15 BAB II PEMBAHASAN SEKITAR PAILIT A. Ketentuan Umum Tentang Taflis 1. Pengertian Taflis Pailit berarti 'Bangkrut' atau 'Jatuh Pailit'. Dalam Hukum Perdata pailit positif ( peraturan kepailitan: s. 1905-217 jo S. 1906-348), maka pailit mengacu pada keadaan debitur ( bisa orang, badan hukum, perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitur telah berhenti membayar hutangnya ( tidak mampu melunasi utang) yang mengakibatkan penyitaan umum atas harta kekayaannya, sehingga debitur tidak berhak lagi mengurus harta bendanya. 1 Taflis atau Iflas ialah banyak hutang dari harta, hingga tak dapat harta itu membayar segala hutang. Hakim boleh mencegah orang yang di hukum Muflis mentasyarufkan hartanya, agar tidak memelaratkan orang- orang yang memberi hutang kepadanya. (mencegah Muflis dari mentasyarufkan hartanya dinamakan “Hajr atau Hijr”) 2 Dalam Fiqh dikenal dengan sebutan Iflaas ( اﻻﻓﻼس): tidak memiliki harta, sedang orang yang pailit disebut Muflis ( اﻟﻤﻔﻠﺲ) dan keputusan hakim yang menyatakan bahwa seorang jajtuh pailit disebut 1 Ensiklopedi hukum Islam, Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hove,cet.1, 1996, Hlm. 1360 2 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam , Jakarta Bulan Bintang, Hlm. 427
22
Embed
ﺲﻠﻔﻤﻟا - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1...Pengertian Taflis Pailit berarti ... ( peraturan kepailitan: s. 1905-217
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
15
BAB II
PEMBAHASAN SEKITAR PAILIT
A. Ketentuan Umum Tentang Taflis
1. Pengertian Taflis
Pailit berarti 'Bangkrut' atau 'Jatuh Pailit'. Dalam Hukum Perdata
pailit positif ( peraturan kepailitan: s. 1905-217 jo S. 1906-348), maka
pailit mengacu pada keadaan debitur ( bisa orang, badan hukum,
perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitur
telah berhenti membayar hutangnya ( tidak mampu melunasi utang) yang
mengakibatkan penyitaan umum atas harta kekayaannya, sehingga debitur
tidak berhak lagi mengurus harta bendanya.1
Taflis atau Iflas ialah banyak hutang dari harta, hingga tak dapat
harta itu membayar segala hutang. Hakim boleh mencegah orang yang di
hukum Muflis mentasyarufkan hartanya, agar tidak memelaratkan orang-
orang yang memberi hutang kepadanya. (mencegah Muflis dari
mentasyarufkan hartanya dinamakan “Hajr atau Hijr”)2
Dalam Fiqh dikenal dengan sebutan Iflaas ( االفالس ): tidak
memiliki harta, sedang orang yang pailit disebut Muflis ( المفلس ) dan
keputusan hakim yang menyatakan bahwa seorang jajtuh pailit disebut
1 Ensiklopedi hukum Islam, Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hove,cet.1, 1996, Hlm. 1360 2 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam , Jakarta Bulan Bintang, Hlm. 427
16
Tafliis ( التفليس )3
Ulama Fiqh mendefinisikan Taflis:4
مفلسا بمنعه من التصرف في ماله جعل احلاكم المديون
Artinya: “Keputusan Hakim yang melarang seseorang bertindak atas hartanya.”
Dalam syara’, kata pailit itu diucapkan untuk dua makna.
Pertama: apabila hutang itu menghabiskan harta orang yang berhutang
(debitur), sehingga hartanya itu tidak sanggup lagi melunasi hutangnya.
Kedua: jika seseorang itu sama sekali tidak mempunyai harta yang
kongkret.5
Pada keadaan pertama, jika kepailitan itu terlihat oleh penguasa,
maka para Ulama berselisih pendapat: apakah penguasa tersebut dapat
membatasi tindakan orang itu terhadap hartanya, sehingga ia menjualnya
dan membagi-bagikannya kepada kreditur (pemberi hutang) berdasarkan
pertimbangan piutang mereka, ataukah ia tidak boleh bertindak demikian,
melainkan orang itu harus ditahan (dipenjarakan) sehingga ia memberikan
semua hartanya kepada mereka (para kreditur) berdasarkan perimbangan
apa pun yang disepakati dan kepada siapapun juga dari mereka.
