-
REFERAT
HIPERTENSI PADA KEHAMILAN DAN
PENATALAKSANAANNYA
Oleh :
Iput Syarhil Musthofa G9911112081
Shinta Rizkiasih G9911112130
Pembimbing:
dr. Agung Susanto, Sp. PD
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2013
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hingga saat ini, hipertensi dalam kehamilan masih merupakan
masalah
kesehatan serius di bidang obstetri di seluruh dunia. World
Health Organization
(WHO) memperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal
karena
komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan. Dari
jumlah kematian
maternal, prevalensi paling besar adalah pre-eklampsia dan
eklampsia sebesar
12,9% dari keseluruhan kematian ibu. Insidensi pre eklamsia di
Indonesia sekitar
3 10%, menyebabkan mortalitas maternal sebanyak 39.5% pada tahun
2001, dan
sebanyak 55.56% pada tahun 2002 (Roeshadi, 2004).
Hipertensi gestasional diartikan sebagai setiap onset baru
hipertensi tanpa
komplikasi selama kehamilan bila tidak ada bukti jelas dari
sindrom
preeklampsia. Sedangkan pre eklamsia sendiri merupakan
hipertensi pada
kehamilan yang disertai dengan proteinuria (Cunningham,
2005).
Hipertensi dalam kehamilan terjadi pada wanita yang
sebelumnya
memiliki penyakit hipertensi primer atau dapat juga pada wanita
dengan
hipertensi sekunder kronik, dan pada wanita tanpa riwayat
hipertensi dengan onset
terjadinya hipertensi yang baru muncul setelah setengah masa
kehamilan.
Hipertensi pada kehamilan memiliki resiko baik terhadap ibu dan
juga
janinnya. Pada ibu, hipertensi dapat menjadi pre eklamsia atau
eklamsia yang
mengancam jiwa. Sedangkan pada bayi akan menyebabkan kematian
perinatal,
5% bayi lahir dengan kelainan congenital. Biasanya pada
kehamilan pertama, 8
10% bayi akan lahir premature (kurang dari 34 minggu) sebagai
konsekuensi dari
pre eklamsia, tapi pada wanita dengan pre eklamsia berat, 50%nya
mengalami
kelahiran preterm.
Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama
beberapa
dekade, hipertensi yang dapat menyebabkan atau memperburuk
kehamilan tetap
menjadi masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, preeklamsi
merupakan
suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi
pada kehamilan.
Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan
dan paling
-
2
sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida
biasanya ada
faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus,
obesitas, umur
lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya (Cunningham, 2005).
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam
kehamilan
berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah
efektif pada
sirkulasi uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang
bulan pada kasus-
kasus berat. Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena
sebab sekunder
terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan
pertumbuhan janin
terhambat (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas
perinatal
diakibatkan kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas
maternal diakibatkan
adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan kerusakan end
organ lainnya
(Brooks, 2005).
-
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Klasifikasi
Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi
pada
hipertensi secara umum dengan hipertensi dalam kehamilan.
NHBPEP
(National High Blood Pressure Education Working Group Report on
High
Blood Pressure in Pregnancy) memiliki klasifikasi tersendiri
karena pada
kehamilan, terjadi beberapa perubahan hemodinamik yang
mempengaruhi
tekanan darah.
Tabel 2.1. Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan
Tidak Hamil
Klasifikasi JNC 7 (Tidak Hamil) Klasifikasi NHBPEP (Hamil)
Normal:
TDS 120 mmHg
TDD 80 mmHg
Normal/acceptable pada kehamilan
TDS 140 mmHg
TDD 90 mmHg
Pre Hipertensi:
TDS 120 - 139 mmHg
TDD 80 - 89 mmHg
Hipertensi Stage 1:
TDS 120 mmHg
TDD 80 mmHg
Hipertensi Ringan:
TDS 140 -150 mmHg
TDD 90 - 109 mmHg
Hipertensi Stage 2
TDS 160 - 179 mmHg
TDD 100 - 110 mmHg
Hipertensi Berat
TDS 160 mmHg
TDD 110 mmHg
Hipertensi Stage 3
TDS 180 - 209 mmHg
TDD 110 - 119 mmHg
Hipertensi dalam kehamilan memiliki terminology tersendiri.
Disadur
dari Report on the National High Blood Pressure Education
Program Working
-
4
Group on High Blood Pressure in Pregnancy (AJOG Vol 183 : S1,
July 2000),
hipertensi dalam kehamilan meliputi:
1. Hipertensi Gestasional
Didapatkan tekanan darah 140/90 mmHg untuk pertama kalinya
pada kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria dan tekanan
darah
kembali normal < 12 minggu pasca persalinan.
Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total kehamilan
dan
separuhnya berkembang menjadi preeklamsia dengan
ditemukannya
proteinuri. Diagnosis pasti sering dibuat di belakang, Jika tes
laboratorium
tetap normal dan tekanan darah menurun pasca melahirkan,
maka
diagnosisnya adalah hipertensi gestational (sebelumnya disebut
transcient
hypertension). Wanita dengan hipertensi gestational harus
dianggap
beresiko terjadinya preeklamsia, yang dapat berkembangkan setiap
saat,
termasuk minggu pertama pasca melahirkan. Sekitar 15% hingga
45%
perempuan awalnya didiagnosis dengan hipertensi gestational
akan
mengembangkan preeklamsia, dan kemungkinan lebih besar pada
pasien
yang memiliki riwayat preeklamsia sebelumnya, miscarriage, dan
riwayat
hipertensi kehamilan sebelumnya (Davis et.al, 2007).
2. Preeklamsi
Preeclampsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi klinis
seperti new-onset hypertension pada saat kehamilan (setelah usia
kehamilan
20 minggu, tetapi biasanya mendekati hari perkiraan lahir),
berhubungan
dengan proteinuria: 1+ dipstick atau 300 mg dalam 24 jam urin
tampung.
Sindrom ini terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh kehamilan.
Pengobatan
antihipertensi pada pasien ini bukan ditujukkan untuk
menyembuhkan atau
memulihkan preeklamsia. Preeklamsia dapat berkembangkan secara
tiba-
tiba pada wanita muda, pada wanita yang sebelumnya
normotensive,
sehingga perlu pencegahan gangguan kardiovaskular dan
serebrovaskular
sebagai konsekuensi dari berat dan cepat peningkatan tekanan
darah, hal ini
adalah tujuan utama manajemen klinis yang membutuhkan
kebijaksanaan
penggunaan obat antihipertensi (Levine et.al, 2004).
-
5
3. Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak
dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi
terjadi secara
general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah
melahirkan. Pada
studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara,
serangan
tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan
prenatal
bertambah baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang
dapat
dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa seperempat
serangan
eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum (Cunningham,
2005).
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi
Timbulnya proteinuria 300 mg/ 24 jam pada wanita hamil yang
sudah mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul
setelah
kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi kronik (preexisting hypertention)
Ditemukannya tekanan darah 140/ 90 mmHg, sebelum kehamilan
atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah
12
minggu pasca persalinan. Wanita usia subur dengan hipertensi
esensial stage
I yang tidak memiliki kerusakan organ target dan dalam kondisi
kesehatan
yang baik memiliki prognosis yang baik dalam kehamilan.
Walaupun
terdapat peningkatan resiko terjadi superimposed preeclampsia,
akan tetapi
secara fisiologi akan terjadi penurunan tekanan darah selama
kehamilan dan
penurunan kebutuhan terhadap agen antihipertensi. Capaian
tatalaksananya
adalah mempertahankan tekanan darah pada level yang memiliki
resiko
gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang
minimal
(Abalos et.al, 2007).
Kadang-kadang, wanita dengan hypertensi kehamilan akan tetap
hipertensi setelah melahirkan. Pada pasien ini kemungkinan besar
memiliki
hipertensi kronis yang sudah ada sebelumnya, yang tertutup/tak
tampak di
awal kehamilan oleh karena respon fisiologis dari kehamilan
yakni
vasodilasi. Kejadian hipertensi pada periode pasca melahirkan
dan waktu
maksimum untuk normalisasi tekanan darah belum diketahui.
Pada
-
6
umumnya, hipertensi > 140/90 mm Hg menetap lebih dari 3 bulan
pasca
melahirkan didignosis sebagai hipertensi kronis.
B. DIAGNOSIS
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan
laboratorium
guna memantau perubahan dalam hematologi, ginjal, dan hati yang
dapat
mempengaruhi prognosis pasien dan janinnya. Pemeriksaan
laboratorium yang
dianjurkan untuk memantau pasien hipertensi dalam kehamilan
adalah
hemoglobin dan hematokrit untuk memantau hemokonsentrasi
yang
mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Pemeriksaan enzim
AST, ALT,
dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk
mengetahui
adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein urin 24 jam.
Kreatinin serum
diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal, yang umumnya pada
kehamilan
kreatinin serum menurun. Asam urat perlu diperiksa karena
kenaikan asam urat
biasanya dipakai sebagai tanda beratnya pre eklampsia.
