Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan pestisida di lingkungan kehutanan khususnya untuk
mengendalikan hama yang menyerang tanaman di persemaian dan
tanaman muda saat ini masih menimbulkan dilema. Penggunaan pestisida
khususnya pestisida sintetik memberikan keuntungan secara ekonomis,
namun dapat mendatangkan kerugian diantaranya adalah residu yang
tertinggal tidak hanya pada tanaman, tapi juga air, tanah dan udara dan
penggunaan terus-menerus akan mengakibatkan efek resistensi dari
berbagai jenis hama (Djafaruddin, 2001).
Pestisida adalah bahan kimia bersifat racun yang sering digunakan
dalam bidang pertanian khususnya untuk memberantas hama, gulma, dan
penyakit pada tanaman serta meningkatkan produksi pertanian. Bahan-
bahan kimia yang digunakan untuk memberantas atau mencegah hama
air, jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan alat-alat pengangkut
serta binatang-binatang yang mengakibatkan penyakit pada manusia dan
hewan, juga termasuk dalam pestisida (Rompas dan Sunarjo, 1989).
Penggunaan pestisida seperti insektisida, fungisida dan herbisida untuk
membasmi hama tanaman, hewan, dan gulma (tanaman benalu) yang
bisa mengganggu produksi tanaman sering menimbulkan komplikasi
lingkungan (Supardi, 1994).
2
Pestisida yang banyak digunakan biasanya merupakan bahan
kimia toksik yang unik, karena dalam penggunaannya, pestisida
ditambahkan atau dimasukkan secara sengaja ke dalam lingkungan
dengan tujuan untuk membunuh beberapa bentuk kehidupan. Idealnya
pestisida hanya bekerja secara spesifik pada organisme sasaran yang
dikehendaki saja dan tidak pada organisme lain yang bukan sasaran.
Tetapi kenyataanya, kebanyakan bahan kimia yang digunakan sebagai
pestisida tidak selektif dan malah merupakan toksikan umum pada
berbagai organisme, termasuk manusia dan organisme lain yang
diperlukan oleh lingkungan (Keman, 2001).
Seperti disebutkan sebelumnya, penggunaan pestisida dalam
aktifitas manusia sangat beragam. Penggunaan pestisida di bidang
pertanian merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produk
pertanian. Penggunaan pestisida ini tidak akan menimbulkan masalah
apabila sesuai dengan aturan yang diperbolehkan. Penggunaan pestisida
yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dapat membahayakan
kesehatan masyarakat dan lingkungan, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Hal ini sehubungan dengan sifatnya yang toksik serta
kemampuan dispersinya yang tinggi yaitu mencapai 100%
(Mangkoedihardja, 1999).
Saat ini, kimia kontrol adalah strategi yang paling umum digunakan
terhadap hama. Ada banyak bahan kimia yang beracun termasuk
insektisida seperti organofosfat, piretroid dan fumigants seperti metil
3
bromida dan fosfin (Park, et al, 2003;. Kljajic dan Peric, 2006). Zat kimia
sangat efektif untuk pengendalian hama. Akan tetapi memiliki beberapa
masalah bagi pengguna (Subramanyam dan Hagstrum, 1995; Okonkwo
dan Okoye, 1996).
Selama beberapa dekade terakhir, telah terjadi perkembangan
yang cukup besar dalam kepentingan penelitian di bidang pengiriman
produk alam dengan menggunakan partikel untuk mengendalikan patologi
tanaman. Metabolit sekunder pada tanaman telah digunakan dalam
perumusan nanopartikel melalui meningkatkan efektivitas perlakuan
senyawa yang digunakan untuk mengurangi penyebaran penyakit
tanaman, dan meminimalkan efek samping karena: sumber yang kaya
bahan kimia bioaktif, terdegradasi di alam dan non-polusi (eco-friendly).
Sistem partikulat seperti nanopartikel telah digunakan untuk mengubah
dan memperbaiki sifat efektif beberapa jenis pestisida kimia sintetis atau
dalam produksi biopestisida secara langsung ( AbdulHameed, 2012 ).
Pemantauan dan eksposur data sangat penting dilakukan untuk
menentukan dampak dari pestisida terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan secara akurat. Metode analisis, lebih cepat dan lebih hemat
biaya, dapat memfasilitasi pengumpulan data tentang pestisida tertentu
yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan lingkungan. Kemajuan
dalam miniaturisasi dan teknologi mikrofabrikasi telah menyebabkan
pengembangan perangkat elektrokimia sensitif dan selektif untuk
lapangan dan dalam pemantauan lingkungan (Pellicer, et al., 2010).
4
Sensor elektrokimia dapat memberikan pengukuran yang cepat, handal
dan biaya-efektif dan metode pemantauan (Hanrahan, et al., 2004)
Fungsionalisasi permukaan nanopartikel logam (NP) untuk kimia sensor
adalah topik yang sangat menarik saat ini (Niemeyer, 2001; Glomm, 2005).
Penggunaan nanopartikel perak (AgNPs) sebagai sensor analitis dan
bioanalisis mendapatkan perhatian yang signifikan. Relevansi ini muncul
dari sifat optik yang tidak biasa, elektronik, dan kimia (Schultz, et al.,
2000;. Taton, et al., 2000; Yguerabide & Yguerabide, 1998). Eksitasi optik
dari permukaan plasmon resonance (SPR) disebabkan oleh eksitasi
kolektif elektron pita konduksi dari nanopartikel, menghasilkan penyerapan
dengan koefisien ekstensi molar yang besar dan hamburan yang relevan,
biasanya ketika ukuran partikel lebih besar daripada beberapa puluh
nanometer (Haes, et al., 2004).
Nanopartikel perak telah disintesis dan diaplikasikan sebagai
sensor seperti yang telah dilakukan oleh (Wang, et al., 2010), dengan
memanfaatkan nanopartikel perak, teknik hamburan cahaya berdasarkan
AgNPs memperlihatkan hal yang menjanjikan dalam pengembangan
teknik sensor vivo untuk studi tentang sistem biologis, khusus untuk
immunoassays dan memantau interaksi antara protein dan enzim dalam
sel hidup.
Secara garis besar sintesis nanopartikel dilakukan dengan metode
top-down (fisika) dan metode bottom-up (kimia). Metode top-down
mereduksi padatan logam menjadi ukuran nano secara mekanik,
5
sedangkan dengan metode bottom-up dilakukan dengan melarutkannya
dengan agen pereduksi dan penstabil untuk merubahnya kedalam bentuk
nano (Bakir, 2011).
Berdasarkan metode sintesis diatas, biaya yang mahal, serta
melihat resiko yang ditimbulkan terhadap lingkungan, maka sangat
dibutuhkan metode atau inovasi baru dalam mensintesis nanopartikel
yang lebih bersifat ramah lingkungan serta biaya murah. Cara mensintesis
nanopartikel dengan memanfaatkan ekstrak tumbuhan sebagai agen
pereduksi untuk menghasilkan nanopartikel telah ditemukan sebelumnya.
