Politik Ekonomi Hukum Persaingan Usaha Di Asia_Agung Yuriandi
Post on 03-Jul-2015
663 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
POLITIK EKONOMI HUKUM PERSAINGAN USAHA DI ASIA
Agung Yuriandi
Medan 2011
A.
SISTEM POLITIK
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di mana kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana
Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Presiden
dipilih langsung oleh rakyat.1
Sistem presidensil yang diterapkan di Indonesia memiliki corak dan
karakteristik tersendiri di setiap masa dan rezim pemerintahan. Karakteristik itu
disebabkan faktor sistem politik yang sedang berlaku maupun faktor corak
kepemimpinan saat itu. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, sistem
presidensial lebih diposisikan sebagai sistem percobaan bagi negara yang sedang
mencari bentuk dan menjalankan demokrasi yang sangat fluktuatif. Bahkan
berdasarkan konsensus para elite politik saat itu, sistem presidensial sempat diganti
dengan sistem parlementer. Era pemerintahan Presiden Soeharto, sistem presidensial
1 Marwati Djoened Poesonegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V :
Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Cetakan 2, Edisi Pemutakhiran, (Jakarta : Balai Pustaka, 2008), hal. 1-82.
2
diterapkan secara pincang tanpa disertai checks and balances antara Presiden dan
parlemen.2
Di antara perubahan yang paling nyata adalah semakin menguatnya peran
partai politik dalam melakukan rekrutmen terhadap pemimpin-pemimpin politik. Ini
jelas sangat berbeda jika dibandingkan pada masa Orde Baru. Partai-partai politik
pada masa Orde Baru yang jumlahnya hanya dua partai politik karena satu partai
menolak dirinya disebut partai juga tidak mempunyai konstituen di tingkat bawah.
Dalam kaitan ini, seorang pengamat mengatakan bahwa pemerintahan Soeharto
mempunyai sifat autocratic yang diantaranya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
pemerintahannya bersifat sentralistik dan dengan demikian tidak demokratis, sangat
menekankan pada orientasi kekuasaan politik, dan tidak efisien. Partai politik
menjadi lemah dan pasif, dan tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi politiknya,
termasuk fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan.3
Dari fungsi-fungsi politiknya, maka hak-hak sipil dan politik warga negara
adalah meliputi hak atas jaminan yang sama terhadap warga Negara dalam berbagai
bidang. Serta dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 27 Undang-Undang No. 39 Tahun
2 Checks and Balances disini berkaitan dengan pembagian kekuasaan antara Legislatif
(sebagai perwakilan rakyat dan pembuat Undang-Undang), Yudikatif (lembaga Peradilan), dan Eksekutif (sebagai Pemerintah). Antara setiap lembaga harus saling mengawasi sesuai dengan sistem pemerintahan. Mengutip Lord Ackton, tujuan dari checks and balances “karena pemusatan kekuasaan pemerintahan di satu cabang akan memperbesar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan hegemoni atas cabang-cabang kekuasaan pemerintah lainnya”. Pembuatan peraturan bersifat top down dan bottom up. Top Down berarti peraturan berasal dari atas sedangkan Bottom Up peraturan berasal dari bawah ke atas. Artinya dari atas ke bawah adalah dari pemerintah ke rakyat sedangkan dari bawah ke atas adalah dari perwakilan rakyat ke atas untuk dijadikan undang-undang. Lihat Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 53 yang menyatakan bahwa : “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”.
3 Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, (Yogjakarta : Media Pressindo, 2007), hal. 86.
3
1999 tentang Hak Azasi Manusia mengemukakan bahwa hak atas tunjangan
ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial sebagai suatu standar bagi kehidupan dan
pendidikan yang layak. Hak-hak tersebut menegaskan semua orang mempunyai hak
atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan (welfare state).4
Untuk mengatur seluruh hak-hak sipil warga negara maka pemerintahan
membutuhkan berbagai tipe aparatur Negara untuk menjamin efektivitas
terselenggaranya hak-hak sipil tersebut. Aparatur Negara sebagai unsur pelaksana
penyelenggara pemerintahan negara mempunyai peran sentral dan strategis terhadap
keberhasilan pembangunan nasional. Kinerja aparatur negara dari waktu ke waktu
terus mengalami penyempurnaan dan peningkatan seirama dengan tuntutan dan
perubahan lingkungan strategis yang berkembang begitu cepat, baik nasional,
regional maupun global. 5
Di bidang peradilan, para hakim dalam menangani perkara sesuai dengan
tuntutan dan aspirasi masyarakat masih belum optimal. Hal ini antara lain
disebabkan oleh kurangnya kemandirian hakim sebagai akibat dari dualisme
pembinaan antara yudikatif (Mahkamah Agung) dengan eksekutif (Departemen
Kehakiman) pada masa lalu. Di bidang kelembagaan, masih terdapat kecenderungan
pengembangan organisasi dalam Jabatan Struktural yang berdampak kurang efektif
dan efisiennya pelaksanaan tugas organisasi. Di lain pihak, pengembangan jabatan
fungsional yang lebih berorientasi pada profesionalisme masih belum didukung oleh
4 James W. Nickel, “Hak Azasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak
Azasi Manusia”, elkhalil.files.wordpress.com/2010/05/hak-asasi-manusia.doc., diakses pada 08 April 2011.
5 Website Bappenas, “BAB VI : Reformasi Aparatur Negara”, www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6415/., diakses pada 08 April 2011.
4
sikap dan perilaku birokrasi karena keterbatasan penyediaan kesejahteraan pegawai.
Sisi ketatalaksanaan belum mencerminkan prinsip efisiensi dan efektifitas, sehingga
hasil yang dicapai belum optimal.6
Pada pelayanan masyarakat masih terdapat berbagai kelemahan dan
kekurangan. Kinerja aparatur pemerintah di bidang pelayanan masyarakat masih
menjadi sorotan masyarakat. Keluhan dan kritikan masyarakat terutama berkaitan
dengan sistem dan prosedur pelayanan yang masih berbelit-belit (birokratis) yang
seolah-olah disengaja untuk memberi peluang terjadinya pungutan-pungutan yang
tidak resmi,7 jangka waktu penyelesaian pelayanan yang tidak berkepastian,
informasi pelayanan yang tidak transparan serta sikap dan perilaku aparatur yang
masih cenderung sebagai penguasa yang ingin dilayani.8
Hal tersebut terjadi dikarenakan kesadaran dan kepatuhan hukum tidak
tercipta di dalam diri seorang aparatur negara. Dikarenakan bentuk kebudayaan
hukum yang berkembang di masyarakat mencerminkan perilaku opurtunis maka
dituntut profesionalisme dan kecanggihan dari profesi hukum. Hukum juga harus
didukung dengan sarana dan prasarana yang tidak murah. Ciri-ciri profesionalisme
tersebut, antara lain : memiliki keterampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta
kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam
pelaksanaan tugas yang bersangkutan; memiliki ilmu dan pengalaman serta
kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi
6 Ibid. 7 Pungutan Tidak Resmi atau Transaction Cost adalah akibat dari berbelit-belitnya birokrasi
menyebabkan tingginya pungutan-pungutan liar. 8 Website Bappenas, “BAB VI : Reformasi Aparatur Negara”, Op.cit.
5
cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar
kepekaan; mempunyai sikap yang berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan
mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya; dan
mempunyai sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta
terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam
memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya.
Salah satu kelemahan sistem politik Indonesia adalah minimnya sumber-
sumber yang dapat menjadi penekan dan penyeimbang atas “kekuatan” pemerintah,
di tingkat nasional ataupun daerah. Padahal, kekuatan penekan sangat diperlukan
untuk melakukan kontrol, maupun sumbangan-sumbangan gagasan dan pemikiran
untuk membentuk bangunan sosial politik yang lebih aspiratif. Partai politik hanya
dijadikan motor untuk meraih kedudukan dan kedudukan otomatis mendapat
kekuasaan. Setelah kedudukan dan kekuasaan diraih maka akan mencari keuntungan
kemudian keuntungan digunakan untuk mengokohkan kedudukan dan kekuasaan.
Itulah yang disebut dengan money makes power and power makes money. Konsep
inilah yang digunakan oleh partai politik jika dilihat dari kasat mata. Hampir seluruh
anggota partai politik yang duduk di kursi pemerintahan dan lembaga legislatif juga
mencari keuntungan dengan cara mengikuti tender-tender pemerintahan (melakukan
persekongkolan tender). Tingkat korupsi juga menjadi tinggi, melihat pada PERC
2010, Indonesia adalah negara terkorup dari 16 negara di Asia Pasifik.9 Dapat dilihat
9 Kompas Online, “PERC : Indonesia Negara Paling Korup!”,
http://nasional.kompas.com/read/2010/03/08/21205485/PERC.Indonesia.Negara.Paling.Korup., diakses pada 09 April 2011.
6
pada lembaga-lembaga yang terkorup justru berasal dari lembaga Kepolisian,
Kejaksaan, dan DPR.10
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, banyak sudah tokoh-tokoh
negara pada saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi bangsa
Indonesia. Sebagai contoh, Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya mencetuskan ide
bahwa dasar perekonomian Indonesia yang sesuai dengan cita-cita tolong menolong
adalah koperasi.11 Namun, bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus dilakukan
secara koperasi, pemaksaan terhadap bentuk ini justru telah melanggar dasar
ekonomi koperasi. Demikian juga dengan tokoh ekonomi Indonesia pada saat itu,
Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika Serikat tahun 1949,
menegaskan bahwa yang dicita-citakan adalah ekonomi semacam ekonomi
campuran. Namun demikian dalam proses perkembangan berikutnya disepakatilah
suatu bentuk ekonomi baru yang dinamakan sebagai Sistem Ekonomi Pancasila yang
didalamnya mengandung unsur penting yang disebut Demokrasi Ekonomi.12
Terlepas dari sejarah yang akan menceritakan keadaan yang sesungguhnya
pernah terjadi di Indonesia, maka menurut Sila Kelima Pancasila sebagai dasar
Negara menyebutkan bahwa “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”
mencerminkan dari segala aspek kehidupan pemerintah harus menjamin dalam
10 Rezki Sri Wibowo, “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008”,
http://www.ti.or.id/index.php/publication/2009/01/21/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2008-2., diakses pada 09 April 2011.
11 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam : Menangkap Makna Maqâshid al Syarî’ah, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 201-210.
12 Hadi Soesastro, et.al., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir : Krisis dan Pemulihan Ekonomi, (Yogjakarta : Kanisius, 2005), hal. 61-66. Lihat juga : Website Gunadarma, “Sistem Perekonomian Indonesia”, http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/perekonomian_indonesia/bab1-sistem_perekonomian_indonesia.pdf., diakses pada 08 April 2011.
7
kesejahteraan. Berangkat dari sila Kelima Pancasila maka perekonomian di
Indonesia berlandaskan dari Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya pada Pasal 33
yang menyatakan bahwa :
1. “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
3. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”.
Dengan demikian perekonomian Indonesia tidak mengizinkan adanya13 :
1. free fight liberalism yaitu adanya kebebasan usaha yang tidak terkendali
sehingga memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi lemah dengan
akibat semakin bertambah luasnya jurang pemisah si kaya dan si miskin;
2. etatisme yaitu keikutsertaan pemerintah yang terlalu dominan sehingga
mematikan motivasi dan kreasi dari masyarakat untuk berkembang dan
bersaing secara sehat;
3. monopoli yaitu suatu bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada satu
kelompok tertentu, sehingga tidak memberikan pilihan lain pada konsumen
untuk tidak mengikuti “Keinginan sang Monopoli”.
Pemerintah sadar pada waktu kemerdekaan dalam membuat UUD bahwa
perekonomian Indonesia pada saat itu masih lemah maka membutuhkan campur
13 Ibid.
8
tangan pemerintah untuk menggerakkannya. Keikutsertaan pemerintah mengelola
perekonomian Indonesia maka etatisme sempat terjadi di Indonesia.
B.
SISTEM EKONOMI
Meskipun pada awal perkembangannya perekonomian Indonesia menganut
sistem ekonomi Pancasila. Demokrasi Ekonomi, dan “mungkin campuran”, namun
bukan berarti sistem perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi di
Indonesia. Pada awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1957-an merupakan bukti
sejarah adanya corak liberalis dalam perekonomian Indonesia. Demikian juga
dengan sistem etatisme, pernah juga mewarnai corak perekonomian di tahun 1960-an
sampai dengan masa Orde Baru.14 Setelah masa Orde Baru selanjutnya adalah Masa
Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan B. J. Habibie. Pada saat itu pemerintah
belum banyak melakukan pembaruan untuk mengatasi ekonomi. Pada masa
kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid juga belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari masalah ekonomi. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan Orde Baru harus dihadapi, antara lain: masalah
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme); Pemulihan Ekonomi; Kinerja BUMN;
Pengendalian Inflasi; dan Mempertahankan Kurs Rupiah.15
Pada masa kepemimpinan presiden Megawati, perekonomian Indonesia
mulai mengalami kemajuan. Pemerintah dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi
14 Boediono, Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana? : Kumpulan Esai Ekonomi, Cetakan Ketiga,
(Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hal. 16. 15 Hadi Soesastro, et.al., Op.cit., hal. 210-211.
9
menjadi 4,1% karena pada saat itu pemerintah membuat kebijakan privatisasi
BUMN, yaitu menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban Negara. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi karena
beberapa BUMN yang diprivatisasi ternyata dijual kepada perusahaan asing.16
Di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga
sekarang, perkembangan perekonomian Indonesia cukup signifikan yaitu
pertumbuhannya 6,1% per tahun. Hal itu disebabkan karena pemerintahan presiden
Susilo Bambang Yodhoyono membuat suatu kebijakan kontroversial yaitu dengan
mengurangi subsidi BBM dengan kata lain pemerintah menaikkan harga BBM.
Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta
bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan distribusinya berbagai masalah sosial. Kebijakan
lain yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan
pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya
adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006
lalu, yang mempertemukan para investor dengan para kepala-kepala daerah.17
16 Ibid., hal. 237-238. 17 Fahmi Radhi, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, (Jakarta : Republika Press, 2008), hal. 44-
47.
10
Pada tahun 2008, disaat Amerika Serikat mengalami resesi akibat kredit
macet, perekonomian Indonesia tidak mengalami imbas yang besar, itu disebabkan
tingginya pertumbuhan ekonomi dua negara yaitu China dan India. Hal itu
didasarkan pada beberapa indikasi yaitu: hubungan dagang Indonesia dengan negara-
negara regional semakin meningkat, meskipun hubungan dagang dengan Amerika
mengalami penurunan. Selain itu, yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi
nasional didominasi oleh konsumsi dan ekspor yang dibantu oleh membaiknya
investasi swasta.
Saat ini Indonesia juga dipercaya sebagai anggota G-20, dunia barat menilai
bahwa Indonesia dapat memberikan dampak yang positif bagi perekonomian dunia.
Hal ini tidak lain adalah berkat kinerja Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri
Keuangan Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu yang menerapkan dan
melaksanakan prinsip transparansi agar mendapat kepercayaan seluruh rakyat
Indonesia. Salah satu contoh18 : “para menteri yang masih berprofesi pengusaha
perlu mengumumkan kepada rakyat bahwa ia akan mengutamakan tugas dan
tanggung jawab kenegaraan ketimbang pribadi atau kelompok usahanya”.
Hal tersebut dapat dilihat dari pembaruan sistem perpajakan sehingga
meningkatkan pendapatan negara. Penyerapan pajak yang tinggi pada masa Sri
Mulyani menyebabkan Indonesia terhindar dari dampak krisis ekonomi pada tahun
2008 yang dialami Amerika Serikat. Indonesia juga sudah lama menerapkan sistem
18 Femi Adi Soempeno, Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di
Penghujung Orde Baru, Cetakan Pertama, (Yogjakarta: Galangpress, 2008), hal. 86.
11
perbankan syariah. Sistem tersebut diterapkan oleh Amerika Serikat untuk mengatasi
krisis moneter pada tahun 2008.
Setiap pemimpin atau penguasa yang menjadi kepala pemerintahan dan
kepala negara pastilah memberikan penekanan yang berbeda. Dapat dilihat pada
perubahan kepemimpinan di Indonesia yang berganti maka peraturan yang
dihasilkan juga berubah. Peraturan yang berubah menyebabkan kondisi ekonomi,
politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan juga berubah. Perubahan tersebut
dapat menjadi positif ataupun negatif. Jika konsep yang dimiliki pemerintahan
sebelumnya baik, maka pemerintah selanjutnya mengikuti dan melanjutkannya.
1. Struktur dan Sifat Ekonomi Termasuk Batasan/Hambatan Masuk (Peraturan Hukum dan Ekonomi)
Kita ketahui bahwa ada kecenderungan bahwa sistem ekonomi suatu Negara
berkaitan erat dengan sistem politik suatu Negara. Negara yang berideologi politik
liberal, pada umumnya menganut ideologi ekonomi kapitalisme dengan pengelolaan
ekonomi berdasarkan mekanisme pasar.19 Sedangkan Negara-negara yang
berideologi politik komunisme, ideologi ekonominya cenderung sosialisme, dengan
pengelolaan ekonominya berdasarkan perencanaan terpusat.20 Namun tidak ada satu
negarapun di dunia ini menerapkan secara mutlak kedua sistem tersebut.
Dari beberapa sistem ekonomi tersebut di atas mempunyai struktur yang
berbeda dalam penerapan di masing-masing Negara. Struktur ekonomi tersebut dapat
19 Sarbini Sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan, Cetakan Pertama, (Jakarta : Gramedia,
2004), hal. 107-114. 20 William Ebenstein, Isme-isme yang Mengguncang Dunia : Komunisme, Fasisme,
Kapitalisme, Sosialisme, Cetakan Kedua, (Yogjakarta : Narasi, 2006), hal. 312-319.
12
dilihat dari berbagai sudut tinjauan antara lain tinjauan makro-sektoral, tinjauan
keuangan, tinjauan penyelenggaraan Negara, dan tinjauan birokrasi dan pengambilan
keputusan. Tinjauan makro-sektoral dan tinjauan keuangan merupakan tinjauan
ekonomi murni, sedangkan tinjauan penyelenggaraan negara dan tinjauan birokrasi
adalah pengambilan keputusan. Pada dasarnya suatu struktur ekonomi merupakan
jembatan atau implementasi dari sistem-sistem ekonomi yang ada dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan
pertumbuhan pendapatan nasional. Hal ini berakibat pada perubahan mendasar
struktur ekonomi.21
Hambatan masuk (barriers to entry) pasar adalah faktor yang menghambat
atau mencegah pelaku usaha baru masuk ke dalam suatu industri apabila pelaku
usaha yang ada (incumbent) memperoleh keuntungan berlebih. Terdapat dua jenis
hambatan secara luas, yaitu: hambatan struktur (structural) dan hambatan strategis
(strategic). Hambatan masuk timbul apabila pelaku usaha harus menanggung biaya
yang tidak ditanggung oleh pelaku usaha yang sudah ada. Disamping itu ada juga
konsep sunk cost sebagai hambatan masuk. Hal ini mengingatkan bahwa sunk cost
harus ditanggung oleh pelaku usaha baru, namun sudah dikeluarkan oleh pelaku
usaha yang ada. Selain sunk cost mengurangi kemungkinan keluar masuk pasar,
sehingga menambah risiko tambahan bagi pelaku usaha potensial untuk masuk.22
21 Soetrisno P. H., Kapita Selekta Ekonomi Indonesia : Suatu Studi, Edisi II, (Yogjakarta :
Andi Offset, 1992), hal. 157-164. 22 M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol :Bagaimana Cara
Memenangkan?, Cetakan Pertama, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007), hal. 215-219.
13
Sunk cost disini adalah biaya yang telah dikeluarkan dan tidak dapat diambil
kembali. Sunk cost timbul karena beberapa kegiatan membutuhkan asset tertentu
yang tidak dapat diubah dengan cepat guna keperluan lain. Sunk cost adalah selalu
biaya tetap namun tidak semua biaya tetap adalah sunk. Hambatan masuk strategik
menimbulkan semacam pre-emptive behaviour oleh pelaku usaha yang telah ada.
Misalnya pre-emption facilities yang dilakukan oleh pelaku usaha yang telah ada
dengan melakukan investasi yang berlebih dalam upaya mengancam perang harga
apabila pelaku usaha baru masuk ke dalam pasar.23
Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menciptakan hambatan masuk dilarang
di dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b. yang berbunyi : “pelaku usaha patut diduga atau
dianggap melakukan penguasaan atas produksi atau pemasaran barang dan atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila mengakibatkan pelaku usaha lain
tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama”.
Pasal 25 ayat (1) huruf c., Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, mengatakan
bahwa24 : “Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan”.
23 John Sutton, Sunk Costs and Market Structure, (Hong Kong: Trade Typeseting Ltd., Tanpa
Tahun), hal. 99-102. Lihat juga kasus : Arthur K. Young dalam Cary L. Cooper dan Chris Argyris, The Concise Blackwell : Encyclopedia of Management, (Massachusetts: Blackwell Publishers Inc., 1998), hal. 646.
24 Ibid.
14
Hambatan masuk ke pasar menyebabkan berkurangnya persaingan bagi
perusahaan yang sudah ada sehingga mengurangi insentif munculnya inovasi dan
keinginan meningkatkan produktifitas. Di industri perbankan masalahnya terletak
pada ketidaksimetrisan informasi. Sedangkan persoalan infrasastruktur terletak pada
kekuatan pasar yang terkait dengan skala ekonomi. Intervensi yang dilakukan
pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar pada industri perbankan justru
menyebabkan industri perbankan tertekan dan terdistorsi.25
Kondisi ini umumnya lebih keras menghantam pengusaha kecil. Industri
perbankan menyediakan jasa sistem pembayaran, memobilisasi tabungan dan
mengalokasikan pembiayaan kepada perusahaan yang ingin dan layak melakukan
investasi. Apabila industri keuangan bekerja baik, maka sumber dana untuk
melakukan investasi tersedia bagi berbagai jenis usaha. Pasar keuangan yang sehat
mendorong dunia usaha disiplin, memperbaiki kinerja, mendorong efisiensi secara
langsung termasuk penyediaan fasilitas bagi masuknya pemain baru ke pasar.26
Demikianlah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hambatan
masuk pasar yang faktual dilarang. Apakah suatu pelaku usaha telah melakukan
hambatan masuk pasar perlu investigasi kasus per kasus yang harus dilakukan oleh
KPPU.27 Hambatan masuk ke pasar lambat laun akan dihapus dan BUMN yang
25 Zulkarnain Sitompul, “Investasi Asing di Indonesia Memetik Manfaat Liberalisasi”,
http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-bisnis/88-investasi-asing-di-indonesia-memetik-manfaat-liberalisasi.html., diakses pada 10 April 2011.
