1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Strategi pemenangan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati campuran Puri dan Nonpuri atau luar puridalam merebut kekuasaanpada pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah ditingkatKabupaten masih mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.Bahkan perebutan kekuasaan dengan taktik atau strategi yang beragam masih menarik untuk diteliti. Beberapa kajian dijadikan acuan dalam studi dalam tesis berjudul strategi pemenangan Calon Bupati dan Wakil Bupati campuran Puri dan Nonpuri padaPilkada Gianyar tahun 2012 ini. Adapun beberapa buku yang digunakan sebagai acuan dalam menulistesis ini adalah buku yang Sahid Gatara, 2009 Ilmu Politik : Memahami dan Menerapkan, ketika bicara kekuasaan menurutCharles F.Andrain (Sahid Gatara, 2008) menjelaskan kekuasaan adalah upaya penggunaan sejumlah sumber daya (aset, kemampuan) untuk memperoleh pengaruh berupa kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang lain, kemudian menurut adrain, kekuasaan pada dasarnya merupakan suatu hubungan karena pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah orang lain. Dalam situasi apapun secara umum, Andrain menegaskan bahwa ketika bicara kekuasaan tidak dihindarkan mengulas banyak variable diantaranya sumber daya politik, sarana pendayagunaan dan faktor pendorong
31
Embed
Ilmu Politik : Memahami II.pdf · Strategi pemenangan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati ... sebab dalam politik kotemporer ini hanya ... terjadi persaingan antarjero atau jaringan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Strategi pemenangan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati
campuran Puri dan Nonpuri atau luar puridalam merebut kekuasaanpada
pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah ditingkatKabupaten masih
mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.Bahkan perebutan kekuasaan
dengan taktik atau strategi yang beragam masih menarik untuk diteliti.
Beberapa kajian dijadikan acuan dalam studi dalam tesis berjudul
strategi pemenangan Calon Bupati dan Wakil Bupati campuran Puri dan
Nonpuri padaPilkada Gianyar tahun 2012 ini.
Adapun beberapa buku yang digunakan sebagai acuan dalam
menulistesis ini adalah buku yang Sahid Gatara, 2009 Ilmu Politik : Memahami
dan Menerapkan, ketika bicara kekuasaan menurutCharles F.Andrain (Sahid
Gatara, 2008) menjelaskan kekuasaan adalah upaya penggunaan sejumlah
sumber daya (aset, kemampuan) untuk memperoleh pengaruh berupa
kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang lain, kemudian menurut
adrain, kekuasaan pada dasarnya merupakan suatu hubungan karena
pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah orang lain.
Dalam situasi apapun secara umum, Andrain menegaskan bahwa
ketika bicara kekuasaan tidak dihindarkan mengulas banyak variable
diantaranya sumber daya politik, sarana pendayagunaan dan faktor pendorong
2
pendayagunaan sumber daya.Sumber daya politik menyoroti apa yang menjadi
kekuatan dibalik tampilnya seorang aktor digelanggang kekuasaan
politik.Sarana inilah yang dipakai alat atau jaringan yang digunakan seorang
aktor untuk menggerakkan sumber daya politik yang dimiliknya.
Untuk yang pertama Andrain menjelaskan bahwa paling tidak ada lima
tipe sumber daya politik yang melatari seorang aktor ketika tampil di
gelanggang politik yakni fisik, ekonomi, normatif, personal dan ahli. Selain
tergantung pada pemilihan sumber daya, kekuasaan kekuasaan politik juga
menyangkut metode pedayagunaan atau proses penggunaan sumber daya yang
secara efektif yakni misalnya bagaimana agar sumber daya dapat
bertransformasi menjadi kekuasaan potensial.
Berkaitan dengan hal itu, Andrain menilai bahwa hal itu bagian dari
dimensi politik yakni dimensi kekuasaan potensial dan aktual. Dimensi
tersebut seperti ditafsirkan oleh Ramlan Subakti bahwa seorang dipandang
mempunyai kekuasaan potensial apabila memiliki sumber-sumber kekuasaan,
seperti kekayaan, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial
yang tinggi, basis organisasi massa, dan jabatan. Sebaliknya seseorang
dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan sumber-
sumber yang dimiliknya ke dalam kegiatan atau aktifitas politik secara efektif
(mencapai tujuannya). (Sahid Gatara, 2008 : 268-271). Buku ini memiliki
relevansi dengan tesis strategi pemenangan pasangan calon bupati dan wakil
bupati campuran puri dan nonpuri karena memiliki hubungan erat dengan
3
strategi peraihan kekuasaan, namun dalam buku ini tidak dijelaskan secara
detail soal taktik dan teknikdalah peraihan kekuasaan itu.
Buku yang ditulis oleh Keith R.Leg, 1983, Tuan Hamba dan
Politisdisebutkan pencapaian kekuasaan juga tak terlepas dari tuan hamba,
intisari dari tautan tuan hamba (patron-klien-relationship) terletak pada
jumlah yang terlibat. Namun tautan tuan – hamba di bidang politik terletak
pada jumlah yang terlibat. Tautan hubungan tuan –hamba pada umumnya
berkenaan dengan pertama hubungan diantara para pelaku atau perangkat
para pelaku yang menguasai sumber saya manusia yang tidak sama.
Tolok ukur dari hubungan ini adalah perbandungan kekayaaan,
kedudukan, atau pengaruh pihak yang terlibat dalam hubungan tuan –
hamba. Dalam beberapa sistem politik masih terdapat politik tuan–hamba,
dalam tautan tuan –hamba ini mendapatkan keuntungan materi, sedang
pihak tuan menerima keuntungan secara simbolis, kesetian dan keuntungan
“politik.” Kedua hubungan yang bersifat khusus, hubungan pribadi yang
sedikit mendapatkan kemesraan.
Menurut Lande inti sari dari hubungan ini unsur kemesraan ini
adalah pihak tuan memperlihatkan kesetian yang hampir seperti orang tua
tanggap kepada kebutuhan pihak hamba dan pihak hamba menunjukkan
kesetiaan seorang anak kepada tuan. Ketiga hubungan yang berdasarkan
asas saling menguntungkan dan saling memberi serta menerima. Hubungan
ini bisa timbul dengan adanya sekutu, hubungan pribadi serta keputusan
mengadakan pertukaran didasarkan atas saling menguntungkan dan timbal
4
balik (Legg R Keith,1983 : 10-29).Tulisan ini memiliki kaitan erat dengan
penelitian tesis ini, namun dalam buku tersebut tidak disebutkan secara
detail soal dimana kekuasaan itu terjadi.
