Page 1
PEMAHAMAN HADIS TENTANG MEMBASUH JILATAN ANJING
PERSPEKTIF FATWA SUARA MUHAMMADIYAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Salwa Nurbaya
1113034000141
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
Page 2
PEMAHAMAN IIADIS TENTAi\G MEMBASUH JILATAN ANJINGPERSPEKTIF' F'ATWA SUARA MUHAMMADIYAII
Skripsi t
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar sarjana agama (S.Ag)
01Ch:
Salwa Nurbava
NIM:1113034000141
Pembimbing
Dro ⅣIuhamnlad Zuhdi Zainio Ⅳl.AgNIP:196508172000031001
PROGRAⅣISTUDIILMU AL… QUR`AN DAN TAFSIRFAKULTAS USIIILUDDINIINIVERSITAS NEGEIItI
SYARIF Ll■りAYATULLAⅡJAKARTA
1441H/2019M
Page 3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul "Pemahaman Hadis Tentang Membasuh Jilatan AnjingPerspellif Fatwa suara Muhammadiyah" telah diujikan dalam sidangmunaqasyah Fakultas ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 26Desember 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syaratmemperoleh gelar Sarjana Agama (s.Ag) pada program studi Ilmu Al-Qur'andan Tafsir.
Ciputat, 26 Desembet 2019
Sidang Munaqasyah,
Kctua Mcrangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
]厠NIP:1971021719顔3031002
Fahrizal Mahdin LC.Ⅳ IIRKHNIP:198208162015031004
Anggota,
Penguji II
Abdul Hakim Wahid.S.Httls y.A.
NコP:197804242015031001
Pembiinbing
Dro Muhammad Zuhdi Zaini.M.A負NIP:196508172000031001
′
1 196009021987031001
Page 4
Namat
NIM
LEⅣIBAR PERNYATAAN
Yallg bcrtandatangan di bawah inil
:Sal、va Nllrbaya
:1113034000141
Dengan ini menyatakan bahrva skripsi yang berjudul "PEMAHAMAN
HADIS TENTANG MEMBASUH .IILATAN ANJING PERSFEKTIF
FATWA SUARA MUHAMMADIYAH" adalah benar merupakan karya
sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam pen),Llsunannya. Adapun
krrtipan yang ada dalam pen),usunan karya ini telah saya cantumkan sumber
kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses semestinya sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian
atau keseluruhan merupakan plagiat karya orang lain.
Demikian pemyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta,09 Dcscmbcr 2019
Pcncliti
〕
Salwa Nurbaya
ll13034000141
Page 5
i
ABSTRAK
Salwa Nurbaya,
Pemahaman Hadis Tentang Membasuh Jilatan Anjing Perspektif
Fatwa Suara Muhammadiyah.
Mengikuti zaman modern segala sesuatu diciptakan untuk
mempermudah kehidupan para milenial. Dewasa ini, umat islam tidak
memperhatikan kebersihan dalam memelihara anjing sebagaimana telah
disebutkan dalam hadits. Bahwa apabila anggota badan kita terkena
jilatan anjing maka harus dibasuh tujuh kali dan satu kali menggunakan
tanah tetapi jika penulis perhatikan mereka tidak mengikuti aturan yang
sudah ditetapkan dalam hadis yaitu membasuh kurang dari tujuh kali dan
tanah diganti menjadi sabun dengan alasan bahwa sabun lebih higienis
daripada tanah. Karena itu, penulis tertarik mengkaji hadis tentang jilatan
anjing dalam bejana khususnya hadis riwayat al-Da>ruquthni> yang
berkaitan langsung dengan masalah diatas.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan cara analisis-
deskriptif, baik dengan field research (lapangan) yaitu penulis
mengumpulkan data serta informasi tentang hadis-hadis dalam Fatwa yang
dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyyah dengan
melakukan wawancara, maupun library research (kepustakaan), yakni
menggunakan sumber-sumber data dari bahan-bahan tertulis dalam bentuk
buku, kitab dan lain-lain yang relevan dengan topik pembahasan.
Hasil dari penelitian ini adalah Ditinjau dari segi kualitas, hadis
“Jilatan Anjing dalam Bejana” yang diriwayatkan oleh Sunan al-
Da>ruqutni> adalah Hadis D}aif, yaitu hadis d}aif, yaitu hadis yang tidak
terkumpul sifat-sifat hadis hasan, disebabkan hilangnya satu syarat atau
lebih. hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah karna mengandung syaz }
(bertentangan dengan periwayat yang lebih tsiqah) dan tidak dapat
terangkat statusnya meskipun ada hadis pendukung yang semakna, hadis
pendukung yang semakna itu adalah hadis mauquf (sesuatu yang
disandarkan kepada sahabat baik itu perkataan, perbuatan, maupun taqrir)
yang tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara dilihat dari kajian matan,
mencuci bejana bekas jilatan anjing sebanyak jumlah tertentu dan mencuci
dengan menggunakan tanah bukan sebuah kewajiban, dan juga bukan
perbuatan yang disunnahkan berdasarkan kajian mendalam yang
dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Kata Kunci: Jilatan Anjing, Hadis, Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah
Page 6
ii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur atas nikmat yang
Allah berikan dan kehadiratnya Allah SWT. Yang memberikan nikmat
sehat jasmani maupun rohani serta hidayah dan inayah-Nya sehingga
penulis dapat menyeleseikan penyusunan skripsi ini dengan judul “HADIS
TENTANG MEMBASUH JILATAN ANJING PERSPEKTIF FATWA
SUARA MUHAMMADIYAH.” S}alawat serta salam tak lupa juga penulis
junjungkan kepada baginda Nabi Muhammad s.a,w. serta kepada keluarga
dan para sahabat aamin allahumma aamiin.
Skripsi ini di ajukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
ujian munaqasyah guna memperoleh gelar Sarjana Agama Jurusan Ilmu
al-Qur’an dan Tafir ( IQTAF) di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan skripsi ini tentu masih jauh dengan kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan, baik dari tekhnik penyusunan dan kosakata yang
tertulis, maupun dari isi pembahasan yang ada dalam skripsi ini. Untuk itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk
perbaikan dan kesempurnaan dalam skripsi ini.
Page 7
iii
Dalam penyeleseian skripsi ini, penulis banyak memperoleh
bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu,dengan penuh rasa
hormat penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
kesempatan untuk belajar dan menuntut ilmu pada Program
Sarjana Jurusan Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir ( IQTAF) di
Fakultas Ushuluddin.
2. Dr,Yusuf Rahman , M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, MA selaku ketua Jurusan di Fakultas
Ushuluudin pada bidang al-Qur’an dan Tafsir ( IQTAF) yang telah
membantu dan memberi saya kesempatan dalam penyusunan
Skripsi.
4. Fahrizal Mahdi, LC,MIRKH selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir (IQTAF) yang sudah membantu dalam prosedur
Skripsi.
5. Kholik Ramdan Mahesa selaku yang membantu Sekertaris Jurusan
banyak meluangkan( IQTAF ) yang sudah banyak membantu
untuk proses awal pembuatan surat untuk para Dosen yang
bersangkutan judul dan sampai selesei skripsi penulis.
Page 8
iv
6. M. Anwar Syariffudin, S.Ag, MA selaku Dosen Penasehat
sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak
memberi saya pengetahuan bagaiman menentukan kata-kata yang
benar dalam penulisan skripsi serta judul yang bagus.
7. Maulana, MA selaku Dosen penguji proposal yang senantiasa
sabar memberi arahan serta pertanyaan-pertanyaan dalam
menentukan judul yang baik untuk proses lanjutan penulisan
skripsi.
8. Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M. Ag selaku Dosen Pembimbing
yang selalu saya lontarkan dengan banyak dan berbagai pertanyaan
dalam penulisan skripsi ini hingga selesainya bimbingan skripsi
dengan beliau hingga saya dapat melanjutkan sidang dengan
penguji skripsi berikutnya.
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
Nama para dosen yang saya hormati dengan tulus memberikan
ilmu pengetahuan serta wawasan yang luas mengenai segala aspek
keilmuan selama penulis mengikuti perkuliahan.
10. Teruntuk Papa dan Mama tersayang, kakak-kakakku Heri
Darmawan, Linda Pusnawati, Neneng Nita Sundarti dan kakak
iparku Fuad Anwar dan Ai Nurlaela yang tak henti-hentinya
Page 9
v
memberi nasehat dan semangat kepada penulis, supaya menjadi
manusia yang bermanfaat dan sukses dunia akhirat, selalu
mendoakan penulis dalam shalat sepertiga malam, tak ada kata
yang pantas penulis ucapkan selain mendoakan kalian semua,
semoga Allah mengampuni segala dosa dan menyayangi kalian
semua, sebagaimana kalian semua menyayangi penulis di waktu
kecil. Amin.
11. Teruntuk teman-teman Ciwi Ketjeh yaitu Meida Kartika, Nafi
Aisyah, Aula Dzakiyyah, Nurul Fajriah, Hilma Rahmatia, Ilda
Nuris Safitri. Dan teman-teman seperjuangan dipenghujung
semester yaitu Omarwati, Lia Lianti, Fildzah Nida, Andini Nabila,
Farij Hamdillah, teman lama yang sudah membantu penulis
mengerjakan skripsi Zaim Najibbudin Rahman dan teman spesial
yang sudah menemani selama 9 tahun Ahmad Faiz yang juga
Penulis sangat berterimakasih telah mendukung dan memotivasi
penulis dalam penyusunan skripsi.
12. Teruntuk Teman-Teman penulis yang banyak memberi semangat
serta motivasi agar penulis tidak malas dalam penyusunan skripsi.
13. Seluruh pihak yang telah membantu proses kuliah penulis dan
proses skripsi ini yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu
Page 10
vi
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam pelaksanaan skripsi ini.
Untuk itu, penulis menerima segala saran dan kritikan demi perbaikan dan
kemajuan penelitian dimasa mendatang. Terima kasih
Page 11
vii
DAFTAR ISI
COVER SKRIPSI
HALAMAN PERSETUJUAN BIMBINGAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
D. Kajian Pustaka ................................................................................. 8
E. Metode Penelitian ......................................................................... 10
1. Jenis Penelitian .................................................................. 10
2. Sumber Data ...................................................................... 11
3. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 11
4. Analisis Data ..................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 12
BAB II MANHAJ TARJIH MUHAMMADIYAH
A. Manhaj Tarjih Muhammadiyyah .................................................. 13
B. Unsur-Unsur Tarjih ....................................................................... 15
C. Visi dan Misi Majelis Tarjikh Muhammadiyah ............................ 23
D. Metode-Metode Ijtihad Manhaj Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
....................................................................................................... 24
Page 12
viii
BAB III OTENTISITAS DAN PEMAHAMAN HADIS
MEMBERSIHKAN JILATAN ANJING KURANG TUJUH KALI
DAN TIDAK MENGGUNAKAN TANAH
A. Otentisitas Hadis Jilatan Anjing ................................................... 43
B. Takhrij Hadis ................................................................................. 43
C. Analisis Sanad Hadis ..................................................................... 49
D. Kesimpulan (Natijah) ................................................................... 54
E. Perspektif Para Muhadissin ........................................................... 55
F. Perspektif Para Mufassir ................................................................ 63
G. Perspektif Para Fuqoha .................................................................. 69
BAB IV PEMAHAMAN HADIS JILATAN ANJING DALAM
PERSPEKTIF FATWA SUARA MUHAMMADIYAH
A. Fatwa-Fatwa Suara Muhammadiyah ............................................ 77
B. Pemahaman Hadis ......................................................................... 84
C. Pendekatan Burhani > : Mengganti Tanah Dengan Sabun dalam
Membersihkan Jilatan Anjing ........................................................ 94
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 99
B. Saran-saran .................................................................................. 100
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 103
LAMPIRAN
Page 13
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan
Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak ا
dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa ṡ Es (dengan ث
titik di atas)
Jim J Je ج
Ḥa ḥ Ha (dengan ح
titik di bawah)
Kha Kh ka dan ha خ
Dal D De د
Żal ż Zet (dengan ذ
titik di atas)
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy es dan ye ش
Ṣad ṣ es (dengan ص
titik di bawah)
Ḍad ḍ de (dengan ض
titik di bawah)
Ṭa ṭ ط
te (dengan titik
di bawah)
Page 14
x
Ẓa ẓ zet dengan ظ
titik di bawah)
ain ‘ koma terbalik‘ ع
(di atas)
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Ki ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
ـه Ha H Ha
Hamzah ' Apostrof ء
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dhammah U U
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
ي Fathah dan
ya
Ai a dan i
Page 15
xi
و Fathah dan
wau
Au a dan u
Contoh:
kaifa- ك ي ف
ل haula- ه و
3. Vokal Panjang/ Maddah
Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Harakat
dan huruf
Nama Huruf dan
tanda
Nama
ا ي... Fathah dan
alif atau ya
Ā a dan garis
di atas
ي ى Kasrah dan
ya
Ī I dan garis
di atas
Dhammah ى و
dan wau
Ū u dan garis
di atas
Contoh:
ال ق -qāla
ىم ر -ramā
ل ي ق -qīla
Page 16
xii
4. Ta’ Marbūṭah
Transliterasi untuk Ta’ Marbūṭah ada dua:
a. Ta’ Marbūṭah hidup
Ta’ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan
ḍommah, transliterasinya adalah “t”.
b. Ta’ Marbūṭah mati
Ta’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah “h”.
c. kalau pada kata terkahir dengan Ta’ Marbūṭah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu
terpisah maka Ta’ Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
No Kata Arab Alih Aksara
ف ال 1 ة األ ط ض و rauḍah al-aṭfāl ر
ل ة 2 ين ة الف اض د al-madīnah al-fāḍilah الم
ة 3 م ك al-ḥikmah الح
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
بن ا rabbanā- ر
ل nazzala- ن ز
Page 17
xiii
al-birr- الب ر
ج al-ḥajj– الح
Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ( ـى ـــــــــــــــ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf
maddah (ī). Contoh:
Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)‘ : عل ى
ب ى Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)‘ : ع ر
6. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال. Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh huruf
syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi
huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-),
Contohnya:
ل ج al-rajulu- الر
al-sayyidu- السي د
ش al-syamsu- الشم
ل م الق -al-qalamu
Page 18
xiv
ي ع al-badĭ’u- أل ب د
ال ل al-jalālu- ال ج
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya berlaku
bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah
terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia
berupa alif. Contohnya:
ن و ر ta'murūna : ت أ م
ء 'al-nau : النو
syai'un : ش ي ئ
ت ر umirtu : أ م
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya
kata Al-Qur’an (dari al-Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh. contoh:
Kata Arab Alih Aksara
آن ال ل الق ر Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ي ظ
ي ن Al-Sunnah qabl al-tadwīn الس نة ق ب ل الت د و
م الل ف ظ ال و ة ب ع م با ر الع
ص السب ب ص و ب خ
Al-‘ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi
khuṣūṣ al-sabab
Page 19
xv
9. Lafẓ al-jalālah (هللا)
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),
transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
ي ن هللا dīnullāh : د
billāh : ب ا هللا
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :
ة هللا م ح hum fī rahmatillāh : ه م ف ي ر
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps),
dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang
penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia
yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menulis
huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada
permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka
huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi
yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK, dan DR). Contoh:
Page 20
xvi
Kata Arab Alih aksara
ل س و د إ ال ر م ح ا م م Wa mā Muḥammadun illā rasūl- و
ي ب ع ل لناس ل لذ ض ل ب ي ت و ب كة إ ن أ و
كا با ر م
-Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi
bi Bakkata mubārakan
ان الذي ض م ر ر ل ف ي ه الق ر ش ه آن أ ن ز -Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh
al-Qur'an
ي س ي ن الط و ي ر الد Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- ن ص
اب ي ر الف ر Abū Naṣr al-Farābī- أ ب و ن ص
ال ي Al-Gazālī- الغ ز
ن الد ال ل ن ق ذ م Al-Munqiż min al-Ḍalāl- الم
Page 21
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Najis Mugallaz}ah merupakan kategori najis berat yang mana
anjing disamaratakan dengan babi yang para ulama sepakat bahwa apapun
yang bersangkutan dengan babi itu haram dan najis. Akan tetapi dalam
beberapa riwayat, ayat Al-Qur'an dan pendapat para ulama menyebutkan
bahwa anjing tidak najis atas alasan tertentu.
ع ن ث د ح ن ع جهر ع ل انهع ادهن يالز هبهأ ن ع ك الهم ن ع ف س و ي ن ب للاهد ب اي بهأ
اءهن إهي فهب ل ك ال ب رهش اذ إهال ق م ل س و ههي ل ع ىللا ل ص للاهل و س ر ن أ ال ق ة ر ي ر ه
اع ب س ه ل سهغ ي ل ف م ك دهح أ
“Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf
dari Mâlik dari Abu Al-Zina>d dari Al-A'raj dari Abu Hurairah
berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: "Jika anjing
menjilat bejana seorang dari kalian, maka hendaklah ia cuci
hingga tujuh kali.”1
Berdasarkan hadits ini, Imam Syafi'I menganggap bahwa anjing
adalah binatang yang najis, sebab kenajisannya maka Rasul
memerintahkan untuk mencuci bekas jilatannya hingga tujuh kali yang
mana hal ini menunjukkan bahwa najis anjing adalah najis yang berat.
Karena hal itu, Imam Syafi'I yang dikenal sangat berhati-hati dalam
mementapkan suatu hukum, maka memilih untuk menetapkan hukum
memelihara anjing untuk keperluan apapun adalah haram.2
1 Abu> ‘Abdullah Muhammad bin Ismâil al-Bukha>ri, al-Jami’ al-S}ahih
(selanjutnya disebut S}ahih al-Bukha>ri), (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.) kitab al-Taha>rah no. 167. 2Nur Aslihah, Skripsi : "Pemeliharaan Anjing Dalam Perspektif Hadis" (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), 1.
Page 22
2
ل أ حه اذ ا م أ ل ون ك حهي س اره و ال ج ن مه ت م ل م ع ا م و الط ي هب ات ل ك م ل أ حه ق ل م ل ه
ه للا م وااس اذ ك ر و ل ي ك م ع ن س ك اأ م م ف ك ل وامه للا ك م ل م اع م مه ون ه ن ت ع ل هم ل هبهين ك م
س ال حه يع س ره للا إهن ات ق واللا و ل ي هه (4ابه)ع Artinya : Mereka menanyakan kepadamu "Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang
baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang
telah kamu latih dengan melatihnya untuk berburu; kamu
mengajarkannya menurut apa yang telah diajarkan oleh Allah
kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu.
Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu
melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya
Allah maha cepat hisab-Nya.3
Menurut Imam Ma>liki dengan dalil ayat Al-Qur'an diatas anjing
sebagai hewan yang najis dan beliau justru lebih longgar dalam
menetapkan hukum dan mengatakan bahwa memelihara anjing untuk
keperluan mengamankan rumah hukumnya adalah mubah. Maka apabila
terkena jilatan atau tetesan air liurya maka wajib dibersihkan sesuai
syari’at Nabi.4
Namun, mengikuti zaman modern segala sesuatu diciptakan untuk
mempermudah kehidupan para milenial. Dewasa ini, umat islam tidak
memperhatikan kebersihan dalam memelihara anjing seperti yang telah
disebutkan hadits diatas. Bahwa apabila seekor anjing atau anggota badan
kita terkena jilatan anjing maka harus dibasuh tujuh kali dan satu kali
menggunakan tanah tetapi jika penulis perhatikan mereka tidak mengikuti
aturan yang sudah ditetapkan dalam hadis yaitu hanya membasuh satu kali
dan tanah diganti menjadi sabun dengan alasan bahwa sabun lebih higienis
daripada tanah.
3Q.S Al-Ma>'idah [5]: 4. 4Nur Aslihah, Skripsi : "Pemeliharaan Anjing Dalam Perspektif Hadis" (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), 1.
Page 23
3
Menurut Fatwa Tajih hadis-hadis tentang perintah mencuci bejana
dari jilatan anjing bisa diklasifikasikan ke dalam empat kategori.
Kategori pertama adalah hadis-hadis yang mencantumkan perintah
mencuci bejana sebanyak tujuh kali, tanpa diiringi perintah menggunakan
tanah pada salah satunya. Hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:
هص .1 للا س ول ر إهن ة ق ال ي ر أ بهىه ر مق ال ل س و ههي ل ع ىللا ل ع ن ب إهذ اش ره
اللفظ و مسلم و البخاري ]رواه س ب ع ا. ل ه ف ل ي غ سه ك م ده أ ح إهن اءه فهى ال ك ل ب
للبخاري[
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing minum dari
bejana salah seorang di antara kamu sekalian, hendaklah ia mencucinya
sebanyak tujuh kali.” [HR. al-Bukha>ri dan Muslim dengan lafal milik al-
Bukha>ri]
2. ب :إهذ اش ره صلىللاعليهوسلمق ال للاه ل س و ر أ ن ة ي ر أ بهيه ر ع ن
.]رواهمالك[ ات ر م س ب ع ل ه ف ل ي غ سه ك م ده أ ح فهيإهن اءه ا لك ل ب
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah
saw bersabda: Apabila anjing minum dari bejana salah seorang di
antara kamu sekalian, hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh
kali.” [HR. Ma>lik]
ه.3 للا س ول ر ق ال ة ي ر أ بهىه ر ع ن ك م ده أ ح إهن اءه صلىللاعليهوسلمه ه ور
.]رواه ات ر م س ب ع ل ه ي غ سه أ ن فهيهه ال ك ل ب ل غ مسلم[إهذ او
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw
bersabda: Sucinya bejana salah seorang di antara kamu sekalian jika
dijilati anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali.” [HR.
Muslim]
4 هصلىللاعليهوسلم. للا س ول ر ق ال ة ق ال ي ر أ بهىه ر ع ن ال ك ل ب ل غ إهذ او
.]رواه ار ر مه س ب ع ل ه ل ي غ سه ث م ق ه ف ل ي ره ك م ده أ ح مسلم[فهىإهن اءه
Page 24
4
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah
saw bersaba: Apabila anjing menjilati bejana salah seorang di
antara kamu sekalian, maka siramlah dengan air dan cucilah
sebanyak tujuh kali.” [HR. Muslim]
ال ك .5 ل غ إهذ او الن بهىه صلىللاعليهوسلمق ال ع نه ة ي ر أ بهىه ر فهىع ن ل ب
.]رواهاحمد[ ات ر م س ب ع ل ه سه ف اغ ن اءه اإله
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau
bersabda: Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah sebanyak
tujuh kali.” [HR. Ahmad]
Kategori kedua adalah hadis yang di dalamnya terdapat redaksi
perintah mencuci sebanyak tujuh kali dengan salah satunya menggunakan
tanah. Hadisnya adalah sebagai berikut:
ق ال .1 ق ال ة ي ر أ بهىه ر ع ن إهن اءه صلىللاعليهوسلمه ه ور ه للا س ول ر
ابه. بهالتر أ وال ه ن ات ر م س ب ع ل ه ي غ سه أ ن ال ك ل ب فهيهه ل غ و إهذ ا ك م ده ]رواهأ ح
مسلم[
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah
saw bersabda: Bersihnya bejana salah seorang dari kamu sekalian
apabila dijilati oleh anjing adalah dengan ia mencucinya sebanyak
tujuh kali, salah satu (cuciannya) menggunakan tanah.” [HR.
Muslim]
إهذ ا.2 هصلىللاعليهوسلمق ال للا الن بهى ة أ ن ي ر أ بهىه ر ع ن ال ك ل ب ل غ و
ابه.]رواهأبوداود[ بهالتر الس ابهع ة ات ر م س ب ع ل وه سه ف اغ ن اءه فهىاإله
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah
saw bersabda: Apabila anjing menjilati bejana cucilah sebanyak
tujuh kali, cucian ke tujuh dengan tanah.” [HR Abu > Da>ud]
Page 25
5
Kategori ketiga adalah hadis yang di dalamnya terdapat perintah
mencuci bejana sebanyak delapan kali, cucian yang terakhir menggunakan
tanah. Hadisnya adalah sebagai berikut:
ر .1 :ق ال غ ف له ال م اب نه اع نه ل غ صلىللاعليهوسلمإهذ او ه للا س ول ل ك ل ب
ابه.]روا فهيالتر ن ة الث امه وه ع فه ر ،و ات ر م س ب ع ل وه سه ف اغ ن اءه همسلم[فهياإله
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mughaffal, Rasulullah saw
bersabda: Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah sebanyak
tujuh kali, dan gunakanlah tanah di cucian ke delapan.” [HR.
Muslim]
Kategori keempat adalah hadis yang perintah mencuci bejana kurang
dari tujuh kali dan tidak menggunakan tanah. Hadis tersebut adalah:
1. ي غ س ل " : ل م س و ل ي هه ع ل ىللا ص ه للا ل س و ر ق ال : ق ال ة ي ر أ بهيه ر ع ن
ال ك ل به غه ل و و ن ن ا ءمه ه س ب عا .]رواهالدارقطني[اإل سا ،أ و م خ ثا ،أ و ث ل
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah
saw bersabda: Bejana dicuci dari jilatan anjing sebanyak tiga kali
atau lima kali atau tujuh kali.” [HR. ad-Da>ruquthni>]
2. ث ث ل ل ه ا غسه ق ه ،ث م ره ف أ ه ن اءه ه فهياإل ال ك ل ب ل غ :إهذ او ق ال ة ي ر أ بهيه ر ع ن
.]رواهالدارقطني[ ات ر م
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
Apabila anjing menjilati bejana, maka tumpahkanlah, kemudian
cucilah sebanyak tiga kali.” [HR. ad-Da>ruquthni>]5
5 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Fatwa Tarjih:
Sabun bisa Hilangkan Najis Jilatan Anjing ?. (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban
1431 H / 6 Agustus 2010), http://www.suaramuhammadiy ah.id/2016/10/05/fatwa-tarjih-
sabun-bisa-hilangkan-najis-jilatan-anjing/8/
Page 26
6
Dalam kategori hadis-hadis diatas hadis dalam kategori keempat yang
mendapat banyak sorotan, dan juga telah terjadi kontradiksi antar hadis
satu dengan yang lain.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jelaskan diatas, penting
kiranya bagi penulis untuk menjadikannya suatu karya ilmiah berupa
skripsi dengan judul :
"HADIS TENTANG MEMBASUH JILATAN ANJING
PERSPEKTIF FATWA SUARA MUHAMMADIYAH"
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas
menghasilkan perbedaan dalam menentukan sikap dalam membasuh
jilatan anjing. Pemahaman boleh atau tidaknya mengganti tanah dengan
sabun menjadi meluas yang kemudian menjadi suatu permasalahan di
masyarakat. Di sini lah penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut :
a. Najis Mugallaz}ah merupakan kategori najis berat yang mana anjing
disamaratakan dengan babi yang para ulama sepakat bahwa apapun
yang bersangkutan dengan babi itu haram dan najis. Akan tetapi
dalam beberapa riwayat, ayat Al-Qur'an dan pendapat para ulama
menyebutkan bahwa anjing tidak najis atas alasan tertentu.
b. Mengikuti zaman modern segala sesuatu diciptakan untuk
mempermudah kehidupan para milenial. Dewasa ini, umat islam tidak
memperhatikan kebersihan dalam memelihara anjing seperti yang
telah disebutkan hadits diatas. Bahwa apabila seekor anjing atau
anggota badan kita terkena jilatan anjing maka harus dibasuh tujuh
Page 27
7
kali dan satu kali menggunakan tanah tetapi jika penulis perhatikan
mereka tidak mengikuti aturan yang sudah ditetapkan dalam hadis
yaitu hanya membasuh satu kali dan tanah diganti menjadi sabun
dengan alasan bahwa sabun lebih higienis daripada tanah
c. Menurut Fatwa Tarjih hadis-hadis tentang perintah mencuci bejana
dari jilatan anjing bisa diklasifikasikan ke dalam keempat kategori.
Diantara kategori tersebut, terjadi kontradiksi antara satu hadis
dengan yang lain, yakni tentang hadis perintah mencuci bejana kurang
dari tujuh kali dan tidak menggunakan tanah. Hadis ini dimuat dalam
kategori keempat.
2. Batasan Masalah
Berdasarkan beberapa identifikasi yang telah penulis ungkap
sebelumnya, penulis mengarahkan penelitian ini agar sesuai dengan
masalah yang dicari dan tidak terjadi kekeliruan dalam memahami hadis
yang akan dibahas, penulis membatasi masalah ini hanya dalam kajian
study memahami hadis cara membasuh jilatan anjing dengan
memfokuskan satu perawi yang meriwayatkan hadis yang berbeda yaitu
hadis riwayat ad-Da>ruth Quthni > dalam kategori keempat.
3. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah diatas, penulis hanya mengambil dua
rumusan masalah yang menjadi inti pembahasan, yaitu :
1. Bagaimana otentisitis hadis jilatan anjing ?
2. Bagaimana kandungan makna hadis tentang jilatan anjing ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana sikap jika ingin membasuh jilatan
anjing.
Page 28
8
b. Untuk menjelaskan beberapa perbedaan dalam memahami hadis
membasuh jilatan anjing.
c. Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat secara metodik dalam
memahami hadis.
d. Untuk mengetahui bagaimana memahami hadits tentang jilatan anjing
menurut persfektif fatwa suaras Muhammadiyah.
2. Manfaat Penelitian
a. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana
program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Pembaca mengetahui kondisi sosial dan sebab munculnya hadis
membasuh jilatan anjing dengan air 7 kali salah satunya dengan
tanah.
c. Sebagai bahan untuk menambah wawasan pemikiran penulis.
d. Sebagai bahan rujukan tambahan bagi seseorang yang memelihara
anjing dan bagaimana bersikap jika terkena jilatan anjing.
D. Kajian Pustaka
Data yang penulis gunakan ialah berupa kajian kepustakaan dan
lapangan. Kemudian melakukan wawancara dengan perwakilan dari
Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Selanjutnya, setelah melakukan pencarian yang intensif di
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, khususnya tentang kajian pustaka
yang berfokus membahas tentang anjing, penulis menemukan skripsi
yang membahas tentang "Analisis Pendapat Imam Malik Terhadap Jual-
Beli Anjing". Oleh Annisa Tulfiada, 2012. Skripsi yang ditulis olehnya
membahas tentang jual beli anjing menurut analisis Imam maliki, skripsi
Page 29
9
ini berbeda pembahasan dengan yang saya kaji, dimana saya membahas
hukum jilatan anjing menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Skripsi Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017 karya Nur Aslihah Mansur
yang berjudul "Pemeliharaan Anjing Dalam Perspektif Hadis". Dalam
skripsi ini mengetahui bagaimana kualitas hadis yang berhubungan
dengan pemeliharaan anjing dan mengetahui bagaimana pemahaman serta
penyelesaian tentang hadis pemeliharaan anjing. Pembahasan dalam
skripsi ini bersifat umum, sementara penelitian yang penulis lakukan
lebih spesifik pada Fatwa Tarjih dan Tajdid Muhammadiyyah.
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid yang diterbitkan dalam website
Suara Muhammadiyah yang disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban
1431 H / 6 Agustus 2010. Dalam fatwa ini menjelaskan tentang boleh-
tidaknya mengganti tanah dengan sabun, yang akan menjadi landasan
penting dalam skripsi ini.
Setelah mengkaji karya-karya penelitian diatas, penulis belum
menemukan skripsi yang membahas tentang jilatan anjing, dan sejauh
mana dampak yang ditimbulkan jika terkena najis jilatan anjing.
Berdasarkan pertimbangan ini, pembahasan ini masih layak untuk dikaji
dan diharapkan pula bagi peneliti-peneliti selanjutnya unuk terus
melanjutkan penelitian ini, supaya khazanah ilmu pengetahuan yang ada
semakin berkembang dan maju.
Page 30
10
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif jenis penelitian analisis deskriptif, untuk langkah-
langkahnya Yaitu:
1. Jenis Penelitian
Di dalam skripsi ini, penulis menggunakan dua peneitian yang
dijadikan sebagai sumber data yaitu lapangan (Field Research) penulis
mengumpulkan data serta informasi tentang hadis-hadis dalam Fatwa yang
dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyyah dengan
melakukan wawancara. Adapun kepustakaan (Library Research), dengan
menggunakan sumber-sumber data dari bahan-bahan tertulis dalam bentuk
buku, kitab dan lain-lain yang relevan dengan topik pembahasan. dimana
semua datanya dikumpulkan dari berbagai sumber dokumentasi. Tahap
awal penelitian mengumpulkan berbagai sumber yang berasal dari kitab-
kitab hadis dan buku-buku yang terkait dengan penelitian. Sumber-sumber
tersebut kemudian diolah dan diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan
yaitu tentang jilatan anjing.
2. Sumber Data
Data yang penulis gunakan bersumber dari hasil kepustakaan dan
lapangan, yaitu menggunakan kitab Sunan ad-Da>ruthquthni> sebagai
sumber primer adapun sumber sekunder yang penulis gunakan yaitu 3
kitab hadis seperti (Sahih Bukha>ri, Sahih Muslim, dan Sunan Abu> Da>ud).
Dan buku-buku, ataupun tulisan ilmiah yang dapat mendukung penelitian
skripsi ini. Adapun lapangan adalah melakukan wawancara dengan
perwakilan dari Majelis Tarjih dan Tajdid selaku yang mengeluarkan
fatwa tersebut.
Page 31
11
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini adalah mengumpulkan hadis-hadis
tentang jilatan anjing dalam kitab-kitab hadis, cara pengumpulannya
dengan Takhrij Hadis yaitu mencari akar kata, yang dimaksud akar kata
adalah kata yang terdapat pada matan hadis. Metode pencarian ini
mengambil hadis-hadis yang dimuat dalam website resmi PP
Muhammadiyah (Suara Muhammdiyah).
4. Analisis Data
Setelah data terkumpul penulis akan menganalisis data tersebut
sehingga penelitian ini dapat terlaksana secara rasional, sistematis, dan
terarah. Penelitian ini menggunakan metode analisis sanad dan matan
Adapun teknik operasional penelitian ini meliputi sebagai berikut :
1. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) dari data yang
diperoleh, untuk kemudian menentukan kedudukan hadis.
2. Melakukan penelitian matan yaitu mengkaji makna teks hadis
tersebut, dan secara kontekstual mengumpulkan informasi
tentang makna yang dimaksud dari teks hadis tersebut yang
menunjuk kepada metode memahami hadis dan
mempertimbangkan latar belakang serta tujuannya. Sumber-
sumber yang digunakan adalah otoritatif seperti al-Qur’an,
Hadis, Syarh Hadis, dan karya-karya yang terkait dengan
perbincangan seputar tema ini.
3. Teknik penulisan
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan Pedoman Transliterasi Arab
Latin yang merupakan hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987
dan Nomor: 0543b/U/1987
Page 32
12
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan tersebut dimaksudkan sebagai gambaran yang
akan menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat
memudahkan dalam memahami dan mencerna masalah-masalah yang
akan dibahas. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut :
BAB I, merupakan pendahuluan berisi uraian secara global, kemudian
dirinci ke dalam bab yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.
BAB II, merupakan uraian tentang sejarah Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyyah beserta metode-metode penelitian yang sering
digunakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
BAB III, merupakan penjelasan sekitar kualitas hadis tentang jilatan
anjing terutama pada proses pengumpulan hadis (Takhrij) serta
menguraikan persfektif para ulama dimulai dari muhadissin, mufassir, dan
fuqoha.
BAB IV, melakukan penjelasan kepada pemahaman hadis dalam
presfektif fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, pemahaman
hadis dilihat dari latar belakang terjadinya dan petunjuk hadis yang saling
bertentangan, serta pengaplikasian metode pendekatan burhani pada hadis
tentang jilatan anjing yang mana melahirkan pemahaman tekstual terhadap
hadis tentang jilatan anjing.
BAB V, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan seluruh
uraian yang telah dikemukakan atas permasalahan yang diteliti, kemudian
disertai dengan saran-saran.
Page 33
13
BAB II
MANHAJ TARJIH MUHAMMADIYAH
A. Manhaj Tarjih Muhammadiyyah
Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan pembaruan sosial
yang berbasis nilai-nilai keagamaan Islam. Muhammadiyah sendiri
mendefinisikan dirinya sebagai “Gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf
nahi munkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah,
(serta) berasas Islam.”1 Sebagai demikian, muhammadiyah tentu terlibat
dalam pengkajian penafsiran, dan penerapan ajaran agama Islam itu
sendiri. Untuk tujuan tersebut didalam persyarikatan ini diadakan suatu
majelis khusus yang bertugas melaksanakan tanggung jawab dimaksud,
yang sekarang dinamakan Majelis Tarjih dan Tajdid yang terdapat pada
setiap level organisasi sejak tingkat pusat dan cabang.2
Dalam melaksanakan pengkajian dan penafsiran ajaran agama
tentu ada prinsip dan metode tertentu yang dipegangi. Prinsip dan
metode tersebut disebut manhaj tarjih.3
a. Arti Tarjih
Menurut bahasa, kata “tarjih” berasal dari “rajjaha”. Rajjaha
berarti memberi pertimbangan lebih dari pada yang lain. Menurut istilah,
para ulama berbeda-beda dalam memberikan perumusan tarjih ini.
1 Anggaran Dasar Muhammadiyah, Tahun 2005, Pasal 4 ayat (1) dan Berita
Resmi Muhammadiyah, edisi khusus, No. 1/2005 (Rajab 1426 H/September 2005 M).
11. 2 Majelis Tarjih Muhammadiyah didirikan pertama kali tahun 1928 sebagai
buah dari Keputusan Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan tahun 1927.
Kelembagaan Majelis Tarjih lengkap dengan susunan pengurus dan Qaidah Majelis
Tarjih disahkan dalam Kongres Muhammadiyah ke-17 di Jogjakarta tahun 1928 dengan
ketua pertamanya KH. Mas Mansur (w.1365/1946). Pada tahun 1995 sampai dengan
tahun 2005, Majelis ini disebut Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Pada periode 2005 hingga sekarang lembaga ini diberi nama Majelis Tarjih dan Tajdid. 3 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Panitia
Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXX, 2018), 5-6.
Page 34
14
Sebagian besar ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah,
memberikan rumusan bahwa tarjih itu perbuatan mujtahid, sehingga
dalam kitab Kasyf-u ‘I-Asar disebutkan, bawa tarjih itu adalah :
ل ع ج ت ة ر ب ت ع م ة ي ز م ن م ه ي اف م ل ن ي ض ار ع م ال ن ي ق ي ر الط د ح أ د اه ت ج ال م ي د ق ت
ن م ىل و أ ل م ع ال ر خ ال
“Usaha yang dilakukan oleh Mujtahid untuk
mengemukakan satu diantara dua jalan yang bertentangan,
kecuali adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu.”
Dalam penjelasan kitab tersebut dikatakan bahwa mujtahid yang
mengemukakan satu dari dua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya.
Frasa “manhaj tarjih” secara harfiah berarti cara melakukan
tarjih. Sebagai sebuah istilah, manhaj tarjih lebih dari sekedar cara
bertarjih. Istilah tarjih sendiri sebenarnya berasal dari disiplin ilmu Ushul
Fiqih. Dalam ilmu ushul fiqih, tarjih berarti melakukan penilaian
terhadap dalil-dalil syar’i secara zahir tampak saling bertentangan atau
evaluasi terhadap pendapat-pendapat fiqih untuk menentukan mana
yang lebih kuat. Ar-Ra>zi> mendefinisikan tarjih dalam ushul fiqih sebagai
:”menguatkan salah satu dalil atas yang lain sehingga diketahui mana
yang kuat, lalu diamalkan yang lebih kuat itu dan tinggalkan yang tidak
kuat.” Definisi Ar-Ra>zi> ini menjelaskan dua hal pokok tentang
pengertian tarjih, yaitu:
a. Bahwa tarjih itu adalah perbuatan mujtahid dan bukan sifat dari
suatu dalil.
b. Bahwa obyek tarjih adalah dalil-dalil yang tampak saling
bertentangan untuk diambil yang lebih kuat.4
Barangkali akan lebih sempurna kalau kita tambahkan pengertian
yang menyebutkan adanya pertentangan dua dalil itu dalam kualifikasi
4 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 6-7.
Page 35
15
yang sama, seperti yang dikemukakan oleh ustadz Ali Hasballah, dengan
rumusan :
ب ىل و أ ه ل ع ج ي ف ص و ب ن ي ل اث م ت م ال ن ي ل ي ل الد د ح أ از ي ت ام ر اه ظ ا ن م ار ب ت ع ال
ر خ لا
“Menampakkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang
sama dengan sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang
lain dalam ungkapan atau penggunaannya.”5
B. Unsur-Unsur Tarjih
Ketentuan ulama ushul menetapkan, bahwa tarjih akan terpenuhi
dengan adanya unsur-unsur: Pertama, adanya dua dalil. Kedua, adanya
sesuatu yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain.
Sedangkan untuk dua dalil itu diisyaratkan:
a. Bersamaan martabatnya.
b. Bersamaan kekuatannya.
c. Keduanya menetapkan hukum yang sama dalam satu waktu.
Mengenai sesuatu yang menjadikan salah satu dalil itu lebih
utama dari yang lain, dijabarkan oleh ulama ushul secara panjang lebar
dan mendetail. Sebagai acuan dapat dilihat uraian Imam al-Ghazali>
dalam kitabnya “Al-Mustasyfa” atau uraian al-Amidi dalam kitabnya
“Al-Ihkam fi Ushul-i ‘l-Ahkam”.
Al-‘Iraqi memberikan keterangan sesuatu yang dapat dijadikan
dasar untuk mentarjih itu sampai 110 macam.
Pada permulaan abad 20 umat Islam Indonesia menyaksikan
munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang
pada esensinya dapat dipandang sebagai salah satu mata rantai dari
serangkaian gerakan pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari
5Asjumuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Metodologi dan
Aplikasi) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 3-4.
Page 36
16
Ibnu Taimiyyah di Siria, diteruskan Muhammad ‘Ibnu ‘Abdul Wahab di
Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al-‘Afghani bersama muridnya
Muhammad ‘Abduh dimesir. Munculnya gerakan pembaharuan
pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai
proses Islamisasi yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang
terus berlangsung –Meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu
proses dimana sejumlah besar orang islam memandang keadaan agama
yang ada, termasuk diri mereka sendiri, sebagai belum memuaskan.
Karenanya langkah perbaikan diusahakan untuk memahami kembali
tentang Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka
anggap sebagai standard Islam yang benar.6
Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-
pikiran abstrak tetapi diungkapkan secara nyata dalam bnetuk organisasi-
organisasi yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di
indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad
Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18
November 1912. KH. Ahmad Dahlan yang semasa kecilnya bernama
Muhammad Darwis dilahirkan di Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari
ayah KH. Abu Bakar, Imam dan Khatib Masjid Besar Kauman, dan Ibu
yang bernama Siti Aminah binti KH. Ibrahim penghulu besar di
Yogyakart. KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi pekerjaan ayahnya
menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah ia melihat praktek-
praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi dalem keraton,
sehingga membangkitkan sikap kritisnya untuk memperbaiki keadaan.7
6Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Sejarah,” Diakses, 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah. html 7 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Sejarah,” Diakses, 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah. html
Page 37
17
Persyarikatan Muhammadiyah pada mulanya didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama
dikalangan penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang
asli berbunyi (dengan ejaan baru), maka perhimpunan itu maksudnya:
a. Menyebarkan pengarjaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallahu
‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residentie
Yogyakarta.
b. Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya8
Berkat kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin
organisasinya, maka dalam waktu singkat organisasi itu mengalami
perkembangan pesat sehingga tidak lagi dibatasi pada residensi
Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh jawa dan menjelang tahun
1930 telah masuk ke pulau-pulau luar jawa.9
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah
pembaharuan (Tajdid) pemahaman agama. Adapun yang dimaksud
dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah ialah yang seperti
dikemukakan oleh M. Djindar Tamimy: Maksud dari kata-kata “Tajdid”
(Bahasa Arab) yang artinya pembaharuan adalah mengenai dua segi,
ialah dipandang menurut sasarannya:
1. Pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya atau
kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal
prinsip perjuangan yang sifatnya tetap atau tidak berubah-ubah.
2. Pembaharuan dalam arti modernisasi. Ialah bila tajdid itu sasarannya
mengenai masalah seperti: metode sistem, teknik strategi, taktik
8 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses, 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html 9 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html
Page 38
18
perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya berubah-
ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.10
Tajdid dalam kedua artinya itu sesungguhnya merupakan watak
daripada ajaran islam itu sendiri dalam perjuangannya. Disimpulkan
bahwa pembaharuan itu tidaklah selamanya berarti memodernkan, akan
tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan ajaran.11
Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bertujuan
menegakkan agama islam ditengah-tengah masyarakat, sehingga
terwujud masyarakat islam sebenar-benarnya. Islam sebagai agama
terakhir tidaklah memisahkan masalah rohnai dan persoalan Dunia, tetapi
mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang memancar ke dalam
berbagai aspek kehidupan tetaplah merupakan satu kesatuan.
Pembaharuan Islam sebagai satu kesatuan inilah yang ditampilkan
muhammadiyah itu sendiri. Sehingga dalam perkembangan sekarang ini
Muhammadiyah menampakan diri sebagai pengembangan dari pemikiran
perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan
sebagai karya amal shaleh.12
Usaha pembaharuan Muhmmadiyah secara ringkas dapat dibagi
ke dalam tiga bidang garapan, yaitu: bidang keagamaan, pendidikan, dan
kemasyarakatan. Akan tetapi pada sub-bab ini penulis hanya menjelaskan
bagian bidang keagamaan saja :
a. Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah penemuan kembali
ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu,
10 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html 11 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses, 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html 12 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html
Page 39
19
lingkungan situasi dan kondisi mungkin menyebabkan dasar-dasar
tersebut kurang jelas tampak tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran
tambahan lain.13
Diatas telah dijabarkan bahwa yang dimaksud pembaharuan
dalam bidang keagamaan adalah memurnikan dan mengembalikan
kepada keasliannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan agam baik
menyangkut aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai
dengan yang aslinya yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam
al-Qur’an dan dituntun oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunah-
sunahnya.14
Dalam masalah aqidah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
aqidah islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah
dan khufarat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran
islam, sedang dalam ibadah Muhammadiyah berkerja untuk tegaknya
ibadah tersebut sebagaimana yang dituntukan Rasulullah SAW tanpa
tambahan dan perubahan dari manusia.15
Dengan kembali kepada ajaran dasar ini yang disebut al-Qur’an
dan Hadis, Muhammadiyah berusaha menghilangkan segala macam
tambahan yang datang kemudian dalam agama. Di indonesia keadaan ini
terasa sekali, bahwa keadaan keagamaan yang nampak adalah serapan
dari berbagai unsur kebudayaan yang ada.16
Majelis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres
Muhammadiyyah ke- XVI di pekalongan pada tahun 1927 yang pada
13 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses 24
Oktober, 2017 http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html 14Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses 24
Oktober, 2017 http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html 15 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html 16 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html
Page 40
20
saat itu K.H. Ibrahim (1878-1934) masih menjabat sebagai Pimpinan
Pusat Muhammadiyah dan atas usul dari K.H. Mas Mansyur, seorang
tokoh ulama Muhammadiyah yang bersal dari Surabaya.
Pada kongres tersebut diusulkan bahwa Muhammadiyah perlu
memiliki sebuah lembaga yang menangani persoalan-persoalan hukum
agama. Melalui lembaga ini diharapkan persoalan tersebut bisa dihadapi
khususnya oleh warga muhammadiyah. Sehingga warga Muhammadiyah
tidak terpecah belah dalam mengamalkan ajaran islam, khususnya
masalah yang terkait dengan masalah khilafiyah.
Fungsi dari majelis ini adalah mengeluarkan fatwa atau
memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu, menghidupkan
tarjih, tajdid, dan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah sebagai
gerakan pembaharuan yang kritis-dinamis dalam kehidupan masyarakat
dan proaktif dalam menjalankan problem dan tantangan perkembangan
sosial budaya dan kehidupan pada umunya sehingga Islam selalu
menjadi sumber pemikiran, moral, dan praksis sosial di tengah kehidpan
masyarakat, bangsa dan negara yang sangat kompleks.17
Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 5/PP/1971
menetapkan Qaidah Lajnah Tarjih. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa
tugas dari Majlis Muhammadiyah adalah:
a. Menyelidiki dan memahami ilmu agama islam untuk memperoleh
kemurniannya.
b. Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah
duniawiyah.
c. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih
sendiri yang memandang perlu.
17 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Sejarah,” Diakses 24
Oktober, 2017, http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-sejarah. html
Page 41
21
d. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidamg keagamaan
kearah yang lebih maslahat.
e. Mempertinggi mutu ulama.
f. Hal-hal dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan
Pusat.
Masalah itu tidak perlu semata-mata terletak pada bidang agama
dalam arti sempit, tetapi mungkin juga terletak pada masalah yang dalam
arti biasa tidak terletak dalam bidang agama, tetapi pendapat apapun juga
haruslah dengan sendirinya didasarkan atas syari’ah yaitu al-Qu’an dan
Hadis yang dalam proses pengambilan hukumnya didasarkan pada ilmu
ushul fiqh. Majelis ini berusaha untuk mengembalikan suatu persoalan
kepada sumbernya yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, baik masalah itu semula
sudah ada hukumnya dan berjalan dimasyarakat tetapi masih
dipertikaikan dikalangan umat islam, ataupun yang merupakan masalah-
masalah baru, yang sejak semula memang belum ada ketentuan
hukumnya, seperti masalah keluarga berencana, bayi tabung, bank dan
lain-lain.
b. Tokoh-Tokoh yang berpengaruh dalam Majelis Tarjih
Muhammadiyah
Setelah usul K.H. Mas Mansyur diterima secar aklamasi oleh
peserta kongres tentang Majelis Tarjih, maka untuk melengkapi
kepengurusan dari Majelis Tarjih, yang kemudian segera dibentuk
panitia. Panitia perumus ini beranggota tujuh orang ulama
Muhammadiyah yang bertugas membuat rancangan qaidah dan
membentuk susunan pengurus Majelis Tarjih Pusat.
Adapun susunan panitia perumus adalah sebagai berikut :
Page 42
22
1. K.H. Mas Mansyur, Surabaya18
2. A. R. Sutan Mansyur, Maninjau19
3. H. Muchtar, Yogyakarta.
4. H. A. Mukti, Kudus
5. Kartosudharmo, Jakarta
6. M. Kusni, dan
7. M. Junus Anis, Yogyakarta.
Setelah panitia selesai merumuskan kemudian hasilnya dibawa
kedalam kongres Muhammadiyah ke 17 tahun 1923 di Yogyakarta, dan
dalam kongres tersebut sekaligus disahkan tentang Qaidah Majelis
Tarjih. Adapun susunan pengurus Majelis Tarjih Pusat yang pertama
adalah sebagai berikut:
1. K.H. Mas Mansyur, sebagai Ketua.
2. K.H. R. Hajid, sebagai Wakil Ketua.
3. H.M. Aslam Zainuddin, sebagai Sekretaris.
4. H. Jazari Hisyam, sebagai Wakil Sekretaris.
5. K.H. Badawi , K.H. Hanad, K.H. Washil, K.H. Fadlil dan lain-lain
yang kesemuanya itu menjadi anggota. Majelis Tarjih ini sendiri
tidak memiliki bendahara karena semua biaya yang dikeluarkan
ditanggung oleh persyarikatan Muhammadiyah.
Dalam pemilihan ketua Majelis Tarjih tidak ada periodesasinya
karena Majelis Tarjih itu termasuk dalam unsur pembantu dalam
persyarikatan. Jadi untuk jabatan ketuapun secara normalnya mengikuti
18 K.H Mas Mansyur (1896-1946) yang berasal dari Surabaya, Jawa timur.
Beliau juga pernah menjadi Ketua Pengurus Besar yang kini Pimpinan Pusat dari tahun
1937 sampai 1944. 19 Buya Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang berasal dari Minangkabau,
Sumatera Barat, Beliau juga pernah menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyyah
periode 1953-1969.
Page 43
23
periodesasi di Persyarikatan yaitu selama 5 tahun. Dalam pemilihan agar
bisa menjadi ketua Majelis Tarjih tergantung kapsitasnya diantaranya
alim ibadahnya, cerdik cendekiawan, intelektual yang tinggi dan ilmu
keagamaanya itu lebih tinggi dari pada yang lainnya. Pemilihan untuk
menjadi ketua Majelis Tarjih tidak dilakukan dalam Muktamar akan
tetapi dipilih dan ditunjuk langsung oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, dan juga bisa menjabat lebih dari satu periode (lebih
dari 5 tahun).
C. Visi dan Misi Majlis Tarjikh Muhammadiyah
a. Visi
Tertatanya manajemen dan jaringan guna meningkatkan
efektifitas kinerja Majelis menuju gerakan tarjih dan tajdid yang
lebih maju, profesional, modern, dan otoritatif sebagai landasan yang
kokoh bagi peningkatan kualitas persyarikatan dan amal usaha20
b. Misi
1. Mewujudkan landasan kerja Majelis yang mampu memberikan
ruang gerak yang dinamis dan berwawasan ke depan.
2. Revitalisasi peran dan fungsi seluruh daya majelis.
3. Mendorong lahirnya ulama tarjih yang teroganisasi dalam sebuah
intitusi yang lebih memadai.
4. Membangun model jaringan kemitraan yang mendukung
terwujudnya gerakan tarjih dan tajdid yang lebih maju, profesional,
modern, dan otoritatif.
5. Menyelenggarakan kajian terhadap norma-norma islam guna
mendapatkan kemurniannya, dan menemukan substansinya agar
20 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Visi,” Diakses 28 Oktober,
2017, tarjih.muhammadiyah.or.id /content-5-sdet-visi.html
Page 44
24
didapatkan pemahaman baru sesuai dengan dinamika perkembangan
zaman.
6. Menggali dan mengembangkan nilai-nilai Islam, serta
menyebarluaskannya melalui berbagai sarana publikasi.21
D. Metode-Metode Ijtihad Manhaj Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah
a. Sumber-sumber Ajaran Agama
Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertian sumber-
sumber pengambilan diktum ajaran agama. Sumber pokok ajaran agama
islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah
dokumen resmi Muhammadiyah, yaitu antara lain:
1. Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip
diatas yang menyatakan bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan
Islam, Dakwah ‘Amar Ma'ruf Nahi > Munkar dan Tajdid, bersumber
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Putusan Tarjih di Jakarta Tahun 2000 Bab II ankgka 1 menegaskan,
“Sumber ajaran islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-
Maqbulah.“22 Putusan Tarjih ini merupakan penegasan kembali apa
yang sudah ditegaskan dalam putusan-putusan terdahulu.23
الت ف ي ل ع ي ر ش األ ص ا ل ع ي م ل س ل ا ط ل ى ل م ي ر لك ا آن ر لق ا و ه
ف ي ر الش ث ي د لح ا و
21 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. “Misi,” Diakses 28 Oktober,
2017, http://tarjih .muhammadiyah.or.id/content-6-sdet-misi.html 22 Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah di Jakarta
Tahun 2000, (Yogyakarta: Sekretariat Majelis Tarjih dan Tajdid, 2012). 6 23 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 20.
Page 45
25
"Dasar mutlak dalam penetapan hukum islam adalah al-
Qur'an dan al-Hadis asy-Syarif."24
Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah adalah
sunnah makbulah seperti ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun
2000 yang dikutip diatas. Istilah sunnah makbulah merupakan perbaikan
terhadap rumusan lama dalam Himpunan Putusan Tarjih tentang definisi
agama islam yang menggunakan ungkapan “sunnah sahihah.” Istilah
sunnah sahihah sering menimbulkan salah paham dengan
mengindetikkannya dengan hadis sahih. Akibatnya hadis hasan tidak
diterima sebagai hujah syari’ah, padahal sudah menjadi ijmak seluruh
umat islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujah agama. Oleh karena
itu, untuk menghindari salah paham tersebut, rumusan itu diperbaiki
sesuai dengan maksud sebenarnya dari rumusan yang bersangkutan,
yaitu bahwa yang dimaksud sunnah sahihah adalah sunnah yang bisa
menjadi hujah, yaitu hadis sahih dan hadis hasan.25
Karenanya dalam rumusan baru dikatakan “sunnah makbulah”,
yang berarti sunnah yang dapat diterima sebagai hujjah agama, baik
berupa hadis sahih maupun hadis hasan.
Hadis daif tidak dapat dijadikan hujah syari’ah. Namun ada suatu
pengecualian dimana hadis daif bisa juga menjadi hujjah, yaitu apabila
hadis tersebut :
1. Banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain
saling menguatkan.
2. Ada indikasi berasal dari Nabi Muhammad saw.
3. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
24 Himpunan Putusan Tarjih, cet. Ke-3 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah,t.t.), 278. 25 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 20.
Page 46
26
4. Tidak bertentangan dengan hadis yang lain yang sudah
dinyatakan sahih.
5. Kedhaifannya bukan karena perawi hadis bersangkutan
tertuduh dusta dan pemalsu hadis.