26 Ibid. 27 KPPU adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha, sebuah lembaga pengawas yang berdiri
sejak diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
15
melakukannya akan diprivatisasi.28 Hambatan masuk ke pasar tersebut dapat dilihat
pada berbagai sektor, antara lain:
a.
Sektor Pertanian
Pada era milenium ketiga, setiap kegiatan atau proses produksi, termasuk
hasil pertanian, diikat oleh ketentuan-ketentuan dalam perjanjian GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) dan WTO (World Trade Organization). Implikasi
dari GATT/WTO adalah disepakatinya untuk memenuhi ketentuan SPS (Sanitary
and Phytosanitary Measurement). Dalam SPS ini, setiap negara, termasuk Indonesia,
diharuskan mampu melaksanakan instrumen-instrumen yang diciptakan diantaranya
sistem produksi pertanian yang baik atau GAP (Good Agricultural Practices), sistem
pengemasan yang baik atau GMP (Good Manifacturing Practices), dan sistem
kontrol terhadap bahaya/risiko yang kritis atau HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point). Dengan demikian, setiap hasil atau produk pertanian dapat dikenakan
sanksi atau pencekalan untuk masuk ke pasar global jika tidak memenuhi ketentuan
yang telah disepakati oleh dunia internasional. Dalam konteks ini, pemanfaatan
sumber daya didukung oleh sumber daya manusia dan teknologi yang memadai.
Penguasaan pengetahuan dan teknologi pemanfaatan, baik untuk pertanian,
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Atau dengan kata lain, undang-undang anti monopoli adalah substansinya sedangkan KPPU adalah struktur hukumnya (Lawrence M. Friedman).
28 M. Udin Silalahi, Op.cit., hal. 221.
16
kehutanan, industri maupun energi listrik, merupakan syarat mutlak untuk
menunjang pembangunan berkelanjutan (sustainable development).29
Pembangunan pertanian secara umum di masa mendatang menghadapi
tantangan dengan diberlakukannya mekanisme pasar bebas.30 Berbagai tantangan
sektor pertanian di masa depan, antara lain: kebebasan akses barang, termasuk hasil
pertanian; pengurangan subsidi dan tarif; dan bincangan (issue) lingkungan.
Kebebasan akses barang menuntut daya saing yang tinggi dari produk yang
dihasilkan, baik dari segi harga maupun mutu. Pengurangan subsidi yang dikenakan
pada sarana-sarana produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida akan menambah
berat beban biaya yang ditanggung petani sehingga dapat menurunkan daya saing
produk pertanian di pasar global. Issu lingkungan sangat berhubungan dengan
mekanisme pasar yang banyak dikenal dengan istilah green marketing.31
b.
Sektor Bahan Galian
Hambatan yang terdapat dalam sektor bahan galian adalah sulitnya masuk
sains teknologi dalam sistem produksi. Pekerjaan yang semula dilakukan oleh tenaga
manusia beralih pada tenaga mesin dan dan selama ini sector ini dikuasai
pemerintah.32 Pemerintah mengadakan Joint Venture Entreprise yang umumnya
perusahaan asing untuk menggali sumber daya alam tersebut. Contohnya dapat
29 Muhammad Noor, Pertanian Lahan Gambut : Potensi dan Kendala, Cetakan Kedelapan,
(Yogjakarta : Kanisius, 2011), hal. 11. 30 Maamun et.al., 1996, dalam Ibid. 31 Loc.cit., hal. 10-11. 32 M. Sahari Besari, Teknologi di Nusantara : 40 Abad Hambatan Inovasi, (Jakarta : Salemba
Teknika, 2008), hal. 9-10.
17
dilihat pada PT. Freeport Indonesia yang bergerak dalam bidang biji besi dan emas.
Bentuk kerjasama tersebut adalah Build Operate Transfer yang setelah beberapa
tahun maka pihak asing akan menyerahkan seluruhnya kepada Indonesia baik itu
infrastruktur, cara pengolahan, dan lain sebagainya. Tapi masalahnya adalah saat
pengalihan pemerintah Indonesia tidak dapat mengoperasikan sebagian peralatan
berteknologi maju.33
Pemerintah kesulitan karena karyawan-karyawan pada perusahaan tersebut
hanya diajarkan know-how (cara mengoperasikan peralatan) sedangkan knowledge
(cara membetulkan peralatan) tidak diajarkan. Dengan demikian, teknologi yang
sudah disediakan tidak optimal. Sehingga pemerintah mengadakan perjanjian
kembali dengan pihak asing untuk mengoperasikannya. Hal ini lebih menekankan
pada daya saing sumber daya manusia. Apa yang terjadi adalah perusahaan Negara
menjadi dikuasai pihak asing. Sementara itu, perusahaan swasta nasional dilarang
untuk mengelolanya karena dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
c.
Sektor Manufaktur
Selama lebih dari dua puluh tahun, peran industri manufaktur dalam
perekonomian Indonesia telah meningkat secara substansial, dari 19% terhadap PDB
tahun 1990 menjadi 26% tahun 2009 (Grafik Kiri). Walaupun selama tahun 1990-
2008, sektor industri mengalami penurunan pertumbuhan akibat adanya krisis. Di
sisi lain, peningkatan lapangan kerja industri manufaktur hanya naik dari 10 %
33 Sidney M. Levy, Build Operate Transfer : Paving The Way For Tomorrow’s Infrastructure, (John Wiley & Sons, Inc., 1996).
18
menjadi 12 %. Dinamika sektor industri secara umum bergerak sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi. Ketika krisis Asia melanda Indonesia tahun 1997/1998, PDB
tahun 1998 tumbuh negatif sebesar 13.3 % yang juga diikuti oleh penurunan
pertumbuhan sektor manufaktur sebesar 15.4 % (Grafik Kanan). Penurunan yang
tajam pada output manufaktur tahun 1998 ini juga diikuti oleh penurunan tajam
lapangan kerja di sektor manufaktur yaitu 9%.34
Grafik 1. Grafik Kiri : Kontribusi Sektor Utama terhadap Perekonomian Grafik Kanan : Pertumbuhan PDB dan Sektor Manufaktur Tahun 1994-2009
Sumber : Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, (Bank Indonesia : Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2002). Kontribusi sektor manufaktur yang besar terhadap perekonomian
menyebabkan siklus perekonomian tidak terlepas dari dinamika sektor manufaktur.
Jumlah perusahaan yang masuk dan keluar juga menjadi pengaruh bagi fluktuasi
makro-ekonomi karena: pertama, struktur ekonomi sedang menghadapi guncangan
atau perubahan kebijakan; kedua, jumlah perusahaan yang masuk dan keluar berguna
untuk melihat bagaimana implikasi guncangan positif (boom) atau negatif (bust).
Bariers to entry juga mempengaruhi keputusan perusahaan untuk masuk atau keluar
34 Yati Kurniati dan Yanfitri, “Dinamika Industri Manufaktur dan Respon terhadap Siklus Bisnis”, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, (Bank Indonesia: Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2002), hal. 136.
19
dari industri manufaktur. Dalam persaingan sempurna, hambatan ini tidak ada, akan
tetapi untuk pasar tidak sempurna, hambatan berupa biaya iklan, UU dan lain-lain
menyebabkan biaya untuk memasuki pasar bertambah.35
Industri manufaktur masa depan adalah industri-industri yang mempunyai
daya saing tinggi, yang didasarkan tidak hanya kepada besarnya potensi Indonesia
(comparative advantage), seperti luas bentang wilayah, besarnya jumlah penduduk
serta ketersediaan sumber daya alam, tetapi juga berdasarkan kemampuan atau daya
kreasi dan keterampilan serta profesionalisme sumber daya manusia Indonesia
(competitive advantage).
d.
Sektor Jasa
Pada sektor jasa, di bidang ekonomi, berawal dari putaran Uruguay yang
dimulai pada tahun 1986 hingga tahun 1993, akhirnya lahir kesepakatan-kesepakatan
di bawah naungan GATT (General Agreement on Trade and Tariffs) dan WTO
(World Trade Organization). Cakupan dari kesepakatan-kesepakatan itu sangat luas,
meliputi pembukaan akses pasar barang dan mulai diaturnya isu-isu baru di sektor
jasa, hak milik intelektual, aturan main perdagangan, penggunaan standar teknis,
serta aturan pemberian subsidi terutama bagi negara-negara berkembang. Pada tahun
1980-an, akibat rasa ketidakpastian yang diakibatkan perjanjian multilateral, setiap
wilayah mulai mengagendakan kerjasama ekonomi regional. Untuk kawasan Asia
Pasifik dibentuklah APEC (Asia Pasific Economic Coorperation) pada tahun 1989,
35 Ibid., hal. 138.
20
dan untuk wilayah ASEAN dibentuk AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun
1992. APEC bertujuan merealisasikan arus perdagangan dan investasi bebas di
kawasan Asia Pasifik paling lambat pada tahun 2010 untuk negara maju dan tahun
2020 untuk negara sedang berkembang. Sedangkan AFTA bertujuan menurunkan
tarif masuk berbagai produk dan jasa antara 0-5% pada tahun 2003.36
Akibat terjadinya hal di atas akan terjadilah proses liberalisasi dan deregulasi
di semua sektor kegiatan ekonomi, dan selanjutnya akan terciptalah persaingan ketat,
baik dalam pemasaran produk-produk domestik, penanaman modal, dan penggunaan
teknologi.37 Dalam beberapa tahun terakhir ini, yang terjadi adalah persaingan ke
arah dominasi kekuatan dan kekuasaan. Negara berkembang, seperti Indonesia, yang
pada awalnya sangat optimis dapat mengimbangi persaingan produk dengan negara-
negara lainnya, ternyata menghadapi berbagai kendala internasional.
Hambatan-hambatan dari berbagai sektor tersebut dapat diukur melalui GDP
Nasional dan GDP Perkapita. GDP (Gross Domestic Product) adalah penghitungan
yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi aktivitas perekonomian
nasionalnya, tetapi pada dasarnya GDP mengukur volume produksi dari suatu
wilayah (negara) secara geografis.
36 Agus Sachari, Budaya Visual Indonesia, (Jakarta : Erlangga, 2007), hal. 14-15. 37 Dirangkum dari artikel Anggito Abimanyu, dalam Jurnal Tahunan Cides No. 2 Tahun
1996.
21
2.
GDP Nasional dan GDP Perkapita
Perekonomian Indonesia pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan sebesar
6,1% dibanding tahun 2009. Nilai PDB atas dasar harga konstan pada tahun 2010
mencapai Rp. 2.310,7 triliun, sedangkan pada tahun 2009 dan 2008 masing-masing
sebesar Rp. 2.177,7 triliun dan Rp. 2.082,5 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga
berlaku, PDB tahun 2010 naik sebesar Rp. 819,0 triliun, yaitu dari Rp. 5.603,9 triliun
pada tahun 2009 menjadi sebesar Rp. 6.422,9 triliun pada tahun 2010.38
Tabel 1. Nilai PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008 – 2010
Laju Pertumbuhan dan Sumber Pertumbuhan Tahun 2010
Sumber : Berita Resmi Statistik No. 12/02/Th. XIV, 7 Februari 2011
Selama tahun 2010, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang
38 Badan Pusat Statistik, “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”, No. 12/02/Th. XIV, 7 Februari
2011.
22
mencapai 13,5%, diikuti oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 8,7%, Sektor
Konstruksi 7,0%, Sektor Jasa-jasa 6,0%, Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa
Perusahaan 5,7% , Sektor Listrik , Gas dan Air Bersih 5,3%, Sektor Pengolahan
4,5%, Sektor Pertambangan dan Penggalian 3,5%, dan Sektor Pertanian 2,9%.
Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2010 mencapai 6,6% yang berarti lebih
tinggi dari pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang besarnya 6,1%.39
Grafik 2. Laju dan Sumber Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2010 (Persen)
Sumber : Berita Resmi Statistik No. 12/02/Th. XIV, 7 Februari 2011.
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang mengalami pertumbuhan
sebesar 8,7% memberikan sumbangan terhadap total pertumbuhan PDB yaitu
sebesar 1,5%. Selanjutnya diikuti oleh Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan
39 Ibid., hal. 6.
23
Sektor Industri Pengolahan yang memberikan peranan masing-masing sebesar 1,2%.
(Tabel 1).40
PDB/PNB per kapita merupakan PDB/PNB (atas dasar harga berlaku) dibagi
dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Pada tahun 2010, nilai PDB per kapita
diperkirakan mencapai Rp. 27,0 juta (US$. 2.267,3) pada tahun 2009 menjadi
Rp.26,3 juta (US$.2.920,1) pada tahun 2010 atau terjadi peningkatan sebesar 13,9%.
Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini41 :
Tabel 2. PDB dan PNB Per Kapita Indonesia Tahun 2008 – 2010
Sumber : Berita Resmi Statistik No. 12/02/Th. XIV, 7 Februari 2011.
Pendapatan per kapita adalah pendapatan rata-rata penduduk suatu negara
pada suatu periode tertentu yang biasanya satu tahun. Konsep pendapatan yang biasa
dipakai dalam menghitung pendapatan per kapita adalah Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) atau Produk Nasional Bruto (PNB). Pendapatan per kapita Indonesia jika
dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, ternyata masih rendah.
40 Ibid. 41 Kompas Online, “Pendapatan Per Kapita 2010 Rp. 27 juta”,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/07/1449472/Pendapatan.Per.Kapita.2010.Rp.27.Juta.diakses pada 10 April 2011.
24
3.
Keanggotaan WTO
Indonesia secara resmi menjadi anggota WTO sejak organisasi perdagangan
dunia tersebut terbentuk pada awal Januari 2005. Indonesia telah meratifikasi
Persetujuan Pembentukan WTO (Agreement on Establishing the World Trade
Organization) melalui UU No. 7 Tahun 1994. Ratifikasi ini mengandung pengertian
bahwa Indonesia terikat dengan seluruh hasil kesepakatan yang dihasilkan dalam
Perundingan Uruguay.
Misi yang diemban serta yang harus diperjuangkan oleh keikutsertaan
Indonesia di WTO tidak lain adalah melaksanakan amanat dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) tahun 1993, khusunya menyangkut bidang ekonomi dan
politik luar negeri yang mengamanatkan bahwa perkembangan dunia dapat
menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional perlu
dimanfaatkan sebaik-baiknya melalui ekspor khususnya komoditi non migas,
meningkatkan daya saing dan penerobosan serta perluasan pasar luar negeri. Dalam
kaitannya dengan GATT, keikutsertaan Indonesia merupakan wujud nyata dari usaha
pemerintah untuk memanfaatkan peluang yang ada pada perkembangan tatanan
ekonomi dunia dan sistim perdagangan internasional di masa yang akan datang.
Sementara itu, secara politik upaya ini merupakan perwujudan dari politik
luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Sebagaimana diamanatkan dalam GBHN
1993 bahwa salah satu konsekuensi politik luar negeri Indonesia adalah usaha secara
aktif untuk mengikuti perkembangan, perubahan dan gejolak dunia baik di bidang
politik, ekonomi dan sosial budaya maupun militer guna dapat melakukan
25
identifikasi dan antisipasi terhadap potensi-potensi dari perkembangan dunia tersebut
yang mungkin dapat muncul sebagai kendala bagi pembangunan nasional.
Keanggotaan Indonesia di WTO banyak mempengaruhi kebijakan dan
hukum ekonomi di Indonesia. Hal ini didorong oleh keinginan untuk memanfaatkan
potensi keterbukaan akses pasar yang lebih luas yang dijanjikan oleh WTO. Oleh
karena itulah Indonesia aktif mengikuti perkembangan WTO, salah satunya adalah
dalam Doha Development Agenda (DDA). Keterlibatan dan posisi Indonesia dalam
proses perundingan DDA didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Indonesia
bergabung dalam koalisi negara berkembang seperti G-33, G-20, NAMA -11 yang
kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam
merumuskan posisi bersama untuk mencapai developmental objectives dari DDA.
Di Kelompok G-33, selaku Koordinator, Indonesia terus melaksanakan
komitmen dengan mengadakan serangkaian dan berbagai pertemuan tingkat pejabat
teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior Officials Meeting dan Tingkat
Menteri secara rutin demi tercapainya kesepakatan negara berkembang melindungi
petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 berkembang
menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian dan
anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara.
Disamping itu, Indonesia juga menjadi anggota Cairns Group dan aktif
berpartisipasi. Menteri Perdagangan RI menjadi tuan rumah Pertemuan Cairns Group
pada tanggal 7-9 Juni 2009 di Bali, memberikan momentum dan dorongan politis
26
bagi dimulainya kembali perundingan DDA secara penuh. Diharapkan bahwa
komitmen politis yang muncul di Bali dapat mendorong penyelesaian perundingan
DDA yang meningkat urgensinya di dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dan
keuangan dunia saat ini serta mencegah kebijakan perdagangan yang proteksionis.
Menghadapi rangkaian kegiatan mendatang Pemerintah berupaya untuk
melaksanakan tugas berlandaskan pada prinsip-prinsip kebijakan selama ini. Pokok-
pokok pelaksanaan tugas antara lain mencakup42 :
1. Melanjutkan peningkatan peluang ekspor komoditi pertanian;
2. Melanjutkan perlindungan sektor pertanian RI dari persaingan tidak sehat dan
lonjakan impor yang merusak ketahanan pangan, livelihood security dan
pembangunan pedesaan;
3. Memperjuangkan kepentingan ekspor dan perlindungan sektor industri;
4. Memperjuangkan kepentingan ekspor dan perlindungan sektor jasa;
5. Meningkatkan profil RI sebagai anggota G-20 yang berkomitmen memerangi
proteksionisme dan memelihara kepercayaan pada sistem perdagangan
multilateral maupun global governance;
6. Memperjuangkan peningkatan peran WTO dalam kepentingan sektoral RI,
termasuk hak kekayaan intelektual (HKI), perlindungan/pemanfaatan sumber
daya genetik/pengetahuan tradisional, lingkungan, special & differential
treatment, bantuan pembangunan/aid for trade, trade financing, transfer
teknologi, subsidi perikanan dan ketahanan energy;
42 “Indonesia dan WTO”, http://www.mission-indonesia.org/modules/WTO.pdf., diakses
pada 10 Mei 2011.
27
7. Meningkatkan pemanfaatan bantuan teknis WTO;
8. Aktif memberi masukan dan berpartisipasi dalam Timnas PPI serta dalam
perumusan posisi runding nasional;
9. Aktif memanfaatkan Organisasi Internasional, LSM nasional dan
internasional, serta kapasitas riset dan analisis Pusat/Lembaga Kajian
nasional maupun internasional dalam mendukung posisi runding RI;
10. Aktif mengupayakan penghapusan regulasi dan NTB (non-tariff barriers)
yang merugikan ekspor RI.
Indonesia juga pernah menjadi negara yang digugat oleh negara anggota
WTO lainnya, yaitu Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pada saat itu
masalahnya adalah kebijakan Indonesia dalam program Mobil Nasional yang
dianggap telah memberikan kemudahan bagi industri mobil nasional merupakan
bentuk diskriminasi dan dengan demikian telah melanggar ketentuan WTO yang
terkait dan Persetujuan Trade Related Investment Measures (TRIMs). Dalam tahap
DSB, Panel memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya agar selaras
dengan peraturan WTO. Indonesia juga memiliki pengalaman menjadi pihak ketiga
(third party) bersama dengan beberapa anggota WTO dalam sengketa antara Uni
Eropa menghadapi Argentina (tergugat) dimana dalam kasus ini Argentina dianggap
melakukan diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatasan
impor produk alas kaki (footwear) yang berasal dari beberapa negara anggota
WTO4, termasuk Indonesia. Indonesia yang merupakan eksportir utama produk alas
kaki ke Argentina merasa dirugikan karena dikenakan tambahan bea masuk (specific
28
duty) sedang-kan negara-negara Brazil, Uruguay, Paraguay tidak dikenakan tindakan
safeguard. Argentina akhirnya melakukan penyesuaian aturannya mengenai
safeguard.43
Di samping itu, Indonesia bersama-sama dengan beberapa anggota WTO
lainnya yaitu Canada, Mexico, Jepang, Brasil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan
dan European Union menggugat Amerika Serikat dalam kasus US – Continued
Dumping and Subsidy Offset Act of 2000” (US – CDSOA)5. Dalam kasus tersebut
Indonesia bersama dengan negara lainnya menganggap kebijakan yang diterapkan
Amerika Serikat dalam US – CDSOA bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
disepakati dalam Agreement WTO tentang anti dumping (Anti Dumping
Agreement/AD Agreement) dan anti subsidi (Subsidy and Countervailing Measures
Agreement/ASCM Agreement). Kasus ini kemudian dibawa ke sidang Panel pada
tahun 2001.44
Dalam keputusannya Panel merekomendasikan kepada DSB untuk meminta
AS agar menyesuaikan peraturannya dengan persetujuan-persetujuan WTO dengan
cara mencabut kebijakan US – CDSOA. Terhadap keputusan Panel tersebut, AS
mengajukan banding ke Appelate Body. Dalam keputusannya di tahun 2003,
Appelate Body juga merekomendasikan AS agar melakukan penyesuaian dengan
mengadakan perubahan kebijakan terkait dengan US–CDSOA atau yang juga
dikenal dengan Byrd Amendment agar konsisten dengan ketentuan WTO. Hal ini
43 Ibid. 44 Ibid.
29
dilakukan karena Appelate Body juga memutuskan bahwa Byrd Amendment tidak
konsisten dengan persetujuan-persetujuan WTO.45
4.
Keterbukaan terhadap Perdagangan Internasional
Kebijakan liberalisasi (deregulasi) perdagangan telah dilakukan pemerintah
sejak awal 1980-an. Secara gradual pemerintah membuka perekonomian dengan
mengeluarkan serangkaian kebijakan penurunan tarif dan menghilangkan kebijakan
non-tarif yang menghambat masuknya barang impor secara bertahap. Di samping itu,
Indonesia melakukan kerjasama perdagangan regional melalui ASEAN Free Trade
Area (AFTA). Selanjutnya kebijakan liberalisasi perdagangan makin meningkat
sejalan dengan masuknya Indonesia dalam kerjasama internasional melalui World
Trade Organization (WTO). Sementara itu, krisis nilai tukar yang berlanjut menjadi
krisis finansial pada 1997 mewajibkan kebijakan perdagangan sejalan dengan
komitmen dalam Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
Dengan masuknya Indonesia dalam WTO pada tahun 1995, pemerintah
mengeluarkan kebijakan Mei 1995 yang secara umum berisi jadwal penurunan tarif.
Penurunan tarif yang dilakukan berbeda dari tahun ke tahun tergantung tingkat tarif
yang ada sebelum 1995. Sebagai hasil Pakmei 95, tarif rata-rata Indonesia telah turun
dari 20% di 1994 menjadi kurang dari 8% di tahun 2000.46
45 Ibid. 46 Siti Astiyah, et.al., “Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Perilaku Pembentukan
Harga Produk Industri melalui Structure – Conduct Performance Model, Bulletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2005, hal. 527.
30
Selanjutnya sejak 18 April 2011, Kementerian Keuangan mengubah tarif atas
190 produk. Sebanyak 182 produk diantaranya, yang tergolong bahan baku dan
barang modal, memperoleh penurunan tarif bea masuk dari lima persen menjadi nol
persen. Perubahan tarif bea masuk itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan
No. 80/PMK.011/2011 tentang tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Menteri
Keuangan No. 110/PMK.01 0/2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. PMK ini diterbitkan pada 13
April 2011 dan berlaku sejak 18 April 2011.
Peraturan ini menetapkan perubahan tarif bea masuk atas 190 produk (pos
tarif) yang meliputi lima sektor industri, yaitu Industri kimia dasar, Industri
makanan, Industri mesin, Industri elektronika (di dalamnya termasuk peralatan film),
dan Industri maritim (perkapalan). Seluruh produk tersebut dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu Bahan Baku, Barang Modal, dan Barang Konsumsi. Dari 190
produk itu, 182 pos tarif, tarif bea masuknya diturunkan dari sebelumnya 5% (lima
persen) menjadi 0% (nol persen). Ke-182 pos tarif yang turun bea masuknya dibagi
atas lima kelompok, yakni pertama, Industri kimia dasar sebanyak 59 pos tariff.
Kedua, Industri makanan sebanyak satu pos tarif, yaitu minyak kacang kedelai
sebagai bahan baku pembuatan margarin, shortening minyak kacang kedelai sebagai
bahan baku pembuatan margarin, shortening minyak salad. Ketiga, Industri mesin
sebanyak 91 pos tarif. Keempat, Industri elektronika sebanyak 16 pos tarif. Kelima,
31
Industri perkapalan sebanyak 13 pos tarif dalam rangka program pemutihan kapal
guna memenuhi asas cabotage. 47
Pada sektor perdagangan jasa, kebijakan Indonesia pun lebih terbuka untuk
merespon liberalisasi perdagangan multilateral maupun bilateral. Setelah
menyepakati General Agreement on Trade in Services (GATS) Pemerintah banyak
melakukan penyesuaian peraturan di sektor perdagangan jasa seperti mengubah UU
Perbankan, UU Telekomunikasi, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Perikanan, dan
terakhir UU Penanaman Modal.
5.
Infrastruktur : Masalah dan Hambatan
Salah satu hambatan pertumbuhan industri dan masuknya investasi ke dalam
negeri adalah lambannya pengembangan infrastruktur nasional. Percepatan
pembangunan infrastruktur akan menjadi kunci kemajuan perekonomian Indonesia
di masa depan. Menurut J. Sanchez di Jakarta sebagai Wakil Menteri Perdagangan
Amerika Serikat mengatakan bahwa48 :
“Banyak peluang investasi dari kalangan investor AS yang tertunda atau bahkan dialihkan ke negara lain akibat masalah infrastruktur Indonesia. Kami sering menerima keluhan terkait masih kurangnya infrastruktur Indonesia. Padahal bila dilihat dari pasar yang besar dan potensi kekayaan alam serta tenaga kerja yang berlimpah, Indonesia bisa menjadi pilihan utama investasi global. Karena itu, Kementerian Perdagangan AS mendorong investor asal AS untuk membantu percepatan pembangunan investasi di Indonesia.
47 “190 Tarif Diubah; Menuju Indonesia Tersenyum”, www.kompas.com, diakses pada
tanggal 10 Mei 2011. 48 Jajang Sumantri, “Amerika Keluhkan Infrastruktur Indonesia Jadi Hambatan”, Harian
Media Indonesia, Minggu 03 April 2011, http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/04/215071/4/2/ Amerika-Keluhkan-Infrastruktur-Indonesia-Jadi-Hambatan., diakses pada 11 April 2011. Lihat juga : Harian Bisnis Indonesia, “Banyak Regulasi yang Membuat Sulit Berbisnis di Indonesia”, diterbitkan Rabu, 03 November 2010.
32
Prasyarat masuknya investasi adalah kesiapan infrastruktur pelabuhan, jalan, bandara, maupun energi. Investor AS siap berinvestasi namun tentu mereka juga butuh adanya kepastian hukum supaya investasi yang ditanamkan berkelanjutan”.
Salah satu hambatan dalam kegiatan investasi dan dunia usaha pada
umumnya di Indonesia adalah masalah keterbatasan infrastruktur, antara lain yang
cukup penting adalah masalah pasokan listrik dan akses jalan yang terbatas.
Sejak tahun 2008, hampir seluruh wilayah Indonesia menghadapi krisis
energi listrik, termasuk juga wilayah Jawa dan Bali yang merupakan pusat kegiatan
ekonomi utama. Akibatnya berbagai sektor ekonomi terutama industri mengalami
kerugian besar karena terpaksa harus menghentikan kegiatannnya ketika terjadi
pemadaman listrik. Sejumlah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) pernah
menyuarakan ancaman akan meninggalkan Indonesia jika pasokan listrik belum
segera diatasi, antara lain pada akhir tahun 2008 perusahaan-perusahaan Jepang di
sekitar Jakarta dan Banten terutama yang bergerak di bidang industri petrokimia dan
bahan baku plastik tersebut mengaku rugi Rp. 41 miliar dalam dua bulan akibat
pemadaman listrik. Terutama industri kecil menengah yang tidak memiliki
pembangkit listrik cadangan untuk menghadapi pemadaman listrik.
Masih banyaknya masalah dibidang kelistrikan ini menyebabkan iklim
investasi untuk sektor industri manufaktur masih terus terkendala. Ketidak pastian
jadwal selesainya pembangkit listrik dan tersedianya pasokan listrik menyebabkan
proyek investasi harus menghadapi risiko berlebih. Jika mereka harus menyediakan
pembangkit sendiri, investasinya mahal, padahal dalam dua tiga tahun mendatang
33
kemungkinan pasokan listrik dari PLN sudah mampu memenuhi permintaan,
sehingga tidak perlu lagi memiliki pembangkit listrik yang sudah terlanjur dibeli.
Kondisi dilematis ini menyebabkan iklim investasi kurang menarik di Indonesia.
Selain listrik, infrastruktur yang juga menghambat investasi adalah
pembangunan jalan raya. Masalah pembebasan tanah terkait masalah pembiayaan,
penanggung jawab dan jadwal pelaksanaannya. Ketidak jelasan dalam aturan
menganai pembebasan tanah selama ini meyebabkan investor sulit membuat rencana
pembangunan jalan tol.49 Saat ini pemerintah dan DPR RI tengah menyelesaikan
RUU Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Umum.
6.
Sumber Daya Manusia
a. Sebagaimana ditentukan oleh Human Development Index (HDI)
UNDP Tahun 2010 menggunakan metode dan indikator baru untuk
menghitung HDI negara-negara di dunia. Gender-Related Human Development
Index (GDI) juga diganti dengan Gender Inequality Index (GII) dengan metode dan
indikator baru. Tahun 2010, menurut UNHDR, nilai HDI Indonesia naik dari tahun
sebelumnya dan berada pada ranking 108 dari 169 negara. Karena metode dan
indikatornya berbeda, tidak bisa dibandingkan dengan HDI dan GDI tahun-tahun
49 “Masalah Infrastruktur Masih Menghambat Investasi, Indonesian Commercial
Newsletter”, diakses dalam http://www.datacon.co.id/Tekstil-2009Fokus.html, tanggal 10 Mei 2011. Lihat juga : Harian Kompas, “Sektor Riil : Infrastruktur Harus Bisa Memacu Pertumbuhan”, diterbitkan Rabu, 20 Oktober 2010. Lihat juga : Harian Kompas, “Kakao : Minat Investor Terhalang Infrastruktur”, diterbitkan Kamis, 30 September 2010.
34
sebelumnya. Untuk nilai GII, pada tahun 2010 ini masih menggunakan data tahun
2008.50
Grafik 3. HDI dan GII Indonesia 2000, 2005, 2009 – 2010
Sumber : United Nation Human Development Reports 2010 (Perubahan Metode dan
Indikator).
Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia di bawah Singapura
(rank: 27, nilai: 0,846), Brunei (rank: 37, nilai: 0,805), Malaysia (rank: 57, nilai:
0,744), Thailand (rank: 92, nilai: 0,654), Filipina (rank: 97, nilai: 0,638); di atas:
Vietnam (rank: 113, nilai: 0,572), Laos PDR (rank: 122, nilai: 0,497), Cambodia
(rank: 124, nilai: 0,494), Myanmar (rank: 132, nilai: 0,451).51
50 Online Data dan Informasi Kesejahteraan Rakyat, “HDI Indonesia 2010 (Metode dan
Indikator Baru)”, http://data.menkokesra.go.id/content/hdi-indonesia-2010-metode-dan-indikator-baru., diakses 11 April 2011.
51 Ibid.
35
b.
Tingkat Pendidikan dan Tidak Buta Huruf
Tingkat pendidikan dan tidak buta huruf masyarakat Indonesia tahun 2010
sudah mencapai 92%. Namun hal tersebut belum cukup untuk menjadikan pondasi
kuat bagi peningkatan dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Masih banyak langkah
yang harus dilakukan untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Anies Baswedan,
mengatakan bahwa52 :
“Meningkatnya tingkat melek huruf masyarakat tidak bisa menjadi satu-satunya acuan dan bukti suatu bangsa bahwa pendidikannya maju. Tingkat melek huruf hanya bisa digunakan sebagai pondasi agar pendidikan dan kecerdasan masyarakat sebuah bangsa semakin berkembang. Tetapi, proses perubahan masyarakat melalui pendidikan harus terus didorong. Salah satu proses perubahan tersebut yaitu dengan terus menambah jumlah anak-anak yang mengenyam bangku sekolah. Agar masyarakat bisa mengenyam pendidikan, maka akses pendidikan harus semakin dibuka dan dipermudah. Sayangnya, selama ini pemerintah sering melupakan nasib anak-anak yang belum bisa mengenyam bangku sekolah. Pemerintah misalnya lebih banyak fokus pada berapa banyak anak-anak yang sudah tuntas lulus kuliah. Jumlah mahasiswa di Indonesia tahun 2009 misalnya mencapai 4,1 juta. Tapi, yang sering dilupakan itu adalah anak-anak dan pemuda yang belum bisa masuk sekolah”.
52 Republika Online, “Tingkat Melek Huruf Tinggi Pendidikan di Indonesia Belum Maju”,
Harian Republika, Rabu 12 Januari 2011, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/01/11/157847-tingkat-melek-huruf-tinggi-pendidikan-di-indonesia-belum-maju., diakses pada 11 April 2011.
36
Tabel 3. Indeks Pembangunan Pendidikan Negara Asia Tenggara
Negara Indeks
Pembangunan Pendidikan
Angka Partisipasi Pendidikan
Dasar
Angka Melek
Huruf Usia 15 thn keatas
Angka menurut gender
Angka Bertahan
hingga kelas 5 SD
Brunei Darrussalam
0,965 0,969 0,927 0,967 0,995
Malaysia 0,945 0,954 0,904 0,938 0,984 Indonesia 0,935 0,983 0,904 0,959 0,895 Vietnam 0,899 0,878 0,903 0,945 0,868 Filipina 0,893 0,944 0,926 0,955 0,749 Myanmar 0,866 0,902 0,899 0,963 0,699 Kamboja 0,807 0,989 0,736 0,871 0,631 Laos 0,750 0,836 0,714 0,820 0,630
Sumber : EFA Global Monitoring Report 2008, dalam Kompas 31 Desember 2007:14.
Menurut sistem penilaian EDI yang membagi tiga kategori skor yaitu:
kelompok negara dengan indeks pendidikan tinggi (0,950 keatas), sedang (0,800
sampai dibawah 0,950) dan rendah (dibawah 0,800). Maka menempatkan Indonesia,
Malaysia, Filipina, Vietnam, Myanmar dan Kamboja, berada di kelompok negara
dengan kategori EDI sedang. Sementara Indeks Pendidikan Brunei Darussalam
menempati peringkat tinggi.53
Posisi negara Indonesia yang berada pada kategori sedang, ini terkait dengan
beberapa realita. Realita-realita tersebut, yang akan diuraikan pada pembahasan
berikut ini yang terdiri dari angka buta huruf di beberapa daerah, rendahnya rata-rata
lama studi dan kesenjangan Angka Partsipasi Sekolah (APS) antara laki-
laki dan perempuan.54
53 Kompas 31 Desember 2007:14 dalam Dyah Ratih Sulistyastuti, “Pembangunan Pendidikan
dan MDGs Di Indonesia : Sebuah Refleksi Kritis”, Volume II, Nomor 2, (Yogjakarta : Jurnal Kependudukan Indonesia, 2007).
54 Ibid.
37
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan sejak Repelita I tahun 1969,
hendaknya telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Meskipun pembangunan nasional telah dilaksanakan sejak Repelita I
ternyata masih menyisakan sejumlah masalah diantaranya bidang pendidikan. Salah
satu indikatornya adalah kemampuan baca tulis yang merupakan ketrampilan
minimal yang diperlukan oleh masyarakat untuk mencapai hidup sejahtera.
Kemampuan baca tulis tercermin dari angka melek huruf yaitu persentase penduduk
diatas 10 tahun yang dapat membaca dan menulis. Pada tahun 2005, memang
proporsi penduduk yang masih buta huruf secara nasional sudah jauh
menurun dan tinggal sebesar 8,09% (Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2005:70).
Namun beberapa propinsi masih memiliki proporsi buta huruf yang relatif tinggi,
seperti Papua (26,43%), NTB (18,27%), Sulawesi Selatan (13,71%), NTT (13,32%),
Jawa Timur (12,79%), DIY (12,11%), Jawa Tengah (11,13%) dan Kalimantan Barat
(10,89%). Disparitas angka melek huruf tersebut bukan hanya di propinsi saja, tetapi
terjadi antara desa-kota dan laki-laki-perempuan. Menurut Statistik Pendidikan 2006,
persentase penduduk buta huruf 10 tahun keatas di daerah pedesaan (10,24%)
mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibanding perkotaan (4,24%). 55
Rata-rata lama masa sekolah merupakan indikator lainnya yang
diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk menyusun Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Program Wajib Belajar 9 tahun telah dicanangkan pemerintah sejak
tahun 1994 melalui Inpres I tahun 1994. Rata-rata lama sekolah di Indonesia pada
tahun 2006 baru mencapai 7,44. Angka ini menunjukkan bahwa rata-
55 Ibid.
38
rata pendidikan penduduk Indonesia baru mencapai jenjang pendidikan kelas 1 SMP.
Realita itu menuntut pembangunan bidang pendidikan terutama pendidikan dasar
merupakan kebutuhan mendesak.56
7.
Struktur dan Properti dari Sektor Industri, Kepemilikan Terdiversifikasi dibandingkan dengan Kepemilikan Terkonsentrasi, Tingkat Kepemilikan Negara Secara Langsung Atau Tidak Langsung
Tantangan utama yang dihadapi oleh industri nasional saat ini adalah
kecenderungan penurunan daya saing industri di pasar internasional. Penyebabnya
antara lain adalah meningkatnya biaya energi, ekonomi biaya tinggi, penyelundupan
serta belum memadainya layanan birokrasi. Tantangan berikutnya adalah kelemahan
struktural sektor industri itu sendiri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar
industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan
industri kecil menengah, belum terbangunnya struktur klaster (industrial cluster)
yang saling mendukung, adanya keterbatasan berproduksi barang setengah jadi dan
komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan
kemampuan ekonomi antar daerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa
komoditi tertentu.57
Sementara itu, tingkat utilisasi kapasitas produksi industri masih rata-rata di
bawah 70%, dan ditambah dengan masih tingginya impor bahan baku, maka
kemampuan sektor industri dalam upaya penyerapan tenaga kerja masih terbatas. Di
56 Statistik Pendidikan 2006:57 dalam Ibid. 57 Fahmi Idris, ”Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri”, Sekretariat Negara
Republik Indonesia. Diterbitkan Jum’at, 23 Maret 2007.
39
sisi lain, industri kecil dan menengah (IKM) yang memiliki potensi tinggi dalam
penyerapan tenaga kerja ternyata masih memiliki berbagai keterbatasan yang masih
belum dapat diatasi dengan tuntas sampai saat ini. Permasalahan utama yang
dihadapi oleh IKM adalah sulitnya mendapatkan akses permodalan, keterbatasan
sumber daya manusia yang siap, kurang dalam kemampuan manajemen dan bisnis,
serta terbatasnya kemampuan akses informasi untuk membaca peluang pasar serta
mensiasati perubahan pasar yang cepat.58
Dalam rangka lebih menyebarkan industri untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah, maka investasi di luar Pulau Jawa masih kurang menarik bagi
investor karena terbatasnya kapasitas infrastruktur ekonomi, terbatasnya sumber
daya manusia, serta kecilnya jumlah penduduk sebagai basis tenaga kerja dan
sekaligus sebagai pasar produk. Bangun susun sektor industri yang diharapkan harus
mampu menjadi motor penggerak utama perekonomian nasional dan menjadi tulang
punggung ketahanan perekonomian nasional di masa yang akan datang. Sektor
industri prioritas tersebut dipilih berdasarkan keterkaitan dan kedalaman struktur
yang kuat serta memiliki daya saing yang berkelanjutan serta tangguh di pasar
internasional. Pembangunan industri tersebut diarahkan pada penguatan daya saing,
pendalaman rantai pengolahan di dalam negeri serta dengan mendorong tumbuhnya
pola jejaring (networking) industri dalam format klaster yang sesuai baik pada
kelompok industri prioritas masa depan, yaitu: industri agro, industri alat angkut,
58 Ibid.
40
industri telematika, maupun penguatan basis industri manufaktur, serta industri kecil-
menengah tertentu.59
Pemerintah pun menyadari bahwa industri manufaktur masa depan adalah
industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, yang didasarkan tidak hanya
kepada besarnya potensi Indonesia (comparative advantage), seperti luas bentang
wilayah, besarnya jumlah penduduk serta ketersediaan sumber daya alam, tetapi juga
berdasarkan kemampuan atau daya kreasi dan keterampilan serta profesionalisme
sumber daya manusia Indonesia (competitive advantage). Bahkan telah ditetapkan
bahwa bangun susun sektor industri yang diharapkan harus mampu menjadi motor
penggerak utama perekonomian nasional dan menjadi tulang punggung ketahanan
perekonomian nasional di masa yang akan datang. Sektor industri prioritas tersebut
dipilih berdasarkan keterkaitan dan kedalaman struktur yang kuat serta memiliki
daya saing yang berkelanjutan serta tangguh di pasar internasional.60
Pembangunan industri tersebut diarahkan pada penguatan daya saing,
pendalaman rantai pengolahan di dalam negeri serta dengan mendorong tumbuhnya
pola jejaring (networking) industri dalam format klaster yang sesuai baik pada
kelompok industri prioritas masa depan, yaitu industri agro, industri alat angkut,
industri telematika, maupun penguatan basis industri manufaktur, serta industri kecil-
menengah tertentu.
Sebagai gambaran, sejak memasuki awal tahun 2000 Pemerintah sudah
menetapkan sepuluh kelompok industri inti, yaitu industri makanan dan minuman,
59 Ibid. 60 Bataviase, “Sektor Industri Perlu Pembenahan yang Terstruktur dan Terukur”,
http://bataviase.co.id/node/338569., diakses pada 13 Juni 2011.
41
industri pengolahan hasil laut, industri tekstil dan produk tekstil, industri alas kaki,
industri kelapa sawit, industri barang kayu (termasuk rotan), industri karet dan
barang karet, industri pulp dan kertas, industri mesin listrik dan peralatannya, serta
industri petrokimia. Tetapi lagi-lagi dalam perkembangannya Pemerintah tidak
melihat tumbuhnya klaster-klaster industri inti tersebut yang mampu membuat
industri-industri tersebut berkembang pesat dan memiliki daya saing yang kuat.61
Berlakunya perjanjian perdagangan bebas ACFTA memperlihatkan semua itu
di mana tidak ada satu industri pun yang nyata-nyata menyatakan siap bersaing
menghadapi produk impor kendati di dalam pasar dalam negeri sendiri. Bahkan
sebelum perjanjian tersebut diberlakukan pun, sejumlah industri dalam negeri sudah
nampak "terengah-engah" karena harus bersaing dengan produk impor. Dalam
kondisi kalah bersaing, harapan-harapan yang muncul dari pihak industri pun lebih
pada permintaan penundaan pemberlakukan perdagangan bebas untuk sejumlah
komoditi dan harapan agar pemerintah memberikan insentif dalam berbagai
bentuknya. Ketika insentif tersebut diberikan, ternvata Insentif /tupun tidak mampu
dimanfaatkan secara maksimal tanpa alasan yang jelas.62
Sebagai contoh insentif berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah
(BMDTP) yang diberikan sejak tahun lalu temyata yang terserap jumlahnya sangat
minim. Tahun inipun penyerapannya tetap minim. Berdasarkan data Direktorat
Jenderal Bea Cukai sampai akhir Juli 2010, tercatat insentif BM DTP yang tidak
terpakai mencapai Rp. 1,49 triliun dari alokasi pagu anggaran sebesar Rp. 1,5 triliun
61 Ibid. 62 Ibid.
42
atau baru terealisasi 2,36 %, yakni Rp. 36,152 miliar. Dalam data itu juga disebutkan
lima sektor industri dari 14 Industri tidak memakai insentif tersebut. Sementara
sektor industri yang paling banyak menggunakan fasilitas tersebut adalah karpet
sebesar Rp. 3,2 miliar atau sekitar 17,26 % dari pagu anggaran Rp. 36,22 miliar.63
Memang ada yang beralasan bahwa minimnya penyerapan BMDTP juga
lantaran terdapat fasilitas fiskal lain yang bisa dimanfaatkan industri, terutama di
sektor otomotif, seperti pembebasan bea masuk lewat kerja sama Indonesia Japan
Economic Partnership Agreement (LJEPA). Tetapi itu tentu saja bukan alasan yang
tepat, karena seharusnya seluruh insentif yang diberikan dimanfaatkan untuk bisa
meningkatkan daya saing dan performa industri yang bersangkutan. Karena terbukti
bahwa akibat penyerapannya yang kecil, adanya BMDTP untuk sebuah industri,
contohnya Industri perkapalan, keberadaan BMDTP tidak bisa mendongkrak
performa industri galangan kapal nasional. Alasannya, krisis telah membuat
permintaan kapal baru merosot. Dan yang lebih menyedihkan, alasan lainnya adalah
produk kapal lokal kalah bersaing dengan produk kapal buatan China, sehingga
BMDTP untuk industri kapal menjadi tidak efektif. Dan ini terjadi karena produk
kapal impor juga mendapatkan berbagai fasilitas, seperti pembebasan Bea Masuk
(BM) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).64
Dari kasus rendahnya penyerapan BMDTP yang terjadi di industri
perkapalan, terlihat bahwa persoalan yang dibutuhkan sektor industri dalam negeri
sesungguhnya bukan sekedar insentif, tetapi lebih dari itu, yang benar-benar mampu
63 Ibid. 64 Ibid.
43
meningkatkan daya saing produk industri dalam negeri. Pemerintah sudah punya
kajiannya, tetapi bagaimana mengimplementasikannya, itu yang belum terjawab.65
Struktur kepemilikan di sektor industri di Indonesia masih terkonsentrasi.
Kepemilikan industri masih terkonsentrasi pada kelompok-kelompok usaha tertentu
(konglomerat) dan pada negara pada Badan Usaha Milik Negara BUMN. Saat ini
berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi struktur kepemilikan tersebut.
Salah satunya adalah dengan penawaran umum. Pada tahun 2010, Pemerintah akan
melakukan privatisasi BUMN pada penghujung 2010 setelah sempat vakum pada
2008 dan 2009 itu disebabkan situasi krisis ekonomi sehingga kurang tepat untuk
mengerjakan privatisasi. Bahkan Pemerintah telah berancang-ancang pula menjual
10 BUMN pada tahun depan (2011). Dari beberapa BUMN yang akan diprivatisasi
pada 2010 ini, terdapat dua bank BUMN yang terlalu penting untuk diabaikan dari
pembahasan publik, yakni Bank Mandiri dan Bank BNI.66
Kedua bank BUMN ini penting untuk dikupas karena tiga alasan pokok: (1)
Mandiri adalah bank terbesar dan BNI peringkat empat bank terbesar; (2) struktur
sektor perbankan di Indonesia secara umum telah dikuasai pemilik asing; dan (3)
perbankan masuk dalam kategori sektor strategis sehingga kepemilikan
negara/pemerintah merupakan bagian penting yang harus diperjuangkan.
Pemerintah akan meningkatkan porsi saham publik di Bank Mandiri dan BNI
hingga mendekati kisaran 40%. Kapitalisasi pasar dari 14 BUMN terbuka per 23
Desember 2009 mencapai Rp. 630,77 triliun, atau 31,98% dari total kapitalisasi pasar
65 Ibid. 66 Ahmad Erani Yustika, “Menimbang Privatisasi Bank BUMN”, Harian Kompas,
diterbitkan Rabu, 06 Oktober 2010.
44
Bursa Efek Indonesia (BEI). Nilai kapitalisasi pasar sejumlah BUMN terbuka
tersebut naik lebih dari Rp. 380,77 triliun selama periode 2004 sampai 2009. Angka
itu diperkirakan akan meningkat signifikan, seiring bertambahnya jumlah perusahaan
pelat merah yang melantai di bursa, atau menambah porsi saham publiknya pada
2010. Diungkapkan Menteri BUMN Mustafa Abubakar, paling tidak ada empat
BUMN yang sudah atau siap melakukan penawaran saham perdana kepada publik
(Initially Public Offering/lPO) di 2010. Di antaranya adalah PT Pembangunan
Perumahan (PP), PT Garuda Indonesia, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) ID, dan
PT Krakatau Steel. Menurutnya, IPO itu merupakan bagian dari program 100 hari
Kementerian BUMN yaitu melakukan privatisasi guna meningkatkan nilai
perusahaan. PP, kemarin, menjadi BUMN pertama yang mencatatkan diri (listing) di
BEI. Setelah PP, kata Mustafa, BUMN berikutnya yang akan menyusul adalah PT
Garuda Indonesia. Saham maskapai pelat merah itu akan dilepas pada kisaran 25%-
40%.67
Namun, sangat disayangkan yang menjadi investor terhadap perusahaan-
perusahaan BUMN tersebut kebanyakan adalah pihak asing. Lebih dari 2/3 porsi
saham yang diperdagangkan masih dikuasai investor asing.68 Rencana demutualisasi
Bursa Efek Indonesia (BEI) memberikan peluang bagi pemerintah dan investor asing
67 Bataviase, “Nilai Kapitalisasi Pasar BUMN Terbuka Melonjak”,
http://bataviase.co.id/node/90515., diakses pada 13 Juni 2011. 68 Infobank News, “BEI : 2011 Momentum Bagi Investor Lokal Merebut Investor Asing”,
http://www.infobanknews.com/2010/10/bei-2011-momentum-bagi-investor-lokal-merebut-porsi-investor-asing/., diakses 13 Juni 2011.
45
untuk menjadi pemegang saham otoritas bursa. Namun hal ini masih menunggu
revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.69
Demutualisasi BEI akan membuka kesempatan kepada berbagai pihak untuk
menjadi pemegang saham, termasuk emiten, investor asing bahkan pemerintah.
Langkah ini dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi shareholders sehingga
BEI lebih transparan. Adapun saat ini pemegang saham BEI hanya terdiri dari
perusahaan-perusahaan sekuritas yang menjadi anggota bursa. Kepemilikan saham
BEI, khususnya investor asing harus tetap dibatasi. Tujuannya agar tidak ada pihak-
pihak tertentu yang menguasai otoritas bursa. Realisasi demutualisasi membutuhkan
proses panjang. Sebab, untuk mewujudkannya, harus merevisi UU Pasar Modal
terlebih dahulu. Pasalnya, UU tersebut menyatakan pihak yang diizinkan menjadi
pemegang saham BEI hanyalah perusahaan sekuritas.70
Konsentrasi kepemilikan saham pemerintah pada BUMN telah menimbulkan
permasalahan yang cukup rumit dan signifikan, terutama dalam kaitannya dengan
efektivitas pengawasan internal dan eksternal. Oleh sebab itulah program privatisasi
di Indonesia pada tahapan selanjutnya harus diartikan sebagai upaya untuk
menghilangkan konsentrasi kepemilikan tersebut baik oleh negara melalui
pengelolaan pemerintah maupun pihak swasta. Tujuannya adalah agar program
privatisasi bukan semata-mata merupakan pengalihan konsentrasi kepemilikan
perusahaan, “oleh pemerintah menjadi oleh swasta”. Dalam sistem pengelolaan
69 Okezone, “Demutualisasi, Investor Asing & Pemerintah Bisa Miliki BEI”,
http://celebrity.okezone.com/read/2009/07/03/278/235453/demutualisasi-investor-asing-pemerintah-bisa-miliki-bei., diakses pada 13 Juni 2011.
70 Ibid.
46
perusahaan, efektivitas pengawasan sangat terkait erat dengan bentuk dan struktur
kepemilikan perusahaan. Bentuk dan struktur kepemilikan perusahaan merupakan
bagian penting dalam upaya mewujudkan perusahaan yang sehat dan efisien.
Konsentrasi kepemilikan perusahaan memungkinkan timbulnya campur tangan
pemilik secara berlebihan dalam pengurusan dan pengelolaan perusahaan. Hal ini
antara lain mengakibatkan fungsi pengawasan internal menjadi kurang berfungsi.
Misalnya, komisaris yang fungsinya sebagai pengawas perusahaan menjadi tidak
efektif, padahal komisaris memiliki peran strategis dalam pengawasan jalannya suatu
perusahaan.71
Inefisiensi dan ketidaksehatan suatu perusahaan antara lain disebabkan oleh
dominasi pemilik sehingga komisaris bersikap pasif dalam melakukan pengawasan
terhadap kegiatan perusahaan. Penyebaran kepemilikan saham dengan cara
pemecahan ”kepemilikan terkonsentrasi” agar menjadi ”kepemilikan tersebar” untuk
menciptakan perusahaan yang sehat dan efisien, setidak-tidaknya berdasarkan empat
alasan72 :
1. Privatisasi tidak menjamin peningkatan kinerja perusahaan;
2. Pemusatan kepemilikan pemerintah pada suatu perusahaan cenderung
membuat kinerja perusahaan jelek;
3. Kepemilikan mutlak oleh swasta jauh lebih riskan (berbahaya) dari
kepemilikan mutlak pemerintah;
71 Parluhutan Sagala, “Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah Pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) Untuk Menciptakan Perusahaan yang Sehat dan Efisien”, (Medan : Disertasi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 1.
72 Ibid.
47
4. Kinerja perusahaan dapat meningkat dengan kepemilikan tersebar karena
dengan kepemilikan tersebar oleh masyarakat akan menciptakan pengawasan
yang efektif (market discipline) dan perusahaan akan dikelola secara
profesional dengan penerapan Good Corporate Governance (GCG).
Dalam hal ”kemampuan menguasai” (retained power), pada kasus-kasus
tertentu, menetapkan hak tetap memiliki ”saham emas” (golden share) maksimal
sebesar 10%,73 namun terbatas untuk hal-hal tertentu atau transaksi di mana
kebijakan pemerintah untuk memiliki hak veto, dan/atau menetapkan suatu
mekanisme untuk membuat kebijakan pengaturan penting dan kewenangan untuk
73 Singapore Technologies Telemedia (ST Telemedia) banding atas putusan KPPU mengenai investasinya di Indosat. ST Telemedia dan anak perusahaannya menyangkal telah melanggar Pasal 27 huruf a., UU No. 5 Tahun 1999 dan mengulang bahwa temuan dari KPPU tidak berdasar dan tidak pantas. KPPU mengabaikan fakta dimana pada tahun 2002 Pemerintah Indonesia mengundang ST Telemedia untuk berpartisipasi dalam penawaran saham Indosat. Dalam White Paper saat divestasi Indosat dinyatakan bahwa tidak ada kepemilikan saham mayoritas oleh SingTel ataupun ST Telemedia dan industri telekomunikasi di Indonesia dan industri ini merupakan industri teregulasi, dan juga saat itu tidak ada isu mengenai Undang Undang Anti Persaingan. Sejak saat itu, ST Telemedia tidak pernah menaikkan persentase saham di Indosat. ST Telemedia lewat anak perusahaannya, Asia Mobile Holdings (AMH), memiliki sekitar 41% dari Indosat. 25% dari AMH dimiliki oleh Qatar Telecom, salah satu operator telekomunikasi terbesar di Timur Tengah. Porsi terbesar dari Indosat, sekitar 45%, dimiliki oleh pembeli domestik dan internasional dan juga investor institusi. Pemerintah Indonesia memiliki 14% saham dan juga Saham Emas (”Golden Share”) pada Indosat yang memiliki hak istimewa. Walaupun Pemerintah Indonesia hanya memiliki 14% dari saham Indosat, Pemerintah selalu menominasikan mayoritas Direksi, termasuk CEO atau Presiden Direksi. Terdapat juga 4 Komisioner dari Indonesia yang dinominasikan oleh Pemerintah Indonesia. ST Telemedia beroperasi secara independen dengan memiliki tim manajemen sendiri dan anggota Dewan. Tidak ada Dewan Direksi dan Manajemen Senior dari ST Telemedia yang merupakan pejabat Temasek dan SingTel. KPPU telah gagal dalam membuktikan dugaan atas sikap Indosat dalam Anti-Persaingan yang secara bersemangat berkompetisi dengan PT Telkom (Telkom), PT Telkomsel, PT Excelcomindo dan operator telekomunikasi lainnya di Indonesia. KPPU telah mengabaikan bukti yang diberikan oleh beberapa pihak dari Indonesia dan ahli internasional yang menyatakan bahwa sektor telekomunikasi di Indonesia sangat kompetitif dan tidak ada bukti adanya kerugian konsumen (“Consumer Loss“). ST Telemedia adalah firma dengan advokasi yang transparency dan teliti tata kelola perusahaan (“Corporate Governance“) dan sepenuhnya taat pada hukum dan peraturan dalam beroperasi diseluruh dunia. ST Telemedia secara tegas akan mempertahankan posisi dan mengajukan banding atas kecacatan dan ketidakbenaran dalam kesimpulan dari KPPU. ST Telemedia bertanggung jawab atas korporat penduduk (“Corporate Citizen”) dan selalu memberikan dukungan kepada komunitas dimana perusahaan kamu beroperasi. Dalam : ST Telemedia, “Pernyataan dari ST Telemedia Dalam Banding Atas Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha”, http://www.sttelemedia.com/content.asp?ContentId=1609., diakses pada 13 Juni 2011.
48
membatasi penyimpangan kekuatan monopoli. Dengan demikian jumlah saham
pemerintah yang disebar kepada publik minimal sebesar 90 %.
Konsentrasi kepemilikan Negara pada BUMN telah menciptakan stigma
negatif terhadap BUMN di Indonesia. Konsentrasi kepemilikan Negara mendorong
terjadinya dominasi aparatur Negara pada BUMN, tingginya kepentingan politik
dalam pengurusan BUMN, terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme.74 Upaya yang
dilakukan adalah dengan mengupayakan penyebarluasan kepemilikan saham BUMN
kepada masyarakat melalui program privatisasi. Dengan privatisasi diharapkan
konsentrasi kepemilikan Negara atas BUMN dapat dikurangi.75
8.
Tingkat Penanaman Modal Asing (PMA)
Upaya menarik minat modal asing telah dilakukan secara serius sejak
diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal. Liberalisasi
perdagangan dan investasi dan masuknya Indonesia sebagai anggota WTO
berdasarkan UU No. 7 Tahun 1994 kemudian mempengaruhi perkembangan
peraturan penanaman modal di Indonesia. Beberapa kesepakatan dalam WTO, antara
lain Agreement on Trade Related Investment Measures, General Agreement on
Trade in Services dan ketentuan tentang Domestic Regulation mendorong
pemerintah melakukan penyesuaian terhadap UU Penanaman Modal.
74 Aliran dana korupsi pejabat diberikan kepada perusahaan yang menanamkan modalnya ke Pasar Modal Indonesia sebesar Rp. 200 Miliar. Dalam : Pos Kota, “Melinda Kelola Dana 27 Pejabat”, http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/04/28/melinda-kelola-dana-27-pejabat., diakses pada 13 Juni 2011.
75 Pandu Patriadi, “Segi Hukum Bisnis Dalam Kebijakan Privatisasi BUMN Melalui Penjualan Saham di Pasar Modal Indonesia”, Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 8, Nomor 1, Maret 2004. Lihat juga : Parluhutan Sagala, Op.cit., hal. 1.
49
Indonesia pada saat ini telah memiliki sebuah undang-undang penanaman
modal yang baru dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (UUPM) pada tanggal 29 Maret 2007. UU ini disusun dengan
memperhatikan perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam
berbagai kerjasama internasional, sehingga perlu didorong terciptanya iklim
penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan
dan efesien dengan tetap mengacu pada kepentingan ekonomi nasional.76 Setidaknya
ada tiga hal penting yang diperintahkan oleh konsideran UU ini, yakni:
1. Tujuan yang ingin dicapai dalam penataan penanaman modal adalah
kepentingan ekonomi nasional;
2. Terciptanya iklim penanaman modal yang kondusif dan berkepastian hukum;
3. Harmonisasi peraturan penanaman modal dengan perubahan perekonomian
global dan kewajiban internasional Indonesia dalam berbagai kerjasama
internasional dengan tetap mengacu kepada kedaulatan politik dan ekonomi
nasional.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah meluncurkan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi
Secara Elektronik (SPIPISE) atau National Single Window for Investment (NSWI)
yang tujuannya tidak hanya mengurangi jumlah prosedur dan dokumentasi yang
diperlukan untuk berinvestasi di Indonesia, namun juga meniadakan kewajiban untuk
hadir secara tatap muka guna memperoleh berbagai layanan tertentu. Sistem baru ini
76 Bagian Menimbang huruf a., Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
50
telah memperbaiki proses internal dan mengoreksi hambatan sumber daya manusia
sehingga mempercepat dan memperbaiki mutu layanan kepada para investor. Sistem
ini pertama kali diluncurkan bulan Januari 2010 di Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam.77
Kepala BKPM, Gita Wirjawan, menyatakan penanaman modal di Indonesia
semakin mengalami peningkatan. Arus penanaman modal memberikan gambaran
yang membanggakan, diharapkan pertumbuhan PMTB (pembentukan modal tetap
bruto) terus bergulir disekitar 10,5% per tahun, artinya PMTB sebesar Rp10.000-
12.500 triliun dalam periode 2009-2014.78
Dengan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) yang hampir mencapai
US$.550 milyar di tahun 2009, Indonesia adalah perekonomian dengan laju
pertumbuhan tercepat nomor tiga di Asia dan perekonomian terbesar di seluruh Asia
Tenggara. Sebagai negara yang tidak terkena dampak krisis keuangan global separah
negara tetangganya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 4,5% di tahun
2009. Angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 5,6% di tahun 2010 dan 6% di
tahun 2011, sehingga Indonesia seringkali disandingkan dengan negara-negara BRIC
(Brazil, Rusia, India dan Cina). Menurut laporan Standard Chartered, pertumbuhan
perekonomian Indonesia di masa depan diharapkan lebih inklusif, mengingat PDB
nominal per-kapita diperkirakan menjadi berlipat empat di tahun 2020.
77 BKPM, “Iklim Investasi”, http://www.bkpm.go.id/contents/general/6/iklim-investasi,
diakses pada 12 Mei 2011. 78 Depkominfo, “BKPM Klaim Pertumbuhan Penanaman Modal Membanggakan”,
http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/bkpm-klaim-pertumbuhan-penanaman-modal-membanggakan/., diakses tanggal 11 Mei 2011.
51
Sebagian besar keberhasilan ekonomi Indonesia adalah berkat pengelolaan
fiskal atau keuangan negara yang baik, dengan fokus pada penurunan beban hutang.
Rasio hutang Indonesia terhadap PDB menurun terus dari 83% di tahun 2001 hingga
29% pada akhir tahun 2009; ini merupakan angka terendah di antara negara ASEAN,
kecuali Singapura yang tidak memiliki hutang pemerintah. Menurut Standard &
Poor’s, Indonesia menduduki peringkat pertama untuk pengelolaan neraca fiskal
terbaik di antara negara-negara di wilayah Asia-Pasifik.
Pada Januari 2010, lembaga pemeringkatan Fitch Ratings telah meningkatkan
peringkat kredit Indonesia menjadi BB+ dengan prospek ke depan yang stabil.
Peningkatan peringkat kredit ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang kuat dan berkelanjutan, serta posisi fiskal yang semakin membaik. Hal ini
menunjukkan peningkatan kepercayaan untuk berinvestasi di Indonesia, karena
menempatkan Indonesia hanya satu tingkat di bawah peringkat “investment grade”.
Dengan perubahan peringkat ini, Indonesia semakin berpeluang untuk menarik
investasi dan arus modal dalam jumlah besar, serta dapat menarik dana-dana yang
selama ini hanya bisa diinvestasikan ke dalam negara yang memiliki peringkat
“investment grade”. Dilihat dari perekonomiannya yang kuat, situasi politik yang
stabil dan upaya reformasi yang berkelanjutan, maka Indonesia merupakan sebuah
kekuatan besar yang sedang berkembang di Asia.
52
Grafik 4. Pertumbuhan PDB Riil Total Hutang/PDB
Grafik 5 Penanaman Modal Asing (PMA/FDI) yang telah Direalisasi
53
9.
Luasnya Daya Saing Perekonomian
Daya saing Indonesia makin merosot dari tahun ke tahun. Menurut laporan
International Institute for Management Development (IMD) dalam World
Competitiveness Yearbook, daya saing Indonesia menempati urutan ke-52 pada 2006,
menurun menjadi 54 pada 2007 dan bahkan pada 2008 ini peringkat Indonesia anjlok
menjadi 51 dari 55 negara. Indonesia jauh di bawah negara ASEAN seperti
Singapura (2), Malaysia (19), Filipina (40).
Penilaian versi World Economic Forum juga menunjukkan daya saing
Indonesia (54) masih lebih rendah dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Menurunnya daya saing diakibatkan oleh rendahnya kualitas pelayanan birokrasi,
tidak efisiennya bisnis, meningkatnya biaya buruh, rendahnya kualitas infrastruktur,
dan tingginya biaya investasi di Indonesia. Laporan yang sedikit berbeda muncul
pada survei dan data Departemen Perindustrian (2008).
Selama kurun waktu satu dekade ini, sektor industri Indonesia dilaporkan
terus mengalami peningkatan daya saing. Secara umum, produk-produk Indonesia
yang memiliki daya saing kuat di pasar ASEAN meningkat dari 1.537 produk pada
periode 1993-1999 menjadi 1.820 produk pada periode 2000-2007. Dari sisi
pertumbuhannya, industri mesin merupakan industri yang memiliki pertumbuhan
daya saing yang paling tinggi,yaitu sebesar 134,62%. Disusul industri teknologi
informasi dan elektronika sebesar 93,90%, industri lain-lain 28,57%, industri kimia
hulu 24,19%. Namun, perlu dicatat juga bahwa ada industri yang mengalami
pertumbuhan daya saing yang negatif, yaitu industri maritim dan jasa teknologi.
54
Sementara industri tekstil dan produk tekstil merupakan jenis industri yang daya
saingnya paling kuat. Patut dicatat, ada dua industri yang mengalami masa bonanza
selama pemerintahan SBY-JK, yaitu industri alat angkut-mesin-peralatan yang laju
pertumbuhannya mencapai 12,9%. Industri pupuk-kimia-barang dari karet menjadi
cabang industri dengan laju pertumbuhan tertinggi kedua, sebesar 6,23%.
Dilihat dari indeks RCA (revealed comparative advantage) ternyata tidak
berubah. Indeks RCA menunjukkan perbandingan antara pangsa ekspor komoditas
atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap pangsa ekspor komoditas tersebut
di dunia. Sejak 1982 keunggulan komparatif Indonesia meningkat pesat dengan
pertumbuhan rata-rata 19% per tahun hingga 1994. Tidak berubahnya RCA
Indonesia selama 1965-1982 besar kemungkinan karena ekspor masih didominasi
minyak dan produk pertanian yang padat sumber daya alam (agricultural and
resource-based industries).
Setelah 1982, sejalan dengan upaya pengembangan broad-base industry,
produk ekspor nonmigas Indonesia semakin beragam. Namun beberapa studi
berdasarkan RCA menunjukkan bahwa komoditas industri manufaktur Indonesia
yang meningkat pangsa pasarnya di dunia masih didominasi produk berteknologi
sederhana seperti karet, plastik, tekstil, kulit, kayu dan gabus. Kendati demikian,
yang cukup memprihatinkan adalah ada indikasi mulai melemahnya daya saing
Indonesia sejak 1992. Salah satu sebab utamanya adalah masih terkonsentrasinya
produk ekspor nonmigas yang tergolong hasil dari industri yang padat sumber daya
alam (natural resource intensive/NRI) dan berbasis tenaga kerja yang tidak terampil
55
(Unskilled Labour Intensive – ULI). Agaknya Indonesia harus mulai bersiap-siap
menyongsong tahapan keunggulan komparatif yang lebih tinggi, yaitu ke sektor
padat teknologi (TI) dan padat tenaga ahli (HCI). Ini terbukti di kala pertumbuhan
ekspor nonmigas mengalami penurunan selama 1993-1995. Produk yang justru
menanjak pertumbuhannya (setidaknya pertumbuhan nilai ekspornya 50% dan nilai
ekspornya minimum USD100 juta) adalah produk dari industri TI dan HCI. Di antara
produk ekspor yang naik daun adalah barang-barang elektronik, kimia, dan mesin
nonelektronik, termasuk peralatan telekomunikasi, komputer dan komponennya.79
10.
Peringkat Daya Saing WEF
World Economic Forum (WEF) adalah organisasi internasional independen
berkomitmen untuk memperbaiki keadaan bisnis, pemimpin politik, akademis dan
masyarakat lain untuk membentuk agenda global, regional dan industri.80 Menurut
WEF, peringkat daya saing investasi Indonesia naik dari peringkat 54 tahun 2009
dunia menjadi 44 dunia pada awal tahun 2011.81 Pengukuran daya saing indikatornya
berdasarkan seperti kelembagaan, infrastruktur yang mendukung investasi, kesehatan
dan pendidikan, besarnya pasar serta lingkungan makro ekonomi. Kenaikan
79 Mudrajat Kuntjoro, “Mendongkrak Daya Saing’, www.okezone.com., diakses tanggal 11
Mei 2011. 80 World Economic Forum Website, “World Economic Forum”, http://www.weforum.org/.,
diakses pada 11 April 2011. 81 World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2010-2011, (Geneva : SRO-
KUNDIG, 2010), hal. 15.
56
peringkat Indonesia karena terdorong oleh lingkungan makro ekonomi yang lebih
sehat dan membaiknya indikator-indikator pendidikan.82
Untuk kawasan ASEAN, Indonesia menempati urutan kelima setelah
Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand. GCR (Global Competitiveness Report)
periode 2010-2011 juga menilai ditengah banyak negara mengalami defisit anggaran
yang cukup besar, Indonesia berhasil mengatasi masalah defisit dengan baik.
Laporan ini bahkan mencatat perbaikan di hampir seluruh sektor yang terkait dengan
ekonomi. Menurut Silmy Karim, sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI), mengatakan bahwa83 :
“sebenarnya Indonesia mampu berada di peringkat yang lebih baik lagi jika pemerintah melakukan beberapa perbaikan terutama masalah infrastruktur. Karena penduduk indonesia itu ada 250 juta jiwa. Ini adalah pasar yang besar, tetapi (dalam sektor) infrastruktur, institusi, teknologi dan tenaga kerja, jadi ada empat faktor yang harus diperbaiki agar Indonesia bisa lebih baik”.
Menko Perekonomian RI, Hatta Radjasa mengakui persoalan infrastruktur
masih banyak yang harus diperbaiki. Hal tersebut dapat dilihat pada pernyataannya
di bawah ini84 :
“Pemerintah dan DPR-RI sedang menggodok RUU mengenai pengadaan lahan untuk kepentingan umum. Menko berharap RUU tersebut dapat segera disahkan menjadi Undang-Undang. Jika undang-undang sudah dimiliki maka akan menambah kepercayaan investor dan menambah percepatan dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. 28 ruas jalan tol Indonesia terhambat,
82 Kompasiana, “Peringkat Daya Saing Investasi Negara Indonesia Meningkat”,
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/04/07/peringkat-daya-saing-investasi-negara-indonesia-meningkat/., diakses pada 11 April 2011.
83 VOA News, “Laporan World Economic Forum : Peringkat Daya Saing Indonesia Naik”, Sabtu, 23 Oktober 2010. Lihat : Harian Kompas, “Infrastruktur : Kemampuan Dana Pemerintah Hanya 20 Persen”, diterbitkan Kamis, 30 September 2010. Lihat juga : Harian Bisnis Indonesia, “RI Janji Perbaiki Infrastruktur : Kebijakan Investasi Sebaiknya Ditata Ulang”, diterbitkan Senin, 20 September 2010.
84 Ibid.
57
salah satu faktor utamanya karena masalah belum diundangkan RUU tersebut. Regulasi lain dapat dilihat begitu banyak di bottle-necking process yang dilakukan, tinggal konsistensi menjalankannya”.
Pada tahun 2011, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar
6,5%. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, pemerintah butuh meningkatkan
investasi untuk menciptakan lapangan kerja sehingga infrastruktur menjadi hal yang
sangat penting untuk diperhatikan.
C.
KEBIJAKAN HUKUM PERSAINGAN
Indonesia mengatur persaingan usaha melalui Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
disahkan dan diundangkan tanggal 5 Maret 1999. Secara konstitusional UU ini
diarahkan untuk melaksanakan amanah UUD 1945 yaitu terwujudnya kesejahteraan
rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Konsideran UU No.5/1999 dengan
tegas menyebutkan bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya
kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi di dalam
proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat,
efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya
ekonomi pasar yang wajar. Untuk itu setiap orang yang berusaha di Indonesia harus
berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan
adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak
58
terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia
terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
Tujuan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana yang termaktub dalam
Pasal 3, yaitu85 :
1. “Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kepastian berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha”.
Azas Demokrasi Ekonomi yang dimaksud yaitu Azas Ekonomi Pancasila86 :
1. Peranan dominan koperasi bersama dengan perusahaan-perusahaan negara
dan perusahaan-perusahaan swasta. Semua bentuk badan usaha didasarkan
pada azas kekeluargaan dan prinsip harmoni dan bukan azas kepentingan
pribadi dan prinsip konflik kepentingan;
2. Memandang manusia secara utuh. Manusia bukan semata-mata
homooikonomikus tetapi juga social man and religious man, dan sifat
manusia terakhir ini dapat dikembangkan setaraf dengan sifat yang pertama
sebagai motor penggerak kegiatan duniawi (ekonomi);
85 Pasal 3, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. 86 Mubyarto dan Boediono, Ekonomi Pancasila, (Yogjakarta : Universitas Gadjah Mada,
1981), hal. 10-11, sebagaimana dikutip Soetrisno P. H., Op.cit., hal. 115.
59
3. Adanya kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau pemerataan
sosial;
4. Prioritas utama terhadap terciptanya suatu perekonomian nasional yang
tangguh. Konsep perekonomian nasional berfungsi sebagai pupuk ketahanan
nasional untuk mencapai suatu perekonomian yang mandiri, tangguh dan
terhormat di arena internasional, dan didasarkan atas azas solidaritas.
Sehingga, maksud dan tujuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini menggunakan
azas ekonomi Pancasila yang berlandaskan koperasi yaitu tolong-menolong dan azas
kekeluargaan. Masyarakat adalah motor penggerak perekonomian bangsa dengan
semangat keadilan sosial dalam konteks kesejahteraan sebagai pupuk ketahanan dan
pertahanan nasional yang mencapai perekonomian yang mandiri, tangguh dan
terhormat di dunia didasarkan atas azas kebersamaan. Maksudnya sama-sama
bergerak ke arah yang lebih baik pada golongan kelas, kelas menengah, dan kelas
bawah. Jika hal itu terwujud maka perbedaan kelas tersebut akan hilang dengan
sendirinya. Inilah sebenarnya tujuan dari ekonomi sosialis, tidak ada orang kaya
maupun miskin, semua sama di mata pemerintah karena pemerintah yang berkuasa.
1.
Sifat Kebijakan Persaingan
Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy
objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negara-negara yang memiliki
60
undang-undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest) dan efisiensi
ekonomi (economic efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut (Pasal 3 huruf
a.) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999.
Pasal 2 dan 3 UU No.5/1999 menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama UU
No. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan
membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang
bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem
perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian
pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun
1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan nasional
menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada system
persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999. Hal
ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap pelaku
usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya penyalahgunaan
wewenang di sektor ekonomi.
Sebagai asas dan tujuan, Pasal 2 dan 3 tidak memiliki relevansi langsung
terhadap pelaku usaha, karena kedua pasal tersebut tidak menjatuhkan tuntutan
konkrit terhadap perilaku pelaku usaha. Walaupun demikian, kedua pasal tersebut
harus digunakan dalam interpretasi dan penerapan setiap ketentuan dalam UU No. 5
Tahun 1999. Misalnya, sehubungan dengan penerimaan dan jangkauan dari rule of
61
reason 87 dalam rangka ketentuan tentang perjanjian-perjanjian yang dilarang (Pasal
4-16), harus diperhatikan bahwa Pasal 2 dan 3 tidak menetapkan tujuan-tujuan yang
dilaksanakan dalam bidang sumber daya manusia, kebijakan struktural dan
perindustrian.
Relevansi pertimbangan efisiensi bagi kebijakan kompetisi adalah bahwa
penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dengan kata lain, akan mengakibatkan
harga tinggi, output rendah, kurangnya inovasi dan pemborosan penggunaan sumber
daya. Bila perusahaan bersaing satu sama lain untuk mengidentifikasikan kebutuhan
konsumen, memproduksi apa yang dibutuhkan konsumen pada harga yang paling
rendah yang dapat dihasilkannya dan terus menerus berusaha meningkatkan dan
melakukan inovasi untuk meningkatkan penjualan, sumber daya digunakan secara
lebih produktif dan konsumen mendapatkan apa yang dibutuhkannya.88
Penggunaan sumber daya yang ada dengan lebih produktif akan memberikan
konsekuensi output yang lebih besar dan kemudian menjadikan pertumbuhan
ekonomi dan kekayaan yang lebih besar bagi negara. Harga yang rendah akan
memberikan konsumen pendapatan yang lebih tinggi untuk dibelanjakan pada
87 Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law, English Version,
OECD, Paris, 1996, page 51, Rule of Reason is a legal approach by competition authorities or the courts where an a ttempt is made to evaluate the pro-competitive features of a restrictive business practices against its anticompetitive effects in order to decide whether or not the practice should be prohibited. Some market restrictions which prima facie give rise to competition issues may on further examination be found to have valid efficiency-enhacing benefits. For example, a manufacturer may restrict supply of a product in different geographic markets only to existing retailers so that they earn higher profits and have an incentive to advertise the product and provide better service to customers. This may have the effect of expanding the demand for the manufacturer’s product more than the increase in quantity demanded at a lower price. The opposite of the Rule of Reason approach is to declare certain business practices per se illegal, that is always illegal.
88 Laporan Kebijakan Persaingan Indonesia : Indonesian Competition Report, (Elips, 2000) sebagaimana dikutip dalam Andi Fahmi Lubis, et.al., Hukum Persaingan Usaha : Antara Teks dan Konteks, (Jakarta : KPPU, GTZ, Kerjasama RI dan Republik Federal German, 2009), hal. 17.
62
pembelian lain, investasi atau untuk ditabung. Total surplus, atau kekayaan dari
konsumen maupun produsen bertambah besar. Oleh sebab itu kebijakan persaingan
yang mengurangi hambatan terhadap persaingan akan membantu usaha mencapai
tujuan bermanfaat bagi masyarakat.
Perlindungan konsumen dan persaingan merupakan dua hal yang saling
berhubungan dan saling mendukung. Harga murah, kualitas tinggi dan pelayanan
yang baik merupakan tiga hal yang fundamental bagi konsumen dan persaingan
merupakan cara yang terbaik untuk menjaminnya. Oleh karena itu, hukum
persaingan tentu harus sejalan atau mendukung hukum perlindungan konsumen.
Efisiensi ekonomi meningkatkan kekayaan, termasuk kekayaan konsumen,
konsumen dalam arti luas adalah masyarakat, melalui penggunaan sumber daya yang
lebih baik. Beberapa ahli berpendapat bahwa maksimalisasi kesejahteraan konsumen
harus menjadi satu satunya tujuan utama dari kebijakan persaingan, yang mereka
maksudkan biasanya adalah perusahaan seharusnya tidak dapat menaikkan harganya
serta bahkan seharusnya mencoba untuk menurunkannya supaya lebih kompetitif
(yaitu dapat menjual produknya). Konsumen pun biasanya lebih diuntungkan apabila
mutu, ketersediaan dan pilihan barang dapat ditingkatkan. Fokus terhadap
kesejahteraan konsumen mungkin berasal dari pemahaman bahwa konsumen harus
mampu diproteksi dari produsen dan pemindahan kekayaan dari konsumen kepada
produsen, seperti yang tampak kalau dibandingkan antara monopoli dan persaingan
sempurna, adalah hal yang tidak adil. Banyak ekonom berkeyakinan pengalihan
kesejahteraan tersebut adalah peristiwa ekonomi yang ”netral”, karena menentukan
63
siapa seharusnya yang ”memiliki” surplus bukanlah merupakan bagian ilmu
ekonomi.
Bagi Indonesia sebagaimana tercermin pada tujuan dari UU No. 5 Tahun
1999 maka tujuan tidak sekedar memberikan kesejahteraan kepada konsumen namun
juga memberikan manfaat bagi publik. Dengan adanya kesejahteraan konsumen
maka berdampak pada terciptanya kesejahteraan rakyat. Pasal 3 itulah yang
membedakan dengan UU Persaingan di negara lain yang tidak sekedar menjamin
adanya kesejahteraan konsumen tetapi juga menjaga kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Walaupun hal ini terasa kontroversial
dengan tujuan UU negara lain dan bahkan sering menimbulkan masalah dalam
interpretasi dalam menentukan prioritas mana yang lebih diutamakan.
2.
Komitmen Pemerintah terhadap Kebijakan yang Mendukung Persaingan
Idealnya Pemerintah harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung
terwujudnya persaingan usaha usaha yang sehat. Kompleksitas permasalahan dunia
usaha di Indonesia, seperti iklim usaha yang kurang kondusif, praktek persaingan
yang tidak sehat, struktur pasar yang cenderung monopolis, daya saing rendah dan
lain sebagainya harus diatasi dengan pendekatan yang terintegral dan komprehensif,
salah satunya adalah penegakan hukum persaingan. Hukum persaingan ditegakkan
tidak saja secara represif tetapi juga secara preventif dengan mengimplementasikan
64
norma-norma hukum persaingan dalam kebijakan dan regulasi yang dibuat
pemerintah.
Namun demikian KPPU ternyata pandangan KPPU dan pemerintah terhadap
hukum persaingan usaha dalam kurun 10 tahun ini belum sama. Selama 10 tahun
KPPU memberikan pemahaman dan kesamaan persepsi dan menempatkan hukum
dan kebijakan persaingan usaha dalam sistem perekonomian nasional. Karena itu
diperlukan adanya harmonisasi antara kebijakan pemerintah dan kebijakan
persaingan. Sekaligus memberi pemahaman tentang apa itu KPPU serta fungsi dan
peranannya.
Lebih lanjut dikatakan tentang penyebab kurang harmonisnya pandangan
Pemerintah dan KPPU pada beberapa hal89 :
“Saya kira ada dua alasan. Pertama, tidak perduli. Kedua, tidak paham. Ketidakperdulian menyebabkan ketidaktahuan dan berujung pada ketidakpahaman. Sebaliknya ketidakpahaman mengakibatkan ketidakperdulian. Ini terjadi karena hukum persaingan usaha adalah sesuatu yang baru. Berbeda dengan lembaga persaingan di negara lain yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu yang nilai-nilai persaingan sehat sudah terinternalisasi dalam kebijakan hukum dan kebijakan ekonominya. Di tanah air, KPPU masih menjadi momok bagi pelaku usaha tertentu yang terbiasa menerima fasilitas khusus dari pembuat kebijakan. Mengapa? Karena KPPU-lah yang mengawasi pemberian fasilitas tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan benturan. Oleh karena itu, kita harus menegaskan bahwa kehadiran UU Nomor 5 Tahun 1999 dan KPPU bukan untuk menghambat jalannya bisnis, namun untuk mengatur kegiatan bisnis tersebut berjalan dengan adil dan bersih”.
Pandangan lain menyatakan bahwa mengingat hukum persaingan usaha
masih merupakan hal yang baru, maka banyak pihak yang belum begitu menyadari
89 KPPU, “Putusan KPPU Untuk Kepentingan Konsumen”,
http://www.kppu.go.id/id/putusan-kppu-untuk-kepentingan-konsumen/., diakses pada 12 Juni 2011.
65
peran, fungsi dan aturan main dari undang-undang ini. KPPU (Komisi Pengawas
Persaingan Usaha) sebagai lembaga independen yang mempunyai kewenangan untuk
menegakan hukum persaingan usaha seringkali menemui hambatan baik dari
kalangan swasta maupun dari kalangan pemerintah sendiri. Hal ini antara lain terlihat
dari masih adanya peraturan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pejabat negara
justru bertentangan dengan prinsip persaingan usaha. Selain itu dengan telah
diberlakukannya undang-undang otonomi daerah membawa pengaruh terhadap
kebijakan persaingan di daerah. Kewajiban pemerintah daerah untuk mencari sumber
pendanaannya sendiri, disamping juga adanya pemberian kewenangan yang relatif
lebih besar membawa akibat banyaknya kebijakan-kebijakan daerah yang membatasi
ruang gerak pelaku usaha dari daerah lain. Kebijakan-kebijakan yang lebih
mengutamakan BUMD atau pengusaha lokal dengan menutup kemungkinan pelaku
usaha dari daerah lain untuk masuk ke dalam pasar, kemungkinan melanggar prinsip-
prinsip persaingan usaha yang sehat.90
Sejak tahun 2007 sampai dengan 2009 anggaran KPPU justru terus
dipangkas, yakni di tahun 2007 anggaran KPPU sebesar Rp. 89 miliar, yang
kemudian menyusut di tahun 2008 menjadi sebesar Rp. 84 miliar dan di tahun 2009
menjadi berkisar Rp. 82 miliar.91 Secara keseluruhan anggaran KPPU selama 9 tahun
adalah sebesar Rp. 471 miliar, sementara sumbangan KPPU ke negara melalui sanksi
90 Mardiharto Tjokrowarsito, “Kebijakan Persaingan pada Industri Jasa Penerbangan Dilihat
dari Perspektif perlindungan Konsumen”, www.bewppenas.go.id., diakses pada 16 Mei 2011. 91 Hukum Online, “Komisi Yang Jatuh Ketika Sedang Bersinar : Catatan Akhir Tahun
KPPU”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20819/komisi-yang-jatuh-ketika-sedang-bersinar., diakses pada 12 Juni 2011
66
denda mencapai Rp. 1 triliun. Pandangan ini juga banyak ditentang karena kinerja
KPPU bukanlah dilihat dari besaran denda yang disumbangkan ke kas negara.92
Adapun perbandingan anggaran KPPU selama 5 tahun terakhir adalah
sebagai berikut93 :
1. Tahun 2005 sebesar Rp. 42.300.000.000,-
2. Tahun 2006 sebesar Rp. 80.000.000.000,-
3. Tahun 2007 sebesar Rp. 89.000.000.000,-
4. Tahun 2008 sebesar Rp. 84.000.000.000,-
5. Tahun 2009 sebesar Rp. 82.000.000.000,-
Selain melakukan fungsi penegakan hukum persaingan, KPPU melakukan
harmonisasi kebijakan yang terkait dengan isu persaingan usaha. Harmonisasi
kebijakan dapat dilakukan sebelum atau pada saat regulasi dibuat atau setelah
regulasi ditetapkan (yang biasa disebut evaluasi kebijakan). Hasil kajian mengenai
kebijakan pemerintah akan mengerucut pada ada tidaknya hal yang bertentangan
dengan prinsip persaingan usaha sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun
1999. Jika ada hal yang bertentangan, maka KPPU dapat memberikan saran dan
pertimbangan kepada Pemerintah. Untuk tahun 2010, KPPU telah memberikan saran
pertimbangan sebanyak 13 saran pertimbangan, yang terdiri dari 12 saran
pertimbangan yang berasal dari Evaluasi dan Kajian Dampak Persaingan Usaha
92 Hukum Online, “Catatan Akhir Tahun KPPU : Komisi yang Jatuh Ketika Sedang
Bersinar”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20819/komisi-yang-jatuh-ketika-sedang-bersinar., diakses pada 12 Juni 2011.
93 Hendra Setiawan Boen, “Mencermati Kebebasan Penyusunan Anggaran KPPU”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b482c1acc935/mencermati-kebebasan-penyusunan-anggaran-kppu-broleh-hendra-setiawan-boen., diakses pada 12 Juni 2011.
67
tahun 2009 dan 2010 serta satu saran pertimbangan yang berasal dari Putusan KPPU.
Dari 13 surat saran pertimbangan tersebut, terdapat tiga atau 43,3% surat yang telah
direspon oleh lembaga terkait. Hal ini telah memenuhi target rencana strategis 2012
yang menetapkan effective rate sebesar 25% dengan rincian sebagai berikut94 :
Tabel 4. Saran Pertimbangan KPPU kepada Pemerintah RI Mengenai Kebijakan Persaingan yang
Diterima dan Sudah Dilakukan Oleh Pemerintah
No.
Tgl Surat/Tujuan
Surat
Sumber, Materi Kebijakan, dan Isu Persaingan Usaha
Isi Saran Pertimbangan Keterangan
1. Surat Nomor 02/K/I/2010 tentang Pekan Raya Jakarta
Penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta (PRJ) didasarkan pada Perda No. 12 Tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Pekan raya Jakarta. Penyelenggara dan pemegang izin tunggal Pekan Raya Jakarta bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat karena penunjukannya tidak melalui persaingan usaha yang sehat. Regulasi tersebut menimbulkan praktek monopoli oleh PT. Jakarta International Expo.
KPPU menyarankan agar Perda No. 12 Tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta (PRJ) dicabut dan dibuat regulasi yang memuat ketentuan bahwa pemilihan penyelenggara Pekan Raya Jakarta dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
Saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mengupayakan adanya proses pelelangan terhadap penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta.
2. Surat Nomor 11/K/I/2010 tentang Kebijakan Industri Asuransi Wajib Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia
KPPU menemukan adanya praktek pemberian asuransi tambahan selain asuransi wajib kecelakaan lalu lintas oleh PT. Jasa Raharja bagi penumpang PT. Kereta Api serta penumpang kendaraan umum di DI. Yogjakarta. Kebijakan tersebut diatur dalam Keputusan Gubernur DIY No. 050 Tahun 1995, dimana Dinas Perhubungan DIY menyatakan bahwa kebijakan yang diatur dalam Perda tersebut tidak dilaksanakan meskipun Perda masih berlaku. Analisis KPPU terkait dengan
KPPU menyarankan Pemerintah untuk : 1. Terus meningkatkan
pengawasan atas kualitas pelayanan asuransi wajib kecelakaan lalu lintas PT. Jasa Raharja;
2. Membatalkan praktek asuransi tambahan yang diwajibkan tanpa ada landasan hukumnya, yang dimonopoli oleh pelaku usaha tertentu;
3. Membatalkan Keputusan Gubernur DIY No. 050 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Asuransi Orang Dengan
Telah mendapat tanggapan resmi dari Pemerintah yaitu Sekretariat Negara, yang isinya akan menindaklanjuti surat saran dan pertimbangan KPPU kepada instansi terkait. Kebijakan di Yogja telah dicabut dan kini telah diganti dengan kebijakan yang selaras dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
94 KPPU RI, Laporan Tahun 2010, (Jakarta : KPPU, 2010), hal. 10-24.
68
asuransi tambahan tersebut menyatakan bahwa praktek asuransi tambahan untuk kecelakaan lalu lintas namun diwajibkan kepada penumpang adalah bertentangan dengan regulasi asuransi di Indonesia. Praktek tersebut juga menghilangkan pilihan konsumen untuk memilih provider asuransi.
Kendaraan Bermotor Umum di Wilayah Provinsi DIY.
3. Surat No. 96/K/VI/2010 tanggal 3 Juni 2010 perihal Kebijakan Peredaran Unggas di Wilayah DKI Jakarta
Dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas khususnya pasal 6 disebutkan bahwa unggas pangan yg memasuki wilayah DKI Jakarta melalui lokasi tempat penampungan. Dalam pelaksanaannya, pemerintah hanya menetapkan lima titik Rumah Pemotongan Ayam (RPA) untuk seluruh wilayah DKI Jakarta. Ketentuan pembatasan RPA ini menimbulkan hambatan bagi para penampung dan pemotong ayam yg tidak tertampung di lima RPA tersebut. Pembatasan jumlah RPA juga menjadi hambatan bagi pelaku usaha RPA potensial untuk membangun RPA di Jakarta.
KPPU menyarankan agar Pemerintah DKI Jakarta melakukan perbaikan terhadap regulasi pengendalian peredaran unggas dengan: 1. Menyiapkan infrastruktur
RPA yg diperlukan. 2. Menentukan pengaturan
RPA yg tidak dibatasi dalam jumlah, namun menekankan pada aspek kualitas berdasarkan SNI 01-6160-1999 tentang Rumah Potong Unggas serta melakukan tindakan hukum yg tegas bagi pelaku usaha RPA yg melakukan pelanggaran.
3. Menerapkan prinsip competition for the market dalam menentukan operator RPA di DKI Jakarta.
4. Menjaga konsistensi pelaksanaan aturan dengan tetap menjaga kesesuaian tujuan pembuatan aturan yaitu untuk menjaga kesehatan masyarakat. Sehingga tidak ada lagi RPA yang dibangun di dekat pemukiman penduduk seperti RPA Pulo Gadung sebagaimana dipersyaratkan dalam SNI 01-6160-1999 tentang Rumah Potong Unggas.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengungkapkan tanggapan atas saran KPPU dalam harian Jurnal Nasional. Pemprov DKI menyatakan bahwa kini memberikan kebebasan kepada para pengusaha untuk mendirikan RPA di wilayah DKI Jakarta dan tidak terbatas pada 5 RPA saja. 5 RPA tersebut dibangun dengan tujuan untuk melindungi warga dari virus flu burung, bukan untuk membatasi pelaku usaha.
Sumber : Laporan Tahun 2010, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
69
Dengan berangkat dari keberhasilan KPPU dalam mengawal kebijakan
persaingan sehat maka KPPU merupakan lembaga yang sangat berperan dalam
mendukung berbagai kebijakan Pemerintah yang menyalahi prinsip-prinsip anti
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
3.
Keberadaan dan Tingkat Kebijakan Industri, Tingkat Nasional Baik Pemerintah Maupun Swasta
Tingginya tingkat persaingan (rivalry) merupakan salah satu faktor utama
daya saing suatu negara karena dapat menyalurkan alokasi ekonomi secara efisien,
memicu terciptanya inovasi, murahnya harga dan peningkatan kualitas. Meskipun
demikian perusahaan cenderung untuk bersikap menghindar dari persaingan. Oleh
karena itu, perlu kelembagaan yang menjamin persaingan tetap ada. Pada tahun
2010, Pemerintah Indonesia dan Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) melakukan penyusunan Policy Framework for Investment
(PFI) untuk Indonesia.95 Salah satu poin penting dalam penguatan PFI adalah
keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia.96
95 Lampiran I, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI No. PER-
01/M.EKON/01/2010, tanggal 29 Januari 2010. 96 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009 :
Mengemban Amanat dan Aspirasi Rakyat, Cetakan Pertama, (Jakarta : Sekjen DPR RI, UNDP, AusAid, Oktober 2009), hal. 59. Lihat juga : Mardiharto Tjokrowasito, “Kebijakan Persaingan Pada Industri Jasa Penerbangan Dilihat Dari Perspektif Perlindungan Konsumen”, (Jakarta : Bappenas RI, 2009), hal. 1, menyatakan bahwa : “Dalam era globalisasi dan transparansi seperti sekarang ini tentunya monopoli yang dipegang oleh negara harus kembali dikaji, jangan sampai dengan alasan untuk kepentingan umum suatu sektor dimonopoli oleh negara akan tetapi hasilnya justru hanya menguntungkan orang-orang tertentu atau kelompok tertentu saja. Adanya undang-undang persaingan usaha ini pada dasarnya merupakan salah satu syarat bagi suatu negara yang akan memberlakukan ekonomi pasar. Oleh karenanya ekonomi pasar tanpa adanya aturan main yang jelas akan menimbulkan kesewenang-wenangan, dimana pelaku usaha besar akan mematikan pelaku usaha kecil yang merupakan saingannya. Pasar persaingan sempurna, merupakan struktur pasar yang paling ideal
70
Terkait dengan kebijakan persaingan, tujuan dari PFI ini adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan konsumen dengan mempromosikan persaingan usaha
yang sehat dan mengendalikan perilaku yang menghambat persaingan. Keberadaan
pasar yang kompetitif dapat mengarah kepada turunnya harga konsumen,
meningkatnya partisipasi pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar melalui investasi,
meningkatkan kualitas dan variasi produk. Dalam perkembangannya OECD juga
mengembangkan sebuah toolkit untuk mengevaluasi sejauh mana PFI tersebut
diterapkan di perekonomian. Khusus mengenai kebijakan persaingan, terdapat tujuh
pernyataan dalam toolkit yang dapat menggambarkan penerapan PFI tersebut.
Ketujuh pertanyaan tersebut antara lain tentang transparansi dan non-diskriminasi,
implementasi hukum dan kebijakan persaingan, praktik anti persaingan, evaluasi
kebijakan pemerintah dan harmonisasi kebijakan, kebijakan industri, privatisasi,
serta kerjasama internasional.97
Output dari kegiatan PFI ini kemudian dituangkan dalam laporan Investment
Policy Report Indonesia 2010 yang dapat dilihat dari situs OECD. Sejauh ini KPPU
sebagai lembaga otoritas penegak hukum persaingan di Indonesia memainkan peran
penting dalam terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan penting bagi
dalam suatu negara yang menganut sistem mekanisme pasar. Dalam pasar persaingan sempurna, produsen memiliki kemampuan yang sama antara satu dengan yang lainnya, sehingga agar dia dapat tetap bertahan atau lebih unggul dari produsen sejenisnya maka dia harus mempu menciptakan inovasi atau terobosan baru. Sebagai akibatnya ekonomi pasar yang ditandai dengan adanya persaingan antar pelaku usaha akan menciptakan efisiensi-efisiensi dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Seorang pelaku usaha yang tidak dapat menjalankan usahanya secara efisien pasti pada akhirnya akan tergilas oleh pesaingnya”.
97 Website PFI, “The Policy Framework for Investment (PFI)”, http://www.oecd.org/document/61/0,3746,en_2649_34893_33696253_1_1_1_1,00.html., diakses pada 12 Juni 2011. Lihat juga : Misuzu Otsuka, et.al., “Improving Indonesia’s Investment Climate”, http://www.oecd.org/dataoecd/52/26/47556737.pdf., diakses pada 12 Juni 2011.
71
peningkatan investasi. Pada akhirnya kembali mencoba menjawab seberapa penting
keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia dapat membantu terciptanya
peningkatan investasi. Jawabannya tentu sangat relevan bahwa hukum persaingan
usaha tidak dapat dipisahkan dari peningkatan investasi di Indonesia.98
Mengenai investasi di Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dengan tujuan,
antara lain untuk : Pengembangan industri nasional dalam peningkatan daya saing
industri dan yang memiliki struktur yang sehat dan berkeadilan, berkelanjutan, serta
mampu memperkokoh ketahanan nasional; Memberikan fasilitas bagi penanaman
modal yang sesuai dengan kebijakan industri nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah; dan Menetapkan kebijakan industri nasional sebagai pedoman dalam
pengembangan industri nasional dan sebagai dasar pemberian fasilitas pemerintah.99
Departemen Perindustrian RI sebagai Dewan Pembina Industri sangat
memahami bahwa masalah energi merupakan suatu faktor yang sangat dominan
dalam kelangsungan usaha industri di Indonesia. Adapun permasalahan di bidang
energi yang terkait dengan sektor industri, antara lain100 :
1. Kebutuhan akan energi baik listrik maupun migas terus bertambah;
2. Semakin berkurangnya sumber daya alam penghasil energi;
3. Kemampuan negara yang semakin berkurang untuk terus mensubsidi sektor
energi;
98 OECD, Indonesia Investment Policy Review, (Jakarta : OECD, 2010), hal. 29. 99 Bagian Menimbang, Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri
Nasional. 100 Bataviase, “Pembangunan Sektor Industri Masih Terkendala Masalah Klasik”,
http://bataviase.co.id/node/626871., diakses pada 12 Juni 2011.
72
4. Semakin meningkatnya harga jual listrik dan migas sebagai konsekuensi
pengurangan subsidi.
Upaya untuk mengatasi permasalahan di bidang energi yang terkait dengan
sektor industri di atas, Pemerintah mengeluarkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 yang disosialisasikan di Wilayah
Jawa dan Bali. Penyusunan RPJMN 2010-2014 dilakukan dengan dua pendekatan,
yaitu101 :
1. Penyusunannya difokuskan pada prioritas-prioritas nasional. Dalam RPJMN
2010-2014 kerangka visi di atas dioperasionalkan dalam pelaksanaan 11
(sebelas) prioritas nasional yang meliputi : (1) reformasi birokrasi dan tata
kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5)
ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan usaha; (8) energi;
(9) lingkungan hidup dan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar,
dan pascakonflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.
Di samping itu, upaya pencapaian visi nasional juga akan didukung oleh
prioritas lainnya di 3 (tiga) bidang: politik, hukum dan keamanan
(polhukam), perekonomian, serta kesejahteraan rakyat.
2. Penyusunan rencana kerja yang implementatif. Dalam hal ini yang dimaksud
implementatif adalah strategi dan program-program yang disusun dengan
memperhatikan sumber daya yang tersedia (resource envelope), disertai
101 Bappenas RI, “Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN)
Tahun 2010-2014 Wilayah Jawa-Bali”, http://www.bappenas.go.id/node/116/2577/sosialisasi-rencana-pembangunan-jangka-menengah-nasional--rpjmn-tahun-2010-2014-wilayah-jawa-bali/., diakses pada 12 Juni 2011.
73
indikator capaian yang terukur, jelas penanggungjawabnya, dan jelas pula
biaya yang diperlukan untuk melaksanakannya. Setiap program harus jelas
kaitannya dengan sasaran-sasaran utama.
Dokumen RPJMN 2010-2014 dijadikan pegangan bagi Pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan dalam lima tahun ke depan baik di pusat maupun di
daerah yaitu menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Strategis (Renstra)
Kementerian dan Lembaga serta penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD).
4.
Sifat dan Struktur Lembaga Persaingan (Eksekutif dan Yudikatif)
Lembaga persaingan di Indonesia adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) sebagai lembaga dibawah lembaga eksekutif.102 KPPU berkedudukan
sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai pengawas atas pelaksanaan UU
No. 5/1999. Untuk melaksanakan fungsi tersebut, KPPU dibantu oleh Sekretariat
dan Kelompok Kerja. UU No. 5/1999 memberikan kewenangan kepada Komisi
untuk membentuk Sekretariat dengan struktur organisasi, tugas dan fungsi sekretariat
yang ditentukan langsung oleh Komisi. Selain itu, Komisi juga dapat membentuk
Kelompok Kerja. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999 tentang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha ditetapkanlah pembentukan, susunan organisasi,
tugas dan fungsi dari KPPU.
102 Pasal 30 ayat (3), Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
74
Dalam perkembangannya setelah melalui perjuangan yang cukup panjang
dan pembahasan dengan Pemerintah, akhirnya Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada tahun 2008 mengalami perubahan
berdasarkan Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2008.
Komisi dalam mengemban tugas dan wewenangnya wajib
mengejawantahkan ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maupun Keppres 75 Tahun
1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Undang-undang tersebut juga
memberi wewenang kepada Komisi untuk mengeluarkan suatu keputusan sebagai
pedoman internal kinerja KPPU dan kesekretariatan KPPU.
Salah satu tugas KPPU sebagaimana dalam Pasal 35 f. UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah
membuat Pedoman (Guidelines).103 Selama kurun waktu terbentuknya KPPU, maka
ada beberapa Pedoman yang telah dikeluarkan antara lain :
Tabel 5. Daftar Pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tahun 2009-2010
No. Peraturan
KPPU Nomor
Tahun
Tentang
1. 1 2010 Tata Cara Penanganan Perkara 2. 2 2010 Pedoman Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Persekongkolan Dalam Tender 3. 3 2010 Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
4. 4 2010 Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
5. 5 2010 Pedoman Pelaksanaan Pasal 14 tentang Integrasi Vertikal Berdasarkan
103 Pasal 35 huruf f., Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
75
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
6. 6 2010 Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
7. 7 2010 Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf D tentang Pengecualian Dari Ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Dalam Rangka Keagenan
8. 8 2010 Promosi dan Mutasi Pejabat Struktural Pegawai Komisi Pengawas Persaingan Usaha
9. 9 2010 Staf Ahli Komisi Pengawas Persaingan Usaha 10. 10 2010 Formulir Pemberitahuan Penggabungan, Peleburan Badan Usaha, dan
Pengambilalihan Saham Perusahaan 11. 11 2010 Konsultasi Penggabungan Atau Peleburan Badan Usaha dan
Pengambilalihan Saham Perusahaan 12. 12 2010 Pensiun Pegawai KPPU 13. 13 2010 Pedoman Pelaksanaan Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan
Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
14. 14 2010 Pedoman Keprotokolan 15. 1 2009 Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan 16. 2 2009 Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan Dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual
17. 3 2009 Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
18. 4 2009 Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 147 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
19. 5 2009 Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf A Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
20. 6 2009 Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan Dengan Waralaba
21. 7 2009 Pedoman Jabatan Rangkap Sesuai Ketentuan Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Sumber : Website Resmi Komisi Pengawas Persaingan Usaha, www.kppu.go.id, Diakses
pada 13 Juni 2011.
Kedudukan Perkom tersebut di atas dapat dilihat pada Undang-Undang No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam
Pasal 7 yang mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,
76
Perkom tidak disebutkan secara eksplisit sebagai jenis peraturan perundang-
undangan. Namun demikian, Penjelasan Pasal 7 ayat (4) menyebutkan bahwa jenis
peraturan perundang-undangan lain selain dalam ketentuan UU No. 10 Tahun 2004
salah satunya adalah Peraturan yang dikeluarkan Komisi yang dibentuk oleh
Undang-Undang atau oleh Pemerintah atas perintah Undang-Undang.104 Salah satu
kewenangan dari KPPU adalah menetapkan peraturan dirinya sendiri atau dikenal
dengan istilah self regulatory bodies.105
Kewenangan yang terlihat seperti paling utama dalam menegakkan
persaingan usaha tersebut, Komisi dapat melakukan penanganan perkara persaingan
usaha dan berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang
melanggar UU No. 5 Tahun 1999 (enforcement). Pada awalnya kewenangan ini
menimbulkan kontroversi, dimana Komisi dapat bertindak sebagaimana layaknya
seorang penuntut umum dan sekaligus sebagai hakim. Sedangkan dalam peradilan di
Indonesia, kewenangan tersebut dipisahkan dan tidak berada dalam satu tangan
kelembagaan. Oleh karenanya, hukum acara dalam menangani perkara persaingan
usaha menjadi kewenangan KPPU untuk menentukan acara pemeriksaan perkara
persaingan usaha, dengan mengeluarkan Keputusan No. 05/KPPU/Kep/IX/2000
104 Aru Armando, ”Peraturan Komisi, Sebuah Produk State Auxillary Agencies”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22468/peraturan-komisi-sebuah-produk-istate-auxilliary-agenciesi., diakses pada 13 Juni 2011.
105 Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang mengatur dirinya sendiri dengan mengeluarkan peraturan-peraturan komisi, dapat juga dilihat lembaga negara lain yang melakukan demikian yaitu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK). BAPEPAM-LK juga sebagai self regulatory bodies yang mengatur, mengawasi, dan membina Pasar Modal di Indonesia. Jadi, KPPU bukanlah lembaga satu-satunya yang mengatur dirinya sendiri. Lihat : Pasal 5, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
77
tanggal 8 September 2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan
Dugaan Pelanggaran Terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Kemudian peraturan ini diperbaiki dengan Peraturan Komisi No. 1 Tahun
2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Kemudian KPPU memperbaiki
peraturan tersebut dan menerbitkan Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara yang dipergunakan sampai saat ini sebagai sumber hukum
acara dalam proses pemeriksaan di KPPU (dimulai dari proses pemeriksaan awal).
Peraturan ini mengharuskan KPPU untuk meningkatkan kualitas dan transparansi
dalam melaksanakan penanganan perkara.106
Sedangkan terkait dengan upaya keberatan terhadap putusan KPPU, hukum
acaranya semula merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2003
tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU,
namun pada tahun 2005, Peraturan Mahkamah Agung tersebut dianggap tidak
berlaku lagi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 03 Tahun 2005.
Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah adalah gaji
dari Komisi. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Keputusan Presiden No. 6 Tahun
2002 tentang Honorarium Ketua, Wakil Ketua dan anggota Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang menggaji ketua dan wakil ketua sebesar Rp. 14.375.000,-
(empat belas juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) sedangkan anggota sebesar
Rp. 12.500.000,- (dua belas juta lima ratus ribu rupiah). Sangatlah ironis apabila
106 Bagian Menimbang huruf a., Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun
2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.
78
dibandingkan besarnya gaji dengan beban tugas yang harus dilaksanakan oleh
Komisi sebagaimana diamanahkan oleh UU No. 5 Tahun 1999.107
Selain itu, secara internal KPPU juga perlu dikembangkan untuk lebih
meningkatkan penanganan perkara selain persekongkolan tender, tentunya dengan
analisa yang lebih mendalam dan pemahaman akan struktur pasar serta pangsa pasar
atas suatu industri/bidang usaha serta dengan didukung data yang akurat, sehingga
diharapkan KPPU dapat menangani pelanggaran atas setiap pasal-pasal dalam UU
No. 5 Tahun 1999.
Lembaga yudikadif (peradilan) memainkan peran penting dalam penegakan
UU No.5/1999 yakni dalam memeriksa dan mengadili upaya hukum keberatan
diajukan para pihak di tingkat Pengadilan Negeri dan kasasi di Mahkamah Agung.
Keberatan merupakan satu-satunya upaya hukum terhadap putusan KPPU yang dapat
diajukan oleh pelaku usaha. Pasal 44 ayat (2) sebagai dasar hukum pengajuan
keberatan menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut. Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan
pelaku usaha dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan
107 Surat Keputusan Menteri Keuangan No. S-443/MK.02/2004 tanggal 29 Desember 2004.
Berdasarkan Keputusan ini, Menteri Keuangan setuju untuk memberikan persekot gaji dan tunjangan dari bawahan sampai atasan KPK, untuk Pimpinan sebesar Rp. 36.783.000,- Wakil Ketua Rp. 34.521.000,- Penasihat/Sekjen/Deputi/Staf Ahli mendapat Rp. 22.000.000,- Direktur/Kepala Biro/Tenaga Fungsional Rp. 18.000.000,-. Jelas hal ini sangat jauh berbeda dengan KPPU yang hanya mendapatkan gaji, Untuk Ketua/Wakil Ketua Rp. 14.375.000,- dan Anggota Rp. 12.500.000,- apalagi beban pekerjaan yang dipikul sangat berat.
79
tersebut108 dan harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.109
Mahkamah Agung RI sebagai badan peradilan tertinggi untuk menyelesaikan
permasalahan keberatan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Republik Indonesia No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum
Keberatan terhadap Putusan KPPU. Perma No. 1 Tahun 2003 tersebut merupakan
wujud pengakuan Mahkamah Agung RI terhadap eksistensi upaya hukum keberatan.
Keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan dari KPPU.
Dalam hal diajukan keberatan, KPPU merupakan pihak.110 Dalam hal keberatan
diajukan oleh lebih dari satu pelaku usaha untuk putusan yang sama tetapi berbeda
tempat kedudukan hukumnya, KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada
Mahkamah Agung melalui untuk menunjuk salah satu Pengadilan Negeri memeriksa
keberatan tersebut. Setelah permohonan diterima, Mahkamah Agung segera
menunjuk Pengadilan Negeri yang memeriksa keberatan tersebut. Dalam hal terjadi
keadaan yang demikian, maka jangka waktu pemeriksaan dihitung sejak Majelis
Hakim menerima berkas perkara yang dikirim oleh Pengadilan Negeri lain yang
tidak ditunjuk oleh Mahkamah Agung.111
108 Pasal 45 ayat (1), Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 109 Pasal 45 ayat (2), Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 110 Pasal 1, Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. 111 Pasal 4, Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.
80
Mahkamah Agung RI pada 14 Juli 2005 menyempurnakan Perma No. 1
Tahun 2003 dengan pertimbangan bahwa Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2003 tidak memadai untuk menampung perkembangan permasalahan penanganan
perkara keberatan terhadap Putusan KPPU. Perma No. 3 Tahun 2005 berupaya
menjawab berbagai ketidakjelasan dalam Perma sebelumnya.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Perma No. 3 Tahun 2005, keberatan terhadap
Putusan KPPU hanya diajukan oleh Pelaku Usaha Terlapor kepada Pengadilan
Negeri di tempat kedudukan hukum usaha Pelaku Usaha tersebut. Hal ini berarti
bahwa secara a contrario pelaku usaha pelapor tidak dapat mengajukan keberatan
terhadap putusan KPPU. Sementara berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa
keberatan adalah upaya hukum bagi Pelaku Usaha yang tidak menerima putusan
KPPU. Masalahnya adalah bagaimana jika yang tidak menerima putusan KPPU
adalah pelaku usaha pelapor dengan alasan permohonan pelaku usaha pelapor
tersebut tidak diterima oleh KPPU atau pelaku usaha Terlapor dinyatakan tidak
melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Hal semacam ini bukan tidak mungkin terjadi.
Dalam hukum acara yang berlaku secara umum, pihak yang merasa tidak puas
terhadap putusan pengadilan dapat mengajukan banding, tidak terkecuali penggugat
atau penuntut umum atau pemohon. Namun dalam hukum persaingan usaha, saat ini
peluang yang masih terbuka adalah mengajukan gugatan perdata dengan
menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata melaluu perbuatan melawan hukum dengan
tujuan mendapatkan ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan terlapor terhadap
pelapor. Hanya saja perdebatan mengenai pembuktian ekonomi yang tidak mudah
81
akan membuat proses persidangan menjadi lebih rumit dari sekedar perkara perdata
biasa.
Keberatan atas Putusan KPPU diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim.
Dalam hal diajukan keberatan, KPPU merupakan pihak. Apakah dengan ditetapkan
status KPPU sebagai pihak dalam perkara, KPPU dapat dijatuhi hukuman karena
kesalahannya dalam menerapkan hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi
pelaku usaha terlapor. Penetapan KPPU sebagai pihak semestinya memberikan
kedudukan kepada KPPU untuk secara lebih leluasa mempertahankan putusannya.
Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung
sejak Pelaku Usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU dan atau diumumkan
melalui website KPPU.112 Keberatan diajukan melalui kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang bersangkutan sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata
dengan memberikan salinan keberatan kepada KPPU. Dalam hal keberatan diajukan
oleh lebih dari 1 (satu) Pelaku Usaha untuk putusan KPPU yang sama, dan memiliki
kedudukan hukum yang sama, perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang
sama.113
Ketentuan Pasal 4 ayat (3) ini memperjelas bahwa majelis hakim yang akan
memeriksa keberatan dari lebih dari satu pelaku usaha terlapor adalah majelis hakim
yang sama. Jadi, perkara keberatan yang diajukan lebih dari satu pelaku usaha
terlapor tidak diperiksa secara terpisah, yang dapat memungkinkan terjadinya
112 Pasal 4 ayat (2), Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. 113 Pasal 4 ayat (3), Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.
82
perbedaan putusan atas keberatan yang diajukan. Dalam ayat (4) dinyatakan bahwa
apabila keberatan diajukan oleh lebih dari satu Pelaku Usaha untuk putusan KPPU
yang sama tetapi berbeda tempat kedudukan hukumnya, KPPU dapat mengajukan
permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu
Pengadilan Negeri disertai usulan Pengadilan mana yang akan memeriksa keberatan
tersebut. Apabila dikaitkan dengan ayat (3) Pasal 4, maka majelis hakim yang
memeriksa perkara keberatan ini pun adalah satu majelis hakim, karena registrasi
dari perkara tersebut dilakukan atas nomor yang sama.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), oleh KPPU ditembuskan
kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri yang menerima permohonan keberatan.
Pengadilan Negeri yang menerima tembusan permohonan tersebut harus
menghentikan pemeriksaan dan menunggu penunjukan Mahkamah Agung. Setelah
permohonan diterima, Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari
menunjuk Pengadilan Negeri yang memeriksa keberatan tersebut. Dalam waktu 7
(tujuh) hari setelah menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung, Pengadilan
Negeri yang tidak ditunjuk harus mengirimkan berkas perkara disertai (sisa) biaya
perkara ke Pengadilan Negeri yang ditunjuk .
Segera setelah menerima keberatan, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk
Majelis Hakim yang sedapat mungkin terdiri dari Hakim-hakim yang mempunyai
pengetahuan yang cukup dibidang hukum persaingan usaha.114 Ketentuan Pasal ini
menunjukkan adanya komitmen Mahkamah Agung untuk menugaskan hakim-hakim
114 Pasal 5 ayat (1), Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.
83
yang memiliki pengetahuan yang spesifik terkait hukum persaingan usaha. Dalam
hal pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib menyerahkan putusan dan
berkas perkaranya kepada Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara keberatan
pada hari persidangan pertama. Pemeriksaan dilakukan tanpa melalui proses mediasi.
Pemeriksaan tanpa mediasi adalah ketentuan yang logis mengingat KPPU telah
menetapkan putusan dan pelaku usaha Terlapor telah mengajukan keberatan,
sehingga tujuan dari mediasi tidak relevan.
Sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (5),115 maka Majelis Hakim harus memberikan
putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan
tersebut. Masalahnya adalah jangka waktu 30 hari tersebut apakah mencukupi untuk
memeriksa berkas perkara dan penerapan hukum yang dilakukan oleh KPPU dalam
putusannya. Hal ini bisa dicapai apabila didukung oleh hakim-hakim yang memiliki
pengetahuan yang memadai dalam bidang hukum persaingan usaha, sehingga
orientasi pemeriksaan keberatan tidak hanya didasarkan pada waktu, tetapi juga
kualitas dan akurasi putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri yang
memeriksa dan mengadili keberatan pelaku usaha.
Dalam hal Majelis Hakim berpendapat perlu pemeriksaan tambahan, maka
melalui putusan sela memerintahkan kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan
tambahan. Perintah majelis hakim yang demikian memuat hal-hal yang harus
diperiksa dengan alasan-alasan yang jelas dan jangka waktu pemeriksaan tambahan
yang diperlukan. Dalam hal perkara dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam
115 Pasal 5 ayat (5), Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.
84
Pasal 6 ayat (3), dalam hal perkara dikembalikan karena diperlukan pemeriksaan
tambahan, sisa waktu pemeriksaan keberatan ditangguhkan.116 Dengan
memperhitungkan sisa waktu pemeriksaan tambahan, sidang lanjutan pemeriksaan
keberatan harus sudah dimulai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah KPPU
menyerahkan berkas pemeriksaan tambahan. Pertanyaan yang akan sering muncul
adalah bahwa Perma No. 3 Tahun 2005 hanya memberikan hak kepada KPPU untuk
melakukan pemeriksaan tambahan. Pelaku usaha terlapor tidak memiliki hak untuk
melakukan pemeriksaan tambahan.
Bagaimana jika pelaku usaha Terlapor ingin mengajukan bukti-bukti baru?
Pada tahapan mana hal ini bisa dilakukan? Idealnya pelaku usaha Terlapor juga
diberikan ruang yang sama untuk mengajukan pemeriksaan tambahan dengan
menyertakan bukti-bukti yang baru. Jadi, ada ruang bagi usaha Terlapor untuk
meyakinkan majelis hakim perlunya pemeriksaan tambahan tersebut untuk
memeriksa bukti-bukti baru yang mungkin diajukan pelaku usaha Terlapor.
Permohonan penetapan eksekusi atas putusan yang telah diperiksa melalui
prosedur keberatan, diajukan KPPU kepada Pengadilan Negeri yang memutus
perkara keberatan bersangkutan. Permohonan penetapan eksekusi putusan yang tidak
diajukan keberatan, diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan hukum
pelaku usaha.117
116 Pasal 6 ayat (3), Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. 117 Pasal 7, Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.
85
Beberapa perkembangan terbaru yang menarik adalah dalam proses
pemeriksaan tambahan yang diperiksa kembali di KPPU. Majelis Komisi yang
memeriksa adalah anggota majelis yang baru tetapi dengan mempertahankan dua
anggota majelis komisi yang lama. Ada usulan agar proses ini dipindahkan ke ruang
sidang pengadilan sehingga akan lebih fair karena asumsi bahwa lembaga yang
sudah memutus tidak mungkin menerima dengan begitu saja keberatan terhadap
suatu putusan yang telah dijatuhkannya.
5.
Jenis dan Struktur Hukum Persaingan dan Sektor Regulasi
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat diawali dengan berbagai defenisi yang diatur dalam
Ketentuan Umum. Substansi undang-undang kemudian memuat tiga bagian utama
yaitu: Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan yang Dilarang, Posisi Dominan dan
proses penegakan hukum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Prosedur
Penanganan Perkara, Sanksi serta Pengecualian.
Perjanjian yang Dilarang diatur dari Pasal 4 sampai Pasal 16. Sebelumnya
patut dipahami bahwa perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.
5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat baik
merupakan perjanjian tertulis maupun tidak seperti dinyatakan dalam Bab I, Pasal 7
ayat (1). Beberapa perjanjian tersebut adalah : Perjanjian Oligopoli (Pasal 4),
Perjanjian penetapan harga (price fixing) (Pasal 5), Perjanjian Diskriminasi Harga
(Pasal 6), Perjanjian untuk menetapkan harga di bawah harga pasar (Pasal 7),
86
perjanjian membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan
menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga
yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 8) atau yang lebih
dikenal Resale Price Maintenance, perjanjian Pembagian Wilayah (Pasal 9),
Pemboikotan (Pasal 10), Perjanjian Kartel (Pasal 11), Trust (Pasal 12), perjanjian
Oligopsoni (Pasal 13) , integrasi vertikal (Pasal 14), Perjanjian Tertutup (Pasal 15)
dan perjanjian dengan pihak luar negeri (Pasal 16).
Pada Bab IV diatur mengenai Kegiatan yang Dilarang sebagaimana terdapat
dalam Pasal 17 sampai Pasal 24 mengenai berbagai kegiatan yang dapat
membahayakan proses persaingan. Beberapa kegiatan yang dilarang adalah sebagai
berikut: monopoli (Pasal 17), Monopsoni (Pasal 18), Penguasaan Pasar (Pasal 19),
menjual rugi (Pasal 20), kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya
lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa (Pasal 21),
persekongkolan (Pasal 22, 23 dan 24)
Bab V mengatur tentang Posisi Dominan yang terdiri dari Pasal 25 sampai
Pasal 29. Pasal 25 melarang pelaku usaha menggunakan posisi dominan untuk
menyalah gunakan kedudukannya baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Penyalahgunaan ini dapat dilakukan melalui jabatan rangkap, pemilikan saham
maupun melalui penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
KPPU tidak mengatur ketentuan persaingan untuk setiap sector usaha.
Namun demikian, ketentuan persaingan usaha terkait dengan berbagai peraturan
87
perundang-undangan teknis di berbagai sector usaha, antara lain sektor perdagangan,
jasa keuangan perbankan dan non perbankan, jasa telekomunikasi, pengangkutan
(darat, laut dan udara), pengadaan barang, sektor perdagangan ritel, dan lain-lain
6.
Penilaian Efektifitas Strategi Kompetitif dengan Contoh-Contoh Kasus, Strategi Penegakan/Pelaksanaan
Selama lebih dari dua dekade, sekitar 100 negara telah mengimplementasikan
hukum persaingan usaha. Sementara negara lainnya berlomba-lomba menjadi yang
berikutnya. Bisa dibilang,euphoria persaingan usaha sedang mewabah di seluruh
penjuru dunia. Wabah yang datang bukan tanpa sebab. Pada tahun 1997, World
Trade Organization (WTO) juga terjangkiti wabah tersebut melalui pembentukan
Working Group on the Interaction between Trade and Competition
Policy (WGTCP). Working Group ini memfokuskan diri pada empat hal, mulai
dari capacity building, perang melawan hard-core cartels, kerjasama multilateral,
hingga prinsip-prinsip dasar penegakan hukum persaingan usaha, yang merujuk
kepada penghapusan tindakan diskriminasi, serta prosedur kegiatan usaha yang lebih
transparan dan fair.118
Alasan WTO begitu concern terhadap hukum dan kebijakan persaingan usaha
tentunya bukan karena WTO mendapatkan wahyu ilahi atau hal-hal superfisial
lainnya, tapi karena WTO sangat memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan
negara-negara yang menjadi anggotanya. Dalam hal ini, negara-negara anggota
118 KPPU Artikel, “Kebijakan Persaingan : Umpan Negara Memancing Investasi”, http://www.kppu.go.id/id/kebijakan-persaingan-umpan-negara-memancing-investasi/., diakses pada 13 Juni 2011.
88
WTO sangat memperhatikan market acces dalam melakukan kegiatan usaha lintas
dunia. Market access disini berkaitan dengan ada tidaknya entry barrier untuk
memasuki pasar suatu negara, serta ada tidaknya rezim persaingan usaha yang dapat
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum dari praktek anti persaingan
incumbent lokal. Atau pendek kata, yang dibutuhkan para investor adalah jaminan
bagi mereka akan adanya persaingan usaha yang sehat pada pasar yang akan mereka
masuki.119
Pada dasarnya, kebijakan persaingan adalah instrumen utama untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam dan meningkatkan
kesejahteraan konsumen. Kebijakan persaingan juga berperan dalam mengatur
konsentrasi pasar agar tidak mengganggu persaingan dan berperan dalam
meningkatkan fleksibilitas suatu negara untuk bertahan dalam kondisi ekonomi dunia
yang berubah-ubah. Dengan fungsi yang beranekaragam tersebut, terdapat dua
komponen utama dari kebijakan persaingan yang komprehensif. Komponen yang
pertama berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mendukung terciptanya
persaingan usaha yang sehat di pasar. Sedangkan komponen yang kedua adalah
penegakan hukum persaingan usaha yang efektif.120
Komponen yang pertama adalah kebijakan perdagangan. Kebijakan
perdagangan suatu negara memegang peranan penting dalam pembentukan kondisi
ekonomi negara tersebut. Agar persaingan usaha yang positif dan optimal dapat
tercipta, kebijakan perdagangan harus mampu mendorong tumbuhnya perusahaan
119 Ibid. 120 Ibid.
89
baru sekaligus menjaga posisi perusahaan yang sudah eksis. Komponen yang kedua
adalah keterbukaan sektor industri. Tingkat persaingan di sebuah negara tercermin
dari kebijakan pemerintah dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya pemain
baru di dunia usaha. Apabila rezim persaingan usaha sebuah negara menyulitkan
perusahaan baru untuk tumbuh dan berkembang, maka tingkat investasi yang
mengalir ke negara tersebut akan rendah dan tingkat persaingan usaha yang tercipta
juga akan rendah.121
Kebijakan privatisasi pemerintah adalah komponen yang juga berpengaruh,
dimana kebijakan privatisasi yang tepat berpotensi menciptakan persaingan usaha
yang sehat dengan membentuk kondisi yang kondusif bagi pemain baru untuk
memasuki pasar. Selain itu, terdapat beberapa hal yang juga harus berjalan
beriringan dengan kebijakan persaingan usaha, yaitu regulasi tenaga kerja, prosedur
penghentian kegiatan usaha, dan kebijakan perlindungan konsumen. Rezim
persaingan usaha yang sejalan dengan ketiga hal tersebut tentunya mampu
menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif bagi investor untuk menanamkan
modalnya di suatu negara. Wajah dunia usaha negara ini jelas sudah berubah banyak
dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, terutama dengan implementasi hukum dan
kebijakan persaingan usaha yang dilaksanakan melalui Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU).122
Sebagai bentuk implementasi Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010
tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
121 Ibid. 122 Ibid.
90
Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, KPPU telah melakukan penilaian menyeluruh terhadap
pengambilalihan saham International Power Plc oleh GDF Suez S.A. dan
pengambilalihan saham PT UOB Life Sun Assurance oleh PT Bhakti Capital
Indonesia Tbk. Pada pengambilalihan saham International Power Plc oleh GDF Suez
S.A., KPPU menilai bahwa kegiatan usaha anak perusahaan GDF Suez di Indonesia
adalah pengelolaan air bersih kepada masyarakat umum dan industri sedangkan anak
perusahaan International Power Plc bergerak dalam bidang pembangkit tenaga listrik
yang dijual kepada PT PLN (Persero), sehingga anak perusahaan masing-masing
pihak yang melakukan pengambilalihan saham tidak mengalami perubahan karena
anak perusahaan di Indonesia merupakan “Indirect Subsidiary”.123
Selain itu, kegiatan usaha kedua anak perusahaan tersebut di Indonesia tidak
berada dalam pasar yang sama sehingga tidak terdapat perubahan kondisi pasar di
Indonesia sebagai dampak pengambilalihan saham International Power Plc oleh GDF
Suez. Pendapat KPPU ini hanya terbatas pada proses pengambilalihan saham
International Power Plc oleh GDF Suez S.A melalui Electrabel S.A. Jika di
kemudian hari ada perilaku anti persaingan yang dilakukan baik para pihak maupun
anak perusahaannya, maka perilaku itu tidak dikecualikan dari Undang-undang No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan atau Persaingan Usaha Tidak
Sehat.124
123 KPPU Press Release, ”KPPU Meloloskan Dua Permohonan Pengambilalihan Saham”,
http://www.kppu.go.id/id/kppu-meloloskan-dua-permohonan-pengambilalihan-saham/., diakses pada 13 Juni 2011.
124 Ibid.
91
Sementara itu, pada pengambilalihan saham PT UOB Life Sun Assurance
oleh PT Bhakti Capital Indonesia Tbk., Komisi berpendapat tidak ada dugaan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang diakibatkan Pengambilalihan
(Akuisisi) Saham Perusahaan PT UOB Life Sun Assurance oleh PT Bhakti Capital
Indonesia, Tbk. karena tidak adanya pasar bersangkutan antara para pihak tersebut.
Kedepannya, KPPU berharap jejak perusahaan-perusahaan tersebut dalam
memberikan Notifikasi Pra-Merger dapat diikuti oleh perusahaan lainnya di
Indonesia. Karena pada prinsipnya, Notifikasi Pra-Merger lebih menguntungkan
pelaku usaha daripada Notifikasi Post-Merger. Proses Notifikasi dan Konsultasi
dengan KPPU ini tidak dipungut biaya sepeserpun.125
Dalam penegakan hukumnya, KPPU memutus bersalah 10 (sepuluh) Terlapor
perkara Tender Pengadaan Sarana dan Prasarana Konversi Energi di Lingkungan
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM (Energi dan
Sumber Daya Mineral). Kesepuluh Terlapor tersebut adalah PT. Gita Persada, PT.
Nusa Consultants, PT. Extensa Winaya Fakta, PT. Laras Respati Utama, Konsorsium
PT. Surveyor Indonesia dengan PT. Sucofindo, Panitia Pengadaan Sarana dan
Prasarana Konversi Energi Dirjen Migas Tahun Anggaran 2009, PT. Ciptanusa
Buana Sentosa, PT. Kencana Mandiri Uli Nusantara, PT. Data Aksara Matra dan PT.
Rasicipta Consultama. Mereka terbukti melanggar Pasal 22 UU No. 5/ 1999 tentang
125 Ibid.
92
Persekongkolan Tender. Beberapa diantara mereka dikenai sanksi denda sebesar, PT.
Gita Persada Rp 1.161.323.000,-, PT. Nusa Consultants Rp 655.662.000,-.126
Kerjasama rezim persaingan usaha dan pemerintah diperlukan, hal ini seperti
yang dikatakan oleh R.S. Khemani dalam paper-nya mengenai kebijakan persaingan
dan investasi, “The competitive process needs to be maintained, protected, and
promoted to strengthen the development of a sound market economy”. Selain itu,
Pemerintah juga tidak boleh lupa bahwa kebijakan persaingan usaha hanyalah salah
satu umpan memancing investasi. Kebijakan persaingan tersebut harus bergerak
bersama dengan kebijakan pemerintah, reformasi birokrasi, perbaikan infrastruktur,
dan political will dari pemerintah yang memahami betul manfaat kebijakan
persaingan usaha yang efektif. Apabila semua umpan tersebut dipasang bersamaan
dalam satu kail, tak diragukan lagi, banyak investor besar yang akan terpancing.127
Menurut Mantan Ketua KPPU selama 9 tahun ini telah berhasil
mengumpulkan pemasukan negara bukan pajak sebanyak Rp. 1 triliun.128 Putusan
KPPU yang menyatakan telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
berjumlah 91 Putusan per Juni 2009, Pengadilan telah menguatkan sebanyak 52 %
terhadap Putusan KPPU yang masuk keberatan dan bahkan terhadap Putusan KPPU
yang diajukan kasasi ke Mahkamah Agung, sebanyak 72% dari Putusan KPPU telah
126 KPPU Press Release, “Persekongkolan Tender di Lingkungan Kementerian ESDM”,
http://www.kppu.go.id/id/., diakses pada 13 Juni 2011. 127 KPPU Press Relese, “Kebijakan Persaingan : Umpan Negara Memancing Investasi”,
Op.cit. 128 Suhendra dalam Detik Finance, “KPPU Merasa Dianaktirikan”,
http://us.detikfinance.com/read/2009/06/30/180757/1156691/4/kppu-merasa-dianaktirikan., diakses pada 13 Juni 2011
93
dikuatkan. Hal ini menunjukkan bahwa Pengadilan berpendapat sama dengan KPPU
tentang kebenaran pembuktian due process of law dan penerapan hukum yang
selama ini telah dijalankan KPPU.129
Namun demikian sebenarnya banyak hal yang harus dibenahi dalam
penegakan hukum UU No. 5 Tahun 1995 agar lebih efektif, antara lain struktur UU
dari batang tubuh UU tersebut, berbagai definisi, pendekatan yang dipergunakan
untuk tiap-tiap bentuk perjanjian dan kegiatan yang dilarang, hukum acara, masalah
sanksi dan hubungan dengan proses pidana, dan lain-lain
7.
Keserasian dengan Norma-Norma Internasional misalnya Pedoman ICN/OECD
Kebijakan liberalisasi (deregulasi) perdagangan telah dilakukan Pemerintah
Indonesia sejak awal 1980-an. Secara gradual pemerintah membuka perekonomian
dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan penurunan tarif dan menghilangkan
kebijakan non-tarif yang menghambat masuknya barang impor secara bertahap. Di
samping itu, Indonesia juga melakukan kerjasama perdagangan regional melalui
ASEAN Free Trade Area (AFTA). Selanjutnya, kebijakan liberalisasi perdagangan
makin meningkat sejalan dengan derasnya arus globalisasi dan masuknya Indonesia
dalam kerjasama internasional melalui World Trade Organization (WTO).
Sementara itu, krisis nilai tukar yang berlanjut menjadi krisis finansial pada 1997
”membuka” kebijakan perdagangan yang harus sejalan dengan komitmen yang
129 KPPU Press Release, “72% Kasasi Putusan KPPU Dikuatkan MA”, www.kppu.go.id.,
diakses pada 12 Agustus 2009
94
tertuang dalam Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF
sebagai bagian dari ”IMF Conditionalities”. Ada beberapa hal yang belum menjadi
komitmen Indonesia dalam WTO yang harus dilaksanakan sesuai dengan LoI
tersebut.130
Keuntungan yang sering dijadikan argumen dalam melakukan kebijakan
liberalisasi perdagangan antara lain untuk meningkatkan efisiensi. Peningkatan
efisiensi tersebut dilakukan melalui beberapa jalur berikut: Pertama, melalui
peningkatan produktivitas karena makin efisiennya alokasi sumber daya baik dalam
suatu industri maupun antar industri; Kedua, melalui peningkatan persaingan.
Liberalisasi berpotensi untuk meningkatkan kompetisi antara produsen domestik
dengan luar negeri, sehingga produsen domestik yang tidak efisien akan keluar dari
industri dan industri akan menjadi lebih efisien. Di samping itu, dengan demikian
efisien dan semakin meningkatnya tingkat persiangan suatu industri maka
mendorong penurunan excess profit (margin keuntungan yang berlebih) menjadi
normal profit pada produsen domestik yang sebelumnya menikmati ”proteksi” dalam
sistem pasar yang oligopolistik. Hal ini harga barang domestik dan impor menjadi
relatif lebih rendah dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat inflasi.131
Dari liberalisasi perdagangan luar negeri laporan OECD tentang ”Guiding
Principles on Regulatory Quality and Performance” menyarankan agar aturan dan
130 Siti Astiyah, et.al., “Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Perilaku Pembentukan
harga Produk Industri melalui Structure-Conduct Performance Model”, (Bank Indonesia Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2005), hal. 524.
131 Ibid.
95
regulasi yang baru dan yang lama harus ditinjau pengaruhnya pada persaingan dan
bahwa perlu dilakukan adalah132 :
”Merancang regulasi ekonomi dalam semua sektor untuk merangsang persaingan dan efisiensi, dan menghapuskannya kecuali jika terdapat bukti jelas yang menunjukkan bahwa regulasi-regulasi tersebut adalah cara terbaik dalam memenuhi kepentingan umum yang luas. ... secara berkala meninjau aspek-aspek regulasi ekonomi yang membatasi masuk, akses, keluarnya perusahaan dari pasar, penetapan harga, produk, praktek dagang normal, dan bentuk badan usaha untuk memastikan bahwa keuntungan regulasi melebihi biaya, dan yang pengaturan alternatifnya tidak dapat secara setara memenuhi sasaran regulasi dengan pengaruh yang lebih kecil pada persaingan”.
Dalam hal Hukum Persaingan Usaha, Indonesia menjadi anggota baik ICN
(International Competition Network) dimana KPPU menjadi peserta aktif dari
beberapa pertemuan tahunan yang dilakukan. Demikian juga dalam OECD
(Organization for Economic Cooperation and Development). Dari hasil keikut
sertaan dalam kedua organisasi bergengsi dalam bidang persaingan usaha ini, KPPU
berupaya mengadopsi berbagai peraturan yang diaplikasikan dalam Pedoman
(Guidelines) yang ada, misalnya dalam Pedoman Kartel. Hanya yang menjadi
perdebatan adalah konsistensi dari penerapan prinsip-prinsip yang dikeluarkan oleh
ICN atau OECD dalam beberapa kasus. Misalnya dalam beberapa kasus kartel yang
diputus oleh KPPU yang berkenaan dengan penggunaan “indirect evidence” atau
bukti tidak langsung. 133 Hal ini menjadi perhatian dari berbagai stakeholder yang
132 OECD, Op.cit., hal. 70. 133 Lihat putusan kasus Putusan KPPU No: 17/KPPU-I/2010, PT Pfizer Indonesia dan PT.
Dexa Medica dalam Industri Farmasi Obat Anti Hypertensi menggunakan zat aktif Amlodipine Besylate). “Circumstantial evidence (or indirect evidence) can be difficult to interpret, however. Economic evidence especially can be ambiguos, consistent with either concerted or independent action. The better practice is to consider circumstantial evidence in a case as a whole, giving it cumulative effect, rather than on an item-by-item basis, and to subject economic evidence to careful economic analysis”, Selanjutnya, laporan OECD tersebut menyatakan : “It is important to note that conduct described as facilitating practices is not necessarily unlawful. But where a competition
96
melalukan eksaminasi untuk mengingatkan konsistensi dalam mengadopsi prinsip
hukum asing maupun ketentuan Pedoman internasional yang telah ditetapkan bahkan
diadopsi oleh KPPU sendiri.
8.
Kendala yang dihadapi dalam Rangka Perbaikan
KPPU terus melaksanakan perbaikan, khususnya perbaikan secara internal di
lingkungan KPPU. Perbaikan mendasar sangat dirasakan perlu dilakukan dalam
bentuk revisi dari UU No. 5 Tahun 1999. Telah ada beberapa putaran baik dalam
bentuk seminar, tulisan maupun dorongan kebutuhan dari dalam internal KPPU
sendiri terhadap kebutuhan amandemen UU No.5 Tahun 1999. Kebutuhan perubahan
terutama berpusat pada hukum acara dalam UU No.5 Tahun 1999, kewenangan
KPPU serta substansi pada beberapa pasalnya. Walaupun demikian, proses ini tidak
berjalan begitu lancar disebabkan proses di Program Legislasi Nasional di DPR yang
harus menjadwalkan daftar perundang-undangan yang akan diagendakan baik untuk
usulan rancangan atau perubahan. Diperkirakan proses ini akan memakan waktu
yang cukup lama semata-mata karena proses birokrasi dan politik yang berkaitan
dengan perundang-undangan.
Beberapa kendala yang mungkin dihadapi secara umum menyangkut adalah
mengenai : ketersediaan komitmen anggaran untuk KPPU, komitmen pemerintah
authority has found other circumstantial evidence pointing to the existence of a cartel agreement, the existence of facilitating practices can be an important complement”, (OECD, Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief Edisi Juni 2007).”
97
untuk revisi UU No. 5 Tahun 1999, birokrasi dan proses politik dalam revisi UU No.
5 Tahun 1999 dan kendala sumber daya manusia.
9.
Prospek Kedepan
Upaya perbaikan perekonomian nasional terus dilakukan di berbagai bidang.
Hukum memainkan peranan yang cukup penting saat ini dalam upaya pembangunan
ekonomi Indonesia. Berbagai upaya pembaharuan hukum tengah dilakukan untuk
mendukung pembangunan ekonomi, tidak terkecuali upaya pembaharuan hukum
persaingan usaha melalui revisi UU No. 5 Tahun 1999. Upaya perbaikan
perekonomian nasional kedepan tidak bisa dilepaskan dari peranan penting UU
Persaingan Usaha.
Dari segi eksternal, maka keberadaan undang-undang ini dirasakan
memberikan insentif bagi para investor asing karena adanya pembatasan monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat yang selama ini terjadi. UU Persaingan Usaha
diharapkan menjadi jaminan bahwa pelaku usaha akan bersaing secara fair dan
diawasi. UU Persaingan Usaha menjadikan Indonesia turut dalam jajaran negara-
negara yang masuk kedalam ekonomi pasar (market economy) yang berdasar pada
persaingan yang sehat.
Sedangkan dalam sudut pandang internal, maka diharapkan bahwa UU
Persaingan Usaha tidak saja diperlukan untuk mengawal perkembangan
pembangunan ekonomi ke depan tetapi juga untuk membangun ekonomi nasional itu
sendiri. Dengan kata lain UU Persaingan Usaha tetap akan semakin diperlukan untuk
98
menjamin keadilan dan kesempatan berusaha yang bersama bagi setiap warga
Negara, menjaga kepentingan umum dan menciptakan kesejahteraan konsumen.
Dengan UU ini upaya efesiensi perekonomian nasional ke depan dapat diwujudkan.
Dalam jangka panjang, walaupun belum dapat terukur secara nyata dalam
menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat tetapi keberadaan UU No. 5 Tahun
1999 diyakini sebagai alat (tool) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat bila
ditegakkan dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abbas, Anwar., Bung Hatta dan Ekonomi Islam : Menangkap Makna Maqâshid al Syarî’ah, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010.
Badan Pusat Statistik, “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”, No. 12/02/Th. XIV, 7
Februari 2011. Besari, M. Sahari., Teknologi di Nusantara : 40 Abad Hambatan Inovasi, Jakarta :
Salemba Teknika, 2008. Boediono, Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana? : Kumpulan Esai Ekonomi, Cetakan
Ketiga, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, “Dampak Liberalisasi Perdagangan
terhadap Perilaku Pembentukan Harga Produk Industri melalui Structure – Conduct Performance Model”, Jakarta : Bank Indonesia, 2005.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, “Dinamika Industri Manufaktur dan
Respon terhadap Siklus Bisnis”, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Jakarta : Bank Indonesia, Oktober 2002.
Cooper, Cary L., dan Chris Argyris, The Concise Blackwell : Encyclopedia of
Management, Massachusetts : Blackwell Publishers Inc., 1998.
99
Dewan Perwakilan Rakyat RI, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009 :
Mengemban Amanat dan Aspirasi Rakyat, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekjen DPR RI, UNDP, AusAid, Oktober 2009.
Ebenstein, William., Isme-isme yang Mengguncang Dunia : Komunisme, Fasisme,
Kapitalisme, Sosialisme, Cetakan Kedua, Yogjakarta : Narasi, 2006. Friedman, Lawrence M., A History of American Law, 3rd Edition, New York : Simon
& Schuster, Inc., 2005. ----------------------------., American Law An Introduction, 2nd Edition, diterjemahkan
oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta : Tata Nusa, 2001.
Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law, English
Version, OECD, Paris, 1996. H., Soetrisno P., Kapita Selekta Ekonomi Indonesia : Suatu Studi, Edisi II,
Yogjakarta : Andi Offset, 1992. KPPU RI, Laporan Tahun 2010, Jakarta : KPPU, 2010. Levy, Sidney M.., Build Operate Transfer : Paving The Way For Tomorrow’s
Infrastructure, John Wiley & Sons, Inc., 1996. Lubis, Andi Fahmi., et.al., Hukum Persaingan Usaha : Antara Teks dan Konteks,
Jakarta : KPPU, GTZ, Kerjasama RI dan Republik Federal German, 2009. Mubyarto dan Boediono, Ekonomi Pancasila, Yogjakarta : Universitas Gadjah
Mada, 1981. Noor, Muhammad., Pertanian Lahan Gambut : Potensi dan Kendala, Cetakan
Kedelapan, Yogjakarta : Kanisius, 2011. OECD, Indonesia Investment Policy Review, Jakarta : OECD, 2010. Patriadi, Pandu., “Segi Hukum Bisnis Dalam Kebijakan Privatisasi BUMN Melalui
Penjualan Saham di Pasar Modal Indonesia”, Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 8, Nomor 1, Maret 2004.
Poesonegoro, Marwati Djoened., dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia V : Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Cetakan 2, Edisi Pemutakhiran, Jakarta : Balai Pustaka, 2008.
100
Radhi, Fahmi., Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, Jakarta : Republika Press, 2008. Sachari, Agus., Budaya Visual Indonesia, Jakarta : Erlangga, 2007. Sagala, Parluhutan., “Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah Pada Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) Untuk Menciptakan Perusahaan yang Sehat dan Efisien”, Medan : Disertasi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
Silalahi, M. Udin., Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol :Bagaimana
Cara Memenangkan?, Cetakan Pertama, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007.
Soempeno, Femi Adi., Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-Anak Emas Soeharto
di Penghujung Orde Baru, Cetakan Pertama, Yogjakarta: Galangpress, 2008. Soesastro, Hadi., et.al., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam
Setengah Abad Terakhir : Krisis dan Pemulihan Ekonomi, Yogjakarta : Kanisius, 2005.
Sulistyastuti, Dyah Ratih., “Pembangunan Pendidikan dan MDGs Di Indonesia :
Sebuah Refleksi Kritis”, Volume II, Nomor 2, Yogjakarta : Jurnal Kependudukan Indonesia, 2007.
Sumawinata, Sarbini., Politik Ekonomi Kerakyatan, Cetakan Pertama, Jakarta :
Gramedia, 2004. Sutton, John., Sunk Costs and Market Structure, Hong Kong : Trade Typeseting Ltd.,
Tanpa Tahun. Tjokrowasito, Mardiharto., “Kebijakan Persaingan Pada Industri Jasa Penerbangan
Dilihat Dari Perspektif Perlindungan Konsumen”, Jakarta : Bappenas RI, 2009.
Winarno, Budi., Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogjakarta : Media
Pressindo, 2007. World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2010-2011, Geneva :
SRO-KUNDIG, 2010.
101
ARTIKEL INTERNET DAN MASS MEDIA
“190 Tarif Diubah; Menuju Indonesia Tersenyum”, www.kompas.com, diakses pada tanggal 10 Mei 2011.
“Indonesia dan WTO”, http://www.mission-indonesia.org/modules/WTO.pdf.,
diakses pada 10 Mei 2011. “Masalah Infrastruktur Masih Menghambat Investasi, Indonesian Commercial
Newsletter”, diakses dalam http://www.datacon.co.id/Tekstil-2009Fokus.html, tanggal 10 Mei 2011.
Armando, Aru., ”Peraturan Komisi, Sebuah Produk State Auxillary Agencies”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22468/peraturan-komisi-sebuah-produk-istate-auxilliary-agenciesi., diakses pada 13 Juni 2011.
Bappenas RI, “BAB VI : Reformasi Aparatur Negara”, www.bappenas.go.id/get-file-
server/node/6415/., diakses pada 08 April 2011. ---------------., “Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional
(RPJMN) Tahun 2010-2014 Wilayah Jawa-Bali”, http://www.bappenas.go.id/node/116/2577/sosialisasi-rencana-pembangunan-jangka-menengah-nasional--rpjmn-tahun-2010-2014-wilayah-jawa-bali/., diakses pada 12 Juni 2011.
Bataviase, “Nilai Kapitalisasi Pasar BUMN Terbuka Melonjak”,
http://bataviase.co.id/node/90515., diakses pada 13 Juni 2011. -----------., “Pembangunan Sektor Industri Masih Terkendala Masalah Klasik”,
http://bataviase.co.id/node/626871., diakses pada 12 Juni 2011. -----------., “Sektor Industri Perlu Pembenahan yang Terstruktur dan Terukur”,
http://bataviase.co.id/node/338569., diakses pada 13 Juni 2011. BKPM, “Iklim Investasi”, http://www.bkpm.go.id/contents/general/6/iklim-investasi,
diakses pada 12 Mei 2011. Boen, Hendra Setiawan., “Mencermati Kebebasan Penyusunan Anggaran KPPU”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b482c1acc935/mencermati-kebebasan-penyusunan-anggaran-kppu-broleh-hendra-setiawan-boen., diakses pada 12 Juni 2011.
Depkominfo, “BKPM Klaim Pertumbuhan Penanaman Modal Membanggakan”,
http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/bkpm-klaim-
102
pertumbuhan-penanaman-modal-membanggakan/., diakses tanggal 11 Mei 2011.
Detik Finance, “KPPU Merasa Dianaktirikan”,
http://us.detikfinance.com/read/2009/06/30/180757/1156691/4/kppu-merasa-dianaktirikan., diakses pada 13 Juni 2011
Gunadarma, “Sistem Perekonomian Indonesia”,
http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/perekonomian_indonesia/bab1-sistem_perekonomian_indonesia.pdf., diakses pada 08 April 2011.
Harian Bisnis Indonesia, “Banyak Regulasi yang Membuat Sulit Berbisnis di
Indonesia”, diterbitkan Rabu, 03 November 2010. ------------------------------., “RI Janji Perbaiki Infrastruktur : Kebijakan Investasi
Sebaiknya Ditata Ulang”, diterbitkan Senin, 20 September 2010. Harian Kompas, “Infrastruktur : Kemampuan Dana Pemerintah Hanya 20 Persen”,
diterbitkan Kamis, 30 September 2010. -------------------., “Kakao : Minat Investor Terhalang Infrastruktur”, diterbitkan
Kamis, 30 September 2010. -------------------., “Sektor Riil : Infrastruktur Harus Bisa Memacu Pertumbuhan”,
diterbitkan Rabu, 20 Oktober 2010. Hukum Online, “Komisi Yang Jatuh Ketika Sedang Bersinar : Catatan Akhir Tahun
KPPU”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20819/komisi-yang-jatuh-ketika-sedang-bersinar., diakses pada 12 Juni 2011
------------------., “Catatan Akhir Tahun KPPU : Komisi yang Jatuh Ketika Sedang
Bersinar”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20819/komisi-yang-jatuh-ketika-sedang-bersinar., diakses pada 12 Juni 2011.
Idris, Fahmi., ”Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri”, Sekretariat Negara
Republik Indonesia. Diterbitkan Jum’at, 23 Maret 2007. Infobank News, “BEI : 2011 Momentum Bagi Investor Lokal Merebut Investor
Asing”, http://www.infobanknews.com/2010/10/bei-2011-momentum-bagi-investor-lokal-merebut-porsi-investor-asing/., diakses 13 Juni 2011.
Kompasiana, “Peringkat Daya Saing Investasi Negara Indonesia Meningkat”,
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/04/07/peringkat-daya-saing-investasi-negara-indonesia-meningkat/., diakses pada 11 April 2011.
103
Kompas Online, “Pendapatan Per Kapita 2010 Rp. 27 juta”,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/07/1449472/Pendapatan.Per.Kapita.2010.Rp.27.Juta.diakses pada 10 April 2011.
----------------------., “PERC : Indonesia Negara Paling Korup!”,
http://nasional.kompas.com/read/2010/03/08/21205485/PERC.Indonesia.Negara.Paling.Korup., diakses pada 09 April 2011.
KPPU Artikel, “Kebijakan Persaingan : Umpan Negara Memancing Investasi”,
http://www.kppu.go.id/id/kebijakan-persaingan-umpan-negara-memancing-investasi/., diakses pada 13 Juni 2011.
KPPU Press Release, “72% Kasasi Putusan KPPU Dikuatkan MA”,
www.kppu.go.id., diakses pada 12 Agustus 2009. ------------------------------., ”KPPU Meloloskan Dua Permohonan Pengambilalihan
Saham”, http://www.kppu.go.id/id/kppu-meloloskan-dua-permohonan-pengambilalihan-saham/., diakses pada 13 Juni 2011.
------------------------------., “Persekongkolan Tender di Lingkungan Kementerian ESDM”, http://www.kppu.go.id/id/., diakses pada 13 Juni 2011.
KPPU RI, “Putusan KPPU Untuk Kepentingan Konsumen”,
http://www.kppu.go.id/id/putusan-kppu-untuk-kepentingan-konsumen/., diakses pada 12 Juni 2011.
Kuntjoro, Mudrajat., “Mendongkrak Daya Saing’, www.okezone.com., diakses
tanggal 11 Mei 2011. Nickel, James W., “Hak Azasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal
Hak Azasi Manusia”, elkhalil.files.wordpress.com/2010/05/hak-asasi-manusia.doc., diakses pada 08 April 2011.
Okezone, “Demutualisasi, Investor Asing & Pemerintah Bisa Miliki BEI”,
http://celebrity.okezone.com/read/2009/07/03/278/235453/demutualisasi-investor-asing-pemerintah-bisa-miliki-bei., diakses pada 13 Juni 2011.
Online Data dan Informasi Kesejahteraan Rakyat, “HDI Indonesia 2010 (Metode dan
Indikator Baru)”, http://data.menkokesra.go.id/content/hdi-indonesia-2010-metode-dan-indikator-baru., diakses 11 April 2011.
Otsuka, Misuzu., et.al., “Improving Indonesia’s Investment Climate”,
http://www.oecd.org/dataoecd/52/26/47556737.pdf., diakses pada 12 Juni 2011.
104
Policy Framework for Investment, “The Policy Framework for Investment (PFI)”,
http://www.oecd.org/document/61/0,3746,en_2649_34893_33696253_1_1_1_1,00.html., diakses pada 12 Juni 2011.
Pos Kota, “Melinda Kelola Dana 27 Pejabat”, http://www.poskota.co.id/berita-
terkini/2011/04/28/melinda-kelola-dana-27-pejabat., diakses pada 13 Juni 2011.
Republika Online, “Tingkat Melek Huruf Tinggi Pendidikan di Indonesia Belum
Maju”, Harian Republika, Rabu 12 Januari 2011, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/01/11/157847-tingkat-melek-huruf-tinggi-pendidikan-di-indonesia-belum-maju., diakses pada 11 April 2011.
Sitompul, Zulkarnain., “Investasi Asing di Indonesia Memetik Manfaat Liberalisasi”,
http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-bisnis/88-investasi-asing-di-indonesia-memetik-manfaat-liberalisasi.html., diakses pada 10 April 2011.
ST Telemedia, “Pernyataan dari ST Telemedia Dalam Banding Atas Putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha”, http://www.sttelemedia.com/content.asp?ContentId=1609., diakses pada 13 Juni 2011.
Sumantri, Jajang., “Amerika Keluhkan Infrastruktur Indonesia Jadi Hambatan”,
Harian Media Indonesia, Minggu 03 April 2011, http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/04/215071/4/2/ Amerika-Keluhkan-Infrastruktur-Indonesia-Jadi-Hambatan., diakses pada 11 April 2011.
Tjokrowarsito, Mardiharto., “Kebijakan Persaingan pada Industri Jasa Penerbangan
Dilihat dari Perspektif perlindungan Konsumen”, www.bappenas.go.id., diakses pada 16 Mei 2011.
VOA News, “Laporan World Economic Forum : Peringkat Daya Saing Indonesia
Naik”, Sabtu, 23 Oktober 2010. Wibowo, Rezki Sri, “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008”,
http://www.ti.or.id/index.php/publication/2009/01/21/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2008-2., diakses pada 09 April 2011.
World Economic Forum Website, “World Economic Forum”,
http://www.weforum.org/., diakses pada 11 April 2011.
105
Yustika, Ahmad Erani., “Menimbang Privatisasi Bank BUMN”, Harian Kompas, diterbitkan Rabu, 06 Oktober 2010.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI No. PER-
01/M.EKON/01/2010, tanggal 29 Januari 2010. Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Putusan KPPU No. 17/KPPU-I/2010, PT Pfizer Indonesia dan PT. Dexa Medica
dalam Industri Farmasi Obat Anti Hypertensi menggunakan zat aktif Amlodipine Besylate).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen. Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-
Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389.
106
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608.
top related