Referat Kolitis WINDA
Post on 30-Jan-2016
27 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI……………………………………………….…………………………..1
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………2
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ……….………………………………………………..... .....4
BAB III KESIMPULAN ……………………………………....................................24
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................25
KATA PENGANTAR
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 1
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih, karunia
dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Kolitis Infeksi dengan baik
serta tepat pada waktunya.
Adapun karya tulis ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di RS Pelabuhan Jakarta
periode 31 Agustus-7 November 2015 dan juga bertujuan untuk menambah informasi bagi
penulis dan pembaca tentang Kolitis Nekrosis.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata,
Penulis mengucapkan terimakasih dan semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat.
Jakarta, Oktober 2015
Penulis
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 2
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
BAB I
PENDAHULUAN
Kolitis Infeksi merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
kolon (usus besar). Kondisi ini biasanya menyebabkan nyeri perut bagian bawah dan diare.
Kolitis infeksi dapat disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, dan parasit patogen. Di
negara berkembang dengan sanitasi yang relatif buruk, infeksi bakteri dan parasit patogen enterik
lebih umum dibandingkan dengan virus patogen. Banyak mikroba patogen yang menyebabkan
kolitis infeksi bersifat invasif dan menginfiltrasi mukosa, mengakibatkan reaksi inflamasi akut
dengan rusaknya barier epitelial; terdapat lendir, sel-sel darah merah, dan sel darah putih pada
tinja. Gejalanya dapat berupa diare dengan atau tanpa disentri, sakit perut, dan demam ringan.
Mikroba patogen penting yang menyebabkan kolitis infeksi termasuk Entamoeba histolytica,
Shigella, Escherichia coli patogen, Mycobacterium tuberculosa, dan Clostridium difficile.
Walaupun sejumlah patogen lain juga dapat menyebabkan kolitis infeksi, mikroba-mikroba yang
telah disebutkan di atas bersifat signifikan berdasarkan titik pandang epidemiologi dan lebih
umum terjadi.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 3
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
BAB II
PEMBAHASAN
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab
dapat diklarifikasikan sebagai berikut:
a. Kolitis Infeksi, misalnya: Shigellosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis
pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit.
b. Kolitis Non-Infeksi, misalnya: Kolitis ulseratif, penyakit Crohn's, kolitis radiasi, kolitis
iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simple colitis).
Pembahasan ini difokuskan pada kolitis infeksi yang sering ditemukan di Indonesia sebagai
daerah tropik, yaitu kolitis amebik, shigellosis, infeksi E.coli patogen, kolitis tuberkulosa, serta
kolitis pseudomembran. Infeksi E.coli patogen dilaporkan sebagai penyebab utama diare kronik
di Indonesia.
2.1. KOLITIS AMEBIK (AMEBIASIS KOLON)
Batasan
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.
Epidemiologi
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10%
populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan
host sekaligus resevoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan
minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan
seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya
sanitasi individual mempermudah penularannya.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 4
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista
pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia. Sedangkan pada
pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan
trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia.
Patofisiologi
E. histolytica memiliki bentuk pseudopod, merupakan parasit protozoa tidak
berflagel yang dapat menyebabkan proteolisis dan lisis jaringan, juga menginduksi
apoptosis sel host-nya. Manusia dan primata non-manusia merupakan satu-satunya host
bagi E. histolytica. Menelan kista E. histolytica yang berasal dari lingkungan akan diikuti
dengan eksistasi pada ileum terminal atau kolon, dan berubah bentuknya menjadi trofozoit
yang sangat motil. Saat kolonisasi di mukosa kolon, trofozoit dapat menghasilkan kista
yang kemudian dieksresikan melalui feces atau dapat pula menembus barrier mukosa usus
sehingga dapat masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke hati, paru, serta bagian tubuh
lainnya. Kista yang dieksresikan akan mencapai lingkungan dan melengkapi siklus ini.
Berdasarkan pola isoenzimnya, E. histolytica dibagi menjadi golongan zymodeme
patogenik dan zymogene nonpatogenik. Walaupun mekanismenya belum seluruhnya jelas,
diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara mengeluarkan enzim
proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti pemakan steroid memudahkan
invasi parasit ini. Penglepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi yang
menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses ini berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya
seperti botol undetermined, kedalaman ulkus mencapai submukosa atau lapisan
submuskularis. Tepi ulkus menebal dengan sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus
terlihat normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian
kolon asenden dan sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis.
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan imunitas
cell-mediated amibisidal berupa makrofag lymphokine-activated setra limfosit sitotoksik
CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 5
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
granulasi dan membentuk massa yang disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon
asenden.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Manifestasi klinis yang
sering dijumpai berupa diare berdarah dan nyeri abdominal. Hanya 10-30% pasien dengan
disentri amuba disertai dengan demam. Penurunan berat badan dan anoreksia dapat terjadi.
Kolitis fulminan atau nekrosis biasanya bermanifestasi sebagai diare berdarah yang berat,
nyeri abdominal yang luas disertai dengan adanya peritonitis dan demam. Faktor
predisposisi dari kolitis fulminan ini meliputi nutrisi yang kurang, kehamilan, penggunaan
kortikosteroid, dan usia yang sangat muda.
Selain itu, terdapat beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis yaitu:
Carrier (cyst passer): Ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala
atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang
diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri dalam waktu 1 tahun, sisanya
(10%) berkembang menjadi kolitis ameba.
Disentri Ameba Ringan: Kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan
dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien
baik.
Disentri Ameba Sedang: Kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan
nyeri spontan.
Disentri Ameba Berat: Diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia.
Disentri Ameba Kronik: Gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi dengan
periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,
neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau makanan
yang sukar dicerna.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 6
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Diagnosis
Pada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis kolon, pertama kali diperiksa
adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan dilanjutkan. Pemeriksaan tinja segar
yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal 3 spesimen tinja yang terpisah
untuk mencari adanya bentuk trofozoit. Untuk identifikasi kista dilakukan pemeriksaan
tinja dengan pengecatan trichrome, bila perlu dengan teknik konsentrasi tinja.
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap ameba, positif
pada 85-95% pasien dengan infeksi ameba yang invasif.
Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien
amebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan terapi. Ulkus
yang terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan dasar yang melebar
(undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa di sekitar ulkus
biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan pada dasar ulkus dengan cara
mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa dengan mikroskop setelah diberi larutan garam
fisiologis.
Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambaranya sangat
bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagai filling defect.
Diagnosis Banding
Kolitis amebik sangat perlu dibedakan dengan kolitis ulserosa atau kolitis Crohn
karena pemberian kortikosteroid pada klitis amebik menyebabkan penyebaran organism
dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian pasien.
Diagnosis banding yang lain adalah kolitis karena infeksi Shigella, Salmonella,
Campylobacter, Yersenia, E. coli patogen, dan kolitis pseudomembran.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 7
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Komplikasi
Berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur.
Penatalaksanaan
Karier asimtomatik
Diberi obat yang bekerja, di lumen usus (luminal agents) antara lain : Iodoquinol
(diiodohidroxyquin) 650 mg 3 kali sehari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg
3 kali sehari selama 10 hari.
Kolitis ameba akut
Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari, ditambah dengan obat luminal
tersebut diatas.
Amebiasis ekstra-intestinal (misalnya: abses hati ameba)
Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal
tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak
terbukti lebih efektif dari satu macam obat.
2.2. DISENTRI BASILER (SHIGELLOSIS)
Batasan
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus
Shigella.
Epidemiologi
Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek, kurang
air, dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik, infeksi Shigella
merupakan 10-15% penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah
adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular.
Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relatif sedikit, yaitu berkisar antara 10-100
kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fekal oral, baik secara
kontak langsung maupun akibat makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 8
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Di daerah tropis termasuk Indonesia, disentri biasanya meningkat pada musim
kemarau di mana S. flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negara-
negara Eropa dan Amerika Serikat prevalensinya meningkat dimusim dingin. Prevalensi
infeksi oleh S. flexnerii di negara tersebut telah menurun sehingga saat ini S. Sonnei adalah
yang terbanyak.
Mikrobiologi
Shigella termasuk kelompok enterobacteriaceae, yang bersifat gram negatif,
anaerob fakultatif dan sangat mirip dengan Eschericia coli. Beberapa sifat yang
membedakan kuman ini dengan E. coli adalah kuman ini tidak bergerak aktif, tidak
memproduksi gas dalam media glukosa dan pada umumnya laktosa negatif.
Dikenal 4 species Shigella dengan berbagai serotipenya yaitu: S. dysentriae (12
serotipe), S. flexnerii (14 serotipe), S. boydii (15 serotipe), dan S. sonnei (1 serotipe).
Keempat spesies Shigella itu secara berurutan disebut sebgai golongan A, B, C, dan D.
Penyebaran geografik dan kerentanan terhadap antimikroba bervariasi tergantung
dari speciesnya. S. dysentriae serotype 1 dapat menyebabkan epidemi yang mematikan, S.
boydii terbatas pada daerah India, sedangkan S.flexnerii serta S. sonnei memiliki prevalensi
pada negara berkembang. S. flexnerii merupakan bakteri gram negatif yang enteroinvasif,
yang bertanggung jawab terhadap endemi disentri basiler di seluruh dunia.
Patofisiologi
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang
ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair), disertai eksudat
inflamasi yang mengandung leukosit polymorphonuclear (PMN) dan darah.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis
dapat juga terserang. Pada kasus yang sangat berat dan mematikan kuman dapat ditemukan
juga pada lambung serta usus halus.
Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa
kolon dan berkembang biak di dalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel di sekitarnya
melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal terjadi di lapisan epitel, respon
inflamasi lokal yang menyertainya cukup berat, melibatkan leukosit PMN dan makrofag.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 9
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Hal tersebut menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur
jaringan, dan ulserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut terjadi penumpukan sel inflamasi
pada lamina propia, dengan abses pada kripta merupakan gambaran yang utama.
S. dysentriae, S. flexneri, dan S. sonnei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1,
ShET2, toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik.
Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu
menginvasi sel mukosa kolon dan memperberat gejala klinis.
Kuman Shigella jarang melakukan penetrasi ke jaringan di bawah mukosa sehingga
jarang menyebabkan bakteriemia. Walaupun demikian pada keadaan malnutrisi dan pasien
immuno-compromized dapat terjadi bakteriemia. Selain itu dapat pula terjadi kolitis
hemoragik.
Manifestasi Klinis
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis
Shigellosis bervariasi. Lama gejala rata-rata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat
berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan
berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa.
Populasi yang memiliki resiko tinggi terhadap shigellosis meliputi:
Anak-anak di pusat-pusat penitipan anak (<5 tahun) dan pengasuh mereka
Pria homoseksual
Wisatawan internasional
Orang yang hidup dalam kondisi yang penuh sesak dengan fasilitas sanitasi
yang buruk dan suplai air bersih yang tidak memadai (misalnya, kamp-kamp
pengungsian, tempat penampungan bagi pengungsi)
Orang dengan infeksi immunodeficiency virus (HIV)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 10
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Gejala-gejala shigellosis meliputi:
Onset yang mendadak dari kram perut, demam tinggi, muntah, anoreksia, dan
diare cairan dalam jumlah banyak. Kejang dapat merupakan manifestasi awal.
Nyeri abdominal, tenesmus, urgency, inkontinensia fekal, dan diare sedikit
berlendir dengan darah merah terang dapat terjadi.
Tanda-tanda shigellosis meliputi:
Peningkatan suhu (setinggi 1060 F) dilaporkan terdapat pada sepertiga kasus
dan didapatkan adanya tanda toksik umum.
Takikardi dan takipneu dapat merupakan sekunder dari demam dan dehidrasi.
Bergantung dari derajat dehidrasinya; membran mukosa yang kering, hipotensi,
capillary refill time yang memanjang, dan penurunan turgor kulit dapat terjadi.
Ketegangan perut biasanya terjadi di bagian tengah dan bawah, juga dapat
terjadi pada seluruh bagian perut.
Pada anak-anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang,
delirium, nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi. Pengidap pasca infeksi pada umumnya
berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya
pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap
kronik tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami gejala shigellosis yang
intermiten.
Diagnosis
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri
abdomen bawah, rasa panas rektal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan
adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dan
bahan tinja segar atau hapus rektal. Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya
kolitis, namun pemeriksaan tersebut umumnya tidak diperlukan, karena menyebabkan
pasien merasa sangat tidak nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila
segera dilakukan kepastian diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau
manifestasi akut kolitis ulserosa idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsi harus dikerjakan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 11
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
dalam waktu 4 hari dari saat gejala. Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak
bermanfaat.
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulseratif. Demikian
pula pemeriksaan barium enema, sigmoidoskopi, dan histopatologi juga tidak dapat
membedakannya. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis
yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat.
Diagnosis Banding
Salmonelosis, sindrom diare karena E. coli, kolera, kolitis ulserosa.
Penatalaksanaan
Mengatasi Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Sebagian besar pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien
dengan diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga
tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi intravena.
Antibiotik
Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya penyakit
yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta perlu
diperhatikan pola sensitivitas kuman di daerah tersebut.
Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah:
* Ampisilin 4 x500 mg per hari, atau
* Kontrimoksazol 2 x 2 tablet per hari, atau
* Tetrasiklin 4 x 500 mg per hari selama 5 hari.
Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah
banyak yang resisten dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik
lain seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien
dengan gejala klinik yang berat.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 12
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Pengobatan simptomatik
Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan
derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi terjadinya
megakolon toksik. Obat simptomatik yang lain di berikan sesuai dengan keadaan
pasien antara lain analgetik-antipiretik dan antikonvulasi.
2.3. INFEKSI ESCHERICHIA COLI (PATOGEN)
Batasan
Infeksi kolon oleh serotipe Escherichia coli tertentu (O157:H7) yang menyebabkan diare
berdarah/tidak.
Epidemiologi
Karena pemeriksaan laboratorium untuk E.coli patogen jarang dilakukan, maka
angka kejadiannya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar
21.000 orang terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat , E.coli
(O157:H7) lebih sering di isolasi pada pasien diare dibandingkan dengan Shigella
demikian juga pada pasien diare kronik di Jakarta.
E.coli patogen tersebut didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan
ke manusia sehingga menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat
daging yang terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian digiling
dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah lewat air minum
yang tercemar, tempat berenang yang tercemar dan antar manusia.
Masa inkubasi rata-rata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1-8 hari. E.coli patogen
dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak pernah
ditemukan pada orang sehat (bukan flora normal pada manusia).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 13
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Patofisiologi
Berbeda dengan peran penting dari kebanyakan E. coli pada usus manusia, E. coli
patogen bertanggung jawab terhadap spektrum yang luas dari penyakit manusia. E. coli
muncul sebagai penyebab penting dari diare, dengan fenotip serta mekanisme patogen
yang beragam. Hemolytic-uremic syndrome (HUS) merupakan komplikasi yang berbahaya
pada infeksi enterik strain spesifik E. coli.
Terdapat 5 fenotip dari E. coli diaregenik yang telah diketahui; setiap fenotip
memiliki patogenesis yang berbeda. Fenotipnya meliputi:
Enterotoxigenic E coli (ETEC)
Enterohemorrhagic E coli (EHEC)
Enteropathogenic E coli (EPEC)
Enteroinvasive E coli (EIEC)
Enteroaggregative E coli (EAEC)
ETEC menempel pada mukosa usus halus melalui beberapa fimbrial colonization
factor antigens (CFAs) yang berbeda. Sekali kolonisasi terjadi, satu atau dua dari
enterotoksin tersebut (heat labile toxin [LT] dan heat stable toxin [ST]) akan dilepaskan.
Toksin ini akan membawa cairan serta elektrolit keluar dari mukosa usus halus. ST
dilaporkan sebagai toksin yang lebih virulen. LT dekat hubungannya dengan struktur dan
fungsi enterotoksin yang diekspresikan oleh Vibrio cholerae.
EHEC, yang juga dikenal sebagai Shiga-toxin producing E. coli (STEC)
mencetuskan lesi attaching and effacing (AE) pada usus besar. Saat berada di dalam kolon,
EHEC melepaskan toksin yang dikenal sebagai Shiga-like toxin (Stx). Stx berhubungan
dengan toksin Shiga dari Shigella dysenteriae dan bersifat sitotoksik terhadap endotel
pembuluh darah. Sirkulasi sistemik dari Stx dapat berpotensial menyebabkan HUS namun
tidak menyebabkan kolitis hemoragik EHEC. E. coli O157:H7 merupakan EHEC yang
paling virulen.
HUS terdiri atas trias anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, dan
insufisiensi renal. HUS biasanya berkembang pada minggu ke-2 (hari ke-2 sampai 14),
seringkali setelah diare teratasi. Pasien terlihat pucat, lemah, iritabilitas, oliguri, dan anuria.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 14
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
EPEC juga menghasilkan lesi AE, namun juga dapat dihasilkan tanpa adanya Stx.
Patogenesisnya meliputi kolonisasi pada usus halus, diikuti dengan pembentukan lesi AE
dan sekret.
Patogenesis EIEC serupa dengan species Shigella. EIEC menginvasi sel epitel usus
besar, menghasilkan enterotoksin sekretogenik dan kematian sel epitel kolon. Enterotoksin
ini biasanya tidak memfermentasikan laktosa dan bertanggung jawab terhadap respon
inflamasi lokal di kolon.
EAEC menempel pada usus halus dan besar melalui aggregative adherence
fimbriae (AAFs) diikuti dengan kolonisasi. Kolonisasi ini menghasilkan enterotoksin dan
sitotoksin, yang kemudian merusak mukosa intestinal.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi E.coli patogen sangat bervariasi, dapat berupa: infeksi
asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis), SHU, purpura
trombositopenik sampai kematian.
Gejala klinisnya berupa nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal cramp),
diare yang kemudian diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien disertai nausea (mual)
dan vomiting (muntah). Pada umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal,
sehingga dapat dikelirukan sebagai kolitis non infeksi.
Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun sebagian pasien
tidak mengandung darah sama sekali.
Pada pemeriksaan kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa yang edematous dan
hiperemia, kadang-kadang ditemukan ulserasi superficial. Dapat dijumpai pula
pseudomembran sehingga menyerupai infeksi C. difficile.
Pemeriksaan patologi menunjukkan gambaran infeksi atau iskemik dengan pola
patchy kadang-kadang dijumpai mikrotrombi fibrin.
Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU (sekitar
6% dari pasien) antara 2-12 hari dari onset diare. SHU ditandai dengan anemia hemolitik
mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal, dan gejala saraf sentral. Komplikasi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 15
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
neurologik berupa kejang, koma, hemiparesis, terjadi pada sekitar seperempat dari pasien
SHU. Sedangkan hemodialisis diperlukan oleh sekitar setengah dari pasien. Faktor resiko
terjadinya SHU antara lain: balita/manula, diare berdarah, febris, leukosit yang meningkat,
pengobatan dengan obat anti motilitas. Prediktor keparahan SHU antara lain meningkatnya
jumlah leukosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat timbul anuria, usia dibawah 2
tahun, mortalitas antara 3-5%.
Purpura trombositopenik mempunyai gejala yang mirip dengan SHU namun
dengan gejala gagal ginjal dan kelainan neurologik yang lebih ringan. Biasanya ditemukan
pada dewasa.
Diagnosis
Setiap pasien dengan diare berdarah seyogyanya dicurigai sebagai infeksi E. coli
patogen. Demikian pula pada pasien dengan kemungkinan tertular E. coli patogen walupun
mengalami diare tanpa darah juga patut dicurigai. Kultur dengan agar sorbitol-MacConkey
dan aglutinasi dengan O157 anti serum merupakan sarana yang murah untuk memastikan
diagnose infeksi E. coli patogen.
Diagnosis Banding
Kolitis pseudomembranosa dan kolitis infeksi yang lain.
Penatalaksanaan
Pengobatan infeksi E.coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan suportif dan
simptomatik. Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat
antibiotik dan obat yang menghambat motilitas.
Di samping itu pemberian kontrimoksazol di laporkan tidak mempunyai efek yang
signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme dan komplikasi
SHU.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 16
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
2.4. KOLITIS TUBERKULOSA
Batasan
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.
Epidemiologi
Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberkulosis yang
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Patofisiologi
Penyebab terbanyak Mycobacterium tuberculosae, biasanya lewat tertelannya
sputum yang mengandung kuman. Kadang-kadang akibat minum susu yang tercemar
Mycobacterium bovis. Terdapat hubungan tingginya frekuensi tuberkulosis saluran cerna
dengan beratnya tuberkulosis paru.
Secara patologis, TB gastrointestinal ditandai oleh peradangan dan fibrosis dari
dinding usus dan kelenjar getah bening regional. Ulserasi mukosa merupakan hasil dari
nekrosis patch Peyer, folikel getah bening, dan trombosis pembuluh darah. Pada tahap ini,
masih dimungkinkan terjadi perubahan reversibel dan penyembuhan tanpa jaringan parut.
Saat penyakit ini berkembang, ulserasi berkonfluen, dan fibrosis yang luas menyebabkan
penebalan dinding usus, fibrosis, dan lesi massa pseudotumor. Pembentukan striktur dan
fistul dapat terjadi.
Permukaan serosa mungkin menunjukkan adanya massa nodular dari tuberkel.
Mukosa meradang dengan hiperemi dan edema yang serupa pada penyakit Crohn. Dalam
beberapa kasus, aphthous ulcer dapat dilihat dalam usus besar. Kaseasi mungkin tidak
selalu terlihat sebagai granuloma, terutama di mukosa, tapi hampir selalu terlihat pada
kelenjar getah bening regional.
Timbul 3 bentuk kelainan pada kolitis tuberkulosa, yaitu:
1. Ulseratif pada 60% kasus, lesi aktif berupa tukak superfisial.
2. Hipertrofik pada 10% kasus, bentuk lesinya parut fibrosis, dan massa yang
menonjol menyerupai karsinoma.
3. Ulserohipertrofik pada 30% kasus, terdapat ulserasi dengan fibrosis yang
merupakan bentuk penyembuhan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 17
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Semua bagian saluran cerna dapat terinfeksi, namun lokasi yang tersering (85–90%
kasus) adalah di daerah ileosekal.
Manifestasi Klinis
Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak
khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksi,
demam ringan, penurunan berat badan atau teraba masa abdomen kanan bawah.
Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan
tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya berasal dari kuman yang
tertelan bersama sputum.
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberkulosis di jaringan,
baik dengan pemeriksaan mikroskopik langsung atau atas hasil kultur biopsi jaringan.
Sedangkan diagnosis dugaan adanya kolitis tuberkulosa adalah bila didapatkan
tuberkulosis paru aktif dengan penyakit ileosekal.
Pada pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi lekuk
mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau masa mirip keganasan di sekum. Mungkin
pula terbentuk fistula di usus halus.
Kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang paling penting untuk membantu
menegakkan diagnosis kolitis tuberkulosa. Dengan kolonoskopi didapatkan visualisasi lesi
secara langsung, sekaligus ditemukan penyempitan lumen, dinding kolon yang kaku,
ulserasi dengan tepi iregular dan edematous.
Tes tuberkulin untuk menunjang diagnosis tuberkulosis paru di daerah endemik
kurang bernilai.
Diagnosis Banding
Penyakit Crohn, amebiasis, diverticulitis, dan karsinoma kolon.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 18
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi berupa perdarahan, perforasi, obstruksi intestinal,
terbentuknya fistula, dan sindrom malabsorpsi. Komplikasi yang sering terjadi adalah
obstruksi parsial yang kemudian berkembang menjadi obstruksi total.
Penatalaksanaan
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberkulosis seperti pada pengobatan
tuberkulosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-kadang
perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi.
Beberapa obat anti tuberkulosis yang sering dipakai adalah:
* INH 5-10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari.
* Etambutol 15-25 mg/kgBB atau 900-1200 mg sekali sehari.
* Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400-600 mg sekali sehari.
* Pirazinaimid 25-3 mg/kgBB atau 1,5-2 g sekali sehari.
2.5. KOLITIS PSEUDO MEMBRAN
Batasan
Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai
dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaan
mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab umumnya timbul setelah
menggunakan antibiotik.
Etiologi
Walaupun umumnya timbul sebagai komplikasi pemakainan antibiotik, namun
kolitis pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era antibiotik. Yang dianggap sebagai
kuman penyebab adalah Clostridium difficile, toksin yang dikeluarkan mengakibatkan
kolitis. Mekanisme pasti antibiotik menjadikan usus lebih rentan terhadap C. difficile
belum jelas. Penjelasan yang paling mungkin adalah penekanan flora usus normal oleh
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 19
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
antibiotik memberikan kesempatan tumbuh dan terbentuknya koloninsasi C. difficile
disertai pengeluaran toksin.
Epidemiologi
C. difficile ditemukan di tinja 3-5% orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di
kolonnya. Kolitis pseudomembran bisa mengenai semua tingkat umur. Kemungkinan tidak
dilaporkannya kolitis pseudomembran karena untuk menegakkan diagnosis perlu
kolonoskopi dan pemeriksaan toksin kuman di tinja. Penularan bisa secara kontak langsung
lewat tangan atau perantaraan makanan minuman yang tercemar. Semua jenis antibiotik
kecuali aminoglikosida intravena, potensial menimbulkan kolitis pseudomembran, namun
yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin, dan sefalosporin.
Patofisiologis
C. difficile menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman mengeluarkan
dua toksin utama, yaitu toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan enterotoksin yang
sangat berpengaruh terhadap semua kelainan yang terjadi, sedangkan toksin B adalah
sitotoksin dan tidak melekat pada mukosa yang masih utuh. Sebanyak 75% isolat C.
difficile menghasilkan kedua toksin tersebut. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak
menyebabkan kolitis maupun diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B diambil dan
sediaan tinja, dengan metode ELISA masing-masing spesifitasnya 98.6% dan 100%.
Manifestasi Klinis
Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotik digunakan, tetapi
mungkin pula baru muncul setelah antibiotik dihentikan. Gejala yang paling sering
dikeluhkan ialah diare cair disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan, tetapi
biasanya banyak, sampai 10-20 kali sehari. Mual dan muntah jarang ditemukan. Sebagian
pasien mengalami demam walaupun dapat terjadi hiperpireksia, umumnya suhu tidak
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 20
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
melampaui 380C. Terdapat leukositosis, sering sampai 50.000/mm. Pada beberapa pasien
mungkin hanya diawali demam dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul stelah
beberapa hari kemudian. Temuan lain meliputi nyeri tekan abdomen bawah, edema, dan
hipoalbuminemia. Yang lebih sering terjadi adalah kolitis ringan. Pada kasus yang berat
dapat terjadi komplikasi berupa dehidrasi, edema anasarka, gangguan elektrolit, megakolon
toksik, atau perforasi kolon. Penggunaan narkotik atau antiperistaltik dapat meningkatkan
resiko megakolon.
Diagnosis
Jika perlu ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik
perlu dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. Diagnosis kolitis pseudomembran
dapat cepat dibuat dan akurat dengan melakukan pemeriksaan kolonoskopi. Sensitivitasnya
tinggi dan merupakan alat diagnosis definitif. Jika ditemukan lesi khas kolitis
pseudomembran, seyogyanya dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Secara
tipikal, diawali dengan lesi kecil (2-5 mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul, mukosa
di antaranya sering terlihat normal atau mungkin menunjukkan berbagai derajat eritema,
granularitas, dan kerapuhan. Jika lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang luas
berwarna kuning keabu-abuan dan jika diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa di
bawahnya mengalami ulserasi.
C. difficile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran yang
terdiagnosis secara kolonoskopi. Hasil biakan positif tidak diagnostik, karena pasien yang
berada di rumah sakit tanpa kolitis ditemukan biakan C. difficile positif sebesar 10-25%.
Sebagai standar baku adalah ditemukannya toksin B di tinja, sehubungan dengan efek
sitopatik pada kultur jaringan. Karena pemeriksaan ini memakan waktu dan mahal,
biasanya cukup memeriksa terdapatnya toksin A dengan metode ELISA.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 21
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
Gambaran histopatologi kolitis pseudomembran bervariasi tergantung beratnya
penyakit dan saat kapan biopsi dikerjakan. Price dan Dvies membagi lesi menjadi 3 tipe
yaitu:
Tipe I, lesi vulkano, dengan gambaran nekrosis epithelial fokal disertai PMN dan
fibrin tersebar di dalam lumen.
Tipe II, lesi glandular, dengan pelebaran kelenjar disertai PMN dan musin, dilapisi
pseudomembran, mukosa sekitarnya tidak terkena.
Tipe III, lesi nekrosis, dengan nekrosis mukosa total disertai mukosa yang dilapisi
pseudomembran yang tebal.
Diagnosis Banding
Kolitis pseudomembranosa perlu dibedakan dengan kasus diare akibat kuman
patogen lain, efek samping penggunaan obat yang bukan antibiotik, kolitis non-infeksi, dan
sepsis intra abdominal.
Penatalaksanaan
Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga menjadi
penyebab, juga obat yang menggangu peristaltik, dan mencegah penyebaran nosokomial.
Pada kasus yang ringan keadaan sudah bisa teratasi dengan penghentian antibiotik disertai
pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus dengan gejala-gejala yang lebih berat
seyogyanya dilakukan pemeriksaan deteksi toksin C. difficile dan terapi spesifik per oral
menggunakan metronidazol atau vankomisin.
Kolitis ringan sampai sedang: metronidazol dengan dosis per oral 250-500 mg 4x sehari
selama 7-10 hari.
Kolitis berat: vankomisin dengan dosis per oral 125-500 mg 4x sehari selama 7-14 hari.
Alternatif pengobatan: kolestiramin dengan dosis per oral 4 gram 3x sehari selama 5-10
hari. Kolestiramin digunakan untuk mengikat toksin yang dihasilkan C. difficile, tetapi obat
ini juga mengikat vankomisin.
Pada kasus yang berhasil disembuhkan, ternyata dalam beberapa minggu atau bulan
kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan setelah pengobatan spesifik diusahakan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 22
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman laktobasilus atau ragi
(Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 23
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
KESIMPULAN
Kolitis Infeksi merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
kolon (usus besar). Kondisi ini biasanya menyebabkan nyeri perut bagian bawah dan
diare.
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab
dapat diklarifikasikan sebagai berikut:
o Kolitis Infeksi, misalnya: Shigellosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis
pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit.
o Kolitis Non-Infeksi, misalnya: Kolitis ulseratif, penyakit Crohn's, kolitis radiasi,
kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simple colitis).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 24
Kolitis Infeksi Winda Nurmalasari (406148026)
DAFTAR PUSTAKA
Aberra, Faten. Clostridium Difficile Colitis. Medscape Reference. 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/186458-overview
Anand, Mahesh Kumar Neelala. Tuberculosis, Gastrointestinal. Medscape Reference. 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/376015-overview
Kroser, Joyann. Shigellosis. Medscape Reference. 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/182767-overview
Lacasse, Alexandre. Amebiasis. Medscape Reference. 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview
Madappa, Tarun. Escherichia Coli Infections. Medscape Reference. 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/217485-overview
Navaneethan, Udayakumar; Ralph A. Giannella. Infectious Colitis. Medscape News. 2011.
http://www.medscape.com/viewarticle/737810
Oesman N. Kolitis Infeksi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Interna
Publishing, hlm. 213; 2001.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 31 Agustus-7 November 2015 25
top related