1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme sebagai suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”extra ordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai ”kejahatan terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”. 1 Mengingat kategori yang demikian, tentunya pemberantasannya tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau penganiayaan serta tindak pidana yang diancam dengan Pasal 187 KUH Pidana, sekalipun secara substansial tindakannya memiliki kesamaan dalam kejahatan yang membahayakan bagi keamanan umum, orang atau barang. Berdasarkan esensial tindakan terorisme tentunya bukan hanya membahayakan keamanan umum, tetapi telah memakan banyak korban nyawa manusia yang tidak sedikit, bahkan telah menimbulkan rasa takut dan panik di dalam masyarakat sampai pada hancurnya perekonomian nasional. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan menjadi korbannya. 1 Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary Crime), Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, halaman. 1. Universitas Sumatera Utara
66
Embed
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme sebagai ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terorisme sebagai suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar
biasa” atau ”extra ordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai ”kejahatan
terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”.1 Mengingat kategori yang
demikian, tentunya pemberantasannya tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa
sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau
penganiayaan serta tindak pidana yang diancam dengan Pasal 187 KUH Pidana,
sekalipun secara substansial tindakannya memiliki kesamaan dalam kejahatan yang
membahayakan bagi keamanan umum, orang atau barang. Berdasarkan esensial
tindakan terorisme tentunya bukan hanya membahayakan keamanan umum, tetapi
telah memakan banyak korban nyawa manusia yang tidak sedikit, bahkan telah
menimbulkan rasa takut dan panik di dalam masyarakat sampai pada hancurnya
perekonomian nasional. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau
tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang
akan menjadi korbannya.
1 Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary Crime),
Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, halaman. 1.
Universitas Sumatera Utara
2
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan
membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (extra
ordinary measure). Kategori terorisme sebagai kejahatan luar biasa ini harus
memenuhi standar keluarbiasaan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muladi2
sebagai berikut:
”Setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun dikatakan bersifat domestik
karena karakteristiknya mengandung elemen ”etno socio or religios identity”,
dalam mengatasinya mau tidak mau harus mempertimbangkan standar-standar
keluarbiasaan tersebut dengan mengingat majunya teknologi komunikasi,
informatika dan transportasi modern. Dengan demikian tidaklah mengejutkan
apabila terjadi identitas terorisme lintas batas negara (transborder terorism
identity)”.
Romli Atmasasmita3 mengatakan bahwa dari latar belakang sosiologis,
terorisme merupakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional
maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan perkosaan terhadap hak asasi
manusia. Pendapat Romli Atmasasmita ini sejalan dengan pendapat Indriyanto Seno
Aji4 yang menyatakan sebagai berikut:
“bahwa akibat dari kejahatan terorisme yang memperkosa hak asasi manusia
merusak system perekonomian, integritas Negara, penduduk sipil yang tidak
berdosa serta fasilitas umum lain dalam konteks melawan hukum yang
signifikan sekali, karena itu pelaku teror yang berlindung sebagai pelaku delik
politik atau political purpose yang dilakukan dengan purpose of violence
dimana tindakan dimaksud untuk membuat shock atau intimidasi governmental
authority atau yang berakibat pada public by innoncent.
2 Ibid 3 Romli Atmasasmita, Kasus Terorisme Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Materi Seminar Penanganan
Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta 28 Juni 2004, halaman. 3 4 Indriyanto Seno Aji, Kompas, 29 Oktober, 2002
Universitas Sumatera Utara
3
T. P. Thornton5 menyatakan bahwa terorisme sebagai Terror as Weapon of
Political Agitation. Hal ini mengandung arti bahwa terorisme merupakan suatu
penggunaan teror dengan tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi
kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya
dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. penggunaan cara-cara
kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan.
Proses teror, menurut T. P. Thornton6 harus memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu: Pertama,
tindakan atau ancaman kekerasan. Kedua, reaksi emosional terhadap ketakutan yang
amat sangat dari pihak korban atau calon korban. Ketiga, dampak sosial yang
mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul
kemudian.
Memahami makna terorisme di negara yang menganut sistem hukum common
law antara lain Amerika Serikat pada lembaga-lembaganya yang berkonsentrasi pada
pemberantasan terorisme telah memberikan pengertian yang berbeda-beda, seperti
misalnya: United Stated Central Intelligence (CIA). Terorisme internasional adalah
terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau
diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. United Stated
Federal Bureau of Investigation (FBI) terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak
sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah
pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial
5 Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, 1999,
halaman. 84. 6 Ibid
Universitas Sumatera Utara
4
atau politik.7 Menurut Brian Jenkins
8 mendukung pernyataan ini dengan
pendapatnya, yaitu: “… what called terrorism thus seems depend on the point of
view. At the time, point in this expanding use of the term “terrorism” can mean just
what those who use the term (not the terrorist) want it to mean- almost any violent act
by any opponent”(… apa yang dimaksud dengan terorisme tergantung pada sudut
pandang masing-masing. Terorisme dalam arti yang luas dapat diartikan oleh siapa
saja (tidak termasuk teroris) sebagai perbuatan kekerasan terhadap orang lain).
Terorisme berdasarkan pendapat Brian Jenkins ini menyatakan bahwa terorisme harus
diartikan secara luas yang dapat diartikan tindak pidana terorisme dapat dilakukan
oleh siapa saja yang tidak hanya sebagai perbuatan kekerasan terhadap orang lain dan
pemahaman terhadap terorisme tergantung pada sudut pandang seseorang untuk
memaknai terorisme.
Di samping itu, terorisme seperti ditegaskan dalam Convention of the
Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism,1999
(Konvensi Konferensi Internasional Organisasi Islam tentang Terorisme
Internasional, 1999) sebagaimana dikutip Muladi9 merupakan tindakan kekerasan
atau ancaman tindakan kekerasan, terlepas dari motif atau niat yang ada untuk
menjalankan rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan
7 Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar
Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004, halaman. 7 8 Indriyanto Seno Adji, Permasalahan Terorisme dan Hukum Pidana, Makalah
disampaikan pada sosialisasi RUU tentang pemberantasan terorisme yang diselenggarakan oleh
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I., Jakarta, 3 Desember 2001, halaman. 1 9 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Center, Jakarta, 2002, halaman. 173.
Universitas Sumatera Utara
5
menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka, atau mengancam
kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi
lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau
merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau
mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara-
negara merdeka.
Pandangan hukum Islam melihat terorisme sebagai suatu bentuk irhâb.10
Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyah (Akademi Bahasa Arab) di Kaero menetapkan
penggunaan kata al-irhâb (sebagai terjemahan kata terrorism) di dalam bahasa arab
dalam sifatnya sebagai istilah kontemporer. Asasnya adalah kata rahiba yang
bermakna khâfa (takut). Majma‟ al-Lughah menjelaskan bahwa teroris adalah sifat
yang dikenakan pada orang-orang yang menempuh jalan kekerasan untuk merealisasi
tujuan-tujuan politik mereka. Ini sekaligus menjelaskan bahwa dalam kazanah Islam
kata irhâb sebagai satu istilah dengan maknanya sekarang, sebelumnya tidak dikenal.
Sebab sebagai sebuah istilah, terorisme adalah istilah baru, berawal dari Eropa,
muncul pada masa revolusi Perancis yang memunculkan tatanan sekuler demokrasi.
Dalam bahasa arab, kata irhâb merupakan derivasi dari asal kata rahiba – yarhabu –
rahban wa rahaban wa ruhban wa rahbatan yang artinya khâfa (takut) dan faza‟a
10 Definisi yang disebutkan oleh Syaikh Sulthôn, beliau bahasakan dari definisi yang
disebutkan oleh guru kami, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhlyhafizhohullâh dalam
kitab beliau Al-Irhâb Wa Âtsâruhu „Alal Afrôdi Wal Umam (Terorisme dan dampaknya terhadap
individu dan umat) halaman. 10.
Universitas Sumatera Utara
6
(ngeri). Dan arhabahu wa rahhabahu artinya akhâfahu (membuatnya takut) dan
fazza‟ahu (membuatnya merasa ngeri).11
Di dalam al-Quran, kata rahiba dan derivatnya dinyatakan 12 kali. Diantaranya
kata fa [i]rhabûn (QS al-Baqarah [2]: 40; an-Nahl [16]: 51); ruhbân (QS al-Maidah
Persada, Jakarta, 2002, halaman. 79 43 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Cet. I, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, halaman. 237
Universitas Sumatera Utara
23
melakukan),44
Doen pleger (pembuat penyuruh) dan Uitlokker (yang sengaja
menganjurkan) 45
bukan terhadap manus ministra misalnya orang yang diluar
kehendaknya melakukan tindakan teror akibat pemahaman terhadap agama yang
salah.46
Penerapan sanksi pidana terhadap manus domina dengan ancaman
maksimum dan hukum mati disebabkan pelaku tindak pidana terorisme melakukan
tindakan-tindakan dengan “sengaja” (menghendaki dan mengetahui) telah mereka
gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain (ten aanzien der laatsen komen allen die
handelingen in aanmerking die zij opzettlijk hebben uitgelokt) dan mereka yang
melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan, mereka dengan
pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan
kesalahpahaman atau memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-
keterangan dengan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang
bersangkutan (zij die het feit plegen, doen plegen of medeplegen, zij die door giften,
beloften, misbruik van gezag of van aanzein, geweld, bedreigingof misleading of door
het verschaffen van gelegenheid, middelen of inlichtingen het feit opzettelijk
uitlokken, beneven hare gevolgen), (dapat diartikan sebagai berikut bahwa mereka
yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan, mereka dengan
pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
44 Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, Cet. I, Kartini, Jakarta, 1989, halaman 84. 45 Ibid 46 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Cet. I, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983, halaman. 32.
Universitas Sumatera Utara
24
keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan
kesalahpahaman atau memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-
keterangan, dengan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang
bersangkutan).47
Terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang dikategorikan sebagai
manus ministra unsur opzettlijk hebben uitgelokt (sengaja telah mereka gerakkan)
tidak terpenuhi, hal ini disebabkan pelaku melakukan tindak pidana terorisme diluar
kehendak dan tidak mengetahui tindakan yang dilakukan didasarkan pada tipologi
dan maksud (modus opzet) dilakukannya tindakan teror. Di luar kehendak
dimaksudkan bahwa pelaku melakukan tindak teror disebabkan pengaruh faham
fundamentalisme agama dengan idiologi jihad yang keliru sehingga melahirkan
sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, ekslusif dan intoleran dalam menyikapi realitas
perbedaan dan kondisi fluralitas social, politik, budaya dan ekonomi secara sempit.
Alasan lainnya menyangkut penerapan pemidanaan dengan menerapkan sanksi
pidana maksimum terhadap pelaku yang dikategorikan sebagai manus domina
didasarkan pada aspek objektif berupa perbuatan dan aspek subjektif yakni pelaku
sebagai syarat-syarat untuk adanya pidana (strafvoirussetzungen). Pada segi objektif
atau Tat, ada Tatbestandsmazigkleit (hal mencocoki rumusan wet) dan tidak adanya
alasan pembenar (Fehlen von Rechtsfertingungsgruden), pada segi Handelnde yang
dinamakan segi subjektif, sebaliknya ada Schuld (kesalahan) dan tidak adanya alasan
pemaaf (Fehlen von personlichen Strafausschleszungs gronden).48
47 Abdul Wahid, Op.cit, halaman. 93 48 Ibid, halaman. 70
Universitas Sumatera Utara
25
Ketiga, tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime)49
yang membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar
biasa (extraordinary measure) dengan pertimbangan berbagai hal, antara lain: 50
1. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the
greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi
manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa
takut. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang
cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah.
2. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan
memanfaatkan teknologi modern.
3. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme
nasional dengan organisasi internasional.
4. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang
terorganisasi baik yang bersifat nasional maupun transnasional.
5. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.
Berdasakan uraian di atas dapat diidentifikasi terorisme mengandung arti
sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:51
Pertama, aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat
pada harta benda, membayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang
melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan
49 Soeharto, Implemetasi Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009, halaman. 47 bahwa di Indonesia
regulasi mengenai tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Filosofis yang ada dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia, kejahatan
terhadap peradaban, merupakan Internasional dan Transnational Organized Crime. Tujuan dari
dibentuknya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, sedangkan
paradigma pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan
paradigma tritunggal yaitu melindungi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi
Manusia dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka. 50
Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar
Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004, halaman. 7 51
F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003,
halaman. 4.
Universitas Sumatera Utara
26
publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur
tangan atau mengganggu sistem elektronik. Kedua, penggunaan ancaman atau
didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau mengintimidasi publik atau bagian
tertentu dari publik. Ketiga, penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan
mencapai tujuan politik, agama atau ideologi. Keempat, penggunaan atau ancaman
yang masuk dalam kegiatan yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan
peledak.
