-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif0
MAKALAH
PENDEKATAN INTERDISPLINER DALAM STUDI ISLAM:
PENGEMBANGAN PARADIGMA INTEGRATIF-INTERKONEKTIF
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam
Yang Dibimbing Oleh Bapak Dr. Karwadi, M.Ag
Oleh:
Intan Nuyulis Naeni Puspitasari
NIM. 1120411033
KONSENTRASI MANAJEMEN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif1
BAB I
PENDAHULUAN
Keberadaan Islam bukan hanya sebagai agama monodimensi. Islam
bukan hanya
agama yang didasarkan pada intuisi mistis manusia dan terbatas
hanya pada hubungan
antara manusia dengan Tuhan. Ini hanyalah satu dari sekian
banyak dimensi agama
Islam1. Untuk mempelajari aspek multidimensional dari Islam,
metode filosofis niscaya
dipergunakan untuk menemukan sisi-sisi terdalam dari hubungan
manusia dengan
Tuhan dengan segenap pemikiran metafisikanya yang umum dan
bebas.2Dimensi lain
dari agama Islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini.
Untuk mempelajari
dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini
dipergunakan dalam
ilmu manusia.3 Agama (baca: Islam), dengan cara pandang seperti
ini, tidak lagi
berwajah tunggal (single face) melainkan memiliki banyak wajah
(multiface).4
Keragaman dimensi Islam mengindikasikan bahwa memahami Islam
tidak
cukup dengan satu pendekatan atau keilmua tertentu saja, akan
tetapi membutuhkan
banyak pendekatan yang didasarkan pada berbagai disiplin ilmu.
Dengan kata lain,
perlu pengkajian secara interdisipliner yang berparadigma
integratif-interkonektif
dengan menggunakan berbagai perspektif, tidak hanya secara
normatif-teologis. Dalam
hal ini pendekatan-pendekatan keilmuan yang telah dibahas
sebelumnya seperti historis,
filosofis, sosiologi, antropologi, psikologi, filologi,
fenomenologi, hermeneutik, dan
seterusnya sangat diperlukan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam masyarakat luas masih
kuat
beranggapan bahwa agama dan ilmu adalah dua entitas yang tidak
bisa
dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri,
terpisah antara satu dan
lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode
penelitian, kriteria kebenaran,peran yang dimainkan oleh ilmuwan
maupun status teori masing-masing bahkan sampai
1Nasr Hamid Abu Zayd mengelompokkan dimensi ajaran Islam menjadi
tiga wilayah; 1) teks
asli Islam (al-Quran dan Sunnah); 2) pemikiran Islam yang
ditemukan dalam empat pokok cabang, yaitu
hokum, teologi, filsafat, dan tasawuf/mistik; 3) praktek yang
dilakukan kaum muslimin kehidupan dengan
berbagai macam latar belakang sosial2Lihat pengantar Lukman S.
Thahir, Studi Islam Interdisipliner, (Yogyakarta: Qirtas, 2004)
3Mukti Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah
dan M. Rusli Karim (Ed.),
Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara
Wacana 1991), hal. 474M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi
Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural
dan Multireligius, dalam M. Amin Abdullah, dkk. (Ed.), Antologi
Studi Islam Teori dan Metodologi,(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press,
2000), hal. 5
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif2
ke institusi penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak
memperdulikan agama
dan agama tidak memperdulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran
praktik
kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini
dengan berbagai dampak
negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas.
Oleh karenanya,
anggapan yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan
diluruskan.5
Tantangan di era globalisasi menuntut respon tepat dan cepat
dari sistem
pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak
hanya ingin sekedar
survivedi tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat,
tetapi juga berharap
mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran mengenai
pendidikan Islam dan
re-konstruksi system kelembagaan merupakan keniscayaan.
Pemikiran inilah yang
kemudian mendorong adanya gagasan pengembangan IAIN sebagai
pilot project
menjadi UIN yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama
tetapi juga fakultas
umum dengan corak epistemologi dan etika moral keagamaan yang
integralistik.6
Demikianlah, maka pembahasan dalam makalah ini ingin menegaskan
perlunya
pengembangan studi Islam dalam segala aspek kehidupan, dikaji
secara interdisipliner
dengan paradigma integratif-interkonektif, sekaligus ingin
menggambarkan betapa
kajian tentang Islam membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi
aplikasi
metodologi dari disiplin keilmuan lain, utamanya pendekatan
secara humanities dan
social sciences.
5M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,
Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 92-936
M. Amin Adullah, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan
Umum (Upayamempertemukan epistemology Islam dan umum), (Yogyakarta:
UIN SUKA Press, 2003), hal. 7
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif4
Tradisi keilmuan positivisme logis tersebut semakin memperkuat
anggapan
dalam masyarakat bahwa agama dan ilmu adalah merupakan dua
entitas terpisah
dan tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah
sendiri-sendiri,
terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek
formal-material, metode
penelitian, kriteria kebenaran, maupun peran yang dimainkan oleh
ilmuwan.9
Sementara itu di dunia Timur dalam hubungan ini dunia Islam,
pengembangan ilmu agama Islam bersifat normatif-tekstual
terlepas dari
perkembangan iptek seperti ilmu sosial, politik, ekonomi, hukum
dan humaniora
pada umumnya. Akibatnya tidak membawa ke arah kesejahteraan
hidup manusia,
karena pola pikir yang serba bipolar-dikotomis ini menjadikan
manusia terasing
dari nilai-nilai spiritualitas-moralitas, dirinya sendiri,
masyarakat, lingkungan dan
dinamika sosial budaya di sekitarnya. Dengan kata lain, terjadi
proses dehumanisasi
secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan maupun
keagamaan.
Atas dasar realitas perkembangan ilmu dan agama di atas,
akibatnya tidak
membawa ke arah kesejahteraan kehidupan umat manusia. Ilmu-ilmu
positif yang
dikembangkan secara sekuler yang berpaham value free, tidak
membawa kehidupan
manusia ke arah kesejahteraan yang berperadaban dan berkeadilan,
melainkan
dikembangkan demi kepentingan-kepentingan besar, bahkan dalam
praktek
kehidupan global ilmu pengetahuan semakin membawa kepincangan
dalam
kehidupan manusia, karena jauh dari nilai moralitas
religius.10
Oleh karena itu dalam kehidupan pascamodern ini, dikotomi ilmu
dan
agama secara objektif harus diakhiri. Secara objektif kehidupan
manusia di dunia
ini tidak bisa dilepaskan dengan nilai-nilai religius dan
nilai-nilai kebudayaan (yaitu
seluruh hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam kehidupan di
dunia sebagai
khalifatu Allah fi-al-ardh). Manusia dalam menjalankan ibadah
kepada Allahsenantiasa membutuhkan sarana ibadah sebagai hasil
budaya manusia, misalnya
bangunan, rumah ibadah maupun alat atau sarana lainnya. Dalam
kehidupan
bermasyarakat berkembanglah berbagai budaya yang dilandasi
dengan nilai-nilai
agama, seperti pendidikan, upacara-upacara, tradisi, pertanian,
politik, ekonomi,
hukum, dan bidang lainnya.
9M. Amin Abdullah,Islamichal. 93
10
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner,
(Yogyakarta: Paradigma, 2010),hal. 22-23
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif5
3. Hubungan interdisipliner antara ilmu dan agamaBidang keilmuan
secara filosofis landasan fundamental ilmu adalah dasar
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dalam hubungan dengan
agama dasar
filosofis tersebut memiliki perbedaan, karena secara ontologis
agama berhubungan
dengan hakikat hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.
Agama dalam
arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia
dengan
Tuhan, diri sendiri, manusia lain, lingkungan hidup baik fisik,
sosial maupun
budaya secara global.11
Oleh karena itu dalam berbagai kehidupan manusia dapat diteliti
dan
ditemukan nilai-nilai yang berasal dari agama. Misalnya dalam
kehidupan budaya
seperti bangunan, hasil kesenian, pakaian, benda budaya, adat
istiadat, folklore,
sastra, filsafat, bahasa, dan aspek budaya lainnya. Demikian
pula dalam bidang
sosial, ekonomi, hukum, pendidikan dapat diteliti dan ditemukan
nilai-nilai religius
yang berasal dari agama, seperti hukum Islam, politik Islam,
pendidikan Islam,
sistem sosial yang dipengaruhi oleh Islam, kelompok sosial yang
mendasarkan
etika Islam dan fenomena realitas sosial, politik, hukum,
pendidikan yang lainnya.
Berdasarkan realitas tersebut maka dalam suatu penelitian tidak
dibangun
secara antardisiplin, melainkan secara interdisipliner yang pada
gilirannya di
kemudian dapat dikembangkan bidang-bidang kajian keilmuan yang
memiliki
karakteristik interdisipliner. Misalnya suatu objek kajian
budaya yang memiliki
nilai-nilai religius seperti Nyadran, Sekaten, Khitanan,
Pendidikan Islam,
Perkawinan, Hukum waris, dan lain sebagainya tidak mungkin hanya
dikaji dari
sudut pandang tertentu, oleh karena itu harus dikaji secara
interdisipliner yaitu
agama dan bidang ilmu tertentu seperti Islam dan ilmu
kebudayaan, ilmu ekonomi,
ilmu hokum, ilmu sosial politik, dan ilmu filsafat.
4. Objek penelitian agama interdisiplinerKeberadaan Islam
sebagai gejala budaya dan sosial dapat dijadikan sebagai
sasaran penelitian dalam berbagai aspek dan bentuknya, baik
agama Islam sebagai
wahyu maupun produk sejarah. Islam adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.
11Ibid, hal. 23
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif6
Kita percaya bahwa wahyu itu terdiri atas dua macam: wahyu yang
berbentuk al-
Quran dan hadis.12
Persoalan-persoalan di sekitar al-Quran yang dapat dijadikan
sasaran
penelitian itu banyak sekali. Banyak topik yang bisa dikaji baik
studi secara tekstual
maupun kontekstual. Namun satu hal yang patut diperhatikan dalam
studi al-Quran
juga membutuhkan studi interdisipliner. Sebab al-Quran selain
berbicara mengenai
keimanan, ibadah, aturan-aturan, juga berbicara tentang
isyarat-isyarat ilmu
pengetahuan. Maka ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani, dan
semacamnya perlu
dipelajari untuk memahami ayat-ayat al-Quran. Persoalan utamanya
adalah
bagaimana kaitan antara ilmu al-Quran dengan ilmu-ilmu lain,
disinilah dibutuhkan
studi interdisipliner.Sama seperti kajian terhadap al-Quran yang
membutuhkan
studi interdisipliner, dalam hadis pun usaha ini perlu
dilakukan. 13
Selain itu, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk
sejarah.
Seperti adanya konsepKhulafa al-Rasyidin; seluruh bangunan
sejarah Islam klasik,
tengah, dan modern; kitab-kitab kumpulan hadis; kebudayaan Islam
klasik, tengah,
modern, arsitetuk Islam, seni lukis, seni musik, dan bentuk
masjid; sejarah politik,
ekonomi, dan sosial Islam; filsafat Islam, kalam, fikih,
tasawuf, akhlak; demikian
juga naskah-naskah Islam seperti undang-undang Malaka, serat
keagamaan di
berbagai tempat, dan lain-lainnya, kesemuanya itu adalah
merupakan produk
sejarah, sehingga dapat dan perlu dijadikan sasaran
penelitian.14
Seluruh ilmu pengetahuan bidang apapun agar diakui di
kalangan
masyarakat ilmiah harus memiliki syarat-syarat ilmiah, antara
lain adalah memiliki
objek. Objek penelitian dalam ilmu dapat dibedakan atas objek
formal15dan objek
material 16 . Dalam kehidupan manusia praktek kehidupan
keagamaan dalam
keilmuan terdapat empat kluster, yaitu kalam (teologi), fiqh,
tasawuf dan filsafat.Keempat kluster keilmuan Islam tersebut jika
dikelompokkan karakteristiknya dapat
ditemukan dua tipe epistemologis, yaitu bidang kalam (teologi),
dalam penelitian
bersifat monodisipliner yaitu dari ilmu agama. Secara
metodologis bidang ini
12M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek, cet. V (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hal. 1913
Ibid, hal. 2014
Ibid, hal. 2315
Objek yang menyangkut sudut pandang, yaitu dari sudut pandang
apa objek material kajian
ilmu itu dibahas atau dikaji16Objek yang merupakan fokus kajian
dari suatu ilmu pengetahuan tertentu
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif7
memiliki ciri deduktif, karena berupaya untuk menggali makna
berdasarkan wahyu
Allah dan Sunnah, dan kebenarannya bersifat tautologis 17mutlak,
karena wahyu
tidak dapat dijustifikasi berdasarkan rasio.18
Berbeda dengan kluster kalam tersebut, ketiga kluster yaitu
fiqh, tasawuf,
dan filsafat berinterkoneksi dengan kebudayaan manusia. Dalam
model keilmuan
interdisipliner Islam, ilmu-ilmu Islam berintegrasi dengan
ilmu-ilmu yang lainnya,
yaitu budaya, hukum, ekonomi, sosial, psikologi, pendidikan,
filsafat, seni, dan
ilmu lainnya.
Objek material penelitian agama interdisipliner senantiasa
merupakan suatu
integrasi antara agama dan budaya, karena objek material itu
telah merupakan
aspek praksis dalam kehidupan keagamaan manusia, sehingga
senantiasa
berakulturasi dengan budaya manusia dalam arti luas. Dalam
konteks penelitian
interdisipliner seperti ini, jika hanya dilakukan secara
monodisipliner maka secara
epistemologis hasil penelitian tidak akan optimal.
a. Objek formal penelitian agama interdisiplinerPenelitian agama
interdisipliner merupakan langkah untuk mewujudkan
the body of knowledge dari Islam sebagai suatu ilmu. Menurut
Fazlur Rahman
dalam karyanya Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual
Tradition (1982), ditinjau dari filsafat ilmu kiranya sudah
saatnya studi Islam
dapat dikategorikan science dengan cara menerapkan metode
keilmuan pada
Islam misalnya metode ilmu sosial. Sejalan dengan pemikiran
Rahman, Charles
J. Adams tentang pentingnya untuk menerapkan metode ilmu lain
dalam studi
Islam untuk membangun science of religion (ilmu agama).
Pengembangan itu
dilakukan dengan jalan menerapkan metode-metode dan
kaidah-kaidah yang ada
dalam ilmu-ilmu lain terutama sosial-humaniora pada ilmu
agama.
19
Agama Islam dalam realitas kehidupan manusia senantiasa
telah
berintegrasi secara interdisipliner dengan budaya dalam arti
luas, dan secara
rinci unsur-unsurnya meliputi sosial, hukum, ekonomi, filsafat,
pendidikan,
bahasa, seni, dan bidang lainnya. Oleh karena itu dalam
penelitian secara
epistemologis yang relevan untuk dikembangkan dalam penelitian
adalah kajian
17Dalam logika modern, berarti suatu pernyataan yang mesti
benar
18
Kaelan,Metode,,,hal. 40-4119Ibid, hal. 42-44
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif8
berdasarkan objek formal interdisipliner, yaitu antara agama
dengan budaya
yang meliputi sosial, hukum, antropologi, ekonomi, filsafat,
pendidikan, bahasa
dan bidang lainnya serta seni.
b. Objek material penelitian agama interdisiplinerSebagaimana
dibahas sebelumnya, bahwa realitas budaya karya manusia
dalam masyarakat religius, senantiasa merupakan suatu objek
kajian penelitian
yang sifatnya interdisipliner. Jadi seluruh realitas kehidupan
manusia itu
senantiasa merupakan proses integrasi antara nilai-nilai
esensial Islam (core
values) Islam dengan kebudayaan manusia, yang realisasinya
meliputi berbagai
bidang kehidupan.20
Sebagai suatu produk manusia, kebudayaan pada hakikatnya
adalah
merupakan ekspresi eksistensi manusia sebagai makhluk historis.
Maka
kebudayaanpun terwujud sesuai dengan corak dasar keberadaan
manusia. Dari
wujud eksistensinya, manusia adalah kesatuan substansial antara
prinsip material
dan spiritual. Oleh karena dalam ekspresi kebudayaanpun
senantiasa memiliki
hakikat wujud sesuai dengan prinsip tersebut. Maka kedua wujud
eksistensi
tersebut terjelma pula dalam wujud kebudayaan material dan
spiritual.
Menurut Koentjaningrat wujud kebudayaan meliputi tiga hal:
1) Wujud ideal kebudayaan, yaitu sebagai suatu kompleks ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan yang
terkandung
dalam kebudayaan. Wujud ini disebut ideal karena memang sifatnya
yang
abstrak, tidak dapat diindra, hakikatnya hanya dapat dipahami,
dipikirkan,
diketahui, dan dihayati oleh manusia. Namun wujud ide-ide
tersebut dapat
diderivasikan manusia dalam kehidupan yang bersifat praksis.
2)
Wujud kebudayaan yang merupakan suatu sistem sosial, yaitu
merupakansuatu kompleks aktivitas, berupa aktivitas manusia yang
saling berinteraksi,
bersifat kongkret, dapat diamati dengan indera manusia.
3) Wujud kebudayaan fisik, yaitu wujud kebudayaan secara fisik
yang meliputisemua benda, objek fisik hasil karya manusia, misalnya
tempat ibadah,
sarana ibadah, rumah, gedung-gedung, bangunan-bangunan,
prasasti, tugu
peringatan, senjata, dan lain-lain. Kebudayaan fisik tersebut
sebagai suatu
20Ibid, hal. 44-49
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
9
sarana, peralatan dalam komunikasi manusia dalam rangka untuk
mencapai
tujuannya.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut, memang kebudayaan yang
berupa
nilai atau wujud ideal sebagai sumber dari wujud budaya sistem
sosial dan
kebudayaan fisik. Namun dalam proses perkembangan kebudayaan
yang
sesungguhnya terjadi adalah adanya pengaruh timbale balik di
antara ketiga
wujud kebudayaan tersebut.
Berdasarkan hakikat wujud kebudayaan tersebut dalam
hubungannya
dengan penelitian agama interdisipliner, realitas objek
peneitian itu tidak
hanya wahyu Allah yang bersifat metafisis dan merupakan suatu
nilai.
Demikian pula objek penelitian juga tidak pernah hanya merupakan
sistem
sosial dan kebudayaan fisik saja yang realitasnya bersifat
empiris, namun
objek penelitian senantiasa merupakan suatu sintesis antara
nilai-nilai religius,
sistem sosial, dan kebudayaan fisik.
Berdasarkan pembahasan secara ontologis tersebut, maka objek
penelitian agama interdisipliner adalah sebagai berikut:
1) Karya para tokoh agama, tokoh masyarakat maupun para filsuf
Islam, ataufilsuf lain namun mengangkat nilai-nilai Islam. Misalnya
penelitian
tentang karya tokoh agama seperti karya hasil fiqh, ijtihad,
ijma, qiyas,
tafsir. Dapat pula merupakan hasil pemikiran tokoh pemikir Islam
modern.
2) Nilai-nilai Islam yang telah dipraktekkan dalam kehidupan
masyarakatbudaya, sehingga telah menyatu dengan kehidupan
masyarakat tertentu,
baik berupa suatu aturan-aturan yang telah menjadi
perundang-undangan,
tradisi yang merupakan adat-istiadat dalam masyarakat,
sistem
pencaharian/ekonomi yang telah melembaga, sistem pendidikan
yangberkembang, dan sistem sosial lainnya yang telah
berinterkoneksi dengan
nilai-nilai dari Islam.
3) Hasil-hasil budaya-keagamaan fisik yang telah menjadi
kekayaan milikmasyarakat seperti bangunan tempat ibadah,
pendidikan, bangunan
bersejarah, tugu peringatan, prasasti, karya pustaka seperti
kitab kuning,
serat suluk, serat wirid, karya sastra, karya lukis, karya seni,
serta karya
budaya fisik lainnya.
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
10
B. Pengembangan Paradigma Integratif-Interkonektif1. Pengertian
dan implementasinya
Integrasi dan interkoneksi merupakan dua kata berbeda, tapi
mempunyai
maksud dan tujuan sama yaitu menggabungkan dan mengkaitkan dua
persoalan
yang terpisah. Dalam hal ini, mengkaji atau mempelajari tentang
satu bidang
tertentu dengan tetap melihat bidang keilmuan lain itulah
integrasi; sedangkan
melihat kesalingterkaitan dengan berbagai disiplin keilmuan
adalah interkoneksi.21
Kata integrasi di dalam kamus ilmiah popular bermakna
penyatuan,
penggabungan, dan penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Jadi pada
hakikatnya paradigma integrasi-interkoneksi ingin menunjukkan
bahwa
antarberbagai keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki
keterkaitan, karena
memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut
adalah realitas alam
semesta yang sama, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang
dilihat oleh
masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu rasa superior,
ekslusifitas,
pemilahan secara dikotomis terhadap bidang-bidang keilmuan yang
dimaksud hanya
akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun
secara ilmiah-akademis.
Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh
dan
komprehensif, bukannya parsial dan reduktif. Maka dengan
menimbang asumsi ini
seorang ilmuan perlu memiliki paradigma
integrasi-interkoneksi.
Dirkursus ilmu pengetahuan modern, bidang-bidang keilmuan
terpisah
secara tegas dan jelas. Biologi, Fisika, Psikologi, Sosiologi,
Geografi, dan lain
sebagainya. Setiap bidang mewakili dimensi kehidupan tertentu
dan para ilmuwan
dari masing-masing bidang hanya fokus kepada bidang yang
digelutinya. Dengan
kata lain, para ilmuwan ini mereduksi realitas hanya sebatas
bidang yang menjadi
lahannya. Sebenarnya bukan masalah besar, karena kenyataan
realitas hidupmemang multi-dimensi dan multi-aspek. Kiranya
mustahil bagi seseorang untuk
mampu menguasai seluruh bidang keilmuan tersebut secara
mendalam. Dalam
konteks ilmu-ilmu agama pun hal yang sama terjadi, misalnya
bidang hukum
agama, teologi, mistik, dan sebagainya.22
21Rifda Elfiah, Integrasi-Interkoneksi keilmuan ala Abdul Malik
Fadjar, (refleksi wacana dan
konstruk sejarah pemikiran), dalam e-jurnal, hal. 322-32322
M. Amin Abdullah, dkk. Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi (SebuahAntologi), (Yogyakarta: SUKA Press,
2007), hal. vii
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
11
Meskipun sebenarnya kenyataan spesialisasi dan reduksi ini dapat
dikatakan
niscaya karena keterbatasan manusiawi, namun dampak negatif dari
kenyataan tidak
terlalu menyenangkan. Dikotomi ilmu umum-ilmu agama, hegemoni
bidang ilmu
tertentu, superior-inferior feeling dari masing-masing bidang
ilmu, hirarki ilmu
utama-ilmu komplementer, adalah akibat laten yang harus
ditanggung dari
kenyataan spesialisasi di atas. Lebih jauh dampak ini merambah
ke dunia sosial,
pendidikan, politik, dan sebagainya, sehingga tidak jarang
muncul konflik di ranah
sosial maupun politik akibat adanya ekslusifisme dari
masing-masing bidang ilmu.
Sebagai contoh dalam dataran ilmu-ilmu keislaman sering terjadi
takfir
(pengkafiran) antarsesama muslin hanya karena disiplin
keilmuannya berbeda.
Pada akhirnya secara psikologis banyak orang yang mengalami
kegelisahan
luar biasa karena antara dunia yang dia alami, yang
multi-dimensi, dengan keilmuan
yang dia hayati, yang hanya satu dimensi dan yang satu-satunya
dia pahami,
ternyata tidaks sejalan. Orang yang menghayati ilmu fiqih saja
pasti gelisah ketika
berhadapan dengan kenyataan sosial yang berbeda dengan isi
ilmunya. Orang yang
menghayati ilmu ekonomi saja pasti gelisah ketika berhadapan
dengan logika zakat
dan sedekah ala fiqih. Orang yang menghayati ilmu geografi saja
pasti gelisah
dengan adanya ruang baru yang disebut dunia virtual atau dunia
maya.23
Lebih konkrit paradigma integrasi-interkoneksi menghendaki
kajian yang
menggunakan cara pandang dan/atau cara analisis yang menyatu dan
terpadu.
Analisis integratif dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama,
integratif antar
seluruh nashyang terkait dengan masalah yang sedang dikupas atau
dibahas. Kedua,
integratif antara nash dengan ilmu lain yang terkait dengan
masalah yang sedang
dibahas. Integratif jenis yang kedua ini identik dengan
pendekatan interdisipliner.
Secara singkat pendekatan integratif antara nashsama dengan
pendekatan atau salahsatu model dalam tafsir, yang disebut model
tafsir maudhu>i> (tafsir tematik).
24
Lalu, paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi dapat
diimplementasikan
dalam empat level berikut:25
a. Level filosofis, berupa suatu penyadaran eksistensial bahwa
suatu disiplin ilmuselalu bergantung pada disiplin ilmu lain.
23Ibid, hal. viii
24
Khoiruddin Nasution,Pengantar...hal. 23025Rifdah
elfiah,Integrasi,,,hal. 323
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
12
b. Level materi, integrasi-interkoneksi merupakan proses
pengintegrasian nilai-nilai kebenaran universal dan kebenaran
keislaman ke dalam pengajaran.
c. Level metodologi, dilakukan dengan menerapkan metodologi
keilmuan Islampada keilmuan umum, begitu sebaliknya.
d. Level strategi, dilakukan dalam proses
pembelajaran.Implementasi paradigma pada keempat level di atas
dapat dikembangkan
dengan enam model, yaitu:
a. Similarisasi, menyamakan begitu saja konsep-konsep ilmu umum
dengankonsep yang berasal dari ilmu agama (Islam).
b. Paralelisasi, menganggap paralel konsep yang berasal dari
ilmu agama dengankonsep ilmu umum karena kemiripan konotasinya
tanpa menyamakan keduanya.
c. Komplementasi, antara ilmu agama dan ilmu umum saling mengisi
danmemperkuat satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan
eksistensi masing-
masing.
d. Komparasi, membangdingkan kosep/teori ilmu agama mengenai
gejala-gejalayang sama.
e. Induktifikasi, asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmu umum
yang didukungoleh temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara
teoritis ke arah pemikiran
metafisik/ghaib, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip
ilmu agama
mengenai hal tersebut.
f. Verifikasi, mengungkapkan hasil-hasil penelitian imiah dari
ilmu umum yangmenunjang dan membuktikan kebenaran-kebenaran ilmu
agama.
Selain itu ada tiga model kajian lagi dalam implementasi
integrasi-
interkoneksi, yaitu:
a.
Informatif, hal ini berarti disiplin ilmu perlu diperkaya dengan
informasi yangdimiliki oleh disiplin ilmu lain.
b. Konfirmatif, suatu disiplin ilmu tertentu perlu untuk
membangun teori yangkokoh perlu memperoleh penegasan dari disiplin
ilmu yang lain.
c. Korektif, suatu teori ilmu tertentu perlu dipertemukan dengan
ilmu agama atausebaliknya, sehingga yang satu dapat mengoreksi yang
lain, dengan demikian
perkembangan disiplin ilmu akan semakin dinamis.
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
14
yang tidak penting, baik ilmu agama maupun ilmu umum, semuanya
memiliki
urgensitas untuk ditelaah dan dipelajari.
3. Ragam Integrasi-interkoneksi: beberapa ilustrasiWacana
tentang integrasi ilmu dan agama telah muncul cukup lama. Meski
tak selalu menggunakan kata integrasi secara eksplisit, di
kalangan muslim
gagasan perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dan wahyu,
telah cukup
lama beredar. Dalam konteks Indonesia, secara lebih khusus ini
tampak dalam
wacana mengenai transformasi dari IAIN/STAIN menjadi UIN, dan
karenanya
istilah yang digunakan adalah reintegrasi.
Dalam konteks Kristen kontemporer, pendekatan integrasi
dipopulerkan
Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi
hubungan sains-
agama dengan integrasi. Empat pandangan dalam tipologi yang
dibuat Barbour
meliputi konflik, independensi, dialog, dan integrasi. 27
Agaknya Barbour lebih
bersimpati pada dua pandangan terakhir, khusunya integrasi.
Lebih khusus lagi
integrasi Barbour adalah integrasi teologis. Teori-teori ilmiah
mutakhir dicari
implikasi teologisnya, lalu teologi baru dibangun dengan juga
memperhatikan
teologi tradisional sebagai salah satu sumbernya. Integrasi ala
Barbour memiliki
makna spesifik bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi
dalam bentuk
theology of nature, yang tujuan utamanya untuk membuktikan
kebenaran-kebenaran
agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah.28
Satu kritik yang kerap diajukan pada pendekatan ini, misalnya
oleh Huston
Smith dan Seyyed Hossein Nasr adalah bahwa disini teologi tampak
seperti
ditaklukan oleh sains; teologi diubah demi mempertimbangkan
hasil-hasil
pengkajian sains. Menurut Smith dan Nasr, yang keduanya adalah
pendukung
filsafat perenial, sebaliknyalah yang harus terjadi:
teologi-tepatnya tradisi- menjaditolok ukur teori-teori
ilmiah.29
Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Barbour diajukan
oleh John F.
Haught, yang membagi pendekatan ilmu dan agama menjadi konflik,
kontras,
27Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi
Islami, Revolusi
Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004 ), hal. 212,
selengkapnya lihat Ian Barbour, When Science
Meet Religion, Harper San Frasisco, 200028
Zainal Abidin Bagir, dkk.Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi
dan Aksi, (Bandung: Mizan,2005), hal. 20-21
29
Tradisi bisa juga disebut filsafat perennial atau scientica
sacra. Bagi pendukung paham ini,kebenaran-kebenaran yang dikandung
tradisi diteguhkan dalam agama-agama besar dunia
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
15
kontak, dan konfirmasi. Disini implikasi teologis teori ilmiah
ditarik ke wilayah
teologis, bukan untuk membuktikan doktrin keagamaan, melainkan
sekedar
menafsirkan temuan ilmiah dalam kerangka makna keagamaan demi
memahami
teologi dengan lebih baik. Dasarnya adalah keyakinan bahwa apa
yang dikatakan
sains mengenai alam punya relevansi dengan pemahaman keagamaan
kita. Intinya
Haught berupaya untuk mengakarkan sains pada pandangan agama
mengenai
realitas.30
Mehdi Golshani juga menjelaskan, seperti juga Haught, sains tak
mau mesti
berasumsi bahwa alam yang menjadi objek kajiannya adalah alam
yang rasional:
teratur dan memiliki hukum-hukum. Pada dirinya sendiri sains tak
dapat
memberikan asumsi ini. Dalam sains sekuler, ini menjadi semacam
iman yang tak
perlu dibuktikan meskipun (mau tak mau) diyakini. Tanpa
keyakinan bahwa ada
hukum yang berlaku secara teratur, tak ada dasar konseptual
pengembangan teori-
teori ilmiah. Di sinilah, menurut Golshani, senada dengan
Haught, agama dapat
menjadi dasar untuk kerja sains. Ia mencoba mengaitkan al-Quran
dengan bahasa-
bahasa kealaman sehingga alam pun (baca: sains) turut serta bisa
mengantarkan
manusia menuju Tuhannya, sebagaimana telah disebutkan dalam
al-Quran kurang
lebih 750 ayat yang menunjukkan fenomena alam dalam ayat
tersebut. Sehingga al-
Quran juga bisa disebut dengangrand theory of science.31
Pada tahun 1970-an hingga pertengahan 1990-an dalam wacana
mutakhir
Islam dan sains, nama-nama yang kerap muncul seperti Syed M.
Naquib al-Attas,
Seyyed Hossein Nasr, Ismail al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar.
Al-Attas menyebut
gagasan awalnya sebagai dewesternisasi ilmu; Ismail al-Faruqi
berbicara tentang
Islamisasi ilmu; sedangkan Sardar tentang penciptaan suatu sains
Islam
kontemporer. Gagasan para pemikir itu tentu berbeda-beda dan
terkadangberseberangan, meskipun kadang secara kurang cermat
dilabeli sama sebagai
Islamisasi ilmu.
Dalam spektrum pandangan mengenai Islam dan sains, sebuah posisi
lain
ditempati oleh pemikir besar muslim seperti Fazlur Rahman, yang
tak menyepakati
gagasan Islamisasi ilmu. Pandangan rahman didasari oleh
keyakinannya bahwa
30Zainal Abidin Bagir, dkk,Integrasi,,,hal. 22-24
31
Hasan Baharun, dkk. Metodologi Studi Islam Percikan Pemikiran
Tokoh dalam MembumikanAgama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
hal. 69
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
16
ilmu kurang lebih bebas nilai. 32 Selanjutnya Kuntowijoyo juga
mengemukakan
perlunya pengilmuan Islam, yang mana orang Islam harus melihat
realitas melalui
Islam, dan eksistensi humaniora dalam al-Quran. Dalam artikelnya
demistifikasi
Islam dikemukakan perlunya Islam sebagai teks (al-Quran dan
as-Sunnah) untuk
dihadapkan pada realitas (sehari-hari dan ilmiah). Dengan kata
lain, dari teks ke
konteks. Dalam ilmu berarti, bahwa gerakan intelektual Islam
harus melangkah ke
arah pengilmuan Islam bukan Islamisasi pengetahuan yang bergerak
dari
konteks ke teks.33
Orang Islam harus meihat realitas melalui Islam, menurut ilmu
budaya dan
sosiologi pengetahuan, realitas itu tidak dilihat secara
langsung oleh orang, tetapi
melalui tabir (kata, konsep, symbol, budaya, persetujuan
masyarakat). Orang
melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang; animals
faith tidak pernah
terjadi pada bangsa manusia. Di daerah Kejawen (dulu) orang
melihat raja melalui
symbol-simbol: mitos Nyi Lara Kidul, upacara labuhan, sastra
babad tanah jawi
(raja adalah keturunan para Nabi dan para Dewa), tata cara
sembah, dan lain-lain.
Demikianlah, sejauh ini beberapa bentuk integrasi yang telah
disinggung.
Tampak bahwa ada beragam model integrasi yang bisa dilakukan.
Perhatian yang
berbeda pada bagian-bagian tertentu ilmu akan memunculkan jenis
integrasi yang
berbeda; demikian pula perhatian pada aspek-aspek agama
(teologi, metafisika,
etika, atau hukum) menunjukkan adanya persoalan yang berbeda.
Tiap-tiap posisi
dibangun atas dasar perhatian pada aspek tertentu ilmu/agama,
dan atas dasar
pandangan yang berbeda mengenai aspek-aspek itu.
4. Ilmu, agama, dan persentuhan keduanyaPertama, mengenai agama.
Agama mencakup banyak hal. Jika kita mau
sistematis, dalam bidang kajian agama (religious studies) ada
banyak cara yang
digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Ninian
Smart
menggunakan analisis pandangan dunia untuk menggali
dimensi-dimensi agama,
yang dipandang sebagai pandangan dunia. Ada enam dimensi
pandangan dunia: (1)
dimensi doktrinal atau filosofis, (2) naratif atau mistis, (3)
etis atau legal, (4) praktis
32Ibid, hal. 25
33
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan
Etika,cet. II (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2007), hal. 1
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif
17
atau ritual, (5) eksperiensial atau emosional, dan (6) dimensi
sosial atau
organisasional. Sedangkan dalam teori ilmu (theory of
knowledge), satu pembagian
yang amat populer untuk memahami ilmu adalah pembagian menjadi
tiga bidang
bahasan: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketika kita
berbicara mengenai
integrasi ilmu dan agama, sebenarnya dimensi manakah yang
menjadi pusat
perhatian kita?34
Antara ilmu dan agama ada perbedaan cukup mendasar yang
perlu
dipertimbangkan, yaitu:35
a.Mind set dasarnya berbeda. Ilmu bersandar pada etos otonomi
pemahaman,sedangkan agama sikap dasarnya adalah percaya dan
kepasrahan pada kehendak
otoritas lain, terutama otoritas Tuhan. Jadi jika dalam dunia
keilmuan
ketidakpercayaan (sebelum terbukti) adalah sebuah keutamaan,
dalam dunia
keagamaan kepercayaanlah keutamaannya.
b. Ilmu relatif terbuka pada pandangan-pandangan baru asalkan
masuk akal danditunjang data faktual yang memadai. Agama
sebaliknya, meski umumnya
diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya untuk memahami
wahyu,
dalam kenyataannya agama cenderung sangat defensif terhadap
pemahaman-
pemahaman baru.
c. Sebenarnya ranah utama wacana agama adalah ranah
misteri-misteri terdalamkehidupan beserta makna-makna pengalaman,
yang sesungguhnya di luar batas
jangkauan ilmu empirik.
d. Bahasa-bahasa agama lebih berupa bahasa mitos, penuh
metafora, ataupunretorika, sementara bahasa ilmu adalah bahasa
faktual, lugas, dan literal.
Meskipun demikian, selain memperhatikan berbagai perbedaan
mendasar
itu, tentu bisa pula kita melihat berbagai kemungkinan korelasi
antar keduanya.Sebelumnya perlu dilihat dahulu persoalan-persoalan
zaman yang dihadapi oleh
ilmu maupun agama.
Ada banyak perkembangan yang terjadi pada zaman abad ke-21
ini,
sehingga memaksa ulang ilmu maupun agama untuk melihat dirinya
kembali secara
34
Zainal Abidin Bagir, dkk,Integrasi,,,hal. 2735Ibid, hal.
41-42
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
18
baru. Dalam wilayah keilmuan misalnya bisa disebutkan berbagai
persoalan
seperti:36
a. Berbagai kritik mendasar terhadap dunia ilmu, terutama dari
sudut filsafat ilmu,telah kian tegas memperihatkan bahwa ilmu
sesungguhnya mengandung
persoalan-persoalan serius, baik pada tingkat asumsi dasar
metodologis maupun
implikasi epistemologis dan ontologisnya.
b. Hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata juga bisa
sanga ambivalen.Di satu pihak ia makin mampu merekayasa realitas
menjadi semakin sesuai
dengan ambisi manusia, dipihak lain efek sampingnya pun bisa
sangat destruktif
dan menimbulkan persoalan etis serius. Seperti adanay rekayasa
biologis telah
mengakibatkan begitu banyak makanan yang kita konsumsi
mengandung zat-zat
beracun,efek dari penggunaan berbagai jenis gas dalam peralatan
mengakibatkan
meningkatnya pemanasan bumi secara tak wajar, dan
sebagainya.
c. Perjalanan ilmu hingga kini ternyata sampai pada
wilayah-wilayah spiritual,entah dalam bentuk Spiritual Quotient
(SQ) dalam psikologi, Quantum Self
dalam fisika baru, ataupun pola yang autopoetik dalam cognitive
science, dan
seterusnya. Sehingga kini wilayah ilmu dimungkinkan untuk
berdialog dengan
khasanah agama, setelah antara keduanya sulit berinteraksi
secara memadai.
d. Dominasi imu pengetahuan dan teknologi kini telah pula
mengakibatkankecenderungan dominannya pola berpikir
instrumental-pragmatis dalam
kenyataan sehari-hari. Bahkan, orientasi itu telah cukup
merasuki lembaga-
lembaga pendidikan saat ini.
Di sisi lain, kehidupan beragama pun mengalami banyak persoalan
seperti:37
a. Tendensi-tendensi destruktif kini banyak bermunculan dalam
kehidupanberagama, entah dalam bentuk eksklusivisme kelompok, sikap
moralitiesberlebihan, konsumerisme symbol yang picik dan dangkal,
ataupun ritualisme
fanatik yang menakutkan.
b. Secara intern agama-agama pun kini mengalami kebingungan
dogmatis akibatmakin suburnya kecenderungan multitafsir.
36
Ibid, hal. 42-4337Ibid, hal. 44
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
19
c. Mentalitas superior (suprematisme) masih demikian kuat
bercokol di kalanganorang beragama sehingga tendensi hendak saling
menaklukkan ataupun merasa
saling terancam masih demikian kukuh.
d.De facto agama terasa tak lagi membawa efek signifikan dalam
memperbaikikehidupan modern sehar-hari. Seringkali hanya menjadi
semacam slogan yang
dirayakan penuh antusiasme, tetapi sebenarnya tak banyak
berkaitan dengan
kehidupan konkret.
Selain menghadapi persoalan-persoalan internnya sebagaimana di
atas, ilmu
dan agama pun mesti menghadapi persoalan global bersama yang
ditandai dengan
permisivisme pasar yang makin mencemaskan (apapun boleh
dijalankan asal secara
ekonomis menguntungkan); ketidakadilan structural pada tingkat
global yang
makin menimbulkan gejolak-gejolak konkret berupa terorisme
ataupun gelagat-
gelagat peperangan; prinsip survival of the fittest yang kian
menguat pada tataran
praktis; dan berbagai kecenderungan penghancuran diri entah
dalam rupa perusakan
ekologis, pengembangbiakan rekayasa genetis yang membawa racun
kimiawi, junk
food, ataupun tendensi bunuh diri.Setelah melihat perbedaan
mendasar antara ilmu dan agama, serta berbagai
persoalan zaman, kini kemungkinan persentuhan keduanya
memungkinkan ilmu
mampu membantu agama merevitaslisasi diri dengan beberapa cara
berikut:38a. Kesadaran kritis dan sikap realistis yang dibentuk
oleh ilmu sangatlah berguna
untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama, bukan untuk
menghancurkan
agama, melainkan menemukan hal-hal yang lebih esensial dari
agama.
b. Kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil kesimpulan yang
dipupukdalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara
kritis segala bentuk
tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan.c.
Lewat temuan-temuan terbarunya, ilmu dapat merangsang agama
untuk
senantiasa tanggap memikirkan ulang keyakinan-keyakinannya
secara baru dan
dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan
pengaratan.
d. Temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun dapat
memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan
idealism-idealismenya
secara konkret, terutama uang menyangkut kemanusiaan umum.
38Ibid, hal. 45-47
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
20
Sebaliknya, agama pun sebetulnya dapat membantu ilmu agar
tetap
manusiawi, dan selalu menyadari persoalan-persoalan konkret yang
mesti
dihadapinya, yaitu:
a. Agama bisa selalu mengingatkan ilmu bahwa ilmu bukanlah
satu-satunya jalanmenuju kebenaran dan makna terdalam kehidupan
manusia, karena dalam dunia
manusia ada realitas pengalaman batin yang membentuk makna dan
nilai.
b. Agama bisa juga selalu mengingatkan ilmu dan teknologi untuk
senantiasamembela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan di atas
kemajuan
pengetahuan itu sendiri.
c. Agama dapat membantu ilmu memperdalam penjelajahan di
wilayah-wilayahkemungkinan-kemungkinan adikodrati atau
supranatural.
d. Agama pun dapat selalu menjaga sikap mental manusia agar
tidak mudahterjerumus ke dalam mentalitas pragmatis-instrumental,
yang menganggap
bahwa sesuatu dianggap bernilai sejauh jelas manfaatnya dan bisa
diperalat
untuk kepentingan kita.
Interaksi antara agama dan ilmu paling realistis dilakukan
sekedar memberi
peluang-peluang yang memungkinkan terjadinya interaksi itu.
Interaksi itu bisa
berupa saling mengkritik ataupun saling mendekonstruksi, tetapi
ini semata-mata
agar ilmu dan agama mampu untuk selalu mentransendensi dirinya
sendiri, dengan
cara mendobrak ketertutupan atau stagnasi masing-masing.
Khususnya dalam perguruan tinggi, itu semua perlu dilakukan
semata-mata
agar para sarjana yang dihasilkannya tidak sekedar
berketerampilan pertukangan
dan berpengetahuan, melainkan manusia-manusia yang lebih peka
tehadap
kompleksitas kehidupan, berkomitmen realistis terhadap
nilai-nilai kemanusiaan
bersama, serta mampu melihat apa yang esensial dan yang tidak
esensial dalamperadaban kita.
Prof. Dr. Noeng Muhadjir juga berupaya bagaimana agar tumbuh
kesatuan
integratif antara ajaran wahyu dan ajaran ilmu. Studi Islam yang
interdisipliner dan
multidisipliner dapat menyatu dengan studi Islam teologik
menjadi studi Islam
transdisipliner. Tiga tonggak utama Islam, yaitu: aqidah,
muamalah, dan akhlak.
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
21
Aqidah perlu menjadi fokus kajian ushuluddin, sedangkan muamalah
menjadi fokus
studi fakultas syariah, dan akhlak setepatnya menjadi fokus
studi tarbiyah.39
Ushuluddin perlu mengembangkan peranannya sebagai
feedingsschool,
sehingga di fakultas ushuluddin perlu diekstensikan ilmunya agar
mampu memberi
acuan aqidah pada ilmu-ilmu humaniora. Soal bayi tabung, soal
bioteknologi, dan
banyak soal lain yang terkait ke pengembangan rekayasa
teknologik, sebagian
berada pada tatanan teknis operasional eksperimental, tetapi ada
pula yang berada
pada tataran moral etik, di mana fakultas syariah perlu mampu
menjadi
feedingsschool bagi semua studi teknologi. Soal moralitas dalam
berekonomi,
berpolitik, dan berilmu sosial lainnya perlu ada bahan acuannya.
Dengan
memfokuskan telaah tarbiyah dengan sentralnya akhlak, diharapkan
fakultas
tarbiyah mampu menjadi feedingsschool semua ilmu sosial. Banyak
ahli
mengidentifikasi bahwa ilmu-ilmu sosial sekarang ini mulai
mencari paradigma
humaniora. Bila demikian, ilmu sosial pada dataran pertamanya
mengacu ke
akhlaqul karimah selanjutnya mengacu ke aqidah.
Dilangkahkan lebih jauh pemikirannya, semua ilmu masa depan
perlu
mengacu pada paradigma humaniora dan secara vertikal mengacu
pada aqidah ke
pemeliharaan keimanan. Dengan paradigma integrasi disiplin ilmu
dengan tiang
utama Islam maka pembekalan interdisipliner di fakultas
ushuluddin, syariah, dan
tarbiyah dengan mengekstensikan pengenalan pokok-pokok materi
perkuliahan
dengan hukum perdata umum, ilmu sosial politik, dan ilmu lainnya
menjadi sangan
urgen. Ajaran Islam jangan ditampilkan sepotong-potong dalam
waris, zakat,
sodaqoh, dan harta rampasan secara terpisah-pisah. Keseluruhan
semangat ajaran
al-Quran dan sunnaturrasul hendaknya melandasi semua studi.
C. Gagasan Konsep Integrasi-Interkoneksi di IndonesiaSebagaimana
Transformasi IAIN menjadi UIN, diantaranya terjadi pada
beberapa UIN di Indonesia seperti UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namun,
dalam
makalah ini akan banyak menyinggung UIN Sunan Kalijaga yang
mengusung
39Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Pendekatan
Positivistik, Rasionalistik,
Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan
Penelitian Agama, edisi III,(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), hal.
182-183
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
22
paradigma keilmuan baru yaitu integrasi interkoneksi. Seluruh
program keilmuan di
bawah payung universitas ini harus mengembangkan keilmuan yang
berparadigma
integratif-interkonektif. Secara pasti, paradigma ini dapat
ditegaskan sebagai
sebuah proses penyatuan antara ilmu dengan agama (Islam). Agama
tidak dapat
dipungkiri mempunyai pengaruh dominan dalam setiap aspek
kemanusiaan
seseorang. Sementara itu, di dalam sumber-sumber ajaran Islam
sebenarnya banyak
potensi-potensi keilmuan yang dapat digali dan selanjutnya
diobjektivikasi menjadi
produk-produk keilmuan (scientific products) yang diakui.40
Selama ini, ilmu-ilmu agama berkembang sebagai entitas tunggal
(single
entity) yang dapat dikatakan mengabaikan entitas keilmuan lain
terutama ilmu-ilmu
sosial dan kealaman. Ajaran-ajaran agama yang ditelorkan oleh
sarjana-sarjana
muslim IAIN lebih banyak hanya berdasarkan teks keagamaan
(scriptural entity,
hadharah an nash) saja dan tidak mempertimbangkan hasil-hasil
penelitian ilmu-
ilmu sosial-humaniora dan kealaman. Ilmu-ilmu sosial humaniora
dan kealaman
bagaimanapun selalu mencoba menjelaskan fenomena-fenomena
individual dan
kemasyarakatan serta fenomena alam yang selalu up to date dan
cukup membumi.
Tanpa sumbangan dari itu semua, ilmu-ilmu agama yang ada
mengukuhkan diri
berada di menara gading dan tidak mencoba arif dengan
perkembangan zaman
sehingga menghasilkan fanatisme dan bahkan nir-toleransi.
Diyakini, bahwa hal
inilah yang seringkali mengakibatkan banyak orang merasa tidak
nyaman dengan
agama formalnya sendiri bahkan konflik intern dan antarumat
beragama. Dalam
sebuah skema bangunan keilmuan yang dikotomistik-atomistik
tersebut
sebagaimana berikut:
Skema keilmuan IAIN: pendekatan dikotomis-atomistik41
Sumber ilmu
pengetahuan
Gugus
paradigmatik
Metodologi
(process &
procedure)
Tipe
argument
Tujuan
pembelajaran
Sifat dasar
keilmuan
Pembidang
an ilmu
Akal (aql) Tajridiyyah(abstraktif)
Bahtsiyyah Demonstratif Idrak al sababwa al musabbab
Silogistik(mantiqiyyah)
Al ilm alhusuly
Wahyu (nash) Lughawiyah
(kalam, word)
Istintajiyyah-
ijtihadiyyah
Jadaliyyah (al
uqul al
mutanafisah)
Muqarabah al
nash al waqi
Justifikatif
repetitif (al
taqlidiyyah)
Al ilm al
taufiqy
Intuisi
(dhamir)
Dzauqiyyah Tajribah
batiniyyah
(experience)
Al-la-
aqliyyah
(preverbal)
Universal
reciprocity
Partisipatif-
intersubyektif
Al ilm
hudhury
40Maya Fitria, review Psikologi Interaksi-Interkoneksi,
Pendahuluan: Sekilas Paradigma
Integrasi-Interkoneksi, dalam Syamsul Anwar, dkk, Keilmuan
Integrasi dan Interkoneksi Bidang Agama
dan Sosial, (Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2007), hal. 369-37041M. Amin Abdullah,Islamic,,,hal. 24
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
23
Selanjutnya untuk meretas jalan baru proyek integrasi
epistemologi
keilmuan era UIN, kemudian terjadi pengembangan wawasan keilmuan
dan
perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan transformatif.
Bukan asal berubah,
ikut-ikutan, atau sekedar proyek fisik. Tapi konversi IAIN ke
UIN adalah
momentum untuk membenahi dan menyembuhkan luka-luka dikotomi
keilmuan
umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan. Hal ini
mengandung
perlunya dialog dan kerja sama antara disiplin ilmu umum dan
agama yang erat di
masa datang. Pendekatan interdisiplinary dikedepankan,
interkoneksitas dan
sensivitas diprioritaskan dan dikembangkan terus menerus. 42
Dalam penyusunan kurikulum, silabi serta mata kuliah dibuat
dengan etos
dan nafas reintegrasi epistemologi, yang mempertimbangkan
keseimbangan antara
tiga bagian wilayah studi keislaman.
Tiga wilayah atau prinsip dasar tersebut adalah:43
a. Hadarah al-nash (penyangga teks bayani), yakni kemajuan ilmu
yangbersumber dari nash (agama). Maksudnya kesediaan untuk
menimbang
kandungan isi teks keagamaan sebagai wujud komitmen
keagamaan/keislaman.
b. Hadarah al-ilm (budaya ilmu), yakni kemajuan ilmu kealaman
dankemasyarakatan. Maksudnya kesediaan untuk
professional-obyektif-
inovatif dalam bidang keilmuan yang digeluti.
c. Hadarah al-falsafah (budaya etik-emansipatoris), yakni
kemajuan ilmuetika dan falsafah. Maksudnya kesediaan untuk
mengaitkan muatan
keilmuan yang didapat dariHadarah al-ilm dan telah berdialog
dengan
Hadarah al-nash dengan tanggungjawab moral etik dalam
praksis
kehidupan riil di tengah masyarakat.
42Ibid, hal. 33
43
M. Amin Abdullah, dkk, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan
Kurikulum UINSunan Kalijaga Yogyakarta, (Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN, 2006), hal. 8
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
25
Melalui integrasi dan interkoneksi, para ilmuwan juga sadar
bahwa setiap
ilmu pengetahuan memiliki karakteristik yang unik dan tidak
selalu bersifat
universal. Setiap ilmu apalagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora
tidak dapat
dilepaskan dari apa yang dikenal dengan lingkaran konsentris
(concentric circle),
pengalaman pribumi atau lokal, pengalaman agama atau budaya dan
pengalaman
relasional. Sintesis dapat terjadi antara etika dan pengetahuan,
agama dan sains, dan
antarabudaya satu dengan yang lainnya. Lingkaran konsentris
tersebut juga sebagai
petunjuk bahwa ilmu itu bersifat tentatif dan akan terus
berproses. Karena itu tidak
boleh adanya pemaksaan-pemaksaan ideologi ilmu tertentu atas
ilmu lainnya.
Pada sisi lain, integrasi dan interkoneksi bukan hanya dalam
kaitannya
dengan antardisiplin sebagaimana dikemukakan sebelumnya, namun
juga
antartradisi, antarbudaya, dan antarperadaban. Buku karangan
Nurcholis Madjid
yang berjudulIslam Kemodernan dan Keindonesiaan dapat dijadikan
contoh model
integrasi dan interkoneksi tersebut. Indonesia sebagai Negara
dan bangsa yang kaya
dan mewarisi banyak tradisi (multiple heritage) dapat dijadikan
modal utama dalam
upaya tersebut. Pada akhirnya, seorang akademisi dan intelektual
Muslim
hendaknya mampu mengintegrasikan atau menginterkoneksikan
antara
intelektualisme dan aktivisme, agar jangan sampai pengetahuan
hanya untuk
pengetahuan, namun juga untuk kemaslahatan umat manusia. Apalah
artinya
integrasi dan interkoneksi kalau hanya menjadi menara
gading.
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif
27
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 2000. Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam
Masyarakat
Multikultural dan Multireligius.Yogyakarta: UIN SUKA Press.
______________. 2000. Mencari Islam Studi Islam dengan Berbagai
Pendekatan.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
______________. 2003. Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan
Umum (Upaya
Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum). Yogyakarta: UIN
SUKA
Press.
______________. 2004. Studi Agama Normativitas atau
Historitas.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
______________. 2007. Re-strukturisasi Metodologi Islamic
Studies Mazhab
Yogyakarta. Yogyakarta: UIN SUKA Press.
______________. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi,
Pendekatan Integratif-
Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Amin, dkk. 2007. Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi
(Sebuah Antologi). Yogyakarta: UIN SUKA Press.
__________________. 2006. Kerangka Dasar Keilmuan dan
Pengembangan
Kurikulum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN.
Abdullah, Taufik dan Karim, Rusli. 1991. Metodologi Penelitian
Agama Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Aliade, Mircea, et al. 2000.Metodologi Studi Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Anwar, Syamsul, dkk. 2007. Keilmuan Integrasi dan Interkoneksi
Bidang Agama dan
Sosial. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Bagir, Zainal Abidin, dkk. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama
Interpretasi dan Aksi.Bandung: Mizan.
Baharun, Hasan, dkk. 2011.Metodologi Studi Islam. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Barboue, Ian G. 2006.Isu dalam Sains dan Agama. Yogyakarta: UIN
SUKA Press.
Elfiah, Rifdah. Integrasi-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik
Fadjar. (Refleksi
wacana dan konstruk sejarah pemikiran), dalam e-Jurnal.
Kaelan. 2010. Metode Penelitian Agama Kualitatif
Interdisipliner. Yogyakarta:
Paradigma.
-
5/25/2018 10. Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma
Integratif-Interk...
http:///reader/full/10-pendekatan-interdisipliner-pengembangan-paradigma-integratif-
28
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu Epistemologi, metodologi,
dan Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mahzar, Arhamedi. 2004. Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan
Paradigma Sains
dan Teknologi Isslami. Bandung: Mizan.
Mudzhar, Atho. 2004. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Muliadi, Erlan. Makalah Epistemologi Keilmuan
Integratif-Interkonektif M. Amin
Abdullah dan Relevansinya bagi Ilmu Pendidikan (Islam).
Muhadjir, Noeng. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif
Pendekatan Positivistik,
Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Methaphisik Telaah
Studi Teks
dan Penelitian Agama. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nasution, Khoiruddin. 2009.Pengantar Studi Islam.Yogyakarta:
ACAdeMIA.
Nata, Abuddin. 2010.Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali
Press.
Roston, Holmes. 2006.Ilmu dan Agama Sebuah Survai Kritis.
Yogyakarta: UIN SUKA
Press.
Thahir, Lukman S. 2004. Studi Islam Interdisipliner. Yogyakarta:
Qirtas.