-
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam
Berbagai Keadaan
367
Bab 1 : Udzur Meninggalkan Shalat
Ikhtishar
A. Udzur Syar'i 1. Wanita Haidh dan Nifas 2. Gila 3. Belum
Baligh 4. Bukan Muslim
B. Udzur Tidak Syar'i 1. Meragukan Sucinya Pakaian 2. Ketiadaan
Air untuk Wudhu' 3. Menjama' Shalat di Rumah 4. Alasan Kebolehan
Mengqadha' Shalat
C. Prinsip Mengerjakan Shalat 1. Mensiasati Waktu Shalat 2.
Shalat Tidak Harus di Masjid 3. Ketentuan dalam Menjama' Shalat 4.
Shalat di atas Kendaraan 5. Ketentuan dalam Qadha' Shalat
Seluruh ulama sepakat bahwa shalat lima waktu hukumnya
wajib dijalankan oleh setiap muslim dalam keadaan apapun. Hal
itu mengingat bahwa shalat lima waktu menjadi batas antara
keislaman dan kekufuran seseorang. Dan shalat lima waktu adalah
perkara yang pertama kali akan ditanya di hari kiamat nanti,
sebelum amal-amal yang lain.
Namun meski pun demikian, tetap saja syariat Islam
-
Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) :
Shalat -3
368
mengakui adanya udzur syar'i yang menimpa seseorang, sehingga
hukum shalat yang asalnya fardhu 'ain berubah menjadi tidak wajib,
bahkan malah terlarang, khusus untuk orang tersebut secara
kasuistik.
Kita mengenal udzur ada dua macam, yaitu udzur syar'i dan udzur
tidak syar'i.
A. Udzur Syar'i
Dengan adanya udzur syar'i seperti ini, maka seorang memang 100%
dicabut dari kewajiban untuk mengerjkan shalat, bahkan tidak perlu
menggantinya, meski udzur itu sudah berlalu.
Dan di antara udzur yang dibenarkan untuk meninggalkan shalat
terbatas pada beberapa kasus saja, yaitu pada wanita yang mendapat
darah haidh atau nifas, orang gila yang tidak berakal, anak-anak
yang belum baligh dan orang yang statusnya bukan muslim alias orang
kafir.
1. Wanita Haidh dan Nifas
Wanita yang sedang mendapatkan darah haidh dan juga nifas adalah
orang yang memiliki udzur syar'i. Kewajiban shalat lima waktu yang
asalnya merupakan fardhu 'ain, dengan adanya haidh atau nifas,
dicabut kewajibannya. Statusnya menjadi gugur kewajiban, sehingga
tidak perlu diganti di kemudian hari.
Dasar dari dicabutnya kewajiban shalat bagi wanita yang sedang
haidh atau nifas adalah hadits berikut ini :
: s
Dari Aisyah ra berkata"Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah
istihadha maka Rasulullah SAW bersabda
-
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam
Berbagai Keadaan
369
kepadanya"Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang
yang keluar seperti itu janganlah shalat. Bila sudah selesai maka
berwudhu'lah dan lakukan shalat. (HR. Abu Daud dan An-Nasai).
Selain itu juga ada hadis lainnya:
Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Bila kamu mendapatkan haid maka tinggalkan shalat
Karena wanita haidh dan nifas tidak wajib mengerjakan shalat,
maka juga tidak ada perintah untuk menggantinya di hari-hari suci
dari haidh. Hal ini berbeda dengan puasa, dimana wanita yang haidh
atau nifas dilarang berpuasa, namun tetap diwajibkan untuk
mengganti puasa itu seusai suci dari haidh.
Pembedaan hukum ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW
sendiri, yaitu :
Dari Aisyah r.a berkata : Di zaman Rasulullah SAW dahulu kami
mendapat haidh lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan
tidak diperintah untuk mengqadha salat (HR. Jamaah).
a. Gugur Kewajiban
Syarat gugurnya kewajiban shalat adalah apabila haidh atau nifas
terjadi sejak masuknya waktu shalat fardhu hingga berakhirnya waktu
shalat. Selama masa waktu shalat fardhu berlangsung, haidh terus
menerus terjadi, maka gugurlah kewajiban shalat. Bahkan shalat
tidak boleh dikerjakan dan tidak perlu diganti.
Sebagai ilustrasi, bila seorang wanita mendapat haidh sejak
sebelum masuknya waktu Dzhuhur dan hingga habisnya waktu Dzhuhur
dia masih dalam keadaan haidh, maka kewajiban shalat Dzhuhurnya
gugur dengan sendirinya.
-
Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) :
Shalat -3
370
b. Tidak Gugur Kewajiban
Namun bila seorang wanita mengalami haidh hanya pada sebagian
waktu shalat, sedangkan sebagian waktu shalat yang lainnya dia
dalam keadaan suci, maka kewajiban shalatnya tidak gugur. Dalam hal
ini bisa terjadi dua jenis kejadian :
Pertama : seorang wanita mendapat haidh, kemudian masuklah waktu
shalat fardhu. Sebelum waktu shalat itu habis, dia telah suci dari
haidh. Maka wanita itu tetap wajib mengerjakan shalat, karena ada
durasi waktu dimana dia dalam keadaan suci.
Contohnya ketika masuk waktu Dzhuhur seorang wanita masih dalam
keadaan haidh. Namun jam 14.00, dipastikan darah haidhnya telah
berhenti mengalir. Artinya dia telah suci dan waktu shalat Dhuhur
masih ada.
Dalam kejadian ini, yang wajib dilakukan adalah segera mandi
janabah untuk mengangkat hadats besar, lalu segera mengerjakan
shalat. Bila waktu shalat sudah habis, maka tetap saja shalat,
karena kewajiban shalat tidak gugur dengan lewatnya waktu
shalat.
Sebagian ulama menyebut bahwa shalat yang dilakukan setelah
lewat waktunya, apapun alasannya, dengan istilah shalat qadha'.
Kedua : seorang wanita dalam keadaan suci lalu masuk waktu
shalat dan belum sempat mengerjakannya, tiba-tiba dia mendapat
darah haidh.
Contoh gambarannya misalnya, ada seorang wanita yang ketika
masuk waktu Dzhuhur masih dalam perjalanan. Niatnya akan
mengerjakan shalat di rumah. Tapi ketika hampir mau mengerjakan
shalat, tiba-tiba keluar darah haidh.
Dalam dalam kasus ini, dia tidak boleh shalat, namun kewajiban
shalatnya tidak gugur. Alasannya, karena ada masa waktu dimana dia
masih suci dan waktu shalat sudah tiba.
Untuk itu, nanti setelah masa haidh berlalu, seusai mengerjakan
mandi janabah untuk mengangkat hadats, dia
-
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam
Berbagai Keadaan
371
harus mengganti shalatnya yang terlewat. Orang sering
menyebutnya dengan istilah shalat qadha'.
2. Gila
Orang gila pada dasarnya adalah orang tidak punya akal, meskipun
dia punya otak di dalam batok tempurung kepalanya. Orang gila tidak
punya kesadaran seperti umumnya orang normal. Karena itu dia
kehilangan nilai-nilai yang cukup besar, termasuk rasa malu,
sungkan, atau pun juga moral dan etika.
Orang gila sama sekali tidak merasakan apa yang dirasakan oleh
orang normal. Telanjang bulat di hadapan publik, menari-nari,
bernyanyi, meracau, kadang berteriak atau apapun yang dianggap aneh
secara etitude, sama sekali tidak dirasakan oleh orang gila.
Dengan kondisi yang demikian itu, hampir semua hukum yang
berlaku di dunia ini membebaskan orang gila dari semua bentuk
kesalahan. Sehingga kejahatan membunuh nyawa manusia yang dilakukan
oleh orang gila, tidak bisa dianggap sebagai kejahatan. Orang gila
bebas melakukan apa saja, tanpa harus terjerat dengan ketentuan
hukum.
Dalam banyak kisah lari dari jerat hukum, banyak pelaku
kejahatan yang berpura-pura jadi orang gila, dan rela masuk ke
pusat rehabilitasi atau tinggal di rumah sakit khusus jiwa.
a. Gugur Beban Taklif
Dalam hukum syariah, kedudukan orang gila bukan termasuk
mukallaf, sehingga Allah SWT tidak memberi beban syariah kepada
orang gila. Orang gila termasuk mereka yang mendapat udzur syar'i
untuk 100% boleh meninggalkan shalat, puasa, haji, dan berbagai
ibadah yang lain.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengeluarkan zakat
dari harta milik orang gila. Sebagian berpendapat harta milik orang
gila wajib dikeluarkan zakatnya. Namun sebagian lagi menolak hal
itu, dengan alasan bahwa zakat itu merupakan ibadah yang
membutuhkan niat dari pemiliknya.
-
Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) :
Shalat -3
372
Namun meski pun demikian, para ulama sepakat bahwa dalam urusan
hak kepemilikan atas suatu harta, maka orang gila termasuk orang
yang berhak memiliki. Contohnya orang gila yang mendapatkan harta
warisan dari keluarganya yang wafat. Kegilaan tidak berakibat
kepada gugurnya hak waris dan hak untuk memiliki harta benda.
Maka untuk itu, harta milik orang gila diperlakukan sebagaimana
kita memperlakukan harta milik anak kecil, yaitu ada wali yang
menjadi wakil dalam urusan harta.
Dengan gugurnya taklif syariah seperti shalat, maka apabila ada
orang gila yang tidak pernah mengerjakan shalat, tidak ada sedikit
pun dosa atasnya yang harus ditanggungnya.
Semua hal di atas khusus buat orang gila yang sifatnya terus
menerus, sejak lahir atau setidaknya sejak baligh, hingga meninggal
dunia.
b. Gila Temporal
Adapun orang gila yang sifatnya temporal, maka di saat-saat
seseorang sedang tidak gila, maka tetap ada kewajiban untuk
mengerjakan shalat lima waktu.
Contohnya bila ada orang yang normal, lalu untuk masa waktu 3
bulan dia mengalami kegilaan, maka selama 3 bulan itu tidak 100%
bebas dari mengerjakan shalat. Alasannya, karena selama 3 bulan itu
dia dalam keadaan gila. Namun sebelum datangnya masa 3 bulan itu
dan sesudahnya, dia tetap wajib mengerjakan shalat. Dan bila
terlewat, maka dia wajib menggantinya.
Menurut jumhur ulama, orang yang sempat untuk beberapa saat
hilang kewarasannya, begitu sudah kembali ingatannya tidak wajib
mengqadha' shalat. Namun hal itu berbeda dengan pendapat kalangan
Al-Hanafiyah yang justru mewajibkannya untuk mengqadha' shalat.
Sedangkan bila hilang kesadaran karena seseorang minum khamar
dan mabuk, maka dia wajib mengqadha' shalatnya.
3. Belum Baligh
-
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam
Berbagai Keadaan
373
Anak yang belum baligh bukan termasuk orang yang diwajibkan
untuk mengerjakan shalat lima waktu. Namun demikian, usia yang
belum baligh itu tidak menjadi penghalang baginya untuk mengerjakan
shalat.
a. Tidak Ada Dosa Bila Meninggalkan
Seorang anak yang belum baligh, karena usianya yang belum
mencukupi, maka Allah SWT tidak membebaninya dengan taklif syariah
sebagaimana orang dewasa yang sudah baligh.
Maka seorang anak kecil tidak diwajibkan mengerjakan shalat lima
waktu. Sehingga apabila dia meninggalkannya, maka tidak ada dosa
bagiannya. Dan tidak pula diwajibkan untuk mengganti shalat-shalat
yang ditinggalkannya selama masa belum baligh itu.
Artinya dengan kata lain, gugurlah kewajiban untuk mengerjakan
shalat bagi anak yang belum memasuki usia baligh.
b. Sah Mengerjakan Shalat
Meski pun tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat, tetapi bila
seorang anak sudah mumayyiz, lalu dia mampu mengerjakan semua
gerakan dan bacaan shalat dengan benar, maka para ulama sepakat
bahwa shalat yang dilakukannya itu sah.
Tentu agar shalatnya sah, maka semua syarat sah dari shalat
harus dipenuhi sebelumnya, seperti suci dari najis dan hadats,
menghadap kiblat, menutup aurat, serta tahu bahwa waktu shalat
sudah masuk ketika dia mulai mengerjakan shalat.
Selain juga semua rukun shalat harus dikerjakan seluruhnya,
mulai dari niat, takbiratul ihram, membaca surat Al-Fatihah hingga
ke urutan terakhir yaitu mengucapkan salam.
c. Termasuk Shalat Sunnah
Karena seorang anak kecil tidak diwajibkan shalat lima waktu,
namun kalau dia mengerjakannya dianggap sah, maka
-
Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) :
Shalat -3
374
para ulama sering mengatakan bahwa shalat itu merupakan shalat
sunnah bagi anak yang belum baligh.
Sebagaimana definisi sunnah yang umumnya banyak disebutkan para
ulama ushul, yaitu suatu ibadah yang apabila dikerjakan akan
mendatangkan pahala, namun apabila ditinggalkan tidak mendatangkan
dosa.
Maka kalau ada pertanyaan teka-teki : kapankah shalat Dzhuhur
berubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah? Maka jawabnya mudah
saja, yaitu apabila shalat itu dikerjakan oleh anak yang sudah
mumayyiz tapi belum baligh.
d. Boleh Menjadi Imam
Dan bukti bahwa shalat yang dilakukan itu sah, adalah
dibolehkannya orang-orang dewasa bermakmum di belakang anak itu.
Dasarnya adalah hadits bahwa Amru bin Salamah menjadi imam ketika
masih berusia 6 atau 7 tahun.
Dari Amru bin Salamat radhiyallahuanhu bahwa dirinya menjadi
imam atas suatu kaum di masa Rasulullah SAW ketika masih berusia
enam atau tujuh tahun. (HR. Al-Bukhari)
Hal yang sama juga terjadi pada diri Abdullah bin Abbas
radhiyallahuanhu, yang ketika masih kecil sudah mumayyiz tapi belum
baligh, sudah menjadi imam shalat bagi kaumnya.
Namun demikian, tetap saja mazhab ini lewat Al-Buwaithy
mengutamakan imam yang sudah baligh dari pada yang baru mumayyiz,
meski yang baru mumayyiz ini barangkali lebih fasih bacaannya.1
4. Bukan Muslim
Orang yang bukan muslim alias kafir termasuk dalam kategori
orang yang tidak dibebankan untuk mengerjakan shalat
1 Nihayatul Muhtaj jilid 2 hal. 168
-
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam
Berbagai Keadaan
375
di dunia ini. Namun sifatnya tidak 100% bebas, sebagaimana
wanita haidh, nifas atau orang gila dan anak kecil yang belum
baligh.
a. Menanggung Dosa Meninggalkan Shalat
Para ulama umumnya sepakat bahwa meski di dunia ini orang kafir
tidak wajib mengerjakan shalat, namun mereka tetap berdosa dan ada
hitung-hitungan dosa tersendiri di akhirat ketika meninggalkan
shalat.
Sehingga dosa dan siksa bagi orang kafir di neraka juga
berbeda-beda jumlah dan tingkatannya. Orang kafir yang mati masih
muda, katakanlah setahun sejak baligh, maka dosa-dosanya ketika
meninggalkan shalat relatif lebih sedikit, apabila dibandingkan
dengan orang kafir yang meninggal dalam usia lanjut. Sebab jumlah
shalat fardhu yang ditinggalkan tentu sangat banyak.
Maka orang kafir yang mati di usia lanjut, tanpa pernah masuk
Islam, akan jauh lebih banyak dosanya, dan lebih keras
siksaannya.
Maka daripada jadi orang kafir yang mati tua, mendingan jadi
orang kafir yang mati muda. Tapi yang lebih baik adalah jadi orang
yang ketika meninggal dunia, mati dalam keadaan muslim.
b. Dosa Dihapus Dengan Masuk Islam
Meski orang kafir harus menanggung dosa dari meninggalkan shalat
seumur hidup, namun dosa-dosa itu bisa dengan mudah dihapus dalam
sekejap saja. Caranya mudah, yaitu dengan masuk dan memeluk agama
Islam.
Rasulullah SAW telah bersabda :
Masuk Islamnya seseorang akan menghapus semua dosa
sebelumnya
Inilah satu-satunya jalan untuk mendapatkan keselamatan
-
Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) :
Shalat -3
376
di akhirat bagi orang yang tidak memeluk agama Islam. Cukup
dengan menyatakan diri masuk Islam, mengikrarkan dua kalimat
syahadat, maka status kekafiran runtuh seiring dengan runtuhnya
dosa.
Begitu masuk Islam, seseorang akan berada pada posisi
seolah-olah dia baru saja dilahirkan dari perut ibunya. Dia tidak
punya dosa yang harus ditanggung di kemudian hari, khususnya dosa
yang bersifat langsung kepada Allah SWT.
c. Tidak Perlu Mengganti Shalat
Para ulama sepakat bahwa karena orang kafir memang tidak
diwajibkan untuk mengerjakan shalat, maka kalau pun mereka kemudian
masuk Islam, pada hakikatnya tidak ada kewajiban atas mereka untuk
mengganti shalat yang tidak dikerjakan.
Namun hal ini khusus hanya berlaku buat orang yang asalnya kafir
100% alias lahir dalam keadaan bukan muslim. Dan hukumnya menjadi
berbeda apabila kasusnya terjadi pada seorang muslim yang murtad
keluar dari agama Islam, lalu kembali lagi masuk Islam. Dia tidak
benar-benar kafir, tetapi lebih dekat dengan istilah 'cuti' dari
keislaman.
Para ulama memandang bahwa kedudukan hukum orang kafir asli
berbeda dengan muslim yang murtad keluar dari agama Islam, lalu
kembali lagi. Dan salah satu titik perbedaannya itu adalah bahwa
muslim yang murtad itu, apabila nanti dia kembali lagi memeluk
agama Islam, maka dia tetap diwajibkan mengganti shalatnya yang
telah ditinggalkan selama masa murtadnya.
B. Udzur Tidak Syar'i
Di luar dari hal-hal yang menggugurkan kewajiban shalat, seperti
wanita yang sedang mendapat haidh atau nifas, orang gila, anak yang
belum baligh dan orang kafir, maka kewajiban shalat lima waktu
tetap menjadi kewajiban yang asasi.
Maka bagi seorang muslim, pantang untuk meninggalkan
-
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam
Berbagai Keadaan
377
shalat dalam keadaan apa pun. Walau pun mungkin ada saja alasan
yang bisa dibuat-buat untuk seseorang meninggalkan shalat. Padahal
sesungguhnya alasan itu tidak bisa dijadikan keringanan untuk
meninggalkan shalat, karena memang tidak memenuhi ketentuan.
Di antara alasan yang paling sering dibuat-buat untuk
meninggalkan shalat :
1. Meragukan Sucinya Pakaian
Alasan ini adalah alasan yang paling klasik dan paling sering
dijadikan tameng dalam banyak kasus, untuk meligitimasi sikap malas
mengerjakan shalat.
Dengan alasan seperti ini, seolah-olah seseorang boleh
meninggalkan shalat hanya karena dirinya merasa ragu-ragu apakah
pakaiannya ada najisnya atau tidak.
Anehnya, karena ada rasa ragu, alih-alih mencari alternatif
bagaimana caranya agar najisnya hilang, yang dilakukan malah
sekalian nekad tidak mengerjakan shalat. Kalau ditanya bagaimaan
dengan shalatnya, jawabnya juga amat klasik, nanti saja saya jama'
di rumah.
Padahal alasan ini perlu diklarifikasi dulu, apa benar ada najis
yang nampak zahir pada pakaiannya? Ataukah hanya sekedar rasa ragu
belaka?
Dalam banyak kasus, sebenarnya 100% tidak ada najis. Dan rasa
ragu atas najis itu sebenarnya hanya dibuat-buat untuk dijadikan
alasan.
Tapi dalam kasus tertentu memang seringkali yang dijadikan
kambing hitam adalah masalah pakaian yang sudah kumal dan bau
keringat. Seolah-olah kumal dan bau keringat adalah najis. Padahal
keringat manusia itu tidak najis.
Kalau pun seseorang terkena najis pada pakaiannya, maka ada
begitu banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk terhindar dari
najis. Salah satunya dengan cara mencuci secara lokal pada bagian
yang nyata-nyata terkena najis. Mencuci lokal artinya pakaian itu
tidak harus dicuci secara keseluruhanya,
-
Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) :
Shalat -3
378
cukup dicuci tepat pada bagian yang terkena najis. Yang tidak
terkena najis tentu saja tidak perlu dicuci.
Teknik mencuci lokal seperti ini yang paling mudah adalah dengan
mencubit bagian pakaian yang terkena najis tanpa harus melepas dari
tubuh, lalu didekatkan ke kran air untuk dikucuri air. Kemudian
dikucek sedikit hingga kira-kira najisnya telah hilang, dan selesai
sudah.
Cara lain agar terhindar najis adalah melepas pakaian itu
apabila hendak shalat. Katakanlah yang kita anggap terkena najis
itu celana dalam, maka silahkan shalat dengan melepas celana dalam.
Dan shalat tetap sah walaupun dikerjakan tanpa memakai celana
dalam.
2. Ketiadaan Air Untuk Wudhu
Alasan lain yang juga paling sering dijadikan alibi untuk
meninggalkan kewajiban shalat adalah tidak adanya air untuk
mengerjakan wudhu'.
Seolah-olah bila tidak ada tempat unutk berwudhu berupa kran
atau kamar mandi, lantas tidak perlu berwudhu dan lebih baik tidak
shalat.
Anggapan ini tentu saja keliru, sebab sebenarnya kita hidup di
tengah-tengah limpahan air, meski tidak harus berbentuk kran
air.
Bukankah di tengah jalanan yang macet itu justru banyak penjaja
minuman kemasan? Apakah minuman kemasan bukan termasuk air?
Bukankah di kanan kiri jalan itu ada gedung yang pasti memiliki
kran air? Karena itu bertayammum di tengah kota yang berlimpah
dengan air tidak dapat dibenarkan.
Keringanan yang Allah berikan tidak berarti boleh dikerjakan
sesukanya. Tayammum misalnya, baru boleh dikerjakan bila memang
tidak didapat air setelah berusaha mencarinya. Namun dalam kondisi
seseorang berada di tengah peradaban atau kota, tidak bisa
dikatakan bahwa dia boleh bertayammum.
3. Menjama' Shalat di Rumah
-
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam
Berbagai Keadaan
379
Alasan klasik lainnya yang sering dijadikan alibi untuk
meninggalkan shalat adalah ungkapan,"Nanti shalatnya akan saya
jama' setelah tiba di rumah".
Seolah-olah dengan niat nanti menjama' di rumah, urusan shalat
bisa ditinggalkan begitu saja tanpa rasa bersalah dan rasa
dosa.
Kenapa dikatakan salah dan dosa? Karena ada beberapa sebab,
antara lain :
a. Tidak Ada Jama' Bila Sudah Sampai Rumah
Para ulama sepakat bahwa kalau pun seseorang diperbolehkan untuk
menjama' dua shalat karena suatu hal, maka jama' itu hanya boleh
dilakukan selama hal yang membolehkan jama' itu masih
berlangsung.
Misalnya seorang musafir dibolehkan untuk menjama' shalat. Maka
ketentuannya adalah bahwa jama' itu hanya boleh dilakukan ketika
sedang menjadi musafir. Bila seseorang belum mulai menjadi musafir,
karena masih berada di dalam rumahnya, maka dia belum boleh
menjama' shalatnya.
Demikian pula bila seseorang sudah selesai menjadi musafir,
misalnya karena sudah tiba di dalam rumahnya, maka saat itu sudah
tidak sah dan tidak boleh lagi menjama' shalat. Penyebabnya karena
syarat yang membolehkan jama' yaitu bepergian (safar) sudah tidak
lagi berlangsung.
Maka alasan orang yang meninggalkan shalat karena niatnya mau
dijama' nanti setelah tiba di rumah adalah alasan yang keliru,
tidak syar'i, batil dan jelas berdosa.
b. Syarat Jama' Tidak Terpenuhi
Para ulama sepakat bahwa hal-hal yang membolehkan shalat dijama'
bukan hanya karena sebab perjalanan, tetapi juga oleh sebab-sebab
yang lain. Misalnya karena hujan, haji, sakit, atau kejadian luar
biasa yang tidak memungkinkan seseorang melakukan shalat.
Namun macet di jalan yang berlangsung rutin setiap hari
-
Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) :
Shalat -3
380
sepulang kerja, jelas tidak termasuk dari salah satu hal yang
membolehkan seseorang menjama' shalat.
Macet dan berhenti lama di jalan bukan termasuk safar, karena
safar itu harus memenuhi tiga syarat. Pertama, safar itu harus
keluar kota dan tidak ada safar kalau di dalam kota. Kedua, safar
itu minimal harus menempuh jarak 4 burud atau 16 farsakh, atau
sekitar 90-an km jaraknya dari rumah. Ketiga, safar itu harus punya
tujuan pasti dan bukan hanya berputar-putar di satu titik.
Maka kalau shalat Maghrib dijama' dengan Isya' karena alasan
macet, hukumnya tidak sah. Sebab macet tidak sama dengan safar.
Macet juga bukan termasuk sakit, hujan atau haji. Macet juga
bukan kejadian luar biasa yang menimpa seseorang. Sebab di Jakarta
dan kota-kota besar lainnya, macet sudah menjadi rutinitas
sehari-hari. Kalau suatu sore pulang kerja, jalanan sepi dan
kosong, justru aneh dan menimbulkan tanda tanya besar.
4. Alasan Kebolehan Mengqadha' Shalat
Alasan yang paling jahat dan tidak bertanggung-jawab ketika
seseorang meninggalkan shalat adalah alasan bahwa shalatnya nanti
akan diqadha'.
Hukum secara sengaja meninggalkan shalat fardhu tanpa udzur yang
syar'i dengan alasan nanti shalatnya mau diqadha' adalah haram dan
tidak boleh. Bukan qadha'nya yang haram, melainkan sengaja
meninggalkan shalatnya itu yang haram dan berdosa.
Hukum melakukan shalat qadha' itu berbeda dengan melakukan
jama'. Menjama' shalat dibenarkan asalkan syarat-syaratnya
terpenuhi dari awal. Misalnya, seorang musafir ketika memasuki
waktu maghrib boleh dan diharuskan berniat akan melakukan shalat
Maghrib dengan cara dijama' dengan waktu Isya', sehingga dengan
demikian, shalat Maghrib secara sah boleh ditinggalkan dengan
sengaja dan diganti dengan niat akan dijama' di waktu Isya'.
-
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam
Berbagai Keadaan
381
Namun tidak demikian halnya dengan qadha' shalat. Seseorang
tidak diperkenankan untuk secara sengaja meninggalkan shalat,
dengan niat nanti akan diqadha'. Sebab qadha itu merupakan jalan
keluar apabila seseorang luput dari mengerjakan shalat karena
sesuatu hal yang tidak bisa dihindari secara syar'i. Misalnya
tertidur dan kesiangan, sakit, kecelakaan, lupa, atau hal-hal lain
yang memang di luar kemampuan.
Tetapi bila alasannya hanya sekedar ritual rutin bermacet-macet
ria, meeting, rapat, resepsi pernikahan, nonton bola, masuk
bioskop, atau janjian dengan rekan bisnis, semua itu bukan hal yang
tidak bisa diantisipasi. Dan tentunya tidak boleh dijadikan alasan
untuk meninggalkan shalat.
C. Prinsip Mengerjakan Shalat
1. Mensiasati Waktu Shalat
Jadi yang harus dilakukan adalah membuat perhitungan bagaimana
agar bisa shalat Maghrib tepat pada waktunya. Misalnya bila dalam
perjalanan pulang harus berganti bus, usahakan saat berganti bus
itu untuk mencari tempat shalat.
2. Shalat Tidak Harus di Masjid
Dalam hal ini tempat shalatnya tidak harus berupa masjid atau
mushalla, tetapi sebuah tempat yang bersih di mana saja asal bisa
melakukan shalat. Kita bisa shalat di emper toko, halaman, trotoar
dan sebagainya. Karena kelebihan umat Nabi Muhammad SAW adalah
dijadikan bumi ini sebagai masjid, dimana pun dirinya berada, dia
wajib mengerjakan shalat.
Maka shalat bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja, yang
penting sudah punya wudhu. Bila tidak, bisa membawa bekal sebuah
botol kemasan yang diisi dengan air dan berwudlu' cukup dengan air
sebotol itu. Ini lebih ekonomis dari pada membeli air minum kemasan
yang dijual di jalan.
Alternatif kedua seperti yang dilakukan oleh banyak orang, kita
bisa menunda waktu pulang hingga maghrib tiba, lalu tunaikan shalat
maghrib di tempat kerja. Setelah itu barulah
-
Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) :
Shalat -3
382
pulang ke rumah. Konon bila pulang di atas Mahgrib, kemacetan
jalan sudah mulai berkurang. Sedangkan shalat Isya' cukup dilakukan
nanti di rumah karena waktu masih panjang.
Dalam kasus tertentu, bila memang bus itu khusus karyawan dan
bus jemputan yang mana teman-teman seperjalanannya sudah saling
kenal, maka tidak ada salahnya bila jadi pelopor dengan mengusulkan
kepada mereka agar bus itu bisa berhenti sejenak di pinggir tol
agar bisa memberikan kesempatan kepada mereka yang muslim untuk
mengerjakan shalat maghrib.
Mungkin ide ini dianggap gila atau mengada-ada, tapi tidak ada
salahnya dicoba?
3. Ketentuan dalam Menjama' Shalat
Di dalam syariat Islam, bila syarat dan ketentuannyaterpenuhi,
shalat boleh dijama' atau digabung untuk dikerjakan dalam satu
waktu.
Pada bab-bab berikutnya kita akan membahas secara khusus dan
mendalam tentang segala hal yang berkaitan dengan shalat Jama'.
4. Shalat di Atas Kendaraan
Alternatif yang terakhir untuk tetap bisa melaksanakan shalat
adalah melakukannya di atas kendaraan. Dan syariat Islam
memungkinkan kita untuk melakukan shalat di atas kendaraannya,
dengan syarat dan ketentuan yang telah baku.
Namun intinya bahwa shalat di atas kendaraan adalah hal yang
masyru' dan pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat
di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau
shalat wajib, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR.
Bukhari)
-
Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat - 3 Bab 1 : Shalat dalam
Berbagai Keadaan
383
Dan beliau SAW memerintahkan Ja'far bin Abi Thalib untuk
mengerjakan shalat di atas kapal laut.
Dari Ya'la bin Umayyah bahwa Nabi SAW melewati suatu lembah di
atas kendaraannya dalam keadaan hujan dan becek. Datanglah waktu
shalat, beliau pun memerintahkan untuk dikumandangkan adzan dan
iqamat, kemudian beliau maju di atas kendaraan dan melalukan
shalat, dengan membungkukkan badan (saat ruku' dan sujud), dimana
membungkuk untuk sujud lebih rendah dari membungkuk untuk ruku'.
(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)
Namun shalat di atas kendaraan ini punya beberapa ketentuan,
syarat dan hal-hal teknis yang wajib dipahami dengan mendalam.
Untuk itu kita akan bahas secara lebih seksama di dalam bab
berikutnya, insya Allah.
5. Ketentuan Dalam Mengqadha' Shalat
Apabila sudah tidak ada alternatif lain kecuali meninggalkan
shalat, maka tetap saja shalat itu wajib dikerjakan di waktu yang
lain.
Karena kewajiban shalat fardhu tidak gugur meski sudah terlewat
waktunya. Untuk itu syariat Islam telah menetapkan adanya shalat
qadha' dengan segala ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku.
Insya Allah khusus masalah mengqadha' shalat ini juga akan
dibahas dalam satu bab khusus.
-
Bab 1 : Shalat dalam Berbagai Keadaan Seri Fiqih Kehidupan (3) :
Shalat -3
384