Selanjutnya, rehabilitasi pelaku teror penting untuk direalisasikan. Dalam
rangka mencegah kembalinya terpidana terorisme dalam kubangan jejaring
radikalisme ekstrem, harus diaktifkan program rehabilitasi atas mereka dan
reintegrasi dengan masyarakat luas. Nasir Abbas, misalnya, yang pernah menjadi
terpidana kasus terorisme menyatakan, akar masalah terorisme adalah ideologi
pembalasan dengan justifikasi agama. Orang kaya, miskin, pintar, maupun bodoh,
bisa terpengaruh, dan paham itu tidak bisa dilawan dengan senjata. Oleh karenanya
untuk mengikis paham radikal tersebut dalam diri pelaku teror perlu dilakukan soft
approach (pendekatan halus) untuk meluruskan doktrin yang mereka yakini
kebenarannya.52
Pemidanaan terhadap para pelaku terorisme terutama terhadap korban sebagai
pelaku kejahatan dengan menerapkan rehabilitasi merupakan kajian penting dalam
menjaga stabilitas keamanan di kemudian hari yang ditujukan dalam rangka
52 Rehabilitasi dan Reintegrasi Pelaku Teror Perlu, Dan Itu Tugas Sipil, dalam
pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut: Pertama, memperbaiki pribadi
dari penjahatnya itu sendiri. Kedua, membuat orang menjadi jera melakukan
kejahatan-kejahatan. Ketiga, membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak
mampu untuk melakukan kejahatan- kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat
yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.57
Pembinaan bagi narapidana terorisme bertujuan untuk menghilangkan unsur-
unsur radikal dari ajaran yang dianut oleh teroris. Ajaran tersebut memang tertanam
kuat dalam diri pelaku karena mereka direkrut dan dibina di beberapa tempat. Mereka
juga ikut berjuang dalam perang. Hal ini dapat dilihat dalam contoh berikut ini:58
“Menurut Sarjiyo /a Sawad, narapidana terorisme yang divonis seumur hidup,
ia pertama kali bergabung dengan jaringan terorisme yaitu pada tahun 1990,
yakni sejak mengenal Ustad Miftah yang mengirimnya ke Jakarta. Di Jakarta
Sarjiyo ditemui orang yang tidak tahu namanya kemudian ia pergi ke malaysia
dan disitu bertemu Ustad yang belakangan diketahui bernama Ustad Abdullah
Sungkar. Dari Malaysia Sarjiyo pergi ke Pakistan sampai tiba di Afghanistan.
Ketika pergi ke Afghanistan tujuannya adalah membantu Mushidin tetapi ketika
melakukan Bom Bali I, bukan sebuah pilihan pribadi melainkan untuk
melakukan saliokritas, juga untuk meredam konflik di Ambon.
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem pengaturan tindak pidana terorisme sebagai Extra
Ordinary Crime di negara yang menganut sistem hukum common law dan
civil law?
57 Tolib Setiady, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010,
halaman. 31. 58 Ibid
Universitas Sumatera Utara
31
2. Bagaimana perbandingan sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana terorisme dalam sistem hukum common law dan civil law?
3. Bagaimana konsep hukum kedepan pada sistem pemidanaan pelaku
tindak pidana terorisme di Indonesia?
C. Asusmsi
Berdasarkan analisis sementara dapat dirumuskan asumsi menyangkut
permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Sistem pengaturan tindak pidana terorisme di masing-masing negara
memiliki karakteristik tersendiri terutama pengaturan menyangkut tujuan
dan maksud pelaku melakukan tindak pidana terorisme. Hal ini dapat
dilihat dari perbedaan defenisi terorisme di negara yang menganut sistem
hukum common law dan civil law.
2. Sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme lebih
berorientasi pada pelaku tindak terorisme dengan menerapkan tindakan
represif tanpa membedakan pelaku sebagai korban pemahaman idiologi
yang salah sehingga pelaku melakukan tindakan teror. Sistem pemidanan
apabila dibandingkan tentunya berbeda terutama dalam memahami
rehabilitasi dan treatment pada masing-masing negara.
3. Konsep hukum kedepan dalam penerapan sistem pemidanaan terhadap
pelaku tindak pidana terorisme harus membedakan antara pelaku sebagai
monus domina dan manus ministra dengan opzettlijk hebben uitgelokt
Universitas Sumatera Utara
32
(sengaja telah mereka gerakkan). Untuk itu diperlukan kebijakan
formulasi sistem pemidanaan di dalam sistem pembangunan hukum
nasional.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam disertasi ini sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan menemukan sistem pengaturan tindak pidana
terorisme terorisme di negara yang menganut sistem hukum common law
dan civil law.
2. Untuk mengkaji dan menemukan sistem pemidanaan yang efektif
terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan melakukan perbandingan
pada sistem hukum common law dan civil law.
3. Untuk mengkaji dan menemukan konsep hukum kedepan pada sistem
pemidanaan pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan kegunaan baik
secara teoritis maupun secara praktis. Adapun kegunaan penelitian sebagai berikut:
1. Kegunaan teoretis.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan menyumbangkan
pemikiran hukum terkait bidang hukum pidana, terkhusus untuk
memposisikan penerapan pemidanaan terhadap korban sebagai pelaku
Universitas Sumatera Utara
33
kejahatan teroris di dalam kebijakan hukum pidana dan penegakan hukum
pidana terutama dikaitkan dengan semakin meningkatnya persoalan-
persoalan menyangkut pemberantasan tindak pidana terorisme di
Indonesia. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan materi hukum pidana sebagai bahan literatur bagi
peminat akademik dan pihak lainnya.
2. Kegunaan praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam 3 (tiga) hal, yakni:
a) Memberikan manfaat bagi criminal justice system dalam
mempertimbangkan penegakan hukum pidana khususnya terhadap
korban sebagai pelaku tindak pidana terorisme.
b) Memberikan manfaat bagi pemerintah dalam memformulasikan
kebijakan kriminal (criminal policy) dalam system pemidanaan
terhadap pelaku sebagai korban kejahatan tindak pidana terorisme
sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan di
dalam merumuskan kebijakan hukum berupa produk hukum
inkonkrito.
c) Memberikan manfaat bagi kalangan aparat penegak hukum
khususnya bagi Polri yang melakukan rangkaian kegiatan
Universitas Sumatera Utara
34
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme yang efektif,
profesional dan proporsional.
F. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang dilakukan, baik terhadap hasil-
hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di
lingkungan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara belum ada penelitian menyangkut masalah “ Sistem Pemidanaan
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme Sebagai Extra Ordinary Crime Di
Indonesia”. Permasalah yang timbul merupakan ide dari penulis sendiri. Penelitian
Disertasi ini menghimpun data dari referensi buku-buku, internet dan fakta hukum
yang diperoleh dengan melakukan riset. Dengan demikian penelitian ini benar
keasliannya baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahannya.
G. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang
tertinggi.59
Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari
mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan demikian dapat
merekontruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.60
Kerangka teori yang
59 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, halaman. 254 60 Ibid, halaman. 253
Universitas Sumatera Utara
35
dijadikan sebagai pisau analisis dalam disertasi ini dapat ditampilkan dalam
bentuk diagram di bawah ini sebagai berikut:
Diagram di atas mengemukakan tentang kerangka teori untuk
menganalisis disertasi dengan pendekatan kajian teoritikal agar terjastifikasi
kerangka teoritikal dengan meletakkan landasan dan bahan kerangka berfikir
guna menganalisis dan menjawab permasalahan pada identifikasi masalah.61
Adapun kerangka pemikiran yang digunakan dalam bentuk grand theory (teori
utama) yakni teori sistem, middle range theory (teori madya) yakni teori sistem
pemidanaan dan applied theory (teori terapan) yakni teori criminal policy.
61 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, halaman. 23
bahwa kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teoritis mengenai suatu
kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.
Universitas Sumatera Utara
36
Berdasarkan jastifikasi teoritikal yang digunakan sasaran yang akan dicapai
bahwa sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme lebih
diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya dengan
menggunakan sarana perawatan (treaatment) dan perbaikan (rehabilitation) di
dalam formulasi hukum pidana positif khususnya terhadap korban sebagai
pelaku kejahatan.62
Jastifikasi ini didasarkan pertimbangan bahwa salah satu
karakter tindak pidana terorisme adalah terorganisir (organized crime).
Pengertian korban yang biasa diartikan luas adalah yang didefenisikan oleh
South Carolina Governor‟s Office of Executive Policy and Program, Columbia
yaitu:63
“victims means a person who suffers direct or threatened physical,
psychological, or financial harm as the resulf of a crime against him.
Victim also includes the person‟s is deceased, a minor, incompetent was a
homicide victim and/or is physically or psychologically incapacitated”.
Korban secara luas diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita
langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan
yang dapat diklasifikasikan sebagai korban. Korban memiliki hak antara lain
hak untuk mendapat pembinaan dan rehabilitasi. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Arif Gosita bahwa salah satu hak korban yakni mendapat
62 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Berkely University of California Press, California, 1978
sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum
Normatif cet VI, Nusa Media, Bandung, 2008, halaman. 121 bahwa Kelsen menyajikan hukum
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya. Kaidah hukum tidak mewajibkan karena isinya
yakni karena segi materialnya, melainkan karena segi formalnya. Teori ini secara obyektif memandang
suatu tindakan itu tidak bermakna jika tidak terpenuhinya sejumlah formalitas hukum. 63 Available at the webside of the South Carolina Governor‟s Office of Executive Policy and
Program, Columbia, dalam Soeharto, Op.cit, halaman. 78
Universitas Sumatera Utara
37
pembinaan dan rehabilitasi.64
Ada beberapa pertimbangan munculnya
pemandangan terkait orientasi korban yang melahirkan faham viktimologi.65
Indikasi yang dimaksud adalah:66
a) Munculnya tuntutan yang kuat untuk memperhatian pada hak-hak
korban. System peradilan pidana dituntut untuk memberikan
tanggungjawab, keprihatinan dan perhatian yang lebih kepada
korban kejahatan.
b) Adanya pengaruh yang makin besar dari gerakan feminisme, seperti
womens liberation movements yang mulai menentang hegemoni dan
dominasi pria sebagai kausa kejahatan perkosaan dan kekerasan
terhadap perempuan.
c) Adanya penurunan secara umum kegiatan penelitian murni di
bidang kriminologi yang digantikan merebaknya penelitian terapan
dalam bidang peradilan pidana.
Perlindungan terhadap korban kejahatan dalam koteks sistem peradilan
pidana menurut Muladi merupakan hal yang sangat penting, dengan
argumentasi sebagai berikut:67
a) Proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian, baik
dalam arti umum maupun dalam arti konkrit. Dalam arti umum,
proses pemidanaan merupakan wewenang pembuat undang-undang,
sesuai dengan asas legalitas yang menegaskan bahwa baik poena
maupun crimen harus ditetapkan terlebih dahulu apabila hendak
menjatuhkan pidana atas diri seorang pelaku tindak pidana. Dalam
64 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993,
halaman. 53 65 Siswanto Sunarso, Victimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
2012, halaman. 42 bahwa menurut Stanciu yang dikutip oleh Teguh Prasetyo yang dimaksud dengan
korban dalam arti luas adalah orang yang menderita akibat dari ketidakadilan. Stanciu selanjutnya
menyatakan bahwa ada 2 (dua) sifat yang mendasar (melekat) dari korban tersebut yaitu suffering
(penderitaan) dan injustice (ketidakadilan). Timbulnya korban tidak dapat dipandang sebagai akibat
perbuatan yang illegal sebab hukum (legal) sebenarnya juga dapat menimbulkan ketidakadilan,
selanjutnya menimbulkan korban, seperti korban akibat prosedur hukum. 66 Arif Gosita, Op.cit, halaman. 79
67 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, halaman. 176
Universitas Sumatera Utara
38
arti konkrit proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana
melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga
pemasyarakatan dan sebagainya). Disini terkandung di dalamnya
tuntutan moral dan wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan
keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia
dalam masyarakat pada lain pihak.
b) Argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi
korban kejahatan adalah argument kontrak social dan argumen
solidaritas sosial.
c) Perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah
satu tujuan pemidanaan yang dewasa ini banyak dikedepankan
yakni penyelesaian konflik.
Berkerjanya hukum sebagai suatu sistem dilandaskan pada penerapan
aturan hukum di dalam suatu kebijakan yang berdaya guna dan memberikan
kemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari kerangka pembentukan hukum di
dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia yang berorientasi pada
keadilan dan kemanfaatan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.68
Perkataan lain hukum yang dibuat haruslah disesuaikan dengan perkembangan
dinamika dan memperhatikan aspek keadilan69
dan memberikan perlindungan
untuk menciptakan tertib hukum, di sinilah fungsi hukum sebagai aturan.
Fungsi hukum harus bersifat otonom (autonomous law) dan resfonsif
68 Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, halaman. 92 bahwa konsep hukum pembangunan yang
menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam konsep yang demikian,
pelaksanaan pembangunan hukum mempunyai fungsi sebagai pemelihara dalam ketertiban dan
keamanan, sebagai sarana pembangunan, sarana penegak keadilan, dan sarana pendidikan masyarakat. 69 John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 halaman. 3, bahwa
keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem
pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika ia tidak
benar, demikian juga hukum dan institusi tidak peduli betapapun efesien dan rapinya harus direformasi
atau dihapuskan jika tidak adil.
Universitas Sumatera Utara
39
(responsive law).70
Hukum sebagai sistem menurut pandangan Ediwarman
adalah sesuatu kesatuan yang bersifat komplek yang terdiri dari bagian-bagian
yang berhubungan satu sama lain.71
Menurut Sunaryati Hartono bahwa hukum
sebagai sistem terdiri dari:72
Pertama, asas-asas hukum. Kedua, peraturan atau
norma hukum. Ketiga, sumber daya manusia yang profesional,
bertanggungjawab dan sadar hukum. Keempat, pranata-pranata hukum. Kelima,
lembaga-lembaga hukum termasuk struktur organisasinya, kewenangannya,
proses dan prosedur, mekanisme kerja. Keenam, sarana dan prasarana hukum.
Ketujuh, budaya hukum yang tercermin oleh prilaku pejabat (eksekutif,
legislatif maupun yudikatif), tetapi juga prilaku masyarakat (termasuk pers)
yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar
dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan
suatu kejahatan atau perbuatan tercela. Dalam hal hukum sebagai sistem ini
dipahami diharapkan hukum akan efektif di dalam penerapannya. Pandangan
Sunaryati Hartono ditegaskan kembali oleh Ediwarman sebagai berikut:73
“Hukum sebagai suatu sistem sebagaimana yang dikemukakan oleh
Sunaryati Hartono tersebut di atas harus berjalan secara seimbang dari ke
tujuh unsur tersebut dan tidak bisa dijalankan secara parsial, karena jika
70 Philippe Nonet & Philip Selzenick, Law and Society in Transition, Toward Responsive
Law, Harper Torchbooks, New York, Hagerstown, San Francisco, London, 1978, halaman 16. 71 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan Tesis dan
Disertasi), Medan, 2013, halaman. 7 72 Sunaryati Hartono, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003,
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003,
halaman. 228 73 Ediwarman, Op.cit, halaman. 9
Universitas Sumatera Utara
40
dijalankan secara parsial maka sistem tidak jalan. Sistem dapat berjalan
dengan baik jika ketujuh unsur itu berjalan secara seimbang”.
Penerapan suatu kebijakan hukum tentunya tidak dapat dipisahkan dari
efektivitas suatu kaedah hukum yang diartikan sebagai substansi atau norma
hukum.74
Menurut Soerjono Soekanto75
bahwa untuk melihat suatu efektivitas
kaedah hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan
penerapan direksi yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat
tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi
dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam
arti sempit), hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound. Hukum dapat
dikatakan sebagai rules of conduct for men bahavior in a society76
dan hukum
menghilangkan ketidakpastian, hukum memberikan jaminan bagi terjadinya
perubahan sosial. Berkaitan dengan hal ini maka Dardji Darmodihardjo dan
74 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005,
halaman. 93, bahwa pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Pendekatan undang-undang (substansi) meliputi konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-
undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau
antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk
memecahkan isu yang dihadapi. Untuk itu diperlukan pendekatan pencarian ratio legis dan dasar
ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Bandingkan pandangan Hans Calson tentang validitas
norma : For a norm to be valid, the following conditions must be fulfiled : 1. A norm must be part of
asystem of norms; 2. The system must be efficacious. Lihat Hari Chand, Modern Jurisprudience,
International Law Book Service, Selangor, 1994.
75 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grapindo
Persada, Jakarta, 2004, halaman. 7 76 Dimyati Hartono, Ketidak Mandirian Hukum Mempengaruhi Reformasi di Bidang Hukum,
dalam Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung,
2004, halaman. 7.
Universitas Sumatera Utara
41
Sidharta77
mengatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum mempunyai berbagai
fungsi yakni fungsi hukum sebagai kontrol sosial. Hal ini mengandung arti
bahwa hukum membuat norma-norma yang dapat mengontrol perilaku individu
dalam berhadapan dengan kepentingan-kepentinan individu dan fungsi hukum
sebagai sarana penyelesaian konflik (dispute settlement) serta berfungsi untuk
memperbaharui masyarakat. Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia
dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat mengggunakan hukum
menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat
dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan
kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari
tujuan dan alasan pembentukan undang-undang yang melandasi suatu
kebijakan.78
Hukum Islam memandang suatu penerapan dan efektifitas suatu hukum
harus berlandaskan pada suatu kebijakan dasar yang relatif netral dan
bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan penetapan hukum yang
dijadikan sebagai kaedah metodologi penertapan hukum. Berdasarkan pendapat
para ahli hukum Islam bahwa ada beberapa qaedah yang menjadi metodologi
penetapan hukum, yang antara lain mencakup:79
77 Dardji Darmodihardjo, Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, halaman. 159-161. 78 Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia: Disampaikan Pada
Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung
Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, 2004, halaman. 1 79 Zamakhsyari Hasballah, Pemikiran dan Sikap M. Hasballah Thaib dalam Berbagai
Dimensi, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2013, Halama. 11
Universitas Sumatera Utara
42
a) Segala urusan disesuaikan dengan maksudnya. (al-umuur bin
maqashidiha).
b) Kesukaran mendatangkan kemudahan. (al-masyaqqah tajlibu al-
Taysiir).
c) Kemudharatan harus dihilangkan. (al-Dhararu Yuzalu).
d) Adat dapat ditetapkan menjadi hukum. (al-Adat al-Muhakkamah).
e) Sesuatu yang diyakini kebenarannya tidak terhapus karena adanya
keraguan. (al-Yaqiin la Yuzal bi al-Syakk).
Penetapan hukum menurut hukum Islam didasarkan pada teori maqashid
syari‟ah yang menyatakan ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul
Fiqih dalam menetapkan bahwa di setiap hukum Islam itu terdapat tujuan yang
hendak dicapai oleh syarak, yaitu kemaslahatan umat manusia. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam Firman Allah SWT bahwa “Mereka rasul-rasul
Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya
rasul-rasul” (QS. An-Nisa: 165). Firman Allah SWT bahwa “Dan tidaklah
kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”
(QS. al-Anbiya: 107). Kata rahmat dalam ayat ini, menurut para ahli ushul
Fiqih mengandung arti bahwa pengutusan rasul membawa kemaslahatan bagi
umat manusia di dunia dan akhirat.
Selanjutnya menurut Abdul Manan80
bahwa terjadinya perubahan hukum
melalui dua bentuk yakni masyarakat berubah terlebih dahulu baru hukum
datang mengesahkan perubahan itu, di sini perubahan yang terjadi bersifat
pasif, hukum selalu datang setelah perubahan terjadi. Sedangkan bentuk yang
80 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009,
halaman. 10-11
Universitas Sumatera Utara
43
lain adalah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih
baik. Dalam bentuk ini, perubahan hukum itu harus dikehendaki dan harus
direncanakan sedemikian rupa sesuai dengan yang diharapkan. Perubahan
dalam model ini sifatnya aktif, artinya pihak yang berwenang aktif
merencanakan dan mengarahkan agar konsep pembaruan hukum dapat berjalan
dengan baik.
Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat), maka negara hukum akan
menciptakan dan menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam setiap kegiatannya harus
tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Konsep ini memberikan pemahaman
bahwa hukum lahir dan bersumber dari kesadaran masyarakat akan hukum,
sehingga dengan demikian hukum akan memiliki wibawa.81
Indonesia sebagai
negara hukum bukan atas dasar kekuasaan (machstaat) tercermin dalam
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 dan perubahannya setelah reformasi tetap
dinyatakan sebagai negara hukum. Hukum adalah karya manusia yang berupa
norma yang berisi petunjuk-petunjuk tingkah laku, hukum merupakan cerminan
dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina
dan bagaimana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum itu
merupakan rekaman ide dan gagasan yang dipilih masyarakat tempat hukum itu
81 Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara dan Dasar-dasarnya, Ghalia, Jakarta, 1983,
halaman 181
Universitas Sumatera Utara
44
diciptakan, ide dan gagasan ini adalah mengenai keadilan.82
Di samping itu
hukum merupakan peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan
memaksa untuk menjamin tertib dalam masyarakat.83
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikontruksikan bahwa sistem
pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme sebagai korban kejahatan
di dalam penelitian disertasi ini diorientasikan terwujudnya keadilan dan tertib
dalam masyarakat sebagai bahagian dari kerangka sistem hukum, untuk itu teori
yang digunakan adalah teori sistem. Di dalam sistem hukum tentunya tidak
dapat dipisahkan dari substansi hukum dan penegakan hukum. Menurut Wolf
Middendorf menyatakan bahwa penegakan hukum pada sistem peradilan
pidana akan berjalan efektif apabila dipengaruhi tiga faktor yang saling
berkaitan yaitu: Pertama, adanya undang-undang yang baik (good legislation).
Kedua, pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement).
Ketiga, pemidanaan yang layak atau sekedarnya dan seragam (moderate and
uniform sentencing).84
Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Undang-undang
tidak bisa lagi disebut hukum apabila ia tidak pernah dilaksanakan. Kaidah-
kaidah atau aturan-aturan tersebut menuntut tindakan-tindakan yang harus
dilakukan atau tidak dilakukan. Hukum yang secara eksplisit dapat dilihat
dalam bentuk konkretnya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan, tidak akan
82 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke III, 1991,
halaman. 18 83 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cetakan
ke III, 1980, halaman. 32 84 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislasi dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2000, halaman. 50
Universitas Sumatera Utara
45
mempunyai arti apa-apa tanpa adanya pelaksanaan. Konsekuensi selanjutnya
diperlukan adanya sanksi dalam menunjang pelaksanaannya. Sanksi ini bisa
berupa positif (misalnya hadiah) dan bisa berupa negatif (pidana). Sedangkan
sanksi dalam bahasan hukum pidana dipersepsikan sebagai pidana (sanksi
negatif). Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.85
Penegakan hukum
dalam arti sempit adalah pemberian sanksi (pidana) oleh aparat penegak hukum
pada setiap pelaku tindak pidana. Sedangkan penegakan hukum dalam arti luas
sebagaimana dikemukakan Soedarto dan Satjipto Rahardjo. Soedarto memberi
defenisi penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan perbuatan-
perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in
actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht
in potentie).86
Di samping itu, menurut Satjipto Rahardjo penegakan hukum
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Keinginan-keinginan hukum dimaksud tidak lain adalah pikiran-
pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-
peraturan hukum itu.87
Berdasarkan sistematisasi, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
kebijakan penegakan hukum merupakan serangkaian proses yang terdiri dari
85 Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, 1990, halaman. 9 86 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, halaman. 111 87 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, tanpa tahun, halaman. 24
Universitas Sumatera Utara
46
tiga tahap kebijakan yaitu: Pertama, tahap kebijakan legislatif/formulatif.
Kedua, tahap kebijakan yudikatif/aplikatif. Ketiga, tahap kebijakan
eksekutif/administratif. Dari ketiga tahapan kebijakan penegakan hukum pidana
itu terkandung di dalamnya tiga kekuasaan/kewenangan yaitu kekuasaan
legislatif/formulatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang
dapat dikenakan, kekuasaan yudikatif/aplikatif dalam menerapkan hukum
pidana, kekuasaan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum
pidana.88
Di samping itu dalam rangka penegakan hukum tentunya dipengaruhi
oleh beberapa faktor, menurut Lawrence M. Friedman dalam teori sistem
hukum (legal system) menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut
menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini hukum pidana), yaitu
struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukumnya. Dari ketiga
komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap
bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.89
Pendekatan substansi hukum adalah
segala aturan atau norma-norma maupun pola prilaku dari manusia yang ada
atau diatur dalam substansi hukum yang ada tersebut, substansi hukum
merupakan produk dari hasil sebuah keputusan dan aturan-aturan yang ada baik
yang sedang dalam proses pembuatan maupun yang sudah ditertibkan,
88 Barda Nawai Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, halaman. 30 89 Lawrence Friedmen, America Law An Introduction, sebagaiman diterjemahkan oleh Wisnu
Basuki, PT. Tatanusa, Jakarta, 1984, halaman. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
47
aturan-aturan tidak tertulis yang hidup dan berjalan di dalam masyarakat juga
dapat dikategorikan sebagai substansi hukum. Struktur hukum adalah sebuah
institusi atau lembaga yang melaksanakan atau menjalankan proses penegakan
hukum itu sendiri termasuk proses-proses penegakan hukum yang ada
didalamnya. Budaya hukum dianggap sebagai suatu sikap manusia dan
masyarakat umum terhadap hukum itu sendiri, mulai dari pemahaman hukum
hingga sikap dari masyarakat dalam melaksanakan atau mentaati hukum
tersebut.
Penelitian disertasi ini juga di samping menggunakan teori hukum
sebagai sistem (legal system) menggunakan teori pemidanaan dan teori
kebijakan criminal (criminal policy). Berdasarkan teori pemidanaan bahwa
salah satu sasaran dari teori pemidanaan adalah prevention without punishment.
Teori pemidanaan pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan
besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori
relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings
theorien).90
Menurut teori Absolut atau Teori Pembalasan pidana dijatuhkan
karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang
harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.
Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri dan tujuan
primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan
keadilan, sedangkan pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan
90 Teguh Presetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, halaman. 15
Universitas Sumatera Utara
48
keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam
bukunya Filosophy of Law,91
bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-
mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si
pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus
dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu
kejahatan. Teori Relatif atau Teori Tujuan melihat pada kesalahan yang sudah
dilakukan, sebaliknya teori relatif atau teori tujuan berusaha untuk mencegah
kesalahan untuk masa yang akan mendatang, dengan kata lain pidana
merupakan sarana untuk mencegah kejahatan, oleh karena itu juga sering
disebut prevensi.92
Adapun teori menyangkut tujuan pemidanaan menurut
Mahmud Mulyadi dapat digambarkan sebagai berikut:93
a) Teori Retributif, dalam tujuan pemidanaan didasarkan pada alasan
bahwa pemidanaan merupakan ”morally justifed” (pembenaran
secara moral), karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk
menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap
pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu
kejahatan, karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran
terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang
dilakukannya dengan sengaja dan sadar, hal ini merupakan bentuk
dari tanggungjawab moral dan kesalahan hukum si pelaku. Nigel
Walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi 2
(dua) macam yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak
murni. Retributif murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan
harus sepadan dengan kesalahan pelaku. Sedangkan retributif tidak
murni dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yakni: Pertama,
91
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, 1992 .
halaman. 11. 92 Ibid 93 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal
Policy dalam Menanggulangi Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, halaman.
68-88
Universitas Sumatera Utara
49
retributif terbatas, yang berpendapat bahwa pidana tidak harus
cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana
yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan
dengan kesalahan pelaku. Kedua, retributif yang distribusi,
berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan
terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus
didistribusikan kepada pelaku yang bersalah.
b) Teori Deterrence, menurut Zimmy dan Hawkins digunakan lebih
terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana
ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan
menahan diri untuk melakukan kejahatan, namun ”the next
detterence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini
dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak
melakukan kejahatan. Nigel Walker menanamkan aliran ini sebagai
faham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran
dijatuhkannya pidana, dalam pandangan ini adalah untuk
mengurangi frekuensi kejahatan (the justification for penalizing
offences is that reduces their frequency). Penganut reductivism
meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran
melalui satu cara atau beberapa cara sebagai berikut: Pertama,
pencegahan terhadap si pelaku kejahatan (dettering the offende).
Kedua, pencegahan terhadap pelaku potensial (dettering potential
imitatoirs). Ketiga, perbaikan si pelaku (reforming the offender).
Keempat, mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan
terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak
langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan. Kelima,
melindungi masyarakat (protecting the public).
c) Teori Treatment, sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh
aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas
diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya.
Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk
memberikan tindak perawatan (treatment) dan perbaikan
(rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari
penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan
bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit, sehingga
membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dari perbaikan
(rehabilitation). Aliran positif melihat kejahatan secara empiris
dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-
fakta di lapangan dalan kaitannya dengan terjadinya kejahatan.
Aliran ini beralaskan faham ”determinisme” yang menyatakan
bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan
kehendaknya, karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas
Universitas Sumatera Utara
50
dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor
biologis, maupun faktor lingkungan, oleh karena itu pelaku
kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus
diberi perlakuan (treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan si
pelaku.
d) Teori Social Defence, terpecah menjadi 2 (dua) aliran, yaitu aliran
radikal (ekstrim) dan aliran moderat (reformis). Pandangan yang
radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatika yang salah
satu tulisannya berjudul ”the fight against funishment” (la lotta
contra la pena). Gramatika berpendapat bahwa hukum
perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang
sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah
mengintegrasikan individu ke dalam lebih sosial dan bukan
pemidanaan terhadap perbuatannya. Pandangan moderat
dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan
alirannya sebagai ”defence sociale novelle” atau ”perlindungan
sosial baru”. Menurut Marc Ancel tiap masyarakat mensyaratkan
adanya tertib sosial yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang
tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama,
tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya.
Pemidanaan melalui rehabilitasi yang di dalam faham tujuan pemidanaan
berorientasi pada teori treatment bahwa terhadap pelaku tindak pidana
terorisme di dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme
telah diatur, namun rehabilitasi dimaksud belum berorientasi pada pemahaman
korban sebagai pelaku kejahatan terorisme akibat faham fundamentalisme.
Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme lebih mengarah pada
perlindungan tersangka dengan pemulihan hak nya apabila oleh pengadilan
diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi diartikan pemulihan pada
kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain
termasuk pengembangan dan pemulihan fisik atau psikis serta perbaikan harta
Universitas Sumatera Utara
51
benda. Hal ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai berikut: ” setiap
orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas
atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme tidak memberikan secara konkrit dan jelas batasan mengenai
rehabilitasi khususnya tentang pengertian hal-hal lain yang dalam undang-
undang tersebut termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik dan psikis serta
perbaikan harta benda. Akibat tidak sempurnanya pelaksanaan ketentuan yang
berkaitan dengan rehabilitasi termasuk hak-hak lain dari tersangka yang bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum. Maka disini telah terjadi pengorbanan
struktural tertentu berupa penderitaan fisik dan psikis.94
Selanjutnya teori menyangkut kebijakan penanggulangan kejahatan
(criminal policy) merupakan usah a yang rasional dari masyarakat sebagai
reaksi mereka terhadap kejahatan. Dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan
kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.95
Oleh karena itu
kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang
rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of
the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah
94 Soeharto, Op.cit, halaman. 140 95 G. Pieter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of
laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of
designating human behavior as crime).96
Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal,
pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan
keterpaduan peraturan perundang-undangan sebagai salah satu kebijakan
kriminal (Criminal Policy). Kebijakan kriminal sebagai usaha-usaha yang
rasional untuk mengendalikan kejahatan problem sosial yang dinamakan
kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sudah barang tentu tidak
hanya dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Penanggulangan
kejahatan dengan sarana hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk
pencapaian hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna. Adapun kebijakan kriminal dalam kerangka
penanggulangan kejahatan pada hekekatnya merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat
dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.97
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan
kejahatan (politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
96 Ibid, halaman. 99-100 97 Ibid, halaman.. 2
Universitas Sumatera Utara
53
kesejahteraan masyarakat (social welfere).98
Oleh karena itu dapatlah dikatakan
bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan untuk menggali tindak pidana
terorisme juga terlihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Nasional yaitu dalam dalam Buku II Bab I Bagian Keempat tentang
Tindak Pidana Terorisme khususnya Pasal 242 sampai dengan Pasal 251.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi:99
a) Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang
apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau
merugikan.
b) Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat
dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa
pidana atau tindakan) dan sistem penerapan.
c) Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme
peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut
Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum
pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum
pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa
(influencing views of society on crime and punishment (mass media).100
98
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, halaman. 2 99 Ibid 100 Ibid, halaman. 56.
Universitas Sumatera Utara
54
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels ini, maka
kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara.
Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal
law application.” Di samping itu kebijakan penal identik dengan hukuman
penal sebagaimana dikemukakan oleh Allen Kent101
bahwa “the utilatarium
theory of punishment, sought a new and human justification for penal
sanctions”. Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari
“prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime
and punishment (mass media).”
2. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan konsep yang digunakan peneliti. Konsep diartikan sebagai
kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang
khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.102
Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.
Selain itu digunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian
101 Edwand Allen Kent, Law and Philosophy, New Jersy Prentice Hall, 1970, halaman. 292,
bahwa persoalan hukuman penal sudah lama dikenal sejak abad ke 17 sebagai norma yang
dikemukakan oleh pengarang terkenal dari teori utilitarian tentang hukuman (punishment). 102 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,
halaman. 3
Universitas Sumatera Utara
55
ini. Oleh karena itu dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka
konsepsi atau defenisi operasional sebagai berikut:
a) Sistem Pemidanaan. Sistem merupakan sesuatu kesatuan yang
bersifat komplek yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan
satu sama lain. Berdasarkan pengertian sistem ini maka sistem
pemidanaan diartikan sebagai satu kesatuan yang berhubungan
dalam menerapkan sanksi hukum bagi pelaku kejahatan khususnya
pelaku sebagai aktor terorisme dan pelaku sebagai korban terorisme
akibat pengaruh faham fundamentalis. Berdasarkan sistem
pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana teorisme khususnya
pelaku kejahatan sebagai korban seharusnya menerapkan
pemidanaan berupa treatment dan rehabilitasi. Hal ini sejalan
dengan salah satu tujuan pemidanaan yakni teori treatment, sebagai
tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang
berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada
pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Namun pemidanaan
yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberikan tindak
perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku
kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran
positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah
orang yang sakit, sehingga membutuhkan tindakan perawatan
(treatment) dari perbaikan (rehabilitation).
Universitas Sumatera Utara
56
b) Pelaku tindak pidana terorisme adalah pelaku yang dikategorikan
sebagai manus domina dan pelaku sebagai manus ministra misalnya
orang yang diluar kehendaknya melakukan tindakan teror akibat
pemahaman terhadap agama yang salah. Korban apabila diartikan
secara luas bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung,
akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan
yang dapat diklasifikasikan sebagai korban. Hak korban yakni
mendapat pembinaan dan rehabilitasi. Korban juga dapat diartikan
sebagai victims means a person who suffers direct or threatened
physical, psychological, or financial harm as the resulf of a crime
against him. Victim also includes the person‟s is deceased, a minor,
incompetent was a homicide victim and/or is physically or
psychologically incapacitated.
c) Teorisme di dalam sistem hukum civil law (Indonesia) sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menurut Pasal 1 ayat 1,
Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke
dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab
III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang
dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika dengan
Universitas Sumatera Utara
57
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta
benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup
atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6), dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional (Pasal 7). Seseorang juga dianggap
melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal
8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
d) Teorisme pada sistem hukum common law antara lain di Negara
Amerika Serikat diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan unsur
kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan
manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara
Universitas Sumatera Utara
58
bagian Amerika), dengan maksud untuk: a. mengintimidasi
penduduk sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah.
c. memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan
atau pembunuhan.
e) Extra Ordinary Crime, adalah kejahatan luar biasa. Pertimbangan
bahwa terorisme sebagai kejahatan luar biasa yakni terorisme
mengalami pergeseran dan perluasan paradigma yaitu sebagai suatu
perbuatan yang semula dikatergorikan sebagai crime againt state
sekarang meliputi terhadap perbuatan-perbuatan yang disebut
sebagai crime againt humanity di mana yang menjadi korban adalah
masyarakat yang tidak berdosa, semuanya dilakukan dengan delik
kekerasan (kekerasan sebagai tujuan), kekerasan (violence) dan
ancaman kekerasan (threat of violence).
f) Perbandingan sistem pemidanaan adalah suatu kegiatan untuk
menemukan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan prinsip-
prinsip hukum yang ada diberbagai sistem hukum antar Negara baik
Negara yang menganut sistem hukum common law maupun sistem
hukum civil law terkait sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana terorisme
g) Konsep hukum kedepan merupakan kerangka maupun prinsip-
prinsip hukum yang ditemukan dan dapat digunakan dalam
penyempurnaan hukum pada sistem pemidanaan terhadap pelaku
Universitas Sumatera Utara
59
tindak pidana terorisme di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar
terjalinnya sistem pembangunan hukum nasional yang memberikan
kontribusi terhadap pengaturan sistem pemidanaan pelaku tindak
pidana terorisme yang tidak hanya berorientasi pada pemberantasan
setiap pelaku tindak pidana terorisme, namun dapat memperhatikan
sistem pemidanaan terhadap pelaku sebagai korban dari tindak
pidana terorisme.
H. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal, yaitu
penelitian hukum yang mempergunakan sumber data skunder yang
penekanannya pada teoritis dan analisis kualitatif yang juga disebut sebagai
penelitian perpustakaan atau studi dokumen,103
karena dilakukan pada data
yang bersifat skunder yang ada diperpustakaan. Pada penelitian normatif data
skunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum
primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tertier. Pelaksanaan penelitian
normatif secara garis besar ditujukan kepada penelitian terhadap asas-asas
hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap
singkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian terhadap
perbandingan hukum. Dalam penelitian ini lebih menitiberatkan terhadap
Berdasarkan uraian ini maka populasi dalam penelitian ini adalah
pelaku tindak pidana yang telah divonis dalam bingkai sistem
peradilan pidana yang terpadu (integrited criminal justice system)
dimulai dari Polri, Jaksa, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakat
dalam rangka menerapkan sistem pemidanaan bagi pelaku tindak
pidana terorisme. Berdasarkan data Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia sebanyak
700 orang yang divonis dan 90 orang meninggal di Tempat
Kejadian Perkara yang mayoritas merupakan korban kejahatan.
c) Sampel
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian
disertasi ini adalah non random sampling yang telah ditentukan
sendiri oleh peneliti108
dengan pendekatan puposive sampling.109
Adapun sampel yang akan diwawancarai baik sebagai reponden
maupun informan dari populasi sebanyak 700 orang yang divonis
108 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.cit, halaman. 173 bahwa non random sampling,
apabila jumlah sampel dan populasi kecil atau sedikit, yaitu suatu cara menentukan sampel di mana
peneliti telah menentukan/menunjuk sendiri sampel dalam penelitiannya. Tentu saja penunjukan ini
harus disertai dengan argumentasi ilmiah mengapa peneliti menentukan sampel-sampel demikian. 109 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan Tesis dan
Disertasi), Op.cit, halaman. 107 bahwa cara mengambil sampel didasarkan pada tujuan tertentu.
Teknik ini biasa dipilih karena alasan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya sehingga tidak dapat
mengambil sampel yang besar jumlahnya dan jauh letaknya, untuk menentukan sampel berdasarkan
tujuan tertentu dan haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut: Pertama, harus didasarkan pada ciri-
ciri, sifat-sufat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama populasi. Kedua, subjek yang
diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri
yang terdapat pada polulasi. Ketiga, ketentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam
studi pendahuluan (preliminary research).
Universitas Sumatera Utara
63
dalam tindak pidana terorisme diambil sampel sebanyak 70 orang
yang telah dipilih. Untuk masing-masing daerah yang dijadikan
polulasi yakni Jakarta, Bali dan Medan dari 70 orang sampel dibagi
sebanyak 23 orang untuk masing-masing daerah. Di samping itu
dilakukan juga wawancara terhadap informan dengan maksud untuk
memperoleh informasi secara terarah (derective interview) yang
diberikan oleh informan, terdiri dari:
1) Personil Polri pada Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes
Polri sebanyak 10 orang.
2) Personil BNPT Republik Indonesia sebanyak 10 orang.
3) Jaksa pada lingkup Kejaksaan Agung Republik Indonesia
yang menyidangkan tindak pidana terorisme sebanyak 5
orang.
4) Hakim pada lingkup Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang memvonis pelaku tindak pidana terorisme sebanyak 10
orang.
5) Lembaga Pemasyarakat yang melakukan pembinaan bagi
pelaku tindak pidana terorisme sebanyak 10 orang.
6) Majelis Ulama Indonesia sebanyak 5 orang.
Universitas Sumatera Utara
64
4. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara (interview), daftar pertanyaan (kuesioner angket) dan
pengamatan (observasi) yaitu apa yang dilakukan oleh sistem peradilan
pidana dalam menerapkan sistem pemidanaan bagi pelaku tindak pidana
terorisme. Pertimbangan penggunaan alat pengumpulan data ini
didasarkan pada spesifikasi penelitian yakni penelitian hukum normatif
atau doktiner dengan metode pendekatan empiris (yuridis sosiologis).
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Prosedur pengambilan data dan pengumpulan data diperoleh dan
dikumpulkan berdasarkan data yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan peneliti menyangkut penerapan sistem pemidanaan dalam
kerangka pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana
terorisme. Peneliti mempergunakan data primer dan sekunder. Data
diperoleh dengan cara sebagai berikut:110
a) Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan ditujukan untuk mencari konsep-konsep, teori-
teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan