuk mengusir Timur Lenk, penguasa Mogul. Berkat diplomasinya yang
luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa bertemu Timur Lenk yang dikenal
sebagai penakluk yang disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur.
Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo dan kembali ditunjuk menjadi
ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808 H di
Kairo. Meski dia telah berpulang enam abad yang lalu, pemikiran dan
Page 144
127
karya-karyanya masih tetap dikaji dan digunakan hingga saat ini
(https://republika.co.id, 2017: Akses 2020).
Gagasan mengenai ilmu-ilmu sosial merupakan ciri khas dari Ibnu
Khaldun ia begitu rasional membaca perihal gejala-gejala sosial termasuk
dalam bidang politik. Gagasan Ibnu Khaldun tentang negara yang dikaji
melalui pendekatan sosiologis diilustrasikan dengan sifat alamiah
manusia yang senantiasa hidup berkelompok, saling menggantungkan
diri, dan tidak mampu hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang
lain (zon politicon). Sehingga dari sifat alamiah tersebut serta dibarengi
adanya tujuan yang sama dari masing-masing manusia, kemudian
terbentuklah „ashabiyah di antara mereka. Kesatuan sosial ini terbentuk
sejak mulai dari kelompok terkecil sampai kepada kesatuan kelompok
manusia yang paling besar (Muhammad, 2000: 8). Pendirian lembaga
tersebut pada akhirnya membentuk kekuasaan terpusat pada satu orang
pemegang kepemimpinan, dan memegang penuh atas berjalannya roda
pemerintahan. Kekuasaan yang dipegang seseorang maka dimungkinkan
akan terjadi distorsi dan anomali terhadap kewenangan pemerintah.
Kekuasaan yang begitu besar akan membawa kekuasaan yang
berorientasi untuk mendapatkan kesenangan, kemewahan, dan
kepentingan pribadi (self-interest), sehingga akan berdampak negatif bagi
kelangsungan negara tersebut (Muhammad, 2000: 8). Demikian potret
singkat kehebatan Ibnu Khaldun sebagai sosok Ilmuwan sosial kendati
hidup ketika dinasti Abbasiyah diambang kehancurannya. Hal yang
menarik disoroti yakni risalah-risahan Ibnu Khaldun tentang pendidikan:
Ia menjelaskan bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk
memahami keadaan dengan kekuatan pemahaman melalui perantara
pikirannya yang ada dibalik panca indera. Manusia juga mempunyai
kecenderungan untuk mengembangkan diri dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sehingga tercapai realitas kemanusiaan dengan pendidikan
yang merupakan hasil pengembangan diri. Dengan hal tersebut akan
membentuk kehidupan masyarakat yang berbudaya dan masyarakat yang
mampu bekerja untuk melestarikan dan meningkatkan kehidupan. Oleh
karena itu, pendidikan merupakan usaha mengembangkan segenap
potensi yang dimiliki manusia (Siregar, 1999: 16). pendidikan adalah
upaya untuk memperoleh suatu kepandaian, pengertian dan kaidah-
kaidah yang baru. Karena setiap diri manusia bisa berubah setiap saat,
setiap kehidupan yang terjadi merupakan proses dari pendidikan yang
besar dan luas (Walidin, 2005: 77). Pendidikan merupakan proses
mentranformasikan nilai-nilai dari pengalaman untuk berusaha
mempertahankan eksistensi manusia dalam berbagai bentuk kebudayaan
serta zaman yang terus berkembang, dan untuk mempertahankan
diperlukan satu kemampuan dan keberanian, berbuat dan bertindak yang
didasarkan kepada pendidikan, pengalaman, pergaulan dan sikap mental
serta kemandirian yang biasanya disebut dengan sumber daya manusia
yang berkualitas (Darmuin, 1999: 16). Menurut (Siregar, 1999: 37)
Pendidikan pada dasarnya adalah proses untuk menghasilkan sesuatu
Page 145
128
yang dapat mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia
yang berkualitas tinggi dan mempunyai disiplin tinggi. Rumusan
pendidikan yang dikemukakan Ibnu Khaldun merupakan hasil dari
berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat dan
sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita.
Lebih lanjut bahwasanya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai
dalam proses pendidikan;
Pertama. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam
bidang tertentu. Seseorang pasti mempunyai pengetahuan dan
pemahaman akan tetapi kemahiran tidak dapat dimiliki oleh tiap orang
tanpa adanya usaha untuk mengembangkannya. Untuk memiliki
kemahiran tertentu diperlukan usaha yaitu dengan pendidikan yang
dilakukan dengan cara terus menerus sampai mendapatkan apa yang
diinginkan.
Kedua. Penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan
zaman. Pendidikan seharusnya dipergunakan untuk memperoleh
keterampilan yang tinggi pada profesi tertentu. Hal ini dapat menunjang
kemajuan zaman. Pendidikan seharusnya meletakkan keterampilan
sebagai salah satu tujuan yang akan dicapai, supaya dapat
mempertahankan dan memajukan peradaban sesuai tuntutan kemajuan
zaman.
Ketiga. Pembinaan pemikiran yang baik. Dengan pembinaan
diharapkan dapat mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya, karena
dengan adanya pemikiran yang baik dapat menciptakan peserta didik
yang mampu berpikir secara jernih karena didasarkan pada pengetahuan
dan kemampuan berpikir yang baik (Nizar, 2002: 93-94).
Adapun mengenai hakikat pendidikan Ibnu Khaldur berpandangan
memiliki beberapa aspek yaitu:
Pertama. Tujuan dan tugas manusia Manusia hidup di dunia ini
bukan karena kebetulan saja. Ia diciptakan dengan membawa tugas dan
tujuan hidup tertentu yaitu sebagai Khalifah Allah di muka bumi ini.
Oleh karena itu, manusia diciptakan oleh Allah dengan mempunyai otak
untuk berpikir agar bisa menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi.
Kedua. Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia Konsep tentang
manusia bahwa ia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi ini
dan untuk beribadah kepada Allah. Penciptaan itu dibekali dengan
berbagai macam fitrah manusia yang dimilikinya.
Ketiga. Tuntutan masyarakat Tuntutan ini baik berupa pelestarian
nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu
masyarakat maupun pemenuhan terhadap tuntutan kehidupan dalam
mengantisipasi perkembangan zaman.
Keempat. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Kehidupan ideal
Islam adalah keseimbangan dan keserasian antara hidup duniawi dan
ukhrawi. Adanya keseimbangan antara kehidupan di dunia dan akhirat
dimaksudkan supaya kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal
terhadap pengaruh negatif dari berbagai aspek kehidupan yang menggoda
Page 146
129
ketentraman hidup manusia baik yang bersifat spiritual, sosial dan
ekonomi dalam kehidupan pribadi manusia (Langgulung, 1989: 57).
5. Matematika
Matematikawan yang begitu menonjol pada zaman dinasti
Abbasiyah yakni Umar Khayam dan Muhammad bin Musa al-
Khawarizmi; Karena kepandaian dan kecerdasan yang dimilikinya,
mampu mengantarkan al-Khawarizmi masuk pada lingkungan Dar al-
Hukama, yaitu sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan yang didirikan pada masa Bani Abbasiyah oleh Khalifah
Harun ar-Rasyid (Murtiningsih, 2011: 46). Di Barat, terutama di Eropa,
al- Kawarizmi dikenal dengan nama Algorismi atau Algorism (Hitti,
2006: 57).
Karya Khwarizmi dalam bidang matematika tampak lewat karyanya
Hisab al Jabr wal Muqabla dan Kitabul Jama-wat-Tafriq. Kedua kitab
tersebut banyak menguraikan tentang persamaan linear dan kuadrat;
kalkulasi integrasi dan persamaan dengan 800 contoh yang berbeda;
tanda-tanda negatif yang sebelumnya belum pernah dikenal bangsa Arab
dan penjelasan beserta enam contohnya. Khusus dalam Kitabul Jama-
wat-Tafriq yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin Frattati
d'Arithmetica, Khwarizmi menerangkan seluk-beluk kegunaan angka-
angka, termasuk angka nol dalam kehidupan sehari-hari. Sumbangan al-
Khwarizmi dalam ilmu ukur sudut juga luar biasa. Tabel ilmu ukur
sudutnya yang berhubungan dengan fungsi sinus dan garis singgung
tangent telah membantu para ahli matematika Eropa memahami lebih
jauh tentang ilmu ini. Boleh dibilang, karya-karya Khwarizmi
mempengaruhi pemikir dan ilmuwan di masa kemudian seperti Umar
Khayam, Leonardo Fibonacci dari Pisa, dan Jacob dari Florence.
Selain matematika, Khwarizmi dikenal pula sebagai astronom. Di
bawah pengawasan Khalifah Ma'mun, sebuah tim astronom pimpinannya
berhasil menentukan ukuran dan bentuk bundaran bumi. Riset
pengukuran ini dilakukan di Sanjar dan Palmyra. Hasilnya, 56,75 Mil
Arab sebagai panjang derajat meridian. Menurut CA Nallino, ukuran ini
hanya selisih 2,877 kaki dari ukuran garis tengah bumi yang sebenarnya.
Sebuah perhitungan luar biasa yang bisa dilakukan pada saat itu. Dengan
kepandaiannya pula, Khwarizmi menyusun sebuah buku tentang
perhitungan waktu berdasarkan bayang-bayang matahari. Ia juga
menerjemahkan sebuah tabel perhitungan dari India, Sindhata, yang
kemudian diulasnya dengan baik. Dengan memperhatikan tabel tersebut
dan juga sumber-sumber lain, sebuah tabel karyanya sendiri menjadi
perhatian kalangan astronomi di Eropa, terutama setelah diterjemahkan
Adelard dari Bath pada 1126. Tabel ini kelak menggantikan tabel Yunani
dan India, setelah direvisi astronom Spanyol, Majriti. Ilmuwan Cina pun
mengadaptasi tabel ini, termasuk nilai-nilai ilmu ukur sudutnya, serta
fungsi sinus dan tangent. Masih berkait dengan masalah perhitungan,
ternyata Khwarizmi juga seorang ahli ilmu bumi. Bukunya Kitab Surat
Page 147
130
al-Ard, menjadi dasar dari ilmu bumi Arab. Naskah itu, hingga kini
masih tersimpan di Strassburg, Jerman. Oleh Abdul Fida, seorang ahli
ilmu bumi terkenal menyebut buku itu sebagai buku yang
menggambarkan bagian-bagian bumi yang dihuni manusia karena dihiasi
secara lengkap dengan peta beberapa bagian dunia. CA Nalino, seorang
penerjemah karya-karya Khwarizmi dalam bahasa Latin menegaskan tak
ada orang Eropa yang dapat menghasilkan karya seperti ini.
Tak hanya menguasai matematika dan astronomi, Khwarizmi juga
dikenal ahli seni musik. Dalam salah satu buku matematikanya, ia
menuliskan pula teori seni musik. Buku itu diterjemahkan oleh Adelard
dari Bath pada abad ke-12 dengan judul Liber Ysagogarum Alchorism.
