BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perseroan terbatas sebagai salah satu perusahaan yang berbentuk badan hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan pinjam meminjam, baik untuk modal kerja atau pun modal untuk mengembangkan suatu bisnis. Salah satu motif utama suatu badan usaha meminjam atau memakai modal dari pihak ketiga adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, tambahan modal baru dapat dimanfaatkan untuk memperlancar arus kas perusahaan atau biasa digunakan untuk dalam pengembangan bisnis perusahaan. Sedangkan di sisi lain, salah satu motif utama pihak kreditur atau pemberi pinjaman bersedia memberi pinjaman adalah keinginan untuk memperoleh balas jasa dengan pemberian pinjaman tersebut (misalnya bunga). Kegiatan pinjam meminjam ini menjadi sesuatu yang lumrah dalam dunia bisnis. Akan tetapi, dalam dunia bisnis juga tidak terlepas dari resiko kerugian-kerugian, bahkan besarnya resiko kerugian dapat menjadi pertimbangan utama dalam menentukan besarnya balas jasa bagi suatu pinjaman. Melihat hal tersebut maka sangat penting bagi kreditur untuk mengkaji kinerja dan performa dari perusahaan calon debitur apakah layak atau tidak untuk diberikan pinjaman. Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi
22
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · Hukum kepailitan Negara Anglo Saxon menyebutnya ... Dalam Black’s Law Dictionary pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perseroan terbatas sebagai salah satu perusahaan yang berbentuk badan
hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan
pinjam meminjam, baik untuk modal kerja atau pun modal untuk mengembangkan
suatu bisnis. Salah satu motif utama suatu badan usaha meminjam atau memakai
modal dari pihak ketiga adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang
dapat diraih, tambahan modal baru dapat dimanfaatkan untuk memperlancar arus
kas perusahaan atau biasa digunakan untuk dalam pengembangan bisnis
perusahaan. Sedangkan di sisi lain, salah satu motif utama pihak kreditur atau
pemberi pinjaman bersedia memberi pinjaman adalah keinginan untuk
memperoleh balas jasa dengan pemberian pinjaman tersebut (misalnya bunga).
Kegiatan pinjam meminjam ini menjadi sesuatu yang lumrah dalam dunia bisnis.
Akan tetapi, dalam dunia bisnis juga tidak terlepas dari resiko kerugian-kerugian,
bahkan besarnya resiko kerugian dapat menjadi pertimbangan utama dalam
menentukan besarnya balas jasa bagi suatu pinjaman.
Melihat hal tersebut maka sangat penting bagi kreditur untuk mengkaji
kinerja dan performa dari perusahaan calon debitur apakah layak atau tidak untuk
diberikan pinjaman. Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan
dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan
keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi
sanggup membayar hutang-hutangnya. Akan tetapi dalam prakteknya kegiatan
bisnis, banyak perusahaan yang menjalankan atau mengembangkan bisnisnya dari
pinjaman kredit, baik itu untuk modal kerja maupun modal barang. Kerugian yang
dialami perusahaan seringkali akhirnya berpengaruh kepada kemampuan
mengembalikan pinjaman kredit tersebut.
Imbas yang dapat terjadi dari kerugian tersebut dalam kegiatan bisnis
adalah menjadi pailit. Hal tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi, begitu pula
pada perseroan. Sepanjang kerugian tersebut tidak sampai menggangu arus kas
perusahaan.
Hukum kepailitan Negara Anglo Saxon menyebutnya “bangkruptcy” yang
berarti ketidakmampuan membayar utang. Kata “bangkruptcy” tersebut kemudian
diterjemahkan bangkrut dalam bahasa Indonesia1. Dalam Black’s Law Dictionary
pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari
seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo2. Ketidakmampuan
tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata baik dari debitur sendiri
maupun dari pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke
pengadilan.
Maksud dari pengajuan tersebut sebagai pemenuhan asas publisitas dari
keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa permohonan
tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah
tau keadaan tidak mampu membayar dari debitur. Keadan ini diperkuat dengan
1 Sentosa Sembiring, 2006, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang
Terkait Dengan Kepailitan, Nuansa Aulia, Bandung, h. 11. 2 Bryan A., 1999, Black’s Law Dictionary, West Group, St. Paul, h. 141.
putusan pengadilan baik yang mengabulkan maupun menolak permohonan
kepailitan tersebut3.
Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut
manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau
membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, untuk mencegah pihak kreditur
ramai-ramai menagih debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut maka
hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat
dibayar secara tertib dan adil. Lembaga hukum Kepailitan muncul untuk mengatur
tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur dengan
berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata), terutama pasal 1131 dan 1132 tentang piutang-piutang yang
diistimewakan, maupun Undang-Undang Kepailitan.
Pengertian kepailitan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajian pembayaran utang
(selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) menyatakan bahwa
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pada prinsipnya
kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu
dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan
pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan
3 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2002, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, PT Raja
Grafindo, Jakarta, h. 12.
mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak
tanggal kepailitan itu.
Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang
mengatur masalah penyelesaian utang piutang tersebut secara cepat, efektif,
efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk
menyelesaikan masalah utang piutang mereka. Namun disisi lain juga diperlukan
adanya instrumen hukum yang khusus mengatur agar para debitur tetap harus
melunasi kewajiban hutang-hutang mereka dan tidak berniat “nakal” untuk
menghindari kewajiban baik dengan cara berpura-pura pailit maupun selalu
menghindari penagihan.
Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal yang
mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki itikad
yang tidak baik seperti enggan melunasi hutang-hutangnya, berusaha
menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri. Maka perlu adanya suatu
pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi kewajibannya sekaligus
memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan berjalan secara adil bagi
semua pihak. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 Tentang
Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma Nomor 1 Tahun 2000).
Pemberlakuan lembaga paksa badan dibentuk sebagai upaya pembaharuan
dari lembaga penyanderaan (gijzeling) yang pernah berlaku di Indonesia dengan
tujuan untuk menjamin dan mencegah debitur melarikan diri maupun melakukan
perbuatan dengan tujuan untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa
badan tersebut juga bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi
kewajibannya sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampas dan
keseimbangan hukum dapat tercapai, namun keberadaan lembaga ini masih
kontroversial4.
Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan
merupakan hal yang berlebihan5. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini
diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi pihak
debitur yang nakal. Hal ini mendorong pemerintah untuk menciptakan suatu
mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi pihak debitur yang
memenuhi kewajibannya, dan mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga
paksa badan.
Paksa badan yang diatur dalam Perma No 1 Tahun 2000 ini berbeda
dengan gijzeling sebelumnya, yakni ditujukan kepada debitor mampu, tetapi
membangkang tidak mau membayar utang. Dalam Pasal 4 Perma No 1 Tahun
2000 paksa badan hanya dikenakan kepada debitor "kelas kakap" yang
mempunyai utang sekurangnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sejak dikeluarkannya perma tentang lembaga paksa badan pada bulan Juni
2000 hingga kini belum seorang pun debitor yang dikenai paksa badan6. Sebagai
contoh, pengadilan negeri Jakarta Selatan menolak permohonan paksa badan yang
4
Anomin, 2008, Penyelesaian hutang piutang,
http://advokatku.blogspot.com/2008/04/penyelesaian-hutang-dengan,html, diakses tanggal 12
Maret 2015 5 Kemal Fasya, 2011, Lembaga Paksa Badan Dalam Perkara Pajak,
http://kemalfasya.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-en-us-x-none.html., diakses tanggal
3 Oktober 2014. 6 Widodo Dwi Putro, 2014, Dewi Themis Tunduk Pada Konglomerat,
http://unisosdem.com/paksa-badan/Juli/2014/article.html, diakses tanggal 29 November 2014.