Pemeriksaan EKG
diperlukan pada hipertensi kronik. Seperti juga pada kehamilan
tanpa
hipertensi, perlu pula dilakukan pemeriksaan gula darah dan
kultur urin
(Suhardjono, 2007).
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah
ditemukannya
peningkatan tekanan darah pada pemeriksaan vital sign. Standar
pengukuran
tekanan darah adalah sebagai berikut. Tekanan darah sebaiknya
diukur pada
posisi duduk dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya
penekanan vena kava
inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat
mengganggu
pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah.
Sebelum
pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10
menit (Gipson
dan Carson, 2009).
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu
beristirahat
140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan
untuk
menentukan tekanan darah diastolik. Dahulu telah dianjurkan agar
peningkatan
tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg
digunakan
sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat
diukur di bawah
-
7
140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi
dianjurkan karena bukti
menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan
untuk
mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai
tambahan,
tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan
dan tekanan
diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi
kadang-kadang naik
sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria
diagnostik karena
hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang
normotensi. Oedem
dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka,
dan tungkai.
Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien
preeklamsi maupun
eklamsi (Brooks, 2005).
Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi dari
The
Associety of Obstetrician and Gynaecologists of Canada (JOGC Vol
30
number 3, March 2008) adalah: 1. Pemeriksaan tekanan darah harus
dilakukan
di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan primer, 2.
Hipertensi dalam
kehamilan didefinisikan sebagai tekanan diastolic >90 mmHg,
didapatkan pada
minimal 2 kali pemeriksaan pada lengan yang sama, 3.Wanita
dengan sistolik
>140mmHg harus dipantau untuk mengawasi adanya perkembangan
kea rah
hipertensi diastolic, 4. Hipertensi berat, didefinisikan sebagai
tekanan darah
sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolic 110mHg,5. Untuk
hipertensi
tidak berat, pemeriksaan tekanan darah serial harus dicatat
sebelum
menegakkan diagnosis hipertensi, 6. Pada hipertensi berat,
konfirmasi
pemeriksaan ulang dilakukan setelah 15 menit
1. Hipertensi Gestasional
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
Tidak ada proteinuria.
TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya
nyeri
epigastrium atau trombositopenia (Cunningham, 2005).
-
8
2. Pre Eklamsia dan Eklamsia
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
TD 160/110 mmHg.
Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui
sudah
meningkat.
Trombosit
-
9
Pada preeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat tekanan
darah
yang tinggi sehingga terjadi kejang. Kejang terjadi tanpa adanya
riwayat
epilepsy dan bukan merupakan proses intracranial. Keadaan ini
dikenal
sebagai keadaan eklamsia.
Tabel 2.2. Gejala berat hipertensi dalam kehamilan (Cunningham,
2005)
Abnormalitas < 100 mmHg 110 mmHg
Tekanan darah
diastolik
Trace - 1+ Persisten 2+
Proteinuria Tidak ada Ada
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut
bagian atas
Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan
enzim hati
Minimal Nyata
Hambatan
pertumbuhan
janin
Tidak ada Nyata
Oedem paru Tidak ada Ada
3. Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang
belum
ada sebelum kehamilan 20 minggu.
Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau
jumlah
trombosit
-
10
4. Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila
:
Hipertensi ( 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
Hipertensi ( 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali
bila
ada penyakit trofoblastik.
Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi
wanita
hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan.
Pada
beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan
usia 20
minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang
meningkat
sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda
awal
terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan
dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi
esensial
merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90% wanita
hamil.
Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya.
Pada beberapa
wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit
parenkim
ginjal yang mendasari.Seperti:
1. Obesitas
2. Hipertensi esensial
3. Kelainan arterial :
Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
4. Gangguan-gangguan endokrin :
Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
5. Glomerulonephritis (akut dan kronis)
6. Hipertensi renoprival :
Glomerulonephritis kronis
Ketidakcukupan ginjal kronis
-
11
Diabetic nephropathy
7. Penyakit jaringan konektif :
Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
8. Penyakit ginjal polikistik
9. Gagal ginjal
Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah
dapat
meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu.
Jika
disertai oleh proteinuria, maka preeklamsi yang mendasarinya
dapat
didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini
sering
berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni,
dan hal
ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan
hambatan
dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi
sudah
diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk
menggolongkan
preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut
(Cunningham, 2005).
C. PENATALAKSANAAN
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk
menentukan
kondisi tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat
ditentukan beratnya,
sebab sekunder yang mungkin, kerusakan target organ, dan rencana
strategis
penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita hipertensi
yang
merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya
faeokromositoma
karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila
keadaan ini
tidak terdiagnosa pada ante partum.
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering
pada
akhir trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil
dengan
tekanan darah yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah
sakit
sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya hipertensi. Wanita
hamil dengan
hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan dapat
dilakukan
-
12
terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan
dapat
menjalani rawat jalan.
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan
kehamilan,
penting diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi
yang telah
diketahui aman digunakan selama kehamilan, seperti metildopa
atau beta
bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum
terjadinya
konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan
hipertensi berat, terutama apabila terdapat hipertensi yang
persisten atau
bertambah berat atau munculnya proteinuria. Evaluasi secara
sistematis
meliputi :
Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala
klinis seperti
sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan
berat
badan secara cepat.
Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap
hari
setelahnya.
Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2
hari.
Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam
kecuali saat
pertengahan tengah malam dengan pagi hari.
Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum
enzim hati,
frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara
klinis dan
dengan menggunakan ultrasonografi (Brooks, 2004).
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas
sehari-harinya
yang berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu
pula dengan
pemberian sedatif. Diet harus mengandung protein dan kalori
dalam jumlah
yang cukup. Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak
berlebihan
(Cunningham, 2005).
-
13
1. Pengobatan Hipertensi Kronis
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah
untuk
komplikasi kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani
terapi
perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi
farmakologis
meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan
darah biasanya
menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah di
kontrol
dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan
aerobik ringan
harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran
darah
plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia.
Walaupun
data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang
merekomendasikan
restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan
rokok
harus dihentikan (Gibson dan Carson, 2007).
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi
sebelum
kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya
terhadap janin
dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol.
Metil dopa
merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap
menjadi
obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang
baik. Banyak
wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi
diuretik
dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan.
Terapi
diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam
atau disfungsi
diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan
apabila terjadi
preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.
Keputusan untuk
memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis tergantung
dari
beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang
mendasari,
dan potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang
biasanya
dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi
(menginduksi
kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol
dapat
digunakan (Cunningham, 2005).
-
14
Tabel 2.3. Pilihan obat pada hipertensi gestasional dan
hipertensi kronis
dalam kehamilan
Obat (resiko FDA) Dosis Keterangan
Agen yang umum
diberikan:
Methyldopa
0.5- 3.0 gram/hari Pilihan obat berdasar NHBEP,
tercatat aman pada trimester awal
Lini kedua
Labetalol 200-1200 mg/hari Dapat dikaitkan dengan fetal
growth restriction
Nifedipin 30-120 mg/hari
dengan preparat
lepas lambat
Dapat menghambat persalinan
dan memiliki efek sinergis dengan
MgSO4 untuk menurunkan
tekanan darah
Hydralazin 20-300 mg/hari
dibagi dalam 2-4
dosis pemberian
Dapat digunakan bersama agen
simpatolitik, dapat menyebabkan
trombositopenia neonates
-Blocker Tergantung pada
agen yang dipilih
Menurunkan tekanan darah
uretroplasenta, menyebabkan
stress hipoksia janin, resiko
growth restriction pada trimester
I-II (atenolol), dosis terlalu tinggi
menyebabkan hipoglikemi
neonates
Hidrochlortiazid 12.5 25 mg/hari Menyebabkan gangguan
elektrolit, dapat digunakan
sebagai kombinasi dengan
metildopa dan vasodilator untuk
mengurangi retensi cairan.
Kontraindikasi ACE-
inhibitor dan ARB
tipe I
Menyebabkan fetal death,
gangguan jantung, fetophaty,
oligohidramnion, growth
restriction, renal agenesis dan
neonatal anuric renal failure
-
15
Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan pada
trimester
pertama. Terapi dengan obat diindikasikan pada hipertensi kronis
tanpa
komplikasi dan saat tekanan diastolic 100mmHg. Tatalaksana
dengan
dosis yang lebih rendah diberikan pada pasien dengan diabetes
mellitus,
gagal ginjal, atau kerusakan organ target.
2. Pilihan obat antihipertensi pada Preeklampsia dan
Eklamsia
Prinsip pengobatan antihipertensi pada pasien dengan
preeklamsia
dan eklamsia adalah untuk mencegah hipertensi meningkat secara
progresif,
mempertahankan tekanan darah pada level yang memiliki resiko
terendah
terhadap gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu
(Abalos
et.al, 2007). Pada keadaan hipertensi yang berat dalam
kehamilan,
didefinisikan sebagai tekanan darah > 160/110mmHg, keadaan
ini
membutuhkan pengobatan karena pada keadaan ini terjadi
peningkatan
resiko terjadinya perdarahaan cerebral, terapi pada keadaan ini
untuk
mencegah kematian ibu. Target pengobatan terhadap kedaruratan
hipertensi
berat dalam kehamilan adalah penurunan tekanan diastolic menjadi
90-
100mmHg.
