i “KAJIAN SOSIO – FEMINIS TERHADAP PERAN PEREMPUAN DALAM BUDAYA PAHAMANG (UNTUK KEMATIAN) DALAM ADAT SUMBA TIMUR” Oleh : Ekawati Suzanty Mbiliyora NIM : 712010049 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi ( S.Si-Teol ) FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017
46
Embed
Olehrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13384/1/T1_712010049_Full... · vi Motto “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang Gagal”
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
“KAJIAN SOSIO – FEMINIS TERHADAP PERAN PEREMPUAN DALAM BUDAYA
PAHAMANG (UNTUK KEMATIAN) DALAM ADAT SUMBA TIMUR”
Oleh :
Ekawati Suzanty Mbiliyora
NIM : 712010049
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas Teologi
Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana
Sains Teologi
( S.Si-Teol )
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA 2017
ii
iii
iv
v
vi
Motto
“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang Gagal”
- Ayub 42 : 2 -
Persembahan
Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk Kedua orang tua saya Bapak Silas Mbiliyora dan Ibu Agustina Dingu serta kedua adik saya Yurinius Mbiliyora dan Christine R.I Mbiliyora, trima
kasih untuk begitu banyak kasih sayang yang telah dengan tulus diberikan.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang sudah
menyertai perjalanan kehidupan penulis, khususnya dalam proses penyelesaian studi hingga
sampai pada tahap ini. Banyak hal yang sudah penulis lalui selama menuntut ilmu di kampus ini.
Penulis menyadari bahwa sampai pada tahap ini bukan berarti tanggung jawab juga selesai,
namun semakin mempersiapkan diri untuk menghadapi tahap-tahap selanjutnya. Banyak pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Pada kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Pdt. Dr. Retnowati, M.Si selaku Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen
Satya Wacana.
2. Bapak Pdt. Izak Lattu, P.HD selaku Ketua Program Studi Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana.
3. Bapak Dr. David Samiyono selaku dosen pembimbing I dan Ibu Feriningsih B.P
Hagni, M.Th selaku pembimbing II untuk bimbingan serta arahan yang sudah
diberikan, untuk waktu yang sudah diluangkan kepada penulis selama proses
penyelesaian Tugas Akhir ini, penulis mengucapkan limpah trima kasih untuk
bantuannya selama ini.
4. Bapak Pdt. Dr. Jacob Daan Engel dan Ibu Pdt. Cindy Quartyamina. Terima kasih
untuk waktu dan juga ketelitian sebagai reviewer yang telah membaca dan
memberikan masukan-masukan positif untuk penulisan Tugas Akhir ini.
5. Bapak Dr. David Samiyono selaku wali studi penulis, trima kasih atas
bimbingannya sejak awal bergabung bersama teman-teman Teologi 2010.
6. Seluruh dosen UKSW yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan
serta seluruh civitas akademika UKSW.
7. Masyarakat Kecamatan Kota Waingapu yang sudah bersedia meluangkan waktu
untuk membantu penulis dalam proses wawancara dan memberikan data, guna
menyusun tugas akhir ini.
8. Kedua orang tua terkasih Bapa Silas Mbiliyora dan Mama Agustina Dingu untuk
kasih sayangnya, dan untuk segala bentuk dukungan yang tidak dapat penulis
balas, trima kasih banyak. Untuk kedua adik Yurinius Mbiliyora dan Cristine R.I
viii
Mbiliyora trima kasih atas segala bentuk dukungan yang tidak pernah berhenti
diberikan.
9. Untuk keluarga besar di Sumba, Alm. Martha J. Terinate, Opa Markus Mbiliyora,
Nenek Rambu Ippu Huka Pati, Bapak Yunus Osa Dingu dan Alm. Ibu Maria
Gella, Bapak No Alfons dan Ibu Fransina Dingu, trima kasih banyak untuk segala
bentuk dukungan baik moril maupun materil yang diberikan bagi penulis selama
ini.
10. Jefrison Y. Taralandu yang selalu menolong penulis selama proses penyelesaian
Tugas Akhir ini, memberikan dukungan yang luar biasa untuk penulis. Trima kasih
banyak kaka.
11. Keluarga besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) khusunya cabang
Salatiga untuk kebersamaannya selama ini, baik teman-teman maupun senior
GMKI yang sudah berbagi ilmu dan wawasan selama melakukan diskusi-diskusi
dalam organisasi, trima kasih telah menjadi keluarga untuk penulis selama di
Salatiga. Trima kasih secara khusus bagi Kecab (Apet Jomblo), Elyan Mesak Kowi
(adik laki-laki dengan segala cita-citanya), Juni ( Erik Bura), Eten (Stenly Musa),
Albert Lobo dan Chatrine Rambu Oroe serta abang Fredi B. Guti, trima kasih
untuk jalinan persaudaraan yang luar biasa.
12. Keluarga persekutuan SSBS, Kak Ranja, Kak Yermi, Kak Felix, Kak Nurti, Kak
Gery, Kak Sari, Okal, Meka, Novin, Titin dan Andri Tanggu Mara serta kakak-
kakak yang lain yang sudah berbagi pengalaman spiritual selama mengadakan
untuk persahabatan kita selama di Salatiga. Sekalipun nanti kita tak berpijak pada
pulau yang sama, tetaplah saling merindukan. Saya mengasihi kalian berdua.
Untuk kakak terkasih K Yayie (Sary Rambu Pedi Mosa) trima kasih banyak sudah
jadi kakak yang luar biasa.
14. Untuk sahabat satu pulau since MMX, Aldoni Riwan Waluwandja, Rusdianto Turu
Paita, Melvian Umbu Nggaba dan Yosito Kameo terima kasih untuk persahaban
kita, trima kasih sudah jadi saudara laki-laki yang baik dan serba berkekurangan
untuk saya. Saya mengasihi kalian.
ix
15. Persatuan Warga Sumba di Salatiga yang sudah membantu penulis beradaptasi
dengan lingkungan yang baru sejak awal datang ke Salatiga, secara khusus
angkatan 2010.
16. Teman-teman Teologi 2010, kakak-kakak angkatan dan adik-adik angkatan, untuk
kebersamaannya bersama penulis selama menuntut ilmu di UKSW, khususnya
Leri Mardani Butar-Butar, Harsie Rambi, Brigivita Marulin, Tasya Tarigan dan
Manasye Indra Kusuma.
17. Serta semua pihak yang telah membantu penyusunan Tugas Akhir ini hingga
selesai.
x
Abstrak
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor perempuan tidak
berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur. Diharapkan melalui
penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab perempuan tidak turut
berperan dalam kebudayaan Pahamang. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis
untuk penelitian ini yaitu metode penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,
atau untuk menentukan frekwensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam
masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan menggunakan
teknik wawancara dan studi dokumentasi yang berhubungan dengan budaya Pahamang. Melalui
wawancara penulis mencoba mendapatkan informasi melalui komunikasi yang dilakukan oleh
penulis dan narasumber. Penulis juga akan menggunakan studi dokumentasi yaitu suatu metode
pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku maupun dokumen–dokumen yang
berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.
Dari penelitian yang dilakukan penulis menemukan bahwa Kebudayaan Pahamang
sebagai salah satu tradisi yang ada dianut oleh masyarakat Sumba turut menunjukkan perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih berperan pada rana publik dan peran
perempuan hanya dibatasi pada rana dosmestik. Keterbatasan peran perempuan dalam
kebudayaan merupakan hal yang wajar saja bagi masyarakat yang ada di Sumba, dikarenakan
kebiasaaan ini sudah merupakan tradisi dan telah turun temurun dijalankan oleh masyarakat.
Konstruksi masyarakat membuat perempuan merasa dirinya tidak mengalami apa yang disebut
dengan ketertindasan karena mereka telah larut dalam pengajaran budaya yang secara turun
temurun diberikan.
Kata Kunci: Pahamang, Peran perempuan.