Bali Pada Abad XIX ( Agung Gde Agung, I Gde, 1989) disebutkan
soal peranan Raja Gianyar dalam mempertahankan teritorialnya pada masa
penjajahan Belanda. Dalam buku ini tertulis sejarah Pulau Bali dalam abad
ke -19 dengan masuknya pengaruh Belanda, buku ini memiliki relevansi
dengan penelitian ini karena dalam buku itu juga dikupas soal peranan raja
Gianyar dalam mempertahankan teritorialnya dan masih memiliki pengaruh
sampai saat ini, namun dalam buku itu tidak ada strategi pemenangan Puri
dan Non Puri dalam meraih kemenangan.
Anak Agung Ari Dwipayana ( 2001 ) menerbitkan buku dengan
judul kelas kasta, pergulatan kelas menengah di Bali. Dalam buku ini Ari
Dwipayana struktur sosial masyarakat Bali pada masa
kerajaaan,menampakkan bentuk dan susunan yang bersifat feodal. Raja
adalah penguasan pemerintahan yang tertinggi yang juga bertindak sebagai
Kepala Agama dan Hakim tertinggi.Wilayah kerajaan dibagi atas kekuasaan
administratif yang dikepalai oleh seorang punggawa, yang biasanya ditunjuk
dari keluarga raja yang terdekat.Raja dan keluarganya dalam system sosial
di Bali disebut sebagai golongan “Puri” yang merupakan golongan pemilik
sebagian besar tanah yang ada diwilayah suatu kerajaan di Bali. Tanah milik
keluarga Puri sering disebut sebagai tanah “Druwe Puri,” yang
membedakan dengan tanah milik rakyat atau parekan . Kedudukan
5
dominasi bangsawan didukung dan dilegitimasi oleh suatu kultur hegemoni
“kasta” atau sering disebut Tri Wangsa yakni Brahmana Wangsa, Ksatria
Wangsa dan Jaba Wangsa.
Dengan adanya kultur hegemoni “Tri Wangsa” ini kelas petani atau
parekan harus tunduk pada kelas bangsawan. Para bangasawan Puri masih
dianggap sebagai keturunan dewa-dewa yang memiliki kekuasaan tang
dilimpahkan kepada Tuhan kepadanya. Golongan rohaniawan atau pendeta
menempati posisi istimewa pada waktu itu.Dalam hal ini Clifford Greetz
melihat suatu fenomena terjadinya transformasi kelas dalam masyarakat
Bali yakni terjadi transformasi kelas feodal (Puri) ke kelas
borjuis.Disamping menjadi bourjuasi, kelas bangsawan juga memasukii
kelas menengah baru, yang semakin berkembang dengan system
kapitalisme. Banyak golongan Puri yeng berperan professional, manager,
akademisi, serta birokrat.
Perubahan terus terjadi hingga perlawanan kepada kaum bangsawan
terjadi hal ini ditandai dengan gerakan kultur kelas menengah baru Jaba
Wangsa muncul pertama kali pada tahun 1921 ditandai dengan berdirinya
perkumpulan kala warta (Koran) Surya Kanta yang anggotanya terdiri dari
golongan Jaba.
Perkumpulan ini menuntut mengubah adat yang bertentangan
dengan kemajuan jaman dan menghendaki keterbukaan dalam menduduki
posisi ekonomi dan politik bagi kaum Jaba Wangsa.Buku (Dwipayana,
2001 : 76-83). Dalam buku ini memiliki relevansi dengan penelitian ini
6
karena peran puri atau kalangan bangsawan telah bergeser seiring dengen
perkembangan jaman.Namun dalam buku ini tidak diungkapkan soal
strategi peraihan kekuasaan puri diera globaliasi saat ini.
Selain itu buku The Spell Of Power, sejarah Politik Bali(2009) yang
ditulis oleh Henk Schulte Nordholt, dalam buku ini dijelaskan secara detail
bagaimana kekuasaan para raja di Bali.Buku yang merupakan kajian
antropologi historis mengenai tatanan politik di Bali antara tahun 1650 dan
1940 itu difokuskan pada salah satu kerajaan di Bali Selatan yakni Mengwi,
analisi buku ini menelusuri pergolakan dan transisi selama tiga abad
didaerah tersebut.Adapun cerminan seorang raja kala itu berdasarkan
sumber VOC mengindikasikan bahwa Cokorda Agung Agung Anom
sebagai raja yang gagah berani. Hal ini dibuktikan dengan berjuang keras
untuk mencapai pusat kekuasaan, empat ratus tahun yang sebelumnya dari
kerajaan Majahpahit. Usaha pertamanya pada tahun 1714, ketika itu Agung
Anom memutuskan untuk :
‘pergi bersama sejumlah tentara ke Madja Pait untuk menaklukkan
Daerah dibawah kekuasaan Gusti Agung, seperti masa dulu, ketika
pemimpin oleh kakek buyutnya (leluhur pendahulu) dengan maksud
membangun kembali tempat yang sudah hancur itu menjadi jaya
dan negara yang berwibawa,” (2009 : 39)
7
Buku setebal 481 memiliki relevansi dalam kajian ini sebagai
referensi bagaimana kuatnya peran dan fungsi seorang raja yang merupakan
kalangan Puri atau kaum bangsawan dijaman itu, namun dalam buku ini
tidak membahas soal campuran Puri dan Nonpuri dalam meraih kekuasaan.
Buku Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik(2004) dengan editor I
Wayan Ardika dan Darma Putra. Dalam buku ini diungkapkan soal
perseteruan antara Golkar dan PDIP dalam memperebutkan simbol-simbol
kekuasaan.Kedua partai ini memiliki jaringan untuk masuk ke simbol
kekuasaan masyarakat Bali yakni lembaga-lembaga sosial seperti desa adat,
maupun Puri (rumah kediaman para bangsawan).
