6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Lahan Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami yakni iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich, 1981 dalam Pratama, 2012). Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia pada dan dalam kaitannya dengan lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak dari citra. Lahan juga dapat diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Arsyad dalam Widiastuti, 2012). Menurut Baja (2012), Lahan juga merupakan luasan tertentu dari permukaan yang memiliki ciri tertentu yang mungkin stabil atau terjadi siklus baik di atas atau di bawah luasan tersebut meliputi atmosfir, tanah, geologi, hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, dan dipengaruhi oleh kegiatan manusia (ekonomi, sosial, budaya) di masa lampau dan sekarang, dan selanjutnya mempengaruhi potensi penggunaannya pada masa yang akan datang. Lahan selalu dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam pemanfaatan tanah, sehingga bersifat stabil atau labil tergatung dari sifat-sifat tanah tersebut, siklus yang terjadi di alam dan faktor-faktor lain yang berhubungan (Baja, 2012:61). Dalam perspektif perencanaan tata guna lahan, lahan menurut Dent dan Young dalam Baja (2012:61), didefinisikan sebagai ruang yang terdiri dari seluruh elemen lingkungan fisik sejauh memiliki potensi dan pengaruh terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu, lahan tidak hanya merujuk pada tanah tetapi juga termasuk aktivitas yang berhubungan dengan semua faktor yang relevan dari lingkungan biofisik seperti geologi, bentuk lahan, topografi, vegetasi dan termasuk aktivitas dibawah, pada dan di atas permukaan tanah. Serta faktor yang berkaiatan dengan kegiatan, ekonomi, sosial dan budaya (Baja, 2012:62). Lahan terbangun (built up area) merupakan lahan yang sudah mengalami proses pembangunan atau perkerasan yang terjadi di atas lahan tersebut. Ada juga yang menyebut lahan terbangun sebagai lingkungan terbangun. T. Bartuska dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Lahan
Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan yang diartikan
berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami yakni iklim, geologi, tanah,
topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich, 1981 dalam Pratama, 2012).
Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia pada dan dalam kaitannya dengan
lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak dari citra. Lahan juga dapat
diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan
vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap
penggunaan lahan (Arsyad dalam Widiastuti, 2012).
Menurut Baja (2012), Lahan juga merupakan luasan tertentu dari
permukaan yang memiliki ciri tertentu yang mungkin stabil atau terjadi siklus
baik di atas atau di bawah luasan tersebut meliputi atmosfir, tanah, geologi,
hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, dan dipengaruhi oleh kegiatan manusia
(ekonomi, sosial, budaya) di masa lampau dan sekarang, dan selanjutnya
mempengaruhi potensi penggunaannya pada masa yang akan datang. Lahan selalu
dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam pemanfaatan tanah, sehingga bersifat
stabil atau labil tergatung dari sifat-sifat tanah tersebut, siklus yang terjadi di alam
dan faktor-faktor lain yang berhubungan (Baja, 2012:61).
Dalam perspektif perencanaan tata guna lahan, lahan menurut Dent dan
Young dalam Baja (2012:61), didefinisikan sebagai ruang yang terdiri dari
seluruh elemen lingkungan fisik sejauh memiliki potensi dan pengaruh terhadap
penggunaan lahan. Oleh karena itu, lahan tidak hanya merujuk pada tanah tetapi
juga termasuk aktivitas yang berhubungan dengan semua faktor yang relevan dari
lingkungan biofisik seperti geologi, bentuk lahan, topografi, vegetasi dan
termasuk aktivitas dibawah, pada dan di atas permukaan tanah. Serta faktor yang
berkaiatan dengan kegiatan, ekonomi, sosial dan budaya (Baja, 2012:62).
Lahan terbangun (built up area) merupakan lahan yang sudah mengalami
proses pembangunan atau perkerasan yang terjadi di atas lahan tersebut. Ada juga
yang menyebut lahan terbangun sebagai lingkungan terbangun. T. Bartuska dan
7
G. Young dalam Yuliastuti, (2010) menjelaskan definisi lingkungan terbangun
(built environment) sebagai segala sesuatu yang dibuat, disusun dan dipelihara
oleh manusia untuk memenuhi keperluan manusia untuk menengahi lingkungan
secara keseluruhan dengan hasil yang mempengaruhi konteks lingkungan.
Lingkungan terbangun tersebut meliputi bangunan, fasilitas umum dan sarana
lainnya.
B. Perubahan Penggunaan Lahan
Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan
(land cover). Perbedaannya, istilah penggunaan lahan biasanya meliputi segala
jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam
memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis
kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu.
Menurut Malingreau (1979), penggunaan lahan merupakan campur tangan
manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan
keduanya. Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam perencanaan
wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting
dalam perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan
penggunaan lahan. Penggunaan lahan merupakan proses yang dinamis, berubah
terus menerus, sebagai hasil perubahan pola dan besarnya aktiitas manusia
sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan
masalah yang kompleks (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995).
Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas
terhadp suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan
komersial mapupun industri (Kazaz dalam Peruge, 2013:5). Sementara menurut
Muiz (2009), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses
perubahan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang bersifat permanen mapun
sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan
transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang
berkembang baik untuk tujuan komersil maupun industri. perubahan penggunaan
lahan dan penutupan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan
data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang
8
berbeda. data penginderaan jauh sepert citra satelit, radar, dan foto udara sangat
berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan.
Perubahan fungsi lahan atau pergeseraan fungsi lahan adalah lahan yang
mengalami peralihan pemanfaatan misalnya pertanian yang disebabkan oleh
perubahan pola pemanfaatan lahan, faktor lain yang mempengaruhi adalah sarana
dan prasarana terhadap perkembangan kawasan (Husin dalam Rahayu 2010:16).
Haeruddin dalam Rahayu (2010) mengemukakan masalah lahan di
indonesia yaitu :
1. Terjadinya kemunduran produktivitas yang tidak disertai usaha konversi
lahan.
2. Terjadiya kemunduran produktivitas lahan sebagai akibat penggunaan yang
tidak sesuai kemampuan.
3. Terdesaknya lahan pertania yang relatif subur oleh jenis penggunaan lahan
non pertanian di daerah perkotaan.
Perubahan penggunaan lahan yang cepat merupakan kenyataan banyak
tempat di indonesia. sebagai perubahan penggunaan lahan yang optimum yang
diharapkan karena menuju kepada penggunaan lahan yang berkesinambungan dan
berwawasan lingkungan. sebagian lainnya merupakan perubahan atau penurunan
lahan yang tidak terkendalikan mengarah pada kerusakan lahan (Rahayu
2010:16).
Menurut Silalahi dalam Rahayu (2010:17) dalam usaha untuk mendapatkan
gambaran secara menyeluruh mengenai pola pemanfaatan lahan suatu daerah,
langkah pertama yang harus dilakukan ilaha mengadakan penyederhanaan sebutan
dari jenis-jenis pemanfaatn lahan yang beraneka ragam. misalnya dengan
membuat klasifikasi penggunaan lahan secara sistematis. Sitorus dalam Rahayu,
(2010:17), istilah klasifikasi lahan telah digunakan secara luas dalam berbagai
bidang studi. Oleh karena itu istilah tersebut mempunyai banyak perbedaan dalam
pengertiannya. klasifikasi lahan didefinisikan sebagai pengaturan-pengaturan
satuan lahan kedalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau
kesesuaiannya untuk berbagai penggunaan.
Proses perubahan pola pemanfaatan lahan dapat diikuti atau dilihat dari citra
satelit berbagai tahun. Dengan perbandingan itu dapat dilihat bertambahnya luas
9
daerah permukiman dan berkurangnya lahan pertanian bagitu pula sebaliknya
(Soerwanto dalam Rahayu, 2010:18).
