BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Syok adalah kurangnya perfusi terhadap jaringan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan massif kebutuhan metabolik (konsumsi oksigen) atau penurunan pasokan metabolik (penghantaran oksigen). Patofisiologi syok bervariasi sesuai dengan etiologinya dan mempunyai gambaran klinis yang berbeda pula. Salah satu etiologi terjadinya syok adalah reaksi anafilaksis. 1 Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik berat yang dapat menyebabkan kematian dan terjadi secara tiba-tiba setelah terpapar oleh alergen maupun pencetus yang lainnya. Anafilaksis melibatkan imunoglobulin E (IgE) diperantarai reaksi hipersensitif yang dihasilkan dalam rilis mediator kimia ampuh dari sel mast dan basofil sehingga berpengaruh pada sistem kardiovaskular, pernapasan, dan gastrointestinal. 1,6 Insiden terjadinya reaksi anafilaksis pada anak di Indonesia khususnya di bali pada tahun 2005 sebanyak 0,02% (2 per 10.000), dan pada tahun 2006 sebanyak 0,04% (4 per 10.000). 7 Sedangkan di Amerika Serikat kejadian anafilaksis pada seluruh populasi yaitu sebesar 0,021% (21 per 100.000) dan 0,002%-nya meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa syok 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok adalah kurangnya perfusi terhadap jaringan akibat tidak terpenuhinya
kebutuhan tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan massif kebutuhan
metabolik (konsumsi oksigen) atau penurunan pasokan metabolik (penghantaran
oksigen). Patofisiologi syok bervariasi sesuai dengan etiologinya dan mempunyai
gambaran klinis yang berbeda pula. Salah satu etiologi terjadinya syok adalah
reaksi anafilaksis.1
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik berat yang dapat
menyebabkan kematian dan terjadi secara tiba-tiba setelah terpapar oleh alergen
maupun pencetus yang lainnya. Anafilaksis melibatkan imunoglobulin E (IgE)
diperantarai reaksi hipersensitif yang dihasilkan dalam rilis mediator kimia ampuh
dari sel mast dan basofil sehingga berpengaruh pada sistem kardiovaskular,
pernapasan, dan gastrointestinal.1,6
Insiden terjadinya reaksi anafilaksis pada anak di Indonesia khususnya di
bali pada tahun 2005 sebanyak 0,02% (2 per 10.000), dan pada tahun 2006
sebanyak 0,04% (4 per 10.000).7 Sedangkan di Amerika Serikat kejadian
anafilaksis pada seluruh populasi yaitu sebesar 0,021% (21 per 100.000) dan
0,002%-nya meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa syok anafilaktik
merupakan keadaan kegawatdaruratan pada anak.2,3,4
Penyebab dari syok anafilaktik bermacam-macam seperti obat-obatan,
makanan, seragga, latex, agen biologis, dan olahraga, sehingga pemberian obat-
obatan dan makanan tertentu perlu diwaspadai utuk mencegah terjadinya syok
anafilaktik. Manifestasi klinis yang muncul pada reaksi anafilaktik dapat terjadi
beberapa detik maupun menit, baik lokal maupun sistemik. Bentuk reaksi ringan
dapat berupa urtikaria dan reaksi berat seperti respirasi distress atau syok. Jika
sudah terjadi respirasi distress dan syok, maka harus ditangani lebih cepat dengan
penatalaksanaan yang tepat dikarenakan anafilaksis merupakan reaksi alergi yang
dapat mengancam jiwa sehingga dapat menurunkan mortalitas.1,6 Oleh karena itu
pentingnya memahami dan mengetahui tentang syok anafilaktik.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan etiologi dari syok anafilaktik ?
2. Bagaimana patofisiologi dari syok anafilaktik ?
3. Apa saja manifestasi klinis yang timbul akibat adari syok anafilaktik ?
4. Bagaimana diagnosis dari syok anafilaktik pada anak ?
5. Bagaimana penatalaksanaan syok anafilaktik pada anak?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi dan etiologi syok anafilaktik.
2. Mengetahui dan memahami patofisiologi syok anafilatik.
3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis serta diagnosis dari syok
anafilaktik pada anak.
4. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan syok anafilaktik pada anak.
1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca khususnya
kalangan medis tentang syok anafilaktik.
2. Sebagai referensi bagi kalangan medis dalam melakukan praktiknya di
lapangan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Syok Anafilaktik
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) tetapi justru merusak jaringan, dengan kata lain
kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).5
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator
kimia seperti sel mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem
kardiovaskuler yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang
menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi nafas, dan sistem
gastrointestinal.1,6
Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi
yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan
kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara
keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi,
seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.1,6,7
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu:
1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen
2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar
dengan alergen
3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan
alergen.1,7
3
2.2 Epidemiologi Syok Anafilaktik
Insiden anafilaksis sangat bervariasi. Di Amerika Serikat disebutkan
bahwa angka kejadian anafilaksis berkisar antara 21 kasus/100.000 penduduk.3
Diperkirakan angka kejadian reaksi anafilaksis di Amerika yang meninggal dunia
sebanyak 1500 per tahun, dan 1300 orang meninggal disebabkan karena obat-
obatan seperti penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian
terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat yaitu sebanyak 0.02% dan yang
lainnya karena penggunaan obat-obatan seperti kontras.2,4 Sementara di Indonesia,
khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus
/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan
prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.7
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan
umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada
orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.6
2.3 Etiologi
Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis
populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat
penyakit atopi. Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan
reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin lama interval
pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan
muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis
dari IgE spesifik seiring waktu.8,9
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan
pemberian adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal. 9
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,
4
obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-
kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-
lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
dapat diberikan parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan
anafilaksis. 10,15
Tabel 2.4 Dosis Klorfenamin 15
Usia Dosis
Dewasa atau >12 tahun 10 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 5 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 2,5 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 250 mikrogram/kg im atau iv pelan
Tabel 2.5 Dosis Steroid 15
Usia Dosis
16
Dewasa atau >12 tahun 200 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 100 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 50 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 25 mg im atau iv pelan
Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis
awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.15
Gambar 2.4 Algoritma penanganan syok anafilaktik 15
5. Resusitasi Jantung Paru
RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan
pernafasan. Untuk itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada
umumnya. 10,15
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik
fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu.
Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis yang belum
stabil penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan
17
fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat
yang menguasai penanganan kasus gawat darurat. 10,15
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat
dipulangkan karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis.
Sebaiknya penderita tetap dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk
keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini sebaiknya penderita
dirawat di Unit Perawatan Intensif. 10,15
6. Pengamatan
Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang
mengalami reaksi anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan
jarang dapat terjadi pada 72 jam akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu
untuk observasi harus didasarkan pada keparahan dari reaksi awal, kecukupan
pengawasan, ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke perawatan medis.
Banyak penulis menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam, namun
waktu pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien.10,15
2.8 Pencegahan Syok Anafilaktik
Memberikan edukasi sifatnya sangat penting, terutama pada pasien muda
dengan anafilaksis terhadap makanan. Edukasi yang utama adalah meghindari
faktor alergen seperti makanan. 10,15
Tabel 2.6 Penyebab anafilaksis pada anak yang tersering 1,2
Makanan Kacang, telur, susu sapi, kerang-kerangan, biji-bijian dan buah-buahan
Zat aditif makanan Zat pewarna makananMedikasi Antibiotik (penisilin dan
sulfonamid), NSAID, aspirin, agen anestesi
Racun Semut merah, himenoptera seperti lebah
Immunoterapi Ekstrak alergenLateksVaksin
18
Infus darahKontras radiografikIdiopatik
Pertama-tama, menemukan alergen adalah yang terpenting. Anamnesis
mengenai riwayat alergi, riwayat adanya alergi pada keluarga dapat membantu
sebagai upaya preventif. Selain itu dapat pula dilakukan tes untuk menemukan
alergen dapat dilakukan dengan tes alergi (skin tes). 10,15
Seluruh pasien setelah mengalami reaksi anafilaksis harus diberikan
edukasi mengenai anafilaksis secara umum dan rencana tindakan darurat
anafilaksis di tempat. Semua pengasuh anak harus memiliki pemahaman yang
baik tentang ini rencana perawatan, termasuk juga fasilitas penitipan anak dan
sekolah. 10,15
Gambar 2.5 Epipen, epinefrin autoinjektor 10
Peresepan epinefrin autoinjector juga merupakan upaya preventif
terjadinya reaksi anafilaksis lagi dikemudian hari. Orang tua dan pasien harus
menerima informasi mengenai indikasi untuk penggunaan autoinjector. Pada
gambar 2.5 terdapat salah satu gambar epinefrin autoinjektor dengan dosis 0,3 mg. 10,15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang
terjadi bila oxygen delivery (DO2) ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia
tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumtion (VO2). Syok anafilaktik
adalah suatu respons hipersensitivitas yang mengancam jiwa yang diperantarai
oleh IgE (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan COP dan tekanan arteri
yang menurun hebat.
19
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Berbagai manifestasi
klinis yang timbul dalam reaksi yang muncul dalam reaksi anafilaktik pada
umumnya disebabkan oleh pelepasan mediator oleh mastosit/basofil baik yang
timbul segera (yang timbul dalam beberapa menit) maupun yang timbul
belakangan (sesudah beberapa jam).
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya
reaksi maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik
atau menit sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24
jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru
menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat.
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik
tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat
darurat serta dilakukan secepat mungkin.
3.2 Saran
Seluruh pasien setelah mengalami reaksi anafilaksis harus diberikan
edukasi mengenai anafilaksis secara umum dan rencana tindakan darurat
anafilaksis di tempat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson, Richard.E, et all.2002.Nelson Text Book of Pediatric.Philadelphia: W.B Saunders Company. Page 797-799.
2. Bohlke K, Davis RL, et al.2004. Epidemiology Of Anaphylaxis Among Children And Adolescents Enrolled In A Health Maintenance Organization. Journal Allergy Clin Immunology. 113(3):536 – 542.
3. Yocum MW, Butterfield JH, et al. 1999.Epidemiology Of Anaphylaxis In Olmsted County: A Population-Based Study.J Allergy Clin Immunol.104(2 Pt 1):452 – 456
4. Neugut AI, Ghatak AT,et all.2001. Anaphylaxis in the United States: an investigation into its epidemiology. Arch Intern Med.161(1):15 – 21.
20
5. Steven E. 2000. The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition. copyright by Houghton Mifflin Company.
7. Mangku, G.2007. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar.Denpasar: FK UNUD.
8. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6
9. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States, An Investigation Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.
10. Johnson RF, Peebles RS. 2011. Anaphylactic Syok: Pathophysiology, Recognition, and Treatment. Medscape. Available from URL: http://www.medscape.com/viewarticle/497498_2 [1 April 2013]
11. Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis. ABC of Allergies; BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445
12. Suryana K. 2003. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar.
13. Rengganis Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jilid I. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, p: 190-193
14. Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publising, Jakarta.
15. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the European academy of allergology and clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71