Pengaruh buku ini kemudian sampai ke Eropa dan sejarawan Philip K
Hitti menyebutnya sebagai perkenalan pertama musik Arab ke dunia
Latin. Banyak pujian yang diberikan para sejarawan dan ilmuwan dari
Eropa kepada karya-karya Khwarizmi. Pujian itu antara lain ditulis
Phillip K Hitti, penyusun The History of The Arabs yang menyebut
Khwarizmi tokoh utama dalam sejarah awal matematika Arab. Di bagian
lain, Hitti menulis karya Khwarizmi, Hisab al Jabr wal Muqabla ini yang
diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada abad ke-12 oleh Gerard dari
Cremona sebagai berikut. "Hingga abad ke-16, buku ini telah digunakan
sebagai buku matematika rujukan berbagai perguruan tinggi di Eropa.
Karya-karya Khwarizmi juga berjasa dalam memperkenalkan angka-
angka Arab atau Algorisme ke dunia Barat." Sejarawan George Santon
begitu memuja Khwarizmi dengan menyebutnya sebagai salah seorang
Ilmuwan terkemuka dari bangsanya dan terbesar pada zamannya. Dengan
meninggalkan karya-karya penting bagi ilmu pengetahuan, khususnya
matematika dan astronomi, Khwarizmi meninggal pada 846 M.
Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al- Jabr wal Muqabalah. Dalam
bahasa Inggris kitab ini dikenal dengan nama "The Compendious Book
on Calculation by Completion and Balancing". Kitab ini merupakan
karya al-Khawarizmi pada abad ke-9 M yang sangat monumental.
Kemudian pada abad ke-12 kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin
oleh Gerard dari Cremona (Ahmad, 2009: 157). Kitab Shurah al-Ardh
(Buku Pemandangan Dunia atau Kenampakan Bumi) yaitu kitab yang
membahas mengenai bentuk bumi yang merupakan kitab yang menjadi
dasar ilmu bumi Arab. Naskah kitab ini disimpan di Strassburg (Jerman),
dalam kitab ini dihiasi peta-peta (Ahmad, 2009: 157).
Smith dan Karpinsk menggambarkan pribadi al-Khawarizmi sebagai
tokoh terbesar pada masa keemasan Bagdad, setelah seorang penulis
Muslim menggabungkan ilmu matematika kla sik Barat dan Timur, lalu
mengklasifikasikan, hingga akhirnya membangkitkan kesadaran daratan
Eropa (Abdurrahman, 2013: 93). Dalam bukunya al-Khawarizmi
memperkenalkan kepada dunia ilmu pengetahuan angka 0 (nol) yang
dalam bahasa arab disebut sifr. Sebelum al-Khawa rizmi
memperkenalkan angka nol, para ilmuwan mem pergunakan abakus,
semacam daftar yang menunjukkan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan
Page 148
131
seterusnya, untuk menjaga agar setiap angka tidak saling tertukar dari
tempat yang telah ditentukan dalam hitungan. Akan tetapi, hitungan
seperti ini tidak mendapat sambutan dari kalangan ilmuwan Barat ketika
itu dan mereka lebih tertarik untuk mempergunakan raqam albinji (daftar
angka arab, termasuk angka nol), hasil penemuan al-khawarizmi. Dengan
demikian angka nol baru dikenal dan di pergunakan orang Barat sekitar
250 tahun setelah di temukan al-Khawarizm (Jaudah, 2007: 101).
6. Kedokteran
Pada masa dinasti Abasiyah perkembangan ilmu begitu megah,
menunjukkan bahwa Islam merupakan suatu agama yang betul-betul
memotivasi pemeluknya untuk mengejal ilmu, sebagaimana telah
dikemukakan bahwasanya khususnya pada masa Harun ar-Rasyid dan
putranya al-Ma‘mun perkembangan lembaga pendidikan pesat dibarengi
oleh perkembangan ilmu itu sendiri.
Sumbangan Dinasti Abbasiyah terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan tidak sedikit. Banyak ilmuwan mumpuni dari berbagai
disiplin ilmu yang hidup pada masa dinasti ini. Salah satunya, yakni Abu
Bakr Ar-Razi yang disebut oleh dunia Barat sebagai Razhes.
Cendekiawan yang hidup pada 865- 925 M ini berasal dari Ray, sebuah
kota yang terletak di lembah selatan Dataran Tinggi Al borz. Kota ini
berada di utara Teheran. Ar- Razi tinggal di Ray hingga usia 30 tahun.
Dikutip dari Ensiklopedia Peradaban Islam, semasa kecil, Ar-Razi
menyukai musik. Namun, dia mulai belajar ilmu pengetahuan ketika
remaja. Ar Razi mempelajari filsafat, kimia, matematika, hingga sastra.
Pada usia 30 tahun, dia belajar ke Baghdad. Ar-Razi mendapatkan ilmu
kedokteran dari Ali Ibnu Sahl at-Tabari, seorang dokter sekaligus filosof
asal Merv. Ar-Razi pun dikenal luas sebagai dokter yang pandai.
Ketika penguasa Dinasti Abbasiyah hendak mendirikan rumah sakit
di Baghdad, dia terpilih sebagai ketuanya. Padahal, usia Ar- Razi ketika
itu baru 40 tahun. Dia menyisih kan ratusan dokter terbaik yang menjadi
kandidat posisi tersebut. Khalifah pun meminta Ar-Razi untuk mencari
tempat terbaik untuk rumah sakit. Dia lantas memanggil sejumlah
pembantu nya. Dia meminta mereka menggantungkan sepotong daging
di beberapa tempat yang ditentukan. Setelah digantung beberapa hari, dia
pun berkeliling untuk mengamati tempat mana yang dagingnya paling
lama busuk. Tempat itu menjadi lokasi rumah sakit. Ar-Razi pun dikenal
sebagai guru para dokter. Di rumah sakit, dia menempati se buah ruangan
bersama para muridnya. Mereka akan membentuk lingkaran. Lingkaran
paling luar merupakan murid-murid pemula. Sementara, lingkaran lapis
berikutnya dihuni oleh murid yang lebih berpenga laman. Ar-Razi akan
menyerahkan kepada murid-murid lingkaran luar terlebih dahulu ketika
ada pasien yang datang ke rumah sakit. Ketika mereka kesulitan, akan
dilemparkan ke murid bagian dalam. Demikian seterusnya. Jika bagian
paling dalam tidak juga berhasil, Ar-Razi yang akan turun ta ngan
mengobati pasien tersebut.
Page 149
132
Menjadi seorang guru, Ar-Razi pun menulis lebih dari 200 buku.
Karya monumentalnya adalah Al Hawiy. Buku ini menjadi rujukan
dalam bidang kedokteran dan praktik operasi. Al Hawi merupakan satu
dari sembilan buku wajib di fakultas kedokteran di Paris sepanjang abad
ke-14. Al Hawi diterbitkan dalam bahasa Latin pada 1486. Namun,
keberadaannya sudah tidak utuh lagi. Beberapa bagian dari buku ini
tersebar di berbagai perpustakaan dunia. Kitab Al Hawi terbagi menjadi
12 bab. Dalam buku ini, Ar Razi menjelaskan tentang cara pengobatan
pasien dan penyakit (bab 1), cara menjaga kesehatan (bab 2), potensi
obat, gizi dan bahan yang dibutuhkan dalam bidang kedokteran (bab 3).
Ar Razi juga menjelaskan tentang bentuk obat, warna, rasa, dan baunya.
Ukuran dan timbangan. Fisiologi dan kegunaan anggota tubuh hingga
pendahuluan untuk profesi dokter yang terdiri dari dua makalah
(https://republika.co.id, 2019, Akses: 2020).
Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran
terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Al-Nans, dan
Ibn Al-Maiman, Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama
Razes. Ia pernah menjadi dokter istana pangeran Abu Saleh Al-Mansur,
penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter
kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Buku kedokteran
yang dihasilkannya berjudul ―Al-Mansuri‖ (Liber Al-Mansofis) dan ―Al-
Hawi‖ (Fakhry, 1986: 151). Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahawi
(930-1013) atau dikenal di Barat Abuleasis. Dia adalah ahli bedah
terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universias
Cordoba. Dia adalah dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman
III. Sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku
kedokteran dan khususnya masalah bedah. Salah satu dari empat buku
kedokteran yang ditulisnya berjudul Al-Tastil Liman Ajiz‘an Al-Ta‘lif
Ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku ini
digunakan di Eropa hingga abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery
untuk mengendlikan pendarahan. Dia juga menggunakan alcohol dan
lilin untuk menghentikan pendarahan dari tengkorak selama mambedah
tengkorak. Al-Zahawi menulis buku tentang oprasi gigi. Dokter Muslim
yang termasyhur antara lain: Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M)
karyanya: Al-Qanun fi Al-Tibb‘ Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198
zM) karyanya:Al-Kulliyat fi Al-Tibb. -Al-Razi Karyanya : Al-Hawifi al-
Tibb. Ibnu El-Nafis (1208-1288 M) karyanya Mujaz al-Qanun -Ibnu
Wafid al-Lakhan dan Ibnu Tufail (1100-1185 M) tabib yang mengoleksi
tumbuh-tumbuhan (Hitti, 2002: 184).
Pada suatu waktu: Khalifah Abu Ja`far Al-Manshur saat sakit perut
memanggil Ibn Bakhtisyu seorang kepala rumah sakit Jundisyapur
penganut Kristen Nestor. Pada masa Harun Al-Rasyid Ibn Bakhtisyu
mahir ilmu jiwa dalam menentukan penyakit neurotis serta
pengobatannya. Pada masa Al-Mu`tashim terkenal Yahya ibn Masuwaih
sebagai dokter. Para khalifah Abbasiyah bergantung pada dokter Irak,
India dan Yunani. Pada masa Khlifah Al-Watsiq terkenal dokter Ibn
Page 150
133
Bakhtisyu, Ibn Musawaih, Mikhail dan Hunyn ibn Ishaq. Khalifah Al-
Watsiq (227-232 H/842-847 M) (Bosworth, 1993: 27), meminta seorang
dokter yang beragama Nasrani Hunayn ibn Ishaq menyusun sebuah buku,
yang menerangkan tentang perbedaan makanan, obat, laktasit, anatomi
tubuh, racun dan obat pelunturnya. Hunayn menulis buku The Book of
Physical Cases (Ibrahim, 1989: 136). Kemajuan kedokteran pada masa
Abbasiyah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: pertama, terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada
masa ini banyak bangsa non-Arab masuk Islam, dan terjadilah asimilasi
antara bangsa Arab dengan bangsa non-Arab yang memang lebih dahulu
mengalami kemajuan dalam bidang kedokteran yang banyak
berpengaruh dalam hal ini adalah bangsa India karena pada masa itu,
India terkenal akan kemajuan dalam bidang kedokteran. Kedua, gerakan
penerjemahan buku-buku asing yang sering dilakukan pada masa Dinasti
Abbasiyah. Pada periode terakhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah, ilmu
kedokteran terus berkembang meskipun pada saat itu terjadi banyak
konflik. Namun, hal itu tidak mempengaruhi terhadap perkembangan
kedokteran pada masa ini. Hal ini dapat dilihat ketika khalifah Al-
Muntashir Billah yang berkuasa tepat pada masa akhir kekuasaan Dinasti
Abbasiyah mendirikan Madrasah Muntashiriyah pada tahun 1233 yang
hingga saat ini masih tetap berdiri dan menghasilkan banyak ahli
pengobatan (Yatim, 2008: 115).