Konversi lahan adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan
pertanian ke non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian.
konversi lahan non pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam
rangka program ekstensifikasi pertanian. konversi lahan pertanian ke non
pertanian mengalami laju yang tinggi untuk keperluan pertumbuhan industri dan
memenuhi kebutuhan permukiman penduduk yang masih relatif tinggi (Sihaloho
dalam Mutmainnah, 2013:14).
Menurut Husin dalam Rahayu (2010:16), Perubahan fungsi lahan atau
pergeseraan fungsi lahan adalah lahan yang mengalami peralihan pemanfaatan
mislanya pertanian yang disebabkan oleh perubahan pola pemenafaatan lahan,
faktor lain yang mempengaruhi adalah sarana dan prasarana terhadap
perkembangan kawasan. Selain itu, Haeruddin dalam Rahayu (2010)
mengemukakan masalah lahan di Indonesia yaitu :
1. Terjadinya kemunduran produktivitas yang tidak disertai usaha konversi
lahan
2. Terjadiya kemunduran produktivitas lahan sebagai akibat penggunaan yang
tidak sesuai kemampuan.
3. Terdesaknya lahan pertanian yang relatif subur oleh jenis penggunaan lahan
non pertanian di daerah perkotaan.
Perubahan penggunaan lahan yang cepat merupakan kenyataan banyak
tempat di indonesia. sebagai perubahan penggunaan lahan yang optimum yang
diharapkan karena menuju kepada penggunaan lahan yang berkesinambungan dan
berwawasan lingkungan. sebagian lainnya merupakan perubahan atau penurunan
lahan yang tidak terkendalikan mengarah pada kerusakan lahan (Rahayu,
2010:16).
Menurut Zulkaidi dalam Rahayu (2010:25), Tahapan dalam suatu proses
perubahan fungsi kawasan terjadi dari fungsi lama ke fungsi baru ialah :
1. Penetrasi, terjadinya penerobosan fungsi baru ke dalam fungsi yang
homogen dan mempengaruhi bentuk-bentuk penggunaan lahan perkotaan.
gejala penetrasi dipengaruhi oleh aksesibilitas dari dan ke daerah sekitar
10
kota utama, kondisi topografi, kondisi hidrigrafi dan rencana tata ruang
wilayah yang berlaku.
2. Invasi, terjadinya serbuan fungsi baru yang lebih besar dari tahap penetrasi
tetapi belum mendominasi fungsi utama, yang pada umumnya terjadi di
pinggiran kota meruapakn penggunaan lahan non urban menjadi
penggunaan lahan urban.
3. Suksesi, terjadinya pergantian sama sekali dari fungsi lama ke fungsi baru.
4. Dominasi, terjadi perubahan proporsi penggunaan lahan yang didominasi
dari penggunaan lama ke penggunaan baru.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perubahan Lahan
Secara umum, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota juga
merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Karena
secara tidak langsung perubahan lahan menjadi salah satu unsur utama dalam
perkembangan suatu kota.
Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan yang
dikemukan oleh beberapa peneliti terdahulu.
1. Menurut Harini dalam Susilo (2013), terdapat enam faktor yang
menentukan perkembangan daerah yang menjadi pemicu terjadinya
konversi lahan yakni ketersediaan fasilitas umum, aksesibilitas, karakteristik
lahan, karakteristik kepemilikan lahan, inisiatif pengembangan perumahan
oleh developer dan kebijakan pemerintah. Selain itu, pertumbuhan
penduduk yang berakibat pada meningkatnya kepadatan juga berdampak
pada meningkatnya kebutuhan lahan akan permukiman.
2. Menurut Hermawan (2012), Faktor yang mendorong perubahan
lahan/konversi lahan yakni aspek ketetanggan lahan, jaringan jalan, hierarki
kota, kemiringan lereng 1-15%. Selain itu, faktor penghambat perubahan
lahan yakni kemiringan lereng >15%, keberadaan hutan lindung, ruang
terbuka dan tubuh air.
