BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dongeng memunyai kekuatan yang besar untuk terus hidup dan tetap populer ditengah masyarakat modern. Umumnya, cerita-cerita di dalam dongeng di berbagai negara muncul tanpa diketahui siapa pengarangnya dan kapan cerita tersebut terjadi. Sejak ratusan tahun silam, dongeng hidup sebagai hiburan untuk anak-anak dan diceritakan oleh orang tua mereka. Tanpa disadari, dongeng telah menjadi salah satu bentuk warisan budaya dari orang dewasa kepada anak-anak. Kegiatan tersebut terus berlanjut dan berulang, pewarisan dongeng seakan menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia dan menjadi bagian dari budaya suatu tempat atau daerah. Kekuatan dan kepopuleran dongeng yang terus hidup di era modern salah satunya terletak pada unsur-unsur agama dan kepercayaan yang tersembunyi di balik dongeng tersebut. Unsur-unsur agama dan kepercayaan dapat hidup di dalam pemikiran masyarakat modern melalui level imajenasi. Secara umum, dongeng sebenarnya meninggalkan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dongeng memunyai kekuatan yang besar untuk terus hidup dan tetap
populer ditengah masyarakat modern. Umumnya, cerita-cerita di dalam dongeng
di berbagai negara muncul tanpa diketahui siapa pengarangnya dan kapan cerita
tersebut terjadi. Sejak ratusan tahun silam, dongeng hidup sebagai hiburan untuk
anak-anak dan diceritakan oleh orang tua mereka. Tanpa disadari, dongeng telah
menjadi salah satu bentuk warisan budaya dari orang dewasa kepada anak-anak.
Kegiatan tersebut terus berlanjut dan berulang, pewarisan dongeng seakan
menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia dan menjadi bagian dari
budaya suatu tempat atau daerah.
Kekuatan dan kepopuleran dongeng yang terus hidup di era modern salah
satunya terletak pada unsur-unsur agama dan kepercayaan yang tersembunyi di
balik dongeng tersebut. Unsur-unsur agama dan kepercayaan dapat hidup di dalam
pemikiran masyarakat modern melalui level imajenasi. Secara umum, dongeng
sebenarnya meninggalkan kesan imajenatif di dalam otak manusia, karena
terdapat begitu banyak hal atau peristiwa yang tidak ada di dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat modern. Kesan tersebut tercipta karena perbedaan
peristiwa pada masa lampau dan masa kini, serta kemustahilan terjadinya
peristiwa-peristiwa di dalam dongeng tersebut di era modern. Namun, unsur-unsur
agama dan kepercayaan di dalam dongeng sesungguhnya adalah bentuk realitas
kehidupan manusia. Ratusan tahun silam atau era modern seperti saat ini, agama
1
dan kepercayaan tetap menjadi bagian di dalam kehidupan manusia (Lüthi, 1970:
59-60).
Pada hakikatnya, agama dan kepercayaan berfungsi sebagai petunjuk dan
wejangan terhadap hidup manusia, terutama dari segi religi. Oleh sebab itu,
unsure-unsur agama dan kepercayaan selalu ada di dalam dongeng, baik dongeng-
dongeng yang dikenal masyarakat dunia, maupun dongeng yang hanya dikenal
oleh masyarakat daerah tertentu. Seringkali, unsure agama dan kepercayaan di
dalam dongeng tersebut kurang dikenali dan sulit dimengerti oleh manusia,
sehingga makna dalam setiap unsure agama dan kepercayaan tersebut tidak dapat
terserap. Padahal, hampir semua orang di dunia mengenal dongeng dan
mewariskan dongeng tersebut kepada anak-anak mereka.
Salah satu dongeng yang memiliki kekuatan untuk terus hidup dan populer
di era modern ini adalah kumpulan dongeng karya Grimm bersaudara.
