Top Banner
LAPORANTAHUNAN SKIM HIBAH BERSAING MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT DALAM MEWUJUDKAN TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA Tahun Ke 2 (Dua) Dari Rencana 2 (Dua) Tahun Ketua : Dra. Februati Trimurni, M.Si NIDN : 0012026602 Anggota I : Dra. Asima Yanty Sylvania Siahaan, M.A, Ph.D NIDN :0026016404 Anggota II : Dra. Dayana, M.Si NIDN :0028076003 Dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun Anggaran 2015, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Hibah Penelititan bagi Dosen Perguruan Tinggi Batch I Universitas Sumatera Utara Nomor: 120/SP2H/PL/Dit.Litabmas/II/2015, tangga 05 Pebruari 2015 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA NOVEMBER 2015
198

balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

Aug 03, 2019

Download

Documents

hakiet
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

1

LAPORANTAHUNAN

SKIM HIBAH BERSAING

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT

DALAM MEWUJUDKAN TRANSPARANSI PENGADAAN

BARANG/JASA PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA

Tahun Ke 2 (Dua) Dari Rencana 2 (Dua) Tahun

Ketua : Dra. Februati Trimurni, M.Si

NIDN : 0012026602

Anggota I : Dra. Asima Yanty Sylvania Siahaan, M.A, Ph.D

NIDN :0026016404

Anggota II : Dra. Dayana, M.Si

NIDN :0028076003

Dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun

Anggaran 2015, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Hibah

Penelititan bagi Dosen Perguruan Tinggi Batch I Universitas Sumatera Utara Nomor:

120/SP2H/PL/Dit.Litabmas/II/2015, tangga 05 Pebruari 2015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

NOVEMBER 2015

Page 2: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

2

Page 3: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

3

RINGKASAN

Kebijakan e-procurement di Indonesia merupakan salah satu bentuk reformasi di

bidang pengadaan yang tujuannya diantaranya untuk meningkatkan transparansi, efisiensi

dan akuntabilitas dalam pengadaan barang/jasa. E-procurement dapat dilakukan dengan

metode e-tendering dan e-purchasing dengan menggunakan e-katalog. Kajian mengenai

model implementasi kebijakan e-procurement dalam mewujudkan transparansi

pengadaan barang/jasa pemerintah di Sumatera Utara menjadi semakin mendesak dan

relevan sehubungan dengan tuntutan dan kebutuhan pengadaan barang/jasa secara

elektronik yang terus meningkat ditengah karakteristik Pemerintah Kota Medan, Kota

Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai yang berbeda serta dinamika birokrasi lokal yang

terbatas.

Judul penelitian ini ”Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam

Mewujudkan Tranparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara.” Di

tahun pertama tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan model implementasi

kebijakan e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa

pemerintah di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dengan

menggunakan metode kualitatif ditemukan model implementasi kebijakan e-procurement

terdiri dari tiga faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia

terutama berkaitan dengan kapasitas dan budaya organisasi.

Penelitian di tahun kedua ini bertujuan melihat seberapa besar pengaruh model

implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa.

Karena itu digunakan metode kuantitatif untuk mencari besarnya pengaruh kedua

variabel tersebut. Tujuan lainnya, mendeskripsikan tahapan atau proses e-procurement

baik dengan menggunakan metode e-tendering maupun e-purchasing di tiga lokasi

penelitian dan menjelaskan model implementasi kebijakan e-procurement bekerja dalam

mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa. Dua tujuan penelitian terakhir ini

menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi kasus. Karena itu dipilih Dinas

Kesehatan Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai lokasi dari

studi kasus penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara

mendalam, observasi, dokumentasi dan studi pustaka.

Capaian hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh model implementasi

kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa di tiga lokasi

penelitian sebesar 14.8%. Selain itu ketiga faktor dari model implementasi kebijakan e-

procurement belum bekerja dengan optimal sehingga transparansi pengadaan belum

sepenuhnya terwujud di tiga lokasi penelitian. Temuan lainnya, pengadaan dengan

metode e-purchasing lebih diminati dari pada e-tendering di Dinkes Kabupaten/Kota di

tiga lokasi penelitian. Hal ini karena metode e-purchasing dengan menggunakan e-

katalog jauh lebih aman bagi pegawai yang bertanggung jawab di bidang pengadaan.

--------

Kata Kunci :Model Implementasi Kebijakan, e-procurement, transparansi

Page 4: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

4

P R A K A T A

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tahun kedua yang

berjudul “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam Mewujudkan

Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”.

Penelitian ini merupakan salah satu tugas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi

disamping pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Sumber dana penelitian ini

berasal dari DIPA Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2014, sesuai dengan Surat

Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah Bersaing Nomor;

1082/UN5.1.R/KEU/2014, tanggal 17 Pebruari 2014.

Dalam menyelesaikan penelitian ini penulis mendapat bantuan dari berbagai

pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr.Ir. Harmein Nasution, MSIE selaku Ketua LP3M Bidang Penelitian USU

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan baik dari isi maupun teknik penyusunannya. Akhir kata penulis berharap

semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, November 2015

Penulis,

Dra Februati Trimurni, M.Si

Dra Asima Yanty Sylvania Siahaan, M.A., Ph.D

Dra Dayana, M.Si

Page 5: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

5

DAFTAR ISI

HALAMANSAMPUL

HALAMAN PENGESAHAN

RINGKASAN…………………………………………………………………………….….... i

PRAKATA…………………………………………………………………………………..... ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….......iii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………………………...... v

DAFTAR BAGAN......................................................................................................................vi

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………….....vii

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………….......viii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….......... 1

1.0 Latar Belakang Penelitian……………………………………………………………........... 1

1.1 Perumusan Masalah…………………………………………………………………............. 5

BAB II Model Implementasi Kebijakan dan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

2.0 Implementasi Kebijakan Sebagai Sebuah Model................................................................... 6

2.1 Bekerjanya Model Kebijakan Publik...................................................................................... 7

2.2 Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.................................................................. 9

2.3Pengaruh Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Terhadap................................... 12

2.4 Hipotesis Penelitian................................................................................................................ 16

2.5 Definisi Konsep...................................................................................................................... 16

2.6 Definisi Operasional............................................................................................................... 17

2.7 Peta Jalan Penelitian............................................................................................................... 18

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN…………………………………….......... 20

3.0 Tujuan Penelitian................................................................................................................... 20

3.1 Manfaat Penelitian.................................................................................................................. 20

BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………………………........... 21

4.0Metode Penelitian Kuantitatif .........…………………………………………..……........... 21

4.0.1Populasi dan Sampel Penelitian ...........……………………………………….......... 21

4.0.2 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………………........ 23

4.0.3Teknik Analisis Data ……………………………………………………………...... 23

4.0.4 Koefisien Determinan.................................................................................................. 23

4.1 Metode Penelitian Kualitatif................................................................................................... 25

4.1.1 Penentuan Informan.................................................................................................... 25

4.1.2 Teknik Wawancara...................................................................................................... 25

4.1.3 Teknik Observasi......................................................................................................... 25

4.1.4 Studi Kasus.................................................................................................................. 26

4.1.5 Teknik Analisis Data.................................................................................................. . 26

4.2 Catatan Penelitian................................................................................................................... 26

BAB V Model Implementasi E-Procurement..................................... ……………………......... 31

5.0Pengantar.....................………………………………………………................................... 31

5.1Deskripsi Lokasi Penelitian.................................................................................................... 32

5.1.0 Lokasi dan Wilayah Kota Medan................................................................................. 32

5.1.1 Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai....................................................... 33

5.1.2 Lokasi dan Wilayah Kota Binjai.................................................................................. 33

5.1.3 Dasar Hukum Terbentuknya ULP Barang/Jasa di Tiga Lokasi Penelitian.................. 33

5.1.4 Dasar Hukum Terbentuknya LPSE di Tiga Lokasi Penelitian..................................... 34

5.2 Interpretasi dan Analisis Data................................................................................................ 35

5.3 Perubahan Terbaru Regulasi Pengadaan............................................................................... 42

5.4Organisasi Pengadaan ……………………………………………….................................... 44

Page 6: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

6

5.4.0Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran....................................................... 44

5.4.1Pejabat Pembuat Komitmen........…………................................................................ 45

5.4.2Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan.............................................................. 47

5.4.3 Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan................................................................... 50

5.5Kebijakan e-Procurement Sebuah Reformasi Di Bidang Pelayanan……………..…........... 51

5.6 Pokja ULP dan PPK: Posisi Strategis di Era Keterbukaan?...……….................... .............. 53

5.7 Kebijakan e-Procurement: Sebuah Pandangan Pesimistis Dari Penyedia?.................... 58

5.8Transparansi dalam Implementasi E-Procurement di Provinsi Sumatera Utara.............66

5.9 E-Procurement di Dinas Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara.............................. 85

5.9.0 E-Tendering.......................................................................................................... 86

5.9.1 E-Purchasing......................................................................................................... 87

5.9.2 Pengadaan Langsung............................................................................................. 91

5.9.3 E-Procurement di Dinkes Kabupaten/Kota........................................................... 92

BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA……………....................................................... 102

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................................... 103

7.0 Kesimpulan.................................................................................................................................. 103

7.1 Saran............................................................................................................................................ 107

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………............ 109

LAMPIRAN

Page 7: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

7

DAFTAR TABEL

Tabel 1.0 Peta Jalan Penelitian..................................................................................... 18

Tabel 4.0 Instansi/Bagian Responden.......................................................................... 21

Tabel 4.1 Kota/Kabupaten Responden......................................................................... 21

Tabel 4.2 Jabatan Responden....................................................................................... 22

Tabel 4.3 Frekuensi Mengikuti Diklat.......................................................................... 22

Tabel 4.4 Usia Responden............................................................................................ 22

Tabel 4.5 Pendidikan Responden.................................................................................. 22

Tabel 5.0 Memahami Secara Umum Inti Perpres No. 54 Tahun 2010......................... 36

Tabel 5.1 Memahami Pasal Demi Pasal Perpres No. 54 Tahun 2010.......................... 36

Tabel 5.2 Penafsiran dan Pemahaman yang Berbeda Dari Pelaksanaan Perpres.......... 37

Tabel 5.3: Infrastruktur Dalam Mendukung Kegiatan E-procurement........................... 37

Tabel 5.4 Penguasaan SDM Terhadap TI Berbasis Komputer...................................... 38

Tabel 5.5 Kekhawatiran Untuk Memiliki Sertifikasi Pengadaan.................................. 38

Tabel 5.6 Transparansi Pada Sistem Pengadaan Secara Elektronik.............................. 39

Tabel 5.7 Transparansi Pada Sistem Pengadaan Barang/Jasa...................................... 39

Tabel 5.8 Regulasi Tentang Pengadaan Barang/Jasa Yang Jelas................................. 40

Tabel 5.9 Infrastruktur Pengadaan Barang/Jasa Yang Memadai.................................. 40

Tabel 5.10 Pentingnya Peran Penyelenggara Pengadaan............................................... 41

Tabel 5.11 Model Summary............................................................................................. 41

Page 8: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

8

DAFTAR BAGAN

Bagan 4.0 Tahapan Penelitian Tahun Kedua................................................................ 24

Bagan 5.0 Struktur Organisasi LPSE........................................................................... 34

Bagan 5.1 Perangkat ULP............................................................................................ 47

Bagan 5.2 Struktur Organisasi Pengadaan Melalui Penyedia Barang/Jasa.................. 50

Page 9: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

9

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.3 Alur Proses Rekanan Melalui Sistem LPSE.................................... 58

Gambar 5.4 LPSE Kota Medan: Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS........... 68

Gambar 5.5 Informasi Lelang di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai................. 70

Gambar 5.6 Hasil Evaluasi Peserta Lelang di LPSE Kota Medan....................... 71

Gambar 5.7 Harga Penawaran di LPSE Kota Medan........................................... 72

Gambar 5.8 Informasi Pemenang Lelang di LPSE Kota Medan.......................... 73

Gambar 5.9 Regulasi Berkaitan Dengan e-Procurement di LPSE Kota Binjai.... 75

Gambar 5.10 Pengumuman Pengadaan di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai...... 76

Gambar 5.11 Pengumuman Pemenang Lelang........................................................ 78

Gambar 5.12 Tahap Lelang Saat Ini........................................................................ 79

Gambar 5.13 Jumlah Peserta/Penyedia Yang Mengikuti Lelang............................ 81

Gambar 5.14 E-Catalogue Obat Pemerintah........................................................... 88

Gambar 5.15 Ruang LPSE Pemerintah Kota Medan.............................................. 95

Gambar 5.16 Ruang LPSE Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai..................... 95

Gambar 5.17 Ruang LPSE Pemerintah Kota Binjai................................................ 96

Page 10: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

10

DAFTAR LAMPIRAN

1. Biodata Peneliti

2. Artikel 1

3. Artikel 2

4. Pedoman Wawancara

5. Angket/Kuesioner

6. Variabel X dan Variabel Y

7. Surat pengantar penelitian dari Lembaga Penelitian USU

8. Surat rekomendasi penelitian dari Litbang Pemko Medan

9. Surat izin penelitian dari Pemko Binjai

10. Surat izin penelitian dari Pemkab Serdang Bedagai

11. Surat undangan seminar hasil penelitian dari Bappeda Pemkab Serdang Bedagai

12. Academic Paper Acceptance Letter

13. Surat pernyataan ketua peneliti/pelaksana

14. Surat keterangan selesai penelitian dari Litbang Pemko Medan

15. Surat keterangan selesai penelitian dari Pemkab Serdang Bedagai

16. Surat keterangan selesai penelitian dari Pemko Binjai

17. Dokumentasi hasil ekspose penelitian di Bappeda Serdang Bedagai

Page 11: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

11

BAB I

PENDAHULUAN

1.0 Latar Belakang Penelitian

Pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat

dikatakan merupakan kegiatan penting dari suatu pemerintahan. Karena melalui

pengadaan barang/jasa maka pembangunan sarana dan prasarana dari suatu negara dapat

terpenuhi. Mengingat pentingnya hal ini, maka kegiatan pengadaan barang/jasa perlu

dilaksanakan lebih efektif dan efisien, mengutamakan penerapan prinsip-prinsip

persaingan usaha yang sehat, transparan, dan berlaku adil bagi semua pihak. Harapan ini

tidak berlebihan mengingat jumlah pengadaan barang/jasa di lembaga-lembaga

pemerintah rata-rata mencapai 15%-30% dari Gross Domestic Product (GDP), sebuah

angka yang besar.

Persentase yang besar dari pengadaan barang/jasa ini tidak dapat dihindari

menjadi peluang terjadinya korupsi di sektor pengadaan barang/jasa dan terbukti

mendominasi kasus-kasus korupsi lainnya di Indonesai yakni sebesar 61% (Penelitian

Pusat Kajian dan Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013)1. Proses

pengadaan barang/jasa juga merupakan kasus dugaan korupsi yang paling banyak diusut

dan ditangani oleh institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 96 kasus

atau mencapai 40.9 % sejak tahun 2004 hingga 20112. Sementara berdasarkan kajian

Indonesia Corruption Watch, pelaku korupsi pengadaan barang/jasa ini berasal dari

berbagai kalangan baik swasta, kepala dinas, bupati dan kepala daerah seperti gubernur3.

Mengingat rawannya bidang pengadaan barang/jasa ini terhadap perekonomian

negara maka dilakukan reformasi di bidang pengadaan dari sistem yang manual ke sistem

pengadaan secara elektronik (e-procurement). Pengadaan barang/jasa secara manual ini

mempertemukan langsung pihak-pihak yang terkait dalam pengadaan yakni panitia

pengadaan dan penyedia barang/jasa. Pertemuan-pertemuan antara panitia pengadaan dan

penyedia ini tidak dapat dipungkiri menimbulkan praktek-praktek korupsi, kolusi dan

nepotisme. Sementara melalui sistem e-procurement intensitas pertemuan antara panitia

1 http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-barang-dan-jasa/.

Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.15 WIB. 2http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/. Diakses 19 April

2013, Jam 21.00 WIB. 3http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-dominasi-kasus-

korupsi-di-2013. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.44 WIB.

Page 12: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

12

pengadaan dan penyedia dapat diminimalisir sehingga penyimpangan yang sering

mewarnai proses pengadaan barang/jasa dapat ditekan atau bahkan dicegah.

Tujuan dari pelaksanaan e-procurement salah satunya adalah mewujudkan

transparansi dan efisiensi dalam pengadaan (Perpres No. 4 Tahun 2015). Kota Surabaya

sebagai salah satu best practices dalam pelayanan publik menempatkan sistem

implementasi e-procurement sebagai best practice yang inovatif, bertujuan untuk

meningkatkan efektifitas, efisiensi dan transparansi proses pengadaan barang dan jasa.

Implementasi e-procurement ini berhasil menghemat 20-30% anggaran untuk pelayanan

publik(Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia, 2003)4.

Sementara di Kementerian Keuangan RI, pelaksanaan e-procurement berhasil

menghemat anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan menjamin keterbukaan.

Kontribusi penghematan anggaran diperoleh sampai 18.4% pada tahun 20095.

Selanjutnya pengadaan barang/jasa di Kementerian Perhubungan tahun 2015 dengan nilai

pagu sebesar Rp 1,4 triliun, sementara nilai transaksinya Rp 1,17 triliun. Ini artinya ada

penghematan Rp 230 miliar.6

Namun sebenarnya best practices dari pelayanan e-government di Indonesia

masih sangat kurang. Banyak faktor yang menyebabkan, seperti belum memadainya

kapasitas SDM pengelola teknis, keterbatasan infrastruktur pendukung, lemahnya

regulasi dan kelembagaan, terbatasnya dukungan anggaran pemerintah, serta rendahnya

komitmen dan keseriusan dari para pemimpin di berbagai level pemerintahan7. Masalah

yang hampir sama ditemukan pada implementasi e-procurement di Indonesia, seperti

belum adanya ketegasan tentang peraturan hukum yang menjadi payung hukum dari

proses e-procurement sehingga standar baku mengenai tata kelola proses e-procurement

baik dari segi rantai birokrasi, waktu, penggunaan teknologi informasi dan sumber daya

manusia belum ada. Selain itu, komitmen pimpinan tertinggi maupun jajaran di tingkat

menengah masih rendah akibat kurangnya dukungan politik yang pada akhirnya memicu

pada merebaknya korupsi di bidang pengadaan barang/jasa. Terakhir, tantangan dari

4Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA). 2014.

5Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009.

6http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614. Diakses 16 Juni 2015, Jam 15.20 WIB.

7Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan

Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-UGM, MAP-

UGM. Yogyakarta.

Page 13: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

13

panitia pengadaan, penyedia, legislatif dan infrastruktur yang sangat terbatas, seperti

mahalnya biaya internet tidak dapat diremehkan juga8.

Sementara, di beberapa negara EU pelaksanaan e-procurement tidak lepas dari

berbagai permasalahan. Studi terhadap transparansi e-procurement menemukan data

diterbitkan dalam bentuk pdf dan html bukan dalam bentuk database. Ini artinya data

tersedia dalam berbagai volume buletin yang terpisah sehingga sulit untuk menelusuri

fase-fase dalam procurement. Di Hungaria publik harus membuka setiap buletin jika

ingin mengetahui berapa tender yang dimenangkan, berapa nilai tender dan apakah nilai

tender telah sesuai dengan kontrak. Di Czechs transparansi dalam e-procurement masih

terbatas, hal ini dapat dilihat dari ketiadaan statistik dan ringkasan dari procurement serta

informasi mengenai justifikasi pemenang di website, namun data atau informasi dapat

diperoleh secara individual. Baik di Polandia maupun di Czech modifikasi kontrak tidak

diterbitkan, tetapi dapat diminta oleh siapa saja yang ingin mengetahui. Slovakia

merupakan negara yang menyelenggarakan e-procurement sangat transparan yaitu

dengan menayangkan update data dalam format yang mudah untuk diproses. Tersedia

juga database online yang menyediakan informasi mengenai seluruh kontrak yang telah

disepakati (Lederer, 2012)9.

Kebijakan e-procurement di Indonesia diawali dengan keluarnya Keputusan

Presiden (Kepres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah. Beberapa tahun kemudian, diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menandakan Keppres

Nomor 80 Tahun 2003 beserta Perubahannya resmi dicabut dan tidak berlaku efektif

mulai tahun 2011. Tidak lama berselang, terbit Perpres Nomor 35 Tahun 2011 yang

merupakan Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selanjutnya dilakukan perubahan kedua dan ketiga

yakni Perpres Nomor 70 Tahun 2012 dan Perpres No. 172 Tahun 2014. Kemudian diawal

tahun 2015, keluar Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

dan Penjelasannya yang telah diundangkan pada tanggal 16 Januari 2015. Perubahan

peraturan beberapa kali ini bertujuan untuk kesempurnaan kebijakan ini karena di masa

yang akan datang, semua belanja pemerintah dilakukan dengan menggunakan elektronik.

8http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-pelayanan publik-

541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15. 9Lederer, 2012.

Page 14: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

14

Namun setelah berjalan lebih dari satu dekade, kegiatan pengadaan secara elektronik ini

belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, masih ditemukan praktek-praktek korupsi,

kolusi dan nepotisme sebagaimana disebutkan diawal.

Sementara kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik baru dimulai pada

tahun 2011 di Pemerintah Kota Medan dan Kabupaten Serdang Bedagai serta tahun 2013

di Kota Binjai sehingga menarik untuk diteliti. Kajian mengenai model implementasi

kebijakan e-procurement ini menjadi semakin mendesak dan relevan karena tuntutan dan

kebutuhan pengadaan secara elektronik yang terus meningkat ditengah perbedaan

karakteristik Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai serta

keterbatasan dinamika birokrasi lokal. Selain itu penelitian ini menggunakan studi kasus

untuk dapat melihat kasus-kasus yang berkaitan dengan proses dan transparansi

pengadaan barang/jasa secara elektronik yang terjadi di Dinas Kesehatan Kota Medan,

Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kasus-kasus ini cukup kompleks dan riskan

karena menyangkut banyak pihak dan anggaran yang besar. Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dipilih menjadi lokasi dari studi kasus ini karena instans ini

bertanggungjawab di bidang kesehatan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar

masyarakat di tingkat kabupaten/kota.

Salah satu tujuan dari pelaksanaan e-procurement adalah mewujudkan

transparansi dan efisiensi dari pengadaan barang/jasa. Namun sebagaimana dijelaskan di

atas, dari hasil beberapa survey di Indonesia, efisiensi dari penggunaan e-procurement

lebih banyak didiskusikan dari pada tujuan lainnya seperti transparansi. Sementara dari

hasil penelitian tahun pertama ada hubungan antara model implementasi kebijakan e-

procurement dan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Medan, Kota

Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai10

. Ini artinya salah satu cara mewujudkan

transparansi pengadaan barang/jasa adalah melalui landasan hukum, infrastruktur dan

sumberdaya manusia sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-procurement.

Namun penelitian tersebut tidak mencari seberapa besar pengaruh keduanya. Maka untuk

tujuan inilah penelitian tahun kedua ini dilakukan, selain dua tujuan lainnya yakni melihat

proses e-procurement dan transparansi pengadaan serta menjelaskan bekerjanya model

implementasi kebijakan e-procurement.

10

Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement

Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”.

Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.

Page 15: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

15

Penelitian ini menjadi lebih menarik karena model implementasi kebijakan e-

procurement dilihat dari faktor-faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya

manusia yang benar-benar berasal dari kondisi real di Pemerintah Kota Medan, Kota

Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya yang menggunakan model implementasi kebijakan yang berasal dari negara-

negara barat yang belum tentu sesuai dengan kondisi real kabupaten/kota di Indonesia

khususnya di Provinsi Sumatera Utara, serta beberapa penelitian mengenai e-

procurement yang fokus kajiannya pada teknologi informasi.

1.1 Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1.1.1 Seberapa besar pengaruh landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia

secara bersama-sama sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-

procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Provinsi

Sumatera Utara, Indonesia?

1.1.2 Bagaimana proses e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun

metode e-purchasing di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera

Utara, Indonesia?

1.1.3 Bagaimana proses e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan

barang/jasa dilihat dari model implementasi kebijakan di Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia?

Page 16: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

16

BAB II

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT

DAN TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

2.0 Implementasi Kebijakan Sebagai Sebuah Model

Dalam proses kebijakan publik, implementasi merupakan tahapan yang paling

penting karena merupakan sebuah tahapan dimana alternatif yang telah ditetapkan

diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Hal ini karena implementasi kebijakan

merupakan rantai yang menghubungkan antara formulasi kebijakan dan hasil (outcome)

kebijakan yang diharapkan. Dengan demikian tanpa adanya implementasi, suatu

kebijakan akan sia-sia karena hanya berupa konsep semata.

Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan

alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja

bersama-sama untuk menjalankan sebuah kebijakan guna meraih dampak atau tujuan

yang diinginkan.11

Karena implementasi dipandang sebagai sebuah alat maka didalam

pengimplementasian suatu kebijakan terdapat beberapa variabel atau faktor yang

menentukan pencapaian dari tujuan kebijakan tersebut. Keberadaan variabel-variabel atau

faktor-faktor ini dapat mendukung proses implementasi kebijakan namun sebaliknya

dapat pula menghambat pelaksanaan kebijakan. Karena banyak dan kompleksnya faktor-

faktor dalam implementasi kebijakan ini maka diperlukan sebuah model konseptual

(conceptual model) untuk membantu menganalisis atau mengevaluasi sehingga

implementasi kebijakan dapat mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya.

Menurut Thomas R. Dye (1972)12

“A model is a simplified representation of

some aspect of the real world.” Sementara Rendall B. Ripley (1985)13

mengatakan “The

major utility of any model is that it simplities complex reality in ways that can be readily

understood.” Melalui sebuah model, variabel-variabel atau faktor-faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan dapat disederhanakan sehingga mudah untuk

dipahami. Penyederhanaan ini penting karena dari begitu banyak variabel atau faktor,

sebenarnya tidak semua dominan mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan. Dengan

demikian suatu model hanya terdiri dari beberapa variabel atau faktor saja yang dominan

dapat mempengaruhi implementasi suatu kebijakan. Manfaat lain dari suatu model adalah

11

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. 12

Dye, Thomas R. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc. 13

Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall, Inc.

Page 17: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

17

dapat menunjukkan variabel atau faktor penting dari suatu implementasi kebijakan. Ini

memberikan kemudahan baik bagi pelaksana maupun perumus kebijakan untuk melihat

lebih fokus pada variabel atau faktor tersebut yang bisa saja membuat kebijakan tersebut

berhasil atau gagal diimplementasikan.

2.1 Bekerjanya Model Implementasi Kebijakan Publik

Tiga komponen dasar yang biasanya dimiliki oleh kebijakan publik, yaitu tujuan

yang hendak dicapai, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Cara

mencapai sasaran inilah yang disebut dengan implementasi kebijakan. Implementasi

kebijakan bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor individual maupun organisasional. Beragam

model telah dikaji oleh para ahli dalam melihat proses implementasi kebijakan publik.

Dalam setiap model implementasi masing-masing ahli menemukan faktor-faktor tertentu

yang saling berhubungan satu dengan lainnya dan mempengaruhi tujuan

implementasinya.Dengan demikian, perlu diketahui bagaimana faktor-faktor atau

variabel-variabel itu bekerja dalam sebuah model implementasi kebijakan.

Grindle memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan

administrasi. Model tersebut bekerja dengan menggambarkan proses pengambilan

keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran ditentukan oleh baik

materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan

dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses

pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses

administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti

pada tingkat program tertentu.

Sementara Van Meter dan Van Horn mengembangkan cara bekerjanya Model

Proses Implementasi Kebijakan. Keduanya berpendapat bahwa perubahan, kontrol dan

kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi.

Keduanya juga mengembangkan tipologi kebijakan menurut: jumlah perubahan yang

akan dihasilkan dan jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh

berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi, yang selanjutnya melahirkan

enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi.

Variabel pertama adalah standar dan sasaran kebijakan. Setiap kebijakan publik

harus mempunyai standar dan sasaran kebijakan yang jelas dan terukur supaya tujuan dari

suatu kebijakan dapat terwujud. Apabila standar dan sasaran kebijakan jelas akan

Page 18: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

18

membuat kebijakan tidak bias sehingga tidak terjadi multi-interpretasi ataupun

menimbulkan kesalahpahaman dan konflik diantara para agen implementasi. Variabel

kedua yaitu sumber daya. Pengimplementasian kebijakan perlu dukungan sumber daya,

baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya materi (material

resources) dan sumber daya metoda (method resources). Dari ketiga sumber daya

tersebut, yang paling penting adalah sumber daya manusia, karena disamping sebagai

subjek implementasi kebijakan juga termasuk objek kebijakan publik. Ketiga, hubungan

antar organisasi. Dalam banyak program implementasi kebijakan, sebagai realitas dari

program kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansi yang terkait. Komunikasi dan

koordinasi memegang peranan penting karena merupakan salah satu urat nadi dari sebuah

organisasi agar program-programnya dapat direalisasikan.Selain itu, variabel keempat

adalah karakteristik agen pelaksana. Implementasi kebijakan dapat mencapai

keberhasilan maksimal dengan cara mengidentifikasi karakteristik agen pelaksana yang

mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam

birokrasi. Hal ini berkaitan dengan variabel kelima yaitu disposisi implementor. Dalam

implementasi kebijakan, sikap atau disposisi implementor dibedakan menjadi tiga, yaitu

respon implementor terhadap kebijakan, kondisi yakni pemahaman terhadap kebijakan

yang telah ditetapkan dan intens disposisi implementor yakni preferensi nilai yang

dimiliki tersebut.Variabel terakhir adalah kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi.

Hal ini mencakup sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan

bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan apakah mendukung atau

menolak, bagaimana sifat opini publik dan apakah elite politik mendukung implementasi

kebijakan.

Model implementasi kebijakan e-procurement yang ditemukan pada penelitian

sebelumnya terdiri dari tiga variabel atau faktor14

.Landasan hukum sebagai faktor

pertama menunjukkan bahwa sebuah kebijakan memerlukan landasan hukum yang jelas

serta kelembagaan yang tetap. Sistem pengadaan secara elektronik ini dilandasi dengan

beberapa peraturan yang salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun

2015.Berlakunya sistem pengadaan secara elektronik juga memberikan kewajiban bagi

pemerintah daerah untuk membentuk Lembaga Pengadaan Sistem Elektronik (LPSE) dan

14

Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement

Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”.

Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.

Page 19: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

19

Unit Layanan Pengadaan (ULP) di daerah. Kedua lembaga ini berfungsi untuk

melancarkan proses pengadaan barang/jasa secara elektronik di daerah (kabupaten dan

kota). Faktor kedua dari model implementasi kebijakan e-procurement adalah

infrastruktur. Infrastruktur mencakup sarana dan prasarana seperti perangkat keras,

diantaranya server dan jaringan komunikasi serta piranti lunak. Penggunaan teknologi,

sistem dan prosedur yang baku, pengaturan jadwal dan waktu yang ketat merupakan hal

yang penting diketahui oleh semua pihak baik oleh penyedia maupun penyelenggara e-

procurement. Peranan infrastruktur amat dibutuhkan sebagai alat untuk mencapai tujuan

kebijakan. Faktor ketiga yaitu sumber daya manusia berkaitan dengan kapabilitas dan

budaya organisasi. Kapabilitas sumber daya manusia disini berhubungan dengan

penguasaan TI yang berbasis komputer, karena kegiatan e-procurement identik dengan

penggunaan TI. Selain itu diperlukan budaya organisasi yang adil, tidak diskriminatif dan

jauh dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) untuk memperlancar

kegiatan e-procurement.

Bekerjanya model implementasi kebijakan e-procurement ini mempengaruhi

terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa. Sementara model implementasi ini

bekerja tergantung pada tiga faktor tersebut. Kebijakan e-procurementyang lahir dari

suatu landasan hukum tidak dapat berfungsi optimal tanpa adanya infrastruktur yang

memperlengkapi pelaksanaan sistem pengadaan secara elektronik dansumber daya

manusia sebagai faktor penggerak kebijakan. Selanjutnya pemanfaatan teknologi yang

canggih harus diimbangi oleh kemampuan sumber daya manusia penyelenggara.

Karenanya, sumber daya manusia sebagai penyelenggara harus memiliki kemampuan TI

berbasis komputer yang handal. Apabila sumber daya penyelenggara sudah memiliki

kapabilitas dalam TI dan mampu menafsirkan peraturan dengan tepat, maka dapat

terbentuk budaya organisasi yang adil dan jauh dari praktek-praktek KKN.

2.2 Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Sebagai Tujuan Pelaksanaan

E-Procurement

Pengadaan secara elektronik (e-procurement) merupakan salah satu bentuk dari

pelayanan e-government. Definisi yang cukup sederhana dari e-procurement diberikan

oleh Van Weele (1994)15

yaitu “The use the Internet Tecnology in the process of

providing, that is, buying and selling of goods and sevices”. Sama dengan definisi diatas,

15

Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”. London. UK:

Chapman & Hall.

Page 20: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

20

Turban dkk (2006)16

mengatakan bahwa “e-procurement refers to the purchase of goods

and services for organizations”. Definisi berikutnya difokuskan pada implementasi e-

procurement di organisasi pemerintahan yang mengatakan “e-procurement refers to the

use of electronic communications and transaction processing by government institutions

and other public sector organisations when buying supplies and services or tendering

public works”.17

Beberapa pengertian e-procurement di atas sebenarnya tidak jauh

berbeda dengan pengertian e-government. Pelayanan yang dilakukan keduanya

menggunakan Teknologi Informasi (TI) yang berbasis komputer. Hanya bedanya e-

procurement fokus pada proses pengadaan, pembelian dan penjualan barang/jasa

sementara jangkauan e-government lebih luas karena menyangkut kategori publish,

interact dan transact.

Banyak alasan dan manfaat penggunaan e-procurement,Vaidyadkk (2006)18

mengatakane-procurement digunakan karena adanya tuntutan dari manajemen sektor

publik untuk transparan, efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan. E-

procurementjuga menjadi temaumum daribanyak organisasidi negara maju dan

berkembang untuk mempromosikan transparansidan good governance. Dalam hal inie-

procuremant dijadikan sebagai sebuah instrument dari reformasi sektor publik19

.

Sementara Mitchell (2000)20

mendefinisikan e-procurement dengan membandingkannya

dengan metode pengadaan yang tradisional dimana pengadaan secara elektroniklebih baik

karena dapat mengintegrasikan proses dari rantai pasokan yang masuk(darikonsumenke

pemasokdankembali lagike konsumen) denganlancar, waktu yang tepatdandapat

dilakukan secaraberulang-ulang.Sedangkan Kelman (1990)21

mengkategorikan tiga

karakteristik dalam sistem pengadaan barang dan jasa di organisasi pemerintah yakni

equity, integrity, economy and efficiency. Ekuitasyakni menyediakanakses yang adil bagi

16

Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A Managerial Perspective.

Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ. 17

E-Procurement of Golden Book and Good Practice, Final Report. 2013. This report was prepared for DG

MARKT by PwC EU Services EESV Contract reference: MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3

Project. 18

Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006. “Critical Factors that Influence e-Procurement

Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public Procurement, 6 (1&3), 70-99. 19

E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery. Report of the Expert

Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations

Headquarters, New York. 20

Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”. Government Finance Review. 16 (1),

9-12. 21

Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the Quality of

Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.

Page 21: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

21

penyedia; integritasyakniadanya kejujuran dalam proses pengadaan; ekonomi dan

efisiensiyakni mendapatkan hargaterendah dengan kualitas yang diinginkan.

Sebagaimana di jelaskan di atas banyak alasan dan tujuan dari pelaksanaan e-

procurement dan salah satu diantaranya adalah mewujudkan tranparansi. Transparansi

(transparency) itu sendiri adalah sebuah prinsip yang menjamin kebebasan bagi setiap

orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan baik itu

berkaitan dengan informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya

serta hasil-hasil yang dicapai. Dengan demikian adanya transparansi dapat menjadi entry

point bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang apa yang dilakukan

pemerintah. Selain itu, masyarakat juga dapat melakukan checks and balances terhadap

apa yang dilakukan pemerintah tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Clem (2010:

4)22

bahwa transparansi sebagai “Government should provide citizens with information

about what their government is doing so that government can be held

accountable.”Pengertian Clem di atas memberikan pemahaman yang sangat luas

terhadap makna transparansi, dimana pemerintahharus menyediakan informasi kepada

warga negara tentangapa yang pemerintah lakukan. Dengan demikian pemerintah dapat

mempertanggung jawabkan apa yang sedang dikerjakan.

Namun pemaknaan transparansi di lingkungan pemerintahan tidak seluas

pendapat Clem diatas. Memangmerupakan kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan

informasi ke publik tentang apa yang pemerintah lakukan, tetapi pemerintah juga

memiliki kategori informasi yang harus dirahasiakan dari masyarakat, seperti

menyangkut rahasia negara, informasi intelijen, membahayakan negara, kepentingan

perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi, rahasia jabatan

dan lainnya (Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik).

Sementara menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah Pasal 5 bahwa transparansi merupakan salah satu prinsip dari pengadaan

secara elektronik selain efisiensi, efektif, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan

akuntabel. Selanjutnya di Penjelasan Perpres No.54 tahun 2010 dikatakan bahwa

transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa

bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat

22

Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in

Association with Inside Knowledge.

Page 22: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

22

serta oleh masyarakat pada umumnya. Jadi tranparansi disini selain dimaknai agar

ketentuan dan informasi dapat diketahui secara luas oleh masyarakat umum tetapi juga

ketentuan dan informasi tersebut harus bersifat jelas. Pentingnya hal ini karena proses

pengadaan barang/jasa pemerintah menyangkut belanja negara yang menggunakan

keuangan negara.Karena itu proses pengadaan barang/jasa perlu dikelola dengan benar,

sehingga diperoleh barang/jasayang terjangkau dan berkualitas serta dapat

dipertanggung-jawabkan baik dari segifisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi

kelancaran tugas pemerintah danpelayanan masyarakat.

Berkaitan dengan penjelasan perpres diatas mengenai transparansi, maka

pendapat Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011)23

mengenai pengkategorian

tranparansi tepat digunakan untuk melihat transparansi di website LPSE terutama di

tingkat kabupaten/kota. Heald mengkategorikan tiga hal dalam membicarakan

transparansi yakni transparansi data, transparansi proses dan transparansi

keputusan/kebijakan. Transparansi data berhubungan dengan angka dan fakta-fakta

pemerintah, seperti biaya penyediaan (memproses data hingga mudah diakses dan

dipahami masyarakat); misinterpretasi data atau informasi; resiko terhadap

masyarakat/anonimitas. Transparansi proses berkaitan dengan ketersediaan informasi dari

berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan keputusan hingga produk

keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam proses jelas, menunjukkan

dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan menjelaskan mengapa

langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi keputusan atau kebijakan

menguraikan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan, dan/atau tindakan-tindakan

dan kebijakan pemerintah.

2.3 Pengaruh Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Terhadap

Transparansi Pengadaan Barang/Jasa

Transparansi (transparency) dapat diartikan sebagai keterbukaan pemerintah

dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya

publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.Dengan demikian

pemerintahharus menyediakan informasi selengkap-lengkapnya kepada warga negara

tentangapa yang pemerintah lakukan. Karena hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban

23

Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of

Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization.

http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8.

Page 23: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

23

pemerintah kepada masyarakat atau warga negaranya.Berkaitan dengan transparansi

pengadaan barang/jasa beberapa pertanyaaan yang perlu dan sering diajukan, yaitu: What

is being procured?Who is eligible to bid?How to bid?What are the evaluation

criteria?Who has got the award?At What cost?What is the quality of

work/product/service?24

Namun ada beberapa hal yang tidak bisa dipertanyakan atau

tidak bisa dibuka kepada masyarakat umum. Hal ini sejalan dengan Pasal 17, Undang-

Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Di Indonesia pentingnya prinsip transparansi dapat dilihat dalam azas-azas

umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur oleh UU No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Selain itu dalam UU No. 14

Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang merupakan regulasi yang

strategis guna mewujudkan demokratisasi dalam kerangka menuju kesejahteraan rakyat.

Dalam regulasi ini, negara harus membuka diri terhadap hak masyarakat untuk

memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai

penyelenggaraan negara. Hal ini berarti setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat

diakses oleh setiap pengguna informasi publik. Jadi semua pengelolaan badan-badan

publik, dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan, wajib dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Akses terhadap informasi ini akan

menimbulkan partisipasi masyarakat sebagai penerima pelayanan publik. Dengan

demikian transparansi berkaitan dengan hak sebagai warganegara.

Tujuan utama transparansi dalam konteks pengadaan barang/jasa ialah agar

semua pihak yang ambil bagian dalam kegiatan ini bisa mendapatkan informasi yang

jelas untuk mengetahui cara, sarana dan proses yang diperlukan untuk mendefinisikan

kontrak, syarat-syarat memenangkannya dan mengurusnya.25

Transparansi membuka

akses ke informasi agar ada persaingan yang fair dan memungkinkan pengawasan

berjalan efektif. Karena itu transparansi dalam pengadaan barang/jasa publik menuntut

lima syarat:

1. Tersedianya akses ke informasi yang berkaitan dengan aturan-aturan dan prosedur-

prosedur serta kesempatan mengikuti pengadaan barang/jasa.

24

http://himachaldit.gov.in/file.axd?file=2010%2F5%2Fe-ProcurementConcepts.pdf. Diakses 22 April

2013. Jam 20.00. 25

OECD, 2007: Integrity in Public Procurement dalam Haryatmoko. 2011. “Etika Publik”. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Page 24: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

24

2. Informasi harus jelas, konsisten dan relevan sehingga calon penyedia dan kontraktor

memahami proses pengadaan barang/jasa secara baik, tidak merasa dipermainkan

dan memperoleh jaminan perlakuan yang adil. Informasi yang jelas akan menjamin

tingkat persaingan penyedia dan menghindarkan kolusi.

3. Standardisasi proses yang memungkinkan kontrol kebijakan melalui benchmark.

Melalui benchmark, keputusan-keputusan bisa dibandingkan sehingga memudahkan

kontrol internal dan melacak pelanggaran atau penyimpangan dari praktek yang

normal.

4. Keputusan-keputusan penting didalam pengadaan barang/jasa terdokumentasi

dengan baik dan mudah diakses. Semua keputusan dalam setiap tahap tender harus

dicatat untuk memudahkan audit atau pemeriksaan publik. Catatan-catatan ini

disimpan sampai beberapa tahun kedepan setelah penentuan pemenang kontrak

sehingga bila terdapat revisi dari keputusan-keputusan pemerintah maka

memungkinkan untuk melakukannya.

5. Penerapan sistem teknologi informasi dalam e-procurement menjadi alat

transparansi. Penggunaan sistem ini dapat memudahkan pekerjaanmengaudit, yang

sangat bermanfaat untuk membuat revisi dan evaluasi kebijakan pengadaan

barang/jasa. Dengan demikian penggunaaan sistem ini menjamin semua aktivitas

pengadaan barang/jasa sesuai dengan perencanaan dan budget, serta semua informasi

yang diperlukan tersedia dan bisa dilacak.

Menurut OECD dalam Fighting Corruption and Promotion Integrity in Public

Procurement (2005)26

agar pengadaan barang/jasa berkualitas harus ada persaingan antar

penyedia. Cara untuk menarik minat banyak penyedia, maka aturan dan prosedur harus

terbuka dan adil. Tiga cara yang dapat dilakukan untuk menarik minat sebanyak

mungkin penyedia sehingga tercipta persaingan dalam kegiatan e-procurement.

Pertama, pemerintah mengumumkan persaingan terbuka melalui publikasi di

media atau pemberitahuan online. Perubahan atau perbaikan kontrak harus dengan alasan

yang bisa dibenarkan dan ditulis untuk memudahkan audit. Selain itu, komunikasi antara

pemerintah dengan calon penyedia harus dibangun untuk menumbuhkan saling percaya.

Kedua, pemerintah menetapkan statuta dan regulasi yang dirancang dengan standar yang

sama. Aturan dan prosedur baik itu berkaitan dengan metode tender, spesifikasi, kriteria

seleksi, keputusan pemenang tender, serta alasan-alasan mengapa peserta lain kalah

26

Haryatmoko. 2011. “Etika Publik”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Page 25: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

25

dalam tender, termasuk penyingkapan kepentingan pribadi pejabat publik. Selain itu

standar yang sama juga dituntut kepada semua calon penyedia seperti memiliki sumber

daya finansial yang memadai, mempunyai catatan kinerja yang baik di masa lalu, catatan

integritas yang memuaskan dan menerapkan etika bisnis. Ketiga, sebelum berlaku efektif,

aturan-aturan ini harus dipublikasikan lebih dulu untuk mendapatkan masukan atau

perbaikan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Menjamin agar revisi tidak memihak,

maka lembaga independen diminta memberi masukan dan koreksi. Setelah revisi

dilakukan, baru aturan-aturan ini bisa diberlakukan.

Sementara Haryatmoko (2011) berpendapat bahwa transparansi pengadaan

barang/jasa membutuhkan pejabat publik yang kompeten. Pejabat publik ini haruslah

secara khusus mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa dan

meniti karier di bidang pengadaan. Karena itu pemerintah harus menjamin agar pejabat

publik memenuhi tuntutan kompetensi ini yakni menguasai seluk-beluk pengadaan

barang/jasa, termasuk didalamnya memiliki integritas pribadi. Selain itu insentif dan

kondisi yang baik dalam hal gaji, bonus, jenjang karier serta pengembangan diri perlu

dijamin. Dengan jaminan seperti ini dimaksudkan agar yang mengemban jabatan itu

sungguh seorang profesional. Karena pengadaan barang/jasa membutuhkan tenaga

profesional yang kompeten baik secara teknis, leadership maupun etis.

Salah satu cara mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah

adalah dengan tersedia dan bekerjanya faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber

daya manusia sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-procurement.

Implementasi kebijakanmerupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup semua

interaksi dari ketiga faktor tersebut. Landasan hukum mengenai e-procurement yang

jelas dan tidak berubah-ubah memudahkan pegawai (sumber daya manusia) untuk

memahaminya. Selain itu penguasaan sumberdaya manusia terhadap teknologi informasi

serta integritas yang kuat terhadap pekerjaan dapat memudahkan pegawai untuk

melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik.

Selanjutnya keterkaitan antara faktor-faktor dari model implementasi kebijakan

e-procurement ini mempengaruhi transparansi pengadaan barang/jasa.27

Ini artinya

transparansi akan terwujud bila landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia

termasuk kapabilitas dan budaya organisasi secara keseluruhan sebagai sebuah model

27

Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement

Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”.

Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumater Utara.

Page 26: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

26

implementasi kebijakan tersedia dan bekerja dengan optimal. Landasan hukum berupa

aturan main dalam pengadaan secara elektronik dan peraturan berkaitan dengan

pembentukan institusi teknik harus jelas. Kapabilitas sumber daya manusia yang

menguasai TI dan budaya organisasi yang terbuka, adil dan bebas dari praktek-praktek

korupsi, kolusi dan nepotisme serta siap menerima keberadaan e-procurement dan

ketersediaan infrastruktur dalam menunjang kebijakan e-procurement. Sebaliknya bila

ketiga faktor ini tidak tersedia dan bekerja dengan optimal maka sulit mewujudkan salah

satu tujuan dari pelaksanaan e-procurement yaitu transparansi pengadaaan barang/jasa

pemerintah.

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian.

Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang

relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan

data28

. Hipotesis yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut:

a. Hipotesis nol (Ho)

Tidak ada pengaruh ketiga faktor secara bersama-sama sebagai sebuah model

implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa

pemerintah di Provinsi Sumatera Utara.

b. Hipotesis Kerja (Ha)

Ada pengaruh ketiga faktor secara bersama-sama sebagai sebuah model

implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa

pemerintah di Provinsi Sumatera Utara.

2.5 Definisi Konsep

Menurut Singarimbun (1995: 33)29

, konsep adalah abstraksi mengenai suatu

fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian,

keadaan, kelompok atau individu tertentu yang menjadi pusat perhatian. Dengan

demikian untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang diteliti,

maka perlu pendefinisian dari konsep tersebut:

28

Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta. 29

Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Surve. 2006. Jakarta: LP3ES.

Page 27: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

27

1. Model implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari landasan hukum,

infrastruktur dan sumber daya manusia berkerja dengan saling mempengaruhisatu

dengan lainnya dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara

elektronik.

2. Transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah adalah sebuah keterbukaan dalam

pelayanan pengadaan barang/jasa pemerintah yang terdiri dari transparansi data,

transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan.

2.6 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan

bagaimana cara mengukur suatu variabel, sehingga dalam pengukuran ini dapat diketahui

indikator-indikator apa saja yang melekat dalam variabel tersebut. Dalam penelitian ini

terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y).

1. Model implementasi kebijakan e-Procurement (Variabel Bebas (X)), dengan tiga

dimensi: landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia. Ketiga dimensi ini

dielaborasi menjadi beberapa indikator, sebagai berikut:

a. Pemahaman dan penerapan regulasi mengenai pengadaan barang/jasa

pemerintah.

b. Peranan dan ketersediaan infrastruktur dalam pelaksanaan e-Procurement.

c. Kualitas dan kuantitas SDM sebagai penyelenggara e-Procurement.

d. ULP dan LPSE sebagai lembaga penyelenggaran e-Procurement

e. Penting dan sulitnya RUP dalam implementasi pengadaan barang/jasa

pemerintah.

f. Sertifikasi pengadaan sebagai salah satu syarat penyelenggara pengadaan

barang/jasa pemerintah.

g. Penyetaraan gender dalam keanggotaan Pokja.

h. Hambatan pengadaan barang/jasa pemerintah.

2. Transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah (Variabel Terikat (Y)),

dengan tiga dimensi: tranparansi data, proses dan keputusan/kebijakan. Ketiga

dimensi ini dielaborasi menjadi beberapa indikator penelitian, sebagai berikut:

a. Pemahaman sistem pengadaan secara elektronik dalam menciptakan

transparansi.

b. Dampak transparansi bagi penyelenggara dan penyedia.

Page 28: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

28

c. Manfaat transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

d. Prasyarat mewujudkan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah.

e. Transparansi data dan informasi.

f. Transparansi dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.

g. Transparansi pengambilan keputusan pemenang dalam pengadaan barang/jasa

pemerintah.

2.7 Peta Jalan Penelitian

Beberapa penelitian mengenai e-procurement sudah dilakukan baik di dalam

maupun luar negeri, diantaranya:

Tabel 1.0

Peta Jalan Penelitian

Tahun Judul/Peneliti/Jurnal Hasil

2006 Critical Factors That Influence E-

procurement Implementation Success

in The Public Sector

(Kishor Vaidya, ASM Sajeev, Guy

Callender,Journal of Public

Procurement, Volume 6, Issues 1 &

3, 70-99).

Implementation Perspectives: Organization &

Management, Practices & Processes, Systems &

Technology.

2009 Studi Penerapan E-procurement Pada

Proses Pengadaan di Pemerintah

Kota Surabaya (Wahyu Hary Wijaya,

Retno Indryani, Yusronia Eka Putri;

Master Paper ITS).

Ada pengaruh antara variabel pemusatan

manajemen yang lebih baik, menciptakan proses

pengadan yang bersih transparan dan dapat

diterima, dan meningkatkan kepuasan klien dan

variabel mengurangi biaya per tenderdan

mengurangi waktu proses pengadaan.

2009 Persepsi Pengguna Layanan

Pengadaan Barang dan Jasa Pada

Pemerintah Kota Yogyakarta

Terhadap Implementasi Sistem E-

procurement (Ika Akyuna

Nightisabha, Djoko Suhardjanto,

Bayu Tri Cahya; Jurnal Siasat

Bisnis).

Ada perbedaan persepsi antara panitia

pengadaan barang/jasa dan penyedia

barang/jasa. Sehingga e-procurement dikatakan

tidak berhasil.

2012 E-procurement: Myth or Reality?

(Clifford Mc Cue and Alexandru

V.Roman; Journal of Public

Procurement, Volume 12, Issue 2,

212-238).

Public procurement has not yet led to significant

transformative changes. Unsuitability of

software platforms, organizational resistance,

lack of strategic systems’ integration and failure

to involve public procurement professionals in

the design of e-procurement systems were

identified as the primary obstacles of effectively

Page 29: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

29

implementing digital Procurement.

2012 E-procurement Dalam Pengadaan

Barang dan Jasa Untuk Mewujudkan

Akuntabilitas di kota Yogyakarta

(Kodar Udoyono; Jurnal Studi

Pemerintahan Volume 3 Nomor 1

Februari).

Dimensi pertama fisibilitas dalam pengadaan

barang/jasa: regulatif, teknokratis dan

administratif, politik, dan kebutuhan masyarakat.

Kedua, dimensi akuntabilitas dalam pengadaan

barang/jasa: regulatif, politik, dan keuangan.

Jadi, implementasi E-procurement di kota

Yogyakarta fisibel tapi tidak akuntabel.

2014 Model Implementasi Kebijakan E-

procurement di Pemerintah Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten

Serdang Bedagai.

Tiga faktor dari model kebijakan e-

procurement di Pemerintah Kota Medan,

Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagaiyaitu landasan hukum, infrastruktur

dan sumber daya manusia.

Implementasi model kebijakan e-procurement

di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagaiyang

menghasilkan proses „hybrid‟ dari kebijakan

e-procurement.

Hambatan pelaksanaan model kebijakan e-

procurement tersebut di Kota Medan, Kota

Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.

2015 Model Implementasi Kebijakan E-

procurement di Pemerintah Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten

Serdang Bedagai.

Seberapa besar pengaruh landasan hukum,

infrastruktur dan sumber daya manusia secara

bersama-sama sebagai sebuah model

implementasi kebijakan e-procurement

terhadap transparansi pengadaan barang/jasa

pemerintah di Sumatera Utara?

Bagaimana proses e-procurement baik dengan

metode e-tendering maupun metode e-

purchasing di Dinkes Kabupaten/Kota,

Sumatera Utara?

Bagaimana proses e-procurement dalam

mewujudkan transparansi pengadaan

barang/jasa dilihat dari model implementasi

kebijakan di Dinkes Kabupaten/Kota,

Sumatera Utara?

2016 Model Implementasi Kebijakan E-

procurement di Pemerintah Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten

Serdang Bedagai.

Evaluasi dari model implementasi kebijakan

e-procurement tersebut di Pemerintah Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai.

Perbandingan model implementasi kebijakan

e-procurement di tiga lokasi penelitian.

Catatan: Kolom yang diarsir abu-abu muda (2014) sudah dilakukan penelitian, sementara

kolom yang diarsir abu-abu tua (2015) merupakan peta penelitian yang akan

diteliti. Tahun 2016 adalah peta yang direncanakan untuk diteliti.

Page 30: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

30

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.0 Tujuan Penelitian

3.0.1 Menganalisis pengaruh landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia

secara bersama-sama sebagai sebuah model implementasi kebijakan e-

procurementterhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Provinsi

Sumatera Utara.

3.0.2 Menganalisis kegiatan e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun

metode e-purchasing di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera

Utara, Indonesia.

3.0.3 Menganalisis proses e-procurement dalam mewujudkan transparansi pengadaan

barang/jasa dilihat dari model implementasi kebijakan di Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

3.1 Manfaat Penelitian

3.1.1 Secara subyektif sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir

ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya

ilmiah berdasarkan kajian Ilmu Administrasi Publik.

3.1.2 Secara praktis hasil penelitian ini diharapakn menjadi masukan atau sumbangan

pemikiran bagi pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota) dalam

mengimplementasikan kebijakan e-procurement.

3.1.3 Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Ilmu

Administrasi Publik.

Page 31: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

31

BAB IV

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama dua tahun. Metode yang digunakan dalam

penelitian tahun pertama adalah kualitatif, sementara penelitian saat ini adalah penelitian

tahun kedua yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif.

4.0 Metode Penelitian Kuantitatif

Pertanyaaan penelitian nomor satu dari penelitian ini dijawab dengan

menggunakan metode kuantitatif yang tujuannya mencari besarnya pengaruh variabel

model implementasi kebijakan e-procurement terhadap variabeltransparansi pengadaan

barang/jasa. Penelitian ini berlokasi di Kantor Walikota Medan, Kantor Walikota Binjai

dan Kantor Bupati Serdang Bedagai serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di tiga lokasi

penelitian sebagai lokasi dari studi kasus penelitian ini.

4.0.1 Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan

diduga. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Karena jumlah populasi

tidak terlalu besar maka semua populasi dijadikan sampel penelitian. Populasi dalam

penelitian ini sebanyak 64 orang yang selanjutnya diberikan kesempatan untuk mengisi

angket penelitian. Namun angket yang kembali hanya 54 set sehingga n dalam penelitian

ini 54. Berikut karakteristik dari responden:

Tabel 4.0: Instansi/Bagian Responden

No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Bagian Administrasi Pembangunan 41 75.9

2 Bagian Perlengkapan dan Aset 13 24.1

T o t a l 54 100

Sumber : Angket, 2015

Tabel 4.1: Kota/Kabupaten Responden

No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Medan 24 44.4

2 Binjai 17 31.5

3 Serdang Bedagai 13 24.1

T o t a l 54 100

Sumber : Angket, 2015

Page 32: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

32

Tabel 4.2: Jabatan Responden

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Verifikator 4 7.4

2 Staf 21 38.9

3 Helpdesk 1 1.9

4 Penyusun Bahan Laporan 1 1.9

5 Sekretaris 4 7.4

6 Pengelola Pengadaan Barang/Jasa 1 1.9

7 Kepala ULP 2 3.7

8 Kasubbag Adpem dan Pengendalian 1 1.9

9 Ketua LPSE 1 1.9

10 Pokja ULP 18 33.3

T o t a l 54 100

Sumber : Angket, 2015

Tabel 4.3 : Frekuensi Mengikuti Diklat

No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Belum pernah 7 13.0

2 Satu kali 18 33.3

3 Dua kali 19 35.2

4 Tiga kali 2 3.7

5 Lebih dari tiga kali 8 14.8

T o t a l 54 100

Sumber : Angket, 2015

Tabel 4.4: Usia Responden

No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 20-30 tahun 18 33.3

2 31-40 tahun 22 40.7

3 41-50 tahun 9 16.7

4 51-60 tahun 5 9.3

T o t a l 54 100

Sumber : Angket, 2015

Tabel 4.5: Pendidikan Responden

No. Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 SMU 4 7.4

2 Diploma 9 16.7

3 S1 35 64.8

4 S2 6 11.1

T o t a l 54 100

Sumber : Angket, 2015

Page 33: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

33

4.0.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner (angket)

dan studi kepustakaan. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner bersifat terstruktur

dengan menggunakan daftar pertanyaan tertutup. Responden memilih salah satu jawaban

dari lima jawaban yang tersedia(Skala Likert). Skala Likert digunakan untuk mengukur

sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu fenomena

sosial.30

Pertanyaan dalam angket ini terdiri dari 20 buah untuk variabel bebas dan 20

buah untuk variabel terikat. Sebagai tambahan dari pertanyaan terstruktur tersebut maka

diberikan beberapa pertanyaan yang bersifat terbuka yang tujuannya untuk menjelaskan

jawaban responden atas pertanyaan terstruktur tersebut.

4.0.3 Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis kuantitatif dengan menggunakan

analisis regresi yang bertujuan untuk mendifinisikan hubungan matematis antara variabel

dependen (Y) dengan satu atau beberapa variabel independen (X) (Hair et al, 1995)31

.

Selanjutnya, dalam pengolahan data statistik digunakan program komputer SPSS

(Statistical Package for Social Sciences).

Uji F digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen. Atau untuk menguji apakah model regresi tersebut

baik/signifikan atau tidak baik/non signifikan. Uji F dapat dilakukan dengan

membandingkan F hitung dengan F tabel, jika F hitung > dari F tabel, (Ho di tolak Ha

diterima) maka pengaruh signifikan, hal ini juga ditandai dengan nilai kolom signifikansi

(%) < alpha. Sebaliknya jika pengaruh tidak signifikan. Jika pengaruh signifikan maka

bisa digunakan untuk prediksi/peramalan, sebaliknya jika non/tidak signifikan.

4.0.4 Koefisien Determinan

Koefisien determinan digunakan untuk mengetahui berapa persen besarnya

pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Perhitungan dilakukan dengan

mengkuadratkan nilai koefisien korelasi product moment (rxy) dan dikalikan dengan

100%.

30

Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”.Bandung: Alfabeta. 31

Hair et al.1995

Page 34: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

34

Bagan 4.0: Tahapan Penelitian Tahun Kedua

(Metode Kuantitatif dan Kualitatif)

Tahapan Kegiatan Keluaran

Faktor Model Implementasi

Kebijkan e-procurment Draft Pedoman Wawancara

Draft Temuan Lapangan Hasil Temuan Lapangan

Draft Analisis Hasil Temuan Hasil Penelitian:

Bekerjanya Model

Implementasi Kebijakan

Jurnal Kedua Dari Dua

Tahun Penelitian

Hasil Penelitian dari Metode

Kuantitatif dan Kualitatif

Indikator Variabel X dan

Variabel Y

Hipotesis diterima atau

ditolak

Penyebaran Angket

PengolahanData

Pengujian Hipotesis

Angket / Kuesioner

Transparansi Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah

Data

Penyajian Data

Hasil Penelitian: Besar Pengaruh

Model Implementasi Terhadap

Transparansi Pengadaan

Analisis dan Interpretasi Data

Model Implementasi Kebijakan e-

Procurement terdiri dari landasan

hukum, infrastruktur dan SDM

(Variabel X)

Hipotesis: Ho dan Ha

Page 35: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

35

4.1 Metode Penelitian Kualitatif

Pertanyaan penelitian nomor dua dan tiga dari penelitian ini dijawab dengan

menggunakan metode kualitatif. Peneliti mendeskripsikan secara terperinci tahapan-

tahapan dari e-procurement baik dengan metode e-tendering maupun metode e-

purchasing yang menggunakan e-katalog. Selain itu dideskripsikan juga pemahaman

partisipan terhadap transparansi dalam pengadaan barang/jasa secara elektronik.

Selanjutnya, peneliti menjelaskan bekerjanya model implementasi kebijakan e-

procurement di Dinkes Kabupaten/Kota di tiga lokasi penelitian.

4.1.1 Penentuan Informan

Informan dipilih berdasarkan kategori-kategori tertentu seperti pernah bekerja di

bidang yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa sebagai Ketua/Sekretaris Bagian

Administrasi Pembangunan/LPSE di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai, Ketua/Sekretaris ULP, Ketua/Anggota Pokja, PP, PPK dan

KPA di Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai baik yang mempunyai sertifikat pengadaan maupun tidak. Sementara untuk

kategori penyedia peneliti menetapkan penyedia yang pernah mengikuti paket lelang di

salah satu lokasi penelitian dan merupakan pengusaha lokal yang bernaung dalam sebuah

asosiasi pengusaha.

4.1.2 Teknik Wawancara

Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (in dept interview) kepada

informan yang berasal dari Bagian Administrasi Pembangunan/LPSE dan ULP di

Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai serta Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai lokasi dari studi kasus penelitian ini. Selain itu

wawancara mendalam dilakukan pada penyedia sebagai pengusaha yang mengikuti

kegiatan e-procurementdi salah satu lokasi penelitian. Dari hasil wawancara mendalam

didapat beberapa tema yang dianggap menarik untuk dianalisis (theme analysis).

4.1.3 Teknik Observasi

Observasi yang dilakukan peneliti sesuai dengan data yang dibutuhkan. Karena

itu, infrastruktur yang merupakan salah satu faktor dari model implementasi kebijakan e-

procurementmenjadi salah satu fokus observasi. Fokus observasi yang lain adalah website

LPSE, website LKPP, dan website e-katalog di bidang kesehatan dengan tujuan untuk

Page 36: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

36

melihat transparansi data, proses dan keputusan dari sistem e-procurement. Hasil

observasi ini selanjutnya dianalisis dengan analisis isi (content analysis).

4.1.4 Studi Kasus

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Kasus-kasus dalam kegiatan

e-procurement cukup kompleks karena melibatkan beberapa pihak dan cukup riskan di

lingkungan pemerintahan karena menyangkut anggaran yang sangat besar. Dengan

menggunakan penelitian studi kasus maka disamping dapat menjelaskan seperti apa

obyek atau kasus yang diteliti, juga menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa

kasus tersebut dapat terjadi(Yin, 2003)32

.

4.1.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif yang

dilakukan dengan interaktif dan terus menerus hingga sampai pada titik jenuh.

Menganalisis data dengan menggunakan model interaktif33

, terdiri dari 3 (tiga) hal utama

yaitu:

1. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis

dari lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus sejalan pelaksanaan

penelitian berlangsung.

2. Penyajian data, yaitu sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

3. Verifikasi dan penarikan kesimpulan, yaitu penarikan arti data yang telah

ditampilkan. Pemberian makna ini tentunya sejauh pemahaman peneliti dan

interpretasi yang dibuat.

4.2 Catatan Penelitian

Catatan penelitian ini dimulai dari penandatanganan kontrak penelitian dan

pencairan dana penelitian tahap pertama pada pertengahan April 2015. Setelah

penandatanganan kontrak, peneliti mengurus surat izin penelitian ke lokasi penelitian

dengan membawa Surat Tugas yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian dan

32

Yin, Robert K. 2013. Case study research: Design and methods. New York: Sage Publications Inc. 33

Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). Penerbit:

Erlangga. Jakarta. 2009. Hal:147 – 150.

Page 37: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

37

Pengabdian/Pelayanan Kepada Masyarakat Bidang Penelitian USU. Sebelum ke lokasi

penelitian, peneliti mengurus surat izin ke Kantor Balitbang dan Bakesbangpol Provinsi

Sumatera Utara. Kedua surat ini selanjutnya dibawa ke Litbang Kota Medan dan

kemudian keluar surat izin penelitian dari Litbang Kota Medan yang seterusnya

diserahkan ke Bagian Administrasi Pembangunan/LPSE dan ULP di Kantor Walikota

Medan; Kantor Dinas Kesehatan Kota Medan; Kantor Dinas Pendidikan Kota Medan.

Peneliti juga membawa surat izin penelitian dari Kantor Balitbang, Bakesbangpol

Provinsi Sumatera Utara dan Bidang Penelitian USU ke DPRD Kota Medan (Banggar).

Selain itu, peneliti mengantar surat tugas dari Bidang Penelitian USU ke beberapa

asosiasi pengusaha yang ada di Kota Medan. Hal yang sama peneliti lakukan di Kota

Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus surat izin penelitian ini.

Berulang kali ditelepon dan didatangi tempat-tempat yang disebut diatas hanya untuk

menanyakan kapan surat izin penelitian selesai sehingga peneliti bisa memulai penelitian

yakni melakukan penyebaran angket dan wawancara serta mengumpulkan data sekunder.

Pada akhirnya lebih dari satu minggu berselang surat izin penelitian tersebut keluar.

Namun beberapa kantor dimana penelitian ini dilakukan mengeluarkan izin penelitian

setelah lebih dari dua minggu. Sementara di Dinas Pendidikan Kota Medan surat yang

dikirim peneliti tidak direspon hingga pada akhirnya diputuskan studi kasus penelitian

hanya dilakukan di Dinas Kesehatan (Dinkes) saja, sementara di Dinas Pendidikan

dibatalkan. Meskipun pada saat itu peneliti sudah melakukan wawancara mendalam di

Dinas Pendidikan Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai serta mengumpulkan data

sekunder. Demikian juga ketika peneliti ingin melakukan wawancara ke DPRD

(Banggar) Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai tidak ada respon yang positif.

Pada awalnya dilakukan wawancara dengan Sekretariat DPRD Kota Binjai tetapi ketika

dilanjutkan hendak mewawancarai ketua/anggota Banggar maka selalu diterima jawaban

„yang bersangkutan sedang sibuk‟ atau „tidak ada ditempat‟. Hal yang sama terjadi di

DPRD Kabupaten Serdang Bedagai. Karena di kedua lokasi sudah tidak memungkinkan

lagi untuk mewawancarai ketua/anggota Banggar DPRD, maka rencana untuk

mewawancarai ketua/anggota Banggar DPRD Kota Medan akhirnya dibatalkan.

Pengalaman yang hampir sama ditemukan ketika peneliti hendak mewawancarai

pegusaha yang pernah menjadi penyedia barang/jasa pemerintah di salah satu lokasi

penelitian. Awalnya peneliti telusuri melalui pegawai yang bekerja di Dinkes

Kabupaten/Kota untuk mendapatkan alamat pengusaha yang sering atau pernah

Page 38: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

38

mengikuti tender di dinkes. Setelah alamat didapat peneliti menuju kantor pengusaha

tersebut tetapi sayang pengusaha tersebut tidak bersedia untuk diwawancarai. Karena

gagal, peneliti menanyakan alamat pengusaha kepada staf yang bekerja di LPSE

Pemerintah Kabupaten/Kota, namun alamat pengusaha tidak tercantum dengan jelas.

Akhirnya peneliti pergi ke beberapa asosiasi pengusaha di tiga lokasi penelitian. Cukup

sulit dan memakan waktu cukup lama untuk bertemu dengan pengusaha di kantor asosiasi

pengusaha. Setelah satu bulan lebih baru peneliti bisa melakukan wawancara. Peneliti

juga pada awalnya ingin mewawancarai pengusaha wanita sebagai partisipan penelitian

untuk melihat dari perspektif jender. Tetapi karena kesulitan menemui pengusaha wanita

dan keterbatasa waktu maka rencana itu di batalkan.

Berkaitan dengan penyebaran angket kepada responden juga memakan waktu

yang sangat panjang dan melelahkan. Rencana awal penelitian ini, peneliti atau tenaga

lapangan mendampingi responden yang sedang mengisi angket. Ini dilakukan supaya

jawaban yang diberikan oleh responden benar-benar yang dialaminya jadi bukan asal

menjawab. Selain itu bila ada pertanyaan yang membingungkan dapat segera dijelaskan

oleh peneliti atau tenaga lapangan. Namun pada akhirnya pendampingan ini tidak dapat

dilakukan terutama pada responden yang berlokasi di Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai. Karena beberapa kali peneliti atau tenaga lapangan datang ke lokasi penelitian,

anggota ULP/Pokja sebagai responden tidak ada di tempat. Akhirnya diputuskan, angket

ditinggalkan pada seorang pegawai untuk didistribusikan kepada rekan-rekannya

(responden lainnya).

Setelah hampir dua setengah bulan menunggu maka diputuskan untuk menyetop

pengembalian angket dari responden. Alasan penyetopan ini karena waktu yang

disediakan peneliti sudah sangat panjang. Selain itu alasan dari responden yang jamak

didengar adalah sibuk karena pekerjaan sangat padat sehubungan dengan proses lelang

akan dan sedang berlangsung. Pada akhirnya terkumpul lebih kurang 60 set angket,

namun setelah di verifikasi maka yang valid hanya 54 set angket.

Sebenarnya sebelum angket disebar, tenaga peneliti melakukan survey awal ke

tiga lokasi penelitian untuk mencari berapa jumlah populasi dan selanjutnya sampel dari

penelitian ini. Sulit untuk mendapat data yang pasti karena anggota Pokja ULP ada yang

bersifat tetap dan sementara seperti di Kota Medan, tetapi di Kota Binjai dan Kabupaten

Serdang Bedagai istilah ini tidak dikenal. Selain itu ada perbedaan nomenklatur terhadap

bagian yang bertanggungjawab di bidang pengadaan di tiga lokasi penelitian. Pada saat

itu didapat jumlah populasi sebanyak 120 orang. Namun setelah peneliti mengumpulkan

Page 39: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

39

data sekunder dan melakukan wawancara maka jumlah ini tidak akurat karena beberapa

orang tidak memenuhi syarat untuk menjadi populasi. Sehingga yang menjadi populasi

hanya64 orang. Selanjutnya karena jumlah populasi tidak terlalu besar maka semua

populasi ini dijadikan sampel.

Selama proses pengumpulan data di lapangan, peneliti dan tenaga lapangan

menemukan beberapa hambatan terutama berkaitan dengan ketidakdisiplinan waktu

untuk wawancara. Misalnya sudah disepakati untuk bertemu dan melakukan wawancara

jam 14.00 WIB pada akhirnya bisa molor 1 atau 2 jam bahkan lebih. Tidak jarang peneliti

pulang karena tidak dapat mewawancarai partisipan meskipun sudah ada kesepakatan

sebelumnya. Sebagaimana diketahui, isu dalam penelitian ini berkaitan dengan

pengadaan barang/jasa secara elektronik. Sebuah isu yang cukup riskan di lingkungan

birokrasi pemerintahan sehingga beberapa partisipan enggan untuk diwawancarai atau

mengulur-ulur waktu untuk diwawancarai. Namun peneliti juga menemukan beberapa

partisipan yang sangat kooperatif dan memberikan waktu yang cukup panjang untuk

diwawancarai sehingga informasi yang didapat sangat banyak dan signifikan.

Dalam hal pengumpulan data, peneliti juga menemukan kesulitan terutama

berkaitan dengan proses atau tahapan dari pengadaan barang/jasa secara elektronik.

Peneliti menemukan data yang berbeda-beda dari masing-masing informan sehingga pada

akhirnya pertanyaan dilakukan berulang-ulang atau bahkan menambah partisipan baru

yang mengerti akan hal tersebut. Sama halnya dengan pemahaman mengenai transparansi

pengadaan. Dibutuhkan wawancara berulang-ulang untuk akhirnya diyakini bahwa

memang ada perbedaan pemahaman mengenai arti transparansi di bidang pengadaan.

Setelah data dari lapangan didapat maka dibuat transcribenya dan tahap

selanjutnya dilakukan analisis terhadap data tersebut. Beberapa data perlu divalidasi,

maka digunakan teknik triangulasi dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan

data seperti observasi website LPSE, wawancara mendalam dan angket. Tidak jarang

peneliti harus kembali ke lapangan untuk melakukan wawancara sehingga data benar-

benar valid. Sementara untuk data yang berasal dari angket penelitian, digunakan

program SPSS dan analisis regresi untuk mendapat besarnya pengaruh kedua variabel.

Penulisan laporan hasil penelitian ini tidak mencantumkan identitas partisipan

tetapi hanya dalam bentuk kode yaitu MI (Model Implementasi) seperti MI1, MI2 dan

seterusnya. Hal ini merupakan kesepakatan awal dengan partisipan ketika wawancara

mendalam dimulai dengan menggunakan alat bantu tape recorder. Tujuannya agar

partisipan lebih bebas dan terbuka menyampaikan jawaban pertanyaan yang diajukan

Page 40: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

40

oleh peneliti dan juga lebih bebas bagi peneliti untuk menganalisis data yang didapat di

lapangan. Hal ini dapat dimaklumi karena isu yang diangkat oleh peneliti cukup

kompleks karena menyangkut banyak pihak dan cukup riskan karena rentan dengan

masalah hukum. Sementara hasil penelitian dengan menggunakan metode kuantitatif

yang berbentuk tabel frekwensi tidak akan di tampilkan seluruhnya dalam laporan

penelitian ini. Hal ini semata-mata karena keterbatasan waktu dan diyakini tidak akan

mengurangi nilai dari hasil penelitian ini.

Menyiapkan draft jurnal dan slide untuk seminar juga bagian dari penelitian ini.

Sebenarnya semuanya dapat dikerjakan dengan maksimal apabila waktu yang diberikan

cukup panjang. Namun hanya dengan waktu tiga bulan sudah dilakukan monev internel

(akhir Juli) dengan penilaian hasil penelitian kira-kira 76%, draft jurnal serta slide untuk

seminar. Padahal tidak dapat disangkal, untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas

diperlukan data yang benar-benar lengkap dan valid dari lapangan. Ini artinya diperlukan

waktu yang cukup untuk berada dilapangan sehingga penulis dapat lebih mudah

menganalisis data tersebut untuk menemukan tema-tema yang menarik yang tentunya

dapat memperkaya sebuah tulisan ilmiah.

Page 41: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

41

BAB V

Model Implementasi Kebijakan e-Procurement: Cara Mewujudkan Transparansi

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara

5.0 Pengantar

Penelitian ini berlokasi di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Dari hasil penelitian tahun pertama

ditemukan model implementasi kebijakan e-procurement terdiri dari landasan hukum,

infrastruktur dan sumber daya manusia khususnya kapabilitas sumber daya manusia dan

budaya organisasi. Ketiga faktor menghasilkan model yang hybrid (semu) karena

ketiganya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga transparansi

pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai salah satu tujuan dari kebijakan pengadaan

barang/jasa secara elektronik belum terwujud. Untuk melihat berapa persentase

besarnya pengaruh model implementasi e-procurement terhadap transparansi pengadaan

barang/jasa pemerintah di tiga lokasi penelitian, maka digunakan pendekatan kuantitatif.

Selain memperoleh besarnya pengaruh dari kedua variabel penelitian,

penelitian tahun kedua ini menemukan beberapa isu yang menarik berkaitan dengan

pelaksanaan e-procurement di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai. Beberapa temuan yang didapat dan menjadi tema dalam penelitian ini

diantaranya berkaitan dengan reformasi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah,

posisi ULP (Pokja) dan PPK dalam sistem e-procurement, pandangan pengusaha

(provider) terhadap kebijakan e-procurement, serta temuan-temuan lainnya. Semua

temuan ini didapat melalui penyebaran angket, khusus kepada anggota LPSE dan ULP

(Pokja), wawancara yang mendalam (in depth interview) dengan beberapa informan

penelitian baik yang berasal dari LPSE, ULP, SKPD yang melakukan pengadaan

barang/jasa dalam hal ini Dinkes Kabupaten/Kota, pengusaha (provider) yang ikut

melakukan penawaran.

Tema lain yang juga dieksplor dalam penelitian tahun kedua ini adalah

transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di tiga lokasi penelitian. Tidak mudah

mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai transparansi di bidang pengadaan

barang/jasa pemerintah karena baik panitia penyelenggara, SKPD sebagai user maupun

pengusaha sebagai penyedia (provider) memiliki perspektif yang berbeda-beda. Karena

itu dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) berulang-ulang dengan

Page 42: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

42

informan penelitian serta digunakan metode analisis isi dan observasi terhadap website-

website yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa baik di tingkat nasional maupun

di tingkat lokal khususnya di tiga lokasi penelitian.

Terakhir, tema yang ditemukan dalam penelitian ini berkaitan dengan tiga

aktor dalam kegiatan e-procurement yakni panitia pengadaan dan LPSE/ULP, user

(Dinkes Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai) dan providers

(penyedia) yang diwakili oleh pengusaha baik yang berada dibawah asosiasi Gapensi

maupun Kadin. Di bagian ini dapat dilihat bagaimana model kebijakan e-procurement

yang terdiri dari faktor landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia

terutama yang berkaitan dengan kapabilitas sumber daya manusia dan budaya

organisasi bekerja dalam kegiatan e-procurement terutama dalam metode e-tendering di

Dinkes Kabupaten/Kota di tiga lokasi penelitian. Jalinan ketiga faktor dan aktor ini

menentukan terwujud tidaknya transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah.

5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian tahun kedua ini dilakukan di tiga kota/kabupaten di Provinsi

Sumatera Utara yakni Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia terdiri dari 25

Kabupaten, 8 Kota, 325 Kecamatan dan 5.456 Kelurahan/Desa. Sementara studi kasus

dari penelitian ini adalah Dinas Kesehatan yang terdapat di tiga lokasi penelitian.

Bidang Kesehatan merupakan salah satu pelayanan dasar yang sangat penting bagi

masyarakat.

5.1.0 Lokasi dan Wilayah Kota Medan

Luas wilayah Kota Medan adalah 265.10 km2atau 3.6 persen dari total luas

wilayah Provinsi Sumatera Utara. Secara administratif,Kota Medanberbatasan dengan

Selat Malaka di sebelah Utara dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Timur, Barat

serta Selatan.Kota Medan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara

memiliki posisi strategis baik secara regional maupun nasional. Posisi ini menjadi

modal dasar dalam pembangunan kota.

Secara administratif Pemerintahan Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan

dengan151 Kelurahan, yang terbagi atas 2.001 Lingkungan. Berdasarkan batas wilayah

administratif, Kota Medan relatif kecil dibanding kota lainnya, tetapi posisinya sangat

penting secara ekonomi regional.

Page 43: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

43

5.1.1 Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten yang berada di

kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten

Serdang Bedagai Nomor 06 dan Nomor 10 Tahun 2006, Kabupaten Serdang Bedagai

terdiri dari 17 Kecamatan, 243 Desa/Kelurahan definitif. Kecamatan terluas adalah

Kecamatan Dolok Masihul dengan luas 237.417 Km2 dan Kecamatan terkecil adalah

Kecamatan Serbajadi dengan luas 50.690 Km2.

Batasan wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai adalah

disebelahUtara terletak Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten

Simalungun, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, serta sebelah

Timur berbatasan dengan Kabupaten Batubara dan Kabupaten Simalungun.

5.1.2 Lokasi dan Wilayah Kota Binjai

Kota Binjai memiliki luas lebih kurang 90.23 km2 didiami oleh 285.530 orang,

dengan demikian rata-rata kepadatan penduduk Kota Binjai adalah 3.164 orang/km2.

Kecamatan yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Binjai Kota

yakni sebanyak 9.354 orang/km2 sedangkan yang paling rendah/ jarang adalah

Kecamatan Binjai Selatan yakni sebanyak 1.968 /km2.

Secara administratif Pemerintah Kota Binjai terdiri dari 5 Kecamatan dan 37

Kelurahan. Wilayah Kota Binjai sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Binjai,

Kabupaten Langkat dan Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Sebelah

Timur berbatasan dengan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang dan sebelah

Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat dan Kecamatan

Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang serta sebelah Barat berbatasan dengan

Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat.

5.1.3 Dasar Hukum Terbentuknya Unit Layanan Pengadan (ULP) Barang/Jasa

Pemerintah di Tiga Lokasi Penelitian

Unit Layanan Pengadan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Kota Medan dibentuk

berdasarkan Peraturan Walikota Medan No. 52 Tahun 2012 tentang Pembentukan

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kota

Medan. Sementara ULP di Kabupaten Serdang Bedagai diatur dalam Peraturan Bupati

Nomor 6 Tahun 2011 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Serdang

Bedagai. ULP di Kota Binjai disusun berdasarkan Peraturan Walikota Binjai Nomor 21

Page 44: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

44

Tahun 2013 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kota Binjai. Tidak ada

perbedaan antara susunan organisasi, tugas dan fungsi ULP Kota Medan, Kabupaten

Serdang Bedagai dan Kota Binjai.

5.1.4 Dasar Hukum Terbentuknya Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara

Elektronik (LPSE) di Tiga Lokasi Penelitian

Pembentukan lembaga pelaksana e-procurement di Indonesia didasarkan pada

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah. Untuk mengimplementasikan kebijakan ini maka LPSE Kota Medan

mengeluarkanPeraturan Walikota Medan No. 38 Tahun 2011 tentang Layanan

Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Kota Medan. Sementara di

Kabupaten Serdang Bedagai dikeluarkan Keputusan Bupati Serdang Bedagai Nomor

312/810/Tahun 2014 tentang Pembentukan Tim Layanan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Serdang Bedagai. Di Kota Binjai

dikeluarkan Keputusan Walikota Binjai Nomor 816-367/K/2014 tentang Tim Layanan

Pengadaan Secara Elektronik Kota Binjai. Tidak terdapat perbedaan susunan organisasi,

tugas dan fungsi LPSE di tiga lokasi penelitian.

Bagan 5.0: Struktur Organisasi LPSE

Sementara alamat, nomor telepon, email dan website LPSE sebagai berikut:

LPSE Kota Medan-Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Medan

Jl. Kapten Maulana Lubis No.2 Medan, Sumatera Utara

Helpdesk : (061) 4537949

Email : [email protected]

Website : lpse.pemkomedan.go.id/

LPSE Kabupaten Serdang Bedagai-Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat

Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

Jl. Negara No. 300 Kec. Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara

Helpdesk : (0621) 441671/081376704014

Page 45: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

45

Email : [email protected]

Website : lpse.serdangbedagaikab.go.id/

LPSE Kota Binjai-Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Binaji

Jl.Jenderal Sudirman No.6 Binjai

Helpdesk : (061) 8821748

Fax : (061) 8830076

Email : [email protected]

Website : lpse.binjaikota.go.id/

Tugas LPSE adalah sebagai penyelenggara sistem pelayanan pengadaan

barang/jasa secara elektronik serta memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam

melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Sebagai sebuah unit kerja,

LPSE dibentuk di seluruh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat

Daerah/lnstitusi lainnya (K/L/D/I). Pembentukan LPSE didasarkan pada Perpres Nomor

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah dimana ketentuan teknis

operasional dari peraturan ini diatur dalam Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun

2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Selain perpres diatas, LPSE juga

wajib memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

LPSE menggunakan SPSE (Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Secara

Elektronik) sebagai aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh LKPP (Lembaga

Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah). LKPP merupakan Lembaga

Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Presiden dan dibentuk berdasarkan Perpres No 106 Tahun 2007. LKPP bekerja sama

dengan Lembaga Sandi Negara yang berfungsi untuk enkripsi dokumen serta Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembanguna yang berfungsi untuk sub sistem audit.

Layanan yang tersedia dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik adalah e-tendering

sesuai dengan Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara E-

Tendering serta e-Catalogue yang merupakan sistem informasi elektronik yang memuat

berbagai penyedia barang/jasa pemerintah, proses audit secara online, dan tata cara

pembelian barang/jasa melalui katalog elektronik.

5.2 Interpretasi dan Analisis Data: Pengaruh Model Implementasi Kebijakan e-

Procurement Terhadap Transparansi Pengadaan Barang/Jasa di Pemerintah

Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai

Page 46: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

46

Landasan hukum merupakan salah satu faktor dari model implementasi

kebijakan e-procurement. Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa

merupakan salah satu landasan hukum mengenai pengadaan yang telah direvisi

beberapa kali. Revisi perpres ini yang terbaru adalah Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang

Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah dan Penjelasannya yang telah diundangkan pada tanggal 16

Januari 2015.Landasan hukum selain sebagai pedoman atau tata cara dalam pelaksanaan

kegiatan pengadaan secara elektronik juga merupakan sumber hukum dari pembentukan

institusi-institusi yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.

Tabel 5.0: Memahami Secara Umum Inti Perpres No. 54 Tahun 2010

dan Revisi Terbaru Menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Memahami 2 3.7

2 Memahami 35 64.8

3 Cukup Memahami 11 20.4

4 Kurang Memahami 5 9.3

5 Tidak Memahami 1 1.9

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Dari tabel diatas hanya 2% dan 35% pegawai yang sangat memahami serta

memahami garis besar peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Persentasi

ini sangat tidak memuaskan karena seharusnya pegawai yang bertanggung jawab di

sektor pengadaan sudah sangat memahami peraturan mengenai pengadaan barang/jasa,

setidak-tidaknya inti atau garis besar dari perpres tersebut. Tidak ada alasan bagi

pegawai untuk tidak memahami perpres tersebut, meskipun hampir setiap tahun perpres

ini direvisi.

Tabel 5.1: Memahami Pasal Demi Pasal

Perpres No. 54 Tahun 2010 Serta Revisi Terbaru

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Memahami - -

2 Memahami 23 42.6

3 Cukup Memahami 24 44.4

4 Kurang Memahami 6 11.1

5 Tidak Memahami 1 1.9

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Page 47: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

47

Bila dilihat dari jawaban responden terhadap pasal demi pasal dari perpres

tentang pengadaan ini maka tidak seorangpun yang sangat memahami, sementara tidak

sampai 50% yang memahami. Sebanyak 13% kurang dan bahkan tidak memahami sama

sekali perpres itu secara detail. Ini menjadi pekerjaaan rumah bagi LPSE untuk lebih

intens melakukan pelatihan tentang pengenalan dan pemahaman perpres sehingga setiap

pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan mengerti dan memahami benar-

benar peraturan ini. Karena penguasaan pada peraturan dapat memperlancar pekerjaan.

Tabel 5.2: Penafsiran dan Pemahaman yang Berbeda Dari Pelaksanaan

Perpres Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Jarang Terjadi - -

2 Jarang Terjadi 2 3.7

3 Cukup Sering Terjadi 24 44.5

4 Sering Terjadi 14 25.9

5 Sangat Sering Terjadi 14 25.9

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap

perpres tentang pengadaan, jawaban yang diberikan responden cukup mengejutkan.

Sangat sering terjadi perbedaan penafsiran terhadap perpres ini yakni sebesar 25.9% dan

sering terjadi penafsiran sebesar 25.9%. Tidak heran bahwa transparansi pengadaan

barang/jasa belum maksimal terwujud karena model implementasi kebijakan e-

procurement yang salah satu faktornya adalah landasan hukum belum maksimal

bekerja.

Tabel 5.3: Infrastruktur Dalam Mendukung Kegiatan E-procurement

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Memadai 5 9.3

2 Memadai 37 68.5

3 Cukup Memadai 6 11.1

4 Kurang Memadai 6 11.1

5 Tidak Memadai - -

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Infrastruktur merupakan salah satu faktor selain landasan hukum dan sumber

daya manusia dalam model implementasi kebijakan e-procurement. Berkaitan dengan

infrastruktur hanya 9.3% mengatakan sangat memadai, sementara 68.5% mengatakan

Page 48: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

48

memadai. Infrastruktur yang dimaksud disini seperti unit komputer, kapasitas server,

ruang bidding dan lain sebagainya. Meskipun masih sederhana tetapi setidaknya

fasilitas yang mendasar untuk kegiatan pengadaan sudah tersedia dan sangat membantu

bagi pegawai yang bekerja di bagian pengadaan.

Tabel 5.4: Penguasaan SDM Terhadap TI Berbasis Komputer

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Semua Menguasai 12 22.2

2 Sebagian Besar Menguasai 19 35.2

3 Sebagian Menguasai 17 31.5

4 Sedikit Menguasai 4 7.4

5 Sangat Sedikit Menguasai 2 3.7

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Faktor terakhir dari model implementasi kebijakan e-procurement adalah

sumber daya manusia. Sistem pengadaan secara elektronik ini sudah pasti identik

dengan Teknologi Informasi (TI) berbasis komputer. Karena itu setiap pegawai yang

bekerja di bidang pengadaan seharusnya menguasai hal ini. Namun dalam tabel di atas

sebanyak lebih kurang 40% pegawai tidak terlalu menguasai TI. Hal ini tidak

mengherankan karena dari hasil wawancara dengan seorang partisipan sebenarnya

hampir setiap tahun dilakukan pelatihan berkaitan dengan TI tetapi banyak pegawai

yang tidak sungguh-sungguh mengikutinya. Menyiasati hal ini Ketua ULP yang

bertanggung jawab dalam pembentukan Pokja memberikan kesempatan kepada pegawai

yang menguasai TI untuk menjadi ketua Pokja, sementara yang kurang atau tidak

menguasai TI hanya sebagai anggota Pokja. Hal ini supaya kegiatan pengadaan

barang/jasa tidak menjadi terhambat.

Tabel 5.5: Kekhawatiran Untuk Memiliki Sertifikasi Pengadaan

Karena Besarnya Tanggungjawab Sebagai Penyelenggara Pengadaan

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Tidak Khawatir 2 3.7

2 Tidak Khawatir 18 33.3

3 Khawatir 24 44.4

4 Cukup Khawatir 10 18.6

5 Sangat Khawatir - -

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Page 49: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

49

Dari tabel diatas hanya 3.7% responden sangat tidak khawatir memiliki

sertifikasi pengadaan. Ini artinya hanya sedikit pegawai yang sangat siap menjadi

panitia pengadaan. Padahal memiliki sertifikasi pengadaan merupakan suatu

kebanggaan tersendiri karena tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk

mendapat sertifikat tersebut. Namun rasa bangga memiliki sertifikasi ini dikalahkan

dengan kekhawatiran berhadapan dengan pekerjaan yang cukup riskan.

Tabel 5.6: Transparansi Pada Sistem Pengadaan Secara Elektronik

Lebih Baik Dibandingkan Dengan Sistem Manual

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Setuju 26 48.1

2 Setuju 28 51.9

3 Kurang Setuju - -

4 Tidak Setuju - -

5 Sangat Tidak Setuju - -

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Salah satu tujuan reformasi pengadaan barang/jasa adalah mewujudkan

transparansi pengadaan dari manual ke elektronik. Proses pengadaan barang/jasa secara

elektronik ini dianggap lebih transparan dari pada proses pengadaan secara manual,

karena semua kegiatan dan proses pengadaan ditampilkan di website LPSE sehingga

siapa saja mempunyai akses untuk melihatnya. Jawaban responden sangat meyakinkan

bahwa pengadaan secara elektronik dapat mewujudkan tranparansi pengadaan dan tidak

seorangpun menjawab kurang setuju, tidak setuju apalagi sangat tidak setuju bahwa

proses pengadaan barang/jasa secara elektronik tidak bertujuan untuk mewujudkan

transparansi.

Tabel 5.7: Transparansi Pada Sistem Pengadaan Barang/Jasa

Secara Elektronik Memberi Rasa Aman Kepada Pegawai

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Setuju 9 16.7

2 Setuju 43 79.6

3 Kurang Setuju 2 3.7

4 Tidak Setuju - -

5 Sangat Tidak Setuju - -

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Pertemuan antara panitia pengadaan dan penyedia hampir tidak ada pada

sistem pengadaan secara elektronik, karena semuanya dilakukan secara online. Hal ini

Page 50: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

50

dirasa sangat menguntungkan bagi pegawai karena memberikan rasa aman kepada

mereka dalam menjalankan pekerjaannya. Sebanyak 16.7% sangat setuju dan 79.6%

setuju bahwa pengadaan secara elektronik memberikan rasa aman bagi pegawai (panitia

pengadaan). Berbeda dengan pengadaan secara manual, panitia pengadaan dan penyedia

dapat bertemu ketika proses pengadaan barang/jasa sedang berlangsung sehingga tidak

dapat dihindari munculnya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tabel 5.8: Regulasi Tentang Pengadaan Barang/Jasa Yang Jelas

Dapat Mewujudkan Transparansi Dalam Pengadaan

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Setuju 11 20.4

2 Setuju 37 68.5

3 Kurang Setuju 4 7.4

4 Tidak Setuju 2 3.7

5 Sangat Tidak Setuju - -

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Regulasi tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang jelas atau tidak

ditafsirkan secara-berbeda-beda dapat memberikan pengaruh positif bagi terwujudnya

transparansi pengadaan, dengan jawaban sangat setuju 20% dan setuju 68.5%.

Persentase ini tinggi yang membuktikan bahwa responden sangat menyadari bahwa

perlu pemahaman yang sama atas regulasi pengadaan sehingga tidak menimbulkan

kesimpanggsiuran ketika melakukan kegiatan e-procurement dan ketika berhadapan

dengan penyedia. Penyedia dengan mudah mengatakan tidak ada transparansi di

kegiatan pengadaan bila penyelenggara pengadaan memberikan penjelasan yang

berbeda-beda berkaitan dengan regulasi yang berisi tentang tata cara dan persyaratan

lelang serta ketentuan-ketentuan lelang lainnya.

Tabel 5.9: Infrastruktur Pengadaan Barang/Jasa Yang Memadai

Dapat Mewujudkan Transparansi Dalam Pengadaan

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Setuju 1 1.9

2 Setuju 19 35.2

3 Kurang Setuju 18 33.3

4 Tidak Setuju 14 25.9

5 Sangat Tidak Setuju 2 3.7

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Page 51: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

51

Pada Tabel 5.9 transparansi dikaitkan dengan infrastruktur pelaksanaan

pengadaan barang/jasa. Hanya sekitar 37.1% sangat setuju dan setuju bahwa ada kaitan

antara ketidaksiapan infrastruktur dengan tidak terwujudnya transparansi pengadaan

barang/jasa. Persentase ini jauh lebih kecil dibandingkan Tabel 5.8. Ini artinya pengaruh

landasan hukum (regulasi) tentang pengadaan barang/jasa jauh lebih besar dalam

mewujudkan transparansi pengadaan dibanding infrastruktur. Selanjutnya sebesar

25.9% menjawab tidak setuju dan bahkan 3.7% menjawab sangat tidak setuju bahwa

infrastruktur pelaksanaan pengadaan dapat mempengaruhi terwujudnya transparansi

pengadaan barang/jasa.

Tabel 5.10: Pentingnya Peran Penyelenggara Pengadaan Dalam

Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

No Kategori Jawaban Frekwensi Persentase (100%)

1 Sangat Setuju 25 46.3

2 Setuju 16 29.6

3 Kurang Setuju 13 24.1

4 Tidak Setuju - -

5 Sangat Tidak Setuju - -

T o t a l 54 100

Sumber: Angket, 2015

Tabel 5.10 menunjukkan bahwa ada hubungan antara penyelenggara

pengadaan dan transparansi pengadaan barang/jasa dengan jawaban responden sebesar

46% sangat setuju dan 29.6% setuju . Tidak ada responden yang menjawab tidak setuju

dan sangat tidak setuju. Ini artinya dibandingkan dengan landasan hukum dan

infrastruktur, maka sumber daya manusia penyelenggara memberikan kontribusi paling

besar terhadap terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa yakni sebesar 75.9%

menjawab sangat setuju dan setuju.

Tabel 5.11: Model Summary

Model R R

Square

Adjusted

R Square

Std. Error

of the

Estimate

Change Statistics

R Square

Change

F

Change

df1 df2 Sig. F

Change

1 ,384a ,148 ,131 3,63819 ,148 9,005 1 52 ,004

Sumber: Hasil Pengolahan Dengan Statistik, 2015

Salah satu tujuan penelitian ini adalah melihat seberapa besar pengaruh model

implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa.

Untuk mencari seberapa besar pengaruh ini maka digunakan analisis regresi dengan

pengolahan data statistik menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package

Page 52: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

52

for Social Sciences).Uji F digunakan untuk menguji apakah model regresi tersebut

baik/signifikan atau tidak baik/non signifikan. Dengan derajat kepercayaan 98% maka

diperoleh R Square sebesar 0.148. Selanjutnya dengan menggunakan rumus korelasi

determinan maka diperoleh angka sebesar 14.8% (Tabel 5.11). Ini berarti model

implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari faktor landasan hukum,

infrastruktur dan sumber daya manusia mempengaruhi secara signifikan transparansi

pengadaan barang/jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai, sebesar 14.8%. Sementara sisanya sebesar 85.2% merupakan faktor-faktor lain

yang dapat mempengaruhi transparansi pengadaan barang/jasa, seperti komitmen dan

kualitas kepemimpinan, kondisi sosial, ekonomi dan politik, dukungan publik,

komunikasi, koordinasi dan lain-lain yang bukan merupakan fokus dari penelitian ini.

Prinsip pengadaan barang/jasa secara elektronik menurut Perpres No. 4 Tahun

2015 adalah efisien, efektif, transparan, terbuka, bersih, adil/tidak diskriminatif dan

akuntabel. Beberapa survey yang dilakukan di Indonesia menunjukkan kontribusi dari

efisiensi atau penghematan anggaran yang paling dominan didiskusikan dalam

implementasi pengadaan barang/jasa secara elektronik. Di Kota Surabaya, pelaksanaan

e-procurement berhasil meningkatkan efektivitas, efisiensi dan transparansi, dan

kontribusi penghematan anggaran diperoleh sebesar 20-30% dari anggaran untuk

pelayanan publik (Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia,

2003).Di Kementerian Keuangan RI, pelaksanaan e-procurement berhasil menghemat

anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan menjamin keterbukaan. Sumbangan

penghematan anggaran diperoleh sampai 18.4% pada tahun 2009. Sementara di

Kementerian Perhubungan RI, nilai pagu pengadaan barang/jasa tahun 2015 sebesar Rp

1,4 triliun, sedangkan nilai transaksinya Rp 1,17 triliun. Ini artinya ada penghematan

sebesar Rp 230 miliar (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah/LKPP).

5.3 Perubahan Terbaru RegulasiPengadaan Barang/Jasa Pemerintah: Beberapa

Poin Penting

Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan awal munculnya sistem pengadaan

barang/jasa secara elektronik (e-procurement) di Indonesia. Selanjutnya beberapa tahun

kemudian, pada tanggal 6 Agustus 2010 diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menandakan Keppres

Page 53: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

53

Nomor 80 Tahun 2003 beserta Perubahannya resmi dicabut dan tidak berlaku efektif

mulai tahun 2011. Tidak lama berselang, terbit Perpres Nomor 35 Tahun 2011 yang

merupakan Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selanjutnya pada tanggal 31 Juli 2012

ditandatangani Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan

Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dua tahun

berselang, pada tanggal 1 Desember 2014 diundangkan Perpres No. 172 Tahun 2014

tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kemudian diawal tahun 2015, Presiden Jokowi

menandatangani Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

dan Penjelasannya yang telah diundangkan pada tanggal 16 Januari 2015.

Perubahan yang sudah dilakukan beberapa kali terhadap perpres tentang

pengadaan barang/jasa dapat dilihat dalam arti yang positif yakni sebagai bentuk

kepedulian pemerintah untuk membenahi sistem pengadaan barang/jasa secara

elektronik di Indonesia. Pembenahan ini diperlukan karena diharapkan untuk tahun-

tahun yang akan datang, semua belanja pemerintah dilakukan dengan menggunakan

elektronik. Namun bila dilihat dari kacamata penyelenggara atau panitia pengadaan

barang/jasa maka perubahan peraturan yang hampir setiap tahunnya dilakukan

memberikan beban tambahan bagi mereka. Selain harus memahami dan menguasai

peraturan dengan teliti, mereka juga dituntut untuk mempelajarinya dengan cepat,

karena jadwal tender atau lelang yang sudah didepan mata. Hal yang sama juga berlaku

bagi penyedia (provider) karena harus meluangkan waktu untuk mempelajari peraturan

yang direvisi berkali-kali, disela-sela kesibukan mereka menjalankan usahanya.

Salah satu poin yang menarik dari perubahan perpres ini berkaitan dengan

pasal 106 ayat (1) baik dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya maupun

Perpres No. 4 Tahun 2015. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 dikatakan bahwa

pengadaan barang/jasa pemerintah “dapat” dilakukan secara elektronik. Sementara pada

Perpres No. 4 Tahun 2015, pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara

elektronik. Penghilangan kata “dapat” di Perpres No. 4 Tahun 2015 menandakan awal

berlakunya penggunaan elektronik dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia. Dengan

kata lain, menjadi suatu kewajiban bagi K/L/D/I untuk melaksanakan pengadaan

barang/jasa secara elektronik sesuai dengan ketentuan yang ada.

Page 54: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

54

Poin menarik lainnya, baik Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya

maupun Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 106 ayat (2) mengatakan bahwa pengadaan

barang/jasa secara elektronik dilakukan dengan cara e-tendering atau e-purchasing. Hal

ini berarti diluar keduanya seperti penunjukkan langsung dan pengadaan langsung tidak

dilaksakan secara elektronik melainkan dilaksanakan secara non elektronik. Namun

perbedaannya di Perpres No. 54 Tahun 2010 belum diatur dengan jelas hal-hal yang

berkaitan dengan e-tendering dan e-purchasing. E-tendering itu sendiri merupakan tata

cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti

oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan elektronik

dengan cara menyampaikan satu kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan

(Pasal 1 angka 39 Perpres No. 4 Tahun 2015). Sementara e-purchasing merupakan tata

cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik(Pasal 1 angka 41 Perpres

No. 4 Tahun 2015).

Selanjutnya di Pasal 109 Perpres No. 4 Tahun 2015, ruang lingkup e-tendering

meliputi proses pengumuman pengadaan barang/jasa sampai dengan pengumuman

pemenang yang dilaksanakan dengan menggunakan sistem pengadaan secara elektronik

yang diselenggarakan oleh LPSE. Pihak-pihak yang terlibat dalam e-tendering adalah

PPK, ULP/Pejabat Pengadaan, dan Penyedia Barang/Jasa. Sementara dalam melakukan

e-purchasing diperlukan sistem katalog elektronik (e-catalogue) yang diselenggarakan

oleh LKPP. Sistem katalog elektronik ini sekurang-kurangnya memuat informasi teknis

dan harga barang/jasa yang ditetapkan oleh Kepala LKPP. Setelah berlakunya Perpres

No. 4 Tahun 2015 maka K/L/D/I wajib melakukan e-purchasing terhadap barang/jasa

yang sudah dimuat dalam sistem katalog elektronik sesuai dengan kebutuhan K/L/D/I.

E-purchasing dilaksanakan oleh Pejabat Pengadaan/PPK atau pejabat yang ditetapkan

oleh Pimpinan Instansi/Institusi.

5.4 Organisasi Pengadaan: Pihak-Pihak Terkait Dengan Pengadaan Barang/Jasa

Menurut Perpres No. 54 Tahun 2010 yang telah direvisi beberapa kali dan

terbaru menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015 pada Pasal 7 dikatakan bahwa organisasi

pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui penyedia barang/jasa terdiri dari:

a. PA/KPA;

b. PPK;

c. ULP/Pejabat Pengadaan; dan

d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan

Page 55: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

55

5.4.0 Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)

Pengguna Anggaran(PA) menurut Pasal 1 angka 5 Perpres No. 4 Tahun 2015

adalah pejabatpemegang kewenangan penggunaan anggaran

Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yangdisamakan

pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD. Selanjutnya menurut Undang-Undang No. 1

Tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) tentang Perbendaharaan Negara yang

menjadi konsideran dari Perpres No. 54 Tahun 2010 bahwa gubernur, bupati/walikota

selaku Kepala Pemerintah Daerah serta Kepala SKPD bagi SKPD yang dipimpinnya

dapat menjadi PA. Namun karena PA memiliki beban pekerjaan atau rentang kendali

organisasi yang besar seperti menetapkan Rencana Umum Pengadaan, mengumumkan

secara luas Rencana Umum Pengadaan paling kurang di website K/L/D/I, menetapkan

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menetapkan Pejabat Pengadaan dan menetapkan

Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan maka PA pada Pemerintah Daerah dapat

mengusulkan 1 (satu) atau beberapa orang kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan

sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) sebagai mana tertuang dalam Pasal 9.

Pasal 1 angka 6 Perpres No. 4 Tahun 2015 mendefinisikan Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) sebagai pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN

atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. Jadi jika kepala Satuan

Kerja Perangkat Daerah (SKPD) merupakan instansi pengguna anggaran, maka KPA

adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna

anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD. Dengan perkataan lain,

KPA merupakan pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian

kuasa atau wewenang PA, dimana kewenangan yang dimiliki oleh KPA sesuai dengan

apa yang dilimpahkan oleh PA. PA dapat mengusulkan siapa saja baik yang memiliki

jabatan struktural maupun fungsional untuk menjadi KPA. Selanjutnya Kepala Daerah

menetapkanpejabat yang diusulkan PA untuk menjalankan kuasa sebagai KPA (Pasal

10 Ayat 2).

Di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, yang dipilih menjadi lokasi

dari studi kasus penelitian ini, Kepala Dinas (Kadis) Kabupaten/Kota yang menjadi PA,

selanjutnya Kadis Kesehatan mengajukan satu atau beberapa nama ke Bupati/Walikota

untuk ditetapkan sebagai KPA di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tersebut. Namun

untuk tingkat pemerintah daerah, yang menjadi PA adalah Bupati/Walikota, sedangkan

KPA adalah kepala dinas (SKPD) kabupaten/kota.

Page 56: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

56

5.4.1 Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Di dalam Pasal 12Perpres No. 4 Tahun 2015, PA/KPA menetapkan Pejabat

Pembuat Komitmen (PPK) untukmelaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Dengan

demikian, PPKadalahpejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa yang memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai tertuang dalam Pasal

11 ayat 1 yakni:

a. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi: 1)

spesifikasi teknis Barang/Jasa; 2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan 3)

rancangan Kontrak.

b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;

c. menandatangani Kontrak;

d. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;

e. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;

f. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;

g. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan

Berita Acara Penyerahan;

h. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan

pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan

i. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa.

Selain tugas pokok dan kewenangan di atas PPK dapat:

a. mengusulkan kepada PA/KPA: 1) perubahan paket pekerjaan; dan/atau 2)

perubahan jadwal kegiatan pengadaan;

b. menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk

membantu pelaksanaan tugas ULP; dan

c. menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia

Barang/Jasa.

Dari uraian mengenai tugas pokok dan kewenangan PPK di atas, maka tidak

berlebihan bila PPK memegang peranan sentral terhadap pengadaan barang/jasa

pemerintah, karenamemiliki tanggung jawabyang besar baik secara administrasi, teknis

maupun finansial (Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 7).Sedangkan berdasarkan Peraturan

Pemerintah No. 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara, PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk

Page 57: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

57

mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan

pengeluaran anggaran belanja negara. Karena besarnya tanggung jawab yang diemban

oleh PPK maka seorang yang menjadi PPK baik yang memiliki jabatan struktural atau

eselon harus memiliki persyaratan teknis maupun manajerial sebagaimana tercantum

dalam Pasal 12 ayat (2), antara lain memiliki integritas, disiplin tinggi, tanggung jawab

dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas. Selain itu mampu

mengambil keputusan, bertindak tegas, memiliki keteladanan dalam sikap perilaku dan

tidak pernah terlibat KKN serta memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.

5.4.2 Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan

Unit Layanan Pengadaan (ULP) adalah unit organisasi

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan

Pengadaan Barang/Jasa yang bersifatpermanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada

unityang sudah ada (Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 1 angka 8). Sementara Pejabat

Pengadaan adalah personil yang ditunjuk untukmelaksanakan Pengadaan Langsung.

Baik anggota ULP maupun Pejabat Pengadaandapat berasal dari pegawai negeri,baik

dari instansi sendiri maupun instansi lainnya.

Selanjutnya pada Pasal 4 dikatakan bahwa Perangkat Organisasi ULP

ditetapkan sesuai kebutuhan, setidak-tidaknya terdiri atas:kepala;sekretariat;staf

pendukung; dankelompok kerja.Ini artinya setiap kabupaten/kota memiliki perangkat

ULP yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan daerah atau beban kerja dari ULP di

masing-masing kabupaten/kota. Kepala ULP adalah pejabat pimpinan tinggi pratama

ataujabatan administrator atau jabatan pengawas. Sementara sebagai personil

ketatausahaan/sekretariat adalah jabatan administrator atau jabatan pengawasatau

jabatan pelaksana atau pejabat fungsional. Serta yang menjadi anggota ULP yakni

pejabat fungsional umum atau jabatanpelaksana atau pejabat fungsional

keahlian/tertentu.

Bagan 5.1: Perangkat ULP

Kepala ULP

Sekretariat Staf

Pendukung

Kelompok

Kerja (Pokja)

Page 58: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

58

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) yang merupakan

perangkat organisasi ULP dapat dikatakan menjadi ujung tombak berjalannya proses e-

procurenment,karena Pokjamerupakan pihak yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai

panitia pengadaan yang akan memutuskan penyedia mana yang akan dimenangkan

dalampelaksanaan lelang secara elektronik. Di Kota Medan, ULP terdiri dari Pokja yang

sifatnya tetap dan tidak tetap. Pokja tetap berasal dari Bagian Perlengkapan dan Aset

Pemerintah Kota Medan, sementara Pokja tidak tetap keanggotaannya berasal dari

beberapa SKPD yang ada di Kota Medan. Hal yang sama ditemukan di Kabupaten

Serdang Bedagai dan Kota Binjai, namun bedanya yang menjadi anggota Pokja tetap

berasal dari fungsional Bagian Pengadaan Barang/Jasa (BPJ). Dikatakan tidak tetap

karena tidak selalu ikut dalam semuapaket lelang. Selain itu keanggotaannya juga

berganti-ganti sehingga Surat Keputusan (SK) sebagai Pokja tidak tetap

harusdiperbaharui setiap tahunnya.Saat ini Pokja tetap ULP Pemko Medan berjumlah

17 orang,sementara Pokja yang tidak tetap atau yang berasal dari SKPD yang ada di

Kota Medan berjumlah 11orang. Di Kota Binjai jumlah Pokja tetap 16 orang sedang di

Kabupaten Serdang Bedagai berjumlah 20 orang.

Proses pengrekrutan Pokja ULP diawali dengan permintaan Kepala ULP

kepada SKPD untuk mengirimkan pegawainya menjadi salah satu tim di Pokja tidak

tetap. Sama dengan Kota Medan, di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai

penetapan Pokja dipilih berdasarkan usulan dari SKPD atau Kepala Dinas yang ada di

Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai. Jadi tidak semua SKPD memiliki wakil di

ULP kota/kabupaten. Karena itu, seseorang yang berasal dari SKPD X bisa saja terlibat

dalam pelelangan di SKPD Y, tetapi untuk SKPD X orang tersebut diposisikan sebagai

koordinator sementara di SKPD Y, yang bersangkutan hanya sebagai anggota Pokja.

Setelah ULP menerima beberapa orang yang berasal dari wakil SKPD untuk

menjadi anggota Pokja, maka tahap selanjutnya Ketua ULP melakukan seleksi siapa

yang berhak menjadi koordinator Pokja dan anggota Pokja dalam sebuah paket lelang.

Karena memang salah satu tugas dari Ketua ULP adalah

menugaskan/menempatkan/memindahkan anggota Pokja sesuai dengan beban kerja

masing-masing Pokja ULP dan mengusulkan pemberhentian anggota Pokja yang

ditugaskan di ULP (Perpres No. 4 Tahun 2015). Selain melihat latar belakang yang kuat

atas jenis lelang yang akan dilakukan, Ketua ULP juga melihat pengalaman kerja dalam

Page 59: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

59

menentukan tim dalam Pokja ULP. Anggota yang mempunyai latar belakang serta

pengalaman kerja yang tinggi akan menduduki posisi koordinator Pokja. Sebaliknya

yang belum mempunyai pengalaman diposisikan sebagai anggota tim. Tujuannya agar

proses pengadaan barang/jasa dapat berjalan dengan lancar. Tahapan terakhir, Ketua

ULP mengeluarkan SK Pokja dan membuat SPT (Surat Perintah Tugas) kepada anggota

Pokja (Wawancara dengan MI10, 4 Juni 2015).

Salah satu tugas pokok dan tanggungjawab Pokja ULP adalah melakukan

verifikasi terhadap spesifikasi teknis barang/jasa dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

yang sudah ditetapkan oleh PPK dari SKPD yang hendak melakukan lelang (Pasal 11

ayat (1)). PPK menyerahkan HPS dan spesifikasi yang masih global ke Pokja beserta

dengan dokumen pengadaan sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki dinas/SKPD.

Namun dapat terjadi Pokja mengusulkan kepada PPK untuk mengubah HPS dan

spesifikasi teknis pekerjaan (Perpres No. 4 Tahun 2015). Dalam keadaan seperti ini

Ketua ULP tidak dapat mencampuri keputusan Pokja tersebut. Karena Ketua dan

Sekretaris ULP tidak mempunyai hak untuk mengubah HPS yang diserahkan PPK ke

Pokja ULP. Mereka hanya bisa melihat atau memantau prosesnya saja. Proses secara

langsung hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang punya user ID. Sebenarnya

Ketua dan Sekretaris ULP juga mempunyai user ID, tetapi hanya sekedar bisa melihat

informasi di website LKPP.

Selama proses pengadaan, tidak ada komunikasi antara Ketua dan Sekretaris

ULP dengan Pokja. Artinya Ketua dan Sekretaris ULP tidak mempunyai hak untuk

mencampuri proses yang dilaksanakan oleh Pokja.Jadi kalau ada masalah di Pokja

dalam kaitan dengan proses lelang, maka yang bertanggung jawab untuk

menyelesaikannya adalah Pokjasendiri. Kepala ULP hanya berurusan dengan masalah

administrasi, mengawasi seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa di ULP dan

melaporkan apabila ada penyimpangan dan/atau indikasi penyimpangan. Setelah selesai

proses pengadaan, Pokja akan melaporkan hasilnya kepada Kepala ULP dan selanjutnya

LPSE mengumumkan hasil tersebut melalui sistem SPSE.

Dari uraian di atas jelaslah mengapa Ketua ULP tidak memerlukan sertifikat

pengadaan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Namun akan berbeda bila

Ketua ULP merangkap Pokja maka wajib baginya untuk memiliki sertifikat pengadaan.

Sejalan dengan amanat Perpres No 4 Tahun 2015 bahwa salah satu persyaratan untuk

menjadi Kepala ULP/Anggota Pokja ULP/Pejabat Pengadaan adalah memiliki sertifikat

keahlian pengadaan barang/jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan.

Page 60: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

60

Persyaratan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa ini dapat dikecualikan untuk

Kepala ULP yang tidak merangkap anggota Kelompok Kerja ULP.

5.4.3 Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)

Menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 Angka 8, Panitia/Pejabat Penerima Hasil

Pekerjaan (PPHP) adalahpanitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yangbertugas

memeriksa dan menerima hasil pekerjaan. Anggota PPHPini berasal dari pegawai

negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya. Namun ada pengecualian bagi

anggotaPanitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan pada Institusi lainPengguna

APBN/APBD atau Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola,dapat berasal dari

bukan pegawai negeri.

Tugas utama PPHP sebagaimana tertuang dalam pasal 18 Perpres No. 54

Tahun 2010 dan Perubahannya adalah melakukan pemeriksaan/pengujian hasil

pekerjaan pengadaan barang/jasa sesuai yang tercantum dalam dokumen kontrak, yang

mencakup kesesuaian jenis, spesifikasi teknis, jumlah/volume/kuantitas, mutu/kualitas,

waktu dan tempat penyelesaian pekerjaan apakah sesuai dengan yang tertuang dalam

kontrak atau tidak, serta membuat berita acara hasil pemeriksaan dan pengujian

tersebut.Sehingga seorang PPHP harus memahami setiap spesifikasi barang/jasa yang

akan diadakan dan memahami setiap jenis-jenis kontrak yang digunakan. Apabila

didalam pemeriksaan/pengujian dibutuhkan tenaga teknis maka KPA dapat membentuk

tim teknis/menunjuk tenaga ahli untuk membantu tugas PPHP.

Bagan 5.2: Struktur Organisasi Pengadaan Melalui Penyedia Barang/Jasa

Pengguna Anggaran

(PA)

PPK ULP/Pejabat

Pengadaan

Panitia/Pejabat

Penerima Hasil

Pekerjaan

(PPHP)

KPA KPA KPA

Page 61: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

61

Sumber: Modul LKPP, 201034

5.5 Kebijakan e-Procurement: Sebuah Reformasi di Bidang Pelayanan Publik

Pengadaan barang/jasa secara elektronik merupakan salah satu bentuk

pelayanan publik. Dalam hal ini organisasi publik sebagai pihak yang memberikan

pelayanan yakni aparatur pemerintahan yang bertanggungjawab di bidang pengadaan

barang/jasa beserta segenap kelengkapan kelembagaannya. Sementara yang menjadi

penerima pelayanan publik adalah penyedia (provider) yakni pengusaha (badan hukum)

yang ikut melakukan penawaran dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Pelayanan publik di bidang pengadaan telah mengalami perubahan atau

reformasi secara signifikan terutama setelah berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010

atau berakhirnya Kepres No. 80 Tahun 2013. Reformasi pelayanan di bidang pengadaan

barang/jasa ini salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkankan transparansi

pengadaan barang/jasa yang sebelumnya dirasakan sangat tidak transparan karena

kegiatan-kegiatan dalam pengadaan barang/jasa tidak diketahui secara terbuka oleh

publik terutama calon penyedia (provider).

Berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010 menjadi awal perubahan dari sistem

pengadaan secara manual ke sistem elektronik (e-procurement). Dengan demikian,

sisteme-procurementini merupakan penyempurnaan dari sistem pelelangan secara

manual. Di dalam sistem yang manual, pelelangan harus dipersiapkan dengan hal-hal

yang cukup merepotkan. Seperti yang terjadi di salah satu lokasi penelitian dimana

harus disediakan polisi di tempat atau lokasi pelelangan untuk menghindari terjadinya

tindakan-tindakan yang anarkis yang dilakukan oleh penyedia. Selain itu, tindakan-

tindakan teror sering mewarnai jalannya proses pelelangan. Hal ini terjadi karena tidak

adatrust yang terbangun diantara panitia penyelenggara dan penyedia. Bahkan beberapa

penyediamemiliki pemikiran bahwa ada pengarahan pemenang terhadap sekelompok

penyedia yang merupakan saingan mereka. Hal lain yang terjadi pada proses pelelangan

secara manual adalah mudahnya untuk menyampaikan keberatan secara langsung

kepada panitia penyelenggara, sehingga pelelangan yang ada berjalan alot, bertele-tele

dan tidak sistematis. Namun saat ini tindakan tersebut bisa ditekan bahkan tidak ada

sama sekali setelah keberadaan sistem elektronik (Wawancara dengan MI5,5 Mei

2015).

34

Modul Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. LKPP. 2010. Dikutip 13 Juni 2015. Jam 14.02

WIB.

Page 62: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

62

Proses pelelangan secara elektronik di tiga lokasi penelitian dalam

perjalanannyamemiliki kelebihan dan kekurangan.Salah satu kelebihan dari kebijakane-

procurement dalam implementasinyaadalah dapat meningkatkan transparansi dan

akuntabilitas karena prosesnya sangat terbuka sehingga mendorong persaingan yang

sehat, adil dan non-diskriminatif antar pelaku usaha yang pada akhirnya efisiensi dan

efektifitas belanja negara dapat terwujudkan. Hal ini juga didukung dengan sistem yang

memiliki kapabilitas untuk berinteraksi dan berfungsi dengan sistem lain tanpa batasan

akses atau implementasi(interopabilitas) serta Jaminan Keamanan Data (security)

sehingga proses pengadaan secara elektronik dapat berjalan efisien dan efektif.

Kelebihan lain yang sangat nyata terlihat adalah proses pengadaan secara

elektronik lebih aman dan nyaman dibanding pengadaan secara manual. Tidak perlu

lagi mempersiapkan keamanan yang berlebihan karena dijamin tidak ada tindakan-

tindakan yang anarkis dan tidak sistematis. Nyaman, karena sangat sederhana dan

penawaran bisa dilakukan di mana saja selama tersedia akses internet yang memadai.

Selain itu proses secara elektronik ini cukup efisien karena tidak membutuhkan banyak

anggaran untuk mengumukan lelang dan hasil lelang di media cetakkarena dapat

langsung diakses diwebsite LPSE, proses pencatatan penawaran jugatidak memerlukan

banyak kertas.

Kekurangan yang ada dari sistem elektronik diakui sangat sedikit terutama

pada kemampuan SDM, baik sebagai penyedia maupun panitia, yang berurusan

langsung dalam sistem pengadaan barang/jasa. Apabila penyedia tidak memahami

sistem komputerisasi, maka terkendalalah proses pelelangan karena mereka pasti tidak

dapat mengikuti proses yang ada. Selain itu, e-procurement memang diciptakan untuk

mempermudah proses pelelangan, sehingga tidak pernah ada keluhan atau pernyataan

tidak setuju dari pihak penyedia meskipun kebanyakan dari pihak merekalah yang

menghadapi kesulitan (Wawancara dengan MI5, 5 Mei 2015; MI1, 21 Mei 2015).

Sementara tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam pengadaan barang/jasa

secara manual dan elektronik adalah sama, yakni sebagai berikut: Pengumuman lelang;

Pendaftaran dan pengambilan dokumen; Penjelasan dokumen dan perubahan dokumen;

Dokumen penawaran dan pembukaan dokumen penawaran; Evaluasi penawaran;

Evaluasi kualifikasi; Usulan calon pemenang; Penetapan pemenang; Pengumuman

pemenang; Sanggah hasil lelang; Penujukan penyedia barang/jasa; dan Penandatangan

kontrak.Semua tahapan ini pada dasarnya sama. Perbedaannya hanya tidak ada lagi

pertemuan langsung antara penyedia dan panitia pengadaan di sistem pengadaan secara

Page 63: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

63

elektronik. Pertemuan dengan penyedia hanya dilakukan apabila pemenang harus

menandatangani kontrak setelah ditetapkan menjadi pemenang lelang. Jadi di dalam

sistem yang baru interaksi hanya dapat dilakukan melalui komunikasi online.

Proses pelelangan secara elektronik menjadi harapan baru bagi pihak yang

berkecimpung di dalamnya, baik itu penyedia maupun panitia pengadaan, dengan cara

tetap memelihara prinsip efisien, efektif, terbuka, transparan, adil, tidak diskriminatif

dan akuntabilitas. Transparansebagai salah satu prinsip dari pelayanan publik dan juga

prinsip dari pengadaan barang/jasa secara elektronik yang menjadi fokus dalam

penelitian ini haruslah menjadi pegangan agar kepercayaan pada sistem tetap terjaga.

5.6 Pokja ULP dan PPK: Posisi Strategis di Era Keterbukaan?

Kelompok Kerja ULP (Pokja ULP) atau Pokja adalah kelompok kerja yang

terdiri dari pejabat fungsional pengadaan yang berjumlah gasal dan beranggotakan

paling kurang 3 (tiga) orang. Jumlah ini dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas

pekerjaan,seperti pekerjaan yang memerlukan teknologi tinggi atau mempunyai risiko

tinggi. Pokja yang menentukan peserta lelang (penyedia) menjadi pemenang. Dengan

demikian tugas Pokja adalah mulai dari proses perencanaan pemilihan penyedia sampai

dengan proses pemilihan dan hasil akhir berupa penetapan pemenang dari pengadaan

barang/jasa yang dilaksanakan.Tahapan selanjutnya,ULP menyampaikan hasil

pemilihan kepada PPK untuk diberikan Surat Penunjukan Penyedia Barang Jasa

(SPPBJ) dan menandatangani kontrak antara penyedia dengan PPK.Sebagaimana

dikatakan di dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 17 ayat (2), tugas pokok dan

kewenangan Kelompok Kerja ULP (Pokja ULP) adalah:

a. menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;

b. menetapkan Dokumen Pengadaan;

c. menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;

d. mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website K/L/D/I masing-

masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan ke

LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional;

e. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau

pascakualifikasi;

f. melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran yang

masuk; dan lain sebagainya;

Page 64: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

64

g. menjawab sanggahan; menetapkan Penyedia Barang/Jasa; menyampaikan hasil

Pemilihan dan salinan dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada PPK;

menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa; membuat laporan

mengenai proses pengadaan kepada Kepala ULP.

Uraian di atas menjelaskan posisi Pokja sangat menentukan dalam proses

pengadaan barang/jasa. Beberapa poin penting yang ditemukan dilapangan adalah

berkaitan dengan penilain Pokja terhadap kualifikasi penyedia barang/jasa serta evaluasi

administrasi, teknis dan harga yang dilakukan Pokja terhadap penawaran yang masuk.

Kedua tugas ini memberikan posisi yang strategis bagi Pokja. Dikatakan strategis

karena hasil dari penilaian dan evaluasi Pokja inilah yang menentukan seseorang

menjadi pemenang lelang atau tidak. Berbeda dengan posisi LPSE yang hanya

mengumumkan informasi mengenai lelang termasuk kualifikasi barang/jasa yang

dikehendaki serta kemudian mengumumkan pemenang lelang melalui

portalnya.Sementara bila dikaitkan dengan posisi Pokja, maka Ketua ULP tidak dapat

menghalangi Pokja yang ingin melakukan survey bila ada kecurigaan dan keraguan

terhadap penetapan HPS yang telah dilakukan oleh PPK.Karena dalam sebuah proses

lelang, Pokja sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap Kepala ULP.

Sementara PPK menurut Pasal 11 (poin a sampai i) memiliki tugas pokok dan

kewenangan yang tidak kalah strategisnya dibanding Pokja. Tugas pokok dan

kewenangan ini menjadikan posisi PPK strategis dalam proses pengadaan barang/jasa

selain Pokja ULP. Namun bedanya PPK bisa mengajukan pergantian Pokja dalam

sebuah pelelangan.Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Pokja berhak menentukan

peserta lelang (provider) menjadi pemenang. Namun keputusan ini dapat dianulir oleh

PPK dengan cara mengusulkan kepada PA/KPA. Jadi bila PA/KPA sependapat dengan

PPK maka SPPBJ tidak dapat ditandatangani. Selanjutnya bila tidak ada juga

kesepakatan antara PPK dan Pokja maka PPK bisa mengajukan pergantian Pokja

kepada PA/KPA.

Dari penjelasan di atas peranan PPK juga sangat besar dalam e-procurement.

Karena itu pejabat yang memiliki posisi sebagai PPK tidak sembarangan. Bahkan dari

hasil temuan di lapangan kata-kata “pejabat yang menduduki posisi PPK harus bisa

mengamankan proses pengadaan yang sedang berlangsung” sangat jamak didengar.

Penentuan pejabat yang berhak menempati posisi ini adalah kewenangan dari pejabat

yang menjadi KPA. Sedangkan KPA bisa saja pimpinan dari SKPD yang mengajukan

pengadaan proyek. Dengan demikian tidak heran bahwa posisi sebagai PPK selain

Page 65: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

65

memenuhi kriteria Pasal 12 Perpres No. 4 Tahun 2015 juga memiliki „kedekatan‟

dengan KPA dan PA. Bahkan karena rentan dengan tekanan-tekanan baik yang datang

dari Pokja maupun penyedia maka bisa saja posisi sebagai KPA sekaligus menjadi PPK.

Namun di alam keterbukaan seperti saat ini, posisi strategis yang dimiliki oleh

Pokja ULP dan PPK tidak serta merta dapat dengan mudah disalahgunakan. Lembaga-

lembaga seperti Inspektorat, BPK, LSM, media massa dan masyarakat menjadi

pengawas yang selalu siap sedia mengawasi segala gerak-gerik Pokja dan PPK

khususnya bila sedang berlangsung lelang pengadaan. Sedikit ditemukan kesalahan

lembaga-lembaga ini tidak segan untuk mengangkat isu tersebut kepermukaan melalui

pemberitaan di media massa bahkan bisa juga sampai ke pengadilan. Demikian juga

penyedia terutama yang bermodal besar siap siaga memantau proses lelang yang sedang

berlangsung dengan menyebarkan orang-orangnya sebagai mata-mata. Sementara

secara legal formal, Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 17 ayat (2) poin g mengakomodir

tuntutan penyedia bila dirasa terdapat ketidakadilan atau ketidakjelasan berkaitan

dengan proses pengadaan. Dikatakan dalam poin g bahwa penyedia yang tidak lulus

kualifikasi dapat melakukan sanggah terhadap keputusan yang diambil oleh

Pokja.Dengan demikian PokjaULP melalui SPSE bertanggungnjawab untuk

menjelaskan kepada penyedia yang tidak lulus kualifikasi.Alasan-alasan yang diberikan

kepada penyedia harus bisa meyakinkan penyedia yang tidak terpilih. Hal ini sejalan

dengan prinsip-prinsip dari e-procurementyakni transparan, terbuka, bersaing, adil dan

tidak diskriminatif.

Posisi Pokja dan PPK yang strategis ini juga menjadi sumber “ketakutan”

terkait perannya dalam proses pengadaan barang/jasa yang sangat lekat dengan resiko

hukum. Sebagaimana dikatakan di atas, Inspektorat, BPK, LSM dan media massa

adalah beberapa lembaga pengawas formal dan informal yang selalu menjadi momok

bagi siapapun yang mempunyai posisi sebagai Pokja dan PPK.Bahkan tidak sedikit dari

penyedia yang curiga dengan keputusan yang diambil oleh Pokja atau PPK. Karena itu

tidak mengherankan banyak pegawai SKPD yang sengaja “buang badan” untuk tidak

terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015;

MI1, 21 Mei 2015;MI3, 27 Mei 2015; MI6,1 Juni 2015).

Salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari duduk di posisi-posisi

penting ini adalah dengan sengaja menggagalkan ujian untuk mendapatkan sertifikat

pengadaan. Perlu diketahui bahwasanya pelatihan dan ujian untuk memperoleh

sertifikasi tidaklah sulit, apalagi ada semacam modul atau kisi-kisi soal yang diberikan

Page 66: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

66

sebelum mengikuti tes. Salah seorang anggota Pokja ULP mengatakan, “ujian dalam

pengambilan sertifikat pengadaan cukup sulit, karena tahun lalu dari 104 yang

mengikuti hanya 16 orang yang lulus. Tapi bila ditelisik lebih dalam bukanlah materi

soal yang sulit akan tetapi ada keengganan dari peserta untuk menang.”Salah satu

alasannya adalah karena menjadi Pokja ULP atau PPK memiliki tanggung jawab yang

besar dan rentan terhadap KKN (Wawancara dengan MI6, 1 Juni 2015).

Selain dekat dengan resiko hukum, posisi sebagai Pokja khususnya yang tidak

tetap belum dihargai dengan kecilnya honorarium yang didapat dari sebuah paket

lelang. Honorarium yang ditentukan untuk Pokja tertulis di dalam Permenkeu No.

53/PMK.02/2014 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2015 yang

berfungsi sebagai batas tertinggi. Berdasarkan peraturan di atas, honorarium panitia

pengadaan barang/jasa dan pokja ULP diberikan sesuai dengan nilai pagu pengadaan

dengan menyesuaikan batas tertinggi nilainya. Contohnya pada pembangunan rumah

dinas dokter di Dinas Kesehatan dengan nilai pagu Rp 245 juta. Permenkeu mengatur

batas tertinggi honorarium untuk nilai pagu di atas 200 juta s.d. 500 juta adalah Rp

850.000. Karena nilai pagu pengadaan adalah Rp 245 juta maka setiap anggota Pokja

ULP hanya mendapat honor Rp 508.000. Besaran honorarium ini tentunya tidak

sebanding dengan beban pekerjaan, resiko pekerjaan dan beban mental dari panitia

pengadaan ((Wawancara dengan MI9, 4 Juni 2015).

Selain jumlah honor yang kecil, pekerjaan di Pokja dirasakan sangat menyita

waktu karena harus bekerja selama 24 jam. Ditambah lagi jam kerjanya yang tidak

lazim karena jam kerja yang paling aman adalah sekitar jam 10 atau 11 malam. Bahkan

bila sedang melakukan pelelangan, Pokja tidak bekerja di kantor dinas, melainkan di

rumah posko yang disediakan oleh pemerintah. Fungsi rumah posko ini adalah untuk

kenyamanan kerja dan mengurangi resiko ancaman dari penyedia. Ada kalanya Pokja

menginap di rumah posko khususnya pada waktu akan menerbitkan berita acara

penetapan pemenang lelang karena memang harus dilakukan pukul 12 malam

(Wawancara dengan MI9, 4 Juni 2015).

Berisikonya tugas menjadi panitia pengadaan secara elektronik memang

menjadi momok yang menakutkan, akan tetapi semua kembali kepada orangnya. Di

awal LPSE Kota Medanterbentuk pada tahun 2011, banyak pegawaiyang enggan ikut di

dalam kepanitiaan. Namun akhir-akhir ini, animo untuk menjadi panitia pengadaan

barang/jasa sudah semakin meningkat. Salah satu buktinya adalah dengan semakin

tingginya keinginan pegawai/SKPD mengikutipelatihan untuk mendapatkan sertifikasi

Page 67: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

67

pengadaan. Sehingga regenerasi untukmenduduki posisi Pokja ULP pun akhirnya

berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Selain itu kinerja yang ditunjukkan oleh Pokja ULP di Kota Medan, baik yang

tetap maupun tidak tetap, sudah cukup terorganisir pada saat ini. Masing-masing

anggota Pokja telah bekerjasama dengan baik dalam menjalankan kegiatane-

procurement. Meskipun beberapa paket tidak selalu ada hubungannya dengan

backgroundanggota Pokja karena anggota Pokja berasal dari berbagai SKPD, namun

mereka tetap mampu menangani dan memilah barang/jasa apa yang boleh

dimenangkan. Hal ini karena jam terbang mereka yang sudah banyak sehingga mereka

mengerti. Selain itu mereka juga dibantu oleh deskripsi spesifikasi barang yang ada.

Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh seorang partisipan.

“Keengganan para peserta ujian sertifikasi menjadi anggota Pokja adalah tidak

beralasan. Penyelenggaraan lelang maupun penyedia sebenarnya akan berjalan baik bila

dijalankan sesuai dengan prosedur yang ada. Adapun tindakan-tindakan berisiko dalam

pengadaan biasanya dalam halmark-up atau menggelembungkan HPS. Seperti yang

terjadi di Dinkes Provinsi Sumatera Utaradalam pengadaan alat-alat.Panitia pengadaan

dan PPKpasti ada hubungan dengan masalah ini, karena merekalah merupakan pihak

yang mengetahui dan menyetujui spesifikasi dan HPS yang telah disusun” (Wawancara

dengan MI9, 4 Juni 2015).

Karena penting, beresiko dan strategisnya posisi Pokja ULP dan PPK, maka

persyaratan untuk menjadi Pokja ULP dan PPK diakomodir dalam perpres tentang

pengadaan barang/jasa. Cukup banyak persyaratannya diantaranya adalah memiliki

integritas, disiplin tinggi dan sertifikat pengadaan barang/jasa. Dari beberapa

persyaratan tersebut yang nomor satu disebutkan adalah memiliki integritas. Ini artinya

persoalan pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia sangat strategis sehingga

organisasi pengadaan barang/jasa menempatkan integritas pada poin yang pertama.

Galer35

mengatakan “Integrity is what we say, what we do, and what we say we

do.” Jadi seseorang yang memiliki integritas harus menjaga konsistensi antara apa yang

ia katakan dan apa yang ia lakukan. Ketika apa yang dikatakan tidak sesuai atau sejalan

dengan apa yang dilakukan maka seseorang itu dapat dikatakan tidak jujur atau tidak

berintegritas. Ketidakjujuran ini pada akhirnya akan meruntuhkan kredibilitas

seseorang, karena kredibilitas dibangun dari sikap jujur yang konsisten. Dengan

35

Galer, Don. http://thinkexist.com/quotes/don_galer/. Dikutip 17 Juni 2015. Jam 10.00 WIB.

Page 68: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

68

demikian jelaslah mengapa memiliki integritas diletakkan pada nomor pertama dari

persyaratan menjadi Pokja dan PPK, karena tanpa memiliki integritas persyaratan-

persyaratan lainnya tidak ada artinya.

5.7 Kebijakan e-Procurement: Sebuah Pandangan Pesimistis Dari Penyedia?

Menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 angka 12 bahwa penyedia barang/jasa

adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan

konstruksi/jasa konsultansi/jasa lainnya. Dengan demikian baik badan usaha maupun

orang perseorang dapat mengikuti pengadaan yang dilakukan oleh K/L/D/I, meskipun

dengan persyaratan yang berbeda pula.

Salah satu persyaratan bagi penyedia barang/jasa adalah berkaitan dengan

memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan

dalam pengadaan barang/jasa. Baik penyedia dalam bentuk badan usaha maupun orang

perseorangan harus memenuhi persyaratan ini. Sementara khusus untuk badan usaha

yangingin mengikuti proses pengadaan barang/jasa wajib memenuhi persyaratan

memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia barang/jasa dalam kurun

waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta.Namun

hal ini tidak berlaku bagi badan usaha yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun.

Persyaratan ini juga tidak berlaku bagi orang perseorangan. Hal ini dimaksudkan agar

semua badan usaha maupun orang perseorangan dapat berpartisipasi dalam pelelangan

secara elektronik dengan tetap mengikuti proses pengadaan yang dilakukan secara

online.

Gambar 5.3: Alur Proses Rekanan Melalui Sistem LPSE

Sumber: LPSE Serdang Bedagai, 2015

Page 69: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

69

Di proses awal pengadaan secara elektronik,penyedia harus mendaftar melalui

SPSE untuk mendapatkan user IDdan password. Meskipunsudah online,tetapimasih

memungkinkanterjadi pertemuan langsung antara penyedia dan anggota LPSE dalam

proses pendaftaran. Ini dapat terjadi karena ada gangguan jaringan yang menyebabkan

penyedia tidak dapat menerima userID dan password sebagai proses awal pendaftaran.

Setelah melakukan pendaftaran, panitia pengadaanmelalui komunikasionline

menginformasikan dokumen pengadaan bagi calon penyedia. Dokumen ini ditetapkan

oleh Pokja ULP/PejabatPengadaan yang memuat informasi dan ketentuanyang harus

ditaati oleh para pihak dalam proses pengadaan barang/jasa. Informasi ini diantaranya

berkaitan dengan HPS, persyaratan kualifikasi, jenis kontrak, jadwal pelaksanaan lelang

dan lain-lain. Berkaitan dengan isi dokumen ini bila ada hal yang perlu dipertanyakan

maka penyedia dapat meminta penjelasan (aanwijing) kepada panitia pengadaan.

Aanwijzing merupakan proses penjelasan pelelangan yang dilakukan secara online tanpa

tatap muka melalui website LPSE. Namun bila tidak memungkinkan memberikan

informasi lapangan ke dalam dokumen, maka panitia pengadaan dapat melakukan

penjelasan di lapangan atau lokasi pekerjaan.

Sebelum memasuki prosesberikutnya, Pokja ULP harus memastikan bahwa

calon penyedia tidak tercantum didalam daftar hitam (black list).Daftar hitam adalah

daftar yang dibuat oleh K/L/D/I yang memuat identitas penyedia barang/jasa yang

dikenakan sanksi oleh PA/KPA berupa larangan mengikuti pengadaan barang/jasa pada

K/L/D/Idan/atau yang dikenakan sanksi oleh Negara/Lembaga PemberiPinjaman/Hibah

pada kegiatan yang termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Presiden tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah36

. Tidak sulit bagi panitia pengadaan untuk

mengecek nama-nama penyedia yang masuk dalam daftar hitamkarena nama-nama

tersebut dimuat dalamPortal Pengadaan Nasional.Sebuah badan usahaatau perseorangan

masuk ke dalam black listdapat disebabkan beberapa hal. Tidak hadir dalam

penandatanganan kontrak ketika dinyatakan menang dalamsebuah paket lelang. Selain

itu dapat pula terjadi karenapenyedia tidak memenuhi isi kontrak, misalnya dengan

menyediakan barang kurang dari yang disepakati. Penyebab lainnya karena tidak

jelasnya (fiktif) keberadaan penyediatersebut.

Selanjutnya pada halaman websiteLPSE, panitia mengumumkan siapa saja

penyedia yang dapat mengikuti proses berikutnya dan juga penyedia yang gagal.

36

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No. 18 Tahun 2014 tentang

Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Bab I, Pasal 1, Angka 6.

Page 70: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

70

Penyedia yang memenuhi kualifikasi dapat dikatakan sebagai peserta lelang dan berhak

untuk melakukan penawaran. Pada tahap ini,para peserta lelang harus mempersiapkan

dokumen penawaran dalam sebuah file penawaran dan mengunggahdokumen tersebut.

Panitia akan membuka dokumen dan melakukan evaluasi penawaran dari semua peserta

lelang yangmemasukkan tawaran.Proses evaluasi (administrasi dan teknis, harga,

kualifikasi) terhadap file penawaran dilakukan secara manual (off line) di luar SPSE.

Setelah proses evaluasiselesai dilakukan, maka proses berikutnya penetapan pemenang

lelang oleh PPK melalui SPSE.

Calon pemenang lelang bisasatu atau dua peserta, tergantung pada semakin

terpenuhuinya persyaratan sebagai pemenang. Sedangkan yang menjadi pemenang

adalah satu orang/badan yakniorang/badan yang berhak mengadakan barang/jasa yang

diminta sementara calon pemenang pertama dan kedua menjadi pemenang cadangan

yang akan menggantikan posisi pemenang apabila terjadi sesuatu yang tidak

memungkinkan bagi pemenang dalam melakukan kegiatan pengadaan.

Pengumumandiwebsite LPSEtidakmenjelaskan secara rinci alasan mengapa peserta

lelang tersebut menang, namun dapat dilihat tanda atau nilai di kolom administrasi,

teknis, harga penawaran dan harga terkoreksi dari peserta tersebut.

Setelah pengumuman pemenang, peserta yang merasa keberatan atas penetapan

pemenang dapat menyampaikan sanggahan sebanyak satu kali kepada PPK yang

dilakukan secara online melalui SPSE satu jam setelah pengumuman pemenang lelang.

Sanggahan dari peserta lelang yang merasa keberatanini dijawab PPK setelah batas

akhir waktu sanggah yakni lima hariuntuk lelang biasa dan tiga hari untuk lelang cepat.

Jawaban dari PPKhanyabisa dibaca oleh peserta yang mengikuti penawaran. Jadi tidak

bisa dibaca oleh masyarakat luas atau penyedia yang tidak mengikuti penawaran.

Apabila peserta tetap tidak merasa puas atas jawaban PPKmaka pesertadapat melakukan

proses sanggah banding.

Proses sanggah banding dilakukan di luar SPSE dimana peserta lelang

mengirimkan sanggahanya kepada pejabat terkait, misalnya kepala daerah (bupati atau

walikota) sebagai PA untuk tingkat pemerintahan daerah. Dalam keadaan seperti ini

biasanya bupati atau walikota dengan bantuan panitia pengadaan mencari jalan damai

misalnya dengan menjanjikan proyek yang lain atau yang akan datang untuk diserahkan

kepada peserta lelang yang gagal tersebut. Karena pada prinsipnya bupati atau walikota

tidak ingin permasalahan ini naik kepermukaan. Jadi melalui sanggah banding seperti

ini, maka sisi hukumnya tidak tercapai. Namun pada saat ini apabila pesertatetap tidak

Page 71: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

71

puas dalam proses sanggah, maka dapat berlanjut melaluijalur hukum di PTUN. Melalui

PTUN sisi hukumnya tercapai karena bila ditemukan tindakan pidana (KKN) dalam

proses pengadaan, maka panitia pengadaan dapat diajukan ke pengadilan. Karena salah

satu persyaratan dalam sistem e-procurement adalah semua pihak yang terlibat harus

menandatangani Pakta Integritas yakni surat pernyataan yang berisi ikrar

untukmencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme(Wawancara dengan

MI2, 21 Mei 2015).

Melalui jalur PTUN proses sanggah bisa dikatakan cukup sulit dan memakan

biaya karena peserta harus memberikan jaminan sebesar 1% dari jumlah pagu lelang

yang sedang berlangsung. Apabila peserta menang dalam putusan PTUN, maka uang

jaminan tersebut akan dikembalikan dan bila tidak menang akan masuk ke dalam kas

negara.Sementara menurut Bapak Basaruddin Kepala Bagian Administrasi

Pembangunan /LPSE Kota Medan, aktivitas sanggahdi Pemerintah Kota Medan sudah

hampir tidak ada. Ini salah satu bukti bahwa keterbukaan proses lelang secara elektronik

terlaksana dengan baik. Namun tidak dapat dipungkiri, hal ini dapat pula terjadi karena

peserta tidak mau repot menggunakan jalur hukum atau khawatir malah rugi apabila

kalah di PTUN.

Setelah masa sanggah telah dilalui atau selesai maka peserta lelang yang

menjadi pemenang diundang untuk datang ke SKPD dan melakukan penandatangan

kontrak dengan PPK.PPK selanjutnya membuat dan menyampaikan Surat Penetapan

Pemenang kepada pemenang lelang secara tertulis, sementara pemenang lelang

membawa dokumen asli penawaran. Jadi proses pengadaa suatu paket lelang selesai bila

PPK telah menetapkan pemenang lelang, panitia pengadaan mengirimkan pengumuman

pemenang lelang kepada peserta lelang melalui SPSE dan masa sanggah telah dilalui.

Dari uraian diatas proses pengadaan barang/jasa secara elektronik sangat tepat

untuk menciptakan transparansi, keterbukaan, persaingan, keadilan/tidak diskriminasi

dan akuntabilitas bila dibandingkan dengan pengadaan secara manual. Namun dari

perspektif penyedia khususnya pengusaha lokal, reformasi pengadaan barang/jasa ini

belum memberikan kemudahan dan keuntungan yang nyata bagi mereka terutama bila

dikaitkan dengan semangat otonomi daerah. Karena berlakunya sistem e-procurement

menuntut penyedia untuk memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan

manajerial dalam menyediakan barang/jasa secara elektronik. Persyaratan-persyaratan

ini sangat memberatkan khusus bagi pengusaha lokal yang mempunyai keahlian,

pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial yang terbatas.

Page 72: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

72

Kemampuan di bidang teknologi informasi termasuk penguasaan akan

komputer bagi sebahagian besar pengusaha lokal masih hal yang langka dan

sulit.Dengan demikian, secara teknis proses pengadaan secara elektronik belum terlalu

akrab bagi mereka.Bahkan seorang pengusaha yang mempunyai sebuah CV tidak

pernah membuka website LPSE untuk melihat informasi mengenai paket-peket

pengadaan. Sementara ada penyedia yang mengikuti lelang tetapi tidak mengunggah

sama sekali dokumen-dokumen yang diminta dengan alasan tidak mengerti. Mengatasi

hal-hal seperti ini, para pengusahaakhirnya memakai dan membayar seseorangyang

menguasai teknologi informasi untuk bisa mengikuti penawaran secara elektronik.

Selain perlu penguasaan teknologi informasi, sistem pengadaan secara

elektronik menjadi lebih terbuka bagi penyedia yang memiliki modal yang kuat. Hal ini

menimbulkan kecemburuandiantara para pengusaha khususnya pengusaha lokal yang

mempunyai modal terbatas. Karena pada umumnya penyedia yang memiliki modal

kuat, perusahaannya memiliki sumber daya manusia dengan kompetensi yang tinggi

dalam membuat penawaran secara elektronik. Selain itu, pengusaha dengan modal yang

kuat lebih mudah untuk mendapatkan rekomendasi dari agen resmi (distributor) yang

menyediakan garansi purna jual. Penyedia yang memiliki rekomendasi (lampiran-surat

dukungan) dan mengikuti penawaran akan lebih besar untuk memenangkan sebuah

paket lelang.Namun untuk mendapatkan rekomendasi tersebut tidak mudah bagi

pengusaha lokal yang memiliki modal dan akses yang terbatas. Karena biasanya hanya

ada satu pemasok (distributor) yang memberikan rekomendasi dan tidak semua

pengusaha mendapat rekomendasi tersebut.

Penguasaan teknologi informasi dan memiliki modal yang kuat, seorang

pengusaha juga harus mempunyai jaringan yang kuat di era pengadaan secara

elektronik.Sistem pengadaan secara elektronik dianggap masih belum transparan karena

ada celah yang membuat KKN “lebih halus” bermain didalamnya.Ada bargaining

proyek yaitu dengan memberikan setoran yang dibayar dimuka.Pembayaran dimuka

dilakukan untuk menghindari penyedia yang mendapat proyek „nembak‟ tidak

menyetor.Hal ini sudah terjadi sejak sistem pengadaan secara manual dan tidak berubah

hingga sistem pengadaan secara elektronik. Konspirasi penawaran dapat terjadi dengan

cara memberikan setoran kepada pihak penyelenggara. Setoran tanpa jaringan (orang

dalam) tidak menjamin dapat memenangkan penawaran. Karena itu, pengusaha yang

memiliki jaringan luas dianggap sebagai pengusaha profesional di kalangan penyedia

Page 73: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

73

dan biasanya bukan berasal dari pengusaha lokal (Wawancara dengan MI8, 28 Mei

2015).

Uraian diatas menjelaskan bagaimana terjepitnya posisi dari pengusaha lokal

yang ikut dalam pengadaan secara elektronik. Jika dilihat dari semangat otonomi

daerah, potensi untuk belanja barang/jasa pemerintah seharusnya lebih diberikan

peluang kepada pengusaha lokal (daerah). Karena dengan begitu, pemerintah ikut dalam

pengembangan usaha bagi pengusaha di daerah. Namun faktanya selalu ada dominasi

pengusaha dari luar daerah yang biasanya mempunyai sumber daya manusia yang

kompeten, modal yang besar serta jaringan yang luas. Hal ini dapat terjadi karena

keterbukaan dalam SPSE yang menyebabkan penyedia dari mana saja yang ingin ikut

penawaran dapat mendaftarkan diri secara langsung. Sehingga tidak berlebihan bila

salah seorang anggota asosiasi penyedia memandang perbedaan terbesar antara sistem

pengadaan secara manual dan elektronik terletak pada masalah pemerataan kesempatan

mendapat proyek.

Bila lelang secara elektronik membuat pengusaha lokal tidak mampu berbuat

banyak, maka beda dengan pengadaan langsung yang dilakukan secara non elektronik.

Dari kacamata penyedia lokal, pengadaan langsung merupakan domainnyamereka.

Meskipun pagunya tidak sebesar lelang secara elektronik namun ini sudah cukup berarti

bagi pengusaha lokal. Menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 pagu untuk pengadaan

langsung paling tinggi senilai Rp 200 juta untuk paket pengadaan barang/pekerjaan

konstruksi/jasa lainnya dan Rp 50 juta untuk paket pengadaan jasa konsultansi.

Biasanya secara tidak langsung kepala daerahatau kepala dinas sebagai PA menentukan

kepada siapa saja penawaran diberikan. Sehingga siapapun yang menang semata-mata

bukan hanya berdasarkan kualifikasi perusahaan penyedia melainkan jugakarena ada

hubungan secara pribadi atau ada setoran yang diberikan (Wawancara dengan MI8, 28

Mei 2015).

Terlepas dari adanya pengadaan secara langsung yang cukup menguntungkan

bagi pengusaha lokal, namun secara kuantitas jumlah proyek yang di tenderkan tidak

sebanding dengan jumlah pengusaha yang ada. Pada awal Kabupaten Serdang Bedagai

baru dimekarkan, banyak masyarakat yang membuka CV dengan harapan mendapat

proyek dari Pemerintah Daerah atau SKPD yang sedang melakukan lelang. Namun

faktanya pada saat ini setelah sistem pengadaan secara elektronik semakin mendominasi

proses pengadaan barang/jasa maka ada ribuan CV di kantor pajak PKB-nya dicabut

Page 74: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

74

karena tidak aktif. Beberapa CV mengalami penurunan level sehingga hanya proyek

dengan pagu yang tidak terlalu besar yang boleh diikuti.

Dampak dari berlakunya sistem pengadaan secara elektronik membuat

persaingan untuk mengikuti penawaran semakin luas karena penyedia datang bukan

hanya berasal dari daerah setempat saja tetapi terbuka luas bagi siapa saja sepanjang

memenuhi persyaratan yang ada. Sehingga tidak mengherankan, sistem pengadaan

secara manual bagi sebagian pengusaha lokal dirasakan lebih menguntungkan. Ketika

pengadaan secara manual diterapkan, pengusaha luar tidak berani masuk karena

dihadang oleh pengusaha lokal. Selain itu, sesama pengusaha lokal biasanya ada

kesepakatan agar tidak bersama-sama mengikuti penawaran yang sedang dilakukan oleh

pemerintahan daerah atau salah satu SKPD. Jadi penyedia yang lain tidak boleh

mencolok paket yang sudah diikuti oleh seorang penyedia. Bila masih ada juga

penyedia yang hendak ikut lelang pengadaan tersebut maka secara kekeluargaan hal

tersebut dibicarakan agar penyedia tersebut mundur dari paket lelang yang sedang

berjalan. Dengan demikian pembagian proyek bisa lebih merata dan pengusaha lokal

dapat lebih diuntungkan (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI2, 21 Mei 2015;

MI8, 28 Mei 2015).

Pendapat yang cukup kontras datang dari salah seorang pengusaha yang kurang

setuju dengan sistem pengadaan secara elektronik. “Supaya otonomi daerah dapat

dinikmati oleh masyarakat lokal, maka tidak masalah jika para preman kembali

„mendatangi‟ panitia pengadaan asal mereka adalah putra daerah tersebut. Karena

perputaran uangakan tetap berada di daerah tersebut. Tingkat pertumbuhan ekonomi

juga akan lebih baik. Selain itu pengadaan secara manual dirasakan lebih nyaman

karena kesempatan bagi pengusaha lokal untuk mengikuti penawaran menjadi lebih

terbuka.Dari segi kualitas kerja, pekerjaan dari pengusaha lokal lebih baik daripada

pengusaha yang berasal dari luar daerah. Karena ada beban moral sebagai putra daerah

untuk membangun dan memelihara daerahnya.”

Namun apakah penyedia dalam hal ini pengusaha lokal diabaikan begitu saja di

era pengadaan secara elektronik? Seorang partisipan yang mempunyai posisi penting di

ULP sangat mengharapkan agar orang daerahlah yang menang dari paket lelang yang

ditawarkan, dibandingkan orang dari luar daerah. Karena bagaimanapun juga

seharusnya orang daerah yang pertama merasakan keuntungan dari pembangunan di

daerahnya. Karena itu ULP tidak menutup mata dengan kemampuan yang terbatas yang

dimiliki oleh pengusaha lokal berkaitan dengan sistem pengadaan secara elektronik.

Page 75: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

75

Staf ULP dengan tangan terbuka bersedia mengajari penyedia yang mengalami

kesulitan berkaitan dengan proses pengadaan secara elektronik. Penyedia juga diundang

datang ke ULP bila menghadapi kendala dalam mengunggah dokumen yang

kapasitasnya besar. Ruangan yang nyaman dan tertutup juga disediakan bagi penyedia

yang datang ke ULP. Namun tidak banyak penyedia yang memanfaatkan kesempatan

ini. Selain itu, hampir setiap tahun ULP mengadakan pelatihanberkaitan dengan sistem

e-procurement dengan mengundang semua asosiasi pengusaha. Namun sayangnya

pihak penyedia kurang merespon undangan ini dengan positif, misalnya dengan

mengirim orang-orang yang tidak berkompeten seperti tukang sorong dan tukang angkat

batu ke pelatihan tersebut. Begitu pula dengan persyaratan untuk membawa komputer

dalam mengikuti pelatihan, selalu saja diabaikan (Wawancara dengan MI10, 4 Juni

2015).

Pendapat yang hampir sama datang dari user yang mengatakan banyak

penyedia yang menganggap bahwa sistem e-procurement sama dengan pengadaan

secara manual. Padahal dengan sistemonline siapa saja terbuka untuk mengikuti lelang

dan segala informasi dan tahapan lelang seperti pengumuman, persyaratan, pendaftaran,

jadwal lelang dan lain-lain harus dilihat dan dibaca di website LPSE. Karena itu

penyedia harus sering mengupdate informasi dari website LPSE kalau tidak mau

kehilangan kesempatan mengikuti lelang. Namun yang sering terjadi banyak penyedia

yang tidak siap karena malas atau tidak mau capek untuk membuka website LPSE dan

mempersiapkan dokumen sesuai jadwal sebagai persyaratan lelang. Penyedia

beranggapan toleransi ada ketika dokumen mereka tidak lengkap atau terlambat

diunggah dan lain sebagainya. Penyedia lupa bahwa mereka berhadapan dengan sistem

yang secara otomatis menolak atau tertutup ketika jadwal waktu yang sudah ditentukan

untuk mendaftar atau mengunggah sudah lewat (Wawancara dengan MI4, 10 Agt 2015).

Keengganan penyedia untuk datang ke ULP berkaitan dengan fasilitas yang

disediakan dalam rangka membantu mengikuti proses pengadaan secara elektronik,

ditanggapi pesimis oleh seorang pengusaha dibawah asosiasi Gapensi. “Reformasi

pengadaan barang/jasa secara manual ke pengadaan barang/jasa secara elektronik baik

adanya tetapi tidak ada artinya bila sumber daya manusia yang menjalankannya tidak

berubah. Ini artinya sama saja dengan melegalkan cara-cara yang lama dengan cara

yang baru. Mungkin mudah untuk mengubah sistem tetapi tidak gampang untuk

mengubah mindset seseorang. Sebagai penyedia ada keinginan untuk benar-benar

mengikuti sistem pengadaan secara elektronik, tetapi apakah panitia pengadaan juga

Page 76: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

76

mau melakukan hal yang sama? Sulit untuk menyatukan kedua belah pihak selama tidak

ada saling percaya diantara keduanya.”

Pengadaan secara elektronik memang masih baru namun tidak bisa diabaikan

begitu saja dengan cara tidak mau tahu dengan sistem yang baru ini. Apalagi dalam

Perpres No. 4 Tahun 2015 jelas dikatakan bahwa L/K//D/I wajib menggunakan e-

procuremen. Ini artinya siapa saja penyedia baik dari dalam atau luar daerah yang ingin

ikut penawaran harus mengikuti sistem yang baru ini. Agar sistem pengadaan secara

elektronik ini dapat mencapai sasarannya yakni menciptakan efisiensi, efektifitas,

transparan, terbuka, adil dan tidak diskriminatif serta akuntabel maka perlu dibangun

saling percaya diantara penyedia dan penyelenggara pengadaan. Karena kalau tidak,

sistem pengadaan yang baru ini yang dirancang dengan sangat luar biasa dan dengan

biaya yang besar pula tidak ada bedanya dengan sistem-sistem sebelumnya.

5.8 Transparansi dalam Implementasi e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara

Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU

KIP) dikatakan siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang

bersumber dari APBN/APBD dan sumbangan dana publik lainnya diwajibkan untuk

menyampaikan informasi tersebut secara terbuka kepada masyarakat. Informasi ini

dikecualikan bila membahayakan negara, berkaitan dengan kepentingan perlindungan

usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi serta rahasia jabatan, dan lain

sebagainya. Karena Undang-Undang ini bertujuan untuk menjamin hak warga negara

mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik dan program kebijakan publik, proses

pengambilan keputusan publik dan alasan pengambilan suatu keputusan publik. Selain

itu mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan

mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yakni transparan, efektif dan efisien,

terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif serta akuntabel. Tujuan dari UU ini sejalan

dengan tujuan dari proses pengadaan barang/jasa secara elektronik yakni transparansi,

akuntabilitas dan efisiensi proses pengadaan.

Pentingnya transparansi sebagai salah satu tujuan dari e-procurement sudah

disadari oleh partisipan yang bekerja di LPSE dan ULP di tiga lokasi penelitian di

Provinsi Sumatera Utara. Perubahan tender secara manual ke sistem elektronik

merupakan usaha untuk mewujudkan transparansi tersebut, selain adil dan akuntabel

dalam pengadaan barang/jasa. Hal ini karena kegiatan pengadaan secara elektronik

dilakukan secara online sehingga semua pihak dapat melihat apa yang sedang terjadi

Page 77: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

77

dalam proses pengadaan tersebut. Dengan demikian praktek-praktek KKN yang sangat

riskan dalam proses pengadaan dapat ditekan atau bahkan dihindari. Meskipun penyedia

dapat datang ke LPSE ketika menghadapi masalah dalam proses pengadaan, namun

hanya bisa bertemu dan dilayani oleh helpdesk. Dengan demikian e-procurement

dipandang jauh lebih transparan dari pada proses sebelumnya yang manual.

Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011)37

memberikan arti transparansi

dengan cara membedakannya berdasarkan kategori yang substansi dari kegiatan e-

procurement, sehingga cukup relevan digunakan dalam pembahasan dan analisis

mengenai transparansi dalam pelaksanaan e-procurement di Provinsi Sumatera Utara.

Menurut Heald, e-transparansi dapat dikategorikan dalam transparansi data, transparansi

proses dan transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi data berkaitan dengan angka

dan fakta-fakta pemerintah. Di dalam transparansi data ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan yakni biaya yang dibutuhkan untuk memproses data hingga mudah diakses

dan dipahami masyarakat; misinterpretasi data/informasi; dan resiko terhadap

masyarakat/anonimitas. Selanjutnya, transparansi proses merupakan ketersediaan

informasi dari berbagai proses keputusan pemerintahan, mulai dari pembuatan

keputusan hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan

dalam proses keputusan menjadi jelas, dimana proses suatu transaksi tertentu dapat

ditemukan dan mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Terakhir,

transparansi keputusan atau kebijakan menjelaskan alasan (rasionalitas) dari keputusan-

keputusan, dan/atau tindakan-tindakan dari kebijakan pemerintah.

Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian dapat dikatakan

bahwa secara umum ketersediaan data dari pelaksanaan e-procurement sudah lengkap

dan transparan. Data yang dapat diakses bukan saja mengenai proses atau tahapan

lelang, tetapi juga berkaitan dengan berita seputar pengadaan secara elektronik seperti

pemadaman listrik, kerusakan sistem pada server, berita acara penjelasan pekerjaan

(aanwizjing), perubahan RUP, dan lain-lain. Bahkan beberapa regulasi yang berkaitan

dengan pengadaan secara elektronik dapat diunduh di website LPSE Kota Medan.

Namun masih ditemukan data atau informasi yang tidak diperbaharui, seperti di bagian

regulasi dan berita sehingga cukup mengganggu bagi yang ingin mengetahui informasi

terbaru tentang hal tersebut. Selain itu, terjadi kekosongan data atau informasi seperti di

37

Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of

Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization.

http://www.psocommons.org/policyandinternet / vol3 / iss1/art8.

Page 78: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

78

kolom alasan dari peserta lelang yang gagal memenangkan paket lelang. Meskipun di

paket lelang lainnya informasi tersebut ditemukan. Ketidakkonsistenan ini dapat

menimbulkan berbagai spekulasi dari penyedia atau masyarakat umum yang mengakses

website LPSE.

Informasi mengenai kategori lelang sesuai dengan Perpres No. 4 Tahun 2015

yang terdiri dari Pengadaan Barang, Jasa Konsultasi Badan Usaha, Jasa Konsultasi

Perorangan, Pekerjaan Konstruksi dan Jasa lainnya sudah tersedia dalam website LPSE

di tiga lokasi penelitian. Bahkan dari penelusuran selanjutnya dapat dilihat informasi

mengenai Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS, dan berikutnya dari Nama Lelang

dapat ditemukan informasi mengenai Kategori, Jenis Lelang, Metode dan Nilai seperti

gambar website LPSE di bawah ini.

Gambar 5.4: LPSE Kota Medan: Nama Lelang, Agency, Tahap dan HPS

Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201538

Nama lelang berkaitan dengan barang/jasa yang sedang/telah dilakukan

pelelangan seperti misalnya pada Gambar 5.4 di atas, “Belanja Pengadaan Mobiler

Sekolah Kegiatan Pengadaan Mobiler Sekolah SMA/SMK”. Sementara yang dimaksud

dengan agency adalah panitia penyelenggara lelang. Dari gambar website diatas yang

menjadi agency adalah Pemerintah Kota Medan. Karena itu paket lelang ini berada di

website LPSE Kota Medan. Sedangkan pengertian Tahap disini adalah posisi dari

proses lelang dimana dalam satu paket lelang terdiri dari beberapa tahapan. Dalam

gambardiatas proses lelang berada pada tahap Pembukaan Dokumen Penawaran,

Evaluasi Penawaran, Evaluasi Dokumen dan Kualifikasi. Informasi berikutnya yang

38

http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang?s=0. Dikutip 17 Juli 2015, Jam 12.15 WIB

Page 79: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

79

dapat dilihat dalam website LPSE adalah berkaitan dengan nilai HPS, pada gambar

website diatas nilai HPS sebesar 5.65 M.

Selanjutnya di website LPSE di tiga lokasi penelitian juga menampilkan

informasi mengenai: Pengumuman, Peserta, Harga Penawaran dan Pemenang.

Informasi mengenai Pengumuman berisi hal-hal yang berkaitan dengan lelang dari

mulai kode lelang, nama lelang, tahap lelang saat ini, agency, satuan kerja, kategori,

metode pengadaan, metode dokumen, anggaran, nilai pagu paket, jenis kontrak,

kualifikasi usaha, lokasi pekerjaan, syarat kualifikasi dan peserta lelang. Data yang

disajikan disini cukup lengkap, sistematik dan mudah dimengerti.

Page 80: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

80

Gambar 5.5: Informasi Lelang di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai

Sumber: WebsiteLPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 201539

39

http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang/view/292378. Dikutip 17 Juli 2015. Dikutip Jam 12.45

WIB.

Informasi Lelang

Kode Lelang 292378

Nama Lelang Pembangunan Kantor UPT BPAT Belidahan

Keterangan

Tahap Lelang Saat ini Lelang sudah selesai

Agency LPSE Kabupaten Serdang Bedagai

Satuan Kerja Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Serdang Bedagai

Kategori Pekerjaan Konstruksi

Metode Pengadaan e-Lelang Pemilihan Langsung Metode Kualifikasi Pascakualifikasi

Metode Dokumen Satu File Metode Evaluasi Sistem Gugur

Anggaran 2015 – APBD

Nilai Pagu Paket Rp 354.450.000,00 Nilai HPS Paket Rp 354.450.000,00

Jenis Kontrak Cara Pembayaran Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan

Pembebanan Tahun Anggaran Tahun Tunggal

Sumber Pendanaan Pengadaan Tunggal

Kualifikasi Usaha Perusahaan Kecil

Lokasi Pekerjaan Desa Cempedak Lobang Kec. Sei Rampah - Serdang Bedagai (Kab.)

Syarat Kualifikasi

* Ijin Usaha

IjinUsaha Klasifikasi

TDP MASIH BERLAKU

SITU/HO MASIH BERLAKU

SIUJK MASIH BERLAKU

SBU BG 009 (JASA PELAKSANA UNTUK KONSTRUKSI

BANGUNAN GEDUNG LAINNYA) YANG MASIH BERLAKU

* Telah melunasi kewajiban pajak tahun terakhir

SPT TAHUN 2014

* MEMILIKI NPWP DAN SURAT PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA

PAJAK

* MEMILIKI AKTE PENDIRIAN DAN AKTA PERUBAHAN TERAKHIR

(JIKA ADA)

* MEMPEROLEH PALING SEDIKIT 1 (SATU) PEKERJAAN SEBAGAI

PENYEDIA DALAM KURUN WAKTU 4 (EMPAT) TAHUN TERAKHIR BAIK DI LINGKUNGAN PEMERINTAH MAUPUN SWASTA TERMASUK

PENGALAMAN SUBKONTRAK, KECUALI BAGI PENYEDIA USAHA

MIKRO, USAHA KECIL DAN KOPERASI KECIL YANG BARU BERDIRI

KURANG DARI 3 (TIGA) TAHUN

* MEMILIKI PENGALAMAN PADA SUBBIDANG JASA PELAKSANA

UNTUK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG LAINNYA

* MEMILIKI SURAT KETERANGAN DUKUNGAN KEUANGAN DARI

BANK PEMERINTAH/SWASTA MINIMAL SEBESAR Rp. 35.445.000 (tiga puluh lima juta empat ratus empat puluh lima ribu rupiah)

* MEMILIKI KEMAMPUAN UNTUK MENYEDIAKAN

FASILITAS/PERALATAN/PERLENGKAPAN MELAKSANAKAN

PEKERJAAN INI YANG DIBUKTIKAN DENGAN MELAMPIRKAN DUKUNGAN ALAT ATAU BUKTI KEPEMILIKAN

* PERSYARATAN LAIN YANG DIPERSYARATKAN DALAM DOKUMEN

PENGADAAN

Peserta Lelang 21 peserta [Detil...]

Page 81: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

81

Setelah informasi mengenai Pengumuman, hasil observasi website LPSE

menemukan informasi mengenai Peserta. Tidak semua penyedia lelang bisa lolos

menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan harga penawaran. Setidaknya untuk

menjadi peserta lelang harus lolos dari evaluasi administrasi, teknis, harga penawaran

dan harga terkoreksi. Kalau dilihat dari gambar website di bawah ini ada 2 (dua) calon

pemenang dan 1 (satu) pemenang. Jumlah calon pemenang tergantung pada

kelengkapan persyaratan yang dipenuhi untuk menjadi pemenang. Jadi bisa 3 (tiga), 2

(dua) atau 1(satu) calon pemenang.

Gambar 5.6: Hasil Evaluasi Peserta Lelang di LPSE Kota Medan

Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201540

Dari penelusuran website LPSE pada kategori Jasa Konsultasi Badan Usaha,

Hasil Evaluasi dapat dilihat dari 5 (lima) hal berikut yaitu: Administrasi, Teknis, Skor

Teknis, Harga Penawaran dan Harga Terkoreksi. Pada gambar website di atas, nama

pemenang dengan tanda bintang berwarna kuning dapat dengan mudah dilihat. Di

kolom alasan tidak ada informasi yang ditemukan. Tetapi terlihat pada baris pemenang

ada tanda √ di persyaratan administrasi dan teknis serta skor teknis 79.23. Skor ini lebih

rendah dari dua pesaingnya. Bila dilihat dari harga penawaran dan harga terkoreksi,

maka nilai penawaran dan terkoreksi pemenang lebih rendah dari pesaingnya.

40

http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/rekanan/lelangpeserta/293378. Dikutip 21 Juli 2015. Jam

10.00 WIB.

Page 82: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

82

Gambar 5.7: Harga Penawaran di LPSE Kota Medan

Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201541

Setelah informasi mengenai Pengumuman dan Peserta, hasil observasi dari

website LPSE menemukan informasi mengenai Harga Penawaran. Pada gambar website

di atas, terlihat informasi dari tiga nama penyedia barang/jasa yang memberi harga

penawaran terendah dari sebuah paket lelang. Namun tidak ada penjelasan yang rinci

sehingga ketiga penyedia tersebut dapat menetapkan harga penawaran serendah itu.

Karena tidak dapat dipungkiri bahwa penetapan harga penawaran terendah, memberikan

kesempatan besar bagi penyedia untuk masuk pada tahap berikutnya. Bahkan

kesempatan untuk menjadi pemenang lelang sangat terbuka luas. Sementara informasi

mengenai penyedia lainnya yang memberikan harga penawaran tinggi tidak

dicantumkan pada website. Ini menunjukkan dari beberapa nama penyedia, hanya 3

(tiga) nama tersebut yang masuk ke proses berikutnya.

Dari pandangan penyelenggara pengadaan dan user, hal tersebut di atas sudah

menunjukkan adanya transparansi. Transparansi jangan diartikan bahwa semua yang

terjadi di dalam proses pengadaan secara elektronik harus dibuka selebar-lebarnya

kepada masyarakat umum. Tidak mungkin seorang peserta lelang yang melakukan

penawaran dari satu paket lelang akan menguraikan dengan rinci semua isi

penawarannya dalam website LPSE. Masyarakat umum atau pesaingnya cukup

mengetahui jumlah total dari harga penawarannya, tanpa harus mengetahui rinciannya.

41

http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/rekanan/lelanghargapeserta/1986308. Dikutip 21 Juli 2015.

Jam 10.25 WIB.

Page 83: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

83

Karena kalau tidak, hal ini dapat dikategorikan melanggar peraturan tentang persaingan

usaha. Jadi menurut panitia pengadaan sistem yang baru ini sudah memberikan

transparansi bukan saja bagi penyedia tetapi juga bagi masyarakat umum (Wawancara

dengan MI1, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 4 Agt 2015).

Gambar 5.8: Informasi Pemenang Lelang di LPSE Kota Medan

Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201542

Dari penelusuran website LPSE dan seperti gambar diatas, terlihat dengan jelas

Nama Pemenang Lelang dengan beberapa informasi berkaitan dengan pemenang dan

paket lelang yang dimenangkan seperti alamat dan NPWP pemenang serta kategori dan

pagu lelang. Pada laman yang sama juga ada informasi mengenai Hasil Evaluasi Peserta

Lelang. Jadi sebenarnya ada dua laman yang berbeda yang mencantumkan nama

pemenang dan calon pemenang. Bedanya di laman Informasi Pemenang Lelang

(Gambar 5.8) identitas pemenang telah diuraikan dengan cukup rinci, sementara di

laman Hasil Evaluasi Peserta Lelang (Gambar 5.6) informasi mengenai identitas

pemenang lelang belum diuraikan. Sementara informasi mengenai calon pemenang

baik pada laman Informasi Pemenang Lelang dan laman Hasil Evaluasi Peserta Lelang

adalah sama, mengenai kekurangan dokumen dari calon pemenang yang dapat

ditemukan di kolom alasan. Pengulangan informasi ini dapat diartikan untuk lebih

memperjelas bahwa peserta tersebut lebih memenuhi syarat menjadi pemenang

dibandingkan peserta lainnya.

42

http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang/pemenang/1986308. Dikutip 21 Juli 2015. Jam 10.35.

Page 84: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

84

Dari hasil observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian kolom alasan untuk

calon pemenang dan bahkan peserta lelang ada yang diisi tetapi ada juga yang tidak

diisi. Biasanya yang diisi di kolom alasan ini adalah berkaitan dengan kurang

lengkapnya dokumen administrasi dan teknis peserta lelang. Alasan-alasan ini bisa

karena tidak melampirkan surat pernyataan bersedia membawa barang yang ditawarkan

pada saat klarifikasi dan pembuktian kualifikasi, tidak melampirkan Jaminan

Penawaran, tidak ada scan brosur/katalog yang dilegalisir dan lain sebagainya.

Ketidakkonsistenan dalam pengisian kolom alasan ini dapat membingungkan

masyarakat yang membaca dan dapat juga menimbulkan salah pengertian dari penyedia.

Sementara untuk pemenang lelang, kolom alasan sama sekali tidak diisi, ini

menunjukkan bahwa pemenang memang layak untuk menjadi pemenang. Namun di

bagian pemenang lelang ditemukan informasi mengenai persyaratan administrasi dan

teknis dengan tanda √ dan/atau harga penawaran dan harga terkoreksi paling rendah

dibanding peserta lainnya. Hal lain yang juga diobservasi diketiga website LPSE adalah

tidak semua harga penawaran dari penyedia dicantumkan dalam website LPSE, hanya

beberapa penyedia yang memberikan harga penawaran terendah saja yang dicantumkan.

Ini artinya seorang penyedia selain mengetahui harga penawaran yang diberikannya,

juga dapat melihat harga penawaran dari beberapa penyedia (sebagai pemenang dan

calon pemenang) yang tercantum di website LPSE, tetapi tidak mengetahui harga

penawaran dari penyedia-penyedia lainnya (lihat Gambar 5.7).

Sejalan dengan hasil observasi website LPSE di atas, menurut pandangan user

(SKPD)bahwa transparansi adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa

yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Dengan demikian, seseorang atau

masyarakat umum tidak berhak mengetahui secara detail proses lelang berlangsung,

sepanjang dia atau masyarakat umum tersebut tidak menjadi penyedia atau peserta

lelang. Seorang penyedia juga tidak berhak mengetahui informasi mengenai semua

saingannya. Selain itu, penyedia yang gagal di tengah berjalannya proses lelang, jadi

belum menjadi peserta lelang yang dapat memberikan harga penawaran, tidak berhak

mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang dan mengapa peserta yang lain

gagal. Namun pandangan ini berbeda dengan pandangan penyedia yang berpendapat

bahwa transparansi berarti seorang penyedia dapat mengetahui informasi apa saja dari

para pesaingnya dan sebaliknya para pesaingnya dapat mengetahui informasi apa saja

mengenai dia (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015).

Page 85: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

85

Transparansi data bukan hanya mencakup ketersediaan informasi tentang

proses e-procurement tetapi juga harus mencakup informasi lainnya yang relevan

dengan proses e-procurement seperti peraturan, kebijakan dan pedoman yang

merupakan data penting yang memberikan kejelasan, dasar hukum dan pedoman dalam

melakukan pelelangan barang/jasa secara elektronik. Di website LPSE Kota Medan

dapat diunduh Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,

Peraturan Kepala LKPP No. 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara e-Tendering dan UU No.

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun Perpres No 4 Tahun

2015 sebagai revisi terbaru dari perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah

belum ada dalam website LPSE Kota Medan di bagian Regulasi43

. Sementara informasi

mengenai peraturan-peraturan yang relevan dengan e-procurement ini belum tercantum

sama sekali pada situs LPSE Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai.

Gambar 5.9: Regulasi Berkaitan Dengan e-Procurement di LPSE Kota Binjai

Sumber: Website LPSE Kota Binjai, 201544

Alasan utama mengenai tidak dicantumkannya peraturan yang berkaitan

dengan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik pada situs LPSE Kota

Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai adalah karena LPSE diseluruh Indonesia sudah

terintegrasi sehingga publik dapat langsung mengakses situs LKPP untuk mendapatkan

43

http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/regulasi. Dikutip 24 Juli 2015. Jam 14.40 WIB. 44

http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/regulasi. Dikutip 20 Juli 2015. Jam 11.30 WIB.

Page 86: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

86

informasi mengenai kebijakan dan peraturan nasional yang diterbitkan oleh LKPP45

.

Namun tidak ada salahnya juga bila setiap LPSE melengkapi websitenya dengan

regulasi yang berkaitan dengan pengadaan secara elektronik untuk mempermudah dan

mempercepat masyarakat atau penyedia yang memerlukan informasi mengenai

pengadaan secara elektronik termasuk regulasi-regulasi yang berkaitan dengan

pengadaan tersebut. Jadi implementasi e-procurement selain dapat meningkatkan

transparansi publik juga dapat meningkatkan transparansi antar lembaga pemerintahbaik

di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.

Gambar 5.10: Pengumuman Pengadaan di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai

Sumber: Website LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 201546

Berita seputar pengadaan barang/jasa juga dapat ditelusuri di website LPSE di

tiga lokasi penelitian. Beberapa berita ini berkaitan dengan pengumuman mengenai

informasi pemadaman listrik, gangguan server akibat terputusnya aliran listrik, ralat

RUP, pengumuman pemenang, penjelasan pekerjaaan (aanwizjing) dan sebagainya. Dua

diantaranya diuraikan terlebih dahulu disini yakni yang berkaitan dengan informasi

pemadaman listrik di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai dan gangguan sistem pada

server LPSE Kota Medan.

45

Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty Sylvania. 2014. Model Implementasi Kebijakan e-

Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara.

Hasil Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara. 46

http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/publicberita/pengumuman. Dikutip 17 Juli 2015. Jam 22.30.

Page 87: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

87

Berita mengenai informasi pemadaman listrik di atas dikeluarkan pada tanggal

10 Juni 2015 jam 08.52 sementara pemadaman listrik terjadi pada tanggal yang sama

dari jam 08.00-16.00 WIB. Hal yang sama terjadi pada berita mengenai gangguan

sistem padaserver LPSE Kota Medan. Seharusnya berita pemadaman listrik seperti ini

diberitakan minimal satu hari sebelum pemadaman listrik. Sementara berita mengenai

gangguan sistem pada server langsung diinformasikan ketika terjadi gangguan. Karena

hal-hal seperti ini dapat menimbulkan spekulasi dari para penyedia bahwa panitia

penyelenggara sedang melakukan kecurangan (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015;

MI3, 27 Mei 2015).

Berita juga dapat berisi mengenai pengumuman lelang, dimana pengumuman

pemenang lelang dilampirkan dalam format pdf, seperti dibawah ini.

Hasil observasi pada website LPSE, berita mengenai Pengumuman Pemenang

Lelang berisi tentang paket pekerjaan, total HPS, nama dan alamat perusahaan, NPWP

10 Juni 2015 08:52

Informasi Pemadaman Listrik

Berdasarkan surat edaran PT. PLN nomor : 0081/DIS.00.02/SRP2015 tanggal 09 Juni 2015

tentang rencana pekerjaan pemeliharaan tahunan trafo daya, Bay trafo daya, kubikel 20KV

dan trafo PS serta adanya pemeliharaan jaringan 20 KV untuk daerah Kec. Sei Bamban, Kec.

Tj. Beringin, Kec, Sei Rampah dan Kec. T. Mengkudu. Yang akan dilakukan Hari Rabu, 10

Juni 2015. Mulai pukul 08.00 s/d 16.00 WIB. Terkait dengan itu LPSE Kab. Serdang Bedagai

akan mengalami gangguan jaringan server LPSE Kab. Serdang Bedagai. Demikian

diberitahukan untuk dapat dimaklumi. Terima Kasih.

04 November 2014 15:55

Gangguan Sistem pada Server LPSE Kota Medan

Dengan ini diinformasikan bahwa telah terjadi gangguan sistem pada server LPSE Kota

Medan pada Senin, 3 Nopember 2014 pukul 16.00 WIB s/d Selasa, 4 Nopember 2014

pukul 15.30 WIB. Saat ini LPSE Kota Medan sudah dapat beraktifitas dengan normal

kembali.

Diinformasikan juga kepada seluruh panitia yang sedang dalam masa lelang untuk

memperhatikan dan mengubah jadwal apabila diperlukan.

Demikian diberitahukan untuk dapat dimaklumi.

Hormat Kami, LPSE Kota Medan.

19 September 2012 15:54

Pengumuman Pemenang

Berdasarkan hasil evaluasi, BAHP dan penetapan, Panitia mengumumkan pemenang paket

pekerjaan Penambahan Lajur Gedung Balai PKB Pinang Baris.

Attachment:

Pengumuman Pemenang Lelang.pdf

Page 88: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

88

serta harga penawaran terkoreksi dari pemenang lelang. Selanjutnya peserta lelang

(calon pemenang) dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi

SPSE atas penetapan pemenang kepada panitia pengadaan barang/jasa, disertai bukti

terjadinya penyimpangan.

Gambar 5.11: Pengumuman Pemenang Lelang

Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201547

Sebagaimana dikatakan Heald diawal selain transparansi data, transparansi

proses juga penting dalam pelaksanaan e-procurement. Transparansi proses ditandai

dengan ketersediaan informasi di setiap tahap dari proses pengadaan secara elektronik.

Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian secara umum dapat

dikatakan bahwa proses dari pelaksanaan e-procurement sudah cukup transparan.

Diawali dengan observasi mengenai kategori lelang di website LPSE, maka

dengan mudah ditemukan kategori lelang yang terdiri dari Pengadaan Barang, Jasa

Konsultasi Badan Usaha, Jasa Konsultasi Perorangan, Pekerjaan Konstruksi dan Jasa

lainnya. Selanjutnya ditelusuri informasi secara berturut-turut mengenai Nama Lelang,

Agency, Tahap dan HPS dalam satu laman sehingga memudahkan bagi siapapun

melihatnya. Dari Nama Lelang ini ditemukan informasi mengenai Kategori, Jenis

Lelang, Metode dan Nilai.

Pada informasi Tahap dapat dilihat tahapan-tahapan lelang yang bisa sampai 10

(sepuluh) ke 23 (dua puluh tiga) tahapan dari sebuah paket lelang. Semua tahapan ini

47

http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/publicberitadetail/356308. Dikutip 20 Juli 2015. Jam 11.45

WIB.

Page 89: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

89

dapat dilihat pada website LPSE. Selain itu ada informasi mengenai kapan dimulai dan

berakhir tahapan tersebut serta histori perubahan. Kalau ada perubahan maka berapa

kali perubahan tersebut yang ditulis dengan tinta berwarna merah, kalau tidak ada

perubahan maka tertulis tidak ada. Selanjutnya bila ada perubahan maka ada penjelasan

di kolom keterangan, mengapa terjadi perubahan, namun banyak juga ditemukan tidak

ada alasan di kolom keterangan atau tidak ada informasi mengapa perubahan terjadi di

kolom keterangan. Tulisan tahapan lelang saat ini dibuat dengan warna yang lebih tebal

(bold) sehingga memudahkan siapapun yang membaca sudah sampai di tahap mana

suatu proses lelang berlangsung. Selain itu ada informasi kapan dimulai dan berakhir

tahapan tersebut serta histori perubahan. Kalau ada perubahan, maka berapa kali

perubahan tersebut yang ditulis dengan tinta berwarna merah, kalau tidak ada perubahan

maka tertulis tidak ada. Selanjutnya bila ada perubahan maka ada penjelasan di kolom

keterangan, mengapa terjadi perubahan. Namun, ketidakkonsistenan terjadi karena lebih

banyak ditemukan di kolom keterangan tidak ada informasi, pada hal seharusnya ada

alasan atau ada informasi mengenai perubahan itu terjadi (Gambar 5.11). Website LPSE

juga menampilkan informasi mengenai: Pengumuman, Peserta, Harga Penawaran dan

Pemenang yang merupakan proses akhir dari sebuah tahapan lelang.

Gambar 5.12: Tahap Lelang Saat Ini

Sumber: WebsiteLPSE Kota Medan, 201548

Selain transparansi data dan proses, Heald juga membahas mengenai

transparansi keputusan atau kebijakan yang menjelaskan alasan keputusan atau

kebijakan tersebut dibuat atau diambil. Berdasarkan observasi di website LPSE,

transparansi keputusan dalam pelaksanaan e-procurement sudah cukup memuaskan.

48

http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang/tahap/2004308. Dikutip 20 Juli 2015. Jam 22.30 WIB.

Page 90: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

90

Melihat transparansi keputusan ini dapat dilakukan dengan mengobservasi website

LPSE yang berkaitan dengan Hasil Evaluasi (Gambar 5.6). Seseorang peserta lelang

dengan kategori Jasa Konsultasi Badan Usahadikatakan menang bila hasil evaluasinya

yakni administrasi dengan tanda √, teknik juga dengan tanda √, skor teknik tinggi

dibanding peserta lelang lainnya serta harga penawaran dan harga terkoreksi paling

rendah dibanding peserta lainnya. Merujuk pendapat Heald diatas keputusan peserta

tersebut menjadi pemenang dapat dikatakan transparan. Karena keputusan diambil

dengan rasional berdasarkan data dan proses yang transparan. Namun ketika salah satu

unsur dari penilaian evaluasi di atas tidak maksimal maka penentuan pemenang menjadi

kurang transparan. Dari hasil penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian ada

pemenang lelang dimana persyaratan administrasi dan teknik bertanda √, nilai

penawaran dan terkoreksinya lebih rendah dibanding dengan pesaingnya tetapi skor

tekniknya lebih rendah dari pesaingnya (lihat Gambar 5.8). Selain itu, ada juga

pemenang memiliki penilaian administrasi dan teknik bertanda √, sementara nilai

penawaran dan koreksinya lebih tinggi dari pesaingnya. Hal-hal seperti ini seharusnya

dapat dijelaskan dengan rinci dalam website LPSE sehingga tidak menimbulkan

spekulasi dari para penyedia.

Munculnya spekulasi-spekulasi ini sebenarnya sudah ada pada evaluasi

dokumen di tahap awal dari sebuah paket lelang. Meskipun kenyataannya pada tahap

evaluasi ini antara panitia penyelenggara dan penyedia tidak saling ketemu. Namun

tetap saja menimbulkan spekulasi dari beberapa penyedia bahwa panitia penyelenggara

dengan mudah menyingkirkan dokumen mereka karena alasan tidak lengkap sehingga

mereka tidak masuk ke tahap berikutnya. Pertanyaan yang jamak didengar, “Siapa yang

dapat menjamin bahwa panitia tidak „bermain‟ dalam proses evaluasi dokumen yang

dilakukan secara off line?” (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015). Sementara dari

pihak panitia pengadaan mengatakan bahwa tahap evaluasi dokumen memang

dilakukan secara off line tetapi mereka tidak mengetahui nama-nama penyedia yang

mengikuti lelang. Karena yang mereka evaluasi adalah dokumen-dokumen yang

beridentitas Penyedia 1, Penyedia 2 dan seterusnya sehingga untuk melakukan

kecurangan sangat kecil (Gambar 5.13). Selanjutnya menurut panitia penyelenggara

bahwa beberapa penyedia tidak memanfaatkan tahapan pemberian penjelasan

(aanwijzing). Padahal pada tahap ini panyedia dapat bertanya apa saja kepada panitia

penyelenggara berkaitan dengan kegiatan pengadaan termasuk persyaratan dokumen

Page 91: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

91

yang harus mereka lengkapi. Dengan demikian penyedia dapat mempersiapkan

dokumennya dengan lengkap sesuai dengan persyaratan yang diminta.

Gambar 5.13: Jumlah Peserta/Penyedia Yang Mengikuti Lelang

Sumber: Website LPSE Kota Medan, 201549

Sementara dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat

dikatakan transparan bukan semata-mata data atau informasi sudah tersedia dalam

website LPSE, namun yang jauh lebih penting adalah transparansi dari alasan-alasan

rasional mengapa seseorang menang dalam paket lelang. Cara paling sederhana untuk

mendapatkan transparansi keputusan atau kebijakan ini adalah bila panitia pengadaan

baik Pokja/ULP maupun PPK adalah orang-orang yang mempunyai integritas dalam

melakukan pekerjaannya. Dengan demikian sistem pengadaan secara elektronik dapat

dikatakan mencapai sasarannya dalam mewujudkan transparansi bila didukung oleh

panitia pengadaan yang memiliki integritas. Tanpa integritas pelaksanaan e-

procurement akan tetap dicurigai atau memunculkan spekulasi-spekulasi (Wawancara

dengan MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei 2015; MI8, 28 Mei 2015).

Kata spekulasi berasal dari bahasa Latin yakni “speculates” yang artinya

melihat kedepan, mengamati, dan menelaah. Selanjutnya muncul kata “speculation” dan

“speculationis” yakni suatu aktivitas penyelidikan filosofi. Kalimat ini berkembang

sebagai "suatu kegiatan berteori tanpa didukung dengan suatu dasar fakta yang

kuat.50

Sejalan dengan pendapat diatas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

spekulasi merupakan pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan; tindakan

49

http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/rekanan/lelangpeserta/2023308. Dikutip 24 Juli 2015. Jam

14.50 WIB. 50

https://id.wikipedia.org/wiki/Spekulasi

Page 92: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

92

yang bersifat untung-untungan.51

Bila dikaitkan dengan pelaksanaan lelang secara

elektronik maka kata-kata spekulasi ini bisa sangat menganggu bahkan merugikan baik

bagi penyelenggara lelang, user maupun penyedia.

Bagi penyelenggara lelang dan user imej yang dibangun bahwa sistem e-

procurement penuh dengan spekulasi tentunya tidak menguntungkan. Karena itu tidak

ada jalan lain selain menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benar-

benar transparan. Data yang tersedia harus lengkap, konsisten dan diperbaharui terus

menerus serta tahapan lelang juga harus lengkap, jelas dan sistematik sehingga mudah

dimengerti. Bila kedua hal ini benar-benar sudah transparan maka kemungkinan

transparansi dalam keputusan dapat terwujud sehingga pada akhirnya tidak

memunculkan spekulasi-spekulasi dari pihak penyedia. Sementara pihak penyedia juga

tidak sembunyi di balik kata-kata spekulasi ketika gagal sebagai pemenang lelang.

Penyedia harus sadar dan siap bahwa pengadaan secara elektronik berbeda dengan

pengadaan secara manual. Artinya penyedia harus selalu memperbaharui informasi

mengenai pengadaan barang/jasa dari website LPSE. Karena semua informasi lelang

termasuk jadwal lelang dan tata cara lelang ada dalam website LPSE. Sistem pengadaan

secara elektronik juga menuntut penyedia untuk tepat waktu baik dalam menggunggah

dokumen maupun mengikuti proses penjelasan lelang (aanwijzing). Tidak ada istilah

bahwa kapan saja bisa mengunduh dan mengunggah dokumen lelang atau kapan saja

bisa meminta penjelasan (aanwijzing). Semuannya harus dilakukan sesuai dengan

jadwal yang ada di website LPSE. Bila semua pihak menyadari hal ini maka tidak ada

lagi yang namanya spekulasi yakni dugaan yang tidak mendasar antara penyedia dan

penyelenggara.

Selanjutnya penelusuran terhadap laman Berita yang berkaitan dengan

aanwijzing (proses pemberian penjelasan) di website LPSE di tiga lokasi penelitian

cukup sedikit. Aanwijzing merupakan satu tahapan dalam pelaksanaan e-procurement

dimana penyedia mempunyai kesempatan untuk bertanya kepada Pokja ULP tentang

segala sesuatu berkaitan dengan proses lelang dengan menggunakan komunikasi online

melalui portal LPSE. Aanwijzing ini dilakukan setelah pengumuman lelang di website

LPSE, yakni hari ke-tiga sampai hari ke-empat. Jadi sesudah penyedia mengunduh

dokumen lelang, tetapi sebelum mengunggah dokumen kualifikasi dan dokumen

penawaran. Dalam proses pemberian penjelasan (aanwijzing) ini penyedia yang

51

http://kbbi.web.id/spekulasi

Page 93: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

93

bertanya dan Pokja ULP yang menjawab sama-sama tidak saling bertatap muka atau

bahkan tidak saling kenal. Komunikasi online ini hanya dapat diikuti oleh penyedia,

Pokja ULP, PPK atau yang memiliki user ID dan password, sementara masyarakat

umum atau yang bukan penyedia tidak dapat terlibat dalam chatting online ini.

Di dalam penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian komunikasi online

antara penyedia dan Pokja ULP/PPK tidak dapat diakses oleh masyarakat umum.

Bahkan rekaman komunikasi online tersebutpun tidak dapat diakses. Informasi yang

ditemukan hanya pengumuman mengenai pelaksanaan aanwizjing pada tanggal, bulan

dan tahun sekian. Selanjutnya berita mengenai komunikasi online tersebut dituangkan

dalam Berita Acara Penjelasan Pekerjaan (aanwizjing) dalam format pdf. Dalam berita

acara tersebut ada 3 (tiga) hal yang diinformasikan yaitu waktu dan tempat pelaksanaan,

peserta rapat serta acara dan materi rapat penjelasan. Sementara dalam lampiran berita

acara penjelasan pekerjaan (aanwizjing), hanya ditemukan gambar website ketika

komunikasi online tersebut berlangsung. Karena hanya berbentuk gambar (dua dimensi)

dengan ukuran yang terbatas, maka masyarakat umum tidak dapat membaca dengan

jelas dan lengkap apa saja percakapan antara peserta (penyedia barang/jasa) dan Pokja

ULP atau PPK.

Penjelasan pekerjaan (aanwijzing) seperti diuraikan diatas, menurut pandangan

panitia pengadaan dan user sudah transparan karena penyedia dapat bertanya apa saja

berkaitan dengan proses lelang termasuk penjelasan mengenai dokumen-dokumen yang

dibutuhkan kepada Pokja ULP. Dengan demikian penyedia mendapatkan informasi baru

dan mengetahui kekurangan dan kelebihan dari dokumennya. Meskipundemikian tidak

ada sanksi bila penyedia tidak memanfaatkan proses aanwijzing ini, dalam arti penyedia

tersebut tidak dapat digugurkan.

Namun dari perspektif penyedia proses aanwijzingpada sistem pengadaan

secara elektronik tidak transparan.Karena forum tanya jawab ini dilakukan tanpa tatap

muka antara penyedia dan Pokja ULP/PPK. Sementara pada sistem manual, forum

tanya jawab ini dilakukan dengan tatap muka sehingga secara spontan seorang penyedia

dapat merespon penyedia yang sedang bertanya kepada Pokja ULP atau merespon Pokja

06 Juli 2012 10:43

BA Aanwijzing Pengadaan Mebeleur SMA/SMK

Attachment:

BA AANWIZJING PENGADAAN MEBELEUR SMA-SMK.pdf

Page 94: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

94

ULP yang sedang memberi jawaban kepada seorang penyedia. Penyedia yang satu juga

dapat melihat dokumen saingannya, demikian juga sebaliknya. Suasana begini dianggap

oleh penyedia lebih terbuka, karena seorang penyedia bisa langsung mengetahui

kelebihan atau kekurangan dari dokumennya dan dokumen saingannya. Sementara tidak

salah juga bila saingannya mengetahui kelebihan atau kekurangan dokumennya. Hal-hal

seperti ini yang membuat penyedia merasa sistem pengadaan secara manual bersifat

terbuka dan sebaliknya sistem e-procurement justru bersifat tertutup. Tertutup bagi

mereka yang tidak mempunyai user ID dan password serta tertutup bagi penyedia yang

kurang akrab dengan komunikasi yang dilakukan secara online (Wawancara dengan

MI1, 21 Mei 2015; MI2, 21 Mei 2015; MI6, 1 Juni 2015; MI9, 4 Juni 2015; MI4, 10

Agt 2015).

Transparansi pengadaan barang/jasa sebagaimana diuraikan diatas

memiliki pemahaman yang berbeda-beda antara panitia penyelenggara dan user

di satu sisi dan penyedia di sisi lain. Kalau menurut penyedia semua informasi

dapat dilihat dan diketahui termasuk informasi mengenai pesaing seperti pada

sistem yang manual. Sementara menurut panitia pengadaan ada hal-hal tertentu

yang tidak bisa dibuka kepada penyedia atau penyedia yang gugur di tengah

proses pengadaan secara elektronik bahkan kepada masyarakat umum. Misalnya

summary lelang yang berisi tentang rincian dari evaluasi administrasi, teknis dan

kualifikasi serta rincian dari harga penawaran peserta lelang hanya dapat dilihat

oleh pemenang, calon pemenang lelang, Pokja ULP dan PPK. Jadi yang punya ID

card atau password saja, karena hal ini dilindungi oleh LKPP. Kalau summary

lelang ini dibuka untuk publik dikhawatirkan dapat dipersepsikan berbeda-beda

dan ini bisa menimbulkan kekacauan sehingga menghambat jalannya kegiatan

pengadaan barang/jasa (Wawancara dengan MI4, 10 Agt 2015). Namun bukan

berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi

dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah ini. Karena sebenarnya untuk

melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan dapat juga

dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

DIPA dibuat atau disusun oleh satker pusat dan daerah yang berlaku untuk satu

tahun anggaransebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran yang

berasal dari dana APBN/APBD. DIPA memuat satuan-satuan terukur yang setidak-

tidaknya memuat informasi mengenai fungsi, subfungsi, program, dan kegiatan; hasil

(outcome) yang akan dicapai; indikator kinerja utama program dan indikator kinerja

Page 95: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

95

kegiatan; keluaran (output) yang dihasilkan; pagu yang dialokasikan; rencana penarikan

dana yang akan dilakukan; dan penerimaan yang diperkirakan dapat dipungut. Pagu

dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui dan

pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian melalui DIPA

masyarakat bisa mengetahui secara rinci uang mereka dibelanjakan untuk apa saja,

biayanya berapa dan hasil atau manfaatnya apa. Jadi berbeda dengan pengalokasian

anggaran di APBN/APBD yang rinciandananya hanya berdasarkan sektor seperti sektor

kesehatan, sektor pendidikan dan lain sebagainya.

Namun permasalahannya adalah di satu sisi masyarakat belum sepenuhnya

menyadari bahwa DIPA dapat menjadi acuan apakah pemerintah sudah melakukan

tanggungjawabnya dalam mengelola keuangan negara (masyarakat) atau tidak. Disisi

lain tidak mudah juga bagi masyarakat untuk mendapatkan DIPA ini. Karena di

lingkungan instansi pemerintah DIPA dianggap seperti dokumen rahasia yang tidak

semua orang boleh mengaksesnya. Bahkan di beberapa instansi pemerintahan tidak

semua pegawai dapat mengakses DIPA di satkernya. Padahal jelas dalam Surat Edaran

Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa Rencana

Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) dan Daftar Isian Pelaksanaan

Anggaran (DIPA) merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan

secara berkala sepanjang tidak memuat informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal

17 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

5.9 E-Procurement di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara

Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Pasal 4 tentang Kesehatan mengatakan

bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Sebagai sebuah hak maka kesehatan sifatnya

mutlak yakni setiap manusia (warga negara) menerima apa yang seharusnya diperoleh.

Dengan demikian pemerintah harus bertanggung jawab agar hak warga negara dalam

hal kesehatan terjamin.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota merupakan lembaga pemerintahan

di tingkat kabupaten/kota yang tugasnya melayani kebutuhan dasar manusia di bidang

kesehatan. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Dinkes

Kabupaten/Kotaini membutuhkan sumber daya di bidang kesehatan diantaranya adalah

kesediaan farmasi seperti obat-obatan dan alat kesehatan sebagai salah satu bentuk

tanggung jawab pemerintah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Page 96: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

96

Pemenuhan alat kesehatan dan obat-obatan di Dinkes Kabupaten/Kota dapat

menggunakan e-procurement yang secara umum dilakukan melalui metode e-tendering

dan e-purchasing dengan memanfaatkan teknologi informasi, disamping pengadaan

langsung, penunjukkan langsung dan lain-lain yang bersifat non elektronik. Sesuai

dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 proses pengadaan barang/jasa pemerintah ini

dilakukan dengan lebih sederhana, tidak saja proses pengadaannya dilakukan secara

elektronik melalui e-tendering dan e-purchasing, tetapi juga menyederhanakan

persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia barang/jasa khususnya didalam

mengikuti e-tendering.

Pengadaan obat-obatan di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota secara umum

dilakukan dengan dua cara. Dinkes Kabupaten/Kota dalam hal ini PPK menerima

rencana kebutuhan obat-obatan dari user yakni Puskesmas. PPK selanjutnya membuat

Daftar Pengadaan Obat berdasarkan e-katalog obat bagi obat yang sudah tercantum di e-

katalog obat dan Daftar Pengadaan Obat diluar e-katalog obat sesuai dengan kebutuhan

dan anggaran yang dimiliki. Selanjutnya kedua Daftar Pengadaan Obat ini diserahkan

ke Pokja ULP dan proses berikutnya dilakukan dengan menggunakan metode e-

purchasing untuk obat yang ada di e-katalog obat dan metode e-tendering atau

Pengadaan Langsung atau metode lain diluar metode e-purchasing (sesuai dengan

Perpres No. 4 Tahun 2015) bagi obat yang belum ada di e-katalog obat.

5.9.0 E-Tendering

E-tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang

dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang

terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara menyampaikan satu kali

penawaran dalam waktu yang telah ditentukan (Pasal 1 angka 39 Perpres No. 4 Tahun

2015). Batas pagu dari proses lelang secara elektronik ini sebesar Rp 200juta ke atas.

Namun di DinkesKabupaten/Kota pagu untuk sebuah lelang yang bernilai di atas Rp

200 juta tidak terlalu banyak. Karena pada dasarnya lelang secara elektronik ini hanya

berhubungan dengan bangunan (infrastruktur) atau barang yang bukan bersifat

pabrikan. Sementara barang seperti alat kesehatan yang bersifat pabrikan dan obat-

obatan dilakukan dengan metode e-purchasing dengan menggunakan e-katalog.

Melaluie-tendering semua aktivitas lelang diharapkan berjalan lebih transparan,

terstruktur dan sistematis karena dapat diawasi oleh semua pihak.

Page 97: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

97

Proses tender di Dinkes Kabupaten/Kota sama dengan yang dilakukan di

SKPD lainnya. Sebelum dilakukan pengadaan, Dinkes Kabupaten/Kota dalam hal ini

PPK menerima rencana kebutuhan barang/jasa yang berasal dari kebutuhan user, yakni

Puskesmas. Selanjutnya PPK membuat HPS dan spesifikasi dari barang/jasa yang akan

dipesan. Dalam penentuan HPS, SKPD memberitahukan distributor bahwa akan

diadakan pengadaan dan meminta mereka untuk menginformasikan terkait harga barang

yang akan dibeli. Pemberitahuan ini sifatnya resmi karena melalui surat dari Dinkes

Kesehatan Kabupaten/Kota. Setelah mengetahui harga dari satu distributor maka dicari

distributor lain yang memproduksi barang yang sama untuk dibandingkan harga

jualnya. Kendala dalam pembuatan HPS dan spesifikasi barang terjadi bila spesifikasi

dari distributor tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan atau diminta Dinkes

Kabupaten/Kota. Setelah HPS ditetapkan, proses selanjutnya adalah Dinkes

Kabupaten/Kota melalui PPK mengusulkan HPS dan spesifikasi barang/jasa ini ke

Pokja ULP yang berada di Pemerintahan Kabupaten/Kota untuk diverifikasi. Apabila

ada perbedaan dalam penentuan HPS dan spesifikasi barang/jasa, maka Pokja ULP akan

memberitahukanDinkes Kabupaten/Kota melalui surat dan selanjutnya dokumen

pengadaan akan dikembalikan.Proses lainnya seperti pemasukan dokumen, pemberian

penjelasan (aanwijzing), pembukaan dan pengevaluasian dokumen, pengusulan calon

pemenang dan penetapan pemenang, sanggah serta pengumuman pemenang dengan

menggunakan website LPSE dilakukan seperti proses lelang secara elektronik lainnya.

5.9.1E-Purchasing

E-purchasing berbeda dengan e-tendering. E-purchasing merupakan tata cara

pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik(Pasal 1 angka 41 Perpres No. 4

Tahun 2015). Pembelian dapat dilakukan bila barang/jasa tercantum dalam katalog

LKPP seperti pada e-Cataloque Obat Pemerintah dan e-Catalogue Alat Kesehatan serta

menggunakan aplikasi LKPP. Sama seperti konsep belanja online, e-purchasing

memastikan pembeli melayani kebutuhan mereka sendiri berdasarkan katalog elektronik

yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis, dan harga barang tertentu dari berbagai

penyedia barang/jasa pemerintah. Jadi pembeli tinggal menyesuaikan kebutuhannya

dengan spesifikasi dan harga yang diingankan.

Page 98: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

98

Gambar 5.14: E-Catalogue Obat Pemerintah

Sumber: Website LKPP, 201552

Dalam PMK No. 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog

Elektronik (E-Catalogue) Pasal 3 Ayat 1 dikatakan seluruh Satuan Kerja di bidang

kesehatan baik Pusat maupun Daerah melaksanakan pengadaan obat melalui e-

purchasing berdasarkan katalog elektronik (e-catalogue) sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan. Tujuannya untuk menjamin transparansi, efektifitas dan efisiensi

proses pengadaan obat dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang

hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Dinkes Kabupaten/Kota lebih banyak

melakukan kegiatan pengadaan dengan metode e-purchasing ini dibandingkan dengan

metode e-tendering. Karena lebih dominannya kebutuhan obat-obatan dan alat

kesehatan yang sifatnya pabrikan dengan pagu paling tinggi sebesar Rp 200 juta.

Penggunaan e-katalog memberikan keuntungan yang signifikan bagi Dinkes

Kabupaten/Kota. Harga obat e-katalog jauh lebih murah dibawah harga obat non e-

katalog. Harga yang lebih murah ini bukan berarti kualitasnya rendah. Namun karena

pabrik yang diberi proyek untuk memproduksi obat mendapat kepastian pembeli dalam

jumlah besar. Selain itu, harga obat e-katalog lebih murah, karena adanya pemangkasan

biaya produksi dan biaya jalur distribusi. Hal lain yang juga menjadi kelebihan dari

penggunaan e-katalog adalah cara kerjanya lebih sederhana dan cepat dibanding dengan

lelang biasa sehingga mempercepat penyerapan anggaran di SKPD. Selain itu, sistem e-

purchasing dengan menggunakan e-katalog lebih transparan karena daftar, jenis,

spesifikasi teknis serta harga barang dari penyedia ditampilkan secara elektronik dan

dapat diakses oleh publik. Terakhir, penggunakan e-katalog lebih memberikan rasa

52

https://katalog-buku.lkpp.go.id/e-katalog-obat/. Dikutip 24 Juli 2015. Jam 16.05.

Page 99: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

99

aman kepada pegawai yang bertanggungjawab atas kegiatan pengadaan barang/jasa di

Dinkes Kabupaten/Kota (Wawancara denganMI11, 4 Juni 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4,

10 Agt 2015).

Namun penggunaan e-katalog tidak terlepas dari beberapa kelemahan. Jumlah

obat-obatan e-katalog adakalanya terbatas atau malah kosong. Pesanan yang secara

serentak dari pihak Dinas Kesehatan dan RSUD di seluruh Indonesia terhadap jenis obat

yang sama menyebabkan pabrik kekurangan stock obat. Selain itu keterlambatan

distributor obat memenuhi pesanan Dinkes Kabupaten/Kota juga menjadi masalah yang

sering terjadi. Keterlambatan dapat terjadi karena biaya pengiriman ditanggung oleh

distributor yang biasanya berdomisili di Jawa. Atas alasan penghematan, distributor

mengirim obat-obatan dengan menggunakan paket pengiriman dengan biaya paling

murah sehingga di satu sisi distributor tidak mengalami kerugian, namun di sisi lain

sangat mungkin terjadi keterlambatan dalam pengiriman. Sebenarnya keadaan seperti

ini dipicu oleh harga obat e-katalog yang bersifat nasional. Jadi misalnya harga sebuah

obat sebesar Rp 1200,- maka untuk seluruh daerah di Indonesia dari Sumatera sampai

Papua harganya sama yaitu Rp 1200,-. Jadi bila menghadapi keterlambatan pengiriman

seperti ini, Dinkes Kabupaten/Kota menggunakan cadangan obat yang memang harus

dimiliki oleh setiap SKPD di bidang kesehatan. Namun dari sisi penyerapan anggaran

hal ini tentunya merugikan SKPD (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015).

Secara teknis administrasi tata cara e-purchasing dengan menggunakan e-

katalog juga mempunyai kendala. Proses e-purchasing dilakukan melalui beberapa

tahapan seperti pembuatan paket, memasukkan harga barang, mengunduh format

standar kontrak, cetak Surat Pesanan (SP) dan sebagainya. Memasukkan data,

mengunduhdan mengunggah dokumen ini tidak gampang karena jaringan atau sistem e-

katalog tidak mampu atauoverload sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama.

Karena itu memasukkan data, mengunduhdan mengunggah dokumen dilakukan di

malam hari dengan menanggung sendiri biaya internet karena pekerjaan dilakukan

diluar kantor dan jam kerja. Kendala lainnya adalah penggandaan dokumen

kontrak/perjanjian pembelian yang merupakan proses akhir dari e-purchasing.

Dibutuhkan sebanyak 7-9 eksemplar dokumen kontrak/perjanjian pembelian dalam

sebuah proses pembelian dengan menggunakan e-katalog. Biaya untuk satu eksemplar

lebih kurang Rp 300.000,- , sehingga untuk 9 eksemplar diperlukan dana Rp 2.7 juta,-.

Hal ini menjadi masalah karena siapa yang menanggung biaya penggandaan yang cukup

besar ini. Tidak ada penjelasan yang lugas di dalam peraturan mengenai biaya

Page 100: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

100

penggandaan ini. Mengatasi hal seperti ini, panitia pengadaan di Dinkes

Kabupaten/Kota menambah klausal baru yang dibicarakan di awal proses pengadaan

bahwa biaya penggandaan kontrak/perjanjian pembelian ditanggung oleh penyedia.

Namun ada juga panitia pengadaan di Dinkes Kabupaten/Kota yang membicarakan hal

ini hanya secara lisan bahwa biaya penggandaan kontrak/perjanjian pembelian

ditanggung oleh penyedia (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015; MI7, 5 Juni 2015).

Pengadaan barang/jasa melalui e-katalog di bidang kesehatan merupakan

kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan LKPP. Sementara penentuan harga di

sistem elektronik ditentukan oleh LKPP bekerja sama dengan pabrikan langsung. Saat

ini kelengkapan barang dalam e-katalog sudah cukup banyak dan bervariasi. Tercatat

777 items tercantum di dalamnya, seperti biaya fotocopy/lembar, jaringan wifi, ATK,

obat-obatan, kenderaan bermotor dan sebagainya sehingga Dinkes Kabupaten/Kota

sangat terbantu dan dimudahkan dalam proses e-purchasing (Wawancara dengan MI6, 1

Juni 2015; MI11, 4 Juni 2015).

Pengadaan barang/jasa melalui e-katalog di bidang kesehatan merupakan

kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan LKPP. Sementara penentuan harga di

sistem elektronik ditentukan oleh LKPP bekerja sama dengan pabrikan langsung. Saat

ini kelengkapan barang dalam e-katalog sudah cukup banyak dan bervariasi. Tercatat

777 items tercantum di dalamnya, seperti biaya fotocopy/lembar, jaringan wifi, ATK,

obat-obatan, kenderaan bermotor dan sebagainya sehingga Dinkes Kabupaten/Kota

sangat terbantu dan dimudahkan dalam proses e-purchasing (Wawancara dengan MI11,

4 Juni 2015).

Terlepas dari beberapa kelemahan dari motode e-purchasing dengan

menggunakan e-katalog, namun secara keseluruhan metode ini lebih diminati

dibandingkan e-tendering oleh pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan di

Dinkes Kabupaten/Kota. Penambahan item dalam e-katalog yang terus dilakukan oleh

LKPP memberikan nilai positif sehingga e-procurement melalui metode e-purchasing

semakin dominan dikemudian hari. Sebaliknya, e-procurement melalui metode e-

tendering semakin difokuskan pada bangunan infrastruktur dengan pagu yang besar

sehingga dapat mempercepat kegiatan pembangunan dan penyerapan anggaran. Rasa

aman menggunakan e-katalog ini berbanding lurus dengan semakin sempitnya tindakan

untuk melakukan penyalahgunaan wewenang. Karena e-katalog membuat segala

sesuatu terang benderang (transparan) yang berakibat pada berkurangnya kebocoran

dalam proses pengadaan barang/jasa secara elektronik. Bila di metode e-tenderingmasih

Page 101: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

101

memungkinkan untuk mendapat fee dari sebuah penawaran, maka di metode e-

purchasing dengan menggunakan e-katalog hal ini tidak mungkin lagi terjadi

(Wawancara dengan MI3, 27 Mei 2015; MI11, 4 Juni 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 4

Agt 2015).

5.9.2 Pengadaan Langsung

Pejabat Pengadaan adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan

Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan E-Purchasing (Pasal 1 angka 9,

Perpres No. 4 Tahun 2015). Sementara di angka 32 perpres yang sama dikatakan bahwa

Pengadaan Langsung adalah pengadaa barang/jasa langsung kepada penyedia

barang/jasa, tanpa melalui pelelangan/seleksi/penunjukan langsung. Proses pengadaan

langsung ini merupakan salah satu kegiatan pengadaan yang dilakukan dengan pagu

paling tinggi Rp 200jutauntuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa

lainnya dan Rp 50 juta untuk paket pengadaan jasa konsultansi. Karena nominal

pagunya tidak besar maka proses pengadaan dilakukan oleh pihak SKPD sendiri dengan

membentuk panitia pengadaan yang dilakukan oleh Pejabat Pengadaan.

Pengadaan langsung dilakukan salah satu tujuannya karena barang yang

dibutuhkan sifatnya mendesak dan hanya memenuhi kebutuhan lokal SKPD, sehingga

tidak perlu melalui proses yang memakan waktu seperti lelang biasa. Selain itu,

pengadaan langsung secara tersirat berupaya untuk membangun badan usaha daerah

melalui perluasan rentang pagu yang ditetapkan pada awalnyaberjumlah paling tinggi

Rp 100 juta. Dalam perpres yang baru besaran pagu dinaikkan menjadi paling tinggi Rp

200juta yang bertujuan agar semakin banyak usaha mikro dan usaha kecil terlibat dalam

proses pengadaan.

Meskipun tidak melalui proses lelang secara elektronik, informasi mengenai

pengadaan langsung dapat diketahui melalui Rencana Umum Pengadaan (RUP) dengan

menggunakan SiRUP dan ditayangkan melalui situs LPSE. PPK menyusun spesifikasi

dan HPS yang disesuaikan dari e-katalogdan harga di daerah, bila barang tersebut sudah

ada di e-katalog. Namun bila belum terdapat di e-katalog maka penetapan HPS dan

spesifikasi dilakukan seperti di lelang biasa. Proses pemilihan penyedia tidaksulit bagi

panitia pengadaan, karena pada umumnya beberapa penyedia yang sering disebut

rekanan sudah beberapa kali bekerjasama dengan Dinkes Kabupaten/Kota

sehinggapenyedia yang memiliki kredibilitas dan track record yang baik sudah dikenal

(Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI9, 4 Juni 2015).

Page 102: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

102

5.9.3E-procurement di Dinkes Kabupaten/Kota: Bagaimana Model Implementasi

Kebijakan Bekerja?

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota merupakan salah satu SKPD yang

memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Sebagai instansi pemerintahan yang

memberikan pelayanan dasar di bidang kesehatan, maka Dinkes dituntut untuk bekerja

secara profesional dengan cara memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan.

Banyak cara pemenuhan kebutuhan kesehatan ini diantaranya adalah melalui persediaan

obat-obatan dan alat kesehatan. Pemenuhan keduanya dapat dilakukan melalui

pengadaan barang/jasa secara elektronik, baik dengan menggunakan e-purchasing

maupun e-tendering. Di Dinkes Kabupaten/Kota, metode e-purchasing dengan

menggunakan e-katalog lebih dominan dilakukan dibandingkan metode e-tendering. Ini

bisa terjadi karena user dari Dinkes Kabupaten/Kota sebagai sebuah SKPD adalah

Dinkes Kabupaten/Kota itu sendiri dan Puskesmas yang kebutuhan sumber dayanya

tidak sebesar Rumah Sakit Umum Daerah yang juga sebagai sebuah SKPD. Jadi

penggunaan metode e-tendering yang salah satu syaratnya dapat dilakukan dengan pagu

lelang berjumlah di atas RP 200 juta tidak terlalu banyak dilakukan di Dinkes

Kabupaten/Kota (Wawancara dengan MI11, 4 Juni 2015).

Pengadaan secara elektronik sebagai sebuah kebijakan harus dilaksanakan

dengan tepat sehingga tujuan dari pengadaan barang/jasa ini dapat tercapai. Salah satu

tujuan kebijakan ini adalah mewujudkan transparansi pengadaaan barang/jasa. Banyak

cara yang dapat dilakukan untuk membantu mewujudkan implementasi kebijakan ini,

diantaranya adalah dengan menggunakan sebuah model, seperti model Donald Van

Meter dan Carl Van Horn, model Paul Sabatier dan Daniel Mazmanian serta model

Merile S.Grindle. Menurut Thomas R. Dye (1972)53

, “a model is simplified

representation of some aspect of the real world.” Dengan demikian, melalui sebuah

model, implementasi sebuah kebijakan yang biasanya sangat kompleks karena terdiri

dari begitu banyak faktor atau aspek dapat disederhanakan. Model dari suatu

implementasi kebijakan juga membantu pemerintah untuk lebih fokus memperhatikan

atau memperbaiki atau mengawasi faktor-faktor atau aspek-aspek dari model tersebut

sehingga kebijakan pengadaan secara elektronik dapat mencapai sasarannya. Dari hasil

penelitian tahun pertama di tiga lokasi penelitian ditemukan model implementasi

kebijakan e-procurement terdiri dari tiga faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur dan

53

Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc.

Page 103: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

103

sumber daya manusia dalam hal ini kapabilitas sumber daya manusia dan budaya

organisasinya54

.

Landasan hukum dalam pengadaan secara elektronik di Indonesia salah satu

diantaranya adalah Perpres No. 4 Tahun 2015. Perpres ini sudah mengalami perubahan

beberapa kali dan salah satu perubahan penting dari perpres yang baru ini adalah

penjelasan yang lebih detail mengenai metode e-purchasing dengan menggunakan e-

katalog yang banyak digunakan di Dinkes Kabupaten/Kota pada saat ini. Melalui e-

purchasing, pengadaan barang/jasa lebih mudah, sederhana, transparan dan aman

dilakukan. Selain e-purchasing, Dinkes Kabupaten/Kota juga menggunakan e-tendering

yang proses lelangnya lebih panjang dibandingkan e-purchasing, namun sama dengan

e-purchasinglebih efisien, efektif, transparan dan akuntabel dibandingkan dengan

sistem pengadaan yang manual.Perubahan penting lainnya adalah berkaitan dengan

pasal 106 ayat (1) dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Perubahannya serta Perpres

No. 4 Tahun 2015. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 dikatakan bahwa pengadaan

barang/jasa pemerintah “dapat” dilakukan secara elektronik. Sementara pada Perpres

No. 4 Tahun 2015, pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik.

Penghilangan kata “dapat” di Perpres No. 4 Tahun 2015 menandakan awal berlakunya

penggunaan elektronik dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia. Dengan kata lain,

menjadi suatu kewajiban bagi K/L/D/I untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa

secara elektronik sesuai dengan ketentuan yang ada.

Namun ketika regulasi ini masih ditafsirkan berbeda-beda baik oleh panitia

pengadaan maupun pengusaha sebagai penyedia barang/jasa, maka tidak dapat dihindari

kegiatan pengadaan barang/jasa terutama yang menggunakan metode e-tendering tidak

dapat berjalan maksimal. Berkaitan dengan penjelasan lelang (aanwijzing) misalnya

perbedaan pendapat terjadi antara panitia pengadaan (Pokja ULP) dan user (Dinkes

Kabupaten/Kota) di satu sisi dan penyedia di sisi lain. Panitia pengadaan dan user

mengatakan bahwa penjelasan lelang (aanwijzing) pada pengadaan secara elektronik

sudah tepat karena pada dasarnya dilakukan secara online sehingga tidak ada tatap

muka antara penyedia dan panitia pengadaan. Ini membuat kegiatan penjelasan lelang

(aanwijzing) dapat berjalan efektif dan tidak bertele-tele. Sementara dari perspektif

penyedia hal ini merupakan bentuk ketertutupan dari sistem yang baru padahal salah

54

Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty Sylvania. 2014. Model Implementasi Kebijakan e-

Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara.

Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.

Page 104: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

104

satu tujuan dari sistem e-procurement adalah transparan. Hal lain yang juga

dipertanyakan oleh penyedia adalah perpres menyebutkan bahwa salah satu tugas Pokja

ULP adalah berkaitan dengan evaluasi dokumen penawarandari para penyedia yang

dilakukan secara off line. Apa jaminan bahwa panitia penyelenggara tidak „bermain‟

dengan beberapa penyedia yang masuk dalam lingkaran kekuasaan atau yang

merupakan keluarganya sendiri? (Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI2, 21 Mei

2015; MI7, 5 Juni 2015).

Infrastruktur dalam mendukung pengadaan barang/jasa di ULP dan LPSE

Pemerintahan Kabupaten/Kota setiap tahunnya mengalami perbaikan atau peningkatan

meskipun belum sebaik dan selengkap sebagaimana yang seharusnya dimiliki oleh

LPSE dan ULP, terutama LPSE dan ULP di Kota Binjai.Di LPSE Kota Medan, ruang

biddingyakni ruanguntuk memfasilitasi para calon penyedia yang mengalami kesulitan

dalam proses mengunggah data dan dokumen saat melakukannya di luar LPSEsudah

cukup nyaman. Selain itu fungsi ruang bidding ini jugadigunakan sebagai tempat untuk

melakukan pelatihan berkaitan dengan perubahan perpres tentang pengadaan secara

elektronik bagi para anggota baru LPSE, ULP maupun para calon penyedia. Sementara

di LPSE Kabupaten Serdang Bedagairuang bidding sudah semakin nyaman dengan

jumlah unit komputer semakin banyak yang salah satu fungsinya untuk mengunggah

dokumen yang dapat digunakan oleh penyedia. Kapasitas server juga semakin besar

sehingga dokumen yang memiliki kapasitas besar mampu diunduh dan diunggahdengan

mudah. Sama halnya dengan kapasitas server di LPSE Kota Binjai yang sudah semakin

besar, meskipun ruang bidding masih sangat sederhana, tidak ada penyekat antara satu

unit dengan unit komputer lainnya.

Namun berkaitan dengan infrastruktur, masih terjadi jaringan listrik yang tiba-

tiba mati ketika penyedia sedang mengunggah dokumen pengadaan atausistem pada

server rusak tanpa ada penjelasan yang resmi dan segera sehingga dokumen pengadaan

tidak dapat diterima panitia. Hal ini diperparah dengan waktu minimal yang diambil

panitia ketika mengumumkan sebuah paket lelang atau mengambil waktu dimana hari

libur cukup panjang sehinggakesempatan untuk mendaftar bagi penyedia menjadi

semakin sempit. Selain itu,undangan pelatihan bagi penyedia belum sepenuhnya

melibatkan asosiasi pengusaha. Karena itu tidak jarang pengusaha mengirim orang yang

tidak berkompeten untuk mengikuti pelatihan sehingga pelatihan yang menghabiskan

dana yang cukup besar tidak memberikan hasil yang maksimal (Wawancara dengan

MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei 2015; MI10, 4 Juni 2015).

Page 105: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

105

Gambar 5.15: Ruang LPSE Pemerintah Kota Medan

Sumber: Hasil Penelitian, 2015

Gambar 5.16: Ruang LPSE Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai

Sumber: Hasil Penelitian, 2015

Page 106: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

106

Gambar 5.17: Ruang LPSE Pemerintah Kota Binjai

Sumber: Hasil Penelitian, 2015

Sumber daya manusia termasuk kompetensi dan budaya organisasi masih terus

berbenah diri di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota serta organisasi ULP dan LPSE

Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan cara melakukan pekerjaan lebih profesional di

bagian pengadaan barang/jasa. Meskipun bekerja secara profesional ini dilakukan

semata-mata karena kekhawatiran bersentuhan dengan masalah hukum, jadi bukan

karena kesadaran sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tapi setidaknya hal ini

merupakan langkah awal yang posistif di tengah tingginya ketidakpercayaan penyedia

dan masyarakat umum kepada panitia pengadaan.

Namun bila dilihat dari kemampuan sumber daya manusia khususnya berkaitan

dengan Teknologi Informasi (TI) masih jauh dari yang diharapkan. Baik penyedia,

panitia pengadaan maupun user belum sepenuhnya mengerti mengenai TI sehingga

pelaksanaan pengadaan secara elektronik belum berjalan lancar. Selain itu tingginya

resistensi pegawai untuk mendapat sertifikasi pengadaan karena resiko pekerjaan yang

tinggi tidak dapat dianggap remeh. Meskipun di Perpres No. 4 Tahun 2015 telah

dinyatakan bahwa panitia pengadaan diberikan bantuan hukum dalam menjalankan

tugasnya, namun hal ini masih belum teruji. Sementara pekerjaan yang sarat dengan

masalah hukum ini juga belum didukung dengan honorarium yang layak. Artinya

besarnya honor yang diperoleh sebagai panitia pengadaan belum sebanding dengan

beban mental yang ditanggung ketika melakukan kegiatan pengadaan. Masalah lainnya

adalah berkaitan dengan budaya organisasi di lingkungan pemerintahan dimana

organisasi ULP, LPSE dan SKPD (user) berada, belum sepenuhnya berubah. Praktek-

praktek korupsi, kolusi dan nepotisme sudah berakar di tubuh organisasi

Page 107: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

107

pemerintahansehingga panitia pengadaan dan user sebagai bagian dari pemerintahan

tidak lepas dari dampak ini. Di sisi lain sebagian penyedia masih menggunakan mindset

lama bahwa sistem e-procurement sama dengan sistem manual. Selain itu, sebagian

penyedia belum memiliki integritas ketika memenangkan sebuah paket lelang secara

elektronik, dengan cara tidak bertanggungjawab terhadap kualitas barang atau proyek

yang dimenangkannya (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI8, 28 Mei 2015; MI9,

4 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015).

Model implementasi kebijakan yang terdiri dari tiga faktor ini saling

mempengaruhi satu dengan lainnya dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara

elektronik. Dari ketiga faktor ini, sumber daya manusia lebih dominan dibandingkan

kedua faktor lainnya. Faktor landasan hukum mempengaruhi faktor infrastruktur dan

sumber daya manusia dan selanjutnya faktor yang lainnya mempengaruhi dua faktor

yang lain. Demikian pula secara bersama-sama faktor landasan hukum dan sumber daya

manusia mempengaruhi faktor infrastruktur dan berikutnya kedua faktor yang lain

mempengaruhi faktor yang satunya. Interaksi ketiga faktor yang belum bekerja

optimalini mempengaruhi implementasi kebijakan e-procurement.

Pemahaman pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan terhadap

regulasi tentang pengadaan barang/jasa secara elektronik berbeda dengan pemahaman

penyedia. Selain itu, infrastruktur sebagai pendukung pelaksanaan e-procurement belum

tersedia dan bekerja dengan optimal. Integritas dari panitia pengadaan juga diragukan

telah melakukan praktek-praktek KKN kepada beberapa penyedia yang merupakan

keluarga atau lingkaran dalam dari pejabat yang berkuasa. Budaya organisasi LPSE,

ULP dan user juga dianggap masih sarat dengan nilai-nilai ketidakadilan, diskriminasi

dan tertutup. Ketidakpercayaan yang menumpuk ini menyulut pada ketidakpercayaan

penyedia terhadap panitia pengadaan dan sistem pengadaan secara elektronik. Beberapa

penyedia tidak merespon dengan positif bantuan fasilitas yang disediakan oleh LPSE

dan ULP Pemerintah Kabupaten/Kota. Selain itu, mereka juga mengabaikan informasi

mengenai proses pengadaan secara elektronik, yang salah satu diantaranya menolak

untuk mengikuti pelatihan yang di fasilitasi oleh LPSE. Bahkan beberapa dari mereka

tetap denganmindset yang lama yang berkeyakinan bahwa ada toleransi ketika terlambat

melakukan pendaftaran untuk mengikuti tender, terlambat mengunduh dokumen,

terlambat melengkapi berkas, atau terlambat mengunggah dokumen. Pada akhirnya

ketika penyedia tidak bisa mengikuti tender atau gagal memenangkan sebuah paket

Page 108: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

108

lelang, maka yang disalahkan adalah panitia pengadaan dengan berbagai macam

spekulasi.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) spekulasi merupakan

pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan; tindakan yang bersifat untung-

untungan.55

Dari perspektif penyedia, munculnya kata spekulasi ini tidak lepas dari

rendahnya kredibilitas panitia pengadaan di mata penyedia. Menumbuhkan kredibilitas

ini bukan pekerjaan yang gampang karena dibutuhkan waktu yang lama. Namun

setidaknya hal yang dapat segera dilakukan oleh LPSE dan ULP adalah menampilkan

data, proses dan keputusan lelang dengan benar-benar transparan di website LPSE

sehingga tidak ada celah bagi penyedia atau masyarakat umum untuk berspekulasi

mengenai proses lelang dan juga hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan. Sementara

di mata panitia penyelenggara, pihak penyedia tidak sembunyi dibalik kata-kata

spekulasi karena hal ini dapat merugikan diri sendiri. Dalam Perpres No. 4 Tahun

2015pasal 106 ayat (1) dikatakan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan

secara elektronik. Ini artinya, merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah untuk

melakukan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Karena itu, penyedia harus

mengubah mindset nya mengenai pengadaan secara elektronik. Berbeda dengan

pengadaan secara manual, pengadaan secara elektronik menuntut penyedia untuk

mematuhi jadwal dari proses atau tahapan lelang yang ketat dengan terus

memperbaharui informasi melalui website LPSE.Dengan demikian spekulasi-spekulasi

dapat hilang dari kegiatan atau proses pengadaan barang/jasa secara elektronik.

Selanjutnya ketiga faktor yang belum optimal dari model implementasi

kebijakan e-procurement ini menimbulkanmakna yang berbeda-beda dari transparansi

pengadaan.Hal yang paling mendasar ditemukan di tiga lokasi penelitian adalah

perbedaan pemahaman antara panitia pengadaan dan user di satu sisi dan penyedia di

sisi lain.

Menurut panitia pengadaan sistem yang baru ini sudah memberikan

transparansi bukan saja bagi penyedia tetapi juga bagi masyarakat umum. Namun

transparansi disini jangan diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses

pengadaan secara elektronik harus dibuka selebar-lebarnya kepada masyarakat umum.

Dengan kata lain, transparansi jangan dimaknai secara berlebihan. Misalnya, tidak

mungkin summary lelang yang berisi tentang evaluasi administrasi, teknis, kualifikasi

55

http://kbbi.web.id/spekulasi

Page 109: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

109

serta harga penawaran di tayangkan secara terbuka dan detail di website LPSE.

Masyarakat umumbahkan penyedia yang gagal ditengah proses pengadaan cukup

mengetahui hasil akhir dari evaluasi administrasi dan teknis dengan tanda √ atau tidak

ada tanda √ serta jumlah total dari penawaran, tanpa dapatmelihat dengan rinci semua

isi penawaran. Selain pemenang, calon pemenang, Pokja ULP, dan PPK saja yang dapat

melihat summary lelang ini. Namun menurut penyedia justru hal ini membuat sistem

pengadaan secara elektronik menjadi tertutup. Berbeda dengan sistem pengadaan secara

manual dimana semua penyedia dapat melihat kekurangan dan kelebihan dari dokumen

pesaingnya. Sebaliknya semua pesaingnya dapat melihat keberadaan dokumennya

(Wawancara dengan MI1, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015).

Sejalan dengan pendapat panitia pengadaan, user beranggapan bahwa

transparansi adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi

tanggung jawab dan kewajibannya. Artinya seseorang atau masyarakat umum tidak

berhak mengetahui secara detail proses lelang, jika dia atau masyarakat umum tersebut

tidak menjadi peserta lelang. Bahkan penyedia yang gagal di tahap evaluasi dokumen

lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan penawaran, tidak

berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang. Sementara dari sisi

penyedia, transparansi berarti semua penyedia lelang dapat mengetahui mengapa

peserta tersebut yang menang dari sebuah paket lelang bukan yang lain (Wawancara

dengan MI2, 21 Mei 2015; MI7, 5 Juni 2015; MI4, 10 Agt 2015).

Dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan

transparan bila semua tahapan dan proses lelang dapat diketahui oleh semua penyedia

yang mengikuti lelang. Selain itu dalam sistem pengadaan secara elektronik masih ada

kegiatan yang bersifat offline, karena itu sistem ini dapat dikatakan transparan bila

panitia pengadaan adalah orang yang mempunyai integritas dalam melakukan

pekerjaannya. Dengan demikian sistem pengadaan secara elektronik dapat dikatakan

mencapai sasarannya yakni mewujudkan transparansi pengadaan bila didukung oleh

panitia pengadaan yang memiliki integritas. Selama integritas pelaksananya tidak ada

maka sebaik apapun sistem e-procurementini dibangun akan terus dicurigai atau

memunculkan spekulasi-spekulasi (Wawancara dengan MI2, 21 Mei 2015; MI3, 27 Mei

2015; MI8, 28 Mei 2015; MI9, 4 Juni 2015).

Page 110: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

110

Menurut Clem (2010: 4)56

transparansi merupakan “Government should

provide citizens with information about what their government is doing so that

government can be held accountable”.Pengertian di atas memberikan makna yang

sangat luas terhadap transparansi, dimana pemerintahharus menyediakan informasi

kepada warga negara tentangapa yang pemerintah lakukan. Hal ini bertujuan

agarpemerintah dapat mempertanggung jawabkan apa yang sedang dikerjakan. Namun

pemerintah juga memiliki kategori informasi yang harus dirahasiakan dari masyarakat,

seperti menyangkut rahasia negara, kepentingan perlindungan usaha dari persaingan

usaha tidak sehat, hak-hak pribadi dan lain sebagainya seperti pada Pasal 17 Undang-

Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Di dalam konteks kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik beberapa

kategori informasi tidak dapat dibuka ke masyarakat umum tetapi dapat dibuka atau

dilihat oleh pemenang dan calon pemenang lelang saja, disamping Pokja ULP dan PPK

seperti informasi di summary lelang. Dengan demikian pegawai yang bertanggung

jawab di bidang pengadaan barang/jasa harus mampu menjelaskan mengapa beberapa

informasi boleh dibuka kepada masyarakat umum melalui website LPSE, sebaliknya

beberapa informasi tidak dapat dibuka kepada masyarakat umum. Penjelasan ini perlu

dijelaskan sejelas-jelasnyaterutama kepada penyedia sehingga perbedaan pemahaman

makna transparansi tidak terjadi lagi. Namun informasi mengenai pengadaan

barang/jasa yang tidak termasuk kategori sebagaimana disebutkan diatas, harus di buka

selebar-lebarnya kepada masyarakat di website LPSE baik menyangkut data, proses

maupun keputusan dari tahapan lelang.Karena hal ini juga merupakan bentuk dari

akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat.

Mewujudkan kesamaan pemahaman dari makna transparansi ini dapat juga

dilakukan melalui pelatihan yang berkaitan dengan TI berbasis komputer dan perubahan

peraturan (perpres) tentang pengadaan barang/jasa kepada penyedia, user dan panitia

pengadaan secara berkala. Pelatihan yang selama ini dilakukan belum dimanfaatkan

dengan optimal. Pelibatan semua asosiasi pengusaha sebagai pemberi rekomendasi bagi

penyedia yang ingin berpartisipasi dalam pelatihan belum dilakukan. Padahal ini

penting, sehingga pengusaha yang mengikuti pelatihan benar-benar orang yang

berkompeten. Sama halnya dengan keterlibatan pimpinan LPSE dan ULP untuk

mengevaluasi peserta pelatihan yakni pegawai yang bertanggungjawab pada bidang

56

Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in

Association with Inside Knowledge.

Page 111: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

111

pengadaan sangat diperlukan. Melalui pelatihan diharapkan didapat pemahaman yang

sama berkaitan dengan e-procurement dan transparansi pengadaan antara penyedia dan

panitia pengadaan serta menumbuhkan integritas semua pihak yang berhubungan

dengan kegiatan e-procurement.

Tidak semua dari proses pengadaan secara elektronik dapat dibuka di website

LPSE sebagaimana dijelaskan diatas. Namun hal ini bukan berarti masyarakat umum

tidak bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa

pemerintah. Karena sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di

instansi pemerintahan dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

(DIPA). DIPA ini mengacu pada Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja

Pemerintah Pusat (RABPP) untuk satuan kerja pusat dan Surat Rincian Alokasi

Anggaran (SRAA) untuk satuan kerja daerah.

DIPA dibuat atau disusun oleh satker (satuan kerja) yang memuat satuan-

satuan terukur mengenaibanyak hal seperti program dan kegiatan yang akan

dilaksanakan, hasil (outcome) yang akan dicapai, keluaran (output) yang dihasilkan dan

pagu yang dialokasikan.Dengan demikian melalui DIPA masyarakat bisa mengetahui

secara rinci uang mereka dibelanjakan untuk apa saja, biayanya berapa dan hasil atau

manfaatnya apa. Jadi berbeda dengan pengalokasian anggaran di APBN/APBD yang

rinciandananya hanya berdasarkan sektor seperti sektor kesehatan, sektor pendidikan

dan lain sebagainya.

Namun permasalahannya adalah di satu sisi masyarakat belum sepenuhnya

menyadari bahwa DIPA dapat menjadi acuan apakah pemerintah sudah melakukan

tanggungjawabnya dalam mengelola keuangan negara (masyarakat) atau tidak. Disisi

lain tidak mudah juga bagi masyarakat untuk mendapatkan DIPA ini. Karena di

lingkungan instansi pemerintah DIPA dianggap seperti dokumen rahasia yang tidak

semua orang boleh mengaksesnya. Bahkan di beberapa instansi pemerintahan tidak

semua pegawai dapat mengakses DIPA di satkernya. Padahal jelas dalam Surat Edaran

Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa Rencana

Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) dan Daftar Isian Pelaksanaan

Anggaran (DIPA) merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan

secara berkala sepanjang tidak memuat informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal

17 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Page 112: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

112

BAB VI

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Penelitian tahun kedua ini menemukan pengaruh model implementasi kebijakan

e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Medan,

Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai sebesar 14.8%. Angka ini cukup tinggi yang

memberi makna bahwa transparansi pengadaan patut menjadi sorotan selain penghematan

(efisiensi) ketika membicarakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Selanjutnya

dengan menggunakan metode kualitatif dideskripsikan proses e-procurement baik dengan

menggunakan metode e-tendering maupung e-purchasingserta perbedaan pemahaman

partisipan terhadap makna transparansi pengadaan barang/jasa di Dinkes Kabupaten/Kota

di Provinsi Sumatera Utara. Terakhir,bekerjanya model implementasi kebijakan e-

procurement serta hambatannya di Dinkes Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Hasil penelitian tahun pertama sudah dipublikasikan di jurnal internasional yang

berjudul “Public Policy and Administration Research” (ISSN 2224-5731 (print) dan (ISSN

2225-0972 (online) terbit di Amerika Serikat. Hasil penelitian tahun kedua juga sudah

diterima (accepted) dan akan dipublikasikan di jurnal yang sama. Selain itu satu

bagian/tema dari hasil penelian ini juga sudah diterima dan dipublikasikan di jurnal

“Komunika” yang diterbitkan atas kerjasama Program Pascasarjana Komunikasi USU dan

Departemen Ilmu Komunikasi USU dengan judul “Pemanfaatan Website Dalam

Pengadaaan Barang/Jasa (E-Procurement) di Provinsi Sumatera Utara: Dilihat Dari Prinsip

Transparan.” Selain dipublikasikan, hasil penelitian ini sudah diseminarkan di Kantor

Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai pada tanggal 26 Agustus 2015 (undangan terlampir).

Penelitian lanjutan yang direncanakan di tahun-tahun mendatang adalah berkaitan

dengan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan menggunakan metode e-purchasing.

Karena di tahun berikutnya pengadaan barang/jasa didominasi dengan penggunaan e-

katalog. Meskipun penggunaan metode ini semakin sederhana tetapi tidak lepas dari

kendala yang belum terangkat dalam penelitian tahun kedua ini. Selain itu evaluasi dari

pengadaan barang/jasa secara elektronik sangat menarik dilakukan karena sistem

pengadaan ini juga masih menimbulkan praktek-praktek korupsi.

Page 113: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

113

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.0 Kesimpulan

Salah satu tujuan penelitian ini adalah melihat seberapa besar pengaruh model

implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan barang/jasa di

Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dengan

menggunakan analisis regresi dan koefisien determinan maka diperoleh angka sebesar

14.8%. Ini berarti model implementasi kebijakan e-procurement yang terdiri dari faktor

landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia mempengaruhi secara signifikan

transparansi pengadaan barang/jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai, sebesar 14.8%. Sementara sisanya sebesar 85.2%

merupakan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi transparansi pengadaan

barang/jasa, seperti komitmen dan kualitas kepemimpinan, kondisi sosio-ekonomi,

dukungan publik, dukungan politik, komunikasi, koordinasi dan lain-lain yang bukan

merupakan fokus dari penelitian ini.

Dari hasil wawancara mendalam, dari ketiga faktor maka sumber daya manusia

yang paling dominan mempengaruhi terwujudnya transparansi pengadaan barang/jasa di

Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Dalam penelitian ini faktor

sumber daya manusia difokuskan pada kapabilitas TI berbasis komputer dan budaya

organisasi. Namun budaya organisasi lebih memegang peranan penting bekerja tidaknya

model implementasi kebijakan e-procurement. Budaya organisasi dari penyelengara

pengadaan yang masih kental dengan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme

menimbulkan spekulasi dan pesimisme dari penyedia terhadap kegiatan pengadaan secara

elektronik.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota merupakan salah satu Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD)di Provinsi Sumatera Utara yang tugasnya memberikan

pelayanan dasar di bidang kesehatan kepada masyarakat. Sebagai instansipemerintah,

Dinkes dituntut untuk bekerja secara profesional dengan cara memenuhi kebutuhan

masyarakat di bidang kesehatan. Banyak cara pemenuhan kebutuhan kesehatan ini

diantaranya adalah melalui ketersediaan obat-obatan dan alat kesehatan. Pemenuhan

keduanya dapat dilakukan melalui pengadaan barang/jasa secara elektronik, baik dengan

menggunakan meode e-purchasing maupun metodee-tendering. Namun di Dinkes Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupten Serdang Bedagai, metode e-purchasing dengan

Page 114: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

114

menggunakan e-katalog lebih diminati dibandingkan dengan metode e-tendering. Hal ini

didukung dengan semakin dominannya digunakan metode e-purchasing. Sebaliknya, e-

procurement melalui metode e-tendering semakin difokuskan pada bangunan

infrastruktur dengan pagu yang besar sehingga dapat mempercepat kegiatan

pembangunan dan penyerapan anggaran.

Beberapa keuntungan yang signifikan didapat dari metode e-purchasing dengan

menggunakan e-katalog. Pertama, harga obat dengan menggunakan e-katalog jauh lebih

murah dibawah harga obat non e-katalog. Kedua, cara kerja e-purchasing lebih sederhana

dan cepat dibanding dengan lelang biasa sehingga mempercepat penyerapan anggaran di

SKPD.Ketiga, sistem e-purchasing dengan menggunakan e-katalog lebih transparan

karena daftar, jenis, spesifikasi teknis serta harga barang ditampilkan secara elektronik

dan dapat diakses oleh publik. Keempat, penggunakan e-katalog lebih memberikan rasa

aman karena tidak perlu menentukan HPS dan spesifikasi barang. Kedua kegiatan ini

cukup riskan bagi sebagian pegawai yang bertanggungjawab di bidang pengadaan

barang/jasa.

Terlepas dari beberapa kelebihan di atas, metode e-purchasingdengan

menggunakan e-katalog juga mempunyai beberapa kelemahan. Jumlah obat-obatan di e-

katalog kadang kala terbatas atau malah kosong karena pesanan yang secara serentak

terhadap jenis obat yang sama dari pihak Dinkes dan RSUD di seluruh Indonesia. Selain

itu keterlambatan distributor obat mengirim pesanan Dinkes Kabupaten/Kota juga

menjadi masalah yang sering terjadi. Sementara secara teknis administrasi tata cara e-

purchasing dengan menggunakan e-katalog juga mempunyai kendala. Proses e-

purchasingyang dilakukan melalui beberapa tahapan dan proses menuntut user

memasukkandata, mengunduh dan mengunggahdokumen cukup banyak. Namun jaringan

atau sistem e-katalog tidak mampu atauoverloadsehingga diperlukan waktu yang sangat

lama untuk melakukan hal itu semua. Kendala lainnya adalah tidak ada penjelasan yang

lugas di dalam peraturansiapa yang bertanggungjawab untuk menggandakan dokumen

kontrak/perjanjian pembelian yang merupakan proses akhir dari e-purchasing.

E-procurement sebagai sebuah kebijakan harus diimplementasikan dengan tepat

sehingga tujuannya untuk mewujudkan transparansi pengadaaan barang/jasa dapat

tercapai. Cara yang dapat dilakukan untuk membantu mewujudkan tujuan dari

implementasi kebijakan ini adalah dengan menggunakan sebuah model implementasi

kebijakan e-procurement yang terdiri dari tiga faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur

dan sumber daya manusia.

Page 115: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

115

Ketiga faktor dari model implementasi kebijakan e-procurement belum optimal

di tiga lokasi penelitian sehingga menghasilkan spekulasi-spekulasi yang biasanya

ditujukan penyedia kepada panitia pengadaan. Spekulasi dalam arti sederhana merupakan

pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan,menjadi hal yang jamak

didengar dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Dari pandangan

penyedia, kata-kata spekulasi ini muncul karena rendahnya kredibilitas panitia pengadaan

termasuk pada sistem e-procurement. Kredibilitas menyangkut masalah kepercayaan dan

kepercayaan tidak dapat segera diperoleh begitu saja tanpa adanya tindakan yang nyata

dan segera. Karena itu tindakan yang segera dapat dilakukan adalah LPSE dan ULP

adalah menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benar-benar transparan di

website LPSE sehingga tidak ada celah bagi penyedia atau masyarakat umum untuk

berspekulasi mengenai tahapan atau proses lelang dan juga hal-hal yang berkaitan dengan

pengadaan. Sementara di mata panitia penyelenggara, pihak penyedia untuk tidak

sembunyi dibalik kata-kata spekulasi karena hal ini dapat merugikan diri sendiri. Dalam

Perpres No. 4 Tahun 2015pasal 106 ayat (1) dikatakan bahwa pengadaan barang/jasa

pemerintah dilakukan secara elektronik. Ini artinya penyedia harus mempersiapkan diri

dengan pengadaan secara elektronik dan mengubah cara berpikirnya bahwa pengadaan

secara elektronik berbeda dengan pengadaan secara manual. Dengan demikian spekulasi-

spekulasi dapat hilang dari kegiatan atau proses pengadaan barang/jasa secara elektronik.

Selanjutnya ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi yang berdampak pada

pemaknaan tansparansi yang berbeda-beda baik dari panitia pengadaan dan user di satu

sisi dan penyedia di sisi yang lain.Menurut panitia pengadaan transparansi jangan

diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses pengadaan harus dibuka selebar-

lebarnya kepada masyarakat umum melalui website LPSE. Beberapa hal seperti harga

penawaran yang diberikan peserta lelang tidak dapat ditampilkan di website LPSE secara

rinci. Juga dalam hal summary lelang hanya dapat dibuka bagi pemenang dan calon

pemenang lelang. Pendapat yang sama disampaikan oleh user bahwa transparansi adalah

bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan

kewajibannya. Artinya seseorang atau masyarakat umum tidak berhak mengetahui secara

rinci proses lelang, jika seseorang atau masyarakat umum tersebut tidak menjadi peserta

lelang. Bahkan penyedia yang gagal di tengah proses lelang, misalnya sewaktu evaluasi

dokumen lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat mengajukan penawaran,

tidak berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang menang. Sementara dari sisi

penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan transparan bila semua

Page 116: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

116

tahapan dan proses lelang dapat diketahui oleh semua penyedia yang mengikuti lelang.

Selain itu karena di sistem pengadaan secara elektronik masih ada kegiatan yang bersifat

offline, maka sistem e-procurement dapat dikatakan transparan bila panitia pengadaan

adalah orang yang mempunyai integritas dalam melakukan pekerjaannya. Selama

integritas pelaksananya tidak ada maka sebaik apapun sistem e-procurementini dibangun

akan terus dicurigai atau memunculkan spekulasi-spekulasi.

Sementara transparansi menurut Heald dapat dikategorikan menjadi tiga yakni

data, proses dan keputusan. Dari hasil observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian,

transparansi data sudah menunjukkan hasil yang memuaskan, sementara transparansi

proses dan keputusan sudah cukup memuaskan.

Transparansi adalah sebuah prinsip yang menjamin kebebasan bagi setiap orang

untuk memperoleh informasi. Namun ada beberapa kategori informasi yang tidak bisa

dibuka kepada masyarakat umum, misalnya informasimenyangkut persaingan usaha,

rahasia negara, intelijen dan sebagainya (Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008

tentang Keterbukaan Informasi Publik). Hal ini dilakukan untuk tidak disalahgunakan

oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun selama tidak menyangkut

kategori pada pasal 17 diatas, maka semua informasi mengenai pengadaan barang/jasa,

harus di buka selebar-lebarnya kepada masyarakat di website LPSE.Karena hal ini juga

merupakan bentuk dari akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat. Sementara

pemerintah dalam hal ini pegawai yang bertanggung jawab di bidang pengadaan

barang/jasa harus dapat menjelaskan kepada masyarakat umum terutama kepada

penyedia, alasan mengapa informasi tersebut tidak dibuka kepada masyarakat atau tidak

ditayangkan di website LPSE. Hal ini penting sehingga tidak ada lagi perbedaan makna

transparansi di antara semua pihak yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan

barang/jasa pemerintah.

Kesamaan pemahaman makna transparansi di bidang pengadaan ini dapat juga

dilakukan melalui pelatihan yang berkaitan dengan TI berbasis komputer dan perubahan

peraturan (perpres) tentang pengadaan barang/jasa kepada penyedia, panitia

penyelenggara dan user. Selain itu pelibatan semua asosiasi pengusaha sebagai pemberi

rekomendasi bagi penyedia yang ingin berpartisipasi dalam pelatihan serta pelibatan

pimpinan untuk mengevaluasi peserta pelatihan yakni pegawai yang bertanggungjawab

pada bidang pengadaan sangat diperlukan. Melalui pelatihan juga dapat ditumbuhkan

integritas semua pihak sehingga proses pengadaan dapat berjalan dengan baik.

Page 117: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

117

Tidak semua tahapan pengadaan secara elektronik dapat dibuka di website LPSE

sebagaimana dijelaskan diatas, namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa

mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah.

Karena sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi

pemerintahan dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Karena

DIPA bukan merupakan dokumen rahasia yang tidak semua orang dapat mengaksesnya.

Jelas dikatakan dalam Surat Edaran Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun

2011 bahwa Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAK/L) dan Daftar

Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) merupakan informasi publik yang wajib disediakan

dan diumumkan secara berkala.

7.1 Saran

Pengaruh model implementasi kebijakan e-procurement terhadap transparansi

pengadaan barang/jasa sebesar 14.8%. Persentase ini cukup besar dan meyakinkan

(significant). Bila suvey di Indonesia selama ini lebih banyak mendiskusikan kegiatan e-

procurement dari sudut penghematan yang didapat setelah menggunakan e-procurement

maka hasil penelitian ini menunjukkan ada hal lain yang juga menarik dan penting untuk

didiskusikan yaitu kaitan penggunaan e-procurement dengan transparansi pengadaan

yang merupakan salah satu cara untuk melihat akuntabilitas dari penyelenggaraan negara.

Pengadaan secara elektronik dengan menggunakan metode e-purcashing lebih

diminati dibanding metode e-tendering di Dinkes Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai.Rasa aman menggunakan e-katalogsejalan dengan semakin

sempitnya tindakan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang, menjadi salah satu

alasan pemilihan metode e-purcashing ini. Sementara kelemahan dari metode e-

purchasing yang ditemukan di lapangan berkaitan dengan komitmen distributor obat agar

tidak ada lagi kekosongan stock obat atau keterlambatan obat sampai di Dinkes

Kabupaten/Kota serta pihak yang bertanggungjawab atas biaya penggandaan

kontrak/perjanjian pembelian. Sementara secara teknis jaringan ke sistem e-katalog

seharusnya menjadi perhatian sehingga pekerjaan memasukkan data serta menggunggah

atau mengunduh dokumen dapat dilakukan dengan waktu yang cepat. Beberapa temuan

ini menjadi catatan bagi pimpinan di lingkungan Dinkes Kabupaten/Kota untuk segera

ditindaklanjutin ke LKPP sehingga tidak menghambat proses pengadaan. Karena bila

proses pengadaan terhambat maka berdampak pada tidak maksimalnya pelayanan di

bidang kesehatan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat.

Page 118: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

118

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang telah disahkan oleh Menteri

Keuangan merupakan dokumen pelaksanaan kegiatan dan penganggaran bagi satuan

kerja (satker) yang berisi antara lain,program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, hasil

(outcome) yang akan dicapai, keluaran (output) yang dihasilkan dan pagu yang

dialokasikan. Sementara yang menjadi pelaksanaan anggaran dalam satker adalah Kuasa

Pengguna Anggaran (KPA). Karena itu DIPA dari suatu satker, seharusnya lebih

disosialisasikan ke masyarakat umum melalui website kabupaten/kota sebagai bentuk

transparansi dalam anggaran dan dalam arti lain bentuk transparansi dalam pengadaan

barang/jasa.

Page 119: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

119

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ballard, Therese,. 2011. “Transparancy and Public Procurement”. Supplement to the

2011 Annual Statistical Report on United Nations Procurement. UNOPS.

Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A

Critical Review of Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1,

Article 8. Policy Studies Organization. http://www.psocommons.org/

policyandinternet / vol3 / iss1/art8.

Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006

dalam 25.-Korupsi-dalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses

19 April 2013 Jam 19.30.

Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging

Communities”. Ark in Association with Inside Knowledge.

Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA). 2014.

Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice

Hall, Inc.

Grindle, Merilee S. 1980. “Politics and Policy Implementation in the Third

World”.Princeton University Press.Princeton. New Jersey.

Heald, D. 2006. “Varieties of Transparency.” In Transparency, The Key to Better

Governance, eds. C. Hood, and D. Heald. Proceedings of the BritishAcademy.

Oxford: Oxford University Press, 25-43.

Jeppesen, Rasmus. 2010. Capacity is Development. Accountability in Public

Procurementtransparency and the role of civil society. United Nations

Procurement Capacity Development Centre September. www.unpcdc.org

Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and

theQuality of Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009.

Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1983.“Implementation and Public Policy”.

Scott, Foresmant and Company. New Jersey.

Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta:

PT. Elex Media Komputindo.

Nurmandi, Achmad. 2013. E-procurement in Indonesia: Policy and its Implementation.

Research Project of International Scholar Exchange Program

2013/2014.Korean Foundation for Advance Studies.

OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the

OECD Report“The E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting –

Vol. 3, No. 1.

Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi,

Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi

Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-UGM, MAP-UGM.

Yogyakarta. Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall, Inc.

Sherman, Laura B & Nadgrodkiewicz (eds). 2011. APEC Procurement Transparency

Standards in Indonesia. A Work in Progress. Transparency International- USA

and Center for International Private Enterprise:USA.

Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Surve. 2006. Jakarta: LP3ES.

Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta

Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi

Page 120: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

120

Pikiran George Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan

Administrasi Publik Indonesia. Yogyakarta.

Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi).

Yogyakarta: PustakaPelajar.

Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A

Managerial Perspective. Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ.

Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”.

London. UK: Chapman & Hall.

Wahid, Fathul. Institutionalization of Public Systems in Developing Countries: A Case

Study of eProcurement in Indonesian Local Government. May 8th – 9th 2012,

Brunel University, University Kingdom

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.

Yin, Robert K. 2013. Case study research: Design and methods. New York: Sage

Publications Inc.

Jurnal/Artikel

“Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through

Online Buying”. Diakses 1 Juli 2014, Jam 10.00.

“Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New

Zealand, Scotland, Western Australia”. 2005. Commonwealth of Australia.

2005. Diakses 3 Juli 2014, Jam 12.00.

“E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service

Delivery”.Report of the Expert Group Meeting.Department of Economic and

Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York.

“E-Procurement of Golden Book and Good Practice”. 2013. This report was prepared for

DG MARKT by PwC EU Services EESV Contract Reference:

MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project. Final Report. Diakses 1

Juli 2014, Jam 15.00.

McCue, Clifford dan Roman, Alexandru V., 2009. “E-Procurement: Myth or Reallity?”

Journal of Public Procurement, Volume 12, Issue 2, 212-238.

Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”.Government Finance

Review. 16 (1), 9-12.

Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and

Challenges”. The Electronic Journal on Information System in Developing

Countries (EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org

Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption

Capabilities of Public e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012)

55, 2, 1-17 The Electronic Journal on Information Systems in Developing

Countries.

Nightisabha, Ika Akyuna., Suhardjanto, Djoko,. Cahya, Bayu Tri,. 2009. “Persepsi

Pengguna Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Kota

Yogyakarta Terhadap Implementasi Sistem “e-Procurement”. Jurnal Siasat Bisnis.

OECD E-Government Task Force. 2003. “The Case for E-Government: Excerpts from the

OECD Report the E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting –

Vol. 3, No. 1.

Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan

E-

Page 121: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

121

Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian Tahun Pertama. Skim Hibah

Bersaing. Universitas Sumatera Utara.

Udoyono, Kodar. 2012. E-Procurement Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Untuk

Mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemerintahan

Volume 3 Nomor 1 Februari.

Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006.“Critical Factors that Influence e-

Procurement Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public

Procurement, Volume 6, Issues (1&3), 70-99.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Undang-UndangNomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan

Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan

Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan

Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atasa Peraturan

Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

dan Penjelasannya.

Peraturan Pemerinta Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik.

Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan

Korupsi.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasa

Korupsi.

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintaha (LKPP)

No.2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No.1 Tahun

2011 Tentang Tata Cara E-Tendering.

Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik di

Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Peraturan Walikota Medan Nomor 38 Tahun 2011 tentang Layanan Pengadaan Secara

Elektronik (LPSE).

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat

Berdasarkan Katalog Elektronik.

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah.

Page 122: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

122

Sumber Internet

https://id.wikipedia.org/wiki/Spekulasi

http://kbbi.web.id/spekulasi

www.lpse.pemkomedan.go.id/

www.lpse.binjaikota.go.id

www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/

http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang

http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang

http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-

barang-dan-jasa/. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.15 WIB.

http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/.

Diakses 19 April 2013, Jam 21.00 WIB.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-

dominasi-kasus-korupsi-di-2013. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.44 WIB.

http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614. Diakses 16 Juni 2015, Jam 15.20 WIB.

http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-

pelayanan publik- 541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15 WIB.

Page 123: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

123

LAMPIRAN

Page 124: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

124

BIODATA KETUA PENELITI

A. Identitas Diri

1 Nama Lengkap Dra Februati Trimurni, M.Si

2 Jenis Kelamin Perempuan

3 Jabatan Fungsional IV/b / Pembina Tingkat 1

4 NIP/NIK/ Identitas lainnya 19660212 199009 2 001

5 NIDN 0012026602

6 Tempat dan Tanggal Lahir Laras, 12 Februari 1966

7 E-mail [email protected]

8 Nomor Telepon/ HP 081361405260

9 Alamat Kantor Jl. Prof A. Sofyan No.1 Kampus USU Padang

Bulan Medan 20155

10 Nomor Telepon/ Faks 061 8211965, 061 8201652

11 Lulusan yang telah Dihasilkan S-1= 120 orang; S-2= - orang

12. Mata Kuliah yang Diampu

1. Etika Administrasi

1. Teori Birokrasi

2. Teori dan Perilkau Organisasi

3. Manajemen Sumber Daya Manusia

B. Riwayat Pendidikan

S-1 S-2 S-3

Nama Perguruan Tinggi FISIP USU Pascasarjana UNPAD -

Bidang Ilmu Ilmu Administrasi

Negara

Ilmu Administrasi Negara -

Tahun Masuk-Lulus 1984 – 1989 1994 – 1997 -

Judul Skripsi/Tesis Pengaruh Pendidikan

dan Latihan terhadap

Produktivitas Kerja

Pengaruh Perampingan

Birokrasi terhadap

Produktivitas Kerja

Pegawai

-

Nama

Pembimbing/Promotor

Drs Amru Nasution,

M.Si

Prof. Dr Winardi, SE. -

Page 125: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

125

C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir(bukan Skripsi, Tesis, maupun

Disertasi)

No Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber* Jml (Juta Rp)

1 2015 Model Implementasi

Kebijakan e-Procurement

dalam Mewujudkan

Transparansi Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah di

Provinsi Sumatera Utara

(Tahun 2)

DIPA Direktorat

Penelitian Pengabdian

kepada Masyarakat TA

2015, sesuai dengan

Surat Perjanjian

Penugasan Pelaksanaan

Hibah Penelitisan Bagi

Dosen PT Batch I USU

Rp 67.500.000

2 2014 Model Implementasi

Kebijakan e-Procurement

dalam Mewujudkan

Transparansi Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah di

Provinsi Sumatera Utara

(Tahun 1)

Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi,

Kementerian

Pendidikan dan

Kebudayaan, sesuai

dengan Surat Perjanjian

Pelaksanaan Penugasan

Penelitian TA 2014

Rp 51.047.500

3 2012 Perencanaan

Pembangunan Wilayah

Dalam Mewujudkan

Pembangunan Masyarakat

di Desa Pantai Gemi,

Kecamatan Stabat,

Kabupaten Langkat

Universitas Sumatera

Utara, Sesuai dengan

Penugasan Dalam

Rangka Pelaksanaaan

Program Penelitian

Dosen Muda TA 2012

Rp 5.000.000

4 2009 Model Pengembangan

StrategiPembelajaran Guru

Dalam Meningkatkan

Kualitas Lulusan SMA di

Sumatera Utara

Hibah Penelitian

Potensi Pendidikan

Kabupaten/KotaDirjen

Dikti Depdiknas

Rp 95.000.000

*Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber

lainnya.

D.Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada

Masyarakat

Pendanaan

Sumber* Jml (Juta Rp)

1 2013 Pemberdayaan Kelompok

Masyarakat Berbasis

Keagamaaan Dalam

Pencegahan dan

Penanggulangan Kekerasan

Terhadap Perempuan dan

Anak di Desa Tandam Hilir,

Dana PNPB USU

Tahun 2013 Rp 7.300.000

Page 126: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

126

Kecamatan Hamparan Perak,

Kabupatena Deli Serdang

2 2012 Penyuluhan Pelaksanaan

Tata Kelola Perusahaan

yang Baik Pada Hotel

Madani Medan

Dana PNBP FISIP

USU TA 2012 Rp 2.000.000

3 2012 Sosialisasi Tata Cara

Pembayaran Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) Pada

Kecamatan Medan Polonia

Dana PNBP FISIP

USU TA 2012 Rp 2.000.000

4 2009 Penyuluhan: Perilaku

Birokrasi Dalam

Memberikan Pelayanan di

Desa Hulu, Kec.Pancur

Batu, Kab. Deli Serdang,

2009

S PP-DPP FISIP-USU Rp 2.000.000

E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahuin Terakhir

Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/ Nomor/ Tahun

E-Procurement Policy Model: Striving

towards Transparency in Goods and

Services Procurement in North

Sumatera, Indonesia

Public Policy and

Administration

Research

Vol.4/No.12/2014

Transparansi Dalam Pelayanan Publik di

Indonesia

Komunika Vol.IX/No.2/2013

Implementasi PP No 61 Tahun 2010 di

Pemerintah Kota Pematangsiantar

Politea Vol. 4/No 2/2012

Responsivitas Birokrasi Dalam

Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Kewarganegaraan Vol. 18/No 1/2012

Evaluasi Perkembangan Pemerintahan

Humbang Hasundutan Sebagai Hasil

Pemekaran

HEKSPI, Jurnal

Non Eksakta

Vol. 2/ No 2/2010

F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir

Nama Pertemuan Ilmiah/

Seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat

Ekspose Tentang Hasil-

Hasil Penelitian di

Kabupaten Serdang

Bedagai

Model Implementasi Kebijakan

e-Procurement dalam

Mewujudkan Tranparansi

Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah

26 Agustus 2015,

Kantor Bappeda

Kabupaten Serdang

Bedagai

Hasil Penelitian Perencanaan Pembangunan

Wilayah Dalam Mewujudkan

Pembangunan Masyarakat

2012, Medan

Page 127: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

127

Hasil Penelitian

Pemerintah Kota Medan

Kajian Organisasi Pemerintah

Kota Medan Sesuai Kebutuhan

Daerah.

2012, Medan

Seminar DPRD Dalam

Rangka Kunjungan Kerja

Fungsi DPRD dan Peranan

Bamus (Badan Musyawarah)

DPRD.

2010, Medan

Pelatihan Diklat Teknis

Pelayanan Publik

Akuntabilitas dan Pengelolaan

Mutu di Pandan Kabupaten

Tapanuli Tengah, 2010.

2010, Sibolga

G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakkhir

Judul Buku Tahun Jumlah

Halaman Penerbit

- - - -

H. Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir

Judul/ Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ ID

- - - -

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakakn Publik/ Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5

Tahun Terakhir

Judul/ Tema/Jenis Rekayasa Sosial

lainnya yang Telah Diterapkan Tahun

Tempat

Penerapan

Respon

Masyarakat

- - - -

J.Penghargaan dalam 10 Tahun Terakhir (dari Pemerintah, asosiasi, atau Institusi

lainnya)

Jenis Penghargaan Institusi pemberi

Penghargaan Tahun

Satyalancana Karyasatya X Tahun Lembaga Kepresidenan 2006

Page 128: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

128

(Penghargaan atas pengabdian,

kesetiaan, kejujuran, kecakapan dan

kedisiplinan dalam melaksanakan

tugas sebagai PNS selama 10 Tahun).

Dosen Favorit III Departemen

Administrasi Negara FISIP USU

dalam Rangka Dies Natalis FISIP

USU ke 30, 2010.

FISIP – USU 2010

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidak-

sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam pengajuan Hibah Bersaing.

Medan, 01 November 2015

Peneliti,

Dra Februati Trimurni, M.Si

NIP: 19660212 199009 2 001

Page 129: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

129

BIODATA ANGGOTA TIM PENELITI

A. IdentitasDiri

1 NamaLengkap Dra. AsimaYanty Sylvania

Siahaan M.A, PhD

2 JenisKelamin Perempuan

3 JabatanFungsional Lektor

4 NIP/NIK/ Identitaslainnya 19640126 198803 2 002

5 NIDN 0026016016404

6 TempatdanTanggalLahir Medan/26 Januari 1964

7 E-mail [email protected]

8 NomorTelepon/ HP 081376367800

9 Alamat Kantor Jln.dr.Mansyur 1

10 NomorTelepon/ Faks 0618219768

11 Lulusan yang telahDihasilkan S-1=150 orang; S-2= 1 orang

12. Mata Kuliah yang Diampu

1 Problem Pembangunan

2 Metodologi Penelitian

Kualitatif

3 Demokrasi dan Ham

Dst

B. RiwayatPendidikan

S-1 S-2 S-3

Nama Perguruan Tinggi USU/Indonesia Monash

University/Australi

a

Massey

University/New

Zealand

BidangIlmu Administrasi

Negara

Development

Studies

Development

Studies

TahunMasuk-Lulus 1982 -1987 1995-1997 2000-2004

JudulSkripsi/Tesis/Dis

ertasi

Ketahanan

Nasional

Regional

ASEAN

Decentralization

and Housing in

Indonesia

„Women and

Local

Governance in

Indonesia: A

Case Study of

Engendering

Local

Governance in

North

Page 130: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

130

Sumatra‟

NamaPembimbing/Prom

otor

Drs.

T.D.Marpaung

M.A.

DR.Susan

Blackburn

Barbara Nowak

PhD/Regina

Scheyvens PhD

C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir(bukan Skripsi, Tesis,

maupunDisertasi)

No Tahun JudulPenelitian

Pendanaan

Sumber* Jml

(JutaRp)

1 2010 Social Capital Development

in Coastal Ecosystem

Conservation Strategy in

KabupatenTapanuli Tengah

Sumatera Utara.

Dikti

50

2 2009 The capacity of Local

Government in South

Tapanuli. .

URS 30

3 2009 Review of Sustainability

Practices Within Multi Donor

Fund for Aceh and Nias

Portfolio. Oxford Policy

management/OPM.

MDF 150

4 2008 Evaluation Research on

Performance of Traditional

Markets in Post Tsunami

Aceh..

CHF 65

Dst

*TuliskansumberpendanaanbaikdariskemapenelitianDIKTI maupundarisumberlainnya.

D. Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada

Masyarakat Pendanaan

Sumber Jml (Juta Rp)

1 2012 Mempersiapkan Masa Depan

Melalui telusur Talenta dan

Sadaar Hidup Sehat Bagi

Anak Binaan di Lapas Kelas

II-A Medan

Mandiri 4.000.000

2 2011 Sosialisasi Kepemerintahan

yang Baik dan Etika

Pemerintah di Kabupaten Karo

Mandiri 1.000.000

3 2011 Penyuluhan Pemahaman

Nilai-Nilai Good Governance

Kepada Masyarakat

Dana

Masyarakat

1.750.000

Page 131: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

131

Pengusaha Peserta Pengadaan

Barang dan Jasa Instansi

Pemerintah di Kab.Labuhan

Batu

FISIP USU

E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir

No JudulArtikelIlmiah NamaJurnal Volume/ Nomor/ Tahun

1

2

3

Dst

F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 TahunTerakhir

No NamaPertemuanIlmiah/ Seminar JudulArtikelIlmiah WaktudanTempat

1 Indonesia-Malaysia-Thailand

Growth Triangle (IMT-GT)

Uninet Leadership Camp

IMT-GT: Striving

Towards Resilient

Community in

Globalization.

UUM.Kedah-

Malaysia. January

2011.

22 New Zealand Sociology

Association Conference.

Local Knowledge

and Disaster: Case

Study of Aceh.

Palmerston

North/New

ZealandNovember

2009.

G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakkhir

No JudulBuku Tahun Jumlahhaal

aman Penerbit

1 Decentralization and Women in

Indonesia. Engendering Local

Governance in North Sumatra.

2012 346 Lambert

Academic

Publishing:Germ

any

2 „Pendidikan Tinggi dan

Pembangunan:perspektif Gender‟

dalam Luther dan Pendidikan.

2012 204 KN-

LWF:Sumatera

Utara

3 „Politik Gender dan Desentralisasi

di Indonesia‟ dalam Drama

Indonesia.Ketidakpastian Dalam

Dunia yang

Mengglobal.Hainsworth&Setiawan

(eds). UGM Press:Yogyakarta.

2007.

2007 430 UGM Press:

H. Perolehan HKI dalam 5-10 TahunTerakhir

No Judul/ Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ ID

Page 132: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

132

1

2

3

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/ Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5

Tahun Terakhir

No

Judul/

Tema/JenisRekayasaSosiallainny

a yang TelahDiterapkan

Tahun Tempat

Penerapan ResponMasyarakat

1

2

J. Penghargaandalam 10 TahunTerakhir (dariPemerintah, asosiasi,

atauInstitusilainnya)

No JenisPenghargaan InstitusipemberiPenghargaan Tahun

1 PiagamSatyaLancanaKaryasa

tya X Tahun

PresidenRepublik

Indonesia

2006

2

3

dst

Semua data yang

sayaisikandantercantumdalambiodatainiadalahbenardandapatdipertanggungjawabkansecara

hukum. Apabila dikemudianhariternyatadijumpaiketidak-sesuaiandengankenyataan,

sayasanggupmenerimasanksi.

Demikianbiodatainisayabuatdengansebenarnyauntukmemenuhisalahsatupersyaratandalampen

gajuanHibah Bersaing

Medan, 01 November 2015

Peneliti,

(Asima Yanty Sylvania Siahaan)

Page 133: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

133

BIODATA ANGGOTA TIM PENELITI

A. IdentitasDiri

1 NamaLengkap Dra. Dayana, M.Si

2 JenisKelamin Perempuan

3 JabatanFungsional IVb/Lektor Kepala

4 NIP/NIK/ Identitaslainnya 19600728 198703 2 002

5 NIDN 0028076003

6 TempatdanTanggalLahir Tapanuli Utara/28 Juli 1960

7 E-mail [email protected]

8 NomorTelepon/ HP 081397036969

9 Alamat Kantor Jln. Prof. A. Sofyan No. 1

Kampus USU Padang Bulan

Medan 20155

10 NomorTelepon/ Faks 0618217168

11 Lulusan yang telahDihasilkan S-1=170 orang; S-2= -orang

12. Mata Kuliah yang Diampu

1 Komunikasi Pembangunan

Sosial

2Teknik-teknik Hubungan

Masyarakat

3Praktikum Humas

Dst

B. Riwayat Pendidikan

S-1 S-2 S-3

Nama Perguruan Tinggi FISIP USU Pascasarjana

UNPAD

-

BidangIlmu Ilmu Komunikasi Ilmu Penyuluhan

Pembangunan

-

TahunMasuk-Lulus 1981-1986 1996-1998 -

JudulSkripsi/Tesis/Disert

asi

Peranan Penyuluh

Pertanian

Lapangan Dalam

Persepsi Masyarakat

Terhadap Konsep

Keluarga Berencana

Page 134: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

134

Meningkatkan

Produksi

Pertanian

dan Faktor-faktor

yang Mempengaruhi

NamaPembimbing/Prom

otor

Drs. H. R.

Danandjaja, M.A

Prof. Dr. Marqono,

M.Sc

-

C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir

(bukan Skripsi, Tesis, maupunDisertasi)

No Tahun JudulPenelitian Pendanaan

Sumber* Jml (JutaRp)

1 2013 Pola Penggunaan Media Pada

Kalangan Aktivis Mahasiswa

FISIP USU Medan

Dana PNBP

Pascasarjana

FISIP USU

2013

3.000.000

2 2013 Riset Penonton Program TVRI

di Sumatera Utara

Kerjasama

Departemen

Ilmu

Komunikasi

dan TVRI Pusat

97.000.000

*TuliskansumberpendanaanbaikdariskemapenelitianDIKTI maupundarisumberlainnya.

D. Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada

Masyarakat Pendanaan

Sumber Jml (Juta Rp)

1 2013 Pembinaan Komunikasi

Keluarga Bagi Ibu-Ibu di Desa

Karang Rejo Kecamatan

Stabat

Dana PNBP

FISIP USU

2013

2.000.000

2 2012 Workshop Pembuatan Film

Pendek Bagi Mahasiswa,

Pelajar dan Pencinta Film di

Medan

Dana PNBP

FISIP USU

2012

2.000.000

Page 135: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

135

E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir

No JudulArtikelIlmiah NamaJurnal Volume/ Nomor/ Tahun

1 Persepsi Stakeholder Dan

Kompetensi Alumni

Komunika Volume X. No. 1

Maret 2014

2 Implementasi Event

Sponsorship Program Acara

Televisi dan Citra Perusahaan

Komunika Volume VIII. No. 2

September 2012

3 Komunikasi Penyuluhan dan

Adopsi Inovasi

Perspektif Volume IV No. 2

Oktober 2011

F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 TahunTerakhir

No NamaPertemuanIlmiah/ Seminar JudulArtikelIlmiah WaktudanTempat

1 Pelatihan Refreshing Bagi

PLKB/PKB Kab/Kota Se-

Sumatera Utara

Komunikasi

Penyuluhan

01-06 Juli 2012 /

BKKBN Provinsi

Sumatera Utara

G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakkhir

No JudulBuku Tahun

Juml

ah

Halaman

Penerbit

1 Teori-Teori Komunikasi 2010 400 USU Press

H. Perolehan HKI dalam 5-10 TahunTerakhir

No Judul/ Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ ID

1

2

3

Dst.

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/ Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5

Tahun Terakhir

No

Judul/

Tema/JenisRekayasaSosiallainny

a yang TelahDiterapkan

Tahun Tempat

Penerapan ResponMasyarakat

1

2

Page 136: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

136

J. Penghargaan dalam 10 Tahun Terakhir (dari Pemerintah, asosiasi, atau

Institusi lainnya)

Jenis Penghargaan Institusi pemberi

Penghargaan Tahun

Satyalancana Karyasatya X Tahun Lembaga Kepresidenan 2006

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidak-

sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam pengajuan Hibah Bersaing.

Medan, 01 November 2015

Peneliti,

Dra Dayana, M.Si

NIP: 19600728 198703 2 002

Page 137: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

137

Artikel 1

E-Procurement Policy Model: Case Study of Health Agency in

North Sumatra Province, Indonesia

Februati Trimurni 1*

Asima Yanty Siahaan 2 Dayana

3

Faculty of Social and Political Sciences, University of Sumatera Utara, Jln. Dr. Sofyan no.1, Medan

20155 – Indonesia

* E-mail of the corresponding author: [email protected]

The Research and publication of this paper is funded by the Directorate General of Higher Education of

Indonesia.

Abstract

E-procurement policy is one form of reformation in procurement in Indonesia which aims at enhancing

transparency in public procurement. E-procurement can be implemented through e-tendering and e-purchasing

methods by utilizing e-catalogue. Policy implementation model was used to assist the realization of the goal of e-

procurement policy. This study found three significant factors of e-procurement policy implementation model,

namely legal foundation, infrastructure and human resources.

This article entitled "E-procurement Policy Implementation Model: Case Study of Regency/City Health Agency,

North Sumatra Province, Indonesia. Applying qualitative research method and case study approach, this study

describes in detail stages of e-tendering and e-purchasing methods and transparency. It also explains how this e-

procurement policy implementation method works and its relation with transparency in public procurement at

Health Agency at Medan City, Binjai City and Serdang Bedagai Regency.

In-depth interview, observation, document and literature analysis were utilised as interrelated data gathering

techniques. In-depth interviews were conducted with head of Development Administration/LPSE of Medan City,

Binjai City and Serdang Bedagai and Working Group of Procurement Service Unit (ULP), Commitment

Authorities, Procurement Official and business as providers of e-procurement. This study also applies

observation technique on Electronic Procurement Services (LPSE) website to examine transparency of data,

process and decision of e-procurement activities.

This study reveals e-purchasing methods is more interested for e-procurement implementers compare to e-

tendering at all research sites. Security resulted from the utilization of e-catalogue is one of the reason for

preference in using this method. This study also finds out that the three factors of e-procurement implementation

model as mentioned previously were yet to function optimally causing speculations in e-procurement activities

which usually addressed by providers to e-procurement implementers, and diverse understanding and

interpretation on transparency between implementers and providers. Observation on LPSE websites reveals data

transparency has been satisfactory while process and decision transparency are yet to be satisfactory.

Keywords: Policy model, E-procurement, Public service, Transparency.

Page 138: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

138

1. Introduction

Public goods and services funded by national budget is an essential activity of government. Public goods and

services procurement ensures the fulfilment of a country's development infrastructure. At this point, public

procurement should be conducted more efficient and effective, prioritizing the implementation of healthy

competitive principle which is transparent and just for related parties. This is a realistic expectation considering

that the huge total amount of public procurement at governments' institutions reach out to 15% - 30% of GDP.

The high percentage of public procurement unavoidably created opportunity for the occurrence of corruption in

public procurement and evidently dominates 61% of corruption cases in Indonesia (Tribune News. 2014). Public

procurement process is also the most investigated corruption cases handled by Indonesia's Corruption (KPK)

which consists of 96 cases or reaching to 40.9 % since 2004 to 2011 (Berita Sore.2012). Based on a study

conducted by Indonesia Corruption Watch (ICW), public procurement corruptors includes private sector, head of

government agency, head of local and provincial government (Hukum Online.2013).

Considering the vulnerability of public procurement towards the achievement of national economy, government

implemented reformation in transforming manual procurement into electronic procurement (e-procurement).

Manual procurement provided opportunity for direct interaction between government officials and providers.

This face to face interaction significantly creates corruption and nepotism practices. On the other hand, through

e-procurement the intensity of these corrupt practices can be decreased, thus, avoid and suppress these corrupt

practices.

One of the objectives of e-procurement is to realize transparency and efficiency in public procurement

(Presidential Regulation (Perpres) No. 4/2015). Surabaya city as one of best practices in public service delivery

places the implementation of e-procurement as an innovative best practice, aiming at enhancing effectiveness,

efficiency and transparency in public procurement process (Partnership for Democratic Local Governance in

Southeast Asia, 2003). The implementation of e-procurement successfully saved 20 to 30% of public service

budget. The implementation of e-procurement in Indonesia's Finance Ministry has saved budget, reduce leakages

and ensured transparency. It contributed to 18.4% budget saving in 2009 (LKPP.2009). The efficiency also

applies to the Transportation Ministry with its basic budget of IDR 1.4 trillion, while the transaction value is IDR

1.17 trillion which mean a saving of IDR 230 billion.

In reality best practices of e-government in Indonesia is still at a minimum. Various intertwined factors such as

inadequate human resources, limited supporting infrastructure, weak regulation and institution, limited

government budget support, and the low commitment and seriousness of leaders at various government level,

contributes to limited best practices of e-government. Similar problem occurred in the implementation of e-

procurement in Indonesia, such as the absence of obvious regulative law which serves as umbrella law of e-

procurement process in order for the realization of basic standard on the management of e-procurement process

whether from the bureaucracy chain, time, the utilization of information technology and human resources.

Moreover, the low commitment of top and middle level leaders due to low political support at the end

encouraged corruption in public procurement. Also, the challenges from procurement committee, providers and

legislators and limited infrastructure such as the expensive cost of internet, cannot be ignored

(Kompasiana.2013).

Meanwhile, the implementation of e-procurement in European countries has its problems too (Lederer.2013).

Studies on e-procurement transparency found data published in 'pdf' and html and not in the database form. This

means data are found in different volumes of bulletins which makes it hard to explore the phases of procurement.

In Hungary, the public must open every bulletin to know how many tenders won, value of the tender and if the

tender is the same as it is in the contract. In Czechs transparency in e-procurement is still limited, this can be

seen through the non-existing statistical data and review of the procurement or justification of the winner of the

procurement on the website, but the data can still be acquired individually. In Poland or Czech the modification

of the contract are not published, but can be requested by anyone that needs the information. Slovakia is a

country which implements a very transparent e-procurement where they update the information constantly and

provide data in format that are easy to process. There are also available an online database about all the approved

contracts.

Page 139: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

139

Policy on e-procurement in Indonesia began with the issuing of Presidential Regulation (Perpres) No. 80 Year

2003 about the implementation of goods/service procurement. Several years later, Perpres No. 54 Year 2010 was

issued concerning Procurement of Government Goods /Services which indicate Presidential Decree No. 80 of

2003 null and void in 2011. Not long after, Presidential Decree No. 35 of 2011 was issued which is the First

Amendment to Presidential Regulation No. 54 Year 2010 concerning Procurement of Government

Goods/Services. Furthermore, some changes are made which results in the Presidential Decree No. 70 Year 2012

and Presidential Decree No. 172 Year 2014. Then, in the beginning of 2015, Presidential Decree No. 4 Year

2015 was issued about the Fourth Amendment to the Presidential Decree Number 54 Year 2010 concerning

Procurement of Government Goods/Services and explanation which was enacted on January 16, 2015. Several

changes in the rules aim to perfect the policy because in the future all government spending is done through

electronic means. This policy was established as a correction of the weaknesses of manual procurement system

both in terms of efficiency, effectiveness, transparency and accountability.

However, procurement of goods/services electronically only began in Medan, Serdang Bedagai in 2011 and

Binjai in 2013, which makes it interesting to study. This research utilised case studies to be able to see the cases

related to the process and the transparency of procurement of goods/services electronically which occurred in the

City Health Office of Medan, Binjai and Serdang Bedagai. These cases are quite complex and risky because it

involves many parties and a significant budget. District Health Office was chosen to be the location of this case

study because this instance is responsible in the field of health which is one of the basic needs of people in the

district city. This research is interesting because policy implementation of e-procurement be seen from different

factors such as legal laws, infrastructure and human resources that are actually derived from real conditions in

Medan, Binjai and Serdang Bedagai. In contrast to previous studies that used a model of policy implementation

that comes from western countries that do not necessarily correspond with the actual condition districts/cities in

Indonesia, especially in the province of North Sumatra, as well as several studies on e-procurement which

focuses its studies on information technology. From the description above formulation of the problem in this

research are:

1. How does the e-procurement process apply both with the method of e-tendering and e-purchasing

method at the District Health Office of North Sumatra Province?

2. How does the process of e-procurement in achieving the transparency of goods/service procurement be

seen from the model of policy implementation at the District Health Office/City, North Sumatra Province,

Indonesia?

2. Literature Review

2.1 Implementation Model

In process of public policy, implementation is the most important part because it is a stage where pre-determined

alternatives embodied into real action. This is because the policy implementation is a chain that links between

policy formulation and expected results. Thus without implementation, the policy will be in vain because it is

only a mere concept.

Implementation of policies when viewed in a broader sense, is a legal administration tool where various actors,

organizations, procedures and techniques work together to carry out a policy in order to achieve the desired

impact or goal (Winarno.2002). Since the implementation is seen as a tool in implementing the policy, there are

several variables or factors that determine the achievement of the policy objectives. The existence of these

variables or factors could support the implementation process of policies but may also hamper the

implementation of the policy. Because of the many and complex factors in the implementation of a policy, it will

require a conceptual model (conceptual model) to help analyse or evaluate the implementation of policies so that

it can achieve predetermined objectives.

According to Thomas R. Dye (1972) a model is a simplified representation of some aspect of the real world.

While Rendall B. Ripley (1985) argues that the major utility of any model is that it simplifies complex reality in

ways that can be readily understood. Through a model, variables or factors that influence policy implementation

can be simplified to make it easier to understand. Simplification is important because there are so many variables

or factors, where not all of the factors influence the implementation of a policy. Thus a model consists only of a

Page 140: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

140

few dominant variables or factors that influence the implementation of a policy. Another benefit of the model is

that it can show important variables or factors of a policy implementation. This makes it easier for both

implementers and policy makers to focus more on the variables or factors that could make the policy

implementation a success or a failure.

2.2 Functioning Model of Public Policy Implementation

There are three basic components that are found in public policy, which are the goals to be achieved, specific

objectives and how to achieve these objectives. How to achieve this goal is called policy implementation. Policy

implementation is not a simple process, it is very complex and complicated which are influenced by various

factors both individual and organizational factors. Various models have been studied by experts to understand

the public policy implementation process. In each model of implementation, experts found certain factors that

are interconnected with each other and influence the implementation goals. Thus, we need to know how factors

and variables work in a policy implementation model.

Grindle (1980) introduced implementation model as the political and administrative processes. The model works

by describing the decision process performed by a variety of actors, where the output is determined by both the

material and the program that has been achieved through the interaction of decision-makers in the context of

administrative politics. The political process can be seen through the decision making process that involves

various policy actors, while the administration looks through a public process regarding the administrative

actions that can be studied at the level of a particular program.

Meanwhile Van Meter and Van Horn (2009) developed the manner of policy implementation process model

work. Both found the change, control and compliance in action is an important concept in the implementation

procedures. Both also develop a policy typology according to the number of changes that will be generated and

the range or scope of the agreement on the purpose by the various parties involved in the implementation

process, which in turn gave birth to the six variables that affect the performance of the implementation.

The first variable is the standard and policy targets. Every public policy standards should have clear and

measurable policy objectives so the goals of the policy can be realized. The standards and policy targets will

clearly make no policy bias so that there will be no multi-interpretations or misunderstandings and conflicts

among the implementation agents. The second variable is resource. Implementing policies needs to be supported

by resources, human resources, material resources and method resource. From the three resources, the most

important resource is human resource, because besides being the subject of policy implementation it is also the

object of policy implementation. Third is organizational relationship. In many policy implementation programs,

to make an implementation successful, there needs to be good relationship between relevant entities.

Communication and coordination plays an important role because it is one of the lifeblood of an organization so

that programs can be realized. In addition, the fourth variable is characteristics of the implementing agencies.

Implementation of policies can achieve maximum success by identifying the characteristics of the implementing

agencies which include bureaucratic structures, norms and patterns of relationships that occur within the

bureaucracy. This relates to the fifth variable the attitude of the implementer. In implementing the policy,

attitude or disposition of the implementer is divided into three, namely the implementer response to the policy,

the condition of the understanding of the policy defined and intense disposition implementer which is preference

of the implementer. The final variable is the environmental conditions of social, political and economic. This

includes the extent to which interest groups provide support for policy implementation, the characteristics of the

participants whether to support or reject, what is the nature of public opinion and whether the political elite

supports the implementation of the policy.

Model of policy implementation of e-procurement in an earlier study consisted of three variables or factors. The

legal basis as the first factor showed that a policy requires a clear legal basis and fixed institution. This electronic

procurement system is based on a number of regulations, one of which is the Presidential Decree No. 4 Year

2015. Applicability of electronic procurement systems also requires an obligation for local governments to form

the Institute of Electronic Procurement System (LPSE) and the Procurement Services Unit (ULP) in the area.

Both institutions serve to expedite the process of procurement of goods / services electronically in the area

(counties and cities). The second factor of models of e-procurement policy implementation is infrastructure.

Page 141: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

141

Infrastructure includes infrastructure such as hardware, including servers and communication networks and

software. The use of technology, systems and standardized procedures, setting strict time schedule is an

important thing known by all parties, both by the provider or providers of e-procurement. The role of

infrastructure is needed as a tool to achieve policy objectives. The third factor is related to the human resources

capability and organizational culture. Human resource capabilities here relate to IT-based control of computers,

because e-procurement activities synonymous with the use of IT. In facilitating e-procurement activities,

organizational culture that is fair, non-discriminatory and away from the practices of corruption, collusion and

nepotism (KKN) are also significantly required.

The success of an e-procurement policy implementation will affect the transparency of procurement of goods

and services. The success of implementation model depends on those three factors. E-procurement policy that is

born of a legal basis cannot function optimally without the infrastructure needed for the implementation of

electronic procurement systems and human resources policies as the driving factor. Furthermore, the use of

advanced technology must be balanced by the ability of human resources. Therefore, the human resources as a

service provider must have reliable skill in computer-based IT. If the organizers‟ human resource has the IT

capabilities and is able to interpret the rules correct, only then there will be an organization behavior that is fair

and free of corruption practices.

2.3 Transparency Procurement of Government Goods/Services as the objective of the Implementation of

E-Procurement

E-procurement is a form of e-government service. A modest definition of e-procurement by Van Weele (1994)

stated that the use the Internet Technology in the process of providing, that is, buying and selling of goods and

services. Together with the above definition, Turban et al (2006) stated that e-procurement refers to the purchase

of goods and services for organizations. Other definition focused on the implementation of e-procurement in the

government organization argued that e-procurement refers to the use of electronic communications and

transaction processing by government institutions and other public sector organization when buying supplies and

services or tendering public works. Some understanding of e-procurement above is actually not much different

from the understanding of e-government. Services performed both using Information Technology (IT),

computer-based. Only difference of e-procurement to focus on the process of procurement, purchase and sale of

goods/services while the reach of broader e-government because it involves publishing category, Interact and

Transact.

There are many reasons and benefits from the use of e-procurement, Vaidya et al (2006) argued that e-

procurement was used because of the demands of public sector management to be transparent, efficient and

effective in providing services. E-procurement is also a common theme of many organizations in developed and

developing countries to promote transparency and good governance. In this case the e-procurement used as an

instrument of public sector reform. While Mitchell (2000) defined e-procurement by comparing it with

traditional procurement methods where electronic procurement is better because it can integrate the processes of

the supply chain (from customers to suppliers and back again to the consumer) smoothly, at the right time and

can be done repeatedly. Kelman (1990) categorized three characteristics of the procurement system in

government organizations namely equity, integrity, economic and efficiency. Equity means fair access to

providers. Integrity connotes transparency in the procurement process. Economic and efficiency where the price

is equal to the quality provided.

As explained above, there many reasons and purposes for the implementation of e-procurement and one of them

are to create transparency. Transparency itself is a principle which guarantees freedom for every person to obtain

information about the good governance with regard to information about the policies, the manufacturing process

and its implementation and the results achieved. Thus transparency can be an entry point for people to get

information about what the government does. In addition, people can also do checks and balances on what has

been done by the government. This is in line with the opinion of Clem (2010) that explained transparency as the

obligation of government in providing citizens with information about what Reviews their government is doing

so that government can be held accountable. Understanding Clem provides insight into a very wide meaning of

transparency, where the government must provide information to citizens about what is being done by the

government. Thus the government must take responsibility for what is being done. But the meaning of

transparency in government is not as wide as the explanation by Clem above. It is an obligation for the

Page 142: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

142

government to provide information to the public about what the government is doing, but the government also

has a category of information that should be kept secret from the public, such as state secrets, intelligence

information, the interests of business protection from unfair competition, rights personal rights, and other

professional secrecy (Article 17 of Law No. 14 of 2008 on Public Information).

Meanwhile, according to Presidential Decree No. 4 Year 2015 concerning Procurement of Government Goods

/Services Article 5 where transparency is one of the principles of electronic procurement in addition to

efficiency, effective, open, competitive, fair/non-discriminatory and accountable. Furthermore, in the

explanation regulation 54 in 2010 said that transparency means all the provisions and information on the

procurement of goods/services is clear and widely known by providers of goods/services as well as by the public

interest in general. So transparency here besides being interpreted that provision and information must be widely

known by the general public, the terms and the information must also be clear. This is important because the

process of procurement of goods and services is a spending that uses state finances. Because of this the process

of procurement of goods and services needs to be managed properly, in order to obtain goods/services that are

affordable and of good quality, and also accountable both in terms of physical, financial, beneficial for the

operation of government and public service tasks.

In relation to the Presidential Regulation on transparency, the opinion of Heald (in Bannister and Connolly,

2011) concerning the proper categorization of transparency should be used to see the transparency in LPSE

website especially in district/city level. Heald categorized transparency in three categories which are data

transparency, process transparency and decision/policy making transparency. Data transparency are associated

with the numbers and facts of the government such as the cost of providing (process data are easily accessible

and understandable to the public); misinterpretation of data/information; the risks to the public/anonymity.

Process transparency relates to the availability of information from various government processes, ranging from

decision-making to the product decision. This transparency makes all stages of the process clear, showing where

a particular transaction can be found and explains why certain measures must be done. Transparency of

decisions/policy outlines the rationality of the decisions made by the government.

3. Research Methods

This study applied qualitative method, in which the researchers describe in detail the stages of e-procurement

either by the method of e-tendering and e-purchasing which used e-catalogues as well as the transparency of the

procurement of goods/services electronically. Furthermore, the researchers explain the workings of the

implementation model of e-procurement policy at the District Health Office/City in the three study sites.

Informants were selected based on specific categories such as having previous experience in fields related to

procurement of goods and services as head/secretary of administration in Medan, Binjai, Serdang Bedagai.

While the categories set by researcher for providers are providers who attended the auction package at one of the

study sites and the local entrepreneurs who are members of an entrepreneurs' association.

This study utilised a case study approach. By using this approach, in addition to explaining what kind of objects

or cases studied, it also explains how and why the existence of such cases may occur (Yin, 2003). While data

analysis technique used is the analysis of qualitative data while data collection is done by interviews and

observations. Data were analyzed with literature data is reinforced through books and regulations relating to the

cases in this study.

4. Research Findings and Discussion

4.1 Organization of Procurement: Parties Related to Procurement of Goods/Services

According to Presidential Decree No. 4 of 2015 Article 7 says that the organization's procurement of

goods/services to procure through the providers of goods/services consists of:

4.1.1 Budget User (PA)/Budget Authority (KPA)

Budget users (PA) according to Article 1 paragraph 5 of Presidential Decree No. 4 2015 is the official holder of

authority to use the budget of the Ministry/Agency/SKPD or officials who are the same as the other institutions

Page 143: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

143

users of APBN/APBD. Furthermore, according to Law No. 1 of 2004 Article 5 (1) and Article 6 paragraph (1) of

the State Treasury the Preamble of Presidential Decree No. 54 of 2010 that the governor, regent/mayor as the

Head of Local Government and Head SKPD for SKPD he leads can be a PA. However, because the PA has the

burden of work or span of control of large organizations, the PA on Local Government may propose one (1) or

several people to the Regional Head for the set as NAC (Budget Authority) as set out in Article 9. Article 1, item

6 of Presidential Decree No. 4 of 2015 defines the Budget Authority (KPA) as defined by PA officials to use the

budget or stipulated by the Regional Head for using the budget. So if the head of the regional work units (SKPD)

is the agency budget, the KPA is an official who is authorized to carry out part of the authority budget users in

performing some tasks and functions SKPD.

In the environment of Health Office (DHO) Regency/City, which was chosen to be the location of the case study

research, Head of Department (Head) Regency/City which became the PA, then Head of Health propose one or

several names to the Regent/Mayor to set as the NAC in District Health Office/the City. But for the local

government level, the PA is the Regent/Mayor, while the NAC is the Head of Department (SKPD)

Regency/City.

4.1.2 Committing Officer (CO)

In Article 12 of Presidential Decree No. 4 of 2015, PA/KPA assigns the Committing Officer (PPK) to implement

the procurement of Goods/Services. Thus, KDP officials who are responsible for the implementation of the

Procurement of Goods/Services that have the main task and authority as stipulated in Article 11.

Based on the basic tasks and authority of PPK, it is not excessive if KDP holds a central role for the procurement

of government goods/services. According to Government Regulation No. 45 of 2013 on the Implementation of

the State Budget, the CO is an official authorized by the PA/KPA to take a decision and/or action that may have

led to the use of the state budget. Because of the magnitude of the responsibility carried by the KDP, the man

who became the CO either has a structural position or echelon must have the technical requirements and

managerial as stated in Article 12 paragraph (2), among others, integrity, discipline, responsibility and technical

qualifications as well as managerial skills to carry out the tasks. Besides being able to make decisions, act

decisively, have exemplary behavior as well as attitude and has never been involved in corruption practices and

also has a Certificate of Expertise for Procurement of Goods/Services.

4.1.3 Procurement Services Unit (ULP)/Procurement

Procurement Services Unit (ULP) is an organizational unit of the Ministry/Agency/Local

Government/Institutions that serve to carry out the Procurement of Goods/Services which is permanent, can

stand alone or attached to a unit that already exists (Presidential Decree No. 4 of 2015 Article 1 paragraph 8).

While the Procurement officer is the designated personnel to carry out Direct Procurement. Both members of

ULP and Procurement official can be derived from civil servants, both from the agency itself as well as other

agencies.

Furthermore, Article 4 said that the Organization of ULP devices are set as needed, it consists of: head,

secretariat, support staff and working groups. This means that each district /city has ULP devices which vary

according to the needs of the region or the workload of the ULP in each district/city.

Working Group on Procurement Services Unit (WG ULP) which is the organization ULP can be said to be the

spearhead of the e-procurement process, because the Working Group was appointed and prepared as a

procurement committee that will decide the provider which has won the auction electronically. In Medan, ULP

consists of Working Groups that are in nature fixed and not fixed. The Working Group still comes from

equipment and assets in Medan, while the Working Group with no permanent membership comes from several

SKPD in the city of Medan. The same thing is found in Serdang Bedagai and Binjai, but the difference is that a

member of the Working Group still comes from the functional part of the Procurement of Goods/Services

(CPM). It is said not fixed because it does not always participate in all auctions packages. Moreover its

membership is always changing that the Decree (SK) as a Working Group is not fixed must be renewed

annually.

Page 144: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

144

4.1.4 The Committee/Official Receiver Job Results (PPHP)

According to Presidential Decree No. 4 of 2015 Number 8, the Committee/Official Job Receiver (PPHP) is a

committee/authority designated by the PA/KPA which is in charge of examining and accepting the work result.

PPHP members come from civil servants, both from the agency itself as well as other agencies. However there is

an exception for the members of the Committee/Official Job Results Receiver in other institutions APBN/APBD

user or Community Group Managing self-management, can derive from non-civil servants. The main task of

PPHP as stated in Presidential Decree No. 4 of 2015 is the inspection /testing of the results of the procurement of

goods/services as stated in the contract, which include the suitability, technical specifications, quantity, quality,

time and place of completion if it is in accordance with that stated in contract, as well as making official reports

on the results of inspections and tests. So a PPHP must understand every specification of goods/services being

held and understand different types of contracts used. If the inspection/testing team required technical personnel,

the KPA can form a technical team/appoint experts to assist.

4.2 E-Procurement Method E-Tendering and e-Purchasing at District Health Office

Health Office (DHO) Regency/City is a government agency at the district/city level responsible for serving the

basic human needs in the health sector. Implementation of health efforts undertaken by the District Health Office

city is in need of resources in the health sector including the willingness of pharmaceutical such as drugs and

health equipment. Fulfillment of drugs and health equipment can be done with e-procurement using e-tendering

and e-purchasing by utilizing information technology, in addition to direct procurement, direct appointment and

others that are non-electronic.

4.2.1 E-Tendering

E-tendering is the procedure of selecting a supplier of goods/services conducted openly and can be accessed by

all providers of goods/services listed on the electronic procurement system by means of submitting one time bid

in the allocated time (Article 1 point 39 of Presidential Decree No. 4 of 2015). Budget ceiling of the electronic

auction process is IDR 200 million and above. But in District Health Office budget ceiling to an auction that is

worth over IDR 200 million is not much because it is usually done to building (infrastructure) or items that are

not manufactured. Items such as medical equipment that are manufactured and drugs are conducted by e-

purchasing using e-catalogues.

The tender process in DHO/City is similar to that carried out by the other SKPD. Prior to the acquisition,

DHO/City in this case KDP accept the plans for the needs of goods/services from the user, which is the health

center. Furthermore, PPK makes HPS and specification of the goods/services to be tendered. In determining the

HPS, SKPD notify the distributor that there will be held a procurement of goods and services and asks them to

inform the relevant price of the goods to be purchased. This notification is of official nature because it is through

the Health Office District. After knowing the price of a distributor, the organizers will look for other distributors

who produce goods with similar selling price. Constraints in the HPS and specification of goods occurs when the

specifications of the distributor does not comply with what is required or requested DHO/city. After the HPS is

set, the next process is the District Health Office/City through KDP proposes the HPS and specification of

goods/services to the Working Group ULP is located in the County Government/Municipal for verification.

After the Working Group ULP specify documents containing the information and regulations that must be

obeyed by the providers in the process of the procurement of goods/services. This document contains details of

HPS, qualification requirements, types of contracts, auction schedule and other requirements. In case of inquiry

regarding, the provider may ask for an explanation (aanwijzing) to the procurement committee. Aanwijzing an

explanation of the process of auction conducted online without face-to-face via the website LPSE. But if not

possible to provide information, the procurement committee can explain on the field.

Furthermore on LPSE website, the committee will announce the providers who can proceed to the next process

and also providers that failed. Providers who were qualified can be listed as an auction participant and is entitled

to make an offer. At this stage, bidders must prepare bidding documents in a file and upload the document. The

committee will open the document and evaluate offers from all bidders who submitted bids. The evaluation

process (administrative and technical, price, qualifications) the bidding is done manually (off line) outside SPSE.

Page 145: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

145

Once the evaluation process is completed, the next process is the determination of the winning bidder by the

procurement committee through SPSE.

Winner of the auction can be one or two participants, depending on the fulfilment of the requirements as the

winner. While the winner is the person or entity that is the person/entity that has the right to procure

goods/services requested first and second candidate will replace the winners if something happens that does not

allow for the winners to undertake procurement activities. announcement on the website is not explained in

details why the auction participant wins, but can be seen a sign or value in the field of administration, technical,

bid price and the price offset from the participant. After the announcement of the winners, participants objected

to the determination of winners may deliver one-time rebuttal to the CO conducted online via the SPSE an hour

after the announcement of the winner of the auction. Rebuttal of bidders who feel this objection is answered by

KDP after the deadline of five days for regular auctions and three days for a quick auction. Answers from KDP

can only be read by participants in the bidding. So it cannot be read by the public or providers that do not follow

the bidding. If the participant still does not feel satisfied with the answers to the CO, the participants can make

the process of appeal.

Appeal process was carried out outside of the SPSE, where the auction participants send their appeals to relevant

officials who are considered as the PA for district level government. In these circumstances the mayor with the

help of the procurement committee finds a peaceful way such as by promising another project or giving the loser

of the auction an upcoming project. If the appealer is still not satisfied with the appeal process, it can be taken to

court. Through court the law point will be reached because if corruption was found in the process, the

procurement organizers would be taken to court. This is because the requirement in an e-procurement is that all

entities participating must sign an integrity pact which prevents the act of corruption.

Court process can be quite difficult and costly because the participant must provide a guarantee of 1% of the

total number of on-going auction budget ceiling. If the participant wins in administrative court ruling, then the

security deposit will be returned, and if they do not win will go into the state treasury. Appeal activity in Medan

City Government has been almost non-existent. This is one proof that the openness of the electronic auction

process carried out well. But it cannot be denied, But it cannot be denied, it may also occur because the

participants do not want to be bothered using the legal system or losing more money in the law process.

After the objection period has passed or completed the bidders who became winners are invited to come SKPD

and sign a contract with the KDP. PPK will create and deliver Determination Letter to the winner of auction

winner in writing, winner of the auction is required to bring original documents quote. So the process of

procuring an auction package is complete when the KDP has determined the winner of auction, procurement

committee sends announcement of auction winners through SPSE and when objection period has passed.

4.2.3 E-Purchasing

E-purchasing differs from e-tendering. Based on Presidential Regulation No.4/2015 chapter 1/41, E-purchasing

is goods and services purchase through electronic catalogue system. Purchasing can only be done if goods and

services are listed in LKPP catalogues such as Government's Medicine e-catalogue and Health Equipment

catalogue. Similar to online shopping, e-purchasing ensure buyers in serving their own needs based on e-

catalogue which contains list, types, technical specification and products price from various providers. Hence,

buyers merely adjust their needs with specification and price they require.

Health Minister Regulation No. 63/2014 on E-Catalogue Based Medicine Provision chapter 3 states that all

working unit within health sector at central and local level implemented medicine provision through e-

purchasing based on e-catalogue based on government regulations. This policy aim at ensuring transparency,

effectiveness and efficiency of medicine provision process in order to fulfill health services need which results

can be accounted. At present, regency/city government conduct goods and services provision more by using e-

purchasing method compare to e-tendering. This is due to the dominant needs of manufactured medicine and

health equipment with budget limit of IDR 200 million.

Page 146: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

146

Utilization of e-catalogue provides more significant benefit to regency/city Health Agency. The price of e-

catalogue medicines are cheaper than non e-catalogue ones. Lower price does not mean lower quality. Cheaper

price can be realized since manufacturers which were given the project to produced the medicine has fix and

certain buying order in large amount. Besides, e-catalogue medicine is cheaper due to the cutting of production

and distribution cost of products. The simpler and faster working method which resulted in faster government

working unit budget absorption compared to other procurement method is another advantage of e-catalogue. E-

purchasing which utilizes e-catalogue is more transparent because the list, types, technical specification and

price of products are published electronically and can be accessed widely by public. The use of e-catalogue also

provides more security to e-procurement implementers in carrying out their tasks (Interview. C4, June 5, 2015;

B3, June 5, 2015; A4, August 10, 2015).

However e-catalogue also inhibits some weaknesses. The medicine listed in e-catalogue is sometimes limited

and even run out of stock. Simultaneous order from Health Agency and Local Public Hospital all over Indonesia

on similar medicine contributed to the deficiency of medicine stock. Delay and lateness of distributors in

fulfilling medicine order also created problems. Delay sometimes occurs because distributors in Java bear

transportation cost. To save this cost, distributors send ordered medicine by using transportation with cheapest

price which resulted in late medicine distribution. For example, the price of similar medicine is the same for all

regions in Indonesia. In case of delay in deliverance, regency/city Health Agency will use stock of medicine

which have to be ready and owned by all working unit of Health Agency. Viewed from budget absorption, it is

certainly of disadvantage to local working units (Interview. C4, June 4, 2015).

E-purchasing process which uses e-catalogue also experienced obstacles. E-purchasing process is conducted

through several stages including determination of packages, products' price, contract format download, Letter of

Order printing, etc. Downloading and uploading documents were not easy since e-catalogue network or system

were frequently overload, thus, it required long time to complete all these activities. Sometimes e-procurement

implementers had to carry out the above activities in the evening, and have to bear internet cost because they

were done outside working hours and outside office. The multiplication of contract documents which is the final

process of e-purchasing is also another obstacle in conducting e-purchasing. A purchasing process requires 7-9

copies of contract document. The cost of 1 copy of document is IDR.300.000. Thus, for the multiplication of 9

contract copies requires IDR.2.7 million. It becomes a problem since there is no clear explanation in regulation

on the cost of this copy. Dealing with this problem, regency/city Health Agency added a new clause which was

discussed with providers at the beginning of procurement process that providers bear the cost of document

multiplication (Interview. C4, June 4, 2015; B3, June 5, 2015).

The provision of goods and services using e-catalogue in health sector is a cooperation form between Health

Minister and LKPP. While product price listed in e-catalogue is determined by LKPP in cooperation with

manufacturers. To date goods/equipment listed in e-catalogue are many and various. With 777 items listed

including copying, wi-fi network, office equipment, medicine, vehicles, regency/city Health Agency were

greatly assisted in conducting e-purchasing process (Interview. C4, June 4, 2015).

Despite the weaknesses of e-purchasing method which utilizes e-catalogue, this method is of more interest to e-

procurement implementers compared to e-tendering. Continuous adding of items in e-catalogue by LKPP

provides positive value which contributed to increasing dominant of e-purchasing method. In contrary, e-

procurement using e-tendering method focused more on infrastructure construction with higher budget limit in

order to foster development activities and budget absorption. The feeling of security of e-procurement

implementers in using e-catalogue is in line with the narrowing of abuse of power. E-catalogue provides

transparency which then resulted in the decreasing of leakages in e-procurement. Whilst e-tendering method still

provides opportunity to get 'fee' in an offer, it is impossible in e-purchasing method which uses e-catalogue

(Interview. A3, May 27, 2015; C4, June 4, 2015; B3, June 5, 2015).

4.3 The Working of E-Procurement Policy Implementation Model at Regency/City Health Agency

Regency and City Health Agency is one of local government working unit which provides basic services to

public. As a working unit, Health Agency is required to work professionally by delivering and fulfilling health

needs of public. Many strategies in fulfilling health need namely through provision of medicine and health

Page 147: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

147

equipment electronically which can be carried out through e-purchasing and e-tendering. Utilization of e-

purchasing method by using e-catalogue is more dominant than e-tendering method at these Health Agencies.

This is because the user of Health Agency is itself and Community Health Center (Puskesmas) with needs that

are not as large as Local Public Hospital which is also a local government working unit. Therefore, e-tendering

which requires that bidding limit of IDR. 200 million was rarely conducted at Regency/City Health Agency

(Interview C4, June 4, 2015).

E-procurement as a policy should be implemented appropriately in order to fulfil its objective. Transparency in

provision of goods and services is one of the objectives of this policy. The utilization of implementation model

such as of Donald Van Meter and Carl Van Horn, Paul Sabatier and Daniel Mazmanian and Merile S.Grindle

implementation model is one of the strategy in fulfilling this objective. According to Thomas R. Dye (1972), a

model is simplified representation of some aspect of the real world. Thus, through a model, the implementation

of a policy which is very complex since it consists of many factors or aspects can be simplified. Model of a

policy implementation also assists government to focus more on addressing and improving factors or aspects of

the model until a policy reach its targets. The first year of this research at the three research sites found e-

procurement policy implementation model consists of three variables namely legal foundation, infrastructure and

human resource, which includes human resource capability and organizational culture.

Presidential Regulation No.4/2015 is one of the legal foundations of e-procurement in Indonesia. This regulation

has been amended few times and one of the most significant amendments is detail explanation on e-purchasing

method using e-catalogue. Through e-purchasing, the provision of goods/services becomes simpler, more

transparent and safe to implement. Beside e-purchasing, Regency and City Health Agency also use e-tendering

which have longer bidding process, but similar to e-purchasing is more efficient, effective, transparent and

accountable compared to manual procurement. Another significant amendment of Presidential Regulation

No.54/2010 is the wording of government goods and services 'can' be conducted electronically. The most recent

regulation of procurement, Presidential Regulation No.4/2015 deletes the word 'can' which signifies the

obligation for all government institutions to implement e-procurement in the provision of government goods and

services provision based on existing regulations.

However, when this regulation was interpreted differently by procurement committee and business as the

providers, the implementation of e-tendering could not operate optimally. The procurement committee (ULP

working group) and Health Agency as user differs with providers on bidding explanation (Aanwijzing).

Procurement committee and user argued that bidding explanation of e-procurement is appropriate since

explanations have been conducted electronically, thus, there was no direct face to face interaction between

providers and procurement committee. It also contributes to the effectiveness of bidding explanation. On the

other hand, providers perceived it as in-transparency of a new e-procurement system. Providers also questioned

the amended regulation on point of ULP working group task related to bidding documents evaluation which

proposed by providers manually. They proposed questioned of how to ensure that e-procurement committee will

not favor or interact with providers that have relation with power holders of even their own relatives (Interview

A1, A2, Mei 21, 2015; B3, June 5, 2015).

Infrastructures supporting the provision of goods and services at Regency/City ULP and Electronic Procurement

Service Institution (LPSE), improve annually although not as good and comprehensive as should be, especially

at Binjai city LPSE and ULP. At LPSE Medan, bidding room which is used to facilitate prospective providers

who experience difficulties in uploading data and other documents has been comfortable. Besides, this bidding

room also function as a place to conduct training related to changes in e-procurement regulations for LPSE and

ULP staffs and also for providers. Bidding room of LPSE Serdang Bedagai regency has been equipped with

more computers which also can be used by providers to upload their documents. The capacity of server at this

LPSE was increased so that large capacity documents can be downloaded or uploaded easily by providers.

Similar to the server capacity at Binjai City LPSE has been increased, though the bidding room is still modest,

with no separation between units of computers.

However sudden blackout still frequently occur while providers uploading their documents and the server

breakdown without official explanation from related authority, thus procurement documents could not accepted

by procurement committee on time. The announcement of bidding package which conducted by procurement

Page 148: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

148

committee in short time or during holidays contributed to shorter time for providers to apply. Also, training for

providers were yet to involve business associations. Therefore, business parties frequently sent incompetent

participants to attend training which contributed to ineffective training and the spending of large amount of

money for training (Interview A2, Mei 21, 2015; A3, Mei 27, 2015; C3, June 4, 2015).

Human resource competence and organizational culture of ULP and LPSE are still being improved by

conducting activities of the provision of goods and services more professionally. However the effort to work

professionally was driven more by anxiety of regulation problems rather than awareness of being civil servants

whose priority is to serve the state and community. Yet, this is a significant positive starting point considering

the high public and providers distrust to procurement committee.

However, human resource capacity especially related to information technology is still far below expectation.

Providers, procurement committee and user are yet to fully understand and have knowledge on technology and

information which resulted in ineffective e-procurement. Moreover, high resistance of e-procurement

implementers to procurement certification due to the perceived high risk of this occupation cannot be ignored.

Although Presidential Regulation No.4/2015 stated that procurement committee will be given law assistance in

carrying out their task, yet it is to be realized. Also, e-procurement implementers considered that salary their

salary is insignificant compared to psychological burden they bear in conducting e-procurement activities.

Persistent organizational culture which characterized by the rooted corruption, cronyism and nepotism is a

crucial problems since it is very difficult for e-procurement implementers to break away from this organizational

culture. On the other side, providers also still have old mindset which perceives that the implementation of e-

procurement is similar to previous manual procurement. Providers also still lack of integrity as demonstrated by

their irresponsibility to ensure the quality of product or project they won (Interview, A2, Mei 21, 2015; C1, Mei

28, 2015; C2, June 4, 2015; A4, August 10, 2015).

The three factors of e-procurement policy implementation model described above interact and influence each

other in determining the implementation of e-procurement. The understanding of procurement officials on e-

procurement regulations differs from those of providers. Moreover, the existing infrastructure is yet to support

the implementation of e-procurement optimally. There was widespread doubt on integrity of e-procurement

committee that these officials still conduct corruption and cronyism by favoring providers with close relationship

or part of those who connected to high government officials. Organization culture of LPSE, ULP and user was

perceived as contain with values of unjust, discrimination and closure. This view ignites distrust towards e-

procurement committee and system. Some providers did not respond positively to facilities which were provided

by LPSE and ULP. They also ignored information on process of e-procurement and some even rejected

government offer to participate in training facilitated by LPSE. Some providers also convinced that there was

tolerance to some providers who were late in registering their interest to participate in bidding process, late in

uploading and completing bidding documents. In case that some providers fail to participate in bidding or lost

bidding package, then the e-procurement committee was blamed with various speculations.

Based on providers' perspective, these speculations were closely related to the low credibility of e-procurement

committee. Nurturing credibility is difficult and requires long time. However, LPSE and ULP need to publish

data, process and decision of bidding immediately in their website so that transparency will be realized which

then will avoid speculations on bidding and other e-procurement related activities. On the other hand, e-

procurement committee argued that providers should not hide behind speculations because it will of their own

disadvantage. Presidential Regulation has required that all government goods and services provision should be

conducted electronically. Therefore, providers had to change their mindset on participating in procurement.

Different from previous manual procurement, e-procurement requires providers to obey all bidding process and

stages strictly, thus, they need to continuously gain update information available in LPSE website. Update

information will eliminate speculations regarding e-procurement activities and processes.

The three policy implementation factors found in research sites were yet to work optimally resulting to the

emergence of different understanding of the meaning of e-procurement transparency especially between e-

procurement committee and providers. E-procurement committee perceived that the implementation of e-

procurement has been transparent. Transparency need not to be meant as all information widely open to public.

For example, bidding summary which contains administration evaluation, technical evaluation, qualification and

offered price are impossible to publish widely in detail at LPSE website. Public in general and prospective

Page 149: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

149

providers who failed the process need only to know the final result of administration and technical evaluation

and total amount of bidding offered without having to know all content of bidding offer in detail. Besides

bidding winners, only ULP working group and Commitment Official may access bidding summary. However,

providers argued that this process contributed to the closure of e-procurement process. This process differs from

manual procurement in which all providers have access to know their strengths and weaknesses in bidding

process. Thus, this process is not transparent and providers suggested that it will be better if all competitors in

the bidding process may have access to other competitors' documents (Interview, A1, Mei 21, 2015; B3, June 5,

2015; A4, August 10, 2015).

In line with e-procurement committee, users considered that transparency is how persons who have their right

may know what are their responsibilities and obligations. Thus public in general do not have the right to know

bidding process in detail if they do not participate in bidding. Even, providers who failed at bidding document

evaluation thus were yet to be considered as bidding participant, do not have the right to know the reason for

winning the bidding. On the other hand, providers argued that transparency means that all applicants of bidding

may know the reason for participants who win the bidding (Interview. A2, May 21, 2015; B3, June 5, 2015; A4,

August 10, 2015).

E-procurement is considered transparent if all applicants participate in bidding are informed about all stages and

processes. Considering that some of e-procurement activities are still conducted off line, e-procurement system

and process can only be perceived as transparent if e-procurement committee is persons with high integrity in

carrying out their task. Hence, even with the best designed e-procurement system, the lack of implementers'

integrity in carrying out their obligations will create public distrust and speculations to e-procurement policy and

implementation (Interview. A2, Mei 21, 2015; A3, Mei 27, 2015; C1, Mei 28, 2015; C2, June 4, 2015).

Heald (2006) categorized transparency as data, process and decision transparency. This categorization is used to

examine transparency of e-procurement at LPSE website at research sites. Observation on related e-procurement

websites highlighted that data transparency has been satisfactory, while process and decision transparency were

yet to be satisfactory. Data transparency is characterized by complete publication of data and information at

LPSE website. Data available on websites includes stages of bidding, explanation on blackout, server

breakdown, changes in procurement plan, etc. However, some information was yet to be updated regularly. Also,

there is no information on reason and explanation of biding winners and inconsistency in informing data. Process

transparency is revealed by available information in every stage of e-procurement processes. Information on

stages of e-procurement can be seen from 10 to 23 stages of bidding package. These stages were written in bold

thus it is easy for everyone to know at what stages the e-procurement has been. Information on the time of when

a stage start and end along with history of changes were also available on website. However, no information is

found on explanation of why these changes occur. Decision of policy transparency is characterized by the

availability of information regarding the explanation of decision taken. This transparency was not yet optimal.

Although the winner of bidding was decided rationally based on transparent data and process, but when one of

the elements of evaluation criteria was not optimal, then it means decision of who win was not highly

transparent. Observation and analysis on LPSE website demonstrated that there were bidding winners whose

administration requirement and technique were marked with √, offer and corrected value were lower, but their

technique score was lower compare to other competitors. On the other hand, there was also a case of winners

with administration and technique evaluation was marked with √, while their offer and correction values were

higher than their competitors.

Clem (2010) noted that for transparency “Government should provide citizens with information about what their

government is doing so that government can be held accountable”. It connotes that government should be

accountable to what they do. However, government also have information category which should be kept secret

from the public such as state's secret, private rights and other mentioned by Law No.14/2008 on Public

Information Transparency. At this point, some e-procurement information, such as the summary of bidding,

cannot be revealed to public but can be accessed by the winner or prospective winners of bidding and by ULP

working group and Commitment Official. Hence, e-procurement implementers should be capable to explain why

certain can or cannot be open to public. It should be explained obviously to providers so that differences in

understanding the meaning of transparency will not occur. However, out of the above category information, all

Page 150: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

150

information including data, process and decision of all e-procurement stages should be open extensively to

public at LPSE website since it is a form of government accountability to public.

Training related to computer based technology information and changes of regulations on e-procurement can be

conducted regularly to providers, users and e-procurement committee in order to realize shared understanding on

transparency. Trainings that have been conducted were yet to be utilized optimally. Business associations as

recommendation giver were yet to be involved in these trainings. The participation of the head of LPSE and ULP

in evaluating training participants which consists of staffs that are responsible for the implementation of e-

procurement is also crucial. Through training it is hoped that shared understanding and knowledge related to e-

procurement and transparency, and integrity of all parties involved in e-procurement will be realized.

As mentioned above, not all e-procurement information can be accessed in LPSE website. However, it does not

mean that public cannot know what really happen regarding government goods and services budget. Public may

access Budget Implementation List (DIPA) to examine transparency in the use of budget at government's

institutions. This list refers to Presidential Regulation on Central Government Expense Budget Detail (RABPP)

and Budget Allocation Detail for local government working unit. Budget Implementation List which was

arranged by working unit contains measurable units on programs and activities which will be implemented,

intended outcome and output and allocated budget limit. Through Budget Implementation List, public may know

in detail about how their money are spent, the cost and the benefits. Thus, this list is different from budget

allocation in National and Regional Expense and Income Budget which budget detail only based on sectors such

as health, education and other development sectors.

However the problem is public is yet to fully understand that Budget Implementation List can be used as a

reference to assess whether government has fulfilled their responsibilities in managing public fund. On the other

hand, it is not easy for public to access this Budget Implementation List since many government institutions

consider this List as a secret document which cannot be accessed by all people. Even in some government

institutions, not all staffs may access Budget Implementation List of their own working units. Central

Information Commission Circulation Letter No.1/2011 stated that Ministry/institution Working Plan and Budget

and Budget Implementation List are public documents which are obligatory available and should be announced

regularly as long they do not contain secretive information as described in Law No.14/2008 chapter 17 on Public

Information Transparency.

5. Conclusions and Recommendations

5.1 Conclusions

Health Agency at regency and city level is the working unit at North Sumatra province which provides basic

health services to public. As a government institution, Health Agency is required to work professionally by

fulfilling public health need. Provision of medicines and health equipment are some of the ways in fulfilling

community needs on health. The provision of public needs on health services can be realized through electronic

provision of goods and services which use e-purchasing and/or e-tendering. E-purchasing method through the

use of e-catalogue is of more interest to government officials than e-tendering method. E-procurement through e-

tendering method has been focused more on physical infrastructure with huge amount of budget limit in order to

accelerate development activities and budget absorption.

There are some significant benefits accrued from e-purchasing method which utilizes e-catalogue. First, the price

of medicine using e-catalogue is much lower than non e-catalogue medicine. Second, e-purchasing working

system is simpler and quicker compare to other procurement method, thus, foster budget absorption of local

government working units. Third, e-purchasing system suing e-catalogue is more transparent because products'

list, type, technical specification and price are electronically published and can be accessed by public. Fourth, the

use of e-catalogue provides security to procurement implementers since they did not have to determine the price

and specification of goods. These activities were considered risky for some officials responsible for public goods

and services provision.

Apart from its advantages, e-purchasing method using e-catalogue also inhibits some weaknesses. Sometimes

the supply of required medicine in e-catalogue was limited and even lack of supply due to simultaneous order on

Page 151: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

151

similar medicine by Health Agency and local government public hospital all over Indonesia. Besides, the

tardiness of distributors in delivering Health Agency order was frequently occurred as part of the problem.

Technically, e-purchasing administration using e-catalogue also posed obstacles. E-purchasing process which

conducted through several stages and process required user to insert, download and upload large amount of data.

However, e-catalogue network or system did not have the capacity or overload which required long time to

process these stages. Vague description of regulation on who was responsible in multiplying purchasing contract

which was the final stage of e-purchasing process was another obstacle in this e-procurement method.

As a policy, e-procurement needs to be implemented accurately in order to fulfil its objective in realizing

transparency in the provision of goods and services. Policy implementation model is a way to assist in realizing

the objective of this e-procurement implementation policy. This study found e-procurement policy

implementation consists of three factors namely law, infrastructure and human resources. All these factors of e-

procurement policy implementation in research sites were yet to be optimal and thus created speculations

towards public procurement committee. In its simplest form, these speculations took form in opinions which

were not based on reality. From providers' view, speculation emerged due to the low credibility of procurement

committee and also to e-procurement system. This credibility related to public trust and this trust could not be

gained without real and immediate actions. Therefore, LPSE and ULP need to publish data, process and decision

of the tender transparently so that there will be no loophole for providers or public to speculate on stages and

processes of tenders and other issues related to procurement. Meanwhile, procurement committee required

providers not to hide and use these speculations. Presidential Regulation N0.4 Year 2015 verse 1 stated that

government goods and services provision should be conducted electronically. This means that providers had to

anticipate and prepare themselves for electronic procurement and change their way of thinking to understand that

e-procurement is different from manual procurement.

The above factors also respectively influenced each other which resulted in different perception and meaning of

transparency between procurement committee and users. According to procurement committee, transparency did

not mean that all process of procurement should be open to public through LPSE website. Some issues such as

bidding price could not be published in LPSE website in detail. Also the summary of auction can only be reveal

to the winners of bidding. Similar view was expressed by users that transparency is how a person who is eligible

may know what is his/her responsibility and obligation. Thus, public in general does not have the right to know

bidding process in detail. Even prospective providers who failed in the middle of bidding process, such as during

bidding document evaluation, do not have the right to know why other bidding participants win. Based on

providers' view, electronic procurement process can be considered transparent if the whole stages and process of

bidding were known by all prospective bidding participants. Since in electronic procurement there was still off

line/manual activities, e-procurement system can only be considered as transparent if procurement committee

consisted of persons with integrity in carrying out their job. As long as implementer integrity is absent,

speculations and suspicions on e-procurement will remain.

This study revealed that data transparency has been satisfactory, while process and decision transparency were

still inadequate. Transparency is a principle which guarantees the freedom of all people to get information. Yet

based on Law No.14/2008, there are some information categories which cannot be revealed to public, such as

business competition information, state secret, intelligent and others. This regulation is aimed to avoid the

misuse of data by irresponsible parties. Apart from information category mentioned above, all information

regarding public goods and services provision should be widely open to public through LPSE website since it is

one form of government's accountability to public, Government officials should have the capability in explaining

why certain information cannot be disclosed to public or do not published at LPSE website especially to

providers. This explanation is crucial so that there will be no differences between all stakeholders related to

government's goods and services provision activities.

Shared interpretation and meaning of transparency in procurement may also be realized through training related

to computer based technology information and amendment to regulation on procurement to providers,

procurement committee and users. Moreover, the involvement of all related business association as those which

give recommendation to providers who intend to participate in training as well as the involvement of head of

related procurement agency to evaluate training participants, those who are responsible for the enactment of

Page 152: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

152

procurement is crucial. Trainings may enhance integrity of all parties which then contribute to successful

implementation of e-procurement.

Not all stages of e-procurement can be disclosed at LPSE website as explained above. But it does not mean that

public cannot get information on what really occur in government goods and services provision. Transparency of

the use of government institutions can be viewed in government Budget Implementation List (DIPA) which is

not a secret document, thus, public may access this document. It is obviously mentioned in Central Information

Commission Letter No.1/2011 that Work Plan and Budget of Ministry/institutions and government Budget

Implementation List is public information which is provided and announced by government to public routinely.

5.2 Recommendations

Compared to e-tendering, e-procurement using e-purchasing method is of more interest to public procurement

implementer at Health Agency in Medan, Binjai and Serdang Bedagai. The security in using e-catalogue provide

government officials is in line with the narrowing of the opportunity in abuse of authority has been one of the

reasons in choosing e-purchasing method. On the other hand, the weakness of e-purchasing has been related to

medicine distributors‟ commitment in avoiding the lack of medicine supply and the late arrival of the required

medicine at regency and city Health agencies and also the issue of who is responsible on the cost of the

multiplication of the purchasing contract document. Technical network of e-catalogue system should be the

prime attention in order for prompt upload and download of document. These findings provides reminder for

implementer at regency/city Health Agency to immediately conduct follow-up action to avoid obstructions to

procurement process. Delays in public procurement will impact on reduction on optimal deliverance of health

services which is one of public basic needs.

Law, infrastructure and human resource factors of e-procurement implementation model were yet to function

optimally at all research sites. Thus, these factors need to be address in order for the realization of data, process

and decision transparency at LPSE website. It will also create similar understanding on the meaning and

substance of transparency as a fundamental principle in procurement system as well as building integrity of all

stakeholders involve in goods and services provision.

Implementation Budget form (DIPA) which has been legalized by Finance Minister is the activity and budget

implementation document for working units which contains program and activities, intended outcome and output

and allocated budget limit. Meanwhile, the executer of the budget is working unit is Budget User Authority

(KPA). Therefore, Budget Allocation List of a working unit should be disseminated to public both as a form of

budget and goods and services provision transparency.

References

Ballard, Therese,. 2011. “Transparency and Public Procurement”. Supplement to the 2011 Annual Statistical

Report on United Nations Procurement. UNOPS.

Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of Openness

in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Articl 8. Policy Studies Organization.

http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8.

Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006 dalam 25.-Korupsi-

dalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses 19 April 2013 Jam 19.30.

Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in

Association with Inside Knowledge.

Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA). 2014.

Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc.

Grindle, Merilee S. 1980. “Politics and Policy Implementation in the Third World”.Princeton University

Press.Princeton. New Jersey.

Heald, D. 2006. “Varieties of Transparency.” In Transparency, The Key to Better Governance, eds. C. Hood, and

D. Heald. Proceedings of the BritishAcademy. Oxford: Oxford University Press, 25-43.

Page 153: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

153

Jeppesen, Rasmus. 2010. Capacity is Development. Accountability in Public Procurementtransparency and the

role of civil society. United Nations Procurement Capacity Development Centre September. www.unpcdc.org

Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the

Quality of Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.

Lederer, 2012.

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009.

Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1983.“Implementation and Public Policy”. Scott, Foresmant and

Company. New Jersey.

Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo.

Nurmandi, Achmad. 2013. E-procurement in Indonesia: Policy and its Implementation. Research Project of

International Scholar Exchange Program 2013/2014.Korean Foundation for Advance Studies.

OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the OECD Report“The E-

Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1.

Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan

dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-

UGM, MAP-UGM. Yogyakarta.

Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall, Inc.

Sherman, Laura B & Nadgrodkiewicz (eds). 2011. APEC Procurement Transparency Standards in Indonesia. A

Work in Progress. Transparency International- USA and Center for International Private Enterprise:USA.

Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Surve. 2006. Jakarta: LP3ES.

Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta.

Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi Pikiran

George Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia. Yogyakarta.

Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: PustakaPelajar.

Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A Managerial

Perspective. Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ.

Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”. London. UK: Chapman &

Hall.

Wahid, Fathul. Institutionalization of Public Systems in Developing Countries: A Case Study of eProcurement in

Indonesian Local Government. May 8th – 9th 2012, Brunel University, University Kingdom

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.

Yin, Robert K. 2013. Case study research: Design and methods. New York: Sage Publications Inc.

Laws and Regulations

Acts No.1/2004 on State Treasury.

Acts No.11/2008 on Electronic Information and Transaction.

Acts No.14/2008 on Public Information Openness.

Acts N0.25/2009 on Public Service Delivery.

President Regulation No.54/2010 on Government‟s Procurement.

Page 154: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

154

President Regulation No.4/2015 on the Fourth Amendment of President Regulation No.54/2010 on

Government‟s Procurement.

Government Regulation No.82/2012 on the Implementation of Electronic System and Transaction.

President Decree No.80/2003 on Government‟s Goods and Services Provision.

Head of LKPP Regulation No.2/2010 on LPSE.

LPSE‟s Head Regulation No.1/2011 on E-Tendering.

Electronic Resources

“Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online Buying”. Accessed on

July 1, 2014 at 10AM.

“Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New Zealand, Scotland, Western

Australia”. Commonwealth of Australia. 2005. Accessed on July 3, 2014, at 12.00.

“E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery”.Report of the Expert Group

Meeting.Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New

York.

“E-Procurement of Golden Book and Good Practice”. 2013. This report was prepared for DG MARKT by PwC

EU Services EESV Contract Reference: MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project. Final Report.

Accessed on July 1, 2014 at 15.00.

McCue, Clifford dan Roman, Alexandru V., 2009. “E-Procurement: Myth or Reality?” Journal of Public

Procurement, Volume 12, Issue 2, 212-238.

Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”.Government Finance Review. 16 (1), 9-12.

Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and Challenges”. The Electronic

Journal on Information System in Developing Countries (EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org

Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption Capabilities of Public

e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012) 55, 2, 1-17 The Electronic Journal on Information

Systems in Developing Countries.

Nightisabha, Ika Akyuna., Suhardjanto, Djoko,. Cahya, Bayu Tri,. 2009. “Persepsi Pengguna Layanan

Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Kota Yogyakarta Terhadap Implementasi Sistem “e-Procurement”.

Jurnal Siasat Bisnis.

OECD E-Government Task Force. 2003. “The Case for E-Government: Excerpts from the OECD Report the E-

Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1.

Trimurni, Februati dan Siahaan, Asima Yanty. 2014. “Model Implementasi Kebijakan E-Procurement Dalam

Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”. Penelitian Tahun

Pertama. Skim Hibah Bersaing. Universitas Sumatera Utara.

Udoyono, Kodar. 2012. E-Procurement Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Untuk Mewujudkan Akuntabilitas di

Kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemerintahan Volume 3 Nomor 1 Februari.

Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006.“Critical Factors that Influence e-Procurement Implementation

Success in the Public Sector”. Journal of Public Procurement, Volume 6, Issues (1&3), 70-99.

https://id.wikipedia.org/wiki/Spekulasi

http://kbbi.web.id/spekulasi

www.lpse.pemkomedan.go.id/

www.lpse.binjaikota.go.id

www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/ http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang

http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang

http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-barang-dan-jasa/

http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-dominasi-kasus-korupsi-

di-2013

http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614

http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-pelayanan publik-

541293.html

Page 155: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

155

Artikel 2

PEMANFAATAN WEBSITE DALAM PENGADAAN BARANG/JASA SECARA

ELEKTRONIK (E-PROCUREMENT) DI PROVINSI SUMATERA UTARA:

DILIHAT DARI PRINSIP TRANSPARAN*

Februati Trimurni

Asima Yanty Siahaan

Dayana

ABSTRAK

Di Indonesia, pengadaan barang/jasa dengan memanfaatkan media website

merupakan salah satu bentuk reformasi di bidang pengadaan yang salah satu tujuannya

meningkatkan transparansi dalam pengadaan. Kajian mengenai transparansi dalam e-

procurement di Sumatera Utara menjadi semakin mendesak dan penting sehubungan

dengan masih terdapatnya penyimpangan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara

elektronik di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai di

satu sisi serta terbatasnya dinamika birokrasi lokal di sisi lain.

Judul tulisan ini ”Pemanfaatan Website Dalam Pengadaan Barang/Jasa Secara

Elektronik (e-Procurement) di Provinsi Sumatera Utara: Dilihat Dari Prinsip

Transparan.” Tujuannya, melihat transparansi pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara

elektronik yang memanfaatkan media website dengan menggunakan metode kualitatif.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan

beberapa partisipan dan observasi website sebagai media komunikasi massa yang

digunakan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik di tiga lokasi

penelitian. Sementara analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif.

Capaian hasil penelitian menunjukkan bahwa makna dari transparansi

pengadaan masih dipahami berbeda-beda diantara panitia pengadaan dan user (SKPD) di

satu pihak dan penyedia barang/jasa (provider) di pihak lain. Sementara dilihat dari

kategori transparansi yang dikemukakan oleh Heald, maka website yang dikelola LPSE di

tiga lokasi penelitian untuk kategori data sudah transparan, sedangkan untuk transparansi

proses dan keputusan masih pada kategori cukup.

--------

Kata Kunci: E-procurement, Transparansi

* Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang berjudul “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement

Dalam Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Provinsi Sumatera Utara”

dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat Tahun Anggaran 2015. Skema

Penelitian Hibah Bersaing Tahun Kedua. Universitas Sumatera Utara.

Page 156: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

156

PENDAHULUAN

Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan salah satu tugas pemerintah yang

penting, mengingat kegiatan pengadaaan ini dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dengan

pengalokasian dana rata-rata mencapai 15%-30% dari Gross Domestic Product (GDP).

Mengingat pentingnya hal ini, maka kegiatan pengadaan barang/jasa harus dilaksanakan

dengan efektif dan efisien, mengutamakan penerapan prinsip-prinsip persaingan usaha

yang sehat, transparan dan adil bagi semua pihak.

Namun besarnya persentase dana untuk pengadaan barang/jasa ini menjadi

peluang terjadinya korupsi di sektor pengadaan barang/jasa. Sebesar 61% kasus-kasus

korupsi di Indonesia didominasi oleh penyalahgunaan pelaksanaan pengadaan

barang/jasa (Penelitian Pusat Kajian dan Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada pada

tahun 2013) (http://jogja.tribunnews.com/2014/01/27/korupsi-tertinggi-berada-di-sektor-pengadaan-

barang-dan-jasa/. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.15 WIB.) Selain itu korupsi dalam proses

pengadaan barang/jasa paling banyak diusut dan ditangani oleh institusi Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni sebanyak 96 kasus atau mencapai 40.9 % sejak

tahun 2004 hingga 2011 (http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-

ditangani-kpk/. Diakses 19 April 2013, Jam 21.00 WIB.) Sementara pelaku korupsi pengadaan

barang/jasa ini berasal dari berbagai kalangan baik swasta, kepala dinas, bupati dan

kepala daerah seperti gubernur (Indonesia Corruption Watch)

(1http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbfe8f5c500/pengadaan-barang-dan-jasa-dominasi-kasus-

korupsi-di-2013. Diakses 24 Oktober 2013, Jam 11.44 WIB).

Sebenarnya masih tingginya penyimpangan di bidang pengadaan barang/jasa ini

menjadi pertanyaan besar bagi banyak pihak. Karena untuk menekan terjadinya praktek-

praktek korupsi, kolusi dan nepotisme ini, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan

Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 yang merupakan awal lahirnya kebijakan e-

procurement. Keppres ini menjadi pertanda dimulainya reformasi di bidang pengadaan,

dari sistem manual ke sistem elektronik (e-procurement). Bila pengadaan barang/jasa

secara manual masih mempertemukan langsung antara panitia pengadaan dan penyedia

barang/jasa yang dapat menimbulkan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme,

maka dalam sistem e-procurement intensitas pertemuan antara panitia pengadaan dan

penyedia sangat sedikit sehingga penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa

dapat ditekan atau bahkan dicegah.

Page 157: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

157

Terlepas dari masih ditemukannya penyimpangan dalam bidang pengadaan,

namun beberapa best practises ditemukan di lingkungan birokrasi Indonesia. Kota

Surabaya sebagai salah satu best practices dalam pelayanan publik menempatkan sistem

e-procurement sebagai best practice yang inovatif, bertujuan untuk meningkatkan

efektifitas, efisiensi dan transparansi proses pengadaan barang/jasa yang berhasil

menghemat 20-30% anggaran untuk pelayanan publik(Partnership for Democratic Local

Governance in Southeast Asia, 2003). Di Kementerian Keuangan RI, pelaksanaan e-

procurement berhasil menghemat anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan menjamin

keterbukaan, dimana kontribusi penghematan anggaran diperoleh sampai 18.4% pada

tahun 2009 (LKPP, 2009). Sementara pengadaan barang/jasa di Kementerian

Perhubungan RI pada tahun 2015 memiliki nilai pagu sebesar Rp 1,4 triliun sedang nilai

transaksinya Rp 1,17 triliun sehingga diperoleh penghematan sebesar Rp 230 miliar

(http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/3614. Diakses 16 Juni 2015, Jam 15.20 WIB).

Salah satu tujuan dari pelaksanaan e-procurement adalah mewujudkan

transparansi dan efisiensi dari pengadaan barang/jasa. Namun sebagaimana uraian di atas,

dari hasil beberapa survey di Indonesia, efisiensi dari penggunaan e-procurement lebih

banyak didiskusikan dari pada tujuan lainnya seperti transparansi. Berbeda halnya dengan

yang terjadi di beberapa negara EU. Studi terhadap transparansi dari pelaksanaan e-

procurement menemukan bahwa data diterbitkan dalam bentuk pdf dan html bukan dalam

bentuk database yang menyebabkan data yang tersedia terpisah-pisah dalam berbagai

volume buletin. Ini membuat fase-fase dalam procurement sulit untuk ditelusuri.

Sementara di Hungaria publik harus membuka setiap buletin jika ingin mengetahui

berapa tender yang dimenangkan, berapa nilai tender dan apakah nilai tender telah sesuai

dengan kontrak ditemukan. Berbeda dengan di Czechs, transparansi dalam e-procurement

masih terbatas dengan tidak tersedianya statistik dan ringkasan dari procurement serta

informasi mengenai justifikasi pemenang di website, sementara data atau informasi dapat

diperoleh secara individual. Baik di Polandia maupun di Czech modifikasi kontrak tidak

diterbitkan, tetapi dapat diminta oleh siapa saja yang ingin mengetahui. Sementara

Slovakia sebagai negara yang menyelenggarakan e-procurement sangat transparan yaitu

dengan menayangkan update data dalam format yang mudah untuk diproses. Selain itu

tersedia database online yang menyediakan informasi mengenai seluruh kontrak yang

telah disepakati (Lederer, 2012)

Penelitian ini ingin melihat transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah

secara elektronik (e-procurement) dengan menggunakan teknik observasi terhadap

Page 158: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

158

website yang dikelola oleh LPSE (Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik)

sebagai lembaga penyelenggara pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Website

atau situs internet merupakan media komunikasi maya dari tipe atau bentuk komunikasi

massa yang sifat pesan atau informasinya terbuka, terencana dan dapat diakses oleh

masyarakat umum. Kajian mengenai transparansi pengadaan barang/jasa secara

elektronik menjadi menarik karena masih jarang ditemukan penelitian seperti ini di

Indonesia sebagaimana dijelaskan diatas. Selain itu penelitian ini semakin penting dan

mendesak sehubungan dengan tuntutan dan kebutuhan e-procurement yang terus

meningkat ditengah karakteristik Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten

Serdang Bedagai yang berbeda-beda serta dinamika birokrasi lokal yang terbatas.

Dari uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana transparansi dari implementasi pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-

procurement) dilihat dari media website LPSE di Provinsi Sumatera Utara?

TINJAUAN PUSTAKA

Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (e-Procurement)

Pengadaan secara elektronik (e-procurement) merupakan salah satu bagian dari

pelayanan e-government. Pelayanan e-procurement fokus hanya pada proses pengadaan,

pembelian dan penjualan barang/jasa, sementara e-government menjangkau pelayanan

yang lebih luas yakni menyangkut kategori publish, interact dan transact. Karena itu

definisi dari e-procurement tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan,

pembelian dan penjualan barang/jasa, seperti yang dikemukakan Van Weele (1994) yaitu

“The use the Internet Tecnology in the process of providing, that is, buying and selling of

goods and sevices” dan Turban dkk (2006) bahwa “e-procurement refers to the purchase

of goods and services for organizations”. Tidak jauh berbeda dari definisi diatas namun

lebih difokuskan pada organisasi pelaksananya, mengatakan “e-procurement refers to the

use of electronic communications and transaction processing by government institutions

and other public sector organisations when buying supplies and services or tendering

public works”. Selain fokus pada kegiatan dan organisasi pelaksananya, pengertian e-

procurement juga menekankan pada penggunaan Teknologi Informasi (TI) yang berbasis

komputer sebagai medianya.

Penggunaan e-procurement memberikan banyak manfaat, Vaidyadkk (2006)

mengatakan e-procurement digunakan oleh sektor publik untuk mewujudkan transparan,

efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan. Selain itu e-procurement dijadikantema

Page 159: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

159

umum oleh banyak organisasi di negara maju dan berkembang dalammempromosikan

transparansi dan good governance (“E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in

Public Service Delivery.” Report of the Expert Group Meeting. Department of Economic and Social

Affairs. 4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York.). Transparansi sebagai salah

satu tujuan atau prinsip dari pelaksanaan e-procurement merupakan jaminan kebebasan

bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan

baik yang berkaitan dengan informasi tentang kebijakan, proses pembuatan maupun

pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai. Dengan demikian transparansi dapat

menjadi entry point dan checks and balances bagi masyarakat untuk mendapatkan

informasi tentang apa yang dilakukan pemerintah serta bentuk pertanggungjawaban

pemerintah terhadap masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Clem (2010: 4)

bahwa transparansi sebagai “Government should provide citizens with information about

what their government is doing so that government can be held accountable.”

Sementara transparansi di dalam Pasal 5 Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dikatakan sebagai salah satu prinsip dari pengadaan

secara elektronik selain efisiensi, efektif, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan

akuntabel. Pengertian transparansi selanjutnya dijelaskan dalam Penjelasan Perpres

No.54 Tahun 2010 yang mengatakan bahwa “transparan berarti semua ketentuan dan

informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas

oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.” Jadi

transparansi disini menekankan pada dua hal yakni ketentuan dan informasi mengenai e-

procurement diketahui secara luas oleh masyarakat umum dan ketentuan dan informasi

tersebut harus jelas.

Kedua hal ini menuntut pemerintah (LPSE) mengelola kegiatan pengadaan

barang/jasa dengan menggunakan media website, dimana semua data atau informasi

berkaitan dengan proses pengadaan barang/jasa harus jelas dan mudah dimengerti serta

dapat diakses oleh siapa saja. Dengan demikian banyak penyedia (providers) atau

masyarakat yang terlibat sehingga terpilih penyedia yang benar-benar memiliki

kemampuan dan integritas dalam kegiatan pengadaan. Melalui proses pengadaan yang

transparan ini diharapkan diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta

dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi

kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.

Berkaitan dengan pengertian transparansi di atas, maka pendapat Heald (dalam

Bannister dan Connoly, 2011) mengenai pengkategorian tranparansi tepat digunakan

Page 160: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

160

untuk melihat transparansi melalui website LPSE terutama di tingkat kabupaten/kota.

Heald mengkategorikan tiga hal dalam membicarakan transparansi yakni transparansi

data, transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi data

berhubungan dengan angka dan fakta-fakta pemerintah, seperti biaya yang disediakan

(pemrosesan data hingga mudah diakses dan dipahami masyarakat); misinterpretasi data

atau informasi; resiko terhadap masyarakat/anonimitas. Transparansi proses berkaitan

dengan ketersediaan informasi dari berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan

keputusan hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam

proses jelas, menunjukkan dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan

menjelaskan mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi

keputusan atau kebijakan menguraikan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan,

dan/atau tindakan-tindakan dan kebijakan pemerintah.

Website (Situs) Sebagai Salah Satu Bentuk Media Komunikasi Massa

“Communication is the transfer of information from one person to another

person” (Newstrom, John W. dan Davis, Keith,1993: 91). Definisi komunikasi ini cukup

sederhana yang menggambarkan beberapa unsur penting dari komunikasi yaitu pengirim

informasi, informasi atau pesan itu sendiri, media yang digunakan untuk menyampaikan

informasi tersebut dan penerima atau sasaran dari informasi tersebut. Unsur-unsur

komunikasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk membedakan tipe atau bentuk

komunikasi, apakah komunikasi massa (mass communication), komunikasi dengan diri

sendiri (intrapersonal communication), komunikasi antar pribadi (interpersonal

communication) atau komunikasi publik (public communication).

Komunikasi massa sebagai salah satu tipe atau bentuk komunikasi dapat

dijelaskan dari beberapa unsur komunikasi tersebut. Sifat pesan atau informasi yang

disampaikan di dalam komunikasi massa biasanya lebih formal dan terencana. Media

dari komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan informasi bersifat formal

atau melembaga. Sementara sasaran atau penerima informasi berjumlah besar dengan

jangkauan yang luas yang berasal dari berbagai lapisan masyaraka dengan latar belakang,

usia, jenis kelamin, suku dan lain sebagainya yang berbeda-beda (Cangara, 2012).

Perspektif komunikasi massa ini dapat digunakan untuk melihat implementasi

pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik (e-procurement). Pesan atau

informasi yang disampaikan berupa peraturan, kebijakan atau kegiatan yang berkaitan

dengan pengadaan barang/jasa. Sementara media atau sumber yang digunakan adalah

Page 161: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

161

website yang dapat diakses oleh siapa saja. LPSE sebagai komunikator atau pengirim

informasi yang merupakan lembaga pemerintah, bertanggungjawab atas penyelenggaraan

pengadaan barang/jasa secara elektronik. Karena itu media komunikasi dalam e-

procurement disebut dengan website LPSE yang dimiliki oleh setiap pemerintah

kabupaten/kota di Indonesia. Selanjutnya sasaran dari informasi ini adalah masyarakat

khususnya penyedia (providers) yang mengikuti kegiatan pengadaan barang/jasa

pemerintah secara elektronik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mendeskripsikan

pemahaman partisipan terhadap transparansi dari pelaksanaan pengadaan barang/jasa

secara elektronik dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Informan atau

partisipan dipilih berdasarkan kategori-kategori tertentu seperti pernah bekerja di bidang

pengadaan barang/jasa yakni Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE); Unit

Layanan Pengadaan (ULP); Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) baik yang mempunyai sertifikat pengadaan maupun tidak. Sementara

untuk kategori penyedia, peneliti menetapkan penyedia yang pernah mengikuti paket

lelang di salah satu lokasi penelitian dan merupakan pengusaha lokal yang bernaung

dalam sebuah asosiasi pengusaha. Peneliti juga menjelaskan transparansi kegiatan atau

proses e-procurement di tiga lokasi penelitian dengan menggunakan teknik observasi

terhadap website LPSE sebagai media dari kegiatan e-procurement. Sementara analisis

kualitatif dilakukan dengan interaktif dan terus menerus kepada informan hingga sampai

pada titik jenuh

HASIL DAN DISKUSI

Transparansi dalam Implementasi e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara

Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

dikatakan siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang bersumber

dari APBN/APBD dan sumbangan dana publik lainnya diwajibkan untuk menyampaikan

informasi tersebut secara terbuka kepada masyarakat. Karena Undang-Undang ini

bertujuan untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan

publik dan program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik dan alasan

pengambilan suatu keputusan publik. Selain itu mendorong partisipasi masyarakat dalam

proses pengambilan kebijakan publik dan mewujudkan penyelenggaraan negara yang

Page 162: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

162

baik, yakni transparan, efektif dan efisien, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif serta

akuntabel. Sementara informasi yang membahayakan negara, berkaitan dengan

kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, hak-hak pribadi serta

rahasia jabatan, dan lain sebagainya merupakan pengecualian yang tidak dibuka kepada

masyarakat.

Pentingnya transparansi sebagai salah satu tujuan dari e-procurement sudah

disadari oleh partisipan yang bekerja di LPSE dan ULP di tiga lokasi penelitian di

Provinsi Sumatera Utara. Perubahan tender secara manual ke sistem elektronik

merupakan usaha untuk mewujudkan transparansi tersebut, selain adil dan akuntabel

dalam pengadaan barang/jasa. Hal ini karena kegiatan pengadaan secara elektronik

dilakukan secara online sehingga semua pihak dapat melihat apa yang sedang terjadi

dalam proses pengadaan tersebut. Dengan demikian praktek-praktek KKN yang sangat

riskan dalam proses pengadaan dapat ditekan atau bahkan dihindari. Pengadaan

barang/jasa secara elektronik pada akhirnya dipandang jauh lebih transparan dari pada

proses sebelumnya yang manual.

Heald (dalam Bannister dan Connoly, 2011) memberikan arti transparansi

dengan cara membedakannya berdasarkan kategori yang substansi dari kegiatan e-

procurement, sehingga cukup relevan digunakan dalam pembahasan dan analisis

mengenai transparansi dalam pelaksanaan e-procurement di Provinsi Sumatera Utara.

Menurut Heald, e-transparansi dapat dikategorikan dalam transparansi data, transparansi

proses dan transparansi keputusan/kebijakan.

Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian dapat dikatakan

bahwa secara umum ketersediaan data dari pelaksanaan e-procurement sudah lengkap

dan transparan. Data yang dapat diakses bukan saja mengenai proses atau tahapan lelang,

tetapi juga berkaitan dengan berita seputar pengadaan secara elektronik seperti

pemadaman listrik, kerusakan sistem pada server, berita acara penjelasan pekerjaan

(aanwizjing), perubahan Rencana Umum Pengadaan (RUP), dan lain-lain. Bahkan

beberapa regulasi yang berkaitan dengan pengadaan secara elektronik dapat diunduh di

website LPSE Kota Medan. Namun masih ditemukan data atau informasi yang tidak

diperbaharui, seperti di bagian regulasi dan berita sehingga cukup mengganggu bagi yang

ingin mengetahui informasi terbaru tentang hal tersebut. Selain itu, terjadi kekosongan

data atau informasi seperti di kolom alasan dari peserta lelang yang gagal memenangkan

paket lelang. Meskipun di paket lelang lainnya informasi tersebut ditemukan.

Page 163: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

163

Ketidakkonsistenan ini dapat menimbulkan berbagai spekulasi dari penyedia atau

masyarakat umum yang mengakses website LPSE.

Transparansi data di atas dapat lebih diurai dengan menelusuri informasi

mengenai kategori lelang yang menurut Perpres No. 4 Tahun 2015 terdiri dari Pengadaan

Barang, Jasa Konsultasi Badan Usaha, Jasa Konsultasi Perorangan, Pekerjaan Konstruksi

dan Jasa lainnya. Semua kategori ini sudah tersedia dalam website LPSE di tiga lokasi

penelitian. Bahkan dari penelusuran selanjutnya dapat dilihat informasi mengenai Nama

Lelang, Agency, Tahap dan HPS. Nama lelang berkaitan dengan nama barang/jasa yang

sedang/telah dilakukan pelelangan. Sementara yang dimaksud dengan agency adalah

panitia penyelenggara lelang seperti Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai atau

Kabupaten Serdang Bedagai yang masing-masing mempunyai website. Sedangkan

pengertian Tahap disini adalah posisi dari proses lelang dimana dalam satu paket lelang

terdiri dari beberapa tahapan serta HPS yang merupakan nilai Harga Perkiraan Sendiri

yang ditetapkan oleh PPK.

Selanjutnya di website LPSE di tiga lokasi penelitian juga menampilkan

informasi mengenai: Pengumuman, Peserta, Harga Penawaran dan Pemenang. Informasi

mengenai Pengumuman berisi hal-hal yang berkaitan dengan lelang dari mulai kode

lelang, nama lelang, tahap lelang saat ini, agency, satuan kerja, kategori, metode

pengadaan, metode dokumen, anggaran, nilai pagu paket, jenis kontrak, kualifikasi usaha,

lokasi pekerjaan, syarat kualifikasi dan peserta lelang. Data yang disajikan disini cukup

lengkap, sistematik dan mudah dimengerti.

Setelah informasi mengenai Pengumuman, hasil penelusuran website LPSE

menemukan informasi mengenai Peserta. Tidak semua penyedia lelang bisa lolos menjadi

peserta lelang yang dapat mengajukan harga penawaran. Setidaknya untuk menjadi

peserta lelang pada kategori Jasa Konsultasi Badan Usaha harus lolos dari Hasil Evaluasi

yang terdiri dari: Administrasi, Teknis, Skor Teknis, Harga Penawaran dan Harga

Terkoreksi. Sementara yang menjadi pemenang lelang dengan mudah dapat dilihat dalam

website dengan tanda bintang berwarna kuning. Karena menjadi pemenang maka di

kolom alasan tidak ada informasi yang ditemukan, tetapi terlihat di Hasil Evaluasi tanda

√ di persyaratan administrasi dan teknis serta skor di kolom teknis. Skor dari harga

penawaran dan harga terkoreksi juga dapat dilihat dengan mudah.

Setelah informasi mengenai Pengumuman dan Peserta, hasil observasi dari

website LPSE menemukan informasi mengenai Harga Penawaran. Pada website, dapat

dibaca informasi dari beberapa nama penyedia barang/jasa yang memberi harga

Page 164: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

164

penawaran terendah dari sebuah paket lelang. Namun tidak ada penjelasan atau uraian

yang rinci mengapa beberapa penyedia dapat menetapkan harga penawaran sangat

rendah. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa penetapan harga penawaran terendah,

memberikan kesempatan besar bagi penyedia untuk masuk pada tahap berikutnya.

Bahkan kesempatan untuk menjadi pemenang lelang sangat terbuka luas. Sementara

informasi mengenai penyedia lainnya yang memberikan harga penawaran lebih tinggi

tidak dicantumkan pada website. Ini menunjukkan dari begitu banyak nama penyedia,

hanya beberapa nama saja yang masuk ke proses berikutnya.

Dari pandangan panitia pengadaan dan user (SKPD), hal tersebut di atas sudah

menunjukkan adanya transparansi. Transparansi tidak dapat diartikan bahwa semua yang

terjadi di dalam proses pengadaan secara elektronik dapat dibuka selebar-lebarnya kepada

masyarakat umum. Tidak mungkin seorang peserta lelang yang melakukan penawaran

dari satu paket lelang akan menguraikan dengan rinci semua isi penawarannya dalam

website LPSE. Masyarakat umum atau pesaingnya cukup mengetahui jumlah total dari

harga penawarannya, tanpa harus mengetahui rinciannya. Karena kalau tidak, hal ini

dapat dikategorikan melanggar peraturan mengenai persaingan usaha. Jadi menurut

panitia pengadaan sistem yang baru ini sudah memberikan transparansi bukan saja bagi

penyedia tetapi juga bagi masyarakat umum (Wawancara dengan A1, 21 Mei 2015; B3, 5

Juni 2015; A4, 3 Agt 2015).

Sejalan dengan pandangan di atas, menurut user (SKPD)bahwa transparansi

adalah bagaimana orang yang berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab

dan kewajibannya. Dengan demikian, seseorang atau masyarakat umum tidak berhak

mengetahui secara detail proses lelang berlangsung, sepanjang dia atau masyarakat umum

tersebut tidak menjadi penyedia atau peserta lelang. Seorang penyedia juga tidak berhak

mengetahui informasi mengenai semua saingannya. Selain itu, penyedia yang gagal di

tengah berjalannya proses lelang, jadi belum menjadi peserta lelang yang dapat

memberikan harga penawaran, tidak berhak mengetahui mengapa peserta tersebut yang

menang dan mengapa peserta yang lain gagal (Wawancara dengan B3, 5 Juni 2015; A4, 3

Agt 2015)).

Dari penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian, kolom alasan untuk

calon pemenang dan bahkan peserta lelang ada yang diisi tetapi ada juga yang tidak diisi.

Biasanya yang diisi di kolom alasan ini adalah berkaitan dengan kurang lengkapnya

dokumen administrasi dan teknis peserta lelang. Alasan-alasan ini bisa karena tidak

melampirkan surat pernyataan bersedia membawa barang yang ditawarkan pada saat

Page 165: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

165

klarifikasi dan pembuktian kualifikasi, tidak melampirkan Jaminan Penawaran, tidak ada

scan brosur/katalog yang dilegalisir dan lain sebagainya. Ketidakkonsistenan dalam

pengisian kolom alasan ini dapat membingungkan masyarakat yang membaca dan dapat

juga menimbulkan salah pengertian dari penyedia. Sementara untuk pemenang lelang,

kolom alasan sama sekali tidak diisi, ini menunjukkan bahwa pemenang memang layak

untuk menjadi pemenang.

Transparansi data bukan hanya mencakup ketersediaan informasi tentang proses

e-procurement tetapi juga harus mencakup informasi lainnya yang relevan dengan proses

e-procurement seperti peraturan, kebijakan dan pedoman yang merupakan data penting

yang memberikan kejelasan, dasar hukum dan pedoman dalam melakukan pelelangan

barang/jasa secara elektronik. Di website LPSE Kota Medan dapat diunduh Perpres No.

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Kepala LKPP No.

1 Tahun 2011 tentang Tata Cara e-Tendering dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun Perpres No 4 Tahun 2015 sebagai revisi

terbaru dari perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah belum ada dalam website

LPSE Kota Medan di bagian Regulasi (http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/regulasi. Dikutip

24 Juli 2015. Jam 14.40 WIB.) Sementara informasi mengenai peraturan-peraturan yang

relevan dengan e-procurement ini belum tercantum sama sekali pada situs LPSE

Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai.

Alasan utama mengenai tidak dicantumkannya peraturan yang berkaitan dengan

pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik pada situs LPSE Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai adalah karena LPSE diseluruh Indonesia sudah terintegrasi

sehingga publik dapat langsung mengakses situs LKPP untuk mendapatkan informasi

mengenai kebijakan dan peraturan nasional yang diterbitkan oleh LKPP(Trimurni,

Februati dan Siahaan, Asima Yanty Sylvania, 2014). Namun sebenarnya tidak salah juga

bila setiap LPSE melengkapi websitenya dengan regulasi yang berkaitan dengan

pengadaan secara elektronik untuk mempermudah dan mempercepat masyarakat atau

penyedia yang memerlukan informasi mengenai pengadaan secara elektronik termasuk

regulasi-regulasi yang berkaitan dengan pengadaan tersebut. Jadi implementasi e-

procurement selain dapat meningkatkan transparansi publik juga dapat meningkatkan

transparansi antar lembaga pemerintahbaik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.

Berita seputar pengadaan barang/jasa juga dapat ditelusuri di website LPSE di

tiga lokasi penelitian. Beberapa berita berkaitan dengan pengumuman mengenai

Page 166: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

166

informasi pemadaman listrik, gangguan server akibat terputusnya aliran listrik, ralat

RUP, pengumuman pemenang, penjelasan pekerjaaan (aanwizjing) dan sebagainya.

Namun dalam website adakalanya berita mengenai informasi pemadaman listrik

terlambat diumumkan dengan waktu terjadinya pemadaman. Hal-hal seperti ini dapat

menimbulkan spekulasi dari para penyedia bahwa panitia penyelenggara sedang

melakukan kecurangan (Wawancara dengan A2, 21 Mei 2015; A3,27 Mei 2015).

Sebagaimana dikatakan Heald diawal selain transparansi data, transparansi

proses juga penting dalam pelaksanaan e-procurement. Transparansi proses ditandai

dengan ketersediaan informasi di setiap tahap dari proses pengadaan secara elektronik.

Berdasarkan observasi website LPSE di tiga lokasi penelitian secara umum dapat

dikatakan bahwa proses dari pelaksanaan e-procurement masih dalam kategori cukup

transparan. Misalnya, pada informasi Tahap dapat dilihat tahapan-tahapan lelang yang

bisa sampai 10 (sepuluh) ke 23 (dua puluh tiga) tahapan dari sebuah paket lelang. Semua

tahapan ini dapat dilihat pada website LPSE. Selain itu ada informasi mengenai kapan

dimulai dan berakhir tahapan tersebut serta histori perubahan. Kalau ada perubahan maka

berapa kali perubahan tersebut yang ditulis dengan tinta berwarna merah, kalau tidak ada

perubahan maka tertulis tidak ada. Selanjutnya bila ada perubahan maka ada penjelasan

di kolom keterangan, mengapa terjadi perubahan, namun banyak juga ditemukan tidak

ada alasan di kolom keterangan atau tidak ada informasi mengapa perubahan terjadi di

kolom keterangan. Ketidakkonsistenan ini sangat mengganggu dan dapat menimbulkan

spekulasi bagi siapapun yang membaca. Sementara tulisan tahapan lelang saat ini dibuat

dengan warna yang lebih tebal (bold) sehingga memudahkan siapapun yang membaca

sudah sampai di tahap mana suatu proses lelang berlangsung.

Selain transparansi data dan proses, Heald juga membahas mengenai

transparansi keputusan atau kebijakan yang menjelaskan alasan keputusan atau kebijakan

tersebut dibuat atau diambil. Berdasarkan penelusuran di website LPSE, transparansi

keputusan dalam pelaksanaan e-procurement masih dalam kategori cukup memuaskan.

Hal ini dapat dilihat dari website LPSE yang berkaitan dengan Hasil Evaluasi. Seseorang

peserta lelang dengan kategori Jasa Konsultasi Badan Usahadikatakan menang bila hasil

evaluasinya yakni administrasi dengan tanda √, teknik juga dengan tanda √, skor teknik

tinggi dibanding peserta lelang lainnya serta harga penawaran dan harga terkoreksi paling

rendah dibanding peserta lainnya. Merujuk pendapat Heald diatas keputusan peserta

tersebut menjadi pemenang dapat dikatakan transparan. Karena keputusan diambil

dengan rasional berdasarkan data dan proses yang transparan. Namun ketika salah satu

Page 167: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

167

unsur dari penilaian evaluasi di atas tidak maksimal maka penentuan pemenang menjadi

kurang transparan. Hal ini karena tidak didukung dengan penjelasan yang rinci sehingga

menimbulkan spekulasi dari para penyedia.

Spekulasi-spekulasi ini sebenarnya sudah ada pada evaluasi dokumen di tahap

awal dari sebuah paket lelang. Meskipun kenyataannya pada tahap awal ini antara panitia

penyelenggara dan penyedia tidak saling ketemu. Namun tetap saja menimbulkan

spekulasi dari beberapa penyedia bahwa panitia penyelenggara dengan mudah

menyingkirkan dokumen mereka karena alasan tidak lengkap sehingga mereka tidak

masuk ke tahap berikutnya. Pertanyaan yang jamak didengar, “Siapa yang dapat

menjamin bahwa panitia tidak „bermain‟ dalam proses evaluasi dokumen yang dilakukan

secara off line?” (Wawancara dengan A2, 21 Mei 2015). Sementara dari pihak panitia

pengadaan mengatakan bahwa tahap evaluasi dokumen memang dilakukan secara off line

tetapi mereka tidak mengetahui nama-nama penyedia yang mengikuti lelang. Karena

yang mereka evaluasi adalah dokumen-dokumen yang beridentitas Penyedia 1, Penyedia

2 dan seterusnya sehingga untuk melakukan kecurangan sangat kecil (Wawancara dengan

A1, 21 Mei 2015).

Dari sisi penyedia, proses pengadaan secara elektronik dapat dikatakan

transparan bukan semata-mata data atau informasi sudah tersedia dalam website LPSE,

namun yang jauh lebih penting adalah transparansi dari alasan-alasan rasional mengapa

seseorang menang dalam paket lelang. Cara paling sederhana untuk mendapatkan

transparansi keputusan atau kebijakan ini adalah bila panitia pengadaan adalah orang-

orang yang mempunyai integritas dalam melakukan pekerjaannya. Dengan demikian

sistem pengadaan secara elektronik dapat dikatakan mencapai sasarannya dalam

mewujudkan transparansi bila didukung oleh panitia pengadaan yang memiliki integritas.

Tanpa integritas pelaksanaan e-procurement akan tetap dicurigai atau memunculkan

spekulasi-spekulasi (Wawancara dengan A2, 21 Mei 2015; A3, 27 Mei 2015; C1, 28 Mei

2015).

Bila dikaitkan dengan pelaksanaan lelang secara elektronik maka kata spekulasi

sangat mengganggu bahkan merugikan baik bagi penyelenggara lelang, user maupun

penyedia. Bagi penyelenggara lelang dan user imej yang dibangun bahwa sistem e-

procurement penuh dengan spekulasi tentunya tidak menguntungkan. Karena itu tidak

ada jalan lain selain menampilkan data, proses dan keputusan lelang dengan benar-benar

transparan. Data yang tersedia harus lengkap, konsisten dan diperbaharui terus menerus

serta tahapan lelang juga harus lengkap, jelas dan sistematik sehingga mudah dimengerti.

Page 168: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

168

Bila kedua hal ini benar-benar sudah transparan maka kemungkinan transparansi dalam

keputusan dapat terwujud sehingga pada akhirnya tidak memunculkan spekulasi-

spekulasi dari pihak penyedia. Sementara pihak penyedia juga tidak sembunyi di balik

kata spekulasi ketika gagal sebagai pemenang lelang. Penyedia harus sadar dan siap

bahwa pengadaan secara elektronik berbeda dengan pengadaan secara manual. Artinya

penyedia harus selalu memperbaharui informasi mengenai pengadaan barang/jasa dari

website LPSE. Karena semua informasi lelang termasuk jadwal lelang dan tata cara

lelang ada dalam website LPSE. Sistem pengadaan secara elektronik juga menuntut

penyedia untuk tepat waktu baik dalam menggunggah dokumen maupun mengikuti

proses penjelasan lelang (aanwijzing). Tidak ada istilah bahwa kapan saja bisa

mengunduh dan mengunggah dokumen lelang atau kapan saja bisa meminta penjelasan

(aanwijzing). Semuannya harus dilakukan sesuai dengan jadwal yang ada di website

LPSE. Bila semua pihak menyadari hal ini maka tidak ada lagi yang namanya spekulasi

yakni dugaan yang tidak mendasar antara penyedia dan penyelenggara.

Selanjutnya penelusuran terhadap laman Berita yang berkaitan dengan

aanwijzing (proses pemberian penjelasan) di website LPSE di tiga lokasi penelitian cukup

sedikit. Aanwijzing merupakan satu tahapan dalam pelaksanaan e-procurement dimana

penyedia mempunyai kesempatan untuk bertanya kepada Pokja ULP tentang segala

sesuatu berkaitan dengan proses lelang dengan menggunakan komunikasi online melalui

portal LPSE. Dalam proses pemberian penjelasan (aanwijzing) ini penyedia dan Pokja

ULP tidak saling bertatap muka atau bahkan tidak saling kenal. Komunikasi online ini

hanya dapat diikuti oleh penyedia dan panitia pengadaan atau yang memiliki user ID dan

password, sementara masyarakat umum atau yang bukan penyedia tidak dapat terlibat

dalam chatting online ini.

Penjelasan pekerjaan (aanwijzing) seperti diuraikan di atas, menurut pandangan

panitia pengadaan dan user sudah transparan karena penyedia dapat bertanya apa saja

berkaitan dengan proses lelang termasuk penjelasan mengenai dokumen-dokumen yang

dibutuhkan kepada Pokja ULP. Dengan demikian penyedia mendapatkan informasi baru

dan mengetahui kekurangan dan kelebihan dari dokumennya. Meskipun demikian tidak

ada sanksi bila penyedia tidak memanfaatkan proses aanwijzing ini, dalam arti penyedia

tersebut tidak dapat digugurkan. Namun dari perspektif penyedia proses aanwijzing pada

sistem pengadaan secara elektronik tidak transparan.Karena forum tanya jawab ini

dilakukan tanpa tatap muka antara penyedia dan Pokja ULP/PPK. Sementara pada sistem

manual, forum tanya jawab ini dilakukan dengan tatap muka sehingga secara spontan

Page 169: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

169

seorang penyedia dapat merespon penyedia yang sedang bertanya kepada Pokja ULP atau

merespon Pokja ULP yang sedang memberi jawaban kepada seorang penyedia. Penyedia

yang satu juga dapat melihat dokumen saingannya, demikian juga sebaliknya. Suasana

begini dianggap oleh penyedia lebih terbuka, karena seorang penyedia bisa langsung

mengetahui kelebihan atau kekurangan dari dokumennya dan dokumen saingannya.

Sementara tidak menjadi masalah bila saingannya mengetahui kelebihan atau kekurangan

dokumennya. Hal-hal seperti ini yang membuat penyedia merasa sistem pengadaan

secara manual bersifat terbuka dan sebaliknya sistem e-procurement justru bersifat

tertutup. Tertutup bagi mereka yang tidak mempunyai user ID dan password serta

tertutup bagi penyedia yang kurang akrab dengan komunikasi yang dilakukan secara

online (Wawancara dengan A1, 21 Mei 2015; A2, 21 Mei 2015; B2, 1 Juni 2015; C2, 4

Juni 2015; A4, 3 Agt 2015).

Transparansi pengadaan barang/jasa sebagaimana diuraikan di atas memiliki

pemahaman yang berbeda-beda antara panitia penyelenggara dan user di satu sisi dan

penyedia di sisi lain. Kalau menurut penyedia semua informasi dapat dilihat dan

diketahui termasuk informasi mengenai pesaing seperti pada sistem yang manual.

Sementara menurut panitia pengadaan ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dibuka kepada

penyedia atau penyedia yang gugur di tengah proses pengadaan secara elektronik bahkan

kepada masyarakat umum. Misalnya summary lelang yang berisi tentang rincian dari

evaluasi administrasi, teknis dan kualifikasi serta rincian dari harga penawaran peserta

lelang hanya dapat dilihat oleh pemenang, calon pemenang lelang, Pokja ULP dan PPK.

Jadi yang punya ID card atau password saja. Kalau summary lelang ini dibuka untuk

publik dikhawatirkan dapat dipersepsikan berbeda-beda dan ini bisa menimbulkan

kekacauan sehingga menghambat jalannya kegiatan pengadaan barang/jasa (Wawancara

dengan A4, 3 Agt 2015). Namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui

apa sebenarnya yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah ini. Karena

sebenarnya untuk melihat transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan

dapat juga dilihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

DIPAdibuat atau disusun oleh baik satuan kerja (satker) pusat dan daerah yang

berlaku untuk satu tahun anggaransebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan penggunaan

anggaran yang berasal dari dana APBN/APBD. DIPA memuat satuan-satuan terukur

yang memuat informasi mengenai program dan kegiatan; hasil (outcome) yang akan

dicapai; keluaran (output) yang dihasilkan; pagu yang dialokasikan; rencana penarikan

dana yang akan dilakukan; dan penerimaan yang diperkirakan dapat dipungut. Pagu

Page 170: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

170

dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui dan

pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan sehingga melalui DIPA masyarakat

bisa mengetahui secara rinci uang mereka dibelanjakan untuk apa saja, biayanya berapa

dan hasil atau manfaatnya apa.

Namun manfaat DIPA belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat dan di sisi

lain tidak mudah juga bagi masyarakat untuk mendapatkan DIPA ini. Bahkan di

lingkungan instansi pemerintah DIPA dianggap seperti dokumen rahasia yang tidak

semua orang boleh mengaksesnya termasuk pegawainya. Padahal jelas dalam Surat

Edaran Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 menyatakan bahwa DIPA

merupakan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala

sepanjang tidak memuat informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Sementara dari perspektif komunikasi massa, kegiatan pengadaan barang/jasa

pemerintah secara elektronik dapat berjalan maksimal bila pemerintah dalam hal ini

LPSE memahami bahwa masyarakat atau penyedia merupakan salah satu aktor yang

menentukan keberhasilan dari kegiatan pengadaan. Selain itu, penyedia atau masyarakat

yang menerima informasi mempunyai tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang

berbeda-beda. Oleh karena itu ketika terjadi perbedaan pemahaman dalam mengartikan

makna transparansi maka LPSE harus mensosialisasikan secara terus menerus makna

transparansi dalam pengadaan kepada penyedia atau masyarakat. Sementara dari sisi

penerima informasi dalam hal ini penyedia, kemampuan memanfaatkan media

komunikasi (media online) tidak dapat dihindarkan. Penyedia harus mengetahui

karakteristik dari media komunikasi maya yang digunakan dalam kegiatan pengadaan

barang/jasa. Semua informasi baik jadwal lelang, persyaratan lelang, dokumen yang

dibutuhkan dan lain-lain harus dilakukan sendiri dengan membuka website LPSE. Karena

itu penyedia harus secara rutin membuka dan membaca website LPSE sebagai sumber

informasi kegiatan pengadaan. Selain itu semua jadwal dari tahapan lelang harus diikuti

dengan disiplin karena tidak ada toleransi bila terlambat mendaftar untuk mengikuti

lelang, mengunggah dokumen dan persyaratan lainnya. Sementara itu media komunikasi

dalam hal ini informasi dalam website yang dikelola oleh LPSE harus terus menerus

diperbaharui. Disamping itu, kejelasan informasi juga penting sehingga mudah untuk

dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda yang dapat

menimbulkan beragam spekulasi dari penyedia.

Page 171: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

171

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tansparansi dimaknai berbeda-beda baik oleh panitia pengadaan dan user di satu

sisi maupun penyedia di sisi lain. Menurut panitia pengadaan transparansi tidak boleh

diartikan bahwa semua yang terjadi di dalam proses pengadaan harus dibuka selebar-

lebarnya kepada penyedia dan masyarakat umum melalui website LPSE. Pendapat yang

sama disampaikan oleh user (SKPD) bahwa transparansi adalah bagaimana orang yang

berhak bisa mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Karena itu

seseorang atau masyarakat yang tidak menjadi peserta lelang, tidak berhak mengetahui

secara rinci bagaimana proses lelang berjalan. Sementara dari sisi penyedia, proses

pengadaan secara elektronik dapat dikatakan transparan bila semua tahapan dan proses

lelang diketahui oleh semua penyedia yang mengikuti lelang. Selain itu, karena di dalam

sistem pengadaan secara elektronik masih ada kegiatan yang bersifat off line, maka sistem

e-procurement dapat dikatakan transparan bila panitia pengadaan adalah orang yang

mempunyai integritas di dalam melakukan pekerjaannya.

Sementara transparansi menurut Heald dapat dikategorikan menjadi tiga yakni

data, proses dan keputusan. Dari hasil penelusuran website LPSE di tiga lokasi penelitian,

transparansi data sudah menunjukkan hasil yang memuaskan. Data yang dapat diakses

selain mengenai tahapan lelang juga mengenai hal-hal seputar pengadaan secara

elektronik seperti berita pemadaman aliran listrik, kerusakan sistem pada server bahkan

beberapa regulasi yang berkaitan dengan e-procurement dapat diunggah di website LPSE.

Sementara transparansi proses masih dalam kategori cukup memuaskan karena masih

banyak ditemukan kekosongan data atau informasi di kolom keterangan berkaitan dengan

perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah tahap lelang. Transparansi keputusan juga

masih dalam kategori cukup memuaskan karena masih ditemukan data mengenai

pemenang lelang yang hasil evaluasinya menunjukkan harga penawaran dan harga

terkoreksi lebih tinggi dibanding peserta lainnya. Merujuk pendapat Heald di atas, sulit

mengatakan bahwa keputusan ini sudah transparan, karena tidak ada alasan mengapa

dengan harga penawaran dan harga terkoreksi yang lebih tinggi dari pesaingnya

seseorang bisa menang. Meskipun tidak ada jaminan, seorang penyedia otomatis menjadi

pemenang bila memberikan harga penawaran rendah.

Transparansi sebagai sebuah prinsip, menjamin kebebasan bagi setiap orang

untuk memperoleh informasi. Namun ada beberapa kategori informasi yang tidak bisa

dibuka kepada masyarakat umum (Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang

Page 172: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

172

Keterbukaan Informasi Publik). Hal ini agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang

tidak bertanggung jawab. Namun sepanjang informasi tersebut tidak menyangkut dalam

kategori Pasal 17 di atas, maka tidak ada alasan bagi pemerintah (LPSE) untuk tidak

menginformasikan hal mengenai pengadaan barang/jasa kepada masyarakat melalui

website LPSE. Karena hal ini juga sebagai bentuk dari akuntabilitas pemerintah kepada

masyarakat. Selain itu pemerintah (LPSE) harus dapat menjelaskan kepada masyarakat

umum terutama kepada penyedia, alasan mengapa informasi tersebut tidak dibuka kepada

masyarakat atau tidak ditayangkan di website LPSE. Ini penting sehingga tidak ada lagi

perbedaan pemahaman dari makna transparansi pengadaan.

Mewujudkan kesamaan pemahaman ini dapat juga dilakukan melalui pelatihan

yang berkaitan dengan TI berbasis komputer serta sosialisasi mengenai perubahan

peraturan (perpres) tentang pengadaan barang/jasa baik kepada penyedia, panitia

penyelenggara maupun user. Namun sebelum pelatihan dan sosialisasi dilakukan,

penentuan peserta perlu melibatkan semua asosiasi pengusaha sebagai pemberi

rekomendasi bagi penyedia serta melibatkan pimpinan sebagai pemberi rekomendasi bagi

pegawai yang bertanggungjawab pada bidang pengadaan. Melalui pelatihan dan

sosialisasi ini juga dapat ditumbuhkan integritas semua pihak sehingga proses pengadaan

dapat berjalan dengan baik.

Tidak semua tahapan pengadaan secara elektronik dapat dibuka di website

LPSE, namun bukan berarti masyarakat umum tidak bisa mengetahui apa sebenarnya

yang terjadi dalam pembelanjaan barang/jasa pemerintah. Masyarakat dapat melihat

transparansi penggunaan anggaran di instansi pemerintahan melalui Daftar Isian

Pelaksanaan Anggaran (DIPA). DIPA bukan merupakan dokumen rahasia, karena itu

semua orang dapat mengaksesnya. Sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Komisi

Informasi Pusat (KI Pusat) No. 1 Tahun 2011 bahwa DIPA merupakan informasi publik

yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.

Sementara dari perspektif komunikasi massa, keberhasilan pengadaan

barang/jasa secara elektronik tidak lepas dari peran komunikan atau masyarakat atau

penyedia yang menerima informasi. Karena itu pemerintah (LPSE) sebagai komunikator

harus memahami benar karakteristik dari komunikan. Selain itu LPSE sebagai pengelola

webisite pengadaan barang/jasa harus terus menerus memperbaharui serta memperjelas

informasi dalam website sebagai sebuah media, sehingga mudah dimengerti dan tidak

menimbulkan spekulasi bagi masyarakat atau penyedia .

Page 173: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

173

Saran

Penelitiandi Indonesia selama ini lebih banyak mendiskusikan penghematan

yang didapat setelah menggunakan sistem e-procurement. Berbeda dengan hasil

penelitian ini yang menunjukkan ada hal lain yang juga menarik dan penting untuk

didiskusikan yaitu implementasi e-procurement dilihat dari prinsip transparan yang juga

merupakan salah satu cara untuk melihat akuntabilitas dari penyelenggaraan negara.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang telah disahkan oleh Menteri

Keuangan merupakan dokumen pelaksanaan kegiatan dan penganggaran bagi satuan

kerja (satker). Sementara yang menjadi pelaksanaan anggaran dalam satker adalah Kuasa

Pengguna Anggaran (KPA). Karena itu DIPA dari suatu satker, seharusnya lebih

disosialisasikan ke masyarakat umum melalui media website pemerintah kabupaten/kota

sebagai bentuk transparansi dalam anggaran dan dalam arti lain bentuk transparansi

dalam pengadaan barang/jasa.

Page 174: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

174

PEDOMAN WAWANCARA

“Model Implementasi Kebijakan e-Procurement dalam Mewujudkan Transparansi

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”

1. Siapa saja yang bertanggungjawab dengan masalah pengadaan barang dan jasa secara

elektronik di Dinkes/Dispen?

2. Apa perbedaan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik dan

konvensional/manual?

3. Apa kelebihan dan kelemahannya?

4. Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam sistem pengadaan barang dan jasa

secara elektronik?

5. Bagaimana pendapat Bpk/Ibu mengenai regulasi pengadaan barang dan jasa (yang

selalu berubah)?

6. Seberapa penting sertifikasi sebagai penyelenggara pengadaan barang dan jasa?

7. Apakah PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) penting memiliki sertifikasi keahlian

pengadaan barang/jasa?

8. Apa kendala PPK dalam membuat spesifikasi teknis Barang/Jasa danHarga Perkiraan

Sendiri (HPS)?

9. Bagaimana hubungan kerja PPK dengan ULP (Pokja)? Berkaitan dengan spesifikasi

teknis barang/jasa dan HPS?

10. Apa kesulitan PA (Pengguna Anggaran)/KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) dalam

pembuatan RUP (Rencana Umum Pengadaan)?

11. Apa penyebab bila terjadi keterlambatan dalam mengumumkan RUP dan apa

konsekuensinya?

12. Mengapa terjadi pemecahan paket pengadaan barang dan dan jasa?

13. Bagaimana proses penunjukkan langsung pemenang tender yang dilakukan oleh

Dinkes/Dinpen?

14. Apa keuntungan yang Bpk/Ibu rasakan setelah menggunakan pengadaan barang dan

jasa secara elektronik?

15. Siapa saja providers di Dinkes/Dispen?

Peneliti:

Dra Februati Trimurni, M.Si

Dra Asima Yannty Siahaan, M.A, Ph.D

Dra Dayana, M.Si

Page 175: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

175

PENGANTAR

Yth. Bapak/Ibu/Sdr/i

di Tempat

Sebagai tenaga pengajar di FISIP-USU kami diwajibkan melakukan penelitian, yang

merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi disamping

pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena itu, pada saat ini kami sedang

melakukan penelitian dengan judul “Model Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam

Mewujudkan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”.

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian tahun pertama yang telah kami

lakukan pada tahun 2014. Adapun tujuan dari penelitian tahun kedua ini adalah untuk melihat

seberapa besar pengaruh model kebijakan e-procurement terhadap transparansi pengadaan

barang/jasa pemerintah di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Kami memohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr/i menjadi responden dalam penelitian ini

dengan menjawab seluruh pertanyaan dalam angket yang telah kami sediakan. Jawaban yang

Bapak/Ibu/Sdr/i berikan sangat berarti bagi kami dan tentunya kami jaga kerahasiaannya,

karena pada dasarnya maksud dari penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu

pengetahuan.

Atas perhatian dan kerja sama Bapak/Ibu/Sdr/i, kami mengucapakan terima kasih.

Hormat kami,

Dra Februati Trimurni, M.Si

Dra Asima Yanty Siahaan, M.A, Ph.D

Dra Dayana, M.Si

Page 176: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

176

DAFTAR PERTANYAAN KUESIONER

I. Petunjuk Pengisian Kuesioner

1. Bacalah terlebih dahulu pertanyaan di bawah ini sebelum Bapak/Ibu/Sdr/i

memberikan jawaban.

2. Pilihlah satu dari lima pilihan jawaban yang menurutBapak/Ibu/Sdr/i paling sesuai

dengan kondisi yang sebenarnya dengan memberikan tanda silang (X) pada jawaban

yang terpilih.

3. Pada beberapa pertanyaan yang membutuhkan penjelasan, Bapak/Ibu/Sdr/I diminta

untuk menuliskan alasan dari jawaban yang dipilih.

4. Jawablah seluruh pertanyaan tanpa ada yang terlewatkan.

II. Identitas Responden

1. Instansi/Bagian :

2. Kota/Kabupaten :

3. Jabatan :

4. Mengikuti Diklat Pengadaan Barang/Jasa:

a. Belum Pernah d. Tiga kali

b. Satu kali e. Lebih dari tiga kali

c. Dua kali

5. Lama bekerja di bagian yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa: ….. tahun

6. Jenis Kelamin :

a. Laki-laki b. Perempuan

7. Usia saat ini :

a. 20 – 30 tahun c. 41 – 50 tahun

b. 31 – 40 tahun d. 51 – 60 tahun

8. Pendidikan Terakhir :

a. SMU d. S2

b. Diploma e. S3

c. S1

Page 177: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

177

III. Pertanyaan

III.1 Model Kebijakan e-Procurement(Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik)

1. Apakah Bapak/Ibu/Sdr/i memahami secara umum (inti) dari Peraturan Presiden No.

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan kemudian direvisi

menjadi Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012?

a. Sangat memahami

b. Memahami

c. Cukup memahami

d. Kurang memahami

e. Tidak memahami

2. Apakah Bapak/Ibu/Sdr/i memahami pasal per pasal Peraturan Presiden mengenai

Pengadaan Barang dan Jasa tersebut?

a. Sangat memahami

b. Memahami

c. Cukup memahami

d. Kurang memahami

e. Tidak memahami

3. Apakah dalam pelaksanaannya sering terjadi perbedaan penafsiran atau pemahaman

terhadap Perpres mengenai pengadaan barang/jasa tersebut?

a. Tidak pernah terjadi

b. Jarang terjadi

c. Cukup sering terjadi

d. Sering terjadi

e. Sangat sering terjadi

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/I : …………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

4. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah ketersediaan infrastruktur, seperti ruangan khusus bagi

penyedia (supplier), internet, komputer dll memegang peranan penting bagi kelancaran

proses pengadaan barang/jasa pemerintah?

a. Sangat berperan

b. Berperan

c. Cukup berperan

d. Kurang berperan

e. Tidak berperan

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………

………………………………………………………………………………………….

………………………………………………………………………………………….

5. Apakah infrastruktur dan fasilitas pengadaan barang/jasa elektronik telah tersedia dan

memadai di lingkungan kerja Bapak/Ibu/Sdr/i?

a. Sangat memadai

b. Memadai

c. Cukup memadai

Page 178: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

178

d. Kurang memadai

e. Tidak memadai

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……….……………………………………………………

…………………………………..……………………………………………………….

……………………………………..…………………………………………………….

6. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah jumlah sumber daya manusia yang menangani

pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja sudah memadai?

a. Sangat memadai

b. Memadai

c. Cukup memadai

d. Kurang memadai

e. Tidak memadai

7. Apakah semua sumber daya manusia yang menangani pengadaan barang/jasa di

lingkungan kerja Bapak/Ibu/Sdr/I menguasai teknologi informasi berbasis komputer?

a. Semua menguasai TI

b. Sebagian besar menguasai TI

c. Sebagian menguasai TI

d. Sebagian kecil menguasai TI

e. Hanya sebagian kecil menguasai TI

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………….

…………………………………………………………………………………………….

8. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, Unit Layanan Pengadaan (ULP) masih

disatukan dengan unit lain (Bidang Administrasi Pembangunan). Apakah ini menjadi

hambatan bagi pelaksana/penyelenggara pengadaan barang/jasa?

a. Sangat menghambat

b. Menghambat

c. Cukup menghambat

d. Tidak menghambat

e. Sangat tidak menghambat

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

9. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah ada perbedaan pelayanan apabila ULP berdiri sendiri

sebagai sebuah unit dibandingkan ULP menyatu dengan unit lain?

a. Sangat berbeda

b. Berbeda

c. Cukup berbeda

d. Kurang berbeda

e. Tidak berbeda

Berialasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………

………………………………………………………………………………………….

…………………………………………………………………………………………..

Page 179: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

179

10. Apakah keterlambatan SKPD dalam mengumumkan RUP (Rencana Umum Pengadaan)

dalam kegiatan lelang barang/jasa akan menghambat kerja Pokja?

a. Sangat menghambat

b. Menghambat

c. Cukup menghambat

d. Tidak menghambat

e. Sangat tidak menghambat

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ………..…………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

11. Perpres No.70 Tahun 2012 pasal 112 ayat (2) menyatakan K/L/D/I wajib menayangkan

RUP di website K/L/D/I masing-masing dan Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE.

Seberapa penting RUP dalam pengadaan barang/jasa secara elektronik?

a. Sangat penting

b. Penting

c. Cukup penting

d. Tidak penting

e. Sangat tidak penting

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

12. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, seberapa besar kesulitanSKPD mengumumkan RUP dengan

tepat waktu dalam kegiatan lelang barang/jasa pemerintah?

a. Sangat sulit

b. Sulit

c. Cukup sulit

d. Tidak sulit

e. Sangat tidak sulit

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………

………………………………………………………………………………………….

………………………………………………………………………………………….

13. Perpres No. 54 Tahun 2010 mewajibkan agar SDM sebagai penyelenggara pengadaan

barang/jasa mendapatkan sertifikasi, karena bertanggung jawab terhadap proses

pelelangan. Adakah kekhawatiran Bapak/Ibu/Sdr/I untuk memiliki sertifikasi

karenabesarnya tanggungjawab sebagai penyelenggara pengadaan?

a. Sama sekali tidak khawatir

b. Khawatir

c. Cukup khawatir

d. Tidak khawatir

e. Sangat tidak khawatir

Page 180: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

180

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ….…………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

14. Apakah seseorang yang memiliki sertifikasi pengadaan akan dengan mudah

menjalankan pekerjaannya sebagai penyelenggara pengadaan barang/jasa atau lelang?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………

15. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i apakah sulit untuk mendapat sertifikasi pengadaan

barang/jasa?

a. Sangat sulit

b. Sulit

c. Cukup sulit

d. Tidak sulit

e. Sangat tidak sulit

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………….

16. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah jumlah keanggotaan Pokja perlu mempertimbangkan

komposisi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan?

a. Tidak perlu

b. Kurang perlu

c. Cukup perlu

d. Perlu

e. Sangat perlu

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i:…………………………………………..............................

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

17. Apakah pegawai laki-laki lebih sesuai atau tepat menjadi anggota Pokja pengadaan

barang/jasa dibanding pegawai perempuan?

a. Sangat tidak setuju

b. Tidak setuju

c. Kurang setuju

d. Setuju

e. Sangat setuju

Page 181: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

181

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i:…………………………………………..............................

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

18. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, seberapa besar hambatan yang muncul

ketika penyelengara pengadaan barang/jasa tidak memahami peraturan yang berkaitan

dengan pengadaan barang/jasa?

a. Sangat besar

b. Besar

c. Cukup besar

d. Kurang besar

e. Tidak besar

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….

…………………………………………………………………………………………….

…………………………………………………………………………………………….

19. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah infrastruktur yang tidak memadai seperti tidak adanya

ruang khusus bagi penyedia (supplier), sulitnya akses internet dll dapat menyulitkan

penyelenggara dalam menghadapi penyedia (supplier)?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

20. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, seberapa besar hambatan yang muncul

ketika penyelengara pengadaan barang/jasa tidak menguasai teknologi informasi?

a. Sangat besar

b. Besar

c. Cukup besar

d. Kurang besar

e. Tidak besar

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………

III. 2 Transparansi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

1. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah transparansi dalam sistem pengadaan secara

elektronik lebih baik dibandingkan dengan sistem pengadaan secara

konvensional/manual?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

Page 182: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

182

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………….

2. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah

memberi kemudahan bagi penyelenggara dalam menghadapi masyarakat khususnya

penyedia (supplier)?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

3. Apakah transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah memberi rasa aman bagi

penyelenggara dalam menghadapi masyarakat khususnya penyedia (supplier)?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………….…………………………….

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

4. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah

memberi keuntungan atau kemudahan bagi penyedia (supplier)?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……..,……………………………………………………..

……………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………..

5. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah pengadaan barang/jasasecara elektronik dapat

mempersempit peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

Page 183: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

183

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………..………………………………

…………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………

6. Pemecahan paket pengadaan yang memiliki batas dibawah 200 juta untuk paket

pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan dibawah 50 juta untuk paket

jasa konsultasi, menyebabkan SKPD menggunakan penunjukan langsung sebagai

pemenang lelang. Apakah tindakan pemecahan paket oleh SKPD sudah cukup tepat

dalam mencapai transparansi publik?

a. Sangat tidak tepat

b. Tidak tepat

c. Kurang tepat

d. Tepat

e. Sangat tepat

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………….……………………

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

7. Apakah Bapak/Ibu/Sdr/i setuju bahwa transparansi dalam pengadaan

barang/jasasangat menentukan kualitas akuntabilitas penyelenggaraan pengadaan

barang/jasa?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang Setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………..…………………………………….

………………………………………………………………………………………….

………………………………………………………………………………………….

8. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah prinsip transparansi dalam pelaksanaan pengadaan

barang/jasa secara elektronik telah membantu pemerintah untuk menghemat anggaran?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ………….………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………

9. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, apakah regulasi atau peraturan yang jelas berkaitan dengan

pengadaan barang/jasa dapat mewujudkan transparansi dalam pengadaan?

a. Sangat setuju

b. Setuju

Page 184: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

184

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………..…………………

…………………………………………………………………………………………….

……………………………………………………………………………………………

10. Apabila infrastruktur seperti ruang khusus untuk penyedia (supplier), internet, komputer

dll dalam pengadaan barang/jasa tidak memadai, maka dapat menjadi celah tidak

terwujudnya transparansi dalam pengadaan?

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Kurang setuju

d. Tidak setuju

e. Sangat tidak setuju

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ……………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………………….

………………………………………………………………………………………….....

11. Menurut Bapak/Ibu/Sdr/i, seberapa penting peran penyelenggara pengadaan barang/jasa

dalam mewujudkan prinsip transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah?

a. Sangat penting

b. Penting

c. Cukup penting

d. Kurang penting

e. Tidak penting

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: ………………………………………………………….

…………………………………………………………………………………………….

…………………………………………………………………………………………….

12. Ketika proses pengadaan barang/jasa(pelelangan) secara elektronik dilakukan, apakah

penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh atau mengalami kesulitan

berkaitan dengan data-data dan informasi mengenai lelang pengadaan yang kurang

lengkap dan detail?

a. Sangat jarang

b. Jarang

c. Cukup sering

d. Sering

e. Sangat sering

13. Ketika proses pengadaan barang/jasa (pelelangan) secara elektronik dilakukan, apakah

penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh atau mengalami kesulitan

berkaitan dengan data-data dan informasimengenai lelang pengadaan yang susah

dimengerti?

a. Sangat jarang

b. Jarang

c. Cukup sering

Page 185: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

185

d. Sering

e. Sangat sering

14. Ketikaproses pengadaan barang/jasa (pelelangan) secara elektronik dilakukan, apakah

penyedia (supplier) atau masyarakat sering mengeluh atau mengalami kesulitan

berkaitan dengan data-data dan informasi mengenai lelang pengadaan yang susah

diakses?

a. Sangat jarang

b. Jarang

c. Cukup sering

d. Sering

e. Sangat sering

15. Proses pengadaan barang/jasa dilakukan melalui beberapa tahapan. Apakah seluruh

tahapan tersedia dalam website pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja

Bapak/Ibu/Sdr/i?

a. Seluruh tahapan tersedia

b. Sebagian besar tahapan tersedia

c. Sebagian kecil tahapan tersedia

d. Kurang tersedia

e. Sama sekali tidak tersedia

Beri alasan Bapak/Ibu/Sdr/i: …………………………………………………………….

…………………………………………………………………………………………….

…………………………………………………………………………………………….

16. Proses pengadaan barang/jasa dilakukan melalui beberapa tahapan. Apakah penyedia

(supplier) atau masyarakat sering mengeluh berkaitan dengan sulitnya dimengerti

seluruh tahapan tersebut?

a. Sangat jarang

b. Jarang

c. Cukup sering

d. Sering

e. Sangat sering

17. Proses pengadaan barang/jasa dilakukan melalui beberapa tahapan. Apakah penyedia

(supplier) atau masyarakat sering mengeluh berkaitan dengan sulitnya mengakses

seluruh tahapan tersebut?

a. Sangat jarang

b. Jarang

c. Cukup sering

d. Sering

e. Sangat sering

18. Apakah tersedia informasi mengenai alasan mengapa seorang penyedia (supplier)

menang dalam lelang pengadaan di website pengadaan barang/jasa di lingkungan kerja

Bapak/Ibu/Sdr/i?

a. Sangat tersedia dengan detail

b. Tersedia dengan detail

c. Cukup tersedia

Page 186: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

186

d. Tidak tersedia

e. Sangat tidak tersedia

19. Apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering bertanya atau mengeluh berkaitan

dengan kurang jelasnya informasi mengenai alasan mengapa seorang (supplier)

menang dalam lelang pengadaan?

a. Sangat jarang

b. Jarang

c. Cukup sering

d. Sering

e. Sangat sering

20. Apakah penyedia (supplier) atau masyarakat sering bertanya atau mengeluh berkaitan

dengan sulitnya mengakses informasi mengenai alasan mengapa seorang (supplier)

menang dalam lelang pengadaan?

a. Sangat jarang

b. Jarang

c. Cukup sering

d. Sering

e. Sangat sering

Sekian &

Terima Kasih

Page 187: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

187

Page 188: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

188

Page 189: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

189

Page 190: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

190

Page 191: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

191

Page 192: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

192

Page 193: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

193

Page 194: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

194

Page 195: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

195

Page 196: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

196

Page 197: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

197

Page 198: balitbang.pemkomedan.go.id. Februati.pdfbalitbang.pemkomedan.go.id

198

DOKUMENTASI EKSPOSE HASIL PENELITIAN

DI BAPPEDA SERDANG BEDAGAI26 AGUSTUS 2015