7. Filsafat Islam
Pada masa dinasti Abbasiyah berkuasa perkembangan ilmu filsafat
pun berkembang khusunya karena kontak dengan dunia luar serta
gerakan penerjemahan karya-karya filsafat Yunani Plato dan Aristoteles
diterjemahkan kedalam bahsa Arab. transmisi filsafat Yunani ke Arab
Islam pada dasarnya adalah suatu proses panjang dan kompleks di mana
ia justru sering banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan teologis para
pelakunya, kondisi budaya yang melingkupi dan seterusnya; termasuk
dalam hal istilah- istilah teknis yang digunakan tidak akan lepas dari
konteks dan problem bahasa Arab dan ajaran Islam. Konsekuensinya,
tugas re- konstruksi sumber-sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak
mungkin selalu diharapkan dalam terjemahan yang jelas ke dalam
sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan
aktivitas yang terjadi di luar teks. Begitu juga perluasan-perluasan,
pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al- Kindi
(801-878 M) sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi
(1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya dapat
dipahami tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang
mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut (Sabra, 1992:
90).
Lebih lanjut, Sejak kelahirannya, filsafat Islam menjadi salah satu
tradisi intelektual penting di dunia Islam. Menurut Ensiklopedi Oxford
Page 151
134
Dunia Islam Modern, filsafat Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang
warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada
abad ketiga Hijriah atau abad kesembilan Masehi. Penerjemahan
berlangsung intens ketika Dinasti Abbasiyah memegang kendali
pemerintahan. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, semula mereka
hanya tertarik menerjemahkan naskah ilmu pengobatan Yunani. Tetapi,
ketertarikan mereka juga merambah pada teks-teks filsafat. Perhatian
pada filsafat meningkat pada pemerintahan Khalifah al-Ma‘mun (813-
833), putra Harun al-Rasyid. Berbeda dengan orang Yunani, filsuf Islam
berfokus pada filsafat kenabian. Alquran dan hadis juga menjadi sumber
sentral spekulasi filosofis Islam selama berabad-abad.
Abad awal pertama filsafat Islam ditandai dengan munculnya
sejumlah mazhab. Salah satunya adalah masyasya‘un atau peripatetik.
Mazhab ini merupakan sintesis antara prinsip Islam dan aliran filsafat
Yunani, Arsitotelianisme dan Neoplatonisme. Pendiri mazhab ini adalah
Abu Yaqub al-Kindi. Sejumlah sumber mengungkapkan, Abu al-Abbas
Iransyhari merupakan Muslim pertama yang menuliskan karya filsafat.
Sayangnya, tak ada karyanya yang bertahan. Berbeda dengan al-Kindi
yang karya-karyanya diketahui banyak orang. Dalam mengembangkan
mazhab filsafatnya, ia menghadapi persoalan harmonisasi antara iman
dan akal. Kemudian, muncul Abu Nashr al-Farabi. Sejumlah kalangan
menganggap al-Farabi melebihi al-Kindi. Dan, Ibnu Sina muncul pula
dengan beragam karyanya. Selain adanya filasafat bermazhab, abad-abad
awal perkembangan filsafat Islam juga melahirkan filsuf independen.
Mereka juga berpengaruh. Salah satunya adalah Muhammad bin
Zakariya al-Razi. Selain filsuf, dia dikenal sebagai dokter terbesar setelah
Ibnu Sina. Pada akhirnya, filsafat Islam tak hanya berkembang di
wilayah Arab ataupun Persia, tapi juga di Barat, yaitu Spanyol, diawali
oleh munculnya filsuf bernama Ibnu Masarrah.
Filsuf awal lainnya adalah Ibnu Hazm. Ia merupakan ahli fikih,
teolog, filsuf, dan penulis salah satu karya Muslim pertama mengenai
perbandingan agama. Pada masa selanjutnya, ada nama Ibnu Thufail. Ia
terkenal dengan karya novel filsafatnya dengan judul Hayy ibnu
Yaqzhan. Pada abad ke-16, bersamaan dengan berdirinya Dinasti
Shafawiyah di Persia, dimulailah fase baru dalam filsafat Islam. Ini
berkaitan dengan keberadaan mazhab Isfahan yang didirikan Mir Damad.
Ia mempunyai seorang murid yang sangat terkenal bernama Shadr al-Din
Syirazi, yang biasa dikenal dengan panggilan Mulla Shadra. Mulla
Shadra dan pengikutnya memiliki pengaruh di wilayah Persia, India
Muslim, lingkaran Syiah di Irak. Di India, filsafatnya diajarkan oleh
tokoh ternama pula di antaranya Syah Wali Allah dari Delhi. Pada masa
berikutnya, Jamal al-Din al-Afghani, salah satu murid mazhab Mulla
Shadra, menghidupkan kajian filsafat di Mesir. Di sana, beberapa
cendekiawan mengikuti pemikiran Mulla Shadra, seperti Abd al-
HalimMahmud. Di Pakistan, ada Muhammad Iqbal. Bahkan
diungkapkan, Maulana Maududi, pendiri Jamaat-i-Islami di Pakistan,
Page 152
135
pada masa mudanya menerjemahkan sebagian al-Asfar karya Mulla
Shadra ke dalam bahasa Urdu (https://republika.co.id, 2017, Akses:
2020). Dalam hal ini gerakan penerjemahan sangat mempengaruhi
perkembangan filsafat Islam selanjutnya. Terutama ketika zaman
Khalifah al Ma‘mun yang kemudian mendirikan Bait al-Hikmah atau
rumah kebijakan, banyak sudah karya-karya filsafat Yunani klasik yang
diterjemahkan kedalam bahasa Arab yang selanjutnya mempengaruhi
perkembangan filsafat Islam.
Perkembangan ilmu pengetahuan zaman Dinasti Abbasiyah, merupakan
prestasi gemilang umat muslim dibidang budaya intelektualitas dan
perkembangan lembaga pendidikan yang modern yang pengaruhnya sangat
kuat hinggga saat ini. Al-Makmun tampil sebagai khalifah yang begitu masif
mempromosikan Islam sebagai agama yang mencintai perkembangan ilmu
pengetahuan. Keterbukaan dalam pemerintahan Abbasiyah pada masa
khalifah al Makmun sungguh-sungguh nyata Islam menjadi agama yang
kosmopolitan, banyak jurutulis tersebar dalam birokrasi adalah orang
khurosan, kelompok Kristen Nestorian berperan kuat, kelompok minoritas
tertentu seperti Yahudi banyak terlibat dalam urusan perpajakan dan
perbankan, keluarga-keluarga muslim Syi‘ah juga berpengaruh terhadap
kebijakan politik khalifah sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
Madrasah Nizamiyah dan Bait Al-Hikmah. al Makmun berusaha mendekati
tokoh aliran Syi‘ah pada saat itu dengan cara menikahi salah satu putrid imam
Ali al Ridlo, Imam Syi‘ah kedelapan dan menyebut Ali al Ridla sebagai
pewaris kekhalifahan sesudahnya (Armstrong, 2002: 89). Adapun faham
keagamaan khalifah al Makmun adalah pengikut aliran Mu‘tazilah dalam
persolan ilmu Kalam. Sebagai sorang intelektual dan negarawan al Makmun
hamper tanpa cela seandainya ia tidak terseret yang terlalu dalam terhadap
rasionalitas Mu‘tazilah dan menjadikannya sebagai faham resmi dalam
kenegaraan pada tahun 212 H/827 M serta membuka sikap fanatisme aliran
yang kemudian membawa dampak adanya peristiwa yang dikenal dengan
Mihnah al Qur‘an yang pada prakteknya memeriksa batin seseorang
mengakui kemakhluqan al Qu‘an atau tidak. Jika tidak maka akan di hukum
berat, praktek inkuisisi ini muncul dimana-mana, dan faham Mu‘tazilah ini
ditentang oleh Aliran ahli hadits yang di komendani Ahmad bin Hambal
(Isma‘il, 2010: 244-245).
Peradaban Islam mencapai puncaknya pada Dinasti Abbasiyah. Dinasti
Abbasiyah merupakan Dinasti yang berkuasa setelah Dinasti Umayyah di
Damaskus runtuh. Setelah keruntuhan Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah
membangun peradaban Islam atas asas ilmu pengetahuan. Selain itu, Dinasti
Abbasiyah pernah menjadikan aliran Muktazilah sebagai aliran resmi negara.
Aliran ini didukung oleh Khalifah al-Makmun anak dari Harun al-Rasyid
(Amin, 1966: 8). Hal ini menimbulkan pengkajian Alquran secara rasional,
karena Muktazilah sendiri mengkaji Alquran sesuai dengan logika. Hal ini
dapat dianggap bahwa ternyata Post Modernisme telah ada jauh sebelum
Bangsa Eropa bangkit. Jika demikian, berarti Dinasti Abbasiyah memiliki
peranan penting dalam perkembangan peradaban dunia, oleh karena para
Page 153
136
ilmuwan banyak muncul pada era Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah
sebagai pesaing Dinasti Umayyah tentu ingin membangun peradaban Islam
melebihi Dinasti Umayyah. Sejarah persaingan di antara keduanya sebetulnya
telah dimulai sejak dahulu kala, yakni dimulai dari persaingan Bani Hasyim
dan Bani Umayyah. Persaingan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah
itu sudah berjalan lebih dari seratus tahun sebelum Nabi lahir (Haekal, 2010:
9).
Lebih lanjut, Sejarah menyebutkan bahwa puncak zaman keemasan
Baghdad terjadi selama masa kekhalifahan Harun al-Rasyid (786-809 M.)
Meskipun usianya kurang dari setengah abad, Baghdad pada saat itu muncul
menjadi pusat dunia dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional
yang luar biasa. Baghdad menjadi saingan tunggal bagi Bizantium.
Kejayaannya berjalan seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu
kotanya. Saat itulah Baghdad menjadi kota yang tidak ada bandingannya di
sekitar Jazirah Arab (Hitti, 2010: 375). Istana kerajaan dengan bangunan-
bangunan tambahan untuk para harem, pembantu laki-laki dan pejabatpejabat
khusus menempati sepertiga Kota Lingkaran itu. Bagian yang paling
mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi dengan karpet, gorden
dan bantal terbaik dari Timur (Hitti, 2010: 375). Gerakan intelektual itu
ditandai oleh proyek penerjemahan karyakarya berbahasa Persia, Sansekerta,
Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri
tentang ilmu pengetahuan, filsafat, atau sastra yang tidak terlalu banyak.