Sneewittchen (Putri Salju), Aschenputtel (Upik Abu), dan Rapunzel adalah
beberapa contoh dongeng terkenal yang berasal dari Jerman dan telah
dikumpulkan dan ditulis dalam bentuk buku kumpulan dongeng. Grimm
bersaudara adalah orang pertama yang membukukan dongeng-dongeng rakyat
Jerman yang ditulis dalam versi asli cerita rakyat Jerman. Buku kumpulan
dongeng tersebut terdiri dari dua jilid, yaitu Kinder und Hausmärchen Band 1
(Kumpulan Dongeng Anak-anak Jilid 1) dan Kinder und Hausmärchen Band 2
(Kumpulan Dongeng Anak-anak Jilid 2). Buku tersebut diterbitkan tahun 1812 di
Jerman dan ditulis dalam bahasa Jerman.
Pada tahun 2014 ini, buku kumpulan dongeng milik Grimm bersaudara
telah berusia 202 tahun dan hampir semua orang di dunia telah mengenal
2
dongeng-dongeng dari Jerman tersebut. Pada September tahun 2012, Goethe
Institut, lembaga kursus bahasa Jerman resmi yang bertempat hampir di seluruh
dunia, mengadakan sebuah acara berupa pameran dongeng karya Grimm
bersaudara di seluruh dunia, termasuk sepuluh kota besar di Indonesia. Surabaya
merupakan kota kesepuluh di Indonesia yang menjadi tuan rumah pameran
dongeng tersebut yang diselenggarakan di Wisma Jerman Surabaya.
Acara pameran kumpulan dongeng Grimm bersaudara tersebut menarik
minat banyak pihak, tidak hanya kalangan pembelajar bahasa Jerman, tetapi juga
pencinta dongeng pada umumnya. Terbukti dengan hadirnya peserta pameran dari
Dinas Pariwisata Pemprov Jatim, Dispora jatim, aktivis-aktivis pelatih kegiatan
mendongeng untuk guru-guru TK dan PAUD, dan komunitas-komunitas pencinta
sastra dan dongeng pada umunya. Hal tersebut membuktikan bahwa kumpulan
dongeng Grimm bersaudara begitu dikenal di seluruh dunia dan di Indonesia. Usia
kumpulan dongeng Grimm yang berusia 202 tahun tersebut tetap dikenal, hidup,
dan dicintai di tengah-tengah modernisasi global, dimana karya sastra terus
menerus lahir dan berkembang.
Dalam pameran 200 tahun kumpulan dongeng Grimm tersebut, Goethe
Institut (GI) Indonesia menerbitkan satu buku kumpulan dongeng Grimm yang
ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Dalam buku
kumpulan dongeng tersebut, GI Indonesia menampilkan sembilan dongeng
Grimm terpopuler. Sembilan dongeng tersebut dipilih dari seratus enam puluh
empat dongeng Grimm lainnya, karena berdasarkan survei yang dilakukan di
seluruh dunia, kesembilan dongeng tersebut yang paling dikenal masyarakat
dunia. Dongeng-dongeng tersebut adalah Sneewittchen (Putri Salju), Aschenputtel
3
(Upik Abu), Rapunzel, Dornröschen (Putri Tidur), Hänsel und Gretel (Hensel dan
Gretel), Rötkapchen (Si Tudung Merah), Froshkönig (Pangeran Kodok), Frau
Hölle (Mama Hulda), dan Die Bremmer Stadtmusikkanten (Pemusik dari
Bremen).
Berdasarkan kesembilan urutan dongeng Grimm terpopuler yang
diterbitkan GI tersebut, Sneewittchen (Putri Salju) menempati urutan pertama
sebagai dongeng terpopuler di dunia. Selanjutnya, Aschenputtel (Upik Abu)
menempati urutan kedua dan Rapunzel berada di urutan ketiga. Sebagai salah satu
dongeng Grimm bersaudara yang paling mendunia, Sneewittchen dikenal
masyarakat dunia sebagai SnowWhite. Dari waktu ke waktu, Sneewittchen hadir
dengan berbagai versi cerita. Salah satu versi yang paling terkenal di dunia adalah
SnowWhite and The Seven Dwarfs (putri salju dan tujuh kurcaci) yang
dipopulerkan oleh perusahaan film animasi Walt Disney.