3. Wijaya dan Susilo (2013) mengatakan bahwa terdapat dua jenis faktor yang
mempengaruhi perkembangan lahan terbangun yakni faktor pendorong dan
faktor penghambat. Faktor pendorong berupa jarak terhadap pusat kegiatan,
11
jarak terhadap pusat industri, jarak terhadap pusat ekonomi, jarak terhadap
pusat kegiatan, jarak terhadap jalan utama, jarak terhadap jalan non utama
dan jarak terhadap lahan terbangun eksisting. Sedangkan faktor
penghambat berupa kedaan relief (kemiringan lereng).
4. Skole dan Tucker dalam Karsidi (2004), menyatakan bahwa dinamika
perubahan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh faktor manusia seperti
faktor pertumbuhan penduduk (jumlah dan distribusinya) dan pertumbuhan
ekonomi. Selain itu, juga dipengaruhi oleh faktor fisik berupa topografi,
jenis tanah dan iklim.
5. Peruge (2013) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kemiringan
lereng, kawasan industri, keberadaan kawasan permukiman, jaringan jalan,
dan rencana jalan.
6. Barlowe dalam Peruge (2013:6), Dalam menentukan penggunaan lahan
terdapat empat faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu : faktor
fisik lahan, faktor ekonomi dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor
kondisi sosial budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola
penggunaan lahan. Pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan
terhadap masyarakat dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh
sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat
dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap
hasil non pertanian seperti kebutuhan perumahan dan sarana prasarana
wilayah. Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan
material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan.
Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat
dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat
jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu
kehidupan yang lebih baik. Beberapa hal yang diduga sebagai penyebab
proses perubahan penggunaan lahan antara lain :
a) Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di
pedesaan
12
b) Meningkatnya jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah
hingga atas di wilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan
terhadap permukiman.
c) Terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian yang pada
gilirannya akan menggeser kegiatan pertanian/lahan hijau khususnya di
perkotaan.
d) Terjadinya fragmentasi pemilihan lahan menjadi satuan-satuan usaha
dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien.
7. Silalahi dalam Rahayu (2010:33) mengemukakan bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap penggunaan lahan dapat disebutkan secara berurutan
adalah faktor institusi/hukum pertanahan, faktor fisik, faktor ekonomi dan
faktor kependudukan.
8. Barlowe dalam Silalahi (1992) mengemukakan bahwa faktor fisiklah yang
paling berpengaruh terhadap perkembangan penggunaan lahan disamping
faktor ekonomi dan penduduk.
9. Sitorus dalam Rahayu (2010:33) mengemukakan bahwa faktor sosial
ekonomi akan menjadi lebih penting pada saat menentukan penggunaan
lahan optimum. Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi letak lahan dalam
hubungannya dengan pasar, transportasi, permukiman dan aktivitas manusia
lainnya.
Secara Umum, Faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan
perkotaan :
1. Faktor geografis
Menurut Zulkaidi dalam Rahayu (2010), Hidup dan matinya suatu kota
tidak lepas dari faktor ini, karena menyangkut sumber alam dan potensi
yang terdapat dalam lingkungan kota. Faktor geografis yang dimaksud,
karena berada dipersimpangan jalan, menyebabkan kota berkembang
dengan baik.
2. Topografi
Menurut Yunus dalam Rahayu (2010), Salah satu faktor yang
mempengaruhi perkembangan kota yaitu kondisi topografi suatu wilayah.
perkembangan suatu kota cenderung terjadi pada wilayah-wilayah yang
13
datar dan bukan sebaliknya pada wilayah dengan kondisi topografi yang
tidak begitu datar. walaupun demikian, bukan berarti pada wilayah dengan
topografi yang tidak datar tidak terdapat permukiman atau perkembangan
fisik kota lainnya tetapi jika dibandingkan dengan daerah yang bertopografi
datar, perkembangannya tidak signifikan dari waktu ke waktu. Hoyt dalam
teori sektor menyatakan bahwa daerah permukiman yang bernilai sewa
tinggi cenderung berkembang ke arah bagian-bagian dari kota yang terbuka
untuk pengembangan lebih lanjut “open country” dan tidak terdappat
penghalang fisikal baik alami maupun artifisial, stabilitas tanahnya tinggi,
topografinya relatif datar atau mempunyai kemiringan yang kecil, air
tnahnya relatif dangkal, relief mikronya tidak menyulitkan untuk
pembangunan.
3. Faktor Politik (Peraturan Pemerintah)
4. Faktor Fisik
a. Tumbuhnya pusat-pusat kegiatan
Pusat kegiatan baru yang terbentuk di daerah lain akan berkembang dan
meluas dengan pola tata guna tanahnya sendiri, hal ini disebabkan karena
masing-masing daerah kegiatan mempunyai latar belakang lingkungannya
sendiri. Pertumbuhan dasar tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe ini
tidak mengikuti arah jalur transportasi yang ada, tetapi lebih banyak
dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai contoh dengan didirikannya
beberapa pusat kegiatan yang berada di luar kota, seperti pariwisata,
perdagangan dan juga pendidikan sehingga akan menarik penduduk untuk
bertempat tinggal di daerah sekitarnya. Di lingkungan pusat kegiatan yang baru
ini akan timbul susasna perkotaan yang secara administratif mungkin terpish
dengan kota yang ada. Oleh karena itu, jarak atara pusat kegiatan yang baru
dengan daerah perkotaan yang lama bisa jadi tidak terlalu jauh, maka
pertumbuhan selanjutnya adalah pusat yang lama dengan pusat yang baru akan
bergabung menjadi satu (Raldi dalam Rahayu 2010:28).
b. Ketersediaan Fasilitas Dan Infrastruktur
Dalam suatu wilayah keberadaan sarana/fasilitas dan infrastruktur sangatlah
penting bagi masyarakat yang bermukim dan berkegiatan di dalamnya.
14
Keberadaan sarana ini sangat penting oleh karena merupakan tempat
memperoleh barang ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya, begitupun dengan ketersediaan infrastruktur akan
menunjang kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat akan bermukim
dan melakukan kegiatan pada wilayah yang mudah untuk menjangkau sarana-
sarana tersebut yang didukung dengan ketersediaan infrastruktur. Faktor
pelayanan umum merupakan faktor penarik terhadap penduduk dan fungsi-
fungsi kekotaan untuk datang ke arahnya. Semakin banyak jenis dan macam
pelayanan umum yang terkonsentrasi pada suatu wilayah, maka makin besar
daya tariknya terhadap penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan. Contohnya
kampus, rumah sakit, tempat ibadah, tempat rekreasi dan olahraga, bandara dan
sejenisnya (Yunus dalam Rahayu, 2010).
c. Aksesibilitas
Menurut Blunden dan Black (1984) seperti dikutip dalam Tamin (1997:52)
menyatakan bahwa aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem
pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi
yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau
kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain
dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan
transportasi. Selain itu, aksesibilitas juga dapat dinyatakan dengan jarak. Jika
suatu tempat berdekatan dengan tempat lain dikatakan aksesibilitas antara
kedua tempat tersebut tinggi. Sebaliknya, jika kedua tempat itu sangat
berjauhan, aksesibilitas antara keduanya rendah. Jadi, tata guna lahan yang
berbeda pasti mempunyai aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tata
guna lahan tersebut tersebar dalam ruang secara tidak merata (heterogen).
Selain menurut Blunden dan Black, teori tentang aksesibilitas juga
dikemukakan oleh Warpani (1992:62). Menurut Warpani, daya dukung atau
akses adalah tingkat kemudahan berhubungan dari satu tempat ke tempat yang
lain. Apabila dari suatu tempat A orang dapat dengan mudah berhubungan
dan mendatangi tempat B atau sebaliknya, apalagi bila hubungan dapat
dilakukan dengan berbagai cara atau alat penghubung maka dikatakan akses
A – B adalah tinggi. Ada dua tuntutan utama agar tercipta akses yang baik
15
terutama bagi kegiatan angkutan kota yaitu (1) pemakai jalan mudah
bergerak dari satu bagian kota ke bagian lainnya, atau sebaliknya dengan
aman, cepat dan nyaman; (2) dalam mencapai tujuan tidak dialami hambatan
dan di sepanjang lintasan dapat berhenti dengan aman. Akses juga dapat
digunakan sebagai ukuran atau pertanda keadaan perangkutan dalam kota.
Apabila akses baik, maka hubungan antarzona dalam kota dapat berjalan
dengan lancar. Ini mencerminkan keadaan perlalu-lintasan yang baik di kota
yang bersangkutan. Sebaliknya walaupun zone A dan zone B dihubungkan
oleh beberapa jalur jalan, tetapi bila untuk mencapai zone B dari zone A
diperlukan waktu sangat lama, sedangkan jarak dari zone A dengan zone B
dekat maka dapat dikatakan akses dari A ke B dikatakan rendah. Hal ini dapat
terjadi oleh karena lalu lintas antara A dan B terlalu macet atau kondisi
prasarana dan sarana lalu lintas tidak memadai atau karena sebab yang lain.
Faktor transportasi mempunyai peran yang besar terhadap perubahan
pemanfaatan lahan, khususnya pemanfaatan lahan agraris menjadi non agraris
di daerah pinggiran kota. Yang dimaksudkan dengan aksesibiltas dalam hal ini
adalah aksesibiltas fisikal. Aksesibilitas fisikal merupakan tingkat kemudahan
suatu lokasi dapat dijangkau oleh berbagai lokasi yang lain. Pengukuran
aksesibiltas fisikal dapat dilaksanankan dengan menilai prasarana dan sarana
transportasinya. semakin tinggi tingkat aksesibilitasnya, maka semakin kuat
daya tariknya sehingga perkembangan fisikalnya lebih intens bila dibandingkan
dengan daerah lain yang mempunyai pertumbuhan kota yang mengikuti
jaringan transportasi yaitu pola linear. Dalam pola linear jaringan transportasi
merupakan faktor pemicu perkembangan kota bukan hanya berupa prasarana
jalan tetapi juga termasuk sungai, garis pantai dan gunung penghalang (Yunus
dalam Rahayu 2010:30).
5. Faktor Ekonomi
a. Harga Lahan
Menurut Nurmandi dalam Yunus (1999) bahwa lahan ditentukan oleh
aksesibilitas pada jalur transportasi dan fasilitas umum, semakin baik
proksimitas atau kedekatan, semakin tinggi juga nilai jual tanah tersebut.
b. Mata Pencaharian Penduduk
16
Faktor yang mempengaruhi penentuan lokasi permukiman oleh penduduk
yaitu jenis pekerjaan atau mata pencaharian penduduk. Dimana penduduk
cenderung bermukim pada daerah yang berdekatan dengan tempat
kerjanya. Misalnya seorang yang berprofesi sebagai nelayan akan memilih
bermukim di dekat pantai. Seperti pada teori sektor dan teori pusat
kegiatan ganda, orang-orang yang bekerja di sekitar industri akan
bermukim di sekitar lokasi industri sehingga akan terbentuk pola ruang
dimana permukiman para pekerja di sekitar lokasi industri.
6. Faktor Penduduk
Pada faktor penduduk meliputi jumlah penduduk, migrasi, kesehatan
masyarakat dan kultur.
a. Jumlah penduduk, bila penduduk bertambah maka dibutuhkan tempat yang
lebih luas sehingga kota dengan sendirinya akan berkembang.
b. Kesehatan, adanya kemajuan di bidang kesehatan maka segala macam
penyakit dapat diatasi. Hal ini yang menjadi daya tarik orang bermukim di
kota.
c. Kultur, adanya kebudayaan yang maju dengan pendidikan, kesehatan dan
sebagainya dapat menjadi daya tarik untuk bermukim.
