1 1. AZAB DAN SENGSARA minuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat di sekitar Sipirok amat segan dan hormat pada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenainya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun, Earena" semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jaruh miskin dan meninggal dalam keadaan demikian. A Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya untuk tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa, benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji hendak rnempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat Pengarang : Merari Siregar (13 Juni 1886-23 April 1940) Penerbit : Balai Pustaka
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
1. AZAB DAN SENGSARA
minuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang
terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat di sekitar Sipirok
amat segan dan hormat pada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya
ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan
Baringin almarhum, sebenainya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun,
Earena" semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jaruh miskin dan
meninggal dalam keadaan demikian.
A
Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya untuk
tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab
sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa, benih cinta kedua
remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama,
membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji hendak rnempersunting gadis itu
jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia
sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada
kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan.
Berita itu tentu saja amat menggembirakan hati Mariamin dan ibunya yang
memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia
dapat melihat putrinya hidup bahagia.
Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya
sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih
kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan
Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong
keluarga miskin itu.
Pengarang : Merari Siregar (13 Juni 1886-23 April 1940)Penerbit : Balai PustakaTahun : 1920; Cetakan IX, 1990
2
Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, ayah Aminuddin.
Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya
beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan
wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin kawin
dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan derajat dan
maruibat dirinya. Itulah sebabnya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat
putranya.
Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke
seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan
Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena
sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan
yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar
perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalamii nasib buruk jika kawin
dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima
apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.
Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga
kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan
kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui
apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti
kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada
anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. la juga minta agar
Aminuddin menjemputnya di stasiun.
Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. la pun
segera mempersiapkan segala sesuatunya. la membayangkan pula kerinduannya
kepada Mariamin akan segera terobati.
Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata,
ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang
bermarga Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada
3
orang tua dan adat negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain
menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan
keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia
mengabarkannya pada Mariamin.
Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya
musnah sudah. la pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan
kekecewaan hati gadis itu.
Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa
menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-
usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di
Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat
mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan
anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja
menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya,
penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit
berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri.
Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan
intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan
rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan
kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun
menyiksanya dengan kejam.
Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara
kebetulan, Aminuddin datang bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan
tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun.
Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa
cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-
jadinya.
4
Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya
mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian
memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan
hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Siprok, kampung
halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaan yang silih berganti menimpa
wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “azab dan sengsara dunia ini
telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu”.
***
mumnya, para pengamat sastra Indonesia menempatkan novel Azab dan
Sengsara ini sebagai novel pertama Indonesia dalam khazanah
kesusastraan Indonesia modern. Penempatan novel ini sebagai novel pertama
lebih banyak didasarkan pada anggapan bahwa kesusastraan Indonesia modern
lahir tidak dari peran berdirinya Balai Pustaka, 1917, yang cikal bakalnya berdiri
tahun 1908. Sungguhpun sebenarnya tidak sedikit novel yang terbit sebelum Balai
Pustaka berdiri, dalam hal pemakaian bahasa Melayu sekolahan, Azab dan
Sengsara yang mengawalinya. Dalam konteks itulah novel ini menempati
kedudukan penting.
U
Tema Azab dan Sengsara sendiri yang mempermasalahkan perkawinan
dalam hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga, bukanlah hal yang
baru. Novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka—yang umumnya
menggunakan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar juga banyak yang
bertema demikian. Novel bahasa Sunda, Baruang ka Nu Ngarora (Racun Bagi
Kaum Muda; 1914) karya D.K. Ardiwinata (1866-1947) yang diterbitkan Balai
Pustaka, juga bertema perkawinan dalam hubungan-nya dengan harkat dan
martabat keluarga. Jadi, secara tematik, novel Azab dan Sengsara, belumlah
secara tajam mempermasalahkan perkawinan dalam hubungannya dengan adat.