Sneewittchen atau yang lebih dikenal sebagai SnowWhite bermula sebagai
dongeng anak-anak, kemudian tahun 1916 ia hadir melalui film bisu karya
sutradara J. Searle Dawley. Seperempat abad setelah kahadiran SnowWhite versi
Dawley, Disney animated feature kemudian menghadirkan SnowWhite and The
Seven Dwarfs pada tahun 1937 dalam bentuk kartun hitam putih. Cerita
SnowWhite versi Disney inilah yang secara tidak langsung berjasa menjadikan
Sneewittchen karya Grimm bersaudara terkenal di penjuru dunia sampai saat ini.
Berbagai karya yang mengangkat cerita Sneewittchen terus hadir dalam
bentuk film, novel, pementasan drama, musik, bahkan video games. Baru-baru ini
Apple Inc. menghadirkan Hidden Objects - Snow White sebagai salah satu fitur
game di produk smart phone tebarunya yang mendunia. Pada Mei tahun 2012
Di Indonesia, penelitian dongeng Grimm belum banyak dilakukan. Hanya
beberapa penelitian saja yang mengulas dongeng Grimm dan sebatas pada analisis
struktur naratif, diantaranya adalah Analisis Fungsi Vladimir Propp dalam
Dongeng der Singende Knochen dan der Froschkönig oleh Bruder Grimm.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Julianti pada tahaun 2012. Julianti (2012: 6)
menganalisis dua dongeng berjenis fable tersebut dengan mengurakain fungsi dan
pelaku menggunakan teori struktur naratif Propp. Penelitian tersebut hanya
mendeskripsikan jumlah fungsi dan pelaku pada setiap dongeng, namun tidak
menganalisis dari segi sosial maupun budaya secara mendalam.
16
Tokoh Kekerasan
Amerika Eropa
Inisiasi
The Journal of American Folklore oleh N.J. Girardot pada tahun 2006Unsur agama & kepecayaan dongeng Grimm
Asia dan Afrika
oleh Richard M. Dorson dan Toichi Mabuchi pada tahun 1963 oleh Yin-Lien C. Chin dan Yetta S. Centerpada tahun 1996 oleh Bernard Binlin Dadié dan Karen C. Hatch pada tahun 1987
Penelitian terhadap dongeng-dongeng di dunia
oleh W. Edson Richmond pada tahun 1957 oleh Tristram P. Coffin dan Hennig Cohen pada tahun 1970 oleh Gary D. Schmidt dan Donald R. Hettinga pada tahun 1992 oleh Ropo Sekoni pada tahun 1994 oleh Gilstrap Robert L. dan Doris Evens pada tahun 1996 oleh David Leeming dan Jake Page pada tahun 1999 oleh William Hansen pada tahun 2002
Penelitian terhadap kumpulan dongeng Grimm bersaudara
Guardians in Grimm Brother’s Fairy Tales oleh Thomas O’Neill pada tahun 1999Reading into Grimm fairy Tales: Eternal Characters oleh Hideo Toguchi pada tahun 2007
Violence in the Brothers Grimm’s FairyTales: A Corpus-BasedApproach oleh Maria Alcantud diaz pada tahun 2010
Gambar 1. Skema Relevansi Penelitian
Penelitian karya Grimm lainnya adalah Analisis Struktur dalam Sage der
Kobold dari Kumpulan Deutsche Sagen oleh Grimm Bersaudara yang dilakukan
pada tahun 2012 oleh Hendri Laksana. Sama seperti penelitian sebelumnya,
Laksana juga menganalisis sage der Kobold untuk mendeskripsikan struktur
17
naratifnya tanpa pembahasan yang terkait bidang sosial dan budaya (Laksana,
2012: 5).
