PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS
BAB IPENDAHULUAN
Hidung berdarah dalam istilah Kedokteran: epistaksis atau
Inggris: epistaxis atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari
hidung yang keluar melalui lubang hidung. Epistaksis adalah
keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan
bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang
sangat menjengkelkan dan mengganggu, dan dapat pula mengancam
nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati
epistaksis secara efektif. Epistaksis berat, walaupun jarang
dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat
berakibat fatal, bila tidak segera ditolong.Di Amerika, epistaksis
dilaporkan terjadi pada 60% populasinya. Namun jarang sekali
menyebabkan kematian. Distribusinya bermacam-macam dengan insiden
terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun.
Kasus ini terbanyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita.Pada
umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior
dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari
Pleksus Kiesselbach atau dari arteri Ethmoidalis anterior.
Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri
sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Kasus- kasus
epistaksis kebanyakan terjadi pada daerah anterior septum nasi, dan
dapat diatasi dengan kauterisasi. Namun, epistaksis posterior lebih
memerlukan pendekatan yang lebih agresif termasuk metode posterior
nasal packing dan endoscopic cauterization. Epistaksis biasanya
terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit dan
berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu
memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan
kembali. Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% dari 374 orang
yang dirawat dengan hipertensi, memiliki riwayat epistaksis.
Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang pasien yang datang
ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien
(15,5%) dengan peningkatan tekanan darah. Hubungan antara
hipertensi dengan kejadian epistaksis masih merupakan suatu yang
kontroversial. Adanya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis
pada pasien dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi ventrikel
kiri. Tetapi sebagian penulis menemukan sebaliknya. Lubianca dkk
(1999), menyatakan tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara
peningkatan tekanan darah dengan kejadian epistaksis. Padgham dkk,
dikutip dari Temmel, menemukan adanya hubungan antara hipertensi
dengan epitaksis terutama epitaksis yang berasal dari meatus
medius, tapi tidak ditemukan hubungan dengan beratnya epistaksis.
Sedangkan Beran dkk melaporkan common cold, stres, dan kelelahan
dilaporkan sering mendahului terjadinya epistaksis.Ibrashi dkk
mengatakan bahwa lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnan
aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab lainnya yang
menghancurkan dinding pembuluh darah atau mukoperiostealnya yang
dapat menjadi pemicu terjadinya epistaksis, maka hipertensi dan
aterosklerosis baru akan memainkan peranannya dalam memperberat
epistaksis. Dari Lubianca mengatakan ada tiga faktor lain yang
dapat membuat samar diagnosis epistaksis yang disebabkan oleh
hipertensi yaitu: 1) kelainan anatomi hidung, 2) bukti adanya
kerusakan organ target lain dan 3) kelainan hemostasis. Artinya,
tidak semua orang dengan riwayat hipertensi memiliki resiko
epistaksis walaupun pada dasarnya hipertensi adalah salah satu
faktor predisposisi terjadinya epistaksi.BAB IITINJAUAN PUSTAKA1.
ANATOMI HIDUNGA. Mukosa hidungMembran mucosa melapisi cavum nasi ,
kecuali vestibulum yang dilapisi oleh kulit yang telah mengalami
modifikasi. Terdapat dua jenis membrana mucosa, yaitu 1) Mucosa
OlfactoriusOlfactorius melapisi permukaan atas concha nasalis
superior dan recessus sphenoetmhoidalis; juga melapisi daerah
septum nasi yang berdekatan atap. Fungsinya adalah menerima
rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mucosa memiliki sel
penghidu khusus. Akson sel sel ini (serabut N. Olfactorius)
berjalan melalui lubang lubang pada lamina cribosa ossis
ethmoidalis dan ber akhir pada bulbus olfactorius. Permukaan
membrana mucosa tetep basah oleh sekret kelenjar serosa yang
berjumlah banyak.2) Respiratorius Membran Mucosa
Membrana mucosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum nasi.
Fungsinya adalah menghangatkan , melembabkan dan membersihkan udara
inspirasi. Proses menghangatkan terjadi oleh pleksus venosus di
dalam jaringan submucosa. Proses melembabkan berasal dari banyaknya
mucus yang diproduksi oleh kelenjar kelenjar dan sel sel goblet.
Partikel debu yang terinspirasi akan menempel pada permukaan mucosa
yang basah dan lengket . mucus yang tercemar ini terus menerus
didorong ke belakang oleh kerja cilia dari sel- sel silindris
bercilia yang meliputi permukaan. Sesampainya di pharinx mucus ini
ditelan.B. Persyarafan cavum nasiN.Olfactorius berasal dari sel sel
olfactorius khusus yang terdapat pada membrana mucosa yang telah di
bicarakan sebelumnya . saraf ini ke atas melalui lamina cribosa dan
mencapai bulbus olfactorius. Saraf saraf sensasi umum berasal dari
divisi ophtalmica dan maxillaris n. Trigeminus. Persarafan bagian
anterior cavum nasi berasal dari n.ethmoidalis anterior. Persarafan
bagian posterior cavum nasi berasal dai ramus nasalis, ramus
nasopalatinus dan ramus palatius ganglion pterygopalatinum.C.
Pendarahan cavum nasiRongga hidung adalah tempat yang kaya akan
vaskularisasi, dengan suplai darah berasal dari arteri karotis
internal dan eksternal.
Sistem karotis eksternal membagi dan berakhir sebagai :
arteri temporal superfisial
arteri maxillaris internal.
Gambar:Percabangan arteri dari caroris externa- a.maxilaris
interna- pem.darah hidung.
i. Arteri Sphenopalatina
Cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen
sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan
dinding lateral hidung.ii. Arteri palatina desenden
Memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui
kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior
septum nasi. sistem karotis interna melalui arteri oftalmika
mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang
memperdarahi septum dan dinding lateral superior.
Plexus Kisselbachs(anterior): a. Ethomid anterior , a.palatina
mayor , a.sphenopalatina, a.labialis superior.Posterior: a. Ethmoid
posterior, a.SphenopalatinaB. EPISTAKSIS1. DefinisiEpistaksis
berasal dari bahasa Yunani yaitu epistazo, yang artinya perdarahan
dari hidung yang dapat berupa perdarahan anterior dan perdarahan
posterior. Perdarahan dari hidung ini dapat terjadi akibat sebab
lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).2. EtiologiPada banyak
kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis.
Etiologi epistaksis dapat dari banyak faktor. Secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu, faktor lokal dan faktor
sistemik.a. Faktor LokalBeberapa faktor lokal yang dapat
menyebabkan terjadinya epistaksis, antara lain : Trauma nasal,
dapat berupa mengeluarkan ingus terlalu kuat, bersin yang terlalu
kuat, mengorek hidung dan masuknya benda asing ke hidung. Obat
semprot hidung (nasal spray)Penggunaan obat semprot hidung secara
terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan
epistaksis intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada septum nasi.
Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas. Pemakaian
fluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan, belum menimbulkan efek
samping pada mukosa. Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan
deviasi septum. Tumor intranasal atau sinonasal.
Sering ditandai dengan adanya riwayat epistaksis yang berulang.
Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan
topikal dan kokain. Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous
Positive Airway Pressure (CPAP) Kelainan vaskuler ( seperti
kelainan yang dikenal dengan Wageners granulomatosis (kelainan yang
didapat) Infeksi lokal ( infeksi hidung dan sinus paranasal,
rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik,seperti lupus, sifilis
dan lepra dapat menyebabkan epistaksis
b. Faktor SistemikPenyebab epistaksis yang bersifat sistemik
antara lain: Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic
telangectasia) merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara
autosom dominan. Trauma ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan
perdarahan yang hebat. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan
kontraktilitas pembuluh darah serta terdapatnya fistula
arteriovenous Infeksi sistemik akut ( Demam berdarah, demam
typhoid, influenza, morbili, demam tifoid.
Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin,
warfarin) dan antiplatelets (aspirin, clopidogrel).
Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis.
Arteriosklerosis pada pasien hipertensi membuat terjadinya
penurunan kemampuan hemostasis dan kekakuan pembuluh darah.
Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid
atau hormon mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism
atau hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan
hyperparathyroidism3. PatofisiologiRongga hidung kita kaya dengan
pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang
membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh
darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang
juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup
besar antara lain dari arteri sphenopalatina.Rongga hidung mendapat
aliran darah dari cabang arteri maksilaris (maksila=rahang atas)
interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor dan
arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari
arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan septum terdapat
anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (littles
area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan
mengalir keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang
hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.4.
KlasifikasiEpistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan
posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal
dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari
pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari
rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.Epistaksis
anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan
dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk
darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh
darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti
spontan.5. Penegakan diagnosisa. Anamnesis Pasien sering menyatakan
bahwa perdarahan berasal dari bagian depan danbelakang hidung.
Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal
terjadinyaperdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak
mengeluarkan darah. Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik
mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan, dan
riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Perlu ditanyakan juga
mengenai kelainan pada kepala dan leher yangberkaitan dengan
gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga
mengenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan
perdarahan misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis,
koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan
operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin,
NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan
merokokdan minum-minuman keras. b. Pemeriksaan fisikPada
pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan
hemoptysis atau hematemesis untuk pemeriksaan yang adekuat pasien
harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan
pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan
dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan
faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan,
dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu
larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untukmenghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehinggaperdarahan dapat
berhenti untuk sementara. Sesudah 10-15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.6. Komplikasi Komplikasi dapat
terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai akibat
dari penanganan yang kita lakukan.Akibat dari epistaksis yang hebat
dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak
dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan
infarkmiocard, hal-hal inilah yang menyebabkan kematian. Bila
terjadi hal seperti ini maka penatalaksaan terhadap syok harus
segera dilakukan.Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul
sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang
berdarah(bloody tears)karena darah mengalir secara retrograd
melaluiduktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan
tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan
melalui mulut terlalu kencang ditarik.C. HIPERTENSI1.
DefinisiHipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih
besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg
pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan
cukup istirahat (tenang). Hipertensi didefinisikan oleh Joint
National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High
Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90
mmHg.2. Klasifikasi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu
hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran.
Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan
peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan
diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung
berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan
maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan
darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar. Hipertensi
diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan
diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya
ditemukan pada anakanak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik
terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal,
sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya
dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik
berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam
keadaan relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi campuran
merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan diastolik.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan,
yaitu:
1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat
sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti
genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem
renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca
intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti
obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar
5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan
estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan
sindrom Cushing,
feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan, dan lain-lain.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi
kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat
II.
3. Patofisiologi
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan
darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang
berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka
panjang reflek
kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang
bereaksi segera.
Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh
sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai
organ terutama ginjal.
1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai
dengan penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis
merupakan proses multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding
pembuluh darah dan terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol,
produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam
lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan
plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh
darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai
oksigen pada organ atau bagian tubuh tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi
sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida
endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus
hipertensi primer.2) Sistem renin-angiotensinMekanisme terjadinya
hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE).
Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan
tekanan darah melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa
haus. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang
diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat
dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari
bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada
akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.b. Menstimulasi sekresi
aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan
volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah.
4. Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat
menggunakan sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih
dari satu kali pengukuran dalam posisi duduk dengan siku lengan
menekuk di atas meja dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas
dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan
dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan
dan minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi,
soda, makanan tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya.Pasien yang
terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yakni
1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat
sejauh mana penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya
ganas atau tidak, apakah arteri dan organ-organ internal
terpengaruh, dan lain- lain.2) Mengisolasi penyebabnya
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab
spesifiknya.3) Pencarian faktor risiko tambahan
Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan, yaitu pencarian
faktor -faktor risiko tambahan yang tidak boleh diabaikan.