Puri pada umumnya dimaksudkan sebagai rumah kediaman raja
(istana), yang dijawa disebut pura (baca puro).Namun setelah jaman
kolonial, tidak semua Puri berkonotasi sebagai bekas istana raja, banyak
sekali Puri yang dulunya dihuni oleh bawahan raja, sepeti punggawa
misalnya Puri Ubud, Ubud, Peliatan dan Tegallalang di Gianyar.Basis
massa penguasa puri ini, basis mereka tidak lagi bulat seratus persen seperti
dijaman kerajaan. Sekalipun demikian kiprah mereka dalam dunia politik
masih diperhitungkan oleh para pimpinan partai politik ditingkat
pusat.Boleh dibilang mereka menjadi rebutan.
Kondisi inilah yang melahirkan tokoh –tokoh berbasis puri pada
dewasa ini seperti Anak Agung Puspayoga, Anak Agung Oka Ratmadi, dua
saudara tiri dari Puri Satria, Badung ( yang kini masuk wilayah administratif
Kota Denpasar), Anak Agung Gde Agung Bharata, SH dari Puri Gianyar.
8
Ketiga elit puri ini adalah orang –orang berpengaruh di PDIP. Sedangkan
didalam Partai Golkar muncul nama –nama seperti I Gusti Ngurah Alit
Yudha ( Putra pahlawan I Gusti Ngurah Rai dari Puri Carangsari ( Salah
satu manca Kerajaan Mengwi), I Gusti Ketut Alit Adhiputra dan Anak
Agung Ngurah Permadi dari Puri Pemecutan Badung (kini termasuk
wilayah administratif Kota Denpasar) dan Cokorda Budi Suryawan dari Puri
Agung Ubud. Mereka adalah tokoh Puri yang memiliki akses massa yang
belum tentu dimiliki oleh tokoh puri lainnya. Artinya tidak semua tokoh
puri memiliki massa, sebab dalam politik kotemporer ini hanya tokoh puri
yang kaya sekaligus royal akan memiliki massa diluar teritorialnya
tradisionalnya.
Ukuran royal pada jaman saat ini adalah mampu memberikan
perhatian kepada rakyatnya bisa berbentuk penyama brayaan (suka-duka),
seperti rajin berderma, jika ada warga yang sedang membangun balai banjar,
dan ikut bergotong-royong. Lebih penting lagi, tokoh puri harus mampu
membela dan memenuhi kepentingan rakyatnya misalnya mencarikan
pekerjaan. Sedangkan ukuran royalnya bersedia memberikan sumbangan
materi untuk menyokong kegiatan kepemudaan ditingkat desa maupun
banjar seperti penggalian dana untuk bazzar, sumbangan pembuatan ogoh-
ogoh, lomba layang-layang dan lain sebagianya.
Pada pemilu Legislatif tahun 2004, terlihat jelas tokoh Puri yang
menjadi kendaraan partai politik, baik Golkar maupun PDIP sudah tertatih
menggunakan jaringan sosial-politik tersebut.Disini memang menjadi
9
hubungan timbal balik antara puri-partai politik, tidak jauh bedanya dulu
antara puri-negara dijaman penjajahan.
Didalam menentukan pilihan partai berlaku konsep berseberangan
atau mapapas. Pokoknya asal beda dengan lawan, tidak peduli tingkat
kedalaman idiologi partai. Pangkalnya adalah dendam sejarah, warisan
politik di jaman kerajaan, terutama di akhir abad XIX, berlanjut pada jaman
kemerdekaaan ( siapa NIca dan siapa Republik), berlanjut lagi di jaman
Soekarno (Siapa PNI, PSI, atau PKI) dan ke jaman Soeharto ( siapa PNIatau
PDI dan siapa Golkar).
Jaringan politik Puri berbentuk piramida.Puncak piramida diduduki
oleh orang Puri.Dibawah Puri ada Jero, yang masih memiliki hubungan
geneologis dengan jero,bahkan bisa langsung dengan Puri.Wilayah sebuah
Puri bisa mencapai empat kecamatan bahkan lebih.Satu kecamatan terdiri
dari beberapa desa dan setiap desa membawahi beberapa banjar.Di setiap
banjar jumlah pendukunganya berkisar 100 sampai 1000 kepala keluarga.
Di setiap jaman, terjadi persaingan antarjero atau jaringan tradisional
Puri mengikuti persaingan ditingkat induk, puri masing-masing. Barang
siapa yang mampu menundukkan hati penglingsir puri terutama yang kaya,
sekaligus royal maka sekurang –kurangnya akan bisa memperoleh lima
puluh persen suara, suatu perhitungan yang sangat kasar sebab kadang –
kadang bisa lebih. Lebih beruntung kalau dapat penglingsir yang tak hanya
punya ruang kapitalis, kekuasaan lintas desa yang dibangun melalui konsep
10
neopatron-client relationship, hubungan antara buruh dan majikan,
karyawan dan owner perusahaan.
Diluar kekuasaan puri, partai Politik juga mencari massa dari sisa
pangsa pasar lainnya melalui investor politik orang yang menanamkan
modal,uang dan waktu untuk meraih keuntungan ekonomi dan sosial
melalui partai politik, mereka menjadi broker atau perantara partai dengan
rakyat. Mereka berasal dari lingkungan luar puri, namun memperoleh status
sosial tinggi karena jabatan politik atau keberhasilan di bidang ekonomi (
Ardika, 2004 : 304-306).
Buku ini memiliki relevansi dengan penelitian karena perang
kekuasaan menggunakan simbol puri serta strategi penggarapan kekuasaan
sampai di tingkat Banjar terus terjadi pada setiap hajatan Pemilu, namun
buku ini tidak menjelaskan secara detail soal campuran puri dan nonpuri
dalam meraih kekuasaan.
Buku Filsafat Demokrasi (2005)yang ditulis oleh Hendra Nurtjahjo,
dalam buku ini ditulis soal Teori Kedaulatan Raja, raja dianggap memiliki
kedaulatan yang tinggi karena dukungan kekuatan kepercayaan, karismatik,
kewibaaan, kesucian keturunan, sekaligus sebagai representasi dari
kekuasaan Tuhan yang diberikan secara turun temurun kepada keluarganya.
Ada aura yang melingkupi tubuh raja sehingga kalau berjalan maka seluruh
tanaman akan subur dan kedamaian akan datang.