Orang Arab Islam yang memiliki keingintahuan yang tinggi dan minat belajar
yang besar segera menjadi penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa
yang lebih tua dan berbudaya yang mereka taklukkan atau yang mereka temui
(Hitti, 2010: 239). Selain dari itu Khalifah Abu Jafar al-Manshur membangun
perpustakaan Baitul Hikmah yang begitu mahsyur, merupakan salah satu
perpustakaan yang amat terkenal dan berkelas dunia. Perpustakaan tersebut
mencerminkan peranan ilmu di dunia tanpa dapat diketahui batasannya, dan
salah satu perbendaharaan ilmiah yang paling bernilai dalam pemikiran Islam
di era klasik Dinasti Abbasiyah. Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan
yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Instuisi
ini merupakan kelanjutan dari instuisi yang serupa di masa imperium Sasania
Persia yang bernama Jundi Shapur Academy. Perbedaannya, pada masa Persia
institusi ini hanya menyimpan puisi - puisi dan cerita-cerita untuk raja,
sedangkan pada masa Abbasiyah (Harun Al-Rasyid) instutusi ini diberi nama
Khizanah al-Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat
penelitian (Sodiqin, 2002: 105). Perhatiannya yang tinggi terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan dan usaha penting Harun Al-Rasyid,
membawa namanya ke puncak kemasyhuran adalah Peradaban Islam dengan
taraf yang belum pernah dicapai sebelumnya. Ia mendirikan beberapa
lembaga pendidikan, seperti Bait al Hikmah, Majelis al Muzakarah, lembaga
pengkajian masalah-masalah keagamaan, rumah-rumah, masjid, istana
khalifah dan rumah sakit (Suwito,2005:101).
Page 154
137
BAB VI
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Semenjak kemunculannya agama Islam di Makkah sekitar abad ke 7
Masehi, secara umum telah mengubah peradaban manusia khususnya di
wilayah Semenanjung Arab yang semula jahiliyah (jauh dari ilmu
pengetahuan) menjadi terang benderang—sangat dekat dengan ilmu bahkan
dikemudian hari orang-orang Islamlah sebagai pewaris ilmu baik ilmu yang
berkembang di Timur maupun di Barat khususnya Yunani. Islam muncul
sebagai agama yang membawa ajaran komprehensif baik dari sisi sosial,
politik, budaya, maupun ekonomi. Khususnya dalam bidang pendidikan dan
ilmu dimana Islam hadir sebagai agama yang mendukung kemajuan dan
perkembangannya. Seperti yang dibahas dalam tulisan ini mengenai
Semangat Ilmuan Muslim dalam Pengembangan Institusi Pendidikan
Madrash Nizhamiyah dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti
Abbasiyah, menjelaskan perkembangan lembaga pendidikan dan
perkembangan ilmu pengetahuan kala itu.
Adapun sejarah kemunculan Dinasti Abbasiyah tidak terlepas dari
konflik internal pada kalangan pembesar-pembesar Islam itu sendiri—Dinasti
Abbasiyah muncul sebagai antitesis dari Dinasti Bani Umayyah, pendiri
Dinasti Abbasiyah yakni Abbul Abbas Al- Saffah yang merupakan keturunan
Bani Abbas, yang memiliki garis keturunan langsung paman Nabi
Muhammad SAW. Nama lengkapnya ialah Abdullah al-Saffah Ibn
Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas, ia dilahirkan di Humairah
pada tahun 104 H. Ia resmi menjadi kalifah pada tangal 3 Rabiul awwal 132
H. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M—cukup
lama sehingga Dinasti Abbasiyah merupakan fenomena khusus tentang
kejayaan Islam pada zaman klasik.
Secara umum berdirinya Dinasti Abbasiyah yang selanjutnya mengakhiri
Dinasti Umayyah merupakan reaksi kaum muslimin terhadap perkembangan
sosial ekonomi di antaranya mereka menganggap bahwa para penguasa
Umayyah sering melakukan tindakan tidak terpuji yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam salah satunya yakni kasus korupsi, selain dari itu secara umum
kaum muslimin memandang bahwa kelompok Bani Umayyah terlalu pro
Barat atau dengan kata lain Bani Umayyah sekuler. Di samping itu Bani
Umayyah dipandang memiliki madzhab tertentu khusunya Syi‘ah dan
Khawarij, begitu pula dengan kaum Mawali (yang kala itu orang-orang baru
masuk Islam mereka mayoritas dari Persia). Mereka merasa diperlakukan
tidak adil dengan kelompok Arab dalam hal pembebanan pajak yang terlalu
tinggi, kelompok inilah yang mendukung revolusi Abbasiyah.
Pada periode pertama secara umum merupakan periode pengaruh Persia
pertama. Disebut demikian sebab pada periode ini terdapat sebuah keluarga
bangsawan Persia yang sangat berpengaruh dalam penggerakan roda
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yakni keluarga Barmak. Pada periode
Page 155
138
pertama, dapat disimpulkan sebagai masa kejayaan dan keemasan bagi Dinasti
Abbasiyah. Kendati demikian bibit atau cikal-bakal dari kemunduran Dinasti
ini sudah mulai tumbuh pada masa periode awal ini. Yaitu saat terjadinya
perang saudara antara khalifah al-Amin dan khalifah al-Ma‘mun, ditambah
terjadinya kemerosotan ekonomi. Khilafah Abbasiyah juga mengalami
kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang
politik, telah terjadi pula timbulnya konflik keagamaan. Adanya fanatisme
dalam beragama sangat lekat kaitannya dengan permasalahan kebangsaan.
Pada periode Abbaasiyah, adanya konflik dalam tubuh pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi isu yang sangat kuat seahingga menimbulkam
perpecahan. Adanya berbagai macam aliran keagamaan seperti Mu‘tazilah,
Syi‘ah, Ahlus Sunnah, begitu pula dengan Perang Salib yang terjadi pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah termasuk salah satu sebab kemunduran
dari Daulah Bani Abbasiyah secara eksternal. Puncaknya serangan Bangsa
Mongol. Tubuh pemerintahan yang kian melemah serta penguasa yang sudah
tidak memiliki kekuatan berarti, membuat Dinasti Abbasiyah mudah
dikalahkan oleh pasukan Mongol yang brutal yang berujung musnahnya
kemegahan yang telah dibangun Dinasti Abbasiyah tersebut. Begitulah potret
secara histori mengenai berdirinya, perkembangan serta kehancuran Bani
Abbasiyah.
Manusia hidup bersamaan dengan sejarah yang terus berkembang,
Dinasti Abbasiyah telah berhasil meletakan pondasi yang kokoh terhadap
perkembangan pendidikan dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
yang berkembang dan menyentuh seluruh peradaban umat manusia baik itu
pada kalangan Islam itu sendiri maupun pada kalangan di luar Islam dalam hal
ini ialah perkembangan ilmu pengetahuan Barat.
Ditandai dengan munculnya proyek-proyek intelektual yakni
penerjemahan karya-karya berbahasa asing di antaranya; Persia, Sanskerta,
Suriah, khususnya yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab tambah pula
pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan yaitu Bait al-Hikmah
dan terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai
buah dari kebebasan berpikir, maka hal inilah yang kemudian penting digali
guna dijadikan referensi untuk perkembangan peradaban pendidikan dan
intelektualitas Islam pada zaman Abbasiyah. Dalam hal ini para guru pun
muncul sebagai bukti dari perkembangan intelektual dan institusi pendidikan
umat Islam.
Secara umum institusi pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa
Bani Abbasiyah dapat dikategorikan, lembaga pendidikan sebelum madrasah
dan Madrasah. Lembaga pendidikan sebelum madrasah pertama Maktab/
Kuttab Adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang diajarkan
adalah khat, kaligrafi, al-quran, akidah, dan syair. Kedua, halaqah artinya
lingkaran. Halaqah merupakan institusi pendidikan Islam setingkat dengan
pendidikan tingkat lanjutan atau college. Sistem ini merupakan gambaran
tipikal dari murid-murid yang berkumpul untuk belajar pada masa itu. Ketiga,
majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi
keilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya.
Page 156
139
Ada 7 macam mejelis, yaitu: (1) majelis al-Hadis; (2) majelis al- Tadris; (3)
majelis al-Munazharah; (4) majelis al-Muzakarah; (5) majelis al- Syu‟ara;
(6) majelis al-Adab; dan (7) majel al-Fatwa. Empat, masjid merupakan
institusi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa nabi. Lima, Khan.
Berfungsi sebagai asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran
agama antara lain fikih. Enam, ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang
ingin menjauh dari kehidupan duniawi untuk mengonsentrasikan diri
beribadah semata-mata. Tujuh, rumah-rumah ulama, digunakan untuk
melakukan transmisi ilmu agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain
perdebatan ilmiah. Delapan, toko buku dan perpustakaan, berperan sebagai
tempat transmisi ilmu dan Islam. Di Baghdad terdapat 100 toko buku.
Kesembilan, observatorium dan rumah sakit sebagai tempat kajian ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani dan transmisi ilmu kedokteran.
Lembaga pendidikan selanjutnya Madrasah. Madrasah telah muncul dan
menampakan eksistensinya semenjak awal masa kekuasaan Islam Bani
Abbasiyah yang paling terkenal dan fenomenal ialah Bait al-Hikmah,
merupakan institusi pendidikan tinggi atau perpustakaan Islam pertama yang
dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al-Makmun yang terkenal sebab
kecintaannya terhadap ilmu khususnya risalah-risalah filsafat Yunani. Institusi
yang mengukir sejarah baru dalam peradaban Islam dengan konsep
multikultural dalam pendidikan, karena subjek toleransi, perbedaan etnik
kultural, dan agama sudah dikenal dan merupakan hal biasa sehingga Islam
muncul sebagai entitas besar yang dibimbing oleh ilmu. Selain Bait al-
Hikmah ada pula Nizhamiyah berkembang di berbagai wilayah kota utama
daerah kekuasaan Saljuk. Madrasah Nizhamiyah merupakan prototype awal
bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi
pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem
asrama. Lebih lanjut Pemerintahan Bani Abbasiyah betul-betul eksis dalam
pengelolaan ilmu pengetahuan hal tersebut dapat teramati dengan adanya
konsep perpustaan pada masa itu yakni Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah
secara khusus merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam perkembangannya Instuisi ini
merupakan kelanjutan dari instuisi yang serupa di masa imperium Sasania
Persia yang bernama Jundishapur Academy. Perkembangan lembaga
pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah berbanding lurus dengan
perkembangan ilmu dan intelektualitas Islam. Dapat disebutkan sebagai
berikut Ilmu Hadis, Pada masa itu bermunculan ahli-ahli hadis yang besar dan
terkenal beserta hasil karyanya, antara lain: Imam Bukhari, Abu Dawud,
Imam Muslim dan Ibnu Majah. Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang
menjelaskan tentang makna/kandungan ayat Al-Qur‘an, Abu Jarir at-Tabari
dengan tafsirnya Al-Qur‘anul Azim sebanyak 30 juz. Abu Muslim
Muhammad bin Bahr Isfahany (mu‘tazilah), tafsirnya berjumlah 14 jilid. Ilmu
Fikih. Filsafat Islam diantara Ilmuwannya yang terkenal Al-Kindi, Al Farabi,
Ibnu Rusyd, Ibnu Sina. Begitu pula kedokteran pada masa Dinasti Abbasiyah
mengalami perkembangan dan kemajuan, khususnya tatkala pemerintahan
Page 157
140
Harun ar-Rasyid dan khalifah-khalifah besar sesudahnya. Matematika. Para
tokohnya antara lain Al-Khawarizmi, Umar Khayam. Astronomi berkambang
diantara ilmuwannya Abu Mansur al-Falaqi, Jabir al-Batani. Ahli kedokteran
Muslim Ilmuwan yang tersohor diantaranya Hunain Ibnu Iskak, Ibnu Sina.
Ahli sejarah diantara Ilmuwannya Ibnu Qutaibah, At-Thabari, Ibnu Khaldun.
Ahli fikih yang memiliki nama harum diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam
Malik Bin Anas, Imam Syafii, Imam Hambali. Berdasarkan hal tersebut
menandakan bahwa perkembangan lembaga pendidikan memacu kaum
muslimin menjadi para Ilmuwan.
a. Dari uraian diatas, penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa secara umum
institusi pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa Bani Abbasiyah
dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan sebelum madrasah dan
Madrasah. Adapun lembaga pendidikan sebelum madrasah di antaranya:
1. Maktab/ Kuttab (institusi pendidikan dasar)
2. halaqah artinya lingkaran (merupakan institusi pendidikan Islam
setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college)
3. Majelis / Salon Kesusastraan
4. Masjid
5. Khan (asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama
antara lain fikih)
6. Ribath (tempat kegiatan kaum sufi)
7. Rumah-rumah ulama
8. Toko buku dan perpustakaan
9. Observatorium dan rumah sakit.
Sedangkan lembaga pendidikan yang termasuk madrasah adalah bait al-
Hikmah dan Madrasah Nizhamiyah.
b. Faktor-faktor yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan pada masa
Dinasti Abbasiyah:
1. Faktor Politik yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah
2. Faktor Ekonomi yang Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah
3. Faktor Sosial Budaya yang Mendorong Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah.
c. Hubungan institusi pendidikan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah terhadap
perkembangan sosial keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan yaitu
Hubungannya sangat erat sekali dan menguatkan untuk kemajuan
perkembangan sosial keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Terbukti dengan adanya institusi-institusi pendidikan yang dibangun oleh
khalifah Abbasiyah dan perhatian khalifah terhadap para ilmuan.
d. Pada masa Dinasti Abbasiyah kehidupan peradaban Islam sangat maju,
sehingga pada masa itu dikatakan sebagai jaman keemasan Islam
e. Berdasarkan catatan sejarah dimana popularitas pemerintahan Dinasti
Abbasiyah mencapai puncaknya atau masa kejayaannya ketika
pemerintahan berada di bawah kekuasaan khalifah Harun Al-Rasyid (786-
Page 158
141
809 M), dan penerusnya yakni Al-Ma‘mun (813-833 M). Kondisi
kakhalifahan Abbasiyah kala ini masyarakat terjamin kesejahteraan,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesusantraan, dan kebudayaan
mengalami zaman keemasan. Pada masa inilah yang kemudian difahami
sebagai zaman keemasan negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat yang tidak tertandingi sebab ketahanan negara baik eksternal
maupun internal yang terjamin dan kokoh.
B. Imfilakasi
Dari awal kemunculannya, Islam terlahir ditengah-tengah masyarakat
jahiliyah kala itu, kemudian islam bertumbuh sebagai agama yang menjunjung
tinggi nilai-nilai keilmua sehingga Islam dapat membebaskan masyarakat
jahiliyah Makkah ke masyarakat yang terang benderang (tersinari oleh caha ilmu
pengetahuan). Dalam hal ini perkembangan ilmu pengetahuan dan
penyebarannya kesegala penjuru dunia bagi umat muslim dan begitu pula Islam
sebagai agama tidak hanya mengorientasikan ajarannya dalam kehidupan ritual
belaka, akan tetapi mengorientasikan pula pada berbagai bentuk pengajaran,
bimbingan, serta memberikan rambu-rambu berupa aturan ke segala aspek
kehidupan dan peradaban umat manusia termasuk dalam bidang pendidikan dan
lembaga pendidikan itu sendiri.
Para pemeluk Islam secara berangsur-angsur telah berhasil mendirikan
hingga membentuk sebuah kerajaan besar yang kokoh yang kemudian dikenal
sebagai dinasti Abbasiyah atau kekhalifahan Abbasiyah itu, adapun wilayahnya
terbentang luas mencakup jazirah Arabia, sebagian benua Afrika, Asia pun
dikuasai, begitu pula dengan bumi belahan Eropa hal tersebut terjadi bermula
pada abad ke-7 Masehi hingga pada abad 12 M Masehi yang merupakan
penguasaan yang begitu relatif panjang. Kemunculan Dinasti Abbasiyah dalam
konteks kejayaan umat Muslim dimana Islam sebagai pengusung kejayaan
tersebut. Bermula dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah itulah hingga terlahirnya
konsep pendidikan yang mapan dan tumbuhnya perkembangan ilmu sehingga
para pengajar muslim berkembang dengan pesat dan tersebar di seluruh Negara
khusunya yang berhaluan Islam. Hal inilah yang membidangi terlahirnya
sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah hingga perpustakaan-perpustakaan
yang tersebar di seluruh negeri berpenghuni pemeluk Islam baik yang tersebar di
kota maupun di pelosok desa-desa. Anak-anak maupun para pemuda,
meninggalkan kampung halamannya menuju pusat-pusat pendidikan demi untuk
belajar bersekolah guna menuntut ilmu pengetahuan setinggi mungkin.
Dinasti Abbasiyah merupakan tak lain suatu Dinasti yang berkuasa setelah
berhasil mengalahkan Dinasti sebelumnya yakni; Dinasti Bani Umayyah kala itu.
Dalam hal ini dimana nama dari Dinasti Abbasiyah berasal dari nama pendirinya
yakni Abbul Abbas Al- Saffah yang merupakan keturunan dari Bani Abbas,
paman Nabi Muhammad SAW. Nama lengkapnya yakni Abdullah al-Saffah Ibn
Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas, ia dilahirkan kala itu di wilayah
Humairah pada tahun 104 Hizriyah dan resmi menjadi khalifah tepatnya di
tanggal 3 Rabi‘ul awwal pada tahun 132 Hizriyah. Adapun kekuasaan Dinasti ini
berlangsung cukup lama dari tahun 750-1258 Masehi, penguasaan yang boleh
Page 159
142
dibilang relatif panjang dan mengalami masa keemasan ditandai dengan
berkembang pesatnya lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah dan
perpustakaan; yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi
perkembangan ilmu pengetahuan kala itu, sehingga Islam mencerminkan sebuah
agama dengan motivasi keilmuan yang tiada duanya kala itu. Di antara lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa dinasti Abbasiyah tersebut
adalah:
1. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar sewaktu agama Islam diturunkan
Allah sudah ada di antara para sahabat yang pandai tulis baca. Kemudian
tulis baca tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat dalam
Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam. Kepandaian tulis
baca dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang
peranan penting dikarenakan dari awal pengajaran alqur‘an juga telah
memerlukan kepandaian tulis baca, karena tulis baca semakin terasa perlu
maka kuttab sebagai tempat belajar menulis dan membaca, terutama bagi
anak-anak berkembang dengan pesat.
2. Pendidikan rendah di istana, Pendidikan rendah di istana muncul
berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan
anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia
dewasa. Atas pemikiran tersebut khalifah dan keluarganya serta para
pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan pendidikan rendah ini agar
anak-anaknya sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan
tugas-tugas yang akan diembannya nanti. (Zuhairini, 2004:92).
3. Toko-toko kitab, Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam
yang semakin pesat terus diikuti dengan banyak buku-buku yang dibuat
dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka
banyaklah toko-toko yang berdiri yang menyediakan buku-buku yang telah
dibuat oleh para penulis buku. Sehingga menjadi lahan ekonomi juga bagi
para pedagang.
4. Rumah-rumah Para Ulama. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan
penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum.
Pelaksanaan kegiatan belajar di rumah pernah terjadi pada awal permulaan
Islam, Rasulullah Saw misalnya pernah menggunakan rumah al-Arqam (Dar
al-Arqam) bin Abi al-Arqam sebagai tempat belajar dan mengajar tentang
dasar-dasar agama yang baru serta membacakan ayat-ayat al-qur‘an yang di
turunkan. Dan pada masa Abbasiyah di antara rumah-rumah para ulama
yang digunakan sebagai lembaga pendidikan, rumah yang sering digunakan
untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-Rais Ibn Sina; sebagian ada yang
membaca kitab al-Syifa‘ dan sebagian lain membaca kitab al-Qanun.
(Abuddin Nata, 2011:156-157).
5. Majelis atau Salon Kesusastraan. Majelis atau salon kesusastraan adalah
sebuah majelis khusus yang dibangun oleh khalifah Harun al-Rasyid, dan
dipergunakan sebagai sarana atau tempat untuk membahas berbagai macam
ilmu pengetahuan. Pada masa itu, yaitu masa khalifah Harus al-Rasyid,
majelis sastra ini sangat diminati dan mengalami kemajuan yang gemilang,
karena Harun al-Rasyid sendiri adalah salah seorang yang mahir dan ahli
Page 160
143
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan beliau juga seseorang yang
cerdas, maka beliau juga terjun aktif dalam mengisi kajian di majelis
tersebut. Bahkan pada masa beliau juga sering diadakan perlombaan antara
ahli-ahli syair, debat antar fuqaha serta sayembara bagi ahli kesenian dan
pujangga. (Suwito, 2008:103).
6. Badiah. Badiah merupakan dusun-dusun tempat tinggal orang Arab yang
mana mereka tetap konsisten mempertahankan keaslian dan kemurnian
bahasa Arab. Mereka sangat memperhatikan kefasihan atau artikulasi yang
baik dan benar dalam berbahasa Arab dan memelihara kaidah-kaidah tata
bahasanya. Biasanya para khalifah mengirim anak-anaknya ke badiah untuk
mempelajari bahasa Arab murni serta syair-syair sastra Arab dari sumber
yang terpercaya. Bukan hanya anak-anak, para ulama serta ahli ilmu juga
datang ke badiah untuk belajar, karena fungsi badiah juga sebagai lembaga
pendidikan Islam.
7. Rumah Sakit. Untuk mewujudkan kesejahteraan para khalifah dan
pembesarpembesar Negara pada masa ini, banyak mendirikan rumah-rumah
sakit, rumah-rumah sakit tersebut selain sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit juga berfungsi sebagai tempat untuk mendidik
tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan serta
tempat untuk mengadakan berbagai penelitian dan percobaan (praktikum)
dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembanglah ilmu
kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi. Dengan demikian rumah
sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
(Zuhairini, 2004: 97).
8. Perpustakaan dan Observatorium. Dalam rangka mengembangkan ilmu
pengetahuan yang terjadi pada masa Abbasiyah, maka didirikanlah
perpustakaan dan observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah
lainnya. Pada lembaga ini, para penuntut ilmu diberikan kesempatan untuk
belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuannya. Tempat-tempat ini juga
digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti yang luas, yaitu
belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang
umumnya dipahami, melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada
aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan cara memecahkan
masalah, eksperimen, belajar sambil bekerja (learning by doing), dan
inquiry (penemuan). (Abuddin Nata, 2011:161). Kegiatan belajar yang
demikian ini dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-
lembaga pusat kajian ilmiah.
9. Madrasah. Madrasah muncul pada masa dinasti Abbasiyah sebagai
kelanjutan dari pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di
masjid-masjid dan tempat lainnya, selain minat masyarakat yang semakin
meningkat untuk mempelajari ilmu pengetahuan juga semakin
berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan untuk
mengajarkannya diperlukan guru yang lebih banyak, sarana dan prasarana
yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi yang lebih teratur. Untuk
menyelesaikan semua keperluan ini dibutuhkan suatu lembaga yang bersifat
formal, yaitu: madrasah.
Page 161
144
Hal tersebut memberikan warna dan bukti bahwasanya kala Dinasti
Abbasiyah berkuasa semangat ilmuan muslim berkembang sebagai kekuatan
intelektualitas yang paling berpengaruh di dunia.
Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni
dengan kebangkitan madrasah. Secara tradisional sejarawan pendidikan Islam,
seperti Munir ad-Din Ahmed, George Makdisi, Ahmad Syalabi dan Charles
Michael Stanton menganggap, bahwa madrasah pertama kali didirikan oleh
Wazir Nizam al-Muluk pada 1064; madrasah ini kemudian terkenal sebagai
Madrasah Nizam al-Muluk. Akan tetapi, penelitian lebih akhir, misalnya yang
dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih
tua di kawasan Nishapur, Iran. Pada tahun 400/1009 terdapat madrasah di
wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah; yang
tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abu Ishaq Ibrahim ibn
Mahmudi di Nishapur (Azra, 1999: viii).
Dengan berdirinya suatu madrasah tak lain merupakan awal tonggak sejarah
baru dalam hal penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan dalam Islam serta
guna membedakannya era pendidikan ketika Islam sebelumnya. Dimana
Madrasah Nizhamiyyah inilah merupakan salah satu dari madrasah yang
terbilang khas dan terkenal ketika Bani Saljuk berkuasa di lingkungan Dinasti
Abbasiyah. Para pendidik di dalam Madrasah Nizhamiyah pun tak lain
merupakan para pendidik berkompeten dalam bidang keilmuannya masing-
masing. Madrasah Nizamiyah telah menjadi salah satu fenomena amat menonjol
dimulai dari abad 11 sampai dengan abad 12 M atau abad 5 H, dalam hal ini
khususnya kala itu seorang wazir dari kalangan Bani Saljuk, yakni Nizham al-
Muluk, ia mendirikan suatu madrasah Nizhamiyah di wilayah Baghdad sebagai
pusat dari pemerintahan kala itu. Walaupun bukan berarti ia orang pertama yang
mendirikan madrasah, kendati ia memiliki jasa dalam hal mempopulerkan
pendidikan madrasah bersamaan dengan reputasinya sebagai kewaziran. selain
itu dimana lembaga madrasah telah dianggap prototype pada awal lembaga
pendidikan tinggi dan setelahnya itu. Menimbang hal tersebut bahwasanya
lembaga pendidikan madrasah tak lain merupakan salah satu dari kekhasan
lembaga pendidikan tinggi bercorak Islam, merupakan lembaga pendidikan yang
tergolong resmi yang mana di sini pemerintah secara langsung terlibat di dalam
pengelolaannya. Seperti halnya Madrasah Nizhamiyah, seperti yang telah
disebutkan pemerintah secara langsung terlibat di dalam pengeloalaanya tersebut.
Besarnya peran serta pihak pemerintah bagi Madrasah Nizhamiyah tersebut,
sehingga kesejahteraan kehidupan para guru lebih meningkat keterjaminannya,
dan tidaklah akan mengalami kendala dengan masalah keuangan dalam
keluarganya (Siregar, 2015: 81-82). Berdasarkan kajian literatur Madrasah
Nizamiah dalam pendiriannya berhubungan dengan Bani Saljuk karenanya
penting diulas hal tersebut. Selain madrasah-madrasah yang kemudian
merangsang semangat ilmuan muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
terdapat pula perpustakaan yang paling terkenal yakni Bait al-Hikmah;
Pemerintahan Bani Abbasiyah betul-betul eksis dalam pengelolaan ilmu
pengetahuan hal tersebut dapat teramati dengan adanya konsep perpustakaan
pada masa itu yakni Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah tak lain berfungsi sebagai
Page 162
145
perpustakaan dan berfungsi pula sebagai lembaga yang pengembangan bidang-
bidang ilmu berbagai jenis keilmuan. Adapun lembaga tersebut merupakan
bentuk kelanjutan jenis institusi serupa ketika imperium besar Sasania Persia juga
memiliki lembaga yang disebut Jundishapur Academy. Namun memiliki
perbedaan ketika masa Persia dimana institusi inilah yang menyimpan berbagai
karya puisi-puisi juga cerita-cerita yang diperuntukkan para Raja kala itu, begitu
juga ketika Dinasti Abbasiyah kala Harun Al- Rasyid berkuasa dimana instutusi
inilah yang kemudian bernama Khizanah al-Hikmah berfungsi perpustakaan dan
merupakan pusat dari penelitian. Ketika al-Makmun berkuasa diubah
pernamaanya yaitu Bait al-Hikmah yang kemudian diperuntukkan sebagai
penyimpan buku-buku lama (kuno) yang semula didapatkan dari bangsa Persia,
Bizantium, bahkan Etiopia serta India (Abdurrahman, 2002: 126).
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan, dan implikasi tersebut, maka dapat ditarik suatu
saran atau rekomendasi, adapun rekomendasi tersebut dapat disimak berikut ini:
1. Lembaga pendidikan Islam berupa madrasah dan perpustakaan haruslah
dikembangkan secara terus menerus sebab hal itulah yang dapat memotivasi
semangat keilmuan ilmuan muslim, sehingga tanpa adanya madrasah dan
perpustakaan yang kokoh keberadaan ilmu pengetahuan tidaklah dapat
berkembang secara maksiman.
2. Lembaga pendidikan Islam harus didukung oleh kekuatan pemerintah,
sebagaimana yang terjadi pada zaman Dinasti Abbasyiah; dengan
keterlibatan negara dalam pembangunan lembaga pendidikan Islam akan
melahirkan lembaga pendidikan yang kokoh sebab ditopang oleh peraturan
yang formal dan resmi serta dengan pembiayaan yang dapat dipergunakan
demi kemajuan ilmu pengetahuan tersebut.
3. Pertumbuhan pesatuan pada diri umat Islam perlulah diperkuat secara nyata,
sebab persatuan merupakan modal dasar untuk menciptakan kondisifitas
keberlangsungan perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat memotivasi
para ilmuan muslim untuk terus berkarya sesuai dengan bidang keilmuannya
masing-masing
Demikianlah rekomendasi pada tulisan ini, adapun kiritik dan sarannya
sangatlah penulis tunggu sebab melalui hal tersebut perbaikan dapat dilakukan.
Page 164
147
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: LESFI.
---------------------------- . 2003. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga
Modern, Yogyakarta: LESFI
Abdurrahman, M. Yusuf. 2013. Cara Belajar Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pencetus
Sains-Sains Canggih Modern. Yogyakarta: Diva Press
Abdurrahman, M. Yusuf. 2003. Islam Pribumi. Jakarta: Erlangga
Abdurrahmansyah. 2005. Wacana Pendidikan Islam, Khazanah Filosofis dan
Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan
Moralitas. Yogyakarta: Global Pustaka Utama
Abdul, Karim M. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher
Abdullah, Taufik. 2003. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam 2. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve
.
Amin, Ahmad. 1966. Dhuha al-Islam III. Cairo Mesir, al-Nahdhah al-Mishriyah
Ahmad, Jamil. 1996. Seratus Muslim Terkemuka. Cet. VI. Jakarta: Pustaka Firdaus
-----------------. 2009. Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ahmad, Entus Riyadhy. 2015. Madrasah Nizhamiyah Pengaruhnya terhadap
Perkembangan Pendidikan Islam dan Aktivitas Ortodok Sunni. UIN
Sunan Gunung Djati BandungJ URNAL TARBIYA Volume: 1 No: 1 -
2015 (127-138)
Ahmad, Jamil. 1996. Seratus Muslim Terkemuka terj. Hundred Great Muslims.
Jakarta: Pustaka Firdaus
Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Surabaya: Bulan
Bintang
Aibak, Kutbuddin. 2009. Teologi Pembacaan : Dari Tradisi Pembacaan Paganis
Menuju Rabbani, Yogyakarta: Teras
Ali, K. 1996. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Page 165
148
Al-Abrasyi, M. Athiyah. 1986. Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa falsafatuha, Kairo :
Maktabah I sa al Babi al-Halabi
Al-Ghazali. 2005. al-Munqidz min al-Dhalal, tahkik ‗Abdul Halim Mahmud alih
bahasa Abdul Munip. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Al-Maududi, Abu A‘la. 1996. Khilafah dan Kerajaan. Cet. VI. Bandung: Mizan
Al-Syaibani, Oemar Muhammad Al-Syaibani. 1979. Falsafah Pendidikan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang
Al-Dzahabi, Muhammas Husain. 1976. Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, Cet.II
Al Farabi, Mohammad. 2013. Bayt Al-Hikmah: Institusi Awal Pengembangan
Tradisi Ilmiah Islam. Jurusan Pendidikan Agama Islam STAI Sumatera Jl.
Sambu No. 64 Medan, Sumatera Utara, 20231 MIQOT Vol. XXXVII No. 1
Januari-Juni
Al-Qardhawi, Yusuf. 1996. Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, terj. Abrori.
Surabaya: Pustaka Progressif
Amin Ahmad Husayn. 1999. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya. Asrohah Hanun
Amin, Ahmad. 1966. Dhuha al-Islam III, Cairo Mesir, al-Nahdhah al-Mishriyah
------------------. 1978. Dhuha Al-Islam, jilid 2. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka
Amin, Muhammad. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah Serta
Dampaknya Terhadap Dunia Islam Kontemporer. Dosen UIN Raden Fatah
Palembang Jurnal el-Hekam, Vol. I, No. 1, Januari-Juli 2016
Armtrong, keren. 2002. Islam Sejarah singkat. Yogyakarta: Jendela
As'ari, Hasan. 1994. Menyikap Zaman Keemasan Islam, kajian atas Lembaga
Pendidikan. Bandung: Mizan
As-Sirjani, Raghib. 2003. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, terj. Sonif, M.
Irham dan M.Supar. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
As-Sayis, Syekh Muhammad Ali. 1996. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Diterjemahkan
oleh Dedi Junaedi dengan judul Sejarah Pembentukan dan Perkembangan
Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo
Page 166
149
Asari, Hasan. 1993. The Educationalk Thought of al-Ghazali: Theori and Praktice,
Tesis, Montreal: Institute of Islamic Studies t.t. McGill University
At-Tuwaanisi, Ali al-Jumbulati Abdul Futuh. 1994. Perbandingan Pendidikan
Islam, terj., M. Arifin Jakarta: PT. Rineka Cipta
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: Logos
------------------------. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII-XVIII . Bandung: Mizan
Bakar, Istianah Abu. 1999. Sejarah Peradaban Islam: untuk Perguruan Tinggi
Islam dan Umum. Malang: UIN-Malang Press
Basri MS, Metodologi Penelitian Sejarah:Pendekatan, Teori dan Praktek, (Jakarta:
Restu Agung, 2006)
Bastoni, Hepi Andi. 2008. Sejarah Para Khalifah. Jakarta: Pustaka AlKautsar.
Bokhari, Rana dan Seddon, Mohammas. 2010. Ensiklopedia Islam.
Jakarta:Kementrian Agama RI
Bosworth, C.E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan
Cyril, Glasse Cyril. 1999. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Ahmad Daudy, Ahmad. 1984. Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang
Darmuin, Rustam Thoyyib. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Tokoh
Klasik dan Kontenporer). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dar al-‗ilm, Penyusun. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
---------------------------. 2011. Atlas Sejarah Islam. Jakarta, Kaysa Media
Dewan Redaksi. 1994. Ensiklopedi Islam, vol. IV. Jakarta: Ichrtiar Baru Van Hoeve
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2002. Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10.
Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Esposito, John L. 2002. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Eva YN dkk
penj., Bandung: Mizan.
Page 167
150
Fadjar, Abdullah dkk. 2006. Khasanah Islam Indonesia: Monografi Penerbit Buku-
buku Islam. Jakarta: The Habibi Center Jakarta
Fadil SJ. 2008. PasangSurut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Malang:
UIN Malang Press
Fakhry, Majid. 1986. Sejarah Filsafat Islam , diterjemahkan dari AHistory of
Islamic Philosophy, Cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya
G.E Bosworth, G.E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam terj. The Islamic Dynasties.
Bandung: Mizan
Haekal, Muhammad Husain. 2010. Utsman Bin Affan, terj. Ali Audah, Usman Bin
Affan. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa
Hakiki, Kiki Muhamad. Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Jurnal TAPIs Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012
Hak, Nurul. Penyebarluasan Buku, Perkembangan Ilmu Pengetahuan, dan Dakwah
Dalam Proses Peradaban Islam Klasik Jurusan Bimbingan dan Konseling
Islam. Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurnal Dakwah,
Vol. XI No. 2, Juli-Desember 2010
Hamami, Abbas, 1996. Etika Keilmuan” dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Liberty
Hanun Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu
Hasjmy, A. 1993. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang
Hourani, Albert. 2004. Sejarah Bangsa-bangsa Muslim. Bandung: Mizan Pustaka.
Hasan Basri, M. Nur. 2001. Peran Islam dalam Kemajuan Eropa. Jakarta: Serambi
Indonesia.
Hanafi, Hassan. 2000. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat,
terjemahan M. Najib Buchori. Jakarta: Paramadina.
Hasan, Ibrahim Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta, Kota
Kembang. Munir, Samsul. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Amzah.
Hasan, Ibrahim. 1965. Tārīkh al-Islām: Al-Siyāsi wa al-Dīni, wa al- Tsaqafi wa al-
Ijtimā`i, juz II (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah
Page 168
151
Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Cet I. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Hasaruddin. 2011. Pluralitas Agama Dan Kebijakan Politik Pada Masa Abbasiyah.
Makassar: Alauddin University Press
Hitti, Philip K. 1974. History of The Arabs. London: The Macmillan
-----------------. 2002. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
-------------------.2002. History of the Arabs, diterjemahkan oleh Ushuluddin
Hutagalung dengan judul, Dunia Arabs Sejarah Ringkas, Cet. VII;
Bandung: Sumur Bandun
-----------------. 2006. History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif
tentang Sejarah Peradaban Islams, terj. R.C. Yasin dan D.S. Riyadi.
Jakarta: Serambi
Hoodbhoy, Pervez. 1997. Islam dan Sailns: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas.
Terjemahan: Luqman. Bandung: Fustaka Firdaus
Philip K. Hitti. 2010. History of The Arabs. terj.R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Sejahtera
Ibn Khaldun, Ibn. 1986. Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha. Jakarta : Pustaka
Firdaus
Ibrahim, Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam diterjemahkan dari Islamic
History and Culture oleh Djahdan Humam Saleh, Yogyakarta: Depag RI
IAIN SUKA
Idi, Abullah dan Suharto, Toto. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Intan, Salmah. Kontribusi Dinasti Abbasiyah Bidang Ilmu Pengetahuan.
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Jurnal Rihlah Vol.6 No.
2/2018: Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-
Islāmiyah, Vol. 3
Irawan, F. 2017. Laporan: Invasi Mongol dan Keruntuhan Baghdad (1258). Edisi 17
Desember 2017 Lembaga Kajian Syamina
Faisal Ismail, Faisal. 2010. Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid
Seputar Isu Sekularisasi Dalam Islam. Jakarta Barat, Lasswell Visitama
Page 169
152
Ismatulloh, A.M. Konsepsi Ibnu Jarir Al-Thabari Tentang Al-Qur‟an, Tafsir dan
Ta‟wil. Jurnal Fenomena Vol. IV No. 2, 2012
Ismaun. 1990. Pengantar Ilmu Sejarah. Bandung: IKIP Bandung,
Jaudah, Muhammad Gharib. 2007. Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Jahja, H.M. Zurkani. 1996. Teologi: Pendekatan Metodologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam (Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Khuluq, Lathiful et.al. 2003. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga
Modern.Yogyakarta: Lesfi
Ira M. Lapidus, Ira M. 1999. A History of Islamic Societies, terj. Ghufron A
Mas‘adi, Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Lailil, Husni. Asari, Hasan dkk. Bayt Al-Hikmah: Sejarah Transmisi Ilmu
Pengetahuan Antar Peradaban: Edu Riligia Vol 3, No.2, April-Juni, 2019
Leinssa, R.Z dkk. 1984. Pemikiran Biografi dan Kesejarahan Suatu Kumpulan
Prasaran pada Berbagai Loka Karya Jilid III Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional: Jakarta
Firdawaty, Linda. Negara Islam pada Periode Klasik. Asas, Vol. 7, No. 1, Januari
2015
Langgulung, Hasan. 1989. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa dan Pendidikan.
Jakarta: Pustaka Al-Husna
Lisdawati dan Arifin, Zuhairansah. 2014. Sejarah Pendidikan Islam, Pekanbaru:
Kreasi Edukasi
Madjid, Nurcholis. 2000. Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:
Penerbit Paramadina
Majid, Jabar, Abdul. Disertasi: Perkembangan Institusi Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan Pada Masa Pemerintahan Bani Buwaihi (Program Doktor
Universitas Islam Negeri Jakarta 2008)
Makdisi, G. 1991. Religion, Law and Learning in Classical Islam: Varioum
Page 170
153
Maryamah. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah. Tadrib Vol. 1 No. 1 Juni
2015. Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang
Mahroes, Serli. Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah
Pendidikan Islam. Jurnal Tarbiya Volume: 1 No: 1 2015
Mubarok, Jaih. 2000, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Surabaya : Logos Wacana
Ilmu
Mukti, Abd. 2007. Konstruksi Prndidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media
Wahyu Murtiningsih, Wahyu. 2011. Para Pendekar Matematika dari Yunani
Hingga Persia. Yogyakarta: DIVA Press
Rusjdi Ali Muhammad, Rusdi Ali. 2000. Politik Islam: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maksidi, George. 1976. Madrasah and University in the Middle Ages, dalam Jurnal
Studia Islamica. 1976 dan Charles Michael Stanton. 1994. Pendidikan
Tinggi dalam Islam, terj. Afandi. Jakarta: Logos
Mukani. 2000. Pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam Dunia Pendidikan Islam
(studi kasus madrasah Nizamiyah) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
Darussalam Krempyang Nganjuk dan Jombang.
Mukti, Abdul. 1999. Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mukti, Abd. 2000. Sejarah Sosial Pendidikan Islam Masa Dinasti Saljuq. Disertasi
Doktor, tidak dipublikasikan. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
-----------------. 2007. Konstruksi Prndidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media
Muksin, Mochamad. Islam dan Perkembangan Sains dan Teknologi (Studi
Perkembangan Sains dan Teknologi Dinasti Abbasiyah). Fakultas
Teknologi Informasi, Universitas Merdeka Malang Teknologi dan
Manajemen Informatika Volume 2, Nomor 4, Juni 2016
Munir, Samsul. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Muzayyana. 2014. Sejarah Peradaban Islam 2. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press
Page 171
154
Nadiyah Jamaluddin. 1983. Falsafah at-Tarbiyah „Inda Ikhwan al-Shafa, Kairo: al-
Markaz Al-Arabi li al-Shahfah
Nata, Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan
Pertengahan Jakarta: Raja Grafindo Persada
--------------------. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Interpratama
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Tadrib Vol. 1 No.
1 Juni 2015
-----------------. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis . Jakarta: Ciputat Press
------------------. 2009. Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta: Kencana Pradana
-----------------. 2011. Sejarah Pendidikan Islam menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Nupiah, Ali. Pola dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Periode Abbasiyah,
dalam Samsul Nizar (Ed). 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Cetakan IV
Jakarta: Kencana
Nurcholis Madjid, Nurcholis. 2000. Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan, dan Kemodernan.
Jakarta: Penerbit Paramadina
Nurdin, M. Amin. 2012. Sejarah Pemikiranm Islam Teologi Ilmu Kalam. Cetakan
Pertama. Jakarta: Amzah
Nst, Syamrudin. 2007. Sejarah Peradaban Islam, Riau : Badan Penelitian dan
Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau
Oktaviyani, Vita Ery. 2018. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dinasti Abbasiyah
Periode Pertama Mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas
Interdiciplinary Islamic Studies, Program Pascasarjana, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta; JUSPI: Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 2
Tahun 2018 ISSN 2580-8311
Pardi, M. Habib Husnial. 2005. Eksistensi Madrasah Awal (Pada Abad IX-XI M)
dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. 2005.