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Penggesahan …………………………………………………………….. i
Lembar Pernyataan Tidak Plagiat …………………………………………………. ii
Lembar Pernyataan Persetujuan Akses …………………………………………… iii
Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ………………………………………... iv
Motto ……………………………………………………………………………… v
Kata Pengantar …………………………………………………………………….. vi
Abstrak ……...……………………………………………………………………... vii
Daftar Isi ….……………………………………………………………………….. viii
Ucapan Terima Kasih ……………………………………………………………... ix
Bagian I. Pendahuluan ……………………………………………………………. 1
Latar Belakang …………………………………………………………….. 1
Bagian II. Teori Peran dan Teori – Teori Feminis ………………………………... 6
Kebudayaan Sebagai Bagian dari Masyarakat ……………………………. 8
Teori Peran ………………………………………………………………... 8
Peranan Perempuan dalam Mayarakat ……………………………………. 9
Gerakan – Gerakan Feminis ……………………………………………… 11
Feminis Liberal ……………………………………………………………. 11
Feminis Radikal …………………………………………………………… 13
Feminis Sosialis …………………………………………………………… 15
Bagian III. Budaya Pahamang dalam Adat Kematian dan Peran Perempuan dalam
Budaya Sumba Timur ………………………………………………….. 16
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………………………………………. 16
Masyarakat Sumba ………………………………………………………... 17
Budaya Masyarakat Sumba ……………………………………………….. 18
Kematian bagi Orang Sumba ……………………………………………… 19
Pahamang untuk Kematian dalam Budaya Sumba Timur ………………... 20
Bagian IV. Peran Perempuan dalam Kebudayaan Pahamang …………………….. 26
Bagian V. Kesimpulan dan Saran …………………………………………………. 29
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………... 33
1
I. Pendahuluan
Latar Belakang
Sumba adalah sebuah pulau yang terletak di bagian Timur Indonesia. Pulau Sumba terdiri
dari empat kabupaten,yaitu: Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan
Kabupaten Sumba Barat Daya. Keempat kabupaten ini memiliki budaya yang cenderung sama
dan memiliki agama suku yang sama yaitu Marapu yang merupakan kepercayaan terhadap Dewa
atau Ilah tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan–
kekuatan sakti1 dan kepercayaan ini merupakan "kepercayaan asli" yang masih hidup dan masih
dianut oleh sebagian masyarakat yang ada di Sumba.
Berbicara tentang masyarakat tentunya ada kebiasaan yang dianut oleh masyarakat yang
kemudian menjadi kebudayaan dan turut membentuk nilai–nilai dalam masyarakat dan nilai–
nilai ini dianut oleh setiap individu dalam masyarakat itu. Kebudayaan itu sendiri merupakan
keseluruhan hasil kreatifitas manusia yang sangat kompleks, didalamnya berisi struktur–struktur
yang saling berhubungan, sehingga merupakan kesatuan yang berfungsi sebagai pedoman dalam
kehidupan.2 Budaya kemudian terbentuk menjadi aturan atau norma–norma yang terus mengikat
masyarakat. Karena itu budaya turut mempengaruhi pola tingkah laku bahkan sangat
berpengaruh pada setiap aspek kehidupan masyarakat yang menganut kebudayaan tersebut.
Budaya juga menolong masyarakat untuk mengetahui bagaimana cara bertindak dalam
masyarakat.
Kebudayaan setiap komunitas menunjukkan jati diri masyarakat yang menganut
kebudayaan tersebut. Sekalipun kebudayaan dianut secara terus menerus oleh masyarakat namun
budaya juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Demikian juga
yang terjadi pada masyarakat yang ada di Sumba, masih ada yang melestarikan dan juga yang
telah meninggalkan kebudayaan yang ada. Sebagai contoh, yaitu kepercayaan Marapu yang
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Sumba. Sebagian masyarakat Sumba yang telah
menganut agama Kristen Prostestan atau agama resmi lainnya telah meninggalkan kepercayaan
ini, bagi masyarakat yang menganut agama Kristen yang menjadi alasan mereka meninggalkan
kepercayaan ini dikarenakan bertentangan dengan Iman Kristen. Salah satu ajaran yang
1 F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 42.
2Drs.Tri Widiarto, M.Pd.Pengantar Antropologi Budaya,(Salatiga:Widya Sari Press,2005), 11.
2
bertentangan yaitu tentang kepercayaan bahwa nasib manusia ditentukan oleh roh–roh atau ilah–
ilah lain. Dalam ajaran agama Kristen, Tuhan Allah yang menentukan nasib manusia dan bukan
oleh roh–roh leluhur3 seperti yang dipercayai oleh kepercayaan Marapu. Kebudayaan yang juga
mulai ditinggalkan oleh masyarakat Sumba yaitu upacara penarikan batu kubur. Upacara
penarikan batu kubur yang dahulu nya ditarik oleh sekumpulan orang kini telah disesuaikan
dengan kemajuan teknologi yaitu tidak ditarik melainkan diangkut menggunakan alat–alat
berukuran besar. Bahkan sekarang kuburan–kuburan orang Sumba tidak lagi memakai batu-batu
yang ditarik tetapi sudah dari bahan semen dan keramik.4
Beberapa kebudayaan telah ditinggalkan masyarakat Sumba namun nilai yang
terkandung dalam kebudayaan itu sendiri masih terus dipegang oleh masyarakatnya dan masih
ada kebudayaan yang terus dilestarikan. Salah satu bentuk kebudayaan yang masih dilestarikan
oleh masyarakat Sumba Timur adalah Pahamang. Pahamang merupakan bagian dari adat Sumba,
yaitu suatu keadaan dimana berkumpulnya keluarga besar (dalam hal ini laki–laki atau bapak)
dalam rumah adat (tikar adat) untuk melakukan musyawarah bersama dalam rangka mengambil
beberapa keputusan terkait dengan adat istiadat dan berbagai macam hal yang berhubungan
dengan acara perkawinan atau acara penguburan. Pahamang sendiri dilakukan pada acara
perkawinan dan juga acara kematian. Secara khusus penulis ingin memfokuskan penelitian ini
pada Pahamang untuk kematian. Alasan penulis mengambil kematian karena terdapat beberapa
fase kehidupan yang dipercayai oleh masyarakat Sumba diantaranya, yaitu kelahiran, masa
kanak-kanak, pemuda, pernikahan, kematian dan penguburan.5 Dilihat dari fase ini maka bisa
disimpulkan bahwa salah satu fase kehidupan terpenting bagi masyarakat Sumba yaitu
kematian, masyarakat Sumba percaya bahwa kehidupan manusia sepenuhnya bergantung pada
ilah tertinggi yang juga memegang nafas manusia. Oleh karena itu kematian dipahami sebagai
panggilan dan kehendak ilah tertinggi sementara orang yang meninggal kembali kepada
penciptanya.6 Melihat bagaimana pandangan orang Sumba tentang kematian, maka dapat
disimpulkan bahwa adat kematian merupakan bagian penting bagi masyarakat Sumba, karena
itulah penulis tertarik untuk meneliti Pahamang yang merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat Sumba sendiri.
3 Wellem, 2004, 295.
4 Umbu Pura Woha,Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, Kupang, Cipta Sarana Jaya, 2008)
5 Wellem, 2004, 55.
6 Wellem, 2004, 79.
3
Dalam suatu acara kematian Pahamang seringkali dilakukan karena merupakan bagian
dari adat Sumba sendiri, adapun hal-hal yang dibicarakan pada Pahamang untuk kematian adalah
tentang proses penguburan orang yang telah meninggal, berapa hewan yang akan disembelih
(merupakan bagian dari adat) dan menentukan orang–orang yang terlibat dalam adat kematian
dalam hal ini undangan bagi keluarga maupun kerabat terdekat dari orang yang telah meninggal
dan masih banyak lagi hingga pada urusan teknis dalam menjalankan upacara adat kematian,
penguburan dan setelah upacara adat penguburan.
Satu hal yang cukup menarik dalam proses ini yaitu dimana kurangnya keterlibatan
perempuan didalamnya. Ketika proses Pahamang ini berjalan sebagian besar yang terlibat yaitu
laki–laki dan setiap keputusan adat yang didapat dalam diskusi ini bersifat mutlak yang berarti
harus diterima oleh semua keluarga. Dalam proses diskusi ini perempuan tidak berada ditikar
adat bersama dengan laki–laki dan perempuan hanya boleh menunggu di luar rumah adat
bersama anak–anak atau berada didapur untuk memasak makanan bagi semua orang.
Penulis tertarik untuk mencari tahu mengapa hanya laki–laki yang terlibat dalam proses
Pahamang, mengapa dalam proses pembagian kerja hanya laki–laki saja yang terlibat dalam
ritual atau pada tikar adat (publik). Mengapa perempuan tidak dapat mengambil bagian dalam
proses diskusi atau perundingan ini dan mengapa peran perempuan hanya dibatasi pada hal-hal
yang bersifat privat seperti mengurus hal–hal yang bersifat domestik contohnya memasak,
mengurus anak dan mengurus perlengkapan ritual.