Penelitians sastra lisan di Indonesia jarang yang menggunakan teori struktur
miliki Vladimir Prop. Hal tersebut mungkin dikarenakan karakteristik sastra lisan
di Indonesia cenderung mengarah pada legenda dan mite. Penelitian sastra lisan
umumnya menggunakan teori struktur naratif milik C. Levi Straus untuk
menganalisis mite dan teori struktur naratif milik milik Eli Kongas Maranda dan
Pierre Maranda untuk Legenda. Salah satu penelitian tersebut adalah Mite di
Kabupaten Karo Sumatra Utara yang dilakukan oleh Sinurya tahun 2013. Sinurya
(2013: 6) mengumpulkan mite-mite yang berada di Kabupaten Karo dan
menganalisis struktur naratif dan fungsinya menggunakan teori Levi Straus.
Selain itu, ia juga mengulas nilai budaya, kearifan lokal, dan kepercayaan
masyarakat terhadap mite tersebut.
Penelitian serupa dilakukan oleh Sapulette pada tahun 2011 dengan judul
Cerita Rakyat di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Dengan
menggunakan teori struktur naratif Maranda, Sapulete (2011: 8) mengkaji genre
dan struktur pada cerita rakyat saparua. Selain itu, cerita rakyat tersebut juga
dikaji nilai-nilai budayanya.
Teori struktur naratif milik Vladimir Propp memang cenderung cocok untuk
dongeng-dongeng eropa, karena memiliki karakteristik yang cenderung sama.
Penelitian sastra lisan di Indonesia yang menggunakan teori struktur naratif milik
Vladimir Propp pernah dilakukan pada tahun 2010. Namun objek yang dikaji
adalah dongeng prancis karya Charles Perrault. Dongeng Prancis tersebut mirip
dengan dongeng-dongeng Jerman, bahkan memiliki judul yang hampir sama,
18
seperti La Belle au Bois Dormant (Putri Yang tertidur), Le Petit Chaperon Rouge
(Si Kerudung Merah) miri, Cendrillon (Cinderella atau Upik Abu), dll. Namun
penelitian tersebut terbatas pada unsur intrinsik dan aspek moral saja, tanpa
keterkaitan dengan aspek social da budaya Prancis.
Penelitian-penelitian terdahulu di atas menjadi dasar penelitian unsur agama
dan kepercayaan dalam dongeng Jerman versi Grimm bersaudara ini. Dengan
menggunakan teori struktur naratif Propp, akan dianalisis struktur, fungsi, dan
pelaku pada dongeng Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel. Setelah itu,
berdasarkan skema struktur fungsi naratif tersebut akan dikaji aspek agama dan
kepercayaan sesuai dengan budaya masyarakat Jerman.
B. Sosiologi Sastra dalam Sastra Lisan
Berbicara mengenai dongeng tentu tidak lepas dari masyrakat yang
membaca dan mewariskan dongeng itu sendiri, karena dongeng adalah salah satu
bentuk dari folklore atau sastra lisan. Dalam mengkaji sebuah sastra lisan, tidak
cukup hanya dengan mengumpulkan dan berkutat dengan lore-nya saja atau
karyanya saja. Sebuah sastra lisan selalu diikuti oleh folk yaitu kebudayaan dan
masyrakat tempat karya sastra tersebut lahir, tumbuh, dan berkembang
(Danandjaya, 1984: 1-2). Maka penelitian tentang dongeng sangat berkaitan
dengan ilmu sosial yang berhubungan langsung dengan masyrakat. Salah satu
cabang ilmu sosial yang menghubungkan masyarakat dan karya sastra adalah
sosiologi sastra.
Pada hakikatnya, karya sastra tidak hanya sebagai hasil rekayasa imajinasi,
melainkan cermin masyarakat. Melalui penelitian sosiologi sastra, akan diketahui
keterkaitan antara karya sastra dengan masyarakat dalam berbagai aspek, misal
19
aspek politik, norma sosial, agama, kepercayaan, dan lain-lain. Dalam hal ini
Sumardjo (1979:15) mengatakan bahwa, ”sastra merekam penderitaan dan
harapan suatu masyarakat, sehingga sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca
dalam karya sastra”. Dimensi sosial ini dipertegas pula oleh Damono (1984:9),
yang menyatakan bahwa, ”sastra merupakan cerminan langsung berbagai segi
struktur sosial zamannya.” Oleh karena itu, penelitian mengenai dongeng Grimm
bersaudara ini adalah salah satu jenis penelitian sosiologi sastra, karena ingin
mengetahui keterkaitan antara dongeng dengan agama dan kepercayaan
masyarakat Jerman ketika dongeng ini dikumpulkan dan ditulis oleh Grimm
bersaudara. Konsep agama dan kepercayaan yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah Inisiasi, yaitu bentuk-bentuk ritus dan ritual, sesuai dengan tujuan
penelitian ini.
Berkaitan dengan konsep sosiologi sastra di atas dan tujuan penelitian ini,
yaitu untuk menguak unsur agama dan kepercayaan yang terdapat dalam dongeng
Sneewittchen (Putri Salju), Aschenputtel (Upik Abu), dan Rapunzel (Rapunsel),
maka teori Inisiasi Mircea Eliade adalah salah satu teori yang relevan untuk
penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan tiga dongeng Grimm bersaudara tersebut
berasal dari Eropa, kemudian dikumpulkan dan ditulis pada tahun 1812, dimana
agama dan kepercayaan yang muncul dan berkembang pada saat dongeng tersebut
lahir dan dibukukan bertalian erat dengan keadaan dan budaya Eropa, baik pada
masa silam, maupun masa sekarang.
Namun, sebelumnya perlu pula diketahui makna sesungguhnya dari suatu
sistem religi (agama) dan kepercayaan dari sudut pandang masyarakat Indonesia.
Mengingat ketiga dongeng tersebut juga tumbuh dan berkemang di Indonesia,
20
bahkan banyak penelitian yang telah mengemukakan bahwa banyak persamaan
antara dongeng-dongeng nusantara dengan tiga dongeng tersebut. Oleh karena itu,
teori sistem religi dan kepercayaan milik Koentjaraningrat dianggap relevan
sebagai dasar untuk menguak ritus dan titual dalam dongeng Sneewittchen,
Aschenputtel, dan Rapunzel karya Grimm bersaudara.
C. Hakekat Folklor dan Dongeng
Dongeng merupakan salah satu bentuk folklor atau sastra lisan yang
berbentuk cerita prosa rakyat. Sebelum membahas mengenai dongeng Grimm,
penting untuk diketahui hakekat dari folklor itu sendiri, agar diketahui kedudukan
dongeng dalam disiplin ilmu sastra lisan.
Folklor adalah salah satu disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang
berdiri sendiri di Indonesia. Kata folklor berasal dari kata bahasa Inggris folklore
dan merupakan kata majemuk, yaitu terdiri dari dua kata dasar yaitu folk dan lore.
Menurut Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal
fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dengan kelompok-
kelompok lain. Sedangkan lore adalah tradisi folk itu sendiri, yaitu sebagian
kebudayaan yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan atau melalui suatu
contoh yang disertai gerak isyrat atau alat pembantu pengingat (Dundes, 1965: 2).
Berdasarkan definisi Dundes di atas, definisi folklor secara keseluruhan adalah
kebudayaan suatu kolektif (masyarakat) yang tersebar dan diwariskan turun-
temurun secara tradisional dan dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk
lisann maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat.
21
Definisi megenai folklor di atas menyimpulkan bahwa yang disebut dengan
folklor tidak hanya dongeng, mitos, legenda, dan cerita-cerita kuno saja.