Hal ini menjadi kepercayaan rakyat sehingga tumbuh secara sukarela
maupun pemaksaan bahwa keluarga Purilah yang pantas memimpin rakyat
11
atau negara. (Hendra Nurtjahjo, 2005 : 32). Buku ini memiliki relevansi
dengan kajian, karena kepercayaan kepada keluarga Puri sudah ada sejak
turun temurun, namun dalam buku ini tidak mengupas secara mendetail soal
strategi pemenangan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati campuran
puri dan nonpuri diera saat ini.
Tesis relasi kekuasaan Puri Ubud dengan partai Politik pada Pilkada
tahun 2008 Kabupaten Gianyar Provinsi Bali yang ditulis oleh I Nyoman
Wilasa membedah soal bagaimana pengaruh relasi kekuasaan Puri Ubud
dengan hubungan tuan hambanya, tesis ini ada relevansinya dengan
penelitian ini, perbedaanya sangat mencolok karena dalam tesis itu menulis
satu puri yakni tidak membahas soal peranan calon Wakil Bupati dari
Nonpuri serta strategi dalam dalam perebutan kekuasaan.
Memahami Ilmu Politik (1992) yang ditulis oleh Ramlan Surbakti
menyatakan masalah yang muncul dari konsep kekuasaan menurut budaya
jawa berbeda sekali dengan tradisi teori politik barat yaitu bukan bagaimana
melaksanakan kekuasaan tetapi bagaimana mengakumulasi kekuasaan?Oleh
karena itu yang banyak dipermasalahkan dengan budaya Jawa adalah
bagaimana memusatkan dan memelihara kekuasaan, bukan bagaimana
menggunakan secara tepat.Kekuasaan ala Jawa dipandang memiliki
kesakten atau orang yang memiliki kemampuan lebih serta menganggap diri
sebagai titisan dewa.
Cara lain yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan
menurut Budaya Jawa seperti ungkapan berikut “ Siapa yang mencari
12
kekuasaan tidak akan mendapatkannya,” cara ini merupakan upaya sadar
untuk mencari, memusatkan dan mempertahankan kekuasaan. (Surbakti
Ramlan, 1992 : 82-84). Buku ini memiliki relevansi dengan penelitian
utamanya soal strategi meraih kekuasaan atau kemenangan paslon campuran
puri dan nonpuri pada Pemilukada tahun 2012, tetapi dalam puri ini tidak
diungkap secara mendetail bagaimana peranan tokoh puri dan nonpuri.
Buku berjudul persaingan legitimasi kekuasaan, dan marketing
politik (2010)yang ditulis Firmanzah menulis dalam pragmatisme politik
yang menjadi penting adalah kekuasaan.Sehingga partisipasi politik hanya
manifestasi dari keinginan berkuasa.Karena dorongan yang kuat
“kekuasaan” menjadi tujuan akhir dari berpolitik. Mereka yang masih belum
memenangkan Pemilu akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat meraih
kekuasaan. Sebaliknya bagi mereka yang sedang berkuasa akan mati-matian
untuk mempertahankan kekuasaan. (Firmanzah, 2010 : 47). Buku ini
memiliki relavansi dengan tesi strategi pemenangan strategi calon bupati
dan wakil bupati campuran puri dan nonpuri dalam meraih kekuasaan
Buku berjudul Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat ditingkat
lokal yang ditulis oleh Lili Romli, 2007 disebutkan dalam demokrasi ini
salah satunya akan memunculkan dilema. Di antara dilema yang akan
muncul adalah bahwa kepala daerah yang terpilih belum memiliki
kemampuan dan kecakapan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
Namun karena faktor popularitas, pola hubungan patronase, politik uang dan
sebagainya seseorang yang tidak memiliki kemampuan bisa jadi terpilih,
13
itulah demokrasi.Buku ini memiliki relevansi dengan tesis ini, namun dalam
buku itu tidak menjelaskan secara detail soal bagaimana perebutan
kekuasaan terjadi ditingkat lokal.
Buku Yang Pusat dan Yang Lokal antara dominasi, resistensi dan
akomodasi politik di tingkat lokal yang ditulis oleh Nick T. Wiratmoko dan
kawan – kawan menyebutkan demokrasi sering diimpikan oleh banyak
orang Indonesia, karena sering dianggap sebagai obat mujarab bagi
perkembangan politik yang kondusif, ternyata justru membangkitkan
sintemen-sintemen primordial. Kebebasan yang disediakan system
demokratis kepada masyarakat kita justru mendorong orang untuk
berorientasi kelompok. Dengan kata lain, demokratisasi dalam politik telah
menyuburkan kembali bibit-bibit primordialisme yang masa sebelumnya
terasa mengendap dalam sikap masyarakat. Buku ini memiliki relevansi
dengan penelitian tesis ini, namun dalam buku ini tidak menyebutkan secara
akurat soal strategi pemenangan yang menyebabkan tidak sehatnya
demokrasi di tingkat lokal.
Dampak Otonomi Daerah di Indonesia Merangkai Sejarah Politik
dan Pemerintahan Indonesia yang diedit oleh Bungaran Antonius
Simanjuntak secara gamblang menyebutkan soal kegagalan otonomi daerah
selama ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan pula dari buruknya kualitas
pilkada.Umum diketahui kalau pelaksanaan Pilkada sejak tahun 2005 sarat
degan politik uang.Keadaan ini jelas menyulitkan munculnya kepala daerah
14
yang terpilih memiliki integritas, kompetensi, kapasitas, dan keterpihakan
kepada kesejahteraan rakyat.
Dengan politik uang tidak sedikit pasangan incumbent, khususnya
yang menjadikan birokrasi tersebut bukan saja membuat keberadaan
birokrat menjadi tersekat –sekat oleh kepentingan politik tertentu,
melainkan merusak system dan fungsi birokrasi.Pada kenyataannya kondisi
itu mengakibatkan upaya membangun birokrasi yang professional pupus
karena politisasi birokrasi tidak memungkinkan diterapkannya merit
system.Dan jargon PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat hanya
menjadi ungkapan retoris.( Bungaran, 2013 : 158). Tulisan yang tertuang
dalam buku ini memiliki relavansi dengan penelitian tesis ini, tetapi dalam
buku tersebut tidak menyebutkan secara mendetail soal bagaimana jargon
PNS dalam melanggengkan kekuasaan serta menghegemoni bawahannya
untuk memilih salah satu pasang calon.