Sejauh ini, studi terhadap novel Azali dan Sengsara, baru dilakukan pada
tingkat sarjana muda, sebagaimana yang tampak dari penelitian Ahmad Tohir
5
(UGM, 1969), Dzukifli Salleh (FSUI, 1962), dan Yacob bin Mohamed Tara (FS
Unas, 1980).
6
2. SITI NUR BAYA
(Kasih Tak Sampai)
utan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal
di Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk di
sekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi
dan berperilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal
seorang saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga
merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.
S
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga
Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik.
Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai
usia mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi,
keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang
menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri
akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang,
berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. la menganggap
Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa
iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. "Aku sesungguhnya
tidak senang melihat perniagaan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah
maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia
dijatuhkan," demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). la kemudian menyuruh
anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, toko-toko, dan
semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.
Pengarang : Marah Rusli (7 Agustus 1889-17 Januari 1968)Penerbit : Balai PustakaTahun : 1922; Cetakan XX, 1990
7
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh
miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya,
kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa
prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan
mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat "Pucuk
dicinta ulam tiba", karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir
yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman
dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah
ditetapkan, Datuk Meringgih pun datang menagih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. la tak dapat melunasi utangnya. Tentu
saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia mengancam akan
memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali
apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.
Malang bagi Baginda Sulaiman. la tak dapat melunasi utangnya. Tentu
saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia mengancam akan
memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali
apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putri tunggalnya menjadi korban
lelaki hidung belang itu walaupun sebenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka,
ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah
saja digiring polisi dan siap menjalani hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya
keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih
asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu keputusan yang kelak akan
menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu
lewat surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak
mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke
Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit.
8
Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya.
Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan pengalaman
masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat
Meringgih yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua
orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang merasa
tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu.
Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan.
Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke
tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari
tangga hingga menemui ajalnya.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri
yang merasa malu atas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian
mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti
Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi
tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang
bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta.
Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya
telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali
ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari
tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. la kemudian
menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya
berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri.
la kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.
Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke
Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh diri.
9
Beruntung, teman-nya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri.
Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri
dikabarkan telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni
dengan pangkat letnan. la juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas.
Sebenarnya, ia menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada
kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustrasinya mendengar orang-orang
yang dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu, ia sempat bimbang juga ketika
mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang
terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah
leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh
Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran melawan pemberontak itu, Letnan Mas sempat
mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya,
termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu
tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. la terpaksa
dirawat di rumah sakit. Pada saat itulah, timbul keinginan Letnan Mas untuk
berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara "Si
anak yang hilang" dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir
hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia
Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan
Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal
beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun
meninggal dunia pada keesokan harinya.
***
ampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel Sitti Nurbaya
ini. sebagai karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Secara
tematik, seperti yang disinggung H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi, Sapardi
H
10
Djoko Damono, maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar sosial
lebih jelas, tetapi juga mengandung kritik yang tajam terhadap adat-istiadat dan
tradisi kolot yang membelenggu. Novel ini pula yang pertama kali menampilkan
masalah perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat, yang kemudian
banyak diikuti oleh pengarang-pengarang Indonesia sesudahnya.
Pada tahun 1969, novel ini memperoleh hadiah penghargaan dari
pemerintah Indonesia sebagai hadiah tahunan yang diberikan setiap tanggal 17
Agustus—kini Hadiah Tahunan Pemerintah ini tidak dilanjutkan lagi—.
Berbagai artikel maupun makalah yang membahas novel ini sudah banyak
ditulis oleh para pengamat sastra Indonesia, baik dalam maupun luar negeri.
Hingga kini, ulasannya masih terus banyak dilakukan, baik dalam konteks sejarah
kesusastraan Indonesia modern, maupun dalam konteks sosial dan emansipasi
wanita.
Di Malaysia, novel ini terbit pula dalam edisi bahasa Melayu. Pada tahun
1963 saja, di Malaysia itu, Sitti Nurbaya sudah mengalami cetak ulang ke-11.
