Riset Evaluasi Jampersal
Post on 07-Aug-2015
2361 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
i
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
RISET EVALUATIF
IMPLEMENTASI JAMINAN PERSALINAN
Penyusun Laporan
Tety Rachmawati dkk
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Telp. 031-3528748/ Faks. 031-3528749
JANUARI 2013
ix
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Syukur Alhamdulillah atas selesainya laporan
penelitian ini. Kami seluruh Tim Peneliti “Riset Evaluatif Implementasi Jaminan
Persalinan” menyadari bahwa hasil penelitian ini jauh dari sempurna, masih
diperlukan masukkan untuk sempurnanya hasil penelitian ini.
Laporan ini, memuat uraian analisis implementasi Jaminan Persalinan
sehingga diharapkan diperoleh gambaran pelaksanaan kebijakan Jampersal di
daerah, akseptabilitas Dinas Kesehatan, Provider (RS dan Puskesmas),
masyarakat sebagai sasaran dan TOMA, TOGA dan lintas sektor terhadap
kebijakan Jampersal, ketersediaan dan akses terdapapt sarana dan prasarana
serta SDM dalam mendukung Jampersal serta utilisasi Jampersal dalam
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi masukkan dan pertimbangan pemangku kebijakan untuk
mengambil keputusan kebijakan Jampersal. Dari penelitian di 14 Kabupaten/Kota
ditemukan variasi implementasi Jampersal dan akseptabilitas pemangku
kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provider pelayanan kesehatan dan sasaran
Jampersal yang diharapkan dapat memberikan wacana ke depan kebijakan
Jampersal.
Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penyusunan laporan ini. Saran serta kritik membangun sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga
hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengelola program baik di Dinas
Kesehatan maupun Depkes RI sehingga bermanfaat dalam rangka perencanaan
dan pengambilan kebijakan selanjutnya untuk peningkatan pelayanan Jampersal
dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia dalam
mewujudkan target MDGs.
Surabaya, Desember 2012
Tim Peneliti
xi
RINGKASAN EKSEKUTIF
RISET EVALUATIF IMPLEMENTASI JAMINAN PERSALINAN
DI 14 KABUPATEN DI 7 (TUJUH) PROVINSI TAHUN 2012
Jaminan Persalinan (jampersal) merupakan Program Jaminan Persalinan
untuk menekan angka kematian ibu bersalin. Program Jampersal dipergunakan
untuk menanggung seluruh biaya persalinan mulai dari sebelum, saat, hingga
setelah persalinan bagi ibu yang tengah hamil mulai 2011. Diharapkan dengan
diluncurkannya Jampersal, angka kematian ibu (AKI) dan juga angka kematian
bayi (AKB) akan menurun sehingga bisa mencapai target MDGs pada tahun 2015.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi program Jampersal dalam
upaya mencapai target MDGS.
Tujuan umum penelitian adalah menganalisis Implementasi Jaminan
Persalinan. Sedangkan tujuan khususnya adalah 1) Menganalisis kebijakan
Jaminan Persalinan di daerah, 2) Menganalisis akseptabilitas kabupaten/kota
terhadap program Jaminan Persalinan, 3) Menganalisis akseptabilitas
provider(pemerintah dan swasta) dalam pelayanan Kesehatan Ibu
(hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca persalinan) dan bayi baru lahir terhadap
program Jaminan Persalinan, 4) Menganalisis ketersediaan (availability), akses
(accessibility) terhadap sarana dan prasarana, SDM terhadap program Jaminan
Persalinan, 5) Menganalisis utilitas Pelayanan Kesehatan Ibu (hamil,bersalin,
nifas, dan KB pasca persalinan) dan Bayi baru lahir oleh provider (pemerintah
dan swasta) yang disediakan oleh program Jaminan Persalinan, 6 ) Menganalisis
akseptabilitas sasaran dalam pelayanan kesehatan Ibu(hamil,bersalin, nifas, dan
KB pasca persalinan) dan bayi baru terhadap program Jaminan Persalinan, 7)
Menganalisa pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan cakupan
pelayanan kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca persalinan) dan
bayi baru lahir terhadap program Jaminan Persalinan dan 8) Menganalisa
akseptabilitas Toma, Toga, Lintas sektor, LSM dan organisasi stakeholder lainnya
dalam meningkatkan pelayanan Jaminan Persalinan.
xii
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Desember 2012. Disain
penelitian adalah cross sectional dengan jenis penelitian adalah gabungan
penelitian kualitatif dan kuantitatif. Responden penelitian adalah 1) Pengguna
program Jampersal yaitu ibu hamil, ibu nifas (setelah 42 hari melahirkan) dan ibu
yang sudah melahirkan (mempunyai bayi maksimal umur 6 bulan) selama
periode 6 bulan terakhir yaitu Oktober 2011-April 2012. Besar sampel adalah 70
orang untuk masing-masing Puskesmas, berdasarkan perhitungan simple random
sampling. Sehingga jumlah sampel adalah 140 untuk dua puskesmas di masing-
masing Kabupaten/Kota. Cara pengambilan sampel adalah dengan
mengidentifikasi Ibu hamil, ibu nifas (setelah 42 hari melahirkan) dan ibu yang
sudah melahirkan (mempunyai bayi maksimal umur 6 bulan) selama periode 6
bulan terakhir yaitu Oktober 2011 - April 2012 di seluruh desa wilayah kerja
Puskesmas. Dari sampel tersebut dibuat daftar/list, kemudian diambil 70
responden secara proportional random to size (acak dan proporsional) sesuai
dengan jumlah Ibu hamil, ibu nifas (setelah 42 hari melahirkan) dan ibu yang
sudah melahirkan (mempunyai bayi maksimal umur 6 bulan) di masing-masing
desa wilayah kerja Puskesmas, 2) Tokoh masyarakat :TOMA&TOGA, Kepala
desa/lurah & aparat desa, dan kader Posyandu, 3) Responden sebagai pelaksana
program Jampersal yaitu a) Fasilitas Kesehatan tingkat pertama/dasar
(Puskesmas) yaitu Kepala Puskesmas, Bidan Koordinator, Pengelola Jampersal
dan Bidan desa, b) Fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) yaitu : dr.
Obsgyn, Direktur / Wadir Pelayanan RS, Pengelola Jampersal RS, verifikator
independen dan bidan Kepala Ruangan, 4) Responden sebagai pemegang
kebijakan di tingkat kabupaten yaitu Kepala Dinas Kesehatan, pengelola
Jampersal Dinas Kesehatan, verifikator Dinas Kesehatan dan kepala bidang
Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan. Pengumpulan data dengan wawancara dan
FGD dengan menggunakan kuesioner terstruktur, pedoman wawancara, cek list
dan data sekunder. Wawancara mendalam dilakukan pada seluruh responden di
Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan Puskesmas dan FGD dilakukan pada bidan
Puskesmas dan Toma. Sedangkan untuk sasaran dan bidan dilakukan wawancara
xiii
dengan menggunakan kuesioner tersruktur. Analisis data kualitatif dan
kuantitatif secara deskriptif untuk menggambarkan implementasi Jampersal.
Hasil penelitian menunjukkan Kebijakan Jaminan Persalinan di
Kabupaten/Kota dapat didapatkan sebagai berikut :
1. Kebijakan Jampersal ditindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Bupati
atau Peraturan walikota. Di beberapa kabupaten/kota belum menerbitkan
kebijakan lokal. Kab. Natuna tidak memanfaatkan Jampersal.
2. Di Kabupaten/Kota Pemerintah daerah memberikan dukungan terhadap
Jampersal walaupun belum optimal. Muatan politik mempengaruhi
dukungan Pemerintah daerah terhadap Jampersal antara lain dalam
bentuk sosialisasi, penyediaan sarana. Dukungan pembiayaan belum
banyak terlihat, bahkan dengan adanya Jampersal Jamkesda di beberapa
daerah dialihkan menjadi Jampersal. Jampersal juga dapat menjadi sumber
pendapatan daerah.
3. Penerimaan Provider terhadap kebijakan jampersal :
a. Secara umum provider (bidan, SPOG) mendukung terhadap kebijakan
jampersal, hanya perlu difokuskan pada masyarakat miskin, dibatasi
pada jumlah anak.
b. Sosialisasi menjadi kendala untuk pelaksanaan Jampersal. Keterbatasan
/tidak adanya dana sosialisasi menyebabkan sosialisasi Jampersal kurang
fokus karena diikutkan dengan kegiatan lain. Materi sosialisasi masih
lebih kearah pertanggungjawaban administrasi, kurang pada substansi.
c. Jenis paket pelayanan Jampersal di tingkat layanan dasar cukup baik
diterima bidan. Hal khusus yang menjadi masukkan :
• Pelayanan ANC bidan mengharapkan bisa lebih dari 4 kali.
• Pelayanan rujukan khususnya di Daerah yang akses jauh dari
pelayanan rujukan diharapkan bidan yang telah mempunyai
kompetensi khusus dapat melakukan pelayanan rujukan tertentu
misalnya manual plasenta, penanganan perdarahan sebelum
melakukan rujukan.
xiv
• Lama persalinan normal di beberapa daerah lebih dari satu hari.
• Pelayanan KB perlu lebih ditegaskan lagi, ada daerah yang
menerapkan pengisian inform consent untuk menggunakan KB
Jangka panjang seperti IUD pada pengguna Jampersal.
d. Kepesertaan/pengguna Jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu
nifas sampai 42 hari dan neonatal (0-28 hari) yang mempunyai salah
satu persyaratan seperti KTP, KTP suami, surat keterangan domisili,
kartu keluarga, surat ijin mengemudi, kartu mahasiswa/pelajar dan
paspor. Portabilitas pelayanan dapat berjalan baik.
e. Di tingkat layanan dasar besaran Klaim menurut juknis 2012 secara
umum sudah cukup, hanya Kota seperti Balikpapan dimana tingkat
ekonomi tinggi besaran tersebut dianggap masih terlalu rendah.Untuk
daerah kepulauan besaran klaim tidak masalah tapi biaya transport yang
menjadi kendala karena bisa jauh lebih besar dari klaim Jampersal.
f. Di rumah sakit tarif INA-CBG’s terutama untuk RS Tipe C besarannya
dianggap terlalu kecil, sehingga beberapa RS terpaksa menarik
tambahan biaya untuk obat, habis pakai dsb.
g. Mekanisme klaim awalnya menjadi kendala karena terlalu lama, hal ini
disebabkan persyaratan dianggap membebani, tapi juknis tahun 2012
sudah lebih sederhana. Kendala juga dengan terbatasnya tenaga
verifikator sehingga berkas klaim menumpuk di verifikator.
h. Pencairan dana untuk BPS pada umumnya cukup lancar. Masalah terjadi
untuk pencairan untuk provider di puskesmas karena melalui
mekanisme keuangan daerah sehingga bervariasi setiap daerah. Di
beberapa daerah kesulitan dalam pencairan.
4. Ketersediaan puskesmas di setiap kecamatan di lokasi penelitian terpenuhi
ada beberapa hal perlu diperhatikan :
a. Di kepulauan perlu lebih banyak sarana pelayanan, satu desa dapat
terdiri beberapa pulau. Jumlah Bidan pada umumnya mencukupi kecuali
xv
di kepulauan Aru jumlah bidan sangat kurang, dan distribusi bidan belum
merata dan tidak semua bidan desa tinggal diwilayah kerjanya.
b. Jumlah bidan BPS yang PKS dengan Dinas Kesehatan masih sangat
terbatas, hal ini disebabkan tidak semua bidan puskesmas/desa dapat
melakukan PKS disebabkan antara lain :
o Belum semua dinas kesehatan membuka kesempatan pada bidan
puskesmas/BPS untuk melakukan PKS secara terbuka.
o Keterbatasan tenaga bidan karena ada batasan kompetensi,
misalnya di kota Ambon, Kota Kendari bidan yang ada kebanyakan
masih lulusan D1.
o Persyaratan pengurusan ijin praktek bidan yang menyebabkan
bidan tidak dapat segera mendapatkan Ijin praktek dengan adanya
persyaratan dari organisasi Profesi misalnya APN, harus aktif dan
telah magang pada organisasi Profesi dalam waktu tertentu.
o Belum tersosialisasinya program Jampersal dengan baik.
c. Puskesmas non perawatan tidak mempunyai sarana rawat inap untuk
menolong persalinan, di beberapa lokasi kepala Dinas membuat
kebijakan untuk menyediakan satu ruangan untuk rawat inap untuk
persalinan. Sarana Puskesmas rawat inap dan Poned masih terbatas.
d. Belum semua rumah sakit pemerintah di kabupaten melakukan PKS
dengan Dinas Kesehatan. Terutama di daerah kepulauan sarana,
prasarana dan SDM rumah sakit sangat terbatas, bahkan tidak ada SPOG
tetap.
5. Pemanfaatan layanan Jampersal :
a. Dari data sasaran Ibu Nifas ”Continum of care” perlu peningkatan
pelayanan konseling pada sasaran agar terjadi kesinambungan dalam
pemanfaatan paket pelayanan Jampersal mulai dari ANC sampai
dengan KB paska nifas.
b. Sasaran yang memanfaatkan Jampersal pada pelayanan persalinan
pada umumnya (95,3%) sudah di fasilitas kesehatan. Sisanya masih di
xvi
tenaga kesehatan tapi non fasilitas kesehatan yang terjadi di
kabupaten yang tergolong daerah sulit secara akses, dan juga
ketersediaan tenaga kesehatannya terbatas. Hal ini misalnya terjadi di
Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Paser.
c. Cenderung terjadi peningkatan rujukan persalinan per vaginam dengan
komplikasi dan tanpa komplikasi di rumah sakit pemerintah tempat
rujukan Jampersal pada 2 (dua) tahun terakhir yaitu tahun 2011-2012
dibanding tahun sebelumnya.
d. Peningkatan kasus Sectio caesaria juga cukup tinggi di rumah sakit
pemerintah rujukan Jampersal pada tahun 2011-2012 dibanding tahun
sebelumnya.
6. Dari data sasaran didapatkan :
a. Terjadi pergeseran bagi pemanfaatan pembiayaan Jaminan kesehatan
lain (Jamkesmas, Jamkesda, Askes dan Jamsostek) ke pembiayaan
Jampersal (95%), sehingga sasaran Jampersal untuk yang belum
mempunyai Jaminan kesehatan kurang sesuai.
b. Masyarakat yang tidak memanfaatkan Jampersal 66,7% karena belum
tersosialisasi Jampersal.
c. Terdapat biaya tambahan yang dikenakan pada masyarakat yang
memanfaatkan pelayanan Jampersal
7. Pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan dalam upaya mendukung
pelaksanaan kebijakan Jaminan Persalinan. Selain pemberdayaan dari
masyarakat langsung melalui kader kesehatan, juga terdapat pembiayaan
kesehatan melalui PNPM GSC yang merupakan program kementerian
Dalam Negeri.
8. Pelaksanaan Jampersal didukung oleh Toma, Toga, Lintas sektor, LSM dan
organisasi stakeholder lainnya karena dapat meningkatkan pelayanan oleh
tenaga kesehatan. Dari penelitian disimpulkan :
xvii
a. Sosialisasi pada masyarakat masih dianggap kurang, diperlukan sarana
pendukung sosialisasi seperti leaflet, brosur. Ada keterlibatan Toma ,
Toga , kader dalam sosialisasi pada masyarakat.
b. Masyarakat masih keberatan KB dengan alat kontrasepsi jangka
panjang (mis. IUD), lebih senang dengan KB suntik.
c. Fasilitas layanan kesehatan dan terbatasnya sarana transportasi untuk
rujukan masih menjadi kendala.
d. Masyarakat mengharapakan Jampersal dilanjutkan karena bermanfaat
terutama masyarakat tidak mampu
Rekomendasi dari penelitian ini adalah :
Dengan dukungan dari Pemerintah Daerah, provider dan masyarakat.
Perlu adanya kesinambungan ketersediaan alokasi dana Pusat dalam
pelaksanaan Jampersal. Adapun saran untuk perbaikan Kebijakan Jaminan
Persalinan adalah sbb:
Jangka pendek
1. Pedoman Pelaksanaan harus memberi ruang untuk menampung kebijakan
lokal
a) Diterbitkannya turunan kebijakan Jampersal berupa Peraturan Bupati
atau Peraturan Walikota.
b) Mendorong daerah untuk berkontribusi terhadap pemenuhan sarana
prasarana, obat, bahan habis pakai, dan peralatan kesehatan Puskesmas
dan Poskesdes agar mampu melakukan pertolongan persalinan di
Puskesmas dan Poskesdes secara memadai.
c) Ketentuan besaran jasa pelayanan dan kelancaran klaim menjadi
perhatian sebagai salah satu manfaat Jampersal untuk tenaga kesehatan
yaitu adanya kepastian akan menerima jasa pelayanan medis sesuai
ketentuan yang berlaku.
xviii
d) Memberi penekanan pada pemerintah daerah untuk menepati ketentuan
sesuai juknis, bahwa sasaran jampersal adalah ibu hamil, bersalin dan
nifas yang belum mempunyai jaminan.
e) Penguatan sinergisme berbagai sumber pembiayaan dalam mendukung
pelaksanaan Jampersal, seperti BOK, Jamkesmas, Jamkesda, dll.
f) Penguatan Tim Pengelola Jamkesmas/Jampersal di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dalam peningkatan kemampuan proses verifikasi dan
pembayaran klaim Jampersal.
2. Sosialisasi menjadi kunci penting dalam keberhasilan, pelibatan lintas
program, lintas sektor dan masyarakat (Toma, Toga, kader) dalam sosialisasi
lebih di tingkatkan. Disamping itu perlu penganggaran khusus untuk
sosialisasi.
3. Pengetatan mekanisme pengawasan dan sanksi agar seluruh penyedia
pelayanan kesehatan (PPK) Jampersal tidak menarik biaya tambahan dari
penerima manfaat Jampersal dengan melakukan “uji petik”.
4. Peningkatan kemampuan tenaga kesehatan yang ada di wilayah tertentu
khususnya di daerah terpencil dan terisolir yang kurang diminati, di
antaranya melalui pemberian kewenangan tambahan/khusus mengingat
keterbatasan tenaga sesuai kompetensi.
5. Penguatan komitmen pelayanan KB pasca persalinan sebagai paket dan
bagian tak terpisahkan dari pelayanan Jampersal dengan didorong untuk
penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang, dengan menerapkan
inform consent.
6. Pada daerah kepulauan atau wilayah dengan geografis sulit harus
dipertimbangkan beberapa pilihan :
o Menyediakan dana pendamping untuk penggantian transport rujukan bila
diperlukan.
o Menyediakan rumah singgah.
xix
o Menyediakan pelayanan ‘one stop service’, dalam pengertian memenuhi
ketersediaan sarana pelayanan kesehatan tingkat dasar sampai dengan
rujukan.
Jangka Panjang
Rekomendasi jangka panjang ini lebih diperuntukkan bagi pelayanan
kesehatan ibu dan anak secara keseluruhan.
1. Aspek Sarana dan Prasarana dan SDM
a. Dukungan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan,
dan Pemerintah Daerah dalam percepatan pembangunan infrastruktur
jalan dan transportasi yang memadai, khususnya di daerah tertinggal,
perbatasan, dan kepulauan, dalam rangka memudahkan proses rujukan
KIA.
b. Penguatan Puskesmas PONED dan RS PONEK, baik aspek tenaga, sarana,
obat dan peralatan, serta keterampilan (skill) petugas sebagai penyedia
layanan emergensi obstetrik dan neonatal tingkat dasar dan
komprehensif.
c. Penguatan sistem rujukan (improvement collaborative) antara Puskesmas
PONED dan RS PONEK.
d. Keberadaan bidan sebagai anggota masyarakat memiliki keterbatasan
yang harus diperhatikan, sehingga diupayakan adanya pendamping di
wilayah kerja bidan karena bidan mempunyai keterbatasan .
2. Pemberdayaan Masyarakat sangat penting untuk mendukung pelaksanaan
kebijakan Jampersal. Peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui
pemberian KIE (Konseling, Informasi dan Edukasi) tentang Jampersal untuk
mengatasi hambatan non-medis dan non-finansial, seperti hambatan
kultural dan hambatan informasi.
xxi
ABSTRAK
Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan
nasional serta Millenium Development Goal (MDG’s), pada tahun 2011 Kementerian
Kesehatan meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal). Kebijakan Jaminan
Persalinan dicanangkan tahun 2011 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
631/ Menkes / Per /III/2011 dan diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 2562/Menkes/Per/XII/2011 yang mulai berlaku per 1 Januari
tahun 2012. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis Implementasi
Jaminan Persalinan.
Penelitian ini merupakan penelitian terapan untuk mengetahui implementasi
kebijakan program Jampersal di 7 (tujuh) propinsi di Indonesia yaitu Jawa Timur, Jawa
Barat, NTB, Maluku, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau yang
masing-masing dipilih 2 (dua) kabupaten / kota. Disain Penelitian secara potong lintang
Responden penelitian adalah Dinas kesehatan ( Kadinkes, pengelola Jampersal,
pengelola program KIA dan verifikator), rumah sakit ( direktur/ Kabid pelayanan,
pengelola Jamkesmas/Jampersal, verifikator independen, bidan dan dr. SPOG),
Puskesmas (kepala puskesmas, bidan koordinator, pengelola Jampersal dan bidan desa),
sasaran (ibu hamil, melahirkan dan nifas) serta masyarakat( toma,toga, kader, dukun
dll). Adapaun pengumpulan data secara kualitatif dan kuantitatif dengan wawancara
mendalam, FGD dan kuesioner terstruktur serta pengambilan data sekunder (Profil
kab/kota, cakupan program). Data kualitatif hasil FGD dan wawancara mendalam
dilakukan secara content analysis, dengan menganalisis transkrip hasil diskusi dan
mendeskripsikannya dalam bentuk naratif, sedangkan kuantitatif dianalisis secara secara
diskriptif.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa secara umum kabupaten / kota
mendukung tujuan kebijakan Jampersal mencapai tujuan 4 dan 5 MDG’s dengan
mengimplementasikan kebijakan Jampersal dengan variasi sesuai dengan kondisi dan
kebijakan lokal yang berlaku di daerahnya dengan diterbitkanya Peraturan
Bupati/walikota. Dukungan pemerintah daerah terhadap ketersediaan obat, bahan habis
pakai dan pembiayaan masih kurang optimal.
Sosialisasi yang kurang optimal menjadi kendala yang perpengaruh terhadap
akseptabilitas provider, sasaran dan masyarakat terhadap kebijakan Jampersal.
Persyaratan bagi sasaran pengguna Jampersal adalah KTP, KTP suami, Surat
keterangan domisili, SIM, Kartu Keluarga, Kartu mahasiswa/pelajar dan paspor.
Portabilitas Jampersal dapat berjalan di layanan dasar maupaun rujukan.
Paket pelayanan Jampersal pada umumnya berjalan , kecuali KB paska nifas
perlu adanya penekanan dalam pelaksanaannya misalnya dengan memberlakukan
inform consent. Khusus di daerah dengan geografis sulit seperti kepulauan dimana alat
transportasi dan biaya transportasi sering menjadi kendala perlu solusi tersendiri
dengan menambahkan biaya pendamping untuk transpertasi, rumah singgah atau one
stop service untuk pelayanan dasar dan rujukan.
Provider di tingkat layanan dasar dan rumah sakit pada umumnya mendukung
kebijakan Jampersal, kelancaran cairnya klaim pada provider di puskesmas dan
jaringanny menjadi masalah utama dalam pelaksanaan Jampersal. Besaran klaim di
rumah sakit yang menggunakan tarif INA-CBGs perlu dilakukan penyesuaian dengan
kondisi saat ini.
xxii
Sasaran pengguna Jampersal sebagian besar sudah memiliki Jaminan seperti
Jamkesmas, Jamkesda, Askes dan Jamsostek. Sehungga hanya terjadi pergeseran
pembiayaan saja dari Jaminan lain ke Jampersal.
Saran untuk Jampersal perlu adanya kesinambungan dalam pendanaan dengan
penyempurnaan dalam petunjuk teknis dan implementasi. Hal ini dikarenakan menurut
provider, masyarakat dan sasaran, kebijakan Jampersal dirasakan manfaatnya dalam
meningkatkan akses ke layanan kesehatan dalam masalah pembiayaan terutama pada
masyarakat kurang mampu.
Kata Kunci : Jampersal 2012 – Evaluasi implementasi-14 kabupaten/kota
xxiii
Abstract
In order to accelerate achievement of the National Health Development
and Millenium Development Goals, In 2011 Ministry of Health has been released
a national policy concerning Childbirth Insurance Program (known as
“Jampersal”). It was covered based on Minister Decree of Health No.
631/Menkes/Per/III/2011 juncto Minister Decree of Health No.
2562/Menkes/Per/XII/2011 regarding Technical Guidance of Childbirth Insurance
which was launched January 1, 2012. This study aims to analyze implementing
Childbirth Insurance Program.
It was a applied study to know how implementation of Childbirth
Insurance Program Policy in 7 (seven) Provinces in Indonesia involves East Java,
West Java, West Nusa Tenggara, Maluku, Southeast Sulawesi, East Kalimantan
and Riau archipelago. Each area were taken 2 (two) districts/cities. Study design
was a cross sectional whereas informants were District/City Health Office (head,
cildbirth Insurance management, maternal and neonatal management, and
verificator for health office), hospital (director/head of division for health
services, public health insurance/childbirth insurance managements,
independence verificator, midwives, and obstetric specialists), Health Center
(head, coordinator midwife, Childbirth Insurance managements, and village
midwives), targets (pregnant women, birth, post natal) including communities
(TOMA, TOGA, cadres, and the others). All data were gathered qualitatively
whereas quantitative data with In-depth interview, FGD, questionnaire
structurely, and secondary data were taken Profile of Disticts/Cities, health
program coverage. Moreover, Qualitative data of FGD and In-depth interviews
results were conducted content analysis trough analysing discussions transcripts
and desribes naratively whereas quantitative were analyzed descriptively.
Results of the study shows that In general, cities/districts have been
supported goals of childbirth Insurance Program Policy to achieve the 4 and 5
MDGs goals. Implementation of Childbirth Insurance Program Policy has been
assorted every study area. It was caused by conditions and policy local such as it
has been released regent, and mayor decrees; lack of Local Goverment supports
concerns availability of pharmacies, materials in medical services, and financing;
lack of socialization for Childbirth Insurance Program have became barriers that
influences to provider acceptability, targets and communities toward Childbirth
Insurance Program Policy. Requirements for Childbirth Insurance Program is ID
Card, Husband ID, a domicile explanation letter, Driver’s License, Family Card,
Student Card and passport. Furthermore, Childbirth Insurance portability has
been ran in basic services and referrals. and also Childbirth Insurance Benefit
xxiv
package, except implementation of Family Planning for post natal care has been
stressed in implementation for example applying inform consent special for
remote areas such as islands where transportation and cost have became
barriers. It will needed solution strategy through adding attendant cost for basics
and referrals services for transportation, shelter home, or one stop service. In
general, provider for basic services and referral levels have supported the
Childbirth Insurance Program Policy.
On the other hand, Disbursement of claims is late on provider at Health
Center and their networks became main obstacle implementation of Childbirth
Insurance Program and we also need tarrif revision for hospital that has applied
INA-CBGs. Most of targets users for Childbirth Insurance Program have already
been others Insurance such as public health insurance, local health insurance,
health insurance, and Social Security Programs for Workers so that It just moved
financing from an insurance to Childbirth Insurance.
It suggested that we are need sustainability concerns financing and
revised technical guidance were caused by providers, communities, and targets
that Childbirth Insurance Program policy has perceived benefits them that
implicated to increase public access to facilities health services mainly family
poors.
Key words: Childbirth Insurance Program, Evaluation of implementing Childbirth
Insurance of 14 Districts/Cities.
xxv
DAFTAR ANGGOTA TIM PENELITI
SUSUNAN TIM PENELITI
No. Nama Kepakaran Peran
1 dr. Tety Rachmawati, Msi Dokter, magister Sains
P.I.
2. Dr. drg. Niniek L. Pratiwi,
M.Kes
Pemberdayaan Masyarakat Peneliti
3.
4.
Agung Dwi Laksono,
SKM.,M.Kes
Drs. Setia Pranata, Msi
Analis Kebijakan
Magister sains
Peneliti
Peneliti
5. Ingan Ukur Tarigan, SKM, M.
Epid.
Master Kesehatan Peneliti
6. Ir.Vita K.M, M.Kes Master Kesehatan Peneliti
7. dr. Rukmini, M. Kes. Manajemen dan Kebijakan
Kesehatan
Peneliti
8. drg. R.Wasis.S.Sp.KG Pemberdayaan Masyarakat Peneliti
9. Dra. Selma Siahaan, Apt.,
MHA
Manajemen dan Kebijakan
Kesehatan
Peneliti
10. Muhammad Agus Mikrajab,
SKM.,MPH
Manajemen dan Kebijakan
Kesehatan
Peneliti
11. Yurika F. S.Psi. M.Psi.,
Psikolog.
Perilaku dan Pelayanan
Kesehatan
Peneliti
12. Yunita Fitrianti, S.Ant Antropologi Peneliti
13. Sri Handayani. S.Sos Sosiologi Peneliti
14. Wening Widjajanti, S.KM Kesehatan Masyarakat Peneliti
15. Rozana Ika Agustiya, S.Psi Psikologi Peneliti
16. Nugroho Winarto Pembantu
Administrasi
17. Susilo Pembantu
Administrasi
18 Supriyadi Pembantu
Administrasi
xxvii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
SURAT KEPUTUSAN PENELITIAN .................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................ xi
ABSTRAK ....................................................................................................... xxi
DAFTAR ANGGOTA PENELITI ........................................................................ xxv
DAFTAR ISI .................................................................................................... xxvii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xxxiii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xxxvii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxxix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ...................................................................... 1
1.2 PERTANYAAN PENELITIAN ......................................................... 4
1.3 FOKUS BIDANG PENELITIAN ....................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 5
2.1 DEFINISI ..................................................................................... 5
2.1.1 JAMPERSAL ...................................................................... 5
2.1.2 PERJANJIAN KERJA SAMA ................................................. 5
2.1.3 FASILITAS KESEHATAN ..................................................... 5
2.1.4 PUSAT PELAYANAN OBSTERIK NEONATAL EMERGENSI
DASAR (PONED) ................................................................ 5
2.1.5 RUMAH SAKIT PELAYANAN OBSTERIK NEONATAL EMERGENSI
KOMPREHENSIF (PONEK) .................................................. 5
2.1.6 BIDAN PRAKTEK MANDIRI ................................................ 5
2.2 KEBIJAKAN (JUKNIS JAMPERSAL 2012) ...................................... 6
2.2.1 TUJUAN JAMPERSAL ........................................................ 6
2.2.2 SASARAN JAMPERSAL ...................................................... 6
xxviii
2.2.3 PAKET MANFAAT DAN TATA LAKSANA PELAKSANAAN
JAMPERSAL ....................................................................... 7
2.2.4 PENDANAAN JAMPERSAL ................................................. 9
2.3 KEMATIAN MATERNAL ............................................................... 9
2.3.1 DEFINISI MATERNAL ......................................................... 9
2.3.2 TINGKAT KEMATIAN MATERNAL ...................................... 10
2.3.3 PENYEBAB KEMATIAN MATERNAL ................................... 10
2.4 TEORI KEBIJAKAN PUBLIK ........................................................... 13
2.4.1 ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN .................................... 13
2.4.2 ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ............................... 15
2.4.3 TEORI KEBIJAKAN ............................................................. 15
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT............................................................. 17
3.1 TUJUAN PENELITIAN .................................................................. 17
3.1.1 TUJUAN UMUM ............................................................... 17
3.1.2 TUJUAN KHUSUS .............................................................. 17
3.2 MANFAAT PENELITIAN ............................................................... 18
BAB IV METODOLOGI ............................................................................ 19
4.1 KERANGKA TEORI ....................................................................... 19
4.2 KERANGKA PIKIR ........................................................................ 20
4.3 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ............................................. 21
4.4 DESAIN/JENIS PENELITIAN ......................................................... 22
4.5 RESPONDEN PENELITIAN ........................................................... 22
4.6 CARA PENGUMPULAN DATA ...................................................... 23
4.6.1 PENGUMPULAN DATA KUALITATIF .................................. 23
4.6.2 PENGUMPULAN DATA KUANTITATIF ............................... 24
4.6.3 DATA SEKUNDER .............................................................. 25
4.7 VARIABEL PENELITIAN ................................................................ 26
4.8 DEFINISI OPERASIONAL .............................................................. 27
4.9 KERANGKA OPERASIONAL .......................................................... 28
4.9.1 TAHAPAN PEMILIHAN LOKASI PENELITIAN ...................... 28
xxix
4.9.2 TAHAPAN PELAKSANAAN PERSIAPAN DI LAPANGAN ....... 29
4.9.3 TAHAPAN PENGUMPULAN DATA DI LAPANGAN……………. 29
4.10 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ........................................... 30
4.11 PERTIMBANGAN IJIN PENELITIAN .............................................. 30
4.12 JADWAL KEGIATAN .................................................................... 31
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 33
5.1 SEKILAS TENTANG LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK
RESPONDEN ................................................................................ 33
5.1.1 KARAKTERISTIK RESPONDEN IBU HAMIL, BERSALIN DAN
NIFAS ............................................................................... 36
5.1.2 KARAKTERISTIK PENGGUNA JAMPERSAL ......................... 39
5.2 KEBIJAKAN JAMPERSAL DI TINGKAT PUSAT DAN DAERAH ........ 43
5.2.1 KEBIJAKAN JAMPERSAL DI PUSAT .................................... 43
5.2.1.1 SASARAN ............................................................ 44
5.2.1.2 PAKET PELAYANAN ............................................. 44
5.2.1.3 KEPESERTAAN .................................................... 45
5.2.1.4 PERSYARATAN KLAIM ......................................... 45
5.2.1.5 PEMBERI LAYANAN ............................................ 46
5.2.1.6 BESARAN TARIF PELAYANAN .............................. 47
5.2.1.7 PENDANAAN ...................................................... 47
5.2.1.8 PROSES PENGAJUAN KLAIM ............................... 49
5.2.2 KEBIJAKAN JAMPERSAL DI KABUPATEN/KOTA LOKASI
PENELITIAN ...................................................................... 49
5.2.2.1 KABUPATEN SAMPANG ....................................... 50
5.2.2.2 KOTA BLITAR ....................................................... 52
5.2.2.3 KOTA MATARAM ................................................. 53
5.2.2.4 KABUPATEN LOMBOK TENGAH ........................... 54
5.2.2.5 KOTA BANDUNG ................................................. 55
5.2.2.6 KABUPATEN BOGOR ............................................ 56
5.2.2.7 KOTA AMBON ..................................................... 57
xxx
5.2.2.8 KABUPATEN KEPULAUAN ARU ............................ 58
5.2.2.9 KOTA KENDARI .................................................... 60
5.2.2.10 KABUPATEN WAKATOBI ...................................... 60
5.2.2.11 KOTA BALIKPAPAN .............................................. 62
5.2.2.12 KABUPATEN PASSER ........................................... 63
5.2.2.13 KOTA BATAM ...................................................... 63
5.2.2.14 KABUPATEN NATUNA ......................................... 65
5.3 AKSEPTABILITAS KABUPATEN/KOTA TERHADAP PROGRAM
JAMPERSAL ................................................................................ 67
5.3.1 DUKUNGAN MANAJEMEN, SOSIALISASI DAN KEBIJAKAN
LOKAL YANG MENDUKUNG JAMPERSAL ........................ 67
5.4 AKSEPTABILITAS PROVIDER DALAM PELAYANAN KESEHATAN IBU
DAN BAYI BARU LAHIR TERHADAP PROGRAM JAMINAN
PERSALINAN ............................................................................... 70
5.4.1 SOSIALISASI JAMPERSAL DI PUSKESMAS DAN RUMAH SAKIT 71
5.4.2 PEMBERI LAYANAN DI FASILITAS KESEHATAN DASAR..... 74
5.4.2.1 PAKET PELAYANAN ............................................. 76
5.4.2.2 KEPESERTAAN/SASARAN .................................... 80
5.4.2.3 SYARAT PEMANFAATAN DAN MEKANISME KLAIM 81
5.4.2.4 BESARAN TARIF PELAYANAN .............................. 85
5.4.2.5 JASA PELAYANAN ............................................... 87
5.4.3 PEMBERI LAYANAN DI FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN 89
5.4.3.1 PAKET LAYANAN................................................. 89
5.4.3.2 KEPESERTAAN .................................................... 90
5.4.3.3 SYARAT KLAIM.................................................... 91
5.4.3.4 BESARAN TARIF PELAYANAN DAN JASA PELAYANAN 92
5.5 KETERSEDIAAN (AVAILABILITY), AKSES (ACCESIBILITY) TERHADAP
SARANA DAN PRASARANA SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP
PROGRAM JAMINAN PERSALINAN ............................................. 95
xxxi
5.5.1 SARANA DAN PRASARANA PELAYANAN DASAR DAN
RUJUKAN .................................................................................... 95
5.5.2 AKSESIBILITAS JARAK ....................................................... 101
5.6 UTILITAS PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR OLEH
PROVINSI YANG DISEDIAKAN OLEH PROGRAM JAMINAN
PERSALINAN ............................................................................... 118
5.6.1 UTILITAS DAN PELAYANAN DASAR .................................. 118
5.6.2 UTILITAS DAN PELAYANAN RUJUKAN ............................. 127
5.7 AKSEPTABILITAS SASARAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN IBU
DAN BAYI BARU LAHIR TERHADAP PROGRAM JAMPERSAL ....... 132
5.8 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN
PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR TERHADAP
PROGRAM JAMINAN PERSALINAN ............................................. 136
5.8.1 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM UPAYA
MENDUKUNG PROGRAM KIA MELALUI PNPM GSC DI
KABUPATEN LOMBOK TENGAH ...................................... 137
5.8.2 BAYANG-BAYANG JAMPERSAL DI LAMANGGAU ............. 159
5.8.3 ANTARA BUDAYA, TABU DAN UPAYA PENYELAMATAN IBU DI
KOTA BLITAR ................................................................... 179
5.9 AKSEPTABILITAS TOMA, TOGA, LINTAS SEKTOR, LSM DAN
ORGANISASI LAINNYA DALAM MENINGKATKAN PELAYANAN
JAMINAN PERSALINAN ............................................................... 200
5.9.1 HARAPAN MASYARAKAT ................................................. 208
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 211
6.1 KESIMPULAN .............................................................................. 211
6.2 SARAN/REKOMENDASI .............................................................. 216
6.2.1 JANGKA PENDEK .............................................................. 216
6.2.1 JANGKA PANJANG ........................................................... 217
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... 219
DAFTAR KEPUSTAKAAN ................................................................................ 221
xxxiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Nama Halaman
Gambar 4.1 Kerangka teori penelitian 19
Gambar 4.2 Kerangka pikir penelitian 20
Gambar 4.3 Kerangka operasional penelitian 28
Gambar 4.4 Tahap Pelaksanaan Persiapan Penelitian di Lapangan 29
Gambar 5.1 Peta Wilayah Indonesia 35
Gambar 5.2 Karakteristik Responden berdasarkan Umur pada Sasaran
Riset Evaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012
37
Gambar 5.3 Karakteristik Responden berdasarkan Pendidikan pada
Sasaran Riset Evaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012
39
Gambar 5.4 Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan
Umur pada Sasaran Riset Evaluatif Implementasi Jampersal
Tahun 2012
40
Gambar 5.5 Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan
Pendidikan pada Sasaran Riset Evaluatif Implementasi
Jampersal Tahun 2012
41
Gambar 5.6 Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan
Jumlah Anak pada Sasaran Riset Evaluatif Implementasi
Jampersal Tahun 2012
42
Gambar 5.7 Diskusi Kelompok pada Bidan. 71
Gambar 5.8 Bagan Sosialisasi Jampersal di Kabupaten/Kota 71
Gambar 5.9 Persepsi Bidan Puskesmas terhadap Jaminan Persalinan 75
Gambar 5.10 Mekanisme pembeyaran klaim Jampersal di
Pelayanan Dasar
83
Gambar 5.11
Gambar 5.12
Ruang ICU, tempat cuci kamar Operasi di Ruang
kandungan dan kebidanan di RSUD Ambon
Ruang rawat Inap pasien Jampersal di Rumah Sakit
99-100
101
Gambar 5.13 Jarak ke pelayanan Kesehatan pada pengguna Jampersal di
kabupaten/Kota “Daratan”
102
xxxiv
Gambar 5.14 Jarak ke pelayanan kesehatan pada pengguna Jampersal
di Kabupaten/Kota “Kepulauan”
102
Gambar 5.15 Peta Wilayah Provinsi Kepulauan Riau 103
Gambar 5.16 Posisi Kabupaten Kepulauan Aru di peta Indonesia 106
Gambar 5.17 Peta Wilayah Kabupaten Kepulauan Aru 108
Gambar 5.18 Puskesmas Benjina, Kab. Kepulauan Aru 109
Gambar 5.19 Peta Kabupaten Kepulauan Wakatobi 113
Gambar 5.20 Kapal cepat yang melayani rute Wanci-Tomia 116
Gambar 5.21
Gambar 5.22
Puskesmas Onemobaa, Kab. Wakatobi
Cakupan Persalinan oleh tenaga kesehatan di
Kabupaten/Kota “Non Kepulauan” tahun 2010-Juni 2012
118
119
Gambar 5.23 Cakupan Persalinan Tenaga Kesehatan di Kabupaten/Kota
“Kepulauan” Tahun 2010 – Juni 2012
120
Gambar 5.24 Tenaga Pemeriksa Kehamilan Pada Responden Non
Pengguna Jampersal di Lokasi Penelitian Periode Oktober
2011 April 2012
124
Gambar 5.25 Tenaga Penolong Persalinan Pada Responden Non
Pengguna Jampersal di Lokasi Penelitian Periode Oktober
2011-April 2012
125
Gambar 5.26 Kematian Maternal di Kabupaten/Kota Tahun 2010 - Juni
2012
126
Gambar 5.27 Kematian Neonatal di Kabupaten/Kota Tahun 2010 - Juni
2012
127
Gambar 5.28
Penatalaksanaan Persalinan Rujukan Per vaginam dengan
Komplikasi di RS Pemerintah di Lokasi Penelitian tahun
2012
128
Gambar 5.29 Penatalaksanaan Persalinan Rujukan Per vaginam tanpa
Komplikasi di RS Pemerintah di Lokasi Penelitian tahun
2012
129
xxxv
Gambar 5.30 Kematian Maternal < 24 jam di Rumah Sakit Pemerintah di
Lokasi Penelitian Tahun 2010-1012
130
Gambar 5.31 Kematian Maternal >24 jam di Rumah Sakit Pemerintah di
Lokasi Penelitian Tahun 2010-1012
131
Gambar 5.32 Kematian Neonatal di Rumah Sakit Pemerintah di Lokasi
Penelitian Tahun 2010- Juni 1012
131
Gambar 5.33 Kepemilikan Jaminan lain pada sasaran pengguna Jampersal 132
Gambar 5.34 Alasan tidak menggunakan Jampersal pada sasaran 134
Gambar 5.35 Kepemilikan Jaminan pada sasaran Non pengguna
Jampersal
135
Gambar 5.36 Pembiayaan Tambahan pada sasaran pengguna Jampersal
pada Kabupaten/ Kota Daerah Penelitian
135
Gambar 5.37 Persentase capaian indicator keberhasilan PNPM GSC Kab.
Lombok Tengah
139
Gambar 5.38 Kunjungan K1, K4 dan Linakes Puskesmas Janapria Thn
2010-2012
143
Gambar 5.39 Kunjungan K1 dan K4 serta Linakes Desa Lekor, Th 2010 -
s.d Okt 2012
145
Gambar 5.40 Poskesdes Desa Lekor yang dibangun oleh PNPM GSC 146
Gambar 5.41 Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil yang difasilitasi oleh PNPM
GSC
148
Gambar 5.42
Gambar 5.43
Kunjungan K1, K4, Linakes Desa Langko Thn 2010-2012
PMT yang diberikan ketika posyandu di Desa Langko
149
152
Gambar 5.44 Peta Kabupaten Wakatobi 160
Gambar 5.45 Peta Desa Lamanggau 161
Gambar 5.46 Jalan Menuju Puskesmas Onemobaa 163
Gambar 5.47
Gambar 5.48
Gambar 5.49
Gambar 5.50
Pintu Gerbang Dive Wakatobi Resort
Gedung Puskesmas Onemobaa
Tempat pemeriksaan yang berkarat
Rumah tenaga kesehatan
163
165
165
165
xxxvi
Gambar 5.51
Gambar 5.52
Gambar 5.53
Gambar 5.54
Gambar 5.55
Gambar 5.56
Rumah Mbook Medaming “rumah bersalin Bajo”
Kamar untuk bersalin
Kamar untuk bersalin (tampak luar)
Lantai bersalin
Ibu nifas
Diskusi kelompok masyarakat (TOMA, TOGA, kader, dll)
175
175
175
175
176
201
xxxvii
DAFTAR TABEL
Tabel Nama Halaman
Tabel 4.1 Pemilihan Lokasi Penelitian Provinsi, Kabupaten dan Kota
berdasarkan kriteria cakupan LINAKES
21
Tabel 4.2 Definisi Operasional 27
Tabel 4.3 Gant Chart Jadual Kegiatan Penelitian 31
Tabel 5.1 Tarif Pelayanan Jaminan Persalinan Tahun 2012 47
Tabel 5.2 Sarana dan Sumber Daya Manusia yang Memberikan
Pelayanan Jampersal.
95
Tabel 5.3 “Continum of Care” pada Responden Sasaran Ibu Nifas
Pengguna Jampersal per Kabupaten (N = 573).
121
Tabel 5.4 “Continum of Care” Pelayanan Jampersal (K1, K4,
persalinan) dan PN di Kabupaten/Kota di Lokasi Penelitian
Tahun 2012
122
Tabel 5.5 Tempat Persalinan Responden Pengguna Jampersal di Lokasi
penelitian Periode Oktober 2011-April 2012.
123
Tabel 5.6 Jumlah Kasus Sectio Caesaria yang ditangani di Rumah sakit
di Kabupaten/Kota Tahun 2010 – Juni 2012
129
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan
nasional serta Millenium Development Goal (MDG’s ), pada tahun 2011
Kementerian Kesehatan meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal).
Kebijakan Jaminan Persalinan dicanangkan tahun 2011 berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 631/Menkes/Per /III/2011 dan diperbaharui dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2562/Menkes/Per/XII/2011 yang mulai berlaku per 1 Januari tahun 2012.
(Kemenkes.R.I., 2011).
Saat ini Kemenkes mencatat angka kematian ibu masih di atas 228 orang
per 100 ribu penduduk, jumlah itu masih sangat tinggi. Dengan program
jampersal, diharapkan berharap bisa menekan angka kematian ibu hingga 118
per 100 ribu penduduk yang merupakan target RPJM 2014 dan 102 per 100 ribu
penduduk sesuai target MDG’s tahun 2015. Untuk mencapai AKI dan AKB sesuai
target MDG’s dihadapi berbagai masalah yang multi komples seperti masalah
budaya, pendidian masyarakat, pengetahuan, lingkungan, kecukupan fasilitas
kesehatan, sumberdaya manusia dll, sehingga diperlukan intervensi khusus
(SDKI, 2007).
Menurut data Kemenkes, 90 persen kematian ibu disebabkan karena
persalinan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya ibu yang tidak mampu
membiayai persalinannya sehingga tidak dilayani oleh tenaga kesehatan dan
fasilitas kesehatan yang baik. Salah satu faktor yang penting dalam intervensi
adalah perlu meningkatkan akses masyarakat terhadap persalinan yang sehat
dengan memberikan kemudahan pembiayaan kepada ibu hamil.
Program Jampersal adalah respons pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan untuk mengembangkan program/kegiatan yang bersifat quick wins
dalam upaya menurunkan kematian maternal. Hasil studi District Health Account
2
di 80 kabupaten/kota (Gani, 2012) menunjukkan rendahnya komitmen
pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran kesehatan dalam jumlah yang
memadai, termasuk di dalamnya anggaran untuk program kesehatan ibu dan
anak. Oleh karena itu, salah satu faktor penting untuk meningkatkan akses
masyarakat terhadap persalinan sehat adalah dengan memberikan kemudahan
pembiayaan untuk ibu hamil. Program Jampersal adalah intervensi pembiayaan
untuk menanggung seluruh biaya persalinan mulai dari masa kehamilan,
persalinan hingga masa nifas termasuk bayi, bagi siapa saja, tidak tergantung
status sosial ekonomi yang bersangkutan. Dengan ketentuan proses persalinan
dilakukan di rumah sakit kelas III atau Puskesmas (Kemenkes.R.I., 2011).
Peserta program Jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas
(pasca melahirkan sampai 42 hari) dan bayi baru lahir (0-28 hari) yang belum
memiliki jaminan persalinan, dengan memanfaatkan pelayanan di seluruh
jaringan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan (RS)
di kelas III yang sudah memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim
Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota. Selain itu, pemeriksaan
kehamilan dengan risiko tinggi dan persalinan dengan penyulit serta komplikasi
dilakukan secara berjenjang di Puskesmas dan rumah sakit berdasarkan rujukan.
(Kemenkes R.I, 2011).
Paket pelayanan jaminan Persalinan yang ditanggung oleh pemerintah
adalah Antenatal care (ANC), yaitu pemeriksaan sebanyak 4 (empat) kali
sebelum persalinan, saat persalinan, dan empat kali kontrol setelah persalinan
sedangkan mekanisme pemberian jaminan persalinan ini diberikan seperti
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dana yang dikeluarkan untuk
program ini diperkirakan mencapai 2,3 triliun rupiah. Program Jampersal
terintegrasi dengan pelayanan KB, sehingga diharapkan dengan diluncurkannya
Jampersal, angka kematian ibu (AKI) dan juga angka kematian bayi (AKB) akan
menurun seiring dengan meningkatnya cakupan keluarga berencana sehingga
bisa mencapai target MDGs pada tahun 2015 (Kemenkes.R.I, 2011).
3
Program Jampersal itu berbeda dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas). Program ini tidak hanya pada ibu hamil yang miskin, sedangkan
Jamkesmas memberikan perlindungan kesehatan bagi warga miskin. Jampersal
ini akan dilaksanakan secara bertahap mulai 2011, dengan prioritas dalam
perkiraan ibu bersalin dalam 1 tahun adalah 4,6 juta ibu hamil. Persalinan yang
sudah dibiayai Jamkesmas mencapai 1,7 juta ibu hamil pertahun. Diharapkan
program jampersal ini bisa meningkatkan kualitas kelahiran pendudukan tanpa
meningkatkan jumlah penduduk. Target MDGs dalam meningkatakan kesehatan
ibu akan tercapai apabila 50% kematian ibu dapat dicegah dan hal tersebut dapat
dicapai antara lain dengan meningkatkan cakupan K1, K4, memastikan
memastikan bidan tinggal di desa, meningkatkan persalinan ditolong tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan, meningkatkan cakupan peserta KB terutama
dengan metode kontrasepsi jangka panjang, serta pemberdayaan keluarga dam
masyarakat dalam bidang kesehatan.
Tahun 2011, Laksono Trisnantoro telah melakukan penelitian Jampersal
di DIY ,Papua dan NTT dengan masing-masing di 1-2 kabupaten, dari hasil
penelitian menyatakan ada permasalah serius dalam kebijakan Jampersal. Dan
tahun 2012 petunjuk teknis 2011 telah disempurnakan berdasarkan masukan
sebelumnya . Walaupun tahun 2012 terdapat beberapa penelitian Jampersal ,
tapi masih terbatas dalam wilayan penelitiannya sehingga diperlukan penelitian
yang lebih lanjut untuk mendapat informasi yang lebih luas.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi program Jampersal
dalam upaya mencapai target MDGS dengan meningkatkan cakupan K1,
meningkatkan persalinan ditolong tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan,
meningkatkan cakupan peserta KB terutama dengan metode kontrasepsi jangka
panjang, serta pemberdayaan keluarga dam masyarakat dalam bidang
kesehatan.
4
1.2. Pertanyaan penelitian
1. Bagaimana kebijakan daerah (Kab/Kota) dan kendala dalam
implementasi Jaminan Persalinan?
2. Bagaimana penerimaan provider dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan
bayi terhadap program Jaminan Persalinan ?
3. Bagaimana upaya pelayanan kesehatan Ibu dan Bayi oleh provider
dalam Implementasi Jaminan Persalinan ?
4. Bagaimna utilitas Pelayanan Kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas, dan
KB pasca persalinan) dan Bayi baru lahir oleh provider (pemerintah
dan swasta) yang disediakan oleh program Jaminan Persalinan
5. Bagaimana penerimaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan Ibu
dan Bayi terhadap Implementasi Jaminan Persalinan ?
6. Bagaimana penerimaan kelompok masyarakat (Toma, Toga, Lintas
sektor, LSM dan organisasi stakeholder lainnya) dalam meningkatkan
pelayanan Jaminan Persalinan?
1.3. Fokus bidang penelitian
Fokus bidang penelitian adalah Kebijakan di tingkat pusat dan daerah
dalam pembiayaan, ketersediaan sarana dan prasarana dan sumberdaya
manusia, akseptabilitas provider dan masyarakat, upaya yang dilakukan provider
pelayanan kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat yang di fokuskan Dalam
upaya meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan,
dan pelayanan nifas dan pelayanan KB paska persalinan dalam rangka
mendukung program Jampersal sehingga dapat menurunkan AKI dan AKB.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ( Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan 2012)
2.1.1 Jaminan Persalinan adalah jaminan pembiayaan pelayanan persalinan
yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan
nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru
lahir yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.
2.1.2 Perjanjian Kerjasama (PKS) adalah dokumen perjanjian yang
ditandatangani bersama antara Dinas Kesehatan selaku Tim Pengelola
Kabupaten/Kota dengan penanggung jawab institusi fasilitas kesehatan
pemerintah dan swasta yang mengatur hak dan kewajiban para pihak
dalam jaminan persalinan.
2.1.3 Fasilitas Kesehatan adalah institusi pelayanan kesehatan sebagai tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, TNI/POLRI, dan Swasta.
2.1.4 Puskesmas Pelayanan Obsterik Neonatal Emergensi Dasar (PONED)
adalah Puskesmas yang mempunyai kemampuan dalam memberikan
pelayanan obstetri (kebidanan) dan bayi baru lahir emergensi dasar.
2.1.5 Rumah Sakit Pelayanan Obsterik Neonatal Emergensi Komprehensif
(PONEK) adalah Rumah Sakit yang mempunyai kemampuan dalam
memberikan pelayanan obstetri (kebidanan) dan bayi baru lahir
emergensi komprehensif.
2.1.6 Bidan Praktik Mandiri adalah praktik bidan swasta perorangan.
2.2. Kebijakan Jaminan Persalinan (Juknis Jampersal 2012)
Jaminan Persalinan merupakan perluasan kepesertaan dari Jamkesmas
dan tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja. Manfaat yang diterima oleh
penerima manfaat Jaminan Persalinan terbatas pada pelayanan kehamilan,
persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan.
6
2.2.1. Tujuan Jampersal
1. Tujuan Umum
Meningkatnya akses terhadap pelayanan kehamilan, persalinan,
nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang kompeten dan berwenang di fasilitas kesehatan dalam
rangka menurunkan AKI dan AKB.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang
kompeten.
b. Meningkatnya cakupan pelayanan :
1) Bayi baru lahir.
2) Keluarga Berencana pasca persalinan.
3) Penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru
lahir, KB pasca persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif,
transparan, dan akuntabel.
2.2.2. Sasaran Jampersal
Sasaran yang dijamin oleh Jaminan Persalinan adalah :
1. Ibu hamil
2. Ibu bersalin
3. Ibu nifas ( sampai 42 hari pasca melahirkan)
4. Bayi baru lahir (sampai dengan usia 28 hari)
Sasaran yang dimaksud diatas adalah kelompok sasaran yang berhak
mendapat pelayanan yang berkaitan langsung dengan kehamilan dan persalinan
baik normal maupun dengan komplikasi atau resiko tinggi untuk mencegah AKI
dan AKB dari suatu proses persalinan. Agar pemahaman menjadi lebih jelas,
batas waktu sampai dengan 28 hari pada bayi dan sampai dengan 42 hari pada
7
ibu nifas adalah batas waktu pelayanan PNC dan tidak dimaksudkan sebagai
batas waktu pemberian pelayanan yang tidak terkait langsung dengan proses
persalinan dan atau pencegahan kematian ibu dan bayi karena suatu proses
persalinan.
2.2.3. Paket Manfaat dan Tata Laksana Pelayanan Jaminan Persalinan
Manfaat yang diterima oleh penerima Jaminan Persalinan sebagaimana
diuraikan dibawah ini, sedangkan pada peserta Jamkesmas dijamin berbagai
kelainan dan penyakit. Manfaat pelayanan jaminan persalinan meliputi:
1. Pemeriksaan kehamilan (ANC) yang dibiayai oleh program ini mengacu pada
buku Pedoman KIA, dimana selama hamil, ibu hamil diperiksa sebanyak 4 kali
disertai konseling KB dengan frekuensi:
a. 1 kali pada triwulan pertama
b. 1 kali pada triwulan kedua
c. 2 kali pada triwulan ketiga
Pemeriksaan kehamilan yang jumlahnya melebihi frekuensi diatas
pada tiap-tiap triwulan tidak dibiayai oleh program ini. Penyediaan obat-
obatan, reagensia dan bahan habis pakai yang diperuntukkan bagi pelayanan
kehamilan, persalinan dan nifas, dan KB pasca salin serta komplikasi yang
mencakup seluruh sasaran ibu hamil, bersalin, nifas dan bayi baru lahir
menjadi tanggung jawab Pemda/Dinas Kesehatan Kab/ Kota.
2. Pada Jaminan Persalinan dijamin penatalaksanaan komplikasi kehamilan
antara lain :
a) Penatalaksanaan abortus imminen, abortus inkompletus dan missed
abortion
b) Penatalaksanaan mola hidatidosa
c) Penatalaksanaan hiperemesis gravidarum
d) Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu
e) Hipertensi dalam kehamilan, pre eklamsi dan eklamsi
8
f) Perdarahan pada masa kehamilan
g) Decompensatio cordis pada kehamilan
h) Pertumbuhan janin terhambat (PJT): tinggi fundus tidak sesuai usia
kehamilan
i) Penyakit lain sebagai komplikasi kehamilan yang mengancam nyawa.
Lama hari inap minimal di fasilitas kesehatan :
1) Persalinan normal dirawat inap minimal 1 (satu) hari
2) Persalinan per vaginam dengan tindakan dirawat inap minimal 2 (dua)
hari
3) Persalinan dengan penyulit post sectio-caesaria dirawat inap minimal 3
(tiga) hari Pencatatan pelayanan pada ibu dan bayi baru lahir tercatat
pada: Registrasi ibu hamil dan Pencatatan di Buku KIA, Kartu Ibu, dan
Kohort ibu.
3. Pelayanan nifas (Post Natal Care)
Pelayanan ibu nifas dan bayi baru lahir dilaksanakan empat kali,
masing-masing satu kali pada :
1. Kunjungan pertama untuk Kf1 dan KN1 (6 jam s/d hari ke-2)
2. Kunjungan kedua untuk KN2 (hari ke-3 s/d hari ke-7)
3. Kunjungan ketiga untuk Kf2 dan KN3 (hari ke-8 s/d hari ke-28)
4. Kunjungan keempat untuk Kf3 (hari ke-29 s/d hari ke-42)
Pelayanan nifas dijamin sebanyak empat kali, terkecuali pelayanan
Nifas dengan komplikasi yang dirujuk ke Rumah sakit, maka pelayanan nifas
dilakukan sesuai pedoman pelayanan Nifas dengan komplikasi tersebut.
Keluarga Berencana (KB) adalah pelayanan KB pasca persalinan
dilakukan hingga 42 hari pasca persalinan. Jenis Pelayanan Keluarga
Berencana pasca salin antara lain :
a) Kontrasepsi mantap (Kontap)
b) IUD, Implant, dan
9
c) Suntik.
2.2.4. Pendanaan Jaminan Persalinan
1. Pendanaan Jamkesmas dan Jampersal di pelayanan dasar dan pelayanan
rujukan merupakan belanja bantuan sosial (bansos) bersumber APBN
yang dimaksudkan untuk mendorong pencapaian program, percepatan
pencapaian MDG’s 2015 serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
termasuk persalinan oleh tenaga kesehatan difasilitas kesehatan.
2. Dana belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu)
adalah dana yang diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan dan rujukan
pelayanan dasar peserta Jamkesmas, pelayanan persalinan serta rujukan
risti persalinan peserta Jamkesmas dan masyarakat sasaran yang belum
memiliki jaminan persalinan sebagai penerima manfaat jaminan.
2.3. KEMATIAN MATERNAL
2.3.1. Defenisi
Kematian maternal adalah kematian wanita sewaktu hamil, melahirkan
atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya masa kehamilan, tidak tergantung dari
lama dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan
kehamilan atau penanganannya, tetapi tidak secara kebetulan atau oleh
penyebab tambahan lainnya. (Winkjosastro (Ed), 2002)
2.3.2. Tingkat Kematian Maternal
Berdasarkan kesepakatan Internasional, tingkat kematian maternal
didefenisikan sebagai jumlah kematian maternal selama satu tahun dalam
100.000 kelahiran hidup. Sesungguhnya kematian ini lebih tepat disebut
Maternal Mortality Rasio, sebab denominator untuk Maternal Mortality Rate
seharusnya population at risk untuk kehamilan dan persalinan yaitu jumlah
wanita usia reproduksi (15-44 tahun). (Winkjosastro (Ed), 2002). Data kematian
maternal di Indonesia pada saat ini belum ada yang tepat. Hal ini disebabkan
10
oleh belum adanya sistem pendaftaran wajib untuk kelahiran kematian, menurut
perkiraan kasar angka kematian maternal adalah 6-8 per 100 kelahiran hidup.
dibeberapa daerah, selain menerima wanita untuk persalinan yang telah
mendaftarkan diri terlebih dahulu, menerima pula penderita-penderita yang
dikirim dari daerah sekitarnya karena kesukaran dalam persalinan. (Winkjosastro
(Ed), 2002)
2.3.4. Penyebab Kematian Maternal
Secara garis besar penyebab kematian ibu dapat dikategorikan dalam
penyebab langsung dan penyebab tidak langsung.
A. Penyebab Langsung
Terjadi pada kehamilan yang dikehendaki atau tidak, terdapat
komplikasi kehamilan dan persalinan seperti perdarahan, preeklampsia dan
eklampsia serta infeksi.
Perdarahan
Perdarahan dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu perdarahan
antepartum dan perdarahan postpartum.
• Perdarahan Antepartum adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan
diatas 28 minggu atau lebih, maka sering disebut atau digolongkan
perdarahan pada trimester ketiga. Perdarahan antepartum digolongkan
sebagai berikut :
1. Perdarahan yang ada hubungannya dengan kehamilan
a) Plasenta previa
b) Solusi plasenta
c) Perdarahan pada plasenta letak rendah
d) Pecahnya sinus marginalis dan vasa previa
2. Perdarahan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan
a) Pecahnya varices vagina
b) Perdarahan polip serviks
11
c) Perdarahan perlukan seviks
d) Perdarahan karena keganasan serviks
• Perdarahan Postpartum adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
setelah persalinan berlangsung, perdarahan postpartum dibagi menjadi
perdarahan postpartum primer dan sekunder
1. Perdarahan postpartum primer: Terjadi dalam 24 jam pertama,
penyebab utama adalah atoni uteri, retensio plasenta, sisa plasenta,
dan robekan jalan lahir, terbanyak dalam dua jam pertama.
Atonia uteri adalah tidak adanya kontraksi uterus setelah proses
persalinan. Penyebab dari atonia uteri adalah :
a) Tindakan persalinan
2) Partus lama/persalinan terlantar.
3) Trauma persalinan, robekan vagina.
b) Faktor predisposisi : Anemia, Grandemultipara, Jarak hamil kurang
dari 2 tahun, Distensi rahim
berlebihan : hidramnion, hamil kembar
Retensio Plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta
selama setengah jam setelah persalinan bayi. Kejadian retensio
plasenta berkaitan dengan :
- Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk
plasenta adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta dan perkreta.
- Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
- Retensio plasenta tanpa perdarahan.
- Plasenta manual dengan segera dilakukan.
2. Perdarahan postpartum sekunder: terjadi setelah 24 jam pertama,
penyebab utama adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau
membran. Perdarahan postpartum merupakan penyebab penting
kematian maternal khususnya di negara berkembang.
Faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah :
- Grandemultipara
12
- Jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun.
- Persalinan yang dilakukan dengan tindakan.
Selain perdarahan antepartum dan postpartum, perdarahan yang
masih berhubungan dengan kehamilan adalah perdarahan yang disebabkan
oleh kehamilam ektopik terganggu (KET) dan juga keguguran atau abortus.
Kehamilan ektopik terganggu (KET) : Kehamilan ektopik terganggu adalah
kehamilan yang berimplantasi di luar endometrium normal dan sudah
menimbulkan gangguan. Kejadian abortus sulit diketahui, karena sebagian
besar tidak dilaporkan dan banyak dilakukan atas permintaan. Keguguran
spontan diperkirakan sebesar 10% -15%. Keguguran atau abortus dapat
dibagi menjadi :
a) Berdasarkan Kejadiannya
1. Keguguran spontan
2. Keguguran buatan atas indikasi medis, indikasi sosial
b) Berdasarkan Pelaksanaannya
1. Keguguran buatan terapeutik
2. Keguguran buatan ilegal
c) Berdasarkan Gambaran Klinisnya : Keguguran lengkap, keguguran tidak
lengkap, keguguran mengancam, keguguran tak terhalangi, keguguran
habitualis, keguguran dengan infeksi, missed abortion.
B. Penyebab Tidak Langsung
Jangkauan daerah Indonesia yang terlalu luas, kemiskinan, status gizi,
anemia, keterlambatan memberi pertolongan yang adekuat. (Manuaba, 2001)
2.4. TEORI KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan adalah pernyataan yang luas tentang maksud, tujuan dan cara
yang membentuk kerangka kegiatan. Penyusun kebijakan merupakan mereka
yang menyusun kebijakan dalam organisasi seperti pemerintah pusat atau
daerah, perusahaan multi-nasional atau local, lembaga pendidikan atau rumah
sakit. Kebijakan Publik (Public Policy) merujuk pada kebijakan-kebijakan yang
13
dibuat oleh negara atau pemerintah sedangkan kebijakan Kesehatan (health
policy) mencakup tindakan yang mempengaruhi Institusi , organisasi, pelayanan,
dan upaya pendanaan sistem Kesehatan (Buse et al., 2005).
Andersen (1975) mendefinisikan kebijakan publik sebagai kegiatan yang
mempunyai maksud/tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh seorang/kelompok
yang berperan dengan permasalahan atau suatu yang diperhatikan.
2.4.1. Analisis Kebijakan Kesehatan
Menurut Dunn (2009) mendefinisikan analisis kebijakan adalah suatu
bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa
sehingga dapat memberikan landasan dari para pembuat kebijakan dalam
membuat keputusan.
Dalam ilmu kesehatan masyarakat, ada tiga faktor penting yang
mempengaruhi dimensi kebijakan Kesehatan yang lebih dikenal dengan segitiga
analisis kebijakan (policy analysis triangle) yang dikemukakan oleh Buse et al
(2005, 2012), yaitu:
1. Konteks merupakan faktor-faktor sistematis-politik, ekonomi, sosial atau
budaya, baik nasional maupun internasional yang dapat mempengaruhi
kebijakan Kesehatan
2. Konten (isi) merupakan substansi dari suatu kebijakan yang memperinci
bagian-bagian dalam kebijakan
3. Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan
atau disusun, dinegosiasikan, dikomunikasikan, dilaksanakan, dan di evaluasi
Dari ketiga faktor tersebut yang berperan penting dalam proses kebijakan
Kesehatan adalah aktor (pelaku) yang merujuk kepada Individu, Organisasi, atau
bahkan Negara beserta tindakan mereka yang dapat mempengaruhi kebijakan
Kesehatan. Selanjutnya, serangkaian tahapan dalam proses penyusunan
kebijakan, sebagai berikut:
14
1. Identifikasi masalah/isu, menemukan bagaimana isu-isu yang ada dapat
masuk kedalam agenda kebijakan, dan mengapa isu-isu yang lain justru tidak
pernah dibicarakan
2. Perumusan kebijakan, menemukan siapa saja yang terlibat dalam
perumusan kebijakan, bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan
dikomunikasikan
3. Pelaksanaan kebijakan, tahapan ini merupakan bagian penting dalam
penyusuna kebijakan, sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau dirubah
selama dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadi dan hasil
kebijakan tidak seperti yang diharapkan;
4. Evaluasi kebijakan, temukan apa yang terjadi saat kebijakan dilaksanakan,
bagaimana pengawasannya, apakah tujuan tercapai dan apakah terjadi
akibat yang tidak diharapkan. Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan
dapat diubah atau dibatalkan serta kebijakan yang baru ditetapkan (Buse et
al., 2005).
Ada dua jenis analisis kebijakan menurut Buse et al (2005), yaitu: analisis
kebijakan prospektif (analysis for policy) diharapkan terjadi di masa yang akan
datang. Analisis tipe ini memberikan informasi rinci tentang formulasi kebijakan
(evaluasi formatif) atau mengantisipasi bagaimana kebijakan akan berjalan bila
diterapkan. Sedangkan analisis kebijakan retrospektif (analysis of policy)
berhubungan dengan masa lampau dan deskriptif. Analisis yang satu ini lebih
melihat kebelakang dan merenungkan kembali mengapa dan bagaimana
kebijakan menemukan bentuknya sehingga agenda dan muatannya bisa
mencapai tujuan tertentu (evaluasi sumatif).
Kerangka analisis segitiga kebijakan banyak di adopsi dalam penelitian
kebijakan Kesehatan di berbagai Negara dan telah digunakan untuk menganalisis
sejumlah besar isu kesehatan termasuk Kesehatan mental, reformasi sektor
Kesehatan, TB, Kesehatan reproduksi dan pelayanan antenatal care serta
pengendalian penyakit sifilis (Gilson & Raphaely, 2007) cit Walt et al (2008).
15
2.4.2. Analisis Implementasi Kebijakan
Alexander (1985) mengemukakan bahwa salah satu metode untuk
mengidentifikasi proses implementasi kebijakan Kesehatan dengan
menggunakan teori kontigensi. Dalam teori ini, proses implementasi kebijakan
diharapkan dapat memahami variasi dalam implementasi kebijakan dan dapat
mengintegrasikan studi dan kasus serta mengidentifikasi masalah dalam
penelitian.
Menurut Meter & Horn (1975) implementasi kebijakan meliputi tindakan-
tindakan yang dilakukan melalui individu dalam kelompok baik publik maupun
privat yang diarahkan pada pencapaian tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan.
Empat Faktor inter-relasi elemen pembuatan kebijakan kesehatan (Walt
& Gilson, 1994) cit. Greena et al (2011), yaitu: 1) Bagaimana kebijakan Kesehatan
maternal di buat (proses) dengan melalui 3 tahap, yaitu: agenda setting,
pengembangan dan implementasi kebijakan termasuk evaluasi kebijakan, 2)
Untuk siapa kebijakan Kesehatan maternal di buat (siapa aktornya), 3) Apa saja
isu utama yang berimplikasi pada kebijakan Kesehatan maternal (konteks) dan
4) Apa output dari kebijakan Kesehatan maternal(isi).
2.4.3. Teori Kebijakan
2.4.3.1. Teori Meter & Horn (1975)
Dalam implementasi kebijakan menurut Meter & Horn (1975), ada enam
variabel yang mempengaruhi antara kinerja dan implementasi kebijakan, yaitu:
a. Standar dan sasaran kebijakan
Setiap kebijakan publik harus mempunyai standard an suatu sasaran
kebijakan yang jelas dan terukur (measurable). Dengan ketentuan tersebut
tujuannya dapat terwujudkan.
b. Sumber daya
Meliputi SDM (human resources), sumber daya material (material resources),
dan sumber daya metoda (method resources).
16
c. Komunikasi antar organisasi
Sebagai realitas dari program kebijakan perlu hubungan yang baik antar
instansi terkait yaitu dukungan komunikasi dan koordinasi.
d. Karakteristik agen pelaksana
Untuk mencapai keberhasilan maksimal harus diidentifikasi dan diketahui
karakteristik agen pelaksananya.
e. Kebijakan Sikap
Atau disposisi implementor dibedakan menjadi 3 hal: a) tanggapan pelaksana
terhadap kebijakan, b) kondisi, c) intensitas disposisi implementor.
f. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik
Mencakup SD ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan
memberikan dukungan bagi implementsai kebijakan, karakteristik partisipan
yakni mendukung dan menolak, bagaimana sifat opini public yang ada di
lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan
tersebut.
2.4.3.2. Teori Weimer & Vining (1999, 2010)
Menurut Weimer & Vining, ada 3 kelompok variabel yang dapat
mempengaruhi keberhasilan implementasi program kebijakan, yaitu: 1) Logika
suatu kebijakan, 2) Sebuah kebijakan harus sesuai dengan tuntutan lingkungan,
dan 3) Kemampuan pelaksana.
17
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT
3.1 Tujuan Penelitian
3.1.1. Tujuan umum
Menganalisis Implementasi Jaminan Persalinan
3.1.2. Tujuan Khusus
1. Menganalisis kebijakan Jaminan Persalinan di tingkat pusat dan
daerah
2. Menganalisis akseptabilitas kabupaten/kota terhadap program
Jaminan Persalinan
3. Menganalisis akseptabilitas provider (pemerintah dan swasta) dalam
pelayanan Kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca
persalinan) dan bayi baru lahir terhadap program Jaminan Persalinan
4. Menganalisis ketersediaan (availability), akses (accessibility) terhadap
sarana dan prasarana, SDM terhadap program Jaminan Persalinan
5. Menganalisis utilitas Pelayanan Kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas,
dan KB pasca persalinan) dan Bayi baru lahir oleh provider
(pemerintah dan swasta) yang disediakan oleh program Jaminan
Persalinan
6. Menganalisis akseptabilitas sasaran dalam pelayanan kesehatan
Ibu(hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca persalinan) dan bayi baru
terhadap program Jaminan Persalinan
7. Menganalisa pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan cakupan
pelayanan kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca
persalinan) dan bayi baru lahir terhadap program Jaminan Persalinan
8. Menganalisa akseptabilitas Toma, Toga, Lintas sektor, LSM dan
organisasi stakeholder lainnya dalam meningkatkan pelayanan
Jaminan Persalinan.
18
3.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
A. Bagi penentu kebijakan
Sebagai bahan evaluasi kebijakan dan implementasi program
Jampersal sehingga dapat dijadikan masukkan dalam menentukan/
perbaikan kebijakan program tersebut.
B. Bagi Masyarakat
Sebagai masukkan dan menerima manfaat terhadap perbaikan
program Jampersal sekaligus masyarakat sebagai kontrol dalam
pelaksanaan program kesehatan.
19
BAB IV
METODOLOGI
4.1. KERANGKA TEORI (Sandi Iljanto)
Gambar 4.1 Kerangka Teori
Menurut Sandi Iljanto, Implementasi jampersal di bentuk 4 konstrak yaitu :
1. Akseptabilitas Kebijakan, yang terdiri dari variabel antara lain turunan
kebijakan, sosialisasi dan fasilitasi peneyelenggaraan program/kegiatan.
2. Kapasitas Manajerial, yang terdiri dari variabel kepemimpinan,
ketersediaan fasyankes, ketersediaan sumberdaya kesehatan dan fungsi
manajemen.
3. Ketepatan program dan Sasaran, yang terdiri dari variabel kemiskinan,
kondisi geografis setempat dan peran keluarga.
4. Faktor Kontekstual, yang terdiri dari variabel status kesehatan Ibu dan
Anak, tren kesenjangan cakupan program KIA dan hasil pendataan sasaran
program.
20
4.2. KERANGKA PIKIR
INPUT PROSES OUTPUT
Gambar 4.2 Kerangka Pikir
Dalam penelitian Jampersal terdapat variabel Input, Proses dan Output. Variabel
Input yang mempengaruhi penelitian ini adalah 1) kebijakan di tingkat Pusat dan
Daerah; 2) Program di kabupaten/kota dengan tersedianya sarana, prasarana,
SDM, biaya dan jenis pelayanan ; 3) Kelompok sasaran Jampersal yaitu Ibu hamil,
ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir dan 4) Kelompok Potensial Masyarakat.
Varibel proses terdiri dari : 1) implementasi program Jampersal ; 2) Upaya
pelayanan dan rujukan, mengacu juknis Jampersal (Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 2562/Menkes/Per/XII/2011) ; 3) Pemberdayaan
Masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat yang mendukung pelayanan KIA.
Variabel Output dengan melihat cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Cakupan Pelayanan Ibu &
Bayi :
1. pemeriksaan kehamilan
2. pertolongan persalinan
3. pelayanan nifas
4. pelayanan bayi baru
lahir
5. pelayanan KB pasca
persalinan
6. penanganan komplikasi
ibu
hamil bersalin, nifas,
dan
bayi baru lahir.
7. pelayanan rujukan
terencana & emergency
sesuai indikasi medis
untuk ibu janin/bayinya
Implementasi
Program Jampersal
Upaya
pelayanan & rujukan
Pemberdayaan
Masyarakat
Kebijakan:
Di Tk. Pusat dan Daerah :
- Jampersal
Program Kab/Kota :
-Sarana/Prasarana
-SDM
-Biaya
-Jenis Pelayanan
Kelompok Sasaran
- Ibu hamil,
-Ibu bersalin
-Ibu nifas
-bayi baru lahir
Kelompok Potensial
Masyarakat :
-TOMA/TOGA/
-Kepala Desa
-Kader
Lintas sektor :
(BKKBN)
Organisai Masyarakat
Organisasi Profesi :
(IBI, dll)
21
4.3. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan selama sepuluh bulan pada tahun 2012. Penelitian
dilakukan di tujuh Provinsi. Pemilihan provinsi didasarkan pada indikator
cakupan pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan (LINAKES) dan jumlah
kematian ibu dan anak tinggi (absolut). Selanjutnya dari ke tujuh provinsi
tersebut, dipilih enam provinsi dengan cakupan LINAKES yang dibagi dalam tiga
kelompok yaitu tinggi, sedang dan rendah yaitu Provinsi Jawa (Riskesdas, tahun
2007). Jumlah provinsi yang dipilih untuk masing-masing kelompok sebanyak dua
provinsi untuk kelompok LINAKES yang tinggi, sedangkan untuk kelompok
LINAKES yang sedang dan rendah masing-masing dipilih dua provinsi, sehingga
jumlah provinsi terpilih semuanya ada tujuh provinsi. Selanjutnya dari provinsi
terpilih tersebut dipilih satu) kabupaten dan satu kota berdasarkan cakupan
LINAKESnya. Dari kabupaten dan kota terpilih tersebut, kemudian diambil dua
kecamatan berdasarkan cakupan LINAKES yang tinggi dan rendah berdasarkan
data/informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota yang ada di provinsi
terpilih. Lokasi penelitian Provinsi dan kabupaten & kota terpilih berdasarkan
kriteria cakupan LINAKES dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1. Pemilihan Lokasi Penelitian Provinsi, Kabupaten dan Kota berdasarkan
kriteria cakupan LINAKES
No Cakupan
LINAKES PROVINSI KOTA KABUPATEN
1 Tinggi
Jawa Timur Blitar Sampang
Kalimantan
Timur Balikpapan Paser
2 Sedang
NTB Mataram Lombok Tengah
Jawa Barat Bandung Bogor
3 Rendah
Maluku Ambon Kep.Aru
Sulawesi
Tenggara Kendari Wakatobi
22
Untuk memilih kabupaten kota berdasarkan jumlah kematian ibu dan
anak tinggi (absolut), kriteria daratan dan kepulauan, kriteria administrasi kota
dan kabupaten, pengelolaan Jampersal (penyerapan anggaran), daerah yang
tidak menggunakan Jampersal. Untuk pemilihan puskesmas dilakukan
berdasarkan penyerapan anggaran Jampersal yang tinggi dan rendah di setiap
kabupaten kota. Pemilihan rumah sakit (RS) di setiap kabupaten kota dipilih 1
(satu ) RS Pemerintah milik kabupaten/kota, sedangkan RS swasta dipilih yang
sudah mempunyai perjanjian kerjasama (PKS). Sedangkan untuk daerah yang
tidak menggunakan Jampersal dipilih Provinsi Kepulauan Riau yaitu kabupaten
Natuna.
4.4. DESAIN/JENIS PENELITIAN
• Disain Penelitian : secara potong lintang , dimana antara variabel
yang dipengaruhi dan variabel yang mempengaruhi diukur pada saat
yang sama (’point in time’).
• Jenis Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian terapan untuk
mengetahui implementasi kebijakan program Jampersal di 7 (tujuh)
propinsi di Indonesia.
4.5. RESPONDEN PENELITIAN
1. Responden sebagai pengguna program Jampersal yaitu :
a) Ibu hamil, ibu bersalin (bulin) dan ibu nifas (setelah 42 hari
melahirkan) serta ibu yang sudah melahirkan selama periode bulan
Oktober 2011 sampai dengan April 2012 di puskesmas terpilih.
b) Kelompok PKK, tokoh masyarakat : TOMA&TOGA, Kepala desa/lurah
& aparat desa, dan kader Posyandu.
2. Responden sebagai pelaksana program Jampersal :
a) Fasilitas Kesehatan tingkat pertama/dasar (Puskesmas) yaitu kepala
puskesmas, Bidan Koordinator, pengelola Jampersal di Puskesmas
dan Bidan desa yg ada di lokasi penelitian.
23
b) Fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (Rumah sakit/Balkesmas yg
mempunyai program kerjasama/PKS dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang ada di lokasi penelitian) yaitu : Direktur / Wadir
Pelayanan RS, Pengelola Jampersal RS, verifikator independen, dokter
kandungan dan kebidanan, bidan kepala ruangan.
3. Responden sebagai Provider di tingkat kabupaten/kota yaitu:
a) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota, Penanggung Jawab
program KIA.
b) Pengelola dana/ program Jampersal di Dinas Kesehatan Kabupaten /
Kota.
c) Verifikator
4. Responden dari Organisasi profesi : Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
5. Responden Masyarakat : Kepala Desa/Lurah, PKK,TOMA/TOGA, Kader
Posyandu, LSM dll.
4.6. CARA PENGUMPULAN DATA
4.6.1. Pengumpulan data kualitatif
Pengumpulan data kualitatif dilakukan oleh peneliti sebagai instrumen
dengan dibantu panduan wawancara. Pelaksanaan FGD dilakukan di
kabupaten/kota terpilih yang ada di masing-masing provinsi. Pengumpulan data
kualitatif dilakukan dengan cara mengadakan diskusi terarah secara berkelompok
(FGD), dan wawancara mendalam (Indepth interview). Pelaksanaan FGD dan
indepth interview dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara FGD dan
indepth interview.
Observasi
Observasi dalam penelitian dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi
tersamar dan observasi partisipasi. Observasi tersamar dilakukan untuk melihat
perilaku tenaga kesehatan. Sementara itu, observasi partisipasi dilakukan dengan
cara melibatkan peneliti langsung di masyarakat. Observasi partisipasi dilakukan
24
sebagai triangulasi dari indepth interview melalui pedoman wawancara dan
wawancara terstruktur melalui kuesioner. Adapun yang diobservasi adalah :
1) Kondisi geografi dan topografi yang ‘dianggap’ dapat menghambat dalam
mengakses Jampersal.
2) Interaksi sosial sasaran Jampersal dan tenaga kesehatan.
3) Interaksi sosial masyarakat terkait Jampersal.
Setelah pengumpulan data ditentukan 3 lokasi kabupaten / kota untuk
dilakukan penelitian tematik dengan dilakukan observasi selama 2 (dua) minggu
di lokasi terpilih yaitu,
a) Kota Blitar: Kota Blitar dipilih karena dianggap ada temuan menarik ketika
pengumpulan data bulan Mei 2012 diwilayah puskesmas Kepanjen Kidul
telah terdapat 4 (empat) kematian maternal periode Januaru – Juni 2012. Hal
ini menarik mengingat Kota Blitar dengan 3 puskemas Poned dan RSUD
Mardi Waluyo dengan akses mudah.
b) Lombok tengah: Di kabupaten Lombok Tengah terdapat PNPM GSC (generasi
Sehat Cerdas), yang mendukung kegiatan kesehatan Ibu dan Anak.
c) Wakatobi: di wilayah Wakatobi di pulau Tolandono kecamatan Tomia
persalinan oleh tenaga kesehatan rendah, ditengarai masyarakat di desa
Lamanggau pmasih banyak ditolong dukun walaupun sudah ada Jaminan
Persalinan.
4.6.2. Pengumpulan data kuantitatif
Pengumpulan data kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan daftar
pertanyaan yang terstruktur (kuesioner) yang meliputi :
1) Kelompok Sasaran ( Bumil, Bulin dan Bufas) : Data sikap, pengetahuan dan
perilaku (PSP) dari responden penelitian yang berkaitan dengan penggunaan
dana Jampersal (ibu hamil, ibu melahirkan, ibu nifas dan bayi baru lahir)
dan KB pasca persalinan yang berkaitan dengan pelaksanaan program
Jampersal.
25
Pengambilan sampel dari data sararan adalah Bumil, Bulin dan Bufas yang
pada periode oktober 2011-April 2012 yang ada di puskesmas terpilih (
diambil dari kohort). Kemudian diambil secara acak sebanyak 70 orang
setiap puskesmas terpilih (berdasarkan rumus metode survei).
n = Z2
1 - 2/2 P (1-P) N
d2 (N-1) + Z
2 1 - 2/2 P (1-P) N
Pengumpulan data ini dilakukan dengan merekrut enumerator di kabupaten
/ kota lokasi penelitian. Untuk pengambilan data di setiap puskesmas (
sebanyak 70 responden yang sudah di sampling) dilakukan oleh 2
enumerator yang dipilih dengan kriteria 1) dapat menyediaan waktu sekitar
1 (satu) minggu) untuk melaksanakan survei ini. 2) pendidikan minimal D3
kesehatan dengan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan Poltekes
setempat. Enumerator sebelum terjun dilakukan pelatihan selama 1 (satu)
oleh tim peneliti tentang tujuan penelitian dan cara pengumpulan data.
2) Data sikap, pengetahuan dan perilaku (PSP) dari bidan Puskesmas dan Bidan
desa sebagai pelaksana program Jampersal. Pengambilan sampel dari bidan
puskesmas adalah seluruh bidan pada puskesmas terpilih
4.6.3. Data sekunder
Data Sekunder dikumpulkan berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan
program Jampersal baik yang ada di tingkat kabupaten/kota maupun di fasilitas
kesehatan di tingkat dasar (Puskesmas) dan di tingkat lanjutan (Rumah Sakit) .
Pengumpulan data sekunder berupa profile kesehatan dilakukan dengan cara
menghubungi masing-masing Dinas kesehatan/kota terpilih untuk mengirimkan
data tersebut sebelum dilakukan pengumpulan data di lapangan. Sedangkan
pengumpulan data laporan kegiatan di Puskesmas dan rumah sakit dimulai pada
saat dilakukan persiapan daerah di masing-masing propinsi terpilih.
Data sekunder ini meliputi:
1. Profil kesehatan: Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, tahun 2010 dan 2011
26
2. Laporan kegiatan Puskesmas (tahun 2010 & 2011) meliputi: pemeriksaan
kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas, pelayanan bayi baru lahir,
KB pasca persalinan dan penanganan komplikasi pada kehamilan, persalinan,
nifas dan bayi baru lahir.
3. Data pertolongan persalinan yang terkait dengan rujukan persalinan di
Puskesmas dan Rumah Sakit/RS tahun 2010 & 2011.
4. Data tentang penyerapan anggararan Jampersal di tingkat Kabupaten dan
rumah sakit.
5. Data tentang cakupan pelayanan Jampersal di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit,
dan Puskesmas.
4.7. VARIABEL PENELITIAN
Variabel penelitian ini meliputi :
1. Kebijakan Jampersal di tingkat pusat dan daerah
2. Sarana dan prasarana di pelayanan kesehatan yang terkait dengan
Jampersal
3. SDM yang terkait dengan Jampersal.
4. Pembiayaan Jampersal
5. Pelayanan Jampersal
6. Pemberdayaan Masyarakat
27
4.8. DEFINISI OPERASIONAL
Tabel 4.2. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional
1. Kebijakan Tk. Pusat Kebijakan di tingkat pemerintah pusat yang
terdiri dari peraturan menteri, keputusan
menteri, keputusan presiden, peraturan
pemerintah, maupun undang-undang yang
terkait dengan peaksanan jaminan
persalinan
2. Kebijakan Tk Daerah Peraturan ditingkat Provinsi, Kabupaten Kota
(Perda, SK Bupati/Walikota, SK Kepala Dinas
Kesehatan dll.
3. Program Kab/Kota Kegiatan ditingkat kabupaten /Kota dalam
upaya menunjang program Jampersal
(Pemenuhan sarana, prasarana, SDM ,
pembiayaan dan jenis pelayanan)
4. Sasaran Ibu Hamil Ibu yang pada periode oktober 2011- April
2012 sedang dalam kondisi hamil
5. Sasaran Ibu bersalin Ibu yang pada periode oktober 2011- April
2012 dalam kondisi sedang atau baru
bersalin
6. Sasaran Nifas Ibu yang pada periode oktober 2011- April
2012 sedang dalam periode nifas ( mlai dari
persalinan selesai sampai alat-alat
kandungan seperti pra hamil sekitar 6-8 mgg
atau sekitar 42 mgg
7. Bayi baru lahir Bayi baru lahir dengan usia 0-7 hari disebut
neonatal dini dan usia 7-28 hari disebut
neonatal lanjut.
8. TOMA/TOGA Orang / tokoh yang disegani di masyarakat .
Tokoh masyarakat bisa tokoh Agama, tokoh
adat, perangkat desa dll.
9. Implementasi Program
Jampersal
Penerapan Jaminan persalinan di tingkat
kabupaten mulai dari Dinas kesehatan,
Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Praktek
Swasta, masyarakat.
10. Upaya Pelayanan dan
Rujukan
Upaya pelayanan Jaminan persalinan yang
tercantum dalam juknis Jampersal tahun
2011 dan 2012
11. Pemberdayaan
Masyarakat
Upaya untuk membentuk individu dan
masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian
tersebut meliputi kemandirian berpikir,
bertindak dan mengendalikan apa yang
mereka lakukan. Kemandirian masyarakat
merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan
kemampuan memikirkan, memutuskan
serta melakukan sesuatu yang dipandang
28
tepat demi mencapai pemecahan masalah
yang dihadapi dengan mempergunakan
daya/kemampuan yang dimiliki dalam
kaitannya dengan pencarian pertolongan
pada persalinan /KIA.
4.9. KERANGKA OPERASIONAL
4.9.1. Tahap pemilihan Lokasi Penelitian
kriteria : cakupan linakes
( tinggi, sedang, rendah)
kriteria : Data cakupan linakes
Dinkes Kab/Kota
Gambar 4.3 Kerangka Operasional
Tahap persiapan
+2 bln
Tahap pengumpulan
& pengukuran + 4 bln
Tahap Penyelesaian 4 bln
Provinsi terpilih (7)
1 Kabupaten dan 1 Kota terpilih/provinsi
2 kecamatan/kabupaten dan kota
Pemilihan Responden di tingkat : masyarakat,: ibu yg sdh melahirkan
Faskes : Puskesmas ,RS, Dinkes kab/kota dan provinsi
Uji Coba kuesioner
Persiapan Daerah di masing-masing lokasi penelitian
Pengumpulan data : Kualitatif : FGD & Indepth interview) Kuantitatif : data primer & sekunder
Editing,Cleaning dan inputing Data
Pengolahan dan Analisis Data
Laporan Akhir
29
4.9.2. Tahap Pelaksanaan Persiapan di lapangan :
Gambar 4.4
Tahapan pelaksanaan persiapan di lapangan
4.9.3. Tahap Pengumpulan Data Di Lapangan :
1. Menyiapkan instrumen penelitian yaitu daftar pertanyaan
terstruktur/kuesioner
2. Menyiapkan panduan wawancara untuk data kualitatif (FGD & indepth
interview)
3. Melakukan uji coba kuesioner, menganalisis hasil uji coba (validitas &
reabilitas) serta memperbaiki kuesioner jika ada perubahan
berdasarkan hasil analisis uji coba kuesioner.
4. Mengadakan pertemuan dengan tim Dinas Kesehatan di tingkat Provinsi
Pengurusan ijin Etik penelitian
(Komisi Etik penelitian)
Komunikasi dg Key person yg ada di :
DinKes Propinsi,
DinKes kabupaten/kota dan
Faskes ( Puskesmas & RS)
Pengiriman Form untuk kerangka sampel pada ibu yg sudah
melahirkan /bulin selama periode 6 bl ke Bidan (Puskesmas)
Profile Kesehatan kabupaten/kota
Persiapan Daerah :
- ijin penelitian di masing2 provinsi terpilih
- menentukan lokasi kecamatan di msg2 kabupaten/kota di provinsi terpilih
- menentukan sampel penelitian untuk data kualitatif (FGD & indepth) &
kuantitatif
- mengkondisikan pelaksanaan pengumpulan data di lapangan
30
5. Mengadakan pertemuan dengan tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
di masing- masing provinsi
6. Menentukan peneliti daerah yang terlibat dalam penelitian untuk
masing2 lokasi Penelitian (Dinkes Kabupaten/Kota, Bidan Puskesmas,
Bidan desa)
7. Mendiskusikan pelaksanaan FGD & indepth interview untuk masing2
kelompok responden di lokasi penelitian
8. Menentukan responden penelitian yang terpilih di masing-masing lokasi
penelitian sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian
4.10. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan dan analisis data
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dianalisis secara secara diskriptif.
Sedangkan untuk data kualitatif hasil FGD dan wawancara mendalam dilakukan
secara content analysis, dengan menganalisis transkrip hasil diskusi dan
mendeskripsikannya dalam bentuk naratif. Sementara itu, untuk observasi
partisipasi dilakukan dengan empat tahap analisis, yaitu analisis domain, analisis
taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema.
4.11. PERTIMBANGAN IJIN PENELITIAN
Surat izin penelitian diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan sedangkan etik penelitian diperoleh dari Komisi Etik penelitian
dengan mengeluarkan Ethical Clearence (EC).
31
4.12. JADWAL KEGIATAN
Tabel 4.3. Gant Chart Jadual Kegiatan Penelitian
No
Uraian Kegiatan
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Pembuatan Proposal&
Protokol
2 Pembuatan :
Kuesioner Panduan
FGD&indepth interview
Peetunjuk teknis di
lapangan
Formulir Sampling
Frame
3 Permintaan Ethical
clearance
4 Uji Coba Kuesioner
5 Persiapan daerah
5 Pengumpulan data
sekunder
6 Pengmpulan data
kuantitatif & kualitatif
9 Analisis data
10 Penyusunan draf t Lap
Awal
11 Penyusunan Lap Awal
12 Desiminasi awal
13 Penyusunan Laporan
33
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari Hasil penelitian di dapatkan data hasil wawancara dan FGD (berupa
transkrip), Data kuantitatif dari bidan sebanyak 736 orang dan sasaran sebanyak
1787 orang dari 13 kabupaten/kota yang menjadi lokasi penelitian, kecuali
kabupaten Natuna (sebagai pembanding) karena tidak memanfaatkan dana
Jampersal. Selain itu juga terkumpul data sekunder dari Dinas kesehatan, rumah
sakit dan puskesmas. Setelah dilakukan analisis data hasil penelitian kami susun
berdasarkan tujuan penelitian dengan dimulai memaparkan karakteristik wilayah
penelitian dan reponden sebagai berikut :
Laporan penelitian ini akan menjawab tujuan penelitian yang dijelaskan
dengan urutan sebagia berikut: 1) karakteristik, 2) implementasi kebijakan
Jampersal di tingkat pusat dan Daerah, 3) akseptabilitas kabupaten terhadap
program Jampersal, 4) akseptabilitas provider dalam pelayanan jampersal, 5)
ketersediaan dan akses terhadap sarana dan serta sumberdaya manusia
terhadap Jampersal, 6) utilitas pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi baru lahir yang
disediakan oleh jampersal, 7) akseptabilitas sasaran dalam Kesehatan Ibu dan
Bayi baru lahir terhadap Jampersal, 8) Pemberdayaan dalam meningkatkan
Cakupan pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi baru lahir terhadap Jampersal, dan
9) akseptabilitas Toma, Toga, lintas sektor, LSM dan organisasi lainnya dalam
meningkatkan pelayanan Jampersal. Hal ini dilaksanakan oleh karena dalam
implementasi Jampersal dipengaruhi oleh faktor tersebut diatas.
5.1. SEKILAS TENTANG LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN
Penelitian ini dilakukan di tujuh provinsi yang terdiri dari tujuh kabupaten
dan tujuh kota. Dengan kata lain, penelitian ini dilakukan di 14 lokasi.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat perbedaan dalam implementasi
Jampersal di 14 lokasi tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan banyak faktor.
Salah satunya adalah faktor letak geografi. Secara tidak langsung faktor geografi
34
tersebut berpengaruh dalam implementasi Jampersal. Dalam hal ini, keadaan
geografi akan dibedakan menjadi dua yaitu 1) berdasarkan kabupaten dan kota,
dan 2) berdasarkan kepulauan dan ‘non-kepulauan’.
Penelitian ini dilakukan di tujuh kabupaten dan tujuh kota. Hal ini
dilakukan untuk menemukan pola perbedaan atau persamaan dalam
implementasi antara kabupaten dan kota. Selain itu, lokasi penelitian ini juga
dilakukan di kepulauan dan ‘non-kepulauan’. Daerah yang dikatakan kepulauan
adalah daerah yang mempunyai gugusan-gugusan pulau yang menjadi
wilayahnya, sedangkan ‘non-kepulauan’ tidak memiliki gugusan-gugusan
tersebut. Banyaknya gugusan pulau yang dimiliki oleh daerah kepulauan,
menyebabkan daerah ini membutuhkan transportasi air yang lebih banyak
daripada daerah non-kepulauan.
Perbedaan keadaan geografi tersebut seharusnya menjadi pertimbangan
dalam pendistribusian tenaga kesehatan khususnya bidan. Menurut Badan
PPSDMK, Kementerian Kesehatan RI Tahun 2011, untuk ratio bidan Indonesia
(Nasional) adalah 52,25. Sementara itu ratio Bidan di lokasi penelitian per
100.000 adalah sebagai berikut:
- terdapat empat provinsi yang memiliki ratio bidan di bawah nasional (57,25),
yaitu Jawa Timur (33,94), Jawa Barat (24,38), NTB (45,56) dan Kalimantan
Timur (52,09), dan
- tiga provinsi yang memiliki ratio bidan di atas rata-rata nasional, yaitu
Maluku (74,14), Sulawesi Tenggara (74,67) dan Kepulauan Riau (64,56).
Namun, kadangkala tingginya ratio bidan dalam suatu daerah belum tentu
menjamin kualitas pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
Selain data PPSDMK tersebut terdapat juga data dari Direktorat Bina Gizi
dan KIA, Kementerian Kesehatan Tahun 2012, yang menyatakan bahwa data
cakupan untuk persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (linakes) adalah
sebagai berikut:
35
- terdapat dua provinsi yang mempunyai cakupan linakes di atas rata-rata
cakupan linakes nasional (86,30 %), yaitu Jawa Timur (95,28%) dan Kepulauan
Riau (97,84%), dan
- terdapat lima provinsi yang mempunyai cakupan linakes di bawah cakupan
linakes nasional, yaitu Jawa Barat (81,49%), Nusa Tenggara Barat (82,02%),
Maluku (77,39%), Sulawesi Tenggara ( 85,44%), dan Kalimantan Timur
(85,35%).
Masih banyaknya provinsi di Indonesia yang mempunyai cakupan linakes
di bawah rata-rata nasional tersebutlah yang menyebabkan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia mengadakan Jampersal. Hal ini dilakukan untuk
menarik minat masyarakat untuk melakukan persalinan ke tenaga kesehatan dan
di fasilitas kesehatan. Namun, apakah persalinan ‘gratis’ tersebut dapat menarik
minat masyarakat untuk melakukan persalinan ke tenaga kesehatan di fasilitas
kesehatan?
Gambar 5.1 Peta Wilayah Indonesia
Perbedaan karakteristik wilayah tersebut seharusnya menjadi
pertimbangan dalam pendistribusian tenaga kesehatan khususnya bidan.
Menurut Badan PPSDMK, Kementerian Kesehatan RI Tahun 2011, untuk rasio
36
bidan Indonesia (Nasional) adalah 52,25. Sementara itu rasio Bidan di lokasi
penelitian per 100.000 adalah sebagai berikut : terdapat 4 (Empat) provinsi lokasi
penelitian rasio bidan dibawah nasiona (57,25). yaitu Jawa Timur (33,94), Jawa
Barat (24,38), NTB (45,56) dan Kalimantan Timur (52,09). Sedangkan 3 (Tiga)
provinsi yaitu Maluku (74,14), sulawesi Tenggara (74,67) dan kepulauan Riau
(64,56).
Selain data PPSDMK tersebut terdapat juga data dari Direktorat Bina Gizi
dan KIA, Kementerian Kesehatan Tahun 2012, yang menyatakan bahwa data
cakupan untuk persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (Linakes) adalah
sebagai berikut : Cakupan Linakes Indonesia (Nasional) adalah 86,30 %, provinsi
lokasi penelitian yang diatas angka Nasional adalah Jawa Timur (95,28%),
Kepulauan Riau (97,84%) sedangkan Jawa Barat (81,49%), Nusa Tenggara Barat
(82,02%), Maluku (77,39%), Sulawesi Tenggara ( 85,44%) dan Kalimantan Timur
(85,35%) masih dibawah angka Nasional.
5.1.1. Karakteristik Responden Ibu Hamil, Bersalin, dan Nifas
Selain membahas tentang karakteristik wilayah penelitian, dibahas juga
karakteristik responden ibu hamil, ibu bersalin dan ibu Nifas yang merupakan
sasaran Jampersal. Dari sasaran Jampersal ada yang memanfaatkan Jampersal
dan ada yang tidak memanfaatkan Jampersal. Pada bagian ini akan menjelaskan
karakteristik kedua sasran tersebut. Karakteristik meliputi umur, pendidikan dan
jumlah anak (paritas).
Pada penelitian ini dilakukan pengumpulan data pada sasaran Jampersal
yaitu ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas periode Oktober 2011 sampai dengan
April 2012. Responden diambil di wilayah 2 puskesmas terpilih di kabupaten /
kota, diambil dari list kohort ibu masing-masing puskesmas sebanyak 70
responden yang diambil secara acak. Dari 13 kabupaten/ Kota terkumpul
sejumlah 1.787 orang. Dari analisis data karakteristik responden sebagai berikut :
37
Gambar 5.2
Karakteristik Responden berdasarkan umur pada sasaran Riset Evaluatif Implementasi
Jampersal Tahun 2012
N = 1.787
Dari karakteristik responden sasaran yang terkumpul, nampak sekitar
15%-20% responden adalah resiko tinggi yaitu ibu hamil berusia < 20 tahun dan
umur >35 tahun. Yang menarik prosentase ibu hamil pada usia kurang dari 20
tahun cukup tinggi (>10%) terutama di Kota Blitar, Kota Bandung, kepulauan
Aru, Wakatobi dan Kota Batam. Dan prosentase ibu hamil> 35 tahun tinggi
(>10%) di Sampang, Kota Mataram, Lombok Tengah dan tertinggi di Paser (17%).
Setiap kehamilan dan persalinan mempunyai risiko meskipun bagi
perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya, kira - kira 40
% ibu hamil mempunyai masalah kesehatan yang berkaitan dengan masalah
38
kehamilan dan 15 % ibu hamil menderita komplikasi jangka panjang. Oleh karena
itu pada usia reproduksi, banyaknya kehamilan akan meningkatkan risiko
perempuan untuk mendapatkan masalah kesehatan. Kematian ibu paling banyak
terjadi pada usia antara 20 sampai 30 tahun, usia paling produktif untuk hamil
dan melahirkan sehingga berisiko menderita penyakit baik akibat langsung dari
kehamilan maupun tidak langsung. (Rukmini dkk, 2005). Resiko tersebut akan
semakin meningkat pada usia di luar usia reproduksi (< 20 tahun atau >35
tahun). Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa
kematian maternal akan meningkat 4 kali lipat pada ibu yang hamil pada usia 35
– 39 tahun bila dibanding wanita yang hamil pada usia 20 – 24 tahun. Usia
kehamilan yang paling aman untuk melahirkan adalah usia 20 – 30 tahun
(Kemenkes RI, 2004).
Gambar 5.3.
Karakteristik Responden berdasarkan pendidikan pada sasaran Riset Evaluatif
Implementasi Jampersal Tahun 2012
Karakteristik pendidikan dari responden > 50% adalah berpendidikan
SLTP dan hanya 8,10% saja yang berpendidikan Perguruan Tinggi. Bahkan di
39
Sampang hampir seluruh responden berpendidikan SLTP, disusul di Lombok
tengah dan Bogor responden berpendidikan SLTP > 70%. Kondisi ini
menggambarkan bahwa sasaran Jaminan Persalinan sebagian besar adalah
pendidikan rendah.
5.1.2. Karakteristik Pengguna Jampersal
Jampersal disediakan untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik dari kelas
bawah, menengah, atau pun atas. Namun, tidak semua masyarakat Indonesia
berminat untuk mendapatkan persalinan gratis tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian ini menunjukan bahwa dari 1787 responden sasaran ibu hamil, ibu
bersalin dan ibu nifas yang menggunakan Jampersal sebanyak 1254 responden
(70,2%). Hal ini menunjukan Jampersal banyak diminati oleh masyarakat.
Masyarakat yang banyak menggunakan Jampersal rata-rata berusia
sekitar 20-35 tahun. Namun, ada 17,70% masyarakat yang mempunyai resiko
tinggi berdasarkan usia, yaitu di bawah umur 20 tahun dan di atas 35 tahun.
Target Nasional untuk cakupan resiko tinggi oleh tenaga kesehatan adalah 20%.
Pada pengguna Jampersal risiko tinggi berdasarkan umur, mencapai 17,70 adalah
cukup tinggi. Dari kajian lanjut data Sensus Penduduk (SP) 2010 didapatkan
bahwa usia resiko tinggi pada ibu hamil penyumbang kematian maternal cukup
tinggi yaitu pada usia ibu < 20 tahun (6,9%) dan > 35 tahun (25,6%). Hal ini
seperti yang ditunjukan pada gambar berikut ini:
40
Gambar 5.4.
Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan Umur pada sasaran Riset
Evaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012
N= 1.254
Selain berdasarkan umur, pengguna Jampersal juga dapat dilihat
berdasarkan pendidikan. Berdasarkan pendidikan, lebih dari 50% pengguna
Jampersal berpendidikan SLTP, bahkan di Sampang hampir seluruh responden
berpendidikan SLTP, disusul di Lombok tengah dan Bogor responden
berpendidikan SLTP > 70%. Sementara itu, yang berpendidikan sampai perguruan
tinggi hanya 8,10% saja. Kondisi ini menggambarkan bahwa sasaran Jaminan
Persalinan sebagian besar adalah pendidikan rendah.
41
Gambar 5.5.
Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan Pendidikan pada sasaran
Riset Evaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012
N= 1.254
Berdasarkan Riskesdas 2010 permasalahan kesehatan pada perempuan
berawal dari masih tingginya usia perkawinan pertama di bawah 20 tahun (4,8%
pada usia 10 – 14 tahun, 41,9% pada usia 15 -19 tahun). Salah satu yang
dilakukan pemerintah adalah dengan mendorong program wajib belajar 15
tahun dengan harapan akan menunda pernikahan dini karena harus mengikuti
pendidikan formal terlebih dahulu (Riskesdas, 2010).
Selain faktor umur dan pendidikan, pengguna Jampersal juga dapat
dilihat berdasarkan jumlah anak yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian, rata-
rata pengguna Jampersal mempunyai anak kurang dari empat orang. Namun,
masih 12,10% pengguna Jampersal yang mempunyai anak di atas empat orang.
Hal ini perlu menjadi pertimbangan mengapa sasaran Jampersal tidak ada
pembatasan jumlah anak , seperti diketahui semakin banyak jumlah anak maka
resiko dalam kehamilan juga semakin besar. Informasi dari data SP 2010
didapatkan kematian maternal yang mempunyai anak >4 adalah 10,5%.
42
Gambar 5.6.
Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan Jumlah Anak pada sasaran
RisetEvaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012
(N=1254)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dari 1787 responden
sasaran ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas yang menggunakan Jampersal
sebanyak 1254 responden. Dengan kata lain, masih ada sekitar 533 responden
yang tidak menggunakan Jampersal. Hal ini tentu menjadi tanda tanya mengapa
mereka tidak mau menggunakan Jampersal, padahal pelayanan tersebut
merupakan pelayanan gratis yang diberikan oleh pemerintah. Pertanyaan ini
akan dijawab dalam tujuan penelitian tentang akseptabilitas sasaran terhadap
Jampersal.
43
5.2 KEBIJAKAN JAMINAN PERSALINAN DI TINGKAT PUSAT DAN DAERAH
Kebijakan Jaminan Persalinan di tingkat Pusat adalah kebijakan Jampersal
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2562/Menkes/Per/XII/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.
Sedangkan kebijakan Jaminan Persalinan di Daerah adalah implementasi
Jampersal di 14 kab/ Kota lokasi penelitian. Petunjuk teknis tersebut mulai
berlaku per 1 Januari 2012.
5.2.1. Kebijakan Jaminan Persalinan di Pusat
Untuk mempercepat pencapaian MDG’s Kementerian Kesehatan RI pada
tahun 2011 melaksanakan program Jaminan Persalinan. Dalam menindaklanjuti
pelaksanaan program Jampersal diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 631/ Menkes / Per /III/2011. Dalam pelaksanaannya Jampersal pada
tahun 2011 banyak ditemukan kendala, walaupun dicanangkan awal 2011 tapi
pada kenyataannya baru dapat dilaksanakan April 2011. Hal ini menimbulkan
beberapa masalah di daerah karena tahun anggaran saat itu sudah berlangsung.
Tahun 2012 diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2562/Menkes/Per/XII/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.
Diharapkan dengan juknis yang sudah disempurnakan dari sebelumnya program
jampersal dapat berjalan lebih baik dari tahun sebelumnya.
Petunjuk teknis untuk pelaksanaan Jampersal tahun 2012 dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu dan anak dan mempercepat pencapaian
MDG’setelah ditetapkan kebijakan bahwa setiap ibu yang melahirkan, biaya
persalinannya ditanggung oleh Pemerintah melalui Program Jaminan Persalinan.
Tujuan dari Program Jampersal adalah Meningkatnya akses terhadap
pelayanan kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang di fasilitas
kesehatan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB. Adapun tujuan khususnya
adalah
44
a. Meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan
pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
b. Meningkatnya cakupan pelayanan:
a) bayi baru lahir.
b) Keluarga Berencana pasca persalinan.
c) Penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir, KB
pasca persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan
akuntabel.
5.2.1.1. Sasaran
Kelompok sasaran adalah yang berhak mendapat pelayanan yang
berkaitan langsung dengan kehamilan dan persalinan baik normal maupun
dengan komplikasi atau resiko tinggi. Sasaran yang dijamin oleh Jaminan
Persalinan adalah Ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir.
5.2.1.2. Paket Pelayanan
a. Jenis pelayanan Jaminan persalinan di tingkat pertama meliputi:
1. Pelayanan ANC sesuai standar pelayanan KIA dengan frekuensi 4 kali;
2. Deteksi dini faktor risiko, komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir
3. Pertolongan persalinan normal;
4. Pertolongan persalinan dengan komplikasi dan atau penyulit pervaginam
yang merupakan kompetensi Puskesmas PONED.
5. Pelayanan Nifas (PNC) bagi ibu dan bayi baru lahir sesuai standar pelayanan
KIA dengan frekuensi 4 kali;
6. Pelayanan KB paska persalinan serta komplikasinya.
7. Pelayanan rujukan terencana sesuai indikasi medis untuk ibu dan janin/
bayinya.
b. Jenis pelayanan Persalinan di tingkat lanjutan meliputi:
1. Pemeriksaan kehamilan (ANC) dengan risiko tinggi (risti)
45
2. Pertolongan persalinan dengan risti dan penyulit yang tidak mampu
dilakukan di pelayanan tingkat pertama.
3. Penanganan komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir dalam kaitan akibat
persalinan.
4. Pemeriksaan paska persalinan (PNC) dengan risiko tinggi (risti).
5. Penatalaksanaan KB paska salin dengan metode kontrasepsi jangka panjang
(MKJP) atau kontrasepsi mantap (Kontap) sertapenanganan komplikasi.
5.2.1.3. Kepesertaan
Jaminan Persalinan adalah perluasan kepesertaan dari Jamkesmas dan
tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja. Manfaat yang diterima oleh
penerima manfaat Jaminan Persalinan terbatas padapelayanan kehamilan,
persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan. Penerima manfaat
Jaminan Persalinan mencakup seluruh sasaran yang belum memiliki jaminan
kesehatan untuk persalinan.
5.2.1.4. Persyaratan Klaim
1. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Pertanggungjawaban klaim pelayanan Jaminan Persalinan dari
fasilitas kesehatan tingkat pertama ke Tim Pengelola Kabupaten/Kota
dilengkapi:
a. Fotokopi kartu identitas diri sasaran yang masih berlaku (KTP atau
identitas lainnya), dan bagi peserta jamkesmas dilengkapi dengan
fotokopi kartu Jamkesmas.
b. Fotokopi lembar pelayanan pada Buku KIA sesuai pelayanan yang
diberikan untuk Pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas, termasuk
pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan. Apabila peserta
Jamkesmas atau penerima manfaat Jaminan Persalinan non Jamkesmas
tidak memiliki buku KIA pada daerah tertentu, dapat digunakan kartu ibu
atau keterangan pelayanan lainnya pengganti buku KIA yang
ditandatangani ibu hamil/bersalin dan petugas yang menangani. Untuk
46
pemenuhan buku KIA di daerah, Tim Pengelola Kabupaten/Kota
melakukan koordinasi kepada penanggung jawab program KIA daerah
maupun pusat (Ditjen Gizi dan KIA).
c. Partograf yang ditandatangani oleh tenaga kesehatan penolong
persalinan untuk Pertolongan persalinan. Pada kondisi tidak ada partograf
dapat digunakan keterangan lain yang menjelaskan tentang pelayanan
persalinan yang diberikan.
d. Fotokopi/tembusan surat rujukan, termasuk keterangan tindakan pra
rujukan yang telah dilakukan di tandatangani oleh sasaran/keluarga.
2. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
Pertanggungjawaban klaim pelayanan Jaminan Persalinan di fasilitas
kesehatan lanjutan dilengkapi :
a) Fotokopi kartu identitas diri sasaran yang masih berlaku (KTP atau
identitas lainnya), dan bagi peserta jamkesmas dilengkapi dengan
fotokopi kartu Jamkesmas.
b) Fotokopi/tembusan surat rujukan dari Puskesmas, Fasilitas Kesehatan
Swasta/Bidan Praktik Mandiri di tandatangani oleh sasaran atau keluarga
sasaran.
c) Bukti pelayanan untuk Rawat Jalan dan resume medis untuk rawat inap
5.2.1.5. Pemberi Layanan
Fasilitas kesehatan tingkat pertama swasta seperti Bidan Praktik Mandiri,
Klinik Bersalin, Dokter praktik yang berkeinginan ikut serta dalam program ini
harus mempunyai perjanjian kerja sama (PKS) dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota selaku Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK atas nama
Pemerintah Daerah setempat yang mengeluarkan ijin praktiknya. Sedangkan
untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan baik pemerintah maupun swasta harus
mempunyai Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota selaku Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota yang
47
diketahui oleh Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Provinsi. Contoh format
perjanjian kerjasama sebagaimana Formulir 1 terlampir.
5.2.1.6. Besaran Tarif pelayanan
Tabel 5.1. Tarif pelayanan Jaminan Persalinan Tahun 2012
No Jenis pelayanan Frekuensi Tarif Jumlah Keterangan
1. Pemeriksaan kehamilan 4 kali 20.000 80.000 Standar 4x
2. Persalinan normal 1 kali 500.000 500.000
3. Pelayanan nifas termasuk
pelayanan bayi baru lahir
dan KB pasca persalinan
4 kali 20.000 80.000 Standar 4x
4. Pelayanan tindakan pra
rujukan untuk ibu hamil,
bersalin, nifas dan bayi baru
lahir dengan komplikasi.
1 kali 100.000 100.000 Pada saat
menolong
persalinan
ternyata
ada komplikasi,
wajib segera
dirujuk
5. Pelayanan pasca keguguran,
persalinan per vaginam
termasuk pelayanan nifas
dan pelayanan bayi baru
lahir dengan tindakan
emergensi dasar.
1 kali 650.000 650.000 Dilakukan di
Puskesmas
PONED
Sedangkan tarif untuk pelayaan Jampersal di Rumah sakit menggunakan
tarif standart INA-CBG’s.
5.2.1.7. Pendanaan
1. Pendanaan Jamkesmas dan Jampersal di pelayanan dasar dan pelayanan
rujukan merupakan belanja bantuan sosial (bansos) bersumber APBN
yang dimaksudkan untuk mendorong pencapaian program, percepatan
pencapaian MDG’s 2015 serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
termasuk persalinan oleh tenagakesehatan di fasilitas kesehatan.
48
2. Dana belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada angka 1(satu)
adalah dana yang diperuntukkan untuk pelayanankesehatan dan rujukan
pelayanan dasar peserta Jamkesmas, pelayanan persalinan serta rujukan
risti persalinan peserta Jamkesmas dan masyarakat sasaran yang belum
memiliki jaminan persalinan sebagai penerima manfaat jaminan.
3. Dana Jampersal di pelayanan kesehatan dasar disalurkan ke rekening
Dinas kesehatan kabupaten/kota, terintegrasi (menjadi satu kesatuan)
dengan dana Jamkesmas.
4. Setelah dana tersebut disalurkan Kementerian Kesehatan ke rekening
Dinas Kesehatan sebagai penanggung jawab program (melalui SP2D) dan
rekening Rumah Sakit, maka status dana tersebut berubah menjadi dana
peserta Jamkesmas dan masyarakat penerima manfaat Jaminan
Persalinan.
5. Dana Jamkesmas dan Jampersal yang disalurkan sebagaimana pada poin
1 s/d 4 di atas, bukan bagian dari dana transfer daerah ke Pemerintah
Kabupaten/Kota sehingga penggunaan dana tersebut tidak melalui Kas
Daerah (Perdirjen Perbendaharaan Nomor: PER- 21/PB/2011). Setelah
hasil verifikasi klaim dibayarkan sebagai penggantian pelayanan
kesehatan, maka status dana menjadi pendapatan fasilitas kesehatan
untuk daerah yang belum menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD
(PPK-BLUD), sedangkan bagi fasilitas kesehatan daerah yang sudah
menerapkan PPK-BLUD, pendapatan tersebut merupakan pendapatan
lain-lain PAD yang sah, selanjutnya pemanfaatannya mengikuti ketentuan
Peraturan perundang undangan.
6. Pembayaran pelayanan persalinan dan KB bagi peserta Jamkesmas
maupun penerima manfaat Jaminan Persalinan di pelayanan dasar dan di
pelayanan rujukan oleh fasilitas kesehatan dilakukan dengan mekanisme
“Klaim”.
7. Jasa pelayanan KB di pelayanan dasar di klaimkan pada Tim Pengelola
Jamkesmas & BOK di Dinas Kesehatan sesuai besaran yang ditetapkan,
49
sedangkan jasa pelayanan KB di pelayanan lanjutan mengikuti pola
pembayaran INA-CBG’s.
8. Transport rujukan risti, komplikasi kebidanan dan komplikasi neonatal
pasca persalinan bagi penerima manfaat Jaminan Persalinan di pelayanan
kesehatan dasar dibiayai dengan dana dalam program ini, mengacu pada
Standar Biaya Umum (SBU) APBN, Standar biaya transportasi yang
berlaku di daerah.
9. Sisa dana pada rekening Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota yang
tidak digunakan dan/atau tidak tersalurkan sampai dengan akhir tahun
anggaran harus disetorkan ke Kas Negara dan menggunakan Surat
Setoran Bukan Pajak (SSBP).
10. Apabila terjadi kekurangan dana pelayanan persalinan atau pelayanan
persalinan yang sudah diberikan akan tetapi belum diklaimkan/belum
terbayarkan pada akhir tahun anggaran, maka kekurangan atas pelayanan
yang belum diklaimkan/ terbayarkan tersebut akan diperhitungkan dan
dibayarkan pada tahun berikutnya sepanjang ditunjang dengan bukti-
bukti yangsah.
11. Pemanfaatan dana jaminan persalinan pada pelayanan lanjutan
mengikuti mekanisme pengelolaan pendapatan fungsional fasilitas
kesehatan dan berlaku sesuai status rumah sakit tersebut (BLU/BLU(D)
atau PNBP)
5.2.1.8. Proses Pengajuan Klaim
1. Proses klaim bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama: Pemberi
layanan Tk pertama mengajukan klaim setelah memberikan
pelayanan kepada Dinas Kesehatan/Tim Pengelola Kabupaten/Kota
dengan melengkapi bukti pelayanan yang sah dan harus di tanda
tangani oleh peserta (ibu hamil, bersalin, nifas). Tim verifikasi
pemberi layanan Tk I melakukan verifikasi dan memberikan
persetujuan membayar kepada masing-masing fasilitas kesehatan.
50
2. Proses klaim Jaminan persalinan bagi fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan: Fasilitas kesehatan tingkat rujukan melakukan pengajuan
klaim program jaminan persalinan melalui mekanisme klaim
Jamkesmas, yaitu dengan INA CBGs
5.2.2. Kebijakan Jaminan persalinan di Kabupaten/Kota di lokasi penelitian
Kebijakan Jampersal di kabupaten/kota adalah kebijakan Jampersal yang
diimplementasikan daerah yang disesuaikan dengan kondisi dan kebijakan lokal
yang ada di daerah tersebut. Berdasarkan penelitian ini terdapat variasi
kebijakan lokal dalam mengimplementasikan Jampersal. Hal ini sangat
tergantung pada penentu kebijakan di daerah seperti bupati dan kepala dinas
kesehatan.
5.2.2.1. Kabupaten Sampang
Dukungan Pemda Sampang terhadap program Jampersal berupa
penetapan Peraturan Daerah No. 5 tahun 2011, tentang jasa Pelayanan dan
kebijakan Dinas Kesehatan.
“..pada Perda no 5 tahun 2011, ada Pasal karet yang menyatakan berlaku
fleksibel sesuai dengan program pemerintah, Jasa pelayanan persalinan japelnya
75% dari seberapapun besar paket pelayanan persalinan yang berlaku termasuk
jampersal, tanpa merubah Perda cukup mengganti Peraturan Bupati saja. Perda
ini sudah memprediksi untuk hal2 terkait seperti Jampersal sehingga terjadinya
perubahan tarif tidak mempersulit karena cukup merubah Peraturan Bupati
saja..” (kadinkes, Kab. Sampang).
Pelaksanaan Jampersal di kabupaten Sampang mengacu pada juknis
2012, namun terdapat kebijakan lokal terhadap tempat pertolongan persalinan.
Sebagaimana juknis Jampersal 2012, tujuan dari Jampersal adalah meningkatnya
akses terhadap pelayanan kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB
pasca persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan
berwenang di fasilitas kesehatan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB. Namun
pelaksanaannya di Sampang, pertolongan persalinan pada Jampersal dilakukan
oleh tenaga kesehatan, tanpa memandang tempat pertolongan persalinan.
51
Pertolongan persalinan dapat dilakukan tidak hanya di fasilitas kesehatan, tapi
juga di rumah penduduk. Jadi, bidan dapat mengklaim pertolongan persalinan
yang dilaksanakan di rumah pasien. Menurut informan di Dinas Kesehatan
Kabupaten Sampang.
“..implementasi Jampersal di Kabupaten Sampang mengacu pada juknis
jampersal tahun 2012. Jampersal di Sampang 100% adalah pertolongan
persalinan di tenaga kesehatan tanpa melihat dimana tempat persalinan dapat
di fasilitas kesehatan maupun bukan di fasilitas kesehatan (di rumah penduduk
dll). Kabupaten Sampang menjual nakes tidak faskes..” (Dinkes, Kab. Sampang).
Untuk cakupan pelayanan, diharapkan semua ibu hamil, ibu bersalin, ibu
nifas dan bayi baru lahir mendapatkan pelayanan oleh tenaga kesehatan dengan
syarat tidak memiliki kartu Jamkesmas dan Jamkesda atau tidak mempunyai
jaminan lain. Sedangkan pelayanan rujukan di RS untuk Jampersal semua
persalinan diarahkan ke Jampersal asal masyarakat mau di kelas III. Pertolongan
persalinan pada Jampersal dilakukan oleh tenaga kesehatan, tanpa memandang
tempat pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan atau di bukan fasilitas
kesehatan.
Pemberi layanan di puskesmas dan jaringan adalah bidan puskesmas dan
bidan desa, sedangkan PKS hanya untuk bidan swasta (BPS), bidan puskesmas
yang tidak mempunyai wilayah dapat PKS, sedangkan Bidan Desa karena
mempunyai wilayah kerja tidak boleh melakukan PKS.
Kebijakan Jampersal, Dinkes dihadapkan dua persoalan yaitu cakupan
pelayanan untuk kepentingan program KIA dengan kebijakan pembiayaan.
Namun disisi lain, tidak semua pelayanan oleh tenaga kesehatan dapat
diklaimkan. Diharapkan, sasaran yang memiliki asuransi ataupun yang mampu
dapat membayar sendiri pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan.
Artinya, bahwa pencapaian cakupan pelayanan KIA di Puskesmas, belum tentu
sama dengan jumlah pelayanan yang dilklaimkan.
Alur Klaim Jampersal adalah klaim dari bidan diverifikasi oleh Dinas
kesehatan Prosedur sesuai keuangan daerah. Dana Jampersal yang ditransfer ke
Dinas Kesehatan merupakan dana masyarakat, setelah pelayanan di klaim oleh
52
pelayanan, merupakan dana fasilitas puskesmas atau RS (fasilitas
pemerintah)kemudian fasilitas pemerintah menyetor ke daerah, 100% disetor ke
daerah, setelah itu dana dikembalikan ke pelayanan yang terbagi dua yaitu jasa
pelayanan dan jasa sarana. Pengembalian klaim untuk jasa bidan desa pada
jampersal adalah 75%, sedangkan BPM klaim pelayanan sebesar 100%.
5.2.2.2. Kota Blitar
Dalam pelaksanaan kebijakan Jampersal di kota Blitar sangat bermanfaat
bagi masyarakat dan legislatif juga mendukung program tersebut, hal ini
ditunjukkan dengan adanya Perwali di Kota Blitar ini. Selain Peraturan Walikota,
juga terdapat Surat keputusan walikota untuk pengobatan gratis, meskipun
demikian kebijakan Jampersal tetap mengacu pada kebijakan Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Keuangan, sehingga dalam pelaksanaannya pun sesuai
dengan petunjuk teknis. Meskipun demikian ada masyarakat mampu dan
seharusnya tidak menggunakan Jampersal, tetapi dalam pelaksanaannya masih
memanfaatkan Jampersal untuk melakukan persalinan.
Paket pelayanan Jampersal adalah: ANC, Persalinan dan PNC dan
Keluarga berencana sesuai dengan juknis. Untuk pelaksanan layanan Jampersal
melibatkan bidan, Bidan praktek swasta (BPS), klinik bersalin, dokter swasta.
Kepesertaan dan persyaratan pengguna Jaminan persalinan adalah masyarakat/
ibu hamil dengan melengkapi persyaratan saja seperti KTP dan KK, partograf ANC
serta inform concern
Alur pelaksanaan klaim sebagai berikut : Persalinan jampersal melengkapi
syarat menggunakan Jaminan persalinan di bidan atau provider, bidan
melengkapi persyaratan klaim kemudian ke Kepala Puskesmas, diperiksa
verifikator setelah disetujui tunggu dana turun ke Dinas Kesehatan, dana turun
ke puskesmas, di Setor ke bendahara Kota, disetor ke Pemerintah daerah dan
akhirnya dicairkan dalam bentuk jasa pelayanan sesuai dengan juknis pusat,
meskipun sampai saat ini dana masih belum bisa keluar, hal ini karena juknis
Jampersal baru keluar sekitar bulan Juni, padahal dana APBD sudah direncanakan
53
awal tahun, sehingga jampersal tidak ada dalam mata anggaran (MAK) jampersal
dalam APBD. Hal tersebut menyebabkan dana sampai saat ini belum diterima,
padahal bidan sudah melaksanakan tuganya melakukan persalinan jampersal.
Pencairan klaim untik BPS dimana anggaran tidak harus masuk ke APBD, maka
dana BPS bisa segera diterima oleh bidan.
Besaran jasa pelayanan ketentuannya sesuai dengan juknis pusat, yaitu
350 rb per persalinan normal (Tahun 2011) dan tahun ini naik menjadi 500 rb per
persalinan normal.
5.2.2.3. Kota Mataram
Di Kota Mataram kebijakan Jampersal dengan mengacu pada Petunjuk
Teknis Jampersal tahun 2012 . Pelaksanaannya di tindaklanjuti dengan terbitnya
Surat kesepakatan pembagian jasa pelayanan jampersal tertanggal 10 Mei 2012
yang di fasilitasi oleh Kepala Dinas kesehatan Mataram yang merupakan
kesepakatan di internal Dinas Kesehatan Kota Mataram terutama kesepakatan
dalam pembagian besaran jasa pelayanan.
Kesepakatan ini dibuat atas usulan dari bawah yaitu Bidan dengan
melibatkan seluruh bidan koordinator di puskesmas, bidan desa, IBI, Kepala
puskesmas, Dinas kesehatan dan di fasilitasi Kepala Dinas walaupun belum terbit
SK Walikota katika penelitian berlangsung (bulan Juni 2012) sudah berani untuk
dilaksanakan. Kabar terakhir Surat Keputusan Walikota sudah terbit.
Di Kota Mataram juga berlaku kebijakan open call, dimana masyarakat
bisa dengan mudah mendapat nomor handphone tenaga kesehatan. Di setiap
puskesmas ada nomer tenaga kesehatan yang bisa dihubungi setiap saat. Dari
situ masyarakat bisa menghubungi tenaga kesehatan atau puskesmas.
Kebijakan Jampersal sangat membantu dalam meningkatan persalinan ke
tenaga kesehatan, karena masyarakat mempunyai kendala pada biaya
persalinan. Sebagai contoh di puskesmas karang pule persalinan oleh dukun
menurun yang semula sebelum adanya jampersal 6% sekarang menjadi 2%
persalinan oleh dukun bayi.
54
Kepesertaan tetap mengacu pada juknis Jampersal th 2012 , orang yang
tidak mampu tetapi tidak punya kartu Jamkesmas. Sasaran jampersal sudah
terpenuhi untuk persyaratan klaim hanya pakai kartu identitas domisili.
Kepesertaan sasaran bisa diakomodir, cukup pakai KTP suami, atau kartu
pengenal lainnya atau kartu domisili dari kepala lingkungan atau Kartu
Keluarga/Kartu pelajar/ kartu mahasiswa. Tidak dibedakan antar pelayanan
persalinan dari bidan desa maupun BPS, hanya di pelayanan ANC, K1-K4 untuk
BPS tidak mengharuskan memakai jasa ANC dengan Jampersal.
Di Kota Mataram pencairan klaim tidak ada potongan sesenpun (100%).
Alur pencairan setelah dari Kas Daerah ke Dinkes Kota Mataram kemudian ke
puskesmas sesuai klaim. Di Kota Mataram besaran tarif Persalinan berdasrkan
Perda lebih kecil dari tarif Jampersal.
5.2.2.4. Kabupaten Lombok Tengah
Di Kabupaten Lombok Tengah Peraturan Bupati berupa kebijakan untuk
penurunan angka kematian ibu dan bayi yaitu “AKI No” yang berlaku sejak 2009,
sebelumnya sejak tahun 2003 Provinsi NTB pembiayaan persalinan berlaku gratis
dan sejak tahun 2011 Jampersal di berlakukan di NTB.
“..namun demikian penurunan AKI mengalami fluktuatif, banyak faktor yang
mempengaruhi antara lain sumberdaya manusia, biaya dan faktor lainnya. Sejak
tahun 2003 persalinan gratis berlangsung, justru nampak besar dampaknya
pada turunnya angka kematian bayi yaitu tahun 2004 adalah 500/1000 KH dan
tahun 2011 menjadi 141/ 1000 KH..” ( Kadinkes Lombok Tengah).
Dalam pelaksanaan Jampersal Lombok Tengah mengacu pada juknis
Pusat, selain itu juga membuat Juknis penunjang yang menyangkut jasa yaitu
rincian tarif. Sedangkan dukun juga mendapat bagian dalam jampersal dengan
dibuatkan SK dukun untuk mengeluarkannya pembiayaan tersebut. BPS belum
dilibatkan dalam pelayanan Jampersal, sehingga belum terjalin PKS antara Bidan
Praktek Swasta (BPS) dengan Dinas kesehatan. Sementara ini Dinkes masih
tersita dengan penyelesaian masalah keuangan terkait Jampersal yang cukup
rumit. Selain itu ada ketakutan terjadi double claim jika BPS dilibatkan dalam
55
Jampersal. Untuk Jasa bidan memanfaatkan pembiayaan Jampersal, sedangkan
transport bidan diambilkan dari dana BOK.
5.2.2.5. Kota Bandung
Kebijakan Jampersal dalam rangka mencapai target MDGs untuk
turunkan AKI dan AKB. Jampersal memudahkan akses dari segi pembiayaan. Di
Kota Bandung Kebijakan Jampersal untuk Pelayanan harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan dan di fasilitas kesehatan, dengan mengikuti petunjuk teknis yang
berlaku.
Persyaratan pasien memanfaatkan Jampersal adalah mempunyai KTP
dan KK, jika tidak mempunyai persyaratan tersebut bisa menggunakan surat
keterangan domisili. Untuk pemberi pelayanan kesehatan dilakukan PKS antara
bidan praktek swasta dengan Dinas kesehatan. Sedangkan untuk bidan
Puskesmas bisa melakukan PKS ketika melakukan praktek di luar jam kerja di
puskesmas. Bidan Praktek Swasta / mandiri sudah banyak yang lakukan PKS,
paling tidak di tiap kelurahan sudah ada 1 BPS.
Implementasi Program Jampersal di tingkat puskesmas adalah dengan
penandatanganan informed consent yang dibuat oleh Dinas Kesehatan Kota
Bandung oleh peserta Jampersal yang di dalamnya menyatakan:
1. Bahwa untuk kehamilan dan persalinan ini, saya benar-benar belum memiliki
jaminan persalinan dari badan asuransi pemerintah, swasta, dan masyarakat
atau jaminan pemeliharaan kesehatan lainnya.
2. Bahwa saya bersedia mendapatkan pelayanan pada fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) di kelas III
yang memiliki perjanjian kerja sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas
dan BOK Kota Bandung.
3. Bahwa saya akan bersedia menerima pelayanan jaminan persalinan yang
mengacu pada standar pelayanan kesehatan ibu dan anak sesuai program
Jampersal.
4. Bahwa saya bersedia menggunakan kontasepsi pasca persalinan.
56
5. Bahwa saya tidak akan menyalahgunakan jaminan persalinan ini dengan
tindakan yang memungkinkan duplikasi pembiayaannya.
6. Bahwa saya bersedia mematuhi amanat persalinan yang diberikan oleh
pemberi layanan
Pemerintah Kota Bandung tidak membuat suatu aturan khusus terkait
keuangan Jampersal, jadi uang yang diterima oleh puskesmas dikembalikan lagi
ke kas daerah, sesuai dengan mekanisme keuangan daerah yang berlaku. Klaim
untuk BPS setiap bulan cair dan tepat waktu. Pemerintah menyediakan obat dan
bahan medis habis pakai bagi setiap puskesmas. IBI sangat mendukung kegiatan
sosialisasi Jampersal. Ada dukungan BKKBN berupa alat kontrasepsi. Sedangkan
di puskesmas dana Jampersal belum cair, karena dana masih di kas daerah sejak
tahun 2011. Sehingga di Puskesmes belum ada pengembalian dana klaim, yang
sudah diberikan adalah obat, dan bahan habis pakai.
Paket pelayanan Jampersal memberikan pelayanan berupa pemeriksaan
kehamilan sebanyak empat kali, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan,
pemeriksaan nifas dan bayi baru lahir sebanyak empat kali dan pelayanan KB.
Supaya tidak terjadi penumpukan pasien di rumah sakit tertentu, maka
pemerintah Kota Bandung melakukan pembagian zona rujukan. Jadi akan
mempermudah masyarakat dalam melakukan rujukan pasien Jampersal, karena
dilakukan sesuai dengan domisili pasien.
5.2.2.6. Kabupaten Bogor
Dalam pelaksanaan Jampersal, kabupaten Bogor mengacu kepada
petunjuk Teknis yang ada, belum diterbitkan Perda atau SK di kab. Bogor. Dinas
Kesehatan membuat protap yang merupakan alur pembayaran klaim jampersal.
Dalam alur tersebut dijelaskan secara rinci tentang berapa puskesmas mengklaim
ke Dinas kesehatan per wilayah, jumlah yang di verifikasi, jumlah yang diperbaiki,
dan jumlah yang harus dibayar. Form tersebut dibuat untuk menghindari
permasalahan yan disebabkan berkas menumpuk. Dengan adanya protap adalah
57
untuk mempercepat realisasi pembayaran klaim Jampersal. Protap tersebut,
disosialisasikan kepada puskesmas dan juga bidan dan BPS.
Dukungan pembiayaan Daerah adalah Jamkesda. Untuk tahun ini Pemda
menganggarkan 76 milyar untuk Jamkesda. Dinas bekerjasama dengan RS
perbatasan, seperti Tangerang, kota Bogor, dll. Dinas mempunyai 18 RS
(termasuk RS perbatasan), namun diantara 18 RS tersebut, masih ada RS yang
tidak ada MOU dengan Jamkesmas sehingga memakai Jamkesda. Pengaduan
masalah kesehatan dapat online, via SMS, atau lewat Koran, dan email. SMS
langsung ke Kepala Dina, Bupati bahkan anggota dewan juga memfasilitasi.
Syarat klaim adalah fotokopi KTP, catatan pelayanan ANC, partograf dan catatan
nifas, dalam map bukti fisik ada rekapan tersebut dan verifikator mencocokan
antara rekapan dan bukti fisik yang tersedia.
5.2.2.7. Kota Ambon
Dalam pelaksaaan kebijakan Jampersal Kota Ambon, didukung dengan SK
Walikota dan SK Kepala Dinas. Pelaksanaan mengikuti juknis. Ada kebijakan
khusus dari Kadinkes untuk bidan puskesmas diluar jam dinas bisa melakukan
PKS, tetapi bidan PKS yang ada hanya 1, hal ini terjadi karena adanya kendala
dalam mengurus Surat Ijin Praktek.Dalam mengurus Surat Ijin praktek, kendala
yang ada adalah prasyarat jenjang pendidikan yang harus D-III, padahal rata-rata
bidan di Kota Ambon, jenjang pendidikannya masih DI dan untuk sekolah lagi
mereka merasa keberatan masalah dana untuk sekolah. Dinas kesehatan Kota
Ambon mengeluarkan kebijakan terkait pengeluarkan Surat Ijin Praktek Bidan
untuk mengatasi kekurangan tenaga bidan BPS yang PKS.
Paket pelayanan sudah sesuai dengan juknis. Untuk jasa medis, ada
kebijakan dan aturan bahwa harus dipotong untuk PAD sebesar 15 % dan biaya
administrasi 10 %. Kepesertaan adalah ibu hamil, bersalin dan nifas yang
memiliki KTP atau kartu domisili. Persyaratan klaim sesuai dengan petunjuk
teknis. Permasalahan kepesertaan di kota Ambon adalah penduduk banyak yang
tidak mempunyai KTP atau identitas lain.
58
Pemerintah Daerah tidak mempersulit dalam prosentase besaran klaim
Jampersal yaitu 20% Kasda dan 80% jasa pelayanan. Selama Jampersal 2011
sampai awal 2012 klaim bidan puskesmas cukup lancar. Dana setelah diklaim
untuk bidan puskesmas 20% masuk kasda sedangkan 80% lagsung ke puskesmas
(bidan) tanpa masuk ke Kasda terlebih dahulu. Tapi kemudian hal ini menjadi
temuan sehingga mulai saat ini dana setelah klaim masuk kasda dahulu. Hal ini
menyebabkan dana menjadi tersedat dan belum cair. Padahal sebelumnya dana
setelah klaim apling lambat 2 mgg sudah bisa cair.
5.2.2.8. Kabupaten Kepulauan Aru
Jampersal di Kab. Kepulauan Aru dalam pelaksanaannya lancar dan tidak
ada masalah karena semuanya menerima kebijakan ini. Tidak ada penerbitan
kebijakan atau aturan baru terkait Jampersal. Semuanya mengacu pada petunjuk
teknis dari Kementerian Kesehatan. Pelaksanaan Jampersal sejak 2011.
Seharusnya Jampersal adalah pelayanan diberikan oleh petugas kesehatan di
fasilitas kesehatan, tapi karena kondisi di Kab. Kepulauan Aru adalah daerah
kepulauan, pelayanan Jampersal adalah petugas mendatangi masyarakat untuk
memberikan pelayanan. Di sini jarang sekali orang datang untuk periksa
kesehatan dalam hal ini kehamilan di fasilitas kesehatan kalau bukan di daerah
perkotaan. Untuk kunjungan ke dusun petugas menggunakan dana operasional
puskesmas atau jika kegiatan puskesmas keliling, momen tersebut juga
digunakan untuk melakukan pelayanan di masyarakat.
Di Kepulauan Aru karena keterbatasan jumlah bidan, perawat juga
melayani pemeriksaan kehamilan dan menolong persalinan dengan
memanfaatkan Jampersal. Hal ini dilakukan melalui kesepakatan, dan dalam
proses klaim dengan mengatasnamakan bidan.
Untuk dukungan dalam pembiayaan dari pemerintah daerah terkait
Jampersal tidak ada, bahkan setelah ada dana tambahan dari pusat (dana BOK),
justru dana operasional dari pemerintah daerah dikurangi.
59
Untuk mendapatkan pelayanan Jampersal tidak ada masalah karena
semua masyarakat dapat dilayani tanpa ada syarat tertentu meskipun penduduk
dari luar wilayah. Peserta Jampersal adalah semua ibu hamil dan melahirkan,
baik yang kaya maupun yang miskin. Persyaratan yang diperlukan untuk
mendapatkan pelayanan jampersal hanya KTP. Masalahnya, tidak semua
masyarakat punya KTP, terutama mereka yang berada di pedalaman. Untuk
mengatasi masalah tersebut dan agar masyarakat dapat memperoleh pelayanan
maka digunakan keterangan domisili.
Syarat klaim tersebut adalah partograf, buku KIA, KTP atau surat
keterangan domisili dan ANC harus empat kali untuk bisa klaim pelayanan ANC.
Di Kab. Kepulauan Aru belum ada praktek swasta yang mengajukan klaim
Jampersal.
Pemanfaatan dana jampersal pada tahun lalu bisa dibilang rendah.
Karena dari 22 puskesmas yang ada, hanya sembilan puskesmas yang
memanfaatkan dana jampersal. Sisanya tidak karena memang pada waktu itu
tidak ada tenaga bidannya, padahal yang memberikan pelayanan jampersal kan
seorang bidan. Sekarang di tahun 2012 ini mulai ditempatkan tenaga bidan
honorer.
Jika ada kasus rujukan dari pulau di luar Dobo, memerlukan biaya yang
cukup tinggi untuk transportasi sehingga untuk pembiayaannya dari dana
operasional puskesmas dan keluarga ibu yang bersangkutan. Bahkan seringkali
keluarga yang membiayai transport menuju ke Dobo. Sulit dan mahalnya biaya
transportasi untuk merujuk seringkali menyebabkan kematian Ibu.
“..beberapa bulan kemaren, di desa Ujir, kecamatan Pulau-pulau Aru ada kasus
kematian ibu. Ini tidak tertolong karena tidak ada transportasi yang mengantar
ibu tersebut ke Puskesmas atau RS yang terdapat di Dobo..” (RS, Kab. Kep. Aru).
Kebijakan Rumah sakit sering menerima pasien Jampersal yang tidak
membawa rujukan dengan alasan kemanusiaan, RS tidak pernah menolak pasien
yang datang. Jika terjadi penolakan maka Dinas dan Puskesmas akan
memfasilitasi, sehingga pasien dapat diterima di rumah sakit dengan
memanfaatkan Jampersal.
60
5.2.2.9. Kota Kendari
Dalam pelaksanaan kebijakan Jampersal Kota kendari tidak
mengeluarkan kebijakan khusus. Pelaksanaan mengikuti juknis dan mengacu
Perwali retribusi yang sudah berlaku. Untuk persalinan oleh tenaga kesehatan di
fasilitas kesehatan. Paket pelayanan untuk Jaminan persalinan berlaku sesuai
petunjuk teknis dari pusat. Jampersal melayani peserta dari wilayah diluar
Kendari (portabilitas).
Kepesertaan adalah ibu hamil, bersalin dan nifas yang memiliki KTP atau
kartu domisili. Persyaratan klaim sesuai dengan petunjuk teknis. Tenaga
kesehatan pemberi layanan Jampersal di tingkat dasar adalah bidan di
puskesmas, bidan desa, puskesmas poned. Pelayanan rujukan dilakukan “PKS”
RSUD Provinsi dan RSUD Kota. Tidak ada Bidan Praktek Swasta (BPS) dan rumah
sakit swasta yang melakukan “PKS” dengan Dinas kesehatan.
Terdapat pembiayaan BAHTERAMAS (Bangun Kesejahteraan
Masyarakat) yang didukung 3 (tiga) pilar utama, yaitu 1) pembebasan biaya
operasional pendidikan, 2) pembebasan biaya pengobatan dan, 3) pemberian
bantuan keuangan pada pemerintah desa dan kelurahan. Dengan demikian ,
dana APBN dan APBD dialokasikan untuk melaksanakan pembangunan yang
berkeadilan dan pro rakyat. Tarif Bahteramas untuk persalinan adalah Rp.
250.000,- dan perawatan bayi Rp. 50.000,- per hari, sedangkan ANC gratis.
Tarif Jampersal di Kota kendari sesuai juknis. Sedangkan dana yang
kembali ke puskesmas setalah dipotong BHP (bahan habis pakai) sebesar
Rp.35.000,- dan potong pajak 5% -15% tergantung golongan, uang makan Rp.
55.000,-.
5.2.2.10. Kabupaten Wakatobi
Di Kabupaten Wakatobi Peraturan Bupati yang mendukung pelaksanaan
Jampersal belum ada. Untuk pelaksanaan Jampersal di Kabupaten Wakatobi
hanya berdasarkan petunjuk teknis yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian
61
Kesehatan. Sedangkan untuk pengelola Jampersal tingkat Kabupaten, Bupati
menerbitkan Surat Keputusan untuk Pengelola Jampersal.
Jaminan persalinan sudah dilaksanakan dengan baik. Selama ini kepala
dinas secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program Jampersal, terlebih dalam
kegiatan sosialisasi program Jampersal ke stake holder yang ada di bawah
koordinasi dinas kesehatan dan kepada masyarakat. Dana APBD juga
dialokasikan untuk pelaksanaan sosialisasi Jampersal, karena selama ini tidak ada
pos khusus yang digunakan untuk sosialisasi Jampersal. Untuk beberapa kasus
rujukan pasien Jampersal juga sudah ditangani dengan baik. Rujukan
memerlukan biaya yang besar karena wilayah Wakatobi adalah kepulauan.
Selama ini dinas tidak tahu dengan pasti biaya rujukan itu berasal dari mana
karena yang melaksanakan adalah puskesmas.
Sebelum ada program Jampersal, di kabupaten Wakatobi sudah
dilaksanakan pelayanan kesehatan gratis dengan pembiayaan Jamkesda dan
Jamkesmas. Selain itu bagi PNS juga sudah disediakan ASKES. Pembiayaan
Jamkesda didukung oleh APBD, yang bisa juga digunakan untuk membiayai
persalinan.
Dukungan pemerintah daerah dalam pelaksanaan Jampersal sangat
besar. Pemerintah daerah sangat intens mendukung kegiatan yang berhubungan
dengan kesehatan ibu dan anak untuk tahun 2013. Salah satunya adalah dengan
menaikkan anggaran untuk kemitraan dukun dan bidan dengan mengalokasikan
dana khusus bagi dukun yang mau bekerja sama dengan bidan.
Selain itu pihak pemerintah daerah membantu masyarakat dalam
membuat surat keterangan domisili bagi masyarakat yang tidak atau belum
memiliki KTP, karena syarat untuk mendapatkan pelayanan Jampersal adalah
memiliki KTP. Kepesertaan sesuai juknis.
Di Kabupaten Wakatobi klaim dilakukan per paket, artinya untuk satu
orang ibu klaim langsung secara keseluruhan mulai dari ANC sampai dengan PNC.
Verifikasi dilakukan disesuaikan dengan ketentuan dan standar substansinya.
62
Misalnya untuk ANC berlaku konsep 1-1-2, yang mana tanggal pelayanan yang
bisa diklaim disesuaikan dengan standar waktunya.
5.2.2.11. Kota Balikpapan
Implementasi kebijakan Jampersal di Kota Balikpapan dilaksanakan sesuai
dengan petunjuk teknis. Belum ada Peraturan Daerah terkait Jampersal, saat
penelitian berlangsung Peraturan Walikota sedang dilakukan penyusunannya.
Pelaksana layanan dasar adalah bidan puskesmas dan bidan praktek
swasta yang juga sudah banyak melakukan PKS dengan Dinas kesehatan.
Kebijakan Jampersal ternyata cukup membantu provider pemberi layanan,
terutama untuk membiayai pasien yang tidak bisa membayar sama sekali atau
setengah miskin. Sebelum ada Jampersal untuk persalinan Jamkesda sebesar
Rp.500.000,- tapi setelah ada pembiayaan Jampersal, maka pembiayaan
persalinan dengan Jamkesda digantikan dengan pembiayaan Jampersal. Untuk
Obat-obatan fasilitas puskesmas tidak ada masalah dalam ketersediaan obat-
obatan, kecuali untuk bahan habis pakai jumlahnya terbatas
Persyaratan untuk klaim jampersal adalah Kartu identitas ( KTP, surat
domisili), buku KIA untuk kalim Antenatal care (ANC) dan ditambah partograf
untuk persalinan. Untuk merujuk ke RS ditambahkan surat rujukan dari
puskesmas. Untuk rujukan ke RS transport gratis merupakan fasilitas dari
pemerintah daerah. Untuk proses klain sejauh ini tidak ada masalah.
Dalam mekanisme klaim di Balikpapan sesuai dengan petunjuk teknis
yaitu ketika klaim sudah cair dan akan disetor kembali ke Kasda tapi belum
dilaksanakan penarikan dana kembali karena Perwali masih dalam proses
sehingga sampai saat penelitian dilaksanakan besaran Jasa pelayanan untuk
bidan puskesmas belum pernah dibicarakan.
63
5.2.2.12. Kabupaten Paser
Di Kabupaten Paser sejak Jampersal berlangsung tahun 2011 sampai saat
penelitian belum diterbitkan Peraturan daerah atau Peraturan Bupati , tahun ini
sedang di proses pembuatan Peraturan daerah.
“...sampai sekarang belum ada peraturan bupati ataupun arahan dari Dinas
Kesehatan tentang Juknis Jampersal, sehingga hanya sedikit yang memakai
Jampersal. Dengan BPS tidak ada MoU, ini karena adanya perbedaan tarif..”
(Dinas kesehatan, Kab. Paser).
Sebelum kebijakan Jampersal dilaksanakan, di kabupaten Paser
pelayanan persalinan adalah gratis, sehingga dengan adanya kebijakan Jampersal
tidak sejalan dengan peraturan daerah, dimana tidak ada mata anggaran untuk
jasa persalinan. Ada kendala dalam pelaksanaan Jampersal karena ada
pengalaman terdapatnya “temuan” oleh BPK dalam pengelolaan anggaran BOK
pada tahun sebelumnya yang menyebabkan Kepala Dinas ekstra hati-hati dalam
menerima Jampersal. Hal ini menyebabkan Jampersal kurang berjalan dengan
baik di Kabupaten Paser.
Kepesertaan Jampersal adalah ibu hamil, bersalin dan ibu nifas yang
mempunyai KTP atau Kartu keluarga. Pemberi Layanan Jampersal di pelayanan
dasar adalah bidan puskesmas dan bidan desa. Sedangkan untuk bidan praktek
swasta belum ada yang melakukan “PKS” dengan Dinas kesehatan. Rumah sakit
belum melaksanakan Jampersal, pihak manajemen rumah sakit merasa belum
pernah tersosialisasi Jampersal secara langsung.
Dalam pelaksanaan Jampersal di pelayanan dasar untuk persyaratan
klaim sesuai dengan petunjuk teknis. Besaran tarif jampersal sesuai Petunjuk
teknis yang berlaku. Namun pada tahun 2012 belum ada klaim Jampersal yang
cair karena menunggu terbitnya Peraturan Daerah.
5.2.2.13. Kota Batam
Kebijakan jampersal pada pelayanan persalinan baik, hanya dalam
penyaringan di salahgunakan, terkadang kurang tepat sasaran, karena tidak ada
pembatasan keperuntukan baik orang miskin dan kaya dapat memakai
64
Jampersal. Pencapaian MDGs baru menggaung satu tahun sekarang, mulai th
2011. Kebijakan Jampersal dalam pelaksanaan di lapangan dan administrasi
mengikuti sistem yang sesuai petunjuk teknis. Kebijakan Jampersal di Kota
Batam untuk persalinan dilakukan oleh Nakes di fasilitas kesehatan dan terdapat
Perwali untuk Jampersal yang diterbit sejak tahun 2011.
Kepersertaan pasien jampersal tidak menjadi hambatan yaitu ibu hamil
yang tidak punya jaminan dan punya identitas diri berupa KTP, paspor, SIM,
surat domisili oleh RT/RW. Di Kota Batam untuk pelayanan kesehatan dasar
berlaku gratis. Saat ini Pemerintah daerah mengalokasikan insentif untuk tenaga
kesehatan berupa upah pelayanan Kesehatan (UPK). Dengan demikian dana
Jampersal untuk bidan di puskesmas tidak dapat dibayarkan kepada pelaksana
Jampersal di puskesmas. Dan dana Jampersal setelah masuk ke kas negara tidak
dapat ditarik kembali dikarenakan tidak adanya mata anggaran untuk
penyetoran dan penarikan.Untuk mengatasi masalah ini mulai tahun 2013
diterbitkan Peraturan Daerah yang mengatur tarif pelayanan dasar, sehingga
dengan adanya Perda tersebut pada tahun 2013 diharapkan dana Jampersal
untuk bidan puskesmas dan jaringannya bisa di manfaatkan sesuai dengan
aturan yang ada.
Dalam implementasi Jampersal di kota Batam awalnya tersendat karena
klaim hanya Rp.350.000,- yang dianggap terlalu rendah, tetapi dengan kenaikan
tarif menjadi Rp.500.000,- ditambah empat kali pemeriksaan kehamilan, Bidan
BPS yang PKS menjadi bertambah dengan cepat. Saat ini terdapat lebih dari 90
bidan BPS yang PKS dengan Dinas Kesehatan untuk program Jampersal.
Kebijakan untuk provider pelaksana Jampersal adalah Bidan
desa/puskesmas di luar jam Dinas jika sudah mempunyai ijin praktek dapat
melakukan MOU dengan Dinkes. Saat ini di Batam terdapat sekitar 400 bidan tapi
tidak semuanya mempunyai ijin praktek sehingga tidak dapat PKS. Hal ini karena
IBI mensyaratkan bidan PKS harus punya ijin praktek, persyaratan untuk
mendapatkan surat ijin praktek adalah harus mempunyai rekomendasi dari IBI.
65
Untuk mendapatkan rekomendasi tersebut bidan harus mengikuti pelatihan APN
dan sebagai anggota IBI aktif selama 1 (satu) tahun.
Kebijakan ini dirasakan cukup memberatkan untuk bidan, sehingga
beberapa bidan di puskesmas termasuk di puskesmas pulau Galang tidak dapat
melakukan PKS dengan Dinas kesehatan. Sehingga terjadi pengklaim Jampersal
beberapa bidan di atas namakan satu bidan yang PKS. Tentu saja hal ini
membuat bidan menjadi tidak nyaman dan berisiko untuk menjadi temuan.
Seperti diketahui bidan puskesmas di Batam, klaim Jampersal sampai saat
penelitian dilakukan belum dapat dicairkan karena terdapat Aturan Daerah yang
tidak memungkinkan untuk pencairan dana Jampersal.
Kebijakan Dinas kesehatan, puskesmas di pulau disediakan rumah tunggu
untuk persalinana yang letaknya didekat rumah bidan. Untuk puskesmas yang
diwilayahnya masih ada dukun seperti puskesmas Bulang dan Galang terdapat
program kemitraan. Pada tahun 2011 ketika program Jampersal dicanangkan,
kemitraan dukun dilaksanakan di dua puskesmas tersebut juga dilakukan dengan
ketentuan ketika ibu bersalin adalah rujukan dukun maka wajib ada bidan
dalam melakukan pelayanan persalinan, baru bisa diklaim/dibayarkan
Jampersal dengan rincian yang disepakati yaitu sebesar 100 ribu untuk jasa
dukun dan 400 ribu jasa pelayanan bidan.
Pada tahun 2011 bidan yang belum PKS dengan Dinas Kesehatan juga
dapat melakukan kemitraan dengan dukun, pembiayaan pelayanan dapat di
klaim dengan Jampersal, tapi tahun 2012 kemitraan hanya bisa dilakukan oleh
bidan PKS saja. Penanganan keluhan pasien khususnya untuk Jamkesmas dan
Jampersal dilakukan di Kota Batam sudah dilakukan melalui tim Jamkesmas di
Dinas Kesehatan.
5.2.2.14. Kabupaten kepulauan Natuna
Kabupaten Natuna adalah satu-satunya kabupaten yang dalam penelitian
ini tidak memanfaatkan pembiayaan Jampersal. Hal ini disebabkan Di Kabupaten
Natuna sejak Tahun 2007 berlaku peraturan bupati untuk pertolongan persalinan
66
yaitu Jamkesda Kabupaten Natuna. Sehingga masyarakat Natuna untuk
pertolongan persalinan sudah dibiayai dengan Jamkesda. Jamkesda sudah
mencover seluruh pelayanan untuk kesehatan ibu dan bayi. Peraturan tentang
Jamkesda meliputi 1) Peraturan daerah tentang Jamkesda, 2) Perbub untuk tarif
di RS, 3) Perbub/SK Bupati untuk insentif petugas kesehatan RS, 4) MOU antara
Dinas Kesehatan dan RS, 5) Jasa Pelayanan, SK Direktur.
Ketika terdapat peraturan Menteri Kesehatan untuk Jaminan Persalinan
Dinas Kesehatan kabupaten Natuna melakukan konsultasi dengan Kemenkes
(Pusat), dari hasil konsultasi dikemukan bahwa jika Daerah mempunyai
Pembiayaan untuk persalinan dapat tidak memanfaatkan Jampersal sehingga
diputuskan Kabupaten Natuna tidak memanfaatkan Jampersal. Hal ini
disebabkan jika Kabupaten Natuna akan memanfaatkan Jampersal maka harus
melakukan revisi Peraturan Bupati tersebut. Sebenarnya Dinas Kesehatan
Kabupaten Natuna berkeinginan untuk memanfaatkan Jampersal, sehingga
tahun ini diusulkan untuk dilakukan revisi peraturan Bupati.
Permasalahan saat ini adalah tarif untuk di rumah sakit, yaitu untuk tarif
Perda berbeda dengan tarif INA CBGs, sedangkan saat ini atas instruksi propinsi
Jamkesda harus menggunakan tarif INA CBGs. Kebijakan khusus RS terkait
pelayanan, yaitu untuk anggota TNI/Polri, karena mereka tidak memiliki fasilitas
kesehatan di Natuna, sedangkan mereka bukan peserta Askes, maka RS
mengambil kebijakan untuk memotong biaya pelayanan RS. Potongan bervariasi,
sesuai dengan kemampuan membayar pasien, potongan yang terbesar sampai
50%. Karena mereka juga abdi masyarakat, setiap bulan dipotong 3%, tetapi
mereka tidak bisa menggunakan haknya karena tidak ada fasilitas TNI/Polri di
Natuna, kecuali TNI/Polri yang suami/istrinya adalah petugas RS untuk biaya
kesehatan gratis.
67
5.3 AKSEPTABILITAS KABUPATEN/KOTA TERHADAP PROGRAM JAMINAN
PERSALINAN
Akseptabilitas kabupaten/kota adalah penerimaan pemerintahan daerah,
rumah sakit dan puskesmas dan jaringannya dalam pelaksanaan Jaminan
persalinan. Bentuk penerimaan dapat berupa dukungan manajemen, dukungan
dalam sosialisasi dan adanya kebijakan lokal yang berlaku di wilyah
kabupaten/kota.
5.3.1. Dukungan Manajemen, sosialisasi dan kebijakan lokal yang mendukung
Jampersal
Di Kabupaten/Kota Pemerintah daerah memberikan dukungan terhadap
Jampersal dengan bervariasi, walaupun bentuk dukungan secara khusus
misalnya dalam bentuk penyediaan sarana, SDM, peralatan dan bahan habis
pakai dll. dalam mendukung program Jampersal belum dilakukan di semua
kabupaten/kota. Komitmen Kabupaten Sampang untuk mendukung kebijakan
Jampersal adalah dengan adanya Peraturan Daerah No. 5 tahun 2011, tentang
jasa Pelayanan dan kebijakan.
Dinas Kesehatan memiliki perjanjian/memorandum of understanding
(MOU) dengan Rumah Sakit untuk pembinaan dari Rumah Sakit PONEK kepada
Puskesmas PONED. Pembiayaan di tingkat Kabupaten, Pemda tidak
mengalokasikan secara khusus dari APBD. Anggaran pendukung dialokasikan dari
bantuan dana dekonsentrasi propinsi yang diperuntukkan untuk pembiayaan
operasional pembinaan Rumah Sakit Ponek kepada Puskesmas PONED.
Di Kabupaten Sampang sosialisasi Jampersal di kecamatan dilakukan
melalui program Libas 2+ (5 Bebas yaitu, 1) Bebas kematian ibu melahirkan, 2)
bebas kematian bayi, 3) bebas gizi buruk, 4) Bebas TB, bebas bayi tidak
terimunisasi lengkap, sedangkan 2+ adalah pelayanan gratis masyarakat dan
tuntas penanganan kusta. Program ini merupakan program Bupati ,sehingga
dalam sosialisasinya Jampersal melibatkan dinas lintas sektor termasuk dinas
68
kesehatan, walaupun ‘bungkusnya” adalah LIBAS bukan Jampersal secara
langsung.
Pemerintah Daerah Kota Blitar mendukung pelaksanaan Jampersal
dengan diterbitkannya Perwali yang didalamnya berisi tentang kebijakan di Kota
Blitar termasuk jasa pelayanan bagi petugas kesehatan. Dalam mendukung
Jampersal dengan menambah jumlah bidan dalam rangka penurunan Angka
Kematian Ibu. Selain itu dukungan pemda ditunjukkan dengan penambahan
sarana untuk bersalin di puskesmas PONED.
Dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Kota Bandung adalah
dengan membagi wilayah rujukan ke dalam zona-zona tertentu, supaya tidak
terjadi penumpukan pasien di satu rumah sakit saja. Selain itu, ada peningkatan
jumlah rumah sakit yang bisa menjadi pusat rujukan bagi pasien dengan
komplikasi.
“..RSUD Kota Bandung merupakan rujukan untuk wilayah Bandung Timur, di
wilayahnya terdapat dua puskesmas PONED yaitu Puskesmas Cibiru dan
Puskesmas Padasuka. Seperti diketahui sejak sebulan yang lalu di Kota Bandung
di launching Sistem Kesehatan Kota Bandung dengan melibatkan seluruh
saranan kesehatan di kota Bandung dibagi Zona (jejaring Rujukan)..“ (NN, RSUD
Kota Bandung).
Di Kota Mataram dukungan Pemerintah daerah dengan menyekolahkan
bidan menjadi Bidan dan Perawat menjadi D3 dengan dukungan dana APBD.
Selain itu dilakukan pelatihan bidan oleh SPOG ada empat puskesmas PONED
yaitu Puskesmas Ampenan, Puskesmas Cakra dan Puskesmas Tanjung Karang.
Obat dan BHP disediakan untuk bidan yg melakukan pelayanan di puskesmas
dan Polindes dan terdapat dana khusus untuk operasional BHP.
“..kebutuhan obat dan BHP biasanya PKM menyediakan sendiri tapi juga ada yg
dari dinkes. Penyediaannya dari dana yg berasal dari operasional PKM..” (FGD
Bidan, Kota Mataram).
Di Kabupaten Wakatobi dukungan pemerintah daerah dalam pelaksanaan
Jampersal sangat besar. Dengan adanya Jampersal, maka pemerintah daerah
sangat intens mendukung kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan
anak untuk tahun 2013. Salah satunya adalah dengan menaikkan anggaran untuk
69
kemitraan dukun dan bidan dengan mengalokasikan dana khusus bagi dukun
yang mau bekerja sama dengan bidan.
Di Wakatobi komitmen daerah terhadap pembiayaan Jampersal bagus.
Selama ini daerah sudah menyiapkan dana pendamping, khususnya untuk
membiayai tenaga kesehatan yang harus mendampingi pasien yang di rujuk.
Kami biasanya merujuk ke Bau-bau karena disana sarananya lebih lengkap. Selain
jampersal dan jamkesmas, kami punya bahtera mas dari propinsi untuk
masyarakat miskin dan jamkesda kab. Dana ini yang kami gunakan untuk
membiayai tenaga kesehatan pendamping pasien.
Bupati Wakatobi punya perhatian khusus terhadap Jampersal dan
kesehatan pada umumnya. Ini diwujudkan dengan dibangunnya ruang operasi
yang semoga cepat selesai. Pemerintah kabupaten juga sudah lama
menganggarkan kontrak untuk SPOG sebesar 25 juta setiap bulannya, tapi
sayang tidak ada yang berminat sehingga akhirnya alokasi anggaran itu dihapus.
Padahal juga disediakan rumah dinas dan kendaraan dinas. Pernah diupayakan
kerjasama dengan SPOG di Kendari, perkunjungan akan dibiayai sebesar 4,5
juta,tetapi tidak berjalan juga.
Saat ini Wakatobi untuk tenaga spesialis untuk kebidanan dan Kandungan
adalah kontrak dengan Residen yang sedang mengambil pendidikan. Selama
penelitian berlangsung selama satu minggu Tenaga dokter spesialis tidak dapat
ditemui karena sedang berada di luar Provinsi. Itu kondisi yang ada. Untuk
mengatasi kekurangan tenaga, kami diminta membuat usulan tenaga dokter
spesialis yaitu SPOG. Ini sudah ditindaklanjuti dengan meminta pada Badan
Kepegawaian daerah (BKD) mengenai usulan tenaga tersebut, tetapi belum ada
kabar sampai penelitian selesai dilaksanakan.
Di Kota Batam pelayanan dasar gratis. Untuk tenaga kesehatan terdapat
UPK (upah pelayanan Kesehatan) yaitu insentif di luar gaji berupa upah
pelayanan kesehatan (UPK) dari Pemda yang jumlahnya cukup besar. Ini
merupakan bentuk komitmen dari Pemda terhadap program kesehatan
termasuk Jampersal.
70
Dari penelitian ini secara umum kabupaten/kota memberikan dukungan
terhadap kebijakan Jampersal dengan melihat komitmen pengambil kebijakan
dan pelaksana program Jampersal adalah baik, hal ini terlihat dengan adanya
keinginan untuk mensukseskan program ini. Hal ini diperkuat dengan penelitian
dari Armey Yudha tahun 2012 di Kabupaten Lebak yang menyatakan hal yang
sama.
5.4. AKSEPTABILITAS PROVIDER DALAM PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN
BAYI BARU LAHIR TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN.
Dalam pelaksanaan Jaminan Persalinan di kabupaten/Kota peran
pemberi layanan sangat mempengaruhi implementasi Jaminan Persalinan.
Adapun yang dimaksud pemberi layanan (provider) adalah dokter, bidan
puskesmas, bidan desa, bidan praktek swasta dan bidan rumah sakit dan Dokter
Kandungan dan Kebidanan (SPOG). Akseptabilitas/penerimaan provider terhadap
Jampersal mempengaruhi keberhasilan dari tujuan Jampersal. Akseptabilitas
disini adalah penerimaan provider terhadap Jampersal dengan menggali
persepsi, upaya yang dilakukan dalam mendukung kelancaran pelaksanaan
Jampersal. Sosialisasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan provider
terhadap kebijakan Jampersal.
Untuk mengetahui penerimaan Provider terhadap kebijakan Jampersal ,
maka akan dibahas sosialisasi yang dilakukan terhadap provider, peneriman
terhadap paket layanan, penerimaan terhadap kepesertaan/sasaran,
pemanfaatan dan persyaratan klaim, besaran tarif pelayanan dan Jasa
Pelayanan.
71
Gambar 5.7 Diskusi Kelompok pada Bidan
5.4.1. Sosialisasi Jampersal di Puskesmas dan Rumah Sakit
Gambar 5.8 Bagan Sosialisasi Jampersal di Kabupaten / Kota
Menurut Nawawi (2009) terdapat banyak cara dalam mensosialisasikan
kebijakan yaitu dengan mempublikasikan seremoni penandatangan naskah
kebijakan publik, berita di media masa, seminar dan sarana lainnya seperti
buklet, leaflet dan lain sebagainya.
72
Dalam sosialisasi Jampersal di kabupaten / kota terdapat pola yang
hampir sama yaitu dimulai dengan kepala Dinas dan Pengelola Jampersal
kabupaten/kota mendapatkan sosialisasi di Dinas kesehatan Provinsi atau
mendapat sosialisasi langsung dari Kemenkes RI (Pusat Pembiayaan dan Jaminan
Kesehatan). Materi yang di sosialisasikan adalah Juknis Jampersal tahun 2011.
“..pada tahun 2011 pernah ada tiga orang dari Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) yang datang ke Pulau Kaledupa, sekalian kami minta untuk
memberikan sosialisasi kepada masyarakat Pulau Kaledupa tentang Program
Jampersal. Sebenarnya tiga orang datang ke Pulau Kaledupa bukan untuk
melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan Program Jampersal.Pernah
juga pihak Kemenkes mengundang seluruh kabupaten di Indonesia untuk
mengevaluasi program Jamkesmas, Jampersal dan BOK di Bali. Dalam evaluasi
itu juga sekalian disosialisasikan program Jampersal..” (Kadinkes, Kab Wakatobi).
“..awalnya dapat informasi Jampersal dari pemerintah provinsi yang membahas
juknis Jampersal. Sosialiasi dari pusat kita dapat dari internet, ada berita-berita
terbaru kami update dari internet kemudian kita ekspos dan kadang kita
kirimkan ke bidan-bidan puskesmas..” (Kabid KIA, Kota Balikpapan).
“..sosialisasi dengan spot iklan di RRI, itu inovasi dari kami dan mendapat
penganggaran dari Propinsi. Penyuluhan di RRI setiap sabtu dimulai tahun
2012. Tahun 2011, sosialisasi dgn pertemuan lintas sektor, kita lanjutkan ke
puskesmas..” (Kabid Yankes, Kota Ambon).
Dinas Kesehatan Kabupaten mensosialisasikan dengan mengundang
kepala puskesmas dan Bidan koordinator,organisasi Profesi karena sosialisasi
tidak ada dana khusus maka pelaksanaan di daerah tergantung Dinas kesehatan
masing-masing, biasanya terintegrasi dengan kegiatan program lainnya. Materi
sosialisasi pada umumnya adalah tentang petunjuk teknis Jampersal meliputi
syarat pengguna Jampersal, paket pelayanan, persyaratan klaim dan, besaran
tarif.
Setiap kabupaten/kota untuk frekuensi dan kualitas sosialisasi sangat
bervariasi dikarenakan tidak ada petunjuk dan anggaran khusus untuk program
Jampersal, sehingga pelaksanaan terintegrasi atau dilakukan bersamaan dengan
kegiatan program lain. Sosialisasi dilakukan oleh pengelola Jampersal Dinas
kesehatan dengan mengumpulkan bidan, kepala puskesmas, bidan koordinasi,
dan bendahara puskesmas. Secara umum sosialisasi untuk provider/pelaksana
pelayanan Jampersal dirasakan kurang.
73
Di puskesmas kepala puskesmas meneruskan sosialisasi, biasanya kepala
puskesmas melakukan sosialisasi melalui rapat rutin/minilokakarya di
puskesmas. Sosialisasi pada bidan desa melalui pertemuan rutin bulanan oleh
bidan koordinator. Walaupun sosialisasi terhadap pemberi layanan (provider)
sudah dilakukan, namun frekuensi dan kualitas sosialisasi masih dirasakan
kurang, dari hasil FGD banyak keluhan bidan tentang minimnya pengetahuan
bidan terhadap program Jampersal.
Selanjutnya bidan desa melakukan sosialisasi pada masyarakat, kader
kesehatan, PKK, dukun dan Toma. Bidan memanfaatkan klas ibu hamil sebagai
sarana sosialisasi Jampersal yang cukup efektif pada sasaran. Sosialisasi juga
dilakukan melalui organisasi masyarakat, muslimat, fatayat atau aisiyah, mulai
dari kabupaten sampai desa. Untuk sosialisasi lintas sektoral dilakukan pada
pertemuan atau rapat koordinasi di tingkat Dinas di kabupaten, kecamatan. Di
beberapa kabupaten seperti Sampang sosialisasi oleh Puskesmas ditingkat
kecamatan dengan mengundang camat, kepala desa, kepolisian, dukun. Namun
demikian di beberapa kabupaten/kota sosialisasi dirasakan masih kurang.
“..sosialisasi sudah jalan tapi belum sampai ke akar, seharusnya ada kerja sama
yang baik antara pemerintah dengan aparatur desa..” ( Kota Blitar)
Dalam sosialisasi di kabupaten/kota, dinas kesehatan mengundang juga
rumah sakit yang akan menjadi rujukan Jampersal. Di Kota Ambon, Kota
Balikpapan dan Kota Batam rumah sakit yang menjadi rujukan Jampersal dan
menjalin perjanjian kerjasama adalah Rumah Sakit Provinsi, hal ini juga menjadi
kendala dalam sosalisasi karena Dinas kesehatan kota tersebut merasa sosialisasi
menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi. Kondisi ini menyebabkan
komunikasi dan sosialisasi antara Dinas kesehatan Kabupaten/kota dan Rumah
sakit Provinsi tersebut kurang lancar.
Selain itu Rumah sakit mendapat sosialisasi langsung dari Pusat
Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK) dengan mengundang Direktur RS atau
pengelola Jamkesmas dan Jampersal. Materi sosialisasi tidak khusus tentang
Jampersal masih secara umum tentang Jampersal.
74
“..untuk sosialisasi dari pusat hanya ada pada waktu pertemuan di propinsi.
Waktu itu awal-awal juknis 2011. Tapi kalau pusat datang langsung ke RS tidak
ada. Pada bulan November 2011 di Bali, pusat melaksakan acara evaluasi
pelaksanaan Jamkesmas dan Jampersal 2011 serta rencana kebijakan
Jamkesmas Jampersal 2012. Jadi pada saat itu semua pengelola Jamkesmas
Jampersal dari dinas dan rumah sakit seluruh Indonesia dikumpulkan. Pada saat
ini pihak pengelola belum memiliki Juknis 2012..” (RSUD, Kab Sampang).
“..untuk sosialisasi jampersal di RS, dilakukan oleh pihak humas kerjasama
dengan kasi pelayanan ke puskesmas-puskesmas terutama untuk rujukan
berjenjang. Untuk penyuluhan di RS tdk dilakukan..” (Dinkes, Kota Mataram).
Karena keterbatasan sosialisasi terdapat provider di tingkat rumah sakit
yang beranggapan bahwa pelayanan Jampersala hanya dilaksanakan di tingkat
layanan dasar yaitu di puskesmas dan jaringannya serta bidan praktek swasta
saja.
5.4.2. Pemberi Layanan di Fasilitas Kesehatan Dasar
Dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas, puskesmas
PONED dan jaringannya serta BP swasta yang melayani pelayanan KIA, pemberi
layanan (provider) yang memegang peranan dalam pelayanan Jaminan
Persalinan adalah dokter, bidan puskesmas, bidan desa, bidan praktek swasta.
Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam dan FGD pada
provider untuk mengetahui penerimaan terhadap Jampersal. Khusus terhadap
bidan dilakukan pengisian kuesioner dengan skala likert dengan self assement
untuk mengetahui persepsi bidan terhadap Jampersal. Persepsi bidan dibentuk
dari beberapa pertanyaan yang dikompositkan. Dari komposit pertanyaan bidan
di peroleh persepsi bidan terhadap Jampersal sbb: 1) dukungan pada kebijuakan
Jampersal, 2) dukungan Jampersal pada program KIA, 3) Sosialisasi Jampersal, 4)
dukungan sarana, 5) kendala implementasi Jampersal, 6) tugas sebagai penolong
persalinan, 7) Jangkauan Jampersal terhadap sasaran, 8) Persepsi tentang merujk
pasien dan, 9) kepuasan terhadap reward (tahun 2012) yang tertuang pada
gambar dibawah ini.
75
Gambar 5.9
Persepsi Bidan Puskesmas terhadap Jaminan Persalinan
N=736
Sumber : data self assessment bidan, Riset Evaluatif Implementasi Jampersal 2012
Dari hasil self assessment bidan terhadap kebijakan Jampersal, 94,6%
bidan menyatakan setuju dan mendukung program Jampersal, bidan
menyatakan sebaiknya Jampersal dilanjutkan karena banyak bermanfaat untuk
masyarakat miskin. Selain itu 94,6% bidan menyatakan bahwa Jampersal
mendukung program KIA, yaitu upaya penurunan AKI dan AKB, program ini juga
dinilai mampu memberi dukungan pada masyarakat yang kurang memiliki akses
secara pembiayaan ke tenaga kesehatan.
Sosialisasi masih menjadi tanggung jawab dinas kesehatan. Di puskesmas
sosialisasi kebijakan Jampersal dan sosialisasi pada masyarakat menurut bidan
masih kurang (60,6%). Demikian pula sarana untuk menolong persalinan di
puskesmas/polindes menurut 44,4% responden bidan juga kurang memadai.
Dalam menjalankan tugasnya bidan menghadapi kendala. Persepsi bidan
terhadap kendala meliputi kendala dalam meyakinkan masyarakat untuk
memanfaatkan Jampersal, budaya untuk bersalin di non nakes, akses ke nakes
karena kendala geografis dan masyarakat yang masih lebih senang bersalin
dirumah. Ternyata 35,5% bidan menyatakan masih mempunyai kendala terhadap
76
hal diatas 94,3% bidan menyatakan senang dengan tugas yang menjadi
tupoksinya yaitu menolong persalinan, tapi lebih senang jika memberi pelayanan
pengobatan karena menolong persalinan dianggap sangat berisiko. Namun
demikian hasil penelitian ini dengan adanya Jampersal 81,5% bidan menyatakan
senang menolong persalinan sendiri daripada merujuk ke layanan rujukan.
Persepsi bidan terhadap keterjangkauan (akses jarak) masyarakat
terhadap Jampersal, 82,7 % bidan menyatakan yang memanfatkan Jampersal
tidak hanya sasaran yang dekat dengan puskesmas/polindes saja tetapi juga yang
jauh. Kesesuaian reward Jampersal dengan tugas yang dibebankan dan kepuasan
adanya kepastian pembiayaan dengan adanya Jampersal, hasil penelitian
didapatkan 85,6% bidan menyatakan baik.
5.4.2.1. Paket Layanan
Paket pelayanan pemeriksan kehamilan (ANC) adalah pemeriksaan
kehamilan (ANC) yang dibiayai oleh program ini mengacu pada buku Pedoman
KIA, dimana selama hamil, ibu hamil diperiksa sebanyak 4 kali disertai konseling
KB dengan frekuensi a). 1 kali pada triwulan pertama, b). 1 kali pada triwulan
kedua, c). Dua kali pada triwulan ketiga , secara umum bidan dapat menerima,
namun beberapa bidan merasa kurang jika hanya empat kali saja ANC yang
dibiayai oleh Jampersal. Ini karena di beberapa daerah pemeriksaan kehamilan
sebelum ada Jampersal kebijakan Daerah yang menggratiskan pembiayaan ANC
di fasilitas pemerintah, sehingga masyarakat cenderung melakukan ANC pada
tenaga kesehatan lebih dari 4 (empat) kali. Dengan demikian jika masyarakat
melakukan ANC lebih dari frekuensi yang dibiayai Jampersal maka bidan tidak
dapat mengklaimkan pelayanan tersebut.
“..cuma gini pak, untuk masalah ANC, ANC itu kebanyakan ndak 4 kali pak. bisa
tiap bulan, malah kalau ada kasus sebulan bisa 2 kali..” (Bidan Kab. Sampang).
“..paket pelayanan yang diberikan program jampersal, sebenarnya sudah bagus.
Namun namun paket pelayanannya mungkin bisa ditambah, namun ya
tergantung dari Kemenkes. Selama ini paket pelayanan yang diberikan adalah 10
T, mungkin bisa ditambah menjadi 12 T. yang ditambah adalah pemberian tablet
DHA, dan program “Tempelkan Musik Mozart di perut Ibu..” (Bidan Kab. Bogor).
77
Dalam salah satu FGD bidan di Lombok Tengah bidan bahkan tidak
mengetahui bahwa paket pelayanan ANC dan PNC dapat di klaim, dalam
pelayanan Jampersal hanya persalinan saja yang dapat di klaim. Hal ini di
karenakan di Loteng sebelum Jampersal sudah ada kebijakan kabupaten gratis
untuk semua pelayanan kesehatan. Untuk ANC secara kuantitas frekuensi lebih
dari 4 kali pemeriksaan, tapi secara kualitas sesuai dengan waktu yang
ditetapkan masih perlu dievaluasi lebih lanjut.
Untuk paket persalinan normal dalam petunjuk teknis dinyatakan
dilakukan oleh nakes di fasilitas kesehatan dengan rawat inap minimal 1 (satu)
hari . Di kabupaten/kota secara umum cukup dan dapat di implementasikan, tapi
ada beberapa kabupaten/kota misalnya seperti kota Balikpapan puskesmas
menyatakan pelayanan persalinan satu hari kurang karena kebiasaan di daerah
tersebut untuk persalinan lebih dari satu hari, sehingga biaya untuk kelebihan
hari dibebankan ke pasien Jampersal.
Demikian pula dengan pelayanan kegawatdaruratan kebidanan, menurut
juknis Jampersal dilakukan di Puskesmas PONED. Apabila hal tersebut
diterapkan, maka hanya sedikit Puskesmas yang dapat melakukan karena
terbatasnya Puskesmas PONED terutama di kabupaten. Pelaksanaannya misalnya
di Kabupaten Sampang ada kebijakan Dinas Kesehatan, bahwa kegawatdaruratan
kebidanan dapat dilakukan tidak hanya di Puskesmas Poned tetapi juga di
Puskesmas perawatan. Seperti pernyataan informan di Dinas Kesehatan
Kabupaten Sampang berikut:
“..bidan melaksanakan pelayanan, misalnya manual plasenta, tidak semua bisa
diklaim, karena kebijakannnya di Puskesmas perawatan. Kita kembalikan ke
program, untuk program itu seperti apa ? untuk puskesmas perawatan, boleh
mengklaim, tapi kalau Poned terlalu jauh, jadi syaratnya Puskesmas Perawatan
saja. Kompetensi bidan, bisa melakukan tindakan selain itu, tetapi tidak bisa
diklaimkan bukan wewenangnya, mungkin sejauh ada pelimpahan tugas bisa
melakukan ini itu mungkin bisa dibijaksana..” (Dinkes, Kab. Sampang).
Untuk persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dibeberapa
kabupaten tidak dapat dilaksanakan dengan berbagai kondisi misalnya di
kabupaten Kep. Aru dan Sampang karena geografis sehingga masyarakat masih
bersalin di rumah dengan ditolong oleh tenaga kesehatan, bahkan di Aru
78
keterbatasan sarana dan tenaga kesehatan di puskesmas sehingga persalinan
dilakukan di rumah. Berbeda dengan Kab. Wakatobi dimana ada komitmen untuk
persalinan oleh nakes di fasilitas kesehatan, sehingga dilakukan “jemput bola”
dan pasien Jampersal dibawa ke fasilitas kesehatan untuk dilakukan persalinan.
“..pada persalinan normal di puskesmas pasien dirawat antara 1 – 3 hari, jika
pasien dirawat sehari makan gratis sesuai paket Jampersal , tapi jika lebih dari
sehari maka pasien dikenakan biaya tambahan antara Rp. 150.000,- - 300,000,-
untuk mengganti bahan habis pakai dan uang makan pasien..” (Kepala
Puskesmas di Kota Balikpapan).
“..masyarakat disini lebih suka melahirkan di rumah, mungkin merasa lebih enak
di rumah. Lagian di puskesmas tidak ruangan yang..” (Bidan Kab. Kep. Aru).
“..belum punya kesadaran untuk datang sendiri ke sarana kesehatan. Mereka
harus dijemput oleh bidan desa untuk bersalin ke sarana kesehatan. Kalau sudah
mulai sakit, pasien menghubungi bidan kemudian meminta supaya bidan
mengangkut pasien ke sarana kesehatan dengan menggunakan motor atau
mobil ambulan..” (Kepala Puskesmas di Kab. Wakatobi)
Paket Pelayanan Nifas (PNC) adalah Pelayanan nifas sesuai standar yang
dibiayai oleh program Jampersal pada ibu dan bayi baru lahir yang meliputi
pelayanan ibu nifas, pelayanan bayi baru lahir, dan pelayanan KB pasca salin.
Pelayanan nifas diintegrasikan antara pelayanan ibu nifas, bayi baru lahir dan
pelayanan KB pasca salin. Tatalaksana asuhan PNC merupakan pelayanan Ibu dan
Bayi baru lahir sesuai dengan Buku Pedoman KIA. Pelayanan bayi baru lahir
dilakukan pada saat lahir. Dari penelitian ini didapatkan bahwa di
kabupaten/kota PNC dapat diimplementasikan, bahkan dengan adanya paket ini
cakupan PNC meningkat.
Pada beberapa daerah dengan geografis sulit seperti di kepulauan Aru
dan Wakatobi pelayanan nifas dilakukan dengan kunjungan rumah oleh tenaga
kesehatan, demikian juga di beberapa puskesmas dengan geografis cukup sulit
seperti di Lombok Tengah. Untuk transport kunjungan rumah tersebut di Lombok
tengah di biayai dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), tapi ada beberapa
masalah dalam pelaksanaannya sehingga menjadi temuan.
“..PNC, temuan BPK, OH tdk boleh lebih, transport dari BOK dibayar tdk boleh
lebih dari 30 hari (ini kendalanya), padahal bs aja dlm sehari lebih dari 1
kunjungan/ KN 1 hari 3 kali (harus ada SPT dari kepala Puskesmas). Jadi klo OH
79
lebih dari 30 hari tidak dibayar. Padahal klo KN harus dikunjungi, terutama jika
ada kasus..” (Bidan Kab Lombok Tengah).
Untuk paket pelayanan KB belum semua kabupaten/kota menerapkan.
Ada beberapa kabupaten/kota yang menerapkan inform consent untuk
pelayanan Jampersal sampai dengan pelayanan KB. Untuk jenis pelayanan alat
kontrasepsipun masih bervariasi ada yang sudah secara tegas berani
menetapkan kontrasepsi mantap (IUD) misalnya seperti di Puskesmas Puter di
Kota Bandung, tapi secara umum di kabupaten / kota pasien lebih memilih KB
suntik sebagai alat kontrasepsi.
“..Jampersal di puskesmas puter setiap pasien yang menggunakan program
harus menandatangai inform consent sampai menggunakan KB IUD. Namun
beberapa pasien menolak memakai Jampersal ketika diharuskan KB dengan IUD,
pasien lebih baik membayar sendiri..” (kepala Puskesmas di Kota Bandung).
“..kita hanya membatasi KB pasca persalinan, bukan termasuk KB diluar itu,
sedangkan permasalahannya penyediaan alat kontrasepsi terbatas oleh
BKKBN..” (Dinkes, Kab. Sampang)
Di Kota Kendari pelaksanaan KB paska persalinan belum dapat berjalan
secara lancar karena masih adanya budaya di masyarakat yang belum mau ber
KB sebelum 42 hari karena masa nifas dianggap belum perlu untuk menggunakan
alat kontrasepsi. Hal ini menyebabkan lepasnya kesempatan untuk mendapatkan
akseptor KB paska persalinan.
Di Kota Bandung pelayanan Jampersal untuk KB dapat dilakukan paska
placenta langsung pasang IUD tapi masih ada masyarakat yang memilih KB suntik
saja. Walaupun ada di tetapkan pengisian informed consent untuk yang akan
memanfaatkan Jampersal agar menggunaan IUD paska persalinan, masyarakat
memilih untuk melepas Jampersal untuk dapat memanfaatkan KB suntuk dengan
pembiayaan sendiri seperti diutarakan oleh kepala Puskesmas Puter. Beberapa
bidan juga mengeluhkan adanya masalah rujukan ini, bagaimana jika ternyata
yang sudah terpakai ini sudah lebih dari Rp 100.000, padahal penggantian
Jampersal hanya Rp 100.000.
80
5.4.2.2. Kepesertaan / sasaran
Sasaran Jampersal adalah kelompok sasaran yang berhak mendapat
pelayanan yang berkaitan langsung dengan kehamilan dan persalinan baik
normal maupun dengan komplikasi atau resiko tinggi untuk mencegah AKI dan
AKB dari suatu proses persalinan.
Sasaran pengguna Jampersal adalah 1). ibu hamil ; 2). ibu bersalin; 3).
ibu nifas sampai dengan paska persalinan 42 hari dan 4). neonatal (0-28 hari).
Batas waktu sampai dengan 28 hari pada bayi dan sampai dengan 42 hari pada
ibu nifas adalah batas waktu pelayanan PNC dan tidak dimaksudkan sebagai
batas waktu pemberian pelayanan yang tidak terkait langsung dengan proses
persalinan dan atau pencegahan kematian ibu dan bayi karena suatu proses
persalinan. Salah satu syarat sasaran yang memanfaatkan Jampersal adalah
belum memiliki Jaminan persalinan.
Terkait sasaran Jampersal sebagian besar provider memasalahkan dengan
tidak adanya pembatasan pada sasaran yang tidak mampu / miskin saja, tapi
juga dapat dimanfaatkan sasaran mampu, selain itu tidak adanya pembatasan
jumlah anak sebagai sasaran Jampersal sebagian provider mengkhawatirkan
akan menjadi berbenturan dengan program Keluarga Berencana. Tapi pada
umumnya (sebagian provider) yang dilakukan wawancara mendalam dan FGD
menerima program Jampersal dengan baik.
“..menurut saya jampersal harusnya untuk masyarakat yang tidak mampu. Jika
ada pasien mampu maka wajib bayar..” (Bidan Kota Ambon).
“..kalau yang lalu ada yang tidak punya ktp sama sekali. Biasanya langsung ke
nakersos saja, nanti dia datang untuk dibuatkan surat terlantar. Misalnya untuk
sakit jiwa dia melahirkan ya pakai surat itu saja. Untuk yang terlantar dinas yang
fasilitasi sama jamkesda..” (dinkes, Kota Balikpapan).
“..program jampersal ini disambut baik, terutama bagi masyarakat miskin yang
bebas dari biaya persalinan, tidak saja pada proses melahirkan tapi sampai pada
biaya pelayanan ke rumah sakit jika ada yang komplikasi..” (Bidan Kota Blitar).
“..beta maunya itu dibuat klasifikasi hanya diperuntukan anak pertama dan yang
tidak masuk Askes saja. Supaya program KB berjalan dengan baik. Pemahaman
masyarakat sekarang dengan adanya jampersal masyarakat merasa enak, mau
buat anak berapa juga tetap gratis..” (Bidan Kep. Aru).
81
Sebetulnya dari penjelasan diatas menunjukkan juga keterbatasan
pemahaman bidan pada program Jaminan Persalinan terutama terhadap
pelayanan KB yang merupakan satu paket dalam pelayanan PNC.
5.4.2.3. Syarat dan Mekanisme Klaim
Sasaran Jampersal dapat memanfaatkan Jampersal dengan syarat dapat
menunjukkan kartu identitas berupa Kartu tanda penduduk (KTP). Di kabupaten
Kota persyaratan ini diimplementasikan bervariasi dengan tujuan memberi
kemudahan pada sararan untuk memanfaatkan Jampersal, misalnya dengan
memperbolehkan dengan hanya surat keterangan domisili, Surat Ijin Mengemudi
(kab. Lombok Tengah), KTP suami (Kota Blitar), kartu mahasiswa, Kartu pelajar
(Kab. Lombok Tengah), Kartu Keluarga (kota Ambon), paspor (Kab. Batam).
Dibeberapa Kabupaten kepemilikan KTP untuk sasaran menjadi masalah,
karena masyarakat sering tidak mempunyai KTP. Menurut informan sebelumnya
masyarakat merasa tidak berkepentingan untuk memiliki KTP. Baru ketika
mengetahui bahwa untuk memanfaatkan Jampersal harus memiliki kartu
identitas yaitu KTP, masyarakat mulai merasa pentingnya untuk mempunyai
kartu identitas. Tapi hampir seluruh kabupaten/kota lokasi penelitian
mempermudah persyaratan dengan cukup sasaran membawa surat keterangan
domisili.
“..masalah Identitas ini (KTP/Kartu domisili) ini persoalan yang rumit dan
menjengkelkan, karena ada pasien ibu hamil datang ANC dengan jampersal
tetapi tidak membawa KTP atau identitas lain utk persyaratan klaim, tp sampai
melahirkan belum juga mengurus. Kita sbg bidan yang mengurusnya sampai kita
mencari ke rumahnya ternyata rumanya sudah tdk ada krn banjir, untungnya
bpk raja/lurah mengenalnya jadi bisa dibuatkan surat domisili..” (Bidan Kota
Ambon).
“..jika ada pasien seng punya KTP (tdk punya KTP), tidak punya KK maka
langsung menjadi pasien umum dan harus bayar. KTP tdk ada bs dengan domisili
tetapi disyahkan oleh camat. KK juga harus disyahkan camat..” ( Bidan Kota
Ambon).
82
Menurut petunjuk teknis Jampersal di kabupaten/kota dana Jampersal di
pelayanan kesehatan dasar disalurkan ke Rekening Dinas kesehatan
kabupaten/kota, terintegrasi (menjadi satu kesatuan) dengan dana Jamkesmas.
Setelah dana tersebut disalurkan Kementerian Kesehatan ke rekening Dinas
Kesehatan sebagai penanggung jawab program (melalui SP2D), maka status dana
tersebut berubah menjadi dana peserta Jamkesmas dan masyarakat penerima
manfaat Jaminan Persalinan.
Setelah hasil verifikasi klaim dibayarkan sebagai penggantian pelayanan
kesehatan, maka status dana menjadi pendapatan fasilitas kesehatan/puskesmas
yang belum menerapkan BLUD (kebetulan puskesmas yang menjadi lokasi
penelitian kebanyakan adalah non BLUD). Sehingga dana yang sudah di klaim
setelah cair ke fasilitas kesehatan/ puskesmas akan disetorkan kembali
seluruhnya pada kas daerah. Yang kemudian akan dikembalikan pada fasilitas
kesehatan sesuai dengan besaran yang diatur dalam Perbup atau Perwali.
Dalam implementasi dilapangan secara umum kabupaten/kota
melaksanakan alur dana seperti dalam petunjuk teknis, namun ada beberapa
daerah yang masih beranggapan bahwa dana Jampersal masuk dalam rekening
Pemerintah Daerah sehingga sering menimbulkan polemik di daerah.
Dalam petunjuk teknis Jampersal 2012 diterangkan bahwa besaran jasa
medis yang dikembalikan pada fasilitas kesehatan minimal 75%. Namun
demikian pada kenyataannya tidak demikian, terdapat daerah yang lebih besar
dari 75% tapi ada juga yang jauh lebih kecil dari ketentuan di petunjuk teknis.
Besarkecilnya jasa medis yang diembalikan tergantung pada komitmen atau
aturan yang berlaku di daerah tersebut.
Adapun alur pembayaran klaim setelah disetor ke kas daerah
digambarkan pada gambar 5.10.
83
Gambar 5.10
Mekanisme Pembayaran klaim Jampersal di Pelayanan Dasar
Di Kabupaten Sampang untuk proses klaim dimulai dengan verifikasi
kelengkapan berkas , pengisian teknis, kelayakan. Setelah itu direkap oleh
pengelola Jampersal, dientry data soft ware Jampersal, jika kuitansi sudah
lengkap bendahara Jampersal membuatkan STSR (surat tanda setor
retribusi) akhirnya disetor ke kas Daerah sebagai PAD. Untuk persyaratan klaim
berdasarkan nama pasien, jenis tindakan dan besaran tarif, sedangkan berkas
klaim yang lain dibawa kembali ke Puskesmas yaitu buku KIA, partograf, bukti kb
dll, identitas, setelah selesai diverifikasi, disimpan di Puskesmas.
“..jasa pelayanan bidan harus melalui jalan yang cukup panjang untuk bisa
dibayarkan, berharap agar sistem klaim lebih di sederhanakan..” (Bidan Kota
Blitar).
“..Kalau tahun yang lalu 2011, kami mengeluarkan klaim sekitar 40% karena
program jampersal tidak melalui kas daerah, tetapi hal tersebut menjadi
temuan, sehingga kami tidak berani lagi mengeluarkan klaim jasa pelayanan
jampersal..” (Pengelola Jampersal, Kab Paser).
“..bidan bisa menerima besaran jasa pelayanan. Dinas kesehatan sangat baik
dalam membantu pencairan dana. Kalau ada dana turun maka kami di
puskesmas selalu diberi tahu bahwa dana jampersal sudah ada silahkan segera
mengajukan klaim. Kami menerima dana jasa pelayanan penuh, tidak ada
potongan dari dinas kesehatan. Teman-teman bidan secara sukarela
menanggung biaya perjalanan dan penginapan saya ke wanci (ibukota wakatobi)
saat mengurus klaim..” (Pengelola Jampersal, Kab. Aru).
84
Masalah dalam pengklaiman dibeberapa daerah ditemukan misalnya di
kota Ambon, Balikpapan antara lain adalah lamanya proses verifikasi di dinas
kesehatan. Hal ini disebabkan banyaknya berkas yang harus diverifikasi tetapi
jumlah tenaga verifikator terbatas dan merangkap tugas lain.
Untuk menanggulangi masalah ini kepala Dinas Kab. Sampang melakukan
percepatan dengan berkas yang harus diperbaiki akan dikembalikan pada
puskesmas untuk perbaikan, tetapi berkas yang sudah ada di dinas Kesehatan
tetap berjalan dan akan diganti setelah perbaikan sehingga proses tetap berjalan
walaupun berkas ada perbaikan. Di daerah uji coba penelitian Kab. Mojokerto,
kepala dinas kesehatan menetapkan verifikator di puskesmas.
“..adanya tenaga verifikator di puskesmas yaitu bidan koordinator sebagai
pelaksananya sehingga diharapkan dengan adanya verifikator di puskesmas akan
membantu verifikator di Dinas kesehatan di Dinkes dalam melaksanakan
tugasnya. Karena dengan keterbatasan tenaga verifikator di Dinkes sistem ini
diharapkan klaim menjadi lebih cepat..” (Kepala Dinas, Kab. Mojokerto)
Proses pengembalian dana setelah dari kas daerah ke puskesmas juga
sering sekali menjadi kendala lamanya uang cair ke provider. Hal ini disebabkan
karena proses mekanisme keuangan daerah.
“..Puskesmas klaim ke DKK tapi uang tidak diterima puskesmas. Untuk
persalinan itu hanya terima Rp 50.000 untuk jasa. Dipotong untuk jasa lainnya
tambah ppn. Ada penggantian obat dan lainnya. Persyaratan klaim susah karena
ada yang tidak punya KTP. Klaim untuk infus tidak diganti oleh Jampersal. Tapi
untuk jumlah riilnya tidak tahu karena diakumulasi. Proses pengajuan klaim
susah. Klaim bisa satu minggu aja. Untuk klaim itu dikirim sebelum tanggal 10
bulan selanjutnya. Biasanya lewat tanggal 20 baru turun gitu. Jarak klaim sama
pencairan tidak terlalu lama..” (Puskesmas, Kota Bandung).
“..klaim untuk BPS tiap bulan cair dan tepat waktu. Kalau mau klaim harus
telpon dulu, soalnya petugasnya tidak stand by. Pengajuan klaim dengan per
bulan membuat ribet dan membuat repot. Klaim BPS harusnya bisa diambil di
Puskesmas..” (Dinas kesehatan, Kota Bandung).
“..dalam mekanisme klaim di Balikpapan ketika uang sudah cair dan akan disetor
ke Kasda maka dilakukan penyobekkan karrcis sebanyak jumlah uang yang di
klaim. Yang menjadi masalah adalah untuk pelayanan ANC karena biaya karcis
untuk ANC menurut Perda Rp. 5000,- maka setiap ada ANC dilakukan
penyobekan karcis 4. Kepala puskesmas keberatan karena tidak masuk akal
85
dalam pencatatan 1 orang melakukan ANC 4 kali dalam sehari..” (Puskesmas,
Kota Balikpapan).
“..sampai saat ini jasa pelayanan Jampersal untuk bidan puskesmas untuk
tahun 2012 belum ada yang cair. Jika cair nanti besaran yang diusulkan dari
Dinkes 75% untuk jaspel dan dana operasional di puskesmas (jika disetujui
pemerintah kota), puskesmas akan mengikuti aturan tersebut. Tapi sampai saat
ini belum ada penjelasan pasti dari Dinkes..” (Dinkes Kota Balikpapan).
Untuk proses klaim dana Jampersal pada bidan BPS yang melakukan PKS
dengan dinas kesehatan pada umumnya tidak ditemukan kendala dalam
prosesnya. Proses cairnya juga lebih cepat dan lancar dibandingkan bidan di
puskesmas dan jaringannya yang non BLUD. Besaran tarif pada bidan PKS pada
umumnya diterima sesuai dengan petunjuk teknis yang berlaku.
Lebih mudahnya proses klaim dan pencairan dana pada BPS dikarenakan
tidak perlu melalui mekanisme keuangan daerah tapi langsung melalui dinas
kesehatan. Untuk itu di beberapa kabupaten/kota seperti Batam dinas kesehatan
untuk pelayanan Jampersal di layanan dasar mendorong BPS yang PKS
diharapkan dapat memanfaatkan Jampersal. Namun sayang sekali tidak banyak
bidan BPS yang dapat memanfaatkannya dikarenakan terkendala dalam
pengurusan PKS dikarenakan tidak dapat memenuhi persyaratan terutama
dalam pengurusan surat ijin praktek, dimana terdapat persyaratan yang
ditentukan oleh profesi yang harus dipenuhi.
5.4.2.4. Besaran Tarif Pelayanan
Dalam petunjuk teknis besaran tarif Jampersal tahun 2012 untuk ANC
menjadi Rp. 20.000,- dengan frekuensi pemeriksaan 4 (empat) kali , persalinan
normal Rp.500.000,- , PNC Rp. 20.000,- dengan frekuensi 4 (empat) kali dan
tindakan pra rujukan Rp. 100.000,-.
Dari hasil penelitian didapatkan secara umum tidak ada masalah dengan
besaran tarif untuk ANC. Di Kabupaten/kota lokasi penelitian besaran tarif
persalinan menurut sebagian besar provider di layanan dasar sudah cukup bagus
sesuai dengan perda (rata-rata antara Rp. 200.000 sampai dengan Rp.700.000,-).
Walaupun di beberapa kabupaten/kota tarif Jampersal dibawah tarif yang
86
berlaku pada umumnya di wilayah tersebut terutama untuk BPS misalnya seperti
di Balikpapan, Batam, Bandung dll. Alasan perlu dinaikkan tarif tersebut karena
menurutnya ada biaya lain yang perlu dibayarkan ketika menolong persalinan
misalnya biaya dukun untuk pasien yang merupakan rujukan dukun, memberi
makan pada pengantar pasien selama pasien dirawat melahirkan, BHP dll.
Namun demikian menurut bidan dan ketua IBI (Ketua IBI Bandung)
sebagai responden penelitian ini, dengan tarif bidan yang tinggi, tidak semua
pasien dapat membayar sesuai dengan tarif tersebut bahkan beberapa pasien di
gratiskan karena tidak mampu membayar. Sebetulnya dengan adanya Jampersal
bidan merasa ada kepastian dalam pendanaan dari setiap pasien yang
memanfaatkannya dan dapat melakukan subsidi silang. Hanya masalahnya tidak
di semua kabupaten/kota klaim dapat cair dengan cepat dan lancar sehingga
bidan harus mengeluarkan biaya yang cukup besar terlebih dahulu sebelum dana
dapat dicairkan. Untuk besaran tarif karena adanya variasi dari nilai fiskal daerah,
geografis dll ada yang mengusulkan untuk dilakukan regionalisasi pada tarif.
“..menurut saya kalau persalinan normal, paket pelayanan sudah cukup,
maksudnya persalinan tanpa ada perdarahan. Kalau persalinan yang mengalami
kegawatdaruratan kita juga yang menangani, tapi ternyata dibayar cuma segitu.
Misal kalau ada kasus perdarahan maupun manual plasenta, kami
menanganinya, tapi ternyata dibayar cuma sesuai dengan tariff di juknis..”
(Bidan Kab. Bogor).
“..sudah sesuai mulai dari ANC, persalinan sampai PNC, hanya saja tarifnya apa
bisa ditingkatkan, karena di sini semua lebih mahal dibandingkan dengan di
jawa, untuk bahan habis pakai saja kami menghabiskan lebih dari 200.000..”
(Bidan kab. Paser).
“..karena membayar dukun, jadi bidan hanya 400 rb.keluhan bidan itu kurang
sdh melayani pasien. Minta ditambah, kalo bisa sampe 700 rb. Apalgi kalo di
wilayah PKM galang ini wilayah kerjanya luas dan jauh2 jadi biaya tersebut juga
sbg biaya transport bidan dalam menolong persalinan jika harus dipanggil ke
rumah pasien. krn BHP sendiri, makan minum pasien, klo boleh dinaikkan sedikit
dg tarif 750 rb disesuaikan dg tarif umum..” (Puskesmas. Kota Batam).
“..besaran tariff sudah cukup bagus sesuai dengan perda, perda mengatur
besaran persalinan oleh bidan sebesar Rp 350.000, dengan adanya paket
jampersal untuk besaran tarif Rp 500.000 untuk persalinan oleh bidan, maka
bidan desa akan menerima 75% dari Rp 500.000..” (Puskesmas, kab. Sampang).
87
“..tarif jampersal lebih baik dibandingkan tarif puskesmas..”(Puskesmas, Kota
Kendari).
“..perlu ada regionalisasi tarif, sebab tarif persalinan tiap daerah berbeda-
beda..” (Dinas kesehatan, Kota kendari).
“..pada tahun lalu saat masih pakai tarif Pemda biaya persalinan Rp. 350.000,-,
sedang tarif umum tidak ada, karena semua bidan di sini adalah bidan
pemerintah 24 jam. Jadi untuk tarif jampersal dirasa cukup. Yang masih belum
ada dalam jampersal adalah biaya untuk petugas pendamping saat melakukan
rujukan..” (Bikor, Kab. Aru).
Di Kota Balikpapan dan Kabupten Paser, dimana tarif persalinan normal
cukup tinggi yaitu lebih dari Rp.1.000.000,- bahkan di Kota Balikpapan untuk klas
VIP tarif bidan untuk persalinan normal dapat lebih dari Rp. 3.000.000,-.
Sehingga tarif Jampersal dianggap kurang memadai. Data penelitian ini di
wilayah ini didapatkan di luar pembiayaan Jampersal terdapat juga pasien yang
membayar biaya tambahan. Hal ini didukung adanya kesepakatan IBI bahwa
bidan dapat menarik biaya tambahan kepada pasien dalam batasan tertentu.
Berbeda untuk kabupaten kepulauan misalnya di kabupaten Kep. Aru dan
kabupaten Wakatobi, tidak masalah dalam tarif Jampersal tetapi yang menjadi
masalah adalah kurangnya akses transportasi dan mahalnya biaya transportasi
serta terbatasnya sarana dan sumberdaya manusia yang ada. Sehingga untuk
kabupaten kepulauan Aru, Wakatobi biaya transpotasi ke pelayanan kesehatan
dapat jauh lebih mahal dibandingkan biaya persalinannya sendiri. Dengan
demikian biaya transportasi merupakan faktor penting untuk mendapatkan
pelayanan persalinan di fasilitas kesehatan.
5.4.2.5. Jasa Pelayanan
Di dalam petunjuk teknis Jampersal tahun 2012 , jasa pelayanan untuk
persalinan ditetapkan untuk ; 1). Puskesmas non BLUD minimal adalah 75% dari
tarif persalinan normal yaitu Rp. 500.000,-. 2) Puskesmas BLUD setelah dana di
klaim maka menjadi dana pendapatan/penerimaan fasilitas kesehatan ; 3)
sedangkan untuk BPS 100% menjadi jasa pelayanan.
88
Dalam implementasi untuk BPS dan puskesmas BLUD jasa
pelayanan dapat diterima dengan waktu yang relatif lebih cepat dan
lancar dan dapat diterima 100%, karena tidak melalui mekanisme keuangan
daerah. Sedangkan untuk puskesmas non BLUD (semua puskesmas dalam
penelitian ini adalah non BLUD) untuk dana Jampersal 2012 terkendala dengan
mekanisme keuangan dimana setelah proses klaim dana yang telah menjadi
pendapatan/penerimaan fasilitas kesehatan (Puskesmas) mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan, yaitu dana disetor ke kas daerah kab/kota
masing-masing.
Beberapa kabupaten/kota (Sampang, Blitar, Mataram, Lombok tengah,
Ambon, Batam) menerbitkan Perbup/Perwali untuk mengatur Jampersal.
Walaupun demikian tidak semua daerah lancar dalam proses pencairannya
terkendala masalah teknis misalnya di Sampang karena jumlah realita klaim
Jampersal jauh lebih besar dari perencanaan Jampersal 2012, maka untuk
mencairkan dana berikutnya diperlukan menunggu dana Perubahan Anggaran
Keuangan (PAK) sehingga bulan November baru dapat di cairkan.
Kota Blitar ketika Perwali terbit belum terdapat mata anggaran untuk
menyetoran dan penarikkan kembali, Kota Batam karena sudah terdapat
anggaran untuk jasa pelayanan untuk tenaga kesehatan, sehingga tidak
dimungkinkan untuk menarik jasa pelayanan lagi.
Kabupaten Kepulauan Aru, Wakatobi walaupun tidak mengeluarkan
Perbup /Perwali mengikuti proses klaim juknis Jampersal 2011 yaitu penerimaan
fasilitas kesehatan tidak disetorkan ke kasda keseluruhan, tapi prosentase yang
menjadi hak daerah saja yang disetorkan. Di Kota Bandung untuk jasa pelayanan
di puskesmas non BLUD mengikuti Perda yang ada tanpa membuat peraturan
baru untuk Jampersal, hanya masalahnya besaran jasa pelayanan dalam Perda
jauh lebih rendah dari besaran jasa pelayanan Jampersal untuk persalinan
normal.
89
5.4.3. Pemberi Layanan di Fasilitas Kesehatan Rujukan
Dalam memberikan pelayanan di fasilitas kesehatan rujukan, provider
pelaksana yang memegang peranan dalam pelayanan Jampersal adalah bidan
rumah sakit dan SPOG. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam
pada provider untuk mengetahui penerimaan terhadap Jampersal. Provider di
rumah sakit pada umumya mendukung kebijakan Jampersal dalam upaya
mencapai target MDGs.
“..Jampersal bermanfaat terutama untuk masyarakat yang dulunya ke dukun
sekarang ke nakes, demikian masyarakat yang sebelumnya ada permasalahan
dengan ekonomi. Sejak ada Jampersal pasien di rumah sakit menjadi lebih
banyak dari sebelumnya bisa sampai hampir dua kali lipatnya. Disamping itu
dengan kunjungan dokter obgyn ke puskesmas PONED secara bergiliran
meningkatkan jumlah pasien ke RS demikian juga atas motivasi bidan dan
pendampingan bidan jkia merujuk ke rumah sakit menyebabkan kunjungan ke
RS juga menjadi meningkat..” (RSUD, Kab. Sampang).
5.4.3.1. Paket Layanan
Di rumah sakit petunjuk untuk Paket layanan Jampersal pada umumnya
adalah sesuai dengan petunjuk teknis yang ada. Provider tingkat lanjutan
memberikan pelayanan untuk pasien rujukan yang tidak bisa ditangani oleh
provider kesehatan tingkat pertama. Namun kenyataannya tidak demikian,
karena banyak pasien yang tanpa rujukan langsung datang sendiri ke pemberi
pelayanan tingkat lanjutan.
Untuk paket pelayanan Jampersal semua kasus yang berhubungan
dengan kehamilan dan persalinan, ditanggung oleh Jampersal, termasuk penyakit
yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan yang dapat membahayakan
jiwa ibu.
“..pada waktu awal pelaksanaan jampersal tahun 2011 untuk kiret dan KET
terkadang mereka masih suka bingung ini masuk jampersal atau tidak. Tapi
untuk yang sekarang sudah lebih jelas bahwa untuk semua kasus kehamilan
akan ditanggung semua. Kecuali untuk kasus ginekologi..” (RSUD, Kab. Sampang)
Provider (Bidan, SPOG) pada umumnya tidak mempermasalahkan paket
pelayanan yang ditetapkan dalan juknis, tapi banyak provider yang tidak
tersosialisasi dengan jenis paket pelayanan Jampersal. Sering timbul masalah
90
dalam pengklaiman jika ada pasien Jampersal yang dirujuk dari pelayanan dasar
karena komplikasi tetapi di rumah sakit dapat bersalin secara normal.
Kendala lain yang dihadapi adalah pasien kadang tidak mau bersalin di
pemberi pelayanan tingkat pertama, mereka langsung bersalin di pemberi
pelayanan kesehatan tingkat lanjutan (dalam hal ini rumah sakit, baik negeri
maupun swasta), hal ini mengakibatkan adanya peningkatan jumlah pasien yang
bersalin di rumah sakit. Padahal, di dalam Juknis disebutkan bahwa ibu hamil, ibu
bersalin dan ibu nifas yang ingin mendapatkan pelayanan Jampersal dilayani oleh
pemberi pelayanan di tingkat pertama. Sedangkan pemberi pelayanan tingkat
lanjutan adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan spesialistik
untuk pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir kepada ibu hamil, bersalin, nifas,
dan bayi baru lahir dengan resiko tinggi dan atau dengan komplikasi yang tidak
dapat ditangani pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dilaksanakan
berdasarkan rujukan atas indikasi medis.
Kebanyakan di sini pasien yang datang persalinan dengan komplikasi atau
penyulit. Setelah persalinan biasanya pasien akan diserahkan kembali ke
puskesmas untuk mendapatkan perawatan pasca nifas. Pelayanan pasien
Jampersal sama dengan pelayanan untuk pasien umum. Untuk pelayanan KB
paska Nifas tidak semua RS mengetahui.
“..Belum ada ketegasan program jampersal yang mengharuskan peserta
jampersal harus ikut KB, akibatnya banyak peserta yang tidak mau ikut KB , dan
banyak yang memanfaatkan program jampersal ini untuk sering hamil (pumpung
gratis) tanpa memperdulikan masa depan anak dan ibunya yang apabila sering
melahirkan dan banyak anak akan lebih beresiko. Bila demikian apakah target
untuk menurunkan AKI bisa tercapai? Seharusnya program jampersal harus
tegas di ikuti dengan program KB..” (NN, RSUD).
5.4.3.2. Kepesertaan
Untuk sasaran Jampersal di rumah sakit, sebaiknya dilakukan pembatasan
pada masyarakat tidak mampu dan benar-benar tidak mempunyai Jaminan. Hal
ini perlu karena pengguna Jampersal ternyata banyak dari masyarakat yang
mampu dan sudah mempunyai jaminan kesehatan lain misalnya Askes.
Sedangkan menurut juknis Jampersal menyatakan bahwa sasaran Jampersal
91
adalah ibu dan bayi yang belum mempunyai jaminan kesehatan. Namun dalam
kenyataannya, banyak pengguna Jampersal telah memiliki jaminan kesehatan,
namun pelayanan yang dinginkan tersebut tidak lagi ditanggung dalam paket
pelayanan asuransi yang diikutinya.
“..pihak rumah sakit berharap adanya pembatasan dalam hal kepesertaan.
Karena terkadang ada pasien yang memiliki askes tapi untuk anak ke 4 mau
ditanggung dengan jampersal. Jadi dikhawatirkan ini akan menjadi tumpang
tindih dengan asuransi lainnya..” (RSUD, Kab. Sampang).
“..semua ibu yang tidak memiliki kartu Jamkesmas dan Jamkesda..” (Pengelola
Jampersal, RSUD).
“..hambatannya sebetulnya tidak ada, tetapi banyaknya masyarakat yang
mampu tetapi masih menggunakan fasilitas jampersal, tetapi tetap tidak bisa
menolak, karena pada prinsipnya jampersal adalah bagi seluruh masyarakat
yang melakukan persalinan di kelas III..” (Pengelola, RSUD ).
Kepesertaan Jampersal berlaku prinsip portabilitas, dimana pemberi
pelayanan kesehatan baik di tingkat pertama maupun lanjutan menerima pasien
yang berasal dari daerah manapun. Sasaran dapat memanfaatkan Jampersal
di fasilitas rujukan dengan membawa KTP, kartu domisili, KK, buku nikah, SIM,
kartu pelajar. Selain itu pasien membawa rujukan, partograf dan buku KIA ( RSUD
Mataram), keterangan RT, RW/ Kelurahan bahwa ybs tidak mampu (RSUD, Kab.
Kep. Aru).
“..yang perlu di di klarifikasi adalah masalah partograf , mengapa setiap
persalinan harus ada partografnya padahal untuk kasus letak lintang,sungsang
ini tidak masuk akal. Karena yang menerima di depan tidak tahu tentang teori.
Seharusnya partograf hanya untuk kasus persalinan letak kepala pada fase aktif
pada fase laten tidak bisa mengisi partograf. Ini menjadi masalah kalau partograf
menjadi syarat yang diwajibkan untuk pasien jampersal. Terkadang saya kasihan
ke pasien karena mereka tidak mengerti karena masalah ini ditolak sehingga
harus wira wiri..” (SPOG, Kab. Sampang).
5.4.3.3. Syarat Klaim
Pengajuan klaim di rumah sakit pada umumnya disesuaikan dengan juknis
yang ada, persyaratannya KTP dan rujukan. Persyaratan pengajuan klaim yang
penting sudah ditanda tangani verifikator independen dan direktur. Klaim
diajukan ke pusat melalui kurir & konfirmasi dari pusat via telpon.
92
Mekanismenya, biasanya kami padukan dengan bagian verifikator
independennya, jadi setelah pasien masuk, kemudian di data sesuai dengan
syarat yang ada kemudian di input datanya kemudian diperiksa kelengkapannya
jika sudah sesuai maka akan di tandatangani oleh direktur selanjutnya berkas
klaim tersebut dikirim ke Pusat oleh petugas administrasi pelayanan terpadu di
rumah sakit. Biasanya berkas klaim yang dikirim itu ada dalam bentuk software
tapi juga print- outnya dikirim. Selanjutnya kami tinggal menunggu feedback dari
Pusat untuk bisa mengambil uang atas klaim yang sudah dikirimkan tersebut.
Yang menjadi kendala dalam hal ini adalah feed back yang kadang-kang
terlambat, sehingga kami juga sering terlambat dalam membayarkan jasa medik.
Tahun 2011 klaim lebih lancar dibandingkan tahun 2012. Dulu dalam satu tahun
itu bisa 4 sampai 5 kali klaim. Disini ketidak tahuan pihak rumah sakit bahwa
laporan tidak perlu menunggu feedback dari P2JK.
“..persyaratan jampersal lebih mudah daripada jamkesda..” (SPOG, Kab.
Sampang).
“..klaim Jampersal dikirimkan ke P2JK menjadi satu dengan klaim Jamkesmas.
Yang diperiksa oleh verifikator adalah : KTP, surat rujukan dari Puskesmas atau
bidan, surat jaminan pelayanan yang dibuat oleh pihak RS..”(verifikator
independen, kota Bandung).
5.4.3.4. Besaran Tarif Pelayanan dan Jasa Pelayanan
Tarif pelayanan Jampersal di rumah sakit berdasarkan tarif INA CBG’s.
Dalam juknis dinyatakan bahwa dana yang telah menjadi
pendapatan/penerimaan fasilitas kesehatan (Rumah Sakit non BLUD),
selanjutnya pengelolaan serta penggunaan danpemanfaatannya dilakukan
dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dana
yang telah menjadi pendapatan/penerimaan jasa layanan (Rumah
Sakit/Balkesmas BLUD) maka pendapatan jasa layanan tersebut dapat langsung
digunakan dan dimanfaatkan sesuai RBA/DPA-BLUD, termasuk di dalamnya
adalah jasa pelayanan.
Besar jasa pelayanan pada provider (pemberi layanan) hendaknya
memperhatikan maksud pemberian insentif yaitu untuk akselerasi tujuan
93
program dan tujuan MDG’s. Besaran Jasa pelayanan kesehatan (total)
ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usulan Direktur Rumah Sakit dengan
setinggitingginya 44% atas biaya pelayanan kesehatan yang telah dilakukan.
Pengaturan mengenai jasa pelayanan/jasa medik tersebut dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai hal itu. Besaran Jasa medik untuk
untuk bidan, SPOG dan semua tenaga di RS Jampersal RS mengacu pada
peraturan (44%).
Pada implementasi di RSUD kabupaten / kota penelitian berjalan seperti
aturan yang berlaku. Yang menjadi masalah adalah besaran tarif yang berlaku
(INA-CBG’s) sebagian provider rumah sakit menyatakan besarannya sudah tidak
sesuai dengan kondisi sekarang, karena terlalu rendah.
“..tarif sedikit. Ada potongan dimana-mana karena masalah birokrasi, jadi yang
diterima nakes kecil..” (NN, RSUD).
“..dokter obgyn tidak terlalu mempermasalahkan karena takut mengungkap.
Disatu sisi tariff kecil dan di sisi lain mengutamakan kemanusiaan... harus ikhlas,
kalau tariff sectio dinaikkan mungkin juga dr. Obgyn sectio semua, bisa-bisa
partus fisiologis tidak ada lagi kalau jasa sectio di naikkan. Ini masalah
personal..” (SPOG, RSUD).
“..tidak manusiawi. Bedanya sampai 1 juta per pasien. Masa 1 sectio saya
dibayar 150.000 . apa itu manusiawi. Itu juga saya heran yg menentukan tarif di
pusat koq bisa sectio itu keluar angka 2.083.000. apa itu masuk akal dan pikiran?
Apa yang buat ini tidak berpikir. Sepaket 2.083.000 itu Cuma habis untuk obat
saja, belum untuk bahan habis pakai, lalu bagaimana bayar pelayanan dan
perawatan..” (SPOG, Kota Ambon).
“..yang saya tahu, dana yang ada masuk ke daerah dan kami nanti akan
mendapat japel sebesar 44% sesuai perda yang ada. Itu aka diterimakan antara
3 sampai 6 bulan sekali..” (bidan RS, kab. Wakatobi).
“..pembiayaan Jampersal selama ini ya berjalan sesuai dengan aturan yang ada
ya dari pemerintah sesuai dengan INA CBGs, namun kalau boleh kami
memberikan saran, karena kalau tidak salah tarif untuk jasa pelayanan rasanya
masih kurang sesuai dengan yang standarnnya, biasanya kalau pelayanan sectio
itu kan antara 6 sampai 7 juta ya, tapi dengan jampersal kan hanya 1,2 atau 1,8
juta lah, jadi tarifnya memang masih jauh di bawah standartnya, ya kalau bisa
dinaikkan menjadi 4 sampe 5 juta lah, supaya pelayanan juga bisa lebih
maksimal. Karena biaya itu kan juga termasuk untuk keperluan lainnya seperti
obat, dan bahan habis pakai..” (Pengelola Jampersal RS, Kota Bandung).
94
RSUD selain melayani Jamkesmas dan Jampersal juga melayani Jaminan
kesehatan daerah (Jamkesda). Didaerah tarif Jamkesda bervariasi ada yang
menggunakan INA-CBG’s adapula yang menggunakan tarif Kelas III. Untuk RSUD
yang menggunakan tarif Kelas III, pihak rumah sakit lebih senang memanfatkan
dengan tarif tersebut karena dianggap lebih sesuai (tarif jauh lebih tinggi dari
tarif Jampersal) sehingga sering terjadi masalah dengan pasien yang
menggunakan Jampersal.
Terdapat juga rumah sakit yang mengenakan tarif tambahan pada pasien
Jampersal yang dianggap mampu dengan melakukan pendekatan terlebih dahulu
terhadap pasien.
“..apabila tahu bahwa standar penggantian biaya oleh Jampersal lebih rendah
dari standar penggantian biaya oleh JKP, maka para bidan, dokter dan tenaga
dokter spesialis Obgyn kami menjadi kurang tertarik pada Jampersal..” (RS, Kota
Blitar).
“..tarif dinaikkan tapi jangan terlalu tinggi sehingga membahayakan profesi
maksudnya kalau terlalu tinggi, khawatir nanti pasien bisa di sectio semua Atur
incentive yang lebih baik..” (RS, Kota Kendari).
“..menurut saya standarnya untuk paket standar kelas 3 itu 5.000.000 . itu sudah
pas-pasan. Dokternya hanya dapat 750.000 – 1250000. Itu kalau di swasta
standar tarifnya itu, masih terjangkau masyarakat untuk pasien kelas 3..” (dr.
SPOG, Kota Ambon).
“..obgyn dapat 300 ribu per sectio tapi kalau kena tuntutan hukum bisa kena
denda sampai 300 juta. Tarif untuk pasien-pasien dengan tindakan sangat kecil
dibandingkan dengan yg tanpa tindakan. Contoh: kasus angina pectoris, asthma
dan diare bisa di klaim dengan tariff sampai dengan 1,2 juta sama dengan tarif
tindakan sectio, premature dan tindakan lain yang lebih beresiko juga 1,2 jt..”
(SPOG, RSUD).
95
5.5. KETERSEDIAAN (AVAILABILITY), AKSES (ACCESSIBILITY) TERHADAP
SARANA DAN PRASARANA, SDM TERHADAP PROGRAM JAMINAN
PERSALINAN
5.5.1 Sarana dan Prasarana Pelayanan Dasar dan Rujukan
Dalam rangka mencapai target MDG’s untuk menurunkan AKI dan AKB
perlu ditunjang sumberdaya manusia di bidang kesehatan, sarana dan prasarana
yang memadai. Bidan merupakan ujung tombak dalam memberika di pelayanan
kesehatan ibu dan anak di pelayanan dasar. Di setiap desa diharapkan terdapat
satu bidan desa yang dapat melayani wilayahnya. Disamping itu untuk Jampersal,
Dinas kesehatan melakukan MoU dengan mebuat Perjanjian kerjasama (PKS)
dengan bidan praktek swasta (BPS), Klinik bersalin, rumah sakit
pemerintah dan swasta. Di kabupaten/kota lokasi penelitian ketersediaan sarana
dan prasarana seperti terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.2.
Sarana dan Sumberdaya manusia yang memberikan Pelayanan Jampersal
No Kab/Kota
Jumlah Fasilitas dan SDM
Puskesmas Kec Bidan
Dinkes* Kelurahan BPS
“PKS” RS
Pemerintah 1. Sampang 21 14 299 186 45 1
2. Blitar 3 3 40 21 9 1
3. Mataram 10 6 78 50 5 1
4. Lombok
Tengah
25 12 193 124 - 1
5. Bandung 73 30 347 139 155 3
6. Bogor 101 40 702 426 39 4
7. Ambon 22 5 109 50 1 1
8. Aru 21 7 42 119 - 1
9. Kendari 15 10 123 64 tdk
ada
data
1
10. Wakatobi 19 8 129 100 - 1
11. Balikpapan 26 5 437 27 90 1
12. Paser 17 10 145 118 4 1
13. Batam 15 12 85 74 92 2
14. Natuna 12 10 165 65 - 1
*Bidan Dinkes : Bidan puskesmas dan Bidan Desa
Sumber : Dinas Kesehatan dan www.bppsdmk.depkes.go.id
96
Di semua kabupaten/kota lokasi penelitian di tiap kecamatan sudah
terdapat sedikitnya satu puskesmas, bahkan Kabupaten Lombok Tengah, Kota
Bandung, kabupaten Bogor, Kota Ambon, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten
Wakatobi, Kota Balikpapan dalam satu kecamatan terdapat 2-3 puskesmas.
Hanya saja yang perlu diperhatikan di kabupaten kepulauan satu kecamatan bisa
terdiri dari beberapa pulau, bahkan satu desa terdiri dari beberapa pulau.
Jumlah desa di kabupaten kepulauan Aru lebih banyak daripada jumlah
bidan yang ada yaitu terdapat 119 desa, tetapi jumlah bidan hanya 42 orang.
Dari wawancara dengan pengelola Jampersal di Dinas Kesehatan Kabupaten
kepulauan Aru menyatakan sbb:
“..pemanfaatan dana jampersal pada tahun lalu bisa dibilang rendah. Karena
dari 22 puskesmas yang ada, hanya 9 puskesmas yang memanfaatkan dana
jampersal. Sisanya tidak karena memang pada waktu itu tidak ada tenaga
bidannya, padahal yang memberikan pelayanan jampersal kan seorang bidan.
Sekarang di tahun 2012 ini mulai ditempatkan tenaga bidan honorer..”
(Pengelola Jampersal, Kabupaten kepulauan Aru).
Jika dilihat daridata rasio bidan menurut Badan PPSDMK, Kementerian
Kesehatan RI Tahun 2011 Maluku, Sulawesi Tenggara dan kepulauan Riau diatas
rasio bidan Nasional, tetapi pada kenyataannya terutama di kab. Kepulauan Aru
jumlah bidan kurang. Hal ini dikerenakan pendistribusiannya tidak merata, selain
itu perlu juga diperhitungkan dengan luas wilayah dan geografis di wilayah.
Dalam pelaksanaan Jampersal untuk pemenuhan fasilitas layanan
kesehatan tidak semua kabupaten/Kota mempunyai perjanjian kerjasama antara
Dinas kesehatan dan BPS seperti Kabupaten Lombok Tengah (Dinas kesehatan
belum membuka kesempatan ini), Kabupaten Kepulauan Aru (keterbatasan
SDM) dan Kabupaten Paser (belum ada BPS yang mendaftar).
Penyediaan pelayanan kesehatan tingkat pertama di puskesmas PONED
di kota misalnya di kota Blitar dan Kota Bandung puskesmas PONED masih
terbatas sarana dan sumber daya manusianya, baik itu dokter maupun bidan.
Kompetensi bidanpun masih perlu untuk ditingkatkan. Apalagi lokasi di
kabupaten penelitian. Persentase puskesmas PONED yang mempunyai kurang
97
dari 20% jenis alat kesehatan PONED di perkotaan 31,6% sementara di
perdesaan 21,7%. (RIFASKES, 2011).
“..puskesmas PONED dengan satu tenaga dokter dan bidan yang sudah
mendapat pelatihan PONED. Untuk sarana sebagai puskesmas PONED masih
dirasakan kurang..” (Puskesmas, Kota Kendari)
Di kabupaten / Kota rumah sakit pemerintah menjalin perjanjian
kerjasama sebagai fasilitas rujukan Jampersal, Bahkan dibeberapa
kabupaten/kota sudah menjalin perjanjian kerjasama dengan RS Swasta misalnya
Kabupaten Lombok Tengah (RS Yatopa), Kota Batam (RS Camatha Sahidya),
bahkan di Kota Bandung walikota menlaunching jejaring pemberi pelayanan di
Pemerintah Kota dengan melibatkan RS Swasta di wilayahnya. Sementara Rumah
sakit Pemerintah di Kabupaten Paser menyatakan belum melakukan perjanjian
kerjasama untuk Jampersal karena belum tersosialisasi Jampersal, sehingga
belum melayani pasien dengan Jampersal.
“..mengatakan tidak tahu dan belum pernah sekalipun di RS mendapatkan
sosialisasi tentang Jampersal baik dari Dinas Kesehatan Kabupaten, Propinsi dan
Pusat. Yang sementara ini ada dan sedang berjalan di RS untuk pelayanan
masyarakat miskin atau tidak mampu adalah Jamkesmas dan Jaminan Kesehatan
Paser (JKP)..”(Direktur RSUD Paser).
Inovasi dilakukan di Kabupaten Wakatobi dengan memberikan
kebebasan supaya masyarakat melahirkan di fasilitas kesehatan selain
puskesmas, bisa melahirkan di polindes, poskesdes maupun pustu. Karena
sarana dan prasarana di semua fasilitas kesehatan tersebut sudah dilengkapi.
Dana untuk pengadaan sarana dan prasarana di fasilitas tersebut berasal dari
APBD.
Fasilitas rujukan terutama di kabupaten juga masih menjadi kendala
dimana minimnya fasilitas dan SDM kesehatan terutama keterbatasan dr. SPOG.
Di rumah sakit kabupaten Lombok Tengah dan kota Ambon terdapat
keterbatasan prasarana seperti tidak adanya ruang recovery untuk pasien paska
operasi (Lombok tengah), peralatan di ruang ICU (Lombok Barat, Kota Ambon),
Tenaga perawat (Lombok tengah) dan dr. SPOG terutama di kabupaten.
98
Untuk mengatasi kekurangan tenaga beberapa daerah merekrut tenaga
honorer misalnya di Lombok Tengah untuk tenaga perawat. Bekerjasama dengan
Fakultas kedokteran untuk tenaga kontrak dr. SPOG / PPDS yang sedang
menempuh pendidikan. Dan tenaga tersebut (dr, SPOG/ PPDS) tidak sepenuhnya
“stand by” 24 jam di rumah sakit. Seperti contoh ketika peneliti pengumpulan
data di salah satu RS di Kepulauan selama 1 (satu) minggu, peneliti tidak dapat
menemui dr tersebut dikarenakan tidak berada di tempat (di luar wilyah
kabupaten tersebut).
“..sebenarnya kematian itu dapat dikendalikan apabila tim work yang baik, mulai
pada saat setelah tidakan, pengawasan post operasi yang baik. Dokter setelah
melakukan operasi diserahkan ke ruangan, diruangan harus diawasi oleh
perawat. Tetapi disini kebanyakan perawat di ruangan adalah honorer yang
gajinya hanya 250 ribu, bagaimana dia mau care dengan pasien..” (dr. SGOG,
Lombok Tengah).
“..penyebab kematian ibu juga karena sarana prasarana yang tidak memadai,
ruangan ICU, ventilator yang kurang dsb..” (dr SPOG, Lombok Tengah).
“..resinden ada di aru ada di tual d saumlaki juga ada. Tapi saya belum pernah
ke sana jd tidak tahu apa ada sarananya. Lagipula untuk sectio kan tidak perlu
banyak fasilitas. Tapi listrik itu yang masalah, sekarang sudah lumayan dulu-dulu
PLNnya kan bermasalah..” (dr. SPOG, Kota Ambon).
Di kabupaten/kota lokasi penelitian secara umum proses penyediaan alat
kontrasepsi pada pelayanan KB di Puskesmas melalui BKKBN. Dimana
mekanismenya adalah Puskesmas membuat rencana kebutuhan alat kontrasepsi
kepada SKPD pengelola program KB yaitu BKKBN atau Dinas pemberdayaan
Perempuan dan Keluarga Berencana. Perencanaan kebutuhan alat kontrasepsi
dilakukan pada level Puskesmas ke pengelola KB atau petugas lapangan KB
(PLKB) tingkat kecamatan. Jadi perencanaan tersebut tidak dilakukan di level
Kabupaten, Dinas Kesehatan Kabupaten hanya menerima laporan dan
rekapitulasi dari Puskesmas. Setelah mendapatkan alat kontrasepsi, maka
Puskesmas mendistribusikan alat tersebut ke bidan desa di wilayahnya. Yang
menjadi masalah saat ini adalah ketersediaan alat kontrasepsi di layanan dasar
masih kurang. Dengan SKPD BKKBN di kabupaten/kota saat ini tidak selalu berdiri
sendiri, di beberapa kabupaten/kota menjadi Dinas Pemberdayaan Perempuan
99
seperti di Kepulauan Aru tidak ada BKKBN yang melayani kebutuhan Keluarga
Berencana, tapi menjadi Dinas Pemberdayaan Perempuan dimana salah satu
bidangnya menangani KB.
“..ketersediaan alat, obat dan sarana lain yang dibutuhkan masih kurang,
demikian juga SDM terlatih baik sesuai SOP, terlatih untuk pemasangan IUD
danalat KB lain..” (Puskesmas, Kota kendari).
“..Alat kontrasepsi tersedia semua IUD, implant, suntik, pil , MOW, laparatomi,
kami selalu mem
otivasi klien utk ikut KB sehingga hasilnya banyak yg bersedia ikut KB..” (Bidan
RS, Kab. Bogor).
101
Gambar 5.12. Ruang rawat Inap pasien Jampersal di Rumah Sakit
5.5.2 Aksesibilitas jarak
Aksesabilitas jarak adalah jarak yang ditempuh responden yang
menggunakan Jampersal dari rumah ke pelayanan kesehatan yang di manfaatkan
saat menggunakan Jaminan persalinan. Dari gambar dibawah nampak antara
aksesabilitas di kabupaten/kota “non kepulauan“ yaitu kabupaten yang letak
pelayanan dasar dengan wilayahnya terletak satu pulau (Sampang, Kota Blitar,
Kota Bandung, Bogor, Kota Mataram, Lombok Tengah, Kota Kendari, Balikpapan,
Paser, Kota Batam) dan ”kepulauan” yaitu dimana letak pelayanan dasar dengan
wilayahnya dapat berbeda pulau (Kota Ambon, Kepulauan Aru,Wakatobi dan
Natuna) sebagian besar jarak ke pelayanan dasar adalah <5 km. Namun
demikian perlu diperhatikan geografis pada lokasi kabupaten daerah
pegunungan / bukit dimana untuk mencapai lokasi memerlukan waktu lebih
lama dikarenakan harus ditempuh dengan roda dua atau bahkan jalan kaki.
Demikian pula kabupaten kepulauan dimana untuk mencapai fasilitas harus
melalui transportasi laut sehingga menyebabkan waktu tempuh dan biaya
menjadi kendala tersendiri, bahkan di beberapa daerah alat transportasi tidak
tersedia setiap saat.
102
Gambar 5.13 Jarak ke pelayanan
Kesehatan pada pengguna Jampersal
di kabupaten/Kota “non kepulauan”
Gambar 5.14 Jarak ke pelayanan
kesehatan pada pengguna Jampersal
di Kabupaten/Kota “Kepulauan”
Untuk menggambarkan akses ke pelayanan kesehatan terutama di
kabupaten kepulauan seperti Kepulauan Natuna, Kepulauan Aru dan Wakatobi
dijelaskan lebih lanjut dibawah ini, sehingga dapat menggambarkan bagaimana
akses masyarakat dalam upaya mendapat pelayanan.
Kabupaten Kepulauan Natuna
Kabupaten Kepulauan Natuna merupakan salah satu wilayah dari Propinsi
Kepulauan Riau. Sesuai namanya, maka seluruh kabupaten di propinsi ini adalah
sebuah kepulauan.
103
Gambar 5.15. Peta Wilayah Provinsi Kepulauan Riau
Kabupaten Natuna, kabupaten kepulauan yang memiliki banyak lanscape
view yang sangat cantik ini merupakan salah satu wilayah paling Utara Republik
ini yang berbatasan laut langsung dengan negara tetangga Vietnam dan
Kamboja. Dengan posisinya yang demikian, maka Kementerian Kesehatan
menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DTPK (Daerah
Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).
Gambaran kondisi ketertinggalan wilayah kabupaten kepulauan ini bisa
dilihat dari ketersediaan sarana komunikasi yang ada. Untuk sambungan telepon
tetap (fixed landlines), hanya tersedia di sekitar Ranai sebagai ibukota kabupaten
ini saja. Untuk wilayah lain yang berupa kepulauan hanya tersedia jaringan
telepon seluler bila beruntung. Di wilayah Pulau Subi dan Pulau Midai misalnya,
104
sinyal cukup sulit untuk didapatkan. Sedang di wilayah Serasan Timur tidak usah
berharap akan ada sinyal yang sampai.
Untuk mencapai Kabupaten Kepulauan Natuna, tersedia dua jalur
transportasi. Yang pertama adalah jalur udara melalui Batam ke Ranai (ibukota
Kabupaten Kepulauan Riau). Saat ini ada Wings Air dan Sriwijaya Air yang
melayani jalur ini dua atau tiga kali seminggu. Yang kedua adalah jalur laut. Sama
dengan jalur udara, jenis transportasi ini juga tidak tersedia setiap hari.
Berdasarkan pengamatan, ketersediaan tranportasi untuk mencapai
Kabupaten Kepulauan Natuna relatif mudah, terutama untuk mencapai
ibukotanya, Ranai. Tapi, justru dari Ranai menuju ke wilayah lain dari Kabupaten
Natuna perlu effort khusus yang cukup menguras tenaga, biaya dan waktu. Hal
ini juga akan sangat berkaitan erat dengan aksesibilitas pelayanan kesehatan di
wilayah ini.
Untuk seluruh wilayah Kabupaten Natuna fasilitas pelayanan kesehatan
yang tersedia bisa dibilang hanya ada pelayanan dasar saja. Kecuali di ibu
kotanya, Ranai, yang telah ada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten
Natuna sebagai satu-satunya rumah sakit sebagai pusat rujukan tingkat
kabupaten.
Secara kuantitas, sebenarnya untuk tenaga kesehatan telah lebih dari
cukup tersedia. Untuk tenaga bidan misalnya, telah ada 108 bidan di wilayah ini.
Dengan jumlah desa dan kelurahan yang hanya 73 maka seharusnya semua desa
telah bisa terisi tenaga bidan. Tapi kenyataannya menurut Kabid Yankes Dinas
Kesehatan, ada beberapa desa yang kosong tanpa hadirnya bidan. Bagaimana
tidak? Dari 108 bidan tersebut, sejumlah 70-an bidan menumpuk di Ranai.
Berbicara tentang aksesibilitas fasilitas kesehatan di kepulauan, tidak
akan pernah terlepas atau bahkan sangat tergantung dengan ketersediaan
sarana transportasinya. Bentangan Kabupaten Natuna yang beribukota di Ranai,
dengan wilayah paling Utara di Pulau Laut, serta dengan wilayah paling Selatan di
105
wilayah Pulau Subi dan Serasan, sungguh memerlukan banyak energi dan
kesabaran untuk mencapainya.
Paparan berikut diharapkan mampu memberi sedikit gambaran tentang
beberapa jalur transportasi serta ketersediaan sarana transportasinya,
berdasarkan hasil wawancara dengan Kabid Yankes Dinas Kesehatan Kabupaten
Natuna.
A. Jalur Pulau Laut-Ranai; memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan
dengan kapal besi reguler dari Pelni. Tarif sekitar Rp. 100.000,-, dengan
frekuensi sekitar 10-15 hari sekali. Jalur ini juga bisa ditempuh dengan kapal
kayu (tongkang), yang bila beruntung kita bisa nebeng kapal barang dengan
tarif sekitar Rp. 120.000,-, atau bila mau sewa sendiri dengan tarif lima
sampai belasan juta, tergantung besaran kapal kayu, yang berarti juga
bergantung dengan tingkat keamanannya.
B. Jalur Serasan-Ranai; jalur ini dilewati oleh kapal Pelni Bukit Raya yang
memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan menuju Ranai. Dengan
tarif sekitar Rp. 120.000,- jalur perjalanan ini juga tersedia dalam frekuensi
sekitar 15 hari sekali.
C. Jalur Pulau Subi-Ranai; hampir sama dengan tarif di dua jalur sebelumnya,
cukup murah, hanya dalam kisaran Rp. 120.000,- saja, tapi dengan jarak
tempuh yang bisa mencapai 24 jam perjalanan.
Kabupaten Kepulauan Aru
Kabupaten Kepulauan Aru merupakan salah satu wilayah dari Propinsi
seribu pulau, Propinsi Maluku. Meski sebenarnya julukan ini kurang pas
dibandingkan faktanya. Propinsi seribu pulau. Untuk Kabupaten Kepulauan Aru
saja jumlah pulaunya sudah mencapai 547 pulau, belum ditambah dengan pulau-
pulau kabupaten lain di wilayah yang bersebelahan dengan Pulau Papua ini.
106
Gambar 5.16 Posisi Kabupaten Kepulauan Aru di peta Indonesia
Untuk mencapai kabupaten kepulauan ini selain dengan jalur laut juga
bisa dilakukan dengan pesawat. Satu-satunya pesawat maskapai yang beroperasi
dan mau mendarat pada tahun 2012 ini di pulau tersebut adalah Trigana Air,
setelah sebelumnya dua maskapai lainnya (Merpati dan Wings Air) menarik diri
dari jalur tersebut.
Jalur pesawat terbang yang harus kita dilalui untuk mencapai Kabupaten
Kepulauan Aru dari Kota Ambon adalah Ambon-Tual-Dobo. Kota Tual adalah kota
yang sebelum memisahkan diri masih merupakan ibukota Kabupaten Maluku
Tenggara. Jarak tempuh terbang Kota Ambon-Kota Tual mencapai 90 menit, dan
jarak tempuh Kota Tual-Dobo mencapai 25 menit. Bila perjalanan tersebut kita
tempuh melalui jalur laut dari Kota Ambon, maka kita bisa semalaman terapung
di lautan.
Bila kita membayangkan mencapai kabupaten kepulauan ini sulit, maka
sesungguhnya mencapai wilayah kerja di kepulauan ini jauh lebih sulit lagi. Jalur
laut adalah jalur transportasi satu-satunya, yang untuk mencapainya sangat
tergantung dengan kondisi angin laut yang seringkali sangat tidak bersahabat.
107
Iklim dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga
dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua Australia di Bagian Selatan
sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi perubahan iklim yang ekstrim.
Untuk sarana komunikasi, kondisi Kepulauan Aru sudah cukup baik untuk
golongan DTPK. Sudah ada jaringan Telkom dan komunikasi seluler. Telkomsel
sebagai satu-satunya provider yang bernyawa di daerah ini telah hadir dengan
sinyal cukup kuat, meski terbatas hanya jaringan GSM. Setidaknya saya masih
bisa memberi kabar orang rumah bahwa saya masih baik-baik saja.
108
Gambar 5.17 Peta Wilayah Kabupaten Kepulauan Aru
Melihat gambar peta di atas sepertinya Aru terdiri dari satu pulau besar
dan beberapa pulau kecil. Yang sebenarnya adalah beberapa pulau yang
terselingi selat-selat yang terlihat sempit, tetapi saat observasi didapatkan
kenyataan yang cukup lebar.
Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 7 (tujuh) kecamatan dengan jumlah
puskesmas mencapai 21 buah. Banyaknya jumlah puskesmas dibanding dengan
jumlah kecamatan bukanlah dikarenakan kabupaten kepulauan ini kaya raya, tapi
lebih dikarenakan terlalu banyaknya kepulauan yang menjadi wilayah kerja Dinas
Kesehatan di sana.
109
Observasi partisipatif aksesibilitas fasilitas kesehatan untuk wilayah
Kabupaten Kepulauan Aru kali ini kami lakukan dari Dobo (ibukota Kabupaten
Kepulauan Aru) ke Puskesmas Benjina, salah satu puskesmas dengan jangkauan
‘termudah’ di wilayah ini. Perjalanan menuju lokasi Puskesmas Benjina bisa
ditempuh dengan perahu bermotor reguler dengan perjalanan sekitar 3-4 jam
dari ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, Dobo. Perjalanan yang cukup ‘mudah’
untuk wilayah kabupaten kepulauan yang memiliki 547 pulau ini.
Puskesmas Benjina terletak di Desa Benjina, Kecamatan Aru Tengah, yang
berada di pesisir sebelah barat Pulau Kobroor. Dalam kecamatan yang sama
sebenarnya ada 4 Puskesmas yang beroperasi untuk sekitar 24 desa yang ada di
wilayah ini, sedang Puskesmas Benjina sendiri bertanggung jawab atas 11 desa,
dengan bentangan wilayah yang cukup luas.
Gambar 5.18 Puskesmas Benjina, Kab. Kepulauan Aru.
Kunjungan pertama adalah kulonuwun ke Puskesmas Benjina sekaligus
untuk assessment dengan seluruh bidan yang melayani Jampersal di wilayah ini.
Di Puskesmas Benjina terdapat tenaga bidan sebanyak lima orang, yang entah
mengapa semuanya ditugaskan berkumpul di Puskesmas Induk Benjina saja.
110
Sama sekali tidak ada ‘bidan desa’ di wilayah ini? Dalam sebuah kesempatan
diskusi dengan salah satu Kepala Dusun, Dusun Papakula Kecil, terungkap bahwa
di desanya tidak ada tenaga bidan sama sekali, yang ada adalah 4 orang tenaga
dukun bayi.
Menurut pengakuan rekan Puskesmas, terdapat 3 Pustu (Puskesmas
Pembantu), yaitu di Namara, Selibatabata dan Fatujuring. Hanya saja yang ada
tenaga perawat hanya di Pustu Selibatabata, dua lainnya masih kosong. Di
wilayah Benjina juga ada satu Poskesdes (Pos Kesehatan Desa), yaitu di
Maririmar yang juga tersedia tenaga perawat laki-laki.
Puskesmas Benjina sendiri dikepalai oleh seorang dokter, yang
merupakan seorang dokter lulusan pertama yang asli daerah, yang rumahnya
saat ini berada di Makassar. Saat ini beliau sudah dipindahkan sebagai kepala
bidang di Rumah Sakit Kabupaten di DOBO, jadi secara otomatis lebih sering di
Dobo dan Makassar daripada di Benjina.
Pada kesempatan diskusi tersebut para tokoh agama dan tokoh
masyarakat setempat juga sempat melontarkan usulan pengadaan pos-pos siaga
di beberapa titik desa. Karena pelayanan kesehatan ibu dan anak yang
mengandalkan satu titik di puskesmas saja menjadi salah satu faktor penyulit
akses masyarakat di wilayah ini. Dalam forum diskusi yang sama, Kepala Desa
Benjina menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan tanah di wilayahnya
untuk keperluan tersebut. Usulan lain yang menarik adalah usulan dari bapak
pendeta yang untuk memberi perhatian dan penghargaan bagi dukun bayi.
Usulan yang sangat manusiawi dari masyarakat yang merasakan manfaat
keberadaan dukun bayi di tengah ketidaktersediaan tenaga kesehatan.
Menurut pengakuan Kepala Puskesmas yang di’amin’kan oleh rekan
Puskesmas lainnya, menyatakan bahwa Puskesmas menurunkan petugas untuk
berkeliling di Posyandu sekali sebulan di setiap wilayah yang didominasi dengan
jalur laut. Jadi, banyak masyarakat di wilayah kerja Puskesmas di wilayah ini
bersentuhan dengan pelayanan kesehatan sebulan sekali. Jadi bila sakit saat baru
111
saja ada kunjungan Posyandu, maka kita harus bersabar menunggu satu bulan
kemudian untuk mendapatkan pengobatan.
Dalam kesempatan ini kami juga sempat berkunjung dan berbaur dengan
masyarakat di beberapa lokasi. Setidaknya tujuh titik lokasi yang menjadi
ampuan Puskesmas Benjina telah kami datangi, yaitu Desa Benjina, wilayah RKI-
Benjina (Rumah Kayu Indonesia), Desa Gulili, Desa Namara, Desa Selilau, Desa
Fatujuring, dan wilayah Trans-Maijurung. Menurut masyarakat di lokasi-lokasi
tersebut, memang mereka bersentuhan dengan petugas kesehatan sebulan
sekali sesuai dengan jadwal Posyandu, tetapi seringkali juga mundur, sampai
pada akhirnya terlewat pada jadwal bulan berikutnya lagi. Mereka bercerita
dengan tetap menaruh kepercayaan penuh pada petugas kesehatan, dan bahwa
memang menurut mereka kondisi ini terjadi berada di luar kuasa petugas
kesehatan.
Ada sebuah insiden kecil pada saat kami hendak meninggalkan Desa Gulili
pada salah satu kunjungan, di dermaga seorang kakek ber-jalan terbungkuk
menggunakan tongkat hendak melompat ke speedboat kami, posisinya sudah
duduk di bibir dermaga dengan kaki hendak menjangkau speedboat. Kakek yang
sedang sakit itu mengira kita sedang ada jadwal Posyandu, dan berharap
mendapat pengobatan dari mantri yang menyertai perjalanan kami. Sungguh tak
tertahan hati menangis merasai rintih dan harapnya. Dan betapa Mbak Ning,
mantri perempuan dari Purwokerto itu begitu telaten memberi penjelasan
sekaligus memupuk harapan si kakek, dan meyakinkan bahwa dia akan kembali
menjumpai kakek itu. Bersabarlah kek, bersabarlah... entah sampai kapan?
Konfirmasi kami lakukan ke petugas Puskesmas tentang penjadwalan
Posyandu ini, kami mendapat jawaban bahwa memang jadwal Posyandu keliling
itu rutin, tapi juga tergantung ketersediaan uang. Setidaknya membutuhkan Rp.
600.000,- sekali jalan untuk tiga sampai empat hari berkeliling Posyandu di
wilayah-wilayah ampuan Puskesmas tersebut.
112
Tergantung ketersediaan uang? Sungguh miris mendengar jawaban ini.
Bukannya Kementerian Kesehatan telah meluncurkan dana BOK ke semua
Puskesmas? Yang setelah re-check ke petugas Dinas Kesehatan menemukan
kenyataan bahwa Puskesmas Benjina menerima dana BOK sekitar 250 juta. Itu
belum termasuk dana operasional Puskesmas yang berasal dari APBD.
Kita coba berhitung untuk ‘ketersediaan uang’ ini. Bila dibutuhkan 3 kali
perjalanan untuk menjangkau Posyandu yang memerlukan biaya transportasi
laut, yang sekali perjalanannya membutuhkan biaya Rp. 600.000,-, maka
sesungguhnya kebutuhan per bulan untuk transportasi laut hanya membutuhkan
Rp. 1.800.000,-, dan dalam setahun hanya pada kisaran Rp. 21.600.000,-. Lalu
dibandingkan dengan kucuran dana BOK yang sekitar Rp. 250.000.000,-? Yang
sekali lagi setelah konfirmasi dengan Dinas Kesehatan penyerapan dana BOK di
Puskesmas Benjina mencapai 100%.
Kebutuhan biaya sesuai uraian di atas adalah untuk sewa longboat dari
nelayan. Puskesmas Benjina sendiri sebetulnya sudah mempunyai speedboat
sendiri, hanya saja sudah rusak sejak dua tahun yang lalu. Menurut keterangan
Dinas Kesehatan sempat dirapatkan soal kerusakan speedboat ini dengan
beberapa Puskesmas yang mengalami hal yang sama. Pada saat pengambilan
keputusan, para Kepala Puskesmas merasa sanggup memperbaiki speedboatnya
sendiri tanpa diambil alih oleh Dinas Kesehatan. Tetapi hasilnya untuk Puskesmas
Benjina sampai saat ini dari dua tahun yang lalu tidak ada perbaikan sama sekali.
Kabupaten Kepulauan Wakatobi
Kabupaten Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu wilayah dari
Propinsi Sulawesi Tenggara yang berbatasan langsung dengan Propinsi Maluku
Utara di sebelah Timur. Kabupaten yang relatif baru ini merupakan pecahan dari
Kabupaten Buton. Nama Wakatobi sendiri merupakan representatif dari empat
pulau besar yang menjadi basis kabupaten ini. Ke-empat pulau tersebut adalah
113
Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan terakhir pulau terjauh
(paling Selatan) adalah Pulau Kaledupa.
Gambar 5.19 Peta Kabupaten Kepulauan Wakatobi
Mirip dengan wilayah kabupaten kepulauan lainnya, jalur transportasi
yang tersedia untuk mencapai wilayah ini terdiri dari dua jalur, laut dan udara.
Jalur laut bisa kita tempuh menggunakan kapal cepat dari Baubau sekitar empat
jam. Sedang jalur udara bisa kita tempuh dari Makassar via Baubau yang tersedia
hari Senin-Kamis, serta hari Sabtu via Kendari, yang untuk kedua jenis jalur
tersebut dilayani oleh maskapai Wings Air. Jalur udara yang cukup repetitif
tersebut bukan karena Wakatobi sebagai destinasi bawah laut yang cukup
114
mendunia ini ramai dikunjungi wisatawan luar, tetapi lebih karena pemerintah
kabupaten mensubsidi pihak maskapai untuk melayani jalur tersebut.
Seperti layaknya kabupaten kepulauan lainnya, ketersediaan pelayanan
kesehatan masih cukup menjadi masalah di wilayah ini. Untuk wilayah
Puskesmas Tomia yang kami datangi, dengan ampuan wilayah yang mencapai 6
desa, tenaga bidan yang tersedia hanya 3 orang, yang otomatis setiap bidan
harus mampu mencover dua desa.
“..di sini, satu bidan untuk satu desa itu tidak cukup pak! Apalagi ini kita hanya
diberi tiga bidan untuk enam desa..” demikian keluh salah satu tokoh
masyarakat.
Dalam sebuah diskusi di Kecamatan Tomia yang melibatkan tokoh
masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan dan bahkan dukun bayi kami juga
menemukan beberapa kondisi yang menjadi realitas yang ketersediaan sarana
dan fasilitas kesehatan yang harus dibenahi.
“..saya rasa pemberian layanan di sini sudah cukup bagus pak, tapi perlu
ditingkatkan lagi, terutama untuk transfusi darah. Karena bila ada kasus harus
dirujuk ke Baubau..” usul salah satu Kepala Lingkungan kepada kami.
“..untuk jangkauan sebenarnya sudah lebih baik, karena tinggal lapor, nanti akan
dijemput ambulan. Cuman untuk yang kepulauan belum ada puskel laut. rujukan
harus ke Baubau, karena di Wanci sarana kesehatannya masih kurang..” (Toma,
Kab. Wakatobi)
Memang di Kabupaten Wakatobi belum tersedia fasilitas pelayanan
transfusi darah. Palang Merah Indonesia (PMI) sebenarnya sudah berdiri di
kabupaten ini, tetapi belum memiliki Unit Transfusi Darah. Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Wakatobi yang berada di Wanci pun, sebagai satu-satunya
Rumah Sakit di wilayah ini tidak memiliki, bahkan untuk sekedar bank darah.
Menurut pengakuan Dinas Kesehatan sebenarnya sudah tersedia tenaga untuk
pelayanan transfusi darah, tetapi sarananya yang masih belum tersedia.
Sebagai gambaran, jarak antara Pulau Tomia ke Baubau mencapai 11 jam
perjalanan dengan kapal reguler bertarif Rp. 130.000,-, itupun hanya beroperasi
115
sekali sehari. Jadi ibu hamil yang mau bersalin harus bersabar dengan jadwal
yang ada serta perjalanan yang lama. Carter atau sewa kapal sepertinya menjadi
hal yang mustahil bagi penduduk wilayah ini, karena harga sewanya mencapai
kisaran di atas Rp. 10.000.000,- per kali sewa. Jadi, bukan cerita baru bila ibu
hamil dengan faktor penyulit yang dirujuk ke Baubau harus pass away sebelum
sampai ke tempat rujukan.
Jarak Pulau Tomia ke Wanci di Pulau Wangi-wangi sebenarnya lebih
pendek. Dalam perjalanan yang kami arungi dengan kapal cepat bisa mencapai
tiga sampai tiga setengah jam perjalanan. Hanya saja memang ketersediaan
sarana pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Wakatobi tidak selengkap di
Baubau. Meski juga sebenarnya sudah tersedia dokter obgyn di RSUD Kabupaten
Wakatobi yang dikontrak selama enam bulan.
Observasi partisipatif aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan yang ke-
dua kami lakukan di Pulau Lamanggau, seberang Pulau Tomia. Di wilayah ini,
terutama wilayah pesisirnya didominasi oleh keberadaan Suku Bajo yang tinggal
di atas laut.
Perjalanan dimulai dari Pelabuhan Jabal di Pulau Wangi-wangi menuju
Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia. Perjalanan menggunakan kapal speed
bermesin tempel 5 biji berkekuatan 200 PK ini menempuh perjalanan selama
kurang lebih 3 jam. Dari Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia, kami harus bergeser
ke pelabuhan lainnya, Waitii, untuk berganti tunggangan dari kapal speed
menjadi pompong, perahu kecil yang di daerah lain biasa juga disebut sebagai
jung atau ketinting. Dari Pelabuhan Waitii inilah kami melanjutkan perjalanan
ke Pulau Lamanggau, tempat bermukimnya saudara-saudara Suku Bajo yang
membentuk koloni tersendiri di bibir pantai wilayah Lamanggau.
116
Gambar 5.20. Kapal cepat yang melayani rute Wanci-Tomia
Agak miris bercerita tentang pelayanan kesehatan di wilayah ini. Di Pulau
ini jumlah tenaga kesehatan yang ada hanya 5 (lima) orang, ini sudah termasuk
Kepala Puskesmas, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan basis
sanitarian. Satu orang lagi juga seorang sanitarian, PTT dari pusat. Sedang sisanya
adalah perawat. Dari kelima tenaga kesehatan yang ada tersebut, 4 orang tidak
tinggal di tempat, mereka tinggal di pulau seberang, di Waitii. Yang tinggal di
Lamanggau hanya tenaga sanitarian yang PTT pusat.
Untuk sarana bangunan Puskesmas, sebetulnya Pemerintah Daerah
Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sudah membangun gedung Puskesmas
Induk Onemobaa yang representatif secara fisik. Sayangnya Puskesmas yang
diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara itu memiliki lokasi yang sama sekali
tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Lokasi Puskesmas berada di Onemobaa,
wilayah Barat pulau, jauh dari permukiman penduduk yang menempati sisi Timur
pulau. Di wilayah Puskesmas ini bukan wilayah jarang penduduk, tetapi lebih
tepat wilayah yang sama sekali tidak ada penduduk. Kondisi ini diperparah
dengan lokasi Puskesmas yang berada di dalam wilayah ‘Wakatobi Dive
Resort’. Sebuah perusahaan swasta yang mengelola obyek wisata di Onemobaa.
117
Puskesmas Onemobaa ini sudah tiga tahun tidak ditempati. Karena
kalaupun ditempati, siapa penduduk yang mau datang ke tempat ini dengan
perjalanan yang cukup jauh dari permukiman. Petugas kesehatan Puskesmas
lebih memilih Puskesmas Pembantu (Pustu) Lamanggau untuk berkantor. Karena
meski tempatnya juga tidak strategis, berada di ujung desa, tetapi relatif lebih
mendekati permukiman penduduk.
Dalam sebuah kesempatan, kami disertai oleh Kepala Puskesmas, salah
satu staf Puskesmas, serta satu staf Dinas Kesehatan, mencoba untuk berkunjung
ke Puskesmas Onemobaa. Kami harus naik pompong untuk mencapai lokasi
Puskesmas Onemobaa yang berada di sisi lain pulau. Setelah itu harus jalan kaki
di jalan setapak sekitar 15 menit, barulah sampai di pintu gerbang ‘Wakatobi
Dive Resort’.
118
Gambar 5.21. Puskesmas Onemobaa, Kab. Wakatobi
Memasuki wilayah resort ini harus minta ijin pada pihak manajemen. Bila
manajemen berkenan memberikan ijin, maka baru kita bisa masuk dan bisa ke
Puskesmas. Pada kesempatan kali ini kami diijinkan masuk. Tapi kami harus
menunggu sekitar satu jam untuk menunggu ijin masuk tersebut.
5.6 UTILITAS PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR OLEH
PROVIDER YANG DISEDIAKAN OLEH PROGRAM JAMINAN PERSALINAN
Utilitas Pelayanan Kesehatan ibu dan bayi adalah cakupan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan Ibu dan bayi dalam program Jampersal di
pelayanan dasar dan di pelayanan rujukan. Data diambil dari data sekunder
puskesmas dan rumah sakit, selain itu juga didapatkan dari data sasaran
Jampersal yang memanfaatkan layanan dengan Jampersal maupun non
Jampersal.
5.6.1 Utilitas di Pelayanan Dasar
Data utilitas di pelayanan dasar yang didapatkan dari Dinas Kesehatan
dan sasaran Jampersal yang diambil secara random di 2 (Dua) puskesmas di
119
masing-masing kabupaten / kota.. Data sekunder meliputi data Persalinan oleh
tenaga kesehatan dan kematian Maternal dan Kematian Neonatal di Kabupaten /
Kota yang merupakan data sekunder dari Dinas kesehatan. Sedangkan data
tenaga pemeriksaan ANC pada sasaran non pengguna Jampersal dan pengguna
Jampersal, Penolong persalinan pada sasaran non Jampersal dan tempat
persalinan pada sasaran pengguna Jampersal diambil dari kuesioner sasaran.
Data tersebut ditampilkan dalam gambar sbb :
Gambar 5.22.
Cakupan Persalinan oleh Tenaga kesehatan di Kabupaten / Kota “non kepulauan ”
Tahun 2010 – Juni 2012
Sumber data : Dinas kesehatan Kabupaten / Kota
Di kabupaten / kota “non kepulauan” cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan dari tahun 2010 sampai dengan 2012, nampak di beberapa kabupaten
/ kota yaitu Sampang, Bogor, kota Mataram, Kota balikpapan ada sedikit
peningkatan pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010. Namun demikian
peningkatan tidak terlalu mencolok berkisar 1% - 6%. Untuk tahun 2012 belum
dapat dibandingkan karena baru cakupan sampai bulan Juni 2012. Dari data
Ditjen Bina Gizi dan KIA tahun 2012 didapatkan data untuk angka Nasional
cakupan persalinan ditolong nakes di Indonesia tahun 2012 adalah 86,36.
120
Dengan demikian untuk kabupaten / kota di non kepulauan cakupan persalinan
tahun 2011 sudah diatas rata2 nasional.
Gambar 5.23.
Cakupan Persalinan Tenaga Kesehatan di Kabupaten / Kota “Kepulauan”
Tahun 2010 – Juni 2012 Sumber data : Dinas kesehatan Kabupaten / Kota
Di kabupaten/kota kepulauan terdapat sedikit peningkatan cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun2011, namun peningkatan tidak
nampak terlalu signifikan kecuali di Kep. Natuna yang mana kabupaten Natuna
tidak memanfaatkan Jampersal tetapi Jamkesda. Pada tahun2012 sampai dengan
bulan Juni terlihat peningkatan cakupan walaupun belum dapat dibandingkan
karena baru cakupan 6 bulan.
Tidak seperti di wilayah non kepulauan, di wilayah kepulauan cakupan
persalinan tidak semuanya diatas rata2 nasional 86,36 (Ditjen Gikia Kemenkes,
2012) seperti terlihat di Kota Ambon dan Aru masih dibawah rata2 nasional, di
kep. Aru bahkan masih jauh dari angka rata2. Hal ini dapat dipahami walaupun
kabupaten kep. Aru menerima kebijakan Jampersal dengan baik, tapi masih
ditemukan banyak kendala dari sarana, prasarana, sumberdaya manusia dan
kondisi geografis yang berat.
Pada tabel dibawah ini menjelaskan tentang “continum of care dari”
sasaran Jampersal yang menggunakan Jampersal. Sasaran yang diambil adalah
121
ibu yang sedang masa nifas sehingga sudah melewati masa ANC, persalinan dan
PNC.
Tabel 5.3.
“Continum of care”pada Responden Sasaran Ibu Nifas Pengguna Jampersal
Per Kabupaten / Kota (N= 573)
Kabupaten/Kota K1 K1 + K4 K1 + K4 +
Persalinan
K1 + K4 +
Persalinan + PNC
Kab Sampang 91.4% 72.9% 71.4% 67.1%
Kota Blitar 76.0% 72.0% 68.0% 68.0%
Kota Mataram 90.6% 52.8% 43.4% 43.4%
Kab Lombok Tengah 64.5% 62.9% 59.7% 59.7%
Kota Bandung 33.3% 33.3% 33.3% 33.3%
Kab Bogor 41.2% 39.2% 39.2% 39.2%
Kota Ambon 86.1% 27.8% 27.8% 25.0%
Kab Kep Aru 66.3% 58.1% 58.1% 55.8%
Kota Kendari 100.0% 66.7% 50.0% 33.3%
Kab Wakatobi 94.6% 87.5% 87.5% 87.5%
Kota Batam 14.3% 14.3% 14.3% 14.3%
Kota Balikpapan 66.7% 66.7% 63.0% 63.0%
Kab Paser 77.8% 72.2% 72.2% 50.0%
13 kab/kota 74.9% 61.8% 59.9% 57.9%
Keterangan :
• Responden Ibu Nifas : Ibu Nifas yang pernah memanfaatkan Jampersal K1, K4,
Persalinan atau Pn
• K1 : Ibu Nifas yang K1 memanfaatkan Jampersal
• K1 + K4 : Ibu Nifas yangK1 dan K4 memanfaatkan Jampersal
• K1 + K4 + Persalinan : Ibu Nifas yang K1, K4 dan Persalinannya memanfaatkan
Jampersal
• K1 + K4 + Persalinan + Pn : Ibu Nifas yang K1, K4 , Persalinan dan Pn
memanfaatkan Jampersal
Secara Total dari 13 kabupaten / Kota penelitian responden Ibu nifas yang
memanfaatkan Jampersal untuk pelayanan K1 adalah 74,9%, pelayanan K1 dan
K4 adalah 61,8%, pelayanan K1, K4 dan persalinan 59,9% dan pelayanan K1, K4,
Persalinan dan Pelayanan Nifas adalah 57,9%. Di Sampang, Kota Mataram dan
Wakatobi Ibu nifas yang memanfaatkan K1 dengan Jampersal adalah > 90%,
bahkan di Kota Kendari 100%. Bagaimana “continum of care” Ibu Nifas pengguna
Jampersal di masing-masing kabupaten / kota terlihat di tabel dibawah ini :
122
Tabel 5.4.
Continum of care Pelayanan Jampersal (K1,K4, persalinan) dan PN
Di Kabupaten / Kota di Lokasi Penelitian Tahun 2012
Kabupaten / Kota A B C
Kab Sampang 20% 1,5% 4,3%
Kota Blitar 8% 4% 0%
Kota Mataram 47,2% 9,4% 0%
Kab Lombok Tengah 4,8% 3,2% 0%
Kota Bandung 0% 0% 0%
Kab Bogor 2% 0% 0%
Kota Ambon 58,3% 0% 2,8%
Kab Kep Aru 8,2% 0% 2,3%
Kota Kendari 50% 16,7% 6,7%
Kab Wakatobi 7,1% 0% 0%
Kota Batam 0% 0% 0%
Kota Balikpapan 3,7% 3,7% 0%
Kab Paser 5,6% 0% 22,2%
13 kab/kota 15% 1,9% 2%
Keterangan :
A : K1 – (K1+K4+Persalinan)
B : (K1+K4) –(K1+K4+Persalinan)
C : (K1+K4+Persalinan)- (K1+K4+Persalinan+PNC)
Di perkotaan seperti Bandung dan Batam ibu nifas yang telah
memanfaatkan Jampersal sedikit dibanding daerah penelitian lain. Tetapi jika
dilihat “continum of care” sangat baik karena pasien melakukan K1 sampai
dengan PNC dengan memanfaatkan Jampersal. Di Bogor juga sudah cukup baik,
yang mendapatkan layanan K1 menurun 2% yang bersalin dan Pn dengan
memanfaatkan Jampersal.
Berbeda dengan Kota kendari ketika K1 semua responden (100%)
menggunakan Jampersal, tapi terjadi penurunan yang cukup tajam pada K4,
persalinan dan PNC.
Ternyata dari data diatas dapat dijelaskan bahwa ibu yang ketika
persalinan memanfaatkan Jampersal, sebagian besar akan memanfaatkan
layanan PNC. Hanya saja dari data ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut
kelengkapan dalam paket PNC. Pengguna Jampersal yang menggunakan layanan
K1 dan K4 di Kota Bandung, Bogor, Kota Ambon, Kep. Aru, Wakatobi, Kota Batam
123
dan Paser 100% bersalin dengan Jampersal dan 100% memanfaatkan layanan Pn
kecuali Paser yang memanfaatkan Pn turun 22,2%. Yang perlu mendapat
perhatian adalah Kota Kendari, dimana pengguna Jampersal yang mendapat
layanan K1 (100%) tapi ketika K4, persalinan dan Pn menurun cukup drastis. Ini
menunjukan bahwa continum of care belum berjalan dengan baik. Responden
pada data dibawah ini adalah hanya sasaran Jampersal yang menggunakan
Jampersal ketika melahirkan tanpa memperhatikan apakah memanfaatkan
jampersal ketika ANC atau PNC setelahnya.
Tabel 5.5.
Tempat Persalinan Responden Pengguna Jampersal di Lokasi penelitian
Periode Oktober 2011-April 2012
Kabupaten / Kota Tempat Persalinan Jampersal
Fasilitas Kesehatan Non Fasilitas
Kesehatan
1. Kab Sampang 75 (100,0%) 0 (0,0%)
2. Kota Blitar 33 (100,0%) 0 (0,0%)
3. Kota Mataram 64 (100,0%) 0 (0,0%)
4. Kab Lombok Tengah 65 (100,0%) 0 (0,0%)
5. Kota Bandung 11 (100,0%) 0 (0,0%)
6. Kab Bogor 60 (100,0%) 0 (0,0%)
7. Kota Ambon 58 (100,0%) 0 (0,0%)
8. Kab Kep Aru 63 (72,4%) 24 (27,6%)
9. Kota Kendari 47 (100,0%) 0 (0,0%)
10. Kab Wakatobi 119 (97,5%) 3 (2,5%)
11. KotaBatam 54 (100,0%) 0 (0,0%)
12. Kota Balikpapan 51 (100,0%) 0 (0,0%)
13. Paser 26 (74,3%) 9 (25,7%)
Total 726 (95,3%) 36 (4,7%)
Sumber : Data Sasaran Penelitian Jampersal 2012
Terdapat sepuluh kabupaten/kota yang sasaran Jampersal
memanfaatkan pelayanan persalinan dengan Jampersal, persalinannya dilakukan
di fasilitas kesehatan (100%). Dari data diatas terlihat bahwa dengan
memanfaatkan Jampersal sasaran dilayani oleh tenaga kesehatan dan di fasilitas
kesehatan. Ada 3 (tiga0 kabupaten yang sasaran yang persalinan menggunakan
Jampersal yaitu di Kepulauan Aru (27,8%), Wakatobi (2,5%) dan Paser (25,7%)
masih dilakukan di non fasilitas kesehatan. Dari tabel diatas terlihat bahwa
124
seluruh responden ketika bersalin dengan Jampersal maka persalinannya oleh
nakes dan di fasilitas kesehatan kecuali 3 (tiga) kabupaten diatas yang
merupakan daerah yang secara geografis memang sulit dan dengan keterbatasan
sumberdaya.
Bagaimana dengan responden yang tidak memanfaatkan Jampersal?
Ketika ANC sasaran tidak menggunakan jampersal terlihat terjadi pergeseran
dari tenaga kesehatan saat ANC, ketika persalinan ditolong oleh non tenaga
kesehatan seperti tergambar dalam di bawah ini. Gambar dibawah ini
respondennya adalah sasaran Jampersal yang tidak menggunakan Jampersal.
Menjelaskan siapa tenaga pemeriksa kehamilan pada sasaran yang tidak
menggunakan Jampersal dan tabel 5.24 menjelaskan responden yang tidak
menggunakan Jampersal ketika bersalin berapa persen yang ditolong tenaga
kesehatan.
Gambar 5.24.
Tenaga Pemeriksa Kehamilan Pada Responden Non Pengguna Jampersal di Lokasi
Penelitian Periode Oktober 2011 – April 2012
125
Gambar 5.25
Tenaga Penolong Persalinan Pada Responden Non
Pengguna Jampersal di Lokasi Penelitian Periode Oktober 2011-April 2012
Sumber : Data sasaran Penelitian Jampersal 2012
Dari data sasaran yang tidak memanfaatkan Jampersal didapatkan bahwa
terdapat sasaran ibu hamil yang sudah memeriksakan kehamilannya di tenaga
kesehatan, ketika persalinan pindah ke tenaga non kesehatan seperti nampak
pada dua gambar diatas. Nampak jelas pergeseran sasaran dari nakes ketika
pemeriksaan kehamilan ke non nakes ketika persalinan di kabupaten / kota
Balikpapan, Kota Batam, Kota Kendari, Kepulauan Aru, Bogor, Bandung Lombok
Tengah dan Kota Mataram. Bahkan di kepulauan Aru, Lombok tengah dan Kota
Mataram antara 29% - 50% perubahan dari pasien yang ketika pemeriksaan
kehamilan dilakukan oleh tenaga kesehatan dan berubah menjadi bersalin pada
tenaga non kesehatan.
126
Gambar 5.26.
Kematian Maternal di Kabupaten / Kota Tahun 2010 - Juni 2012
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
Kematian Maternal pada tahun 2011 dan sampai dengan Juni 2012 di kabupaten
/ kota nampak cenderung meningkat kecuali Kota Bandung nampak menurun.
Penyebab kematian maternal terbanyak dari data sekunder pada penelitian ini
adalah perdarahan, eklamsi. Infeksi . Hal ini masih mengikuti pola menurut WHO
2007 bahwa penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah
penyebab obstetri langsung yaitu perdarahan 28 %, preeklampsi/eklampsi 24 %,
infeksi 11 %, sedangkan penyebab tidak langsung adalah trauma obstetri 5 %
dan lain – lain 11 % (WHO, 2007). Dari analisa kematian maternal tahun 2011
dari data rutin penyebab kematian Maternal tertinggi perdarahan 35% dan
hipertensi 22% dan Infeksi 5%. (Direktorat Ibu, Kemenkes, 2012).
127
Gambar 5.27.
Kematian Neonatal di Kabupaten / Kota Tahun 2010 - Juni 2012
Sumber : Dinas kesehatan Kota
Untuk kematian Maternal pada tahun 2011 terlihat kecenderungan
menurun, tetapi tahun 2012 di kabupaten Sampang dan Kota Batam ada
kecenderungan meningkat. Penyebab kematian neonatal dari data sekunder
Dinas kesehatan terbanyak adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Asfiksia.
5.6.2. Utilitas di Pelayanan Rujukan
Jampersal menjamin pelayanan bagi ibu-ibu dengan kehamilan risiko
tinggi dan persalinan dengan penyulit dan komplikasi. Semua layanan itu
diberikan oleh tenaga-tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Persalinan di
fasilitas kesehatan ini merupakan hal yang sangat penting. Kalau dalam proses
persalinan terjadi komplikasi, tenaga kesehatan memiliki sarana untuk
melakukan tindakan pra rujukan yang diperlukan agar komplikasi tidak
memburuk, sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit. Saat ini, belum semua
persalinan itu dilakukan di fasilitas kesehatan.
128
Untuk utilitas di pelayanan rujukan di dapatkan data dari rumah sakit
pemerintah di kabupaten / kota yang menjadi rumah sakit rujukan Jampersal dan
mempunyai Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Dinas Kesehatan kabupaten /
kota. Data yang didapatkan adalah persalinan per vaginam rujukan dengan
komplikasi, persalinan per vaginam rujukan tanpa komplikasi, selain itu setelah
tahun ke-2 Jampersal dilaksanakan dilihat tren jumlah kemtian maternal dan
neonatal di rumah sakit yang meliputi : kematian maternal < 24 jam, kematian
maternal >24 jam, kematian neonatal < 24 jam dan kematian neonatal > 24 jam.
Data tersebut ditampikan pada grafik sbb :
Gambar 5.28.
Penatalaksanaan Persalinan Rujukan Per vaginam dengan Komplikasi
di RS Pemerintah di Lokasi Penelitian tahun 2012
Secara umum pada tahun 2011 rujukan persalinan pervaginam dengan
komplikasi ke rumah sakit pemerintah di kabupaten / kota meningkat (RSUD kota
Blitar, Sampang, Loteng, Paser, Bogor). Hal ini kemungkinan disebabkan karena
tahun tersebut sudah diberlakukan Jampersal, dimana dalam juknis Jampersal
dijelaskan bahwa untuk persalinan dengan komplikasi dilakukan di pelayanan
rujukan (Puskesmas Poned dan rumah sakit).
“..adanya Jampersal kunjungan naik 50 % antara lain kasus KPD (ketuban pecah)
dan PCR (preklamsi)..” (Bidan RS, Kab Bogor).
129
Gambar 5.29.
Penatalaksanaan Persalinan Rujukan Per vaginam tanpa Komplikasi
di RS Pemerintah di Lokasi Penelitian tahun 2012
Persalinan rujukan pervaginam tanpa komplikasi di rumah sakit tahun
2011 dan tahun 2012 terlihat kecenderungan juga meningkat, terutama di RSUD
Kota Blitar. Bahkan di RSUD Blitar, Loteng, Kota Ambon dan Kota Kendari per Juni
tahun 2012 terlihat peningkatan yang cukup tinggi ( data diatas sampai dengan
bulan Juni 2012).
Tabel 5.6.
Jumlah Kasus Sectio caesaria yang ditangani di Rumah sakit di Kabupaten / Kota
Tahun 2010 – Juni 2012
Kabupaten Jumlah Kasus Sectio Caesaria
2010 2011 s/d Juni 2012 1. RSUD kab. Sampang 474 598 237
2. RSUD Kota Blitar 63 147 53
3. RSUD Kota Mataram 39 61 29
4. RSUD Lombok Tengah - - -
5. RSUD Kota Bandung 709 889 -
6. RSUD kab.Bogor 767 1161 624
7. RSUD Prov Ambon - - -
8. RSUD Kab. Kep Aru - - -
9. RSUD Kota Kendari - 8 50
10. RSUD Kab Wakatobi - - -
130
11.RSUD Kota Batam 439 412 499
12. RSUD Prov Balikpapan - - -
13. RSUD Kab. Paser - - -
14. RSUD Kab. Natuna 41 99 61
Keterangan : - tidak didapatkan data
Sumber : RSUD Kabupaten /Kota /Provinsi yang menjadi tempat rujukan Jampersal
kecuali RSUD di Natuna.
Kasus Persalinan sectio caesaria (SC) rumah sakit Pemerintah yang PKS
dengan Dinas kesehatan di Kabupaten / Kota terlihat cenderung meningkat di
tahun 2011 dan Juni 2012. Walaupun pada data diatas tidak hanya
menggambarkan khusus kasus SC yang di biayai dengan Jampersal, tapi
merupakan keseluruhan kasus yang ada di rumah sakit. Kasus SC ada yang
dirujuk maupun yang tidak dirujuk dengan jenis pelayanan SC elektif atas indikasi
medis dan SC emergensi.
“..sejak ada Jampersal pasien di rumah sakit menjadi lebih banyak dari
sebelumnya bisa sampai hampir dua kali lipatnya..”(SPOG, kab. Sampang)
Gambar 5.30
Kematian Maternal < 24 jam di Rumah Sakit Pemerintah di Lokasi
Penelitian Tahun 2010-1012
Kematian Maternal yang terjadi < 24 jam di rumah sakit bervariasi di
RSUD Kota Blitar, RSUD Sampang, RSUD Kota Batam Peningkatan kematian
maternal di RS dimungkinkan karena rujukan dari layanan dasar meningkat pada
tahun 2011 dan 2012.
131
Gambar 5.31
Kematian Maternal >24 jam di Rumah Sakit Pemerintah di Lokasi
Penelitian Tahun 2010-1012
Kematian Maternal > 24 jam di rumah sakit pada tahun 2011 juga terlihat
kecenderungan meningkat di kabupaten/kota. Kondisi ini perlu dikaji lebih lanjut
apakah berkaitan dengan meningkatnya kasus rujukan ke rumah sakit dan
berpengaruh pada pelayanan karena keterbatasan sarana, prasarana dan SDM di
rumah sakit.
Gambar 5.32
Kematian Neonatal di Rumah Sakit Pemerintah di Lokasi
Penelitian Tahun 2010- Juni 1012
132
Kematian neonatal di kota dan kabupaten ada yang meningkat pada
tahun2011 seperti di di Kabupaten Bogor dan kota Blitar dan sampai Juni 2012
ada kecenderungan menurun. Tapi di Kota Bandung. Di Kota Bandung dan Kota
Balikpapan tahun 2011 kasus kemtian neonatal menurun, tapi di Kota Balikpapan
sampai Juni 2012 meningkat cukup tinggi. Demikian juga di Kota Mataram
kematian Neonatal tahun 2012 meningkat .
5.7. AKSEPTABILITAS SASARAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN
BAYI BARU LAHIR TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN.
Akseptabilitas sasaran terhadap Jampersal akan dijelaskan dimulai
dengan siapa sasaran yang memanfaatkan Jampersal dan bagaimana kepuasan
sasaran terhadap layanan Jampersal.
Gambar 5.33
Kepemilikan Jaminan Lain Pada Sasaran Pengguna Jampersal (N=1.243)
Untuk mencapai target MDG’s Jampersal diluncurkan dengan sasaran
adalah ibu hamil, bersalin, ibu nifas ( sampai dengan 42 hari) dan neonatus (0 –
28 hari) yang tidak mempunyai jaminan kesehatan. Dari data sasaran penelitian
ini ternyata yang memanfaatkan Jampersal 95% sudah memilik jaminan
133
kesehatan sebelumnya (Jamkesmas, Jamkesda, Askes, Jamsostek. Dan hanya 5%
yang tidak mempunyai jaminan (lainnya). Hal ini terjadi karena di kabupaten /
kota sejak pembiayaan Jampersal mulai dilaksanakan maka pembiayaan
Jamkesmas untuk pelayanan KIA (ANC, persalinan, PNC, KB) dibiayai dengan
Jampersal.
Untuk Jamkesda beberapa kabupaten / kota juga cenderung
memanfaatkan pembiayaan Jampersal atau dialihkan menjadi Jampersal, namun
ada juga kabupaten / kota yang masih menggunakan Jaminan Kesehatan Daerah.
Yang masih menjadi masalah adalah mengenai kepersertaan Jamkesmas. Karena
untuk sasaran Jampersal, harus dilakukan pemilahan dulu, apakah sasaran
tersebut bukan peserta Jamkesmas. Kenyataan di lapangan, peserta Jamkesmas
seringkali ke pelayanan tidak membawa kartu, karena kartu di simpan di Kepala
Desa. Setiap pasien berobat mengambil kartu di kepala desa dan setelah berobat
dikembalikan lagi ke kepala desa, sehingga membuat pasien enggan untuk
memanfaatkan kartunya.
Askes juga dimanfaatkan oleh sasaran untuk persalinan anak ke 3 (tiga)
dst. Disebabkan Askes hanya membiayai sampai anak ke 2 (dua), sehingga anak
ke 3 (tiga) dst sasaran tidak dapat memanfatkan Askes. Selain itu kemudahan
pemanfaatan Jampersal dengan persyaratan cukup KTP dan bersifat portabilitas,
sehingga lebih mudah untuk dimanfaatkan dibandingkan jaminan kesehatan
yang lain.
134
Gambar 5.34
Alasan Tidak Menggunakan Jampersal Pada Sasaran (N=525)
Sosialisasi menjadi faktor yang penting untuk keberhasilan pelaksanaan
program jampersal. Dari data diatas menunjukkan bahwa sasaran yang tidak
memenfaatkan Jampersal 66,70% karena tidak tahu adanya Jampersal. Disini
juga terlihat bahwa peran suami juga sangat mempengaruhi sasaran
memanfaatkan atau tidak Jampersal. Yang menarik ada 0,8% dari sasasan tidak
memanfaatkan Jampersal karena dilarang oleh tenaga kesehatan dan kader
kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena di beberapa kabupaten / Kota besaran
tarif jampersal dianggap belum memadai dan penerimaan klaim terlalu lama,
sehingga membuat keengganan dari tenaga kesehatan untuk memanfaatkan
Jampersal untuk jasa pelayanannya.
135
Gambar 5.35
Kepemilikan Jaminan pada sasaran Non pengguna Jampersal (N=525)
Gambar 5.36
Pembiayaan Tambahan Pada Sasaran Pengguna Jampersal pada
Kabupaten/Kota Daerah Penelitian
Nampak di sebagian besar kabupaten / Kota untuk persalinan terdapat
pembiayaan lain pada pasien yang persalinannya menggunakan Jampersal. Dari
Gambar di atas nampak bahwa di Kota Blitar, Kota Mataram, Kota Bandung,
Bogor dan Kota Balikpapan terdapat > 20% pasien yang dikenakan biaya
tambahan diluar Jampersal, bahkan Kota Balikpapan sampai 84,3%.
“..di sini kan mahal apa2 bu. Untuk bayar air saja mahal mana biasanya yang
bersalin 1 yang nungguin 3 -4 orang dan mandi semua. Jadi bayar selisih itu juga
termasuk untuk biaya tersebut..” (NN, Kota Balikpapan).
136
Jika dilihat lebih lanjut maka sebagian besar adalah perkotaan. Untuk
meminimalisasi keadaan ini maka beberapa daerah sudah melakukan “uji petik”
pada beberapa kasus. “Uji petik” dapat dilakukan langsung ke masyarakat atau
mengambil beberapa kasus secara acak untuk kemudian dilakukan konfirmasi
melalui telpon. Dari hasil uji petik verifikator mendapatkan bebarapa temuan
terkait dengan pelaksanaan Jampersal seperti adanya penarikan pembiayaan
pada pasien yang memanfaatkan Jampersal.
“..PKK beberapa bulan lalu ada penjelasan dari PKM dan kami sudah berusaha
untuk sosialisasi di warga. Tapi tingkat penyerapan tiap individu kan beda-beda.
Jadi kalau bisa ada batasan-batasan . hanya untuk warga miskin saja. Jadi kalau
bisa gak ada tambahan-tambahan biaya lagi. Salah satu warga pernah
merasakan jampersal di RS tapi ada beberapa obat yang masih musti bayar. Jadi
harapannya kalau bisa gratis semuanya. Lalu untuk opname juga masih ada yang
bayar. Lalu untuk pelayanan persalinan apa memang harus langsung pulang?
Jadi kalau bisa ada jeda hari lah untuk pelayanan..” (Toma, Kota Blitar).
Berikut kutipan hasil FGD dengan tokoh masyarakat yang ada di Kota
Bandung yang menyatakan bahwa ada biaya tambahan yang dibebankan kepada
masyarakat:
“..Jampersal tidak semua gratis, sudah ada patokan dari pemerintah. Kalo ada
tindakan lebih dari itu, masyarakat menanggung. Jampersal punya syarat –
syarat khusus, yaitu ikut KB jangka panjang, yaitu IUD dan implant. Kalo operasi
kalo melebihi kuota di bayar sendiri..” (NN, tokoh masyarakat Kota Bandung).
“..misalnya obat-obatan yang disediakan obat A, ternyata ada tambahan obat B,
obat B yang dibayar..” (NN, tokoh masyarakat Kota Bandung).
5.8 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN
PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR TERHADAP
PROGRAM JAMINAN PERSALINAN
Dari proses pengumpulan data terdapat beberapa temuan yang menarik
terkait Kesehatan Ibu dan Anak. Diambil tiga tematik yang menarik untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu :
1) Program dalam upaya mendukung Kesehatan Ibu dan Anak dengan
pendanaan melalui PNPM Gerakan Sehat Cerdas (GSC) yang merupakan
Program dari Kementerian Dalam Negeri di Kabupaten Lombok Tengah.
137
2) Bayang-bayang Jampersal di Lamanggau. Puskesmas Onemobaa adalah
sebuah puskesmas yang dibangun sekitar tahun 2007. Puskesmas ini
mempunyai hanya satu desa sebagai wilayah kerjanya, yaitu Desa
Lamanggau. Berdasarkan informasi dari Pengelola Jampersal Dinas Kesehatan
Kabupaten Wakatobi, Puskesmas Onemobaa tidak memfaatkan Jampersal.
Hal ini terlihat dengan dana klaim yang diajukan Puskesmas Onemobaa pada
tahun 2012 adalah nol rupiah. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar,
mengapa jumlah klaim yang diajukan oleh Puskesmas Onemobaa adalah nol
rupiah.
3) Antara Budaya, Tabu dan Upaya Penyelamatan Ibu di Kota Blitar. Tema ini
dipilih disebabkan adanya kejadian kematian maternal yang cukup tinggi di
puskesmas di Kota Blitar yang secara akses ke pelayanan kesehatan sangat
dekat dan fasilitas rujukan sangat memadai.
5.8.1 Pemberdayaan Masyarakat dalam upaya mendukung program KIA
melalui PNPM GSC di Kabupaten Lombok Tengah
PNPM GSC merupakan pengembangan dari Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) yang dimulai pada tahun
2007. Menurut fasilitator kabupaten PNPM GSC Lombok Tengah, latar belakang
adanya PNPM GSC di Lombok Tengah dikarenakan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Lombok Tengah berada di urutan terakhir di provinsi NTB. IPM
Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2010 adalah 60,73 (peringkat ke 2 terendah
Provinsi NTB) sedangkan IPKM Kabupaten Lombok Tengah 0,467282 (peringkat
ke 286 nasional). Ditambah lagi angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian
bayi (AKB) di Lombok Tengah yang cukup tinggi. Selain kesehatan, pendidikan di
Lombok Tengah juga masih kurang. Rata-rata pendidikan masyarakat 5,7 tahun
artinya banyak penduduk Lombok Tengah yang tidak tamat Sekolah Dasar.
Tujuan PNPM GSC adalah meningkatkan kesehatan ibu dan anak dan
menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Dari total 12 kecamatan di Lombok
Tengah terdapat dua kecamatan yang tidak melaksanakan PNPM GSC yaitu
138
Kecamatan Praya dan Kopang. Dana yang dikeluarkan PNPM GSC per kecamatan
sebesar 1,8 milyar pada thn 2011, sehingga setiap desa mendapat dana sebesar
kurang lebih antara 200-300 juta per tahun.
Adapun indikator keberhasilan PNPM GSC di bidang kesehatan ibu
adalah sebagai berikut: 1) Setiap ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan
(ANC) ke tenaga kesehatan minimal sebanyak empat kali selama masa
kehamilan; 2) Setiap ibu hamil meminum minimal 90 butir pil FE (penambah
darah) selama masa kehamilannya. 3) Setiap persalinan harus di lakukan di
tenaga kesehatan dan di fasilitas kesehatan. 4) Setiap ibu yang sudah melahirkan
melakukan PNC sebanyak tiga kali. Empat indikator kesehatan balita
diantaranya adalah : 1) Penimbangan bulanan; 2)Pemberian vitamin A ; 3)
Imunisasi dasar lengkap dan 4) Balita yang naik berat badannya (capaian N/D).
Sedangkan Untuk bidang pendidikan terdapat empat indikator yaitu : 1) Setiap
anak usia sekolah dasar terdaftar sebagai siswa sekolah dasar ; 2) Tingkat
kehadiran siswa sekolah dasar dalam mengikuti proses belajar mengajar
minimum 85%; 3) Setiap anak yang lulus SD terdaftar sebagai siswa sekolah
menengah pertama; 4) Tingkat kehadiran siswa sekolah menengah pertama
dalam mengikuti proses belajar mengajar minimum 85%.
Untuk melihat keberhasilan Kabupaten Lombok Tengah dalam melaksanakan
PNPM GSC berikut ini adalah grafik persentase keberhasilan indikator PNPM GSC
Kabupaten Lombok tengah :
139
Gambar 5.37.
Persentase Capaian Indikator Keberhasilan PNPM GSC Kabupaten Lombok
Tengah
Sumber : PNPM GSC Kabupaten Lombok Tengah
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa capaian indikator bidang
kesehatan ibu dan anak tertinggi pada Indikator 3 (Pertolongan persalinan oleh
dokter/tenaga kesehatan yang kompeten), disusul Indikator 2 (Pemberian pil Fe),
dan Indikator 7 (pemberian tablet vit A). Sedangkan Indikator terendah pada
Indikator satu (pencapaian pelayanan ANC lengkap/K4). Hasil ini menunjukkan
makin masifnya linakes dengan kompetensi kebidanan (Pn) dan strategi linakes
dalam upaya PWS KIA dan Gizi serta ketanggapan linakes dalam pencegahan tiga
terlambat (3T) dalam pelayanan KIA di wilayah kerja Puskesmas. Namun
demikian, perlu peningkatan pencapaian sebagai strategi kunci dalam upaya
penurunan AKI dan AKB yang diprioritaskan pada indikator satu. Secara umum
pencapaian delapan indikator PNPM GSC bidang Kesehatan di sepuluh
Kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah cukup baik.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam PNPM GSC berjenjang dari
tingkat provinsi sampai ke tingkat desa (PTO PNPM GSC, 2008) :
140
� Di tingkat provinsi : 1). Spesialis PNPM GSC, bertugas dalam membangun dan
membina hubungan dengan pelaku kesehatan dan pendidikan. 2). Spesialis
manajemen informasi sistem, bertanggung jawab dalam memberikan
bantuan teknis dalam pengembangan dan perawatan sistem
informasi/komunikasi database untuk memastikan pelaporan yang akurat
dan terkini.
� Di tingkat kabupaten : 1). Bupati, bertanggung jawab atas pelaksanaan
program di tingkat kabupaten. 2). Tim Koordinasi Kabupaten, membina
pengembangan peran serta masyarakat, membina administrasi kegiatan,
serta mengkoordinir antar instansi terkait di kabupaten. 3). Fasilitator
Kabupaten, memfasilitasi dan membantu Tim Koordinasi Kabupaten dalam
mengkoordinasikan, mengembangkan, dan melestarikan kegiatan-kegiatan
yang didanai oleh program. 4). Fasilitator Keuangan, meningkatkan dukungan
teknis pendampingan dan pengendalian BLM PNPM GSC, pengendalian
laporan keuangan, pencairan dan penyaluran dana rekening kolektif serta
rekening multiyears.
� Di tingkat kecamatan : 1). Camat, memfasilitasi koordinasi antara masyarakat
desa dengan Puskesmas dan cabang Dinas Pendidikan Nasional (Dinas
Diknas) di wilayahnya. 2). Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK),
bertanggungjawab atas penyelenggaraan operasional kegiatan dan
keberhasilan seluruh kegiatan di kecamatan. 3). Puskesmas, Kepala
Puskesmas berperan sebagai Pembina pelaksanaan program di wilayah
cakupan pelayanan Puskesmas itu berada. Tugas Puskesmas (terutama para
bidan desa) adalah memberi masukan dan memfasilitasi kegiatan bidang
kesehatan. 4). Unit Pengelola Kegiatan (UPK), pengelola dan operasional
pelaksanaan kegiatan PNPM Generasi di tingkat antar desa termasuk
mengkoordinasikan pertemuan- pertemuan di kecamatan. 5). Kelompok
Kerja (Pokja), mengelola dana untuk kegiatan yang tidak langsung
dilaksanakan sekaligus, tetapi dilaksanakan berkali-kali secara rutin (atau
yang bersifat multiyears). 6). Fasilitator Kecamatan (FK), merupakan
141
pendamping masyarakat yang bertugas memfasilitasi masyarakat dalam
melaksanakan setiap tahapan program mulai dari tahap sosialisasi, pelatihan,
pemetaan sosial, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian. FK juga
berperan dalam membimbing FD/KPMD, Kader Dusun atau pelaku-pelaku
program di tingkat desa dan kecamatan.
� Di tingkat desa :1). KPMD (Kader pemberdayaan masyarakat desa),
memfasilitasi masyarakat dalam melaksanakan tahapan proses program di
tingkat desa sejak persiapan, perencanaan, pelaksanaan sampai pelestarian
kegiatan. 2). TPMD (Tim Pertimbangan Musyawarah Desa), memberikan
pertimbangan dalam menetapkan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan
PNPM GSC. 3). PK/TPK (pelaksana kegiatan), tim yang akan melaksanakan
kegiatan yang telah diputuskan musyawarah desa untuk didanai PNPM GSC
terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. 4). Kelompok ibu-ibu sasaran,
kelompok yang dibentuk dengan mengumpulkan seluruh ibu yang menjadi
sasaran program seperti ibu hamil dan ibu yang memiliki balita. Fungsi
kelompok ini adalah sebagai forum diskusi berbagai permasalah yang dialami
atau berbagi pengalaman diantara anggota-anggotanya.
Salah satu kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah yang dianggap cukup
berhasil melaksanakan PNPM GSC adalah Kecamatan Janapria. Pendapat ini
dikemukakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Lombok Tengah karena menurutnya
kerjasama antara PNPM GSC Kecamatan Janapria dengan pihak penyedia layanan
kesehatan di wilayah kecamatan Janapria cukup baik dan dapat mendongkrak
indikator keberhasilan program kesehatan ibu dan anak dari dinas kesehatan.
Selain itu keberhasilan Kecamatan Janapria dalam PNPM GSC juga didukung oleh
data capaian delapan indikator PNPM-GSC bidang Kesehatan di Kabupaten
Lombok Tengah. (Tabel 1, terlampir)
Berdasarkan data capaian delapan indikator di Kecamatan Janapria
diperoleh informasi sebagai berikut:
1) Dari 12 desa yang ada di Kecamatan Janapria, belum ada desa yang berhasil
diperiksa oleh bidan terkait ANC 4 kali (lengkap) selama masa kehamilan.
142
2) Dari 12 desa terdapat sepuluh desa di Kecamatan Janapria yang seluruh ibu
hamilnya berhasil mendapatkan minimal 90 butir pil Fe selama masa
kehamilan.
3) Semua desa di Kecamatan Janapria telah berhasil memperoleh persalinan
yang ditangani oleh tenaga bidan atau dokter (Pn) dengan kompetensi
kebidanan.
4) Dari 12 desa terdapat tujuh desa di Kecamatan Janapria yang ibu nifas dan
bayinya telah berhasil memperoleh perawatan nifas oleh bidan atau dokter
minimal dua kali perawatan dalam waktu 40 hari setelah proses persalinan.
5) Belum ada desa dengan bayi usia 12 bulan ke bawah yang berhasil
memperoleh imunisasi dasar secara lengkap yaitu BCG, DPT, Campak, Polio,
dan Hepatitis B dalam pelayanan KIA di Posyandu.
6) Semua desa dengan bayi usia 12 bulan ke bawah berat badanny a telah
berhasil di timbang dan selalu naik pada setiap bulannya (untuk bayi di
bawah usia 6 bulan, berat badannya naik lebih dari 500 g per bulan dan bayi
usia 6-12 bulan naik lebih dari 300 g).
7) Semua desa dengan anak usia 6 bulan sampai 59 bulan telah berhasil
mendapatkan Vitamin A sebanyak 2 kali dalam Setahun.
8) Semua desa dengan anak balita (bawah lima tahun) telah berhasil ditimbang
sebulan sekali secara rutin.
Secara umum, implementasi capaian minimal 12 bulan GSC di Kecamatan
Janapria melebihi nilai minimal indikator dengan demikian disimpulkan capaian
cukup baik pada delapan indikator keberhasilan PNPM GSC. Keberhasilan PNPM
GSC di Kecamatan Janapria tidak terlepas dari adanya koordinasi yang dilakukan
PNPM GSC dengan layanan kesehatan yang ada di wilayah Kecamatan Janapria
dimana ada dua puskesmas yang wilayah kerjanya ada di kecamatan ini yaitu
Puskesmas Janapria dan Puskesmas Langko. PNPM GSC bertugas untuk
melakukan kegiatan yang mendukung pelaksanaan layanan kesehatan ibu dan
anak yang dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas Janapria dan
Puskesmas Langko. Di bawah ini adalah grafik kunjungan K1, K4, dan linakes di
143
Puskesmas Janapria yang wilayah kerjanya meliputi enam desa yaitu Desa
Janapria, Saba, Lekor, Pendem, Setuta, dan Jango.
Gambar 5.38
Kunjungan K1, K4 dan Linakes Puskesmas Janapria Thn 2010-2012
Sumber : Data PWS KIA Puskesmas Janapria 2010-2012
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa kunjungan K1 pada tahun 2010
sebesar 83.3% kemudian sedikit menurun di tahun 2011 menjadi 78.3% dan
kembali meningkat di tahun 2012 menjadi 88.4%. Untuk kunjungan K4 tahun
angkanya cenderung terus meningkat dari tahun 2010 sebesar 77.5% kemudian
menjadi 78.2% di tahun 2011 dan meningkat menjadi 82.05% di tahun 2011.
Data linakes menunjukkan tahun 2010 sebesar 71.8%, menurun menjadi 65.5%
pada tahun 2011 kemudian kembali meningkat menjadi 71.7% pada tahun 2012.
Pelaksanaan PNPM GSC di Desa Saba
Menurut bendahara PNPM GSC Desa Saba yang juga merupakan kader
posyandu Desa Saba yang juga merupakan bendahara PNPM GSC, tidak adanya
pemberian uang transport bagi ibu hamil dan ibu bersalin bukan suatu masalah
karena dulunya Desa Saba termasuk ke dalam desa siaga sehingga sudah ada
ambulance desa yang akan mengantarkan ibu yang melahirkan. Ditambah lagi
144
dengan adanya budaya setempat yang membuat kesepakatan bersama agar
penduduk yang tinggal di sekitar ibu hamil selalu siap sedia mengantarkan ibu
hamil tersebut jika tiba waktu melahirkan. Kesepakatan bersama ini disebut
dengan istilah “awig-awig” yaitu kesepakatan yang telah menjadi aturan bersama
atau norma pada suatu masyarakat.
“..tidak jadi masalah karena desa Saba berangkat dari desa siaga maka ada
ambulance desa, sudah jadi keputusan desa, awig-awignya ada siapapun yang
ada di lingkungan itu ada yang mau melahirkan diwajibkan untuk membawa.
Misalnya ada tetangga saya ada yang mau melahirkan, kita harus wajib
mengantarkan ke tempat ibu bidan atau ke puskesmas..”
Untuk mendukung kesehatan ibu hamil sejak usia kehamilan lima bulan
ibu hamil akan mendapatkan makanan tambahan. Pemberian makanan
tambahan (PMT) terdiri dari dua jenis yaitu PMT penyuluhan untuk ibu hamil
yang dalam kondisi sehat dan PMT pemulihan untuk ibu hamil yang tergolong
kurang gizi. Bagi ibu hamil yang tergolong kurang gizi maka ibu hamil akan
mendapat PMT yang porsinya lebih banyak dari ibu hamil yang dalam kondisi
sehat yang terdiri dari susu 300 gram, berasnya 2 kg, telur 20 butir diberikan
selama 3 bulan.
Selain pemberian PMT juga dilakukan kelas ibu hamil yang dilakukan
sebulan sekali. Kegiatan dalam kelas ibu hamil adalah senam bagi ibu hamil dan
penyuluhan bagi ibu hamil mengenai pentingnya menjaga kesehatan selama
masa kehamilan. Kelas ibu hamil ini difasilitasi oleh bidan puskesmas dengan
PNPM GSC sebagai penyelenggaranya.
Pelaksanaan PNPM GSC di Desa Lekor
Desa Lekor merupakan desa yang letaknya paling jauh dari pusat
Kecamatan Janapria. Awalnya persalinan oleh tenaga kesehatan di desa ini
sedikit, masyarakat lebih memilih untuk melahirkan di rumah dengan ditolong
oleh dukun beranak yang dalam bahasa setempat disebut dengan “belian sasak”.
Masyarakat Desa Lekor lebih mempercayai “belian sasak” untuk menolong
145
persalinan karena dalam menolong persalinan belian sasak menggunakan doa-
doa. Di bawah ini adalah data PWS KIA Desa Lekor yang diperoleh dari
puskesmas Kecamatan Janapria :
Gambar 5.39
Kunjungan K1 dan K4 serta Linakes Desa Lekor, Th 2010-s.d Okt 2012
Sumber : PWS KIA Puskesmas Janapria, 2010-2012.
Berdasarkan data di atas terlihat untuk cakupan K1 mengalami
peningkatan dari tahun 2010 yang semula 62.2% menjadi 68.2% pada tahun
2011 kemudian meningkat drastis menjadi 108.4% pada tahun 2012. Untuk
cakupan K4 pada tahun 2010 sebesar 56.8% meningkat menjadi 71.9% pada
tahun 2011 dan kembali meningkat menjadi 98.6% pada tahun 2012. Angka
persalinan dengan ditolong tenaga kesehatan cakupannya sebesar 61.4% pada
tahun 2010 kemudian sedikit menurun menjadi 56.57% pada tahun 2011 dan
kembali meningkat menjadi 73.83% pada tahun 2012.
Untuk mendorong agar masyarakat mau melahirkan di polindes dengan
ditolong bidan maka PNPM GSC akan memberikan perlengkapan persalinan
seperti bak mandi, kelambu bayi, paket perlengkapan bayi seperti baju bayi,
popok, sabun, handuk kepada setiap ibu yang melahirkan di polindes.
146
Selain itu kehadiran balian sasak tidak dapat dihilangkan begitu saja
dalam menolong persalinan karena walaupun ibu mau melahirkan di poskesdes,
ibu tetap meminta agar “belian sasak” mendampingi ibu ketika melahirkan.
Untuk mendukung keinginan masyarakat ini maka PNPM GSC memberikan uang
transport bagi “belian sasak” yang membawa ibu hamil untuk melahirkan di
poskesdes sebesar Rp 80.000. Strategi pemberian paket bagi ibu yang melahirkan
di poskesdes dan pemberian transport bagi “belian sasak” terbukti cukup
berhasil mendorong ibu hamil di Desa Lekor untuk mau melahirkan di poskesdes
dengan ditolong bidan. Seperti pernyataan bidan Desa Lekor berikut ini:
“..sejak tahun 2012 per Januari sudah mulai kelihatan perubahan. Dulunya
persalinan non nakes sangat banyak bisa 60-40%. Satu tahun ini cuma ada satu
yang melahirkan non nakes..”
Gambar 5.40. Poskesdes Desa Lekor yang dibangun oleh PNPM GSC
Sumber : Dokumentasi Peneliti
PNPM GSC di Desa Langko
Kegiatan PNPM GSC telah dimulai di Desa Langko pada tahun 2011,
awalnya kepengurusan program ini masih bergabung dengan PNPM Perdesaan.
Pada bulan Agustus tahun 2011 baru dibentuk kepengurusan tersendiri untuk
PNPM GSC. Dalam PNPM GSC kepengurusannya terdiri dari pelaksana kegiatan
147
(PK) yang terdiri dari satu orang ketua, satu orang sekretaris dan satu orang
bendahara. Selain PK ada yang disebut dengan Kader Pemberdayaan Masyarakat
Desa (KPMD) yang terdiri dari dua orang. Kemudian ada yang disebut dengan Tim
Pertimbangan Musyawarah Desa (TPMD). Pemilihan ketua PK PNPM GSC dipilih
melalui musyawarah namun jika tidak terdapat kesepakatan dilakukan voting.
Ketua PK Desa Langko yang sekarang, terpilih melalui voting, namanya diusulkan
karena telah lama menjadi KPMD di PNPM Perdesaan.
Pada awalnya, ibu-ibu hamil di Desa Langko jarang yang mau
memeriksakan kehamilannya atau melahirkan di bidan puskesmas. Hal ini
dikarenakan ibu hamil merasa enggan jika harus ke puskesmas karena harus
menunggu terlalu lama. Ibu hamil lebih memilih memeriksakan diri ke polindes
karena letak polindes lebih dekat namun tidak ada bidan yang tinggal di polindes
Desa Langko. Alasan bidan tidak mau tinggal di polindes Desa Langko karena
kondisi polindes yang sudah rusak dan tidak ada air bersih yang tersedia di
polindes. Salah satu cara agar bidan mau tinggal di polindes Desa Langko maka
polindes harus diperbaiki dan ada sumber air bersih. Melihat kondisi polindes
seperti ini maka ketika musyawarah antar dusun dilakukan untuk menentukan
prioritas kegiatan PNPM GSC, usulan untuk merenovasi polindes paling banyak
muncul di masyarakat.
Disamping itu sebelumnya ibu hamil jarang memeriksakan kehamilan ke
posyandu karena ibu hamil lebih memilih untuk memeriksakan diri ke dukun
beranak. Ditambah lagi dengan adanya kepercayaan di masyarakat bahwa ibu
hamil pantang untuk diperiksa awal oleh petugas kesehatan karena takut
keguguran.
Seperti diungkapkan oleh informan HB seorang bidan yang masih berstatus bidan
magang di Desa Langko:
“..kalau dulu kan ada kepercayaan kalau dipegang awal takut keguguran.
Maksudnya pemeriksaan awal makanya lebih banyak yang periksa kehamilan ke
dukun. Tingkat kesadarannya belum ada terhadap kesehatan jadi ketika 5 atau 6
bulan baru ke periksa ke petugas kesehatan. Kalau awal-awal cuma dikasih tahu
sama dukun beranak, oh kamu hamil, tanpa dipastikan atau di tes.
Kepercayaannya kalau dari awal sudah dipegang bidan nanti keguguran atau
148
kandungannya hilang. Tapi sekarang sudah tidak, baru telat satu minggu saja
sudah ke bidan..”
Untuk mengubah pandangan masyarakat, maka bidan Desa Langko
melakukan penyuluhan setiap dilaksanakannya posyandu di setiap dusun.
Sebagai dukungan untuk kesehatan ibu hamil, PNPM GSC juga mendanai
kegiatan kelas ibu hamil. Dalam kegiatan ini dilakukan senam ibu hamil yang
disertai penyuluhan terhadap ibu hamil agar mau melahirkan di polindes atau
puskesmas. Seperti diutarakan oleh bidan Desa Langko berikut ini:
“..pada kelas ibu hamil kita undang ibu hamil yang tiga bulan lagi mau
melahirkan, kita ajarkan senam. Karena saya belum dilatih maka yang
memimpin senam bidan koordinator dari puskesmas. Kelas ibu hamil penting
untuk meningkatkan kesadaran ibu hamil untuk memeriksa sampai melahirkan,
sampai KB harus ke tenaga kesehatan..”
Gambar 5.41
Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil yang difasilitasi oleh PNPM GSC
Sumber : Dokumentasi Fasilitator Kecamatan Janapria
Namun pelaksanaan kelas ibu hamil tidak rutin dilakukan karena kegiatan
ini bukan merupakan prioritas usulan dari masyarakat. Hal ini cukup disayangkan
oleh bidan Desa Langko karena menurutnya kelas ibu hamil sangat bermanfaat
untuk meningkatkan kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan dan
149
melahirkan di tenaga kesehatan. Setiap ibu hamil yang datang ke kelas ibu hamil
diberikan uang transport sebesar Rp 20.000 dari dana PNPM GSC. Untuk pelatih
senam atau pemberi penyuluhan biasanya juga diberikan uang sebagai
narasumber. Dalam kegiatan kelas ibu hamil PNPM GSC bertugas menyediakan
sarana dan prasarana seperti sound system, video player, televisi, bantal dan
matras untuk senam ibu hamil serta dana untuk honor narasumber dan transport
untuk ibu hamil yang datang. Berikut ini adalah tabel data K1, K4 persalinan oleh
tenaga kesehatan Desa Langko yang diperoleh dari Puskesmas Langko :
Gambar 5.42
Kunjungan K1, K4, Linakes Desa Langko Thn 2010-2012
Sumber : Data PWS KIA Puskesmas Langko 2010-2012
Berdasarkan tabel di atas (penjelasan 2012), terlihat bahwa ibu hamil di
Desa Langko cukup rajin memeriksakan kehamilannya angkanya pun cenderung
meningkat dari tahun 2011 ke tahun 2012. Seperti pada angka K1 tahun 2011
sebanyak 98.3% ibu hamil di Desa Langko memeriksakan kehamilannya ke
puskesmas, polindes atau posyandu dan pada tahun 2012 angkanya meningkat
menjadi 105.4%. Begitupula dengan angka K4 meningkat dari 95.7% tahun 2011
menjadi 100% pada tahun 2012. Untuk persalinan dengan ditolong tenaga
kesehatan juga mengalami peningkatan berarti yaitu dari 91% pada tahun 2011
150
menjadi 105.7% pada tahun 2012. Peningkatan ini dapat terjadi salahsatunya
karena bidan yang bertugas di Desa Langko sudah tinggal menetap di polindes
Desa Langko. Ditambah lagi dengan kesadaran masyarakat Desa Langko yang
mulai meningkat karena seringnya diadakan penyuluhan kesehatan kepada ibu-
ibu hamil.
Sebagai dukungan agar ibu hamil mau memeriksakan dirinya dan
melahirkan ke petugas kesehatan maka PNPM GSC pernah memberikan uang
transport untuk diberikan kepada ibu hamil. Namun pemberian uang transport
kepada ibu hamil dihentikan karena tidak disetujui oleh pihak dinas kesehatan
Lombok Tengah. Usulan pemberian uang transport untuk ibu hamil ini
sebenarnya datang dari masyarakat namun menurut kepala Desa Langko ibu
tanpa adanya uang transport pun ibu hamil di Desa sudah cukup rajin
memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan karena letak Desa Langko
bukan di pelosok sehingga tidak terlalu jauh dari puskesmas atau polindes.
“..usulan dari masyarakat supaya tidak ada yang terlewatkan ibu hamil yang
periksa kehamilan untuk mendapatkan jampersal nanti minimal dia periksa
kehamilan empat kali sehingga kita support lewat transport itu. Tapi bertolak
belakang dengan programnya dinas kesehatan. Dinas kesehatan
memberitahukan hal ini ke kepala camat, kepala desa. Di Desa Langko tanpa
transport untuk ibu hamil rasanya sudah rajin periksa kehamilan karena desa
Langko bukan termasuk daerah pelosok..”
Selain merenovasi polindes, untuk mendukung kesehatan ibu juga
dilakukan pemberian makanan tambahan. Pemberian makanan tambahan ada
yang untuk ibu hamil yang status gizinya masih baik dan ada yang diperuntukkan
untuk ibu hamil Kek. Pada tahun 2011 Desa Langko mulai memberikan PMT
untuk ibu hamil. Awalnya pada bulan pertama jumlah yang diberikan sesuai
dengan data sasaran yang ada. Pada bulan kedua semua ibu hamil dapat
mendaftar untuk memperoleh PMT dengan syarat memiliki buku KIA. Namun
akibatnya jumlah ibu hamil yang mendapatkan PMT membeludak padahal
jumlah dana yang ada hanya untuk 30 orang ibu hamil. Untuk mengatasi hal ini
PK Desa Langko berkonsultasi dengan petugas gizi dari puskesmas Langko,
hasilnya jumlah dana untuk 30 orang dibagi agar cukup untuk PMT sesuai jumlah
151
ibu yang mendaftar. Hal ini terpaksa dilakukan walaupun nantinya PMT yang
diberikan tidak mencukupi kebutuhan ibu hamil.
PMT yang diberikan untuk ibu hamil terdiri dari gula merah, minyak
goreng sebanyak 1,5 kg, telur empat butir, ikan teri ¼ kg serta susu untuk ibu
hamil ukuran 200 gram. PMT ibu hamil diberikan kepada ibu hamil dengan
diantar ke rumah ibu hamil oleh kader posyandu. Seperti pengalaman ibu hamil
SU yang menerima PMT ibu hamil dari PNPM GSC berikut ini:
“..pernah dapat susu untuk ibu hamil yang 200 gram, telur, gula, kacang-
kacangan, ikan kering seperti cumi, ikan teri. Saya sudah mendapat PMT ibu
hamil tiga kali dari hamil satu bulan, tiap bulan dapat PMT ibu hamil..”
Namun pemberian makanan tambahan ini dirasakan informan SU tidak
mencukupi untuk kebutuhan ibu hamil setiap bulannya. Misalnya pemberian
susu untuk ibu hamil hanya diberikan susu yang ukuran kecil saja yang habis
diminum dalam waktu empat hari jika diminum rutin setiap hari, berikut
penuturannya:
“..kalau menurut saya belum mencukupi kebutuhan. Seperti susu ini kan hanya
cukup untuk empat hari kadang-kadang saya beli sendiri juga susu Prenagen
yang 400 gram harganya 80 ribu. Kalau yang 400 gram bisa untuk dua minggu,
kalau yang 200 gram untuk empat hari..”
Desa Langko terdiri dari sepuluh dusun dimana di setiap dusun telah
memiliki Posyandu dengan jumlah kader di setiap dusun sebanyak lima orang.
Posyandu dilakukan setiap bulan terdiri dari kegiatan penimbangan bayi dan
balita, pemberian imunisasi dan pemeriksaan terhadap ibu hamil. Ketika
posyandu dilakukan setiap balita yang datang akan diberikan PMT berupa bubur
kacang hijau, telur rebus satu butir dan biskuit, seperti terlihat pada gambar di
bawah ini :
152
Gambar 5.43 PMT yang diberikan ketika posyandu di Desa Langko
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pemberian PMT selain bertujuan untuk meningkatkan gizi setiap balita
yang datang ke posyandu, pemberian PMT juga bertujuan untuk menarik ibu-ibu
agar mau membawa anaknya ke posyandu. Seperti dikemukakan oleh PK Desa
Langko berikut ini:
“..memang sekarang salah satu perangsangnya karena ada PMT jadi banyak
yang ke posyandu walaupun yang didapat cuma bubur kacang hijau sama telur,
tidak seberapa..”
Selanjutnya akan dibahas bagamana pemberdayaan masyarakat dalam
PNPM GSC dikaitkan dengan konsep-konsep tentang pemberdayaan masyarakat
yang sebelumnya telah ada. Menurut Notoatmodjo, pemberdayaan masyarakat
ialah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi,
dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2007). Adapun
prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menumbuhkembangkan potensi
masyarakat, mengembangkan gotong-royong masyarakat, menggali kontribusi
masyarakat, menjalin kemitraan, dan desentralisasi.
(http://edukasi.kompasiana.com).
Berdasarkan konsep di atas maka di dalam pelaksanaan PNPM GSC di
Kecamatan Janapria sudah berusaha untuk menumbuhkan potensi masyarakat
153
dengan adanya pelatihan terhadap pihak pelaksana PNPM GSC di tingkat desa.
Pelatihan ini bertujuan agar masyarakat di desa dapat membuat merencanakan,
melaksanakan dan memantau pelaksanaan PNPM GSC. Hal ini dijelaskan oleh
informan MU, penanggung jawab PNPM GSC Keamatan Janapria berikut ini:
“Kan diberikan pelatihan-pelatihan untuk SDM mereka, dia rasakan karena dia
yang merencanakan, dia yang melaksanakan, dia yang memantau, dia yang
melanjutkan. Untuk perencanaan dia datang ke dusun menampung aspirasi dari
situ oh ini permasalahannya, oh ini potensi kita dari situ bisa dia rencanakan..”
Namun pemberdayaan masyarakat dalam PNPM GSC belum sampai ke
tahap membangun kesadaran masyarakat agar menjadi mandiri dan sadar akan
pentingnya menjaga kesehatan ibu dan anak. Pemberdayaan masyarakat dalam
PNPM GSC lebih ke arah penguatan kapasitas pelaksana program yang ada di
desa agar muncul partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam program ini.
Sedangkan kegiatan yang dilaksanakan PNPM GSC beberapa masih ada yang
bersifat instan seperti pada pelaksanaan PNPM GSC di Desa Lekor dimana untuk
membuat ibu hamil mau melahirkan di poskesdes maka diberikan stimulus
berupa pemberian paket perlengkapan bayi. Pemberian paket untuk ibu yang
melahirkan di Desa Lekor disadari oleh FK PNPM GSC Kecamatan Janapria
merupakan cara yang instan dan belum mengarah ke proses penyadaran.
Masyarakat mau melahirkan di polindes karena ada daya tarik dari paket yang
diberikan bukan semata-mata karena kesadaran masyarakat yang telah tumbuh
akan pentingnya melahirkan di fasilitas kesehatan dengan ditolong tenaga
kesehatan. Seperti penjelasannya berikut ini:
“..yang belum kita lakukan sebenarnya proses penyadaran itu karena ini sangat
tidak mudah. Tujuan program ini kan sebenarnya menyadarkan mereka agar
menjadi kebutuhan mereka. itu mungkin yang terus dilakukan. Yang sementara
kita lakukan boleh saya katakana sedikit instan hanya untuk memotivasi mereka
setelah itu selesai. Tapi kalau program ini tidak ada siapa yang diharapkan. Nah
proses ini yang berusaha kami lakukan..”
Cara instan ini terpaksa dilakukan karena karakter penduduk Desa Lekor
yang menurut FK kecamatan Janapria sulit untuk diarahkan, untuk melakukan
perubahan pada masyarakat desa Lekor harus dilaksanakan pelan-pelan.
154
Pelaksanaan PNPM GSC yang berfokus pada keterlibatan masyarakat
membuat usaha untuk membangun kemandirian kesehatan ibu dan anak di
masyarakat menjadi kurang maksimal. Hal ini terlihat dari banyaknya usulan dari
masyarakat yang lebih banyak ke arah pembangunan fisik seperti pembangunan
atau renovasi polindes dan posyandu. Padahal PNPM GSC memiliki indikator
keberhasilan program yang tidak terkait dengan pembangunan fisik.
Pembangunan fisik sebenarnya hanya untuk mendukung keberhasilan indikator
tersebut.
Setiap usulan dari masyarakat seharusnya dikonsultasikan terlebih dahulu
dengan pihak kesehatan dan pihak pendidikan. Karena dalam PNPM GSC
masyarakat juga harus dapat membangun kemitraan dengan instansi-instansi
terkait. Namun dalam pelaksanaannya terkadang kemitraan tidak berjalan
dengan sempurna karena pada awalnya belum terjalin koordinasi dan
komunikasi yang baik antara pihak kesehatan dengan PNPM GSC.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Lombok Tengah pada awal 2011, dinas
kesehatan belum dilibatkan dalam program PNPM GSC. Program PNPM berjalan
dengan kegiatannya sendiri demikian juga dengan program dinas kesehatan.
Namun setelah di evaluasi kegiatan yang ada di PNPM GSC ternyata memiliki
indikator yang sama dengan program KIA dari dinas kesehatan. Oleh karena itu,
pada awal tahun 2012 dinas kesehatan mulai mengkoordinasikan kegiatannya
bersama dengan PNPM GSC dalam mencapai kegiatan yang fokus ke bidang
kesehatan agar lebih terarah dalam mencapai keberhasilan indikator kesehatan
ibu dan anak.
Hal senada juga diungkapkan oleh Kasie Gizi Dinas Kesehatan Lombok
Tengah, untuk mensinergikan kegiatan PNPM GSC dengan dinas kesehatan maka
pihak dinas kesehatan mengundang fasilitator kabupaten PNPM GSC untuk
berkoordinasi dalam melaksanakan kegiatan. Hanya saja, menurut informan
pelaksanaan kegiatan di tingkat kecamatan dan desa yang kurang bagus. Berikut
pernyataannya:
155
“..kita sering mengundang pihak PNPM GSC karena kita butuh, indikator mereka
kan hampir sama dengan kami jadi kami yang merasa membutuhkan mereka
karena mereka yang punya dana. Tapi sering kita koordinasinya putus karena di
atas koordinasinya sudah bagus yang di bawah eksekusinya kurang bagus..”
Pada kasus pelaksanaan PNPM GSC di Kecamatan Janapria pada awalnya
pelaksana di tingkat kecamatan juga kurang dapat berkoordinasi dengan pihak
penyedia layanan kesehatan di Kecamatan Janapria. Menurut informan MU
selaku penanggung jawab program PNPM di Kecamatan Janapria, pada awalnya
Dinas kesehatan mempertanyakan kenapa kegiatan PNPM GSC yang bergerak di
bidang kesehatan dana pelaksanaannya tidak diserahkan ke dinas kesehatan.
“..awalnya ego dari dinas itu, bahkan ada pertanyaan dari dinas kesehatan “kok
GSC ini tentang kesehatan kok PNPM yang menangani, kenapa dananya tidak di
puskesmas saja”. Kami jawab ini kan program dari pusat dan kami laksanakan
dan kita tidak jalan sendiri dan inilah bentuk pemberdayaan sebab yang
melaksanakan ini kan dari masyarakat kan kita yang memfasilitasi. Tapi kita
tetap tidak bisa meninggalkan yang punya bidang sehingga kita koordinasi..”
Namun dengan pendekatan dan komunikasi dari pelaksana PNPM di
tingkat Kecamatan Janapria terutama peran dari Fasilitator Kecamatan (FK)
Janapria maka cukup terjalin koordinasi yang baik antara PNPM GSC dengan
pihak penyedia layanan kesehatan dalam hal ini puskesmas Janapria dan
puskesmas Langko yang wilayah kerjanya adalah desa-desa di Kecamatan
Janapria. Berikut penjelasan FK Kecamatan Janapria:
“..pertama dari FK mengawal proses fasilitasi kemudian dukungan masyarakat,
dukungan layanan, kerjasama dengan layanan ini yang penting karena kalau kita
tidak lakukan kerjasama itu kita kan hanya memfasilitasi tidak paham tentang
teknis bagaimana kesehatan dan puskesmas lah yang tahu sehingga koordinasi
ini penting untuk kita maksimalkan. Awal-awal saya kesini saya lakukan itu, yang
pertama kali saya kunjungi teman-teman dari layanan kesehatan seperti
puskesmas dan dari pendidikan karena disitulah kita cari data awal..”
Menurut Ericson (dalam Slamet, 1994:89) bentuk partisipasi masyarakat
dalam pembangunan terbagi atas tiga tahap, yaitu : 1. Partisipasi di dalam tahap
perencanaan, 2. Partisipasi di dalam pelaksanaan dan 3. Partisipasi di dalam
tahap pemanfaatan. (http://www.pasca.unand.ac.id). Selanjutnya ketiga tahap
156
partisipasi masyarakat tersebut akan coba dikaitkan dengan pelaksanaan PNPM
GSC di Kecamatan Janapria.
1. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planing stage).
Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada
tahap penyusunan rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitian dan
anggaran pada suatu kegiatan/proyek. Masyarakat berpartisipasi dengan
memberikan usulan, saran dan kritik melalui pertemuan-pertemuan yang
diadakan.
Dalam pelaksanaan PNPM GSC partisipasi masyarakat dalam program
ini merupakan wujud dari adanya pemberdayaan di dalam masyarakat. Bentuk
partisipasi masyarakat terlihat dari awal tahap perencanaan yaitu
dilibatkannya masyarakat dalam memberikan usulan kegiatan melalui
musyawarah antar dusun yang dilanjutkan dengan musyawarah antar desa.
Dalam musyawarah antar dusun masyarakat diberikan kesempatan untuk
memberikan usulan dalam rangka memperbaiki kondisi kesehatan ibu dan
anak serta kondisi pendidikan. Kemudian masyarakat juga diminta untuk
memberikan usulannya mengenai kegiatan apa saja yang diprioritaskan untuk
dilakukan.
Sebelum program dilaksanakan setelah dicapai kesepakatan mengenai
prioritas kegiatan maka pelaksana kegiatan akan diberikan pelatihan di PNPM
GSC kecamatan. Dalam pelatihan diberikan materi mengenai bagaimana cara
membuat rancangan anggaran (RAB), bagaimana cara membuat proposal,
bagaimana cara pelaksanaan kegiatan dan pelatihan lainnya yang bertujuan
untuk membangun kesadaran pelaksana kegiatan PNPM GSC tentang
pentingnya keterlibatan masyarakat dalam program ini tanpa didasari imbalan
yang akan mereka dapat.
Setelah itu masyarakat juga berpartisipasi dalam musyawarah
pertanggungjawaban desa program yang diadakan ketika dana PNPM GSC
sudah digunakan sebanyak 40%, 80% dan 100%. Dalam musyawarah
pertanggungjawaban desa masyarakat diminta untuk menilai pelaksanaan
157
PNPM GSC. Masyarakat akan menilai pelaksanaan PNPM GSC berhasil jika
prioritas kegiatan yang diusulkan masyarakat benar-benar telah dilakukan.
Jika ternyata kegiatan yang dilakukan tidak sesuai dengan usulan masyarakat
atau pelaksana kegiatan PNPM GSC di desa tidak kelihatan kinerjanya maka
masyarakat akan mengkritik pelaksana kegiatan PNPM GSC. Kemudian jika
pelaksana kegiatan PNPM GSC tidak dapat mempertanggungjawabkan dana
yang telah terpakai maka bisa saja ketua dan anggotanya diusulkan oleh
masyarakat untuk diganti.
2. Partisipasi di dalam tahap pelaksanaan (implementation stage).
Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada
tahap pelaksanaan pekerjaan suatu proyek. Masyarakat disini dapat
memberikan tenaga, uang ataupun material/barang serta ide-ide sebagai
salah satu wujud partisipasinya pada pekerjaan tersebut.
Dalam PNPM GSC bentuk partisipasi ini dapat terlihat dari adanya
masyarakat yang mau menghibahkan tanahnya untuk dijadikan polindes atau
posyandu. Syarat dari PNPM GSC untuk membangun polindes atau posyandu
adalah harus adanya masyarakat yang mau menghibahkan tanahnya sebagai
lokasi polindes atau posyandu. PNPM GSC hanya memfasilitasi biaya untuk
pembangunan polindes atau posyandu seperti pembelian bahan bangunan.
Sedangkan untuk tenaga membangun polindes atau posyandu ada juga yang
berasal dari masyarakat setempat.
“..misalnya kita membangun posyandu tidak mungkin program
menganggarkan jadi syaratnya masyarakat harus menyiapkan lahan yang
sudah dibebaskan dengan bukti pembebasan ada dan berupa hibah dari
pihak desa, kalau ada lahan itu baru kita setujui pembangunan posyandu.
Ada kegiatan lain dimana masyarakat berswadaya dalam bentuk tenaga,
material..”
Selain penyediaan lahan untuk pembangunan polindes atau posyandu,
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PNPM GSC juga dapat dilihat dari
adanya masyarakat yang bersedia rumahnya digunakan sebagai tempat
pelaksanaan posyandu. Seperti kepala dusun Langko Gunting di Desa Langko
158
yang bersedia rumahnya dipakai untuk pelaksanaan posyandu setiap
bulannya, berikut uraiannya:
“..rumah saya dijadikan tempat untuk posyandu sejak setahun terakhir ketika
saya menjadi kepala dusun karena di dusun Langko Gunting ini belum ada
tempat pelaksanaan posyandu yang permanen..”
Partisipasi dalam tahap pelaksanaan juga terlihat dari adanya peran
kader posyandu dalam pelaksanaan kegiatan PNPM GSC. Dalam PNPM GSC
peran kader posyandu sangat penting karena kader posyandu sebagai
penyuluh terdepan yang dapat mengajak masyarakat agar mau
memanfaatkan layanan kesehatan. Kader posyandu juga turut membantu
KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) dalam mendata sasaran yang
ada di desa. Anggota KPMD hanya dua orang jika tanpa bantuan dari kader-
kader posyandu di setiap dusun, KPM akan kesulitan untuk mendata sasaran
dan menemukan permasalahan kesehatan ibu dan anak yang ada pada setiap
dusun. Maka sebagai balas jasa dari apa yang telah dilakukan para kader
kebanyakan muncul usulan di masyarakat untuk memberikan insentif bagi
para kader dengan menggunakan dana PNPM GSC. Insentif ini tidak berupa
gaji tetapi uang transport yang diberikan sehari sebelum pelaksanaan
posyandu, pada hari pelaksanaan posyandu dan satu hari setelah pelaksanaan
posyandu sebesar Rp 15.000 per harinya. Jadi satu orang kader total
mendapatkan uang transport sebesar Rp 45.000. Dengan adanya uang
transport ini masyarakat berharap kader posyandu lebih giat mengajak ibu
yang memiliki bayi dan balita agar mau membawa anaknya ke posyandu dan
memotivasi ibu hamil agar mau memeriksakan kehamilan dan melahirkan di
tenaga kesehatan.
Namun adanya insentif ini bukanlah motivasi utama kader di Desa
Langko melaksanakan perannya sebagai seorang kader. Seperti pernyataan
informan IT, seorang kader dari Dusun Lengarak, Desa Langko berikut ini :
“..kalau saya tetap akan jadi kader walaupun nanti suatu saat tidak ada honor
lagi dari PNPM GSC. Soalnya dari dulu sudah jadi kader walaupun tidak ada
honornya..”
159
Kader IT adalah satu-satunya kader laki-laki yang ada di Kecamatan
Janapria, kebanyakan kader adalah perempuan. Kader IT sudah lebih dari
sepuluh tahun lamanya menjadi kader di Dusun Lengarak. Sebelum ada PNPM
GSC ia tidak pernah mendapatkan insentif per bulannya namun walaupun
suatu saat tidak ada lagi insentif dari PNPM GSC ia tetap akan menjadi kader
karena uang bukanlah motivasi utamanya menjadi kader.
3. Partisipasi di dalam pemanfaatan (utilitazion stage)
Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada
tahap pemanfaatan suatu proyek setelah proyek tersebut selesai dikerjakan.
Pada PNPM GSC partisipasi ini terlihat dengan terlibatnya masyarakat pada
musyawarah pertanggungjawaban desa ketika dana PNPM GSC sudah
terpakai dan kegiatan-kegiatan dalam PNPM GSC di desa sudah dilaksanakan.
Dalam musyawarah pertanggungjawaban desa, masyarakat berhak menilai
apakah kepengurusan pelaksana kegiatan di desa berjalan dengan baik atau
tidak. Masyarakat berhak mengusulkan kepengurusan akan tetap dilanjutkan
atau harus diganti.
5.8.2 BAYANG-BAYANG JAMPERSAL DI LAMANGGAU
Desa Lamanggau terletak di Kecamatan Tomia, Kabupaten Wakatobi,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Wakatobi terletak di sebelah Timur
Kabupaten Buton, yang membentang dari Utara ke Selatan di antara 5012’ –
6010’ LS (sepanjang kurang lebih 160km) dan 123
020’ – 124
039’ BT (sepanjang
kurang lebih 120 km). Kepulauan Wakatobi merupakan gugusan pulau-pulai
kecil, bahkan dapat dikatakan gugusan pulau sangat kecil, berjumlah 48 buah
pulau dengan luas daratan 823 km2 dan luas perairan 13.900 km
2 serta panjang
garis pantai 251.96 km.
160
Gambar 5.44
Peta Kabupaten Wakatobi
Sumber: http://visitkendari.blogspot.com/2012/04/peta-wakatobi.html
Kabupaten Wakatobi memiliki 8 kecamatan, 8 kelurahan, 76 desa
(sumber: Permendagri Nomor 66 Tahun 2011). Salah satu desa tersebut adalah
Desa Lamanggau yang terletak di Pulau Tolandono, yaitu sebuah pulau yang
berada di barat daya Pulau Tomia. Desa Lamanggau dapat diakses hanya dengan
speed boat dan pompong atau disebut bodi dalam bahasa Bajo. Perjalanan
dimulai dari Pelabuhan Jabal di Wanci, Pulau Wangi-wangi, dengan
menggunakan speed boat dengan tarif Rp 120.000 perorang. Speed boat hanya
beroperasi satu hari sekali, yaitu pada pukul 09.00 pagi. Namun, jadwal tersebut
tidak menentu tergantung pada keadaan penumpang. Apabila pada pukul 09.00
penumpang belum mencapai jumlah sepuluh orang, maka keberangkatan akan
ditunda sampai jam 10 pagi, dan apabila tidak mencukupi 10 orang bisa saja
keberangkatan ditunda hingga esok hari. Perjalanan dari Wangi-wangi ini
membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai ke Dermaga Osuku di pulau
Tomia, yang kemudian akan dilanjutkan dengan ojek darat menuju Dermaga
Waitii. Waktu tempuh ojek ini sekitar 20 menit dengan tarif Rp.15.000,-. Setelah
tiba di Dermaga Waitii, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan pompong
161
untuk menuju Pulau Tolandono selama kurang lebih 10 menit dengan tariff Rp
3.000 per orang. Di pulau tersebutlah Desa Lamanggau terletak.
Di Pulau Tolandono hanya terdapat satu desa, yaitu Desa Lamanggau.
Secara administratif, Desa Lamanggau termasuk dalam wilayah Kecamatan
Tomia, Kabupaten Wakatobi. Desa Lamanggau terdiri dari tiga dusun, yaitu
Dusun Lasoilo, Dusun Ketapang, dan Dusun Dunia Baru. Dusun Lasoilo yang
berada di tepi laut mayoritas dihuni oleh orang Bajo. Rumah-rumah di dusun
tersebut mayoritas didirikan di tepi laut bahkan ada yang didirikan di atas laut.
Sebagai penghubung antara satu rumah ke rumah lain, dibangun jembatan kayu
sebagai alat penyeberangan dari satu rumah ke rumah lain.
Berbeda dengan Dusun Lasoilo, Dusun Ketapang mayoritas dihuni oleh
orang Buton Tomia yang seringkali disebut dengan ‘orang darat’ oleh orang Bajo.
Kata ‘darat’ tersebut menunjukan kondisi Dusun Ketapang tempat mayoritas
orang Buton Tomia berada, terletak di daratan yang agak tinggi. Mayoritas
rumah yang terdapat di Dusun Ketapang terbuat dari semen dan sebagian
terbuat dari kayu. Sementara itu, dusun yang ketiga adalah Dusun Dunia Baru.
Dusun ini dihuni oleh orang Bajo dan orang Buton-Tomia yang telah melakukan
Gambar 5.45
Peta Desa Lamanggau
Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012
162
perkawinan. Kondisi geografi Dusun Dunia Baru merupakan perpaduan antara
Dusun Lasoilo dan Dusun Ketapang. Dengan kata lain, sebagian masyarakat
Dusun Dunia Baru tinggal di daratan, sedangkan sebagian lagi tinggal di lautan.
Listrik yang mengalir di Desa Lamanggau merupakan bantuan dari Dive
Wakatobi Resort yang terletak di bagian barat daya Pulau Tolandono. Resort
tersebut berdiri sekitar tahun 1990-an oleh investor asing. Resort tersebut juga
menawarkan wisata bawah laut di sekitar Pulau Tomia, sehingga banyak
wisatawan, apalagi wisatawan asing yang berkunjung ke sana. Selain Desa
Lamanggau, resort tersebut juga memberikan bantuan kepada beberapa desa
yang ada di Pulau Tomia dan sekitarnya. Bantuan tersebut bermacam-macam,
ada yang berbentuk uang tunai ada juga yang berbentuk bangunan seperti pagar
desa. Untuk desa Lamanggau, bantuan yang diberikan berupa bantuan uang kas
desa dan aliran listrik pada malam hari yang dimulai sejak pukul jam 18.00 hingga
06.00. Pada siang hari tak ada aliran listrik sama sekali. Tentunya kondisi ini
mencakup pustu dan puskesmas yang ada di sana. Begitu pula dengan
kecukupan air bersih di desa ini. Tidak tersedia sumber mata air tawar di Desa
Lamanggau, masyarakat harus menyebrang pulau untuk bisa mencapai sumber
mata air tawar.
Desa Lamanggau merupakan satu-satunya desa yang menjadi wilayah
kerja Puskesmas Onemobaa. Puskesmas tersebut dibangun pada tahun 2007 di
sebelah timur Dive Wakatobi Resort (DWR) yang dibangun sekitar tahun 1990-
an. Puskesmas tersebut terletak kurang lebih satu kilometer dari pemukiman
masyarakat Desa Lamanggau, tepatnya di sebelah selatan DWR, sehingga sekilas
puskesmas ini terlihat terletak dalam area DWR.
Untuk menuju ke puskesmas tersebut dapat melalui dua jalur, yaitu jalur
darat dan jalur laut. Jalur darat hanya dapat dilalui dengan menggunakan
kendaraan roda dua, karena jalan yang dilalui berupa jalan setapak yang
dikelilingi oleh kebun dan semak-semak. Biaya yang dikeluarkan untuk menyewa
kendaraan tersebut sekitar Rp 20.000 (pulang pergi) dengan jarak tempuh
kurang lebih 10 sampai 15 menit. Namun, kendaraan tersebut hanya bisa
163
mencapai pos satpam DWR. Setelah tiba di pos satpam, pengunjung puskesmas
wajib lapor ke satpam penjaga resort. Setelah menunggu beberapa menit untuk
mendapat izin dari satpam, pengunjung dipersilahkan masuk dengan jalur yang
telah ditentukan. Setelah berjalan kurang lebih 10 menit, tibalah di Puskesmas
Onemobaa.
Jalur kedua adalah melalui jalur laut dengan memggunakan pompong.
Perjalanan dimulai dari Dermaga Lamanggau menuju dermaga yang terletak
sebelum DWR. Dari dermaga, pengunjung harus berjalan selama kurang lebih 10
menit melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh kebun untuk menuju ke pos
satpam resort. Jalan setapak ini bukanlah jalan yang mulus beraspal bagus dan
mudah untuk dilewati. Akses jalan ini berupa jalan tanah berkerikil dan
mempunyai banyak cabang jalan yang membuat bingung pengunjung yang
belum pernah ke sana. Perjalanan tersebut ditempuh kurang lebih 10 hingga 15
menit. Setelah sampai di gerbang resort, pengunjung puskesmas masih harus
menunggu izin dari satpam untuk dapat masuk dan melanjutkan perjalanan
menuju puskesmas.
Gambar 5.46 dan 5.47
Jalan menuju Puskesmas Onemobaa (kiri) dan pintu gerbang milik Dive Wakatobi Resort (kanan).
Sebelum masuk ke Puskesmas Onemobaa, pengunjung terlbih dahulu izin ke satpam yang berjada di
pintu gerbang tersebut
Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012
164
Puskesmas Onemobaa terletak jauh dari pemukiman masyarakat Desa
Lamanggau, bahkan tidak ada satu rumah pun berdiri di sekitar bangunan
puskesmas. Puskesmas tersebut dikelilingi oleh kebun dan semak-semak belukar.
Hal yang paling memprihatinkan di sisi bangunan ini dijadikan tempat
pembuangan sampah kering dan tanaman dari resort. Memang jika dilihat dari
depan, sampah tersebut tidak terlihat, namun jika melewati jalan belakang,
maka pengunjung akan melewati tumpukan sampah. Pada awalnya bangunan
puskesmas dikelilingi oleh pagar kawat berduri sehingga pengunjung harus
melewati jalan depan, dan untuk menuju jalan depan pengunjung akan
menambah waktu untuk berjalan. Pada saat ada kunjungan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten, pagar kawat berduri tersebut dirusak sebagian oleh
kepala dinas karena dianggap menghambat akses masyarakat untuk ke
puskesmas.
Bangunan Puskesmas Onemobaa terdiri dari beberapa ruangan yang
sudah dipasang papan nama ruangan seperti ruangan KIA, bersalin, poli gigi, dan
loket pendaftaran. Di dalam bangunan tersebut terdapat beberapa alat
kesehatan seperti tempat periksa pasien, gunting, dan alat pendukung lainnya
seperti meja dan kursi. Beberapa alat kesehatan tersebut mulai tampak berkarat.
Menurut penuturan kepala puskesmas, sebelumnya bangunan ini juga sudah
dipasangi genset dan tandon air. Namun karena tidak dipakai, dua alat tersebut
dipindahkan ke pustu yang terletak di Dusun Ketapang. Sampai saat ini kepala
puskesmas dan stafnya secara bergilir masih datang untuk mengecek bangunan
atau sekedar membersihkan puskesmas dan lingkungan sekitarnya.
165
Selain bangunan puskesmas, terdapat juga dua bangunan yang berbentuk
rumah panggung. Menurut kepala puskesmas, dua bangunan tersebut
diperuntukan kepala puskesmas dan tenaga kesehatan yang bertugas di
Puskesmas Onemobaa. Dua rumah tersebut memiliki ukuran dan bentuk yang
sama. Rumah tersebut terbuat dari kayu yang memiliki dua kamar, kamar mandi,
ruang tamu, dan dapur. Di salah satu rumah tersebut telah tersedia kasur
lengkap dengan batalnya. Namun, sejak dibangun hingga saat ini rumah tersebut
belum pernah digunakan sama halnya dengan Puskesmas Onemobaa.
Menurut masyarakat Desa Lamanggau, sejak Puskesmas Onemobaa
dibangun hingga saat ini belum ada masyarakat setempat yang menggunakan
puskesmas tersebut sebagai tempat untuk mendapatkan fasilitas kesehatan,
Gambar 5.48, 5.49 dan 5.50
Gedung Puskesmas Onemobaa yang mulai tertutup dengan tumbuhan yang menjulang tinggi (kiri),
tempat periksa pasien yang sudah mulai berkarat (kanan), dan rumah tenaga kesehatan yang megah tapi
tidak pernah dihuni (bawah).
Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012
166
bahkan sebagian besar belum pernah berkunjung ke puskesmas. Hal ini
disebabkan karena letak puskesmas yang jauh dari pemukiman masyarakat,
akses yang ‘rumit’ karena harus menunggu izin dari satpam resort, dan petugas
kesehatan yang ‘tidak ada’. Kondisi Puskesmas Onemobaa yang jauh dari
pemukiman masyarakat menyebabkan para petugas kesehatan di puskesmas
tersebut bertugas dan berkantor di pustu yang terletak di Dusun Ketapang.
Jumlah petugas Puskesmas Onemobaa ada lima orang, yang terdiri dari
satu kepala puskesmas dengan latar pendidikan kesehatan lingkungan, tiga orang
perawat, dan satu orang petugas kesehatan lingkungan yang ditugaskan khusus
dari pusat. Lima orang petugas tersebut dibantu oleh dua orang tenaga honorer
lulusan SMA. Dari lima petugas puskesmas tersebut hanya dua orang yang
memiliki SK penempatan di Puskemas Onemobaa, yaitu dua orang perawat.
Kepala puskesmas dan satu orang perawat lainnya ditugaskan dengan nota dinas
dari Puskesmas Tomia untuk membantu Puskesmas Onemoba’a. Sementara itu,
satu orang petugas kesehatan lingkungan merupakan tenaga khusus yang
diperbantukan dari pusat. Dengan jumlah petugas yang terbatas seperti ini, maka
tak heran jika setiap petugas memiliki tugas ganda, misalnya kepala puskesmas
yang merangkap juga sebagai petugas obat-obatan atau perawat yang
merangkap menjadi petugas administrasi. Namun, dari lima petugas kesehatan
tersebut, hanya ada satu petugas kesehatan yang menetap di Desa Lamanggau.
Dia adalah seorang petugas kesehatan yang diperbantukan khusus dari pusat.
Empat orang petugas lainnya tinggal di Pulau Tomia yang terletak di seberang
Pulau Tolandono.
Berdasarkan data mengenai jumlah dan latar belakang petugas
puskesmas, dapat dilihat bahwa tidak ada bidan yang bertugas di Puskesmas
Onemobaa. Dengan kata lain, tidak ada bidan yang dapat menolong persalinan di
Desa Lamanggau. Hal ini disebabkan karena sekitar bulan September 2012, bidan
yang ditugaskan untuk membantu Puskesmas Onemobaa mengajukan surat
pindah kembali ke Puskesmas Osuku sesuai dengan SK penempatannya. Sejak
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan SK penempatan di
167
Puskesmas Osuku, bidan tersebut ditugaskan untuk membantu Puskesmas
Oneombaa. Sebelum ditugaskan di Puskesmas Onemobaa, bidan tersebut
pernah mengabdikan dirinya di Puskesmas Onemobaa sebagai bidan PTT
(Pegawai Tidak Tetap) pada tahun 2011. Jadi, bidan tersebut telah bertugas
selama dua tahun di Puskesmas Onemobaa. Kini, sejak September 2012, bidan
tersebut kembalu bertugas di Puskesmas Osuku sesuai dengan SK
penempatannya.
Selama bertugas di Puskesmas Onemobaa, bidan tersebut belum pernah
tinggal di Desa Lamanggau yang menjadi satu-satunya wilayah kerja Puskesmas
Onemobaa. Alasan bidan tersebut tidak tinggal di Desa Lamanggau karena
keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh Desa Lamanggau seperti air dan listrik
yang hanya menyala pada malam hari. Selain itu, bidan tersebut yang merupakan
kelahiran Osuku, telah mempunyai keluarga dan sedang hamil delapan bulan.
Kondisi tersebutlah yang memberatkannya untuk tinggal di Desa Lamanggau.
Namun menurutnya, meskipun tidak tinggal di Desa Lamanggau, bidan tersebut
tetap menerima panggilan masyarakat untuk membantu persalinan. Namun ada
rasa sungkan yang dimiliki oleh masyarakat setempat untuk memanggil bidan
apalagi jika persalinan terjadi pada malam hari. Hal ini disebabkan karena
keadaan transportasi laut yang tersedia antara Pulau Tomia dan Pulau Tolandono
hanya beroperasi sampai pukul 19.00 malam hari.
Menurut cerita bidan tersebut, selama dua tahun ia bertugas di Desa
Lamanggau, ada empat orang ibu yang ditolongnya untuk melakukan persalinan.
Dari empat orang yang ditolong tersebut, tiga orang berasal dari etnis Bajo dan
satu orang dari etnis Buton-Tomia. Empat persalinan yang ditolong oleh bidan
tersebut dilakukan di rumah, bukan di fasilitas kesehatan. Oleh sebab itu, ia tidak
bisa mengklaim persalinan tersebut sebagai persalinan yang didanai oleh
Jampersal. Hal ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Wakatobi
yang mengadopsi kebijakan Kementerian Kesehatan bahwa persalinan yang
didanai oleh Jampersal adalah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di
fasilitas kesehatan.
168
Menurut penuturan Bidan Mi (nama samaran bidan yang bertugas di
Puskesmas Onemobaa pada saat itu), agak sulit mengajak masyarakat
Lamanggau untuk melakukan persalinan di fasilitas kesehatan. Baginya untuk
sampai tahap masyarakat mau memanggilnya pada saat persalinan pun sudah
hal yang luar biasa. Masyarakat setempat seringkali memanggil dukun beranak
untuk menolong persalinan. Bidan dipanggil kadangkala hanya untuk
memberikan suntikan pasca-persalinan. Berbagai upaya telah dilakukan bidan
tersebut untuk menarik minat masyarakat agar mau bersalin di tenaga kesehatan
ataupun fasilitas kesehatan, misalnya sosialiasi tentang persalinan gratis sampai
pada iming-iming akan diberikan hadiah bila mau melakukan persalinan di
tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Namun nyatanya upaya tersebut
belum membuahkan hasil. Hal ini terlihat pada data persalinan tahun 2012 yang
menjelaskan bahwa hanya ada dua persalinan yang ditolong oleh bidan dari
sepuluh persalinan yang terjadi di tahun 2012. Selain itu, dari tahun 2011 hingga
tahun 2012, hanya ada empat persalinan yang ditolong oleh bidan seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Dari empat persalinan tersebut, hanya ada tiga ibu
yang memanggil Bidan Mi berdasarkan kesadaran ibu itu sendiri. Sementara itu,
satu persalinan lagi ditolong oleh Bidan Mi karena pada saat persalinan terjadi
Bidan Mi secara tidak sengaja sedang berjalan lewat rumah ibu tersebut,
sehingga dipanggil untuk membantu persalinan.
Masyarakat sebagai sasaran tenaga kesehatan mempunyai alasan sendiri
mengapa mereka tidak mau memanggil bidan sebagai penolong persalinan dan
mengapa mereka tidak mau melakukan persalinan di fasilitas kesehatan yang
telah disediakan. Menurut penuturan beberapa orang dari masyarakat setempat,
keengganan mereka memanggil bidan untuk menolong persalinan karena letak
rumah bidan tersebut tidak berada di sekitar mereka. Dengan kata lain, bidan
tersebut berada di seberang pulau, sehingga ada rasa sungkan untuk memanggil
bidan tersebut, apalagi persalinan sering terjadi pada malam hari atau dini hari,
sedangkan transportasi antar Pulau Tomia dan Pulua Tolandono hanya sampai
pada pukul 19.00 malam hari. Meskipun bidan tersebut selalu berkata bahwa dia
169
siap untuk dihubungi kapanpun, namun ada rasa sungkan yang dimiliki
masyarakat untuk menghubungi bidan pada malam hari apalagi terkendala
dengan trasnportasi.
Selain enggan memanggil bidan sebagai penolong persalinan, masyarakat
setempat juga tidak mau melakukan persalinan di fasilitas kesehatan. Ada
beberapa alasan yang diungkapkan oleh masyarakat mengapa mereka tidak mau
melakukan persalinan di fasilitas kesehatan, antara lain 1) letak puskesmas yang
jauh dari pemukiman dan letak pustu yang dekat dengan kuburan, 2) tidak ada
air dan listrik yang tersedia di fasilitas kesehatan, 3) tenaga kesehatan yang tidak
ada, dan 4) berkaitan dengan sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat
setempat.
Puskesmas Onemobaa yang letaknya jauh dari pemukiman masyarakat
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya menjadi salah satu alasan mengapa
masyarakat tidak mau melakukan persalinan di puskesmas. Sementara itu, pustu
yang dibangun di ‘sudut’ pemukiman masyarakat dan dekat dengan kuburan juga
menjadi salah satu alasan lagi. Menurut kepercayaan masyarakat setempat,
orang yang sedang hamil dan bayi adalah rentan terhadap gangguan makhluk-
makhluk halus, jadi mereka harus dijaga sebaik mungkin dengan melakukan
pantangan-pantangan yang ditentukan oleh adat. Lokasi kuburan yang identik
dengan tempat tinggal makhluk halus, yang menurut mereka haus akan darah,
tentunya menjadi pantangan bagi masyarakat di sini. Mereka khawatir akan
terjadi hal-hal yang buruk akan terjadi pada ibu dan bayinya jika melahirkan di
pustu yang dekat dengan lokasi kuburan.
Selain faktor letak fasilitas kesehatan, keengganan masyarakat tersebut
juga dipengaruhi oleh kondisi sarana yang tersedia di fasilitas tersebut seperti air
dan listrik tidak tersedia di fasilitas kesehatan tersebut. Selain itu, tenaga
kesehatan pun kadangkala tidak ada di fasilitas kesehatan meskipun di siang hari.
Oleh sebab itu, mereka lebih memilih dukun beranak sebagai penolong
persalinan dan rumah sebagai tempat persalinan.
170
Dukun beranak dipilih sebagai penolong persalinan dan rumah sebagai
tempat persalinan dipengaruhi oleh faktor sosial budaya yang dimiliki oleh
masyarakat setempat. Apabila melakukan persalinan di rumah, tetangga yang
ada di sekitar juga dapat membantu persalinan seperti menyediakan air,
makanan, dan perlengkapan lainnya. Selain itu, ada kepercayaan dalam
masyarakat Bajo khususnya, bahwa ada syarat yang harus dipenuhi sebagai
tempat persalinan yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Oleh sebab itu,
mereka enggan melakukan persalinan di puskesmas atau pustu karena syarat
tersebut belum dipenuhi.
Selain pustu, di Desa Lamanggau terdapat polindes yang dibangun
berdasarkan program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Pedesaan (PNPM MPd). Polindes ini sudah dibangun terlebih dahulu sebelum
adanya pustu ataupun puskesmas. Polindes tersebut dibangun di sebelah masjid,
yang sebetulnya tempatnya lebih strategis daripada pustu karena letaknya tepat
di tengah desa. Pada awal pembangunannya, bangunan polindes ini ditujukan
sebagai tempat bersalin. Namun pada kenyataannya hingga saat ini belum
pernah sekalipun tempat itu digunakan sebagai tempat persalinan. Hal ini
tentunya terkait dengan masalah ketersediaan air, listrik, dan nilai budaya yang
dimilki oleh masyarakat setempat. Polindes tersebut sempat akan dijadikan
sebagai rumah dinas bagi bidan yang bertugas di Desa Lamanggau ini. Namun
ternyata tidak ada satu pun bidan yang pernah bertugas di desa ini berminat
untuk tinggal. Alasan yang paling umum diutarakan adalah akses air dan listrik
yang memang sulit di desa ini. Bangunan ini sempat dibiarkan kosong selama
beberapa tahun, hingga akhirnya kini digunakan sebagai rumah tinggal ustadz
yang memang ditugaskan oleh sebuah yayasan agama untuk mengabdi dan
mengajarkan ilmu agama bagi masyarakat Lamanggau ini.
Selain tersedia puskesmas, pustu, dan polindes, di Desa Lamanggau juga
terdapat posyandu. Ada dua posyandu yang dibentuk oleh puskesmas, yaitu
Posyandu Cemara I untuk masyarakat yang tinggal di Dusun Ketapang dan Dunia
Baru dan Posyandu Cemara II untuk masyarakat di Dusun Lasoilo. Dengan kata
171
lain, Posyandu Cemara I untuk ‘orang darat’ dan Posyandu Cemara II untuk orang
Bajo. Pada awalnya hanya ada satu posyandu yang terdapat di Desa Lamanggau,
yaitu Posyandu Cemara I. Namun ternyata satu posyandu tersebut kurang
efektif, karena masyarakat Bajo sedikit sekali yang terjaring dalam pemeriksaan.
Akhirnya pihak puskesmas merekrut kader-kader dari masyarakat Bajo dan
membentuk Posyandu Cemara II.
Kegiatan posyandu-posyandu ini diadakan satu bulan sekali, yaitu setiap
tanggal 20 untuk Posyandu Cemara I dan tanggal 21 untuk Posyandu Cemara II.
Pada tanggal yang telah ditentukan para kader akan bergotong royong
membersiapkan peralatan penimbangan dan petugas puskesmas akan datang
untuk melakukan pemeriksaan. Kegiatan Posyandu ini dilakukan di teras salah
satu rumah warga.
Para kader posyandu di desa ini sangat aktif, khususnya Posyandu Cemara
2. Mereka dengan sigap membantu petugas puskesmas untuk mengumpulkan
para ibu hamil dan balita. Bahkan jika jumlah kunjungan pada hari itu kurang dari
biasanya, dikarenakan ada yang tidak datang, maka para kader tersebut akan
mendatangi rumah yang bersangkutan dan menjemput untuk datang ke
posyandu. Tak heran jika para petugas puskesmas merasa sangat terbantu
dengan adanya para kader ini.
PERSALINAN DI DESA LAMANGGAU
Berdasarkan data sekunder yang terdapat di pustu, terdapat 8 orang dari
10 ibu bersalin yang ditolong oleh sando pada tahun 2012. Sando merupakan
istilah dukun beranak yang berasal dari orang Buton-Tomia, sedangkan dukun
beranak dari orang Bajo disebut dengan istilah pangullieh. Pada saat ini ada
seorang sando dan seorang pangullieh di Desa Lamanggau. Namun, sando-lah
yang paling banyak memegang peran dalam persalinan di Desa Lamanggau sejak
tahun 2010. Hal ini disebabkan karena kondisi pangullieh yang sudah tua dan
didukung dengan kondisi kesehatannya yang kurang baik. Pangullieh yang
berusia sekitar 60-an tahun mempunyai penyakit diabetes. Pada awal tahun
172
2010, penyakit diabetesnya semakin parah yang melemahkan kondisi fisiknya.
Sejak saat itu, Ibu Ma, putri pangullieh, melarang ibunya untuk menolong
persalinan. Sejak saat itu pula pangullieh tidak dipanggil lagi oleh masyarakat
setempat untuk menolong persalinan. Akhirnya, sando-lah yang dipanggil oleh
masyarakat setempat untuk menolong persalinan di Desa Lamanggau.
Pangullieh berperan sebagai penolong persalinan di Desa Lamanggau
selama kurang lebih 35 tahun. Pada tahun 2004 dia pernah ‘magang’ di
Puskesmas Waha. Pada saat itu, Puskesmas Waha mewajibkan semua dukun
beranak, baik pangullieh maupun sando, untuk datang ke Puskesmas Waha
sebulan sekali untuk mengikuti arisan dukun beranak. Arisan tersebut diadakan
sebagai wadah untuk bertukar pikiran antara para pangullieh, sando, dan
petugas kesehatan. Selain itu, arisan tersebut juga menjadi wadah bagi pihak
puskesmas untuk memberikan pengetahuan kepada para pangullieh dan sando
tentang cara pertolongan persalinan termasuk memberikan alat-alat pertolongan
persalinan seperti gunting dan sarung tangan. Menurut pangullieh, banyak
pengetahuan tentang kehamilan, pertolongan persalinan, dan ibu nifas yang ia
peroleh pada saat itu. Berdasarkan pengetahuan tersebutlah ia sedikit mengerti
tentang ‘ilmu’ dalam dunia medis tentang pertolongan persalinan. Sejak saat itu,
apabila ia menolong persalinan, ia selalu menyarankan ibu pasca-bersalin
tersebut untuk memeriksakan diri ke petugas kesehatan. Begitu pula apabila ia
menemukan ibu hamil, ibu nifas, dan balita, ia selalu menyarankan untuk
memeriksakan kehamilan, ibu nifas, dan bayi ke petugas kesehatan. Sama halnya
dengan pangullieh, Ibu Ma yang juga berperan sebagai kader kesehatan selalu
menyarankan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan bayi untuk memeriksakan diri
ke petugas kesehatan. Begitu pula pada saat Ibu Ma melahirkan putra bungsunya
pada bulan Februari 2012, ia memanggil Bidan Mi yang pada saat itu masih
bertugas sebagai bidan di Puskesmas Onemobaa untuk menolong persalinan.
Berbeda dengan pangullieh, sando berperan sebagai dukun beranak di
Desa Lamanggau selama kurang lebih 15 tahun. Sama halnya dengan pangullieh,
sando juga ikut dalam arisan dukun beranak yang diadakan oleh Puskesmas
173
Waha. Sejak pangullieh sudah tidak menolong persalinan lagi, sejak saat itu pula
sando yang seringkali dipanggil oleh masyarakat Desa Lamanggau untuk
menolong persalinan, termasuk orang Bajo meskipun sando adalah ‘orang darat’.
Peran sando sebagai penolong persalinan dalam dua etnis yang berbeda
tersebutlah menyebabkan adanya percampuran budaya yang berkaitan dengan
kehamilan dan persalinan antara orang Buton-Tomia dan orang Bajo.
Percampuran budaya antara dua kelompok yang berbeda tersebut disebut
dengan asimilasi oleh para antropolog.1 Percampuran budaya tersebut juga
menyebabkan kaburnya ‘pemilik asli’ budaya tersebut.
Salah satu nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Desa Lamanggau
adalah kepercayaan bahwa ibu hamil tidak boleh menolong persalinan, bahkan
ibu hamil dilarang berada di rumah ibu yang sedang bersalin. Apabila ada ibu
hamil di sekitar ibu bersalin, maka ibu hamil tersebut ‘diungsikan’ terlebih dahulu
dari tempat ibu bersalin. Hal ini karena adanya kepercayaan dalam masyarakat
setempat bahwa keberadaan ibu hamil di sekitar ibu bersalin dapat mempersulit
proses persalinan. Kepercayaan ini diyakini oleh masyarakat Desa Lamanggau
baik yang berasal dari etnis Buton-Tomia maupun etnis Bajo. Namun, ‘pemilik
asli’ kepercayaan tersebut belum dapat dideteksi, apakah berasal dari etnis
Buton-Tomia atau dari etnis Bajo. Terlepas dari itu, kepercayaan tersebut telah
mempengaruhi peran bidan di Desa Lamanggau dalam pertolongan persalinan.
Sejak masyarakat Desa Lamanggau mengetahui bahwa Bidan Mi sedang hamil,
maka mereka tidak memanggil Bidan Mi untuk menolong persalinan meskipun
pada saat itu Bidan Mi masih bertugas di Puskesmas Onemobaa.
Selain percampuran budaya antara dua etnis tersebut, masih ada juga
nilai budaya yang masih dipegang teguh oleh masing-masing etnis tersebut.
Dengan kata lain, ada nilai budaya yang dimiliki oleh orang Bajo tetapi tidak
dimiliki oleh orang darat, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh, dalam
1 Menurut Koetjaraningrat, asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai
golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Setelah mereka bergaul
dengan intensif, sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan masing-masing berubah menjadi unsur
kebudayaan campuran (Hermanto, 2010:120)
174
masyarakat Bajo ada kepercayaan tentang tempat melahirkan. Menurut
kepercayaan orang Bajo, rumah yang boleh digunakan sebagai tempat
melahirkan adalah rumah yang pernah digunakan sebagai tempat melahirkan.
Apabila ada seorang ibu hamil berada di dalam sebuah rumah yang belum
pernah digunakan untuk persalinan, maka pada saat persalinan ibu tersebut akan
dibawa ke rumah yang sudah pernah digunakan untuk persalinan. Namun,
apabila rumah yang belum pernah digunakan sebagai tempat persalinan akan
digunakan sebagai tempat persalinan, maka harus dilakukan ritual terlebih
dahulu. Ritual tersebut dilakukan oleh ‘orang tua’ yang dianggap mempunyai
‘ilmu’ dalam mendoakan sebuah rumah agar bisa dijadikan tempat bersalin.
Apabila rumah tersebut tidak didoakan terlebih dahulu oleh ‘orang tua’ tersebut,
maka rumah tersebut tidak boleh digunakan sebagai tempat bersalin. Oleh sebab
itu, kepercayaan tersebut menjadi salah satu faktor mengapa masyarakat Bajo
enggan melakukan persalinan di pustu. Menurut mereka pustu tersebut belum
pernah digunakan sebagai tempat persalinan dan belum ‘dipagari’ dengan doa-
doa oleh ‘orang tua’. Menurut Ibu Ma, salah seorang kader kesehatan dan juga
anak seorang pangullieh, masyarakat Bajo akan menggunakan pustu sebagai
tempat persalinan apabila telah ‘dipagari’ dengan doa-doa oleh ‘orang tua’.
Di Dusun Lasoilo yang mayoritas dihuni oleh orang Bajo, terdapat sebuah
rumah yang dipercaya oleh orang Bajo sebagai ‘rumah bersalin’. Rumah tersebut
adalah rumah Mbook Medaming. Rumah tersebut paling sering digunakan oleh
masyarakat Bajo sebagai tempat persalinan karena dipercaya oleh masyarakat
setempat dapat memudahkan persalinan seorang ibu. Menurut mereka, setiap
ibu yang melahirkan di rumah tersebut selalu menjalani persalinan dengan
mudah. Kepercayaan tersebut menjadikan rumah Mbook Medaming sebagai
‘rumah bersalin’ masyarakat Bajo.
Rumah Mbook Medaming terletak di Dusun Lasoilo yang mayoritas dihuni
oleh orang Bajo. Rumah tersebut berbentuk rumah panggung yang terbuat dari
kayu, berdinding anyaman bambu yang disebut gedeg oleh orang Jawa, dan
berlantaikan bambu. Untuk memasuki rumah tersebut harus melewati tangga
175
yang memiliki kurang lebih sebanyak lima anak tangga. Ruang pertama yang
ditemukan adalah ‘ruang tamu’ yang berukuran kurang lebih 4 x 4 meter. Di
sudut ruangan tersebut terdapat sebuah ruangan yang berukuran kurang lebih 2
x 2 meter. Ruangan tersebut adalah kamar Mbook Medaming yang digunakan
sebagai ruang bersalin. Ruangan tersebut berlantaikan bambu yang memiliki
celah, sehingga darah yang dikeluarkan pada saat melahirkan bisa langsung jatuh
ke bawah rumah dan dibawa oleh air laut. Ruangan yang berlantai bambu
tersebut disebut dengan jongkeng oleh masyarakat Bajo. Setiap ada ibu yang
akan melahirkan di rumah tersebut, Mbook Medaming dan keluarga tidak
pernah marah, mencegah, atau merasa terganggu.
1
4 3
2
Gambar 5.51, 5.52 , 5.53 dan 5.54
1) Rumah Mbook Medaming yang menjadi ‘rumah bersalin’ masyarakat Bajo, 2) kamar yang dijadikan
tempat bersalin (tampak dari dalam), 3) kamar yang dijadikan tempat bersalin (tampak dari luar), dan
4) lantai rumah yang terbuat dari bambu yang bercelah-celah.
Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012
176
Berbeda dengan masyarakat Bajo, masyarakat Buton-Tomia tidak
mempunyai kepercayaan tempat melahirkan. Bagi mereka di mana saja ibu
bersalin boleh melahirkan tanpa ada syarat tempat tersebut harus didoakan
terlebih dahulu seperti orang Bajo. Namun, sama halnya dengan masyarakat Bajo
yang melahirkan di tempat yang terbuat dari bambu yang mempunyai celah,
masyarakat Buton-Tomia juga melahirkan di atas bambu yang bercelah tersebut.
Tempat tersebut biasanya disebut dengan parapara oleh masyarakat Buton-
Tomia. Masyarakat setempat menggunakan parapara agar darah yang
dikeluarkan pada saat melahirkan bisa langsung dibersihkan dengan air, dan air
tersebut bisa langsung jatuh ke bawah tanah atau bawah laut.
Berdasarkan penjelasan pada diskripsi sebelumnya dapat dilihat bahwa
banyak faktor yang mempengaruhi implementasi Jampersal di masyarakat.
Jampersal yang menawarkan pelayanan persalinan gratis diharapkan mampu
menarik minat masyarakat untuk melakukan persalinan di fasilitas kesehatan
Gambar 5.55
Ibu nifas
Seorang ibu nifas sedang duduk di atas parapara. Parapara adalah tempat melahirkan yang
digunakan oleh masyarakat Buton-Tomia. Parapara tersebut digunakan karena mempunyai
celah-celah sehingga darah yang dikeluarkan pada saat melahirkan mudah dibersihkan.
Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012
177
oleh tenaga kesehatan. Namun, pada implementasinya, program tersebut
mempunyai banyak hambatan. Hambatan tersebut dapat berasal dari kondisi
fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan budaya masyarakat setempat. Tiga
elemen tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Apabila tiga
elemen tersebut tidak ‘mendukung’ dalam pelakasanaan program Jampersal,
maka program Jampersal hanya menjadi bayang-bayang yang tidak bisa
direalisasikan dalam nyata.
Pemerintah memang telah membangun fasilitas kesehatan berupa
puskesmas dan pustu di Desa Lamanggau. Pemerintah juga menyediakan tenaga
kesehatan untuk ditugaskan di desa ini. Namun, ketersediaan tenaga kesehatan
dan fasilitas kesehatan hanya menjadi tinta hitam catatan laporan sumber daya
tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten
Wakatobi. Tinta hitam tersebut menjadi buram dalam mata masyarakat Desa
Lamanggau, karena mereka tidak mampu ‘menikmati’ pelayanan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan yang berada ‘jauh’ dari sisi mereka. Selain itu, fasilitas
kesehatan yang terletak jauh di mata dan jauh di kaki juga tidak bisa mereka
nikmati. Oleh sebab itulah, mereka bertahan untuk sehat termasuk bersalin
dengan cara mereka. Cara tersebutlah yang melekat dalam diri mereka dan
dianut dari nenek moyang sampai sekarang.
Secara kasat mata, ketersediaan fasilitas kesehatan di Desa Lamanggau
bisa dikatakan sudah cukup. Ada satu puskesmas induk dan satu puskesmas
pembantu yang disediakan untuk masyarakat Desa Lamanggau. Dengan jumlah
penduduk yang tidak terlalu banyak, secara teori seharusnya fasilitas tersebut
sudah mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat dalam hal kesehatan.
Namun jika kita lihat langsung di lapangan, kenyataan yang ada tidaklah seindah
teori dan catatan laporan. Bagaimana tidak, puskesmas induk yang sudah
dibangun dengan bentuk bangunan yang bagus serta fasilitas yang lengkap ini
tidak pernah sekalipun dinikmati oleh masyarakat. Bagaimana masyarakat mau
dan mampu untuk menikmati jika puskesmas ini dibangun di tempat yang jauh
dan sulit dijangkau aksesnya. Masyarakat hanya dapat berobat di pustu dengan
178
fasilitas seadanya. Entah apa yang menjadi landasan awal dari penempatan
lokasi puskesmas ini. Bagaimana bisa, sebuah fasilitas umum yang ditujukan
untuk masyarakat tapi aksesnya sulit dan sangat terbatas bagi masyarakat itu
sendiri. Tidak mungkin rasanya jika ada ibu yang akan melahirkan tapi harus naik
pompong (perahu) atau ojek dan kemudian berjalan lagi 15 – 20 menit dengan
kondisi jalan yang berliku. Belum lagi untuk masuk ke area puskesmas harus
menunggu izin dari pihak keamanan resort terlebih dahulu.
Keterbatasan tenaga kesehatan juga turut mempengaruhi kualitas
pelayanan yang ada. Dengan kenyataan bahwa jumlah tenaga yang terbatas
serta sebagian besar tidak tinggal di desa tentunya akan membatasi akses
masyarakat untuk bersentuhan dengan tenaga kesehatan. Jika keadaan darurat
terjadi, misalnya ada kasus persalinan di tengah malam, apakah mungkin tenaga
kesehatan ini akan cepat tanggap menolong sementara mereka tinggal di lain
pulau dengan transportasi terbatas? Jika tenaga kesehatan ,misalnya bidan desa,
ini tinggal di desa kemudian berbaur dengan masyarakat tentunya akan lebih
efektif. Selain akses yang lebih mudah bagi masyarakat untuk bersentuhan
dengan tenaga kesehatan, kedekatan secara emosional dan psikologis pun akan
terbentuk. Masyarakat merasa bidan ini adalah bagian dari keluarga mereka.
Tenaga kesehatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat
sejatinya juga mengerti dan paham akan budaya serta kearifan lokal yang ada.
Dalam kasus ini misalnya, budaya setempat mengatakan bahwa wanita hamil
tidak boleh ada di dekat ibu yang akan melahirkan, sementara bidan yang
bertugas di sini sedang hamil. Atau lokasi fasilitas kesehatan, dalam hal ini pustu,
yang terletak dengan kuburan yang dianggap sebagai salah satu tempat yang
dilarang didekati wanita hamil dan bayi dalam budaya setempat. Budaya serta
kearifan lokal yang sudah mendarah daging secara turun temurun akan
senantiasa dipegang teguh oleh masyarakat sebagai pedoman hidup mereka.
Jadi untuk merangkul masyarakat ini tentunya harus bisa memahami dan
mengikuti alur pikir mereka.
179
Jika selama ini puskesmas dibangun berdasarkan ‘keangkuhan’ para
policy maker dengan pikiran bahwa masyarakat membutuhkan tenaga kesehatan
dan fasilitas kesehatan, sehingga adanya anggapan bahwa meskipun tenaga
kesehatan tidak menetap di desa tersebut dan fasilitas kesehatan berada jauh
dari pemukiman, pasti akan digunakan oleh masyarakat, apalagi diiming-imingi
dengan kata gratis. Namun nyatanya pikiran tersebut tidak mampu ‘mengajak’
masyarakat untuk melakukan persalinan di fasilitas kesehatan oleh tenaga
kesehatan. Mungkin masih banyak yang beranggapan bahwa masyarakatlah yang
butuh dokter, butuh bidan, dan selalu ingin gratis. Ternyata kata ‘gratis’ tidak
mampu mengalahkan kearifan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat
setempat.
Berdasarkan juknis Jampersal tahun 2012, persalinan yang bisa diklaim
adalah persalinan dengan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Begitu pula
dengan kebijakan yang ada di Kabupaten Wakatobi. Namun, pada kenyataannya
meskipun persalinan telah dijamin oleh pemerintah, tetapi belum mampu
menarik masyarakat untuk bersalin ke tenaga kesehatan dan di fasilitas
kesehatan karena disebabkan kondisi fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan
kondisi sosial budaya masyarakat.
5.8.3. ANTARA BUDAYA, TABU DAN UPAYA PENYELAMATAN IBU DI KOTA
BLITAR
Program jampersal, diharapkan berharap bisa menekan angka kematian
ibu dan bayi sebagaimana target MDG’s tahun 2015. Melalui intervensi
Jampersal, diharapkan tidak terjadi lagi kasus kematian ibu dan bayi. Namun
demikian kondisi di lapangan bisa tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Di
wilayah kerja Puskesmas Kepanjen Kidul, Kota Blitar, JawaTimur mulai januari
sampai dengan bulan Nopember 2012, terjadi empat kasus kematian ibu. Tiga
kasus terjadi di RS dan satu kasus terjadi di Puskesmas. Bagi teman-teman di
Puskesmas, ini dianggap sebagai bencana dan merupakan rekor kasus karena
dalam dua tahun sebelumnya tidak ada kematian ibu. Kejadian tersebut
180
merupakan temuan menarik untuk dikaji lebih mendalam karena keberadaan
fasilitas kesehatan di kota Blitar cukup memadai, RSUD, RS Swasta, 3 Puskesmas,
Klinik Bersalin dan didukung oleh praktek dokter obgyn serta bidan praktek
swasta. Jarak tempuh yang dibutuhkan dari pelosok kota menuju ke fasilitas
kesehatan tidak lebih dari 15 menit dengan kendaraan bermotor. Walau semua
sumberdaya sudah dikerahkan untuk meniadakan kasus kematian maternal
perinatal, tetapi kejadian itu masih saja di temui.
Gambaran Kasus Kematian Maternal
Memperhatikan kondisi daerah yang merupakan daerah perkotaan
dengan fasilitas kesehatan yang sangat memadai dan mudah di akses, adanya
kasus kematian maternal yang terjadi di wilayah kerja puskesmas Kepanjen Kidul
merupakan kondisi yang sangat tidak diharapkan oleh Dinas Kesehatan sebagai
penanggung jawab bidang kesehatan. Menindaklanjuti kasus kematian tersebut,
pihak Dinas Kesehatan dan Puskesmas sudah melakukan review maternal
perinatal. Gambaran hasil review adalah sebagai berikut :
KASUS 1 adalah Ny. F, berumur 24 tahun, pendidikan SLTA , bekerja swasta
Deskripsi Kasus
Kehamilan Px kali ini merupakan kehamilan 1. Anak pertama telah berusia
5 tahun dan tinggal bersama orang tua Px d Rembang Blitar. Px kerja di sebuah
dealer sepeda motor sebagai sales counter. Di tempat kerjanya, Px terkenal
sebagai karyawati yang cekatan dan mudah bergaul sehingga Px sangat
membantu tempat dia bekerja dalam mencari customer. Px bekerja dari jam 8
pagi hingga jam 4 sore dan beberapa kali harus lembur. Sejak sebelum hamil
hingga 1 hari sebelum Px meninggal, ritme kerja Px tidak berubah. Bahkan sore
hingga malam sebelum Px meninggal Px sering menerima telpon dari atasan
karena Px sedang dalam proses persetujuan penawaran harga penjualan dengan
pembeli. Meskipun Px merupakan orang yang mudah bergaul, akan tetapi Px
181
adalah pribadi yang tertutup. Px jarang sekali menceritakan masalahnya dengan
orang lain, termasuk dalam hubungannya dengan suaminya.
Kondisi kehamilan Px ini dianggap suami dan keluarganya berbeda
dengan kehamilan terdahulu karena hingga memasuki bulan ke-5 Px masih
mengeluh mual dan pusing, padahal waktu hamil pertama, Px hanya mual-mual
sampai bulan ke-3 saja. Tidak jarang Px muntah-muntah ketika mengeluh mual
dan pusing. Hanya saja ketika Px mengeluh pusing dan muntah-muntah, dan
suami menyuruh Px ke dokter, Px tidak mau.
Sepulang dari kerja, setelah maghrib, Px minta diantar suami untuk ke
rumah orang tuanya dengan alasan Px kangen dengan anak pertamanya. Px
diantar suaminya pergi ke rumah orang tuanya di Rembang, Blitar dengan
mengendarai motor. Jam 11 malam Px minta pulang ke rumah mertua kembali,
padahal saat itu suami Px sudah tidur dan tidak kuat untuk mengendarai motor.
Karena ngotot minta pulang saat itu juga, akhirnya Px yang mengendarai motor,
sedangkan suaminya yang membonceng. Sampai di rumah suami Px langsung
tidur. Pagi harinya, tidak biasanya Px bangun siang. Suami Px pikir Px kecapaian
karena semalam sampai di rumah sudah larut. Suami Px baru membangunkan Px
ketika jam sudah menunjukkan pukul 05.30. Ketika suami membangunkan, Px
mengeluh sakit kepala. Px sempat mencuci piring dan memasak nasi. Kemudian
Px merasa kepalanya sangat sakit dan ingin minum obat karena sudah tidak
tahan. Suami mengingatkan agar tidak minum obat sembarangan dan minum
obat dari bidan saja. Akan tetapi Px tetap bersikukuh mencari “Poldan Mix” yang
biasa dipakai oleh keluarga jika sakit kepala karena Px menganggap obat dari
bidan tidak manjur.
Meskipun suami Px sudah menyembunyikan obat tersebut, tetapi Px
tetap mencari hingga tempat obat berantakan. Akhirnya Px menemukan obat
yang disembunyikan suaminya. Obat langsung ditelan tanpa menggunakan air.
Karena ukuran obat yang besar, akhirnya Px memuntahkannya. Setelah itu Px
menyapu halaman. Suami Px tidak mengetahui, apakah obat tersebut kembali
182
diminum oleh Px atau dibuang. Tidak lama pada saat Px menyapu halaman, Px
muntah-muntah. Suami menyuruh Px untuk masuk rumah dan istirahat saja.
Suami mengira Px masuk angin, karena semalam Px pulang larut. Px
masuk kamar kembali dan suami yang melanjutkan menyapu halaman dan ruang
tamu. Waktu suami masuk kamar, suami menemukan Px sudah dalam keadaan
“ngorok”. Px tetap tidak bereaksi akhirnya suami Px menyadari bahwa Px butuh
pertolongan dan harus segera dibawa ke puskesmas. Sauami Px bingung
bagaimana cara membawa Px ke puskesmas yang jaraknya sebenarnya tidak
jauh. Kendaraan yang dimiliki hanya sepeda motor, padahal Px dalam kondisi
yang tidak sadar. Dengan mengendarai sepeda motor, suami mencari kendaraan
yang bisa dipakai untuk membawa Px ke Puskesmas. Akhirnya suami bertemu
dengan becak yang diharapkan dapat mengantar ke puskesmas. Akan tetapi
tukang becak tersebut mengatakan bahwa dirinya harus mengantar cucunya
dahulu baru bisa mengantar ke puskesmas. Walaupun letak puskesmas dekat
dengan tempat tinggal Px dan tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di
puskesmas, akan tetapi keluarga Px membutuhkan waktu untuk mencari dan
menanti transportasi untuk membawa Px ke Puskesmas.
Sesampai di puskesmas, langsung dibawa ke UGD, karena kondisi Px
sudah tidak sadar, Px dirujuk ke RS. Di RS Px masuk ke ICU dan dipasang alat
bantu nafas dan jantung.
• Tanggal 1-3-2012 pukul 08.00 ibu datang ke UGD Puskesmas dengan kondisi
tidak sadar, pucat dan nafas ngorok.
• Ibu langsung dirujuk ke RS dan meninggal di RS tanggal 6-3-2012
• Riwayat minum obat di rumah sebelum dibawa ke puskesmas. “Panadol”
satu tablet karena mengeluh pusing sejak kemarin sore.
Dilihat dari kondisi lingkungannya, rumah keluarga Px terletak di tepi
jalan raya yang dilewati oleh banyak kendaraan yang berlalu lalang, akan tetapi
rumah Px tidak menghadap ke jalan raya, melainkan menghadap ke tembok
rumah tetangga. Antara rumah Px dan rumah tetangga terdapat halaman yang
sangat luas. Selain posisi rumah Px yang menghadap ke tembok tetangga,
183
halaman yang luas dapat pula menjadi penghalang keluarga Px untuk
berkomunikasi dengan tetangga.
Rumah kader wilayah Px juga lumayan jauh dari tempat tinggal Px.
Bahkan kader baru mengetahui berita kematian Px setelah hari ke-3 Px
meninggal. Menurut kader, memang suami Px sering main bola dengan teman-
temannya yang tinggal di sekitar rumah kader, akan tetapi jarak rumah yang
lumayan jauh menghalangi proses komunikasi kader dan Px. Menurut kader,
selama Px hamil, Px tidak pernah datang pada kegiatan posyandu.
Kader bercerita jika penduduk di wilayahnya rata-rata adalah pedagang
dan buruh tani, sehingga mereka akan berangkat kerja pagi-pagi dan pulang di
malam hari. Ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah kader aktif datang pada saat
jadwal posyandu berlangsung. Kader mengaku bahwa dia dan tim aktif
memberikan penyuluhan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan ibu yang
mempunyai anak balita tentang kesehatan. Untuk resiko-resiko masa kehamilan,
kader memang tidak memberi penyuluhan secara personal, akan tetapi biasanya
ibu-ibu yang datang ke psyandu meminjam buku-buku tentang kehamilan yang
dibaca saat jadwal posyandu.
Sebenarnya kader aktif datang berkunjung ke rumah ibu hamil untuk
mengontrol kondisi ibu hamil, akan tetapi karena rumah Px yang jauh, Px bekerja
dari pagi hingga sore dan karena Px juga tidak pernah hadir jika ada acara di
kampung menyebabkan kader jarang berkomunikasi dengan Px. Kader juga tidak
mengetahui kondisi kehamilan Px karena kader hampir tidak pernah bertemu Px
selama Px hamil.
Pada kasus ini tampak bahwa kurangnya pengetahuan ibu tentang
bahaya penggunaan obat secara bebas. Suami tidak pernah ikut masuk ke ruang
dokter ketika Px kontrol sehingga suami tidak tau dengan benar kondisi Px. Px
hanya mengatakan jika kehamilannya baik-baik saja. Komunikasi keluarga Px
dengan tetangga kurang lancar, sehingga ketika terjadi sesuatu tidak ada
tetangga yang mengetahuinya. Posisi rumah Px yang jauh dari rumah kader
184
menyebabkan terputusnya komunikasi antara Px dengan kader, sehingga ketika
Px tertimpa musibah, kader tidak mengetahuinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan yang ada pada kasus satu
jika diringkas adalah:
• Kurangnya pengetahuan ibu tentang bahaya penggunaan obat secara bebas
• Suami tidak pernah ikut masuk ke ruang dokter ketika Px kontrol sehingga
suami tidak tahu dengan benar kondisi Px. Px hanya mengatakan jika
kehamilannya baik-baik saja.
• Komunikasi keluarga Px dengan tetangga kurang lancar, sehingga ketika
terjadi sesuatu tidak ada tetangga yang mengetahuinya
• Posisi rumah Px yang jauh dari rumah kader menyebabkan terputusnya
komunikasi antara Px dengan kader, sehingga ketika Px tertimpa musibah,
kader tidak mengetahuinya.
KASUS 2 : Ny. N, umur 33 tahun, pendidikan SLTA dan sebagai ibu rumah
tangga
Deskripsi Kasus
Kehamilan Px kali ini merupakan kehamilan ketiga. Anak pertama laki-laki,
telah berusia tujuh tahun dan tinggal bersama orang tua Px. Anak kedua
perempuan, berumur empat tahun, tinggal bersama Px. Px adalah seorang ibu
rumah tangga sedangkan suami Px adalah pedagang yang berjualan sayur di
pasar Wlingi. Sehari-harinya Px hanya di rumah beserta satu orang anaknya.
Setiap pagi, pagi-pagi sekali suami Px sudah berangkat untuk berjualan (di pasar
dari jam delapan pagi sampai jam tiga sore). Px memang mempunyai riwayat
hipertensi sejak sebelum hamil. Ibu px meninggal karena darah tinggi (stroke),
ayah Px pernah stroke tetapi meninggalnya bukan karena darah tinggi.
Px mempunyai kebiasaan untuk minum jus setiap hari. Px juga selalu tidur
siang. Ada lima anggota keluarga di rumah (selain dengan keluarga inti, Px juga
tinggal bersama dengan keponakannya). Sebelum hamil Px pernah merasa kaku-
185
kaku di tangannya, tapi tidak lama kemudian sembuh. Px pernah tensinya tinggi
sekali ketika anaknya sakit.
Awal hamil hingga kehamilan 2 bulan, Px sehat dan tidak mengalami
keluhan apapun. Pada kehamilan usia 3 bulan Px mengeluh ambeien. Tanpa
konsultasi dokter terlebih dahulu, Px membeli obat “Trace Minerals”, kemudian
meminumnya dengan cara mencampur obat tersebut 1 tetes dengan air satu
gelas, kemudian meminumnya. Ketika usia kehamilan menginjak 8 bulan,
beberapa hari setelah kontrol, Px merasa punggungnya sakit. Padahal
sebelumnya Px tidak pernah merasa sakit di punggungnya. Setiap kali Px kontrol
ke dokter, suami selalu mengantar, akan tetapi suami tidak pernah ikut masuk ke
ruang praktek dokter. Ketika terakhir kali Px kontrol, Px hanya mengatakan jika
kondisi Px dan janin baik, jenis kelamin bayi perempuan.
Menurut tetangga, sejak awal kehamilan, kondisi Px sudah stres.
Tetangga menceritakan bahwa kemungkinan Px malu hamil lagi karena Px hamil
anak yang ketiga, padahal rata-rata penduduk di lingkungan sekitar tempat
tinggal Px hanya mempunyai dua orang anak. Selama hamil Px sering bercerita
pada tetangga kalau Px keluar rumah, Px selalu melihat langit hitam dan
bergulung-gulung seperti mau ada badai atau bencana. Perasaan itu juga yang
membuat Px stress selama hamil. Px jarang keluar rumah saat hamil. Keluar
rumah seperlunya saja.
Menurut tetangga, minggu-minggu terakhir sebelum Px meninggal, Px
tampak bengkak pada muka dan kaki. Tetangga tidak menanyakan kondisi Px,
karena Px tidak cerita.Px bercerita kepada tetangga jika dokter menyarankan Px
untuk operasi saja jika melahirkan nanti, karena anak 1 dan 2 juga operasi, selain
itu juga mengingat Px mempunyai riwayat tekanan darah tinggi.
Pada hari Rabu sore Px mengeluh sakit di ulu hati sampai punggung. Hari
kamis Px mengeluh kepalanya pusing dan sakit sekali. Suami menyuruh Px untuk
ke dokter, akan tetapi Px tidak mau. Px mengatakan bahwa sakitnya adalah
bawaan bayi. Sakit di punggungnya sembuh, akan tetapi Px masih merasa sangat
sakit di kepalanya. Kemudian Px minta diambilkan suaminya obat sakit kepala
186
“puyer 16” di tempat obat. Suami Px awalnya melarang Px untuk minum obat
“puyer 16” dan memaksa Px untuk ke dokter saja, akan tetapi Px tetap tidak mau
ke dokter dan mengatakan bahwa ke dokternya sekalian saja dua minggu lagi.
Akhirnya karena Px bersikeras untuk tidak mau ke dokter dan suami tidak tega
melihat Px sakit kepala, akhirnya suami mengambilkan obat dan meminumkan
obat sakit kepala “puyer 16”.
Hari sabtu malam, Px mengatakan pada suami bahwa dirinya tidak bisa
tidur. Lalu Px menyetrika baju semalaman. Jam 4.30, setelah sholat Subuh, Px
baru bisa tidur. Pukul 5.30, Px sudah terbangun. Px bercerita bahwa dirinya
bermimpi dibacakan surat Al Ikhlas oleh anak kecil. Px mengantar suami
berangkat kerja sampai depan pintu pagar. Menurut tetangga, setelah suami
berangkat Px ke pasar seperti biasa dengan mengendarai sepeda motor. Px
bercerita pada tetangga kalau sepulang dari pasar Px sempat mampir ke apotek
untuk “tensi”, karena Px merasa kepalanya masih pusing. Px cerita jika tensinya
170. Ketika akan membuat jus, Px kejang. Keponakan yang tinggal dengan Px
menemukan Px yang kejang kemudian meminta tolong tetangga. Px dibawa ke
RS “A” oleh tetangga, keponakan Px menjaga anak Px di rumah dan menelpon
suami Px. Sampai di RS Px langsung masuk ke UGD. Di UGD Px diinfus. Px hanya
diinfus oleh perawat karena menurut perawat, dokter di RS tidak ada, akan
tetapi dokter sudah dihubungi (saat itu hari minggu dan tidak ada seorang pun
dokter jaga di RS “A” tersebut). Setelah Px dianggap stabil, Px dipindah ke ruang
perawatan. Di ruang perawatan Px sudah bisa diajak bicara dan merespon
tetangganya dengan benar. Kemudian perawat masuk dan memasang kateter.
Ketika perawat memasang kateter Px mengaduh kesakitan kemudian Px kembali
kejang-kejang dan tidak sadar sampai Px meninggal.
• 1 minggu sebelum meninggal ibu mengeluh pusing, kemudian ibu minum
puyer
• 18-4-2012 ibu mengeluh nyeri dada sampai tembus punggung, tapi ibu
menolak untuk periksa
• 20-4-2012 suami mengatakan kaki ibu mulai bengkak
187
• 22-4-2012 jam 07.30 Px ke apotek untuk periksa tekanan darah, hasilnya
170/...? mmHg. Sampai di rumah ibu mengalami kejang. Yang menemukan
pertama kali keponakannya, kemudian meminta bantuan tetangga untuk
membawa ibu ke RSU Aminah.
• Pukul 10.30 ibu meninggal dunia
Px hanya dekat dengan tetangga sebelah kiri rumah Px. Dengan tetangga
tersebut hubungan keluarga Px dan keluarga tetangganya sangat dekat. Bahkan
setelah Px meninggal, anak bungsu Px diasuh oleh tetangga Px. Tetangga Px
tersebut 2 bulan terakhir menjadi kader di wilayah tempat tinggalnya. Tetangga
tersebut juga yang mengantarkan Px ke RS “A” sebelum Px meninggal. RS “A”
dipilih karena lokasi RS “A” dekat dengan tempat tinggal Px. Tetangga (suami-
istri) mengantarkan Px ke RS dengan menggunakan mobil. Suami Px sampai di
rumah ketika jenazah Px sudah sampai rumah, karena suami Px berjualan di
pasar yang letaknya jauh dari rumah.
Setelah ada kasus kematian, diadakan pertemuan seluruh petugas
posyandu oleh dinas kesehatan dan puskesmas. Data tentang ibu hamil juga
diminta dari petugas koordinasi posyandu. Sebenarnya kader dan petugas
posyandu sudah sering sekali mendata ibu-ibu yang hamil, akan tetapi ada suatu
kebiasaan bagi ibu hamil untuk menyembunyikan awal-awal kehamilannya
hingga perutnya terlihat besar. Padahal rata-rata perut yang sudah terlihat besar
itu ketika memasuki kehamilan bulan ke-7, sehinga sudah terlambat untuk
pemeriksaan awal.
Berdasarkanpenjelasan di atas, permasalahan yang ada pada kasus kedua
jika diringkas adalah :
• Terlambat mendeteksi tanda bahaya kehamilan karena ibu tidak tahu
bahaya minum obat sembarangan
• Terlambat merujuk
• Terlambat mendapat pertolongan
188
KASUS 3 : Nama Ny. B, umur 31 tahun, pendidikan SLTA dan bekerja sebagai
pedagang.
Deskripsi Kasus
Px mengalami hal yang sama dengan ibu dan neneknya. Neneknya
meninggal dengan diagnosa eklamsi ketika melahirkan ibunya. Ibunya juga
meninggal dengan diagnosa yang sama ketika melahirkan Px. Hal tersebut oleh
keluarga Px lebih dianggap sebagai sebuah kutukan yang dialami oleh keluarga.
Keluarga merasa kematian Px merupakan pemutus kutukan yang harus dialami
oleh keluarga karena Px dan bayinya meninggal, sehingga tidak ada lagi yang
harus menanggung kutukan
Keluarga Px tidak paham resiko yang dialami ibu hamil. Keluarga Px juga
tidak paham jika Px mempunyai sejarah keluarga dengan hipertensi, sehingga
meningkatkan resiko Px mengalami hipertensi. Keluarga sangat senang ketika Px
hamil, akan tetapi ada kekhawatiran dikalangan keluarga karena keluarga takut
Px mengalami hal yang sama dengan ibu dan neneknya (takut kutukan itu harus
dialami Px).
Suami Px mengatakan bahwa ketika hamil kondisi Px baik-baik saja.
Hanya saja ketika hamil Px beberapa kali sakit batuk, tapi dibiarkan saja (tidak
minum obat) sudah sembuh sendiri. Ketika hamil Px sempat mengeluh sakit gigi
yang tak tertahankan dan akhirnya Px melakukan cabut gigi di puskesmas. Px
selalu periksa kehamilan di BPS, akan tetapi karena suami tidak ikut masuk ke
ruang praktek, maka suami tidak mengetahui secara jelas kondisi kehamilan Px.
Px selalu bilang baik-baik saja sepulang dari kontrol di BPS.
• Ibu periksa hamil ke BPS dan puskesmas
• Tanggal 4-4-2012 jam 00.00 ibu mengeluh sesak nafas dan periksa ke BPS
• Bidan menyarankan ibu langsung ke puskesmas
• Dari puskesmas ibu langsung dirujuk menggunakan ambulance ke RS
• Ibu meninggal setelah sampai di RS
189
• Ibu mengattakan pernah cabut gigi ketika hamil
Rumah keluarga Px terletak di tepi jalan raya yang dilewati oleh banyak
kendaraan yang berlalu lalang, akan tetapi rumah Px tidak menghadap ke jalan
raya, melainkan menghadap ke tembok rumah tetangga. Antara rumah Px dan
rumah tetangga terdapat halaman yang sangat luas. Selain posisi rumah Px yang
menghadap ke tembok tetangga, halaman yang luas dapat pula menjadi
penghalang keluarga Px untuk berkomunikasi dengan tetangga.
Rumah kader wilayah Px juga lumayan jauh dari tempattinggal Px. Bahkan
kader baru mengetahui berita kematian Px setelah hari ke-3 Px meninggal.
Menurut kader, memang suami Px sering main bola dengan teman-
temannya yang tinggal di sekitar rumah kader, akan tetapi jarak rumah yang
lumayan jauh menghalangi proses komunikasi kader dan Px. Menurut kader,
selama Px hamil, Px tidak pernah datang pada kegiatan posyandu.
“Mungkin Px kontrolnya langsung ke Puskesmas mbak, soalnya lebih
dekat ke puskesmas daripada ke sini (posyandu)”
Kader bercerita jika penduduk di wilayahnya rata-rata adalah pedagang
dan buruh tani, sehingga mereka akan berangkat kerja pagi-pagi dan pulang di
malam hari.
Ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah kader aktif datang pada saat jadwal
posyandu berlangsung. Kader mengaku bahwa dia dan tim aktif memberikan
penyuluhan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan ibu yang mempunyai anak balita
tentang kesehatan. Untuk resiko-resiko masa kehamilan, kader memang tidak
memberi penyuluhan secara personal, akan tetapi biasanya ibu-ibu yang datang
ke psyandu meminjam buku-buku tentang kehamilan yang dibaca saat jadwal
posyandu.
Sebenarnya kader aktif datang berkunjung ke rumah ibu hamil untuk
mengontrol kondisi ibu hamil, akan tetapi karena rumah Px yang jauh, Px bekerja
dari pagi hingga sore dan karena Px juga tidak pernah hadir jika ada acara di
kampung menyebabkan kader jarang berkomunikasi dengan Px. Kader juga tidak
190
mengetahui kondisi kehamilan Px karena kader hampir tidak pernah bertemu Px
selama Px hamil.
Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan yang ada pada kasus 3
adalah:
• Terlambat mendeteksi tanda bahaya kehamilan karena keluarga mengira ibu
kesurupan
• Terlambat merujuk karena kondisi cuaca hujan, rumah berada di bantaran
sungai dan tidak ada kendaraan
• Terlambat mendapatkan pertolongan
KASUS 4 : Nama Ny B, umur 31 tahun pendidikan SLTA dan bekerja sebagai
pedagang.
Diskripsi Kasus
Px mengalami hal yang sama dengan ibu dan neneknya. Neneknya
meninggal dengan diagnosa eklamsi ketika melahirkan ibunya. Ibunya juga
meninggal dengan diagnosa yang sama ketika melahirkan Px. Hal tersebut oleh
keluarga Px lebih dianggap sebagai sebuah kutukan yang dialami oleh keluarga.
Keluarga merasa kematian Px merupakan pemutus kutukan yang harus dialami
oleh keluarga karena Px dan bayinya meninggal, sehingga tidak ada lagi yang
harus menanggung kutukan
Keluarga Px tidak paham resiko yang dialami ibu hamil. Keluarga Px juga
tidak paham jika Px mempunyai sejarah keluarga dengan hipertensi, sehingga
meningkatkan resiko Px mengalami hipertensi. Keluarga sangat senang ketika Px
hamil, akan tetapi ada kekhawatiran dikalangan keluarga karena keluarga takut
Px mengalami hal yang sama dengan ibu dan neneknya (takut kutukan itu harus
dialami Px
Suami Px mengatakan bahwa ketika hamil kondisi Px baik-baik saja.
Hanya saja ketika hamil Px beberapa kali sakit batuk, tapi dibiarkan saja (tidak
minum obat) sudah sembuh sendiri. Ketika hamil Px sempat mengeluh sakit gigi
191
yang tak tertahankan dan akhirnya Px melakukan cabut gigi di puskesmas. Px
selalu periksa kehamilan di BPS, akan tetapi karena suami tidak ikut masuk ke
ruang praktek, maka suami tidak mengetahui secara jelas kondisi kehamilan Px.
Px selalu bilang baik-baik saja sepulang dari kontrol di BPS.
Kronologi kejadian yang dialami Px :
• Ibu periksa hamil ke BPS dan puskesmas
• Tanggal 4-4-2012 jam 00.00 ibu mengeluh sesak nafas dan periksa ke BPS
• Bidan menyarankan ibu langsung ke puskesmas
• Dari puskesmas ibu langsung dirujuk menggunakan ambulance ke RS
• Ibu meninggal setelah sampai di RS
• Ibu mengatakan pernah cabut gigi ketika hamil
Permasalahan yang dialami oleh Px adalah:
• Kurangnya pengetahuan ibu tentang resiko cabut gigi pada masa kehamilan
• Kurangnya pengetahuan keluarga tentang resiko-resiko di masa kehamilan
Taboo vs Malu
Di Kota Blitar, tempat penelitian ini berlangsung, ternyata masih ada
kepercayaan yang dipegang oleh para ibu hamil, dimana ketika kandungan masih
berusia muda (belum kelihatan hamil) para ibu hamil dilarang untuk
menceritakan kehamilannya kepada orang lain. Beberapa ibu hamil dan kader
yang ditanyai tentang alasan mengapa tidak boleh menceritakan kehamilannya
di awal kehamilan, beberapa menjawab “tidak tahu”.
“..gak tau mbak, pokoknya nurut aja apa kata orang-orang tua. Takut ada apa-
apa kalo gak nurut..”
Sedangkan beberapa ibu hamil mengatakan bahwa mereka tidak mau
menceritakan awal kehamilannya kepada orang di luar keluarga inti karena jika
kehamilan itu tidak berlanjut, mereka akan malu.
“..nek wis kadhung cerito trus gak sidho hamil lak isin mbak. Makanya mereka
biasanya baru akan cerita kalau perutnya sudah kelihatan besar. Tapi itu kan
sudah terlambat ya mbak. Lha wong kalau perutnya sudah kelihatan besar
berarti kan kira-kira sudah 4 bulan keatas..”
192
Selain masalah ketabuan yang berkembang diantara ibu hamil sehingga
tidak mau menceritakan awal kehamilannya kepada orang di luar keluarga
intinya, masalah “malu” juga ada di antara ibu hamil yang menyebabkan dirinya
tidak mau menceritakan kehamilannya. Di Kota Blitar, program KB begitu gencar
digalakkan dan sangat sukses, sehingga sebagian besar penduduk Kota Blitar
hanya mempunyai dua anak. Ternyata dampak positif program KB juga disertai
dengan dampak negatif yang timbul di masyarakat. Ibu-ibu yang hamil anak ke-3
atau lebih merasa malu dengan kehamilannya. Hal ini menyebabkan ibu-ibu malu
menceritakan kehamilannya kepada orang lain hingga perutnya tampak besar
dan tetangga-tetangga tahu jika ibu tersebut hamil. Sebenarnya tetangga-
tetangga dan lingkungan tidak ada yang mempermasalahkan kehamilan ibu
tersebut asal hamil dengan suami sah-nya, akan tetapi biasanya ibu hamil
tersebut malu sendiri dengan tetangganya, karena anak ke-3 saja sudah merasa
banyak, sebab sebagian besar tetangganya hanya mempunyai dua anak.
Lain kasus, ada pula ibu yang hamil dengan lelaki lain karena suaminya
adalah TKI di luar negeri dan tidak pernah pulang serta TKW yang pulang dalam
kondisi hamil. Kedua kelompok inilah yang dianggap para kader sebagai
kelompok yang “susah dijangkau”. Umumnya mereka menyembunyikan diri dan
tidak bersosialisasi. Entah mereka memeriksakan kehamilannya atau tidak dan
dimana mereka memeriksakan kehamilannya.
“..embuh prikso nang ndi mbak.wong g tau metu seko ngomah. Engkuk ujug2
wis lair anake..”
Peran Suami
Peran suami di keluarga dalam budaya Jawa sangat penting. Suami
sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan. Dalam situasi yang sulit dan
mendesak, suami haruslah mampu mengambil keputusan dengan tepat.
Berkaitan dengan kehamilan, peran suami sebagai pengambil keputusan dan
mendampingi istri selama masa kehamilan sangatlah penting. Suami hendaknya
mendampingi dan memberikan ekstra perhatian kepada istrinya yang sedang
hamil. Kehamilan memang merupakan masa-masa dimana seorang ibu
193
membutuhkan perhatian ekstra dari pasangannya (suami) dan lingkungannya.
Hal ini disebabkan karena adanya perubahan biologis yang terjadi pada diri
seorang ibu. Perubahan tersebut juga memberikan efek pada emosi ibu. Ibu akan
berubah menjadi sangat sensitive ketika hamil.
Tidak hanya seorang ibu yang sedang hamil yang harus mempunyai
pengetahuan tentang kehamilan, suami dengan istri yang sedang hamil
hendaknya juga mempunyai pengetahun tentang kehamilan. Terutama resiko-
resiko yang kemungkinan terjadi, berkaitan dengan kondisi istri yang sedang
hamil. Seringkali ibu yang sedang hamil tidak mau menceritakan kondisi dirinya
dan kehamilannya yang sesungguhnya kepada suaminya sehingga ketika terjadi
sesuatu pada istrinya yang sedang hamil, suami tidak tahu kondisi istri yang
sebenarnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, suami sebaiknya menemani istri
yang sedang kontrol kehamilan. Menemani tidak hanya menunggu di depan
pintu praktek dokter, bidan, atau d depan pintu poli di puskesmas atau RS, akan
tetapi suami ikut masuk ke ruang periksa ketika istri sedang periksa. Hal tersebut
selain membantu suami untuk mengetahui kondisi istri yang sebenarnya, juga
membantu dokter mengkomunikasikan kemungkinan-kemungkinan yang bisa
terjadi jika istri memang mengalami kondisi khusus (misalnya, tekanan darah
tinggi) atau kondisi khusus yang terjadi pada janin (misalnya, janin sungsang).
Kepedulian dan ketanggapan suami terhadap tanda-tanda dan gejala
yang berhubungan dengan resiko kehamilan dapat meminimalisir kejadian yang
tidak diinginkan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa ketidakpedulian dan
ketidaktanggapan suami membawa akibat yang fatal bagi kondisi istrinya yang
sedang hamil.
Pelabelan “gawan bayi” pada perubahan kondisi ibu hamil yang
sebetulnya mengindikasikan terjadinya gangguan pada diri ibu dan kehamilannya
menyebabkan berkurangnya ketanggapan pada diri suami dan lingkungan (orang
tua, keluarga dan teman) akan gangguan yang dialami oleh ibu hamil.
Pengambilan keputusan yang tepat untuk membwa istri yang sedang
hamil untuk berkunjung ke pelayanan kesehatan terjadi mulai awal terdeteksinya
194
kehamilan istri. Sejak awal terdeteksinya kehamilan istri, suami hendaknya
mendorong istri untuk memeriksakan kehamilan istri sejak dini, sehingga jika ada
sesuatu yang tidak diinginkan dapat diketahui sejak awal kehamilan. Selama
hamil, jika terjadi keluhan pada istri, para suami juga harus tanggap untuk
mengajak istri memeriksakannya ke pelayanan kesehatan. Hingga akhirnya ketika
istri akan melahirkan, suami yang siaga akan suap mengantarkan istri yang akan
melahirkan dengan membawanya ke unit pelayanan kesehatan.
Peran Kader Dalam Pelayanan Jampersal
Guna memberikan pelayanan kesehatan ibu dan bayi, Pemerintah telah
melaksanakan berbagai upaya terbaiknya. Di level komunitas, ada bidan desa
yang sudah dilengkapi dengan Bidan Kit, obat-obatan dan bahan-bahan untuk
memberikan pelayanan kesehatan selama kehamilan, persalinan dan nifas ibu
dan bayinya. Di Puskesmas, sudah ada Dokter umum dan tenaga bidan yang
mampu memberikan pelayanan PONED. Masalahnya, pemanfaatan pelayanan
ibu dan bayi yang sudah disediakan oleh Pemerintah ini senantiasa terkait
dengan kemiskinan, pendidikan dan untuk beberapa daerah tertentu dengan
faktor geografis. Keterbatasan tenaga kesehatan untuk menjangkau masyarakat
menyadarkan tentang pentingnya peran serta masyarakat.
Kesadaran tentang keterbatasan tenaga dan anggaran telah membuat
Puskesmas Kepanjen Kidul senantiasa bermitra dengan masyarakat/ kader dalam
menjalankan program-program pelayanannya. Kemitraan dengan kader lebih
ditekankan pada upaya menggerakkan masyarakat dalam hal PHBS, Kadarzi dan
peningkatan kesehatan ibu, bayi dan anak. Untuk memberikan hasil kerjasama
yang optimal ada beberapa pembekalan yang diberikan kepada para kader.
Selain tentang substansi PHBS, Kadarzi dan KIA para kader juga mendapat
pembekalan tentang penggerakan, pemberdayaan masyarakat dan P3K.
Kader Kesehatan di wilayah Puskesmas Kepanjen Kidul semuanya
perempuan. Kalau dilihat dari profesinya, memang kebanyakan mereka adalah
sebagai ibu rumah tangga. Namun ada juga pedagang dan pekerja lepas.
195
Ketidakterikatan dengan pekerjaan yang membuat mereka punya waktu lebih
untuk melaksanakan tanggungjawabnya sebagai pekerja sosial. Tentunya juga
karena mereka punya komitmen yang bagus sebagai kader. Sebagaimana
diungkap oleh kepala Puskesmas Kepanjen Kidul.
“..komitmen kader dalam melaksanakan tanggungjawabnya sangat bagus. Kalau
sewaktu-waktu mereka kita minta datang ke Puskesmas, mereka selalu hadir
walau hanya saya hubungi via telepon..”
Kegiatan rutin dari Kader adalah melakukan Posyandu dan pertemuan
antar kader yang dilakukan setiap bulan. Pada pertemuan rutin kader yang
dilakukan adalah menginformasikan kondisi PHBS, Kadarzi dan KIA yang terdapat
di masing-masing wilayahnya. Kalau ada sesuatu yang spesial, maka pada saat
pertemuan itu juga digunakan untuk melakukan sosialisasi. Salah satu
diantaranya adalah pemberian informasi tentang Jampersal kepada Kader.
Terkait dengan kegiatan Jampersal, tanggungjawab yang diemban oleh
Kader adalah membantu menggerakkan para ibu hamil yang ada di wilayahnya
untuk melakukan ANC dan persalinan di petugas kesehatan. Sebagaimana
dikemukakan oleh ibu Kader Ririn.
“..masyarakat di tempat saya banyak dari kalangan telok-lemak, mereka sering
datang dan pergi. Sulit untuk dikasiktahu. Namun saya berusaha sebisa saya
untuk memberikan penjelasan. Ini lho ada pelayanan gratis.. sampeyan bisa
periksa kehamilan, sampeyan bisa melahirkan tanpa mbayar. Kurang opo..”
Ketika ada ibu hamil maka kader akan selalu memantau kondisi ibu hamil
tersebut. Kader akan bertanya langsung kepada yang bersangkutan atau kalau
saat dilakukan kunjungan, yang bersangkutan tidak ada maka sudah merupakan
protap untuk bertanya kepada tetangga di kanan-kirinya tentang keadaannya
untuk kemudian ditindaklanjuti lagi pada kunjungan berikutnya. Setiap
kunjungan biasanya ditambahi dengan pesan.
“..kalau ada apa-apa, silahkan hubungi saya, ini no HP saya..”
Namun demikian ada kegalauan dari Kader ketika mau memberikan
penyuluhan kepada masyarakat. Perasaan tidak enak hati, khawatir terhadap
penerimaan masyarakat akan menganggap kader sebagai orang “sok tahu” dan
terlalu banyak omong.
196
“..saya tidak enak hati... sopo sih kui... kok kenyi banget..”
Ini merupakan kendala yang hampir dipunyai oleh semua Kader. Rasa
percaya diri yang kurang karena mereka hanya ibu rumah tangga biasa, bukan
orang kesehatan, kok banyak bicara tentang kesehatan.
Ketika terjadi kasus kematian maternal, Kader juga direpotkan dengan
kejadian itu. Paling tidak Kader akan ditanya banyak hal terkait kasus kematian
itu oleh bidan dalam rangka melengkapi informasi untuk review maternal
mortalitas. Dengan adanya kasus tersebut, Kader diminta untuk lebih melakukan
pemantauan kondisi para ibu hamil agar tidak terjadi lagi kasus kematian
maternal, sebagaimana dituturkan oleh ibu Susi dan Ririn berikut.
“..setelah ada kasus. Ada permintaan dari Kelurahan dan RT agar kami para
kader membantu mendeteksi..” “..saya diwanti-wanti oleh bu Bidan agar kematian ibu ini jangan sampai terjadi
lagi. Saya kemudian juga minta bantuan pihak RT untuk sama-sama memantau..
tapi saya tidak tahu apa tindak lanjut dari RT..”
Upaya Penyelamatan Vs Takdir
Sebagaimana diketahui, kehamilan dan persalinan yang aman tidak
terlepas dari faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat di mana
mereka berada. Memahami perilaku perawatan kehamilan adalah penting untuk
mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Fakta yang teramati
dalam kasus kematian di daerah studi menunjukkan bahwa keempat Ibu yang
meningggal berdasarkan catatan di Puskesmas sudah memeriksakan dirinya
secara rutin setiap bulan ke bidan ataupun dokter. Namun demikian, ketika
terjadi masalah kesehatan, ibu tidak langsung pergi ke petugas kesehatan.
Mereka cenderung kondisi itu dan menunggu waktu kunjungan berikutnya.
Kehamilan dianggap sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka kurang
menyadari pentingnya segera memeriksakan kehamilan ketika mengalami
masalah kesehatan yang bisa menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor
resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada
saat kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal
197
ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya
informasi.
Kalau dilihat dari fasilitas kesehatan yang disediakan Pemerintah Daerah
seperti tiga Puskesmas dan sebuah RSUD di Kota Blitar yang luas wilayahnya
hanya 32,58 km². Padahal masih ada beberapa Rumah Sakit Swasta dan banyak
Dokter dan Bidan praktek swasta. harusnya masyarakat bisa mengakses dengan
mudah fasilitas kesehatan yang ada. Pada keempat kasus kematian, kalau dilihat
dari jarak tempat tinggal ke fasilitas kesehatan terdekatnya, semua tidak ada
yang lebih dari 2 km. Alat transportasinyapun mudah diperoleh setiap saat.
Kasus kematian yang terjadi di Puskesmas Kepanjen Kidul merupakan
gambaran bagaimana kultur perkotaan yang bercirikan melemahnya ikatan
sosial, juga berkontribusi terhadap kasus ini. Keperdulian keluarga dan tetangga
sekitar harusnya bisa dioptimalkan untuk dilibatkan dalam upaya pemantauan
dan deteksi dini resiko kehamilan yang mungkin dialami oleh seorang ibu hamil.
Secara medis, penyebab tiga kasus kematian ibu diduga eklamsia dan
satu kasus tidak ditemukan indikasi. Karena kondisi tersebut bila tidak ditangani
secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu. Namun, kefatalan ini
juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dari keluarga dan
ibu yang bersangkutan. Keterlambatan juga muncul karena kepanikan, suami
yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan dan
ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat
tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-
nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan
yang diambil. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan,
faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan
disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat
bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat
dihindarkan.
Suatu kondisi yang tidak dihindari bahwa dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan ibu dan anak melalui program-program pembangunan
198
kesehatan perlu memperhatikan aspek-aspek sosial-budaya masyarakat.
Keberadaan petugas kesehatan dan kelengkapan fasilitas kesehatan semata
tidaklah cukup untuk mengatasi masalah-masalah KIA di suatu daerah. Perilaku
kesehatan di masyarakat baik yang menguntungkan atau merugikan kesehatan
banyak sekali dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Pada dasarnya, peran
kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk,
mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu
kelompok sosial untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan.
Memang tidak semua perilaku masyarakat yang pada awalnya bertujuan
untuk menjaga kesehatan dirinya adalah merupakan praktek yang sesuai dengan
ketentuan medis dan kesehatan. Apalagi kalau persepsi tentang kesehatan
ataupun penyebab sakit sudah berbeda sekali dengan konsep medis, tentunya
upaya mengatasinya juga berbeda disesuaikan dengan keyakinan ataupun
kepercayaan-kepercayaan yang sudah dianut secara turun-temurun sehingga
lebih banyak menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi kesehatan.
Dan untuk merubah perilaku ini sangat membutuhkan waktu dan cara yang
strategis. Dengan alasan ini pula dalam hal penempatan petugas kesehatan
dimana selain memberi pelayanan kesehatan pada masyarakat juga berfungsi
sebagai agen perubah maka pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi dari
petugas kesehatan sangat diperlukan disamping kemampuan dan ketrampilan
memberi pelayanan kesehatan.
Mengingat bahwa dari indikator-indikator yang ada menunjukkan derajat
kesehatan ibu dan anak masih perlu diingkatkan, maka dalam upaya
perbaikannya perlu pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara holistik dan
integratif yang tidak hanya terbatas pada bidang kesehatan secara medis saja
tetapi juga ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Dalam hal melakukan upaya-
upaya perbaikan perlu disadari bahwa hubungan ibu dan anak sangat erat
dimana kondisi kesehatan ibu akan dapat secara langsung mempengaruhi kondisi
kesehatan anaknya, baik mulai dari kandungan maupun setelah persalinan. Oleh
karena itu, penting sekali menempatkan konteks reproduksi dalam program KIA
199
sehingga diharapkan kondisi kesehatan seseorang benar-benar dapat terpelihara
sesuai dengan konsep medis yang tepat sejak ia berada dalam kandungan, masa
kanak-kanak, masa remaja hingga dewasa.
Ilmu vs Upaya Penyelamatan
Ilmu/pengetahuan tentang kehamilan tidak saja wajib dimiliki oleh ibu
hamil saja, melainkan wajib dimiliki oleh keluarga, terutama oleh suami. Dengan
pengetahuan tentang kehamilan dan resiko-resiko kehamilan, ibu hamil dapat
mendeteksi resiko-resiko yang ada di dalam dirinya. Selain itu suami dan
keluarga dapat menjadi suami dan keluarga siaga bagi istri dan saudaranya yang
hamil. Pengetahuan yang dimiliki oleh suami dan keluarga ibu hamil diharapkan
mampu menjadi bekal apabila kelak terjadi suatu kondisi yang tidak diinginkan
pada ibu hamil. Pemberian tambahan ilmu / pengetahuan baik pada ibu hamil
maupun suami dan keluarga diharapkan mampu menjadi salah satu upaya
penyelamatan pada ibu hamil. Ilmu yang tentang kehamilan dan resiko-resiko
kehamilan yang dimiliki oleh ibu hamil diharapkan mampu menjadikan ibu hamil
tanggap dan mengerti tentang perubahan kondisi yang dialaminya sehingga
mampu mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya. Sedangkan ilmu yang
telah dimiliki oleh suami dan keluarga diharapkan mampu membantu ibu hamil
jika terjadi hal-hal genting terjadi pada ibu hamil. Keputusan tepat yang dilandasi
ilmu sangat diperlukan dalam membantu ibu hamil dalam usaha menyelamatkan
baik ibu maupun anak yang dikandungnya.
Pemberian bekal imu pada ibu hamil, suami dan keluarganya tidak dapat
dilakukan dengan cara “pukul rata” akan tetapi dilakukan dengan “bahasa” yang
sama dengan konsep dan “bahasa” yang dipahami oleh keluarga tersebut. Hal ini
wajib dilakukan agar konsep yang akan kita sampaikan mampu dipahami dengan
benar oleh ibu hamil dan keluarganya. Proses pendampingan oleh tenaga
kesehatan secara berkesimbungan juga dinilai efektif untuk merubah konsep
“keliru” yang berkembang di masyarakat.
200
Adanya kepercayaan-kepercayaan yang “keliru” yang tumbuh di
masyarakat menyebabkan masyarakat kurang “tanggap” dalam menyikapi
perubahan kondisi yang dialami oleh ibu hamil.
Peran suami dalam pengambilan keputusan untuk ibu hamil sangatlah
penting, karena dalam Budaya Jawa, suami lah pengambil keputusan jika ada
persoalan-persoalan rumah tangga. Kader sangat berperan dalam penyampaian
informasi tentang kehamilan dan resiko-resikonya pada ibu hamil dan
keluarganya.
Pemberian ilmu / pengetahuan pada ibu hamil dan keluarganya
diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif penyelamatan ibu hamil.
Dapat kita simpulkan bahwa upaya penyelamatan ibu hamil merupakan
tanggung jawab semua pihak, bukan saja tanggung jawab kader dan petugas
kesehatan, melainkan tanggung jawab ibu hamil itu sendiri, suami dan
keluarganya.
5.9 AKSEPTABILITAS TOMA, TOGA, LINTAS SEKTOR, LSM DAN ORGANISASI
LAINNYA DALAM MENINGKATKAN PELAYANAN JAMINAN PERSALINAN
Salah satu tujuan yang akan dicapai dalam studi ini adalah mengetahui
akseptabilitas masyarakat meningkatkan pelayanan Jampersal. Untuk memenuhi
tujuan tersebut dilakukan Fokus Grup Diskusi (FGD) dengan tokoh masyarakat,
tokoh agama, kader kesehatan, aparat desa dan dukun. Materi yang didiskusikan
adalah tentang akseptabilitas masyarakat terhadap Jampersal mulai kegiatan
sosialisasi, pemahaman dan pemanfaatan serta harapan masyarakat terhadap
keberadaan program Jampersal.
201
Gambar 5.56
Diskusi kelompok masyarakat (TOMA, TOGA, kader, dll)
Sosialisasi Jampersal kepada masyarakat secara umum diberikan oleh
pihak puskesmas. Kepala puskesmas dan bidan diakui sebagai orang yang banyak
memberikan penjelasan tentang Jampersal. Sasaran utama sosialisasi di
masyarakat adalah kepada para kader kesehatan yang akan diteruskan pada ibu
hamil di posyandu. Para bidan juga senantiasa memberikan informasi tentang
Jampersal kepada ibu hamil ketika periksa kehamilannya. Di Kota Bandung kader
juga secara proaktif mendatangi sasaran jampersal, selain itu juga melalui media
elektronik televisi.
Pertemuan kader dan posyandu memang merupakan tempat utama bagi
petugas kesehatan melakukan sosalisasi. Tetapi Kota Mataram sosialisasi juga
dilakukan dengan memanfaatkan masjid. Melalui pengeras suara yang ada di
mesjid, petugas puskesmas dengan didampingi kader dan tokoh masyarakat,
memberikan informasi tentang Jampersal. Sedangkan di Sampang, sosalisasi
juga dilakukan dengan memanfaatkan kegiatan pengajian umum. Kegiatan
pengajian umum ini memang di desain sebagai media komunikasi pemerintah,
ulama dan masyarakat. Sehingga yang memanfaatkan media pengajian ini bukan
cuma dari kesehatan, dari kepolisian juga sering.
202
Sosialisasi Jampersal yang menjadi tugas Dinas Kesehatan dengan
segenap jajarannya, ternyata tidak diterima oleh semua masyarakat. Peserta FGD
di Kota Kendari mengemukakan bahwa masyarakat kurang tersosialisasi dengan
Jampersal. Ada juga yang mengaku bahwa dia baru tahu setelah mengikuti
kegiatan FGD ini. Puskesmas sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang
langsung berhubungan dengan masyarakat mengaku bahwa sudah melakukan
sosialisasi tapi tidak langsung ke masyarakat. Sehubungan dengan minimnya
sosialisasi tersebut, masyarakat mengharapkan sosialisasi hendaknya dilakukan
di tempat yang lebih dapat diakses oleh masyarakat misalnya di kelurahan.
Seharusnya sosialisasi juga dilakukan kepada ketua RT yang nantinya akan
disebarluaskan pada warganya.
“..pokja 4 bisa bantu sosialisasi, karena masyarakat disini kurang tahu mengenai
jampersal jadi lebih banyak ke dukun, mereka takut ke RS takut biaya mahal..”
"..di kelurahan sosialisasinya, kalau di PKK hanya sebagian ibu-ibu yang hadir,
kalau di kelurahan yang mendengar bisa lebih banyak..”
Kondisi yang sangat berbeda dibandingkan daerah lain dalam upaya
sosialisasi Jampersal, terjadi di Kabupaten Wakatobi. Menurut Toma, sosialisasi
Jampersal dilakukan setiap triwulan dengan memberikan undangan pada Toma
ke Dinas kesehatan atau puskesmas setempat.
“..setiap triwulan ada undangan sosialisasi dari dinkes atau pkm. Kita teruskan
lagi di masyarakat, kadang kita undang kumpul masyarakat, atau langsung dr
pintu ke pintu. Di pos kamling. Kita sampaikan di situ..” (Toma, kab. Wakatobi).
Menyadari kondisi geografis yang berupa kepulauan, masih kuatnya
tradisi melahirkan dengan ditolong dukun dan perasaan “malu” jika melahirkan
di Puskesmas membuat Dinas Kesehatan dan jajarannya perlu memperbanyak
frekuensi sosialisasi. Selain itu, karena masyarakat yang mampu di Wakatobi
banyak yang melahirkan di rumah dukun didampingi oleh bidan, masyarakat
menganggap perlu memperhatikan kemitraan dengan dukun.
“..perlu dipikirkan insentif untuk dukun yang bekerja sama dengan bidan.
Mungkin harus ada kesepakatan soal insentif dengan puskesmas..”
203
Dari hasil FGD diketahui bahwa mereka ada yang mendengar tentang
Jampersal dan ada pula yang belum. Masalahnya, apakah mereka yang sudah
mendapat sosialisasi kemudian berkenan menyampaikan pada yang lain? Kalau
dilihat dari hasil wawancara kepada para ibu hamil dan yang baru melahirkan,
diketahui bahwa terdapat 66,7% diantara mereka yang tidak memanfaatkan
Jampersal disebabkan ketidak tahuan tentang program Jampersal. Kalau ini
dijadikan sebagai indikator kegiatan sosialisasi, maka secara umum dapat
dikatakan bahwa sosialisasi pada masyarakat dirasakan masih kurang.
Kalau memperhatikan salah satu Posyandu di wilayah puskesmas Benjina,
Kabupaten Kepulauan Aru, disana terpampang satu poster tentang Jampersal. Di
Blitar, poster Jampersal juga terlihat di rumah kediaman kader yang difungsikan
sebagai posyandu. Bahkan Dinas Kesehatan sudah memproduksi brosur untuk
dibagikan kepada masyarakat. Ini mengindikasikan bahwa petugas kesehatan
sudah berusaha melakukan sosialisasi sampai ke komunitas terpencil.
Masalahnya, siapa yang kurang mempunyai keperdulian sampai ditemukan data
sebanyak 66,7% ibu hamil dan bersalin yang tidak memanfaatkan Jampersal
karena tidak tahu? Atau apakah ini terjadi karena metode sosialisasi kurang
tepat?
Mungkin masyarakat butuh jaminan kebenaran informasi yang
disampaikan. Sehingga Di Kota Blitar tokoh masyarakat berpendapat bahwa
kebenaran informasi akan bisa dipertanggung jawabkan jika sosialisasi dilakukan
oleh tenaga kesehatan. Metode yang biasa dilakukan adalah memberi informasi
dengan cara berantai, dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas ke Kader dan
diharapkan kader dapat menyampaikan kepada masyarakat. Sementara
masyarakat maunya mendapat jaminan kejelasan dan kebenaran informasi yang
disampaikan, kalau dilakukan oleh kader ada ke khawatiran informasi yang
diberikan kurang tepat. Masyarakat maunya informasi tentang kesehatan,
harusnya disampaikan oleh orang kesehatan karena dianggap lebih kompeten.
204
Pemahaman Masyarakat Tentang Jampersal.
Jampersal yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
bayi, di rancang untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu untuk
mendapatkan pelayanan terkait dengan persalinan. Dalam petunjuk pelaksanaan
Jampersal tertulis bahwa kelompok sasaran yang berhak mendapat pelayanan
jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayinya. Adapun jenis
pelayanan yang diberikan meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi
baru lahir. Mengenai persyaratan, secara eksplisit tidak tercantum persyaratan
tertentu agar sasaran bisa mendapat pelayanan Jampersal. Dikemukakan bahwa
penerima pelayanan adalah seluruh sasaran yang belum memiliki jaminan
persalinan dan tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja.
Sebagai program yang relatif baru dengan harapan keberhasilan yang
besar, perlu untuk diketahui bagaimana pemahaman masyarakat terhadap
program Jampersal. Begitu ditanya tentang apa pernah mendengar tentang
jampersal, sebagian besar peserta FGD di 14 kabupaten/kota daerah studi
menyatakan pernah mendengar. Tetapi ketika ditanya tentang apa yang
diketahui tentang Jampersal, tidak semua bisa berpendapat. Semua orang yang
pernah mendengar, secara umum mengatakan bahwa jampersal adalah seperti
cuplikan diskusi masyarakat di wilayah Puskesmas Sanan Wetan Blitar mengenai
apa yang diketahui tentang program Jampersal.
“..Jampersal adalah program kesehatan yang menguntungkan terutama bagi
masyarakat yang tidak mampu, karena dalam program tersebut tidak ada
batasan untuk melahirkan artinya anak ke berapa pun diberi jaminan untuk
persalinan gratis..”
“..program jampersal ini disambut baik, terutama bagi masyarakat miskin yang
bebas dari biaya persalinan, tidsak saja pada proses melahirkan tapi sampai
pada biaya pelayanan ke rumah sakit jika ada yang komplikasi dan di rujuk ke
puskesmas dan rumah sakit sekarang dibiayai jadi gratis..”
“..program jampersal merupakan program pemberian pelayanan secara gratis
untuk persalinan bagi masyarakat, bukan untuk orang miskin saja tetapi untuk
semua lapisan masyarakat..”
205
“..jampersal adalah program gratis untuk ibu yang melahirkan sehingga program
ini baik sekali untuk masyarakat... masih ada anggapan masyarakat bahwa yang
gratis itu pelayanan pemeriksaan kehamilan dan persalinan saja sehingga untuk
keperluan yang lainnya tidak gratis..”
“..program jampersal di masyarakat ini baik, namun sosialisasi di masyarakat
yang kurang, seperti proses administrasi yang bisa membuat bingung bidan
terutama pada masyarakat yang pendatang (bukan dari kota blitar) yang tidak
punya KTP..”
Dari komentar masyarakat warga Sanan Wetan yang notabene
merupakan daerah perkotaan dapat kita lihat bagaimana pemahaman mereka
tentang Jampersal. Secara garis besar, berikut adalah variasi pemahaman
masyarakat mengenai Jampersal. Bahwasannya jampersal adalah “program
persalinan gratis”, “program untuk masyarakat miskin”, “bila dirujuk ke Rumah
Sakit juga gratis”, “jampersal bukan untuk orang miskin saja tapi untuk semua
lapisan masyarakat”. Belum ada seorangpun anggota masyarakat yang mampu
menjelaskan secara utuh dilihat dari tujuan, jenis pelayanan yang diberikan,
sasaran dan persyaratannya.
Pemahaman masyarakat di Blitar ini berbeda sekali dengan masyarakat di
kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Diskusi yang dilakukan di wilayah puskesmas
Dobo, yang berlokasi di kota Kabupaten Kepulauan Aru. Dari 10 peserta FGD
hanya Ibu Ome dan Ibu Tini yang pernah mendengar tentang Jampersal tetapi tidak tahu
Jampersal itu apa. Kalau di wilayah puskesmas Benjina di Kabupaten Kepulauan Aru,
ketika diminta berkomentar tentang program Jampersal semuanya terdiam, saling
pandang dan tetap terdiam.
Jenis pelayanan yang diberikan dalam program Jampersal secara umum
tidak diketahui secara mendetail oleh masyarakat. Kebanyakan yang diketahui
masih sebatas bahwa Jampersal hanya melayani pemeriksaan ibu hamil dan
melahirkan gratis di layanan kesehatan / bidan. Di kota Bandung, kader mengaku
telah mensosialisasikan bahwa paket pelayanan Jampersal itu terdiri dari
pemeriksaan kehamilan, persalinan dan pemerikasaan setelah melahirkan dan
bayi sampai 28 hari sampai pemasangan alat kontrasepsi jangka panjang. Lebih
lanjut diakui bahwa ibu harus meminta persetujuan dari suami terlebih dahulu
untuk langsung menggunakan alat kontrasepsi. Masyarakat banyak yang
206
keberatan untuk pemasangan alat kontrasepsi jangka panjang seperti IUD.
Sebagian masyarakat lebih senang KB suntik. Tentang pelayanan yang diberikan,
Di kota Mataram, masyarakat mengemukakan bahwa:
“..yang dilayani oleh program jampersal adalah persalinan, KIA, periksa bumil
dan KB..”
“..setahu saya untuk bersalin sama memberikan bantuan bagi bayi yang
mengalami gangguan kesehatan tapi sebelum umurnya 1 bulan..”
“..untuk Ibu Hamil sampai kunjungan ke empat (K4) 1 kali triwulan pertama 1
kali triwulan kedua 2 kali triwulan ketiga..”
Dari ragam pendapat masyarakat baik di Bandung maupun di Mataram,
dapat kita ketahui bahwa masyarakat sudah tahu kalau paket pelayanan
Jampersal meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan
nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir. Ini
mengindikasikan kalau sebenarnya petugas kesehatan sudah menyampaikan
kepada masyarakat tentang jenis pelayanan yang bisa dinikmati oleh sasaran
Jampersal. Mungkin karena penyerapan informasi oleh masyarakat yang terbatas
sehingga pemahamannya kemudian juga terbatas.
Mengenai siapa sasaran yang berhak memanfaatkan pelayanan
Jampersal, semua yang tahu jampersal mengemukakan bahwa yang ibu yang
hamil, bersalin dan bayi yang baru dilahirkan adalah mereka yang bisa
mendapatkan pelayanan Jampersal. Walau masih banyak yang beranggapan
bahwa Jampersal ini diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu, tetapi ada
masyarakat juga tahu bahwa:
“..kaya miskin boleh ikut Jampersal..”
“..yang dari luar kota bisa ikut Jampersal di Kota Bandung..”
“..yang sedang di penjara juga bisa ikut Jampersal..”
Tidak ada yang tahu bahwa Jampersal hanya diperuntukkan pada mereka
yang tidak mempunyai jaminan persalinan. Dengan diketahuinya bahwa
Jampersal ternyata tidak hanya untuk kelompok masyarakat tidak mampu, tapi
mereka yang mampu juga boleh menikmati fasilitas Jampersal, ada banyak
komentar sehubungan dengan hal tersebut.
207
“..untuk memberikan subsidi kepada semua masyarakat... kalau negara
mampu.... kenapa tidak? tentunya semua boleh mendapat pelayanan gratis.
Nah.. kalau negara kurang mampu, maka perlu dibatasi..”
“..program jampersal ini dibuat kriteria yang lebih khusus.... terutama untuk
keluarga miskin saja..”
“..masyarakat kaya gengsi kalau ikut Jampersal, biasanya yang suka ikut
itu yang menengah ke bawah..”
Yang seringkali “ramai” didiskusikan adalah ketika bicara tentang
persyaratan agar sasaran bisa mendapat pelayanan Jampersal. Masih adanya ibu
yang tidak punya kartu identitas, masalah pendatang tanpa identitas baru yang
sesuai dan bagaimana bila kehamilan itu terjadi diluar nikah adalah hal-hal yang
terkait dengan persyaratan pelayanan Jampersal. Berikut ini beberapa komentar
masyarakat.
“..untuk ikut jampersal. Asal punya KSK atau KTP saja sudah bisa dilayani..”
“..Masyarakat tidak mempersiapkan syarat-syarat untuk Jampersal, pada saat
dibutuhkan baru bingung mencari surat..”
“..program jampersal di masyarakat ini baik, namun sosialisasi di masyarakat
yang kurang, seperti proses administrasi yang bisa membuat bingung bidan
terutama pada masyarakat yang pendatang yang tidak punya KTP..”
“..kalau ada masyarakat yang nggak mampu pakai jamkesmas dibuatkan surat
keterangan untuk mendapatkan pelayanan jamkesmas dan jampersal….. kalau
ada penduduk baru kemudian istrinya bersalin diberi keterangan domisili dari
kelurahan..”
Kepemilikan KTP dan/atau KK memang merupakan persyaratan
pelayanan Jampersal di semua kabupaten / kota. Tetapi kalau peserta Jampersal
tidak punya KTP atau KK, mereka bisa memanfaatkan surat keterangan domisili.
Walau demikian di Kota Ambon KTP masih menjadi masalah, karena banyak
masyarakat yang tidak mempunyai KTP, untuk pengurusan memerlukan waktu.
Aparat desa menyatakan dapat membantu untuk kelancaran pembuatan KTP
atau surat keterangan domisili setelah mendapat sosialisasi tentang Jampersal.
Dengan adanya program Jampersal, ibu-ibu yang selama ini tidak punya KTP
208
karena belum merasa berkepentingan, sekarang mereka mau mengurus
kepemilikan KTP.
5.9.1. Harapan Masyarakat
Relatif barunya pelaksanaan Jampersal, tidak membuat masyarakat
kurang peduli dengan keberadaannya. Dengan merasakan manfaatnya, banyak
harapan masyarakat terhadap Jampersal. Dalam pelaksanaan suatu program,
kegiatan sosialisasi merupakan hal penting untuk menentukan keberhasilannya.
Diharapkan agar sosialisasi ke masyarakat harus lebih ditingkatkan lagi.
Seharusnya ada surat edaran dari puskesmas atau dinas kepada RW di seluruh
wilayah kerja puskesmas supaya masyarakat menggunakan Jampersal.
“..program Jampersal harus terus dilanjutkan, jangan berhenti, karena kasihan
masyarakat yang tidak mampu..” ( Toma, Kota Bandung).
Dalam pelaksanaan, ada beberapa kasus yang dikeluhkan masyarakat.
Untuk persalinan yang tidak dapat dilakukan dibidan dapat dilakukan rujukan ke
rumah sakit yang sudah ditentukan. Selama berkaitan dengan kehamilan dan
persalinan, harusnya biaya pelayanan di rumah sakit ditanggung oleh Jampersal.
Masyarakat berharap adanya kepastian pembiayaan Jampersal sebab di
beberapa Kabupaten, masih terdengar keluhan masyarakat tentang adanya
tambahan pembiayaan pada pengguna Jampersal. Termasuk keluhan tentang
kurangnya fasilitas, pelayanan dan terbatasnya sarana transportasi untuk
rujukan, sebagaimana berikut.
“..di rujuk di rumah sakit yang bersangkutan, udah di kelas tiga tapi di suruh
bayar..”
“..harapan pertama adalah perbaikan fasilitas. perlu ditingkatkan dengan
pelayanan transfusi darah, karena bila ada kasus harus dirujuk ke Baubau. Tomia
ke Baubau ditempuh dengan kapal reguler 11 jam dengan ongkos 130 ribu.
Kalau harus carter sekitar 10 juta ke atas..” (Toma, Kab. Wakatobi).
“..kalo ada warga yg harus dirujuk ke PKM atau RS, tidak ada mobil ambulace yg
tersedia setiap saat jadi hrs mencari2 dulu pertolongan..” (Toma, Kota
Mataram).
209
Khusus untuk masyarakat di Natuna, walaupun kabupaten tersebut tidak
memanfaatkan Jampersal mengharapkan pelayanan kesehatan lebih baik seperti
layanan kesehatan di luar negeri. Seperti diketahui untuk masyarakat Natuna
akses untuk mendapatkan pelayanan dari Malaysia dan Singapura bahkan dapat
lebih dekat dibandingkan harus ke Batam atau wilayah lain di Indonesia. Untuk
itu diharapkan bidan-bidan di Natuna mendapat pelatihan untuk dapat
meningkatkan teknis dan kualitas layanan agar masyarakat tidak perlu
mendapatkan layanan kesehatan di luar negeri. Selain itu masyarakat
mempunyai pandangan mengapa masyarakat juga lebih senang melahirkan
ditolong dukun dibanding oleh tenaga kesehatan.
“..masyarakat itu butuh penjelasan dan pendekatan. Misalnya kalu ibu hamil
kalu ke RS negeri sudah menunggu lama lalu akhirnya di caesar. Akhirnya
masyarakat ini kan taunya kalau ke RS akan dibelah. Padahal mungkin dari
dokter sendiri ada penjelasan dan alasan, misal umurnya sudah banyak. Nah
inilah yg tidak pernah dijelaskan ke masyarakat, langsung tindakan saja. Kalau di
dukun kampung, mereka lebih sabar telaten menunggu bila mengeluh kesakitan.
Pelan-pelan ditolong persalinannya. Jadi secara psikologis lebih percaya pada
bidan kampung. Di RS atau puskesmas kan suka cuek kalo pasien yang mengeluh
kesakitan..” (Toma, Kab kep. Natuna).
“..belum lagi bidan kecil2. Istilahnya dulu dia saya yang urus mandiin segala
macam, nah sekarang tiba2 dia mau turun saya persalinan. Jadi gimaa mau
percaya, mereka baru, tapi langsung ditempatkan ke masyarakat tanpa
dampingan senior..” (Toma, Kab. Kep. Natuna).
Terlepas dari keluhan masyarakat yang ada, termasuk kekhawatiran
Jampersal akan mengakibatkan ledakan penduduk. Namun karena menyadari
besarnya manfaat yang diperoleh dari program Jampersal, khususnya bagi
keluarga tidak mampu, semua masyarakat di semua daerah studi berpendapat
dan mempunyai harapan yang sama. Program Jampersal diharapkan dapat
dilanjutkan di tahun-tahun mendatang.
211
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
1. Kebijakan Jampersal ditindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Bupati
atau Peraturan walikota. Di beberapa kabupaten / kota tidak menerbitkan
Peraturan baru tetapi mengikuti Peraturan Pusat yang sudah ada / sesuai
petunjuk teknis yang ada atau mengikuti Peraturan daerah yang sudah ada.
Khusus Kepulauan Natuna tidak memanfaatkan pembiayaan Jampersal
2. Di Kabupaten / Kota Pemerintah daerah memberikan dukungan terhadap
Jampersal walaupun belum optimal. Muatan politik mempengaruhi
dukungan Pemerintah daerah terhadap Jampersal dalam bentuk sosialisasi
Kebijakan Jampersal dengan kebijakan daerah berkaitan dengan mendukung
penurunan AKI dan AKB misalnya LIBAS di Sampang, “AKINO” di Nusa
Tenggara Barat. Belum semua daerah memberi dukungan dalam bentuk
penyediaan sarana, SDM, peralatan dan bahan habis pakai dll. Penerbitan
Perbup dan Perwali sebagai salah satu bentuk dukungan Pemda. Dukungan
pembiayaan belum banyak terlihat, Jamkesda di beberapa daerah dialihkan
menjadi Jampersal. Bahkan Jampersal juga dapat menjadi sumber
pendapatan daerah.
3. Penerimaan Provider terhadap kebijakan jampersal :
a. Secara umum provider ( bidan, SPOG) mendukung terhadap kebijakan
jampersal , hanya perlu difokuskan pada masyarakat miskin, dibatasi pada
jumlah anak. Program Jampersal mendukung pada pelaksanaan program
KIA terutama pada bidan di puskesmas.
b. Sosialisasi menjadi kendala untuk pelaksanaan Jampersal. Keterbatasan /
tidak adanya dana sosialisasi menyebabkan sosialisasi Jampersal kurang
fokus karena diikutkan dengan kegiatan lain. Materi sosialisasi masih
212
lebih kearah pertanggungjawaban administrasi, kurang pada substansi.
Keterbatasan pengetahuan Jampersal sering menyebabkan provider
“setengah hati” menerima dan melaksanakannya.
c. Jenis paket pelayanan Jampersal di tingkat layanan dasar cukup baik
diterima bidan. Hal khusus yang menjadi masukkan :
• Pelayanan ANC bidan mengharapkan bisa lebih dari 4 kali,.
• Pelayanan rujukan khususnya di Daerah yang akses jauh dari
pelayanan rujukan diharapkan bidan yang telah mempunyai
kompetensi khusus dapat melakukan pelayanan rujukan tertentu
misalnya manual plasenta, perdarahan sebelum melakukan rujukan.
• Lama persalinan normal di beberapa daerah lebih dari satu hari.
• Pelayanan KB perlu lebih ditegaskan lagi, ada daerah yang meerapkan
pengisian inform consent untuk menggunakan KB Jangka panjang
seperti IUD pada pengguna Jampersal.
d. Kepesertaan / pengguna Jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu
nifas sampai 42 hari dan neonatal (0-28 hari) yang mempunyai salah satu
persyaratan seperti KTP, KTP suami, surat keterangan domisili, kartu
keluarga, surat ijin mengemudi, kartu mahasiswa/ pelajar dan paspor.
Portabilitas pelayanan dapat berjalan baik.
e. Di tingkat layanan dasar besaran Klaim menurut juknis 2012 secara umum
sudah cukup, hanya Kota seperti Balikpapan dimana tingkat ekonomi
tinggi besaran tersebut dianggap masih terlalu rendah.Untuk daerah
kepulauan besaran kalim tidak masalah tapi biaya transport yang menjadi
kendala karena bisa jauh lebih besar dari klaim Jampersal.
f. Di rumah sakit tarif INA-CBG’s terutama untuk RS Tipe C besarannya
dianggap terlalu kecil, sehingga beberapa RS terpaksa menarik tambahan
biaya untuk obat, habis pakai dsb. Masalah juga timbul pada RS yang
memberlakukan tarif Jamkesda dengan tarif RS kelas III.
g. Mekanisme klaim awalnya menjadi kendala karena terlalu lama, hal ini
disebabkan persyaratan dianggap membebani, tapi juknis tahun 2012
213
sudah lebih sederhana. Kendala juga dengan terbatasnya tenaga
verifikator sehingga berkas klaim menumpuk di verifikator.
h. Mekanisme pencairan dana pada umumnya mengikuti Juknis 2012,
walaupun masih ada yang mengikuti Juknis 2011. Pencairan dana untuk
BPS pada umumnya cukup lancar dan dapat diterimakan 100%. Masalah
terjadi untuk pencairan untuk provider di puskesmas karena melalui
mekanisme keunagan daerah sehingga bervariasi setiap daerah. Di
beberapa daerah kesulitan dalam pencairan.
4. Ketersediaan puskesmas di setiap kecamatan di lokasi penelitian terpenuhi
ada beberapa hal perlu diperhatikan :
a. Di kepulauan perlu lebih banyak sarana pelayanan, satu desa dapat
terdiri beberapa pulau. Jumlah Bidan pada umumnya mencukupi kecuali
di kepulauan Aru jumlah bidan sangat kurang, dan distribusi bidan belum
merata, tidak semua bidan desa tinggal di wilayah kerjanya.
b. Jumlah bidan BPS yang PKS dengan Dinas Kesehatan masih sangat
terbatas, hal ini disebabkan tidak semua bidan puskesmas / desa dapat
melakukan PKS disebabkan antara lain :
• Belum semua dinas kesehatan membuka kesempatan pada bidan
puskesmas / BPS untuk melakukan PKS secara terbuka.
• Keterbatasan tenaga bidan karena ada batasan kompetensi, misalnya
di kota Ambon, Kota Kendari bidan yang ada kebanyakan masih
lulusan D1.
• Persyaratan pengurusan ijin praktek bidan yang menyebabkan bidan
tidak dapat segera mendapatkan Ijin praktek dengan adanya
persyaratan dari organisasi Profesi misalnya APN, harus aktif dan
telah magang pada organisasi Profesi dalam waktu tertentu.
• Belum tersosialisasinya program Jampersal dengan baik.
c. Puskesmas non perawatan tidak mempunyai sarana rawat inap untuk
menolong persalinan, di beberapa lokasi kepala Dinas membuat
214
kebijakan untuk menyediakan satu ruangan untuk rawat inap untuk
persalinan. Sarana Puskesmas rawat inap dan Poned masih terbatas.
d. Belum semua rumah sakit pemerintah di kabupaten melakukan PKS
dengan Dinas Kesehatan. Terutama di daerah kepulauan sarana,
prasarana dan SDM rumah sakit sangat terbatas, bahkan tidak ada SPOG
tetap.
5. Pemanfaatan layanan Jampersal :
a. Continum of care dari Ibu nifas pengguna Jampersal untuk persalinan di
13
kabupaten / kota turun 15% dari yang memanfaatkan pelayanan ANC
(K1).
• Ibu nifas pengguna Jampersal untuk persalinan di 13 kabupaten / kota
turun 1,9% dari yang memanfaatkan pelayanan ANC K1 dan K4.
• Ibu nifas pengguna Jampersal untuk PNC di 13 kabupaten / kota turun
2% dari yang memanfaatkan pelayanan persalinan .
• Untuk pengguna Jampersal, pada pelayanan persalinan di 13
kabupaten/kota, 95,3% dilakukan di fasilitas kesehatan.
Kecenderungan tempat persalinan non fasilitas kesehatan terjadi di
kabupaten yang tergolong daerah sulit secara akses, dan juga
ketersediaan tenaga kesehatannya terbatas. Hal ini misalnya terjadi di
Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten
Paser.
b. Cenderung terjadi peningkatan rujukan persalinan per vaginam dengan
komplikasi dan tanpa komplikasi di rumah sakit pemerintah tempat
rujukan Jampersal pada 2 (dua) tahun terakhir yaitu tahun 2011-2012
dibanding tahun sebelumnya.
c. Peningkatan kasus Sectio caesaria juga cukup tinggi di rumah sakit
pemerintah rujukan Jampersal pada tahun 2011-2012 dibanding tahun
sebelumnya.
215
6. Dari data didapatkan :
a. Masyarakat yang memanfaatkan Jampersal 95% telah memiliki Jaminan
lain seperti Jamkesmas (52%) , Jamkesda (19,6%), Askes (12,10% dan
Jamsostek (11,30%). Hanya 5 % yang lain2 termasuk tida mempunyai
Jaminan, sehingga dengan adanya Jampersal terjadi pergeseran bagi
pemanfaatan Jaminan kesehatan lain ke Jampersal. Jampersal
persyaratan lebih mudah untuk dipenuhi , Jampersal bersifat portabilitas,
selain itu ada daerah ketika ada Jampersal maka Jamkesda dialihkan ke
Jampersal.
b. Masyarakat yang tidak memanfaatkan Jampersal 66,7% karena belum
tersosialisasi Jampersal.
c. Di beberapa kabupaten / Kota daerah penelitian terdapat biaya
tambahan yang dikenakan pada masyarakat yang memanfaatkan
pelayanan Jampersal
7. Pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan dalam upaya mendukung
pelaksanaan kebijakan Jaminan Persalinan. Selain pemberdayaan dari
masyarakat langsung melalui kader kesehatan, juga terdapat pembiayaan
kesehatan melalui PNPM GSC yang merupakan program kementerian Dalam
Negeri.
8. Di level komunitas, masyarakat sudah mendapat sosialisasi adanya
Jampersal. Sosialisasi yang diperoleh masyarakat dinilai kurang. Masyarakat
merasa bahwa jampersal sangat bermanfaat dan berharap program ini terus
berlanjut. Toma, Toga, Lintas sektor, LSM mengharapkan lebih dilibatkan
dalam sosialisasi Jampersal.
Untuk paket pelayanan Jampersal masyarakat sudah memanfaatkannya,
hanya saja untuk paket pelayanan KB masyarakat masih keberatan dengan
menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang (mis. IUD), dan lebih senang
dengan KB suntik.
216
3.2 SARAN/REKOMENDASI
Dengan dukungan dari Pemerintah Daerah, provider dan masyarakat
perlu adanya kesinambungan ketersediaan alokasi dana Pusat dalam
pelaksanaan Jampersal.
Adapun saran untuk perbaikan Kebijakan Jaminan Persalinan adalah sbb :
3.2.1 Jangka pendek
Pedoman Pelaksanaan harus memberi ruang untuk menampung
kebijakan local:
1. Diterbitkannya turunan kebijakan Jampersal berupa Peraturan Bupati atau
Peraturan Walikota.
2. Mendorong daerah untuk berkontribusi terhadap pemenuhan sarana
prasarana, obat, bahan habis pakai, dan peralatan kesehatan Puskesmas dan
Poskesdes agar mampu melakukan pertolongan persalinan di Puskesmas
dan Poskesdes secara memadai.
3. Ketentuan besaran jasa pelayanan dan kelancaran klaim menjadi perhatian
sebagai salah satu manfaat Jampersal untuk tenaga kesehatan yaitu adanya
kepastian akan menerima jasa pelayanan medis sesuai ketentuan yang
berlaku.
4. Memberi penekanan pada pemerintah daerah untuk menepati ketentuan
sesuai juknis, bahwa sasaran jampersal adalah ibu hamil, bersalin dan nifas
yang belum mempunyai jaminan.
5. Penguatan sinergisme berbagai sumber pembiayaan dalam mendukung
pelaksanaan Jampersal, seperti BOK, Jamkesmas, Jamkesda, dll.
6. Penguatan Tim Pengelola Jamkesmas/Jampersal di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dalam peningkatan kemampuan proses verifikasi dan
pembayaran klaim Jampersal.
• Sosialisasi menjadi kunci penting dalam keberhasilan, pelibatan lintas
program, lintas sektor dan masyarakat (Toma, Toga, kader) dalam
217
sosialisasi lebih di tingkatkan. Disamping itu perlu penganggaran khusus
untuk sosialisasi.
• Pengetatan mekanisme pengawasan dan sanksi agar seluruh penyedia
pelayanan kesehatan (PPK) Jampersal tidak menarik biaya tambahan dari
penerima manfaat Jampersal dengan melakukan “uji petik”.
• Peningkatan kemampuan tenaga kesehatan yang ada di wilayah tertentu
khususnya di daerah terpencil dan terisolir yang kurang diminati, di
antaranya melalui pemberian kewenangan tambahan/khusus mengingat
keterbatasan tenaga sesuai kompetensi.
• Penguatan komitmen pelayanan KB pasca persalinan sebagai paket dan
bagian tak terpisahkan dari pelayanan Jampersal dengan didorong untuk
penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang, dengan menerapkan
inform consent.
• Pada daerah kepulauan atau wilayah dengan geografis sulit harus
dipertimbangkan beberapa pilihan :
a. Menyediakan dana pendamping untuk penggantian transport rujukan
bila diperlukan.
b. Menyediakan rumah singgah.
c. Menyediakan pelayanan ‘one stop service’, dalam pengertian
memenuhi ketersediaan sarana pelayanan kesehatan tingkat dasar
sampai dengan rujukan.
6.2.2 Jangka Panjang
Rekomendasi jangka panjang ini lebih diperuntukkan bagi pelayanan
kesehatan ibu dan anak secara keseluruhan.
• Aspek Sarana dan Prasarana dan SDM
1) Dukungan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan,
dan Pemerintah Daerah dalam percepatan pembangunan infrastruktur
jalan dan transportasi yang memadai, khususnya di daerah tertinggal,
218
perbatasan, dan kepulauan, dalam rangka memudahkan proses rujukan
KIA.
2) Penguatan Puskesmas PONED dan RS PONEK, baik aspek tenaga, sarana,
obat dan peralatan, serta keterampilan (skill) petugas sebagai penyedia
layanan emergensi obstetrik dan neonatal tingkat dasar dan
komprehensif.
3) Penguatan sistem rujukan (improvement collaborative) antara Puskesmas
PONED dan RS PONEK.
4) Keberadaan bidan sebagai anggota masyarakat memiliki keterbatasan
yang harus diperhatikan, sehingga diupayakan adanya pendamping di
wilayah kerja bidan karena bidan mempunyai keterbatasan .
• Pemberdayaan Masyarakat sangat penting untuk mendukung pelaksanaan
kebijakan Jampersal. Peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui
pemberian KIE (Konseling, Informasi dan Edukasi) tentang Jampersal untuk
mengatasi hambatan non-medis dan non-finansial, seperti hambatan kultural
dan hambatan informasi.
• Melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan dan lintas
sektor dalam kesehatan dalam sosialisasi program kesehatan termasuk
jampersal.
219
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya karena telah menyelesaikan laporan penelitian dengan tepat waktu
dengan judul “ Riset Evaluatif Implementasi Jaminan Persalinan ”. Laporan ini
merupakan penelitian DIPA 2012, yang dilakukan di 14 Kabupaten / Kota di 7
Provinsi di Indonesia.
Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih banyak
kepada yang terhormat Bapak Dr. Trihono, dr., M.Sc., Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Kementrian Kesehatan RI atas terlaksananya penelitian DIPA
2012.
Terima kasih pula Bapak Agus Suprapto, drg., M.Kes, selaku Kepala Pusat
Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, atas segala
perhatian, kesempatan dan dukungan yang diberikan.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada:
1. Kasubdit Ibu Nifas dr. Riskiyana, sebagai narasumber yang telah bekerjasama
dan memberikan masukkan tentang Program terkait kebijakan Jampersal.
2. Kepala Pusat Jaminan Kesehatan, Drg. Usman Sumantri, sebagai narasumber
dan bekerjasama dalam memberikan informasi tentang Pembiayaan Jaminan
Persalinan.
3. DR. Sandi Iljanto, sebagai Mitra dalam pelaksanaan penelitian Jaminan
Persalinan.
4. Seluruh Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur Rumah Sakit Daerah di 14
Kabupaten/Kota Lokasi Penelitia atas ijin dan kerjasamanya selama penelitian
berlangsung.
5. Seluruh responden yang terlibat pada penelitian ini baik di dinas Kesehatan,
RSUD. Sampang, Puskesmas, masyarakat, Toma, Toga, Lintas sektor terhadap
segala perhatian dan informasi yang diberikan.
6. Teman-teman tim peneliti di penelitian ini, atas segala perhatian,
kekompakan dan kerjasamanya demi kelancaran penelitian ini.
221
DAFTAR KEPUSTAKAAN
___________________ 2011. Profil Kesehatan Wakatobi. Wakatobi: Dinas
Kesehatan
Ahimsa, Heddy Shri. 2012. Strukturalisme Levi Strauss; Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Kepel Press.
Alexander, ER. 1985. From Idea to Action: Notes for a Contingency Theory of the
Policy Implementation Process, Administration & Society. 16: 403.
Andersen, J. 1975. Public Policy Making. Nelson: London.
Anonym. 1996. Pedoman Pelaksanaan Gerakan Sayang Ibu, Hasil Lokakarya
Nasional “Perkembangan Pelaksanaan Gerakan Sayang Ibu di Delapan
Propinsi Daerah Uji Coba”. Yogyakarta.
Badan Litbangkes. 2011. IPKM: Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta.
Badan Litbangkes RI. 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010.
Badan Litbangkes RI. Jakarta
Badan Pusat Statistik RI., Macro Internasional, USAID., 2007. Laporan Survey
Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007, Badan Pusat Statistik RI.,
Jakarta.
BPS Kab Lombok Tengah. 2012. Lombok Tengah Dalam Angka Tahun 2012.
Praya.
Buse K, Mays N, Walt G. (2005) Making Health Policy, 1st ed, Open
University Press. England.
Buse K, Mays N, Walt G. (2012) Making Health Policy, 2nd ed, Open
University Press. England.
Carine Ronsmans C., Graham WJ. (2006) Maternal mortality: who, when,
where, and why. The Lancet, 368(9542):1189 – 1200.
Departemen Dalam Negeri RI (2008) Petunjuk Teknis Operasional PNPM
Generasi Sehat dan Cerdas.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bina Kesehatan
Masyarakat, 2003, Rencana Strategis Nasional, Making Pregnancy Safer
(MPS) di Indonesia 2001-2010, Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI (2008a) Permenkes No. 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
Depkes RI (2008b) Kepmenkes No. 828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk
Teknis Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
Dinkes Kab Lombok Tengah (2011) Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok
Tengah Tahun 2011. Praya.
Dunn WN (2009) Public Policy Analysis: An Introduction, 4th
Ed. Pearson.
Dunn, William. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (second
edition)(terjemahan). Jogjakarta, Gadjah Mada University Press
Emzir, 2011 Metodologi Penelitian Kualitatif; Analisis Data. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
222
Gordon, Ian, Janet Lewis and Ke Young dalam Hill, Michael (eds). 1993. The Policy
Process, A Reader. New York; Harvester Wheatsheaf
Graham WJ, Ahmed S., Stanton C., Zahr-CLA, & Campbell OMR (2008)
Measuring maternal mortality: An overview of opportunities and options
for developing countries. BMC Medicine, 6;12
Greena A, Gereina N, Mirzoeva T, Birda P, Pearsona S, Anhb LV, Martineauc T,
Mukhopadhyayd M, Qiane X, Ramanif KV, Soorsg W (2011) Health policy
processes in maternal health: A comparison of Vietnam, India and China,
Health Policy 100;67–173.
Gulliford, Martin, Jose Figueroa-Munoz, Myfanwy Morgan, David Hughes, Barry
Gibson1, Roger Beech2, Meryl Hudson, 2002. What does `access to health
care’ mean? Journal of Health Services Research and Policy, Volume 7 No. 3
July 2002
Yoni Yulianti, “Analisis Partisipasi Masyarakat dalam PNPM Mandiri Perkotaan
di Kota Solok”. 2012.
Kemenkes RI (2011a) Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta.
Kemenkes RI (2011b) Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan 2011: Laporan
Puskesmas. Badan Litbangkes, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI., 2011a. Bagaimana Pendanaan Jampersal? Mediakom
edisi 29/April 2011
Kementerian Kesehatan RI., 2011b. Jampersal Solusi Persalinan. Mediakom edisi
29/April 2011
Kementerian Kesehatan RI., 2011c. Kebijakan Jaminan Persalinan. Mediakom
edisi 29/April 2011
Kementerian Kesehatan RI., 2011d. Percepatan Penurunan AKI dan AKB.
Mediakom edisi 29/April 2011
Kementerian Kesehatan RI., 2011e. Menkes Beberkan Program Prioritas
Kemenkes 2011. Press Release. Diunduh dari http://www.depkes.go.id
Kementerian Kesehatan RI.Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor
2562/MENKES/PER/XII/2011
Kementerian Kesehatan RI.Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor
2562/MENKES/PER/XII/2010
McDermott, R. J. 1999. Inside The Academy: Profiling Dr. Lawrence W. Green.
American Journal of Health Behavior, Volume 23, halaman 3-6
Meter DMV & Horn CEV (1975) The Policy Implementation Process: A
Conceptual Framework, Administration and Society 6(4):445-8.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta,
Rineka Cipta
Pranata, Setia, Niniek L Pratiwi, Sugeng Rahanto, 2011, Pemberdayaan
Masyarakat di Bidang Kesehatan, Gambaran Peran Kader Posyandu
dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Kota Manado
dan Palangkaraya, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 14, No. 2,
April 2011.
223
Ratna, Nyoman Kutha, 2010 Metodologi Penelitian; Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rukmini, KL. Wilujeng, Gambaran Penyebab Kematian Maternal di Rumah Sakit
(Studi di RSUD Pesisir Selatan, RSUD Padang Pariaman, RSUD Sikka, RSUD
Larantuka dan RSUD Serang, 2005).
Statistik Daerah Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2012.
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), tahun 2007.Jakarta. 2007.
Walt G, Shiffman J, Schneider H, Murray SF, Brugha R, & Gilson L. (2008) ‘Doing’
health policy analysis: methodological and conceptual reflections and
challenges, Health Policy and Planning 23:308–317.
Weimer DL, & Vining AR. (1999) Policy Analysis: Concepts and Practice, 3rd Ed.
Prentice-Hall.
Weimer DL, & Vining AR. (2010) Policy Analysis: Concepts and Practice,5th
Ed.
Pearson.
http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=296
:bidan-berperan-penting-turunkan-aki-dan-
akb&catid=113:keperawatan&Itemid=139 diunduh pada tanggal 19
Desember 2012.
http://edukasi.kompasiana.com/2012/10/03/pentinganya-pemberdayaan-
masyarakat-di-bidang-kesehatan-498435.html.
http://fp.unram.ac.id/data/2012/04/AgFin_18-1_10-Rasyidi-_No.-Rev._.pdf
http://health.detik.com/read/2012/12/12/180034/2116877/1301/nikah-
muda-bikin-angka kematian-ibu-susah-ditekan?881104755, diakses pada
tanggal 20 Des 2012 pukul 9.15.
http://www.pasca.unand.ac.id/id/wp.../ANALISIS-PARTISIPASI-MASYARAKAT.pdf
top related