Perselisiahan seperti ini juga tergambar pada orang yang
mempunyai harta yang cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, tetapi ia
3 M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah), Jakarta:
Al-Syaukani membolehkan menyita harta orang yang bangkrut
(pailit) untuk membayar hutangnya, sekalipun harta tersebut tidak
memadai untuk membayar hutangnya secara keseluruhan. Pendapanini
juga disandarkan pada kisah Mu'az.20
Jumhur Fuqoha’ yang berpendirian tentang adanya pengampuan
terhadap orang yang pailit mengatakan, bahwa sebelum ada keputusan
tentang kepailitannya, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang
samadengan orang lain.21
Jumhur Ulama berpendapat, bahwa seseorang dapat dinyatakan
pailit setelah mendapat keputusan hakim, dengan demikian segala tindakan
debitur terhadap hartanya, masih dapat dibenarkan. Oleh sebab itu para
Ulama yang mendapat pengaduan harus sesegera mungkin mengambil
suatu keputusan, agar debitur tidakleluasa melakukan aktivitasnya.22
Mengenai kedaan orang pailit sesudah pailit maka Imam Malik
berpendapat bahwa orang tersebut tidak boleh mengadakan penjualan,
pembelian, pengambilan ataupun pemberian. Begitu pula ia tidak boleh
mengaku berhutang atas tanggungan, baik kepada orang dekat maupun
orang jauh, tetapi menurut salah satu riwayat, dikecualikan jika untuk
seorang dari mereka dengan saksi. Sedang menurut riwayat lainnya, Ia
20 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Cet. 1, Jakarta: Logos, 1999, Hlm. 191 21 Ibnu Rusyd, log.cit., 22 M Ali Hasan, lok.cit. Hlm.197
23
boleh mengeluarkan pengakuan (berhutang) terhadap seseorang yang
diketahui mempunyai tagihan atasnya.23
Para Ulama mazhab sepakat bahwa seorang Muflis tidak dilarang
menggunakan hartanya, sebesar apapun hartanya kecuali sesudah adanya
larangan dari hakim. Kalau dia menggunakan seluruh hartanya sebelum
adanya larangan Hakim, maka tindakannya itu dianggap berlaku. Para
piutang dan siapapun tidak berhak melarangnya, sepanjang hal itu tidak
dimaksudkan untuk melarikan diri dari hutang atau menggelapkan hak-hak
orang lain yang ada pada dirinya, khususnya bila tidak ada harapan untuk
bertambahnya penghasilan berdasar kenyataan yang ada.24
2. Pendapat Ulama Tentang Muflis
Barang-Barang Yang Terkena Pailit
Tentang harta yang bisa ditagih oleh penjual (kreditur) dari orang
pailit (debitur), maka hal ini tergantung kepada macam dan kadar
barangnya.
Tentang barang atau benda yang dipertukarkan (dalam jual beli)
yang telah tiada, dan yang karena krediturnya berhak menuntut dari orang
yang mengalami pailit, maka piutangnya menjadi tanggungan orang yang
pailit. Akan halnya jika barang itu sendiri masih ada dan belum musnah,
maka dalam hal ini Fuqoha’ Amshor berselisih dalam empat pendapat:25
23 Ibid., Hlm.335-336 24 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab, op.ci., 25 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm. 337
24
Pertama: Bahwa bagaimanapun juga pemilik barang lebih berhak atas
barang tersebut. kecuali jika ia meninggalkannya dan memilih pembagian
piutang. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Ahmad dan Abu
Tsaur.
Hanafiyah berkata: barang siapa yang bangkrut (Hakim sudah
menyatakan kebangktutannya) sedang ia mempunyai barang milik orang
lain dengan jelas, maka orang yang memiliki harta seperti hutang yang
artinya tidak mempunyai hak atas harta itu dibanding orang-orang yang
hutang lainnya. Apabila bangkrut sebelum memiliki harta tanpa izin
penjual maka ia wajib mengembalikannya dan menahannya dengan harga
dalam keadaan belum dimiliki.26
Selain Ulama Hanafiyah berkata: apabila Hakim sudah menyatakan
kebanhkrutannya, maka salah satu orang yang hutang memperoleh
sebanyak hartanya (membagi harta yang telah dijual kepadanya sejumlah
barang tersebut) maka baginya hak untuk memiliki sebagian. Sesuai
dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang intinya
'barang siapa yang menemukan hartanya pada orang yang pailit maka ia
lebih berhak atas harta tersebut dari pada orang lain'.27
Kedua: Bahwa nilai barang harus dilihat pada saat diputuskan
kepailitannya. Jika nilai tersebut lebih rendah dari harga semula, maka
pemilik barang disuruh memilih antara mengambil barang tersebut atau
26 Wahbah Zuahaili, Fiqh Islami Wa Adilatahu, Juz 5, Darul Fikr, 1984, Hlm. 475 27 Ibid.,
25
ikut dalam pembagian piutang. Sedang apabila nilainya lebih banyak atau
sama dengan harga semula, maka ia mengambil barang itu sendiri.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan pengikutnya.