Untuk pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan, novel ini merupakan salah
satu novel wajib.
Tahun 1991, TVRI menyiarkan sinetron Sitti Nurbaya dengan pemeran
utamanya Novia Kolopaking (sebagai Sitti Nurbaya) dan Gusti Randa (sebagai
Samsulbahri).
3. SALAH ASUHAN
Pengarang : Abdul Muis (1886 - 17 Juli 1959)Penerbit : Balai PustakaTahun : 1928; Cetakan XIX, 1990
11
anafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau. Sesungguhnya, ia
termasuk orang yang sangat beruntung dapat bersekolah di Betawi sampai
tamat HBS (Hoogere Burger School). Ibunya yang sudah janda, memang berusaha
agar anaknya kelak menjadi orang pandai, melebihi sanak keluarganya yang lain.
Oleh karena itu, ia tidak segan-scgan menitipkan Hanafi pada keluarga Belanda
walaupun untuk pembiayaannya ia harus meminta bantuan mamaknya, Sutan
Batuah. Setamat HBS, Hanafi kembali ke Solok dan bekerja sebagai klerek di
kantor Asisten Residen Solok. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi komis
(hlm. 27).
H
Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkinkan Hanafi
berhubungan erat dengan Corrie Du Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi kini
merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan adat istiadat negerinya. Sikan,
pemikiran, dan cara hidupnya, juga sudah kebarat-baratan. Tidaklah heran jika
hubungannya dengan Corri ditafsirkan lain oleh Hanafi karena ia kini sudah
bukan lagi sebagai orang "inlander". oleh arena itu, ketika Corrie datang ke Solok
dalam rangka mengisi liburan sekolahnya, bukan main senangnya hati Hanafi. Ia
dapat berjumpa kembali dengan sahabat dekatnya.
Hanafi mulai merasakan tumbuhnya perasaan asmara. Sikap Corrie
terhadapnya juga dianggap sebagai "gayung bersambut kata berjawab". Maka,
betapa terkejutnya Hanafi ketika ia membaca surat dari Corrie. Corrie
mengingatkan bahwa perkawinan campuran bukan hanya tidak lazim untuk
ukuran waktu itu, tetapi juga akan mendatangkan berbagai masalah. "...Timur
tinggal Timur, Barat tinggal Barat, tak akan dapat ditimbuni jurang yang
membatasi kedua bahagian itu" (hlm. 59). Perasaan Corrie sendiri sebenarnya
mengatakan lain. Namun, mengingat dirinya yang Indo—dan dengan sendirinya
perilaku dan sikap hidupnya juga berpijak pada kebudayaan Barat— serta Hanafi
12
yang pribumi, yang tidak akan begitu saja dapat melepaskan akar budaya
leluhurnya.
Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan
pertalian hubungannya itu (hlm. 61). Surat itu membuat Hanafi patah semangat. la
pun kemudian sakit. Ibunya berusaha menghibur agar anak satu-satunya itu, sehat
kembali. Di saat itu pula ibunya menyarankan agar Hanafi bersedia menikah
dengan Rapiah, anak mamaknya, Sutan Batuah. Ibunya menerangkan bahwa
segala biaya selama ia bersekolah di Betawi, tidak lain karena berkat uluran
tangan mamaknya, Sutan Batuah. Hanafi dapat mengerti dan ia menerima Rapiah
sebagai istrinya.
Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya tak berjalan
lempang. Hanafi tidak merasa bahagia, sungguhpun dari hasil perkawinannya
dengan Rapiah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, Syafei. Lagi pula,
semua teman-temannya menjauhi dirinya. Dalam anggapan Hanafi, penyebab
semua itu tak lain adalah Rapiah. Rapiah kemudian menjadi tempat segala
kemarahan Hanafi. Walaupun diperlakukan begitu oleh Hanafi, Rapiah tetap
bersabar.
Suatu ketika, setelah mendamprat Rapiah, ia duduk termenung seorang diri
di kebun. Ibunya menghampiri anaknya dan berusaha menyadarkan kembali
kelakuan anaknya yang sudah lewat batas itu. Nanrtun, Hanafi justru
menanggapinya dengan cara cemooh. Di saat yang sama, tiba-tiba seekor anjing
gila menggigit tangan Hanafi.
Dokter segera memeriksa gigitan anjing gila pada tangan Hanafi. Dokter
menyarankan agar Hanafi berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat
menyenangkan hatinya. Sebab, bagaimanapun, kepergiannya ke Betawi itu
sekaligus memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu kembali dengan Corrie.
Suatu peristiwa yang sangat kebetulan terjadi. Dalam suatu kecelakaan
yang dialami Corrie, Hanafi yang sedang berada di Betawi, justru menjadi
penolong Corrie. Pertemuan itu sangat menggembirakan keduanya. Corrie yang
13
sudah ditinggal ayahnya, mulai menyadari bahwa sebenarnya ia memerlukan
sahabat. Pertemuan itu telah membuat Hanafi mengambil suatu keputusan. Ia
bermaksud tetap tinggal di Betawi. Untuk itu, ia telah pula mengurus kepindahan
pekerjaannya. Setelah itu, ia mengurus surat persamaan hak sebagai bangsa Eropa.
Dengan demikian, terbukalah jalan untuk segera menceraikan Rapiah, sekaligus
meluruskan jalan baginya untuk mengawini Corrie.
Semua rencana Hanafi berjalar. lancar. Namun, kini justru Corrie yang
menghadapi berbagai persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi
mendapat antipati dari teman-teman sebangsanya. Akhirnya, dengan cara diam-
diam mereka melangsungkan pernikahan.
Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim Hanafi,
tetap tinggal di Solok bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.
Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang
mereka bayangkan. Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai
menjauhi. Di satu pihak menganggap Hanafi besar kepala dan angkuh; tidak
menghargai bangsanya sendiri. Di lain pihak, ia menganggap Corrie telah
menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat. Jadi, keduanya tidak lagi
mempunyai status yang jelas; tidak ke Barat, tidak juga ke Timur. Inilah awal
malapetaka dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api neraka dunia.
Corrie yang semula supel dan lincah, kini menjadi nyonya yang pendiam.
Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami yang kasar dan bengis. Bahkan, Hanafi
selalu diliputi perasaan syak wasangka dan curiga. Lebih-lebih lagi, Corrie sering
dikunjungi Tante Lien, seorang mucikari.
Puncak bara api itu pun terjadi. Tanpa diselidiki terlebih dahulu, Hanafi
telah menuduh istrinya berbuat serong. Tentu saja, Corrie tidak mau dituduh dan
diperlakukan sekehendak hati suaminya. Maka, dengan ketetapan hati, Corrie
minta diceraikan. "Sekarang kita bercerai, buat seumur hidup.... Bagiku tidak
14
menjadi kependngan, karena aku tidak sudi menjadi istri lagi dan habis perkara"
(hlm. 183).
Setelah itu, Corrie meninggalkan Betawi dan berangkat ke Semarang. la
bekerja di sebuah panti asuhan.
Segala kejadian itu membuat Hanafi menyadari bahwa sebenarnya istrinya
tidak bersalah. la menyesal dan mencoba menyusul Corrie. Namun, sia-sia. Corrie
tetap pada pendiriannya.
Perasaan berdosa makin menambah beban penderitaan Hanafi. Di tambah
lagi, teman-temannya makin menjauhi. Hanafi dipandang sebagai seorang suami
yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Dalam keadaan demikian, barulah ia
menyesal sejadi-jadinya. la juga ingat kepada ibu, istri, dan anaknya di Solok.
Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat itu
datang seorang temannya yang mengatakan tentang pandangan orang
terhadapnya. Ia sadar dan menyesal., la kembali bermaksud minta maaf kepada
Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. la pergi ke Semarang. Namun rupanya,
pertemuannya dengan Corrie di Semarang merupakan pertemuan terakhir. Corrie
terserang penyakit kolera yang kronis. Sebelum mengembuskan napasnya, Corrie
bersedia memaafkan kesalahan Hanafi. Perasaan sesal dan berdosa tetap membuat
Hanafi sangat menderita. Batinnya goncang. ia jatuh sakit kembali.
Setelah sembuh, Hanafi bermaksud pulang ke kampungnya. la ingin minta
maaf kepada ibunya dan Rapiah, istrinya. Di samping itu, ia juga ingin melihat
keadaan anaknya sekarang. la berharap agar anaknya kelak tidak mengikuti jejak
ayahnya yang sesat.
Dengan kebulatan hatinya, berangkatlah Hanafi kembali ke tanah
kelahirannya.
***
15
ovel pertama Abdul Muis ini, secara tematik tidak lagi memasalahkan adat
kolct yang sering sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman,
melainkan jelas hendak mempertanyakan kawin campur antarbangsa. Dilihac dari
perkembangannya sejak Sitti Nurbaya, tampak jelas adanya pergeseran tema;
persoalannya tidak lagi kawin adat (Marah Rusli), kawin antarsuku (Adinegoro),
tetapi kawin antarbangsa. Ternyata, persoalannya tidak sederhana; ia menyangkut
perbedaan adat-istiadat, tradisi, agama, budaya, serta sikap hidup yang tidak
gampang begitu saja ditinggalkan.
N
Pada tahun 1969, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah,
bersama tiga novel lainnya, yaitu Sitti Nurbaya, Belenggu, dan Atheis. Tahun
1972, novel ini diangkat ke layar perak oleh Asrul Sani dengan Dicky Zulkarnaen
sebagai pemeran Hanafi.
Kajian dan penelitian terhadap novel ini pernah dilakukan oleh Djajanto
Supra (FS "JI, 1969), sedangkan Pamasuk Eneste (FS UI, 1977) meneliti dalam
kaitannya dengan ekranisasi (Karya Sastra dalam Film) yang secara mendalam
membandingkannya pula jengan novel Anak Perawan di Sarong Penyamun
(1941) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan novel Aiheis (1949) karya Achdiat
Karta Mihardja. Peneliti lain adalah Jamil Bakar, dan kawan-kawan (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985) yang khusus membicarakan novel
ini. Adapun Sri H. Wijayanti (FS UI, 1989), membandingkan Salah Asuhan
dengan novel Malaysia, Mencari Istri.
Menurut Liang Liji (1988), Salah Asuhan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Cina, dan merupakan novel terjemahan Lris di Tiongkok. Adapun menurut
Morimura Shigeru (1988), mahaguru Osaka University of Foreign Studies,
Jepang, Salah Asuhan juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
16
4. KATAK HENDAK JADI LEMBU
akaria adalah seorang haji yang kaya-raya. Ia mempunyai anak tunggal
bernama Suria. Sejak kecil Suria hidup berkecukupan dan selalu
dimanjakan ayahnya. Dengan didikan yang seperti itu, ia justru menjadi seorang
anak yang pongah dan sombong. Bahkan, sifat dan tabiatnya yang buruk itu
terbawa sampai masa akhir hayatnya.
Z
Haji Hasbullah, teman karib Haji Zakaria, termasuk seorang haji yang
kaya-raya pula. la pun mempunyai seorang anak gadis satu-satunya, bernama
Zubaedah (Edah). Zubaedah berparas cantik dan berbudi baik. Ayah Zubaedah
telah memilihkan calon suaminya, Raden Prawira, yang berpangkat manteri polisi.
Akan tetapi, suatu ketika Haji Zakaria datang kepada Haji Hasbullah, memohon
agar Zubaedah dinikahkan dengan Suria. Haji Hasbullah tak dapat menolak
permintaan teman karibnya itu. Maka, pernikahan Suria dan Zubaedah
dilaksanakan.
Perkawinan yang tanpa didasari rasa cinta sama cinta itu justru membaua
petaka bagi Zubaedah. Kesempatan bagi Suria adalah setelah ayahnya meninggal
dunia. la berfoya-foya dengan harta peninggalan ayahnya itu. Selama tiga tahun,
ia pun meninggalkan Zubaedah yang baru melahirkan anaknya yang pertama,
Abdulhalim.
Ketika harta ayahnya telah ludes, Suria kembali pada Zubaedah. la
mengakui bahwa perbuatannya selama ini telah salah. Pada waktu itu Suria telah
bekerja sebagai juru tulis di kantor asisten di kabupaten. Penghasilannya yang
kecil selalu tak mencukupi kebutuhan keluarganya. Maka, Abdulhalim terpaksa
dibawa kakeknya dan disekolahkan di sekolah Belanda, lalu dilanjutkan ke
sekolah bergengsi di Bandung. Sementara itu, anak Suria terus bertambah. Kedua
adik Abdulhalim bernama Saleh dan Aminah. Oleh Suria, keduanya disekolahkan
Pengarang : Nur Sutan Iskandar Penerbit : Balai PustakaTahun : 1935; Cetakan V, 1978
17
di HIS. Itu semua dilakukan Suria hanya karena ia ingin dipandang dan dihomati
masyarakat. Layaknya orang mengatakan "besar pasak daripada tiang". Utang
Suria semakin bertumpuk. Untuk menutupi utang-utang suami dan biaya sekolah
anak-anaknya, Zubaedah sering berkirim surat pada ayahnya, meminta agar
dikirimi uang.
Seringkali terjadi pertengkaran mulut antara Zubaedah dan Suria.
Zubaedah tak kuat lagi menahan malu kepada para penagih yang selalu datang ke
rumahnya. Namun, Suria sendiri bersikap tak acuh menghadapi kenyataan itu.
Bahkan, ia kini ingin naik pangkat ketika didengarnya ada lowongan klerek. Hal
itu ia ceritakan kepada istrinya bahwa beberapa hari yang lalu ia mengirim
permohonan untuk mengisi lowongan itu. Ia begitu yakin atasannya akan
berusaha menolongnya. "Tak usah mengeluh juga, Edah," ujarnya, "kalau sudah
keluar surat angkatan akang jadi klerk, tentu klerk kelas 1, tak perlu kita disokong
ayah dari Rasik lagi. Dengan sekejap saja kita sudah lebih dari pada manteri polisi
yang tertua dinasnya" (hlm. 89).
Utang Suria terus menggunung. Apalagi karena Suria berani mengambil
barang-barang lelangan atasannya. Maka, untuk melunasi utang-utang itu, Suria
jadi gelap mata. la "telan" uang kas di kantornya. Perbuatannya itu diketahui oleh
atasannya. Kemudian, ketika Suria dipanggil atasannya, ia bahkan mengajukan
permohonan berhenti bekerja.
Rupanya, Suria telah merencanakan sebelumnya. Dalam pikirannya,
setelah berhasil menggelapkan uang kas, ia akan membawa istri dan anak-anaknya
pindah ke rumah Abdulhalim yang kini telah bekerja dan telah pula berkeluarga.
Suria mengirim surat kepada anaknya dan mengutarakan maksudnya itu. Sebagai
seorang anak yang ingin membalas budi orang tua, Abdulhalim sama sekali tak
merasa berkeberatan dengan keinginan ayahnya. Mulai saat itu, Suria tinggal di
rumah anaknya.
Orang tua itu rupanya benar-benar tak tahu diri. la tetap bersikap seperti
tuan rumah layaknya. Adapun Abdulhalim dan menantunya dianggapnya sebagai
18
anak yang harus patuh pada orang tua, sekalipun Abdulhalim sebagai kepala
rumah tangga. "...Patutkah seorang menantu menghinakan mertuanya, patutkah
seorang perempuan berkata sekasar itu terhadapku, bekas manteri kabupaten?
Sudah salah ayahmu mengawinkan Abdulhalim dengan anak jaksa kepala itu.
Mengharapkan gelar dan paras saja. Coba diturutkan nasihatku dahulu:
dikawinkan Abdulhalim dengan anak wedana, yang telah jadi guru di Tasik itu,
tentu takkan begini jadinya" (hlm. 164).
Tak kuasa Zubaedah melihat tingkah laku suaminya yang sering
mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Hal itu pula yang membuat kehidupan
rumah tangga anaknya mulai sering diwarnai percekcokan. Bagi Zubaedah,
keadaan demikian sungguh membuatnya tidak enak hati. Bagaimanapun, sebagai
seorang ibu, ia ingin melihat anaknya hidup bahagia. Kebahagiaan anaknya, justru
terganggu oleh ulah Suria yang merasa bebas berbuat sekehendak hati terhadap
anaknya. la menyesalkan sikap suaminya. "Sesal Zubaedah terhadap Suria
semata-mata, dan sesal tak putus itulah yang mendatangkan penyakit kepadanya"
(hlm. 166). Tekanan batin yang mendatangkan penyakit itu pula yang
mengantarkan Zubaedah mengembuskan napasnya yang penghabisan. la
meninggal di hadapan semua kaum keluarganya.
Kematian istrinya telah membuat Suria merasa sangat malu terhadap
kelakuannya sendiri. Ia telah mengganggu ketenteraman rumah tangga anaknya. la
pula yang menyebabkan istrinya menderita hingga maut menjemputnya. Perasaan
malu yang tak tertanggungkan itu, memaksa Suria mengambil keputusan; ia pergi
entah ke mana. Pergi bersama kesombongan dan keangkuhannya. Menggelandang
membawa sifatnya yang tak juga berubah.
***
ovel Katak Hendak jadi Lembu ini, termasuk salah satu novel terbaik yang
dihasilkan Nur Sutan Iskandar. Agak mengherankap bahwa pengarang
kelahiran Sumatra Barat ini, mampu menulis novel yang begitu kuat
menghadirkan latar tempat dan latar sosial masyarakat Pasundan. Latar tempatnya
N
19
memang terjadi di daerah Jawa Barat. Hampir semua tempat di seputar jawa Barat
—Cirebon, Tasikmalaya, Sumedang, dan Bandung—berikut panorama alamnya
dilukiskan dengan amat meyakinkan. Begitu pula perilaku dan sikap para
bangsawan berikut sebutan-sebutan yang khas Sunda.
Dalam hal tersebut, tersirat pengarangnya hendak melakukan kritik
terhadap priayi atau bangsawan Sunda yang terlalu membanggakan
kebangsawanannya hingga tak mau bekerja keras dan lebih suka dilayani segala
sesuatunya. Hal tersebut tampak jelas dari gambaran sosok pribadi Suria. Jadi,
dalam hal ini, Nur Sutan Iskandar tidak lagi memasalahkan kawin adat, melainkan
sikap dan perilaku bangsawan Sunda yang hanyut oleh obsesi kebangsawanannya.
Studi mengenai karya Nur Sutan Iskandar, lihat ulasan pada ringkasan
Hulubalang Raja.
20
5. LAYAR TERKEMBANG
uti adalah putri sulung Raden Wiriaatmadja. la dikenal sebagai seorang
gadis yang berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi
wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam, sangat berbeda
dengan adiknya, Maria. la seorang gadis yang lincah dan periang.
T
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika mereka sedang asyik
melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu
berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa
Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di
Martapura, Sumatra Selatan.
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya
Tuti dan Maria pulang. Bagi Yusuf, pertemuan itu ternyata berkesan cukup
mendalam. la selalu teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada
gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya, wajah
Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu,
memancarkan semangat hidup yang dinamis.
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia
bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun
kemudian dengan senang hati, menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat
mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.
Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap.
Sementara itu, Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak
sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam Kongres Putri
Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan