Sedimentasi Terpicu Gaya-Berat di Bagian Bawah Formasi Kebo, Mojosari, Bayat, Jawa Tengah
Post on 17-May-2023
0 Views
Preview:
Transcript
1
Sedimentasi Terpicu Gaya-Berat
di Bagian Bawah Formasi Kebo, Mojosari, Bayat, Jawa Tengah
: Sebuah Hasil Sementara
Gravity-Driven Sedimentation Processes
at Lower Kebo Formation, Mojosari, Bayat, Central Java
: A Preliminary Result
Salahuddin1 dan Ramadan Sari
2
Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta
Sari
Formasi Kebo di daerah Mojosari – Trembono, Bayat, Klaten, memiliki makna
stratigrafi yang unik. Lokasi tersebut menyingkapkan bagian terbawah dari Formasi Kebo,
yang merupakan awal dari sekuen volkanisme ‘Andesit Tua’ Oligo-Miosen pulau Jawa.
Struktur sedimen terpicu gaya-berat dengan mekanisme luncuran dan nendatan banyak
dijumpai di bagiah bawah Formasi Kebo di daerah Mojosari, Bayat, mengindikasikan
adanya gangguan stabilitas lereng cekungan pengendapan secara lokal ketika proses
sedimentasi berlangsung. Mekanisme sedimentasi demikian menyebabkan banyaknya
bongkah batuan asing bercampur dalam massa batuan dasar.
Diantara jenis litologi bongkah yang dijumpai antara lain konglomerat kuarsit dan
batugamping nummulitik, menunjukkan bahwa Formasi Kebo memiliki kontak langsung
secara tidak selaras dengan Formasi Wungkal-Gamping dibawahnya. Dijumpai pula
sebaran bongkah lava andesit basal dengan struktur bantal, mengindikasikan lingkungan
sedimentasi terjadi di laut dalam.
Kehadiran intrusi graodiorit di daerah Mojosari serta kandungan tuf dalam massa
batuan dasar menunjukkan bahwa volkanisme ‘Andesit Tua” tidak sepenuhnya dihasilkan
dari magma berkomposisi menengah. Setidaknya data-data tersebut mengindikasikan
adanya kehadiran magma asam di awal sekuen ‘Andesit Tua’.
Secara struktur, batuan Formasi Kebo di daerah Mojosari mengalami pensesaran
anjak dan lipatan yang berasosiasi dengannya, menunjukkan kemungkinan adanya struktur
kompresif pernah bekerja dalam pengangkatan Pegunungan Baturagung, sebagaimana
yang diduga oleh beberapa peneliti terdahulu (Bothe, 1929; Pannekoek, 1949; Van
Bemmelen, 1949; Pramumijoyo et al., 2004; Hall et al., 2007; dan Husein et al., 2008).
Latar Belakang
Formasi Kebo dalam stratigrafi Pegunungan Selatan menempati peran yang unik.
Formasi Kebo diduga berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal dan tersusun atas endapan
klastika gunungapi pada lingkungan laut. Formasi ini dianggap menumpang secara tidak
selaras, meski di lapangan tidak pernah dijumpai secara langsung, diatas Formasi
Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Tengah hingga Oligosen Awal yang tersusun oleh
batuan karbonat dan klastika endapan lingkungan transisi. Menutupi Formasi Kebo secara
selaras adalah Formasi Butak yang juga tersusun oleh endapan klastika gunungapi dasar
laut, dan selanjutnya berturut-turut disusul oleh Formasi Semilir dan Formasi Nglanggeran
1 Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi FT UGM, email: shddin@gmail.com 2 Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM Angkatan 2008
2
dengan karakter volkanik yang semakin kuat hingga ke Kala Miosen Tengah, untuk
kemudian digantikan oleh dominasi endapan terumbu dan klastik karbonat pada formasi
Oyo, Wonosari, hingga Kepek. Secara tradisional, formasi Kebo, Butak, Semilir, dan
Nglanggeran dikelompokkan sebagai bagian dari Formasi Andesit Tua (Van Bemmelen,
1949). Sebagai awal dari dominasi endapan volkanik, Formasi Kebo memegang kunci
dalam memahami dinamika sedimentasi dan volkanisme di Pegunungan Selatan, terutama
di awal aktifnya volkanisme Andesit Tua.
Di daerah Bayat, Klaten, Formasi Kebo tersingkap cukup baik di daerah yang
bermorfologi perbukitan landai, pada lereng utara Pegunungan Baturagung. Dari peneliti
terdahulu, endapan klastika gunungapi Formasi Kebo cenderung memiliki struktur sedimen
berasosiasi dengan lingkungan pengendapan laut dalam (Surono, 2008). Di beberapa
tempat, formasi ini beraososiasi dengan batuan beku basal dengan genesa yang berbeda-
beda. Di Nampurejo, dijumpai lava bantal berumur Oligosen Awal (Soesilo, 2003),
sedangkan di daerah Tegalrejo dijumpai sebagai retas (dyke) berumur Miosen Awal
(Soeria-Atmadja drr., 1994). Kehadiran lava bantal Nampurejo diduga menjadi bagian
dasar dari Formasi Kebo, meskipun antara keduanya kemungkinan besar bersifat tidak
selaras karena perbedaan umur yang cukup jauh (Surono, 2008).
Spekulasi akan kehadiran lava bantal Nampurejo sebagai awal dari aktivitas
volkanisme Andesit Tua tampaknya kurang didukung oleh data lapangan yang cukup kuat.
Lava Nampurejo tidak dijumpai di bagian paling bawah Formasi Kebo. Sebaran lava
bersifat terkumpul dan dikelilingi oleh batuan klastika gunungapi Formasi Kebo yang
sangat terdeformasi, dicirikan oleh kedudukan perlapisan yang relatif tidak teratur dengan
kemiringan yang besar. Selain itu, Formasi Kebo bagian bawah juga menunjukkan
tingginya intensitas deformasi sin-sedimentasi berupa banyaknya kehadiran struktur
nedatan. Fakta-fakta tersebut mengindikasikan bahwa kehadiran lava bantal Nampurejo
dapat saja bersifat alochton dan ditransportasikan ke lingkungan pengendapan Formasi
Kebo baik secara sedimenter ataupun tektonik.
Selama ini, sebaran batuan Formasi Kebo di daerah Mojosari juga mengundang
perhatian dari geometri kedudukan perlapisannya. Di beberapa tempat dijumpai adanya
perlapisan dengan kedudukan kemiringan yang besar dan hampir tegak. Bothe (1929) dan
Van Bemmelen (1949) menginterpretasikan kehadiran antiklin dengan sumbu yang
memanjang relatif berarah timur-barat melewati daerah Mojosari (dibawah permukaan)
dengan adanya bukti sesar naik di bagian utara Mojosari. Kedua peneliti tersebut menduga
terbentuknya lipatan dan sesar naik Mojosari terkait dengan pengangkatan Pegunungan
Selatan di Pleistosen Tengah.
Penelitian ini dibiayai oleh Jurusan Teknik Geologi FT UGM dan dilaksanakan
semenjak Bulan Mei 2011.
Maksud dan Tujuan Penelitian
Mencermati kondisi geologi demikian, penelitian ini dilaksanakan untuk
mengetahui secara terperinci susunan batuan dan proses sedimentasi Formasi Kebo bagian
bawah dan konfigurasi serta mekanisme struktur geologi yang mengontrol penyebaran
formasi tersebut. Dengan demikian, kondisi geologi yang berkembang selama
pengendapan Formasi Kebo bagian bawah dapat dipahami dengan lebih baik, berikut
sebaran geologi struktur yang menentukan distribusi batuan di permukaan serta morfologi
saat ini.
3
Geologi Daerah Penelitian
Nama Kebo Beds diperkenalkan pertamakali oleh Bothe (1929). Dalam
perkembangan ilmu geologi di Mandala Pegunungan Selatan, Formasi Kebo ini dianggap
penting karena merupakan awal dari peningkatan kegiatan gunung api di Jawa bagian
tengah (Surono, 2008).
Formasi Kebo tersebar di bagian lereng utara Pegunungan Baturagung, sepanjang
sekitar 20 km (Gambar 1), mulai dari Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah,
ke barat sampai Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kontak antara Formasi Kebo dengan satuan yang mengalasinya tidak pernah ditemukan,
sehingga hubungannya dengan satuan yang lebih tua di pegunungan ini tidak diketahui
dengan pasti.
(Surono, 2008) Gambar 1. Peta geologi Pegunungan Baturagung dan Perbukitan Jiwo (Surono, 2008, dengan perubahan).
Kotak hitam adalah daerah penelitian.
Bothe (1929) memerinci bagian bawah formasi ini sebagai Kebo Beds yang terdiri
atas serpih, batupasir, konglomerat halus, dengan sisipan retas-lempeng (sill) diabas. Kebo
Beds mempunyai lokasi tipe di Gunung Kebo.
Pada jalur pengamatan stratigrafi di bagian timur, Surono (2008) menguraikan
bahwa Formasi Kebo didominasi oleh batuan klastika, berupa merupakan perselingan
antara batupasir dan batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf, dan
serpih. Sebagian dari batupasir dan batulempung bersifat gampingan dan setempat
ditemukan konglomerat dan breksi polimik. Bagian tengah formasi ini didominasi oleh
batupasir kerikilan. Secara setempat di bagian bawah dijumpai lava bantal dengan
komposisi basal, yang berselingan dengan batupasir vulkanis berwarna hitam pekat. Lava
bantal ini dinamai Anggota Nampurejo oleh Samodra dan Sutisna (1997), atau belakangan
disebut Anggota Santren oleh Smyth (2005).
Umur Formasi Kebo bervariasi dari beberapa peneliti. Formasi ini diduga
terbentuk antara Miosen Awal – Miosen Tengah (Bothe, 1929; Surono drr., 2006) atau
Oligosen Akhir – Miosen Awal (Sumarso dan Ismoyowati, 1975; Rahardjo, 2007).
Demikian pula untuk penentuan umur secara mutlak. Lava bantal Nampurejo menunjukkan
umur 33,15 – 31,29 juta tahun atau Oligosen Awal (Soesilo, 2003), retas Tegalrejo
menunjukkan umur 24,9 – 23,6 atau Miosen Awal (Soeria-Atmadja drr., 1994), kristal tuf
Santren menunjukkan umur 25,7 – 17,4 atau Miosen Awal (Smyth, 2005).
Ditemukannya lava bantal, bioturbasi, fosil koral, dan foraminifera di dalam
Formasi Kebo, menunjukkan bahwa formasi ini diendapkan pada lingkungan laut. Lava
bantal umumnya terbentuk pada dasar laut dalam. Ketebalan air laut di atasnya cukup kuat
4
untuk menekan aliran lava panas sehingga membentuk struktur seperti bantal. Struktur
sedimen yang ditemukan dalam Formasi Kebo berupa perlapisan bersusunan normal,
perarian sejajar, gerusan (scour) dan perarian bergelombang, serta penendatan (slump).
Sebagian besar struktur sedimen tersebut menunjukkan adanya pengaruh gaya berat dalam
transportasi sedimen.
Surono (2008) lebih lanjut membagi fasies sedimentasi laut dalam Formasi Kebo
dengan merujuk kepada klasifikasi Mutti (1992), bahwa bagian bawah Formasi Kebo
umumnya mempunyai fasies yang didominasi oleh fasies distal, dan berubah secara
berangsur ke arah atas dengan dominasi fasies proximal.
Hipotesis
Formasi Kebo dicirikan oleh endapan klastika gunungapi dasarlaut dari tipe magma
dengan komposisi intermediate-asam.
Kehadiran lava bantal secara lokal dengan komposisi basal bersifat alokhton dan
ditempatkan dengan proses sedimentasi gaya-berat.
Stuktur sedimen nendatan dengan material bongkah berasosiasi dengan Formasi
Wungkal-Gamping mengindikasikan adanya kontak langsung antara Formasi Kebo
dengan formasi yang mengalasinya.
A. Rejim tektonik yang pada saat pengangkatan bagian bawah Formasi Kebo di daerah
Mojosari adalah bersifat kompresif dan terkait dengan pengangkatan Pegunungan
Baturagung secara keseluruhan.
Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan dengan jumlah dan kualitas data yang optimum serta
menggunakan waktu penelitian secara efektif, metode penelitian yang dipilih adalah
pemetaan geologi rinci dengan skala 1:12500 dan pembuatan penampang stratigrafi terukur
secara terperinci dengan skala 1:100, pengambilan contoh batuan terpilih di lapangan dan
analisis laboratorium.
Penampang stratigrafi, yang dibuat berdasarkan hasil pemerian dan pengukuran di
lapangan, dibuat untuk mengetahui secara tepat proses sedimentasi selama pengendapan
Formasi Kebo bagian bawah dari waktu ke waktu (kaidah ilmu sedimentologi proses3).
Dari penampang stratigrafi tersebut kemudian dilakukan pengelompokkan fasies
sedimenter untuk membangun unit-unit litofasies (analisis litostratigrafi4) yang
tergabungkan berdasarkan kesamaan ciri fisik dari proses dan lingkungan sedimentasi yang
sama.
Pembuatan peta geologi terperinci digunakan untuk mengetahui penyebaran seluruh
batuan secara lateral, diperoleh dari interpolasi jalur stratigrafi terukur dengan cara korelasi
unit-unit litofasies dan mengurutkannya mengikuti kaidah hukum V terhadap perpotongan
topografi5. Dari peta tersebut, didapatkan gambaran 3 dimensi terhadap hubungan
keruangan dan stratigrafi antar unit litologi. Dengan ditambahkan data-data struktur
3 Ulasan lebih lanjut tentang metodologi Sedimentologi Proses diulas secara bernas oleh Shanmugam (2006),
Deep-Water Processes and Facies Models: Implications for Sandstone Petroleum Reservoirs, Handbook of
Petroleum Exploration and Production no. 5; hal 9-17. 4 Kajian litostratigrafi diringkas oleh Boggs (2006), Principles of Sedimentology and Stratigraphy, 4th ed.,
hal. 421-427. 5 Penarikan batas unit litologi harus mengikuti Hukum V, yang diulas oleh Ragan (1973), Structural
Geology, an Introduction to Geometrical Techniques, 2nd ed., John Wiley & Sons, New York, hal 15-20.
5
geologi yang diukur selama melakukan lintasan-lintasan stratigrafi, maka peran struktur
dapat dijabarkan dalam penyebaran batuan serta pembentukan morfologi daerah penelitian.
Hasil
Pemetaan geologi di daerah Mojosari berhasil memetakan dua unit utama batuan
sedimen volkaniklastik penyusun Formasi Kebo bagian bawah, satu intrusi, dan endapan
koluvial (Gambar 2).
Gambar 2. Peta geologi Mojosari.
Dari penampang geologi yang direkonstruksi pada Gambar 3, diperoleh hubungan
stratigrafi antara satuan litologi. Satuan perulangan batupasir – tuf yang merupakan batuan
tertua tersingkap di Mojosari, ditumpangi secara selaras oleh satuan perselingan batupasir
– tuf. Satuan batuan yang kedua tersebut memiliki banyak bongkah-bongkah batuan yang
bersifat asing (alokhton) dengan berbagai jenis dan ukuran. Bongkah alokhton dari jenis
batuan sedimen dijumpai konglomerat kuarsit, batugamping nummulitik, batupasir,
batupasir karbonatan, batupasir tufan, batupasir kuarsa tufan, dan batupasir kuarsa. Adapun
bongkah alokhton dari jenis batuan beku adalah andesit basalt dan syenit. Unit perulangan
batupasir – tuf diterobos oleh batuan beku granodiorit kaya-kuarsa.
Seluruh batuan mengalami deformasi yang bersifat kompresif membentuk struktur
lipatan, diberinama Antiklin Mojosari dan Sinklin Mojosari, serta tersesarkan di bagian
utaranya oleh Sesar Anjak Geneng. Secara umum, kedudukan struktur geologi memiliki
pelamparan berarah relatif barat-timur, mengindikasikan adanya gaya kompresi dari arah
tegaklurusnya, yaitu selatan-utara.
6
Gambar 3. Penampang geologi Mojosari. Nomer menunjukkan lokasi sampel petrografi, dengan kode (p)
untuk lokasi terproyeksi karena berada tidak tepat pada jalur penampang geologi. Tampak Sesar
Anjak Geneng dan lipatan Mojosari.
Diskusi
Secara stratigrafi, bagian bawah Formasi Kebo tersusun atas dua komponen utama,
batupasir dan tuf. Kandungan tuf menunjukkan adanya pengaruh vulkanik yang cenderung
bersifat asam dan aktif saat sedimentasi berlangsung. Hasil penelitian ini masih belum
mencapai tahap penentuan apakah material vulkanik yang terlibat dalam sedimentasi
bersifat primer (langsung dari proses erupsi) atau bersifat sekunder epiklastik (rombakan
dari hasil erupsi sebelumnya).
Di bagian paling bawah, kedua batuan tersebut bersifat berulang dengan ketebalan
lapisan yang signifikan. Kearah atas, hubungan kedua batuan tersebut berkembang menjadi
semakin repetitif hingga menjadi saling berselingan dalam lapisan-lapisan tipis. Hal ini
menunjukkan adanya perubahan lingkungan, dari lingkungan yang dekat dengan sumber
sedimen (kedua lapisan berulang dengan ketebalan yang jelas), dimana jumlah pasokan
sedimen terjaga kuantitasnya, menjadi lingkungan yang relatif lebih jauh dari sumber.
Lingkungan yang terakhir ini menyebabkan kedua batuan berselingan secara tipis-tipis. Di
lingkungan sedimentasi laut, perubahan jarak terhadap sumber sedimen dapat pula
ditafsirkan sebagai perubahan kedalaman lingkungan pengendapan, dari yang dangkal
(dekat sumber) menjadi dalam (jauh dari sumber).
Berkembang ke arah unit litologi paling atas, yaitu unit perselingan batupasir – tuf,
hadir banyak bongkah batuan asing (alokhton) di dalam unit tersebut, yang tersebar hampir
di seluruh unit tersebut. Bongkah-bongkah tersebut menunjukkan asosiasinya dengan
Formasi Wungkal-Gamping (Sumarso dan Ismoyowati, 1975), yang berumur lebih tua
daripada Formasi Kebo. Konglomerat kuarsit dan batugamping nummulitik umumnya
dijumpai di bagian bawah Formasi Wungkal-Gamping. Adapun batupasir kuarsa maupun
batupasir karbonatan serta bongkah batuan sedimenter lainnya merupakan anggota dari
Formasi Wungkal-Gamping. Kondisi ini menunjukkan bahwa Formasi Kebo pernah
kontak dengan Formasi Wungkal-Gamping dan proses sedimentasi yang terjadi saat itu
mampu mengerosi dan memindahkan sebagian penyusun Formasi Wungkal-Gamping.
7
Kondisi bongkah-bongkah tersebut sebagian masih menunjukkan massa yang
koheren tanpa adanya deformasi internal. Hal ini kemungkinan mengindikasikan bahwa
bongkah-bongkah tersebut bergerak dengan sifat translasional berupa luncuran (sliding),
dari suatu lingkungan laut dalam (Shanmugam, 2006), dimana bongkah-bongkah alokhton
tersebut berasal dari lingkungan laut yang lebih dangkal (Twenhofel, 1932).
Interpretasi perubahan mendalamnya lingkungan sedimentasi dari unit perulangan
batupasir – tuf ke arah unit perselingan batupasir – tuf, berdasarkan data struktur sedimen
dan kehadiran bongkah alokhton, membutuhkan satu landasan perubahan ruang
akomodasi, baik berupa adanya kenaikan muka airlaut, maupun pengaruh tektonik. Hasil
penelitian ini belum menjangkau hal tersebut, untuk melihat faktor geologi yang paling
berperan terhadap perubahan fasies dan proses sedimentasi yang terjadi di bagian bawah
Formasi Kebo.
Sejauh ini sekuen ‘Andesit Tua’ dianggap dihasilkan oleh aktivitas magmatisme
dan volkanisme magma bersifat menengah-basal (Van Bemmelen, 1949). Namun
kehadiran intrusi granodiorit di bagian utara daerah penelitian mengindikasikan kehadiran
aktivitas magma asam pada awal sekuen ‘Andesit Tua’. Belum dapat diketahui secara pasti
apakah intrusi tersebut hadir ketika sedimentasi Formasi Kebo atau setelahnya,
dikarenakan tubuh intrusi yang hanya memotong satu unit litologi saja dari Formasi Kebo
di daerah penelitian. Belum ada laporan lain mengenai kehadiran granodiorit di Formasi
yang lebih muda, sehingga sulit untuk menarik suatu korelasi kasar dengan umur relatif
yang lebih pasti. Smyth (2007) mengusulkan kehadiran ‘supervolcano’ untuk pembentukan
Formasi Semilir dengan komposisi magma asam. Namun apakah granodiorit yang hadir di
Mojosari dapat dianggap sebagai bagian dari volkanisme Semilir, hal ini masih belum
dapat disimpulkan secara dini dan penelitian ini masih memerlukan beberapa data
tambahan untuk memperkuat dugaan tersebut.
Kehadiran batuan beku andesit basal dengan struktur lava bantal di daerah Mojosari
memiliki posisi geologi yang unik. Kehadirannya dapat menjelaskan posisi lingkungan laut
dalam, karena lava bantal memang lazimnya terbentuk di lingkungan laut dalam. Namun
komposisinya yang cenderung menengah-basal, yang menjadi ciri dari ‘Andesit Tua’
sepintas tidak cocok dengan lingkungan sedimen volkanik klastik dimana dia berada, yang
memiliki kecenderungan produk magmatisme asam. Keberadaannya sebagai bongkah
alokhton di bagian bawah Formasi Kebo dapat saja menunjukkan umurnya yang lebih tua,
namun dapat pula diinterpretasikan sebagai bongkah autokhton, dimana dia menjadi
bongkah di lingkungan sedimentasinya sendiri dengan perbedaan umur yang tidak terlalu
jauh daripada batuan yang melingkupinya. Penelitian ini belum menjangkau suatu
kesimpulan untuk permasalahan tersebut, karena masih memerlukan beberapa data
lapangan terkait kontak satuan lava bantal ini dengan batuan sekitarnya yang susah diamati
di lapangan karena terkendala pemukiman dan tingkat pelapukan yang tinggi.
Stuktur geologi berupa lipatan Mojosari belum pernah disinggung oleh para peneliti
sebelumnya. Bothe (1929) dan Van Bemmelen (1949) menginterpretasikan
berkembangnya Antiklin Watugajah di tenggara Perbukitan Jiwo, namun sumbu antiklin
tersebut tidak mencapai Mojosari, melainkan berhenti di timurnya (Gambar 4). Diduga
struktur Antiklin Mojosari merupakan kelanjutan dan kemenerusan Antiklin Watugajah ke
arah barat. Meski demikian, adanya Sesar Anjak Geneng (yang juga telah diidentifikasi
oleh Bothe, 1929) di bagian utara Mojosari mengindikasikan bahwa struktur antiklin
terkait dengan kemunculan sesar anjak tersebut. Hal ini dapat diterangkan dengan proses
peliukan (roll-over) pada bagian blok menggantung (hanging wall) dari suatu sesar anjak
ke arah utara, dimana kehadiran sesar anjak antitetik ke arah selatan menyebabkan
terjadinya suatu sinklin di bagian puncak (crestal downwarp) (lihat reksonstruksi
8
penampang geologi pada Gambar 3). Waktu deformasi tektonik yang terjadi diduga pada
Pleistosen Tengah, ketika pengangkatan Pegunungan Selatan Jawa Timur terjadi secara
regional (Van Bemmelen, 1949) dan membentuk fisiografi Pegunungan Selatan
sebagaimana tampak pada saat ini. Khusus untuk daerah Mojosari, kondisi demikian juga
berlaku, dimana proses pensesaran dan perlipatan diduga mengontrol bentukan morfologi
perbukitan Mojosari.
Gambar 4. Peta geologi Jiwo dan sekitarnya menurut Bothe (1929). Di tenggara Perbukitan Jiwo terdapat
Antiklin Watugajah yang berarah timur – barat dan berhenti di timur Mojosari (kotak merah –
daerah penelitian).
Kesimpulan Sementara
Bagian bawah Formasi Kebo terendapkan dengan pengaruh volkanisme asam, dengan
dominasi volkaniklastik, dan terjadi perubahan lingkungan pengendapan yang
cenderung mendalam.
Bagian bawah Formasi Kebo mengerosi Formasi Wungkal-Gamping, ditandai dengan
banyak bongkah alokhton yang berasosiasi dengan formasi yang lebih tua tersebut.
Hal ini menunjukkan kedua formasi tersebut kontak secara langsung dan bersifat tidak
selaras.
Berdasarkan sifat koherensi materialnya, bongkah-bongkah alokhton bergerak dengan
mekanisme luncuran di lingkungan laut dalam.
Kehadiran lava bantal yang bersifat basaltik dalam Formasi Kebo dapat dianggap
sebagai bongkah autokhton, karena lingkungan terbentuknya telah berada di laut
dalam.
Kehadiran sesar anjak dan lipatan di daerah Mojosari diduga terkait dengan
pengangkatan Pegunungan Selatan di Pleistosen Tengah yang bersifat kompresif.
9
Daftar Pustaka
Boggs, Jr., S. (2006) Principles of Sedimentology and Stratigraphy, 4th ed., Pearson
Prentice Hall, New Jersey, 676 p.
Bothe, A.Ch.D., 1929. Djiwo Hills and Southern Range. Fourth Pacific Science Congress
Excursion Guide, 14h.
Rahardjo, W., 2007. Forminiferal biostratigraphy of Southern Mountains Tertiary rocks,
Yogyakarta Special Province. Prosiding “Potensi geologi Pegunungan Selatan
dalam pengembangan wilayah”, Yogyakarta 27-29 November 2007.
Ragan, D.M. (1973) Structural Geology, an Introduction to Geometrical Techniques, 2nd
ed., John Wiley & Sons, New York, 201 p.
Samodra, H. dan Sutisna, K. 1997. Peta Geologi Lembar Klaten (Bayat), Jawa, skala
1:50.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Shanmugam, G. (2006) Deep-Water Processes and Facies Models: Implications for
Sandstone Petroleum Reservoirs, Handbook of Petroleum Exploration and
Production no. 5; Elsevier, Amsterdam, 500 p.
Smyth, H., 2005. Eocene to Miocene basin history and volcanic activity in East Java,
Indonesia. PhD thesis, the University of London, 470h.
Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgopawiro, H., Polve, M., dan Priadi, B.,
1994. Tertiary magmatic belts in Java. Journal of SE Asian Earth Sciences, 9, h.13-
27.
Soesilo, D., 2003. Batuan kristalin dalam pandangan Sandi Stratigrafi Indonesia 1996
(Baru): Penerapannya di Bayat & Karangsambung, Jawa Tengah. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung, 20-21 Oktober 2003.
Sumarso dan Ismoyowati, T., 1975. A contribution to the stratigraphy of the Jiwo Hills and
their southern suroundings. Proceedings of 4th Annual Convention of Indonesia
Petroleum Association, Jakarta, II, h.19-26.
Surono, 2008. Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di
Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan. Jurnal Geologi Indonesia,
3 (4), h.183-193
Surono, Hartono, U., dan Permanadewi, S., 2006. Posisi stratigrafi dan petrogenesis Intrusi
Pendul, Perbukitan Jiwo, Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jurnal Sumber
Daya Geologi, XVI (5), h.302-311.
Twenhofel, W.H., 1932. Treatise on Sedimentation, 2nd
ed., The Williamas & Wilkins
Company, Baltimore, p. 926.
Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA. Martinus Nijnhoff, The
Hague, 732 h.
10
Lampiran Petrografi
LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FT UGM
LOKASI SATUAN
Mojosari, Bayat -
Analisa sayatan tipis batuan No. Peraga BBU-R13 Perbesaran
Pemeriksa : Ramadan Sari Nama
Lapangan
Batuan beku
intrusi 50x
Jenis batuan : Batuan beku Nama
Petrografi
Quartz-rich granodiorite
(IUGS)
Nikol sejajar
Nikol bersilang
Deskripsi petrografi: Sayatan berwarna putih kecoklat – coklatan (nikol sejajar) dan hitam keabu – abuan (nikol bersilang). Mempunyai tekstur
faneritik dan perlitik. Ukuran butir 0,03 – 0,5 mm dengan komposisi mineral kuarsa, albit, klinopiroksen, mineral pengotor dan mineral opak.
Komposisi mineralogy
1. Kuarsa (F9) Berwarna putih (nikol sejajar),
warna interferensi putih, berukuran 0,3-0,5 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief rendah dan tidak mempunyai pleokroisme serta tidak mempunyai belahan. Kelimpahan 85%.
2. Albit (F14) Berwarna putih (nikol sejajar),
warna interferensi putih, berukuran 0,1-0,3 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief rendah dan tidak mempunyai pleokroisme. Mempunyai kembaran dan belahan dua arah dan kedudukan gelapan miring. Kelimpahan 6%.
3. Klinopiroksen (F12) Berwarna kuning (nikol sejajar), warna interferensi kuning, berukuran 0,2-0,3 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief rendah dan tidak mempunyai pleokroisme. Mempunyai belahan dua arah
dan kedudukan gelapan miring. Kelimpahan 4%.
4. Mineral pengotor (A6) Berwarna hitam (nikol sejajar), warna interferensi kuning, berukuran 0,03-0,3 mm. Mempunyai relief sedang, belahan tidak terlihat.
Kelimpahan 3%.
5. Mineral opak (A12) Berwarna hitam (nikol sejajar), warna interferensi hitam, berukuran 0,1-0,3 mm. Mempunyai relief tinggi, belahan tidak terlihat. Kelimpahan 2%.
11
LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FT UGM
LOKASI SATUAN
Mojosari, Bayat -
Analisa sayatan tipis batuan No. Peraga BBM-M46 Perbesaran
Pemeriksa : Ramadan Sari Nama
Lapangan Diorite 50x
Jenis batuan : Batuan beku Nama
Petrografi Syenite (IUGS)
Nikol sejajar
Nikol bersilang
Deskripsi petrografi: Sayatan berwarna putih kecoklat – coklatan (nikol sejajar) dan hitam keabu – abuan (nikol bersilang). Mempunyai tekstur fanero porfiritik. Ukuran butir 0,1 – 4 mm dengan komposisi mineral sanidin, mineral pengotor, kuarsa dan mineral opak.
Komposisi mineralogy 1. Sanidin (D15)
Berwarna putih (nikol sejajar), warna interferensi putih, berukuran 1-4 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief rendah dan tidak mempunyai pleokroisme. Mempunyai kembaran dan belahan dua arah
dan kedudukan gelapan miring. Kelimpahan 70%.
2. Mineral pengotor (E22) Berwarna hitam (nikol sejajar), warna interferensi kuning, berukuran 0,5-0,3 mm. Mempunyai relief sedang, belahan tidak terlihat.
Kelimpahan 25%.
3. Kuarsa (G10) Berwarna putih (nikol sejajar), warna interferensi putih, berukuran 0,5-1 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief rendah dan tidak mempunyai pleokroisme serta
tidak mempunyai belahan. Kelimpahan 4%.
4. Mineral opak (I2) Berwarna hitam (nikol sejajar), warna interferensi hitam, berukuran 0,1-0,3 mm. Mempunyai relief tinggi, belahan tidak terlihat. Kelimpahan 1%.
12
LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FT UGM
LOKASI SATUAN
Mojosari, Bayat -
Analisa sayatan tipis batuan No. Peraga BBN-R27 Perbesaran
Pemeriksa : Ramadan Sari Nama
Lapangan Lava Bantal 50x
Jenis batuan : Batuan beku Nama
Petrografi Basalt andesite (IUGS)
Nikol sejajar
Nikol bersilang
Deskripsi petrografi: Sayatan berwarna putih kecoklat –
coklatan (nikol sejajar) dan hitam keabu – abuan (nikol bersilang). Mempunyai tekstur fanero porfiritik dan variolitik basalt. Ukuran butir 0,1 – 2 mm dengan komposisi mineral andesin, klinopiroksen, mineral pengotor dan mineral opak.
Komposisi mineralogy
1. Andesin (F8) Berwarna putih (nikol sejajar), warna interferensi putih, berukuran 0,1-2 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief rendah dan tidak mempunyai pleokroisme. Mempunyai kembaran dan belahan dua arah dan kedudukan
gelapan miring. Kelimpahan 92%.
2. Klinopiroksen (H5) Berwarna merah (nikol sejajar), warna interferensi merah, berukuran 0,5-1 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief rendah dan tidak
mempunyai pleokroisme. Mempunyai belahan dua arah dan kedudukan gelapan miring. Kelimpahan 5%.
3. Mineral pengotor (I20) Berwarna hitam (nikol sejajar), warna interferensi kuning, berukuran 0,1-0,2 mm.
Mempunyai relief sedang, belahan tidak terlihat. Kelimpahan 2%.
4. Mineral opak (C10) Berwarna hitam (nikol sejajar), warna interferensi hitam, berukuran 0,1-0,3 mm. Mempunyai relief tinggi, belahan
tidak terlihat. Kelimpahan 1%.
13
LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FT UGM
LOKASI SATUAN
Mojosari, Bayat -
Analisa sayatan tipis batuan No. Peraga KK M174 Perbesaran
Pemeriksa : Ramadan Sari Nama
Lapangan
Konglomerat
kuarsit 50x
Jenis batuan : Batuan sedimen Nama
Petrografi Lithic arenite (Pettijohn,1987)
Nikol sejajar
Nikol bersilang
Deskripsi petrografi: Sayatan berwarna putih kecoklat – coklatan
(nikol sejajar) dan hitam keabu – abuan (nikol bersilang). Mempunyai fabric grain supported, dan hubungan antar butir point contact dan long contact. Ukuran butir <0,03 – 2 mm dengan komposisi mineral kuarsa polykristalin, mineral pengotor dan mineral opak, serta terdapat litik dengan komposisi kuarsa dan plagioklas.
Komposisi mineralogy
1. Kuarsa polykristalin (E4) Berwarna putih (nikol sejajar), warna interferensi putih, berukuran 0,1-2 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief rendah dan tidak mempunyai pleokroisme serta
tidak mempunyai belahan. Kelimpahan 50%.
2. Litik sedimen (C13) Berwarna coklat (nikol sejajar), warna interferensi hitam, berukuran 0,5-2 mm. Mempunyai relief tinggi dan di dalamnya terdapat mineral
kuarsa dan plagioklas berukuran 0,1-0,2 mm sehingga sulit diamati lebih jauh terutama untuk jenis plagioklasnya. Kelimpahan 30%.
3. Mineral pengotor (G19) Berwarna hitam (nikol sejajar), warna interferensi kuning,
berukuran 0,1-0,5 mm. Mempunyai relief sedang, belahan tidak terlihat. Kelimpahan 10%.
4. Matriks (G22) Berwarna putih keabu – abuan (nikol sejajar), warna interferensi putih, relief rendah, berukuran
<0.03 mm. Kelimpahan 5%
5. Mineral opak (A15) Berwarna hitam (nikol sejajar), warna interferensi hitam, berukuran 0,1-0,2 mm. Mempunyai relief tinggi, belahan tidak terlihat. Kelimpahan 5%.
14
LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FT UGM
LOKASI SATUAN
Mojosari, Bayat -
Analisa sayatan tipis batuan No. Peraga BG M80 Perbesaran
Pemeriksa : Ramadan Sari Nama
Lapangan
Batugamping
pasiran 50x
Jenis batuan : Batuan karbonat Nama
Petrografi Grainstone (Embry & Klovan, 1971)
Nikol sejajar
Nikol bersilang
Deskripsi petrografi: Sayatan berwarna merah kecoklat –
coklatan (nikol sejajar) dan hitam kecoklat – coklatan (nikol bersilang). Mempunyai fabric grain supported, dan hubungan antar butir point contact dan long contact. Ukuran butir <0,03 – 2 mm dengan komposisi mineral dolomit, albit, klinopiroksen, mineral pengotor dan mineral opak.
Komposisi mineralogy
6. Kalsit (F3) Berwarna merah (nikol sejajar), warna interferensi merah, berukuran 0,5-2 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief sedang dan tidak mempunyai pleokroisme. Belahan tidak dapat teramati. Kelimpahan
50%.
7. Kuarsa (E9) Berwarna putih (nikol sejajar), warna interferensi putih, berukuran 0,2-1 mm dan berbentuk prismatik. Mempunyai relief rendah dan tidak mempunyai pleokroisme serta tidak mempunyai belahan. Kelimpahan
20%.
8. Litik sedimen (F18) Berwarna coklat (nikol sejajar), warna interferensi hitam, berukuran 0,5-2 mm. Mempunyai relief tinggi dan di dalamnya terdapat mineral kuarsa dan plagioklas berukuran 0,1-0,2 mm sehingga sulit diamati lebih jauh
terutama untuk jenis plagioklasnya. Kelimpahan 25%.
9. Skeletal grains (D1) Berwarna coklat (nikol sejajar), warna interferensi coklat, berukuran 0,5-1,5 mm dan mempunyai relief sedang. Kelimpahan 10%.
10. Mikrit (I5) Berwarna merah kecoklat – coklatan (nikol sejajar), warna interferensi merah, relief rendah, berukuran <0.03 mm. Kelimpahan 5%
11. Nummulites (C15) Berwarna coklat (nikol sejajar), warna interferensi coklat, berukuran 0,5-1 mm dan mempunyai relief sedang. Kelimpahan 2%.
12. Mineral opak (B22) Berwarna hitam (nikol sejajar), warna interferensi hitam, berukuran 0,1-0,3 mm. Mempunyai relief tinggi, belahan tidak terlihat. Kelimpahan 2%.
top related