Sistem politik Indonesia, konsolidasi demokrasi pasca orde baru
yang ditulis oleh Kacung Marijan secara konseptual, metafora itu terwujud
dari tiga modal utama yang dimiliki oleh para calon ketika hendak
mengikuti konstestasi di dalam Pilkada secara langsung. Ketiga modal itu
adalah modal politik ( political capital), modal sosial (social capital) dan
modal ekonomi ( economical capital). ( Kacung Marijan, 2010 : 184). Buku
ini memiliki relavansi dengan penelitian tesis ini utamanya soal modalitas
yang dimiliki pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Campuran Puri dan
Nonpuri dalam memenangkan Pilkada Gianyar tahun 2012.
15
2.2 Konsep
Konsep adalah terminologi teknis yang merupakan komponen –
komponen dari kerangka teori.Beberapa konsep yang merupakan istilah
kunci dalam kajian ini, terlebih dahulu diuraikan pengertian masing–masing
2.4.1. Strategi Pemenangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) on line Strategi
adalah (1) ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa (-bangsa)
untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai, (2)
ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam
perang, dalam kondisi yang menguntungkan: sebagai ia memang
menguasai betul – betul seorang perwira di medan perang, (3) rencana yang
cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus, (4) tempat yang
baik menurut siasat perang. Sedangkan Pemenangan menurut Arti.com
memiliki arti suatu proses, cara, perbuatan memenangkan, pemenangan juga
berarti suatu proses untuk mencapai tujuan.Pada buku Menang dalam
Pemilu Ditengah Oligarki Partai (2008) disebutkan strategi adalah segala
rencana dan tindakan yang dilakukan untuk memperoleh kemenangan pada
Pemilu. Strategi mencakup berbagai kegiatan kegiatan diantaranya
menganalisa kekuatan dan potensi suara yang akan diperoleh dalam
pencoblosan, juga untuk mengetahui metode pendekatan yang diperlukan
terhadap pemilih. (Joko, 2008 :160).Jadi strategi pemenangan adalah segala
rencana dan tindakan yang dilakukan untuk memperoleh kemenangan pada
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Gianyar.
16
3.4.1. Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati
Secara umum berdasarkan UU No 15 tahun 2011 tentang
penyelenggara Pemilu Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan Pemilihan Umum,
selanjutnya disingkat Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 59 ayat 1
disebutkan Peserta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah
adalah :
a. Pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik.
b. Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
(2) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila
persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari
akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD
di daerah yang bersangkutan.
Kendatipun calon perseorangan pada Pemilukada tahun 2012 bisa
untuk mencalonkan diri, namun para calon Bupati dan Wakil Bupati lebih
17
memilih menggunakan kendaraan partai politik untuk mencalonkan diri ke
KPU Kabupaten.
Tepatnya pada hari Minggu 29 Juni 2012, pasangan Anak Agung
Bharata, SH –I Made Agus Mahayastra atau dikenal dengan paket BAGUS
12 mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Gianyar
bersama partai pengusungnya yakni PDIP dan Demokrat.Selanjutnya lawan
politiknya yakni Cokorda Putra Nindia dan Anak –Agung Ngurah atau
dikenal dengan paket NING juga mendaftar ke KPU Gianyar. Paket NING
ini diusung dari Partai Golkar, PNI Marhaenisme, PPIB.
4.4.1. Campuran Puri dan Nonpuri
Menurut Kamus Besar Indonesia campuran berarti (1) sesuatu yg
tercampur; (2) sesuatu yg dicampurkan atau untuk mencampurkan; (3)
gabungan; kombinasi; (4) tidak asli; (5) peranakan (bukan keturunan asli)
Dalam Buku Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik (2004) dengan
editor I Wayan Ardika dan Darma Putra pada essai Prediksi Pemilu
Presiden Tahap Pertama disebutkan Puri itu diartikan rumah kediaman
bangsawan. Puri pada umumnya dimaksudkan sebagai rumah kediaman raja
(istana), yang dijawa disebut pura (baca puro). Namun setelah jaman
kolonial, tidak semua Puri berkonotasi sebagai bekas istana raja, banyak
sekali Puri yang dulunya dihuni oleh bawahan raja, seperti punggawa
misalnya Puri Ubud, Ubud, Peliatan dan Tegallalang di Gianyar. ( Ardika
dan Putra, 2004: 304).
18
Buku Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-abad ( I Ketu Wiana dan
Raka Santri, 1993 :22) golongan Nonpuri atau bertempat diluar Jero, Puri dan
Geria, mereka disebut orang jaba.Pengertian campuran puri dan non Puri
disini adalah suatu kombinasi golongan bangsawan yang menempati atau
rumahnya di Puri dengan golongan jaba atau sudra yang rumahnya berada di
luar Puri.
Secara menyeluruh pengertian strategi pemenangan pasangan calon atau
paslon bupati dan wakil bupati campuran puri dan nonpuri adalah segala
rencana dan tindakan yang dilakukan untuk memperoleh kemenangan menjadi
bupati dan wakil bupati dari gabungan atau kombinasi golongan bangsawan
puri dan nonpuri atau diluar puri atau mereka dikenal dengan istilah dari
golongan sudra atau jaba.
2.3 Landasan Teori
Landasan teori adalah teori –teori yang dianggap paling relevan
untuk menganalis objek. Sebagai alat teori itulah yang dianggap memadai,
paling tepat, baik kaitannya dengan hakekat objek maupun kebaruannya (
Ratna, 2010 : 281). Teori yang relevan berdasarkan objek penelitian tesis
strategi pemenangan Calon Bupati dan Wakil Bupati campuran Puri dan
Nonpuri adalah teori hegemoni, teori praktek dan teori wacana kuasa
pengetahuan.Ketiga teori ini dapat memperkuat mengungkap fakta-fakta yang
ada dilapangan.