(Chandan Singh, et al., 2012), memanfaatkan ektrak daun Dalbergia
sissoo untuk mensintesis nanopartikel emas dan perak. Hal yang sama
juga dilakukan oleh (Vahabi, et al., 2011), yang telah mensintesis
nanopartikel perak dari jamur Trichoderma reesei.
Pengembangan pemanfaatan tumbuhan dalam mensintesis
nanopartikel perak dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan sektor
nanoteknologi yang semakin berkembang pesat saat ini. Inovasi baru
perlu dikembangkan lebih lanjut dalam sintesis nanopartikel, dalam hal ini
terkhusus nanopartikel perak.
Kekayaan alam yang dimiliki Negara kita merupakan anugrah yang
sepatutnya disyukuri dan dikembangkan sebagaimana mestinya. Begitu
banyak jenis tumbuhan yang ada di Indonesia dan itu memberikan potensi
secara bebas untuk mengelola, meneliti, dan mengembangkannya. Salah
satu tumbuhan yang potensial yang dapat dimanfaatkan dan berada di
6
sekitar kita adalah tumbuhan Ipomoea batatas, yang lebih dikenal dengan
nama Ubi jalar ungu. Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar
yang banyak ditemui di Indonesia selain yang berwarna putih, kuning, dan
merah (Lingga, 1995).
Nanoteknologi sekarang siap untuk memasuki era komersialisasi.
Nanopartikel memperlihatkan hal yang menjanjikan dalam berbagai
bidang bioteknologi pertanian (Rahman, et al., 2009; Stadler, et al., 2010).
Melihat prospek yang ada, maka dari itu dalam penelitian ini dilakukan
sintesis nanopartikel perak sebagai sensor optik pestisida dari Ubi jalar
ungu (Ipomoea batatas).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat
beberapa hal yang menjadi masalah yang perlu penanganan yang tepat,
antara lain :
1. Apakah nanopartikel perak dapat disintesis dengan bantuan ekstrak
ubi jalar ungu (Ipomoea batatas)?
2. Bagaimana karakter dari nanopartikel perak yang disintesis dari ubi
jalar ungu (Ipomoea batatas) dengan menggunakan Spektroskopi UV-
Vis dan Scanning Electron Microscopy (SEM)?
3. Bagaimana respon nanopartikel perak sebagai sensor optik pestisida
7
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah :
1. Mensintesis nanopartikel perak dari ekstrak ubi jalar ungu (Ipomoea
batatas).
2. Mengetahui karakter dari nanopartikel perak yang disintesis dengan
bantuan ekstrak ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) dengan
menggunakan Spektroskopi UV-Vis dan Scanning Electron
Microscopy (SEM).
3. Memanfaatkan nanopartikel perak sebagai sensor optik pestisida.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai tambahan informasi tentang sintesis dan karakterisasi
nanopartikel perak.
2. Dapat dijadikan acuan dalam hal pengontrolan pestisida dengan
berbasis nanopartikel.
3. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
sensor.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nanopartikel
Nanopartikel adalah partikel yang sangat halus berukuran orde
nanometer atau partikel yang ukurannya dalam interval 1-100 nm dan
minimal dalam satu dimensi. Nanopartikel tersusun dari sekelompok dari
sekelompok atom-atom yang berkisar dari 3 sampai 107. Nanopartikel
tersebut dapat berupa logam, oksida logam, semikonduktor, polimer,
materi karbon, senyawa organic, dan biologi seperti DNA, protein, atau
enzim (Bakir, 2011).
Konsep nanoteknologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli
Fisika bernama Richard P Feyman dalam pertemuan ahli Fisika di
Amerika pada tahun 1979 (Park, 2007). Nanoteknologi merupakan istilah
yang digunakan untuk menggambarkan teknologi yang berkaitan dengan
materi super kecil (nano). Dalam SI (Satuan Internasional) unit, nanometer
didefinisikan sebagai 1 x 10-9 meter. NASA memberikan definisi mengenai
nanoteknologi, yaitu merupakan teknologi dalam pembentukan bahan
fungsional, sumber, dan sistem melalui pengaturan berdasarkan skala
atau ukuran (1-100 nm) dan didapatkan sebagai pemanfaatan fenomena
umum, secara fisika, kimia, serta biologi dalam skala yang lebih besar
(Elizabeth, 2011).
9
Nanoteknologi adalah aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk mengontrol materi pada tingkat molekul. Pada skala nano, sifat
materi secara signifikan berbeda dari sifatnya dalam bentuk makroskopik.
Nanoteknologi juga disebut kemampuan untuk merancang, karakterisasi,
produksi dan penerapan struktur, perangkat dan sistem dengan bentuk
dan ukuran pengendali pada skala nanometer (Vahabi, 2011).
Kebutuhan untuk biosintesis Nanopartikel naik karena proses fisik
dan kimia yang mahal. Jadi dalam pencarian untuk jalur murah untuk
sintesis nanopartikel, para ilmuwan menggunakan mikroorganisme dan
ekstrak tanaman untuk sintesis. Alam telah merancang berbagai proses
untuk sintesis bahan anorganik skala nano dan mikro yang telah memberi
kontribusi pada pembangunan daerah yang relatif baru dan belum
dieksplorasi penelitian berdasarkan biosintesis yang nonmaterial
(Mohanpuria, et al., 2007).
B. Nanopartikel Perak
Salah satu persyaratan untuk kemajuan nanoteknologi adalah
pembangunan protokol eksperimental yang dapat diandalkan untuk
sintesis nanomaterials pada rentang komposisi secara biologis, ukuran
dan monodispersity tinggi (Vahabi, 2011).
Tiga langkah utama dalam penyusunan nanopartikel yang harus
dievaluasi dari perspektif green chemistry adalah pilihan media pelarut
yang digunakan untuk sintesis, sintesis biomimetik dari nanopartikel,
sains, teknologi & penerapan 5 pilihan diawali dengan mengurangi agen,
10
ramah lingkungan dan memilih bahan yang non toksik untuk stabilisasi
nanopartikel. Sebagian besar metode sintetis dilaporkan sampai saat ini
sangat bergantung pada pelarut organik (Raveendran, et al., 2002).
Dua dekade terakhir telah menjadi kemajuan pesat dalam berbagai
teknologi untuk pembuatan nanopartikel dan diantara berbagai
nanopartikel, nanopartikel logam menjadi perhatian utama karena material
ini dapat diaplikasikan pada berbagai bidang sains dan teknologi mulai
dari obat untuk optik, pelabelan biologis dan lain sebagainya. Nanopartikel
logam seperti perak dan emas telah digunakan untuk meningkatkan non-
linearitas dari penelitian molekul untuk digunakan dalam pencitraan
selektif dari struktur dan fisiologi daerah nanometric dalam sistem seluler,
penerapan potensi bioremediasi radioaktif limbah, teknologi sensor, opto-
elektronik rekaman media dan optik (Singh, et al., 2012).
