Perkembangan sistem pembayaran di indonesia
Post on 21-Oct-2014
18953 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia i | P a g e
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Akuntansi
Perbankan yang diampu oleh Dr. H. Nugraha, SE, M.Si, Akt dan Dian
Herdian.
PERKEMBANGAN SISTEM
PEMBAYARAN DI INDONESIA
Disusun oleh :
Dea Sudawati (1002049)
Melly Lydea (1006570)
Nurhani (1006386)
Rizky Fauzi (1001323)
JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia ii | P a g e
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur serta mengucapkan Alhamdulillah berkat
Rahmat Allah SWT, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Akuntansi Perbankan.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi,
namun dengan semangat dan kerja keras akhirnya kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak
Dr. H. Nugraha, SE, M.Si, Akt dan Dian Hardiana, S.Pd selaku dosen mata kuliah
Akuntansi Perbankan, atas bimbingan beliau kami dapat menyelesaikan makalah
ini dan tidak lupa pula kepadateman-teman yang telah memberi dukungan dan
semangat dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, kami mohon saran dan kritik yang membangun untuk
pembuatan laporan yang lebih baik nantinya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih.
Bandung,29 Mei 2013
Penyusun
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia iii | P a g e
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 6
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 6
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
1.3. Tujuan ......................................................................................................... 7
1.4. Metode......................................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN TEORI .................................. Error! Bookmark not defined.
2.1. Sistem Pembayaran ..................................................................................... 5
2.1.1. Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ........................... 14
2.1.2. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran .................. 18
2.2. Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran .......... 20
2.2.1. Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang diselenggarakan
oleh Bank Indonesia....................................................................................... 20
2.2.2. Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang diselenggarakan
oleh Pihak di Luar Bank Indonesia ................................................................ 31
2.2.3. Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran di Indonesia .................... 38
2.3. Kebijakan Sistem Pembayaran .................................................................. 44
2.3.1. Upaya Peningkatan Efisiensi dan Keandalan Sistem dengan
Pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II .......................... 44
2.3.2. Kebijakan SKNBI ................................................................................ 49
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia iv | P a g e
2.3.3. Pengembangan Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) ............................................................................. 53
2.3.4. Implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Nasional dalam rangka
Persiapan MEA .............................................................................................. 54
2.3.5. Tahapan Pengembangan National Payment Gateway (NPG) Sistem
Pembayaran Ritel ........................................................................................... 56
2.3.6. Upaya Mewujudkan Interoperabilitas melalui Kegiatan Fasilitasi
Interkoneksi Industri Uang Elektronik .......................................................... 58
2.3.7. Implementasi Standar Nasional Kartu ATM dan ATM/Debet ............ 61
2.3.8. Implementasi Roadmap Pengembangan Sistem Pembayaran dan
Setelmen ASEAN .......................................................................................... 62
2.4. Pengawasan Sistem Pembayaran .............................................................. 64
2.4.1. Pengawasan Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh BI ....... 66
2.4.2. Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar BI ..... 72
2.5. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan ........ 79
2.5.1. Arah Kebijakan dan Pengembangan BI-RTGS/BI-SSSS Generasi II 79
2.5.2. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Kliring Nasional BI ...... 81
2.5.3. Arah Kebijakan dan Pengembangan NPG ke Depan .......................... 83
2.5.4. Arah Kebijakan dan Pengembangan Uang Elektronik........................ 84
2.5.5. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen
ASEAN Dalam Rangka MEA 2015 .............................................................. 85
2.5.6. Penyusunan Konsep RUU Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir
(SPPA) ........................................................................................................... 90
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 100
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 100
3.2. Saran ........................................................................................................ 101
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia v | P a g e
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 102
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 6 | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembayaran menjadi komponen penting dalam setiap kegiatan transaksi
perdagangan barang dan jasa. Suatu perekonomian tidak akan terdapat perdagangan
apabila tidak terdapat pembayaran. Dengan perkembangan teknologi serta makin
besarnya nilai transaksi serta risiko, sistem pembayaran yang aman dan lancar
menjadi semakin penting. Sistem pembayaran selain diperlukan untuk memfasilitasi
perpindahan dana secara efisien, aman dan cepat, juga sangat diperlukan dalam dunia
pasar modal yang menuntut ketepatan, keamanan dalam penyelesaian setiap
transaksinya.
Dinamika kehidupan masyarakat dewasa ini, telah melahirkan pola pemikiran
baru yang turut berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Sejalan dengan
perkembangan zaman teknologi yang pesat, pola dan sistem pembayaran dalam
transaksi ekonomi terus mengalami perubahan. Begitupun pada bank yang
memberikan inovasi-inovasi baru pada masyarakat untuk memudahkan masyarakat
dalam bertransaksi. Kemajuan teknologi dalam sistem pembayaran menggeser
peranan uang tunai (currency) sebagai alat pembayaran ke dalam bentuk pembayaran
non tunai yang yang lebih efisien dan ekonomis. Pembayaran non tunai umumnya
dilakukan tidak dengan menggunakan uang sebagai alat pembayaran melainkan
dengan cara transfer antar bank ataupun transfer intra bank melalui jaringan internal
bank sendiri. Selain itu pembayaran non tunai juga dapat dilakukan dengan
menggunakan fasilitas yang di berikan oleh bank sebagai alat pembayaran, misalnya
dengan menggunakan kartu ATM, kartu debit, dan kartu kredit. Ketika mekanisme
pembayaran dituntut untuk selalu mengakomodir setiap kebutuhan masyarakat dalam
hal perpindahan dana secara cepat, aman dan efisien, maka inovasi-inovasi teknologi
pembayaran semakin bermunculan dengan sangat pesat. Memberikan jawaban dengan
berbagai fasilitas kemudahan dan semakin tiada batas.
Perkembangan teknologi informasi yang diikuti dengan tingkat persaingan bank
yang semakin tinggi mendorong sektor perbankan atau non bank untuk semakin
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 7 | P a g e
inovatif dalam menyediakan berbagai alternatif jasa pembayaran non tunai berupa
sistem transfer dan alat pembayaran menggunakan kartu elektronis (electronic card
payment) yang aman, cepat dan efisien, serta bersifat global (Santomero dan Seater,
1996). Pembayaran elektronis tersebut, pada awal perkembangannya masih selalu
terkait langsung dengan rekening nasabah bank yang menggunakannya.
Dalam perkembangannya, beberapa negara telah menemukan dan menggunakan
produk pembayaran elektronis yang dikenal sebagai Electronic Money (e-money),
yang karakteristiknya berbeda dengan pembayaran elektronis yang telah disebutkan
sebelumnya. Pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan e-money tidak selalu
memerlukan proses otorisasi dan keterkaitan secara langsung (on-line) dengan
rekening nasabah di bank. Hal ini dapat terjadi karena e-money merupakan produk
stored value dimana sejumlah nilai dana tertentu (monetary value) telah terekam
(tersimpan) dalam alat pembayaran yang digunakan tersebut.
Kehadiran alat-alat pembayaran non tunai tersebut di atas, semata-mata tidak
hanya disebabkan oleh inovasi sektor perbankan namun juga didorong oleh kebutuhan
masyarakat akan adanya alat pembayaran yang praktis yang dapat memberikan
kemudahan dalam melakukan transaksi. Kemudahan transaksi tersebut dapat
mendorong penurunan biaya transaksi dan pada gilirannya dapat menstimulus
pertumbuhan ekonomi (Dias, 2000).
Berdasarkan pada kondisi tersebut, kami tertarik untuk membahas mengenai
“Perkembangan sistem pembayaran di Indonesia”, apakah setiap perkembangan
sistem pembayaran tersebut selalu berada pada koridor ketentuan yang berlaku atau
tidak.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penyusun merumuskan
masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah sistem pembayaran di Indonesia.
2. Bagaimana perkembangan penyelenggaraan dan kinerja sistem pembayaran.
3. Bagaimana kebijakan untuk sistem pembayaran.
4. Bagaimana pengawasan sistem pembayaran.
5. Bagaimana arah dan pengembangan sistem pembayaran ke depan.
1.3. Tujuan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 8 | P a g e
Maksud penyusunan makalah ini adalah untuk memperoleh gambaran dan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai perkembangan sistem pembayaran di
Indonesia.
Adapun tujuan yang diharapkan dapat dicapai dalam penyusunan makalah ini
diantaranya :
1. Untuk mengetahui sistem pembayaran di Indonesia.
2. Untuk mengetahui perkembangan penyelenggaraan dan kinerja sistem
pembayaran.
3. Untuk mengetahui kebijakan untuk sistem pembayaran.
4. Untuk mengetahui pengawasan sistem pembayaran.
5. Untuk mengetahui arah dan pengembangan sistem pembayaran ke depan.
1.4. Metode
Metode penulisan yang kami lakukan pada proses penyusunan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Studi Pustaka, yaitu menelaah buku-buku atau artikel yang didalamnya memuat
tentang semua hal yang berkaitan dengan objek penelitian.
2. Web Research, yaitu pencarian data melalui media maya yakni, internet dengan
maksud agar didapat referensi lebih banyak mengenai perkembangan sistem
pembayaran di Indonesia.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 9 | P a g e
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Sistem Pembayaran
Perekonomian Indonesia pada 2012 menunjukkan pertumbuhan yang relatif
tinggi dengan laju inflasi yang tetap terkendali pada tingkat yang rendah sebesar
4,30%. Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,23% menjadikan Indonesia sebagai salah
satu negara yang masih mampu menjaga pertumbuhan ekonominya di tengah
perlambatan ekonomi global.
Terjaganya pertumbuhan ekonomi pada 2012 ditopang oleh kinerja permintaan
domestik. Di satu sisi, kuatnya permintaan domestik mampu menjaga pertumbuhan
ekonomi di tengah melambatnya kinerja ekspor akibat melemahnya perekonomian
global dan penurunan harga komoditas. Namun, di sisi lain, kuatnya permintaan
domestik juga berimplikasi pada kuatnya pertumbuhan impor. Dari sisi penawaran,
sektor yang berorientasi ekspor tumbuh rendah, tetapi kondisi sebaliknya berlangsung
pada sektor-sektor yang berorientasi domestik.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap terjaga tersebut, tidak terlepas dari
peran strategis sistem pembayaran dalam mendukung aktivitas perekonomian. Peran
strategis sistem pembayaran dalam aktivitas perekonomian terutama untuk menjamin
terlaksananya berbagai transaksi pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat dan
dunia usaha. Perkembangan inovasi dalam sistem pembayaran merupakan
konsekuensi logis dari semakin besarnya kebutuhan masyarakat akan keberadaan
instrumen dan mekanisme pembayaran yang praktis, efisien, aman, dan nyaman untuk
mendukung aktivitas ekonomi yang dilakukan.
Selain itu sistem pembayaran juga berperan penting dalam mendukung
terciptanya stabilitas sistem keuangan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Dengan
peran strategis tersebut, Bank Indonesia dituntut untuk terus memastikan bahwa
perkembangan sistem pembayaran harus selalu berada dalam koridor ketentuan yang
berlaku dan kebijakan yang ditetapkan. Hal ini tentu saja demi menjamin kelancaran
dan keamanan jalannya kegiatan sistem pembayaran.
Berbagai kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran ditempuh Bank
Indonesia dengan tetap terfokus pada empat aspek utama, yaitu peningkatan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 10 | P a g e
keamanan, efisiensi, perluasan akses dalam sistem pembayaran dengan tetap
memperhatikan perlindungan konsumen.
Peningkatan keamanan dalam sistem pembayaran bertujuan untuk menjaga
kepercayaan masyarakat akan berbagai alternatif instrumen pembayaran yang dapat
digunakan masyarakat dalam kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Sementara itu
peningkatan efisiensi melalui upaya interkoneksi sistem pembayaran menjadi sangat
penting agar industri sistem pembayaran dapat melakukan sharing investasi
pengembangan infrastruktur untuk menciptakan efisiensi secara nasional baik bagi
industri sistem pembayaran maupun bagi masyarakat pengguna karena tidak harus
memiliki banyak instrument pembayaran dalam melakukan berbagai transaksi
pembayaran.
Dari sisi perluasan akses dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia senantiasa
mendorong industri sistem pembayaran untuk memperluas cakupan layanan sistem
pembayaran sehingga dapat lebih luas dan merata ke seluruh wilayah Indonesia, tidak
hanya di kota-kota besar. Selain itu, perluasan akses dalam sistem pembayaran dapat
mendorong terwujudnya program keuangan inklusif bagi lapisan masyarakat yang
belum terjangkau oleh layanan perbankan.
Selanjutnya, perlindungan konsumen merupakan faktor yang tidak kalah penting
dalam penetapan kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran untuk
menempatkan posisi konsumen pengguna jasa sistem pembayaran setara dengan
penyelenggara sistem pembayaran. Hal ini menjadi penting agar masyarakat sebagai
konsumen pengguna jasa sistem pembayaran dapat semakin terlindungi dan tidak lagi
berada pada posisi lemah yang diakibatkan dari kekurangpahaman masyarakat atas
manfaat dan risiko dari suatu instrumen dan/atau mekanisme pembayaran yang
digunakan.
Keempat faktor utama dalam penetapan kebijakan dan pengembangan sistem
pembayaran menjadi sangat relevan untuk terus diupayakan mengingat perkembangan
transaksi keuangan yang melalui sistem pembayaran yang semakin tinggi setiap
tahunnya (Tabel 1.1).
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 11 | P a g e
Peningkatan nilai dan volume transaksi sistem pembayaran pada triwulan 1-2012
dapat dipengaruhi oleh kinerja sistem pembayaran yang aman dan lancar.
Transaksi sistem pembayaran pada triwulan 1-2012 mengalami peningkatan
baik dari sisi nilai maupun volume, dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun
sebelumnya. Nilai transaksi meningkat sebesar Rp 17.210 triliun (112,3% yoy)
didominasi transaksi pengelolaan moneter Bank Indonesia, terutama penempatan
likuiditas bank dan instrument deposit facility. Sedangkan volume transaksi
meningkat sebanyak 90 juta transaksi (15,2%, yoy), terjadi pada seluruh sistem
pembayaran (Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settelment (BI-RTGS), kliring,
kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan kartu ATM/Debet, maupun uang
elektronik).