19
2.3.1 Teori Hegemoni
Antonio Gramsci adalah pemikir Neo-Marxis kelahiran Ales,
Sardinia, Italia pada tanggal 22 Januari 1891 dan meninggal di Roma. 27
April 1937. Antonio Gramsci merupakan salah satu pemikir kiri karena sifat
perjuangannya dan garis pemikiran Marxian yang mengental dalam
coraknya tulisannya dalam usahanya memberdayakan penentangan terhadap
rezim berkuasa kala itu, dan juga mengkontrsuksi teori sosial-politiknya.
Pemeberdayaan seluruh sisa hidupnya sebagain besar di penjara dalam
mengulas dan menafsirkan secara kritis pemikiran pendahulunya maupun
sosial –politik di jamannya mensyaratkan kapabilitas, keberanian dan
kepakaan dirinya yang harus berhadapan dengan dinding kekuasaan
(Santoso, 2012 : 72)
Dalam konteks studi ini akan diuraikan lebih detail tentang konsep
hegemoni dari Gramsci dalam menganalisis penyebab kemunculan calon
bupati dari kalangan puri berstrategi menggandeng tokoh kalangan nonpuri
dalam strategi pemenangan calon bupati dan wakil bupati campuran puri
dan nonpuri di Gianyar, disamping pada proses perebutan kekuasaandiduga
jargon-jargon politik serta pasangan calon melakukan hegemoni untuk
meraih kekuasaan. Bagi Gramsci politik bukanlah sekedar cara untuk
mencapai kekuasaan, tetapi lebih dari itu, politik itu adalah bagaimana kita
mampu mengakomodasikan semua kepentingan dari kelompok masyarakat
dalam sebuah aktivitas yang mempunyai sinergisitas.Dasar epistemologis
Gramsci dalam hegemoni ini bisa disumberkan dari konsep kesadaran.Suatu
20
pengetahuan atau ideologi atau keyakinan baru yang dimasukkan secara
terselubung, pembisaaan maupun dengan pemaksaan (doktrinasi) ke dalam
atmosfir kesadaran kolektif –massif, telah memunculkan kesadaran yang
relatif baru.Sumber pengetahuan yang dimiliki individu dalam suatu
kelompok, tidak mudah ditebak asalnya, bisa saja kesadaran dan
pengetahuan yang selama ini mengendap dalam masyarakat merupakan
program hegemonik yang ditanamkan oleh kelompok tertentu.(Santoso,
2012 : 82-88).
Hegemoni merujuk tentang pengertian tentang situasi sosial-politik
yang dalam terminologi Gramsci disebut momen, dimana filsafat dan
praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang.Dominasi
merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam
sebuah lembaga dan manifestasi perorangan.Pengaruh dari spirit ini
berbentuk moralitas adat, relegi, prinsip politik dan semua relasi sosial,
terutama dalam intelektual.( Nezar Patria dan Andi Arif, 1999 : 121).
Gramsci mengubah makna hegemoni dari strategi (sebagaimana
menurut Lenin) menjadi sebuah konsep yang seperti halnya konsep marxis
tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas dan negara, menjadi sarana
untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya.Ia
mengembangkan gagasan tenan kepemimpinan dan pelaksanaannya sebagai
syarat untuk memperoleh kekuasaan negara ke dalam konsepnya tentang
hegemoni.
21
Suatu kelompok sosial biasa, bahkan harus, menjalankan
kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan ( hal ini jelas
merupakan syarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut) kesiapan
itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan
kekuasaan, bahkan seadainya kekuasaan tetap berada ditangan kelompok,
maka mereka harus tetap memimpin ( Gramsci dalam Santoso, 2012 : 89)
Konsep hegemoni ini bisa dilacak melalui penjelasan Gramsci
tentang supremasi kelas. Menurutnya supremasi sebuah kelompok mewujud
dalam dua cara yakni dominasi dan kepemimpinan intelektual. Hegemoni
menunjuk pada kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral
maupun intelektual, yang membentuk sikap kelas yang dipimpin.Ini terjadi
dalam citra konsensual.Konsensus yang terjadi antara dua kelas ini
diciptakan melalui pemaksaan maupun pengaruh terselubung melalui
pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat kekuasaan. Dengan kata
lain Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui
mekanisme consensus daripada melalui penindasan terhadap kelas sosial
lainnya.
Pada hakekatnya hegemoni itu merupakan upaya untuk menggiring
orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka
yang ditentukan. (Nezar Patria dan Andi Arief, 1999 : 121).
22
2.3.2 Teori Praktik
Pierre Bourdieu adalah sosiolog Prancis kelahiran 1 Agustus 1930
dan meninggal 23 Januari 2002. Teori sosial Pierre Boudieu telah menjadi
rujukan utama dalam sosiologi dan studi budaya sejaka awal tahun 1970 –
an. Karya bourdieu juga memiliki dampak siginifikan pada disiplin ilmu
yang berbeda misalnya sosiologi, sejarah, kriminologi, hukum dan bahan
studi tentang terjemahan.Di pusat proyek sosiologis Bourdieu adalah teori
tentang praktek manusia yang mengawinkan pendekatan subject yang
berpusat agen terhadap teori sosial dengan penjelasan bentuk kehidupan
sosial. Meski demikian, satu tema yang mempersatukan semua karya
Bourdieu adalah kritik terhadap dinamika budaya, kritik ini menyebarkan
konsep –konsep kunci yakni habitus, ranah atau field, symbolic power atau
kekuasaan simbolik dan symbolic violence atau kekerasan simbolik dan
modal budaya (Edkins Jenny dan Nick Vaugan William, 2010 : 134).
Dalam konteks studi ini akan diuraikan teori ini pemikiran penting
Boedieu yaitu habitus, ranah atau field, modal serta kekuasaan simbol dan
kekerasan symbol untuk menganalisa strategi pemenangan calon pasangan
bupati dan wakil bupati campuran puri dan non puri.Secara sederhana,
habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, tetapi Bourdieu (dalam
Haryatmoko, 2003:9) menyatakan bahwa habitus merupakan
ketrampilanyang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang
kemudian diterjemahkannya menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya
alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus
23
mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui
kombinasi struktur objektif dan sejarah personal.Disposisi diperoleh dalam
berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu ranah, dan
mengimplikasikan suatu penyesuaian yang subjektif terhadap posisi itu
(Harker, R &Mahar, dalam Mahar dkk. Editor, 2005: 13-14).