Ketiga: Bahwa barang tersebut harus dinilai pada waktu pailit jika nilainya
sama atau kurang dari harga semula, maka barang tersebut diputuskan
untuknya, yakni si penjual. Tetapi jika nilainya lebih banyak, maka penjual
diberi sebanyak harga semula, kemudian para kreditur mengadakan
pembagian pada kelebihannya. Pendapat ini dikemukakan oleh segolongan
ahli atsar.
Keempat : Bahwa bagaimanapun juga para kreditur itu harus mengikuti
pemilik barang. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan
Ahli Kufah.
Silang pendapat dalam masalah ini berpangkal pada adanya hadits
shahih:
مـن : وعن ايب هريرة رضي اهللا عنه ، عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال ادرك ماله بعينه عند رجل افلس او انسان قد افلس فهو احق به من غيره
)رواه اجلماعة(
Artinya: “Dan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW., ia bersabda: "siapa yang mendapatkan hartanya masih utuh pada seseorag yang pailit – atau seorang manusia yang pailit – maka ia lebih berhak atas barangnya itu daripada orang lain”.” (HR Jama’ah)28
Fuqaha yang memegangi hadits tersebut berselisih pendapat
tentang, apabila penjual telah menerima sebagian harga barang tesebut.
Imam Malik berpendapat bahwa jika ia suka, maka ia boleh
mengembalikan sebagian harga yang telah diterimanya itu, kemudian
mengambil kembali barang tersebut seluruhnya. Dan jika ia suka, ia boleh
bergabung dengan para kreditur lainnya untuk mengambil piutang atas
barangnya yang masih ada. Sedang imam Syafi'I berpendapat bahwa
penjual mengambil sebagian barang yang masih ada dengan imbalan harga
selebihnya.29
Apabila muflis menghasilkan harta sesudah dia dilarang
menggunakan hartanya, maka ada perbedaan pendapat antara lain:30
Hambali mengatakan tidak ada perbedaan antara harta yang baru
diperolehnya, dengan harta yang ada saat dilakukan pelarangan.
Mazhab Syafi'I mempunyai dua pendapat. Demikian pendapat
Imamiyah. Allamah Al Hilli mengatakan: yang lebih tepat adalah bahwa
pelarangan tersebut diberlakukan pula terhadapnya. Sebab tujuan dari
pelarangan tersebut adalah untuk mengembalikan hak kepada orang yang
berhak menerimanya, dan hal itu tidak terbatas pada harta yang ada saat
pelarangan saja.
29 Ibnu Rusyd, log.cit., Hlm. 340 30 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, log.cii.,Hlm. 703
27
Hanafi berpendapat pelarangan tidak mencakup barang-barang
yang baru diperoleh itu. Pengakuan dan tindakan Muflis dianggap berlaku.
Pembeli yang pailit telah menghabiskan sebagian barang.
Tidak ada silang pendapat dikalangan Fuqoha, bahwa apabila
pembeli telah menghabiskan sebagian barang, maka penjual lebih berhak
atas sebagian (sisa) barang yang didapati. Kecuali Atha’, karena ia
berpendapat tentang kematian: apakah hukum kematian itu sama dengan
hukum pailit atau tidak?
Imam Malik berpendapat bahwa penjual menjadi panutan para
kreditur dalam hal kepailitan.
Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam hal ini sama saja.
Dan ini sesuai juga dengan hadits diatas.
Penambahan Terhadap Barang
Imam Malik juga berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i tentang
orang yang mendapatkan barangnya itu sendiri pada orang yang pailit,
sementara orang yang pailit itu telah mengadakan penambahan pada
barang tersebut, seperti tanah yang telah ditanami atau tanah kosong yang
telah didirikan bangunan di atasnya.
28
Imam Malik berpendapat bahwa penambahan tersebut merupakan
penghilangan atas bentuk (sifat) semula. Karena pemilik barang kembali
menjadi kawan para kreditur.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa penjual boleh memilih antara
memberikan harga sesuatu yang ditambahkan oleh pembeli pada
barangnya, kemudian penjual mengambil barang tersebut
Mengenai barang yang masih berada ditangan penjualnya dan
belum diserahkan kepada pembeli sehingga pembeli mengalami pailit,
maka penjual lebih berhak atas barang tersebut pada kematian dan pailit,
tanpa memperselisihkan lagi.
Jika penjual telah menyerahkan barang tersebut kepada pembeli,
kemudian pembeli mengalami pailit, sementara barang tersebut masih
berada ditangannya, maka penjual lebih berhak atas barang tersebut
dibanding kreditur lainnya, yakni dalam keadaan pailit dan bukan dalam
keadaan kematian. Imam Malik berpendapat bahwa para kreditur boleh
mengambil barang tersebut dengan membayar harganya. Tetapi Imam
Syafi’i berpendapat bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan seperti
itu.31
Ringkasnya, tidak diperselisihkan lagi dalam madzhab Maliki,
bahwa penjual lebih berhak atas barangnya yang masih ada tetapi tidak
berada dalam tangannya, dalam hal pailit bukan kematian. Dan bahkan
31 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm.342 dan 345
29
penjual itu menjadi panutan para kreditur pada barangnya, jika barangnya
itu sudah tidak ada. Juga dalam hal yang bermiripan dengan keadaan
buruh, menurut pendapat para Imam Malik. Hal ini sesuai dengan hadits di
atas.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Abu Daud, menurut Al-
Hafidh, sanatnya Hasan, hadits tersebut menyatakan bahwa bila seseorang
menjual sesuatu barang kepada seseorang yang ternyata tak mampu
membayar (jatuh bangrut), dan barangnya kemudian dikemukakan pada si
pembeli tersebut, dalam keadaan masih utuh, maka barang tersebut bisa
diambil kembali oleh penjualnya. Syarat untuk dapat mengambil kembali
adalah masih utuh.32
Asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa si penjual tetap
berhak menarik kembali barangnya walaupun sudah dalam keadaan tidak
utuh lagi. Golongan Hanafi tidak sependapat karena menyalahi kaidah,
Jumhur Ulama berpendapat bahwa apabila harganya sudah dilunasi
sebagian, maka barang tersebut tidak dapa ditarik kembali. Apabila
barangnya masih utuh, si penjual tak dapat mengambil lagi barangnya,
demikian pendapat Imam Malik dan Ahmad sedang Asy-Syafi’i
berpendapat , dapat diamil kembali. Syafi’i dan Ahmad juga berpendapat
untuk menolak harga yang hendak dibayar oleh para pewarisnya. Malik
meengharuskan si penjual menerima harga yang dibayar oleh waris.33
32 Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Terjemah Nailul Author 4, 33 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, op.cit., , hlm.149-150
30
Hadits ini menyatakan bahwa si pemilik barang dapat mengambil
kembali barangnya tanpa harus menunggu keputusan hakim (pendamai).
Pendapat inilah yang dipandang lebih sahih diantara pendapat ulama.34
Selain kreditur dapat mengambil kembali barang yang masih
terdapat pada orang yang telah bangkrut, maka akan ada kemungkinan bila
harta tersebut berubah karena bertambah atau berkurang, maka pemilikny
lebih berhak atasnya; akan tetapi diberlakukan sama dengan orang-orang
yang berpiutang.35
Sedangkan apabila dia menjual harta itu dan telah menerima
sebagian dari harganya, maka orang yang mempunyai harta itu
diperlakukan sama seperti orang-orang yang berpiutang; dan menurut
Jumhur, dia tidak mempunyai hak untuk meminta kembali apa yang telah
dijual. Yang lebih kuat di antara pendapat dua pendapat Syafi'i ialah
bahwa yang memberinya itu lebih berhak atasnya.36
Tetapi bila pembelinya mati, sedang penjualnya belum menerima
harganya, kemudian penjual itu menemukan apa yang dijualnya, maka ia
berhak terhadapnya karena alasan hadits. Sebab tidak ada perbedaan antara
kematian dan kebangkrutan. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’I.:
34 Ibid., 35 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, Judul Asli: Fiqhussunnah, Bandung: PT Al Ma'arif,
Hlm. 214 36 Ibid.,
31
من : وقال ابو هريرة ألقضين فيكم بقضاء رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم وهذا احلديث صحيح ( افلس او مات فوجد رجل متاعه بعينه فهو احق به
) احلاكم
Artinya: “Berkata Abu Hurairoh: akan aku putuskan urusan diantara kamu dengan keputusan yang diputuskan oleh Rosulullah SAW. “barang siapa yang bangkrut atau mati, kemudian seseoranga menemukan harta miliknya padanya, maka oranga itu lebih berhak atasnya”.”37
Untuk kemaslahatan orang lain seperti pada muflis (pailit) karena
banyak hutang, orang yang sakit keras mendekati mati dan hama yang
diizinkan berdagang. Mencegah harta kepada muflis, untuk menjaga
kemaslaatan orang-orang yang menghutanginya. Dengan demikian orang
yang menghutangi tidak dirugikan.38
Kadar Harta Yang Ditinggalkan
Mengenai kadar harta yang ditinggalkan untuk orang paillit, maka
menurut Mazhab Maliki adalah ditinggalkan untuk hidup dirinya dan istri
dan anak-anaknya yang masih kecil untuk waktu beberapa hari lamanya.
Dalam kitab Al-Wadhihah dan Al-‘Atabiyyah dikatakan, untuk
masa sebulan dan sekitar itu, dan ditinggalkan untuknya pakaian
sepantasnya (secukupnya).
Tentang pakaian untuk istrinya, Imam Malik tidak mengeluarkan
pendapatnya, karena baginya-wajibnya pakaian untuk istri itu lantaran