Baru-baru ini, nanopartikel logam mulia sudah menarik perhatian
karena aplikasinya dalam bidang optic, elektronik, sensor biologi, dan
katalis. Salah satu nanopartikel logam mulia ialah nanopartikel perak.
Secara garis besar, sintesis nanopartikel perak dapat dilakukan dengan
metode top-down (fisika) dan metode bottom-up (kimia). Metode top-down
yaitu mereduksi padatan logam perak menjadi partikel perak berukuran
nano secara mekanik melalui metodologi khusus, seperti litografi dan
ablasi laser. Metode bottom-up dilakukan dengan melarutkan garam perak
ke dalam pelarut tertentu, kemudian agen pereduksi ditambahkan, dan
penambahan agen penstabil untuk mencegah aglomerasi nanopartikel
11
perak jika diperlukan. Namun demikian, metode-metode tersebut penuh
dengan banyak masalah, mencakup penggunaan pelarut beracun, limbah
berbahaya, dan konsumsi energy yang tinggi. Biosintesis nanopartikel
perak merupakan pilihan lain yang layak selain metode fisika dan kimia
(Bakir, 2011).
Berikut daftar beberapa tumbuhan yang telah dimanfaatkan untuk
biosintesis nanopartikel perak (Tabel 1):
Tabel 1. Daftar Tumbuhan yang dimanfaatkan untuk biosintesis AgNP
No Tumbuhan Jenis agen Biosintesis
1. Azadirachta indica Air rebusan daun
2. Alloe vera Air rebusan daun
3. Hibiscus rosa sinensis Gerusan daun
4. Geranium Air rebusan daun
5. Jatropha curcas Lateks/getah
6. Carica papaya Gerusan buah
7. Syzygium cumini Ekstrak daun dan biji
8. Datura metel Ekstrak daun
9. Boswellia ovalifoliolata Serbuk kulit kayu
10. Oryza sativa Ekstrak dari rebusan daun
Sumber : (Bakir, 2011)
Parameter yang mempengaruhi pertumbuhan, bentuk, dan struktur
nanopartikel yaitu jenis capping agent atau stabilizer, konsentrasi dari
reaktan, nilai pH dari larutan, dan pengaruh suhu. Sedangkan faktor yang
mempengaruhi sifat nanopartikel adalah ukuran dan bentuk partikel, sifat
12
permukaan, interaksi pelarut-partikel, dan interaksi antar partikel (Lestari,
2012).
Dalam biosintesis nanopartikel perak, yang menggunakan
tumbuhan, Ag (0) terbentuk melalui reaksi reduksi oksidasi (redoks) dari
ion Ag (I) yang terdapat pada larutan maupun ion Ag (I) yang terkandung
dalam tumbuhan dengan senyawa tertentu, seperti enzim dan reduktan
yang berasal dari bagian tumbuhan. Proses reduksi hingga terbentuk
nanopartikel perak tidak lepas dari peran senyawa tertentu yang terdapat
pada jenis tumbuhan yang digunakan (Bakir, 2011).
C. Karakterisasi Nanopartikel Perak
Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis), TEM (Transmission
Electron Microscope), AFM (Atomic Force Microscope), SEM (Scanning
Electron Microscope) dan XRD (X-ray diffraction merupakan alat yang
digunakan dalam karakterisasi nanopartikel. Spektroskopi UV-Vis dan
SEM merupakan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini.
D. Sensor
Secara umum sensor didefinisikan sebagai alat yang mampu
menangkap fenomena fisika atau kimia kemudian mengubahnya menjadi
sinyal elektrik dalam bentuk arus listrik ataupun tegangan. Fenomena fisik
yang mampu menstimulus sensor untuk menghasilkan sinyal listrik
meliputi temperatur, tekanan, gaya, medan magnet cahaya, pergerakan
13
dan sebagainya. Sementara fenomena kimia berupa konsentrasi dari
bahan kimia baik cairan maupun gas. (Bagus, et al., 2009).
Pengembangan system sensor yang selektif dan sensitif diperlukan
karena adanya tuntutan baru dalam analisis lingkungan. Sebuah
komponen penting dari setiap sistem deteksi adalah platform pengenal,
yang mampu mengikat selektif ke analit target. Platform pengenal baik
sintetis dan biologis dikategorikan ke dalam sensor molekul. Sintetis
sistem pengenal termasuk reseptor molekul sintetik (Schrader dan
Hamilton, 2005) dan difungsikan polimer (Senaratne, et al., 2005).
Biosensor merupakan suatu alat deteksi yang terdiri atas
transducer dan elemen sensor biologi (Eggins, 1996). Biosensor
menghasilkan suatu sinyal elektrik yang proporsional terhadap konsentrasi
analit. Transducer mengubah sinyal biokimia yang dihasilkan oleh elemen
sensor biologi menjadi suatu respon elektrik yang dapat diukur seperti
arus listrik, potensial, dan absorbansi sehingga dapat dijelaskan untuk
analisis (Yu Lei, 2006). Elemen sensor biologi berperan sebagai
komponen utama pengenal analit yang selektif pada biosensor (D’Souza,
2001).
Saat ini, sensor kolorimetri sangat sensitif dan selektif
menggunakan nanopartikel emas dan perak sudah secara luas
dimanfaatkan. Hal ini karena nanopartikel logam mulia memiliki koefisien
punah (extinction coefficient) yang sangat tinggi dan sifat optis yang
14
bergantung pada ukuran dan bentuk partikel, konstanta dielektrik medium,
komposisi dan jarak antarpartikel (Moores dan Goettmann, 2006).
Secara umum, metode kolorimetri menggunakan nanopartikel
logam mulia berdasarkan pada agrerasi nanopartikel karena reaksi antara
ligan pada permukaan nanopartikel dengan molekul analit. Perubahan
warna terjadi ketika jarak rata-rata antar partikel berkurang (Tolaymant, et
al, 2010). Nanopartikel emas yang terdispersi berwarna merah,
sedangkan agrerasinya berwarna biru. Sedangkan, nanopartikel perak
yang terdispersi berwarna kuning cerah, sedangkan agrerasinya berwarna
merah (Yao, et al, 2010).
E. Pestisida
World Health Organization mendefinisikan pestisida sebagai
“Setiap bahan atau zat campuran dimaksudkan untuk mencegah atau
mengendalikan setiap spesies yang tidak diinginkan dari tumbuhan dan
hewan dan juga termasuk zat-zat atau bahan campuran dimaksudkan
untuk digunakan sebagai defoliant pertumbuhan tanaman, regulator atau
dessicant.” (IPCS, 1975).
Jika dilihat dari asal katanya, pestisida atau pesticide berasal dari
pest yang berarti hama dan cide yang berarti mematikan/ racun. Jadi
pestisida adalah racun hama. Secara umum pestisida dapat didefinisikan
sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang
dianggap sebagai pest yang secara langsung maupun tidak langsung
merugikan kepentingan manusia (Munaf, 1997).
15
Pestisida merupakan semua zat kimia dan bahan lain serta jasad
renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah
hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau
hasil-hasil pertanian, memberantas rerumputan, mematikan daun dan
mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau
merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman (tidak
termasuk pupuk), memberantas atau mencegah hama-hama luar pada
hewan-hewan piaraan dan ternak, memberantas atau mencegah hama-
hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad
renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan,
dan memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan penggunaan pada tanaman, tanah, atau air. Bidang penggunaan
pestisida meliputi pengelolaan tumbuhan, peternakan, penyimpanan hasil
pertanian, pengawetan hasil hutan, pengendalian vector penyakit
manusia, pengendalian rayap, pestisida rumah tangga, fumigasi, dan
pestisida industri lainnya seperti cat, anti pencemaran dan bidang lainnya
(Keputusan Menteri Pertanian No.434.1/Kpts.270/7/2001).
Pestisida telah digunakan secara luas. Pestisida dapat bersumber
dari kegiatan pertanian, peternakan, rumah tangga, hingga industry.
Pestisida dapat digolongkan dalam berbagai jenis berdasarkan criteria
tertentu, yaitu berdasarkan organism pengganggu tanaman (OPT)
sasarannya, asal zat atau senyawa kimia yang menyusunnya, cara
16
kerjanya, berdasarkan penggolongan (tingkat) bahayanya, jasad
sasarannya, dan menurut bentuk formulasinya. Berbagai jenis pestisida
berdasarkan OPT sasarannya dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2. Jenis-Jenis Pestisida
Kelas Pestisida Kegunaan Asal Kata
Akarisida Membunuh kutu Akari, kutu
Algisida Membunuh ganggang Alga, ganggang
Avisida Membunuh burung Avis, burung
Bakterisida Membunuh bakteri Bacterium
Fungisida Membunuh jamur Fungus
Herbisida Membunuh gulma Herba
Insektisida Membunuh serangga Insectum
Larvisida Membunuh larva Lar
Mitisida Membunuh kutu Arkasida
Mluskisida Membunuh bekicot Molluscus
Nematisida Membunuh cacing Nematoda
Visida Membunuh telur
Sumber: (Pestisida: Dasar-Dasar dan Dampak Penggunaannya, 1992).
Jalur masuk atau portal entri adalah pintu masuknya xenobiotik ke
dalam tubuh organism. Xenobiotik diartikan sebagai bahan asing bagi
tubuh organisme, yang antara lain adalah racun (Sumirat, 2003).
Kelompok populasi yang berbeda terpajan pestisida melalui jalur pajanan
yang berbeda dalam tingkat yang berbeda. Beberapa pajanan terjadi
secara sengaja (bunuh diri dan pembunuhan) dan beberapa terjadi secara
tidak sengaja (WHO, 1990).
17
Menurut Sudarmo (1991) pestisida dapat di klasifikasikan dalam
beberapa golongan,dan diantara beberapa pengklasifikasian tersebut
dirinci berdasarkan bentuk formulasinya, sifat penetrasinya, bahan
aktifnya, serta cara kerjanya.
1. Berdasarkan bentuk formulasi
a. Butiran (Granule=G)
Berbentuk butiran yang cara penggunaanya dapat langsung
disebarkan dengan tangan tanpa dilarutkan terlebih dahulu.
b. Tepung (Dust=D)
Merupakan tepung sangat halus dengan kandungan bahan aktif 1-
2% yang penggunaanya dengan alat penghembus (duster)
c. Bubuk yang dapat dilarutkan (wettable powder=WP)
Berbentuk tepung yang dapat dilarutkan dalam air yang
penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot atau untuk
merendam benih. Contoh Mipcin 50 WP
d. Cairan yang dapat diemulsikan
Berbentuk cairan pekat yang bahan aktifnya mengandung bahan
pengemulsi yang dapat digunakan setelah dilarutkan dalam air. Cara
penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot atau di injeksikan
pada bagian tanaman atau tanah. Contoh : Sherpa 5 EC
18
e. Volume Ultra Rendah
Berbentuk cairan pekat yang dapat langsung disemprotkan tanpa
dilarutkan lagi. Biasanya disemprotkan dengan pesawat terbang dengan
penyemprot khusus yang disebut Micron Ultra Sprayer. Contoh : Diazinon
90 ULV
2. Berdasarkan bahan aktifnya pestisida dapat diklasifikasikan :
Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida,
maka pestisida dapat dibedakan ke dalam empat golongan yaitu :
a. Pestisida sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa
kimia, contohnya organoklorin, organofospat, dan karbamat.
b. Pestisida nabati, yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan,
contohnya neem oil yang berasal dari pohon mimba
c. Pestisida biologi, yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau
mikrobia yaitu jamur, bakteri atau virus contohnya
d. Pestisida alami, yaitu pestisida yang berasal dari bahan alami,
contohnya bubur bordeaux (Sitompul, 1987).
Pestisida juga diklasifikasikan berdasarkan pengaruh fisiologisnya,
yang disebut farmakologis atau klinis, sebagai berikut:
1. Senyawa Organofospat
Racun ini merupakan penghambat yang kuat dari enzim
cholinesterase pada syaraf. Asetyl cholin berakumulasi pada
persimpangan-persimpangan syaraf (neural jungstion) yang disebabkan
oleh aktivitas cholinesterase dan menghalangi penyampaian rangsangan
19
syaraf kelenjar dan otot-otot. Organofosfat disintesis pertama kali di
Jerman pada awal perang dunia ke-II. Bahan tersebut digunakan untuk
gas syaraf sesuai dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada awal
sintesisinya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP),
parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida tetapi juga
toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang tersebut dan ditemukan
komponen yang paten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap
manusia (misalnya : malathion).
2. Senyawa Organoklorin
Dari golongan ini paling jelas pengaruh fisiologisnya seperti yang
ditunjukkan pada susunan syaraf pusat, senyawa ini berakumulasi pada
jaringan lemak.
3. Senyawa Arsenat
Pada keadaan keracunan akut ini menimbulkan gastroentritis dan
diarhoe yang menyebabkan kekejangan yang hebat sebelum
menimbulkan kematian. Pada keadaan kronis menyebabkan pendarahan
pada ginjal dan hati.
4. Senyawa Karbamat
Pengaruh fisiologis yang primer dari racun golongan karbamat
adalah menghambat aktifitas enzym cholinesterase darah dengan gejala-
gejala seperti senyawa organofospat
20
5. Piretroid
Piretroid merupakan senyawa kimia yang meniru struktur kimia
(analog) dari piretrin. Piretrin sendiri merupakan zat kimia yang bersifat
insektisida yang terdapat dalam piretrum, kumpulan senyawa yang di
ekstrak dari bunga semacam krisan piretroid memiliki beberapa
keunggulan, diantaranya diaplikasikan dengan takaran relatif sedikit,
spektrum pengendaliannya luas, tidak persisiten, dan memiliki efek
melumpuhkan yang sangat baik. Namun karena sifatnya yang kurang atau
tidak selektif, banyak piretroid yang tidak cocok untuk program
pengendalian hama terpadu (Djojosumarto, 1998).
Bagaimanapun amannya, pestisida adalah racun yaitu bahan kimia
yang dibuat untuk membunuh hama, berarti mempunyai toksisitas yang
sangat bervariasi dari satu jenis ke jenis lainnya. Jadi resiko pestisida
terhadap lingkungan hidup tetap ada dan perlu diperhatikan (Susilo,
2001).
F. Insektisida Diazinon
Diazinon merupakan insektisida yang efektif untuk membasmi
hama tanaman buah-buahan, sayuran, dan hama tanah, ectoparasites,
dan serangga. Toksisitas akut diazinon secara oral adalah LD50 untuk tikus
sebesar 85 sampai 135 mg/kg dan LD50 untuk tikus besar (tikus got)
adalah sebesar 150 sampai 220 mg/kg (Margot & Stammbach, 1964).
21
1. Struktur Diazinon
Diazinon memiliki nama kimia (0.0-dietil 0-2-isopropyl-6-
etilpyrimidin-4-methyl pyrimidinyl fosfosrotionat) dengan rumus empiris
C12H21N2O3P5 adalah insektisida dan nematisida non sistemik berspektrum
luas (broad spectrum) dan bertindak sebagai inhibitor asetilkolinesterase
berakibat pada kolin (Sumner et al.1988; EXTONET 1996). Rumus
bangunnya disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Rumus Bangun Diazinon (Zhang & Pehkonen, 1999).
2. Sifat Fisik, Kimia, dan Biologi Diazinon
Sifat fisik diazinon yang berkaitan dengan lingkungan adalah
mempunyai titik didih 83-84oC, tekanan uap 1.4 . 10-4 mmHg pada 20oC,
koefisien partisi oktanolair adalah 4, kelarutan dalam air 40 μg ml-1 pada
25oC, sedikit larut dalam air (kira-kira 0.04%) dan dapat dicampur dengan
pelarut organik (Merck Index, 1998). Stabil dalam lingkungan alkali lemah
tetapi sedikit terhidrolisis dalam air dan asam encer. Diazinon sangat
sensitif terhadap oksidasi dan suhu tinggi, serta cepat terurai pada suhu di
atas 100oC (Hayes dan Laws, 1991).
22
Matsumura (1976) menyatakan bahwa sebagian besar diazinon
mengalami degradasi membentuk asam dietiltiofosfonat. Persisten
diazinon dalam air tawar dan air laut masing-masing adalah 11% dan 30%
setelah aplikasi 17 hari, sedangkan residu dalam lumpur permukaan
(2 mm) masih terdapat 0.05-2% setelah 21 hari aplikasi.
Diazinon sangat mobil pada tanah dengan kandungan bahan
organik rendah sampai sedang, dan immobil pada kandungan bahan
organik tinggi (Arienzo, et al. 1994). Koefisien partisi oktanol-air
mengindikasikan diazinon bisa diakumulasi secara biologis dalam
organisme, dan ini telah dijumpai pada ikan pada konsentrasi maksimum
300-360 kali konsentrasi di air. Volatilitas diazinon adalah 2.4 mg m-3
pada 20oC dan 18.6 mg m-3 pada 40oC. Diazinon mempunyai waktu
paruh (half-life) 30 hari dan koefisien serap oleh tanah Koc=1.000 E
(Wauchope et al. 1992), sedangkan konsentrasi diazinon sebesar 0.2-5.2
mg l-1 dapat membunuh ikan (Smith et al. 2007)
Diazinon mempunyai spektrum daya bunuh yang luas terhadap
serangga dan berbagai cacing tanah. Toksisitas diazinon terhadap
mamalia adalah sedang (II), dengan lethal doses (LD50) oral akut masing-
masing 96-967 mg kg-1 pada tikus jantan dan 66-635 mg kg-1 pada tikus
betina dan LD50 dermal akut masing-masing tikus adalah >2000 mg kg-1
(katagori III), LD50 inhalasi akut pada tikus 3.5 mg l-1 termasuk kategori III
(Pesticide Fact Handbook 1986). LD50 untuk beberapa spesies burung 3-
40 mg kg-1 dan spesies ikan 0.4-8 μg ml-1 (Sumner et al. 1988).
23
3. Alur Reduksi Diazinon di Alam
Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai dengan
baik dalam lingkungan abiotik maupun lingkungan biotik. Faktor-faktor
yang berpengaruh dalam penguraian pestisida adalah penguapan,
pencucian, pelapukan dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi
maupun fotokimia. Hidrolisis diazinon menjadi IMPH (2-isopropyl-4-
methyl-6-hydroxy pyrimidine) terutama diatur oleh proses abiotik,
degradasi dari diazinon meningkat oleh mikroorganisme tanah, sehingga
mikroorganisme menjadi faktor yang lebih dominan dari faktor abiotik
(Leland, 1998).
Formulasi diazinon terdegradasi menjadi sejumlah
tetraetilpirofosfat, menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp
(O,S-TEPP), kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih
tinggi dibandingkan diazinon dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase
terutama O,S-TEPP yaitu 14000 kali lebih toksik dari diazinon (Allender &
Britt 1994). Oksidasi diazinon menjadi bentuk diazoxon yang lebih toksik,
terjadi pada jaringan hewan dan tumbuhan (Mc Ewen & Stevenson, 1989).
G. Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan salah satu komoditas
tanaman pangan yang dapat tumbuh dan berkembang di seluruh
Indonesia. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat nonberas tertinggi
keempat setelah padi, jagung, dan ubi kayu; serta mampu meningkatkan
ketersediaan pangan dan diversifikasi pangan di dalam masyarakat.
24
Sebagai sumber pangan, tanaman ini mengandung karbohidrat, beta
karoten, vitamin C, niacin, riboflavin, thiamin, dan mineral. Oleh karena itu,
komoditas ini memiliki peran penting, baik dalam penyediaan bahan
pangan, bahan baku industry maupun sebagai bahan pensubtitusi
(Asriyadi, 2011).
Sistematika (taksonomi) tanaman Ubi jalar (Gambar 2)
diklasifikasikan sebagai berikut (Rukmana, 1997).
Kingdom: Plantae
Divisi: Spermatophyta
Subdivisi: Angiospermae
Kelas: Dicotyledonae
Ordo: Convolvulales
Famili: Convolvulaceae
Genus: Ipomoea
Spesies: Ipomoea batatas
Gambar 4. Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar atau ketela rambat atau sweet potato diduga berasal dari
benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah
asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika
bagian tengah. Ubi jalar menyebar ke seluruh dunia terutama Negara-
negara beriklim tropika, diperkirakan pada abad ke-16. Orang-orang
Spanyol dianggap berjasa menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia
terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia (Direktorat Kacang-kacangan
dan Umbi-umbian, 2002).
25
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori yang
cukup tinggi. Ubi jalar juga merupakan sumber vitamin dan mineral,
vitamin yang terkandung dalam ubi jalar antara lain vitamin A, vitamin C,
thiamin (vitamin B1), dan riboflavin. Sedangkan mineral dalam ubi jalar
diantaranya adalah zat besi (Fe), fosfor (P), dan kalsium (Ca). Kandungan
lainnya adalah protein, lemak, serat kasar, dan abu (Kumalaningsih,
2006).
Selain kaya akan kandungan antosianin, ubi jalar juga kaya akan
vitamin A, vitamin E, dan kandungan vitamin C-nya yaitu sebesar 23
mg/100 g serta kaya akan mineral Ca (30 mg/ 100 g). Kandungan kimia
ubi jalar dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3. Kandungan Ubi Jalar
Komponen Jumlah
Kadar Air (%) 72,84
Pati (%) 24,28Protein (%) 1,65
Gula reduksi (%) 0,85Mineral (%) 0,95
Asam askorbat (mg/100 g) 22,7K (mg/100 g) 204,0S (mg/100 g) 28,0
Ca (mg/100 g) 22,0Mg (mg/100 g) 10,0Na (mg/100 g) 13,0Fe (mg/100 g) 0,59Mn (mg/100 g) 0,355
Vitamin A (IU/100 g) 20063,0Energi (kJ/100 g) 441,0
26
Sumber: (Kotecha dan Kadam, 1998)
H. Kerangka Pikir dan Hipotesis
1. Kerangka Pikir
Sintesis
Metode Biosintesis
Top-down (fisika) dan Bottom up
(kimia)
Nanopartikel perak
Sensor kadar diazinon
Tidak ramah lingkungan dan
biaya mahal
Ramah lingkungan dan biaya murah
Masalah Kesehatan
InsektisidaDiazinon
Sensor dengan nanopartikel
Karakterisasi dengan spektroskopi UV-Vis
dan SEM
27
2. Hipotesis
Adapun hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Nanopartikel perak dapat disintesis dengan metode biosintesis
nanopartikel dari ekstrak Ubi Jalar Ungu Ipomoea batatas. sebagai
agen pereduksi.
b. Nanopartikel Perak dapat digunakan sebagai sensor kadar
Insektisida Diazinon.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini direncanakan dimulai pada bulan Maret 2013 sampai Mei
2013. Preparasi dan analisis sampel dilakukan di laboratorium Kimia
Fisika Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin Makassar.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat-alat yang akan digunakan dalam peneltian ialah Oven,
timbangan analitik, spektrofotometer UV-Vis, SEM, pemanas listrik, pipet
tetes, erlenmeyer, labu ukur, pH indicator, batang pengaduk, cawan petri,
corong pisah, botol bekas selai, botol semprot.
2. Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi Ekstrak ubi
jalar ungu, AgNO3, larutan diazinon, metanol, akuabides, alumunium foil ,
kertas saring whatman no.1, dan kertas tisu.
C. Objek Penelitian
29
Objek dalam penelitian ini adalah nanopartikel perak yang
disintesis dengan bantuan ekstrak Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas) yang
selanjutnya diaplikasikan sebagai sensor kadar Insektisida diazinon.
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Pembuatan Larutan Standar Diazinon
Pembuatan larutan standar diazinon, Larutan standar diazinon dibuat
dengan jalan mengencerkan pestisida diazinon yang didapatkan dari
pestisida merek Basudin 60 EC yang memiliki kandungan diazinon
sebanyak 600 g/L. Sebanyak 1 mL larutan tersebut diencerkan ke dalam
59 mL metanol, sehingga konsentrasinya menjadi 10 g/L. Larutan ini
dijadikan sebagai stok untuk pengenceran selanjutnya. Dari larutan ini,
dibuat larutan standar diazinon dengan konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan
100 ppm dengan air sebagai larutan pengencer (Suherman, 2000).
Serial larutan standar tersebut diukur absorbannya pada panjang
gelombang 241 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV/Vis dan
sebagai blanko digunakan air destilat. Absorbansi yang terukur kemudian
diplotkan terhadap konsentrasi dan kemudian dicari regresi linearnya.
Kurva linear yang dihasilkan digunakan sebagai kurva standar diazinon
(Suherman, 2000).
2. Pembuatan Larutan 1mM AgNO3
Larutan stok AgNO3 1 mM dibuat dengan menimbang 0,085 gram
serbuk AgNO3 [Dhucefa Biochemies], kemudian dilarutkan ke dalam
30
akuabides 500 mL Selanjutnya, larutan perak nitrat dikocok. Selanjutnya,
larutan perak nitrat dapat digunakan langsung. Larutan perak nitrat
disimpan dalam lemari es ketika tidak dipakai.
3. Pembuatan Air Rebusan Ubi Jalar Ungu
Tanaman yang digunakan untuk proses biosintesis yaitu Ipomoea
batatas (Ubi Jalar Ungu). Tanaman tersebut diperoleh di lingkungan
kampus FMIPA UNHAS, Sulawesi Selatan. Bagian tanaman yang
digunakan ialah Umbi dari ubi jalar ungu. Ubi tersebut dipetik lalu dicuci
hingga bersih dengan akuades dan dikeringkan hingga air cucian tiris.
Setelah itu, ubi tersebut dipotong-potong seragam dan ditimbang seberat
10 gram, lalu direbus dengan 50 mL akuabides dalam Erlenmeyer 500
mL. Selanjutnya, rebusan dibiarkan mendidih selama 5 menit. Setelah
mencapai suhu ruang, air rebusan dituang dan disaring dengan
menggunakan kertas Whatman No.1. Air rebusan tersebut selanjutnya
dapat digunakan langsung untuk proses biosintesis. Air rebusan ubi jalar
ungu disimpan dalam lemari es ketika tidak dipakai. Air rebusan apabila
tidak dipakai, disimpan selama 1 pekan.
4. Biosintesis Nanopartikel Perak
Biosintesis nanopartikel perak dilakukan dengan mencampur larutan
AgNO3 dan ekstrak ubi jalar ungu. Sampel 2 mL air rebusan ubi jalar ungu
dicampurkan ke dalam larutan 40 mL AgNO3, kemudian larutan campuran
distirer selama 2 jam. Apabila larutan berubah warna dari bening menjadi
31
kuning, itu menandakan nanopartikel perak telah terbentuk.
a. Karakterisasi nanopartikel Perak dengan Spektroskopi UV-Vis
Larutan nanopartikel perak yang terbentuk dianalisis dengan
menggunakan spektroskopi UV-Vis setelah 30 menit, 1 jam, 24 jam,
1 minggu, dan 2 minggu. Semakin tinggi nilai absorbansi dapat
diasumsikan jumlah nanopartikel yang terbentuk semakin banyak dan
Semakin besar λmax semakin besar pula nanopartikel
b. Karakterisasi Nanopartikel Perak dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)
Larutan nanopartikel perak yang terbentuk diangin-anginkan di atas
tempat yang sudah dilapisi plastik sampai kering sehingga diperoleh
padatan nanopartikel perak. Selanjutnya mengambil sedikit sampel
padatan nanopartikel perak untuk dikarakterisasi dengan Scanning
Electron Microscopy (SEM). Karakterisasi nanopartikel menggunakan
Scanning Electron Microscopy (SEM), untuk mengetahui diameter
nanopartikel yang telah ditumbuhkan.
5. Proses Pengujian Larutan Indikator
1 mL larutan standar diazinon dengan berbagai variasi konsentrasi
yang telah ditentukan diberikan larutan Nanopartikel perak yang telah
disintesis, kemudian dikocok dengan menggunakan stirrer. Tabung
32
tersebut kemudian dilakukan pengujian dengan mengamati perubahan
warna yang terjadi. Beberapa hasil pengujian larutan indikator diukur
dengan UV-Vis setelah 30 menit dan diukur pHnya.
DAFTAR PUSTAKA
AbdulHameed, M. 2012. Nanoparticles as Alternative to Pesticides in Management Plant Diseases-A Review. International Journal of Scientific and Research Publications, Volume 2, Issue 4, April
Arienzo M, Crisanto T, Sanchez MMJ, Sanchez C. 1994. Effect of soil characteristics on adsorption and mobility of (14C) diazinon. J. Agric. Food Chem. 42: 1803-1808
Bagus, R., Setiawan, I., dan Setiyono, B. 2009. Pemodelan dan Pengujian Sensor TGS2600 untuk Aplikasi Sistem Monitoring Kandungan Gas Karbon Monoksida (CO) di Udara. Semarang : Universitas Diponegoro.
Bakir. 2011. Pengembangan Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Air Rebusan Daun Bisbul (Diospyros Blancoi) untuk Deteksi Ion Tembaga (II) dengan Metode Kolorimetri. Skripsi tidak diterbitkan. Depok : Universitas Inonesia.
Chien, W., Luconi, M., Masi, A., dan Fernandes, L. 2010. Silver nanoparticles as optical sensors. Argentina: Universidad Nacional de san Luis- Inquisal-conicet.
Childs, K., Dirk, S., Simonson, R.J., dan Wheeler, D. 2005. Functionalized Nanoparticles for Sensor Applications. New Mexico : Sandia National Laboratories.
Djafaruddin. 2001. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.
D‘Souza, S.F. 2001. Review: Microbial Biosensor. Biosensors and Bioelectronics, 16, 337-353.
Egerton, R.F. 2005. Physical Principle of Electron Microscopy. New York: Springer Science Business Media, Inc.
33
.Elizabeth, I.R. 2011. Biosintesis nanopartikel silika (SiO2) dari sekam oleh
Fusarium oxysporum [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Extension Toxicology Network. 1996. EXTOXNET Pesticide Information Profiles: Diazinon. June 15, 2000 (http://ace.orst.edu/cgi bin/mfs/01/ pips/ diazinon).
Glomm, W.R. 2005. Journal of Dispersion Science and Technology 26 389.
Haes, A., Zou, S., Schatz, G. dan Van Duyne, R. (2004). Nanoscale optical biosensor: short range distance dependence of the localized surface plasmon resonance of noble metal nanoparticles. J. Phys. Chem. B, 108, ( March 2004), 6961-6968 ISSN 0022-3654.
Harris, Asriyadi. 2011. Pengaruh Subtitusi Ubi Jalar (Ipomoea batatas) dengan Susu Skim Terhadap Pembuatan Es Krim. Makassar: Universitas Hasanuddin
Hanrahan, G.; Patil D. G. & Wang J. (2004). Electrochemical sensors for environmental monitoring: design, development and applications. Journal Environmental Monitoring, 6 (8), 657 - 664.
Hayes, Wayland J., Laws, Edward R. 1991. Handbook of Pesticide Toxicology Volume I: General Principles. New York: Academic Press, Inc.
IPCS. Environmental Health Criteria 104: Principles for the Toxicological Assesment of Pesticide Residues in Food. Geneva: WHO. 1990
Keman, S. 2001. Bahan Ajar Toksikologi Lingkungan . Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Keputusan Menteri Pertanian No.434.1/Kpts.270/7/2001. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida.
Kljajic, P. dan Peric, I., 2006. Susceptibility to contact insecticides of granary weevil Sitophilus granarius (L.) (Coleoptera: Curculionidae) originating from different locations in the former Yugoslavia. Journal of Stored Product Research, 42:149–161.
34
Kotecha, P.M., dan S.S.,Kadam. 1998. Sweet Potato, in Handbook of Vegetable Science and Technology (Salunkhe, D.K and S.S Kadam eds). New York: Marcel Dekker Inc.
Kumalaningsih, S. 2006. Peluang Pengembangan Agroindustri Dari Bahan Baku Ubi jalar. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubi jalar Mendukung Agro-Industri. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kurniawan, F., Tsakova, V., dan Mirsky, V.M. 2006. Gold Nanoparticles in Nonenzymatic Electrochemical Detection of Sugars. Electroanalysis 18, 2006, No. 19-20, 1937 – 1942
Leland, J. E. 1998. Evaluating the Hazard of Land Applying Composted Diazinon Waste Using Earthworm Biomonitoring. Thesis. Virginia: Polytechnic Inst. Virginia.
Lestari, Putri. 2012. Modifikasi Nanopartikel Emas dengan 2-Merkaptoetanol-Asam Sianurat sebagai Sensor Melamin. Skripsi tidak diterbitkan. Depok : Universitas Indonesia.
Lingga P. 1995. Bertanam Umbi-umbian. Jakarta: PT. Penebar Swadaya
Mangkoediharja S. 1999. Ekotoksikologi Keteknikan. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan-FTSP, ITS.
Mamahit, Lexy. 2009. Satu Senyawa Steroid dari Daun Gedi (Abelmoschus Manihot L. Medik) Asal Sulawesi Utara. Chem. Prog. Vol. 2, No. 1. Mei 2009
Margot, A., dan K, Stammbach. 1964. Analytical Methods for Pesticides Plant Growth Regulation. Academic Press Inc, New York.
Matsumura F. 1976. Toxicology of Insecticides. New York: Plenum Press.
McEwen, F.L., Stephenson, G. 1989. The Use and Significance of Pesticides in the Environment. New York: John Wiley and Son.
Mohanpuria, P., Rana, K.N., dan Yadav, S.K (2008). Biosynthesis of nanoparticles: technological concepts and future applications. Journal of Nanoparticle Research 10.; 507- 517.
Mohanraj, VJ, dan Chen, Y. 2006. Nanoparticle-A Review. Tropical Journal of Pharmaceutical Research, June 2006; 5 (1): 561-573.
35
Munaf, Sjamsuir, 1997, Keracunan Akut Pestisida: Teknik Diagnosis, Pertolongan Pertama, Pengobatan dan Pencegahannya. Jakarta: Widya Medika.
Niemeyer, C.M., 2001. Angewandte Chemie-International Edition 40 4128.
Okonkwo, E.U., dan Okoye, W.J. 1996. The efficacy of four seed powders and the essential oils as protectants of cow pea and maize grain against infestation by Callosobruchus maculates (Fabricius) (Coleoptera: Bruchidae) and Sitophilus zeamais (Motschulsky) (Coleoptera: Curculionidae) in Nigeria. International Journal Pest Management, 42: 143–146
Park B. 2007. Current and future applications of nanotechnology. Issues in Environmental Science and Technology. 24: 1-18.
Park, I.K., Lee, S.G., Choi, D.H., Park, J.D., dan Ahn, Y.J. 2003. Insecticidal activities of constituents identified in the essential oil from leaves of Chamaecyparis obtuse against Callosobruchus chinensis (L.) and Sitophilus oryzae (L.). Journal of Stored Product Research, 39: 375–384
Pellicer, C., Gómez C.A., Unceta N., Goicolea, M. A., dan Barrio, R. J. (2010). Using a portable device based on a screen-printed sensor modified with a molecularly imprinted polymer for the determination of the insecticide fenitrothion in forest samples. Analytical Methods. DOI: 10.1039/c0ay00329h
Rahadiyanti, Ayu. 2011. Pengaruh Tempe Kedelai terhadap Kadar Glukosa Darah pada Prediabetes. Semarang : Universitas Diponegoro.
Rahman, A., Seth, D., Mukhopadhyaya, S.K., Brahmachary, R.L., Ulrichs, C. and Goswami, A. 2009. Surface functionalized amorphous nanosilica and microsilica with nanopores as promising tools in biomedicine. Naturwissenschaften, 96: 31–38
Raveendran, P.; Fu, J. & Wallen., S.L. (2003). Completely “Green” Synthesis and Stabilization of metal nanoparticles. Journal of American Chemical Society, 125(46).; 13940-13941.
Rompas R.M. dan Sunaryo, P., 1989. Toksikologi Pestisida. Bahan Penataran Toksikologi di Unsrat. Kerjasama UNSRAT-CIDA/SFE. Proyek Pengembangan Perguruan Indonesia Timur.
36
Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar-Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta: Kanisius
Schrader, T. & Hamilton A. D. (2005). Functional synthetic receptors, Weinheim : Wiley-VCH, 9783527306558.
Schultz, S.; Smith, D.; Mock, J. & Schultz, D. (2000). Single-target molecule detection with nonbleaching multicolor optical immunolabels. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A., 97, 3, (February 2000), 996-1001, ISSN 0027-8424.
Senaratne, W.; Andruzzi L. & Ober C. (2005). Self-assembled monolayers and polymer brushes in biotechnology: current applications and future perspectives. Biomacromolecules, 6 (5), 2427-2448.
Setiawan, Iwan. 2009. Buku Ajar Sensor dan Transduser. Semarang : Universitas Diponegoro.
Singh, Chandan, et al. 2012. Biocompatible Synthesis of Silver and Gold Nanoparticles Using Leaf Extract of Dalbergia Sissoo. Adv. Mat. Lett. 2012, 3(4), 279-285.
Sitompul, P, 1987. Penggunaan Pestisida Secara Tepat Dan Aman. Medan: Kanwil Dep.Kes Sumut.
Smith, JrS, dan Lizotte, R.E., More MT. 2007. Toxicity Assessment of Diazinon in a Constructed Wetland Using Hyalella azteca. Bul. Environ Contam. Toxicol. 79.58-61.
Stadler, T., Butelerb and M., Weaver, D.K., 2010. Novel use of nanostructured alumina as an insecticide. Pest Management Science, 66: 577–579
Subramanyam, B. and Hagstrum, D.W., 1995. Resistance measurement and management. In: Integrated Managments of Insects in Stored Products (Subramanyam, B. and Hagstrum, D.W. eds.), 331–339 PP.
Sudarmo, S., 1991. Pestisida. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sumirat, Fajar., 2003, Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, dan Tindakan Petani Penyemprot dengan kadar Cholinesterase Darah petani di Kecamatan Taraju Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat Tahun 2003 (Skripsi). Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
37
Sumner, D.D., Keller, A.E., Honeycutt, R.C., Guth, J.A. 1988. Fate of diazinon in the environment. In Fate of Pesticides in the Environment. Biggar, J.W. and J.N. Seiber eds. Pp. 109-114. The Regents of the Univ of California, Div. of Agric and Natural Resources. Oakland, CA.
Supardi I., 1994. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Edisi Kedua. Bandung: Penerbit Alumni.
Suherman, Ayep D. 2000. Bioremediasi Pestisida Organofosfat Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Mikroba Indigenous dari Areal Persawahan. Bogor: IPB.
Susilo, Achmadi. Aplikasi Pestisida dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Lingkungan dan Pembangunan, Vol.21, Maret 2001. ((238-245).
Taton, T.; Mirkin, C. & Letsinger, R. (2000). Scanometric DNA array detection with nanoparticle probes. Science, 289, 5485, (September 2000), 1757-1760, ISSN 0036-8075.
Vahabi, Khabat, et al. 2011. Biosynthesis of Silver Nanoparticles by Fungus Trichoderma Reesei. Insciences J. 2011, 1(1), 65-79; doi:10.5640/insc.010165.
Wardah, Habibah. 2012. Pengembangan Sensor BOD berbasis Rhodotorula mucilaginosa UICC Y-181 Terimobilisasi dalam Gelatin dan Alginat Menggunakan Elektroda Emas dan Boron-Doped Diamond Termodifikasi Nanopartikel Emas. Tesis tidak diterbitkan. Depok : Universitas Indonesia.
Wauchope, R.D., Buttler, T.M., Hornsby, A.G., Augustijn-Beckers, P.W.M., Burt, J.P. 1992. The Scs/ars/ces Pesticide Properties Database for Environmental Decision Making. Rev.Environ. Contam.Toxicol. V. 123:156.
WHO. Adequacy Use Public Health Impact of Pesticides Use in Agriculture. Geneva: WHO. 1990
Yguerabide, J. & Yguerabide, E. (1998). Light-scattering submicroscopic particles as highly fluorescent analogs and their use as tracer labels in clinical and biological applications: II. Experimental characterization. Anal. Biochem., 262, 2, (September 1998), 157-176. ISSN 0003-2697.
Yu Lei, W. Chen & A. Mulchandani. 2006. Microbial Biosensor. Review. Analytica Chimica Acta 568, 200-210.
top related