Masyarakat Sumba sendiri menganut budaya patriaki yang merupakan dominasi atau
kontrol laki-laki atas perempuan; atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya dan
statusnya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Pengertian ini kemudian dibakukan
dalam budaya-budaya yang menganut sistem patriarki. Selain itu sistem ini seakan-akan menjadi
ideologi masyarakat dan sebagai tolak ukur dalam membagi fungsi dan peran antara laki-laki dan
perempuan.7 Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Sumba laki-laki selalu memainkan
peran penting dalam kehidupan masyarakat kalaupun perempuan memiliki peran, hal itu tidak
akan melebihi atau mendominasi laki-laki. Adanya sistem tradisi yang dihidupi terkadang
membuat perempuan Sumba larut dalam penguasaan kaum pria, bahkan mereka merasa cukup
puas dengan keadaan, kebiasaan, atau tradisi yang dihidupi, sebagian mereka tidak menyadari
7Robhe Modheh, “Membebaskan Perempuan dari Jerat Adat: Sebuah Tinjauan Dari Ajaran Sosial Gereja”(12 Mei
2012), Diakses Februari 17, 2016, ttp://elvismeo.blogspot.co.id/2012/05/meneropong-budaya-dan-tradisi.html
4
bahwa pada hakikatnya mereka memiliki hak untuk tampil bersama pria dalam setiap bidang
kehidupan.8
Jika kita berbicara tentang pembagian peran antara laki–laki dan perempuan di Sumba
dalam sebuah keluarga tugas seorang perempuan adalah mengurus hal–hal yang berkaitan
dengan kelangsungan hidup sehari-hari dari anggota keluarga (tugas domestik), dan tugas laki–
laki adalah mengurus hal–hal yang berkaitan dengan cara menaklukkan atau menyiasati
ancaman–ancaman yang datang dari luar rumah demi mempertahankan kehidupan keluarga
tersebut (tugas publik) 9 laki-laki juga diidentikan dengan pencari nafkah, pengambil keputusan
dalam keluarga sehingga secara tidak langsung membuat laki-laki merasa lebih berkuasa dalam
keluarga. Laki-laki atau bapak sebagai tuan dalam keluarga. Jika kita berbicara tentang peran
antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat Sumba dapat dilihat bagaimana seorang
imam atau tua adat dalam masyarakat Sumba yaitu orang yang sudah tua dan laki–laki serta
berasal dari golongan bangsawan dan orang merdeka, perempuan tidak akan menjadi imam
sekalipun ia menguasai ritus–ritus keagamaan.10
Dari apa yang dijelaskan di atas secara tidak
langsung perempuan telah diidentikkan dengan urusan domestik yang berarti perempuan hanya
ada di belakang dan tidak diizinkan atau tidak mempunyai kesempatan untuk berada dalam ruang
publik.
Perempuan terkonstruksi secara sosial sebagai makhluk yang tunduk, loyal, lembut
pasrah dan mengabdi, serta tempat yang dianggap sesuai untuk perempuan adalah rumah, peran
yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan adalah mengurus urusan rumah tangga.11
Perempuan biasanya diidealisasikan, diharapkan untuk melayani orang lain dan
mengesampingkan kebutuhan mereka sendiri. Karena berbagai faktor penyebab perempuan sulit
untuk tidak melayani orang lain, sehingga sulit pula untuk mengatakan apakah wanita secara
pribadi melayani karena pilihan atau karena tidak bisa menggelaknya.12
8 Modheh, 2012.
9 Ir.John R.Lahade,Msc.Perempuan, Kuda dan Tenun,Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat
Wewewa,Sumba,(Salatiga:Widya Sari Press,2011), .96 10
Wellem, 2004, 50. 11
Agnes Djarkasi, “Peran Perempuan dalam Kesetaraan Jender:Suatu Tinjauan Historis di Sulawesi Utara”Women in Public Sector ”,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), 115. 12
Anne Borrowdale,Tugas Rangkap Wanita Mengubah Sikap Orang Kristen(Jakarta : Penerbit BPK Gunung Mulia.
1993), 30.
5
Dari penjabaran di atas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang peran
perempuan dalam Budaya Pahamang (untuk Kematian) di Sumba Timur ditinjau dari kajian
Sosio-Feminis.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor perempuan tidak
berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur. Diharapkan melalui
penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab perempuan tidak turut
berperan dalam kebudayaan Pahamang.
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk penelitian ini yaitu metode
penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekwensi atau
penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat13
Jenis penelitian pada penulisan ini yaitu jenis penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian
ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah
dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan
fenomena yang diteliti.14
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan menggunakan
teknik wawancara dan studi dokumentasi. Menurut Stewart & Cash, wawancara diartikan
sebagai sebuah interaksi yang di dalamnya terdapat pertukaran atau berbagi aturan, tanggung
jawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi.15
Melalui wawancara penulis mencoba
mendapatkan informasi melalui komunikasi yang dilakukan oleh penulis dan narasumber.
Penulis memberikan pertanyaan dan narasumber akan diberikan kebebasan untuk menjawab
pertanyaan sesuai dengan apa yang diketahui dan pengalaman narasumber. Narasumber yang
digunakan penulis yaitu Tua–tua adat, beberapa masyarakat Sumba yang mengerti tentang
budaya Sumba dan juga beberapa perempuan Sumba. Penulis juga akan menggunakan studi
dokumentasi yaitu suatu metode pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku
maupun dokumen–dokumen yang berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.16
Hal ini
juga berguna untuk menyusun landasan teori yang menjadi tolak ukur dalam menganalisa data
penelitian untuk menjawab tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis.
13
Koentjaraninggrat,Metode – metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Penerbit PT Gramedia,1981),42. 14
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu – ilmu Sosial,(Jakarta:Salemba Humanika,2010),9 15
Herdiansyah, 2010,118. 16
Herdiansyah, 2010, 143.
6
Sistematika penulisan yang coba dibuat oleh penulis, yaitu: Bagian pertama penulis
memaparkan latar Pendahuluan berupa latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian dua penulis menjelaskan tentang
landasan teori. Bagian tiga penulis memaparkan hasil penelitian lapangan yang berupa
masyarakat Sumba, gambaran umum budaya Pahamang dalam adat Sumba Timur dalam hal ini
peran perempuan dalam budaya tersebut. Bagian keempat penulis menganalisa data yang
diperoleh d lapangan dengan menggunakan teori yang terdapat pada bagian kedua. Bagian lima
penulis akan menyimpulkan pembahasan dalam bagian sebelumnya dan memberikan saran.
II. Teori Peran dan Teori-teori Feminis
Pada bagian selanjutnya penulis mencoba memaparkan teori yang akan digunakan dalam
proses analisa terhadap data lapangan. Adapun teori yang dibahas oleh penulis pada bagia ini,
yaitu: Kebudayaan sebagai bagian dari masyarakat, teori peran dan teori-teori feminis gelombang
pertama.
Kebudayaan sebagai bagian dari Masyarakat
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan kenyataan bahwa manusia sebagai
makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk keberlangsungan kehidupannya, dari kenyataan
ini kemudian manusia membentuk hubungan yang beraneka ragam. Keragaman itu kemudian
membentuk kelompok-kelompok dan pada tiap-tiap kelompok tersebut terdiri dari kelompok-
kelompok yang lebih kecil. Apabila kelompok-kelompok kecil itu mengadakan persekutuan
dalam bentuk yang lebih besar, maka terbentuklah apa yang kita kenal dengan “masyarakat”.17
Ketika menjadi sebuah masyarakat maka ada kebiasaan-kebiasaan dan kesepakatan-kesepakatan
yang terbentuk dalam masyarakat tersebut yang dibakukan menjadi kebudayaan dan dianut oleh
masyarakat tersebut.
Kebudayaan itu sendiri terbentuk dari proses kehidupan yang dialami manusia dalam
menghadapi dan mengatasi berbagai macam masalah hidupnya, baik yang timbul dalam
hubungannya dengan sesama (sosial), dengan lingkungan (natural/fisik), maupun dengan
berbagai hal yang sifatnya misteri dan gaib (supranatural/metafisik).18
Sementara kebudayaan itu
17
H. Hartomo dan Dra. Arnicun Aziz. Ilmu Sosial Dasar. (Jakarta:Bumi Aksara, 1990), 94 18
Victor Silaen. 2015. “Pembangunan Berbasis Identitas Budaya Nasional”, PAX Humana Vol.II, No. 1(Januari), 12.
7
sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta
menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian
aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas
serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara
selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan
tindakan-tindakannya.19
Oleh karena itu masyarakat akan selalu menjadikan kebudayaan yang
dianut sebagai tolak ukur dalam setiap tindakannya baik untuk memenuhi kebutuhan hidup,
untuk menghadapi dan mengatasi masalah dalam hidupnya.