Bourdieu menggunakan konsep ranah (field), yakni sebuah arena
sosial di mana orang bermanuver dan berjuang, dalam mengejar sumberdaya
yang didambakan.
Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieuhendaknya tidak
dipandang sebagai ranah yang berpagar disekelilingnya,melainkan sebagai
ranah kekuatan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah
tersebut sebagai dinamis, suatu ranah dimana beragam potensi eksis
(Harker, R &Mahar, dalam Mahar dkk.Editor, 2005: 9-10) Ranah selalu
didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat diantara
posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi objektif yang
terdapat diantara titik-titik simbolik.Struktur ranah, didefinisikan pada suatu
momen tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal
yang terbagi-bagi (Harker, R &Mahar, dalam Mahar dkk editor, 2005: 10-
11).
Konsep ranah ini menjadi sangat menentukan dikarenakan dalam
masyarakat sangat terdiffresiasi dalam lingkup-lingkup hubungan objektif
mempunyai kekhasan yang tidak bisa direduksi pada hubungan yang
mengatur bidang lain. Namun pada dasarnya dalam setiap masyarakat, ada
24
yang menguasai dan dikuasai, dimana dalam pembedaan ini, terletak prinsip
dasar pengorganisasian soaial.Namun dominasi ini tergantung pada situasi
modal dan strategi pelaku (Haryatmoko, 2003:11).
Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu
energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena
perjuangan dimana ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan
yang terkait dengan kelas menerima nilainya dan efektivitasnya dari hukum-
hukum khas setiap arena dalam praktik artinya dalam suatu arena khusus,
semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi atau budaya)
(Haryatmoko, 2003:11).
Bourdieu menyatakan ada empat macam modal, yaitu modal budaya, modal
sosial, dan modal simbolik.Modal budaya merupakan pengetahuan yang
diperoleh, kode-kode budaya, etika, yang berperan dalam penentuan dan
reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolik tidak terlepas dari
kekuasaan simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk
mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan
ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi. Sedangkan modal sosial termasuk
hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan
sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan
sosial (Fashri, 2014 : 109). Modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah
tersebut dapat memiliki arti,keterkaitan antara ranah, modal dan habitus
bersifat langsung.
25
Konsepsi penting lainnya dari konsepsi ranah dari Bourdieu adalah volume
atau distribusi capital dalam ranah.Dalam beberapa hal konsepsi ini
merupakan aspek paling sulit dalam keseluruhan teorinya.Pada level dasar,
konsep ini memiliki dua dimensi. Pertama, kapital merupakan pertaruhan
para peserta yang sama dalam upaya mereka mengejar tujuan –tujuan. Maka
dari itu kapital adalah berbagai bentuk power atau kekuasaan dalam field
atau ranah tertentu (Edkins Jenny dan Nick Vaugan William, 2010 : 144).
Kapital bisa mengambil berbagai bentuk, kapital bisa berupa modal
ekonomi dalam kepemilikan harta benda dan sumber-sumber
keuangan.Akan tetapi kapital juga bebentuk modal budaya atau modal
simbolik.Contoh bagi modal budaya antara lain fasilitas verbal, kesadaran
budaya, ketrampilan yang diperoleh, pengetahuan akademik khusus dan
kualifikasi pendidikan.Habitus, ranah, capital dan symbolic violence adalah
unsure –unsur sentral dalam teori budaya tentang tindakan yang dilontarkan
Boerdieu.Dalam teori ini, pilihan dan strategi adalah hasil interaksi antara
habitus agen dan ranah tempat si agen bertindak. Interaksi ini adalah proses
dialektika yang berkelanjutan :
Hubungan antara habitus dan ranah atau fieldadalah yang paling
utama dari pengondisian, ranah membentuk struktur habitus yang
merupakan produk dari penggabungan tuntutan –tuntutanimanen dari ranah,
tetapi juga hubungan antara pengetahuan dan kognisi konstruktif : habitus
memberikan kontribusi berupa konstitusi pada ranah sebagai dunia
pemaknaan, dikaruniai dengan akal dan nilai, yang layak investasi yang
26
diperlukan untuk energi. (Bourdieu dalam Edkins Jenny dan Nick Vaugan
William, 2010 : 146)
2.3.3 Teori Wacana Kuasa Pengetahuan
Kuasa adalah konsep Foucault yang paling unik, sekaligus sulit. Foucault
tidak pernah memberi definisi yang ketat mengenai apa yang dimaksudnya
dengan kekuasaan. Ia hanya menjelaskan bagiamana kuasa bekerja. Baginya
kuasa tidaklah represif dan negatif, kuasa lebih merupakan sesuatu yang
produktif dan bekerja dengan apa yang disebutnya sebagai regulasi dan
normalisasi.Pemikirannya mengenai kuasa, sering kali disebut sebagai kritik
paling tajam terhadap Marxisme.
Berbeda dengan Marx, Foucault melihat kuasa bukanlah sebagai milik
melainkan strategi. Kuasa tidak dapat dialokasikan tetapi terdapat dimana-
mana, kuasa tidak selalu bekerja melalu penindasan dan represi, tetapi
terutama melalui normalisasi dan regulasi. Terkahir kuasa tidaklah
bersifatdestruktif melainkan produktif.
Kuasa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimiliki berarti ia tidak dapat
diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Kuasa bukan milik
seorang kepala negara, yang diperolehnya dari rakyat, dan bisa begitu saja ia
delegasikan kepada mentri-mentrinya. Sehabis masa jabatannya, habis pula
kuasa yang ada padanya. Kuasa dalam pandangan Foucault tidaklah
demikian, baginya “kuasa dipraktekan dalam suatu ruang lingkup dimana
ada banyak posisi yang secara strategis berakitan satu sama lain dan
senantiasa mengalami pergeseran” (Bertens, 2001: 354).
