Transcript
Skenario 2 Usus Buntu
Seorang perempuan 17 tahun datang ke UGD dengan keluhan nyeri
kolik pada perut kanan bawah disertai muntah-muntah sejak 8
jam yang lalu.Nyeri dirasakan semakin hebat.Disuria, Poliuri
dan riwayat hubungan seks disangkal. Mens 1 minggu yang lalu
dan siklus haid teratur.Pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,6o C, bising usus menurun, rigiditas otot rektus meningkat,
nyeri tekan didaerah Mc Burney. Nyeri pada colok dubur.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit.
STEP 1
1. Disuria : Disuria adalah rasa sakit/nyeri saat berkemih
(miksi/kencing). Disuria paling banyak disebabkan kerna
infeksi, yaitu 60% dari seluruh kasus disuria. Infeksi
paling umum adalah Infeksi saluran kemih, gejala awak
pada infeksi adalah iritasi pada saluran urin, inilah
yang membuat timbulnya rasa nyeri saat berkemih. Ketika
urin keluar dari ginjal dan kemudian melewati bagian
saluran yang iritasi maka akan terjadi gesekan urin
dengan saluran yang terinfeksi tadi sehingga timbul rasa
sakit saat berkemih.1
2. Mc Burney : Garis imajiner yang menghubungkan Spina
Iliaka Anterior Superior (SIAS) dan umbilikus dan
terletak pada 1/3 lateral dari sias kanan.1
3. Nyeri kolik : sensasi nyeri yang timbul akibat kontraksi
(spasme) dinding organ berongga yang meningkat dalam
rangka mengeluarkan sumber obstruksi.1
4. Poliuri : Buang air kecil yang berlebihan, biasanya lebih
dari 2,5 liter per hari pada orang dewasa. Penyebab
paling umum poliuria adalah diabetes yang tidak
terkelola. Kondisi lain yang menyebabkan poliuria adalah
penyakit ginjal polikistik, penyakit anemia sel sabit,
pielonefritis, amiloidosis, sindrom Sjogren, dan myeloma.1
5. Rigiditas Otot : Spastisitas atau hipertonus otot
merupakan kelainan sistem saraf pusat yang ditandai oleh
otot yang terus menerus menerima impuls untuk menjadi
kaku. Saraf yang menginervasi otot tidak dapat
mengendalikan impuls yang masuk sehingga otot terus-
menerus mengalami hipertonus.1
6. Leukositosis : Keadaan dengan jumlah sel darah putih
dalam darah meningkat, melebihi nilai normal. Peningkatan
jumlah sel darah putih ini menandakan ada proses infeksi
di dalam tubuh.1
STEP 2
1. Apa diagnosis dan diagnosis banding pada kasus diatas?
2. Apa penyebab Poliuri dan Disuria?
3. Mengapa bising Usus menurun?
4. Apa penyebab Muntah?
STEP 3
1. Diagnosis Banding dan diagnosis :
a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan
tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering
ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan apendisitis akut.
b. Demam Dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip
peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif
untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit
meningkat.
c. Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan
siklus menstruasi.
d. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada
apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih
difus.
e. Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau
abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan,
akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah
pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.
f. Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang
tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada
pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.
g. Endometriosis ovarium eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan
keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan
darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak
ada jalan keluar.
h. Urolitiasis pielum/ ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut
menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang
khas. Eritrosituria sering ditemukan.
i. Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah
peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel,
perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis
akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi
usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis,
karsinoid, dan mukokel apendiks.
j. Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks
veriformis. Apendisitis akut adalah peradangan
paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum bedah abdomen
darurat.
Dalam kasus ini manifestasi klinik yang
dikeluhkan pasien sama dengan manifestasi
apendisitis yaitu :
1. Nyeri berawal dari epigastrium atau regio
umbilical disertai mual, muntah, dan anoreksia
2. Demam ringan 37,5-38,5 derajat celcius
3. Nyeri berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney
4. Nyeri tekan, nyeri lepas, defance muscular
5. Tidak mau makan, lemas, dan letargia2
2. Apa penyebab Poliuri dan Disuria?
Poliuri (BAK yang berlebihan) dan disuria (rasa
sakit saat berkemih) merupakan ciri atau gejala jika
diagnosisnya adalah infeksi pada saluran kemih. Pada saat
terjadinya infeksi saluran kemih akan terjadi gejala
poliuri dan disuria. Namun pada kasus appendisitis akut
bisa terjadi poliuri dan disuria jika appendix
vermiformis pada manusia mengalami infeksi dan menempel
pada vesica urinaria. Sehingga mendorong dinding vesica
dan menyebabkan rangsangan untuk buang air kecil sehingga
terjadilah Poliuri, hanya poliuri saja tidak disertai
dengan disuria.2
3. Mengapa bising usus menurun?
Bila bahan yang terinfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan
menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan
timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik
berkurang, sampai timbulnya ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang, dan menyababkan
bising usus menurun.3
4. Apa penyebab muntah?
Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf –
saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf – saraf
ini menerima input dari :
Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema
Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk
darat dan mual karena penyakit telinga tengah)
Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus
gastrointestinal)
Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang
berhubungan dengan cedera fisik)
Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks
dari gag refleks)
Pada penyakit appendisitis ini, input saraf yang
menyababkan terjadinya muntah adalah dari Nervus Vagus
yang membawa sinyal dari pusat infeksi yaitu appendiks
vermiformis.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di
medula oblongata, memperantarai refleks muntah. Bagian
ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan
area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi
di area postrema. Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2
(D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di
CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi
Apendisitis
Definisi Etiologi
Faktor resiko
Tanda dan gejala
Manifestasi klinik
Pemeriksaan penunjang PatofisiologiPenatalaksanaan
Peritonitis
Definisi Etiologi Penatalaksanaan
Pmeriksaan PenunjangFaktor resikoTanda dan gejala
Patofisiologi
yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor
muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim
pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya
reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat
muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf
spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan
refleks muntah.3
STEP 4
STEP 5
1. Apendisitis
2. Peritonitis
3. Mengapa terjadi nyeri alih
STEP 6 : BELAJAR MANDIRI
STEP 7 :
1. Apendisitis
a. faktor risiko terjadinya usus buntu:
Apendisitis paling umum terjadi pada usia 20-30
tahun
Selain itu kebersihan juga mempengaruhi terjadinya
peradangan usus buntu. Pada keadaan lingkungan yang
bersih maka akan mengurangi kemungkinan terjadinya
peradangan pada usus yang juga pada akhirnya
menyebabkan peradangan usus buntu
Pola makan yang tidak sehat. Pola makan yang kurang
serat dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan,
sehingga lebih jauh mengakibatkan usus buntu.4
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah :
akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus
appendisitis akut terutama pada kasus dengan
komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan
meningkat
- Pemeriksaan urin :
untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat
membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding
seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal
yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendicitis4
Pemeriksaan Colok Dubur
Akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12.
Pada appendicitis pelvika akan didapatkan nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.4
Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai
penyebab appendicitis.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.4
USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat
dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita,
juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding
seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.4
Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan
barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis
pada jaringan sekitarnya dan juga untuk
menyingkirkan diagnosis banding.5
CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis.
Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari
appendicitis seperti bila terjadi abses.5
Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera
fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix
dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada
saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan
pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendix.4
Kesimpulan
Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan melalui tiga hal
yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang jika diperlukan. Penegakan diagnosis yang tepat
pada apendisitis dapat mengurangi komplikasi yang terjadi
serta mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas.
c. PENATALAKSANAAN/PENGOBATAN
Penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah
operasi. Pernah dicoba pengobatan dengan antibiotik,
walaupun sembuh namun tingkat kekambuhannya mencapai 35
%. Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-
tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan
pembedahan atau apendektomi, harus diberikan
antibiotika selama 7 – 10 hari.
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah
terjadinya ruptur (pecah), terbentuknya abses atau
peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis).
Pada hampir 15% pembedahan apendiks, apendiksnya
ditemukan normal. Tetapi penundaan pembedahan sampai
ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat
fatal. Apendiks yang terinfeksi bisa pecah dalam waktu
kurang dari 24 jam setelah gejalanya timbul. Bahkan
meskipun apendisitis bukan penyebabnya, apendiks tetap
diangkat. Lalu dokter bedah akan memeriksa perut dan
mencoba menentukan penyebab nyeri yang sebenarnya.
Pembedahan yang segera dilakukan bisa mengurangi
angka kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang
dari rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan penyembuhan
biasanya cepat dan sempurna. Apendiks yang pecah,
prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang lalu, kasus
yang ruptur sering berakhir fatal. Dengan pemberian
antibiotik, angka kematian mendekati nol.2
Untuk memastikan lagi benar atau tidaknya
diagnosis appendisitis akut maka dilakukan penilaian
dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah suatu sistem
pen-skor-an yang digunakan untuk menetapkan ada atau
tidaknya diagnosis appendisitis akut (penyakit usus
buntu). Skor Alvarado merupakan delapan komponen skor
yang terdiri dari enam komponen klinik dan dua komponen
laboratorium dengan total skor maksimal 10. Dibawah
adalah tabel skor Alvarado:
Tabel Skor Alvarado Skor
Gejala Klinis
Nyeri abdominal pindah ke fossa iliaka kanan
Nafsu makan menurun
Mual dan atau muntah
1
1
1Tanda Klinis
Nyeri lepas
Nyeri tekan fossa iliaka kanan
Demam (suhu > 37,2⁰ C)
1
2
1Pemeriksaan Laboratoris
Leukositosis (leukosit > 10.000/ml)
Shift to the left (neutrofil > 75%)
2
1
TOTAL 10
Interpretasi:
Skor 7-10 = Apendisitis akut
Skor 5-6 = Curiga apendisitis akut
Skor 1-4 = Bukan apendisitis akut
2. Peritonitis
DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan
membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera
merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis / kumpulan tanda dan gejala,
diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi,
defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.2
ETIOLOGI
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis
sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen,
tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi
kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi
translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh
limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen
jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang
kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites,
semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses.
Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar
molekul komponen asites pathogen yang paling sering
menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli
40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas,
Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif
yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus
lain 15%,dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga
terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.
Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi
transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri
rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram
positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Peritonitis tersier terjadi karena infeksi
peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau
peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari
kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya
timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula.
Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis
steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan
kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi
kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-
organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).2
PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrosa. Kantong-kantong nanah
(abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitranya
sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita
fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler
dan membrane mengalami kebocoran. Jika defisit cairan
tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,
seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan
selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh
mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan
dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut
menumpuk.Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,
tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk
dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh
permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra
peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak
ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen
usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat
timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus
dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik
(sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus
sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat
berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi
disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren
dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi
peritonitis.7
KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis Bakterial Primer
Merupakan akibat kontaminasi bacterial secara
hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan
focus infeksi dalam abdomen. Penyebab bersifat
monomikrobial, biasanya E. Coli, sreptococus atau
pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi
menjadi dua yaitu:
o Spesifik misalnya Tuberculosis.
o Non spesifik: misalnya pneumonia non
tuberculosis Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis
ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok
resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik,
gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik,
dan sirosis hepatis dengan asites.
b.Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut
atau perforasi tractusi gastrointestinal atau
tractus urinarius. Pada umumnya organism tunggal
tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat
terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya
spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh
bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu
bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
Kuman dapat berasal dari:
Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman
dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya
peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia,
perforasi usus sehingga feces keluar dari
usus.
Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ
intra abdominal, misalnya appendisitis.
c. Peritonitis tersier
Misalnya :
Peritonitis yang disebsbkan oleh jamur
Peritonitis yang sumber kumannya tidak
dapat ditemukan
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh
iritan langsung, sepertii misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine.
d. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
Aseptik/steril peritonitis
Granulomatous peritonitis
Hiperlipidemik peritonitis
Talkum peritonitis6
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis peritonitis dapat menunjukkan
tingkat keparahan dan durasi terjadinya infeksi,
tergantung pada usia dan kondisi umum penderita.
Pemeriksaan fisik dapat dibedakan menjadi tanda-tanda
abdomen yang berasal dari peritonitis dan manifestasi
dari infeksi sitemik.
Keluhan utama berupa nyeri perut yang merupakan
tanda awal terjadinya peritonitis, nyeri perut bisa
terlokalisir ataupun difus, biasanya konstan dan tajam.
Perforasi organ visera menyebabkan nyeri yang mendadak,
dan terlokalisir di daerah terjadinya perforasi, tetapi
dapat menjadi nyeri yang menyeluruh jika terjadi
penyebaran kontaminasi. Nyeri dapat beralih ke daerah
bahu ipsilateral jika peritoneum diafragmatika terkena.
Sering disertai anoreksia, malaise, mual dan muntah.
Biasanya didapatkan juga konstipasi, kecuali jika
didapatkan abses di daerah pelvis (menyebabkan diare).
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium
akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritonium.
Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas
di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai
hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan
penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan
penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif
berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa
nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas,
tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis
dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri
yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum
visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya
(peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative
sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien
yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi
hingga menjadi hipotensi.
Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum
maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding
perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi
penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya
yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk
membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif
palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya
diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi,
atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya
trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau
penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan
penderita geriatric.2
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
a. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan
infeksi intra abdomen menunjukan adanya luokositosis
(>11.000 sel/ µL) dengan adanya shift to the left.
Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien
dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV)
keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah
leukopenia
b. PT, PTT dan INR
c. Test fungsi hati jika diindikasikan
d. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
e. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada
saluran kemih (seperti pyelonephritis, renal stone
disease)
f. Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan
antobiotik
g. BGA, untuk melihat adanya asidosis metabolik
h. Diagnostic Peritoneal Lavage
i. Pemeriksaan cairan peritonium
Pada SBP dapat ditemukan WBC > 250 – 500 sel/µL dengan
dominan PMN merupakan indikasi dari pemberian antibiotik.
Kadar glukosa < 50 mg/dL, LDH cairan peritoneum > serum
LDH, pH < 7,0, amilase meningkat, didapatkan multipel
organisme.6
Radiologis
a. Foto polos
Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk
dan lateral dekubitus) adalah pemeriksaan radiologis
utama yang paling sering dilakukan pada penderita
dengan kecurigaan peritonitis. Ditemukannya gambaran
udara bebas sering ditemukan pada perforasi gaster
dan duodenum, tetapi jarang ditemukan pada perforasi
kolon dan juga appendiks. Posisi setengah duduk
berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawag
diafragma (seringkali pada sebelah kanan) yang
merupakan indikasi adanya perforasi organ.
b. USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada
kuadran kanan atas (abses perihepatik, kolesistitis,
dll), kuadran kanan bawah dan kelainan di daerah
pelvis. Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu
karena penderita merasa tidak nyaman, adanya distensi
abdomen dan gangguan distribusi gas abdomen. USG juga
dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan
peritoneum (asites), tetapi kemampuan mendeteksi
jumlah cairan < 100 ml sangat terbatas. Area sentral
dari rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan
dengan baik dengan USG tranabdominal. Pemeriksaan
melalui daerah flank atau punggung bisa meningkatkan
ketajaman diagnostik. USG dapat dijadikan penuntun
untuk dilakukannya aspirasi dan penempatan drain yang
termasuk sebagai salah satu diagnosis dan terapi pada
peritonitis. (7)
c. CT Scan
Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan
secara klinis, maka CT Scam tidak lagi diperlukan. CT
Scan abdomen dan pelvis lebih sering digunakan pada
kasus intraabdominal abses atau penyakita pada organ
dalam lainnya. Jika memungkinkan, CT Scan dilakukan
dengan menggunakan kontra ntravena. CT Scan dapat
mendeteksi cairan dalam jumlah yang sangat minimal,
area inflamasi dan kelainan patologi GIT lainnya
dengan akurasi mendekati 100%. Abses peritoneal dan
pengumpulan cairan bisa dilakukan aspirasi dan drain
dengan panduan CT Scan.6
PENATALAKSANAAN/PENGOBATAN
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah
focus utama. Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri
anti emetic dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan
muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker
akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi
kadang-kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi
diperlukan.
Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi
antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal,
terapi nutrisi dan metabolic dan terapi modulasi respon
peradangan. Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan
hemodinamik stabil di dada bagian bawah atau abdomen
berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan
tanda peritonitis atau hipovolemia harus menjalani
explorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien
tanpa tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua
luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi
terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoneum, maka
tindakan laparotomi diperlukan.
Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok,
hilangnya bising usus, terdapat darah dalam lambung,
buli-buli dan rectum, adanya udara bebas intraperitoneal
dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan
indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien
harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien
luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotomi6
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut
sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi
komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi dini
Septikemia dan syok septik Syok hipovolemik.
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat
dikontrol dengan kegagalan multi sistemAbses residual
intraperitoneal Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
Adhesi Obstruksi intestinal rekuren6
PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik,
sedangkan pada peritonitis umum prognosisnya mematikan
akibat organisme virulen.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland, W.A Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland
Ed.28 (Alih Bahasa : AlbertusAgung Mahode). Jakarta : EGC
2. Jong, Wim de dan R. Sjamsuhidayat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi Revisi. EGC : Jakarta.
3. Sylvia, A price & Lorrainne. Patofisiologi, edisi 6. Jakarta:
EGC. 2008
4. Kumar. Et.al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 2 Edisi 7.
EGC: Jakarta.
5. Reksoprodjo, S dkk. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Binarupa Aksara : Jakarta.
6. Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006 Prima Medika :
Jakarta
7. M. Wilson, Lorraine.1994. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
top related