Jakarta: Kencana.
Pasya, Ahmad Fuad. 2004. Dimensi Sains al-Qur‟an, terj. Muhammad Arifin, Cet. I
Solo: Tiga Serangkai
Page 172
155
Peter Worsley, Peter. 1970. Introducing Sociology. Great Britain: Penguin Books
Inc
Qadir, C.A. 1988. Philosophy and Science in the Islamic World. London: Routledge
Qolyubi, Syihabuddin dkk. 2003. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Fakultas Adab
Rahman, Fazlur. 2000. Islam. Bandung: Pustaka
Rosenthal, Franz. 1989. The History of Al-Tabari. New York: State University of
New York Press
Rosdakarya. Undang-undang R. I. Nomor 20 Tahun 2003, 2003. tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Jakarta : BP. Dharma Bhakti.
Rusn, Abidin Ibnu. 1998. Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan. Cet. I;
Yogyakarta Pustaka Pelajar Offset
Rustam E. Tambaruka, Rustam E. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat
Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek. Yogyakarta: Rineka Cipta
Umar, Nasaruddin. 2006. Pasang Surut Tradisi Intelektualisme Islam. Dialog,
Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan
Ushama, Thamem. 2000. Metodologi Tafsir al-Qur'an. Jakarta: Rineka
Sabra. 1992. Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah
Pengantar, dalam Jurnal al-Hikmah, Edisi 6, Oktober 1992.
Sadzali, Munawir. 1933. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran
Jakarta: UI Press
Salimuddin. 1990. Tafsir al-Jami'ah. Bandung: Pustaka
Sari, Kartika., M.Hum. 2015. Sejarah Peradaban Islam Cetakan I, Shiddiq Press
Kampus STAIN Syaikh abdurrahman: dKabupaten Bangka Barat.
Shaban. 1981. Islamic History, A New Interpretation, Jilid II. Cambridge:
Cambridge University Press
Shiddiqi, Nourouzzaman. 1986. Tamaddun Muslim Bunga Rampai Kebudayaan
Muslim. Jakarta: Bulan Bintang
Page 173
156
Shiddiqi, Nourouzzaman. 1996. Jeram-Jeram Peradaban Muslim. cet. ke-1;
Yogyakarta: Pustaka Bintang
Sitompul, Agussalim. 2006. Pertemuan Kebudayaan Islam dan Kebudayaan
Yunani/ Persia Makalah Yogyakarta
Siregar, Lottung Raja. Madrasah Nizhamiyah; Eksistensi dan Pengaruhnya
Terhadap Perkembangan Pendidikan Islam dan Aktivitas Ortodoksi Sunni
Dosen STAI Tuanku Tambusai Pasir Pengaraian Vol 4, No 1 (2015)
Siregar
Siregar, Masarudin. 1999. Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun (suatu analisis
fenomenologi. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisango Semarang
Sodiqin, Ali dkk. 2004. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik hingga
Modern. Cet-2. Yogyakarta: LESFI
So‘uyb, Joesoef. 1977. Sejarah Daulah Abbasiyah II. Jakarta: Bulan Bintang
--------------------. 1997. Sejarah Daulat Abbasiyah I. Jakarta: Bulan Bintang
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik:Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam. Jakarta: Kencana
Suriasumantri, Jujun S, 2006. Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Stanton, Charles Michael. 1984. Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan
Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Terj. Afandi dan Hasan
Asy‘aril. cet. ke-1. Jakarta: Logos
---------------------------------. 1990. Higher Learning in Islam: The Clasiccal Period,
(Maryland: Rowman 7 dan Littlefield, Inc.
--------------------------------. 1994. Pendidikan Tinggi dalam Islam, ter. Afandi dan
Hasan Asari. Jakarta: Logos.
Syalabi, Ahmad. 1973. Sejarah Pendidikan Islam. (Terj.) H. Muchtar Yahya dan M.
Sanusi Latief. Jakarta: Bulan Bintang
-------------------. 1993. Sejarah dan Kebudayaan 3. Cet. III. Jakarta: Pustaka Al-
Husna
--------------------. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : PT Alhusna Zikra
Page 174
157
--------------------. 1998. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna
Baru
---------------------. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Terj.: Al Mukarram
Ustaz Muhammad Labib Ahmad. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru
Syukur NC., Fatah, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2015
Suhartini, Andewi. 2012. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia.
Sunanto, Musyarifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Kencana, 2003.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Suriana. Refleksi Introspeksi: Tantangan dan Penopang Kemajuan Lembaga
Pendidikan Tinggi Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah Refleksi-Intropeksi:
Tantangan dan Penopang. Itqan, Vol. 8, No. 2, Juli - Desember 2017
Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Cet-1, Jakarta: Prenada Media
---------. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana.
Tafsir, Ahmad dkk. 2004. Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung:
Mimbar Pustaka
Taufiqurrahman. 2003. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah
Peradaban Islam. Surabaya: Pustaka Islamika
Tengku Iskandar, Tengku. 1996. Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur
Tim Ensiklopedi. 1998. Ensiklopedi Islam. Cet. III. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Houve
Thaha, Ahmadie. 1994. Dalam Pengantar Karya al-Ghazali, al-Tibbr al-Masbuk fi
Nashihat al-Muluk alih bahasa oleh Ahmadie Thaha. Bandung: Mizan
Thoha, As‘ad. 2011. Sejarah Pendidikan Islam,. Jogjakarta: Insan Madani
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak
Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Page 175
158
Toto Suharto, Munir dkk. 2005. Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan
Islam, Corpus. (Circle Of Raden Fatah Postgraduate Students) dan Global
Pustaka Utama :Yogyakarta
Walidin, Warul. 2005. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun Perspektif
Pendidikan Modern. Yogyakarta: Suluh Press
Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute
Watt, Montgomery. 1995. Islam dan Peradaban Dunia terj. Hendro Prasetyo.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Watt, W. Montgomery. 1990. Kejayaan Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis.
Terj. Hartono Hadikusuma. Yogyakarta: Tiara Wacana.
-------------------------. 1995. Islam dan Peradaban Dunia terj. Hendro Prasetyo.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Yahya, Mahyudin dan Halimi, Ahmad J. 1993. Sejarah Islam. Kuala Lumpur: Fajar
Bakti
Yatim, Badri. 1997. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
----------------. 1998. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
-----------------. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
-----------------. 2006. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta :
Rajawali Pers
-----------------. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Rajawali Pers
Yunus, Mahmud. 1966. Sejarah pendidikan Islam. Jakarta: Mutiara.
---------------------. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya
Agung.
--------------------. 1992. Pendidikan Islam : Dari Zaman Nabi S.A.W Khalifah-
Khalifah Rasyidin, Bani Umaiyah dan Abbasiyah sampai Zaman Mamluks
dan Usmaniyah Turki. Jakarta: Hidakarya Agung
Yunus Ali Al, Muhdar dan Arifin, Bey. 1983. Sejarah Kesusastraan Arab. Jakarta:
Bina Ilmu.
Page 176
159
Yusuf, Ali Anwar. 2006. Islam dan Sains Modern, Sentuhan Islam terhadap
Berbagai Disiplin Ilmu, cet.I, Bandung: CV.Pustaka Setia
Yusuf, Muhammad Dkk. 2004. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan teks Yang Bisu),
Yogyakarta: TERAS
Zubaedi. 2012. Islam dan Benturan Antar Peradaban: Dialog Filsafat Barat dengan
Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Zuhad. 2005. Ensiklopedi Islam. vol. 6. ed. bahasa: Nina M. Armando et.al. Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Zuhairini, dkk. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumber Lain
Majid, Jabar, Abdul. Disertasi: Perkembangan Institusi Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan Pada Masa Pemerintahan Bani Buwaihi (Program Doktor
Universitas Islam Negeri Jakarta 2008).
Sri, Wahyuningsih, Jurnal Kependidikan: Implementasi Sistem Pendidikan Islam
Pada Masa Daulah Abbasiyah dan pada masa sekarang, (November 2014)
Page 178
161
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
2. Silsilah Keluarga Dinasti Bani Abbasiyah
Page 179
162
3. Istana Dinasti Abbasiyah
Istana Al-Hamra
Page 180
163
4. Gambar Baitul Hikmah
5. Gambar Majlis Munazarah
Page 181
164
6. Gambar Madrasah Nizhamiyah
Page 182
165
BIODATA PENULIS
Penulis, dilahirkan di sebuah kampung Mekarsari Desa Mekarsari Kec.
Cihara Kab. Lebak-Banten. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1985. Penulis putra
terakhir dari sepuluh sanak saudara.
Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di Mekarsari pada tahun 1997.
Kemudian menyelesaikan sekolah di MTs MA Cisiih pada tahun 2000. Ketika di
MTs, penulis pernah aktif di OSIS dalam bidang pendidikan, aktif di remaja mesjid
Bai‘atunnisa. Kemudian masuk Madrasah Aliyah Al-Ishlah Kananga Menes sambil
mondok dari tahun 2000-2003. Di MA ini penulis aktif dalam berbagai kegiatan,
dari OSIS (Bidang Pendidikan), KOPASKAL (Komando Pasukan Khusus Santri Al-
Ishlah), Kepramukaan, Bendahara OSIS Pon-pes Al-Ishlah. Penulis juga pernah
menjadi ketua panitia pekan jelang ramadhan, serta penulis pernah mendapatkan
prestasi ketika mondok, diantaranya Juara 2 lomba Adzan, Juara I Pidato Bahasa
Arab, Juara II Pidato Bahasa Inggris dan juara III pidato bahasa Indonesia.
Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi di Jurusan PAI Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di
kampus UIN ini penulis aktif di organisasi baik di organisasi intra kampus maupun
di ekstra. Penulis aktif di organisasi intra kampus misalnya pernah menjabat Sekjend
BEM PAI (2005-2006), Tim redaksi majalah UEREKA PAI (2005-2006), Menteri
Kemahasiswaan BEM FITK (2006-2007). Sedangkan di ekstra misalnya HMI
Komtar, HMI Cabang Ciputat, dan Himpunan Mahasiswa Banten Jakarta.
Pada tahun 2007 penulis telah menyelesaikan studi S1. Penulis mulai
mengajar di SDN Negeri 11 Serang Banten dan di SMP Nuur El-Bantany pada
tahun 2007-2011. Pada tahun 2009-2011 Penulis diberikan amanah menjadi kepala
SMP Nuur El-Bantany. Pada tahun 2011-sekarang penulis mengajar di MTs
Pembangunan UIN Jakarta, selama mengajar penulis pernah membuat buku modul
SKI kelas 8 dan kelas 9.
Pada tahun 2017 penulis alhamdulillah mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan studi di MPAI Fakultas Tarbiyah dari Madrasah Pembangunan UIN
Jakarta. Dan insyaAllah pada tahun 2020 ini, tepatnya bulan Agustus mudah-
mudahan penulis bisa menyelesaikan studinya. Semoga tesis karya penulis ini
bermanfaat khususnya buat penulis dan umumnya buat para pembaca.