27
Kuasa oleh karenanya menjadi sangat cair, setiap orang berpotensi
memilikinya.Tidak hanya orang-orang dalam jabatan struktural, kuasa juga
bekerja bahkan pada level terkecil, pada dialog diantara dua orang sahabat,
anak dan orang tuanya, sepasang kekasih sekalipun.Pada satu situasi tertentu
misalnya, sekelompok demonstran dapat lebih berkuasa, dari seorang
presiden.Ketika seorang presiden dipaksa untuk mengeluarkan suatu
kebijakan yang dituntut oleh kelompok demostran, pada saat itu kuasa
bekerja pada kelompok demonstran tersebut.Akan tetapi tentu saja kuasa
yang dimaksudkan Foucault tidak sesederhana itu.Kuasa tidak dapat dilihat
dari satu peristiwa saja, melainkan melalui jalinan berbagai peristiwa yang
salingberkaitan.Oleh karenanya secara sekaligus kuasa tidak dapat
dialokasikan di satu tempat, ia tersebar dimana-mana, ia lebih merupakan
relasi diantara subjek. Kuasa tidak berbentuk negara ataupun organisasi.
Foucault lebih melihat kuasa sebagai efek, seperti halnya angin yang tidak
tampaklangsung,namundapatdirasakanakibatnya.
Kritik Foucault terhadap kuasa dalam terminologi Marxis, tidak hanya pada
bagimana kuasa bekerja.Akan tetapi juga pada penilaian terhadap
kuasa.Foucault tidak pernah menganggap kuasa sebagai sesuatu yang
negatif dan destruktif, seperti yang selama ini diandaikan oleh para pemikir
Marxis.Baginya kuasa bersifat produktif, kuasa selalu merangsang
lahirnyapengetahuan baru.
"Efek-efek kekuasaan tidak perlu lagi digambarkan sebagai yangmenafikan, menindas, menolak, menyensor, menutupi,menyembunyikan. Ternyata kekuasaan itu menghasilkan : ia
28
menghasilkan sesuatu yang rill, menghasilkan bidang-bidang obyekdan ritus-ritus kebenaran. Individu dan pengetahuan melanjutkanproduksi itu."(Foucault dalam Haryatmoko, 2001: 219).
Kuasa bekerja lewat regulasi dan normalisasi, lewat normalisasi dan
regulasilah masyarakat digerakkan.Aturan yang menabukan wanita untuk
berbicara mengenai sex, adalah salah satu bentuk kuasa yang bekerja dalam
masyarakat. Efeknya dapat dilihat dari ekslusi terhadap wanita yang
berbicara sex secara gamblang, biasanya mereka akan dicap sebagai bukan
wanita “baik-baik”. Inilah yang dimaksud Foucault dengan normalisasi.
Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.Kuasa
menemukan bentuknya dalam pengetahuan.Berbeda dengan analisis Marxis
yang masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan, Foucault melangkah
lebih jauh dari itu, baginya setiap pengetahuan pasti mengandung kuasa dan
setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan.Artinya tidak ada
kebenaran, bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah
sekalipun.Biologi, ekonomi, komunikasi, dan banyak disiplin ilmu modern
lainnya, tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk
subjek. Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran akan sifat
pengetahuan yang netral, bagi Foucault adalah strategi kuasa. “Pengetahuan
adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa
memberi kesan ia datang dari subyek tertentu” (Haryatmoko, 2003: 225).
Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai kehendak untuk
mengetahui.Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terinstitusi
menjadi displin pengetahuan.Jika telah demikian, maka bahasa adalah alat
29
mengungkapkan kekuasaan, karena kuasa mendapatkan “kebenaran” dalam
pernyataan-pernyataan ilmiah. Contoh dari apa yang dimaksud Foucault
dengan hubungan kuasa/pengetahuan dapat dilihat dari analisanya mengenai
sejarah kegilaan.
Kalau seorang tenaga medis berhasil mengisolasi kegilaan, bukan
berarti ia memahami kegilaan, tetapi dia memilki kekuasaan atas “orang
gila”. Foucault dengan cara itu ingin menunjukkan ilusi kenaifan ilmu-ilmu
tersebut. Dalam konteks ini, Suveiller et Punir (1975) melukiskan bagimana
bentuk baru kekuasaan semakin meyempurnakan diri dengan bantuan ilmu-
ilmu manusia.(Haryatmoko, 2003:228)
Apa yang dikatakan Foucault dalam buku-bukunya sekaligus
mengikrarkan bahwasanya pengetahuan adalah politik. Ilmu-ilmu manusia
adalah perwujudan kehendak untuk berkuasa, klaim ilmiah dan kebenaran
tidak lain merupakan startegi kuasa. Obyektivitas dan netralitas adalah cara
lain untuk memaksakan kehendak akan kekuasaan. Dari analisanya yang
tajam, jelas Foucault meninggalkan Marxisme dibelakang. Pengetahuan
ilmiah yang dalam klaim Marx adalah satu-satunya cara untuk melihat
kebenaran menembus kabut ideologi kelas berkuasa, kini telah runtuh.
Teori ini relevan dengan tesis strategi pemenangan calon Bupati dan Wakil
Bupati campuran puri dan nonpuri di Gianyar utamanya untuk mengungkap
relasi kuasa pasangan calon untuk meraih kekuasaan di Kabupaten Gianyar.
30
2.4 Model Penelitian
Model penelitian dalam tesis ini menekankan dua hal yang penting
pertama tentang mengapa calon bupati dan wakil bupati campuran puri dan
nonpuri bisa terancang pada Pilkada tahun 2012.Kedua menekankan
bagaimana manuver pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati campuran
puri dan nonpuri memenangkan Pilkada Gianyar.
Sesuai tujuannya penelitian ini bersifat analisis deskriptif kualitif.
Maka dalam analisa data diupayakan menggambarkan fenomena yang utuh
dan apa adanya dilapangan. Selengkapnya model penelitian diperjelas
dengan diagram sebagai berikut :
2.4.1. Diagram Model
Tim Kampanye/Pemenangan
Pilkada Bupati danWakil Bupati GianyarTahun 2012
Demokrasi
MasyarakatPartai
Pendukung
Strategi PemenanganPaket Calon Bupatidan Wakil BupatiCampuran Puri danNonpuri di Gianyar
Mengapapasangan CalonBupati dan WakilBupati Gianyarpada tahun 2012dari kalangancampuran Puridan Nonpuri?
Bagaimana langkah-langkah strategis yangditempuh dalam rangkamemenangkan pasanganCalon Bupati dan WakilBupati Campuran Puridan Nonpuri?
Apa implikasistrategi tersebut,baik dalam tahapan–tahapan PemilihanBupati dan WakilBupati maupundalam programpembangunan diGianyar?