Kata “kebudayaan” sendiri menurut Koentjaraninggrat berasal dari kata Sansekerta
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi, yang berarti “budi” atau “ilmu”. Dengan demikian
kebudayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Istilah culture, yang
merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere”
yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu yang dimaksud kepada keahlian
mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi
culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah
alam”.20
Seorang Antropologi bernama E.B Taylor memberikan definisi mengenai kebudayaan
yaitu merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat yang mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat.21
Kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari dalam kehidupan manusia (enkulturasi),
juga diwariskan secara sosial (bukan genetik) dari satu generasi ke generasi berikutnya.22
Oleh
karena itu seiring dengan perkembangan zaman kebudayaan itu sendiri mengalami perubahan.
Namun sekalipun berubah kebudayaan sendiri tidak menghilang karena terus dilestarikan melalui
tradisi-tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Salah satu bentuk pelestarian kebudayaan adalah
dengan mewariskannya dalam keluarga sebagai contoh para orang tua akan menanamkan
pedoman-pedoman kebudayaan yang dipegangnya dengan mendidik, mengajari, menanamkan
19
Richard G. Mayopu, ”Jurnalisme Antar Budaya Sebagai Jalan Menuju Toleransi Berbangsa dan Bernegara ”, PAX Humana Vol.II,No. 3(September 2015), 223. 20
Lukukamaru, Desa Mbata Kapidu, dan yang terakhir yaitu Desa Pambola Njara.
Jumlah penduduk untuk Kecamatan Kota Waingapu sendiri menurut data statistik tahun
2014 adalah 38.084 orang yang terdiri dari laki-laki 19.650 orang dan jumlah Perempuan 18.434
orang.52
Dari data ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah
penduduk perempuan.
Penulis mengambil Kecamatan Kota sebagai tempat penelitian dikarenakan masih banyak
masyarakat yang berada di Kecamatan Kota yang terus berusaha mempertahankan budaya
Pahamang yang menjadi warisan kebudayaan Sumba dan berpendapat bahwa budaya Pahamang
sebagai salah satu tradisi yang harus dijalankan oleh orang Sumba ketika akan melakukan adat
perkawinan dan melakukan adat kematian.
Masyarakat Sumba
Ketika kita berbicara tentang masyarakat Sumba tentu masyarakat ini tidak akan ada
begitu saja di Sumba, orang Sumba percaya bahwa para leluhur semua orang Sumba diturunkan
di Malaka Tana bara (Semenanjung Malaka) sebelumnya mereka telah secara bergelombang
52
Data statistik Kabupaten Sumba Timur tahun 2015
19
menyusuri pulau-pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores yang kemudian tiba di
Tanjung Sasar pulau Sumba dan tinggal di pulau Sumba.
Masyarakat Sumba percaya bahwa daerah Haharu merupakan wilayah yang pertama kali
orang Sumba mendarat dan mendiami pulau ini, serta bersepakat tentang berbagai hal tentang
tata kehidupan (adat istiadat) sebelum mereka membentuk kelompok-kelompok yang dikenal
sebagai kabihu-kabihu53
dan menyebar ke berbagai tempat di pulau Sumba yang kemudian
kabih-kabihu serumpun membangun Paraingu (kampung besar) pada tempat yang akan didiami
dan berkembang biak hingga saat ini. Pada Paraingu inilah setiap aktifitas masyarakat dimulai,
dan menjadi pusat kegiatan bagi masyarakat baik dalam melakukan berbagi macam kegiatan
rumah tangga, kegiatan sosial, ekonomi, politik (pemerintahan) hingga tempat adat istiadat dan
ritual-ritual keagamaan diselenggarakan
Hingga kini yang mendiami pulau Sumba tidak lagi hanya orang-orang Sumba, namun
telah banyak juga ditempati oleh masyarakat dari berbagai etnis yang ada di Indonesia
diantaranya, yaitu Sabu, Jawa, Flores, Timor, Alor, Cina, Bali dan masih banyak lagi etnis
lainnya. Etnis Sumba adalah etnis yang mendominasi, sedangkan etnis Sabu berada pada urutan
kedua.
Budaya Masyarakat Sumba
Kebudayaan yang dimiliki oleh orang Sumba sangat terkait dengan kepercayaan asli
yang dianut oleh masyarakatnya, yaitu Kepercayaan Marapu. Seluruh tatanan kehidupan orang
Sumba sangat berkaitan dengan pemahaman tentang Marapu. Kepercayaan Marapu itu sendiri
adalah kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-
makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti.54
Nooteboom berpendapat bahwa Marapu
adalah kekuatan kekuatan supranatural, baik yang bersifat oknum maupun yang tidak, yang
tampil dalam berbagai macam bentuk.55
Marapu sendiri dapat diartikan suci, mulia, dan sakti
sehingga harus dihormati, oleh karena itu setiap adat istidat dan kebudayaan yang dijalankan
oleh masyarakat Sumba tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan Marapu. Sekalipun sebagian
besar masyarakat Sumba tidak lagi menganut kepercayaan Marapu, namun adat istidat dan
53
Kabihu:suatu kelompok yang didasarkan pada persekutuan geneologi, yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang menjadi turunan dari satu leluhur. Jadi bisa dibilang kelompok berdasarkan suku/marga. 54
Welem, 2004, 42 55
Wellem, 2004, 41
20
kebudaayaan yang ada di Sumba masih terus dipertahankan dan dijalankan oleh orang Sumba.
Hal ini terlihat dari bagaimana pada acara perkawinan, kematian, saat hendak menanam dan
melakukan panen hasil pertanian masih ada masyarakat di Sumba yang melakukan upacara-
upacara adat guna meminta petunjuk, meminta izin maupun meminta perlindungan dari Marapu
melalui ritual-ritual yang dilakukan.
Kematian bagi orang Sumba
Orang Sumba sendiri memahami kematian sebagai suatu peralihan dari kehidupan yang
fana didunia ini ke suatu kehidupan yang lebih baik, makmur dan damai sejahtera. Alam
kehidupan ini disebut negeri leluhur (Paraingu Marapu). Orang Sumba percaya bahwa ditempat
ini orang mati akan hidup seperti ketika mereka berada didunia dimana mereka melakukan
pekerjaan seperti bertani, beternak, makan dan juga minum. Hal ini yang kemudian
menyebabkan pada upacara kematian dan penguburan dipotong banyak hewan dan jenasah
dibungkus dengan banyak selimut atau sarung (kain Sumba) sebagai bekal hidup di Paraingu
Marapu.56
Peristiwa kematian merupakan suatu peristiwa penting dalam anggapan masyarakat
Sumba Timur, karena kematian merupakan saat penyerahan kembali jiwa si mati kepada
Alkhalik dan upacara kematian dilakukan agar orang yang meninggal mendapat tempat layak
diseberang kubur.
Kematian ditandai dengan berhentinya napas dan denyut jantung seseorang. Adapun tahap-
tahap upacara adat kematian di Sumba Timur,yaitu :
1. Saat meninggal
Saat seseorang meninggal dunia hal ini tidak segera diberitahukan kepada
keluarga. Terlebih dahulu Imam dipanggil untuk memastikan mengenai mati tidaknya
seseorang. Imam memanggil nama orang yang meninggal empat kali dan apabila tidak
ada sahutan maka resmilah kematian tersebut.
2. Pa hadangu ( Membangunkan)
Kepercayaan Marapu berkeyakinan bahwa yang meninggal sudah kembali ke
negeri leluhur. Karena itu jenasah disimpan dengan cara duduk, menyerupai keadaan
56
F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 79
21
semula ketika semasih didalam kandungan, setelah itu dililit dengan berlapis kain Sumba
jika laki-laki dan sarung Sumba jika yang meninggal adalah perempuan, dan kemudian
jenasah didudukkan diatas kursi dari kulit kerbau (keka manulangu). Namun kini
kebiasaan mendudukkan jenasah tidak lagi dilakukan oleh sebagian besar masyarakat
Sumba, kini jenasah sudah ditidurkan dalam peti.
“Membangunkan” berarti membuat rohnya berada kembali dalam tubuh atau
jenasahnya sehingga mulai dapat diberi sirih pinang dan makanan. Sejak saat itupula
diadakana penjagaan mayat (“Pa Wala”, = Mete) dan gong mulai dibunyikan siang dan
malam sebagai tanda berduka.
3. Membuat Kuburan
Bukan seperti sekarang dimana semua makam sudah dibangun dari bahan semen,
pada masa lalu sebelum upacara pemakaman, keluarga dari orang yang meninggal harus
terlebih dahulu mempersiapkan kuburan.