Dalam Putusan Tarjih ditegaskan :
اه ق ر ط ة ر ث ك ع م ل اإ ه ب ج ت ح ي ب ع ضال اه ض ع ب د ض ع ي ة ف ي ع الض ث ي اد ح األ
ق ه ي ف و ث ل ع ل د ت ة ن ي ر ا و ه ل ص أ ت و ب ى ار ع ت م ل ا ث ي د ح ال و آن ر لق ا ض
ح ي ح الص
"Hadis-hadis dhaif yang satu sama lain saling menguatkan
tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan
padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya
serta tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadis sahih"
Apa yang dikemukakan di atas adalah sumber-sumber pokok
ajaran islam secara umum. Dalam kaitan dengan sistem normatif islam
terdapat sumber-sumber yang mendampingi sumber pokok. Sumber-
sumber pendamping ini dapat disebut juga sumber-sumber instrumental.
Sumber-sumber ini juga dapat diterima dan diakui dalam praktik
ketarjihan, seperti Ijmak, Qiyas, Maslahat Mursalah, Istihsan, Tindakan
Preventif (Sadduz-Zari’ah), dan Uruf.
b. Wawasan Toleransi
Toleransi artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya
saja yang benar, sementara yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan
tentang Hal Tarjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan,
“Kepoetoesan tardjih moelai dari meroendingkan sampai kepada
menetapkan tidak ada sifat perlawanan, jakni menentang ataoe
menjatoehkan segala jang tidak dipilih oleh tardjih itoe.”26 Pernyataan ini
26 Boeah Congres 26 (Jogjakarta: Hoefdcomite Congres Moehammadijah, t.t.)
32.
Page 47
27
menggambarkan bahwa Tarjih Muhammadiyah tidak menampik
pendapat lain apalagi menyatakannya tidak benar. Tarjih Muhammadiyah
memandang keputusan-keputusan yang diambilnya adalah suatu capaian
maksimal yang mampu diraih saat mengambil keputusan itu. Oleh
karena itu, Tarjih Muhammadiyah terbuka terhadap masukan baru
dengan argumen yang lebih kuat. Keterbukaan terhadap penemuan baru
adalah prinsip berikutnya dalam wawasan ketarjihan Muhammadiyah.
c. Keterbukaan
Keterbukaan artinya segala yang diputuskan oleh Tarjih dapat
dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, apabila ditemukan dalil dan
argumen yang lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan membahasnya dan
mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat. Dalam
“Penerangan tentang Hal Tardjih” ditegaskan, “Malah kami berseroe
kepada sekalian oelama soepaja soeka membahas poela akan kebenaran
poetoesan Madjelis Tardjih itoe dimana kalaoe terdapat kesalahan ataoe
koerang tepat dalilnja diharap soepaja diajoekan, sjoekoer kalaoe dapat
memberikan dalil jang lebih tepat dan terang, jang nanti akan
dipertimbangkan poela, dioelang penjelidikannja, kemoedian
kebenarannja akan ditetapkan dan digoenakan. Sebab waktoe
mentardjihkan itoe ialah menoeroet sekedar pengertian dan kekoetan kita
pada waktoe itoe.”27
d. Tidak Berafiliasi Mazhab
Memahami agama dalam perspektif tarjih dilakukan langsung
dari sumber-sumber pokoknya, al-Qur’an dan Sunnah melalui proses
ijtihad dengan metode-metode ijtihad yang ada. Ini berarti
Muhammadiyah tidak berafilisasi kepada mazhab tertentu. Namun, ini
27 Berita Resmi Muhammadiyah, Edisi Khusus, No. 1/2005 (Rajab 1426
H/September 2005 M), 111.
Page 48
28
berarti tidak menafikan berbagai pendapat fuqaha yang ada. Pendapat-
pendapat mereka sangat penting dan dijadikan bahan pertimbangan
untuk menentukan diktum norma/ajaran yang lebih sesuai dengan
semangat dimana kita hidup.
Ada tiga pendekatan yang komprehensif tentang tarjih, yaitu
bayani, burhani dan ‘irfani. Dalam keputusan Muktamar tidak pernah
ketiga istilah itu disebutkan, tetapi telah dilakukan sejak lama setelah
terbentuknya Majelis Tarjih. Pelaksanaan ijtihad memang tidak pernah
dibicarakan. Demikian juga manhaj dan cara-cara yang harus ditempuh,
juga tidak pernah dibicarakan. Penyebutan kata ijtihad oleh Majelis
Tarjih sejak tahun 1955, pada Muktamar Tarjih khusus di Yogyakarta.
Dan peyebutan kata itu tertuang pada keputusan penggunaan qiyas.28
A. Metode Ijtihad Bayani
Pendekatan bayani sudah lama digunakan oleh para fuqoha,
mutakallimin dan ushuliyyun. Bayani adalah pendekatan untuk
memahami dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan
makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafaz.29
Dalam Putusan Tarjih tahun 2000 di Jakarta dijelaskan bahwa
pendekatan dalam ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan
Bayani, Burhani dan Irfani. Pendekatan bayani adalah merespons
permasalahan dengan titik-titik tolak utama adalah nas-nas syariah (al-
Qur’an dan Sunnah). Hal ini biasanya banyak digunakan dalam
memecahkan masalah-masalah yang terkait ibadah mahdah (khusus)
karena asas hukum syariah tentang ibadah menegaskan bahwa “Ibadah
itu pada asasnya tidak dapat dilaksanakan kecuali yang disyariatkan.”
28 Asjumuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Metodologi dan
Aplikasi). 3-4 29 Muhammad Zuhdi, Maja’iyah Syi’ah Imamamiyah (Jakarta: Gradasi
Print,2017) h.120
Page 49
29
Asas ini menegaskan bahwa suatu ritus ibadah tidak sah dilakukan
apabila tidak ada dalil dari nas al-Qur’an dan Sunnah yang
mensyariatkannya. Apabila orang mengerjakan suatu bentuk ibadah yang
tidak disahkan dalam Sunnah Nabi saw, maka ibadah tersebut tidak sah
sesuai sabda Nabi Muhammad saw, “Barang siapa mengamalkan suatu
amalan yang tidak termasuk ke dalam agama kami, maka ditolak” dan
dalam lafal lain dikatakan, “Barang siapa mengada-adakan dalam
agama kami sesuatu yang tidak termasuk ke dalamnya, maka ditolak”
[HR.Muslim]. Oleh karena itu, dalam masalah ibadah Mahdah (khusus)
pendekatan bayani banyak digunakan.30
Bagi Muhammadiyah, pendekatan bayani tetap sangat diperlukan
dalam rangka menjaga komitmen proses ijtihadnya yang juga selalu
konsisten kepada teks, yakni al-Qur’an dan Sunnah, meskipun dalam
praktiknya tidak harus berlebihan. Untuk ini diperlukan penguasaan
kaidah-kaidah ushuliyyah dan kaidah-kaidah fiqhiyyah.31
B. Metode Ijtihad Burhani
Burhani dalam bahasa Arab bermakna argumen yang jelas (al-
hujjah al-bayyinah) dan dapat membedakan (al-fashl). Dalam persfektif
logika metode burhani adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada
kekuatan rasio melalui instrumen logika. Seperti induksi dan deduksi dan
lain sebagainya. Pendekatan ini mejadi realitas secara umum yang
mencakup realitas alam, realitas sejarah, realitas sosial, realitas budaya.
Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam suatu
wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri dan dia
30 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 26. 31 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah”. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Vol. 7, no. 1
(2012): 54.
Page 50
30
selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya
sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan.32
Jika dibandingkan dengan bayani dan irfani, dimana bayani
menjadikan teks, ijmak, dan ijtihad sebagai otoritas dasar dan bertujuan
untuk membangun konsepsi tentang alam untuk memperkuat akidah
agama, yang dalam hal ini Islam. Sedangkan irfani menjadikan al-kasyf
satu-satunya jalan dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu
burhani lebih bersandar pada kekuatan natural manusia berupa indera,
pengalaman, dan akal dalam mencapai pengetahuan.33
Pendekatan burhani berpola dari nalar burhani, dan nalar burhani
bermula dari proses abstraksi yang bersifat ta’aqulli terhadap realitas
sehingga muncul konsepsi, sedangkan konsepsi sendiri butuh aktualisasi
sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga disinilah
ditempatkan kata-kata. Atau dengan redaksi lain, kata-kata adalah
sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir disamping sebagai simbol
pernyataan konsepsi.34
Secara struktural, proses yang dimaksud terdiri atas tiga hal.
Pertama, proses eksperimentasi, yakni pengamatan terhadap realitas.
Kedua, proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut
dalam pikiran. Ketiga, ekspresi yakni mengungkapkan realitas dengan
kata-kata.35
Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani
diatas, pembahasan tentang silogisme demonstratif atau qiyas burhani
32 Muhammad Zuhdi, Maja’iyah Syi’ah Imamamiyah (Jakarta: Gradasi
Print,2017) h.120 33 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah”, 53. 34 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54. 35 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54
Page 51
31
menjadi sangat signifikan. Qiyas atau tepatnya qiyas jama’i, yakni
mengumpulkan dua preposisi yang disebut premis, kemudian
dirumuskan hubungannya dengan bantuan terminus medius atau tengah
sehingga diperoleh sebuah konklusi yang meyakinkan, menuju sesuatu
yang sangat penting.36
Selain itu, pendekatan burhani atau pendekatan rasional
argumentatif melalui dalil-dalil logika, menjadikan teks maupun konteks
sebagai sumber kajian. Dalam konteks ini metode ta’lili, yakni pola
penafsiran yang bertumpu pada illah yang diyakini berada pada
kandungan Ayat atau Hadis yang menjadi tambatan ditetapkannya suatu
norma. Artinya, lafz } tidak cukup hanya dipahami berdasarkan arti
kebahasaannya, tetapi juga dilihat dalam persfektif sosio-historisnya,
analisis pada metode ini dapat dibedakan kepada penalaran qiyasi,
istihsani, maupun istihlahi.37
Pendekatan burhani merespons permasalahan dengan banyak
menggunakan ilmu pengetahuan umum yang berkembang. Pendekatan
ini dimaksudkan untuk memberikan dinamika kepada pemikiran tarjih
(pemikiran keislaman) Muhammadiyah,38 khususnya diluar bidang
ibadah mahdah (khusus). Berbagai permasalahan sosial dan kemanusian
yang timbul tidak hanya didekati dari sudut nash-nash syari’ah, tetapi
juga didekati dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang relevan. Nas-
nas baik yang berupa al-Qur’an maupun Sunnah, meskipun banyak yang
bersifat universal, namun turun dalam konteks tertentu dan untuk
menyapa situasi tertentu. Oleh karena itu, apabila konteks penerapannya
di zaman sekarang telah berubah, maka pemahaman terhadapnya perlu
36 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54. 37Afif Fauzi Abbas,“Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54. 38 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 26.
Page 52
32
dilakukan kontekstualisasi dengan memanfaatkan temuan berbagai ilmu
yang terkait. Tetapi kontekstualisai tidak semata memaksa nas agar
mengikuti konteks saja sehingga terjadi pemaksaan nash agar sesuai
dengan konteks sehingga nash hanya berfungsi sebagai legitimasi
terhadap penafsiran yang kita buat. Konteks memberikan wawasan
kepada kita bagaimana memahami nash, tetapi nash juga dalam jangka
waktu yang sama menerangi kita dan memberikan petunjuk bagaimana
kita menangani konteks, yang semuanya dilakukan dalam bingkai
Maqasid asy-Syari’ah sebagai ruang makna.39
C. Metode Ijtihad ‘Irfani
‘Irfani berasal dari kata ‘irfan (Arab) merupakan bentuk dasar
dari kata ‘arafa, yang semakna dengan ma’rifah. Dalam bahasa Arab,
istilah al-Irfan berbeda dengan kata al-‘ilm. Al-‘Ilm menunjukan
pemerolehan obyek pengetahuan melalui transformasi ataupun
rasionalitas, sementara ‘irfan atau ma’rifah berhubungan dengan
pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek pengetahuan.40
Istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara pengetahuan
yang diperoleh melalui indera dan akal atau keduanya, dengan
pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf (ketersingkapan), Ilham,’Iyan,
atau Isyraq. Irfan dimengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman
intuitif akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui yang
telah dianggap sebagai pengetahuan tertinggi.41
Bagi kalangan ‘irfaniyyin, pengetahuan tentang Tuhan tidak
diketahui melalui bukti-bukti empiris rasional, tetapi harus melalui
pengalaman langsung. Untuk dapat berhubungan langsung dengan
39 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 27. 40 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54. 41 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54.
Page 53
33
Tuhan, seseorang harus melepaskan dirinya dari segala ikatan dengan
alam yang menghalanginya.42
Menurut konsep ‘irfani, Tuhan dipahami sebagai realitas yang
berbeda alam. Seangkan akal, indera,dan segala yang ada didunia ini
merupakan bagian dari alam, sehinggatidak mungkin mengetahui Tuhan
dengan sarana-sarana tersebut. Satu-satunya saranayang dapat digunakan
untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah melalui jiwa (nafs), sebab ia
merupakan bagian dari tuhan yang terpancar dari alam keabadian dan
terpasung ke alam dunia. Ia akan kembali kepada-Nya, jika sudah bersih
dan bebas dari kungkungan alam dunia.43
Jika sumber pokok dari ilmu pengetauan dalam pendekatan
bayani adalah teks, maka dalam pendekatan irfani,sumber pokonya
adalah experience (pengalaman), yakni pengalaman hidup yang otentik,
dan sesungguhnya, yang merupakan pelajaran tak ternilai harganya.44
Pengalaman-pengalaman batin yang amat mendalam, otentik,
fitri, dan hampir-hampir tak terkatakan oleh logika dan tak terungkapkan
oleh bahasa inilah yang disebut direct experience, dan disebut ilmu
hudhuri dalam tradisi ‘isyraqiyyah. Semua pengalaman otentik tersebut
dapat dirasakan secara langsung tanpa harus mengatakannya terlebih
dahulu lewat pengungkapan “bahasa” atau “logika”.45
Pendekatan‘irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu
pada pengalaman batin dan intuisi. Pendekatan pengetahuan ini
menekankan hubungan anatara subjek dan objek berdasarkan
42Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhhammadiyah, 54. 43 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54. 44 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54. 45 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah,. 54.
Page 54
34
pengalaman langsung seorang muslim, tidak melalui medium bahasa
atau logika rasional, sehingga obyek menyatu dalam diri subjek.
Pengetahuan ‘irfani sesungguhnya adalah pengetahuan pencerahan
(iluminasi).46
Dalam kaitan ini pengetahuan ‘irfani dapat diperoleh melalui tiga
tingkatan. Pertama, tahap membersihkan diri dari ketergantungan pada
hal-hal yang bersifat duniawi. Ini dapat dilakukan dengan tazkiyyah al-
nafs (penyucian jiwa). Kedua, melalui pengalaman-pengalaman eksklusif
dalam menghampiri dan merasakan pancaran nur Ilahi. Ketiga, ditandai
dengan pengetahuan yang seolah-olah tidak terbatas dan tidak terikat
ruang dan waktu.47
Meskipun metode ‘irfani sangat subjektif dan batini, namun
semua orang dapat merasakan kehadiran-Nya, setiap orang melakukan
dengan tingkat kadarnya sendiri-sendiri. Ketika pengalaman masing-
masing tersebut diwacanakan maka ia akan menjadi ntersubjektif. Sifat
intersubjektif tersebut dapat diformulasikan dalam beberapa tahapan.
Pertama, tahapan persiapan diri. Kedua, tahapan pencerahan. Ketiga,
tahapan konstruksi (pemaparan secara simbolik), sehingga memberi
peluang bagi orang lain untuk mengaksesnya. Implikainya adalah akan
lahir pengalaman keagamaan yang berbeda antara satu orang dengan
yang lain, berbeda ekspresinya, meskipun substansi dan esensinya tetap
sama. Inilah yang memperkaya empati dan simpati terhadap orang lain
yang setara secara elegan.48
46 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54. 47 Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 54-55. 48Afif Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
Ijtihad Muhammadiyah, 55.
Page 55
35
D. Prosedur Metode
a. Asumsi Metode
Metode adalah langkah-langkah prosedural dalam pemanfaatan
sumber guna menemukan suatu petunjuk agama. Metode tarjih
didasarkan kepada dua asumsi pokok, yaitu a). Asumsi integralistik, dan
b). Asumsi hirarkis. Asumsi integralistik mempostulasikan teori
keabsahan koroboratif tentang norma, yakni suatu asumsi yang
memandang adanya koroborasi49 dan saling mendukung di antara
berbagai elemen sumber guna melahirkan suatu norma. Suatu norma
yang didasarkan kepada suatu elemen sumber tentu sudah absah, hanya
saja keabsahan itu bersifat zanni.50 Namun, kekuatan keabsahan tersebut
akan meningkat manakala dapat dihadirkan lebih banyak elemn sumber
yang saling menguatkan dan saling berkoroborasi untuk mendukung
norma yang dimaksud, untuk pada suatu tingkat dalam kasus-kasus
tertentu kekuatan keabsahan itu mencapai derajat qat’i.51 Keqat’ian tidak
terdapat dalil yang terpisah satu persatu, tetapi terdapat koroborasi
sejumlah dalil yang satu sama lain saling menguatkan dan menunjukkan
satu pemaknaan yang sama. Sebagiman yang dikatakan asy-Syatibi >
“Keseluruhan itu memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh bagian-
bagian yang terpisah.”52 Cara pandang integralistik ini mengharuskan
proses operasionalisasi sumber dapat dilakukan dengan suatu metode
‘istiqra’ (induktif).
Asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu
berjenjang dari norma yang paling bawah hingga norma yang paling atas.
49 Bukti-bukti sejarah yang membenarkan atau memperkuat suatu pernyataan. 50 Dalil yang menunjukan adanya kemungkinan takwil dengan adanya dalil
yang selainnya. 51 Suatu dalil yang menunjukan terhadap makna yang dapat dipahami
maksudnya serta tidak membutuhkan penakwilan dan tidak memberi petunjuk terhadap
makna yang lain. 52 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 28.
Page 56
36
Apabila jenjang norma itu adalah prinsip-prinsip dasar baik norma
teologis maupun norma etik dan yuristik. Norma dasar ini diambil dari
nilai-nilai universal islam seperti tauhid, akhlaq karimah, kemashlahatan,
keadilan, persamaan, kebebasan, dan persaudaraan yang bersumber
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, atau dapat disimpulkan dari kenyataan
hidup manusia di bawah sinar sumber-sumber pokok tersebut. Norma
dasar ini memayungi norma di bawahnya yang berupa asas-asas yang
diambil dari kedua sumber pokok diatas atau di satu sisi merupakan
deduksi dari prinsip dasar atau pada sisi lain merupakan abstraksi dari
norma konkret. Asas-asas ini merupakan konkretisasi dari nilai-nilai
dasar. Lebih jauh asas-asas ini pada gilirannya memayungi norma paling
bawah, yakni norma konkret berupa ketentuan-ketentuan syar’i yang
bersifat far’i yang langsung mengkualifikasi suatu peristiwa hukum
syar’i.
Struktur jenjang norma ini juga bisa dilihat dari bawah ke atas.
Apabila dilihat dengan cara ini, maka norma dasar terletak pada bagian
paling bawah yang berfungsi melandasi asas-asas. Asas-asas pada
gilirannya melandasi konkret yang merupakan norma paling atas yang
berdiri di atas jenjang dua lapis norma lainnya yang lebih asasi.
Dengan dua asumsi metode diatas, maka respons terhadap
permasalahan sosial atau kemanusiaan tidak selalu dilakukan dengan
introduksi norma-norma konkret (dilihat dari segi hukum taklifi seperti
halal, haram, wajib) tetapi juga dimana diperlukan, menggali asas-asas
agama yang menjadi pedoman bertindak, bahkan juga melihat nilai-nilai
dasarnya yang menyemangati aktifitas kehidupan. Penggunaan prosedur
seperti ini dalam bertarjih telah banyak dilakukan dalam sejumlah
keputusan tarjih seperti keputusan tentang fiqih tata kelola air atau fiqih
air.
Page 57
37
b. Ragam Metode
Untuk menemukan norma konkret terdapat tiga ragam yang
secara tidak langsung dipraktikkan dalam pengambilan keputusan atau
fatwa tarjih. Ragam metode yang dimaksud adalah 1). Metode bayani
(metode interpretasi), (2). Metode kausasi, baik kausasi berdasarkan
kausa efisien maupun berdasarkan kausa finalis (maqasid asy-syariah),
dan 3). Metode sinkronisasi dalam hal terjadi taarud.53
Dengan metode bayani (tidak sama dengan istilah bayani dalam
pendekatan) adalah suatu metode interprestasi yang ditujukan untuk
menjelaskan nash-nash yang sudah ada. Ragam ini digunakan untuk
menangani kasus-kasus yang sudah terdapat nash langsung
mengenainya, hanya saja nash itu bersifat kabur sehingga perlu
diperjelas. Sedangkan ragam kausasi digunakan untuk memecahkan
masalah yang tidak terdapat nash langsung mengenainya. Prosesnya
dilakukan dengan cara menggali kausa, baik efisien maupun finalis, yang
dapat memberikan landasan bagi hukum kasus tersebut. Ragam metode
sinkronisasi digunakan untuk menemukan ketentuan hukum bagi kasus-
kasus yang untuknya terdapat dalil-dalil yang salimg bertentangan
(ta’arud dalil). Mengenai ini telah terdapat Putusan Tarjih yang
menyatakan, Jika terjadi ta’arud, diselesaikan dengan urutan cara-cara
sebagai berikut:
a. Al-Jam’u wa at-Taufiq yakni sikap menerima semua dalil yang
walaupun zahirnya ta’arud. Sedangkan pada dataran pelaksanaan
diberi kebebasan untuk memilihnya (takhyir).
b. At-Tarjih yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan
dan meninggalkan dalil yang lemah.
c. An-Naskh yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
53 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 30.
Page 58
38
d. At-Tawaqquf yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang
dipakai dengan cara mencari dalil baru.54
Pentarjihan terhadap nash dilihat dari beberapa segi:
1. Segi Sanad
a. Kualitas maupun kuantitas rawi.
b. Bentuk dan sifat periwayatan.
2. Segi Matan
a. Matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat
amr
b. Matan yang menggunakan sighat khass lebih rajih dari sighat
‘am
3. Segi Materi Hukum
4. Segi Eksternal55
c. Beberapa Kaidah Hadis
Dalam Putusan Tarjih telah terdapat beberapa kaidah yang
mendukung metode Tarjih dalam manhaj tarjih secara keseluruhan.
Kaidah ini terkait dengan masalah hadis, yaitu sebagai berikut:
a. Kaidah 1
ب ه ت ج ي ح د ل ر ج ال م ف ق و و ا ل م
"Hadis mauquf murni tidak dapat dijadikan hujjah."
b. Kaidah 2
ف ق و و ب ه ا ل م ت ج ي ح ع ف و ر ا لم م ك ح ف ي ي ال ذ
"Hadis mauquf yang berstatus marfu' dapat dijadikan
hujjah."
54 Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah di Jakarta
Tahun 2000, 17. 55 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 31.
Page 59
39
c. Kaidah 3
ىل إ ع ه ف ار ه ن م م ه ف ي ة ن ي ر ق ه ي ف ان اك ذ إ ع و ف ر لم ا م ك ح ي ف ن و ك ي ف و ق و م ل ا
ك للا ل و س ر ك ة ي ط ع م أ ل و ق )صلعم( ن ن : د ي لع ا ي ف ج ر خ ن ن أ ر م ؤ ا
(ه و ح ن و ث ي د ح ل )ا ض ي لح ا
"Hadis Mauquf berstatus marfu' apabila terdapat karinah
yang daripadanya dapat dipahami kemafru'annya kepada
Rasulullah saw, seperti pernyataan Ummu' Atiyyah: "Kita
diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang
sedang haid pada Hari Raya" dan seterusnya bunyi hadis itu, dan
sebagainya.
d. Kaidah 4
ه ب ج ت ح ي ل د ر ج لم ا ي ع اب الت ل س ر م
"Hadis Mursal Tabi'i murni tidak dapat dijadikan hujjah."
e. Kaidah 5
ه ل صا ىات ل ع ل د ت ة ن ي ر ق م ث ت ان اك ذ إ ه ب ج ت ح ي ي ع اب الت ل س ر م
"Hadis Mursal Tabi'i dapat dijadikan hujjah apabila
besertanya terdapat karinah yang menunjukkan
kebersambungannya."
f. Kaidah 6
ه ل صا ىات ل ع ل د ت ة ن ي ر ق م ث ت ان ك ذ إ ه ب ج ت ح ي ي اب ح الص ل س ر م
"Hadis Mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila
padanya tempat terdapat karinah yang menunjukkan
kebersambungannya."
g. Kaidah 7
ضع اب ه ض ع ب د ض ع ي ة ف ي ع الض ث ي اد ح األ اه ق ر ط ة ر ي ث ك ع م ل اإ ه ب ج ت ح ي ال
ق ه ي ف و ث ل ع ل د ت ة ن ي ر ا و ه ل ص أ ت و ب ى ار ع ت م ل ا ث ي د لح ا و آن ر لق ا ض
ح ي ح الص
Page 60
40
"Hadis-hadis dhaif yang satu sama lain saling menguatkan
tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan
padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya
serta tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadis Sahih."
h. Kaidah 8
اعر ش ر ب ت ع لم ا ي اف الش ان ي لب ا ب ع د ل ي د ع ىالت ل ع م د ق م ح ر ج ل ا
"Jarh (cela) didahulukan atas ta'dil setelah adanya
keterangan yang jelas dan sah secara syara'."
i. Kaidah 9
ي ل د الت ب ر ه ت اش ن م م ل ب ق ت ان ك و ال ص ت ل ا ه ر اه اظ م ب ح ر اص ذ إ ه ت اي و ر س
ه ت ال د ع ي ف ح اد ق ر ي غ ه س ي ل د ت
"Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat
diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu
bersambung dan tadlisnya tidak sampai merusak keadilannya."
j. Kaidah 10
ل و ب لق ا ب اج و ه ي ي ن ع م د ح ىأ ل ع ك ر ت ش لم ا ظ ف الل ي اب ح الص ل م ح
"Penafsiran Sahabat terhadap lafal (pernyataan) musytarak
dengan salah satu maknanya wajib diterima."
k. Kaidah 11
ر اه ظ لاب ل م ع ل ا ه ر ي ىغ ل ع ر اه الظ ي اب ح الص ل م ح
"Penafsiran Sahabat terhadap lafal (pernyataan) zahir
dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir
tersebut."56
56 Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah. 32-34.
Page 61
41
d. Kaidah Perubahan Hukum
Dalam fiqih telah diterima asas kebolehan terjadinya perubahan
hukum. Bahkan ini telah dirumuskan dalam kaidah fiqih dan akan
diterima oleh para fuqaha, yaitu kaidah:
لينكرتغيراألحكمبتغيراألزمنةواألمكنةواألحوال
Dalam Ketarjihan Muhammadiyah secara praktik telah diakui
adanya perubahn ketentuan hukum, bahkan bukan hanya ketentuan
hukum ijtihadiah, tetapi juga ketentuan hukum yang ditegaskan dalam
nash. Contohnya tentang masalah kepemimpinan wanita yang dalan
hadis dilarang, tetapi dalam Putusan dan Fatwa tarjih dibolehkan. Begitu
pula hukum melakukan ru'yat yang diperintahkan dalam hadis, tetapi
Tarjih tidak lagi mengamalkan hadis itu, melainkan menggunakan hisab.
Oleh karena itu, kaidah tersebut diterima dalam Muhammadiyah.
Hukum-hukum tidak boleh asal berubah, tetapi harus ada syarat-
syarat untuk dapat diubah. Menurut bapak Syamsul Anwar (Ketua
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah), ada empat syarat yang harus
dipenuhi untuk suatu hukum dapat berubah, yaitu:
a. Adanya tuntutan kemashlahatan untuk berubah, yang berarti
bahwa apabila tidak ada tuntutan dan keperluan untuk berubah,
maka hukum tidak dapat diubah.
b. Hukum itu tidak mengenai pokok ibadah mahdah, melainkan
diluar ibadah mahdah, yang berarti ketentuan-ketentuan ibadah
mahdah tidak dapat diubah karena pada dasarnya hukum ibadah
itu bersifat tidak jelas makna.
c. Hukum itu tidak bersifat qat'i, apabila hukum itu qat'i maka dapat
diubah seperti ketentuan larangan makan riba, makan harta
Page 62
42
sesama dengan jalan batil, larangan membunuh, larangan berzina,
wajibnya puasa Ramadhan, wajibnya salat lima waktu, dan
sebagainya.
d. Perubahan baru dari hukum itu harus berlandaskan kepada suatu
dalil syar'i, sehingga perubahan hukum itu tidak lain adalah
perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang lain.57
57 Syamsul Anwar, Diskusi dan Korespodensi Kalender Hijriah Global
(Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2014), 262-263.
Page 63
43
BAB III
OTENTISITAS DAN PEMAHAMAN HADIS
MEMBERSIHKAN JILATAN ANJING KURANG TUJUH
KALI DAN TIDAK MENGGUNAKAN TANAH
A. Otentisitas Hadis Jilatan Anjing
a. Teks Hadis dan Terjemah
د بن جعفر حدثنا حم ي عل ي بن الحسن نا , ن صير بن م عبد نا , المعمر
اك بن الوهاب يل نا , الضح شام عن , عياش بن إ سماع أب ي عن , ع روة بن ه
ناد ف ي» وسلم عليه للا صلى النب ي عن , رة ه ري أب ي عن , العرج عن , الز
ناء ف ي يلغ الكلب ل ه أنه ال الدارقطني( )رواه «.سبعا أو خمسا أو ثلثا يغس Artinya: “Ja’far bin Muhammad bin Nushair menceritakan
kepada kami, Al-Hasan bin ‘Ali > Al-Ma’muri > mengabarkan kepada
kami, Abdul Wahhab bin Adh-Dhahhak mengabarkan kepada
kami, Isma’il bin ‘Ayyasy mengabarkan kepada kami, dari Hisya>m
bin Urwah, dari Abu Az-Zina>d, dari Al-‘A’raj, dari Abu Hurairah,
dari Nabi SAW: tentang anjing yang menjilat pada bejana: Bahwa
bejana itu dicuci tiga kali atau lima kali atau tujuh kali.” (HR.
Da>ruqutni>)
B. Takhrij Hadis
Takhrij hadis adalah pencarian hadis pada berbagai sumber aslinya
disertai penjelasan kualitas hadis sanad tersebut. Jika dilakukan kajian
mendalam, pengertian ini menghasilkan dua perkara, yaitu: pertama,
mengetahui tempat hadis dalam kitab-kitab hadis dan selainnya. Pada
bagian pertama, pencarian hadis pada sumber-sumbernya mencakup
penyebutan beberapa literatur memuat hadis yang dikaji. Sebagai
contohnya, seperti kalimat “Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukha>ri
dalam Sahih-nya”. Praktik takhrij dapat dilakukan dengan menyandarkan
hadis pada perawi yang dimuat dalam beberapa kitab hadis sebagai
berikut:1
1 Muhammad al-Khusyu’i. al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, vol. 1 (Kairo: al-
Azhar, 2002 M), 4.
Page 64
44
1. Buku-buku sunah yang memuat hadis dengan sanad yang bersambung
pada pengucap pertama, seperti Kutub al-Sittah, Muwatta Imam
Ma>lik, dan lain-lain.
2. Buku-buku selain hadis, seperti kitab tafsir Ibn Jarir al-T}abari.
Meskipun ditulis dalam bidang tafsir, kitab ini juga memuat hadis-
hadis beserta sanadnya sampai pada pengujar pertama.
3. Buku-buku fikih yang memuat hadis-hadis beserta sanadnya yang
bersambung ke Nabi Saw, seperti buku al-Umm karya al-Syafii.
4. Buku-buku sejarah yang memuat hadis lengkap dengan sanadnya,
seperti Tarikh ‘Ibn Jarir al-T}abari.
Literatur di atas merupakan sumber asli yang dipakai dalam
meriwayatkan hadis. Selain sumber asli, hadis dimuat juga dalam sumber
tambahan/bukan aslinya. Sumber ini ialah buku-buku yang menyebutkan
hadis-hadis tanpa sanadnya yang bersambung pada Nabi Saw. Namun
demikian, penulis buku berpegang teguh pada sumber-sumber asli.
Mereka mengambil matan hadis kemudian mengeluarkan hadis dari
sumber aslinya. Sumber-sumber tambahan ini ialah sebagai berikut:
1. Buku-buku yang menghimpun hadis-hadis hukum, seperti Bulugh al-
Maram karya Ibn Hajar al-‘Asqalani.
2. Buku-buku seputar Fadail al-`A’mal, seperti Riyadh al-Shalihin dan
al-Adzkar karya al-Nawawi.
3. Buku-buku yang memuat hadis-hadis berdasarkan urutan huruf
hijaiyah, seperti al-Jami‘ al-Shaghir karya al-Suyuti, dan al-Fath al-
Kabir karya al-Nabhani.
4. Buku-buku yang menyebutkan hadis-hadis populer di telinga
masyarakat, seperti Kasyf al-Khafa wa Mazil al-Ilbas fi ma Isytahara
min al-Ahadits ‘ala Alsinat al-Nas karya al’Ajluni.
5. Buku-buku lain yang mengumpulkan beberapa hadis tanpa sanad yag
bersambung pada Nabi Saw.
Page 65
45
Berangkat dari pembahasan di atas, diketahui bahwa sumber hadis
terbagi dua, yaitu: pertama, buku-buku yang memuat hadis beserta
sanadnya sampai pengucap pertama atau disebut dengan buku induk.
Kedua, buku-buku yang memuat hadis namun tidak lengkap dengan
sanadnya. Pertanyaannya, apakah boleh melakukan takhrij hadis bukan
berasal dari buku induk?
Takhrij hadis tidak boleh dilakukan dari buku-buku sekunder atau
selain induk, kecuali jika hadis yang dikutip dalam buku tersebut tidak
ditemukan, baik disebabkan hilang atau sulit didapat sehingga pelajar
hadis tidak dapat menemukannya. Hal ini terkadang disebabkan buku
tersebut berupa manuskrip yang belum dicetak atau sebab lain. Adapun
jika buku yang memuat hadis tersebut ada dan mudah didapat, pelajar
hadis diharuskan merujuk pada buku tersebut.
Sumber-sumber hadis selain buku induk terbagi dua, yaitu sebagai
berikut:2
1. Peneliti mengetahui hadis yang dikaji ditemukan dalam kitab tertentu,
tanpa menyebutkan sumber aslinya. Jika demikian, peneliti wajib
merujuk pada sumber asli hadis tersebut.
2. Jika sebuah kitab mengacu pada sumber yang telah hilang, dapat
dipastikan peneliti mengetahui sumber hadis tersebut.
Kedua, mengetahui kualitas hadis yang sedang dikaji. Pada bagian
ini, penulis melakukan kajian ulang terhadap derajat hadis, baik sahih,
hasan, maupun dha’if dengan menelusuri sanad dan matan juga
memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Jika memenuhi semua kriteria hadis yang diterima, suatu hadis dinilai
sahih.
2 Muhammad al-Khusyu’i. al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, 5.
Page 66
46
2. Jika memenuhi kriteria hadis kurang dari kriteria, suatu hadis dinilai
hasan.
3. Apabila suatu hadis mayoritas tidak memenuhi syarat kesahihan,
hadis tersebut dinilai lemah atau dha’if sebagaimana diketahui dalam
buku Mustalah hadits.
Beberapa kriteria di atas merupakan cerminan bahwa hadis dapat
diterima dengan melakukan penelusuran terhadap sanad dan matannya
atau disebut takhrij. Karenanya, takhrij memiliki beberapa manfaat
sebagai berikut:
1. Mengetahui siapa ulama yang mengeluarkan hadis dalam kitab-
kitabnya. Karenanya, peneliti melakukan penelusuran terhadap
sumber hadis dalam kitab sunah dan lain-lain.
2. Mengetahui derajat hadis baik sahih, hasan, dha’if. Ketika peneliti
mengkaji hadis, kemudian mengumpulkan jalur periwayatannya maka
terkadang dalam suatu riwayat hadis dinilai dha’if namun dalam jalur
lain dinilai sahih. Kondisi lainnya ialah hadis dhaif dapat naik derajat
menjadi hasan li ghairih jika terdapat riwayat-riwayat lain yang
semakna. Hal ini disebabkan jalur-jalur periwayatan saling
menguatkan satu sama lain.
3. Mengetahui hadis mutawatir dan ahad. Ini disebabkan ketika peneliti
mentakhrij hadis dan mengumpulkan jalur-jalur periwayatannya, akan
diketahui apakah hadis tersebut mutawatir atau ahad, apakah dia
masyhur, aziz, atau gharib.
4. Mengetahui sebab turun hadis, karena peneliti ketika mentakhrij hadis
terkadang menemukan riwayat yang menyebut sebab turunnya.
Dengan mengetahui poin keempat, memudahkan peneliti untuk
memahami hadis dengan benar sebagaimana sebab turun ayat
memudahkan pemahaman terhadap suatu ayat dengan komprehensif.
Page 67
47
5. Mengetahui mubham (nama yang tidak diketahui) yang kadang terjadi
pada sanad atau matan, seperti kata ‘an rojulin dalam sanad atau Ja`a
Rajulun ila al-Nabi dalam matan. Ketika ditemukan perawi yang
mubham dalam sanad, peneliti dapat mengetahuinya dengan melihat
apakah ia seorang yang adil atau tidak. Perawi mubham dalam satu
riwayat dapat diketahui juga dengan melihat riwayat lain yang
menyertakan nama aslinya.3
6. Mengetahui muhmal dalam sanad atau matan hadis. Adapun contoh
muhmal dalam sanad ialah kata ‘an Muhammad, sementara contoh
dalam matan ialah Ja`a Muhammad tanpa penjelasan tambahan.
Peneliti dapat mengetahui informasi tambahan dengan melihat
penjelasan dalam riwayat lain seperti contoh ‘an Muhammad bin
Fulan atau diketahui nasab dan kesukuannya, sehingga diketahui
apakah ia seorang yang adil atau jarh.
7. Menolak ‘illat baik karena tadlis atau ikhltilat dengan menghimpun
riwayat-riwayat.
8. Mengetahui idraj (sisipan) dalam sanad atau matan hadis dengan
melakukan perbandingan hadis-hadis yang diriwayatkan.4
Ada dua hadis yang akan ditakhrij dalam penelitian ini, yaitu:
Sunan al-Da>raquthni>
ي , نا عبد د بن ن صير , نا الحسن بن عل ي المعمر حم حدثنا جعفر بن م
يل بن عياش , اك , نا إ سماع شام بن ع روة , عن الوهاب بن الضح عن ه
ناد , عن العرج , عن أب ي ه ريرة , عن النب ي صلى للا عليه أب ي الز
ل ه ثلثا أو خمسا أو سبعا»وسلم ناء أنه يغس )رواه «.ف ي الكلب يلغ ف ي ال
الدارقطني(
3 Muhammad al-Khusyu’i. al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, 6. 4 Muhammad al-Khusyu’i. al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, 7.
Page 68
48
“Ja’far bin Muhammad bin Nushair menceritakan kepada
kami, Al-Hasan bin ‘Ali > Al-Ma’muri > mengabarkan kepada kami,
Abdul Wahhab bin Adh-Dhahhak mengabarkan kepada kami,
Isma>’il bin Ayya>sy mengabarkan kepada kami, dari Hisya>m bin
Urwah, dari Abu Az-Zina>d, dari Al-‘A’raj, dari Abu Hurairah, dari
Nabi SAW: tentang anjing yang menjilat pada bejana: Bahwa
bejana itu dicuci tiga kali atau lima kali atau tujuh kali.”
د , وثنا حم أب و بكر نا أب و بكر , قال: حدثن ي عل ي بن حرب , نا أسباط بن م
ي , نا سعدان بن نصر , ثنا إ سحاق الزرق , قال: نا عبد المل ك النيساب ور
قه ث م », عن عطاء , عن أب ي ه ريرة , قال: ناء فاهر إ ذا ولغ الكلب ف ي ال
ات له ثلث مر ، عن هذ «. اغس ه هكذا غير عبد المل ك ا موق وف , ولم يرو
عطاء , وللا أعلم
“Abu Bakar menceritakan kepada kami, ia mengatakan:
‘Ali > bin Harb menceritakan kepada kami, Asba>t} bin Muhammad
menceritakan kepada kami. Dan Abu Bakar An-Naisa>buri
menceritakan kepada kami, Sa’da >n bin Nushr mengabarkan kepada
kami, Isha>q Al-Azraq menceritakan kepada kami, keduanya
mengatakan: ‘Abdul Malik mengabarkan kepada kami, dari ‘Atha’,
Abu Hurairah, ia mengatakan: “Apabila anjing menjilat pada
benjana, maka tumpahkanlah, kemudian cucilah tiga kali.”
Riwayat ini Mauquf. Tidak ada yang meriwayatkannya selain
Abdul Malik dari ‘Atha’. Wallahu a’alam. 5
5 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Fatwa Tarjih :
Bejana yang dijilatin. (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban 1431 H / 6 Agustus
2010), Diakses, 24 Oktober, 2017, https://www.fatwatarjih.com/2012/01/bejana-yang-
dijilati-Sanjing.html?m=1”
Page 69
49
C. Analisis Sanad Hadis
Adapun rangkaian nama-nama para periwayat hadis pada jalur
periwayatan al-Da>ruqutni> adalah:
Tabel di atas menggambarkan jalur periwayataan al-A’raj
bersambung pada Nabi Saw, sementara Ata terhenti pada Abu Hurairah.
Untuk lebih jelasnya, Berikut adalah paparan biografi dan kualitas dari
para perawi:
لمالنبي صلى هللا عليه وس
األعرج
هشام بن عروة
أبو الزناد
أبو هريرة
إسماعيل بن عياش
الحسن بن علي المعمري
عبد الوهاب بن الضحاك
جعفر بن محمد بن نصير
الدارقطني
Page 70
50
a. Jalur periwayatan bersambung ke Nabi Saw
1. Abu Hurairah al-Dausi al-Yamani (w. 58 H)
Nama lengkapnya adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr, ‘Abdullah bin
‘Adz, ‘Abdurrahman bin Ghanam. Wafat tahun 58 H, di usia 78 tahun. Ia
meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw, Ubay bin Ka’ab, Usamah bin
Zaid bin Haritsah. Sedangkan meriwayatkan hadis darinya antara lain
adalah Ibrahim bin Ismail, Ibrahim bin ‘Abdullah bin Hunain, Nafi bin
Jubair bin Muthim atau disebut juga Nafi bin Abi Anas (Abu Suhail).
2. al-‘A’raj (w. 140 H)
Nama lengkapnya ialah Tsabit ‘Iyadh al-Ahnaf al-Qurasyi al-
‘Aduwi. Ia adalah orang yang dimerdekakan oleh ‘Abdurrahman bin Zaid
bin al-Khattab. Ia merupakan generasi ke-3 dari kalangan tabiin
pertengahan. Ia memiliki guru dalam bidang hadis, yaitu Anas bin Malik,
‘Abdullah bin Zubair, ‘Abdullah bin Umar bin al-Khattab, ‘Abdullah bin
‘Amr bin al-‘Ash, dan Abu Hurairah. Sementara murid-muridnya ialah
Ishaq bin Yahya bin Talhah, Ziyad bin Sa’d, dan Abu Zina>d. Para ulama
menilai baik al-‘A’raj dalam periwayatan hadis. Al-Dikutip dari al-Mizi,
Nasai mengatakan ia seorang tsiqoh. Pendapat lain yaitu datang dari Abu
Hatim, mengatakan ia seorang la ba`sa bihi. Al-Dzahabi mengatakan ia
Shaduq sementara Ibn Hajar mengatakan ia seorang tsiqah.
3. Abu Zina>d (w. 131 H)
Nama lengkapnya ialah ‘Abdullah bin Dzakwan, Abu Zina>d, Abu
‘Abdirrahman, seorang ahli fikih Madinah. Ia adalah keponakan Abu
Lu’luah, pembunuh Sayyidina Umar. Dalam bidang periwayatan hadis, ia
mendengar hadis dari Anas, Abu Umamah bin Sahl, al-‘A’raj dan lain-
lain. Ia juga memiliki murid antara lain, Malik, Syu’aib, Hisya>m bin
‘Urwah dan lain-lain. Para ulama menilai ia adalah seorang ahli fikih. Abu
Hanifah mengatakan Abu Zina>d lebih faqih dari Rabi’ah. Al-Laits
Page 71
51
mengatakan ia mendengar dari Rabi’ah, bahwa Abu Zina>d bukan orang
tsiqah, sementara al-Dza>habi mengatakan bahwa ia telah dinyatakan
tsiqah menurut ijmak.6
4. Hisya>m bin Urwah (146 H)
Nama lengkapnya ialah Hisya>m bin Urwah bin Zubair bin al-
‘Awam al-Qurasyi, Abu al-Mundzir. Ada yang mengatakan nama
kunyahnya ialah Abu ‘Abdillah al-Madani. Ia merupakan generasi ke-5
dari tabiin atau dengan kata lain termasuk tabiin junior.hadis-hadis yang
diriwayatkannya telah dimuat dalam berbagai kitab induk, seperti al-
Bukha>ri, Muslim, Abu Dau>d, al-Tirmizi, al-Nasai, Ibn Majah. Dalam
bidang hadis, ia memiliki beberapa guru, antara lain: Bakr bin Wa`il, Salih
bin Rabiah, Abu Zina>d, dan lain-lain. Sementara murid-muridnya ialah
sebagai berikut: Aban bin Zaid al-Aththar, Ibrahim bin Humaid bin
Abdirrahman al-Rawasi, Ismail bin Yunus, Isma>il bin Ayya>sy, dan lain-
lain. Adapun penilaian dalam meriwayatkan hadis, para ulama berbeda
pendapat, antara lain: Ibnu hajar mengatakan ia adalah seorang tsiqah
yang faham agama. Sementara al-Dza>habi mengatakan ia seorang
cendekiawan. Berikutnya Abu Hatim mengatakan ia adalah seorang imam
dalam bidang hadis.7
5. Isma>il bin Ayya>sy (w. 182 H)
Nama lengkapnya ialah Isma>il bin Ayya>sy bin Sulaim, Abu Utbah
al-Himsha. Ia merupakan generasi ke-8 dari pengikut tabiin. Ia merupakan
periwayat hadis yang dipakai dalam berbagai kitab hadis, antara lain: al-
Bukha>ri, Abu Dau>d, al-Tirmidzi, al-Nasai, dan Ibnu Majah. Guru-gurunya
dalam bidang hadis ialah Ishaq bin ‘Abdullah bin Abi Farwah al-Madani,
6 Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz al-
Dzahabi. Tarikh al-Islam wawafayat al-Masyahir wa al-A’lam, Vol. 3 (Beirut: Dar al-
Gharb, 2003 M), 677. 7Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz al-
Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubal. Tarikh al-Islam wawafayat al-Masyahir wa al-A’lam, 34.
Page 72
52
Tamam bin Najih al-Asadi, Sufyan al-Tsauri, Hisya>m bin Urwah, Hisyam
bin al-Ghaz dan lain-lain. Sementara murid-muridnya ialah Abd al-
Wahhab bin al-Dhahhak, ‘Utbah bin Sa’id, ‘Ali bin Ayya>sy al-Himsha,
dan lain-lain. Adapun pendapat ulama tentangnya, seperti Ibnu Hajar
mengatakan ia adalah Shaduq jika meriwayatkan hadis di daerahnya. Akan
tetapi, ia mengalami ikhtilat jika meriwayatkan hadis di luar daerah.
Kemudian al-Dza>habi mengatakan, Yazid bin Harun berpendapat ia
memiliki hafalan yang kuat dalam jejak periwayatan.8
6. Abd al-Wahhab bin al-Dhahhak (w. 245 H)
Ia adalah Abd al-Wahhab bin al-Dhahhak bin Aban bin al-Sulami,
Abu al-Harits al-Himsha. Ia tinggal di sekitar daerah Himsha. Merupakan
generasi ke-10 dari pengikut tabiin. Dalam meriwayatkan hadis namanya
diakui dalam Sunan Ibn Majah. Guru-gurunya dalam bidang hadis ialah
Isma>il bin Ayya>sy, Baqiyyah bin al-Walid, al-Harits bin Ubaidah, Sufyan
bin Uyainah dan lain-lain. Sementara murid-muridnya ialah al-Hasan bin
Ali bin Syabib al-Ma’mari, al-Abbas bin Ahmad al-Syami, Ahmad bin
‘Amr bin Abi Ashim, dan lain-lain. Adapun pendapat ulama tentangnya
ialah Ibnu Hajar mengatakan ia merupakan seorang matruk. Bahkan,
dinilai kadzdzab oleh Abu Hatim.9
7. Al-Hasan bin Ali al-Ma’mari (w. 295)
Nama lengkapnya ialah al-Hasan bin Ali bin Syabib al-Ma’mari,
Abu Ali. Ia seorang hakim dan penghafal hadis. Berasal dari Baghdad,
kemudian hijrah ke Bashrah, Kufah, Syiria, dan Mesir. Ia diangkat
menjadi hakim agung kemudian wafat di Baghdad. Ada yang mengatakan
8 Sayyid Abu al-Ma’athi al-Nuri. Mausu’ah Aqwal Imam Ahmad, Vol. 1
(Beirut: Alim al-Kitab, 1997 M/1417 H), 109. 9 Muhammad Mahdi al-Muslimi. Mausu’ah Aqal Abi al-Husain al-Daruqutni,
Vol. 2 (Beirut: Alim al-Kitab, 2001 M), 429.
Page 73
53
sampai umur 82 tahun tidak tumbuh uban di kepalanya.10 Guru-gurunya
dalam bidang hadis ialah Abd al-Wahhab bin al-Dhahhak, Ali bin al-
Madini, Syaiban, dan lain-lain. Sementara murid-muridnya ialah Ja’far bin
Muhammad bin Nusair, Suwaid bin Ghafalah, al-Sya’bi, dan lain-lain.
8. Ja’far bin Muhammad bin Nusair (w. 348 H)
Nama lengkapnya ialah Ja’far bin Muhammad bin Nushair bin
Qasim, Abu Muhammad al-Baghdadi al-Khuldi al-Khawash. Ia
merupakan seorang guru dan petinggi sufi sekaligus muhaddits dari
kalangan mereka. Guru-gurunya dalam bidang hadis ialah al-Harits bin
Abi Usamah, Bisyr bin Musa, al-Hasan bin al-Ma’mari, dan lain-lain.
Sementara muridnya ialah Yusuf al-Qawwas, Abu ‘Abdillah al-Hakim,
‘Abdul ‘Aziz al-Satturi, Da>ruqutni>, Ibn al-Fadhl al-Qaththan dan lain-lain.
Dalam meriwayat hadis, ia dinilai tsiqah oleh al-Khatib.11
9. Da>ruqutni> (w. 385 H)
Namanya ialah Abu al-Hasan ‘Ali bin Umar bin Ahmad. Ia
seorang imam, hafiz, Syaik al-Islam, Abu al-Hasan ‘Ali bin Umar bin
Ahmad bin Ahmad bin Mahdi bin Mas’ud bin al-Nu’man bin Dinar bin
Abdillah al-Baghdad. Lahir tahun 306 H. Ia mendengar hadis dari Abu al-
Qasim al-Baghawi, Yahya bin Muhammad bin Shaid, Abu Bakr bin Abi
Dawud, dan lain-lain. Murid-muridnya dalam hadis ialah al-Hafiz Abu
Abdillah al-Hakim, al-Hafiz Abd al-Ghina, Tammam bin Muhammad al-
Razi, dan selain mereka dari orang Baghdad, orang Damaskus, orang
Mesir, dan lain-lain.
Berdasarkan pemaparan di atas, Da>ruqutni> dan Ja’far bin
Muhammad bin Nushair tidak memiliki hubungan guru murid yang
10 Khairuddin bin Mahmud al-Zarkali. al-A’lam, Vol. 2 (Beirut: Dar al-Ilmi li al-
Malayin), 200. 11 Syamsuddin al-Dzahabi. Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa la-
A’lam, 862.
Page 74
54
tertulis dalam buku takhrij. Namun demikian, ada dua indikasi adanya
hubungan guru murid antar keduanya, yaitu dilihat dari kedekatan tahun
wafat dan kesamaan domisili antar mereka.
D. Kesimpulan (Natijah)
Bertitik tolak pada uraian di atas, dapat diketahui bahwa hadis
Nabi tentang jilatan anjing, pada jalur al-Da>ruqutni> selengkapnya:
1. Sanadnya bersambung, hal ini ditandai dengan adanya indikator
bahwa antara para periwayat yang satu dengan yang lain masing-
masing telah memenuhi syarat-syarat periwayatan hadis (tahammul
wa al-Ada), diantaranya selain pertemuan antar guru dan murid (liqa),
juga hidup satu zaman (mu’asharah), sehingga hadis yang
diriwayatkan benar-benar bersambung dan bersandar sampai kepada
Rasulullah Saw.
2. Keseluruhan periwayat dalam sanad tersebut menunjukkan bahwa
mereka adalah periwayat adil dan dabit, kecuali Abd al-Wahhab bin
al-Dhahhak yang terindikasi matruk dan Isma>il bin Ayya>sy yang
terindikasi ikhtilat jika meriwayatkan hadis luar daerah. Meskipun ada
hadis penguat yang semakna. Hadis itu bukan hadis marfu' melainkan
hadis mauquf, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
3. Sanad hadis tersebut di dalamnya ditemukan adanya kejanggalan
(syaz) dan cacat (illat).
4. Pada matan hadis juga ditemukan kejanggalan dan cacat.
Karena, bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah, yaitu riwayat
Imam Muslim, Imam Bukhari, dan Imam Ahmad, Abu Daud dan Imam
Malik.
Berpijak dari penjelasan di atas, hadis tentang membersihkan jilatan
anjing kurang dari tujuh kali tanpa tanah pada jalur imam al-Da>ruqutni>
ialah hadis dhaif, yaitu hadis yang tidak terkumpul sifat-sifat hadis hasan,
Page 75
55
disebabkan hilangnya satu syarat atau lebih. hadis ini tidak dapat dijadikan
hujjah karna mengandung syaz (bertentangan dengan periwayat yang lebih
tsiqah) dan tidak dapat terangkat statusnya meskipun ada hadis pendukung
yang semakna, hadis pendukung yang semakna itu adalah hadis mauquf
(sesuatu yang disandarkan kepada sahabat baik itu perkataan, perbuatan,
maupun taqrir) yang tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam kaidah
pemahaman hadis yang juga menjadi pedoman Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah, terdapat kaedah:
. د ل ي حتج ب ه جر الموق وف الم Artinya: “Hadis mauquf murni tidak bisa dijadikan hujjah.”
Jadi, hadis al-Da>ruqutni> tidak bisa berubah statusnya dan dijadikan
hujjah meskipun ada hadis mauquf tersebut karna ada riwayat yang tsiqah
dari hadis riwayat jalur al-Da>ruqutni>.
E. Persfektif Para Muhadissin
Dalam hadis terkait jilatan anjing, terkumpul beberapa redaksi
dalam 4 kategori hadis yang telah disebutkan di bab awal. pada
pembahasan ini akan dijelaskan dalam persepektif para ahli hadis. Berikut
ini hadis tentang jilatan anjing:
Beberapa kategori
Hadis berdasarkan Rawi Redaksi Hadis
Riwayat Muslim
.عن أب ى ه ريرة قال إ ن رس ول للا
ب الكلب ف ى إ ذا شر صلى للا عليه وسلم قال
له سبعا. ]رواه البخاري و ك م فليغس إ ناء أحد
مسلم و اللفظ للبخاري[
.عن أب ى ه ريرة قال رس ول للا صلى
ك م إ ذا ولغ للا عليه وسلم ط ه ور إ ناء أحد
. ات له سبع مر مس ]رواهالكلب ف يه أن يغس
Page 76
56
.عن أب ى ه ريرة قال قال رس ول للا
إ ذا ولغ الكلب ف ى إ ناء صلى للا عليه وسلم
. ]رواه رار له سبع م قه ث م ليغس ك م فلي ر أحد
مسلم[
عن أب ى ه ريرة قال قال رس ول للا .
ك م إ ذا ولغ صلى للا عليه وسلم ط ه ور إ ناء أحد
ات أ وله ن له سبع مر ف يه الكلب أن يغس
ب الت راب . ]رواه مسلم[
غفل : قال رس ول للا صلى .عن ابن الم
ناء للا عليه وسلم إ ذا ولغ الكلب ف ي ال
ل وه سبع مر نة ف ي فاغس وه الثام ات ، وعف ر
الت راب . ]رواه مسلم[
Riwayat Bukha>ri
عن أب ى ه ريرة قال إ ن رس ول للا
ب الكلب ف ى صلى للا عليه وسلم قال إ ذا شر
له سبعا. ]رواه البخاري و ك م فليغس إ ناء أحد
لبخاري[مسلم و اللفظ ل
Riwayat Ahmad
.عن أب ى ه ريرة عن النب ى صلى للا
ناء عليه وسلم قال إ ذا ولغ الكلب ف ى ال
. ]رواه احمد[ ات له سبع مر فاغس
Riwayat Abu Da>ud
عن أب ى ه ريرة أن النب ى للا صلى للا .
ناء عليه وسلم قال إ ذا ولغ الكلب ف ى ال
ات الساب عة ب الت راب . ]رواه ل وه سبع مر فاغس
أبو داود[
Riwayat
Da>rut}Qutni>
.عن أب ي ه ريرة قال: قال رس ول للا
وغ ل ن و نا ء م صلى للا عليه وسلم: " ي غسل ال
الكلب ثلثا، أو خمسا، أو سبعا. ]رواه
الدارقطني[
.عن أب ي ه ريرة قال: إ ذا ولغ الكلب
. ات له ثلث مر قه ، ث م اغس ناء فأهر ف ي ال
]رواه الدارقطني[Riwayat Ma>lik صلى .عن أب ي ه ريرة أن رس ول للا
Page 77
57
ب الكلب ف ي إ ناء للا عليه و سلم قال :إ ذا شر
. ]رواه مالك[ ات له سبع مر ك م فليغس أحد
Dalam riwayat muslim Kata ط ه ور dengan dibaca fathah atau
dibaca dhammah ( ط) yakni sesuatu yang suci mensucikan. Sementara
lafaz thahara berarti suci12. Dalam satu riwayat lain hadis yang ada lafaz
memiliki riwayat lain.13 ط ه ور
Pemahaman redaksi at-tahuru ini madzhab Syâfi’iyah dan
mayoritas Ulama madzhab Hanâbilah. Dalam fiqh empat mazhab al
dJaziri disebutkan tentang penetapan kalangan Syâfi’iyah bahwa seluruh
badan anjing adalah najis.14 Pendapat ini pula yang dipegang oleh
sebagian besar Ulama kalangan Hanabilah.15 Syekh Mahmud bin Ahmad
menganggap bahwa anjing itu najis dzatiah berdasarkan dalil bahwa hadis
jilatan anjing adalah cabang dari 16.أن بيع الكلب حرام
Riwayat lain ada redaksi perintah nabi untuk membunuh anjing
akan tetapi dikecualikan bagi anjing pemburuh, dan anjing gembala dan
nabi berkata ketika anjing-anjing pemburuhmu dan anjing pengembalamu
menjilat anjing maka basuhlah sebanyak tujuh kali dan campurlah dengan
tanah dalam basuhan ke delapan riwayat ini sebagai berikut:17
12 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi. al-Minhaj Syarh
Muslim (Bairut: Dar Ihya al-Turats, Tt), Juz. 3, 183. 13 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi. al-Minhaj Syarh
Muslim, 183. 14 Syaikh 'AbdurRohman al-Jaziri. Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba’ah, ttp. Ad-
Dar al-'Alamiyyah, Vol: 1 , 2004, 18. 15 Wahbah zuhayli, al-Fiqh al-Islâmi wa ‘Adilatuhu,dimsyq:darul fikr, 2000,
vol, 1, 305. Dan lihat juga di Mughni al-Muhtâj, vol 1, 78, Kasy-syâf al-Qanna` vol 1,
208, Al-Mughni vol 1, 52. 16 Abu Muhammad Mahmud bin ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘Aini. Syarh
Abi Daud Li al-‘Aini, (Riyad: Maktab Ar-Rasyid, 1999), Juz. 1, 212. 17 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi. al-Minhaj Syarh
Muslim, 183.
Page 78
58
م لب ث م قال ما بال ه أمر رس ول للا صلى للا عليه وسلم ب قتل الك
ص ف ي كلب لب ث م رخ يد وكلب الغنم وقال إ ذا ولغ الكلب ف ي وباللك الص
نة ف ي الت راب وه الثام ات وعف ر ل وه سبع مر ناء فاغس ال
Dari pemahaman hadis inilah ulama berpendapat yang
menghukumi bahwa yang najis dari anjing hanya air liurnya saja,
sedangkan anggota tubuh lainnya suci. Ini adalah pendapat jumhûr
(mayoritas) Ulama.18 Walaupun para ulama membenarkan atau
menshahihkan hadis ini para ualma dalam memahami lafaz ولغ إ ذا dalam
satu riwayat Imam Malik dan Imam Muslim mengunakan redaksi ب ,شر
yakni meminum dengan lisan anjing. Karena lafaz ولغ bermakna
meminum dengan ujung lidah.19 Syekh Mahmud bin Ahmad mengatakan
dalam lafaz الكلب itu ma’rifat dengan alif dan lam menandakan bermakna
jenis anjing seperti pemburuh dan pengembala ternak, Namun Syekh
Mahmud bin Ahmad tetap menganggap bahwa anjing itu najis dzatiah
berdasarkan dalil bahwa hadis jilatan anjing adalah cabang dari أن بيع
Sehingga pendapat ini dijadikan .(jual beli anjing itu haram) 20.الكلب حرام
bahwa anjing secara keseluruhan najis baik itu air liur dan anggota
badanya.
Abi ‘Abdurahman mengatakan dalam Kata ك م itu untuk ف ي إ ناء أحد
penjelas atau bayan dari lafaz ات له سبع مر dan disandarkan pada أن يغس
lafaz إناء terhadap mukhatab itu bukan untuk pengkhususan. Dengan
maksud bahwa tindakan bersuci bukan hanya untuk pemiliknya saja akan
tetapi untuk semua orang ketika wadah terkena jilatan anjing. Dalam lafaz
18 Syaikh 'AbdurRohman al-Jaziri. Fiqh ‘Ala Madzâhibil ‘Arba’ah, vol 1, h18,
Majmû’ al Fatâwâ, vol 5, 51. 19 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi. al-Minhaj Syarh
Muslim, 183. 20 Abu Muhammad Mahmud bin ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘Aini. Syarh
Abi Daud Li al-‘Aini, (Riyad: Maktab Ar-Rasyid, 1999), Juz. 1, 212.
Page 79
59
ك م itu umum mengandung pengertian setiap sesuatu yang cair atau إ ناء أحد
susu, buah zaitun dan sebaganya.21 Dalam hal ini perintah tersebut
ditinjukan secara umum siapa saja yang menemui anjing itu menjilat maka
wajib untuk mensucikanya.
Abu ‘Abdirrahman mengatkan juga dalam lafaz له di dalam أن يغس
riwayat lain له , ي غسل ل وه, اغس له , فاغس له Di dalam lafaz .ث م ليغس فليغس
maksudnya membasuh wadah setelah setelah menumpahkan air, tidak
tertentu hanya bagi pemilik wadah. Dalam semua redaksi hadis yang ada
makna membasuh berawal dari kata غسل semuanya tidak membuat
pembatasan atau pentakhsisan makna, sehingga jika pemilik wadah
membasuhnya atau menyuruh orang lain untuk membasunya, tentu
boleh.22
Pemahaman pencampuran tanah dalam mensucikan najis jilatan
anjing dipahamai dari redaksi ( ات أ وله ن ب الت راب ada beberapa cara .(سبع مر
dalam mencampurkan tanah, caranya boleh menaburkan tanah ke tempat
yang hendak disucikan lalu dibasuh dengan air, atau ditumpahkan air
terlebih dahulu kemudian dicampur tanah. Karena tanah dapat menjadi
alat bersuci seperti dalam tayamum.23 Sementara air pun dapat
mensucikan. Karena itu wajib menggunakan dua alat yang bisa
menyucikan sekaligus terkait proses penyucian najis jilatan anjing, sebab
masuk dalam kategori najis yang berat. Dalam redaksi riwayat lain ( أ وله ن
redaksi ini muncul disertai ragu-ragu. Riwayat tersebut (أو أخراه ن ب الت راب
terdapat di dalam Tirmidzi. Sementara berdasarkan riwayat Nasa’i
menunjukkan lemahnya yang memakai redaksi ( أ وله ن أو أخراه ن ب الت راب),
dikarenakan “أو ” dalam redaksi tersebut tidak bertujuan untuk pilihan
21 Abi Abdurahman. Syarh Al-Imam Ibn Daiq Al-I’d, 4. 22 Abi Abdurahman. Syarh Al-Imam Ibn Daiq Al-I’d, 5. 23 Abi Abdurahman. Syarh Al-Imam Ibn Daiq Al-I’d, 5.
Page 80
60
tetapi karena keraguan periwayat. Namun dalam riwayat lain, tanah
dicampur pada basuhan ketujuh sebagaimana dalam redaksi ( الساب عة
ثلثا، أو خمسا، أو ) Riwayat al-Da>ruqut}ni> menggunakan redaksi .(ب الت راب
tanpa dicampur tanah. al-Da>ruqut}ni> juga meriwayatkan hadis yang (سبعا
hampir sama yang dari jalur Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha dari
Abu Hurairah:24
ف اء نال ي ف ب ل ك ال غ ل ا و ذ إ ات ر م ث ل ث ه ل س اغ م ، ث ه ق ر ه أ
Menurut Taqiyudin di dalam Kitab al-Imam bahwa sanad hadis ini
sahih dilihat dari dzahir. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-
Da>ruqut}ni> ini memberikan penjelasan bahwa lebih baik lebih dari tiga kali
basuhan. Dengan kata lain dalam perintah tiga kali basuhan itu tidak wajib
tetapi perintah sunah.25 Akan tetapi riwayat al-Da>ruqut}ni> ini bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang tertulis dalam
kitab Kutub al-Sittah seperti yang tercantum di dalamnya kebanyakan
mengunakan atau redaksi yang lebih banyak dengan mengunakan lafaz
,sebagimana yang diriwayatkan oleh Muslim, Bukha>ri, Tirmidi (سبع )
Nashai, Abu Da>ud.26
Hadis yang memuat redaksi ( نة ف ي الت راب وه الثام yang (وعف ر
diriwatkan oleh Muslim diriwayatkan juga oleh Abu Da>ud, Nasai, Ibn
Majah. Menurut Imam al-Thahawi bahwa hadis tersebut telah di-naskh
seperti hadis ( له ثلث ات ث م اغس مر ) namun penambahan tanah dalam
24 Abu Muhammad Mahmud bin ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘Aini. Syarh
Abi Daud Li al-‘Aini, 214 25 Abu Muhammad Mahmud bin ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘Aini. Syarh
Abi Daud Li al-‘Aini , 212 26 Abu Muhammad Mahmud bin ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘Aini. Syarh
Abi Daud Li al-‘Aini, 212.
Page 81
61
basuhan kedelapan hanya bersifat sunah karena perintah (وه hanya (عف ر
mengandung kesunahan27
Menurut Abu Muhammad bahwa lafz قه ) { -dalam riwayat al ,(فلي ر
Da>ruqut}ni> menggunakan ( قه akan tetapi dalam riwayat tersebut ,(فأهر
hanya diperintahkan membasuh sebanyak tiga kali tanpa dicampur tanah.
perintah agar menumpahkan air yang ada di dalam wadah menunjukkan
status najis air tersebut, sebagaimana petunjuk dari perintah membasuh
wadah. Jelasnya, jika status air tersebut tidak najis, tentu tidak akan
muncul perintah untuk melakukan keduanya, terlebih dalam satu riwayat
menggunakan ( ك م ini berarti proses pembasuhan disebut ,(ط ه ور إ ناء أحد
sesuatu yang mensucikan, sebab, kewajiban bersuci perlu dilakukan pada
sesuatu yang jelas-jelas terdapat najis. Sebagaimana bersuci selalu
disebabkan antara dua hal, disebabkan hadas atau najis. Karena itu, hadis
tersebut, karena terdapat perintah membasuh dalam proses penyucian,
sudah tentu jilatan anjing hukumnya najis.28 Menurut Abu Muhammad
bahwa lafaz ( قه amr dalam kata tersebut menunjukan wajib (فلي ر
sebagaimana kaidah amr yang paling rajih menurut para ulama ushul
fikih.29 Dan harus disegerakan karena kaidah amar itu menuntut
dikerjakan segera sebagaimana pendapat paling rajih menurut ulama ushul
fikih.
Mengutip penjelasan Abu ‘Abdirrahman, Jika redaksi (ط ه ور)
difahami berdasarkan arti bahasa, yakni menghilangan kotoran, maka
27Abu Muhammad Mahmud bin ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘Aini. Syarh
Abi Daud Li al-‘Aini, 212. 28 Abu Muhammad Mahmud bin ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘Aini. Syarh
Abi Daud Li al-‘Aini, 212. 29 Abi Abdurahman, Syarh Al-Imam Ibn Daiq Al-I’d, 17.
Page 82
62
perintah membasuh hanya sebatas taqarrub. Akan tetapi, anggapan
demikian dapat dijawab dengan kaidah ushul fikih:30 ى ل ع ت ل م ح ة ي ع ر الش و ة ي و غ الل ة ق ي ق ح ال ن ي ب ت ار ا د ذ إ ع ر الش اظ ف ل أ ن أ
ل ي ل د ام ا ق ذ إ ل ، إ ي ان الث
Masih mengutip penjelasan dari Abu ‘Abdirrahman, jika ada
anggapan bahwa kewajiban membasuh wadah hanya sebatas ta’abbud,
maka perlu dikembalikan pada kaidah ushul fikih ( ل س غ ال ب و ج و ل ص ال ن أ
ة اس ج الن ن م ) dan ( أ ىنع م ال ة ل و ق ع ا م ه ن أ ام ك ح ال ي ف ل ص ل ). Ini berarti, jika
perintah tersebut hanya sebatas ta’abbud, tentu tidak perlu sampai
membuang air dan membasuh wadahnya. Ada sebuah anggapan, jika
perintah tersebut dengan alasan najis, tentu tidak perlu membasuhnya
sebanyak tujuh kali. Sebagaimana najis yang lebih berat daripada jilatan
anjing, seperti najis kotoran yang tidak disyaratkan menghilangkanya
dibasuh sebanyak tujuh kali. Sebagiaimana pada hewan buruan itu mesti
terkena liur anjing, sehingga adanya penegasan tentang kehalalan
(binatang buruan yang berhasil ditangkap oleh anjing menunjukkan
sucinya air liur anjing .Apalagi tidak ada perintah untuk mencuci bagian
yang tersentuh mulut anjing pada hewan buruan tersebut.31 (Aridhatul
Ahwadzi, Ibnul Arabi)
Namun menurut Abu ‘Abdirrahman Anggapan air liur itu tidak
najis berdasarkan metode qiyas. Akan tetapi, menurut anggapan semacam
ini dapat dibantah dengan kaidah ushul fikih, yakni ( ف ال ا خ ذ ا اس ي ق ال ن ا
د اس ف ه ن ا ف ص الن ), karena itu, hadis terkait jilatan anjing harus dimenangkan
daripada qiyas berdasarkan pendapat rajih dari pendapat ulama ushul
30 Abi Abdurahman. Syarh Al-Imam Ibn Daiq Al-I’d, 5-6. 31 Ibnul Arabi. 'Aridhatul Ahwadzi Bisyarah Shahih Tarmidzi. (Beirut: dar
fikr al-ilmiyah),vol 1, 2000, 35.
Page 83
63
fikih. Sebagaimana perkataan Ibn Hajar di dalam kitab Fath al-Bari: (
و ق أ س ي ج ن الت ب ل ي و أ الت و ص و ص ن م ى ال نع ي م ف ه ن ى ل ) karena alasan najisnya lebih
kuat sebagaimana yang ditetapkan oleh Ibn Abbas bahwa jilatan anjing itu
najis.32
F. Presfektif Para Mufassir
Sebagaimana sudah maklum, najis terbagi menjadi tiga, yakni najis
mughalladhah, yaitu najisnya anjing dan babi; najis mutawassithah atau
najis standar yang jamak terjadi; dan terakhir najis mukhaffafah, najisnya
anak laki-laki yang belum sampai berumur dua tahun dan baru meminum
air susu ibu sebagai sumber makanan tunggal. Namun terkait dengan najis
jilatan anjing para ulama mufasirin para tidak secara jelas dalam
menafsirkan surat al-maidah ayat 4:
ح ن الجوار ل لك م الطي بات وما علمت م م م ق ل أ ح ل له يسأل ونك ماذا أ ح
ا علمك م للا م ونه ن م كل ب ين ت عل م وا اسم للا م ا أمسكن عليك م واذك ر م فك ل وا م
ساب يع الح سر إ ن للا عليه واتق وا للاArtinya : Mereka menanyakan kepadamu "Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang
baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang
telah kamu latih dengan melatihnya untuk berburu; kamu
mengajarkannya menurut apa yang telah diajarkan oleh Allah
kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu.
Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu
melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya
Allah maha cepat hisab-Nya.33
Dalam ayat di atas, tidak secara ekplisit membicarakan air liur
anjing, akan tetapi lebih pada kehalalan hewan hasil buruan anjing dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan. Meskipun begitu, ayat di atas
dijadikan sebagai landasan oleh kalangan Malikiyah dalam
32 Abi Abdurahman. Syarh Al-Imam Ibn Daiq Al-I’d, 6-7. 33 Q.S Al-Ma'idah [5]: 4.
Page 84
64
mempersoalkan status hukum anjing khususnya air liurnya. Karena ayat
di atas berkenaan dengan mulut anjing yang digunakan untuk memangsa
buruannya.
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan lafaz الجوارح
dalam surat al-Maidah ayat 4. Sebagian mereka berpendapat, الجوارح
adalah setiap hewan yang bisa diajari berburu, baik dari hewan berkaki
empat atau burung hal itu didasarkan pada landasan sebagai berikut:
ب م ال ن ا اب نث د ، ح ال ق د ي م ح ن ا اب نث د ح سم إ ن ، ع ك ر ا ن ، ع م ل س م ن ب ل ي ع ا
كل ب ين ح ار و ج ال ن م م ت م ل ا ع م :"و ه ل و ي ق ف ن س ح ال ا ع ل م م ل : ك ال "، ق م
ه ر ي غ و د أ ه ف و أ ر ق ص و أ ب ل ك ن اد، م ص ف
Ulama lain membedakan hasil buruan anjing dan burung. Meraka
hanya membatasi kehalalannya pada hasil buruan burung sementara anjing
sebaliknya. Ada pendapat satu ulama yang mengira dalam memahami kata
sehingga yang dikehendakinya ,الجوارح sebagai penjelasan dari kata مكلبين
adalah khusus anjing. Meskipun pendapat ini ditolak. Sebab, asbabun
nuzul ayat di atas turun terkait dengan persoalan perintah Nabi kepada
sahabatnya agar membunuh anjing yang dijadikan sebagai hewan
pemburu34.
ول ها أن الن لب قال وا: يا سبب ن ز ا أمر ب قتل الك ب ي صلى للا عليه وسلم لم
ه الية ، ة الت ي أمرت ب قتل ها؟ فنزلت هذ ه ال م ن هذ ل لنا م رس ول للا ماذا يح
ن رس ول للا صلى للا ا نزلت أذ لب الت ي ي نتفع فلم عليه وسلم ف ي اقت ناء الك
نها. ب ها، ونهى عن إ مساك ما ل نفع ف يه م “Sebab turunnya ayat di atas ketika Nabi Muhammad SAW
memerintahkan membunuh anjing. Mereka (para sahabat)
bertanya: wahai Rasulullah, apa yang halal bagi kami yang kau
perintahkan untuk membunuhnya? Lalu turun lah ayat tersebut.
Setelah ayat turun, Rasulullah memberi izin memelihara anjing
34 Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib. Jami’ al-bayan Fi
Ta’wil Ay al-Quran, (Bairut: Muassisah al-Risalah: 2000), cet. I. Juz. 9. 542.
Page 85
65
yang dapat dimanfaatkan dan melarang mengambil sesuatu yang
tidak dapat dimanfaatkan.”35
Selain asbabun nuzul di atas, ada juga asbabun nuzul terkait ayat
al-Maidah ayat 4 ini. Sebagai berikut:36
ل هله ي بن حات م وزيد بن الم ه الية ف ي عد : نزلت هذ بير يد بن ج قال سع
اه رس ول للا صلى للا عليه وسلم زيد الطائ يين وه و زيد الخيل ا ي سم لذ
ل لنا لب والب زاة فماذا يح يد ب الك ، قال: يا رس ول للا إ نا قوم نص الخير
ه الية . نها؟ فنزلت هذ م
“Said bin Jubair berpendapat, ayat tersebut turun berkenaan
dengan ‘Adi > bin Abi Ha>tim dan Zaid bin al-Muhalhil. Mereka
berdua bertanya kepada Rasulullah SAW. “kami berburu dengan
menggunakan anjing dan senjata, apa yang halal dari dua hal
tersebut untuk kami?”
Lalu turun lah ayat tersebut. 37 Selanjutnya, hasil buruan anjing
tetap halal dimakan meskipun anjing tersebut telah memakan 2/3 hasil
35 Abu al-Husain bin Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra’.
Ma’alim al-Tanzil (Bairut: Dar Ihya al-Turats: Tt), Juz. 2, 15. 36 Asababun nuzul ayat ini salah satunya; 1) Qasim menceritakan kepada kami,
dia berkata: Husain menceritakan kepada kami, dia berkata: Hajjaj menceritakan
kepadaku dari ibn juraij, dari ikrimah “sesungguhnya nabi muhammad saw mengutus abu
raf’i agar membunuh anjing, lalu dia membunuhnya hingga sampai pada sebuah daerah
bernama al-a’wali lalu ‘Asim ibn ‘adi, sa’id ibn khaitsamah dan Uwaim ibn sa’idah
masuk lalu bertanya: apa yang halal untuk kita ya rasullallah? Kemudian diturunkan ayat
4 surat al-maidah. 2)Ibnu jarir at-tabari mengeluarkan dari jalur syi’by : bahwa ad’i ibn
hatim al-thai berkata. Seorang laki-laki medatangi nabi-saw bertanya tentang hewan
buruan anjing, lalu Nabi tidak mengerti yang diucapkan seseorang itu hingga turunya
ayat ini: 3) Dikeluarkan dari ibn hatim dari sa’id ibn Jabir: bahwa ‘adi ibn hatim dan zaid
ibn muhalhil al-thaiyin bertanya kepada rasullallah saw. ya rasulallah seseunguhnya
kaum ku berburu dengan mengunakan anjing dan senjata. bahwasanya anjing itu
menerkam sapi,keledai,kijang. sungguh allah mengharamkan bangkai, lalu apa yang
halal dari bangkai untuk kita. Kemudian ayat turun ( surat Al-maidah ayat 4) 4)
Dikeluarkan oleh Ibnu jarir dan ibn mundzir, al-thabrani, dan al-baihaqi: sesungguhnya
pada saat nabi muhammad saw memerintah abu raf’i agar membunuh anjing di madinah,
manusia datang lalu bertanya kepada nabi: ya rasullallah apa yang halal bagi umat ini
yang diperintahkan membunuh anjing. Kemudian turun ayat lalu nabi membacakan ayat
tersebut. 37Abu al-Husain bin Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra’.
Ma’alim al-Tanzil, 15
Page 86
66
buruannya yang menyisakan 1/3 untuk tuannya. Sebagai riwayat Ibnu Jarir
berikut:
ه نحو هذا عن ابن ع مر وسع ير وغير ، وعن أب ي ه ريرة روى ابن جر د
، وبق ي الث ل ث فك ل، وعليه مال ك ما قال: وإ ن أكل ث ل ثيه .وسلمان أنه “Ibn jari>r dan lainnya meriwayatkan hadis yang sama
dengan di atas dari Ibn Umar, Sa’d, Abu Hurairah, dan Salman.
Mereka berdua berkata. “jika hewan buruan memakan 2/3 hasil
buruannya dan masih menyisakan 1/3, maka makan lah, dan 1/3
tersebut atas pemilik”.38
Menurut al-Thabari bahwa makna ayat ح ن الجوار adalah وما علمت م م
hewan buruan dari hasil hewan buas dan burung yang kalian latih. Lafaz
itu sifat untuk hewan berburu. Meskipun tidak selalu berburu مكلبين
dengan anjing. Itu adalah pandangan orang yang menyampaikan kepada
kaum ك م ح ار و ج ال ن م م ت م ل ا ع م و ن ي ن م ؤ م ن ي ب ل maksud ayat di atas adalah bukan
untuk kekhususan anjing sebagai hewan berburu yang halal hasil
buruannya, tetapi semua hewan buas yang bisa dilatih untuk berburu.39
Pada persoalan status hukum anjing, al-Qurt}ubi banyak
menyinggung penjelasannya dalam QS: al-furqan: 48 yang menjelaskan
status air hujan yang dapat mensucikan. Sebagai berikut:
ياح ب شرا بين يدي رحمت ه ي أرسل الر ن السماء ماء وه و الذ وأنزلنا م
طه ورا
“Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar
gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami
turunkan dari langit air yang amat bersih”40
38 Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin bin
Muhammad Bahauddin, Tafsir al-Qur’an al-karim: Tafsir al-Manar (Mesir: al-Haiat al-
Mishriyah, 1990), Juz. 6. 143. 39Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghali. Jami’ al-bayan Fi Ta’wil
Ay al-Quran, 542 40 Qs. al-Furqan: 48
Page 87
67
Al-Qurt}ubi dalam tafsirnya, ketika ada anjing menjilat air maka
harus membasuh wadah dan tidak boleh digunakan wudhu walaupun air
itu suci. Pendapat beliau ini mengutip pendapat Imam Ma>lik disebabkan
dalil-dalil yang mendasarinya, sebagai berikut:41
صعب المدن ي حدثنا عبد حمن بن زيد بن أسلم عن أب يه عن حدثنا أب و م الر
ي أن النب ي صلى للا عليه وسلم س ئ ل در يد الخ عطاء بن يسار عن أب ي سع
لب باع والك د ها الس ينة تر ياض الت ي بين مكة والمد ر وعن عن الح م والح
نها فقال لها ما حملت ف ي ب ط ون ها ولنا ما غبر طه ور الطهارة م “Telah menceritakan kepada kami (Abu Mush'ab Al
Madani >) berkata, telah menceritakan kepada kami (Abdurrahman
bin Zaid bin Aslam) dari (Bapaknya) dari ('Atha >` bin Yasa>r) dari
(Abu Sa'id Al Khudri >) bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
ditanya tentang telaga-telaga yang terdapat di antara Makkah dan
Madinah yang dikunjungi hewan buas, anjing dan himar, serta
hukum bersuci dengannya. Maka beliau pun menjawab: "Baginya
apa yang dikandung di dalam perutnya dan bagi kita tidak
menghalangi untuk bersuci."
Dari dalil tersebut al-Qurt}ubi menghukumi anjing itu suci dan apa
yang dijilatnya juga suci42. Mengenai membasuh wadah yang terkena
jilatan anjing dengan membasuh tujuh kali basuhan hanya ta’abbudi. Tak
sekedar dalil yang di atas sebagai argumentasi beliau menghukumi anjing
itu suci. beliau juga memberikan dalil lain sebagai berikut:
لب كانت ي عن ابن ع مر أن الك د رس ول وف ي الب خار ت قب ل وت دب ر ف ي مسج
ن ذل ك. وقال ع مر ب حضرة ش ون شيئا م للا صلى للا عليه وسلم ول ير
د حوضك : هل تر و بن العاص ي سأله عمر ب الحوض الذ حابة ل صاح الص
باع . فق باع الس د على الس ، ل ت خب رنا فإ نا نر ب الحوض : يا صاح ال ع مر
د علينا. أخرجه مال ك والدارق طن ي وتر
41 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin al-Farah al-Anshari.
al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz. 13, 45. 42 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin al-Farah al-Anshari.
al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, 45.
Page 88
68
Menandakan bahwa pada zaman Rasulullah anjing itu mondar
mandir di masjid Rasulullah dan tidak ada para sahabat yang menyiram
satu anjing pun. Umar berkata di tengah-tengah para sahabat kepada
pemilik kolam yang ditanya oleh Amr bin ‘Ash. “Apakah ada hewan buas
yang mendatangi kolammu?” Lalu umar berkata kepada pemilik kolam
“kamu tidak perlu memberi tahu kepada kami, sesunguhnya kami
mendatangi binatang buas dan mereka pun mendatangi kami”.
al-Qurtubi memberikan penjelasan bahwa hadis di atas tidak
membedakan kategori hewan buas, termasuk anjing. Tidak ada hujah
untuk menentang perintah menumpahkan air yang terkena jilatan anjing,
sebab sudah jelas karena najisnya. bersih dari kotoran sunnah, atau
mungkin saja perintah menumpahkan air yang terkena jilatan anjing
adalah sebagai bentuk untuk memberatkan mereka agar tidak memelihara
anjing. Perintah membasuh wadah yang terkena jilatan anjing hanya
sebagai bentuk ibadah bukan karena najisnya. Sebab, jika perintah
membasuh wadah karena alasan najis, tentu tidak perlu adanya bilangan
dan penggunaan tanah43.
Dalam kitab Fath al-Qadir, al-Qurt}ubi mengatakan sebagian
ulama menghukumi boleh mengambil hasil dari hewan terlatih seperti
anjing dan hewan lainya. Hal itu juga menandakan boleh mengambil
manfaat dari hewan terlatih seperti dibolehkanya jual beli anjing dan
hewan lainya dan mengambil manfaat dari hewan-hewan tersebut kecuali
ada dalil yang mengkhususkanya44.
43 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin al-Farah al-Anshari.
al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. 45. 44 Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah al-Syaukani. Fath al-Qadir
(Bairut: Dar Ibn Katsir, Tt), cet. I, juz.2, 16.
Page 89
69
G. Perspektif Para Fuqoha
Dalam masalah bagian tubuh anjing selain lidah, telah dibahas oleh
kalangan Ma>likiyah, Syafi’iyah dan Dzahiriyah. Ma>likiyah dan
Dzahiriyah hanya menghukumi najis jilatan anjing. Sedangkan Syafi’iyah
memiliki dua pendapat, yang paling sahih ialah semua angota tubuh anjing
sama hukumnya dengan lidah anjing.
Al-Qarafi dari kalangan Ma>likiyah berpendapat bahwa hukum
najis hanya sebatas jilatan anjing saja, jika kaki atau anggota tubuh lainya
masuk kedalam wadah tidak dihukumi najis.
Kalangan Dzahiriyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hazm,
ketika anjing memakan makanan di dalam wadah dan tidak menjilati
wadah meskipun anggota badanya masuk ke dalam wadah maka tidak
wajib dibasuh, dengan kata lain hanya lidah yang dihukumi najis.
Sedangkan Syafi’iyah tidak membedakan antara lidah anjing dan anggota
badan lainya meskipun menempel diselain wadah hukumnya najis45.
Para Ulama berbeda pendapat tentang kenajisan anjing, ada tiga
pendapat, sebagaimana disampaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah :
“Adapun anjing, para Ulama terbagi atas tiga pendapat.
Pertama; Bahwa anjing najis seluruhnya termasuk bulunya. Inilah
pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah
. Kedua; Bahwa anjing adalah suci termasuk liurnya. Inilah
pendapat yang masyhur (terkenal) dari Imam Mâlik rahimahullah.
Ketiga; Bahwa air liurnya najis, dan bulunya adalah suci. Inilah
madzhab yang masyhur dari Imam Abu Hanîfah rahimahullah ,
dan inilah riwayat yang didukung oleh mayoritas pengikutnya, dan
inilah riwayat lain dari Ahmad rahimahullah. Inilah pendapat yang
lebih kuat.”46
45 Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh , Wulugh al-
Kalb Baina Istinbathat al-Fuqaha wa Iktisyafat al-Athibba, 28. 46 Majmû’ al Fa>tawa>, vol 5, 51.
Page 90
70
Air yang terkena jilatan anjing harus ditumpahkan sebagaimana
yang dikatakan oleh fuqaha, tetapi mereka berselisih pendapat jika di
dalam wadah ada benda cair atau makanan. Pertama, kalangan Hanafiyah
menghukumi najis pada air yang terkena jilatan anjing dan wajib
menumpahkanya. Hal semacam ini juga berlaku pada setiap benda cair
yang terkena jilatan anjing. Kedua, Ma>likiyah lebih memilih
menumpahkan air yang terkena jilatan anjing tetapi mereka tidak menggap
najis. Sementara benda cair atau makanan ketika dijilat anjing hukumnya
tidak najis dan tidak wajib ditumpahkan. Ibn Abdi al-Barr dari kalangan
Hanafiyah menambahkan bolehnya memakan sesuatu yang terkena jilatan
anjing seperti susu, keju.dan disunahkan menumpahkan air yang terkena
jilatan anjing. Tambahnya lagi hadis tentang perintah membasuh sebanyak
tujuh kali hanya sebagai ta’abud. Ketiga, Syafi’iyah berselisih antara
wajib dan sunah menumpahkan dan memanfaatkan sesuatu yang terkena
jilatan anjing. Al-Mawardi menambahkan sebagian Syafi’iyah wajibnya
membuang sesuatu yang terkena jilatan anjing dan haram
memanfaatkanya. Sementara Jumhur al-Syafi’iyah memilih sunah dan
tidak haram memanfaatkannya. masih dalam kalangan Syafi’iyah yakni al-
Nawawi memberikan penjelasan tambahan tentang keharusan membuang
makanan di dalam wadah yang terkena jilatan anjing. Sementara makanan
yang tidak terkena jilatan tetap suci dan masih bisa dimanfaatkan.
Keempat, Hanabilah pendapatnya sama dengan kalangan Syafi’iyah. Ibn
Qadamah menambahkan jika sisa air dalam bejana dihukumi suci maka
tidak boleh ditumpahkan dan tidak wajib membasuhnya. Kelima,
Dzahiriyah berpendapat wajibnya menumpahkan benda cair yang terkena
jilatan, berbeda dengan makanan. Dan tidak perlu membasuh wadah
makanan sebanyak tujuh kali. Ibn Hazm dari kalangan Dzahiriyah
berpendapat wajib menumpahkan sesuatu yang ada dalam wadah yang
Page 91
71
terkena jilatan. jika anjing makan dalam wadah tidak wajib dibasuh dan
tidak boleh ditumpahkan47.
Argumentasi mereka dalam berpendapat menumpahkan bekas
jilatan, sebagai berikut48:
1. Sesuai sabda Nabi yang berarti “tumpahkanlah” , merupakan bentuk
perintah.
2. Ibn Hajar menambahkan bahwa perintah membasuh sebagai bukti
najis. Sementara dalam perintah menumpahkan bersifat umum baik
berupa air atau makanan. Jika sesuatu yang terkena jilatan itu suci
tentu saja tidak diperintah untuk menumpahkannya. Karena termasuk
menyia-nyiakan harta. Pendapat ini sama dengan yang dipaparkan
oleh al-Nawawi.
3. Ibnu Hazm berpendapat wajibnya menghilangkan air liur dan keringat
anjing dalam semua hal. Karena Allah mengharamkan setiap hewan
yang bertaring. Dan anjing termasuk dalam hewan tersebut. Sebagian
suatu yang haram itu haram, Air liur dan keringat anjing hukumnya
haram. Dan keharaman itu mewajibkan untuk dibuang dan dihindari.
4. Ma>likiyah bependapat bahwa redaksi yang berarti “tumpahkanlah”
tidak disebutkan oleh kalangan hadis. Pendapat ini dibantah oleh al-
Iraqi, dia menegaskan redaksi yang berarti “tumpahkanlah” adalah
tambahan yang tidak sampai membuat kecacatan hadis karena
tambahan orang yang tsiqah diterima. Ibn Hazm menambahkan
alasannya tentang ketidak haraman memakan sesuatu yang dimakan
anjing dengan argumentasi bahwa sesuatu yang Allah halalkan, baik
47 Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh. Wulugh al-
Kalb Baina Istinbathat al-Fuqaha wa Iktisyafat al-Athibba, 19-20. 48 Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh. Wulugh al-
Kalb Baina Istinbathat al-Fuqaha wa Iktisyafat al-Athibba, 21.
Page 92
72
makanan atau minuman tidak begitu saja berubah menjadi haram dan
najis kecuali terdapat nash.
Argumentasi mereka yang berpendapat tidak perlu membuang
sesuatu yang terkena jilatan anjing. Dalam permasalahan bilangan
membasuh bekas jilatan anjing, para fuqaha bereda pendapat, yakni:
Pertama, kalangan Hanafiyah seperti al-Sarkhasi dan al-Murghaniyah
berpendapat bahwa bekas jilatan anjing hanya dibasuh tiga kali basuhan.
Pendapat tersebut berlandasakan argumen-argumen naqli dan aqli, yakni49:
ه ق ر اه ف اء نى ا ف ب ل ك ال غ ل ا و ذ :ا ال ق ه ن ا - ه ن ع للا ى ض ر ة ر ي ر ه ي ب ا ن ع .1
اث ل ث ه ل س اغ م ث
يف ال ق –صلى للا عليه وسلم ي ب الن ن ا - للا ى ض ر ة ر ي ر ي ه ب ا ن ع .2
اع ب س و ا ا س م خ و ا ا ث ل ث ل س غ ي اء ني ال ف غ ل ي ب ل ك 3. Karena membasuh sebanyak tujuh kali terjadi pada masa awal Islam
4. Air kencing anjing dapat suci dengan tiga kali basuhan. Apalagi
hanya berupa jilatan yang bisa suci dengan tiga kali basuhan
Kedua, kalangan Malikiyah, Hanabilah, Syafi’iyah, dan Dzahiriyah
berpendapat membasuh wadah yang terkena jilatan anjing dengan tujuh
kali basuhan namun memiliki ikhtilaf dalam pembahasan basuhan ini yang
akan dijelaskan di bawah.
Ibn Abd al-Barr dari kalangan Ma>likiyah berpendapat bahwa
keseluruhan kalangan Maliki sampai saat ini bependapat bahwa anjing itu
suci dan membasuh wadah yang terkena jilatan anjing dengan tujuh
basuhan itu ta’abud. al-Muzani dari kalangan Syafi’iyah mengharuskan
membasuh wadah yang terkena jilatan anjing itu dengan tujuh kali
basuhan salah satunya mengunakan tanah. Ibn Qadamah dari kalangan
Hanabilah, membasuh wadah yang terkena jilatan anjing dengan
membasuh tujuh kali basuhan, namun Imam Ahmad sendiri membasuh
49 Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh. Wulugh al-
Kalb Baina Istinbathat al-Fuqaha wa Iktisyafat al-Athibba, 19.
Page 93
73
dengan delapan kali basuhan yang salah satunya mengunakan tanah
namun riwayat tujuh kali lebih ashah. Ibn Hazm dari kalangan Dzahiriyah
juga sama dengan Syafi’iyah dengan membasuh tujuh kali salah satunya
mengunakan tanah50.
Menyambung permassalah di atas terkait cara membasuh bekas
jilatan anjing dengan mencampurkan tanah. Para fuqaha berbeda pendapat
dalam membasuh bekas jilatan anjing. Apakah mencampurkan tanah
dalam pembasuhan ini sebagi syarat atau tidak?. pertama, kalangan
Hanafiyah dan Ma>likiyah tidak mensyaratkan mencampurkan tanah dalam
membasuh bekas jilatan anjing. Alasan hanafiyah tidak mensyaratkan
pemcampuran tanah dalam membasuh bekas jilatan anjing karena atas
dalil yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan berdasarkan qiyas.
Sedangkan Ma>likiyah mewajibkan pencampuran tanah akan tetapi Imam
Ma>lik tidak menetapkan mencampurakn tanah dengan alasan hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Kedua, kalangan Syafi’iyah, Hanabilah
dan Dzahiriyah mensyaratkan pencampuran tanah di dalam membasuh
wadah yang terkena beksa jilatan anjing. Dalam hal ini Syafi’iyah
memiliki dua pendapat, yakni 1) mecampurkan tanah di awal basuhan, 2)
memcampurkan tanah disalah satu basuhan. Kalangan Hanabilah juga
memiliki dua pendapat dalam mencampurkan tanah untuk membasuh
bekas jilatan anjing, yakni: 1) mecampurkan tanah diantara salah satu
basuhan, 2) memcampurkan tanah diantara delapan basuhan51.
Masalah pengganti penggunaan tanah untuk membasuh atau
mensucikan bekas jilatan anjing, para fuqaha berbeda pendapat: Imam al-
Nawawi, dalam hal ini dari kalangan Syafi’iyah merinci kedudukan benda
50 Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh. Wulugh al-
Kalb Baina Istinbathat al-Fuqaha wa Iktisyafat al-Athibba, 19. 51 Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh. Wulugh al-
Kalb Baina Istinbathat al-Fuqaha wa Iktisyafat al-Athibba, 10-11.
Page 94
74
lain dalam mengantikan tanah untuk mensucikan bekas jilatan anjing.
Pertama, benda lain tidak dapat menggantikan tanah dalam mensucikan
bekas jilatan anjing, kedua, bisa menggantikan fungsi tanah dalam
mensucikan bekas jilatan anjing, ketiga, bisa diganti ketika tidak
ditemukan tanah, keempat, bisa menggantikan tanah ketika benda yang
terkena jilatan anjing tersebut dimungkinkan rusak jika dibasuh dicampur
tanah. Ibn Quddamah dari kalangan Hanabilah berpendapat, benda lain
yang menggantikan fungsi tanah dalam mensucikan jilatan anjing dirinci
dalam dua pendapat. Pertama, tidak bisa menggantikan kedudukan tanah
dalam mensucikan bekas jilatan anjing, kedua, bisa menggantikan tanah
dalam proses pensucian bekas jilatan anjing. Ibn Hazm dari kalangan
Dzahiriyah berpendapat tidak boleh mengganti tanah dengan benda lain,
karena hal itu batasan yang sudah ditetapkan Nabi SAW52.
Alasan fuqoha memilih pendapat tidak boleh mengganti fungsi
tanah dengan benda lain sebagai berikut: pertama, sebab proses penyucian
najis anjing hanya dapat dilakukan dengan tanah sebagaimana tayammum,
kedua, perintah menggunakan tanah dalam mensucikan najis anjing
bersifat ta’abud, maka tidak layak untuk menyamakannya dengan benda
lain.
Sedangkan alasan yang memilih bolehnya mengganti tanah dengan
benda lain sebagai berikut: Pertama, sabun dan benda lainnya lebih efektif
dalam menghilangkan najis ketimbang tanah. Penggunaan tanah dalam
nash sebagai informasi bahwa tanah pun dapat menghilangkan najis.
Kedua, tanah termasuk dalam benda keras yang dijadikan sebagai cara
dalam menghilangkan najis, karena itu, benda-benda keras lainnya seperti
batu dapat pula dijadikan alat bersuci. Ketiga, tanah dapat mensucikan
52 Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh. Wulugh al-
Kalb Baina Istinbathat al-Fuqaha wa Iktisyafat al-Athibba, 16.
Page 95
75
najis-najis yang bersifat keras, sebagaimana yang diterangkan dalam
nash53.
Walaupun para ulama fiqih memiliki pendapat masing masing
terkait pengati debu. Namunperlu digaris bawahi pengantian tanah
tersebut ketika tanah sulit didapat, maka pengantian tanah tersebut boleh.
Terkait masalah penganti tanah disimpulkan ada tiga pendapat. Pendapat
al-adh-har adalah tidak bisa sebagaimana bunyi tekstual hadits dan karena
ini berkaitan dengan aturan mencuci, maka sabun tidak bisa menggantikan
debu sebagaimana tayammum. Kedua, iya, bisa. Hal ini sebagaimana
menyamak. Selain tawas dan daun penghilang kotoran bisa digantikan
yang lain. Pada saat istinja’, batu bisa digantikan dengan yang lain.
Pendapat ketiga, selama masih ada debu tidak bisa digantikan apa pun.
Ada pula pendapat yang menyatakan, selain debu boleh digunakan asalkan
seumpama memakai debu bisa merusak objek seperti pakaian. Kalau
dengan debu tersebut tidak sampai bisa merusak objek, seperti pada
wadah, maka debu tidak bisa digantikan sama sekali.54
53 Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh. Wulugh al-
Kalb Baina Istinbathat al-Fuqaha wa Iktisyafat al-Athibba, 17 54 Abdul Karim bin Muhammad ar-Râfi’I, Fathul Azîz syarah al-Wajîz,
ttp:Dârul Fikr, Juz. 1, 264.
Page 97
77
BAB IV
PEMAHAMAN HADIS JILATAN ANJING DALAM PERSPEKTIF
FATWA SUARA MUHAMMADIYAH
A. Fatwa-Fatwa Suara Muhammadiyah
Dalam persoalan hukum jilatan anjing, muhammadiyah memiliki
kerangka istinbat al-hukm. Ada beberapa landasan yang digunakan
Muhammadiyah dalam melakukan istinbat-nya, khususnya terkait
penggantian tanah dengan benda lain. yakni dengan menggunakan metode,
yaitu: (a) kritik hadis, (b) hukum asli (al-bara-ah al-ashliyyah), (c)
pendekatan semiotik (dilalah al-alfadz)1. Dalam hal ini, Muhammadiyah
mengumpulkan beberapa hadis jilatan anjing dan mengklasifikasikannya
dalam beberapa kategori.
Berdasarkan penelitian Muhammadiyah, hadis-hadis tentang perintah
mencuci bejana dari jilatan anjing bisa diklasifikasikan ke dalam empat
kategori2. Kategori pertama adalah hadis-hadis yang mencantumkan
perintah mencuci bejana sebanyak tujuh kali, tanpa diiringi perintah
menggunakan tanah pada salah satunya. Hadis-hadis tersebut adalah
sebagai berikut:
1 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Fatwa Tarjih:
Sabun bisa Hilangkan Najis Jilatan Anjing ?. (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban
1431 H/6 Agustus 2010), Diakses, 24 Oktober, 2017,
http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/10/05/fatwa-tarjih-sabun-bisa-hilang kan-najis-
jilatan-anjing/8/ 2 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Fatwa Tarjih:
Sabun bisa Hilangkan Najis Jilatan Anjing ?. (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban
1431 H / 6 Agustus 2010), Diakses, 24 Oktober, 2017,
http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/10/05/fatwa-tarjih-sabun-bisa-hilang kan-najis-
jilatan-anjing/8/
Page 98
78
صلى هللا عليه وسلم قال عن أ .1 إذا شرب بى هريرة قال إن رسول للا
الكلب فى إناء أحدكم فليغسله سبعا. ]رواه البخاري و مسلم و اللفظ
للبخاري[Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia
berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing
minum dari bejana salah seorang di antara kamu sekalian,
hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali.” [HR. al-Bukha>ri
dan Muslim dengan lafal milik al-Bukhari]
صلى هللا عليه و سلم قال :إذا شرب عن أبي هريرة أن رسول هللا .2
ات. ]رواه مالك[ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبع مرArtinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing minum dari bejana salah
seorang di antara kamu sekalian, hendaklah ia mencucinya
sebanyak tujuh kali.” [HR. Ma>lik]
صلى هللا عليه وسلم طهور إناء أحدكم .3 عن أبى هريرة قال رسول للا
ات. ]رواه ]مسلم إذا ولغ الكلب فيه أن يغسله سبع مر
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw bersabda: Sucinya bejana salah seorang di antara
kamu sekalian jika dijilati anjing adalah dengan mencucinya
sebanyak tujuh kali.” [HR. Muslim]
صلى .4 إذا ولغ الكلب هللا عليه وسلمعن أبى هريرة قال قال رسول للا
فى إناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرار. ]رواه مسلم[Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
Rasulullah saw bersaba: Apabila anjing menjilati bejana salah
seorang di antara kamu sekalian, maka siramlah dengan air dan
cucilah sebanyak tujuh kali.” [HR. Muslim]
عن أبى هريرة عن النبى صلى هللا عليه وسلم قال إذا ولغ الكلب فى .5
ات. ]رواه احمد[ اإلناء فاغسله سبع مرArtinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw,
beliau bersabda: Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah
sebanyak tujuh kali.” [HR. Ahmad]
Page 99
79
Kategori kedua adalah hadis yang di dalamnya terdapat redaksi
perintah mencuci sebanyak tujuh kali dengan salah satunya menggunakan
tanah. Hadisnya adalah sebagai berikut:
صلى هللا عليه وسلم طهور إناء .1 عن أبى هريرة قال قال رسول للا
ات أوالهن بالتراب. ]رواه أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مر
مسلم[Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata,
Rasulullah saw bersabda: Bersihnya bejana salah seorang dari
kamu sekalian apabila dijilati oleh anjing adalah dengan ia
mencucinya sebanyak tujuh kali, salah satu (cuciannya)
menggunakan tanah.” [HR. Muslim]
صلى هللا عليه وسلم قال إذا ولغ الكلب .2 عن أبى هريرة أن النبى للا
ات السابعة بالتراب. ]رواه أبو داود[ فى اإلناء فاغسلوه سبع مرArtinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing menjilati bejana cucilah
sebanyak tujuh kali, cucian ke tujuh dengan tanah.” [HR Abu
Da>ud]
Kategori ketiga adalah hadis yang di dalamnya terdapat perintah
mencuci bejana sebanyak delapan kali, cucian yang terakhir menggunakan
tanah. Hadisnya adalah sebagai berikut:
صلى هللا عليه وسلم إذا ولغ الكلب في .1 عن ابن المغفل : قال رسول للا
ات ، وعف روه الثامنة في التراب. ]رواه مسلم[اإلناء فاغسلوه سبع مرArtinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mughaffal, Rasulullah
saw bersabda: Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah
sebanyak tujuh kali, dan gunakanlah tanah di cucian ke delapan.”
[HR. Muslim]
Kategori keempat adalah hadis yang perintah mencuci bejana kurang
dari tujuh kali dan tidak menggunakan tanah. Hadis tersebut adalah:
Page 100
80
عليه وسلم: " يغسل .1 صلى للا عن أبي هريرة قال: قال رسول للا
ناء من ولوغ الكلب ثلثا، أو خمسا، أو سبعا. ]رواه الدارقطني[اإلArtinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
Rasulullah saw bersabda: Bejana dicuci dari jilatan anjing
sebanyak tiga kali atau lima kali atau tujuh kali.” [HR. ad-
Da>ruqut}ni>]
ناء .2 ثلث فأهرقه، ثم اغسله عن أبي هريرة قال: إذا ولغ الكلب في اإل
ات. ]رواه الدارقطني[ مرArtinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
Apabila anjing menjilati bejana, maka tumpahkanlah, kemudian
cucilah sebanyak tiga kali.” [HR. ad- Da>ruqut}ni>]
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, Muhammadiyah menyimpulkan
telah terjadi ta’arudh atau kontradiksi antara masing-masing hadis.
Menggunakan pendapat Ibnu Adi dalam kitab al-Kamil dan Albani dalam
kitab al-Silsilah al-Dhaifah, Muhammadiyah menemukan bahwa hanya
hadis-hadis dalam kategori keempat-lah yang mendapatkan sorotan 3.
Namun, Muhammadiyah juga mengutip pendapat Ibnu Daqiq al-Id yang
dikutip juga oleh al-Aini dalam kitabnya Syarh Sunan Abi Dawud yang
mensahihkan hadis-hadis tersebut4
Dalam fatwa Muhammadiyah, penyebab ketumpangtindihan hadis-
hadis ada dua alasan, yaitu; Pertama, telah terjadi kelupaan dari sisi
sahabat Abu Hurairah ketika meriwayatkan hadis, sebab hampir kesemua
hadis tersebut diriwayatkan oleh beliau. Kedua, Rasulullah saw
mengucapkan keterangan yang berbeda-berbeda, yang berarti tidak ada
3 Sopa (Wakil Sekretaris Majelis Tajdid dan Tarjih PP Muhammadiyah),
diwawancarai oleh Salwa Nurbaya. Ciputat, 14 Februari 2019 16:27, Banten. Merujuk
Ibnu Adi. al-Kamil, Albani , Silsilah al-Ahaadits adh-Dhaifah wal Maudhuu’ah wa
Atsaaruha As-Sayyi' fil Ummah , vol. 3, 36. 4 Sopa (Wakil Sekretaris Majelis Tajdid dan Tarjih PP Muhammadiyah),
diwawancarai oleh Salwa Nurbaya. Ciputat, 14 Februari 2019 16:27, Banten. Merujuk
Abu Muhammad Mahmud Bin Ahmad. Syarh Sunan Abi Daud, vol. 1, (Riyadl:
Maktabah al-Rusyd, 1999), 274.
Page 101
81
bilangan tertentu yang diwajibkan, sehingga orang bisa saja memilih mana
bilangan yang ia mau.
Dari kontradiktif informasi dalam hadis di atas, Majlis Tarjih
beranggapan bahwa hal itu menjadi penyebab variatifnya pendapat para
ulama. Muhammadiyah menyimpulkan dari perdebatan hadis-hadis di atas
ada dua hal yang menjadi obyek perdebatan para ulama, yaitu tentang
mencuci bejana dengan tanah (at-tatrib) dan melakukannya dengan jumlah
tertentu, baik al-tasbi’, al-tatsmin, atau al-tatlits. Beberapa kutipan yang
dikutip oleh Majlis Tarjih, diantaranya pendapat dari Mazhab Hanafi yang
berpendapat bahwa tidak wajib mencuci bejana sebanyak tujuh kali dan
juga tidak wajib menggunakan tanah. Sementara kutipan lainnya dari
Mazhab Ma>liki mewajibkan bilangan tujuh, tetapi tidak mewajibkan
tanah. Adapun Mazhab Syafii mewajibkan mencuci bejana dengan tanah
sebanyak delapan kali5.
Selain disebabkan keterangan hadis yang berbeda-beda, perselisihan
(ikhtilaf) para ulama juga disebabkan karena perbedaan pemahaman;
apakah perintah dalam hadis-hadis tersebut menunjukkan kewajiban (al-
wujub) ataukah sunnah (an-nadb) atau hanya petunjuk keduniawian saja
yang sama sekali tidak terikat dengan nilai ibadah (laisa li at-ta’abbud),
sehingga bisa ditempuh metode lain dalam mensucikan bejana6.
Berdasarkan kajian yang mendalam terhadap hadis-hadis tersebut,
Muhammadiyah berpendapat bahwa perbedaan redaksi dalam hadis-hadis
tersebut menunjukkan bahwa mencuci bejana sebanyak jumlah tertentu
dan mencuci dengan menggunakan tanah bukanlah sebuah kewajiban, dan
5 Sopa (Wakil Sekretaris Majelis Tajdid dan Tarjih PP Muhammadiyah),
diwawancarai oleh Salwa Nurbaya. Ciputat, 14 Februari 2019 16:27, Banten. Merujuk
Ibnu Hajar al-Asqalani. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, vol. 1, kairo: Dar al-
Hadith, 2004, 279. 6 Sopa (Wakil Sekretaris Majelis Tajdid dan Tarjih PP Muhammadiyah),
diwawancarai oleh Salwa Nurbaya. Ciputat, 14 Februari 2019 16:27, Banten.
Page 102
82
juga bukan perbuatan yang disunnahkan. Dengan kata lain perintah
tersebut tidak mengandung unsur ta’abbudiy, melainkan hanya perintah
Nabi saw untuk membersihkan bejana dari jilatan binatang yang
mengandung unsur najis. Hal ini, pendapat tersebut merujuk pada Syarh
Sunan Abi Da>ud.7.
Dewan Tarjih dan Tajdid berpendapat dalam ilmu Ushul Fikih diatur
bahwa untuk mengetahui apakah suatu perintah dimaksudkan wajib
(ibadah) oleh Nabi saw atau tidak, kita harus melihat konteks perbuatan
yang diperintahkan. Jika ada unsur al-qurbah (mendekatkan diri) pada
Allah pada perintah tersebut, berarti ia bernilai ibadah, dan dengan
demikian tidak bisa tidak harus diikuti8.
Dalam kasus ini, Muhammadiyah juga menariknya kepada klasifikasi
para ulama ushul fikih terhadap sunnah Nabi saw. Mereka membagi
sunnah Nabi saw ke dalam dua jenis; (a) yang mengandung unsur
pensyariatan (sunnah tasyri’iyyah) dan, (b) yang tidak mengandung unsur
syariat karena terikat dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana
Nabi saw mengeluarkan sabda tersebut (ghairu tasyri’iyah). Sunnah jenis
pertama bersifat abadi, tidak lekang (daim) dan berlaku untuk semua
ruang dan waktu (‘am) serta tidak terpengaruh dengan perubahan zaman.
Sedangkan sunnah jenis kedua adalah sunnah yang bersifat temporal
(khas) dan situasional (hal mu’ayyan)9.
7 Abu Muhammad Mahmud Bin Ahmad. Syarh Sunan Abi Daud, 213. 8 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Fatwa Tarjih:
Sabun bisa Hilangkan Najis Jilatan Anjing ?. (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban
1431 H / 6 Agustus 2010), http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/10/05/fatwa-tarjih-
sabun-bisa-hilang kan-najis-jilatan-anjing/8/ 9 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Fatwa Tarjih:
Sabun bisa Hilangkan Najis Jilatan Anjing ?. (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban
1431 H / 6 Agustus 2010), http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/10/05/fatwa-tarjih-
sabun-bisa-hilang kan-najis-jilatan-anjing/8/
Page 103
83
Dewan Tarjih berpendapat bahwa mencuci bejana sebanyak tujuh kali
dengan salah satunya menggunakan tanah sesungguhnya bukanlah inti
(subtansi) yang ingin Nabi saw sampaikan dalam hadisnya tersebut.
Sehingga ia bisa disebut sebagai wasilah (sarana) saja, bukan sebagai
sunnah tasyri’iyah10. Wasilah sendiri adalah sesuatu yang bersifat dinamis
dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Di zaman sekarang,
kita bisa menggunakan sabun, deterjen dan sarana-sarana lainnya yang
bisa mengantarkan kita sampai pada maqshad (tujuan inti) dari hadis
tersebut, yaitu membersihkan peralatan dari najis yang menempel
padanya11.
Disamping itu, secara redaksional, Dewan Tarjih menganggap tidak
ada satu indikasi (qarinah) yang menunjukkan wajib atau sunnahnya
perbuatan mencuci bejana sebanyak tujuh kali yang salah satunya
menggunakan tanah dalam hadis tersebut. Kaedah yang digunakan Dewan
Tarjih dalam hal ini adalah: suatu perintah Nabi saw terkadang bermakna
sebagai suatu petunjuk (al-irsyad), sunnah (an-nadb), makruh (al-
karahiyyah) dan wajib (al-wujub) tergantung dengan indikasi (qarain)
yang terdapat dalam perintah tersebut. Di antara indikasi tersebut adalah
apakah terdapat perintah yang bernada keras (al-tasydid fi al-amr) atau
ada ancaman jika ditinggalkan (al-wa‘id fi ‘adam al-fi’il)12. Bila hadis
tersebut dibaca ulang, tidak ada satupun qarinah seperti yang disebutkan
10 Hadis tentang jilatan anjing, muhammadiyah menilai sebagai hadis yang
bersifat ta’aquly, dengan kata lain bisa dinalar. Berbeda dengan pendapat kalangan
Maliki yang menyebut hadis terkait hal ini bersifat ta’abuddy 11 Sofa (Wakil Sekretaris Majelis Tajdid dan Tarjih Muhammadiyah),
diwawancarai oleh Salwa Nurbaya. Ciputat, 14 Februari 2019 16:27, Banten. 12 Yusuf al-Qaradlawi, as-Sunnah an-Nabawiyyah Masdaran li al-Ma’rifah wa
al-Hadlarah, (Kaherah: Dar al-Shuruq,1997), 44
Page 104
84
di atas yang mengindikasikan wajib atau sunnahnya perbuatan mencuci
bejana sebanyak tujuh kali13.
Selain itu, sebagai tambahan penjelasan adalah dengan menggunakan
prinsip kemudahan (at-taysir). Di zaman sekarang mencari sabun yang
bersih lebih mudah dari pada mencari tanah yang bersih. Dan, menurut
kami, barangkali suatu saat dunia yang kita tinggali ini akan memasuki
zaman di mana mencari tanah sangat sulit, karena tanah telah tergusur oleh
jalan raya, bangunan atau gedung-gedung, sehingga untuk mencari tanah,
apalagi yang bersih, seseorang harus melakukan perjalanan yang jauh.
Oleh karena itu, di sini kita menerapkan prinsip kemudahan dalam
beragama14. Nabi Muhammad saw bersabda:
روا ]رواه البخاري[ روا وال تعس يس
Artinya: “Mudahkanlah dan janganlah kamu persulit.” (HR.
al-Bukha>ri)
B. Pemahaman Hadis
1. Petunjuk Hadis Dihubungkan dengan Latar Belakang
Terjadinya.
Dalam latar belakang hadis masih banyak perselisihan di antara para
muhadisin sebab banyak riwayat-riwayat yang dipilih sebagai hujah antar
para muhadisin saling berbeda. pada mulanya perdebatan mereka tentang
anjing ini karena adanya perintah membunuh anjing, berikut ini latar
belakang hadis tentang jilatan anjing:
ن ، ع ج ي ر ج ن اب ن ، ع اج ج ح ي ن ث د ، ح ال ق ن ي س ح ا ال نث د ، ح ال م ق اس ق ا ال نث د ح
ل ت ق ، ف ب ل ك ال ل ت ق ي ف ع اف ا ر ب أ ث ع صلى هللا عليه وسلم ب ي ب الن ن : أ ة م ر ك ع
ن م ب ي و ع ، و ة م ث ي خ ن د ب ع س ي، و د ع ن م ب اص ع ل خ د ي ف ال عو ال غ ل ى ب ت ح
13 Sofa (Wakil Sekretaris Majelis Tajdid dan Tarjih Muhammadiyah),
diwawancarai oleh Salwa Nurbaya. Ciputat, 14 Februari 2019 16:27, Banten. 14 Sofa (Wakil Sekretaris Majelis Tajdid dan Tarjih Muhammadiyah),
diwawancarai oleh Salwa Nurbaya. Ciputat, 14 Februari 2019 16:27, Banten.
Page 105
85
س :"ي ت ل ز ن؟ ف هللا ل و س ا ر ا ي نل ل ح ا أ اذ ا: م و ال ق ، ف ة د اع س م ه ل ل ح ا أ اذ م ك نو ل أ
ك م ح ار و ج ال ن م م ت م ل ا ع م و ات ب ي الط م ك ل ل ح أ ل ق ".ن ي ب ل
”Qasim menceritakan kepada kami, dia berkata: Husain
menceritakan kepada kami, dia berkata: Hajjaj menceritakan
kepadaku dari ibn juraij, dari ikrimah “sesungguhnya nabi
muhammad saw mengutus abu rafi’ agar membunuh anjing, lalu
dia membunuhnya hingga sampai pada sebuah daerah bernama al-
a’wali lalu ‘Asim ibn ‘adi, sa’id ibn khaitsamah dan Uwaim ibn
sa’idah masuk lalu bertanya: apa yang halal untuk kita ya
rasullallah?”
Kemudian diturunkan ayat Al-Maidah Ayat 4.15 Menurut al-‘Aini, munculnya perintah membunuh anjing di masa awal
Islam memerlukan dalil qath’i. Jika persoalannya demikian, lalu Abu
Hurairah dan Ibn Mughaffal kemungkinan mendengar hadis tersebut dari
sahabat lain, kemudian mereka mengabarkannya dari Nabi SAW, maka
tentu tidak perlu dibahas lagi. Hal ini mengacu pada keadilan seorang
perawi dari kalangan sahabat tersebut dalam meriwayatkan hadis.
Namun, dalam kitabnya, al-Si’ayah, al-Maulawi Abd al-Hayi
membantah pendapat tersebut. Menurutnya, pendapat tersebut tidak dapat
dibenarkan. Sebab, adanya riwayat Abu Hurairah dan Ibn Mughaffal
dengan adanya perantara sahabat lain adalah kemungkinan yang ditolak.
Karena ditemukannya riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Majah dari Abu
Razin bahwa Abu Hurairah mendengar dan menyaksikan Nabi SAW
secara langsung. 16
قال رأيت أبا هريرة يضرب جبهته بيده ويقول يا أهل العراق أنتم
عليه وسلم ليكون لكم الهناء صلى للا تزعمون أن ي أكذب على رسول للا
15Abu Jafar Attabari. Jamiul Bayan Fi Tawilu Al-Quran, ttp: Muassah Ar-
Risalah, 2004, 231. 16 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi. al-Minhaj Syarh
Muslim (Bairut: Dar Ihya al-Turats, Tt), juz. 3, 187.
Page 106
86
عليه وسلم يقول إذا ولغ صلى للا ثم أشهد لسمعت رسول للا وعلي اإل
ات الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبع مرBegitu pula riwayat yang dikeluarkan oleh al-Tirmidzi dari Abu Razin
terkait Ibn Mughaffal yang mendengar langsung dari Nabi SAW.
عليه وسلم صلى للا قال لمن يرفع أغصان الشجرة عن وجه رسول للا
ة من المم لمرت بقتلها فاقتل وا منها وهو يخطب فقال لوال أن الكلب أم
كل أسود بهيم وما من بيت يرتبطون كلبا إال نقص من عملهم كل يوم
قيراط إال كلب صيد أو كلب حرث أو كلب غنم Riwayat di atas setidaknya dapat dijadikan sebagai bukti bahwa Ibn
Mughaffal mendengar langsung terkait penghapusan perintah membunuh
anjing dan juga keringanan memelihara anjing berburu dan lainnya.17
Sementara redaksi dalam Sahih Muslim disebutkan perintah membasuh
sebanyak tujuh kali muncul setelah adanya penghapusan perintah
membunuh anjing:18
عليه وسلم أمر بقتل الكلب ثم قال مالي وللكلب قال إن النبي صلى للا
ات وعف روه الثامنة ثم قال إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبع مر
ف عن التراب ب قال حدثنا يحيى عن شعبة قال حدثنا أبو التياح عن مطر
عليه وسلم أمر بقتل الكلب ثم قال ما صلى للا ابن مغفل أن رسول للا
ص في كلب يد وفي كلب الغنم قال وإذا ولغ الكلب في لهم ولها فرخ الص
ناء فاغسلوه سبع مرار والثامنة عف روه بالتراب 19اإل“(Ahmad bin Hanbal radliyallahu'anhu) berkata; telah
menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Syu'bah] berkata; telah
menceritakan kepada kami [Abu At-Tayyah] dari [Mutharrif] dari
[Ibnu Mughaffal] sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam menyuruh membunuh anjing, lalu
bersabda: "Apa gunanya anjing bagi mereka?" lalu beliau memberi
keringanan pada anjing untuk berburu dan anjing untuk menjaga
kambing. Beliau bersabda: "Jika anjing menjilat pada suatu bejana
17 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi. al-Minhaj Syarh
Muslim, 187. 18 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi. al-Minhaj Syarh
Muslim, 187. 19 Shahih Muslim hadits nomor 422
Page 107
87
maka cucilah tujuh kali dan yang ke delapannya gosoklah dengan
tanah”
Selanjutnya, setelah hadis-hadis di atas, muncul informasi seputar
ketentuan-ketentuan dalam berburu menggunakan anjing sebagai hewan
buruan:
بن حاتم د أخبرني ابن فضيل عن بيان عن عامر عن عدي حدثني محم
عليه وس صلى للا عنه قال سألت رسول للا لم فقلت إنا قوم رضي للا
فكل نتصيد بهذه الكلب فقال إذا أرسلت كلبك المعلمة وذكرت اسم للا
ا أمسكن عليك إال أن يأكل الكلب فل تأكل فإن ي أخاف أن يكون إنما مم
مسك على نفسه وإن خالطها كلب من غيرها فل تأكل أ Telah menceritakan kepadaku [Muhammad] berkata, telah
mengabarkan kepadaku [Ibnu Fudlail] dari [Bayan] dari [Amir]
dari [Adi bin Hatim] radliallahu 'anhu, ia berkata, "Aku bertanya
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kukatakan, "Kami
adalah suatu kaum yang biasa berburu dengan anjing-anjing ini?"
Beliau lalu menjawab: "Jika kamu lepas anjingmu yang telah
terlatih dengan menyebut nama Allah, maka makanlah apa yang
telah ia tangkap untukmu. Kecuali jika anjing tersebut
memakannya, maka jangan kamu makan. Sebab aku kawatir jika
anjing itu menangkap untuk dirinya sendiri, dan jika ada anjing
lain bersamanya, maka jangan kamu makan juga."20
وه ار قالوا حدثنا عيسى بن يونس عن حدثنا نصر بن علي ناد وأبو عم
عليه صلى للا بن حاتم قال سألت رسول للا عن عدي مجالد عن الشعبي
و عيسى هذا حديث وسلم عن صيد البازي فقال ما أمسك عليك فكل قال أب
والعمل على هذا عند أهل العلم ال نعرفه إال من حديث مجالد عن الشعبي
قور بأسا و قال مجاهد البزاة هو الطير الذي ال يرون بصيد البزاة والص
متم من الجوارح { يصاد به من تعالى } وما عل الجوارح التي قال للا
ص بعض أهل العلم في صيد فسر الكلب والطير الذي يصاد به وقد رخ
ته وكرهه بعضهم والفقهاء البازي وإن أكل منه وقالوا إنما تعليمه إجاب
أكثرهم قالوا يأكل وإن أكل منه
20 Shahih Muslim hadits nomor: 3561
Page 108
88
Telah menceritakan kepada kami [Nashr bin Ali], [Hannad]
dan [Abu 'Ammar] mereka berkata; Telah menceritakan kepada
kami [Isa bin Yunus] dari [Mujalid] dari [Asy Sya'bi] dari ['Adi bin
Hatim] ia berkata; Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tentang buruan burung elang. Beliau menjawab:
"Apa yang didapat untukmu makanlah." Abu Isa berkata; Hadis ini
tidak kami ketahui kecuali dari Hadis Mujalid dari Asy Sya'bi.
Hadis ini menjadi pedoman amal menurut para ulama, mereka
membolehkan berburu dengan burung pemangsa dan burung elang.
Mujalid berkata; Al Buzah adalah burung yang telah dilatih untuk
berburu, sebagaimana yang Allah firmankan: (Dan (buruan yang
ditangkap) oleh binatang buas yang Telah kamu ajar dengan
melatih nya untuk berburu). Ia menafsirkan dengan anjing dan
burung yang dilatih untuk berburu. Sebagian ulama membolehkan
berburu dengan burung elang walaupun ia memakannya. Dan
mereka mengatakan; Sesungguhnya wajib untuk mengajarinya,
namun sebagian dari mereka dan para fuqaha memakruhkan,
kebanyakan mereka berpendapat; Boleh memakannya walaupun ia
ikut memakannya”.
Dari beberapa riwayat yang telah disebutkan bahwa dalam pada
mulanya anjing disuruh untuk dibunuh akan tetapi redaksi untuk
membunuh itu telah di naskh oleh riwayat Muslim sebagaimana
disebutkan perintah membasuh sebanyak tujuh kali muncul setelah adanya
penghapusan perintah membunuh anjing. Meskipun perintah membunuh
anjing telah di-naskh dengan perintah membasuh bahkan menumpahkan
terhadap sesuatu yang terkena jilatan anjing, tetap dalam hal berburu
menggunakan anjing ada ketentuan. Dalam kata lain, berburu
menggunakan anjing tidak selalu halal dimakan hasil buruannya,
mengingat status anjing sebagai hewan yang diperintah membasuh bekas
jilatannya. Karena itu, ulama memberikan aturan terkait hasil buruan
anjing. Ada juga dalam latarbelakang hadis ketika berburu menggunakan
anjing, Nabi Muhammad saw bersabda yang Artinya: "Apabila seekor
anjing menjilat pada suatu wadah, maka kalian cucilah ia sebanyak tujuh
kali, dan campurkan dengan tanah pada pencucian yang kedelapan”.
Page 109
89
2. Petunjuk Hadis yang Tampak Saling Bertentangan
Para ulama berbeda pendapat terkait dengan najisnya jilatan anjing dan
aggota tubuh anjing sebagimana telah disebutkan pada bab 3, hal ini
dipengaruhi oleh redaksi antara hadis satu dengan hadis lainya tentang
jilatan anjing. Setidaknya ada dua kategori hadis yang secara redaksi
hadis saling kontradikstif, yang akan dijabarkan dibawah ini:
ناد، عن العرج، عن بن يوسف، عن مالك، عن أبي الز حدثنا عبد للا
صلى هللا عليه وسلم قال: إذا شرب »أبي هريرة، قال: إن رسول للا
« م فليغسله سبعاالكلب في إناء أحدك
Redaksi (في إناء أحدكم فليغسله سبعا) menurut al-Qasthalani
mengharuskan sebanyak tujuh kali basuhan dalam menyucikan najis
mughaladzah, kemudian, Sebagian ulama memahami redaksi di atas
dengan tidak adanya najis dalam air yang dijilat, menurut mereka, perintah
membasuh tertentu pada wadah. namun pendapat tersebut dinilai syadz.
Pendapat ini dianggap telah keluar dari keumuman dan tidak
memperhatikan redaksi (ولغ) atau redaksi (شرب), ketika yang dijilat
adalah benda keras, karena kewajibannya adalah membuang benda yang
terkena mulut anjing, begitupun ketidak wajiban membasuh wadah kecuali
bagian yang terkena mulutnya yang basah. Ketika di dalam wadah
terdapat sesuatu yang keras, tentu tidak disebut minum atau menjilat.
Mazhab manshush menyamakan hukum anggota tubuh lainnya seperti
tangan dan kakinya.
Dalam redaksi hadis di atas terdapat perintah membasuh sebanyak
tujuh kali dan tidak dicampur tanah untuk menyucikan najis anjing.
Riwayat semacam ini ditemukan pula di dalam riwayat Imam Malik dan
Page 110
90
semua hadis yang berasal dari Abu Hurairah kecuali dari jalur Ibn Sirrin21.
Berikut ini riwayat lain yang mencantumkan perintah mencuci bejana
sebanyak tujuh kali, tanpa diiringi perintah menggunakan tanah pada salah
satunya, yaitu :
ناد، عن .1 حدثنا يحيى بن يحيى، قال: قرأت على مالك، عن أبي الز
العرج، عن أبي هريرة، أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال:
ات إذا شرب الكلب في إناء أحدكم، فليغسله سبع » « مر
ام بن .2 اق، حدثنا معمر، عن هم ز د بن رافع، حدثنا عبد الر حدثنا محم
د رسول هللا صلى هللا منب ه، قال: هذا ما حدثنا أبو هريرة، عن محم
وقال رسول هللا صلى هللا عليه -منها فذكر أحاديث -عليه وسلم
ات »وسلم: «طهور إناء أحدكم إذا ولغ الكلب فيه، أن يغسله سبع مر
، حدثنا علي بن مسهر، أخبرنا .3 وحدثني علي بن حجر السعدي
العمش، عن أبي رزين، وأبي صالح، عن أبي هريرة، قال: قال
إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم »رسول هللا صلى هللا عليه وسلم:
فليرقه ثم ليغسله سبع مرار Hadis berikutnya ialah yang memerintahkan membasuh sebanyak
tujuh kali dicampur penggunaan tanah, sebagai berikut:
وحدثنا زهير بن حرب، حدثنا إسماعيل بن إبراهيم، عن هشام بن .1
د بن سيرين، عن أبي هريرة، قال: قال رسول هللا حسان، عن محم
غ فيه الكلب، أن طهور إناء أحدكم إذا ول »صلى هللا عليه وسلم:
ات أوالهن بالتراب « يغسله سبع مر
د بن .2 حدثنا موسى بن إسماعيل، حدثنا أبان، حدثنا قتادة، أن محم
-صلى هللا عليه وسلم -سيرين حدثه عن أبي هريرة، أن نبي هللا
لوه سبع مرار، السابعة قال: "إذا ولغ الكلب في اإلناء فاغس
بالتراب"
21 Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Malik al-Qasthalany al-
Mishry. Irsyad al-Sari Li Syarh Shahih al-Bukhari (Mesir: al-Kubro al-Amiriah, 1323 H),
cet. Ke-VII
Page 111
91
وحدثنا عبيد هللا بن معاذ، حدثنا أبي، حدثنا شعبة، عن أبي التياح، .3
ف بن عبد هللا عن ابن المغفل، قال: أمر رسول هللا صلى سمع مطر
ثم « ما بالهم وبال الكلب؟»عليه وسلم بقتل الكلب، ثم قال: هللا
يد وكلب الغنم، وقال: ص في كلب الص إذا ولغ الكلب في »رخ
ات، وعف روه الثامنة في الت ناء فاغسلوه سبع مر «راب اإلSetidaknya ada periwayat yang tidak menyebutkan ( التراب) dalam
redaksinya, sebagaimana tiga hadis di atas, yakni yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah dari jalur al-A’raj dan Hammam bin Munabbih, ditambah
dari jalur Abu Razin, Tsabit al-Ahnaf, dan Abdu al-Suddi Abdu al-
Rahman yang semuanya dari riwayat Abu Hurairah. Sementara dari
riwayat Qatadah, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin
Abbas, dan Abu Hurairah dari jalur Aban bin Yazid dan Abu Razin,
semuanya menyebutkan ( التراب)22
Dua hadis pertama di atas, dengan adanya redaksi ( التراب),
disamping ada perintah membasuh najis jilatan anjing sebanyak tujuh kali,
juga ada perintah untuk mencampuri dengan tanah di dalam salah satu dari
tujuh basuhannya. Tetapi berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-
A'raj dari jalur yang sama, di dalam riwayatnya tidak terdapat tambahan
.(التراب )
Hasan al-Bashri berfatwa terakit tata cara dalam menyucikan najis
jilatan anjing berdasarkan hadis yang ketiga di atas, yakni dengan cara
membasuh tujuh kali dengan air terlebih dahulu dan basuhan yang
kedelapan dicampur dengan tanah. Hal ini disebabkan adanya redaksi
( ات، وعف روه الثامنة في التراب فاغسلوه سبع مر ). Selain itu, Imam
Ahmad memiliki dua riwayat dalam menyucikan najis jilatan anjing,
pertama, beliau mewajibkan membasuh dengan tujuh basuhan. Kedua,
22 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi. al-Minhaj Syarh
Muslim, 183.
Page 112
92
dalam satu riwayat lainnya membasuh sebanyak delapan kali basuhan dan
yang terakhir dicampur tanah.23
Selanjutnya, dalam persoalan bilangan membasuh najis anjing,
khususnya disebabkan karena jilatannya. Setidaknya ada dua hadis yang
boleh dilakukan kurang dari tujuh kali basuhan dan tanpa dicampur tanah.
Lebih lanjut, karena ini lah, Imam Abu Hanifah tidak menentukan
bilangan pembasuhan najis anjing. Akan tetapi yang menjadi tolak
ukurnya ialah sampai diduga kebersihannya. Namun hadis yang dijadikan
sebagai landasan oleh Imam Abu Hanifah ini mendapat banyak sorotan,
dan juga telah terjadi kontradiksi antar hadis satu dengan yang lain.24
Terdapat pula hadis lain riwayat al-Daruqutni yang sudah dijelaskan
statusnya pada pembahasan sebelumnya, yaitu :
المعمري , نا .1 د بن نصير , نا الحسن بن علي حدثنا جعفر بن محم
اك , نا إسماعيل بن عياش , عن هشام بن عبد الوهاب بن الضح
ناد , عن العرج , عن أبي هريرة , عن النبي عروة , عن أبي الز
ناء أنه يغسله ثلثا أو »صلى هللا عليه وسلم في الكلب يلغ في اإل
«خمسا أو سبعا
د , وثنا نا أبو بكر , .2 قال: حدثني علي بن حرب , نا أسباط بن محم
أبو بكر النيسابوري , نا سعدان بن نصر , ثنا إسحاق الزرق ,
إذا ولغ »قاال: نا عبد الملك , عن عطاء , عن أبي هريرة , قال:
ات ناء فاهرقه ثم اغسله ثلث مر هذا موقوف , ولم «. الكلب في اإل
يروه هكذا غير عبد الملك، عن عطاء
Dua hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh perawi yang lebih tsiqah. Karena itu, para ahli hadis sepakat menilai
hadis tersebut sebagai hadis yang lemah, bahkan munkar, sebab hadis
tersebut berbeda dengan redaksi hadis sahih riwayat Abu Hurairah dari
23 Abi Abdurahman. Syarh Al-Imam Ibn Daiq Al-I’d, (Riyad: Tasfiyah, 1999),
18. 24 Abu Muhammad Mahmud Bin Ahmad. Syarh Abi Daud Li al-‘Aini, 88.
Page 113
93
jalur Ibn Sirin. Dan hadis ini tidak masuk dalam pembahasan yang akan
diselesaikan.25
اد بن زيد , عن اج بن الشاعر , نا عارم , نا حم حدثنا المحاملي , نا حج
ناء قال: يهراق د , عن أبي هريرة " في الكلب يلغ في اإل أيوب , عن محم
ات ". صحيح موقوف ويغسل سبع مر
Redaksi فليرقه dibahas oleh sebagian kalangan ahli hadis sebagai
redaksi tambahan dan diragukan keberadaannya. periwayat hadis yang
menambahkan redaksi itu adalah Ali bin Mushir dan tidak diketahui
ketersambungan sanadnya sampai kepada nabi kecuali dari riwayat ini.
Namun oleh sebagian ahli hadis lainnya berpendapat bahwa yang sahih
adalah penambahan redaksi فليرقه adalah penambahan dari periwayat
yang tsiqah. Ini artinya penambahan redaksi dapat diterima sebagaimana
penjelasan dalam Ilmu Hadis.26
د بن يحيى , نا إسماعيل بن خليل , نا حدثنا أبو بكر النيسابوري , نا محم
علي بن مسهر , عن العمش , عن أبي صالح , وأبي رزين , عن أبي
صلى هللا عليه وسلم إذا ولغ الكلب في : »هريرة , قال: قال رسول للا
ات صحيح , إسناده حسن ورواته «. إناء أحدكم فليهرقه وليغسله سبع مر
كلهم ثقات Karena itu, secara makna redaksi hadis ini dinilai tepat dengan adanya
penambahan فليرقه, yakni menumpahkan air yang ada di dalam wadah.
Artinya, tidak akan mungkin membasuh wadah yang terkena jilatan anjing
sebanyak tujuh kali yang dicampur tanah jika di dalamnya masih ada air.
Oleh sebab itu, sebagaimana urutan redaksi dalam hadis, yakni
mendahulukan فليرقه dari اغسله, sebelum membasuh, wadah yang hendak
dibasuh terlebih dahulu membuang air yang dijilat tersebut.
25 Abi Abdurahman. Syarh Al-Imam Ibn Daiq Al-I’d, 16 26 Abi Abdurahman. Syarh Al-Imam Ibn Daiq Al-I’d, 17.
Page 114
94
Semua riwayat mengatakan agar membasuh sebanyak tujuh kali,
perbedaannya hanya pada penggunaan tanah, berdasarkan analisis pada
perawi sahabat yang mayoritas adalah riwayat Abu Hurairah, maka dapat
disimpulkan tidak ada pertentangan, perbedaan redaksi kemungkinan
terjadi pada murid Abu Hurairah. Hadis semacam ini jika diteliti dengan
teori analisis isnad cum matan milik harald motzki, maka menjadikan
hadis itu lebih otentik. Jumlah riwayat yang menyebutkan tanah dan tidak
adalah sama. Dari penjelasan bisa dikatakan bahwa menggunakan tanah
lebih utama, yang tidak ada perbedaannya adalah kewajiban tujuh kali
dalam membasuh jilatan anjing.
C. Pendekatan Burhani : Mengganti Tanah Dengan Sabun dalam
Membersihkan Jilatan Anjing
Masalah pengganti penggunaan tanah untuk membasuh atau
mensucikan bekas jilatan anjing, para fuqaha berbeda pendapat: Imam al-
Nawawi, dalam hal ini dari kalangan Syafi’iyah merinci kedudukan benda
lain dalam mengantikan tanah untuk mensucikan bekas jilatan anjing.
Pertama, benda lain tidak dapat menggantikan tanah dalam mensucikan
bekas jilatan anjing, kedua, bisa menggantikan fungsi tanah dalam
mensucikan bekas jilatan anjing, ketiga, bisa diganti ketika tidak
ditemukan tanah, keempat, bisa menggantikan tanah ketika benda yang
terkena jilatan anjing tersebut dimungkinkan rusak jika dibasuh dicampur
tanah. Ibn Quddamah dari kalangan Hanabilah berpendapat, benda lain
yang menggantikan fungsi tanah dalam mensucikan jilatan anjing dirinci
dalam dua pendapat. Pertama, tidak bisa menggantikan kedudukan tanah
dalam mensucikan bekas jilatan anjing, kedua, bisa menggantikan tanah
dalam proses pensucian bekas jilatan anjing. Ibn Hazm dari kalangan
Dzahiriyah berpendapat tidak boleh mengganti tanah dengan benda lain,
karena hal itu batasan yang sudah ditetapkan Nabi SAW.
Page 115
95
Alasan yang memilih bolehnya mengganti tanah dengan benda lain
sebagai berikut: Pertama, sabun dan benda lainnya lebih efektif dalam
menghilangkan najis ketimbang tanah. Penggunaan tanah dalam nash
sebagai informasi bahwa tanah pun dapat menghilangkan najis. Kedua,
tanah termasuk dalam benda keras yang dijadikan sebagai cara dalam
menghilangkan najis, karena itu, benda-benda keras lainnya seperti batu
dapat pula dijadikan alat bersuci. Ketiga, tanah dapat mensucikan najis-
najis yang bersifat keras, sebagaimana yang diterangkan dalam nash.27
Namun ahli kedokteran, melalui eksperimennya bahwa virus anjing itu
sangat lembut dan kecil. Sebagaimana diketahui, semakin kecil ukuran
mikroba, ia akan semakin efektif untuk menempel dan melekat pada
dinding sebuah wadah. Air liur anjing yang mengandung virus yang
berbentuk pita cair. Dalam hal ini, tanah berperan sebagai penyerap
mikroba berikut virus-virusnya yang menempel dengan lembut pada
wadah.28
Eksperimen-eksperimen dan beberapa hipotesa menjelaskan bahwa
tanah merupakan unsur yang efektif dalam membunuh kuman.
Demikianlah yang dilansir oleh himpunan dokter ahli. Mereka
berpendapat sebagai berikut:
“Pada masa modern sekarang ini, para ilmuan telah melakukan analisis
terhadap tanah kuburan untuk mengetahui kuman-kuman yang
terkandung di dalamnya. Mereka berkeyakinan dapat menemukan kuman-
kuman yang membahayakan dalam jumlah yang banyak. Asumsi ini
berdasarkan sebuah fakta bahwa banyak manusia yang matinya karena
penyakit yang ditularkan melalui kuman”29
Namun setelah diadakan penelitian, ternyata mereka tidak menemukan
bekas apa pun dari kuman penyakit tersebut di dalam tanah. Akhirnya,
27 Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh, 17. 28 Hisham Thalbah, Syarif Hade Masyah, dkk, Ensiklopedia mukjizat al-Quran
dan Hadis, vol. 5, (Bekasi: PT. Sapta Sentosa, 2008), 107. 29 Hisham Thalbah, Syarif Hade Masyah, dkk, Ensiklopedia mukjizat al-Quran
dan Hadis, vol.5, (Bekasi: PT. Sapta Sentosa, 2008), 107.
Page 116
96
mereka menarik kesimpulan bahwa tanah memiliki keunggulan dalam
membunuh kuman yang membahayakan. Jika tidak, tentu kuman akan
banyak dan menyebar ke mana-mana. Padahal jauh sebelum mereka
menemukan kesimpulan tersebut, Nabi SAW telah mengukuhkan hal itu
dalam Hadis-Hadisnya, seperti tercantum di atas.
Menurut Muhammad Kamil Abd Ash-Shamad, mukjizat ilmiah
dengan jelas sangat mendukung penggunaan tanah pada salah satu dari
tujuh kali basuhan dalam menghilangkan najis jilatan anjing. Ia melansir
bahwa tanah mengandung unsur yang cukup kuat menghilangkan bibit-
bibit penyakit dan kuman-kuman. Hal ini berdasarkan bahwa molekul-
molekul yang terkandung di dalam tanah menyatu dengan kuman-kuman
tersebut, sehingga mempermudah dalam proses sterilisasi kuman secara
keseluruhan. Ini sebagaimana tanah juga mengandung materi-materi yang
dapat mensterilkan bibit-bibit kuman tersebut30
Fatwa tarjih Muhammadiyah tidak memiliki pendekatan secara
burhani terkait penggantian tanah dengan sabun dalam mensucikan najis
jilatan anjing, mereka hanya berpendapat bahwa mencuci bejana sebanyak
tujuh kali dengan salah satunya menggunakan tanah sesungguhnya
bukanlah inti (subtansi) yang ingin Nabi saw sampaikan dalam hadisnya
tersebut. Sehingga ia bisa disebut sebagai wasilah (sarana) saja, bukan
sebagai sunnah tasyri’iyah. Wasilah sendiri adalah sesuatu yang bersifat
dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Di zaman
sekarang, kita bisa menggunakan sabun, deterjen dan sarana-sarana
lainnya yang bisa mengantarkan kita sampai pada maqshad (tujuan inti)
30 Hisham Thalbah, Syarif Hade Masyah, dkk, Ensiklopedia mukjizat al-Quran
dan Hadis, vol.5, (Bekasi: PT. Sapta Sentosa, 2008), 108.
Page 117
97
dari hadis tersebut, yaitu membersihkan peralatan dari najis yang
menempel padanya.31
Selain itu, Muhammadiyah menambahkan dengan menggunakan
prinsip kemudahan (at-taysir). Di zaman sekarang mencari sabun yang
bersih lebih mudah dari pada mencari tanah yang bersih.
31 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Fatwa Tarjih:
Sabun bisa Hilangkan Najis Jilatan Anjing ?. (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban
1431 H / 6 Agustus 2010), http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/10/05/fatwa-tarjih-
sabun-bisa-hilang kan-najis-jilatan-anjing/8/
Page 119
99
BAB V
PENUTUP
Pada akhirnya saya mengakhiri penelitian ini dengan menampilkan
kesimpulan dan saran pada bab akhir, kesimpulan bab ini merupakan
jawaban dari rumusan masalah yang diteliti. Sedangkan saran pada bab ini
memuat berbagai rekomendasi yang ditemukan dalam penelitian ini yang
bisa ditindak lanjuti.
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian dan pemahaman ulang terhadap
hadis “Jilatan Anjing dalam Bejana” akhirnya saya mendapatkan jawaban
yang kemudian disimpulkan sebagai berikut :
1. Ditinjau dari segi kualitas, hadis “Jilatan Anjing dalam Bejana”
yang diriwayatkan oleh Sunan Daruqutni adalah hadis dhaif, yaitu
hadis yang tidak terkumpul sifat-sifat hadis hasan, disebabkan
hilangnya satu syarat atau lebih. hadis ini tidak dapat dijadikan
hujjah karna mengandung syaz (bertentangan dengan periwayat
yang lebih tsiqah) dan tidak dapat terangkat statusnya meskipun
ada hadis pendukung yang semakna, hadis pendukung yang
semakna itu adalah hadis mauquf (sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat baik itu perkataan, perbuatan, maupun taqrir) yang
tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam manhaj yang dipegangi
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, terdapat kaedah:
د ال يحتج به.الموقوف المجرArtinya: “Hadis mauquf murni tidak bisa dijadikan hujjah.”
Page 120
100
2. Berdasarkan kajian mendalam terhadap hadis-hadis tersebut,
Muhammadiyah berpendapat perbedaan redaksi dalam hadis-hadis
tersebut menunjukkan bahwa mencuci bejana sebanyak jumlah
tertentu dan mencuci dengan menggunakan tanah bukanlah sebuah
kewajiban, dan juga bukan perbuatan yang disunnahkan. Dengan
kata lain perintah tersebut tidak mengandung unsur ta’abbudiy,
melainkan hanya perintah Nabi saw untuk membersihkan bejana
dari jilatan binatang yang mengandung unsur najis. Dan Majelis
Tarjih Muhammadiyah yang membolehkan mengganti tanah
dengan sabun terdapat dua qoul (pendapat), pendapat pertama
mengatakan bahwa masalah ini adalah masalah ta'abbudiy
(mengandung unsur ibadah) dan pendapat kedua yaitu masalah
ta'aqquliy (mengikuti perkembangan akal manusia atau zaman)
B. Saran-Saran
Setelah melakukan penelitian diatas, tentu dapat ditemukan
beberapa kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Karenanya, penulis
membutuhkan kritik membangun dari berbagai pihak yang memiliki
konsentrasi dalam bidang tafsir dan hadis. Berikutnya penulis memberikan
saran-saran kepada pembaca skripsi ini serta para pengkaji ilmu hadis.
1. Bagi para pengkaji hadis, hendaknya hadis dikaji secara komprehensif
yakni dengan mengumpulkan berbagai jalur periwayatan khususnya
dalam hadis membasuh jilatan anjing dalam bejana. Dengan
demikian, kesimpulan yang diambil para peneliti ialah kesimpulan
yang universal bukan particular
2. Bagi para scientist, penelitian mengenai sabun yang mengandung
tanah hendaknya direalisasikan dalam bentuk produk yang
didistribusikan pada masyarakat luas, baik dengan cara pemasaran
maupun dibagikan dengan cuma-cuma.
Page 121
101
3. Bagi penulis skripsi berikutnya, penelitian ini dapat dikembangkan
kembali, khususnya dalam perspektif para mufassir Q.S Al-Maidah
[5]: 4 yang menjelaskan kebolehan memakan hasil buruan anjing
peliharaan.
Page 123
103
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdurrahman, Abi. Syarh al-Imam Ibn Daiq al-I’d. Riyadh: Tasfiyah.
1999 M.
‘Aini, Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad al-.
Syarh Abi > Da>ud li al-‘Aini. Riyadh: Maktab Ar-Rasyid. 1999 M.
‘Arabi, Ibnu. ‘Aridhatul Ahwadzi Bisyarah Shahih Tarmidzi. Beirut: Dar
Fikr al-Ilmiyah. 2000 M.
Abbas, Afif Fauzi. Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani
dalam Ijtihad Muhammadiyah. Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah 7, no.1 (2012): 54-55.
Abdurrahman, Asjumuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Metodologi
dan Aplikasi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
al-Anshari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin al-
Farah. al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kutub al-
Mishriyah. 1964 M.
al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Kairo: Dar
al-Hadith. 2004.
Albani. Silsilah al-Ahaadits al-D}aifah wal Maudhuu’ah wa Atsaaruha As-
Sayyi' fil Ummah.
Anwar, Syamsul. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Panitia
Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXX. 2018
ar-Ra>fi’i, Abdul Karim bin Muhammad. Fathul Azi>z Syarah al-Waji>z. ttp:
Dârul Fikr.
Aslihah, Nur. “Pemeliharaan Anjing Dalam Perspektif Hadis.” Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2017.
At-T}abari, Abu jafar. Jamiul Bayan Fi Tawilu Al-Quran. ttp: Muassah Ar-
Risalah. 2004 M.
Bukha>ri, Muhammad bin Isma’il al-. al-S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beirut: DarTuq
al-Najah. 1422 M
Page 124
104
Dzahabi, Syamsudin Abu ‘Abdilla>h Muhammad bin Ahmad bin Utsman
bin Qaimaz al-. Siyar A’lam al-Nubala. Beirut: Mu’assasah al-
Risalah. 1985 M/1405H.
Dzahabi, Syamsudin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman
bin Qaimaz al-. Tarikh al-Islam wawafayat al-Mansyahir wa al-
A’lam. Beirut: Dar al-Gharb. 2003 M.
Ibn al-Farra’, Abu al-Husain bin Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad.
Ma’alim al-Tanzil. bairut: Dar Ihya al-Turats: Tt.
Ibn Katsi>r, Muhammad bin Jarir bin Yazid. Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil Ay
al-Qur’an. Beirut: Muassisah al-Risalah. 2000 M.
Ibn Muhammad Bahauddin, Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin
Muhammad Syamsuddin. Tafsi>r al-Qur’an al-karim: Tafsi>r al-
Manar. Mesir: al-Haiat al-Mishriyah. 1990 M.
Jaziri, Syaikh ‘AbdurRohman al-. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah.
Dar al-‘Alamiyyah. 2004
Khusyu’i, Muhammad al-. al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid. Kairo: Al-
Azhar. 2002.
Masyah, Syarif Hade dan Hisham Thalbah. Ensiklopedia mukjizat al-
Quran dan Hadis. Bekasi: PT. Sapta Sentosa. 2008 M.
Mis}hry, Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar bin ‘Abdul Malik al-
Qast}halany. Irsyad al-Sari Li Syarh S}ah}i>h} al-Bukha>>>ri>. Mesir: al-
Kubro al-Amiriah. 1323 H.
Muktamar I’jaz Ilmi Dalam al-Qur’an dan Hadis yang ketujuh. Wulugh al-
Kalb Baina Istinbathat al-Fuqaha wa Iktisyafat al-Athibba.
Muslimi, Muhammad Mahdi al-. Mansu’ah Aqal Abi al-Husain al-
Da>ruqutni>. Beirut: Alim al-Kitab. 2001 M.
Nawawi, Abu Zakaria Muhyidin Yahya bin Syaraf al-. al-Minhaj Syarh
Muslim. Beirut: Dar Ihya al-Turats.
Nuri, Sayyid Abu al-Ma’athi al-. Mansu’ah Aqwal Imam Ahmad. Beirut:
Alim al-Kitab. 1997 M/1417 H.
Page 125
105
Qaradlawi, Yusuf. as-Sunnah an-Nabawiyyah Masdaran li al-Ma’rifah wa
al-Hadlarah. Kaherah Dar al-Shuruq. 1997.
Sopa, Wakil Sekretaris Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah).
Diwawancarai oleh Salwa Nurbaya, Ciputat, 14 Februari 2019,
Banten.
Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah. Fath al-
Qadir. Bairut: Dar Ibn Katsir. Tt.
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. "Fatwa Tarjih:
Sabun bisa Hilangkan Najis Jilatan Anjing ?." (disidangkan pada
hari Jum’at, 25 Syakban 1431 H / 6 Agustus 2010). Diakses, 24
Oktober 2017, http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/10/05/
fatwa-tarjih sabun-bisa-hilangkan-najis-jilatan-anjing/8/
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Diakses, 24
Oktober 2017, http://tarjih.muhammadiyah. or.id/content-3-sdet-
sejarah.html.
Zarkali >, Khairuddi>n bin Mah}mu>d al-. al-A’la >m. Beirut: Dar al-Ilmi li al-
Ma>layi>n.
Zuhdi, Muhammad. Maja’iyah Syi’ah Imamamiyah. Jakarta: Gradasi
Print. 2017.
Page 126
n. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412, lndqnesia WWtushJud鷹 11謡彼『 lttlttf急誦」tもな綿種鴛
Norlor'I.ampiranPerihal
J'ernbusan
Dekan Fakultas Ushuluddin
B" 3D3d /F3iKM.01 .3let2,t'
Penelitian Skripsi
Kepada Yth.
NamaNiMJurusanSemester'l'ahun Akademik
Jakarta, 25 September 20I8
Dengan hormat,' Bersama ini disarnpaikan bahwa mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif I{idayatullah Jakarta sebagai berikut :
SalwO Nurbaya
ll13034000141
Hmu Al‐ Qur'an dan Tafsirll(SObClas)
2018/2019
sedang dalam penulisan skipsi dengan judur"pemohaman Hadis |'entangJilatan Anjing dalam Persfektif l'atwa T'arjih dan Tajdicl Muhammadiyah',.
Sehubu,gan de,ga, itu, kami rnohon rnahasiswa kami clapat diizinka,melakukan penelitian guna penulisan skripsi climaksr.rd.
Demikia,, atas perhatian da, kerjasarrranya kami ucapkan terima kasih.
溺羅littM・鉗r
Page 127
MENGGANTI TANAH DENGAN SABUN KETIKA BERSUCI DARI
JILATAN ANJING
Pertanyaan Dari:
Emrizal Amir, KAM No: 092 4804 947583,
Jl. Seudati No. 6, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara 14240
(disidangkan pada hari Jum‟at, 25 Syakban 1431 H / 6 Agustus 2010)
Pertanyaan:
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Bapak Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, saya
ada pertanyaan tentang bersuci dari najis bekas jilatan anjing. Seperti yang
telah kita ketahui dari hadis Rasulullah bahwa tata cara mensucikan bejana
bekas jilatan anjing adalah dengan digosok dengan tanah sebanyak 7 kali.
Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah hanya untuk bekas jilatan anjing saja yang cara mensucikannya
demikian?
2. Pada saat ini sudah ada sabun pembersih. Apakah dengan memakai sabun
ini dapat menghilangkan keharusan menggosok dengan tanah sebanyak 7
kali?
Demikianlah pertanyaan saya dan terima kasih banyak atas perhatian
dari Bapak.
Wassalamualaikum Wr Wb
Jawaban:
Wa „alaikumus-salam Wr. Wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Berikut ini jawaban
kami:
1. Untuk menjawab pertanyaan pertama yang saudara ajukan, kita bisa
menempuh beberapa metode, yaitu: (a) kritik hadis, (b) hukum asli (al-bara-
ah al-ashliyyah), (c) pendekatan semantik (dilalah al-alfadz).
a. Terdapat sebuah hadis yang menerangkan perintah mencuci bejana dari
jilatan binatang selain anjing. Hadis tersebut adalah:
Page 128
Artinya: “Apabila kucing menjilati (satu barang), maka dicuci sebanyak satu
kali” [HR. Abu Dawud dan ad-Daruquthni]
Hadis ini berkualitas sahih, namun sayangnya bukan hadis marfu‟
(bersumber dari Nabi saw), melainkan mauquf (perkataan Abu Hurairah),
sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Dalam manhaj yang dipegangi Majelis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, terdapat kaedah:
Artinya: “Hadis mauquf murni tidak bisa dijadikan hujjah.”
Selain itu, isi hadis di atas memang tidak menerangkan perintah
mencuci bejana bekas jilatan kucing sebanyak tujuh kali dan perintah
menggunakan tanah, sehingga tanpa adanya keterangan dari Abu Hurairah
pun kita pasti mencuci bejana atau barang kita yang terkena jilatan hewan
apa saja.
b. Kami tidak menemukan dalil lain yang menerangkan tentang keharusan
mencuci bejana dengan tanah dan sebanyak tujuh kali dari hewan selain
anjing. Sehingga di sini berlakulah kaedah fikih bahwa sepanjang tidak ada
dalil atau keterangan khusus, maka kita tidak perlu memberikan perlakuan
khusus terhadap barang atau bejana yang terkena jilatan hewan selain anjing.
Dalam fikih terdapat kaedah:
Artinya: “Segala sesuatu adalah boleh, kecuali yang telah ditunjukkan
keharamannya oleh dalil.”
c. Dalam hadis tersebut Rasulullah saw menggunakan redaksi “idza” yang
dalam bahasa Indonesia berarti “apabila”. Dalam ilmu dilalah al-alfazh ushul
fikih kata idza dimasukkan ke dalam pasal mafhum syarth. Dalam pasal ini
berlaku kaedah bahwa perintah (Arab: al-amr) yang di dalamnya terdapat
kata idza (berarti mensyaratkan sesuatu terjadi lebih dahulu), hanya bisa
dilakukan jika syarat tersebut sudah terpenuhi.
Bunyi kaedah tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya: “Terikatnya sesuatu (larangan atau perintah) dengan suatu syarat
Page 129
menunjukkan bahwa yang disyaratkan tidak perlu dilakukan jika syaratnya
tidak ada.” (Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Wahbah az-Zuhaili, 351)
Dalam hal ini, yang menjadi syarat terjadinya pencucian dengan tanah
dalam hadis tersebut adalah adanya jilatan yang dilakukan oleh anjing, dan
yang menjadi konsekwensi (al-masyrut) adalah mencucinya dengan air yang
pada salah satunya dicampur dengan tanah. Dengan menggunakan kaedah ini
kita bisa menarik kesimpulan, jika bukan anjing yang menjilati bejana berarti
tidak ada keharusan mensucikan bejana dengan cara demikian.
Oleh karena itu, jika bejana saudara terkena jilatan binatang lain,
tidaklah wajib dilakukan penanganan yang serupa seperti ketika terkena
jilatan anjing.
2. Berdasarkan penelitian kami, hadis-hadis tentang perintah mencuci
bejana dari jilatan anjing bisa diklasifikasikan ke dalam empat kategori.
Kategori pertama adalah hadis-hadis yang mencantumkan perintah
mencuci bejana sebanyak tujuh kali, tanpa diiringi perintah menggunakan
tanah pada salah satunya. Hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing minum dari bejana
salah seorang di antara kamu sekalian, hendaklah ia mencucinya sebanyak
tujuh kali.” [HR. al-Bukhari dan Muslim dengan lafal milik al-Bukhari]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: Apabila anjing minum dari bejana salah seorang di antara kamu
sekalian, hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali.” [HR. Malik]
Page 130
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw
bersabda: Sucinya bejana salah seorang di antara kamu sekalian jika dijilati
anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali.” [HR. Muslim]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw
bersaba: Apabila anjing menjilati bejana salah seorang di antara kamu
sekalian, maka siramlah dengan air dan cucilah sebanyak tujuh kali.” [HR.
Muslim]
5.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda:
Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah sebanyak tujuh kali.” [HR.
Ahmad]
Kategori kedua adalah hadis yang di dalamnya terdapat redaksi
perintah mencuci sebanyak tujuh kali dengan salah satunya menggunakan
tanah. Hadisnya adalah sebagai berikut:
1.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw
bersabda: Bersihnya bejana salah seorang dari kamu sekalian apabila
dijilati oleh anjing adalah dengan ia mencucinya sebanyak tujuh kali, salah
satu (cuciannya) menggunakan tanah.” [HR. Muslim]
Page 131
2.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: Apabila anjing menjilati bejana cucilah sebanyak tujuh kali,
cucian ke tujuh dengan tanah.” [HR Abu Dawud]
Kategori ketiga adalah hadis yang di dalamnya terdapat perintah
mencuci bejana sebanyak delapan kali, cucian yang terakhir menggunakan
tanah. Hadisnya adalah sebagai berikut:
1.
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mughaffal, Rasulullah saw bersabda:
Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah sebanyak tujuh kali, dan
gunakanlah tanah di cucian ke delapan.” [HR. Muslim]
Kategori keempat adalah hadis yang perintah mencuci bejana kurang
dari tujuh kali dan tidak menggunakan tanah. Hadis tersebut adalah:
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: Bejana dicuci dari jilatan anjing sebanyak tiga kali atau lima kali
atau tujuh kali.” [HR. ad-Daruquthni]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Apabila anjing
menjilati bejana, maka tumpahkanlah, kemudian cucilah sebanyak tiga
kali.” [HR. ad-Daruquthni]
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, bisa disimpulkan bahwa telah terjadi
ta‟arudh (kontradiksi) antar informasi yang disajikan oleh masing-masing
Page 132
hadis. Berdasarkan penelitian kami terhadap kualitas hadis-hadis di atas,
hanya hadis-hadis dalam kategori keempat-lah yang mendapatkan “sorotan”
dari para ulama (misal, Ibnu Adi dalam kitab al-Kamil, Albani dalam kitab
al-Silsilah al-Dhaifah, vol. 3, hal. 36). Namun, Ibnu Daqiq al-Id, seperti
dikutip al-Aini dalam kitabnya Syarh Sunan Abi Dawud mensahihkan hadis-
hadis tersebut (vol. 1, hal. 274).
Kemungkinan dari penyebab ketumpangtindihan hadis-hadis ada dua,
yaitu; Pertama, telah terjadi kelupaan dari sisi sahabat Abu Hurairah ketika
meriwayatkan hadis (sebab hampir kesemua hadis tersebut diwayatkan oleh
beliau (Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadzi, vol. 1, hal. 257). Kedua,
Rasulullah saw mengucapkan keterangan yang berbeda-berbeda, yang berarti
tidak ada bilangan tertentu yang diwajibkan, sehingga orang bisa saja
memilih mana bilangan yang ia mau.
Banyaknya dan tumpangtindihnya hadis-hadis di atas, telah
menyebabkan pendapat para ulama juga menjadi begitu variatif.
Dalam hadis-hadis tersebut, sesungguhnya yang menjadi obyek
perdebatan para ulama adalah dua hal, yaitu tentang “mencuci bejana dengan
tanah (at-tatrib)” dan melakukannya “dengan jumlah tertentu (at-tasbi‟
(tujuh kali), at-tatsmin (delapan kali), at-tatlits (tiga kali))”. Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa tidak wajib mencuci bejana sebanyak tujuh kali dan juga
tidak wajib menggunakan tanah. Mazhab Maliki mewajibkan bilangan tujuh,
tetapi tidak mewajibkan tanah. Adapun Mazhab Syafii mewajibkan mencuci
bejana dengan tanah sebanyak delapan kali (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-
Bari Syarh Shahih al-Bukhari, vol. 1, hal. 279).
Selain disebabkan keterangan hadis yang berbeda-beda, perselisihan
(ikhtilaf) para ulama juga disebabkan karena perbedaan pemahaman; apakah
perintah dalam hadis-hadis tersebut menunjukkan kewajiban (al-wujub)
ataukah sunnah (an-nadb) atau hanya petunjuk keduniawian saja yang sama
sekali tidak terikat dengan nilai ibadah (laisa li at-ta‟abbud), sehingga bisa
ditempuh metode lain dalam mensucikan bejana.
Berdasarkan kajian yang mendalam terhadap hadis-hadis tersebut kami
berpendapat bahwa perbedaan redaksi dalam hadis-hadis tersebut
menunjukkan bahwa mencuci bejana sebanyak jumlah tertentu dan mencuci
dengan menggunakan tanah bukanlah sebuah kewajiban, dan juga bukan
perbuatan yang disunnahkan. Dengan kata lain perintah tersebut tidak
mengandung unsur ta‟abbudiy, melainkan hanya perintah Nabi saw untuk
membersihkan bejana dari jilatan binatang yang mengandung unsur najis (li
at-tanajjus) (Syarh Sunan Abi Dawud, vol. 1, hal. 213).
Page 133
Dalam ilmu Ushul Fikih diatur bahwa untuk mengetahui apakah suatu
perintah dimaksudkan wajib (ibadah) oleh Nabi saw atau tidak, kita harus
melihat konteks perbuatan yang diperintahkan. Jika ada unsur al-qurbah
(mendekatkan diri) pada Allah pada perintah tersebut, berarti ia bernilai
ibadah, dan dengan demikian tidak bisa tidak harus diikuti.
Dalam kasus ini, kita juga bisa menariknya kepada klasifikasi para
ulama ushul fikih terhadap sunnah Nabi saw. Mereka membagi sunnah Nabi
saw ke dalam dua jenis; (a) yang mengandung unsur pensyariatan (sunnah
tasyri‟iyyah) dan, (b) yang tidak mengandung unsur syariat karena terikat
dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana Nabi saw mengeluarkan
sabda tersebut (ghairu tasyri‟iyah). Sunnah jenis pertama bersifat abadi,
tidak lekang (daim) dan berlaku untuk semua ruang dan waktu („am) serta
tidak terpengaruh dengan perubahan zaman. Sedangkan sunnah jenis kedua
adalah sunnah yang bersifat temporal (khas) dan situasional (hal mu‟ayyan).
Kami berpendapat bahwa mencuci bejana sebanyak tujuh kali dengan
salah satunya menggunakan tanah sesungguhnya bukanlah inti (subtansi)
yang ingin Nabi saw sampaikan dalam hadisnya tersebut. Sehingga ia bisa
disebut sebagai wasilah (sarana) saja, bukan sebagai sunnah tasyri‟iyah.
Wasilah sendiri adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman. Di zaman sekarang, kita bisa menggunakan
sabun, deterjen dan sarana-sarana lainnya yang bisa mengantarkan kita
sampai pada maqshad (tujuan inti) dari hadis tersebut, yaitu membersihkan
peralatan dari najis yang menempel padanya.
Di samping itu, secara redaksional, dalam hadis tersebut tidak ada satu
indikasi (qarinah) yang menunjukkan wajib atau sunnahnya perbuatan
mencuci bejana sebanyak tujuh kali yang salah satunya menggunakan tanah.
Kaedah yang bisa kita pegangi dalam hal ini adalah: suatu perintah Nabi saw
terkadang bermakna sebagai suatu petunjuk (al-irsyad), sunnah (an-nadb),
makruh (al-karahiyyah) dan wajib (al-wujub) tergantung dengan indikasi
(qarain) yang terdapat dalam perintah tersebut. Di antara indikasi tersebut
adalah apakah terdapat perintah yang bernada keras (al-tasydid fi al-amr)
atau ada ancaman jika ditinggalkan (al-wa„id fi „adam al-fi‟il) (Yusuf al-
Qaradlawi, as-Sunnah an-Nabawiyyah Masdaran li al-Ma‟rifah wa al-
Hadlarah, hal. 44). Bila hadis tersebut dibaca ulang, tidak ada satupun
qarinah seperti yang disebutkan di atas yang mengindikasikan wajib atau
sunnahnya perbuatan mencuci bejana sebanyak tujuh kali.
Selain itu, sebagai tambahan jawaban adalah dengan menggunakan
prinsip kemudahan (at-taysir). Di zaman sekarang mencari sabun yang
Page 134
bersih lebih mudah dari pada mencari tanah yang bersih. Dan, menurut kami,
barangkali suatu saat dunia yang kita tinggali ini akan memasuki zaman di
mana mencari tanah sangat sulit, karena tanah telah tergusur oleh jalan raya,
bangunan atau gedung-gedung, sehingga untuk mencari tanah, apalagi yang
bersih, seseorang harus melakukan perjalanan yang jauh. Oleh karena itu, di
sini kita menerapkan prinsip kemudahan dalam beragama. Nabi Muhammad
saw bersabda:
Artinya: “Mudahkanlah dan janganlah kamu persulit.” [HR. al-Bukhari]
Kesimpulan dari jawaban kedua kami adalah saudara boleh menggunakan
sabun pembersih sebagai ganti sabun dari tanah untuk mensucikan bejana
yang terkena jilatan anjing. Namun, jika saudara merasa ingin tetap
melakukannya sesuai dengan yang tercantum dalam hadis Nabi Muhammad
saw, karena faktor kecintaan terhadap segala sesuatu yang berasal dari
beliau, maka dalam pandangan kami, saudara termasuk muhsin (orang yang
melakukan kebaikan) dan insya Allah tetap mendapat pahala karena niat
saudara. Demikian jawaban dari kami.
Wallahu a‟lam bish-shawab. M-Rf.
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: [email protected] dan [email protected]
http://www.fatwatarjih.com