Berikut tabel rangkuman faktor yang berpengaruh terhadap perubahan lahan :
Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi peubahan lahan No. Penulis/Sumber Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan 1. Harini (2007) dalam Susilo
(2013) - Ketersediaan Fasilitas Umum. - Aksesibilitas - Karakteristik Lahan - Karakteristik Kepemilikan Lahan - Inisiatif Pengembangan Perumahan Oleh Developer - Kebijakan Pemerintah. Pertumbuhan Penduduk
2. Hermawan (2012) - Faktor Pendorong Berupa Ketetanggan Lahan, Jaringan Jalan, Hierarki Kota, Kemiringan Lereng 1-15%.
- Faktor Penghambat Berupa Kemiringan Lereng >15%, Keberadaan Hutan Lindung, Ruang Terbuka dan Tubuh Air.
3. Wijaya dan Susilo (2013) - Faktor pendorong berupa jarak terhadap pusat kegiatan, jarak terhadap pusat industri, jarak terhadap pusat ekonomi, jarak terhadap pusat kegiatan, jarak terhadap jalan utama, jarak terhadap jalan non utama dan jarak terhadap lahan terbangun eksisting.
- Faktor penghambat berupa kedaan relief (kemiringan lereng). 4. Skole dan Tucker (1993) - Faktor Pertumbuhan Penduduk (Jumlah Dan Distribusinya) Dan
17
No. Penulis/Sumber Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan dalam Karsidi (2004) - Pertumbuhan Ekonomi.
- Faktor Fisik Berupa Topografi, Jenis Tanah Dan Iklim. 5. Peruge (2013) - Keiringan Lereng
- Kawasan Industri - Keberadaan Kawasan Permukiman - Jaringan Jalan - Rencana Jalan
6. Barlowe (1986) dalam Peruge (2013:6)
- Faktor Fisik Lahan - Faktor Ekonomi - Faktor Kelembagaan - Faktor Kondisi Sosial Budaya Masyarakat, Pertumbuhan Penduduk
skala berpengaruh terhadap pemilihan kedetailan klasifikasi, dimana semakin
besar skala yang digunakan maka pengklasifiksian akan semakin detail
(Danoedoro, 1996).
Dalam melakukan interpretasi citra diperlukan sistem klasifikasi lahan. Saat
ini tidak terdapat sistem klasifikasi lahan yang pasti atau yang menjadi standar di
Indonesia. Namun, terdapat beberapa sistem klasifikasi yang sering digunakan
dalam membantu mengklasifikasikan penggunaan lahan. Misalnya sistem
klasifikasi penggunaan lahan menurut USGS dan Anderson. Berikut tabel sistem
klasifikasi penggunaan lahan menurut Anderson dan USGS.
Tabel 5. Klasifikasi lahan menurut Anderson, 1976 :
Sumber: Anderson (1976) dalam Susilo, 2008
Tabel 6. Klasifikasi Lahan menurut USGS Pada level I dan II
Tingkat I Tingkat II 1. Perkotaan atau
lahan terbangun 1. Permukiman 2. Perdagangan dan jasa 3. Industri 4. Transportasi, komunikasi dan umum 5. Kompleks industry dan perdagangan 6. Kekotaan campuran atau lahan bangunan 7. Kekotaan atau lahan bangunan lainnya
2. Lahan pertanian 1. Tanaman semusim dan padang rumput 2. Daerah buah-buahan, bibit, dan tanaman hias
Kelas Penggunaan Lahan dalam penelitian
Kelas Penggunaan Lahan Level I menurut Anderson
Lahan terbangun Urban atau Built-up Land
Lahan Tidak Terbangun
1. Agriculture Land 2. Rangeland 3. Forest Land 4. Water 5. Wetland 6. Barren Land 7. Tundra 8. Perennial Snow
26
Tingkat I Tingkat II 3. Tempat penggembalaan terkurung 4. Lahan pertanian lainnya