Danandjaja mengungkapkan sembilan ciri pengenal utama folklor pada umumnya,
yaitu sebagai berikut.
a. Penyebarannya dan pewarisannya dilakukan secara lisan.
b. Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam kolektif tertentu dalam
waktu yang cukup lama.
c. Folklor hadir (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang
berbeda.
d. Anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketaui lagi.
e. Folklor biasanya memunyai bentuk rumus atau bepola, misalnya
kalimat pembuka dan penutup yang cenderung baku.
f. Folklor memunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu
kolektif, misalnya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan
proyeksi keinginan terpendam.
g. Folklor bersifat pralogis, yaitu memunyai logika sendiri yang tidak
sesuai dengan logika umum.
h. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
i. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali
kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dikarenakan kebanyaka
folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur
manifestasinya.
Berdasarkan ciri-ciri di atas, folklor dibedakan menjadi tiga, yaitu folklor
lisan, folklor setengah lisan dan foklor bukan lisan (Danandjaja, 1991:21-22).
22
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan, seperti bahasa rakyat,
ungkapan tradisional, pertanyaan atau teka-teki rakyat, sajak dan puisis rakyat,
cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Folklor setengah lisan merupakan
campuran antara unsur lisan dan bukan lisan, seperti permaian rakyat, teater
rakyat, adat-istiadat, upacara, dll. Sedangkan Folklor bukan lisan folklor yang
bentukya bukan lisan, tapi cara pembuatannya dan pewarisannya dilakukan
dengan lisan, misalnya arsitektur rakyat dan musik rakyat.
Beberapa contoh folklor lisan seperti yag telah disebutkan di atas, salah
satu di antaranya adalah cerita prosa rakyat. Dundees membedakan cerita prosa
rakyat menjadi tiga, yaitu mite atau mitos, legenda, dan dongeng (1965: 4). Mite
adalah cerita prosa rakyat yang dianggap suci dan benar-benar terjadi. Mite
ditokohi dengan konsep dewa-dewi dan terjadi pada masa lampau. Legenda
memiliki ciri yang tidak jauh berbeda dengan mite, yaitu dianggap benar-benar
terjadi. Namun legenda tidak dianggap cerita suci, ditokohi oleh manusia yang
pada kalanya memiliki kekuatan luar biasa dan waktu terjadinya belum terlalu
lampau. Legenda erat pula kaitannya dengan asal-usul suatu tempat.
Berbeda dengan mite dan legenda yang ceritanya dianggap benar-benar
terjadi, dongeng secara sadar dinikmati sebagai cerita yang tidak sungguh-
sungguh terjadi, dan kebanyakan tidak terikat oleh waktu maupun tempat tertentu.
Tokoh dalam dongeng pun bervariasi, tidak hanya ditokohi oleh manusia, tetapi
juga oleh binatang dan makhluk-makhluk ajaib. Kisahnya juga beragam, ada yang
lucu, penuh teka-teki, penuh cinta dan kasih sayang, dll.
Di dalam buku The Tipes of the Folktale, Thompson telah membagi
dongeng ke dalam empat golongan besar, yaitu (1) dongeng binatang, (2) dongeng
23
biasa, (3) lelucon dan anekdot, dan (4) dongeng berumus (1964: 25). Dongeng
binatang ditokohi oleh binatang-binatang, baik binatang peliharaan maupun
binatang liar. Binatang-binatang tersebut dapat berbicara dan berakal budi seperti
manusia. Dalam kumpulan dongeng Grimm, dongeng binatang tersebut misalnya
Frosch König (Pangeran Kodok) dan Rötcapchen (Si Tudung Merah). Dongeng
biasa atau ordinary folktales adalah dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya
mengangkat kisah suka duka seseorang. Seperti dalam penelitian ini,
Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel termasuk dalam jenis dongeng biasa.
Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan
rasa menggelikan hati, sehingga orang yang mendengarnya maupun yang
menceritakannya tertawa. Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya
terdiri dari pengulangan dan biasanya kisahnya bersifat lelucon.
D. Morfologi Cerita Rakyat Vladimir Propp
Vladimir Propp (1895-1970) adalah salah seorang tokoh Formalis Rusia
yang melakukan analisis yang cermat tentang struktur cerita rakyat. Prop
merupakan tokoh strukturalis pertama yang melakukan kajian serius terhadap
struktur naratif. Pada tahun 1928, Prop melakukan penelitian terhadap seratus
dongeng Rusia. Penelitiannya adalah usaha untuk menemukan pola umum alur
atau plot dongeng pada umumnya. Hasil penelitiannya dituangkan dalam buku
The Morphology of The Folktales. Berikut adalah pokok-pokok pikiran Prop yang
penting berdasarkan hasil peneltiannya tersebut.
Pertama, unsur dongeng yang paling stabil dan tak berubah bukanlah tokoh
atau motifnya, melainkan fungsi atau peranannya. Sekalipun pelaku dan penderita
dalam setiap dongeng berubah, tetapi fungsinya tak berubah. Kedua, fungsi dalam
24
dongeng jumlahnya terbatas dan merupakan satuan pokok dalam alur cerita. Prop
menyebutkan jumlahnya sebanyak 31 fungsi. Ketiga, urut-urutan fungsi di dalam
sebuah dongeng selalu sama. Keempat, menurutnya dongeng hanya memiliki satu
tipe saja jika dilihat dari segi struktur (Taum, 2011: 125-126).
Fungsi yang dimaksud oleh Prop adalah tindakan tokoh yang dibatasi dari
segi maknanya untuk jalan lakonya. Prop membedakan fungsi-fungsi ini menjadi
31 jenis. Fungsi-fungsi ini dikelompokkan menjadi empat lingkaran (sphere)
satuan naratif sebagai berikut.
a) Lingkaran Pertama: Pengenalan
Terdapat tujuh macam fungsi dalam lingkaran pertama dan ketujuh fungsi
tersebut memperkenalkan situasi dan para pelakunya, serta mempersiapkan
adegan-adegan untuk petualangan selanjutnya (Taum, 2011: 126-128). Tujuh
fungsi pada lingkaran pertama ini adalah sebagai berikut.
1) Meninggalkan rumah (absentation). Seorang anggota keluarga meninggalkan
rumah dengan berbagai alasan. Tokoh yang pada mulanya digambarkan
sebagai orang biasa inilah yang kemudian perlu dicari dan diselamatkan.
2) Larangan (interdiction). Tokoh utama atau pahlawan dikenai larangan,
misalnya tidak boleh berbicara lagi, tidak boleh meninggalkan rumah, tidak
boleh memtik bunga terntentu, dll.
3) Pelanggaran terhadap larangan (violation of interdiction). Pelarangan itu
dilanggar, oleh karena itu penjahat mulai memasuki cerita, meskipun tidak
secara frontal melawan sang pahlawan. Namun pahlawan tetap mengabaikan
larangan.
25
4) Memata-matai (reconnaissance). Penjahat mencoba memata-matai dan secara
aktif mencari informasi, misalnya menelurusi informasi-informasi yang
berharga atau berusaha menangkap seseorang, binatang buruan, atau lainnya.
5) Penyampaian (delivery). Penjahat memperoleh informasi mengenai
korbannya, misalnya tentang peta harta karun atau pun tujuan pahlawan.
6) Penipuan (trickery). Penjahat mencoba menipu dengan berbagai cara dan
meyakinkan korbannya untuk mengambil alih kedudukan atau barang-barang
miliknya.
7) Komplesitas (complicity). Korban benar-benar tertipu dan tanpa disadarinya
ia menolong musuhnya. Korban atau pahlawan memberikan sesuatu kepada
penjahat, misalnya peta atau senjata yang digunakan penjahat untuk melawan
orang baik.
b) Lingkaran Kedua: Isi cerita
Pokok cerita dimulai pada fase ceria ini dan diteruskan dengan
keberangkatan sang pahlawan (Taum, 2011: 128-130).
8) Kejahatan (villainy). Penjahat merugikan atau melukai salah seorang anggota
keluarga.
Kekurangan (lack). Salah seorang anggota keluarga kehilangan sesuatu atau
mengharapkan untuk memiliki sesuatu.
9) Mediasi (mediation). Pahlawan menyadari adanya tindakan keji atau
mengetahui kekurangan yang dimiliki anggota keluarga.
10) Aksi balas dendam (beginning counter-action). Pahlawan sekarang
memutuskan untuk mengambil tindakan untuk mengatasi kekurangan,
26
misalnya dengan menemukan barang magis, menyelamatkan orang-orang
yang ditahan atau mengalahkan penjahat.
11) Kepergian (departure). Pahlawan pergi meninggalkan rumah.
c) Lingkaran Ketiga: Rangkaian Donor
Pada lingkaran ketiga, pahlwan mencari cara memecahkan masalah,
mendapatkan bantuan berupa hal-hal magis dari Donor. Sesungguhnya pada
rangkaian lingkaran ketiga, sebuah sudah utuh dan dapat diselesaikan atau tamat
(Taum, 2011: 130-131).
12) Fungsi pertama bantuan (first function of the donor). Pahlawan diuji,
diintrogasi, diserang, dan sebagainya, yang merupakan persiapan baginya
menerima pelaku atau penolong magis (donor).
13) Reaksi pahlawan (hero’s reaction). Pahlawan berekasi terhadap tindakan
penolong.
14) Resep benda magis (receipt of a magical agent). Pahlawan meneliti cara
penggunaan benda magis.
15) Bimbingan (guidence). Pahlawan dibawa, dipesan, atau dibimbing ke
sebuah tempat dari suatu objek pencarian.
16) Pertempuran (struggle). Pahlawan dan penjahat terlibat dalam pertempuran
langsung.
17) Pengenalan (branding). Pahlawan dikenali, misalnya terluka, menerima
cincin atau selendang.
18) Kemenangan (victory). Penjahat dikalahkan, misalnya terbunuh dalam
pertempuran, dikalahkan dalam sebuah sayembara, dll.
27
19) Kegagalan pertama (liquidation). Kemalangan dihadapi, tawanan lepas,
orang yang sudah dibunuh hidup kembali, dll.
d) Lingkaran Keempat: Kembalinya Sang Pahlawan
Lingkaran keempat kadang-kadang bersifat optional atau tidak wajib ada.
Pada tahap final dari rangkaian penceritaan, pahlawan pulang ke rumah, berharap
tidak ada insiden lagi, dan pahlawan disambut baik (Taum, 2011: 131-132).
20) Kepulangan (return). Pahlaan kembali ke rumah.
21) Pencarian (persuit). Pahlawan dicari, sedangkan orang yang mencarinya
ingin membunuh, memakannya atau memperlemah posisi pahlawan.
22) Penyelamatan (rescue). Pahlawan diselamatkan dari pencarian (mujizat
menghalangi orang yang mencari, pahlawan bersembunyi atau
disembunyikan, dll).
23) Kedatangan orang tak dikenal (unrecognized arrival). Pahlawan yang belum
Jalasco, Jagad. 2012. Analisis Fungsi Vladimir Propp dalam Dongeng Prancis Karya Charles Perrault. Jakarta: UI
Julianti, Sri. 2012. Analisis Fungsi Vladimir Propp dalam Dongeng Der Singende Knochen dan Den Froschkönig. Yogyakarta: UNY
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.
Laksana, Hendri. 2012. Analisis Struktur dalam Sage Der Kobold dari Kumpulan Deutsche sagen oleh Bruder Grimm. Yogyakarta: UNY.
Lüthi, Max. 1970. Once Upon a Time: On The Nature of fairy Tales. New York: Frederick Ungar Publishing Co. (http://www.mircea-eliade.com/from-primitives-to-zen/142.html diakses tanggal 25 November 2012 pukul 21.45 WIB)
Propp, Vladimir. 1975. Morphology of the Folktale. London: University of Texas Press.
Sapulette, Violeta. 2011. Cerita Rakyat di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah (Kajian Genre, struktur, nilai budaya). Surabaya: PPS Unesa.
Sinurya, Lesta Br. 2013. Mite di Kabupaten Karo Sumatra Utara. Surabaya: PPS Unesa.