4. Dudangu (mengundang)
Mengundang kerabat atau keluarga untuk turut serta dalam upacara kematian
selanjutnya, dan juga sebagai cara untuk memberitahukan keluarga yang jauh tentang
berita kematian dari orang yang telah meninggal. Biasanya keluarga mengutus dua orang
Wunang dan sebelum mereka berangkat biasanya mereka dilengkapi dengan tata cara
penyampaian undangan secara adat dan kelengkapan undangan secara adat.
5. Lodu Taningu
Upacara pemakaman yang dimulai dari penyambutan tamu yang menghadiri acara
pemakaman, penguburan dan kemudian keluarga menjamu tamu sebelum para tamu
kembali kekampungnya masing-masing.
6. Warungu Handuka (Berhenti berkabung)
Beberapa hari setelah penguburan semua keluarga dekat dan tetangga dari orang
yang meninggal diundang lagi untuk bersama-sama mengikuti penutupan “masa
berkabung”, dalam acara ini pihak keluarga menyampaikan ucapan terima kasih atas
kebersamaan dan kegotong royongan dalam urusan pemakaman dan didalam menerima
keluarga yang datang menghadiri upacara pemakaman.
22
7. Palundungu(Penyelesaian)
Upacara ini merupakan yang terakhir dimana “arwah orang yang meninggal
dihantar ke alam bersyah” kenegeri dewa atau kayangan. Dalam acara ini arwah simati
berangkat bersama-sama dengan arwah leluhur lainnya ke negeri Marapu. 57
Pahamang untuk Kematian dalam Budaya Sumba Timur
Masyarakat Sumba terkenal dengan sistem kekerabatan yang sangat kuat, sehingga dalam
seluruh kehidupan dan pekerjaannya, masyarakat Sumba selalu menekankan pada nilai dan juga
ikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Salah satu contoh kebudayaan yang menekankan pada
nilai kekerabatan dan kekeluargaan yang masih dipertahankan oleh masyarakat Sumba hingga
kini yaitu Pahamang.
Pahamang sendiri memiliki arti berunding, berdiskusi atau musyawarah bersama untuk
mencapai suatu keputusan bersama. Pahamang menjadi bagian yang penting dalam adat Sumba
Timur karena masyarakat Sumba Timur menjunjung tinggi kebiasaan untuk bermusyawarah
bersama dalam menanggapi dan membahas masalah-masalah yang dihadapi dengan tujuan untuk
mendapat kesimpulan yang disetujui bersama dan menjadi keputusan bersama. Masyarakat
Sumba pada umumnya sangat menghormati keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan
perundingan atau diskusi yang dilakukan bersama.58
Kebiasaan untuk melakukan musyawarah adat sendiri bukanlah hal baru bagi orang
Sumba, sejak dahulu masyarakat Sumba telah terbiasa untuk melakukan musyawarah adat.
Dilihat dari sejarah masyarakat Sumba setelah leluhur mendarat di Haharu, para leluhur
membangun Paraingu dan melakukan musyawarah untuk menetapkan tata kehidupan mereka dan
menentukan berbagai adat istidat serta peraturan yang akan diberlakukan dalam tatanan
kehidupan masyarakat pada saat itu. Hal ini dilakukan sebelum mereka menyebar ke berbagai
tempat di pulau Sumba.
Dari rumusan-rumusan hasil musyawarah masyarakat Sumba dahulu kemudian masyarakat
mengembangkannya menjadi berbagai macam aturan-aturan yang kemudian menjadi tradisi yang
mengatur tatanan kehidupan orang Sumba, dan kemudian menjadi kebudayaan yang terus
dilestarikan oleh masyarakat Sumba.
57
F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 304-321 Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00 WITA
23
Pahamang sebagai bagian dari kebudayaan orang Sumba sering dilakukan dalam
pelaksanaan adat baik dalam adat perkawinan maupun dalam adat kematian. Secara khusus pada
tulisan ini penulis mencoba mengkaji Pahamang pada adat Kematian karena masyarakat Sumba
sendiri percaya bahwa fase terpenting dalam kehidupan manusia adalah kematian. Pahamang
menjadi bagian yang penting dalam adat orang Sumba Timur karena salah satu cara masyarakat
Sumba menjaga kekerabatan dalam keluarga, melalui Budaya Pahamang ini keluarga besar yang
berada pada tikar adat memiliki kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka dan agar
mereka dapat sepemahaman dalam membuat keputusan-keputusan. Melalui diskusi ini apapun
yang menjadi pokok pikiran dan apa yang menjadi pendapat masing-masing orang dapat
disampaikan. Hal ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dalam keluarga karena
perundingan atau diskusi ini dilakukan untuk mencapai keputusan bersama dan setiap keputusan
yang diambil dalam proses ini akan menentukan jalannya adat selanjutnya. Pahamang sendiri
sebagai warisan dari kepercayaan Marapu tidak hanya dijalankan oleh masyarakat yang masih
menganut kepercayaan Marapu, melainkan oleh masyarakat Sumba telah menganut agama resmi
yang terus mempertahankan kebiasaan untuk melakukan Pahamang.59
Pahamang sendiri biasanya dilakukan dirumah adat atau rumah besar60
dari kabihu orang
yang meninggal. Dalam hal pelaksanaan adat Pahamang, jika Pahamang dilakukan dirumah adat
keluarga yang menganut kepercayaan Marapu masih ada ritual-ritual khusus yang dilakukan oleh
tua-tua adat keluarga bersangkutan yang dipimpin oleh Ratu yang berfungsi mengatur seluruh
jalannya ritual adat, sebelum memulai diskusi adat ini. Ketika mengambil keputusan maupun
ketika mengakhiri musyawarah adat dalam keluarga Marapu, apa yang menjadi keputusan
bersama harus dijalankan sesuai dengan kesepakatan dan pamali jika dilanggar. Biasanya
keluarga tidak akan melanggar apa yang telah diputuskan dalam adat karena hal itu sudah
bersifat mutlak dan harus dilaksanakan.
Namun jika Pahamang dilakukan oleh keluarga yang telah beragama Kristen, Pahamang
biasanya juga dilakukan di rumah adat (Rumah besar, Rumah Marga) jika yang menganut
kepercayaan Marapu masih terlebih dahulu melakukan ritual maka bagi yang menganut agama
Kristen biasanya sebelum memulai diskusi adat ini keluarga telah mengundang penatua dari
gereja untuk membuka musyawarah dengan doa bersama dan menutupnya dengan doa. Setiap
59
Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00 WITA 60
Bentuk rumah adat yaitu rumah panggung dan bermenara (Uma Barangu)
24
keputusan yang telah diambil dalam proses Pahamang ini tetap dijalankan untuk menghargai
proses adat yang telah berlangsung maupun agar adat selanjutnya dapat berlangsung dengan baik
dan lebih teratur.
Pahamang untuk kematian biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama diikuti oleh
keluarga inti dari orang yang meninggal yaitu keluarga-keluarga dekat dari orang yang
meninggal dan yang menjadi topik pembahasan pada tahap pertama ini yaitu menentukan marga-
marga atau kabihu-kabihu mana saja yang diundang untuk mengikuti Pahamang. Tahap kedua,
biasanya yang diundang yaitu orang-orang yang memiliki hubungan keluarga atau kerabat dekat
dari keluarga orang yang telah meninggal dan keluarga yang hadir bisa dipastikan adalah
keluarga yang dapat membantu dalam berjalannya adat. Setelah ditentukan kabihu mana saja
yang diundang untuk terlibat pada pahamang tahap ke dua dan keluarga inti telah mencapai kata
sepakat maka tahap kedua dari Pahamang dapat dilakukan. Tahap kedua dari pahamang ini
diikuti oleh keluarga besar yang terkait dengan keluarga dan orang yang telah meninggal,
jumlahnya jauh lebih banyak dari tahap pertama dan pada tahap kedua ini yang dibahas jauh
lebih banyak di antaranya yaitu :
a. Mengetahui kekuatan keluarga pengundang dengan melihat kehadiran dalam
musyawarah yang dilakukan.
b. Penentuan jumlah marga dan siapa-siapa atau keluarga yang jauh-jauh, sebagai keluarga
orang meninggal yang perlu mendapat undangan dan siapa yang ditugaskan untuk
mengundang (ini adalah tugas laki-laki dalam hal ini yaitu Wunang atau juru bicara
keluarga).
c. Menentukan tanggal penguburan.
d. Menentukan jumlah hewan yang harus dipotong dalam upacara adat kematian hingga
pada penguburan.
e. Cara menerima tamu, seperti apa, makan minumnya seperti apa, sirih dan pinang yang
harus disediakan.
f. Cara membalas jika ada keluarga yang datang dalam kematian menggunakan adat seperti
apa.61
Hingga hal-hal teknis yang akan dilaksanakan dalam proses adat kematian hingga penguburan
biasanya dibahas dalam Pahamang tahap kedua ini, dengan tujuan agar adat kematian dapat
61
Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00 WITA
25
tertata dan berjalan dengan baik dan setiap orang yang terlibat dalam adat kematian dapat
mengetahui tugas mereka masing-masing.
Orang-orang yang terlibat dalam Pahamang ini sendiri yaitu laki-laki yang sebagian
besarnya merupakan kepala rumah tangga dan para orang tua khususnya yang dituakan atau yang
dihormati oleh keluarga, yang mewakil keluarga mereka masing-masing, sehingga yang
mengambil keputusan dalam diskusi adat ini adalah laki-laki. Biasanya Pahamang ini dipimpin
atau dimoderator oleh satu orang yang ditunjuk bersama dalam forum diskusi ini.
Setiap hal yang menjadi topik bahasan pada tahap kedua di atas akan dibahas secara
terperinci oleh keluarga yang mengikuti diskusi adat ini, oleh karena itu proses diskusi ini
biasanya berjalan sangat lama, karena jika belum mencapai kesepakatan maka keluarga akan
tetap berdiskusi mencari jalan keluar bersama hingga keputusan bersama dapat dicapai.62
Tahap ketiga pada adat Pahamang ini dilakukan setelah keluarga melakukan penguburan
bagi orang yang meninggal, musyawarah ini dilakukan untuk menutup masa berkabung dan
sebagai penutup segala rangkaian adat kematian yang telah dilakukan oleh keluarga.
Dalam diskusi adat Pahamang ini kita akan melihat perbedaan peran yang dilakukan oleh
laki dan perempuan, yang lebih dominan untuk mengambil keputusan dan terlibat dalam adat
proses adat sudah pasti laki-laki. Jika berkaitan dengan konsumsi disana yang lebih berperan
otomatis perempuan. “Dalam hal pengambilan keputusan pendapat perempuan bukannya tidak
diakomodir namun yang mana dulu, kira-kira dari 10 keputusan yang di bibicarakan dalam tikar
adat, mungkin satu atau dua hal saja yang bisa di ambil oleh perempuan dan hal ini tidak akan
jauh dari segala hal yang bersifat domestik”.63
Dalam rumah adat ketika pahamang berlangsung hanya laki-laki yang berada di tikar adat
tetapi dalam hal melayani sirih pinang, atur makan minum itu sudah pasti dilakukan oleh
perempuan. Pembagian kerja dalam budaya pahamang dilihat dari porsi kerjanya perempuan
lebih banyak berpikir tentang teknis hal-hal yang berkaitan dengan konsumsi atau domestik,
sedangkan laki-laki lebih banyak memikirkan tentang publik tentang mengundang orang, tentang
hewan-hewan yang harus disembelih dan yang akan diberikan kepada orang-orang sebagai
balasan adat.64
Dalam pahamang sendiri perempuan tidak memiliki jeda dalam menagatur urusan
62
Wawancara dengan Bapak Yeheskiel, 20 Desember 2016 Pukul 17.00 WITA 63
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 64
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA
26
dapur dan laki- laki memang lebih banyak berada pada tikar besar atau pada tikar adat dan peran
ini tidak dapat diganggu gugat lagi. 65
Ketika proses Pahamang berlangsung perempuan belum begitu berperan dalam mengambil
keputusan, dalam hal yang kecil-kecil mungkin bisa didengar namun dalam hal-hal besar
pendapat perempuan belum didengar. Jika kita melihat peran laki-laki dalam adat sendiri tidak
dapat digantikan oleh perempuan. Contohnya saja dalam hal mengundang orang atau kabihu lain
hal ini biasa dilakukan oleh laki-laki dengan membawa alas bicara (bawaan) biasanya berupa
kain, mamuli dan lulu amahu, dalam hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan oleh perempuan
karena kabihu atau marga lain akan merasa direndahkan. Salah satu nara sumber mengatakan
“Saya pernah mencoba untuk mengundang namun bukan hanya orang Sumba yang
mempertanyakan hal tersebut, karena dikatakan bahwa seumur hidupun mereka belum pernah
melihat perempuan yang datang mengundang untuk penguburan”.66
Hal ini menunjukkan bahwa
perempuan sudah berusaha membuat perubahan-perubahan kecil namun hal ini tidak bisa
dilakukan karena orang akan mempertanyakan dimana laki-laki mengapa harus perempuan yang
mengundang. Menurut mereka jika peran laki-laki diganti oleh perempuan maka nilai yang ada
itu menjadi turun, dianggab tidak menghargai orang yang diundang.67
Salah satu alasan ketidak terlibatan perempuan dalam adat sumba dikarenakan perempuan
Sumba merasa tidak memiliki kemampuan untuk dapat berbicara didepan umum, apalagi jika
perempuan itu sendiri tidak menempuh pendidikan tinggi atau tidak sekolah. Maka ia akan
merasa semakin tidak percaya diri untuk dapat berbicara atau memberikan pendapat didepan
umum.68
Dalam budaya Sumba sendiri perempuan tidak mempunyai kedudukan dalam urusan adat
maupun dalam upacara keagamaan, meskipun perempuan mempunyai peranan tetapi dengan
adanya pemahaman masyarakat Sumba bahwa urusan adat merupakan bagian dari laki-laki.
Sama halnya dengan urusan dapur merupakan urusan perempuan, sehingga laki-laki tidak
mempunyai kedudukan/diterima disitu. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa laki-laki
adalah kepala rumah tangga, sehingga yang mengambil keputusan dalam rumah adalah laki-
65
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 66
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 67
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 68
Wawancara dengan Nn. Ratih Rambu 20 Desember 2016 pukul 10.00 WITA
27
laki/ayah. Sudah merupakan kewajiban seorang laki-laki untuk berada ditikar adat. Laki-laki
sebagai perwakilan dari keluarga atau dari kabihunya.
Ketidak terlibatan perempuan dalam upacara atau pada proses adat juga sebagai bentuk
penghargaannya terhadap laki-laki dalam hal ini suami yang telah membelisnya. Ketika seorang
perempuan Sumba telah dibelis ia sudah dengan sendirinya tahu bahwa tugasnya yaitu berada
didapur mengurus urusan rumah, memasak, melahirkan dan mengurus anak-anak.69
Dalam
budaya masyarakat Sumba, perempuan diposisikan sebagai pemberi kehidupan, karena melalui
perempuan akan lahir generasi penerus dari keluarga atau kabihu tempat ia berada. Disini berarti
perempuan menjadi pokok kehidupan dalam sebuah rumah tangga atau keluarga dalam
masyarakat Sumba. Jadi, dalam rumah tangga kaum perempuan berperan menopang rumah
tangga, misalnya memasak, merawat dan mendidik anak. Dengan demikian peranan perempuan
dalam keluarga hanya dibatasi pada sektor domestik dan peranan dalam sektor publik hanya
sedikit.
Peran perempuan yang terbatas ini merupakan tradisi yang telah diterapkan dalam
masyarakat sejak dulu dan seperti kita lihat diatas bahwa jika ada yang mencoba untuk
merubahnya maka akan dipertanyakan oleh masyarakat dan akan dianggab tidak sesuai dengan
aturan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Keterbatasan peran perempuan dalam
budaya Sumba sendiri sudah merupakan hal yang wajar bagi perempuan dan laki-laki karena
sudah merupakan tradisi yang ada dalam masyarakat dan hal ini tidak menimbulkan kesan
negatif bagi kedua belah pihak baik bagi laki-laki dan perempuan. Sekalipun perannya dibatasi
perempuan Sumba tetap merasa baik-baik saja dengan hal tersebut.
IV. Peran Perempuan dalam kebudayaan Pahamang
Pada pembahasan bagian sebelumnya dapat kita lihat bahwa sebuah masyarakat selalu
menyatu dengan kebudayaannya, dan bahwa kebudayaan itu sendiri menyatu dalam diri
manusia. Karena itu budaya menjadi identitas dari suatu masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan
manusia telah dibentuk oleh kebudayaan tempat ia berada dan bertumbuh. Kebudayaan sebagai
sebuah identitas kemudian dihormati dijaga, dipegang dan dilestarikan oleh masyarakat yang
menganut kebudayaan tersebut.
69
Wawancara dengan Ibu Elisabet, 27 Desember 2016 pukul 17.00 WITA
28
Masyarakat Sumba memiliki kebudayaannya sendiri, kebudayaan masyarakat Sumba
sangat terkait dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya sejak dulu yaitu kepercayaan
Marapu. Hingga kini masyarakat Sumba masih terus mempertahankan kebudayaan dan nilai-
nilai dari kebudayaan yang ada di Sumba secara turun temurun, sekalipun sebagian besar
masyarakat tidak lagi menganut kepercayaan Marapu dan berkembangnya kebudayaan itu sendiri
seiring dengan perkembangan zaman. Seperti dikatakan oleh E.B Taylor, ia mendefinisikan
kebudayaan yaitu merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat yang mempengaruhi pola hidup dalam
bermasyarakat.70
Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat Sumba dimana kebudayaan yang
dianut oleh masyarakat Sumba telah mempengaruhi pola hidup masyarakat itu sendiri.
Kebudayaan sebagai bagian dari pembentukan identitas diri seseorang, dimana
kebudayaan itu sendiri turut mempengaruhi peran yang dimiliki oleh seseorang dalam
masyarakat tempat ia berada dalam artian bahwa masyarakat tempat seseorang bertumbuh turut
mempengaruhi peran dan perkembangan seseorang. Demikian juga yang terjadi dalam
masyarakat Sumba, peran yang diemban oleh individu dipengaruhi oleh masyarakat tempat
orang itu bertumbuh, dan masing-masing orang terikat pada norma-norma yang telah ditentukan
dalam masyarakat. Hommes mendefinisikan peranan sebagai petunjuk kelakuan yang diatur
menurut norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh seorang perempuan Sumba yang belum
menikah memiliki status sebagai anak dan ia berperan sesuai nilai dan norma yang mengatur
bagaimana anak seharusnya berperilaku kepada orang tua dan masyarakat. Setelah perempuan
menikah maka ia akan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang mengatur bagaimana ia harus
berperan. Salah satu bentuk penting dari peranan menurut Hommes yakni meramalkan perbuatan
dari orang lain dan peranan diri sendiri pada masa depan.71
Sejak kecil laki-laki dan perempuan
sudah diberikan peran masing-masing, dan lewat pengamatan dengan melihat peran yang
dilakukan oleh orang dewasa sudah terekam dalam memori mereka berdasarkan pengamatan
terhadap orang dewasa akan peran mereka ketika menjadi dewasa. Seperti seorang anak
perempuan yang melihat ayahnya sebagai kepala rumah tangga, yang lebih banyak beraktifitas
pada rana publik dan ibunya yang bekerja didapur, mengurus rumah, menjaga anak- anak atau
70
Lihat pada bagian III 71
Lihat Teori Peran pada bagian II.
29
berada pada rana domestik, maka ketika seorang anak perempuan menikah ia akan menjadikan
ingatan tentang ayah dan juga ibunya sebagai tolak ukur caranya berperan dalam berumah
tangga. Ia akan melihat suaminya sebagai kepala rumah tangga, sebagai seorang pemimpin
dalam rumah tangga dan yang lebih berperan pada ranah publik dan ia juga akan menempatkan
diri seperti ibunya yang bekerja di dapur, mengurus urusan rumah dan mengurus anak-anak atau
berada pada ranah domestik.
Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Sumba, konstruksi budaya dalam masyarakat
Sumba turut membentuk peran laki-laki dan perempuan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa budaya
patriaki memiliki peran yang besar bagi masyarakat yang ada di Sumba. Contohnya saja dalam
rumah tangga masyarakat Sumba yang menjunjung tinggi pemahaman bahwa laki-laki adalah
kepala rumah tangga yang memiliki hak untuk mengambil keputusan dalam rumah tangga dan
juga sebagai pemimpin dalam keluarga tersebut. Dalam pemahaman orang Sumba perempuan
tidak memilki kedudukan dalam urusan adat maupun dalam upacara keagamaan, meskipun
perempuan mempunyai peranan tetapi dengan adanya pemahaman masyarakat Sumba bahwa
urusan adat merupakan bagian dari laki-laki maka sudah seharusnya dalam upacara adat ataupun
diskusi adat merupakan bagian laki-laki, perempuan hanya mengurusi hal-hal yang bersifat
domestik saja.
Seperti ketika proses Pahamang ini berlangsung, perempuan turut berperan hanya saja
perannya dibatasi pada urusan domestik, perempuan tidak akan duduk bersama dengan laki-laki
di tikar adat karena mereka tahu bahwa tempat mereka adalah di dapur untuk menyiapkan
makanan dan minum bagi semua orang. Keterbatasan peran perempuan dalam diskusi adat
Pahamang sudah merupakan hal yang wajar bagi perempuan dan laki-laki, tanpa diarahkan
perempuan dan laki-laki sudah mengetahui tempatnya dimana. Hal ini memang tidak dapat
diubah karena telah membudaya dalam masyarakat Sumba, dan jika terjadi perubahan maka
orang-orang akan mempertanyakan hal tersebut. Sebagai contoh dari hasil wawancara dengan
salah satu nara sumber perempuan yang mencoba membuat perubahan dengan mencoba
mengganti peran laki-laki namun orang-orang mempertayakan hal tersebut .
“Contohnya saja dalam hal mengundang orang atau kabihu lain hal ini biasa dilakukan oleh
laki-laki dengan membawa alas bicara (bawaan) biasanya berupa kain, mamuli dan lulu amahu,
dalam hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan oleh perempuan, karena kabihu atau marga
lain akan merasa direndahkan, “bahkan saya pernah mencoba untuk mengundang namun
bukan hanya orang Sumba yang mempertanyakan hal tersebut, karena dikatakan bahwa seumur
30
hidupun mereka belum pernah melihat perempuan yang datang mengundang untuk
penguburan”.72
Hal ini menunjukkan bahwa setiap peran perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan dalam
suatu masyarakat tidak dapat diubah, karena masyarakat telah berpegang pada tradisi yang
dihidupi selama ini.
Salah satu dari unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Konjaninggrat adalah organisasi
sosial yang merupakan bentuk pembagian peran dan menetapkan fungsi dalam setiap kehidupan
anggota masyarakat.73
Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Sumba setiap anggota
masyarakat memiliki peran yang telah disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat Sumba, dan peran yang diembankan oleh masing-masing orang harus sesuai dengan
norma-norma yang belaku. Sama halnya dalam budaya pahamang peran laki-laki dan perempuan
telah ditentukan dimana laki-laki berkewajiban untuk berada ditikar adat dan perempuan yang
mengurus segala urusan domestik. Hal ini yang kemudian dipertahankan oleh masyarakat Sumba
dan menjadi tolak ukur mereka dalam mengambil perannya masing-masing dalam masyarakat.
Keterbatasan peran perempuan dalam budaya pahamang merupakan hal yang wajar saja bagi
masyarakat yang ada di Sumba, dikarenakan kebiasaaan ini sudah merupakan tradisi dan telah
turun temurun dijalankan oleh masyarakat, sehingga masyarakat Sumba khususnya perempuan
tidak akan mempertanyakan keterlibatan mereka pada tikar adat. Seperti yang dikemukakan Ficte
bahwa wanita dikuasai, karena itu merupakan keinginannya, keinginan yang berasal dari moral
wanita itu sendiri untuk dikuasai. Sebenarnya hal demikian bukan semata-mata keinginan dari
perempuan, tetapi karena adanya budaya patriaki yang mengkontruksikan perempuan harus
seperti itu. Sehingga bentuk ketidak adilan baik dalam pembagian kerja yang terjadi dalam
masyarakat maupun keluarga dianggap sebagai hal yang wajar.74
Hal ini tidak akan
menimbulkan kesan negatif karena perempuan sendiri menganggab bahwa sudah tugas dan
kewajiban laki-laki dalam mengambil keputusan dan ini juga sebagai bentuk penghargaan
perempuan terhadap laki-laki sebagai seorang kepala rumah tangga. Meskipun tanpa disadari
perempuan telah ditindas oleh budaya yang berlaku melalui konstruksi sosial yaitu dari pihak
laki-laki. Dengan kata lain perempuan telah merasa aman dengan ketertindasan yang dialaminya.
72
Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 73
Koentjaraninggrat, 2003, 217. 74
Budiman, 1985, 7.
31
Mengacu pada pendapat kaum liberal bahwa seseorang baik laki-laki maupun perempuan
memiliki nilai otonom, nilai moral, persamaan hak dan derajat serta bebas untuk melakukan apa
saja, maka dengan demikian perempuan seharusnya memiliki kesempatan/hak yang sama dalam
mengambil keputusan. Perempuan adalah mahkluk rasional yang juga sama dengan laki-laki,
dengan rasionalitas yang dimiliki perempuan seharusnya mampu bersaing untuk merekontruksi
kembali nilai budaya. Ini yang seharusnya juga dapat menjadi pertimbangan bagi perempuan-
perempuan yang ada di Sumba, bahwa perempuan juga memiliki hak untuk dapat menyampaikan
pendapat dan pendapat mereka juga patut didengar karena mereka adalah makhluk yang juga
memiliki rasionalitas. Namun ini bukan berarti perempuan menuntut agar posisinya melebihi
laki-laki akan tetapi tujuan yang seharusnya dicapai yaitu masing-masing dari laki-laki dan
perempuan berada pada posisi yang semestinya saling mendukung.
V. Kesimpulan dan Saran
Kebudayaan sebagai bagian dari suatu masyarakat turut membentuk peran
masyarakatnya dan membentuk identitas dari masyarakat yang menganut kebudayaan tersebut.
Oleh karena itu masing-masing orang yang terlibat dalam kebudayaan kemudian menjaga nilai-
nilai budaya yang ada dan melestarikan dengan tetap melaksanakan ajaran-ajaran budaya itu dan
juga dengan menurunkan nilai-nilai budaya pada generasi-generasi selanjutnya. Seperti
kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Sumba. Masyarakat Sumba menjaga nilai-nilai budaya
dengan terus melakukan tradisi-tradisi yang diwariskan oleh leluhur dan juga dengan
mengajarkan anak-anak mereka tentang budaya itu sendiri, sehingga kebudayaan itu tetap ada.
Kebiasaan untuk melakukan Pahamang sebagai bagian dari kebudayaan yang dianut oleh
masyarakat Sumba yang terus dijaga hingga kini memperlihatkan bagaimana perbedaan peran
antara laki-laki dan perempuan. Dimana laki-laki memiliki peran yang lebih besar dalam rana
publik dan perempuan memiliki peran yang terbatas pada rana publik, perempuan sudah
diidentikkan berkewajiban ada pada rana domestik.
Nilai-nilai kebudayaan dan tradisi yang dipegang oleh masyarakat Sumba kemudian
menjadi tolak ukur masyarakat dalam membagi peran antara laki-laki dan perempuan.
Konstruksi masyarakat yang ada kemudian turut mengubah peran manusia dalam hal pekerjaan
dan nilai dirinya. Pekerjaan dilihat dari jendernya dimana laki-laki Sumba sudah diidentikkan
berada pada rana publik dan perempuan sudah diidentikkan untuk berada pada rana domestik.
32
Adanya pandangan ini kemudian membangun persepsi laki-laki dan perempuan dalam berperan
pada sebuah masyarakat. Konstruksi masyarakat demikian justru membuat perempuan merasa
dirinya tidak mengalami apa yang disebut dengan ketertindasan karena mereka telah larut dalam
pengajaran budaya yang secara turun temurun diberikan. Perempuan tidak merasa ditindas oleh
budaya patriaki. Keterbatasan peran perempuan dalam kebudayaan merupakan hal yang wajar
saja bagi masyarakat yang ada di Sumba, dikarenakan kebiasaaan ini sudah merupakan tradisi
dan telah turun temurun dijalankan oleh masyarakat. Sehingga masyarakat Sumba khususnya
perempuan tidak akan mempertanyakan keterlibatan mereka pada tikar adat atau pada rana
publik.
Hal ini tidak akan menimbulkan kesan negatif karena perempuan sendiri menganggab bahwa
sudah tugas dan kewajiban laki-laki dalam mengambil keputusan dan ini juga sebagai bentuk
penghargaan perempuan terhadap laki-laki sebagai seorang kepala rumah tangga. Meskipun
tanpa disadari perempuan telah ditindas oleh budaya yang berlaku melalui konstruksi sosial yaitu
dari pihak laki-laki, namun perempuan sendiri tidak merasa tertindas. Dengan kata lain
perempuan telah merasa aman dengan ketertindasan yang dialaminya. Dengan terbatasnya peran
perempuan dalam rana publik kadang membuat perempuan lupa bahwa mereka juga adalah
manusia yang memiliki rasionalitas yang juga memiliki hak untuk berbicara menyampaikan
pendapat mereka dan juga untuk didengar.
Adapun saran yang dberikan penulis sehubungan dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan diantaranya:
- Kepada Masyarakat
Memberikan pemahaman bagi masyarakat bahwa dengan adanya budaya tidak
menjadikan orang lain (perempuan) sebagai kelompok yang tertindas dan yang
perannya dibatasi. Budaya patriarki yang ada dalam masyarakat Sumba yang telah
memunculkan ketidak setaraan peran antara laki-laki dan perempuan harus
dikritisi, dan masyarakat juga harus peka dan kritis terhadap nilai-nilai budaya itu
sendiri. Sehingga nilai budaya yang yang baik, yang menjunjung tinggi nilai
keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan dapat dipertahankan dan diwujudkan.
Perempuan maupun laki-laki harus menyadari bahwa dalam sebuah masyarakat
semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Laki-laki dan perempuan
33
seharusnya memiliki hak yang sama untuk dapat menyampaikan pendapat. Hal ini
bukan berarti perempuan ingin mendapatkan posisi yang lebih dari laki-laki namun
tujuannya agar laki-laki dan perempuan berada pada posisi yang setara yang saling
melengkapi dan saling mendukung.
- Kepada Perempuan
Memberdayakan perempuan melalui kelompok-kelompok perempuan seperti PKK
atau kelompok-kelompok perempuan yang lain, sehingga melalui proses ini
perempuan dapat berpartisipasi khususnya dalam ranah publik. Penyadaran dan
pemberdayaan bagi perempuan sangat penting karena sebenarnya mereka sendiri
tidak tahu bahwa mereka sedang mengalami ketertindasan, karena hal ini sudah
dianggab sebagai hal yang alami, dengan mengikuti tradisi yang ada laki-laki dan
perempuan merasa nyaman dengan peran mereka masing-masing tanpa melihat
bahwa salah satu dari mereka sedang mengalami ketertindasan. Dengan mengikuti
kegiatan seperti ini turut membangun rasa percaya diri perempuan agar perempuan
juga mampu berbicara dan menyampaikan pendapat tidak hanya ketika ia berada
dirumah tetapi ketika ia berada pada rana publik.
Memberikan pemahaman bahwa peranan perempuan dan laki-laki dapat dilakukan
baik dalam dunia domestik maupun publik demi menjaga keutuhan bersama sehingga
tidak ada yang merasa diperlakukan tidak adil. Tujuan yang ingin dicapai yaitu agar
laki-laki dan perempuan memiliki kesejajaran dan menjadi rekan kerja yang saling
melengkapi dan saling menolong. Agar kedua bela pihak memiliki peran yang sama
dan tidak ada yang merasa diuntungkan ataupun dirugikan.
- Kepada Laki-laki
Memberikan pendidikan tidak hanya kepada perempuan agar mereka menyadari
siapa dirinya dan tugasnya serta haknya. Tetapi juga kepada laki-laki agar mereka
menyadari bahwa sistem patriakhi selama ini turut membelenggu kehidupan
perempuan bahkan tidak terkecuali anak-anak dan laki-laki.
Pendidikan kepada kaum laki-laki sama pentingnya juga diberikan agar sebagai
teman seperjalanan tidak ada yang merasa tinggi atau direndahkan.
34
Daftar Pustaka
Arivia, Gadis. 2006. Feminisme Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Becher, Jeanne. 2004. Perempuan, Agama dan Seksualitas. Jakarta : Penerbit BPK Gunung
Mulia.
Borrowdale, Anne. 1993. Tugas Rangkap Wanita Mengubah Sikap Orang Kristen. Jakarta :
Penerbit BPK Gunung Mulia
Djarkasi, Agnes. 2008. Peran Perempuan dalam Kesetaraan Jender: Suatu Tinjauan
Historis di Sulawesi Utara “Women in Public Sector”, Yogyakarta: Penerbit Tiara
Wacana.
Budiman, Arief.1985. Pembagian Kerja secara seksual. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Gandhi, Mahatma. 2002. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar.
Hartomo, H dan Dra. Arnicun Aziz. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu – ilmu Sosial,
Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Hollows , Joanne. 2010. Feminisme, Feminitas dan Budaya Populer. Yogyakarta: Penebit
Jalasutra.
Hommes, Anne. 1992. Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat.