Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
Post on 22-Apr-2023
0 Views
Preview:
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Keselamatan pasien di rumah sakit adalah sistem pelayanan
dalam suatu RS yang memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman.
Risiko terjadinya kesalahan medis yang dialami pasien di rumah
sakit sangat besar. Besarnya risiko dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain lamanya pelayanan, keadaan pasien, kompetensi
dokter, serta prosedur dan kelengkapan fasilitas. Kesalahan medis
tersebut bisa saja terjadi pada saat komunikasi dengan pasien,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis maupun terapi
dan tindak lanjut, namun bukan disebabkan oleh penyakit underlying
diseases. Risiko klinis tersebut bisa berakibat cedera,
kehilangan/kerusakan atau bisa juga karena faktor kebetulan atau
ada tindakan dini tidak berakibat cedera.
Kejadian risiko yang mengakibatkan pasien tidak aman sebagian
besar dapat dicegah dengan beberapa cara. Antara lain
meningkatkan kompetensi diri, kewaspadaan dini, dan komunikasi
aktif dengan pasien. Salah satu yang bisa dilakukan untuk
mendukung program patient safety tersebut adalah penggunaan
antibiotik secara bijak dan penerapan pengendalian infeksi secara
benar. Diharapkan penerapan “Program Pengendalian Resistensi
Antibiotik” dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya
penanganan kasus-kasus infeksi di rumah sakit serta mampu
meminimalkan risiko terjadinya kesalahan medis yang dialami
pasien di rumah sakit.
1
Resistansi antibiotika telah menjadi masalah di Indonesia
dengan merujuk pada Pedoman Pengendalian Resistensi Antibiotika
(PPRA) yang melibatkan 20 rumah sakit pendidikan. Permenkes no.
2406/Menkes/PER.XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik dan beberapa hasil penelitian telah dilakukan antara
lain Antimicrobial Resistance in: Indonesia Prevalence and Prevention (AMRIN)
menyatakan bahwa Indonesia memiliki resistensi terhadap mikroba.
Akibat dari resistensi antibiotika yaitu pengobatan pasien
menjadi gagal atau tidak sembuh, biaya jadi meningkat karena LOS
(long of stay) lebih lama dan jenis antibiotika beragam serta
keberhasilan program kesehaan masyarakat dapat terganggu.
Badan Eksekutif WHO telah merekomendasikan untuk memasukkan
resistensi antibiotika ke resolusi EB134.R13 pada World Health
Assembly 2014 bulan Mei lalu, dengan penyusunan Rencana Aksi
Global untuk Resistensi Antibiotika. World Health Day 2011
mengusung tema Antimicrobial Resistance (AMR). Hal ini kemudian
dilanjutkan oleh penandatanganan “Jaipur Declaration on
Antimicrobial Resistance 2011” oleh Menteri-menteri Kesehatan
dari negara-negara anggota WHO Regional Asia Tenggara. Dimana
pada Deklarasi Jaipur tersebut ditekankan pentingnya pemerintah
menempatkan prioritas utama untuk mempertahankan efikasi
antibiotik dan menghindari resistensi antimikroba. Mengatasinya
dengan melakukan rencana aksi yang melibatkan multisektor
Untuk mendukung kegiatan PPRA di rumah sakit perlu kesiapan
infrastruktur rumah sakit melalui kebijakan pimpinan rumah sakit
yang mendukung penggunaan antibiotic secara bijak (prudent use of
2
antibiotics), pelaksanaan pengendalian infeksi secara optimal,
pelayanan mikrobiologi klinik dari pelayanan farmasi klinik seara
professional. Hal ini sesuai dengan hasil rekomendasi Lokakarya
Nasional Kedua ‘Staregy to Combat the Emergence and Spread of
Antimikrobial Resistant Bacteria in Indonesia’ di Jakarta tanggal
6-7 Desember 2006 bahwa setiap rumah sakit diharapkan segera
menerapkan PPRA.
BAB II
3
PEMBAHASAN
A. ANTIMIKROBA
Antimikroba adalah bahan-bahan atau obat-obat yang digunakan
untuk memberantas/membasmi infeksi mikroba, khususnya yang
merugikan manusia,terbatas yang bukan parasit diantaranya
antibiotika, antiseptika, khemoterapeutika, preservative.
Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh
mikroorganisme, yang dalam konsentrasi kecil mempunyai kemampuan
menghambat atau membunuh mikroorganisme lain. Antibiotik bersifat
toksik secara selektif pada bakteri, namun tidak toksik pada sel
inang (host).
Penggolongan antimikroba
Berdasarkan mekanisme kerjanya
1. Bersifat sebagai antimetabolit/ penghambatan metabolisme sel.
Koenzim asam folat di perlukan untuk sintesis purin dan
pirimidin (prekursor DNA dan RNA) dan senyawa-senyawa lain
yang dipelukan untuk pertumbuhan seluler dan replikasi.
Untuk banyak mikroorganisme, asam p-amino benzoate (PABA)
merupakan metabolit utama. Antimikroba seperti sulfonamide
secara struktur mirip dengan PABA, asam folat, dan akan
berkompetisi dengan PABA untuk membentuk asam folat, Jika
senyawa antimikroba yang menang bersaing dengan PABA maka
akan terbentuk asam folat non fungsional yang akan
4
mengganggu kehidupan mikroorganisme.
Contoh obat: Sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat
2. Penghambatan sintesis dinding sel
Antimikroba golongan ini dapat menghambat biosintesis
peptidoglikan, sintesis mukopeptida atau menghambat sintesis
peptide dinding sel, sehingga dinding sel menjadi lemah dank
arena tekanan turgor dari dalam, dinding sel akan pecah atau
lisis sehingga bakteri akan mati. Contoh obat: penisilin,
sefalosforin, sikloserin, vankomisin, basitrasin, dan
antifungi gol. Azol.
3. Penghambatan fungsi permeabilitas membrane sel
Antimikroba bekeja secara langsung pada membrane sel yang
mempengarui permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa
intraseluler mikroorganisme, sehingga sel mengalami
kerusakan bahkan mati. Contoh Obat : polimiksin, nistatin,
dan amfoteresin B
4. Penghambatan sintesis protein yang reversible
Mempengaruhi fungsi sub unit 50S dan 30S. Antimikroba akan
menghambat reaksi transfer antara donor dengan aseptor atau
menghambat translokasi t-RNA peptidil dari situs aseptor
kesitus donor yang menyebabkan sitesis protein terhenti.
Contoh obat : kloramfenikol, gol. Tetrasiklin, eritromisin,
klindamisin, dan pristinamisin
5. Pengubahan sintesis protein
5
Berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis
protein, yang pada akhirnya akan mengakibatkan kematian
sel. Contoh obat : aminoglikosida
6. Penghambatan asam nukleat
Antimikroba mempengaruhi metabolis asam nukleat bakteri,
contoh obat : gol. Rifamisin, yang menghambat RNA polimerase
, dan yang menghambat topoisomerase Contoh obat : golongan
kuinolon
7. Seny. Antivirus yang terdiri beberapa gol :
Analog asam nukleat, secara selektif menghambat DNA
polimerase virus (asiklovir ),
menghambat transkriptase balik (zidovudin)
Inhibitor transkriptase balik non-nukleosida (nevirapin)
Inhibitor enzim2 esensial virus lainnya, mis.inhibitor
protease HIV atau neuranidase
influenza.
Berdasarkan spektrumnya
1. Antibiotik dengan spektrum sempit, efektif terhadap satu jenis
mikroba
2. Antibiotik dengan spektrum luas, efektif baik terhadap gram
positif maupun gram negatif. Contoh obat: tetrasiklin,
amfenikol, aminoglikosida, makrolida, rifampisin, turunan
penisilin (ampisilin, amoksisilin, bakampisilin, karbanesilin,
hetasilin, pivampisilin, sulbenisilin, dan tirkasilin), dan
sebagian besar turunan sefalosporin
6
3. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap gram
positif. Contoh obat: basitrasin, eritromisin, sebagian besar
turunan penisilin sprt benzilpenisilin, penisilin G prokain,
penisilin V, fenetilisin K, metisilin Na, turunan linkosamida,
asam fusidat, dan beberapa turunan sefalosporin.
4. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri
gram negatif. Contoh obat: kolkistin, polimiksin B sulfat, dan
sulfomisin
5. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan thdp Mycobacteriae
(antituberkulosis). Contoh obat: streptomisin, kanamisin,
sikloserin, rifampisin, viomisin, dan kapreomisin
6. Antibiotik yang aktif terhadap jamur (antijamur). Contoh obat:
griseofulvin, dan antibiotik polien seperti nistatin,
amfoterisin B, dan kandisidin
7. Antibiotik yang aktif terhadap neoplasma (antikanker). Contoh
obat: aktinomisin, bleomisin, daunorubisin, mitomisin, dan
mitramisin
Berdasarkan Struktur kimianya
1. Antibiotik β-laktam
2. Turunan amfnikol
3. Turunan tetrasklin
4. Aminoglikosida
5. Makrolida
6. Polipeptida
7. Linkosamida
7
8. Polien
9. Ansamisin
10. Antrasiklin
Berdasarkan Aksi utamanya
1. Bakteriostatik: menghambat pertumbuhan mikroba. Contoh obat :
Penisilin, Aminoglikosid, Sefalosporin, Kotrimoksasol, Isoniasid,
Eritromisin (kadar tinggi), Vankomisin
2. Bakterisida: membunuh / memusnahkan mikroba. Contoh obat :
Tetrasiklin, Asam fusidat, Kloramfenikol, PAS, Linkomisin,
Eritromisin kadar rendah), klindamisin
Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari
bakteriostatik menjadi bakterisida bila kadar antimikroba
ditingkatkan melebihi KHM dan menjadi KBM.
Kadar Hambat Minimal (KHM): kadar minimal yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan organism. Kadar Bunuh Minimal (KBM): kadar
minimal yang diperlukan untuk membunuh mikroorganisme.
Berdasarkan Tempat kerjanya
1. Dinding sel, menghambat biosintesis peptidoglikan, Contoh obat:
penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, sikloserin.
2. Membran sel, fungsi dan integritas membran sel, Contoh obat:
nistatin, amfoteresin, polimiksin B.
3. Asam nukleat, menghambat biosintesis DNA, mRNA, biosintesis DNA
dan mRNA Contoh obat: mitomisin C, rifampisin, griseofilvin
8
4. Ribosom, menghambat biosintesis protein (subunit 30S
prokariotik contoh: aminosiklitol, tetrasiklin, subunit 50S
prokariotik contoh: amfenicol, makrolida, linkosamida.
Efek Samping Penggunaan Antimikroba
1. Reaksi Alergi: reaksi ini dapat ditimbukan oleh semua
antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes.
2. Reaksi idiosinkrasi: gejala ini merupakan reaksi abnormal yang
diturunkan secara genetic terhadap pemberian antimikroba
tertentu.
3. Reaksi toksik: AM pada umumnya bersifat toksik – selektif,
tetapi sifat ini relative. Selain itu yang turut menentukan
terjadinya reaksi toksik yaitu fungsi organ/system tertentu
sehubungan dengan biotransformasi dan eksresi obat.
4. Perubahan biologik dan metabolik ; penggunaan AM, terutama
yang bersepektrum luas dapat mengganggu keseimbangan ekologik
mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah
populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan keseimbangan
ekologik mikroflora normal tubuh dapat terjadi di saluran
cerna, nafas kulit dan kelamin.
9
B. RESISTENSI ANTIMIKROBA
Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya
kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Sifat ini merupakan suatu
mekanisme alamiah untuk bertahan hidup.
Pembagian resistensi :
a. Resistensi genetic
1. Mutasi spontan
gen mikroba berubah karena pengaruh AM terjadi seleksi, galur
resisten bermultiplikasi, yang peka terbasmi, tersisa populasi
resisten
2. Resistensi dipindahkan
- Transformasi
- Transduksi
- Konjugasi
b. Resistensi silang
Keadaan resistensi terhadap Antimikroba tertentu yang juga
memperlihatkan resistensi terhadap Antimikroba yang lain terjadi
:
- antara Antimikroba dengan struktur kimia yang mirip
- antara Antimikroba beda struktur tapi mekanisme kerja mirip
Mekanisme resistensi :
1. Perubahan tempat kerja (target site) obat antimikroba
10
2. Mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk
kedalam sel
3. Inaktivasi obat oleh mikroba
4. Mikroba membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang
dihambat oleh mikroba
5. Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba
Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di
seluruh dunia, yaitu Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus
(MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-
Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan
Extended-Spectrum BetaLactamase (ESBL), Carbapenem-Resistant
Acinetobacter baumannii dan Multiresistant Mycobacterium
tuberculosis (Guzman-Blanco et al. 2000; Stevenson et al. 2005).
Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan
antibiotik yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar
(standard precaution) yang tidak benar di fasilitas pelayanan
kesehatan. Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-
Study) terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia
coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain:
ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%).
Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit
didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis
antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%),
kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).
11
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan
melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan
beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011):
1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel
bakteri.
4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan
sifat dinding sel bakteri.
5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera
dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif
ke luar sel.
Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat
Minimal) atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar
terendah antibiotik (µg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan
berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap
awal menuju resisten.
Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan beta-laktam,
pertama dikenal pada Tahun 1945 dengan nama penisilinase yang
ditemukan pada Staphylococcus aureus dari pasien yang mendapat
pengobatan penisilin. Masalah serupa juga ditemukan pada pasien
terinfeksi Escherichia coli yang mendapat terapi ampisilin (Acar
and Goldstein, 1998). Resistensi terhadap
golongan beta-laktam antara lain terjadi karena perubahan atau
mutasi gen penyandi protein (Penicillin Binding Protein, PBP).
12
Ikatan obat golongan beta-laktam pada PBP akan menghambat
sintesis dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis.
Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik
bisa terjadi dengan 2 cara, yaitu:
1) Mekanisme Selection Pressure.
Jika bakteri resisten tersebut berkembang berbiak secara
duplikasi setiap 20-30 menit (untuk bakteriyang berbiak
cepat), maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut dipenuhi oleh
bakteri resisten. Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri yang
resisten maka upaya penanganan infeksi dengan antibiotik
semakin sulit.
2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui
plasmid.
Hal ini dapat disebarkan antar kuman sekelompok maupun dari
satu orang ke orang lain.
Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:
1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan
antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics).
2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat
diatasi dengan meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-
prinsip kewaspadaan standar (universal precaution).
13
C. PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA
Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan
hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam
penggunaan klinis. Pengendalian Resistensi Antimikroba adalah
aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan/atau menurunkan
adanya kejadian mikroba resisten. Komite Pengendalian Resistensi14
Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA adalah komite yang
dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan
penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan
kesehatan dan di masyarakat.
Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik
merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global. Penggunaan
antimikro khususnya antibiotik yang tidak rasional dan tidak
terkendali merupakan sebab utama timbul dan menyebarnya
resistensi antimikroba secara global, termasuk munculnya mikroba
yang multiresisten terhadap sekelompok antibiotik terutama di
lingkungan rumah sakit (health care associated infection).
Malasah yang dihadapi sangat serius dan bila tidak ditanggapi
secara sungguh-sungguh, akan timbul dampak yang merugikan seperti
pada era preantibiotik.
Organisasi kesehatan sedunia (world health organization, WHO)
telah secara pro aktif menyikapi masalah ini. Berbagai upaya dan
strategi telah disusun antara lain intervensi edukasi berupa
edukasi formal, seminar, pelatihan, penyebaran brosur dan
literatur ; intervensi managerial seperti penyusunan formularium
rumah sakit, panduan/pedoman pengobatan, kebijakan penggunaan
antibiotik, supervise klinik, audit medik dan sebagainya, serta
intervensi regulasi di kalangan profesi medis dan paramedic
seperti registrasi dan ijin praktek tenaga dokter.
Semua kegiatan tersebut di atas memerlukan pendekatan
multidisiplin baik dalam perencanaan maupun implementasi di
lapangan agar promosi penggunaan antimikroba secara optimal dan
15
penanggulangan infeksi dapat terwujud. Kebijakan WHO ini juga
ditanggapi positif oleh pemerintah Indonesia melalui seperangkat
kebijakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang
tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 8 tahun 2015
tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah
Sakit antara lain yaitu penilaian infrastruktur rumah sakit untuk
mendukung Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di
tingkat rumah sakit.
Tugas dan fungsi Tim pelaksana PPRA antara lain:
1. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan
kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba
2. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan
kebijakan umum dan pengaduan penggunaan antibiotik di rumah
sakit
3. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam pelaksanaan
program pengendalian resistensi antimikroba
4. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaan program pengendalian resistensi
antimikroba
5. Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit
infeksi terintegrasi
6. Melakukan surveilens pola mikroba penyebab infeksi dan
kepekaanya terhadap antibiotik
7. Melakukan surveilens pola penggunaan antibiotik
8. Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran
tentang prinsip pengendalian resistensi antimikroba, pengunaan
16
antibiotik secara bijak, dan ketaatan terhadap pencegahan
pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan
9. Mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi
antimikroba
10. Melaporkan kegiatan program pengendalian
resistensi antimikroba kepada Kepala/Direktur rumah sakit
Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
dibentuk melalui keputusan kepala/direktur rumah sakit. Susunan
tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba terdiri
atas ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota. Kualifikasi
ketua tim PPRA merupakan seorang klinisi yang berminat di bidang
infeksi. Dalam melaksanakan tugasnya, tim pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba bertanggung jawab langsung
kepada kepala/direktur rumah sakit.
Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba harus merupakan tenaga kesehatan yang kompeten. Bila
dalam hal pelaksanaanya terdapat keterbatasan tenaga kesehatan
yang kompeten, keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba disesuaikan dengan unsur tenaga kesehatan
yang tersedia. Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba rumah sakit paling sedikit terdiri atas
unsur:
a. klinisi perwakilan SMF/bagian;
b. keperawatan;
c. instalasi farmasi;
d. laboratorium mikrobiologi klinik;
17
e. komite/tim Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI); dan
f. Komite/tim Farmasi dan Terapi (KFT).
Evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit menggunakan
metode audit kuantitas penggunaan antibiotik dan audit kualitas
penggunaan antibiotik. Pemantauan atas muncul dan menyebarnya
mikroba multiresisten di rumah sakit dilakukan melalui surveilans
mikroba multiresisten. Evaluasi terhadap pelaksanaan program
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit dilakukan
melalui:
a. evaluasi penggunaan antibiotik; dan
b. pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten.
Indikator mutu Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di
Rumah Sakit meliputi :
a. Perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik
b. Perbaikan kualiatas penggunaan antibiotik
c. Perbaikan pola kepekaan antibiotik dan penurunan pola
resistensi antimikroba
d. Penurunan angka kejadian infeksi di rumah sakit yang
disebabkanoleh mikroba multiresisten
e. Peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin
melalui forum kajian kasus infeksi terintegrasi
Berdasarkan hasil penelitian tentang Implementasi Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba dalam mendukung Patient
Savety menunjukan bahwa Sosialisasi PPRA ternyata memberikan
18
dampak peningkatan kesadaran klinisi untuk memeriksakan kultur,
yaitu dari 29,75 % menjadi 64,56 % dan setelah ditunjang oleh
kesiapan tim mikrobiologi klinik, terdapat 79,26 % hasil kultur
kelompok PPRA yang dilaporkan kepada tim klinisi, penggunaan
antibiotik pada kelompok pasca-sosialisasi PPRA sebesar 84% lebih
banyak dibandingkan pra sosialisasi PPRA sebesar 53,12% dan hal
ini karena diagnosis kasus infeksi yang disebabkan bakteri lebih
banyak pada pascasosialisasi PPRA., serta sosialisasi PPRA mampu
menghemat pengeluaran belanja antibiotic sebesar Rp203.000 per
pasien selama rawat inap dibandingkan pra-sosialisasi PPRA.
Strategi pengendalian resistensi antimikroba yaitu :
a. Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent)
Penggunaan antibiotik secara bijak ialah penggunaan
antibiotik yang sesuai dengan penyebab infeksi dengan rejimen
dosis optimal, lama pemberian optimal, efek samping minimal,
dan dampak minimal terhadap munculnya mikroba resisten. Oleh
sebab itu pemberian antibiotik harus disertai dengan upaya
menemukan penyebab infeksi dan pola kepekaannya. Penggunaan
antibiotik secara bijak memerlukan kebijakan pembatasan dalam
penerapannya. Antibiotik dibedakan dalam kelompok antibiotik
yang bebas digunakan oleh semua klinisi (non-restricted) dan
antibiotik yang dihemat dan penggunaannya memerlukan
persetujuan tim ahli (restricted dan reserved).
Peresepan antibiotik bertujuan mengatasi penyakit infeksi
(terapi) dan mencegah infeksi pada pasien yang berisiko tinggi
untuk mengalami infeksi bekteri pada tindakan pembedahan
19
(profilaksis bedah) dan beberapa kondisi medis tertentu
(profilaksis medik). Antibiotik tidak diberikan pada penyakit
non-infeksi dan penyakit infeksi yang dapat sembuh sendiri
(self-limited) seperti infeksi virus.
Pemilihan jenis antibiotik harus berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologi atau berdasarkan pola mikroba dan
pola kepekaan antibiotik, dan diarahkan pada antibiotik
berspektrum sempit untuk mengurangi tekanan seleksi (selection
pressure). Penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas masih
dibenarkan pada keadaan tertentu, selanjutnya dilakukan
penyesuaian dan evaluasi setelah ada hasil pemeriksaan
mikrobiologi (streamlining atau de-eskalasi). Beberapa masalah dalam
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit perlu
diatasi. Misalnya, tersedianya laboratorium mikrobiologi yang
memadai, komunikasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam
kegiatan perlu ditingkatkan.
Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai
dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan
penggunaan antibiotik lini pertama. Pembatasan penggunaan
antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman
penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara
terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam
penggunaan antibiotik tertentu (reserved antibiotics).
Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan
menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi
klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti
20
mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik
tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited).
Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan
pola kepekaan kuman terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman
penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil
mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan
obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling
cost effective dan aman.
Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan
beberapa langkah sebagai berikut:
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap
penggunaan antibiotik secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang,
dengan penguatan pada laboratorium hematologi, imunologi,
dan mikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan
dengan penyakit infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di
bidang infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara
tim (team work).
21
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan
antibiotic secara bijak yang bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan
berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik
secara lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit,
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat.
b. Kebijakan Pengguanaan Antibiotik di Rumah Sakit
Pengendalian penggunaan antibiotik dalam upaya mengatasi
masalah resistensi antimikroba dilakukan dengan menetapkan
“Kebijakan Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit”, serta menyusun
dan menerapkan “Panduan Penggunaan Antibiotik Profilaksis dan
Terapi”. Dasar penyusunan kebijakan dan panduan penggunaan
antibiotik di rumah sakit mengacu pada Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan Pola
mikroba dan kepekaan antibiotik setempat.
1. Kebijakan Umum
a. Kebijakan penanganan kasus infeksi secara
multidisiplin.
b. Kebijakan pemberian antibiotik terapi meliputi
antibiotik empirik dan definitif
Terapi antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada
kasus infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis
bakteri penyebab dan pola kepekaannya.
22
Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri
penyebab dan pola kepekaannya.
c. Kebijakan pemberian antibiotik profilaksis bedah
meliputi antibiotic profilaksis atas indikasi operasi bersih
dan bersih terkontaminasi sebagaimana tercantum dalam
ketentuan yang berlaku.
Antibiotik Profilaksis Bedah adalah penggunaan antibiotik
sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pascaoperasi pada
kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi
dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka daerah
operasi.
d. Pemberian antibiotik pada prosedur operasi
terkontaminasi dan kotor tergolong dalam pemberian
antibiotik terapi sehingga tidak perlu ditambahkan
antibiotik profilaksis
2. Kebijakan Khusus
a. Pengobatan awal
1) Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi
mengalami infeksi bakteri diberi antibiotik empirik selama
48-72 jam.
2) Pemberian antibiotik lanjutan harus didukung data hasil
pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologi.
3) Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan
spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologi.
23
b. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan
kepekaan antibiotik setempat.
c. Prinsip pemilihan antibiotik.
1) Pilihan pertama (first choice).
2) Pembatasan antibiotik (restricted/reserved).
3) Kelompok antibiotik profilaksis dan terapi.
d. Pengendalian lama pemberian antibiotik dilakukan dengan
menerapkan automatic stop order sesuai dengan indikasi pemberian
antibiotik yaitu profilaksis, terapi empirik, atau terapi
definitif.
e. Pelayanan laboratorium mikrobiologi.
1) Pelaporan pola mikroba dan kepekaan antibiotik
dikeluarkan secara berkala/tahun.
2) Pelaporan hasil uji kultur dan sensitivitas harus cepat
dan akurat.
3) Bila sarana pemeriksaan mikrobiologi belum lengkap,
maka diupayakan adanya pemeriksaan pulasan gram dan KOH.
c. Pencegahan Penyebaran Mikroba Resisten
Pencegahan penyebaran mikroba resisten di rumah sakit
dilakukan melalui upaya Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI).
Pasien yang terinfeksi atau membawa koloni mikroba resisten dapat
menyebarkan mikroba tersebut ke lingkungan, sehingga perlu
dilakukan upaya membatasi terjadinya transmisi mikroba tersebut,
terdiri dari 4 (empat) upaya berikut ini :
1. Meningkatkan kewaspadaan standar (standard precaution), meliputi:
a. kebersihan tangan
24
b. alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle
(kaca mata pelindung), face shield (pelindung wajah), dan gaun
c. dekontaminasi peralatan perawatan pasien
d. pengendalian lingkungan
e. penatalaksanaan linen
f. perlindungan petugas kesehatan
g. penempatan pasien
h. hygiene respirasi/etika batuk
i. praktek menyuntik yang aman
j. praktek yang aman untuk lumbal punksi
2. Melaksanakan kewaspadaan transmisi
a. Melalui kontak
b. Melalui droplet
c. Melalui udara (airborne)
d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat,
peralatan)
e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)
Pada kewaspadaaan transmisi, pasien ditempatkan di ruang
terpisah. Bila tidak memungkinkan, maka dilakukan cohorting
yaitu merawat beberapa pasien dengan pola penyebab infeksi
yang sama dalam satu ruangan.
3. Dekolonisasi
Dekolonisasi adalah tindakan menghilangkan koloni mikroba
multiresisten pada individu pengidap (carrier). Contoh:
pemberian mupirosin topikal pada carrier MRSA.
25
4. Tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten
atau Multidrug-Resistant Organisms (MDRO) seperti Methicillin Resistant
Staphylococcus Aureus (MRSA), bakteri penghasil Extended Spectrum Beta-
Lactamase (ESBL), atau mikroba multiresisten yang lain.
Apabila ditemukan mikroba multiresisten sebagai penyebab
infeksi, maka laboratorium mikrobiologi segera melaporkan kepada
tim PPI dan dokter penanggung jawab pasien, agar segera dilakukan
tindakan untuk membatasi penyebaran strain mikroba multiresisten
tersebut.
Cara pengujian resistensi mikroba terhadap suatu jenis
antibiotik dapat dilakukan dengan uji resistensi. Teknik ini
menggunakan zat kimia untuk mengurangi dan membunuh
mikroorganisme, terutama mikroba yang patogen. Metode yang biasa
dipakai adalah metode Metode Kirby-Bauer yang merupakan cara
untuk menentukan sensitifitas antibiotik untuk bakteri.
Sensitifitas suatu bakteri terhadap antibiotik ditentukan oleh
diameter zona hambat terbentuk. Semakin besar diameternya maka
semakin terhambat pertumbuhannya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada metode Kirby-Bauer
adalah:
a. Ketebalan media agar: Dapat mempengaruhi penyebaran dan
difusi antibiotik yang digunakan.
b. Umur bakteri: Bakteri yang berumur tua (fase stationer) tidak
efektif untuk diuji karena mendekati kematian dan tidak terjadi
pertumbuhan lagi sehingga yang dipakai bekteri berumur sedang
(fase eksponential) karena aktivitas metabolitnya tinggi,
26
pertumbuhan cepat sehingga lebih peka terhadapa daya kerja obat
dan hasilnya lebih akurat.
c. Waktu inkubasi: Waktu yang cukup supaya bakteri dapat
berkembang biak dengan optimal dan cepat. Waktunya minimal 16
jam.
d. pH, temperature: Bakteri memiliki pH dan temperature optimal
untuk tumbuh yang berbeda-beda sehingga sebaiknya dilakukan
saat pH dan temperature yang optimal.
e. Konsentrasi antibioti: Semakin besar konsentrasinya semakin
besar diameter hambatannya..
f. Jenis antibiotic: setiap bakteri memiliki respon yang
berbeda-beda terhadap antibiotiknya, tergantung sifat antibiotik
tersebut (berspektrum luas/berspektrum sempit).
BAB III
KESIMPULAN
Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan
hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam
penggunaan klinis. Pengendalian Resistensi Antimikroba adalah
aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan/atau menurunkan
adanya kejadian mikroba resisten. Komite Pengendalian Resistensi
Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA adalah komite yang
dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan
27
penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan
kesehatan dan di masyarakat.
Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik
merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global. Penggunaan
antimikro khususnya antibiotik yang tidak rasional dan tidak
terkendali merupakan sebab utama timbul dan menyebarnya
resistensi antimikroba secara global, termasuk munculnya mikroba
yang multiresisten terhadap sekelompok antibiotik terutama di
lingkungan rumah sakit (health care associated infection).
Malasah yang dihadapi sangat serius dan bila tidak ditanggapi
secara sungguh-sungguh, akan timbul dampak yang merugikan seperti
pada era preantibiotik.
Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten untuk
selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik
secara bijak (prudent use of antibiotics) dan penyebaran bakteri
resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan meningkatkan
ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar (universal
precaution).
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Triyono E. A, Implementasi Program Pengendalian Resistensi
Antibiotik dalam Mendukung Program Patient Safety dalam Cermin
Dunia Kedokteran edisi 208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
2. Permenkes nomor 8 tahun 2015 tentang Pengendalian Resistensi
Antimikrobadi Rumah Sakit
3. Permenkes nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik
4. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotika nomor :
HK.03.05/III/569/11
5. Finch R. Antimicrobial therapy Principles of use. Medical
Progress 2011;38:58-63
6. Satt G. antibiotics resistance. Medical Progress 2011;38:64-70
7. World health organization regional official for South East
Asia Frequently. Asked question antimicrobial resistance. New
Dehli
29
KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PASCA SARJANA UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2015
DAFTAR ISI
Daftar Isi ……………………………………………………………………… IBab I Pendahuluan …………………………………………………………… 2Bab II Pembahasan ………………………………………………………….. 3a. Antimikroba …………………………………………………………. 3b. Resistensi Antimikroba …………………………………………….... 7c. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
………………………
10
Bab III Kesimpulan ………………………………………………………….. 18Daftar Pustaka ……………………………………………………………….. 19
31
top related