4) Pemeriksaan dasar
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan
dasar, seperti kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG
(electrocardiography) dan rontgen.5) Tes khusus
Tes yang dilakukan antara lain adalah :
a. X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu
zat warna yang digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri
aorta, renal dan adrenal.
b. Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat
electroencefalografi (EEG), alat ini menyerupai electrocardiography
(ECG atau EKG).
5. Komplikasi HipertensiHipertensi yang terjadi dalam kurun
waktu yang lama akan berbahaya
sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat
menyerang berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung,
pembuluh darah arteri, serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya
komplikasi hipertensi, kualitas hidup penderita menjadi rendah dan
kemungkinan terburuknya adalah terjadinya kematian pada penderita
akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya.
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa
penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat
langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek
tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor
angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan lain-lain.
Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan
sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya
kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat
meningkatnya ekspresi transforming growth factor- (TGF-).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ
yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:
1) Jantung
- hipertrofi ventrikel kiri
- angina atau infark miokardium
- gagal jantung
2) Otak
- stroke atau transient ishemic attack
3) Penyakit ginjal kronis
4) Penyakit arteri perifer
5) RetinopatiBAB IIIPEMBAHASAN DAN KESIMPULANA.
PEMBAHASANBerdasarkan sumber perdarahannya, epistaksis anterior
dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis
anterior. Pecahnya Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis
anterior dikarenakan berbagai sebab seperti trauma pada hidung,
adanya benda asing, tumor jinak hidung, ataupun sebab sistemik
seperti adanya riwayat hipertensi. Terjadinya epistaksis
dimungkinkan karena adanya riwayat hipertensi. Pleksus kiesselbach
merupakan daerah dimana rentan terjadi perdarahan karena daerah ini
mempunyai pembuluh darah yang kecil dan rapuh. Hipertensi dapat
menyebabkan pleksus kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior
menjadi pecah karena tingginya tekanan darah di daerah
tersebut.Terdapat dua hipotesis yang menerangkan keterkaitan antara
epistaksis dengan hipertensi:
1. Pasien dengan hipertensi yang lama memilki kerusakan pembuluh
darah yang kronis, hal ini beresiko terjadi epistaksis terutama
pada kenaikan tekanan darah yang abnormal.
2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami
perdarahan berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persyarafan
autonom yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian diantara
konka media dan konka inferior.
Keterkaitan antara epistaksis dan hipertensi masih menjadi suatu
hal yang kontroversial. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
perubahan endotel pembuluh darah pada orang hipertensi dapat
menjadi faktor resiko epistkasis. Hipertensi dapat menjadi pemberat
epistaksis jika sebelumnya ditemukan lesi lokal di hidung yang
menyebabkan stagnasi aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau
penyebab lain yang menyebabkan rapuhnya dinding endotel pembuluh
darah. Hubungan antara hipertensi dengan kejadian epistaksis masih
merupakan suatu yang kontroversial. Adanya kecendrungan peningkatan
kejadian epistaksis pada pasien dengan hipertensi yang lama dan
hipertrofi ventrikel kiri. Tetapi sebagian penulis menemukan
sebaliknya. Lubianca dkk (1999), menyatakan tidak ditemukan
hubungan yang bermakna antara peningkatan tekanan darah dengan
kejadian epistaksis. Padgham dkk, dikutip dari Temmel, menemukan
adanya hubungan antara hipertensi dengan epitaksis terutama
epitaksis yang berasal dari meatus medius, tapi tidak ditemukan
hubungan dengan beratnya epistaksis. Sedangkan Beran dkk melaporkan
common cold, stres, dan kelelahan dilaporkan sering mendahului
terjadinya epistaksis.
Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi lokal di hidung yang
menyebabkan stagnan aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau
penyebab lainnya yang menghancurkan dinding pembuluh darah atau
mukoperiostealnya yang dapat menjadi pemicu terjadinya epistaksis,
maka hipertensi dan aterosklerosis baru akan memainkan peranannya
dalam memperberat epistaksis. Dari Lubianca mengatakan ada tiga
faktor lain yang dapat membuat samar diagnosis epistaksis yang
disebabkan oleh hipertensi yaitu: 1) kelainan anatomi hidung, 2)
bukti adanya kerusakan organ target lain dan 3) kelainan
hemostasis. Artinya, tidak semua orang dengan riwayat hipertensi
memiliki resiko epistaksis walaupun pada dasarnya hipertensi adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya epistaksi. Dari uraian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada penderita epistaksis
dengan hipertensi tidak serta merta hipertensi menjadi pemicu
terjadinya epistaksis, namun pemeriksa harus memperhatikan aspek
lain yang tidak kalah penting sebagai penyebab epistaksi seperti
infeksi yang menyebabkan sagnan pembulih darah, adanya commond
cold, stress dan kelelahan, kelainan anatomi hidung, kerusakan
fungsional organ target dan kelainan hemostatis. Penelitian yang
dilakukan herkner dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat
darurat dengan epistaksis mempunyai tekanan darah sistolik
rata-rata 161 (157-165) mmHg, dan diastolic 84 (82-86) mmHg.
Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% dari 374 orang yang
dirawat dengan hipertensi, memiliki riwayat epistaksis. Sedangkan
Herkner dkk melaporkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit
gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien (15,5%)
dengan peningkatan tekanan darah. Mengacu pada penjelasan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa hipertensi mempengaruhi terjadinya
epistaksis pada beberapa kasus. Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi
lokal di hidung yang menyebabkan stagnan aliran pembuluh darah
seperti infeksi, atau penyebab lainnya yang menghancurkan dinding
pembuluh darah atau mukoperiostealnya yang dapat menjadi pemicu
terjadinya epistaksis, maka hipertensi dan aterosklerosis baru akan
memainkan peranannya dalam memperberat epistaksis. Pada penelitian
lain dijelaskan adanya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis
pada pasien dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi ventrikel
kiri. Dari pemaparan di atas, dapat dijelaskan diantara faktor
predisposisi hipertensi hingga menyebabkan epistaksis antara lain
hipertensi yang disebabkan oleh dislipidemia, lamanya menderita
hypertensi yang disertai left ventrikel hipertropi.B.
KESIMPULAN
Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan
bukan suat penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi
kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan
sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh
banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal
dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan
lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam
memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan
dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya
sendiri.
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum,
cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan.Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain
dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah,
foto rontgen sinus,skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat
penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah:
Epistaksis Anterior : Kauterisasi, pemasangan tamon anterior;
Epistaksis Posterior: Pemasangan tampon Posterior, Pemasangan
Balloon tamponade dan ligasi arteri.Epsitaksis dapat dicegah dengan
antara lain tidak memasukkan benda keras ke dalam hidung seperti
jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui
mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan,
dan terutam berhenti merokok.Hubungan antara Epistaksis dengan
Hipertensi masih belum jelas, tetapi perubahan endotel pembuluh
darah arteri menjadi dasar adanya hubungan tersebut.DAFTAR
PUSTAKA
1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT,
Edisi Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H.
Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.2. Cumming, W Charles.
Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 3rd edition. 1999. Mosby.
Chapter : 45. Page : 852-643. Arif,Mansjoer, et al, 1999, Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1, Media Aesculapius,
Jakarta..4. Balai Penerbit. FK. UI. 1998. Buku Ajar Penyakit THT.
Gaya Baru. Jakarta5. Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009;
784-96. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher.
Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Indonesia. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. 2008. Hal 118-9; 155-9
7. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott
Browns Otolaryngology. olume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford:
Butterwort - Heinemann, 1997: 119.16