1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah suatu kegiatan perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam perikanan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan manusia dengan mengoptimalisasikan dan memelihara produktivitas sumber daya perikanan dan kelestarian lingkungan. Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang sampai sekarang masih menjadi primadona adalah udang. Udang merupakan salah satru sumber daya hayati laut yang tersedia hampir di seluruh perairan Indonesia dan merupakan salah satu komoditas ekspor andalan dari sub sector perikanan. Setiap tahunnya,terjadi peningkatan pangsa pasar ekspor udang ke Negara-negara tujuan ekspor seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (Departemen Pertanian 1999). Udang merupakan komoditi ekspor hasil perikanan terbesar Indonesia di atas komoditas ikan tuna yang menempati urutan kedua. Dilihat dari data volume ekspor udang Indonesia ke mancanegara dari bulan Januari sampai dengan November pada tahun 2008 mencapai 158.000 ton sedangkan volume ekspor ikan tuna hanya mencapai 111.000 ton. Volume ekspor udang ini meningkat dibandingkan pada tahun 2007 yang hanya mencapai 154.747 ton (DJP2HP 2009). Sebagai komoditi perdagangan ekspor maka udang senantiasa dituntut memiliki mutu yang prima. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem jaminan, pengendalian dan pengawasan mutu hasil perikanan. Kendala yang sering muncul pada berbagai perusahaan pengolahan udang adalah kekurangan bahan baku udang, kesalahan label produk, adanya embargo oleh importir karena teridentifikasinya senyawa antibiotik, masalah sanitasi dan lain sebagainya. Maka untuk mengantisipasi masalah tersebut perusahaan pengolahan udang diwajibkan melakukan kebijakan dalam penerapan program manajemen mutu terpadu yang berkonsepsi pada prinsip Hazard Analysis Critical Control point (HACCP). HACCP merupakan merupakan manejemen khusus untuk bahan makanan termasuk hasil perikanan yang didasari pada pendekatan sistematika untuk megantisipasi kemungkinan terjadinya bahaya ( Hazard) selama proses produksi serta menentukan titik kritis yang harus dilaksanakan pengawasan
90
Embed
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - xa.yimg.comxa.yimg.com/kq/groups/15760481/820822481/name/Copy%252525252… · atas komoditas ikan tuna yang menempati ... penerapan HACCP adalah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perikanan adalah suatu kegiatan perekonomian yang memanfaatkan
sumber daya alam perikanan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk kesejahteraan manusia dengan mengoptimalisasikan dan
memelihara produktivitas sumber daya perikanan dan kelestarian lingkungan.
Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang sampai sekarang masih menjadi
primadona adalah udang. Udang merupakan salah satru sumber daya hayati laut
yang tersedia hampir di seluruh perairan Indonesia dan merupakan salah satu
komoditas ekspor andalan dari sub sector perikanan. Setiap tahunnya,terjadi
peningkatan pangsa pasar ekspor udang ke Negara-negara tujuan ekspor seperti
Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (Departemen Pertanian 1999).
Udang merupakan komoditi ekspor hasil perikanan terbesar Indonesia di
atas komoditas ikan tuna yang menempati urutan kedua. Dilihat dari data volume
ekspor udang Indonesia ke mancanegara dari bulan Januari sampai dengan
November pada tahun 2008 mencapai 158.000 ton sedangkan volume ekspor ikan
tuna hanya mencapai 111.000 ton. Volume ekspor udang ini meningkat
dibandingkan pada tahun 2007 yang hanya mencapai 154.747 ton (DJP2HP
2009). Sebagai komoditi perdagangan ekspor maka udang senantiasa dituntut
memiliki mutu yang prima. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem jaminan,
pengendalian dan pengawasan mutu hasil perikanan.
Kendala yang sering muncul pada berbagai perusahaan pengolahan udang
adalah kekurangan bahan baku udang, kesalahan label produk, adanya embargo
oleh importir karena teridentifikasinya senyawa antibiotik, masalah sanitasi dan
lain sebagainya. Maka untuk mengantisipasi masalah tersebut perusahaan
pengolahan udang diwajibkan melakukan kebijakan dalam penerapan program
manajemen mutu terpadu yang berkonsepsi pada prinsip Hazard Analysis Critical
Control point (HACCP). HACCP merupakan merupakan manejemen khusus
untuk bahan makanan termasuk hasil perikanan yang didasari pada pendekatan
sistematika untuk megantisipasi kemungkinan terjadinya bahaya (Hazard) selama
proses produksi serta menentukan titik kritis yang harus dilaksanakan pengawasan
2
secara ketat. Tujuan utama menerapkan HACCP adalah memberikan jaminan
mutu meningkakan mutu produk, meminimalkan kecacatan produk dan keluhan
konsumen serta memberikan efisiensi jaminan mutu. Keuntungan lain dari
penerapan HACCP adalah penggunaan sumberdaya secara lebih baik dan
pemecahan masalah lebih tepat (Mayes 2001).
Sistem HACCP dikenal secara luas oleh industri pangan sebagai suatu
tindakan pengendalian terhadap risiko bahaya yang dapat memberikan efek
merugikan terhadap keamanan pangan (Asian Productivity Organization 2005).
Hal ini berbeda dengan cara sebelumnya bahwa sistem pengendalian mutu
dilakukan hanya dengan pengawasan aspek-aspek keamanan pangan pada produk
akhir, dengan demikian apabila ditemukan ketidakamanan pada produk akhir,
baru dilakukan suatu tindakan koreksi. Hal ini merupakan tindakan yang kurang
efektif karena prasyarat yang mendasar dalam pengendalian risiko bahaya seperti
prasyarat kelayakan dasar yang terdiri atas cara penanganan dan pengolahan
produk yang baik dan benar (Good Manufacturing Practices – GMP) serta
persyaratan sanitasi dan higiene (Sanitation Standard Operating Procedures –
SSOP), tidak dievaluasi terkait dengan ketidakamanan produk sepanjang rantai
produksi. Pada sistem HACCP ditekankan tindakan pencegahan pada setiap
tahapan produksi terhadap terjadinya risiko bahaya yang akan mengakibatkan
ketidakamanan produk udang beku (Mayes 2001).
1.2 Tujuan
Tujuan dan manfaat dari pelaksanaan praktik lapang ini adalah untuk
menambah pengetahuan, pengalaman dan meningkatkan keterampilan mahasiswa
di bidang pengolahan hasil perikanan. Sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Mengetahui keadaan umum perusahaan pembekuan udang di PT Misaja
Mitra, Pati-Jawa Tengah.
2. Menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan mahasiswa dalam
bidang penanganan dan pengolahan hasil perikanan khususnya pembekuan
udang
3. Mempelajari sistem HACCP yang diterapkan pada perusahaan pembekuan
udang khususnya produk peeled beku.
3
4. Mengetahui cara-cara penerapan HACCP secara keseluruhan yang
diterapkan di PT Misaja Mitra, Pati-Jawa Tengah.
1.3 Metodologi
1.3.1 Waktu dan tempat pelaksanan praktik lapang
Waktu pelaksanaan praktik lapang dimulai tanggal 27 Juli 2009 sampai
tanggal 20 Agustus 2009, bertempat di PT Misaja Mitra Pati, yang bertempat di
Jalan Raya Pati Tayu Km.18, Desa Waturoyo, Kecamatan Margoyoso Pati - Jawa
Tengah.
1.3.2 Metode pengumpulan data
Metode yang digunakan dalam pelaksanaan praktik lapang ini adalah
pengumpulan data primer dan data sekunder.
1. Pengumpulan data primer meliputi :
a. Observasi, yaitu pengamatan langsung kegiatan di pabrik.
b. Mengamati dan melakukan kegiatan proses produksi mulai dari
penerimaan bahan baku sampai pada proses pengemasan.
c. Wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan langsung
dengan kegiatan pengolahan pembekuan udang.
d. Mengevaluasi dan mempelajari penerapan HACCP yang diterapkan.
2. Pengumpulan data sekunder :
a. Pengumpulan data dan informasi hasil produksi dan kegiatan lainnya dari
pihak atau instansi setempat mengenai keadaan perusahaan.
b. Melakukan studi literatur yaitu mengumpulkan informasi yang berkaitan
dengan praktik lapang.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Udang (Penaeus sp)
Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki
aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Proses pembekuan udang
merupakan salah satu cara pengawetan makanan karena dengan menurunkan suhu
maka pertumbuhan mikroorganisme dapat terhambat, mencegah reaksi kimia dan
aktivitas enzim. Tujuan pembekuan udang adalah mempertahankan sifat-sifat
mutu tinggi pada udang dengan teknik penarikan panas secara efektif dari udang
agar suhu udang turun sampai suhu rendah yang stabil dan mengawetkan udang
(Ilyas 1993). Menurut Suwignyo (1989), udang diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Sub Phylum : Mandibulata
Class : Crustaceae
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Natantia
Famili : Penaidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeus sp
Gambar 1. Morfologi udang (Penaeus sp)
(Sumber : http://tbn1.google.com)
Secara morfologi, udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang
menyatu dengan dada (cephalothorax) dan bagian badan (abdomen) yang terdapat
ekor di belakangnya. Udang memiliki tubuh yang beruas-ruas dan seluruh bagian
tubuhnya tertutup kulit khitin yang tebal dan keras. Bagian kepala beratnya lebih
5
kurang 36-49% dari total keseluruhan berat badan, daging 24-41% dan kulit 17-
23% (Purwaningsih 1995).
Ordo Decapoda umumnya hidup di laut, beberapa di air tawar dan sedikit
di darat. udang yang banyak terdapat di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis
tinggi antara lain udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus
marguiensis) dan udang dogol (Metapenaeus monoceros). Sedangkan udang air
tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi antara lain udang galah
(Macrobranchium rosenbergii), udang kipas (Panulirus sp) dan udang karang
(Lobster) (Permana 2007).
2.2 Komposisi Kimia Udang
Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki
aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya
lebih kurang 36-49% dari total keseluruhan berat badan, daging 24-41% dan kulit
17-23% (Anonim 2007). Komposisi kimia udang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia udang
No Komposisi kimia Jumlah
1 Kadar air (%) 78
2 Kadar abu (%) 3,1
3 Lemak (%) 1,3
4 Karbohidrat (%) 0,4
5 Protein (%) 16,72
6 Kalsium (Mg) 161
7 Fosfor (Mg) 292
8 Besi (Mg) 2,2
9 Natrium (Mg) 418
Sumber: USDA (2003)
Selain itu daging udang juga mempunyai asam amino esensial yang
penting bagi manusia, dimana asam amino tirosin, triptofan dan sistein lebih
tinggi dibandingkan hewan darat. Hal ini disebabkan tingginya protein pada udang
6
dengan 18 jenis asam amino yang terkandung didalamnya. Komposisi protein dan
asam amino esensial yang terdapat pada udang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi protein dan asam amino esensial pada udang.
Komposisi Satuan Konsentrasi
Protein :
- Mioplasma
- Miofibril
- Miostroma
Asam amino esensial :
- Isoleusin
- Leusin
- Lisin
- Metionin
- Sistein
- Fenilalanin
- Tirosin
- Treonin
- Triptofan
- Valin
%
%
%
g/100 g
g/100 g
g/100 g
g/100 g
g/100 g
g/100 g
g/100 g
g/100 g
g/100 g
g/100 g
32
59
5
0,985
1,612
1,768
0,572
0,228
0,858
0,676
0,822
0,283
0,956
Sumber : USDA (2003)
2.3 Persyaratan Mutu Udang
Udang sebagai salah satu produk perikanan yang memilliki sifat mudah
busuk (highly perishable), maka penanganan yang baik mutlak diperlukan agar
mutu udang tetap segar pada saat dikonsumsi. Mutu udang terutama ditentukan
oleh keadaan fisik dan organoleptik (rupa, warna, bau, rasa dan tekstur) dari
udang tersebut. Kemudian, ukuran dan keseragaman udang juga dapat
menentukan tingkat mutunya. Oleh karena itu, tidak boleh ada cacat, rusak atau
defect yang akan mengurangi nilai dari mutu udang (Hadiwiyoto 1993). Standar
syarat mutu dan keamanan pangan udang beku dapat dilihat pada Tabel 3.
7
Tabel 3. Standar syarat mutu dan keamanan pangan udang beku
Jenis Uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik angka (1-9) minimal 7
b. Cemaran mikroba:
ALT
koloni/g
maksimal 5,0 x 105
Escherichia coli APM/g maksimal < 2
Salmonella APM/25g Negative
Vibrio cholera APM/25g Negative
Vibrio
parahaemolyticus
(kanagawa positif)*
APM/g
maksimal < 3
c. Cemaran kimia*:
Kloramfenikol Ppb maksimal 0
Nitrofuran Ppb maksimal 0
Tetrasiklin Ppb maksimal 100
d. Fisika:
Suhu pusat, maks. °C maksimal -18
e. Filth Jenis/jumlah maksimal 0
*: Bila diperlukan
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2007)
Udang yang digunakan dalam industri pengolahan hanyalah udang yang
memiliki mutu segar. Penilaian mutu udang dapat dilihat secara organoleptik
(visual). Mutu udang sebagai bahan baku akan mempengaruhi produk akhir.
Udang yang memiliki kesegaran yang baik akan menghasilkan produk akhir yang
baik pula atau sebaliknya. Berdasarkan kesegarannya, udang dapat dibedakan
menjadi empat kelas mutu, yaitu (Hadiwiyoto 1993):
a. Udang yang mempunyai mutu prima (prime) atau baik sekali, yaitu udang-
udang yang benar-benar masih segar, belum ada perubahan warna, transparan
dan tidak ada kotoran atau noda-nodanya.
b. Udang yang mempunyai mutu baik (fancy). Udang ini mutunya dibawah
prima, ditandai dengan adanya kulit udang yang sudah tampak pecah-pecah
atau retak-retak, tubuh udang lunak tetapi warnanya masih baik dan tidak
terdapat kotoran atau noda-nodanya.
c. Udang bermutu sedang (medium, black dan spot). Pecah-pecah pada kulit
udang lebih banyak daripada udang yang bermutu baik. Udang sudah tidak
8
utuh lagi, kakinya patah, ekornya hilang atau sebagian tubuhnya putus. Daging
udang sudah tidak lentur lagi, pada permukaan tubuhnya sudah tampak banyak
noda berwarna hitam atau merah gelap.
d. Udang yang bermutu rendah (jelek dan rusak). Kulit udang banyak yang pecah
atau mengelupas, ruas-ruas tubuh sudah banyak yang putus dan udang sudah
tidak utuh lagi.
2.4 Kemunduran Mutu Udang
Proses kemunduran mutu udang dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang
berasal dari badan udang itu sendiri dan faktor lingkungan. Penurunan mutu ini
terjadi secara autolisis, bakteriologis dan oksidatif.
Kemunduran mutu udang sangat berhubungan dengan komposisi kimia
dan susunan tubuhnya. Sebagai produk biologis, udang termasuk bahan makanan
yang mudah bususk bila dibandingkan dengan ikan. Oleh karena itu, penanganan
udang segar memerlukan perhatian dan perlakuan yang cermat. Susunan tubuh
udang mempunyai hubungan erat dengan masa simpannya. Bagian kepala
merupakan bagian yang sangat berpengaruh terhadap daya simpan karena bagian
kepala mengandung enzim pencernaan dan bakteri pembusuk (Purwaningsih
1995).
Kerusakan biokimia disebabkan oleh kerusakan enzim yang ada dalam
tubuh udang. Enzim tersebut menguraikan atau membongkar senyawa-senyawa
makromolekul dan mudah menguap sehingga timbul bau busuk atau tidak sedap
(Hadiwiyoto 1993).
Kerusakan mikrobiologis dipacu oleh pertumbuhan mikroba yang terdapat
dalam tubuh dan permukaan udang, setelah udang mati pertahanan tubuhnya
berkurang sehingga mikroba dapat menyerang daging udang.
Pengaruh lingkungan seperti sinar matahari dan suhu dapat menjadi
penyebab utama kerusakan fisik. Penigkatan suhu dapat mempercepat proses
oksidasi dan tekstur udang menjadi lunak (Hadiwiyoto 1993).
Sebagai salah satu jenis bahan makanan yang terhitung mudah sekali
mengalami kemunduran mutu, maka penanganan udang memerlukan perhatian
yang menyeluruh dan perlakuan yang cermat. Dari segi kemunduran mutu ada
atau tidaknya kepala mempengaruhi daya simpan udang segar karena bagian
9
kepala terdapat insang dan isi perut yang merupakan salah satu sumber bakteri
pembusuk dan enzim-enzim pencernaan (Moeljanto 1992).
Salah satu cara untuk menghambat proses penurunan mutu udang segar
adalah dengan pembekuan yang merupakan cara yang paling baik untuk
penyimpanan jangka panjang. Apabila cara pengolahan dan pembekuan dilakukan
dengan baik dan bahan mentahnya masih segar, maka dapat dihasilkan udang
beku yang bila dicairkan mendekati sifat-sifat udang segar (Moeljanto 1992).
2.4.1 Aktivitas enzimatis
Penurunan mutu adalah suatu proses autolisis yang terkadi karena kegiatan
enzim dalam tubuh udang dan tidak terkendali sehingga senyawa pada jaringan
tubuh yang tekah mati terurai secara kimia (Purwaningsih 1995).
Seperti diketahui bahwa enzim pada udang berfungsi antara lain
menguraikan protein, karbohidrat dan lemak menjadi energy atau disimpan
sebagai cadangan makanan, tetapi setelah udang mati enzim masih terus
menguraikan jaringan tubuh, sementara pemasukan makanan dari luar terhenti,
akibatnya jaringan tubuh menjadi lembek. Selain itu, terjadi pula penguraian
protein menjadi asam amino dan perubahan-perubahan terhadap komponen flavor,
warna (diskolorasi) dari warna asli mejadi warna coklat atau hitam (black spot)
yang disebabkan oleh reaksi enzimatis.
2.4.2 Oksidasi
Kecepatan oksidasi lemak dapat diperlambat dengan penurunan suhu.
Melindungi produk agar tidak berhubungan dengan udara (dibungkus), dengan
pembunuhan antioksidan, mencegah kontak antara produk dengan logam-logam
berat lainnya (Ilyas 1983 dalam Irwanto 2002).
2.4.3 Aktivitas mikroorganisme
Proses penurunan mutu secara mokrobiologis adalah suatu proses
penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari
selaput lender, insang dan saluran pencernaan (Purwaningsih 1995).
Aktivitas bakteri dimulai setelah udang mati namun demikian kegiatannya
masih terbatas karena kondisi jaringan tubuh udang (pH dan suhu) yang belum
sesuai untuk aktivitas dan perkembangannya. Aktivitas perkembangbiakan baru
berlangsung setelah terjadi kelembekan pada daging akibat kerja enzim (proses
10
autolysis). Serangan bakteri pada udang terutama tertuju pada beberapa tempat
yang merupakan sumber pembusukan yaitu selaput lender dan kulit, isi perut yang
terletak di kepala, insang, dan kaki yang terdapat pada bagian kepala.
2.4.4 Dehidrasi
Produk udang beku akan mengalami proses dehidrasi (kekeringan) karena
adanya perpindahan panas yang membawa uap air dari produk kearah evaporator,
sehingga produk menjadi kering dan berwarna coklat. Cara mengatasinya adalah
dengan proses glazing dan pengemasan yang benar. Dengan diketahuinya
penyebab penurunan mutu pada udang beku, diharapkan penanganan terhadap
produk beku dapat dilakukan dengan lebih baik sehingga tujuan dari pembekuan
itu sendiri akan tercapai.
2.5 Proses Pembekuan dan Produksi Udang Beku
Pada prinsipnya pembekuan udang merupakan salah satu cara
memperlambat terjadinya proses penurunan mutu, baik secara autolisis,
bakteriologis dan oksidasi dengan suhu rendah. Walaupun dapat memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme serta memperlambat reaksi kimia dan aktivitas
enzim, pembekuan bukanlah cara untuk mensterilkan udang. Oleh karena itu,
setelah udang dibekukan dan disimpan dalam ruang beku (cold storage), tidak
akan lepas begitu saja dari proses penurunan mutu (Ilyas 1993).
Menurut Hadiwiyoto (1993), proses pembekuan berdasarkan sistem
pindah panas dari alat yang digunakan atau cara yang dikerjakan, proses
pembekuan terdiri atas:
Pembekuan konvensional, jika cara pembekuannya menggunakan alat
pendinginan sederhana yang tradisional atau konvensional sifatnya.
Blast freezing, pada metode ini bahan ditempatkan pada suatu ruang
pembekuan dengan udara bersuhu rendah dihembuskan. Beberapa cara metode
ini adalah pembekuan dalam alat berbentuk terowongan (tunnel freezing), air
blast freezing dan flow freezing.
Contact plate freezing, pada metode ini bahan dibekukan dengan alat pelat-
pelat pembekuan yang ditempatkan pada bahan.
11
Pembekuan celup (immersion freezing), pada metode ini bahan yang akan
dibekukan dicelupkan dalam cairan yang sangat dingin, misalnya larutan
garam (NaCl) dingin, campuran gliserol dan alkohol atau larutan gula dingin.
Pembekuan dengan cara penyemprotan bahan pendingin berbentuk cairan
(spray freezing)
Kombinasi pembekuan celup dengan blast freezing (the blend process)
Cryogenic freezing, merupakan metode pembekuan dengan menggunakan gas
nitrogen yang dicairkan atau karbondioksida cair.
Proses produksi udang beku dimulai dari tempat penerimaan sampai
dengan tempat penyimpanan udang beku (cold storage). Urutan-urutannya secara
umum adalah sebagai berikut (Purwaningsih 1995).
2.5.1 Penerimaan bahan baku di pabrik
Udang segar yang tiba di pabrik dalam bak fiberglass atau blong plastik
yang diberi es, kemudian dibongkar di ruang penerimaan. Udang tersebut
dipisahkan dari sisa-sisa es, dan disemprot dengan air bersih (Pencucian 1).
Setelah bersih, udang dipindahkan ke dalam keranjang-keranjang plastik besar.
Selanjutnya udang dibawa ke ruang proses untuk diolah lebih lanjut. Apabila
bahan baku masih banyak, maka udang ditampung dalam bak penampung (fiber
glass). Penampungan udang tidak boleh dari satu hari. Dalam bak penampung
tersebut diberi es dengan perbandingan udang dan es adalah 1:2.
2.5.2 Pemotongan kepala dan pembersihan genjer
Bentuk olahan udang beku yang paling umum adalah headless (HL).
Bentuk udang headless adalah udang yang dibekukan tanpa kepala dan genjer.
Bagian kepala merupakan tempat berkumpulnya kotoran udang sehingga menjadi
sumber bakteri. Genjer adalah kulit ari tebal yang terdapat pada sambungan antara
kepala dengan badan.
Pemotongan kepala dan pembersihan dilakukan dengan tangan. Menurut
Hariadi (1994), cara-cara pemotongan kepala adalah: udang dipegang
punggungnya oleh tangan kiri, dengan posisi tengkurap, jempol tangan kanan
memakai alat pemotong, kelopak kepala dan kaki jalan dibuang dengan alat
tersebut, arah cabikan ke atas, harus bersih dan tidak meninggalkan organ-organ
12
kepala (mandibula, maksila, dan lain-lain), rendemen harus sebesar mungkin yaitu
sekitar 68%.
2.5.3 Pencucian 1
Udang yang sudah dipotong kepalanya tanpa genjer, dicuci dengan air
dingin yang berklorin dengan konsentrasi sebesar 10 ppm. Pencucian ini bertujuan
untuk menghilangkan lendir, menghilangkan kotoran yang terbawa udang pada
saat di tambak dan mengurangi jumlah bakteri.
2.5.4 Pensortasian
Sortasi merupakan proses pemisahan udang berdasarkan kualitasnya.
Sortasi ini pun menentukan bahan baku udang akan dimasukkan ke dalam proses
produk tertentu. Ada tiga macam sortasi yang dilakukan yaitu:
1. Sortasi jenis
Pertama kali dilakukan sortasi adalah sortasi jenis udang. Untuk jenis
udang tambak biasanya dilakukan di tempat panen. Menurut Hariadi (1994),
sortir jenis ini dilakukan untuk memisahkan pesanan jenis udang tertentu oleh
konsumen.
2. Sortasi warna
Pada sortasi ini dilakukan proses pemisahan warna. Sortasi ini dilakukan
secara visual, yaitu dengan cara dilihat kemudian udang dipisahkan menurut
warnanya. Menurut Hariadi (1994), dalam sortasi warna pada dasarnya ada tiga
warna yang harus digunakan, dengan tujuan mempertinggi nilai artistik jika
disusun dalam bentuk beku nantinya. Meskipun kualitas udang lebih penting, akan
tetapi segi keindahan susunan dan kesegaran warna juga sangat berperan dalam
menarik minat konsumen. Adapun tiga warna tersebut adalah black (hitam), blue
(biru) dan white (putih).
3. Sortasi ukuran
Sortasi ukuran adalah suatu cara penyortiran udang berdasarkan ukuran.
Dalam sortasi ini dilakukan sesuai dengan jumlah tertentu untuk setiap pound.
Pada tahap ini udang selalu dipertahankan pada kondisi dingin yaitu dengan cara
memberi es curai pada udang yang sedang disortir. Jumlah standar ukuran udang
dapat dilihat pada Tabel 4.
13
Tabel 4. Jumlah standar ukuran udang
No Size Banyaknya udang per pound
1 U-5 Dibawah 5
2 6-8 Antara 6- 8
3 8-12 Antara 8- 12
4 13-15 Antara 13- 15
5 16-20 Antara 16- 20
6 21-25 Antara 21- 25
7 26-30 Antara 26- 30
8 31-40 Antara 31- 40
9 41-50 Antara 41- 50
10 51-60 Antara 51- 60
11 61-70 Antara 61- 70
12 71-90 Antara 71-90
13 91-120 Antara 91-120
Sumber: Purwaningsih 1995
4. Sortasi final
Sortasi final dilakukan untuk mengoreksi hasil sortasi yang belum
seragam, baik mengenai mutu, ukuran, dan warna. Dalam sortasi ini diperlukan
ketelitian dan ketrampilan yang tinggi dibandingkan dengan sortasi sebelumnya.
Untuk pengecekan dilakukan per 1 pound dengan timbangan. Bila jumlah udang
sudah sesuai dengan jumlah standar pada daftar, maka proses penanganan dapat
dilanjutkan.
2.5.5 Penimbangan
Pada tahap ini ada dua aktivitas utama yaitu perhitungan jumlah dilakukan
untuk menentukan jumlah yang tepat dan ukuran yang seragam. Penimbangan
dilakukan setelah perhitungan jumlah standar. Berat produk disesuaikan dengan
ketentuan inner carton yaitu sebesar 4 pound atau 1,8 kg, untuk menjaga
penyusutan setelah thawing, maka timbangan dilebihkan 2-4% dari berat bersih.
Setelah penimbangan dilakukan pencatatan udang berdasarkan ukuran,
mutu, dan jumlah bobotnya. Kemudian setiap udang dalam keranjang
penimbangan diberi label serta ditambahkan es agar tetap dalam keadaan dingin
14
dan segar. Label udang menunjukkan kualitas dan jenis udang, sedangkan angka
menunjukkan ukuran udang dalam pound.
2.5.6 Pencucian 2
Udang dicuci dalam air bersih tanpa kaporit yang dicampur dengan es
sehingga udang tetap dalam keadaan dingin. Pencucian ini bertujuan untuk
membersihkan lendir, bakteri, serta kotoran sebelum dilakukan pembekuan.
Pencucian dilakukan dengan menggunakan keranjang plastik kecil dengan cara
menggoyang-goyangkan keranjang pada tiga deret bak pencuci.
2.5.7 Penyusunan dalam pan pembeku
Penyusunan dalam pan pembeku adalah penyusunan dengan cara ekor
bertemu dengan ekor dan potongan kepala mengahadap ke samping. Jumlah
udang pada setiap lapis tergantung pada ukuran yang disusun. Menurut Hariadi
(1994), sebelum disusun inner pan dilapisi plastik tipis terlebih dahulu dengan
tujuan untuk mempermudah dalam pelepasan udang dari pan jika telah masuk
beku, selain itu juga agar blok beku memiliki permukaan yang rata.
2.5.8 Pembekuan dan glazing
Pembekuan udang sering dilakukan dengan menggunakan alat Contact
Plate Freezing (CPF), yaitu dengan cara bahan dibekukan dengan alat pelat-pelat
pembekuan yang ditempatkan pada bahan, sedangkan Air Blast Freezing (ABF),
yaitu dengan cara bahan ditempatkan pada suatu ruang pembekuan dengan udara
suhu rendah dihembuskan, pembekuan ini dilakukan untuk udang yang dibekukan
dalam bentuk blok. Apabila udang dibekukan secara individu bias menggunakan
Individual Quick Freezer (IQF) (Hadiwiyoto 1993)
Setelah dibekukan udang harus dilakukan glazing atau diberi lapisan es
tipis sehingga permukaan udang beku atau blok udang tampak mengkilat. Tujuan
utama dari glazing adalah mencegah pelekatan antar bahan baku, melindungi
produk dari kekeringan selama penyimpanan, mencegah ketengikan akibat
oksidasi dan memperbaiki penampakan permukaan. Adapun glazing dilakukan
dengan cara menyiram atau mencelupkan udang beku dalam air bersuhu antara
05°C. Setelah dilakukan glazing, udang dikemas dan disimpan dalam gudang
beku (cold storage).
15
2.5.9 Penyimpanan udang beku
Udang yang telah beku harus disimpan di dalam cold storage, yaitu sebuah
ruangan penyimpanan yang dingin. Suhu dalam cold strorage umumnya 30°C
hingga 60°C, tergantung pada kebutuhan. Suhu cold storage diukur dengan alat
pengukur suhu yang disebut dengan termostat. Selisih perubahan suhu cold
strorage tersebut biasanya tidak kurang dari 2°C. Misalnya, jika suhu cold storage
secara nominal harus dipertahankan pada suhu -35°C, maka pendinginan
dihentikan jika suhu ruang mencapai 36°C, dan dijalankan jika suhu ruang naik
menjadi 34°C (Purwaningsih 1995).
Udang di dalam cold storage mengalami banyak perubahan yang cenderung
menurunkan mutu ikan . Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan fisik
dan biokimia, misalnya pengeringan (dehidrasi, dessication), oksidasi lemak,
denaturasi protein, dan penggumpalan senyawa-senyawa hasil perombakan yang
dilakukan oleh enzim serta bakteri (Purwaningsih 1995).
2.6 HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point)
HACCP merupakan suatu sistem untuk mengidentifikasi, mengevaluasi,
dan mengendalikan setiap kemungkinan terjadinya resiko bahaya pada seluruh
tahapan proses (CAC 2003). Sistem HACCP merupakan suatu sistem yang
digunakan untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang
memfokuskan pada pencegahan. HACCP menekankan pentingnya mutu
keamanan pangan, karena itu sebagai suatu sistem jaminan mutu keamanan panga,
HACCP dapat diterapkan pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk
pangan mulai dari bahan baku sampai produk dikonsumsi (Muhandri dan
Kadarisman 2006).
HACCP adalah suatu sistem dengan pendekatan sistematik untuk
mengakses bahaya-bahaya dan resiko-resiko yang berkaitan dengan pembuatan,
distribusi dan penggunaan produk pangan. Sistem HACCP ini dikembangkan atas
dasar identifikaasi titik pengendalian kritis (Critical control point) dalam tahap
pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan resiko bahaya. (Thaheer 2005).
Menurut (Wiryanti dan Witjaksono 2001) alasan utama pembuatan dan
penerapan sistem HACCP dalam industri pangan adalah:
1. Meningkatnya tuntutan konsumen atas keamanan pangan (food safety)
16
2. Pengujian pada produk akhir (end product inspection) sudah tidak mampu
memenuhi kebutuhan konsumen
3. Adanya pendekatan baru yang berdasarkan atas tindakan pencegahan
(preventive measure), pengawasan selama proses (in process inspection) dan
semakin dominannya peranan perusahaan dalam pengawasan mutu secara
mandiri (self regulatory quality control).
Secara umum, program HACCP didasarkan pada tujuh prinsip yang
dikembangkan oleh NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological
Criteria for Foods). Ketujuh prinsip itu adalah (Muhandri dan Kadarisman 2006) :
1. Melakukan suatu analisis bahaya (hazard analysis) dengan mengidentifikasi
dan mengiventarisasi resiko bahaya-bahaya terhadap keamanan produk
pangan yang dapat terjadi dalam proses produksi serta tindakan-tindakan
pencegahan yang diperlukan utnuk mengendalikan bahaya atau resiko
potensial yang membahayakan.
2. Mengidentifikasi titik pengendalian kritis (critical control points-CCP) pada
tahapan proses dimana resiko bahaya yang mempengaruhi mutu dan atau
keamanan pangan dapat dicegah, dikurangi atau dieliminasi.
3. Menetapkan batas-batas (critical limit) untuk dapat dilkukan tindakan-
tindakan pengendalian terhadap resiko bahaya pada setiap CCP. Suatu batas
kritis adalah nilai yang tidak boleh dilewati.
4. Melakukan pemantauan (monitoring) yang meliputi aktivitas pengamatan,
pengukuran atau pengujian untuk menilai apakah resiko bahaya berada dalam
batas-batas kritis yang ditetapkan atau tidak sesuai dengan ketentuan.
5. Melakukan tindakan korektif dan atau pencegahan yang diperlukan. Program
HACCP harus mencakup prosedur tindakan korektif dan atau preventif untuk
menghindari ketidaksesuaian terhadap ketentuan serta melakukan tindakan
korektif dengan menelusuri penyebab akar masalah.
6. Mendokumentasikan dan mengendalikan hasil pemantauan terhadap
penerapan program HACCP dan harus selalu tersedia untuk dilakukan analsis.
7. Melakukan verifikasi terhadap efektifitas penerapan program HACCP secara
berkala untuk melihat apakah sistem efektif sesuai dengan rencana awal dan
jika memungkinkan dapat dimodifikasi untuk mencapai tujuan.
17
Analisa program HACCP dalam pengawasan mutu produk menurut
Winarno dan Surono (2002) adalah sebagai berikut:
1. Keamanan Pangan (Food Safety)
Merupakan aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan
timbulnya penyakit atau bahkan kematian. Masalah itu umumnya
dihubungkan dengan masalah biologi, kimia dan fisika.
2. Kesehatan dan Kebersihan (Wholesomeness)
Merupakan karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan
kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan higiene.
3. Kecurangan ekonomi (Economic Fraud)
Merupakan tindakan-tindakan yang ilegal atau penyelewengan yang dapat
merugikan pembeli. Tindakan ini meliputi pemalsuan spesies (bahan baku),
penggunaan bahan tambahan yang berlebih, berat yang tidak sesuai dengan
label, overglazing dan jumlah komponen yang kurang seperti tertera dalam
kemasan.
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (2000), dasar pengembangan
dalam penerapan program sistem manajemen HACCP berdasarkan sistem
HACCP meliputi beberapa aspek sebagai berikut:
a. Upaya pencegahan (preventive measure)
Yaitu upaya yang dilakukan untuk memperoleh produk akhir yang benar-
benar terjamin, aman, mutu konsisten serta jaminan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada konsumen.
b. Pengawasan terhadap proses produksi (in-process inspections)
Untuk melakukan pencegahan maka sistem pengawasan yang dikembangkan
adalah pengawasan terhadap proses produksi mulai dari tahap awal sampai
distribusi produk akhir.
c. Pengujian laboratorium
Merupakan bagian dan penunjang dari keseluruhan sistem yang dilakukan
pada tempat dan waktu yang sesuai keperluan.
d. Peranan swasta
Mempunyai peranan yang sangat besar yaitu melakukan pengawasan secara
mandiri terhadap proses produksi mereka sendiri. Peranan pemeintah
18
bertindak sebagai pengawas dalam sisten sistem manajemen HACCP yang
dikembangkan dengan baik.
Beberapa alasan mengapa HACCP diperlukan dalam bisnis perikanan
menurut Winarno dan Surono (2002) adalah sebagai berikut:
a. Tujuan manajemen industri pangan dalam menjamin keamanan pangan
b. Keamanan pangan adalah syarat wajib konsumen
c. Banyaknya kasus keracunan pangan
d. Terbatasnya jaminan sistem inspeksi produk akhir melalui pengujian untuk
menjamin keamanan pangan
e. HACCP berkembang menjadi standar internasional dan persyaratan wajib
pemerintah
f. HACCP sebagai sistem yang memberikan efisiensi manajemen keamanan
pangan
g. Kebutuhan akan sistem keamanan pangan yang efektif
Keuntungan penerapan HACCP adalah menjamin keaman pangan dan
mengendalikan mutu. Menurut Herschdoerfer (1984), pengendalian mutu penting
untuk memperoleh produk yang bermutu, mengoptimalkan penjualan
hubungannya dengan keuntungan, mengurangi sampah (membuang produk)
dengan mencegah kesalahan sebelum terjadi, meningkatkan efisiensi proses
dengan menggunakan informasi dari tes QC, mengurangi komplain dari
konsumen dan menjaga citra produk serta kredibilitas perusahaan, membantu
untuk mengendalikan biaya bahan baku dan proses operasi, melindungi konsumen
dari keracunan makanan dan resiko lain yang berhubungan serta melengkapi
manajemen agar memenuhi hukum dalam semua aspek yang berkaitan dengan
kualitas produk.
2.7 Kelayakan Dasar
Sistem HACCP sebagai suatu sistem pengendalian keamanan pangan mutu
tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didasari oleh faktor-faktor pengendali yang
mendasar terhadap resiko bahaya ketidakamanan pangan dan atau mutu (Wiryanti
dan Witjaksono 2001). Faktor pengendali yang menjadi prasyarat (pre-requisite
program-PRP) efektifitas penerapan program HACCP sebagai suatu sistem
19
pengendalian mutu adalah terpenuhinya persyaratan kelayakan dasar unit
pengolahan (CAC 2003), yang meliputi :
Cara berproduksi yang baik dan benar (Good Manufactoring Practise-GMP).
Good Manufactoring Practise (GMP) merupakan suatu metode atau cara
berproduksi yang baik dan benar dalam rangkamenghasilkan produk dengan mutu
yang baik sesuai dengan harapan. GMP meliputi delapan persyaratan yaitu :
1) Persyaratan bahan baku
2) Persyaratan bahan pembantu dan tambahan (food additives)
3) Persyaratan produk akhir
4) Peryaratan penanganan
5) Persyaratan pengolahan
6) Peryaratan pengemasan
7) Persyaratan penyimpanan
8) Persyaratan pengangkuatan dan distribusi.
Persyaratan sanitasi dan hygiene, meliputi :
1) Kondisi fisik sanitasi dan hygiene yang terdiri atas :
a) Lokasi dan lingkungan
b) Kondisi konstruksi bangunan (konstruksi ruang dan gedung, rancang
bangun, lantai, langit-langit, dinding, penerangan, ventilasi, saluran
pembuangan limbah cair, sumber dan distribusi pasokan air dan atau
es, instalasi pembuangan limbah, toilet, ruang istirahat, gudang beku
dan dingin, gudang kering, sarana pengawetan, dan fasilitas
pengujian)
c) Peralatan dan perlengkapan pengolahan (konstrusi dan pemeliharaan
peralatan serta perlengkapan pengolahan, bahan untuk perlatan dan
perlengkapan pengolahan, operasional pembersihan dan sanitasi
peralatan serta perlengakapan pengolahan)
2) Sanitasi dan kesehatan karyawan.
Manajemen harus mempunyai tindakan yang efektif untuk mencegah
karyawan yang diketahui mengidap penyakit yang dapat mencemari
produk. Selain itu, kebersihan karyawan yang menangani produk harus
20
dijaga. Perilaku karyawan di dalam ruang pengolahan harus mampu
mengurangi dan mencegah kontaminasi produk.
3) Prosedur pengendalian sanitasi.
Produsen perlu mempunyai dan melaksanakan rancangan tertulis
mengenai prosedur operasional standar sanitasi (Sanitasion Standard
Opering Procedures-SSOP), yang terdiri atas 8 kunci SSOP :
a) Keamanan air proses dan es
b) Kondisi dan kebersihan dari permukaan yang kontak dengan pangan.
c) Pencegahan kontaminasi silang
d) Fasilitas pencuci tangan/sanitasi dan fasilitas toilet
e) Perlindungan dari bahan kontaminan
f) Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksik
g) Kesehatan karyawan
h) Pengendalian hama
Penerapan program kelayakan dasar di perusahaan atau unit pengolahan
sering mengalami kendala-kendala teknis, sehingga mengakibatkan
ketidaksesuaian dengan peraturan yang berlaku. Bentuk-bentuk penyimpangan
dalam kelayakan dasar meliputi (Ditjen PPHP 2007) :
a. Penyimpangan minor (minor deficiency)
Penyimpangan yang memberikan dampak resiko keamanan pangan dan
atau mutu yang kecil atau tidak secara langsung apabila tidak dilakukan
pengendalian.
b. Penyimpangan mayor (mayor deficiency)
Penyimpangan yang memberikan dampak keamanan pangan dan atau
mutu yang signifikan dapat mengganggu kesehatan apabila tidak
dilakuakn pengendalian.
c. Penyimpangan serius (serious deficiency)
Penyimpangan yang memberikan dampak resiko keamanan pangan yang
serius pada tingkat gawat terhadap gangguan keehatan konsumen apabila
tidak dilakuakn pengendalian.
d. Penyimpanagan kritis (critical deficiency)
21
Penyimpangan yang memberikan dampak resiko keamanan pangan tingkat
fatal dapat mengganggu kesehatan.
Untuk menentukan tingkat kelayakan unit pengolahan berdasarakan
penyimpangan yang ada digunakan daftar seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Penentuan nilai unit (rating) pengolahan berdasarkan jumlah
penyimpangan
Tingkat (rating) Jumlah Penyimpangan
MN (minor) MY (mayor) SR (serius) KT (kritis)
A (baik sekali) 0 – 6 0 – 5 0 0
B (baik) ≥ 7 6 – 10 1 – 2 0
C (kurang) - ≥ 11 3 – 4 0
D (jelek) - - ≥ 5 ≥ 1
Sumber: Winarno (2002)
Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (1998) elemen-elemen minimal
dalam penyusunan sistem HACCP, adalah :
1. Kebijakan mutu
2. Organisasi
3. Deskripsi produk
4. Persyaratan dasar
5. Diagram alur proses
6. Analisis bahaya
7. Lembar kerja pengendalian mutu
8. Sistem penyimpanan catatan
9. Prosedur verifikasi
10. Prosedur pengaduan konsumen
11. Prosedur penelusuran dan penarik produk
12. Perubahan dokumen atau revisi
22
3. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN
3.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan
PT Misaja Mitra Pati merupakan salah satu cabang perusahaan PT. Misaja
Mitra yang berkantor pusat di Jakarta yang merupakan perusahaan patungan
(Joint Venture) antara PT. Pelindo Jaya (Indonesia) dengan Toho Bussan Kaisha
Co, Ltd (Jepang) dengan status penanaman Modal Asing (PMA). Kesepakatan
antra kedua perusahaan tercantum dalam Agreement for Join Enterprise tanggal 9
Juli 1968 sedangkan PT. Misaja Mitra Pati sendiri didirikan pada tanggal pada
tanggal 19 April 1984 dan kegitan produksinya dimulai setelah dilakukan
pemasangan mesin, peralatan dan pendekatan kepada petani tambak udang di
Kabupaten Pati.
Nama “Misaja Mitra” tercetus saat PT Pelindo Jaya sedang dalam usaha
mencari mitra dagang di Jepang “Misaja” berasal dari bahasa sansekerta yang
berarti mencari, sedangkan “Mitra” berasal dari bahasa Indonesia yang berarti
rekan. Sampai saat ini perusahaan mempunyai tiga cabang yaitu Kota Baru
(Kalimantan Selatan), Tarakan (Kalimantan Timur), dan Pati (Jawa Tengah).
PT. Misaja Mitra Pati merupakan salah satu perusahaan yang bergerak
dalam usaha pembekuan udang. Perusahaan didirikan pada tanggal 19 April 1984
dengan akte notaries Sugianto, SH No 14/1994/A.N/K dan mulai beroperasi pada
tanggal 19 April 1994. Perusahaan ini telah memperoleh izin dari berbagai pihak,
antara lain :
a) Izin tempat usaha, yang diberikan oleh kepala Daerah Tingkat II
kabupaten Pati No. 503/5547/1994 pada tanggal 20 Juli 1994.
b) Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) No. 5235/24/PH/II/2002 yang
dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah
pada tanggal 19 Februari 2002.
c) Izin usaha industri yang diberikan oleh Menteri Penggerak Dana
Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, No.
593/T/industry/1995 pada tanggal 1 Desember 1995.
d) Izin Kawasan Berikat yang diberikan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 23/HMK/04/2002 pada tanggal 7 Februari 2002.
23
e) Surat Keterangan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) No.
01.001.691.3507.001.
PT Misaja Mitra Pati yang merupakan salah satu perusahaan yang
berinduk di perusahaan Toho Bussan Co. Ltd dalam hal pencarian market,
produksinya tergantung order sesuai permintaan buyer. Sehingga dari awal berdiri
sampai sekarang PT Misaja Mitra Pati ini telah memproduksi beberapa jenis
produk udang beku. Pada awal produksi yaitu bulan April 1994 jenis produksinya
yaitu block frozen TSK brand, pada bulan Agustus 1995 mulai memproduksi
PDTO Nobashi Ebi NISSUI brand. Bulan Juli 1996 memproduksi breaded
shrimp NISSUI brand dan pada bulan Oktober 2003 memproduksi HO PDTO
bread shrimp NISSUI brand.
Sistem penerapan mutu yang dilakukan oleh PT Misaja Mitra Pati
disesuaikan dengan tujuan pasar. Perkembangan penerapan mutu dan beberapa
penghargaan yang diperoleh antara lain :
a) Memperoleh sertifikat HACCP pada Desember 1999
b) 10 besar terbaik kategori penerapan HACCP di perusahaan perikanan
seluruh Indonesia pada bulan Desember 2000.
c) Penghargaan A Excellent untuk penerapan HACCP dan GMP pada
Desember 2001.
d) Start HPLC pada bulan Februari 2005.
e) Meraih Higer Level Certificate of Comformity dari EFSIS Eropa sebagai
perusahaan penyedia produk makanan sesuai standar EFSIS Eropa pada
Juli 2005.
f) Meraih sertifikat Quality Management System ISO 9001:2000 (License
No. QEC22876) pada bulan Oktober 2005.
g) Meraih sertifikat Quality Management System ISO 9001 : 2008 (License
No. QEC22876) pada bulan April 2009.
3.2 Keadaan Perusahaan
PT Misaja Mitra didirikan di atas tanah + 17.200 m2 dengan luas bangunan
+ 1.127,79 m2. Lokasi perusahaan bertempat di Jalan Raya Pati - Tayu Km.18,
Desa Waturoyo, Kecamatan Margoyoso Pati Jawa Tengah. Adapun batas-batas
wilayahnya yaitu sebelah utara Kecamatan Tayu, sebelah selatan Kecamatan
24
Trangkil, sebelah timur perkampungan penduduk Desa Waturoyo, dan sebelah
barat Jalan raya Pati-Tayu. Lokasi perusahaan sangat menguntungkan karena
terletak di kawasan perikanan yang dekat dengan sumber bahan baku, lokasi
perusahaan dekat dengan Jalan Raya Pati-Tayu yang memberikan kemudahan dan
kelancaran transportasi, dan ketersediaan air yang melimpah. Selain itu di lokasi
perusahaan upah tenaga kerja relatif murah sehingga dapat menekan biaya
produksi.
Bangunan pabrik terdiri dari satu unit kantor, beberapa ruangan lainnya
yaitu ruang pembongkaran udang dari pemasok, ruang purchise, ruang potong
kepala, ruang grading, 3 ruang proses, ruang laboratorium, 3 ruang packing,
gudang penyimpanan bahan pengemas, 5 ruang air blast, 3 ruang ice flaker, 3
ruang cold storage, ruang perebusan alat, dan ruang penggiling roti. Selain itu
terdapat bangunan penunjang lainnya seperti gudang, mushola, mess, ruang
makan, dapur, kamar mandi dan WC, ruang ganti pakaian, ruang mesin dan
control panel. Di halaman perusahaan terdapat tempat parkir, tempat tunggu
supplier, dan pos kemanan yang terdapat di samping pintu masuk.
Bangunan perusahaan terdapat dua lantai. Semua ruangan terdapat pada
lantai satu, kecuali ruangan kamar ganti wanita dan gudang penyimpanan bahan
pengemas. Setiap akan memasuki ruang proses terdapat bak pencuci kaki, tempat
cuci tangan dan tirai plastik. Serta pada waktu akan masuk ruang proses terdapat
penjaga, yang dikenal dengan koro-koro dan ruang air shower untuk
menghilangkan adanya resiko rambut, debu-debu, dan benda-benda halus lainnya
yang kemungkinana masih menempel pada pakaian atupun penutup kepala
karyawan.
3.3 Struktur Organisasi Perusahaan
PT Misaja Mitra Pati dipimpin oleh seorang General Manajer yang tugas
pokoknya adalah mengambil keputusan operasional perusahaan, menetapkan
kebijakan umum perusahaan, menentukan dan mengendalikan perusahaan,
membina koordinasi yang baik dengan berbagai bidang kerja yang ada di
bawahnya, meminta pertanggungjawaban dari masing-masing Manajer Pelaksana
(Kepala Bagian) serta bertanggung jawab atas kelangsungan hidup perusahaan.
General Manajer ini membawahi beberapa bagian yaitu bagian Quality Control,
25
bagian Mekanik, bagian Pembelian, bagian Proses, bagian Acounting, dan bagian
umum dan administrasi. Setiap Kepala Bagian ini bekerja sesuai dengan bidang
atau bagiannya dengan penuh tanggung jawab dan saling berkoordinasi. Meskipun
demekian, masih dijumpai seorang kepala bagian membawahi dua bagian yaitu
sebagai kepala bagian pembelian dan proses (produksi).
a. Bagian Quality Control
Bagian ini bertanggung jawab dalam mengendalikan, mengawasi dan
menjamin kualitas/ mutu produk yang dihasilkan, serta bertanggung jawab atas
sanitasi selama proses produksi yang berlangsung. Bagian Quality Control ini
bertugas dari bahan baku datang untuk menguji kualitas bahan baku diskala
laboratorium, dengan melakukan uji seperti pengujian kandungan antibiotik,
histamin, dan lain-lain. Selain itu melakukan control setiap kali produksi sesuai
dengan pedoman dan melakukan koreksi apbila terjadi kesalahan, serta
memastikan produk yang dihasilkan masih bermutu tinggi. Dalam pelaksanaan
proses produksi dilapangan, bagian QC ini juga dibantu bagian check line untuk
membantu dalam pemantauan secara langsung proses produksi disetiap bagian.
b. Bagian Mekanik
Bagian ini bertanggung jawab atas kelancaran dalam penggunaan mesin-
mesin pabrik, listrik, kendaraan, dan alat-alat penunjang lain seperti lori (kereta
dorong), sensor suhu ruang, dan lain sebagainya. Bagian ini juga bertanggung
jawab melakukan perbaikan apabila ada permasalahan, serta juga melakukan
pemeliharaan gedung/bangunan dan jalan. Kepala bagian ini berhak untuk
melakukan usulan penggantian mesin apabila mesin mengalami masalah dan
terjadi penurunan efisiensi kerja dan tidak memungkinkan untuk dilakukan
perbaikan.
c. Bagian Pembelian
Bagian ini bertanggung jawab atas pengadaan bahan baku baik dalam
bentuk kuantitas maupun kualitasnya. Bagian ini menentukan pembelian bahan
baku disesuaikan dengan order yang diminta pasar. Tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk membeli bahan baku yang nantinya akan dibekukan untuk
produksi selanjutnya. Bagian ini dibagi 4 bagian antara lain purchase, survey,
traceability, dan control; hal ini untuk memudahkan dalam keefektifan kerja.
26
d. Bagian Proses
Bagain ini bertanggung jawab atas semua proses produksi dan membawahi
bagian produksi, planning, control, dan warehouse (logistik). Bagian produksi
bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaan produksi. Dalam pelaksanaannya
Bagian Produksi ini dibantu oleh beberapa supervisor dimana pada perusahaan ini
disebut hanchou. Seorang hanchou ada disetiap tahapan proses produksi yang
meliputi ruang penerimaan bahan baku, potong kepala, grading mesin, koreksi,
dan sampai ruang packing. Bagian planning bertanggung jawab atas perencanaan
produksi yang akan dilaksanakan perusahaan sesuai dengan keadaan pasar dan
sekaligus mengontrol jalannya proses produksi sehingga didapatkan produk yang
bermutu tinggi. Sedangkan bagian control bertugas untuk mengontrol setiap
tahapan proses untuk memastikan tidak terjadi kesalahan dibagian proses. Dan
bagian terakhir yaitu warehouse yang bertugas untuk mencukupi kebutuhan alat-
alat yang digunakan selama proses pembuatan produk.
e. Bagian Accounting
Bagian-bagian ini bertangguang jawab atas fungsi-fungsi keuangan
meliputi pelaksanaan sistem pembukuan, anggaran, pemberian gaji pada
karyawan dan pembiayaan dalam rangka mendukung kelancaran operasional
perusahaan. Bagian Acounting dibagi menjadi bagian cost control (kasir) dan
general ledger (pembukuan). Bagian kasir bertugas melakukan kegiatan
penerimaan terhadap kegiatan tersebut. Seksi pembukuan bertugas membuat
laporan kas dan bank harian setiap hari akhir kerja dan melaporkannya pada
kepala bagian Acounting.
f. Bagian Urusan Umum (General Affair)
Kepala bagian dari bagian ini dikepalai langsung oleh manajer perusahaan.
Bagian urusan umum ini dibagi menjadi bagian personalia, ekspor impor, dan
warehouse. Bagian Personalia bertanggung jawab atas urusan kepegawaian dan
kesejahteraan pegawai, seperti menyediakan tenaga kerja yang diperlukan
perusahaan dan melakukan pegawasan terhadap kerja dan absensi karyawan.
Disamping itu, bagian ini juga bertanggung jawab atas keamanaan perusahaan,
rumah tangga, pengawasan, dan pengelolaan stok/ persediaan barang digudang.
Bagian ekspor impor bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor impor yang
27
dilakukan perusahaan. Sedangkan bagian warehouse bertanggung jawab atas
pengadaan logistik, seperti bahan pengemas, dan lain sebagainya.
3.4 Tenaga kerja
Tenaga kerja yang menjadi karyawan di perusahaan berasal dari daerah di
sekitar Kecamatan Margoyoso Pati dan sekitarnya. Penerimaan pekerja di
perusahaan dilakukan secara selektif. Tenaga kerja di perusahaan pada umumnya
terdiri atas tiga golongan, diantaranya :
1. Karyawan bulanan, merupakan karyawan yang sistem pembayaran besar
gajinya sama setiap bulannya.
2. Karyawan harian, merupakan karyawan yang sistem pembayaran gajinya
berdasarkan jumlah hari kerjanya dalam satu bulan.
3. Karyawan borongan, merupakan pekerja yang bekerja pada saat perusahaan
sedang berproduksi dengan kapasitas bahan baku yang cukup banyak. Sistem
pembayaran gaji pekerja borongan disesuaikan dengan banyaknya hasil
produksi yang mereka peroleh dalam sehari.
Jumlah data tenaga kerja di perusahaan berdasarkan status kerja pada
bulan Agustus 2009 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 6. Jenis dan jumlah karyawan
Jenis Karyawan Jumlah karyawan
1. Bulanan 37 orang
2. Harian 110 orang
3. Borongan 149 orang
Jumlah 296 orang
Sumber : Bagian Personalia PT Misaja Mitra Pati (2009)
Jam kerja di PT Misaja Mitra Pati, dimulai pada hari Senin sampai dengan
Kamis dari pukul 08.00 – 16.00 WIB dengan jam istirahat pukul 12.00 – 13.00
WIB. Sedangkan hari Jumat sampai dengan hari Sabtu dimulai dari pukul 08.00 -
15.00 WIB, dengan waktu istirahat yang sama kecuali pada hari Jumat, waktu
istirahat lebih lama yaitu pukul 11.30 – 13.00 WIB. Apabila jumlah produksi
meningkat, maka akan diberlakukan kerja lembur dengan pemberian kompensasi
berdasarkan tambahan jam kerja.
28
Berbeda dengan pekerja yang lain, bagian mekanik dan petugas keamanan
dibagi menjadi tiga shift, yaitu shift pertama jam 06.00 - 14.00 WIB, shift kedua
jam 14.00 - 22.00 WIB, dan shift tiga jam 22.00 - 06.00 WIB. Hal ini bertujuan
untuk mengawasi kerja mesin terutama pada cold storage agar bekerja sesuai
dengan semestinya untuk bagian mekanik. Sedangkan untuk bagian keamanan
untuk menjamin lingkungan pabrik tetap aman.
Untuk kesejahteraan karyawan di perusahaan mendapat jaminan melalui
program JAMSOSTEK. Jaminan perusahaan melalui program JAMSOSTEK ini
meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminaan kematian, dan
jaminan hari tua. Jaminan ini berlaku untuk semua jenis atau kelompok karyawan
diperusahaan..
3.5 Fasilitas Perusahaan
Secara keseluruhan ruangan-ruangan pada bangunan proses produksi
berdinding porselen dan keramik serta berlantai keramik putih agar mudah
dibersihkan. Lantainya dibuat dengan kemiringan 5o ke arah saluran pembuangan
air agar air mudah mengalir dan lantai tidak becek. Setiap pintu dilengkapi dengan
tirai plastic dan insect killer agar udara luar tidak terlalu banyak mempengaruhi
suhu ruang proses dan mencegah masuknya serangga ke dalam ruang proses.
Selain dilengkapi dengan tirai plastic, pada pintu masuk disediakan tempat cuci
kaki dan tangan. Pada pintu masuk dilengkapi juga dengan ruang gelap agar
serangga tidak dapat masuk ke ruang produksi.
Bangunan di sekeliling pabrik terdiri dari ruang istirahat, ruang ganti