Tabel 2.4 Pilihan obat dalam control kedaruratan pada Hipertensi
Berat
dalam kehamilan
Obat (resiko FDA) Dosis dan pemberian Keterangan
Labetalol 10-20 mg IV, dilanjutkan
20-80 mg setiap 20-30
menit. Maksimal 300mg,
dengan infuse kecepatan 1-
2mg/menit
Insidensi hipotensi maternal
lebih rendah dan efek
samping, penggunaan
labetalol saat ini
menggantikan hydralazin,
tidak diperbolehkan pada
wanita dengan asma dan
CHF.
Hydralazin 5 mg, IV atau IM,
dilanjutkan 5-10 mb tiap
Merupakan pilihan obat dari
NHBEP, telah lama
-
16
20-40 menit. Evaluasi
tekanan darah setiap 3 jam.
Kecepatan infuse 0.5-
10mg/jam, bila tidak
berhasil diturunkan dengan
20 mg IV atau 30mg IM,
diganti obat lain
diketahui keamanan dan
efikasinya
Nifedipin Hanya direkomendasi
dengan tablet, diberikan 10-
30mg per oral, diulang
setiap 45 menit bila perlu
Lebih disarankan preparat
yang long acting, akan
tetapi pada bidang obstetric
lebih banyak disukai
preparat short acting
Diazoxide 30-50mg IV setiap 5-15
menit
Jarang digunakan,
menyebabkan berhentinya
persalinan, hiperglikemia
Kontraindikasi
relatif nitroprusid
Drip 0.25-5 ug/kgBB/menit Dapat menyebabkan
keracunan sianoda bila
digunakan >4 jam
Pada keadaan hipertensi ensefalopati, perdarahan, atau
eklamsia
membutuhkan terapi antihipertensi parenteral untuk menurunkan
mean
arterial pressure. Wanita dengan preeklamsia,perlu pertimbangan
dalam
memberikan terapi hipertensi berat yang akut. Diberikan dosis
yang lebih
rendah karena pada pasien ini terjadi deplesi volume
intravascular dan
meningkatnya resiko terjadi hipotensi.
3. Pengelolaan hipertensi pasca melahirkan
Pada masa post partum, wanita hamil yang sebelumnya
normotensive mengalami peningkatan tekanan darah, maksimum pada
hari
kelima post partum, dan pada 1 penelitian 12% pasien mencapai
tekanan
diastolik yang melebihi 100 mmHg. Hal ini diduga konsekuensi
dari
ekspansi volume fisiologis dan pergerakan cairan pada periode
post partum.
Periode pemulihan tekanan darah secara alamiah dalam
hipertensi
-
17
gestational dan preeklamsia tidak diketahui. Tidak ada
literature yang pasti
mengenai obat antihipertensi pada periode post partum. Tan dan
de Swiet
(2002) menyarankan bahwa obat-obatan antihipertensi diberikan
jika
tekanan darah sistolik melebihi 150 mmHg atau tekanan darah
diastolic
melebihi 100 mmHg dalam 4 hari pertama periode post partum.
Pilihan
agen antihipertensi pada periode post partum dipengaruhi juga
dengan
keadaan menyusui, tetapi pada umumnya agen yang digunakan
dalam
periode antepartum dilanjutkan hingga post partum (tabel 2.3).
Medikasi
dihentikan ketika tekanan darah berangsur normal. Hal ini dapat
terjadi
dalam hari bahkan hingga beberapa minggu pasca melahirkan
(Beardmore
dan Morris, 2002).
Dalam suatu kasus wanita dengan preeklamsia berat, tampak
beberapa manfaat pemberian diuresik furosemide pada periode
pasca
melahirkan, khususnya untuk pasien dengan hipertensi disertai
gejala edema
paru dan edema perifer.
4. Penggunaan antihipertensi masa menyusui
Belum ada penelitian yang dirancang dengan baik untuk menilai
efek
neonatal dari obat antihipertensi yang dikonsumsi ibu dan
kemudian
dikeluarkan melalui ASI. Pengaruh obat yang ditelan oleh bayi
menyusu
tergantung pada volume yang ditelan, interval antara minum obat
dan
menyusui, oral bioavailability, dan kapasitas bayi untuk
mengekskresi obat.
Neonatus yang terpapar methyldopa saat menyusu masih dalam batas
aman
dan biasanya kemungkinannya kecil (tabel 2.5). Atenolol dan
metoprolol
yang terkonsentrasi di ASI, dapat mencapai konsentrasi yang
memiliki efek
terhadap bayi. Sebaliknya, paparan labetalol dan propranolol
konsentrasinya
rendah. Meskipun konsentrasi diuretik dalam susu rendah dan
dianggap
aman, agen ini dapat secara signifikan mengurangi produksi susu.
Terdapat
laporan bahwa Calsium channel blocker dapat masuk ke dalam air
susu ibu,
akan tetapi tanpa efek samping. Terdapat cukup data yang
memaparkan
keamanan 2 obat dari golongan ACEinhibitor, yakni captopril dan
enalapril;
-
18
konsentrasi captopril adalah 1% dari yang ditemukan dalam darah,
dengan
konsentrasi yang diterima bayi 0.03% dari dosis reguler (Shannon
et.al,
2000). Kadar enalapril tidak signifikan berada di ASI,
berdasarkan
penelitian ini, American Academy of Pediatrics menganggap obat
ini dapat
diterima pada masa menyusui. Saat ini tidak cukup data pada
penelitian
terhadap angiotensin II receptor blocker; variasi kadar obat
dalam ASI
hewan coba sangat tinggi dan sebagai rekomendasi keamanan, obat
jenis ini
tidak diberikan (Tiina dan Phyllis, 2008).
Tabel 2.5. Pengobatan antihipertensi ibu yang dapat digunakan
saat masa
menyusui
Captopril
Diltiazem
Enalapril
Hydralazine
Hydrochlorothiazide
Labetalol
Methyldopa
Verapamil
Minoxidil
Nadolol
Nifedipine
Oxprenolol
Propranolol
Spironolactone
Timolol
Diuretik (furosemid, hidrochlortiazid, dan spironolacton)
dapat
menurunkan produksi ASI. Metroprolol dapat digunakan pada
masa
menyusui meskipun terkonsentrasi dalamASI. Acebutolol dan
atenolol
tidak boleh digunakan.
D. PILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam
kehamilan
adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti
hipertensi lebih
memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak
disukai adalah
metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah
uteroplasental
dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk
pada
-
19
pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan
(Abalos,
2007).
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal.
Seleksi
obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada
antisipasi waktu
persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian,
metil dopa oral
lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti
labetalol oral dan
beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan.
Jika persalinan
sudah akan terjadi, pemberian antihipertensi parenteral lebih
praktis dan
efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan
pada tekanan
darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan
menurunkannya
sampai 95-105 mmHg (Cunningham, 2005).
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi
dalam
kehamilan :
1. Metildopa
Merupakan agonis -adrenergik, dan merupakan satu-satunya
obat anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang
untuk
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer
tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat
ini
menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral
-2
lewat -metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa.
Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat -2 perifer
lewat
efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri,
sering
terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang.
Oleh
karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik
untuk
terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali
sehari dan
ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam
setelah
pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6
jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek
samping yang
sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi
lama (6-12
bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik
dan
merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini (Cunningham,
2005).
-
20
2. Hidralazin
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara
langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan
cardiac
output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi
oleh
baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena
dapat
meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh
hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan
diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik
mencapai
lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap
interval
15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan
darah
diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat
penurunan
perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan
lama kerja
4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi,
dan angina.
Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian
perdarahan
serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95%
kasus
preeklamsi (Cunningham, 2005).
3. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan
penghambat 1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk
oral
maupun intra vena.
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1
dan
non selektif , dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi
akut pada
kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan
labetalol
dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan
tekanan
darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi
hidralazine
menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol
pemberian
adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10
menit,
maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40
mg,
selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis
maksimal
kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol.
Onset
kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja
45
-
21
menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak
mempengaruhi
aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa
labetalol
dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut
NHBPEP,
pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode
pengobatan
(Reynold et.al, 2003).
4. Klonidin
Merupakan agonis -adrenergik lainnya. Terapi biasanya
dimulai
dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara
incremental
0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun
30-60
mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran
darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi
cardiac output
menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek
samping
adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat
menyebabkan
krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali
klonidin.
Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari
klonidin
seperti metil dopa (Reynold, 2003).
5. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor 1-adrenergik.
Obat ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan
kapasitas
pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin
menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung,
curah
jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat
ini
dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi
obat
melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi
menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam
sebuah
penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita
hamil.
Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90
menit
setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian
sebelum
tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada efek
teratogenik.
Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga sering
dikombinasikan dengan beta bloker (Reynold, 2003).
-
22
6. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga
curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan
resistensi
vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot
polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan
perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume
intravaskular,
dimana volume tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi
dibandingkan
dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi
digunakan
untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan
hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap
ibu
dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada
kasus
khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika
seperti
triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan
dapat
meningkatkan risiko defek janin (Reynold, 2003).
7. ACE-inhibitor
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim
yang
mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2
(vasokonstriktor
poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat
ini juga
meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan
menurunkan
inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini
seperti
captopril, enalapril, dam lisinopril (National Heart, Lung, and
Blood
Institute, 2004).
8. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker).
Obat ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS
ke
sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling
di
jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan
penurunan
resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal.
Dosis 10
mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin
merupakan
vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah
utama
hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut
penelitian
-
23
yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa
dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga
dapat
menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak
digunakan
pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal.
Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih
memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan
(Reynold,
2003).
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat
infus
5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata
sebesar
20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara
oral
maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada
wanita
penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian
yang
dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin
secara
intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian
Bolte dan
kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh
NHBPEP
kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin,
labetalol atau
nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi
arteri dan
vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset
kerja 1-
2 menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja
3-5 menit.
Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam
hitungan
menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena
tidak
lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek samping
toksisitas
sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan
pemblok
ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan
tekanan
darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum.
Efek
samping terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin
diberikan
secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi
janin.
Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang (Cunningham,
2005).
-
24
BAB III
SIMPULAN
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of
the
NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu hipertensi
gestasional, preeklamsi,
eklamsi, preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis, dan
hipertensi kronis.
Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu faktor
risiko maternal, faktor risiko medikal maternal, dan faktor
risiko plasental atau
fetal.
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah
invasi
trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi
imunologis antara
jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal pada
perubahan
kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal, faktor
nutrisi, dan pengaruh
genetik.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110
mmHg.
Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan
tekanan
diastolik menjadi 90-100 mmHg.
Penggunaan antihypertensive agen di kehamilan untuk
mengendalikan hipertensi
ringan-sedang atau untuk mengendalikan hipertensi parah
diringkas dalam tabel 2
dan 3. Saat ini, ada sedikit bukti untuk mendukung konsep bahwa
BP kontrol pada
wanita hamil dengan hipertensi kronis akan mencegah terjadinya
berikutnya
Preeklamsia, itu sendiri penyebab untuk hasil yang paling
merugikan pada pasien
ini. Seperti BP jatuh di awal kehamilan, mengurangi atau bahkan
menghentikan
obat dan pemantauan sering mungkin pada wanita dengan hipertensi
ringan atau
sedang. Mengakui keterbatasan dalam terbukti berbasis data dan
lainnya masalah
yang dibahas di atas mengenai usia kehamilan, sebaiknya ambang
batas untuk
pengobatan paling hipertensi hamil 140-150 mm Hg sistolik,
dan/atau 95 hingga
100 mm Hg diastolik untuk mencegah memburuknya hipertensi ibu.
Agen dapat
diterima termasuk methyldopa, labetalol, dan nifedipine dalam
dosis stan-dard.
Penggunaan Atenolol mungkin harus dihindari dalam kehamilan,
karena telah
-
25
dikaitkan dengan sedikit lebih rendah beban kelahiran.
ACE-adalah dan
angiotensin reseptor blocker harus dihindari di semua
trimesters; Ketika diberikan
dalam trimesters kedua dan ketiga, mereka berhubungan dengan
karakteristik
fetopathy, neonatal gagal ginjal, dan kematian, dan dengan
demikian,
kontraindikasi. Data terbaru menunjukkan bahwa mereka seharusnya
juga
dihindari di trimester pertama. Akhirnya, mengendalikan
hipertensi parah telah
belajar di hari meta-anal-ysis, dan ini menunjukkan bahwa
labetalol intravena atau
oral nifedipine adalah sebagai efektif sebagai intravena
hydralazine, dengan efek
samping yang lebih sedikit.
Banyak pertanyaan penelitian yang mengelilingi hipertensi dalam
kehamilan dan
Preeklamsia tetap tak terjawab. Advance-ment pengetahuan klinis
memerlukan
studi yang besar, kolaboratif, dan multicentered. Misalnya,
untuk lebih memahami
perlunya antihypertensive terapi ringan-sedang kronis
hipertensi, sebuah studi
yang dirancang untuk mendeteksi penurunan risiko relatif moderat
(20%) di
Preeklamsia atau pembatasan intrauterine pertumbuhan akan
memerlukan uji coba
secara acak dengan pendaftaran 1000 atau 3000 wanita dengan
hipertensi kronis.
Pengelolaan prasangka hipertensi, kebutuhan untuk
antihypertensive agen, agen
obat tertentu, perbedaan ras, BP tingkat inisiasi terapi, dan
perawatan target semua
tetap harus ditentukan. Current pedoman hanya mengandalkan bukti
dari kecil,
sebagian besar di bawah - powered cobaan dan pendapat ahli.
Akhirnya, studi
obat antihy-pertensive di kehamilan sering mengevaluasi
geografis di-tiveness
obat tanpa memeriksa hasil janin yang terkait dengan harm105;
Studi masa depan
harus mencakup rinci hasil risiko dan manfaat bagi ibu dan bayi.
Sistem
surveilans yang lebih baik untuk rutin memantau
peristiwa-peristiwa buruk dan
jumlah perempuan yang terpapar dengan agen tertentu diperlukan
untuk memandu
kemanjuran pengobatan, memajukan kami pengalaman-tepi drug
safety, dan pada
akhirnya meningkatkan pilihan pengobatan.
-
26
DAFTAR PUSTAKA
Abalos E, Duley L, Steyn D, dan Henderson-Smart D. 2007.
Antihypertensive
drug therapy for mild to moderate hypertension during pregnancy.
http:
//hyper.ahajournals.org/content/51/4/960. (3 Januari 2013)
AJOG. 2000. Working group on high blood pressure in keywords:
eclampsia,
hypertension, preeclampsia, pregnancy, treatment. American
Journal of
Obstetrics and Gynecology. 183(1)
August P. 2009. Management of Hypertension in Pregnancy.
http
://www.uptodate.com/patients/content/topic. (29 Desember
2012)
Beardmore KS dan Morris JM. 2002. Excretion of antihypertensive
medication
into human breast milk: a systematic review. Hypertensi
Pregnancy.
Brooks M. 2005. Pregnancy and Preeclampsia. http :
//www.emedicine.com.
(1 Januari 2013).
Cunningham FG. 2005. Obstetri William Edisi 21. Jakarta:
EGC.
Davis GK, Mackenzie C, Brown MA, Homer CS, Holt J, dan McHugh
Mangos G.
2007. Predicting transformation from gestational
hypertension
preeclampsia in clinical practice: a possible role for 24 hour
ambulat
blood pressure monitoring. Hypertens Pregnancy.
Gibson P dan Carson M. 2009. Hypertension and Pregnancy. http
:
//emedicine.medscape.com/article/261435. (3 Januari 2013)
Levine RJ, Maynard SE, Qian C, Lim KH, England LJ, Yu KF,
Schisterman EF,
Thadhani R, Sachs BP, Epstein FH, Sibai BM, Sukhatme VP, dan
Karumanchi SA. 2004. Circulating angiogenic factors and the risk
of
preeclampsia. N Engl J Med. 350.
National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention,
Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. 2004. The Seventh Report of
the Joint
National Committee. NIH publication.
Purwanto B. 2009. Pathogenesis, Etiology, and Management of
Hypertension and
Nefrotoxic Agents. Disampaikan pada Half Day Simposium:
Renal
Disease Induced by Nefrotoxic Agents. Surakarta
Reynolds C, Mabie W, dan Sibai B. 2003. Hypertensive States of
Pregnancy. In:
Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment,
edisi ke-
9. New York : McGraw-Hill, pp: 338-353
-
27
Roeshadi RH. 2004. Hipertensi dalam Kehamilan. In:Hariadi R.
Ilmu kedokteran
fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran fetomaternal
POGI.
Shannon ME, Malecha SE, dan Cha AJ. Angiotensin converting
enzyme
inhibitors (ACEIs) and angiotensin II receptor blockers (ARBs)
and
lactation: an update. J Hum Lact. 2000.16:152155.
Suhardjono. 2007. Hipertensi pada Kehamilan. In: Sudoyo dkk
(ed). Buku Ajar
Ilmu Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp:
614-15.
Tan LK dan de Swiet M. The management of postpartum
hypertension. Bjog.
2002;109:733736.
Tiina P dan August P. 2008. Update on the Use of
Antihypertensive Drugs in
Pregnancy. http://hyper.ahajournals.org/. (27 Desember 2012)
Yogiantoro M. 2007. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo dkk (ed).
Buku Ajar Ilmu
Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 610-14.