Dibandingkan triwulan sebelumnya, transaksi sistem pembayaran mengalami
penurunan. Penurunan tersebut lebih disebabkan oleh siklus musiman, yakni
pembayaran berbagai transaksi keuangan baik oleh individu maupun korporasi,
cenderung dilakukan pada akhir tahun dibandingkan pada awal tahun.
Peningkatan nilai dan volume transaksi sistem pembayaran, didukung oleh
kinerja sistem pembayaran yang baik. Ketersediaan layanan Sistem Bank Indonesia-
Real Time Gross Settelment (BI-RTGS), Bank Indonesia-Scripless Securities System
(BI-SSSS), serta Sistem Kliring Bnk Indonesia (SKNBI) pada triwulan laporan
mencapai 99,97%. Dengan pencapaian tersebut, setelmen transaksi dana bernilai besar
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 12 | P a g e
maupun ritel, serta setelmen surat berharga melalui Bank Indonesia dapat
dilaksanakan secara aman dan lancar, dan relatif tanpa gangguan berarti. Sistem
pembayaran dengan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan uang
elektronik yang diselenggarakan di luar Bank Indonesia juga terselenggara dengan
baik selama triwulan laporan.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 13 | P a g e
Sistem Pembayaran merupakan sistem yang berkaitan dengan pemindahan dana
dari satu pihak ke pihak lain yang melibatkan berbagai komponen seperti instrument
pembayaran (tunai dan non tunai), bank, lembaga kliring dan setelmen, infrastruktur
dan sistem hukum. Tugas Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran mencakup
sistem pembayaran tunai dan non-tunai sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan undang-Undang-Undang No.3 tahun 2004.
Di bidang pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga
yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut,
menarik dan memusnahkan uang dari peredaran. Dalam hal ini, kebijakan Bank
Indonesia diarahkan untuk memenuhi ketersediaan uang kartal dalam jumlah yang
cukup dan pecahan yang sesuai, menjaga kualitas yang layak edar, melakukan
tindakan untuk menanggulangi meluasnya peredaran uang palsu dan meningkatkan
pelayanan perkasan.
Di bidang sistem pembayaran non tunai, Bank Indonesia berwenang mengatur
sistem kliring antar bank dalam mata uang rupiah dan valuta asing (valas).
Penyelenggaraan kliring tersebut dapat dilakukan secara langsung oleh Bank
Indonesia atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. Selain
penyelenggaraan kliring, penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dalam
mata uang Rupiah dan valas diselenggarakan juga oleh Bank Indonesia atau pihak lain
dengan persetujuan Bank Indonesia.
Di sisi sistem pembayaran non tunai, sebagaimana international common
practice sistem pembayaran di Indonesia diklasifikasikan menjadi sistem pembayaran
yang bersifat Systemically Important Payment System (SIPS), System Wide Important
Payment System (SWIPS) dan sistem pembayaran yang bukan sebagai SIPS dan
SWIPS. SIPS adalah sistem yang memproses transaksi-transaksi pembayaran yang
bernilai besar dan apabila terjadi kegagalan dalam sistem pembayaran ini dapat
menyebabkan terjadinya systemic risk yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
stabilitas sistem keuangan, contohnya adalah sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (BIRTGS).
Sementara itu SWIPS adalah sistem pembayaran yang digunakan oleh
masyarakat luas, yang apabila terganggu, misalnya karena seringnya terjadi system
breakdown atau adanya fraud akan mengakibatkan ketidaknyamanan masyarakat dan
pada gilirannya dapat menimbulkan turunnya kepercayaan masyarakat atas sistem dan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 14 | P a g e
alat-alat pembayaran yang diproses melalui sistem tersebut. Di Indonesia yang
termasuk dalam kategori SWIPS adalah Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI) dan penyelenggaraan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK).
Sementara, sistem pembayaran yang bukan sebagai SIPS dan SWIPS contohnya
adalah money remittance.
Bagaimana sistem pembayaran mengalami evolusi ?
Tahapan evolusi sistem pembayaran dimulai dari sistem perekonomian yang
paling sederhana, yakni yang dikenal dengan istilah barter, dimana seseorang yang
membutuhkan barang tertentu dapat memperolehnya dengan cara menukarnya dengan
barang yang berbeda. Pada masa tersebut belum ada satuan nilai sebagai alat
pengukur barang/jasa, sehingga orang mengukur suatu barang dengan barang lainnya.
Sistem barter tersebut kemudian digantikan dengan sistem „commodity
currency‟ yaitu sistem pertukaran dengan menggunakan barang tertentu yang telah
diterima secara umum sebagai media pertukaran (medium of exchange) maupun
sebagai suatu standard nilai yang digunakan dalam pertukaran barang. Sebagai
contoh, selama periode awal pemukiman Amerika, penduduknya menggunakan
tembakau, beras, kayu, dan lain sebagainya sebagai medium of exchange.
Sistem barter dan “commodity curreny‟ ini sangat tidak efisien, antara lain
karena :
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 15 | P a g e
Sulit mencari orang yang memiliki barang yang dibutuhkan, dan berkeinginan
untuk menukarkan sebagian barangnya dengan barang yang ditawarkan,
Setiap orang mempunyai ide yang berbeda terhadap nilai barang yang akan
dipertukarkan, dibandingkan dengan barang lainnya
Nilai suatu barang yang dipertukarkan belum tentu mencerminkan nilai
sebenarnya, serta belum tentu sesuai nilainya dengan barang yang diperoleh
sebagai imbalan atas barang yang dipertukarkan.
Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan manusia, sistem tersebut menjadi tidak
efisien lagi, sehingga muncullah uang sebagai alat ukur dan alat tukar yang dapat
digunakan dalam perdagangan.
Bentuk uang itu sendiri secara fisik juga mengalami evolusi dari bentuk yang
paling sederhana ke bentuk yang lebih maju sejalan dengan perkembangan teknologi.
Uang dalam bentuk kerang dan batu-batuan berganti dengan lempengan logam dan
logam mulia, untuk kemudian berubah lagi menjadi bentuk yang dianggap paling
efisien yaitu uang kertas dan uang logam.
Penggunaan uang tunai (kertas dan logam) telah memberikan kepraktisan dalam
melakukan suatu transaksi pembayaran. Namun sejalan dengan perkembangan
perekonomian dan teknologi, penggunaan uang tunai ini kemudian hanya dirasa
cukup praktis untuk pembayaran-pembayaran yang bernilai relatif kecil. Namun tidak
demikian halnya untuk transaksi-transaksi yang nilainya cukup besar, karena
diperlukan kuantitas fisik uang yang banyak, serta faktor keamanan karena orang akan
merasa tidak aman bila membawa sejumlah uang tunai dalam jumlah besar.
Berbagai kendala dalam penggunaan uang tunai (kertas dan logam) mendorong
munculnya inovasi-inovasi baru dalam penciptaan alat pembayaran yang bersifat
nontunai. Alat pembayaran non-tunai yang saat ini kita kenal ada yang berbentuk
paperbased (Cek/Bilyet Giro), card-based (Kartu Kredit, Kartu Debet) dan electronic
based. Bahkan ejak tahun 2007 mulai dikenalkan uang elektronik yang ditujukan
untuk jenis pembayaran mikro sebagai pengganti uang. Saat ini penggunaan uang
elektronik tersebut banyak dijumpai di berbagai supermarket, pom bensin,
pembayaran toll, transportasi dankedepan dimunkinkan untuk berkembang lebih
lanjut. Perkembangan teknologi juga telah memungkinkan perpindahan (transfer)
dana secara elektronis yang cepat antar kota bahkan antar negara.
Peranan Bank Indonesia Dalam Sistem Pembayaran
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 16 | P a g e
Dalam UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, disebutkan bahwa salah
satu tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah menyelenggarakan, mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Yaitu dengan jalan memperluas,
memperlancar, dan mengatur lalu lintas pembayaran giral dan menyelenggarakan
kliring antar bank.
Untuk itu Bank Indonesia memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan,
mengatur, melaksanakan, dan memberi persetujuan, perijinan dan pengawasan atas
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Jadi salah satu peran Bank Indonesia dalam
sistem pembayaran adalah sebagai regulator, fasilitator, dan katalisator
pengembangan sistem pembayaran.
Sebagai operator, bank sentral di sejumlah negara berperan aktif sebagai
penyelenggara/peserta sistem pembayaran, khususnya dalam operasi sistem
pembayaran bernilai besar. Bank Indonesia sendiri menjadi penyelenggara sistem
pembayaran bernilai besar (Sistem BI-RTGS) dan sistem pembayaran retail (SKNBI).
Selain itu Bank Indonesia juga menjadi penata usaha rekening seluruh peserta (Bank
dan Pemerintah). Sementara itu dalam perannya sebagai regulator, Bank Indonesia
melakukan kegiatan oversight, fasilitator/katalisator dan development coordinator. Di
bidang oversight, Bank Indonesia senantiasa memastikan proses sistem pembayaran
berlangsung secara tepat waktu. Selin itu juga terlibat dalam penetapan prinsip-prinsip
yang mengatur mekanisme operasional suatu sistem pembayaran, meliputi a.l.
membership criteria, guarantees or arrangements – by laws serta menyiapkan
guidelines bagi bank-bank dalam risk management –nya.
Sebagai fasilitator atau katalisator, Bank Indonesia concern terhadap upaya
penciptaan industri sistem pembayaran untuk lebih efisien . Oleh karena itu saat ini
sedang industri tersebut sedang didorong agar dapat saling interoperability antar
penyelenggara serta mendorong terbentuknya self regulating organization.
Fungsi lainnya yaitu sebagai development coordinator yang menetapkan arah
pengembangan sistem pembayaran secara nasional, blue print, dan mengatur struktur
dan operasi sistem pembayaran secara keseluruhan untuk menjamin keamanan dan
kehandalannya.
Terakhir adalah fungsi Bank Sentral sebagai user (pengguna). Bank Indonesia
sebagai pinata usaha rekening Pemerintah secara otomatis menjadi peserta sistem
pembayaran untuk menjalankan instruksi transfer dana dari Pemerintah.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 17 | P a g e
Bank Indonesia terus berupaya meningkatkan efisiensi sistem pembayaran
nasional dan memperkuat sistem pengawasan (oversight) sistem pengawasan dengan
mewujudkan perlindungan konsumen sistem pembayaran di Indonesia. Namun
penyempurnaan dan pengembangan sistem pembayaran yang dilakukan oleh Bank
Indonesia harus disesuaikan dengan kebutuhan pengguna sistem pembayaran serta
diarahkan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan jasa sistem pembayaran. Dalam
kaitannya dengan pengawasan sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki
tanggung jawab agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang
efisien, cepat, tepat dan aman. Fungsi pengawasan sistem pembayaran ini selain
berwenang untuk memberikan izin operasional terhadap pihak yang
menyelenggarakan kegiatan di bidang sistem pembayaran juga berwenang untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem pembayaran baik yang
dilakukan oleh Bank Indonesia maupun pihak lain di luar Bank Indonesia.
2.1.1. Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran
Dengan mengedepankan empat aspek utama, yaitu peningkatan keamanan,
efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen, kebijakan dan pengembangan
sistem pembayaran yang ditempuh Bank Indonesia selama 2012 dilakukan melalui
persiapan implementasi Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II, pengembangan
NPG, interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik, persiapan implementasi
standar nasional kartu ATM dan ATM/Debet berbasis chip, perluasan akses BPR
dalam sistem pembayaran, serta penyempurnaan ketentuan untuk lebih meningkatkan
penerapan aspek perlindungan konsumen pengguna jasa sistem pembayaran.
Kebijakan penguatan infrastruktur untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi
dalam penyelenggaraan sistem pembayaran dilakukan Bank Indonesia dengan
melakukan persiapan implementasi Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II.
Pengembangan ini dilakukan untuk mengimbangi tren peningkatan jumlah transaksi
BI-RTGS dan BI-SSSS dari waktu ke waktu yang sejalan dengan perkembangan
ekonomi. Selain itu, pengembangan ini juga dilakukan sebagai persiapan untuk
mengantisipasi konektivitas Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan infrastruktur
sistem keuangan lainnya baik domestic maupun internasional. Selain itu, dengan
pengembangan ini diharapkan akan tercapai peningkatan kemampuan mitigasi risiko
dalam penyelenggaraan sistem pembayaran sehingga dapat berjalan secara aman dan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 18 | P a g e
efisien. Efisiensi dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II
nantinya, tidak hanya dari sisi penggunaan likuiditas tetapi juga dari sisi infrastuktur
sistem yang digunakan.
Selain itu, kebijakan untuk peningkatan keamanan juga dilakukan melalui
persiapan implementasi standar nasional kartu ATM/Debet menggunakan teknologi
chip dan Personal Identification Number (PIN) paling kurang 6 (enam) digit.
Penggunaan standar nasional kartu ATM dan ATM/Debet dengan menggunakan
teknologi chip ditargetkan dapat diterapkan secara menyeluruh pada akhir 2015.
Teknologi chip dinilai mampu mengurangi kejahatan (fraud) yang dilakukan melalui
infrastruktur sistem kartu ATM dan ATM/Debet, yang antara lain dilakukan dengan
metode skimming. Kebijakan ini tentunya juga ditujukan untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat pengguna kartu ATM dan ATM/Debet.
Dalam upaya meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem
pembayaran ritel, Bank Indonesia terus mendorong interkoneksi infrastruktur sistem
pembayaran ritel melalui pengembangan NPG. Terwujudnya NPG akan membantu
pemantauan risiko penyelenggaraan sistem pembayaran dan akan membentuk
database sistem pembayaran ritel secara nasional yang dapat mendukung
pengambilan keputusan bagi otoritas yang berwenang. Kebijakan interkoneksi
infrastruktur sistem pembayaran tersebut bertujuan untuk memudahkan masyarakat
dalam melakukan kegiatan pembayaran dan transfer dana. Dengan interkoneksi sistem
pembayaran, masyarakat tidak harus memiliki banyak APMK dan uang elektronik,
karena hanya dengan satu kartu atau satu uang elektronik, masyarakat dapat
melakukan kegiatan pembayaran dan transfer dana melalui berbagai alternatif
infrastruktur sistem pembayaran yang ada. Dari sisi industry sistem pembayaran,
interkoneksi infrastruktur sistem pembayaran akan meningkatkan efisiensi nasional
terkait biaya investasi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Pada tahap awal
pengembangan NPG, Bank Indonesia memfasilitasi interkoneksi ATM dua bank,
yaitu Bank Mandiri dan BCA. Dengan terkoneksinya infrastruktur ATM kedua bank
tersebut, maka semakin memperluas jaringan layanan sistem pembayaran. Kondisi ini
mempermudah masyarakat untuk melakukan transaksi secara lebih cepat dan efisien.
Pada gilirannya sinergi kedua bank tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya
saing industri sistem pembayaran secara nasional dalam menghadapi era persaingan
global.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 19 | P a g e
Upaya lain yang dilakukan Bank Indonesia untuk peningkatan efisiensi dalam
penyelenggaraan sistem pembayaran ritel adalah melalui kebijakan pengembangan
interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik. Selama periode laporan, Bank
Indonesia telah berkoordinasi dengan Kementerian Negara Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4). Dari koordinasi tersebut disepakati agar pengembangan
interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik menjadi program nasional. Salah
satu sektor yang akan memperoleh manfaat dari interkoneksi tersebut adalah sektor
transportasi yang secara massal digunakan oleh masyarakat.
Selanjutnya untuk meningkatkan perluasan akses dalam sistem pembayaran,
Bank Indonesia turut aktif dalam pengembangan sistem transfer kredit elektronik
(STKE). Akses BPR dalam sistem pembayaran semakin luas karena BPR di wilayah
Jawa Timur, baik untuk kepentingan BPR sendiri maupun nasabahnya, telah dapat
memanfaatkan layanan sistem pembayaran yang cepat dan aman dengan biaya relatif
murah melalui STKE. STKE dikembangkan oleh Bank Jatim sebagai bank pengayom
BPR (APEX BPR) di wilayah Jawa Timur bekerjasama dengan Bank Indonesia.
STKE merupakan suatu sistem yang digunakan dalam penyelenggaraan transfer dana
antar anggota APEX BPR dan/atau dengan bank umum melalui Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
Selanjutnya, upaya Bank Indonesia terkait aspek perlindungan konsumen
dilakukan antara lain melalui penyempurnaan ketentuan yang lebih memperhatikan
aspek perlindungan konsumen, yaitu penyempurnaan ketentuan APMK yang
dilakukan Bank Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan atas PBI
No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu (PBI APMK) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI)
No.14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012 perihal Perubahan SEBI No.11/10/DASP perihal
Penyelenggaraan Kegiatan APMK. Pokok-pokok materi perubahan yang dimuat
dalam PBI dan SEBI tersebut antara lain meliputi pengaturan batas maksimum suku
bunga kartu kredit, pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas kartu kredit
(batas minimum usia, batas minimum pendapatan, batas maksimum plafon kredit, dan
jumlah maksimum penerbit yang dapat memberikan fasilitas kartu kredit), penerapan
prinsip kehati-hatian dan transparansi (penyeragaman pola perhitungan bunga kartu
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 20 | P a g e
kredit serta pengenaan biaya dan denda, pengaturan kerjasama dengan pihak lain,
khususnya yang terkait dengan penagihan utang kartu kredit).
Terkait kebijakan pembatasan kepemilikan kartu kredit, Bank Indonesia juga
telah menerbitkan SEBI No.14/27/DASP tanggal 25 September 2012 perihal
Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit. Surat Edaran Bank Indonesia ini
diterbitkan sebagai aturan pelaksana Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012
yang pada intinya mewajibkan Penerbit Kartu Kredit melakukan penyesuaian
kepemilikan Kartu Kredit khususnya bagi mereka yang berpendapatan antara Rp3 juta
– Rp10 juta tiap bulan. Sementara itu, terkait pembatasan suku bunga kartu kredit,
Bank Indonesia menerbitkan SEBI No.14/34/DASP tanggal 27 November 2012
perihal Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit. Berdasarkan ketentuan tersebut,
batas maksimum suku bunga kartu kredit ditetapkan sebesar 2,95% per bulan.
Selain ketentuan terkait APMK, pada periode laporan Bank Indonesia juga telah
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No.14/3/PBI/2012 tanggal 29 Maret 2012
tentang Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank. Ketentuan ini merupakan tindak
lanjut dari amanat dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan mengatur mengenai penerapan
program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan
PPT).
2.1.2. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran
Melanjutkan kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran 2012, ke depan
Bank Indonesia senantiasa mendorong industri untuk melakukan penataan dan
penguatan infrastruktur sistem pembayaran dalam upaya meningkatkan keamanan dan
efisiensi dalam sistem pembayaran. Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan
tetap melanjutkan tahapan pengembangan NPG, SKNBI, dan uang elektronik.
Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan melalui tiga tahapan besar. Tahap
pertama, adalah pengembangan instrumen pembayaran yang paling dominan
digunakan oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan ATM/Debet dengan
menginterkoneksikan jaringan penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di
Indonesia. Tahapan kedua adalah pengembangan instrument pembayaran pada kartu
kredit dan uang elektronik melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk
transaksi yang dilakukan di Indonesia tanpa harus diteruskan kepada Prinsipal luar
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 21 | P a g e
negeri seperti yang berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan transaksi
menggunakan uang elektronik akan didukung melalui interkoneksi diantara penerbit
uang elektronik. Selanjutnya tahap terakhir adalah pengembangan layanan Mobile
Financial Services (MFS) dan e-commerce. Modul layanan ini akan mendukung
konvergensi layanan transaksi berbasis mobile serta e-commerce di masa datang.
Pengembangan SKNBI akan mencakup penyelesaian transaksi atas transfer
kredit dan debet baik yang bersifat individual maupun rutin (bulk payment).
Selanjutnya, arah kebijakan dan pengembangan uang elektronik ke depan
difokuskan pada upaya untuk meningkatkan penggunaan uang elektronik di
masyarakat serta memperluas jangkauan dan penetrasi infrastruktur uang elektronik
melalui dua tahapan waktu yaitu jangka pendek dan menengah dengan kegiatan
edukasi dan sosialisasi, fasilitasi industri serta perluasan pasar. Sedangkan untuk
jangka panjang melalui standardisasi uang elektronik.
Dari sisi penguatan aspek hukum dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia
akan menginisiasi penyusunan Rancangan Undang Undang (RUU) Sistem
Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA). Alasan utama mengapa perlunya UU
SPPA ini adalah karena laju perkembangan sistem pembayaran yang sangat pesat.
Pesatnya perkembangan sistem pembayaran dapat menjadi sumber informasi (kondisi
likuiditas dan infrastruktur sistem keuangan) yang menjadi subyek pemantauan secara
microprudential guna memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi
potential shock. Hasil dari riset dan pemantauan selanjutnya akan menjadi
rekomendasi bagi otoritas terkait dalam pengambilan langkah-langkah yang tepat
untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Selanjutnya informasi secara komprehensif mengenai perkembangan sistem
pembayaran, kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran yang ditempuh selama
2012, serta arah kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran ke depan akan
diulas secara mendalam pada bab-bab selanjutnya.
2.2. Perkembangan Penyelenggaraan Dan Kinerja Sistem Pembayaran
2.2.1. Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan
oleh Bank Indonesia
Selama periode laporan perkembangan transaksi keuangan melalui sistem
pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, baik Sistem BI-RTGS
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 22 | P a g e
maupun SKNBI mengalami peningkatan nilai dan volume transaksi dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (Grafik 2.1).
Aktivitas transfer keuangan elektronik yang diproses oleh Bank Indonesia
melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI mencapai nilai Rp101,57 ribu triliun atau
meningkat sebesar 47,43% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai
nilai Rp68,89 ribu triliun. Sementara itu dari sisi volume transaksi, mencapai 123,59
juta transaksi atau meningkat sebesar 7,15% dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang mencapai 115,34 juta transaksi.
Perkembangan Transaksi melalui Sistem BI-RTGS
Aktivitas transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS pada tahun 2012
menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik 2.2).
Nilai transaksi yang penyelesaiannya dilakukan melalui Sistem BI-RTGS pada 2012
mencapai Rp99,40 ribu triliun atau naik sebesar 48,53% dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang mencapai Rp66,92 ribu triliun dengan volume tercatat sebanyak
17,50 juta transaksi atau naik sebesar8,24% dibandingkan dengan 2011. Dengan
demikian,rata-rata harian transaksi yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS pada
2012 mencapai nilai Rp404,05 triliun dengan volume sebesar 71,13 ribu transaksi.
Dengan nilai yang tinggi ini, Sistem BI-RTGS dikategorikan sebagai Systemically
Important Payment System (SIPS), yaitu sistem yang memproses transaksi bernilai
besar dengan potensi risiko sistemik1.
1 Risiko sistemik adalah risiko yang disebabkan oleh satu peserta tidak dapat memenuhi kewajibannya
yang berdampak pada terjadinya ketidakmampuan seluruh peserta dalam sistem untuk memenuhi
kewajibannya .
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 23 | P a g e
Transaksi transfer elektronik yang diproses melalui Sistem BI-RTGS meliputi
transaksi masyarakat, pasar uang antar bank (PUAB), valuta asing, pasar modal,
pengelolaan moneter, dan transaksi yang dilakukan untuk kepentingan pemerintah.
Peningkatan nilai transaksi melalui BI-RTGS terutama disebabkan oleh
meningkatnya transaksi pengelolaan moneter yang memiliki pangsa 60,86% dari total
nilai transaksi BI-RTGS (Grafik 2.3). Nilai transaksi pengelolaan moneter pada 2012
mengalami peningkatan sebesar 96,53% (Tabel 2.1) dibandingkan dengan tahun 2011.
Peningkatan nilai tersebut mengindikasikan meningkatnya kegiatan pengelolaan
moneter yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas moneter dan
sistem keuangan.
Sementara itu, peningkatan volume transaksi melalui BIRTGS disebabkan oleh
meningkatnya transaksi pasar modal yang memiliki pangsa 0,40% dari total volume
transaksi
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 24 | P a g e
BI-RTGS (Grafik 2.4). Volume transaksi pasar modal pada 2012 mengalami
peningkatan sebesar 13,94% (Tabel 2.1). Peningkatan volume transaksi pasar modal
tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini transfer dana melalui Sistem BI-RTGS
masih menjadi pilihan selain transfer melalui SKNBI dan APMK. Dari perspektif
efisiensi sistem pembayaran, Sistem BI-RTGS mendukung percepatan penyelesaian
transaksi dan efisiensi dari sisi waktu.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 25 | P a g e
Aktivitas Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia
Scrpless Securities Settlement System (BI-SSSS)
Sehubungan dengan kegiatan penatausahaan surat berharga pada BI-SSSS, pada
periode laporan, telah ditatausahakan transaksi surat berharga dengan nilai mencapai
Rp32,50 ribu triliun atau meningkat sebesar 81,99% dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang mencapai Rp17,86 ribu triliun. Sementara itu di sisi volume
transaksi mencapai 137,16 ribu atau meningkat sebesar 12,27% dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang mencapai 122,17 ribu (Grafik 2.5). Dengan demikian rata-rata
harian transaksi surat berharga melalui BI-SSSS pada periode laporan mencapai nilai
Rp132,12 triliun dengan volume sebesar 558 transaksi.
Sampai dengan akhir periode laporan, peserta BI-SSSS terdiri dari 137 bank , 14
non bank dan 16 sub registry.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 26 | P a g e
Perkembangan Transaksi melalui SKNBI
Aktivitas transaksi melalui SKNBI pada 2012 menunjukkan peningkatan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik 2.6). Nilai transaksi melalui SKNBI
pada 2012 mencapai Rp2.170,19 triliun atau naik sebesar 10,13% dengan volume
transaksi tercatat sebanyak 106,10 juta transaksi atau naik sebesar 6,98%
dibandingkan dengan 2011. Dengan demikian rata-rata harian transaksi yang
dilakukan melalui SKNBI pada 2012 mencapai nilai Rp8,82 triliun dengan volume
sebesar 431,29 ribu transaksi.
Sampai dengan akhir periode laporan, jumlah peserta SKNBI sebanyak 140
peserta bank dan 1 peserta Bank Indonesia.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 27 | P a g e
Pengelolaan Daftar Hitam Nasional (DHN)
Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap instrumen
pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro (BG), Bank Indonesia perlu menjaga
kredibilitas Cek dan/ atau BG tersebut sangat penting bagi kelancaran sistem
pembayaran.
Dalam praktek, pembayaran menggunakan Cek dan/ atau BG masih memiliki
permasalahan risiko gagal bayar karena saldo tidak cukup atau rekening giro telah
ditutup yang dikenal dengan istilah Cek dan/atau BG kosong. Dalam rangka
pencegahan penarikan Cek dan/atau BG kosong tersebut, bank secara self assessment
melakukan penetapan identitas penarik Cek/BG kosong dalam DHN berdasarkan
kriteria yang diatur dalam PBI No. 8/29/PBI/2006 tanggal 20 Desember 2006 tentang
Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong dan SE BI No.
9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau
Bilyet Giro Kosong.
Persentase perbandingan jumlah warkat Cek dan/atau BG kosong terhadap total
warkat penyerahan bank pada periode laporan mengalami kenaikan dari 1,15% pada
2011 menjadi 1,26% pada 2012. Demikian pula persentase perbandingan jumlah
nominal penarikan Cek dan/atau BG kosong mengalami kenaikan dari 1,07% pada
2011 menjadi 1,23% pada 2012.
Selama dua tahun terakhir, penarikan BG kosong baik sisi volume maupun nilai
lebih besar dibanding penarikan Cek kosong. Pada periode laporan, dari sisi volume,
porsi penarikan BG kosong sebesar 76%, sedangkan dari sisi nilai sebesar 67%.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 28 | P a g e
Sementara itu, porsi penarikan Cek kosong dari sisi volume sebesar 24% dan dari sisi
nilai sebesar 33%.
Kinerja Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Bank Indonesia
Untuk mengetahui kinerja Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI, Bank
Indonesia menggunakan ukuran ketersediaan Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI
bagi pesertanya. Ukuran ketersediaan sistem tersebut menunjukkan tingkat keandalan
Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI yang diselenggarakan Bank Indonesia. Pada
periode laporan, tingkat ketersediaan sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI
mencapai tingkat yang sesuai dengan service level yang telah ditetapkan.
Untuk mendukung kinerja penyelenggaraan sistem pembayaran Bank Indonesia,
maka salah satu upaya Bank Indonesia adalah dengan melakukan migrasi jaringan
dari yang semula berbasis System Network Architecture (SNA) menjadi berbasis
Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP).
Latar belakang migrasi tersebut dengan pertimbangan :
- Jaringan SNA merupakan teknologi lama yang sudah jarang digunakan.
- Ketersediaan perangkat pendukung sudah terbatas sehingga jika terjadi
kerusakan pada perangkat pendukung, maka sulit untuk mencari perangkat
pengganti karena sudah tidak tersedia di pasaran.
- Kapasitas jaringan yang terbatas karena tidak dapat di-upgrade.
Upaya Menjaga Keamanan dan Keandalan Penyelenggaraan Sistem
BI-RTGS dan SKNBI melalui Business Continuity Plan, Kegiatan User
Group dan Forum Kepesertaan, dan Member Certification
1) Business Continuity Plan
Dalam kedudukannya sebagai penyelenggara sistem BI-RTGS, BI-
SSSS dan SKNBI, Bank Indonesia senantiasa berupaya menjamin
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 29 | P a g e
kelancaran sistem secara keseluruhan yang andal baik dalam kondisi
normal maupun dalam kondisi darurat.
Selama periode laporan, untuk menjamin keandalan sistem back-up
telah dilakukan uji coba environment sebanyak tiga kali. Selain itu,
dilakukan juga operasional secara live sebanyak satu kali dengan
menggunakan infrastruktur teknologi informasi di lokasi Disaster
Recovery Centre (DRC) Bank Indonesia.
Sementara itu, untuk memastikan kesiapan infrastruktur back-up
siap digunakan, setiap bulan dilakukan juga pengecekan infrastruktur
Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI di lokasi DRC dan Backup Front
Office.
Untuk memberikan alternatif sarana back-up kepada Peserta sistem
BI-RTGS dan BI-SSSS, Bank Indonesia menyediakan fasilitas guest bank.
Selama tahun 2012 terdapat 32 Peserta yang menggunakan fasilitas guest
bank tersebut dengan rincian tiga peserta karena gangguan pada internal
sistem sisanya sebanyak 29 peserta karena gangguan koneksi jaringan
sistem BI-RTGS dan BI-SSSS.
Selanjutnya, guna meningkatkan kompetensi peserta dalam
pemanfaatan fasilitas guest bank, Bank Indonesia secara rutin
memberikan pelatihan guest bank. Selama periode laporan, telah
dilakukan pelatihan kepada 13 peserta sistem BI-RTGS dan BI-SSSS.
2) Kegiatan User Group dan Forum Kepesertaan
Kegiatan user group dan forum kepesertaan, dilakukan untuk
menjembatani komunikasi antara penyelenggara dan seluruh peserta
terutama dalam rangka diseminasi informasi terkini dan penyelesaian
permasalahan penyelenggaraan sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI.
Selama 2012, kegiatan user group peserta sistem BIRTGS, BI-
SSSS, dan SKNBI dilakukan di Jakarta dalam dua tahap. Tahap pertama
pada Juni 2012, dilaksanakan dalam rangka sharing informasi mengenai
pelaksanaan member certification yang dihadiri oleh petugas audit internal
peserta sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI. Tahap kedua pada
Oktober 2012, dilaksanakan dalam rangka diseminasi informasi mengenai
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 30 | P a g e
rencana pengembangan SKNBI dan implementasi sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS generasi 2.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan Bank Indonesia
sebagai central registry kepada sub registry, telah dilaksanakan
pertemuan sub registry pada Oktober 2012, dimana dalam forum
pertemuan tersebut dilakukan diseminasi informasi terkini terkait dengan
penyelenggaraan BI-SSSS.
Sementara itu, dalam rangka evaluasi penyelenggaraan kliring lokal
dan diseminasi perubahan kebijakan pemberian bantuan keuangan kepada
Penyelenggara Kliring Lokal (PKL) Selain BI, pada Juli 2012 telah
dilaksanakan pertemuan tahunan dengan seluruh penyelenggara kliring
lokal yang diselenggarakan di Jakarta.
3) Member Certification (MC)
Member certification dilakukan dengan tujuan mengevaluasi
kepatuhan peserta terhadap ketentuan yang ditetapkan penyelenggara,
perjanjian pengunaan sistem antara penyelenggara dan peserta, dan/atau
kesepakatan antar Peserta dalam bye laws, serta mengidentifikasi risiko
peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Dalam
pelaksanaannya, kegiatan member certification dilakukan dengan metode
asesmen atas laporan yang disampaikan oleh peserta dan on site visit.
Berdasarkan pelaksanaan member certification yang dilakukan
selama 2012, secara umum operasional BIRTGS dan SKNBI peserta
sudah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Namun demikian, masih
terdapat beberapa hal yang masih perlu mendapat perhatian dan harus
ditingkatkan seperti penyediaan infrastruktur back-up system, dan
prosedur contingency plan.
2.2.2. Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan
oleh Pihak di Luar Bank Indonesia
Saat ini penyelenggaraan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh pihak
di luar Bank Indonesia meliputi penyelenggaraan APMK (kartu kredit, kartu ATM
dan kartu ATM/Debet), uang elektronik, dan kegiatan usaha pengiriman uang atau
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 31 | P a g e
transfer dana. Selama 2012, terjadi peningkatan transaksi keuangan melalui sistem
pembayaran yang diselenggarakan oleh pihak di luar Bank Indonesia, baik itu melalui
kartu kredit, kartu ATM dan kartu ATM/Debet, uang elektronik maupun KUPU.
Selain itu, dari sisi infrastruktur pembayaran ritel mengalami perkembangan dari
tahun ke tahun
Aktivitas Pembayaran Menggunakan Kartu Kredit
Jumlah kartu kredit yang beredar pada akhir 2012 mencapai 14,82 juta kartu
atau meningkat sebesar 0,21% dari periode sebelumnya yang mencapai 14,79 juta
kartu. Meningkatnya jumlah kartu tersebut turut pula mendorong peningkatan
penggunaannya (Grafik 2.10).
Selama 2012 nilai transaksi menggunakan kartu kredit mencapai Rp201,84
triliun, meningkat sebesar 5,84% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang
mencapai Rp182,60 triliun. Sementara itu di sisi volume transaksi mencapai 221,58
juta transaksi, meningkat sebesar 10,54% dibandingkan dengan periode sebelumnya
yang mencapai 209,35 juta transaksi. Dengan demikian rata-rata harian transaksi
menggunakan kartu kredit pada periode laporan mencapai nilai Rp551,48 miliar
dengan volume sebesar 605,41 ribu transaksi.
Sampai dengan periode laporan, jumlah penerbit dan prinsipal kartu kredit di
Indonesia masing-masing berjumlah 20 penerbit dan 5 prinsipal.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 32 | P a g e
Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu ATM dan Kartu
ATM/Debet
Pada akhir periode laporan, total kartu ATM dan ATM Debet yang beredar
mencapai 77,75 juta kartu. Jumlah tersebut meningkat sebesar 21,15% dibandingkan
dengan akhir periode laporan sebelumnya yang mencapai 63,39 juta kartu. Dari
jumlah tersebut sebanyak 73,22 juta kartu (94,17%) merupakan kartu ATM/Debet,
yang selain berfungsi untuk melakukan transaksi di terminal ATM, juga dapat
berfungsi sebagai kartu debet untuk digunakan dalam transaksi belanja di pedagang
(merchant).
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 33 | P a g e
Dengan peningkatan jumlah kartu ATM dan ATM/Debetberedar tersebut,
mendorong peningkatan aktivitast ransaksi menggunakan kartu ATM dan ATM/Debet
(Grafik 2.12). Pada periode laporan, nilai transaksi menggunakan kartu ATM dan
ATM/Debet mencapai Rp3,07 ribu triliun atau meningkat sebesar 23,74%
dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai Rp2,48 ribu triliun.
Sementara itu, volume transaksi menggunakan kartu ATM dan ATM/Debet
mencapai 2,82 miliar transaksi atau meningkat sebesar 24,83% dibandingkan dengan
periode sebelumnya yang mencapai 2,26 miliar transaksi.
Dengan demikian rata-rata harian transaksi menggunakan kartu ATM dan
ATM/Debet pada periode laporan mencapai nilai Rp8,37 triliun dengan volume
sebesar 7,72 juta transaksi.
Sampai dengan akhir periode laporan terdapat 102 bank yang bertindak sebagai
penerbit kartu ATM dan ATM/Debet yang terdiri atas 59 bank umum, 8 bank syariah,
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 34 | P a g e
26 Bank Pembangunan Daerah dan 9 Bank Perkreditan Rakyat. Selain itu juga
terdapat enam lembaga selain bank sebagai prinsipal.
Aktivitas Uang Elekronik
Sampai akhir periode laporan, terdapat 13 penerbit uang elektronik yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia baik yang berbasis chip maupun media berbasis
server. Adapun jumlah uang elektronik yang beredar baik yang berbasis chip maupun
berbasis server mencapai sekitar 21,87 juta, meningkat sebesar 52,94% dibandingkan
dengan periode sebelumnya yang mencapai 14,30 juta.
Komposisi penggunaan uang elektronik yang berbasis chip dan server based
mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Jika pada awal hadirnya uang
elektronik, penggunaan uang elektronik berbasis chip based menempati pangsa
terbesar yaitu 72%, maka sampai dengan akhir 2012 penggunaan uang elektronik
berbasis server based menempati pangsa terbesar yaitu 57%.
Aktivitas transaksi menggunakan uang elektronik pada 2012 menunjukkan
peningkatan dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik 2.14). Nilai transaksi
menggunakan uang elektronik pada 2012 mencapai Rp1,97 triliun atau naik sebesar
101,02% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai Rp981,30 miliar.
Sementara itu di sisi volume transaksi mencapai 100,62 juta transaksi atau naik
sebesar 145,06% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 41,06 juta
transaksi. Dengan demikian rata-rata harian transaksi yang dilakukan dengan
menggunakan uang elektronik pada 2012 mencapai nilai Rp5,39 miliar dengan
volume sebesar 274,93 ribu transaksi.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 35 | P a g e
Pada periode laporan, penggunaan uang elektronik mengalami pertumbuhan
dibandingkan periode sebelumnya baik dari sisi jumlah instrumen yang diterbitkan
maupun volume dan nilai transaksi. Jumlah instrumen uang elektronik mengalami
pertumbuhan 53%, sementara volume dan nominal transaksi tumbuh masingmasing
sebesar 153% dan 116%.
Perkembangan Penyelenggara Kegiatan Usaha Pengirim Uang (KUPU)
atau Transfer Dana Selain Bank
Mekanisme pengiriman uang melalui penyelenggara Kegiatan Usaha
Pengiriman Uang (KUPU) selain bank telah berjalan sejak lama terutama untuk
mengakomodasikan kegiatan pengiriman uang oleh tenaga kerja Indonesia di luar
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 36 | P a g e
negeri. Pada umumnya pengguna jasa penyelenggara KUPU ini adalah tenaga kerja
yang bergerak di sector informal yang kurang mengenal perbankan.
Sampai dengan akhir periode laporan, terdapat 119 penyelenggara KUPU yang
telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Dari jumlah tersebut, 76 merupakan
penyelenggara badan usaha berbadan hukum, 15 badan usaha tidak berbadan hukum
(Commanditaire Vennootschap dan Usaha Dagang) dan 16 perorangan. Pelaporan
transaksi pengiriman uang oleh penyelenggara KUPU selain bank pada periode
laporan dari sisi nilai mencapai Rp18,43 triliun dengan volume sebesar 3,61 juta
transaksi.
Aktivitas terbesar transaksi pengiriman uang dari sisi nilai transaksi pada
periode laporan, adalah pengiriman uang dari luar negeri dengan porsi nilai 53,07%
dan volume 84,97%. Pengiriman uang domestik (antar wilayah di Indonesia) dengan
porsi nilai 36,99% dan volume 13,13%. Sedangkan sisanya pengiriman uang dari
Indonesia ke luar negeri dengan porsi nilai 9,94% dan volume 1,90%.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 37 | P a g e
2.2.3. Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran di Indonesia
Seiring dengan semakin strategisnya peran sistem pembayaran dalam
perekonomian di Indonesia, maka penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia
juga semakin beragam. Adapun penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia
adalah sebagaimana dalam Tabel Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Indonesia
(Tabel 2.3).
Sistem Tipe Transaksi Penyelenggaraan Peserta
Bank Indonesia –
Real Time Gross
Settlement
System (BI-
RTGS)
- Transfer kredit
- Transaksi
menggunakan central
bank money
- Lebih diutamakan
untuk transaksi nilai
besar dan bersifat
penting seperti
transaksi pengolaan
moneter, transaksi
Pemerintah, Transaksi
Pasar Uang antar bank,
transaksi setelmen
hasil kliring antar bank
dan kliring pasar
modal
- Setelmen untuk
transaksi surat
berharga (SBI dan
SUN) yang
setelmennya dilakukan
pada sistem Bank
Indonesia Scripless
securities settlement
System (BI-SSSS)
- Mekanisme Gross
Settlement dan bersifat
no money no game
- Bank Indonesia - 189 bank
termasuk unit
usaha syariah,
Bank
Indonesia dan
Lembaga
Selain Bank
(LSB)
Sistem Kliring
Nasional Bnak
Indonesia
- Transfer Kredit untuk
transaksi ritel dengan
nilai di bawah Rp.100
- Bank Indonesia - 141 bank
termasuk unit
usaha syariah
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 38 | P a g e
(SKNBI) juta
- Kliring warkat debet
(cek, bilyet, giro, nota
debet lainnya)
- Mekanisme net
settlement
- Untuk kliring debet
berlaku mekanisme no
money no game
dan Bank
Indonesia
Bank Indonesia
Scripless
Securities
Settlement
System (BI-
BSSS)
- Berfungsi sebagai
sarana setelmen dan
pencatatan
kepemilikan surat
berharga secara
elektronis
- Setelmen surat
berharga yang
dilakukan melalui BI-
SSSS silakukan secara
DvP
- Bank Indonesia - 158 Bank
umum
termasuk unit
usaha syariah,
Bank
Indonesia dan
Lembaga
Selain Bank
(LSB)
- 16 Sub
registry yang
terdiri atas
bank yang
serupa dengan
lembaga
custodian
Central
Depository and
Book Entry
Settlement
System (C-BEST)
- Setelmen dana untuk
penyelesaian sisi dana
dari transaksi sekuritas
yang diperdagangkan
di pasar modal
- Setelmen dana
dilakukan melalui 4
bank setelmen yang
menjadi tempat
rekening anggota bursa
- PT. Kustodin
Sentral Efek
Indonesia
(KSEI)
- Seluruh
anggota Bursa
Efek Indonesia
Meknisme
setelmen
USD/IDR
Payment Versus
Payment (PvP)
- Penyelesaian
(setelmen) dari
transaksi-transaksi jual
beli Dolar Amerika
Serikat (USD)
- Bank indonesia
untuk sisi IDR
dan Hong Kong
Monetary
Authority untuk
- 39 Bank
umum
termasuk unit
usaha syariah
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 39 | P a g e
terhadap Rupiah (IDR)
antar bank di Indonesia
- Dilakukan melalui
BIRTGS untuk sisi
IDR dan melalui USD
CHATS untuk USD
USD
Jaringan Prinsipal
Kartu ATM
(Nasional)
- Transfer dana
elektronik
menggunakan kartu
ATM
- PT. Artajasa
Pembayaran
Elektronis
(ATM Bersama)
- PT. Rintis
Sejahtera
(PRIMA)
- PT. Alto
Network
(ALTO)
- 76 bank
anggota
- 52 bank
anggota
- 21 bank
anggota
Internal ATM
Bank (Propietary
ATM)
Transfer dana elektronik
dengan menggunakan
kartu ATM untuk
pemindahbukuan antar
rekening di bank yang
sama
Beberapa bank
yang
menyediakan
fasilitas tersebut
Jaringan Prinsipal
Kartu ATM
(internasional)
- Transfer dana
elektronik
menggunakan kartu
ATM
- Mastercard
International
(Cirrus)
- Visa
International
(Plus)
- 13 bank
termasuk
konvensional
dan Unit
Usaha Syariah
(UUS)
- 14 bank
termasuk
konvensional
dan Unit
Usaha Syariah
- 2 bank
anggota
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 40 | P a g e
- UnionPay
Indonesia
Jaringan Prinsipal
Kartu Debet
(Nasional)
- Transfer dana secara
elektronik melalui
point of sales (jaringan
yang terpasang pada
merchant)
- PT Rintis
Sejahtera
(Debet Prima)
- PT. Artajasa
Pembayaran
Elektronis
(debet ATM
Bersama)
- PT. Alto
Network
(ALTO Debet)
- 15 bank
anggota
- 11 bank
anggota
- 2 bank
anggota
Internal Debit
Bank (Propietary
Debit)
Transfer dana elektronik
dengan menggunakan
kartu debet untuk
pemindahbukuan antar
rekening di bank yang
sama
Beberapa bank
yang
menyediakan
fasilitas tersebut
Jaringan Prinsipal
Kartu Kredit
- Pembayaran secara
elektronik
menggunakan kartu
kredit
- Visa
International
- Mastercard
international
- JCB
- Amerian
Express
- Unionpay
Indonesia
- 20 bank
anggota
- 18 Bank
umum dan 1
lembaga selain
bank
- 2 bank
anggota
- 1 bank
- 2 bank
Uang Elektronik - Pembayaran secara
elektronik dimana nilai
uang tersimpan pada
instrumen/device yang
- Bank dan
lembaga non
bank
- 6 Bank Umum
- 6 Perusahaan
telekomunikas
i
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 41 | P a g e
digunakan - 1 Perusahaan
Kegiatan Usaha
Pengiriman Uang
Non bank
- Pengiriman uang ke
luar wilayah RI, ke
dalam wilayah RI, dan
dalam wilayah RI
- Perusahaan
Telekomunikasi
- Kantor Pos
- Pegadaian
- Perusahaan Jasa
Titipan yang
menyelenggarak
an jasa
pengiriman
uang
- Badahn Usaha
- Perorangan
Money Transfer
Operator
(Penyediaan
sistem
pemrosesan
transfer dana)
- Menyediakan
sistem/jaringan dalam
kegiatan transfer dana
baik ke luar wilayah
Republik Indonesia, ke
dalam wilayah
Republik Indonesia,
maupun dalam wilayah
Republik indonesia
- Western Union
- MoneyGram
- Filecash BCA
sebagai MTO
- Beberapa
bank, PT. Pos
Indonesia, dan
badan usaha-
badan usaha
bukan bank
yang menjadi
agen Western
Union
- Beberapa bank
dan badan
usaha-badan
usaha bukan
bank yang
menjadi agen
MoneyGram
- Terhubung
dengan 44
Intitusi di luar
negeri dan
sebagai
enchasment
point di 905
Cabang BCA
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 42 | P a g e
domestic
2.3. Kebijakan Sistem Pembayaran
2.3.1.Upaya Peningkatan Efisiensi dan Keandalan Sistem dengan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 43 | P a g e
Pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi berdampak pada
perkembangan infrastruktur pasar keuangan (financial market infrastructures-FMIs)8
di Indonesia. FMIs yang saat ini ada di Indonesia antara lain adalah Sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS yang masing-masing telah dioperasikan sejak tahun 2000 dan 2004.
Dalam rangka meningkatkan performa layanan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS,
yang selama ini telah memainkan peranan penting dalam sistem keuangan dan
perekonomian Indonesia, sejak tahun 2008 Bank Indonesia mulai melakukan
pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II. Hal-hal yang
melatarbelakangi pengembangan tersebut adalah:
Infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dari kedua FMIs
tersebut tidak lagi mendapat dukungan pemeliharaan terkait isu obsoleteness;
Prospek pertumbuhan transaksi di pasar keuangan Indonesia dan transaksi
ekonomi lainnya di masa depan sangat signifikan, sehingga menuntut
operasionalisasi infrastruktur TIK dengan kapasitas pemrosesan yang dapat
terus ditingkatkan;
Tren penggunaan infrastruktur TIK yang dapat mendukung penyelenggaraan
FMIs dengan tingkat ketersediaan layanan yang tinggi dan fitur pengamanan
yang andal, telah menjadi standar internasional untuk infrastruktur TIK dari
FMIs;
Tren penyelenggaraan FMIs di banyak negara lainnya yang telah
menggunakan standar internasional dengan tujuan untuk menyelenggarakan
FMIs domestik yang semakin efisien dan aman. Di samping itu juga
dimaksudkan untuk mendukung efektifitas pelaksanaan kebijakan
makroekonomi seperti kebijakan moneter, pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK) dan pendalaman pasar keuangan; serta memfasilitasi
integrasi dengan pasar keuangan di negara lainnya, baik integrasi pada level
regional seperti MEA maupun global.
Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II akan mencakup aplikasi Sistem BI-
RTGS Generasi II, BI-SSSS Generasi II, Bank Indonesia Electronic Trading Platform
(BI-ETP), dan BI-Informasi dengan penjelasan sebagai berikut:
Sistem BI-RTGS merupakan SIPS dalam sistem pembayaran antarbank di
Indonesia, dan salah satu FMIs utama di Indonesia yang memproses
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 44 | P a g e
penyelesaian sisi pembayaran dari transaksi di pasar keuangan di Indonesia
yang bernilai besar dan memproses transaksi pembayaran antarbank bersifat
segera.
Selanjutnya melalui pengembangan Sistem BI-RTGS Generasi II, FMIs untuk
setelmen dana tersebut yang saat ini mekanisme setelmennya dilakukan secara gross
settlement (penyelesaian transaksi pembayaran dilakukan satu per satu transaksi)
selanjutnya akan dilakukan secara hybrid settlement. Mekanisme hybrid settlements
pada intinya merupakan gabungan mekanisme setelmen berbasis gross untuk transaksi
berprioritas tinggi dan mekanisme secara offsetting untuk transaksi pembayaran
antarbank yang bersifat less time critical. Melalui mekanisme tersebut, peserta Sistem
BI-RTGS dapat menghemat penggunaan likuiditas untuk keperluan setelmen,
meskipun setelmen transaksi pembayaran yang di-offsetting-kan tersebut tetap
dilakukan secara gross basis.
Selain itu, Sistem BI-RTGS Generasi II dilengkapi dengan fasilitas gridlock
detection and resolution yang lebih andal, yang dapat mendeteksi dan mencegah
risiko sistemik, yang dapat terjadi karena adanya transaksi pembayaran yang belum
dapat di-settle yang disebabkan saldo rekening giro peserta tidak mencukupi.
Kegagalan setelmen pada Sistem BI-RTGS tersebut berpotensi menimbulkan
kegagalan setelmen secara berantai (domino effect). Selanjutnya, untuk
mengakomodasi mekanisme setelmen secara Delivery-versus-Payment (DvP), yaitu
model DvP model 210 dan DvP model 311 dari transaksi Surat Berharga Negara
(SBN) dan instrumen keuangan lainnya yang ditatausahakan di BI-SSSS, pada Sistem
BI-RTGS Generasi II akan terdapat mekanisme multilateral net settlement.
Dengan fitur baru tersebut, Sistem BI-RTGS Generasi II akan dapat
mengefisienkan penggunaan likuiditas untuk setelmen dan memiliki pilihan perangkat
mitigasi risiko sistemik yang semakin lengkap, serta memiliki ketahanan (resilience)
yang semakin tinggi terhadap liquidity shock12.
BI-SSSS Generasi II adalah FMI yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
untuk sarana setelmen dan penatausahaan SBN, instrumen operasi moneter Bank
Indonesia serta instrumen keuangan lainnya. Fitur bisnis baru yang dikembangkan
dalam BI-SSSS Generasi II antara lain:
a. fasilitas gridlock detection & resolution guna meningkatkan kapabilitas BI-
SSSS dalam memitigasi risiko sistemik;
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 45 | P a g e
b. mekanisme multilateral net settlement untuk mengakomodasi setelmen dari
transaksi surat berharga secara DvP model 3;
c. modul collateral management13 untuk memitigasi risiko kredit dan risiko pasar
surat berharga yang digunakan sebagai collateral dalam transaksi antara dua
pihak. Modul collateral management dapat digunakan oleh:
penyelenggara BI-SSSS, untuk transaksi antara bank peserta Sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS dengan Bank Indonesia, untuk keperluan fasilitas
pendananaan intrahari dari Bank Indonesia kepada bank peserta Sistem
BI-RTGS dan Bi-SSSS, atau transaksi Repo perbankan dengan Bank
Indonesia, untuk keperluan operasi moneter kontraksi Bank Indonesia;
dan
bank peserta Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS, untuk transaksi pinjam
meminjam dana antarbank peserta Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS ,
transaksi Repo antarbank, dan pinjam meminjam surat berharga antarbank
(Securities Lending and Borrowing/SLB);
d. Penatausahaan rekening surat-surat berharga baik dalam rupiah maupun valuta
asing, sampai level investor individual.
Message format yang akan digunakan baik untuk instruksi setelmen transaksi
pembayaran Sistem BI-RTGS Generasi II maupun instruksi setelmen surat berharga
BI-SSSS Generasi II berbasis Society for Worldwide Interbank Financial
Telecommunication (SWIFT). Identifikasi kepesertaan14 pada Sistem BI-RTGS/BI-
SSSS Generasi II akan menggunakan SWIFT BIC (Bank Identifier Code), dan
identifikasi jenis instrumen keuangan yang ditatausahakan pada BI-SSSS Generasi II
mengacu pada Classification of Financial Instruments (CFI), serta struktur
identifikasi/kode surat berharga/instrumen keuangan16 pada BI-SSSS Generasi II
mengacu pada International Securities Identification Numbering (ISIN). Penggunaan
message format dengan standar internasional tersebut akan mendukung:
a. Peningkatan efisiensi pengoperasian infrastruktur interface ke core
banking peserta Sistem BI-RTGS/BISSSS17,
b. Kesiapan interoperabilitas Sistem BI-RTGS/BI-SSSS Generasi II
dalam melakukan integrasi FMIs Indonesia dengan FMIs di negara lain;
dan
c. Kebijakan pengembangan pasar keuangan Indonesia.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 46 | P a g e
d. BI-ETP adalah sarana lelang dan perdagangan SBN, instrumen operasi
moneter BanK Indonesia dan instrumen keuangan lainnya. Melalui
kebijakan pengurangan transaksi over the counter (OTC), Bank Indonesia
mengharapkan terciptanya transparansi informasi di pasar uang dan
berkurangnya segmentasi di antara pelaku pasar uang, yang selanjutnya
dapat meningkatkan aktivitas transaksi di pasar uang dalam rangka
mendukung pendalaman pasar keuangan.
BI-Informasi merupakan aplikasi sistem informasi yang menyediakan
data/informasi real time, yang bersumber dari penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS Generasi II serta BI-ETP. BI-Informasi dapat digunakan untuk mendukung
dalam pengambilan keputusan serta pengawasan penyelenggaraan sistem
pembayaran, pasar SBN, likuiditas perbankan, perbankan dan SSK oleh otoritas
terkait.
Terkait pengembangan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II, dalam
periode laporan telah dilakukan kegiatan penyusunan dan pembahasan dokumen
design and functional specifications Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II.
Penyusunan dokumen tersebut dilakukan dengan melibatkan pihak eksternal, yaitu
peserta Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS serta otoritas terkait lainnya, seperti OJK dan
DJPU dalam rangka mendapatkan informasi mengenai kebutuhan bisnis dan arah
kebijakan OJK dan DJPU yang perlu diakomodir dalam Sistem BI-RTGS dan BI-
SSSS Generasi II. Selain itu, juga dilakukan penyusunan konsep ketentuan Sistem BI-
RTGS dan BI-SSSS Generasi II.
Menindaklanjuti pengembangan pada 2011 yang berfokus pada penyusunan
design and functional specification dengan melibatkan pihak eksternal, maka pada
tahun 2012 kegiatan utama berfokus pada pengembangan aplikasi dan penyiapan
infrastruktur serta pelaksanaan uji coba terhadap Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS
Generasi II.
Dalam proses pengembangan aplikasi, pihak pengembang melakukan proses
pengembangan aplikasi yang disesuaikan dengan user requirements dari Bank
Indonesia. Aplikasi yang dikembangkan meliputi aplikasi Sistem BI-RTGS (RTS/X),
aplikasi BI-SSSS (DEPO/X), aplikasi Bank Indonesia Electronic Trading Platform
(TRADE/X) serta aplikasi Bank Indonesia Historical And Real Time Information
System (BI HARTIS). Terkait kegiatan penyiapan infrastruktur, tahapan ini dilakukan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 47 | P a g e
baik di sisi Bank Indonesia sebagai pihak yang akan mengoperasikan keempat
aplikasi di atas (operator) maupun di sisi peserta sebagai pengguna sistem tersebut.
Setelah tahap pengembangan aplikasi selesai, dilakukan serangkaian kegiatan uji coba
baik yang dilakukan oleh internal Bank Indonesia maupun uji coba yang melibatkan
working group yang beranggotakan bank dan non bank peserta Sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS. Pada saat yang bersamaan, telah dilakukan kegiatan sosialisasi kepada
seluruh peserta Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS untuk memaparkan progres
pengembangan dan menyampaikan persiapan yang harus dilakukan oleh seluruh
peserta. Terkait penyiapan ketentuan, Bank Indonesia mengacupada international
standard dan best practice dalam penyelenggaraan sistem pembayaran, antara lain
Principles for Financial Market Infrastructures (PFMIs).
2.3.2.Kebijakan SKNBI
Penerapan Multiple Settlement pada Kliring Kredit SKNBI
Untuk meningkatkan layanan transfer dana antarbank melalui SKNBI yang
lebih cepat, sejak 7 Januari 2011 Bank Indonesia telah menerapkan empat siklus
setelmen transfer dana melalui kliring kredit setiap dua jam sekali, yaitu pada pukul
10.00 WIB, 12.00 WIB, 14.00 WIB dan 16.00 WIB. Dengan diterapkannya
mekanisme multiple settlement pada kliring kredit, perbankan peserta SKNBI dapat
lebih cepat memperoleh hasil kliring kredit dan pada akhirnya nasabah pun dapat
menerima dana efektif lebih cepat.
Penerapan Mekanisme Kliring Debet Secara Online dan Penambahan Layanan
Kliring
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan mendukung kelancaran pelaksanaan
operasional di wilayah kliring Surabaya dan Medan, masing-masing pada 10 Juni dan
8 Juli 2011 KBI telah mengimplementasikan perubahan mekanisme pengiriman
transaksi kliring debet, yang sebelumnya offline menjadi online. Mengingat
perputaran volume warkat yang relatif tinggi di kedua wilayah kliring tersebut,
dengan perubahan mekanisme pengiriman transaksi kliring debet menjadi secara
online diharapkan dapat mempersingkat waktu pengiriman dan meminimalisir human
error. Penerapan mekanisme pengiriman transaksi kliring debet secara online juga
akan dilakukan di wilayah kliring lain yang memiliki volume warkat yang relatif
banyak.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 48 | P a g e
Penyempurnaan Tata Cara Penyelenggaraan Operasional Kliring Debet
Dalam rangka meningkatkan pelayanan, kelancaran dan efisiensi
penyelenggaran SKNBI, Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan tata cara
penyelenggaraan operasional kliring debet. Adapun penyempurnaan tata cara tersebut
meliputi:
1) Waktu pelaksanaan kliring penyerahan di wilayah Kliring Lokal Jakarta yang
selama ini dilakukan satu kali yaitu pukul 13.30 WIB sd 15.30 WIB, menjadi
dua kali yaitu pukul 08.30 WIB s.d. 11.00 WIB bersamaan dengan waktu
kliring pengembalian dan pukul 12.00 WIB s.d. 15.30 WIB.
2) Penyederhanaan jumlah dan bentuk laporan otomasi dan dokumen kliring
yang disampaikan kepada bank peserta kliring.
Penyempurnaan tata cara tersebut dilakukan untuk mempercepat proses
distribusi warkat kliring debet baik dari sisi Bank Indonesia dan mempercepat proses
pembukuan hasil kliring di internal bank peserta.
Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
Hasil evaluasi SKNBI pada 2011 menunjukkan perlunya dilakukan
penyempurnaan terhadap SKNBI baik dari aspek bisnis maupun teknis. Dalam jangka
pendek, beberapa penyempurnaan yang telah dilakukan pada 2012 antara lain: 1)
Efisiensi proses warkat debet, 2) Peningkatan bantuan kepada Penyelenggara Kliring
Lokal (PKL) selain Bank Indonesia untuk mengoptimalkan peran PKL selain BI, 3)
Implementasi kliring online pada beberapa wilayah kliring yang sebelumnya
dilakukan secara offline, dan 4) Pembukaan akses SKNBI kepada Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) melalui bank pengayom (Apex Bank). Dalamjangka panjang, perlu
dilakukan pengembangan terhadap SKNBI secara menyeluruh agar dapat
mengakomodir perkembangan serta kebutuhan masyarakat akan layanan transfer dana
yang lebih efisien.
Saat ini, layanan SKNBI masih terbatas pada transaksi yang bersifat
konvensional yaitu transaksi Cek dan Bilyet Giro (BG) serta transfer individual.
SKNBI belum dapat mengakomodir transaksi pembayaran yang bersifat rutin (billing
payment) dan transaksi pembayaran yang bersifat jamak (bulk payment). Layanan
SKNBI juga masih terbatas pada bank umum sebagai penyelenggara transfer dana
(PTD), sementara PTD selain bank sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang
Transfer Dana belum memiliki akses terhadap SKNBI. Untuk kliring debet, masih
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 49 | P a g e
terjadi ketidakefisienan penyediaan likuiditas oleh bank peserta kliring. Hal itu karena
perhitungan mekanisme Failure to Settle (FtS) melalui penyediaan prefund dilakukan
secara gross sehingga penyediaan dana menjadi lebih besar dari yang dibutuhkan
(setelah dilakukan netting).
Di sisi teknis, SKNBI yang telah beroperasi sejak 2005 semakin mendekati
batas kapasitasnya dalam memproses transaksi yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Pada 2013, sebagian infrastruktur SKNBI sudah mencapai umur teknis dan
berada pada periode end of support dari prinsipal. Sementara itu, aplikasi SKNBI
yang bersifat satu kesatuan (tidak modular) menyebabkan penyempurnaan pada satu
fitur akan berpengaruh pada fitur lain sehingga tidak fleksibel. Untuk kliring debet,
penyelenggaraan yang masih tersebar di banyak wilayah (desentralisasi)
menyebabkan biaya pemeliharaan menjadi tidak efisien.
Untuk mengatasi kendala dan menyempurnakan kelemahan pada SKNBI, pada
2012 Bank Indonesia mulai melakukan pengembangan SKNBI. Sebagai tahap awal,
Bank Indonesia menyusun konsep pengembangan SKNBI yang mengacu pada hasil
evaluasi SKNBI. Bank Indonesia juga melakukan survei kepada bank-bank peserta
SKNBI untuk menjaring kebutuhan dan masukan terkait rencana pengembangan
SKNBI. Konsep pengembangan SKNBI juga dibahas bersama Asosiasi Sistem
Pembayaran Indonesia (ASPI) sebagai perwakilan industri. Berdasarkan hasil survei
dan pembahasan dengan industri, dapat disimpulkan bahwa secara umum industri
mendukung langkah Bank Indonesia untuk mengembangkan SKNBI.
Berdasarkan hasil evaluasi SKNBI saat ini dan masukan dari industri, pada
2012 Bank Indonesia telah menyusun desain pengembangan SKNBI. Pokok-pokok
perbedaan antara SKNBI saat ini dengan SKNBI ke depan dapat dilihat pada matriks
berikut:
SKNBI Saat ini Rencana Pengembangan
Layanan Transfer debet dan kredit
indvidual
-Transfer debet dan kredit
individul
-Transfer debet dan kredit
bulk (termasuk billing
payment)
- Electronic Debit (e-
Debit)
Peserta Bank Umum Selain bank umum
kepesertaan juga dibuka
untuk BPR dan
penyelenggara transfer
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 50 | P a g e
dana selain bank
Penyelenggaraan Transfer kredit sudah
sentralisasi, sedangkan
transfer debet masih
desentralisasi
Sentralisasi layanan
transfer debet dan kredit
Sebagai tahap awal pengembangan SKNBI, fokus utama kegiatan selama 2012
adalah penyusunan dan pembahasan grand design SKNBI. Penyusunan grand design,
mengikutsertakan peserta SKNBI, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI)
sebagai perwakilan industri, dan otoritas terkait lainnya seperti Direktorat Jenderal
Pengelolaan Utang (DJPU) dalam rangka mendapatkan informasi mengenai
kebutuhan bisnis dan arah kebijakan DJPU yang perlu diakomodir dalam SKNBI ke
depan. Pengembangan SKNBI akan dimulai 2013, dengan mengacu pada grand
design sebagaimana Bagan Grand Design Pengembangan SKNBI.
2.3.3.Pengembangan Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) Bank
Perkreditan Rakyat (BPR)
Pengembangan STKE BPR merupakan upaya Bank Indonesia dan PT. Bank
Jatim untuk memperluas layanan sistem pembayaran melalui BPR sehingga dapat
lebih menjangkau masyarakat, khususnya masyarakat yang belum dapat dilayani oleh
bank umum. Sementara itu, jaringan BPR yang tersebar luas di berbagai daerah
hingga ke pelosok pedesaan saat ini masih sangat terbatas dalam memberikan layanan
sistem pembayaran.
Kondisi tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang belum terjangkau oleh
layanan sistem pembayaran dalam memenuhi kebutuhan untuk bertransaksi. Selain
itu, masih terdapat mekanisme kegiatan transfer dana yang kurang efisien oleh BPR
dimana BPR harus membuka rekening giro di beberapa bank umum dan membuat
virtual account untuk nasabahnya.
Untuk mengakomodir kebutuhan transaksi pembayaran nasabah BPR sekaligus
memperluas akses masyarakat terhadap layanan sistem pembayaran, pada 2012 Bank
Indonesia mengembangkan STKE BPR. Pengembangan STKE BPR dilakukan
dengan konsep two tier system dimana transfer antar BPR tidak dilakukan secara
langsung (one tier system), namun dilakukan melalui bank umum. Sebagai tahap
awal, Bank Indonesia mengembangkan pilot project STKE BPR bersama PT. Bank
Jatim selaku bank umum yang akan menyelenggarakan STKE BPR di wilayah Jawa
Timur. Pengembangan pilot project STKE BPR wilayah Jawa Timur telah berhasil
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 51 | P a g e
diimplementasikan dan diresmikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution
pada 29 November 2012 di Surabaya (lihat Boks 3.1: Implementasi STKE BPR
Wilayah Jawa Timur). Pengembangan STKE BPR untuk wilayah lain akan dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan BPR maupun bank pengayom
di wilayah tersebut.
2.3.4.Implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Nasional dalam rangka
Persiapan MEA
Berdasarkan hasil pemetaan terhadap kondisi sistem pembayaran dan setelmen
di Indonesia saat ini, tren sistem pembayaran, analisis isu-isu strategis dari sisi
kebijakan, kerangka hukum, kelembagaan, instrumen, dan infrastruktur/mekanisme,
telah disusun arah kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran nasional yang
tertuang dalam blueprint sistem pembayaran nasional 2011.
Implementasi dari blueprint tersebut dijabarkan ke dalam program kerja Bank
Indonesia yang terbagi dalam program jangka pendek (2012-2013), jangka menengah
(2014-2015) dan jangka panjang (2016-2017). Walaupun terbagi ke dalam beberapa
milestone namun seluruh program kerja yang akan dilaksanakan tetap mengarah pada
terwujudnya sistem pembayaran yang cepat, aman, efisien, andal, dan mengutamakan
perlindungan kepada nasabah, serta meningkatkan national competitive advantage.
Secara umum, fokus program kerja jangka pendek 2012 adalah meningkatkan
keamanan, keandalan dan efisiensi infrastruktur penyelenggaraan sistem pembayaran,
memperkuat legal framework penyelenggaraan sistem pembayaran, mempersiapkan
pemenuhan terhadap International Standard and Best Practices, memperkuat
pengawasan sistem pembayaran dan memperluas penggunaan instrumen pembayaran
non-tunai (less cash society).
Terkait dengan fokus pertama, yaitu meningkatkan keamanan, keandalan dan
efisiensi infrastruktur penyelenggaraan sistem pembayaran, program kerja yang
dilaksanakan selama 2012 meliputi pengembangan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS
Generasi II, pengembangan NPG, pengembangan SKNBI, pengembangan sistem
pembayaran dalam rangka meningkatkan akses terhadap penggunaan jasa sistem
pembayaran (financial inclusion), penguatan business continuity management (BCM),
penyempurnaan sistem informasi sistem pembayaran, serta peningkatan peran Bank
Indonesia dalam forum internasional.
Fokus selanjutnya, yaitu peningkatan keamanan penyelenggaraan sistem
pembayaran, dijabarkan ke dalam program kerja implementasi penggunaan chip pada
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 52 | P a g e
kartu ATM dan ATM/Debet, serta penyempurnaan framework pengawasan sistem
pembayaran.
Adapun penjabaran dari fokus perluasan penggunaan instrumen pembayaran
non-tunai adalah program kerja untuk melakukan edukasi preferensi masyarakat
untuk penggunaan sistem pembayaran non-tunai dan melakukan fasilitasi perluasan
jenis dan jangkauan sistem pembayaran non-tunai.
Selain program kerja jangka pendek di atas, Bank Indonesia juga sudah
melakukan inisiatif untuk menjawab isu strategis yang muncul dalam sistem
pembayaran nasional, seperti yang terkait dengan kerangka hukum dalam
penyelenggaraan sistem pembayaran dan setelmen melalui penyusunan ketentuan
terkait perlindungan nasabah pengguna jasa sistem pembayaran dan penyusunan
undang-undang sistem pembayaran. Selain itu Bank Indonesia juga mendorong
peningkatan peran pelaku sistem pembayaran domestik dalam sistem pembayaran
ritel dalam rangka menjawab isu terkait kelembagaan.
Bagan implementasi Blueprint dalam rangka MEA
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 53 | P a g e
2.3.5.Tahapan Pengembangan National Payment Gateway (NPG) Sistem
Pembayaran Ritel
Interkoneksi sistem pembayaran ritel menjadi cita-cita bersama Bank Indonesia
dan para pengguna layanan jasa sistem pembayaran di Indonesia. Inisiatif untuk
mewujudkan interkoneksi diperkenalkan melalui NPG. Bank Indonesia dan pelaku
industri sistem pembayaran nasional telah memiliki kesepahaman bahwa terdapat
kebutuhan masyarakat untuk menggunakan jasa sistem pembayaran ritel secara lebih
efisien.
Untuk mewujudkan efisiensi tersebut, perlu diupayakan untuk mengembangkan
suatu sistem yang dapat menghubungkan antar penyelenggara sistem pembayaran.
Sementara itu, kondisi saat ini penyelenggara jasa sistem pembayaran ritel masih
mengembangkan sistem masing-masing dan belum saling terhubung satu sama lain.
Dalam rangka mewujudkan interkoneksi secara nasional diawali dengan upaya
mendorong dua bank yang selama ini mendominasi transaksi pembayaran ritel yaitu
Bank Mandiri dan BCA. Sejak pertengahan Januari 2012, nasabah pemegang kartu
ATM Bank Mandiri dapat menggunakan kartunya di ATM BCA atau sebaliknya
untuk fitur informasi saldo, tarik tunai dan transfer. Kerja sama ini sangat mendukung
upaya perluasan akses layanan ATM di kedua bank tersebut. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya tren peningkatan transaksi antar kedua bank tersebut melalui ATM
yaitu meningkat sebesar 174,27% dari awal mulai diimplementasikannya sampai
dengan Desember 2012.
Manfaat interkoneksi dua bank tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh
positif kepada industri penyelenggara jasa sistem pembayaran ritel, khususnya dalam
membangun kesadaran dan kebutuhan adanya interkoneksi layanan. Hal tersebut
dapat mendorong terwujudnya NPG yang tidak hanya mengkoneksikan
penyelenggaraan ATM, namun dapat mengkoneksikan penyelenggaraan sistem
pembayaran lainnya seperti kartu kredit, kartu debet, dan uang elektronik.
Manfaat lain yang diperoleh dari interkoneksi adalah optimalisasi pemanfaatan
infrastruktur yang disediakan industri perbankan. Dengan saling interkoneksi, bank
tidak perlu lagi menyediakan infrastruktur berupa mesin ATM dan EDC di suatu
tempat yang sama. Selain itu, penyelenggara sistem pembayaran dapat menempatkan
infrastruktur secara lebih merata sehingga dapat meningkatkan penggunaan instrumen
pembayaran nontunai oleh masyarakat dapat lebih luas.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 54 | P a g e
Dalam kaitan ini, Bank Indonesia mengharapkan peran industri untuk
mendistribusikan infrastruktur yang dimiliki sampai ke lokasi yang terpencil. Melalui
NPG diharapkan arus informasi transfer dana dapat lebih terpantau, sehingga Bank
Indonesia akan mudah mengontrol pergerakan dana baik domestik maupun
antarnegara. Selain itu, NPG juga dapat digunakan untuk memantau kondisi likuiditas
industri sistem pembayaran, sehingga melalui NPG tersebut bank sentral dapat
melakukan pendeteksian dini dalam rangka mendukung stabilitas industri sistem
pembayaran nasional.
Selama periode laporan, terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan untuk
mendukung pengembangan NPG yaitu menyusun kajian aspek hukum mengenai
lembaga yang berwenang menyelenggarakan NPG. Dari hasil kajian, diperoleh
kesimpulan bahwa secara ketentuan Bank Indonesia dapat bertindak sebagai
penyelenggara NPG karena kegiatan NPG merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kegiatan kliring dan penyelesaian akhir. Di samping itu, telah dilakukan kajian
kebijakan NPG yang antara lain meliputi aspek keanggotaan, cakupan
penyelenggaraan, mekanisme kliring dan setelmen. Selanjutnya guna memperoleh
masukan dari industri terkait dengan pengembangan NPG, Bank Indonesia melakukan
diskusi dengan industri yang diwakili oleh ASPI serta beberapa bank terkait.
2.3.6.Upaya Mewujudkan Interoperabilitas melalui Kegiatan Fasilitasi
Interkoneksi Industri Uang Elektronik
Salah satu karakteristik penggunaan uang elektronik adalah digunakan untuk
transaksi dengan nilai kecil dan bersifat massive. Sektor transportasi merupakan
sektor yang sesuai dengan karakteristik tersebut, sehingga sebagai tahap awal upaya
mewujudkan interoperabilitas2 uang elektronik difokuskan pada sektor transportasi.
Hal ini karena potensi pembayaran sektor transportasi seperti di TransJakarta,
Kereta Api, Taxi, Perparkiran dan Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai Rp23,4
triliun/tahun. Selain itu, kemudahan dan kenyamanan penggunaan uang elektronik di
sektor ini, diharapkan dapat membiasakan masyarakat untuk menggunakan uang
elektronik di sektor lain. Namun demikian, kondisi saat ini, penggunaan uang
elektronik di Indonesia khusus untuk sektor transportasi masih terbatas dan belum
optimal. Hal ini disebabkan masyarakat belum dapat merasakan kenyamanan dalam
menggunakan uang elektronik. Saat ini diperlukan uang elektronik dari berbagai
penerbit untuk melakukan berbagai transaksi khususnya di sektor transportasi,
misalnya ketika akan bertransaksi membayar tol dan membayar parkir, diperlukan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 55 | P a g e
uang elektronik yang berbeda. Selain itu, kondisi ini menyebabkan inefisiensi dalam
penyelenggaraan uang elektronik.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Bank Indonesia memfasilitasi interkoneksi
industri uang elektronik untuk mewujudkan interoperabilitas dalam penyelenggaraan
uang elektronik dengan tahap awal di sektor transportasi. Sebagai tahap awal
mewujudkan interoperabilitas tersebut, pada periode laporan Bank Indonesia telah
memfasilitasi penggunaan uang elektronik di kereta api khususnya kereta komuter
Jabodetabek. Hal tersebut sejalan dengan program Unit Kerja Presiden bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang salah satunya yaitu
mengatasi kemacetan di Jakarta.
Sesuai hasil koordinasi dengan UKP4, salah satu langkah kolaboratif dalam
jangka pendek (temporary solution) atas penggunaan uang elektronik di sektor
transportasi publik adalah dengan menggunakan uang elektronik di kereta listrik
(KRL), jalan tol dan TransJakarta. Fasilitasi yang telah dilakukan oleh Bank
Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Fasilitasi Interkoneksi pada PT. KAI Grup
Tindak lanjut pelaksanaan kesepakatan dengan Kementerian BUMN
dan Bank Himbara, Bank Indonesia melakukan pembahasan dengan PT.
KAI Grup termasuk anak perusahaannya yaitu PT. Kereta Api Commuter
Jabodetabek (KCJ) dan PT. Railink Indonesia. Pada prinsipnya PT. KAI
Grup sepakat untuk menerapkan e-ticketing di lingkungan PT. KAI
melalui interkoneksi uang elektronik dari beberapa penerbit agar dapat
meningkatkan layanan kepada penumpang yang terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Terkait pengembangan e-ticketing, PT. KCJ dan bank telah
melakukan uji coba untuk mengintegrasikan jaringan dan sistem dari
penerbit. Selanjutnya, PT. KJC juga melakukan penataan sarana dan
prasarana di lingkungan stasiun dan melakukan edukasi kepada seluruh
penumpang terkait rencana implementasi e-ticketing. Tahap awal PT. KJC
akan menempatkan 250 reader di 35 stasiun yang telah memiliki sarana
dan prasarana yang memadai untuk implementasi e-ticketing. Selain itu,
dalam rangka mempersiapkan pembayaran tiket menggunakan uang
elektronik pada kereta api bandara dari Kuala Namo menuju Medan, PT.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 56 | P a g e
Railink telah menyiapkan infrastruktur e-payment agar dapat
dimanfaatkan oleh bank-bank penerbit uang elektronik.
2) Fasilitasi Interkoneksi Uang Elektronik pada TransJakarta
Berkaca dari keberhasilan implementasi interkoneksi uang
elektronik di TransJogja dan Prameks, Pemerintah provinsi (Pemprov)
DKI Jakarta melakukan adopsi mekanisme interkoneksi uang elektronik
(e-ticketing) pada TransJakarta di Jakarta. Pada akhir 2012 Pemprov DKI
Jakarta menetapkan lima bank untuk mengimplementasikan e-ticketing
TransJakarta yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA dan DKI.
Dalam interkoneksi tersebut, Bank berperan dalam penyiapan
infrastruktur e-ticketing TransJakarta, dan secara bersama-sama
melakukan edukasi e-ticketing kepada masyarakat. Adapun kegiatan
sampai dengan akhir 2012 adalah melakukan review pengembangan dan
optimalisasi sistem, serta penyiapan sarana dan prasarana persiapan
peresmian implementasi e-ticketing di Koridor 1 TransJakarta (Blok M –
Kota) pada pertengahan Januari 2013.
3) Fasilitasi Interkoneksi Uang Elektronik berbasis server
Dalam rangka lebih meningkatkan penggunaan uang elektronik
berbasis server, selama periode laporan, pada tahap awal telah dilakukan
pertemuan antara Bank Indonesia dengan tiga penerbit uang elektronik
berbasis server yaitu Indosat, Telkomsel dan XL. Dari hasil pertemuan,
ketiga penerbit uang elektronik berbasis server tersebut sepakat untuk
turut mendukung program Bank Indonesia guna mewujudkan interkoneksi
di industri ini. Sesuai target interkoneksi akan dapat diselesaikan pada
pertengahan tahun 2013.
Selain kegiatan fasilitasi, untuk mewujudkan interkoneksi, Bank
Indonesia juga melakukan koordinasi dengan Kementerian Negara
BUMN, tiga Bank BUMN, dan beberapa perusahaan BUMN. Untuk
mewujudkan interkoneksi uang elektronik di sektor transportasi
dibutuhkan dukungan dan sinergi penyedia jasa transportasi BUMN di
Indonesia mengingat potensinya yang sangat besar. Dari hasil koordinasi
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 57 | P a g e
dengan Kementerian Negara BUMN diperoleh komitmen untuk
membentuk prinsipal uang elektronik dan menghilangkan perjanjian
kerjasama yang eksklusif di sektor transportasi sehingga diharapkan dapat
meningkatkan penggunaan uang elektronik.
2.3.7.Implementasi Standar Nasional Kartu ATM dan ATM/Debet
Untuk meningkatkan keamanan pada penyelenggaraan kartu ATM dan
ATM/Debet, Bank Indonesia menginisiasi penyusunan standar kartu ATM dan
ATM/Debet berbasis chip mengingat teknologi chip merupakan teknologi paling
aman saat ini. Dalam rangka mendukung implementasi standar dimaksud, Bank
Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/22/DASP tanggal 18
Oktober 2011 perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal
Identification Number (PIN) pada Kartu ATM dan ATM/Debet yang diterbitkan di
Indonesia. Hal tersebut memberikan konsekuensi pada dimulainya tahapan
implementasi pada 2012. Sejumlah tahapan persiapan implementasi terus dilakukan
selama 2012, yaitu pembentukan Certification Body (CB) dan pelaksanaan proses
sertifikasi vendor kartu dan mesin, yaitu:
Pembentukan dan operasionalisasi Certification Body (CB) Pada Juli 2012, CB
telah terbentuk dengan nama PT. Citra Bakti Indonesia (CBI) dan dimiliki oleh
Forum Prinsipal. Fungsi dari CB adalah melakukan sertifikasi terhadap produk
kartu dan mesin dari berbagai vendor untuk memastikan kesesuaian dengan
spesifikasi yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan dilakukan
functional dan security test.
Pendistribusian Spesifikasi Teknis National Standard for Indonesia Chip Card
Specification (NSICCS) Proses pendistribusian spesifikasi teknis NSICCS
berlangsung sejak akhir 2011. Hampir seluruh penerbit telah memperoleh
spesifikasi teknis terutama penerbit yang telah menjadi anggota prinsipal.
2.3.8.Implementasi Roadmap Pengembangan Sistem Pembayaran dan
Setelmen ASEAN
Dalam rangka pengembangan sistem pembayaran dan setelmen di ASEAN,
ASEAN Working Committee on Payment and Settlement Systems (WC PSS) telah
menyusun rekomendasi yang terbagi dalam milestone dan tahapan sebagai berikut:
Rekomendasi jangka pendek (2012-2013), memuat mengenai
standardisasi.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 58 | P a g e
Rekomendasi jangka menengah (2014-2015), memuat mengenai
pengembangan infrastruktur dan prasarana sistem pembayaran dan setelmen.
Rekomendasi jangka panjang (setelah 2015), memuat mengenai
pengkajian kemungkinan pengembangan linkages antara berbagai sistem
pembayaran di kawasan ASEAN.
Sesuai milestone rekomendasi di atas, fokus tahun 2012 adalah pada
penerapan standar dalam sistem pembayaran dan setelmen, baik sistem pembayaran
nilai ritel maupun nilai besar. Dalam jangka pendek, salah satu bentuk proses menuju
standardisasi di sisi sistem pembayaran nilai besar adalah pada penggunaan message
format berbasis SWIFT pada sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II mengingat
message format berbasis SWIFT merupakan best practice yang digunakan oleh
institusi keuangan di berbagai negara. Dengan penggunaan message format berstandar
internasional tersebut diharapkan akan mempermudah interkoneksi infrastruktur baik
di perbankan nasional maupun dengan sistem pembayaran dan setelmen di negara
lain.
Penggunaan message format berbasis SWIFT dalam BI-RTGS dan BI-SSSS
generasi II di atas sejalan dengan rekomendasi WC-PSS yang lain, yaitu yang terkait
dengan adanya penyelenggaraan straight through processing (STP) untuk setelmen
surat berharga, baik di tingkat domestik maupun lintas batas negara. Dari sisi sistem
pembayaran ritel, upaya yang telah dilakukan dalam rangka menuju standardisasi
adalah dengan penerapan standar untuk kartu ATM dan ATM/ Debet, yang meliputi
standar penggunaan Chip dan standar digit PIN. Tujuan standardisasi tersebut, di
samping untuk perlindungan nasabah dari risiko fraud adalah juga untuk memudahkan
dalam mewujudkan interoperability yang lebih luas di masa yang akan datang, baik di
level domestik maupun internasional serta efisiensi dan memudahkan dalam
pengembangan fungsi-fungsi lainnya di masa yang akan datang.
Selain rekomendasi terkait standardisasi di atas, rekomendasi jangka pendek
lainnya adalah terkait dengan kebijakan untuk mendorong penggunaan jasa remitansi
formal serta peningkatan transparansi biaya remitansi untuk meningkatkan
perlindungan kepada konsumen. Upaya yang telah dilakukan terkait rekomendasi
untuk mendorong penggunaan jasa remitansi formal, antara lain dengan mendorong
penyedia jasa remitansi non formal untuk menjadi berizin (formal), mendorong
penyedia jasa keuangan non bank formal untuk dapat menjangkau daerah pedesaan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 59 | P a g e
dan masyarakat yang belum menggunakan jasa perbankan, serta melalui edukasi dan
sosialisasi kepada pengguna jasa remitansi (TKI) untuk menggunakan jasa remitansi
formal. Sementara upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan transparansi biaya
remitansi adalah dengan ketentuan yang mewajibkan pihak penyelenggara jasa
remitansi untuk transparan dalam hal biaya.
2.4. Pengawasan Sistem Pembayaran
Sebagai.mana diamanatkan UU Bank Indonesia dan UU Transfer Dana, Bank
Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran berwenang untuk melakukan
pengawasan, pemantauan, atau pemeriksaan terhadap penyelenggara jasa sistem
pembayaran, selain kewenangan di bidang pengaturan dan perizinan serta
penyelenggaraan sistem pembayaran. Berdasarkan Peraturan Dewan Gubernur (PDG)
No. 7/31/PDG/2005 tanggal 30 Desember 2005 Tentang Pengawasan Sistem
Pembayaran, yang dimaksud dengan pengawasan sistem pembayaran adalah
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap penyelenggaraan sistem
pembayaran, yang pada prinsipnya dimaksudkan untuk menjaga efisiensi, kecepatan,
keamanan dan kehandalan fungsi sistem pembayaran, yang dilakukan secara
independen, profesional dan obyektif. Adapun tabel perbedaan pengawasan sistem
pembayaran dan pengawasan perbankan sebagai berikut :
Agar tujuan pengawasan sistem pembayaran dapat lebih efektif dan efisien
maka cakupan pengawasan meliputi:
1. Sistem pembayaran yang apabila terjadi gangguan pada sistem tersebut dan
sistem tersebut tidak disertai dengan perlindungan yang memadai dapat
menimbulkan gangguan secara sistemik yang berdampak kepada system
keuangan secara luas (Systemically Important Payment Systems - SIPS), seperti
sistem BI-RTGS.
2. Sistem pembayaran yang tidak termasuk kategori SIPS, namun digunakan oleh
masyarakat luas dan apabila terganggu dapat mengurangi kepercayaan dan
kenyamanan masyarakat pengguna sistem pembayaran (System Wide Important
Payment Systems - SWIPS) seperti sistem kliring cek/bilyet giro, sistem
penyelenggaraan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK).
3. Sistem Penyelesaian transaksi surat berharga, baik yang diselenggarakan oleh
Bank Indonesia maupun pihak lain. Sistem Penyelesaian transaksi surat surat
berharga merupakan sistem yang sangat berpengaruh pada stabilitas system
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 60 | P a g e
keuangan karena transaksinya melibatkan banyak pihak dan nilai transaksi
secara total signifikan.
Ruang lingkup pengawasan Sistem Pembayaran menitikberatkan pada aspek
keamanan, dan efisiensi di dalam penyelenggaraannya serta memastikan dipatuhinya
ketentuan Bank Indonesia seperti ketentuan perlindungan konsumen, manajemen
risiko serta Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan
PPT). Seluruh penyelenggara system pembayaran yang berizin dari Bank Indonesia,
menjadi obyek pengawasan Bank Indonesia.
PDG Pengawasan menjelaskan bahwa pelaksanaan pengawasan system
pembayaran dilakukan oleh Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP) c.q.
Bagian PwSP. Pengawasan dapat dilakukan oleh Bagian PwSP secara sendiri,
dilakukan secara bersama-sama dengan satuan kerja terkait lainnya atau dilakukan
secara berkoordinasi dengan satuan kerja terkait lainnya. Bagian Pengawasan Sistem
Pembayaran (PwSP) dibentuk berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia
No.4/18/INTERN tanggal 30 Mei 2002 sebagaimana telah diubah dengan Surat
Edaran No.4/27/INTERN tanggal 18 Juli 2002 dan Surat Edaran No.6/59/INTERN
tanggal 2 November 2004 serta berada di bawah Direktorat Akunting dan Sistem
Pembayaran. Pemeriksaan secara bersama-sama maksudnya adalah tim pemeriksa
system pembayaran melakukan pemeriksaan bersama dengan tim pemeriksa satuan
kerja terkait, misalnya Satuan Kerja Pemeriksaan Bank terkait. Sedangkan
pemeriksaan dengan berkoordinasi dilakukan dengan terlebih dahulu memberitahukan
rencana pemeriksaan kepada satuan kerja terkait, misalnya dengan Kantor Bank
Indonesia. Pengawasan sistem pembayaran difokuskan pada sistem dan bukan pada
individu pelaku sistem pembayaran. Metode pengawasan sistem pembayaran yang
digunakan dapat dibedakan atas:
1. Pengawasan Tidak Langsung
Pengawasan Tidak Langsung merupakan pengawasan terhadap penyelenggaraan
system pembayaran yang dilakukan dalam bentuk penelitian, analisis dan
evaluasi atas informasi yang diperoleh Bank Indonesia dari laporan
penyelenggara dan peserta sistem pembayaran atau sumber lainnya. Fokus
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia pengawasan tidak langsung.
2. Pengawasan Langsung
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 61 | P a g e
Apabila diperlukan, antara lain untuk memastikan kebenaran informasi yang
diterima Bank Indonesia dari laporan yang disampaikan penyelenggara/peserta
sistem pembayaran, Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung
terhadap penyelenggara dan peserta system pembayaran. Pengawasan langsung
merupakan pengawasan yang dilakukan dalam bentuk pemeriksaan diikuti
dengan tindakan perbaikan.
Untuk kemudahan melakukan pemeriksaan maka diperlukan suatu pedoman
pemeriksaan. Sesuai dengan pengelompokan bidang kerja di Bagian PwSP,
pemeriksaan yang dilakukan dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu Sistem
BI-RTGS, Sistem Kliring Nasional dan APMK.
2.4.1.Pengawasan Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank
Indonesia
Bank Indonesia (BI) melakukan pengawasan terhadap sistem pembayaran
dengan maksud untuk menjaga kemanan dan kelancaran sistem pembayaran.
Pengawasan terhadap sistem pembayaran dilakukan baik terhadap sistem yang
diselenggarakan oleh BI. BI juga mengawasi pengawasan terhadap sistem yang
diselenggarakan oleh pihak lain, seperti penyelenggara alat pembayaran dengan
menggunakan kartu (APMK) yang meliputi kartu kredit, kartu ATM dan kartu debet,
uang elektronik, dan kegiatan usaha pengiriman uang.
Pengawasan dilakukan dengan cara monitoring, antara lain berdasarkan laporan
yang disampaikan oleh penyelenggara kepada Bank Indonesia. Selain itu, pengawasan
juga dilakukan dengan assessement. Ini dilakukan untuk menilai kondisi
penyelenggaraan sistem pembayaran oleh penyelenggara terutama aspek kelancaran
dan keamanan sistem. Pengawasan dilakukan dengan upaya-upaya untuk mendorong
perubahan atau inducing change.
Berdasarkan hasil pengawasan selama periode laporan, dari sisi operasional,
terjaganya ketersediaan Sistem BIRTGS, BI-SSSS, dan PVP selama tahun 2012 tidak
terlepas dari keandalan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS serta Business Continuity Plan
(BCP) untuk menyediakan infrastruktur back up system yang dapat menggantikan
setiap saat bila terjadi gangguan pada sistem utama. Terkait dengan kesinambungan
dan kesiapan back up system tersebut, dari hasil pengawasan selama periode laporan
telah dilakukan uji coba secara berkala terhadap back up system, serta pengkinian
sistem jaringan komunikasi data yang semula System Network Architecture (SNA)
menjadi Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCPIP). Beralihnya sistem
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 62 | P a g e
jaringan komunikasi data tersebut sejalan dengan tren pertumbuhan jumlah transaksi
yang sangat tinggi, sehingga diperlukan teknologi yang mampu menampung kapasitas
yang lebih besar, mengingat teknologi SNA hanya mempunyai kapasitas 64kb dan
saat ini sudah tidak supported dan obsolete.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan PvP
Selama periode laporan, keandalan Sistem BI-RTGS terjaga dengan baik terlihat
dari ketersediaan atau tingkat availability Sistem BI-RTGS yang memenuhi service
level yang telah ditetapkan. Hal serupa juga dialami oleh sistem PvP yang merupakan
sarana untuk bertransaksi USD/IDR melalui PvP Link. Selama periode laporan,
sistem PvP berjalan dengan aman dan lancar yang ditandai dengan tingkat
ketersediaan sistem yang memenuhi service level yang telah ditetapkan.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS
Selama periode laporan sistem BI-RTGS, sistem BI-SSSS secara operasional
berjalan dengan baik. keandalan Sistem BI-SSSS terjaga dengan baik terlihat dari
ketersediaan atau tingkat availability Sistem BI-SSSS yang memenuhi service level
yang telah ditetapkan. Selama 2012, pengelolaan likuiditas oleh peserta pada sistem
BI-RTGS juga berjalan dengan baik dan lancar ditandai dengan:
a. Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) hanya terjadi satu kali
pada Juni 2012.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 63 | P a g e
Keterangan : Throughput guideline adalah suatu target dimana Peserta
diharapkan telah menyelesaikan persentase tertentu dari total pembayaran
selama 1 hari dengan mengacu pada graduated payment schedule < 10.30
WIB ; 10.30 s/d 14.30 WIB ; 14.30 s/d 16.30 diharapkan 30% : 30% :
40%.
b. Terpenuhinya target throughput guideline penyelesaian transaksi masih
berada dalam pola jangka waktu acuan yang ditetapkan, dan rata-rata
mayoritas transaksi diselesaikan pada awal hari. Kelompok bank campuran
mempunyai pola yang sedikit berbeda, namun hal ini tidak sampai
mengganggu kelancaran sistem pembayaran secara keseluruhan.
Sedangkan untuk kelompok non bank, kurang mengikuti graduated
payment schedule. Hal ini dikarenakan nature of business kelompok non
bank yang penyelesaian transaksinya mengandalkan incoming transaction.
Grafik berikut menunjukkan pola distribusi penyelesaian transaksi per
kelompok bank selama periode laporan.
c. Turn over ratio, merupakan perbandingan antara outgoing transaction
yang diselesaikan melalui saldo rekening bank yang disediakan pada awal
hari. selama periode laporan saldo rekening bank yang disediakan pada
awal hari, masih longgar. Turn over ratio per kelompok bank selama
periode laporan ditunjukkan pada grafik 4.2.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 64 | P a g e
d. Queue transaction atau transaksi yang mengalami antrian di sistem karena
bank tidak mempunyai kecukupan dana untuk melakukan setelmen pada
saat transaksi dikirimkan. selama periode laporan, rata-rata secara volume
maupun nominal transaksi per bulan sangat kecil (tidak lebih dari 0,05%
dari total transaksi). Seluruh transaksi tersebut dapat diselesaikan pada
akhir hari sehingga tidak terjadi risiko setelmen. Proporsi Queue
transaction selama periode laporan di tunjukkan pada grafik 4.3 dan 4.4
sebagai berikut :
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 65 | P a g e
Pengawasan Terhadap Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
Salah satu mekanisme dalam sistem pembayaran adalah kliring, yaitu pertukaran
warkat atau data keuangan elektronik antar peserta kliring baik atas nama peserta
maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu
tertentu.
Secara umum, operasional penyelenggaraan SKNBI selama 2012 berjalan baik
dan lancar yang ditunjukkan dengan tidak adanya system down. Meski secara harian
terdapat beberapa kasus perpanjangan waktu yang diakibatkan permasalahan teknis,
namun hal tersebut tidak mengganggu penyelenggaraan SKNBI secara keseluruhan.
Total perpanjangan waktu operasional SKNBI sepanjang tahun 2012 adalah 1,04%
dari total waktu operasional normal. Sama halnya dengan Sistem BI-RTGS, untuk
menjaga kelancaran operasional SKNBI, Bank Indonesia juga memiliki prosedur
contingency yang didukung dengan infrastruktur back up yang andal.
Likuiditas peserta SKNBI sepanjang 2012 secara umum juga dapat terjaga
dilihat dari beberapa indikator antara lain, pemenuhan kewajiban penyediaan prefund,
penggunaan prefund, top up prefund dan transaksi yang tidak dapat diperhitungkan.
Sepanjang 2012, tidak ada bank yang mengalami ketidakmampuan memenuhi
penyediaan prefund di awal hari sebagai syarat untuk dapat mengikuti kliring harian.
Total prefund kliring debet dan kliring kredit yang disediakan peserta dari Januari
sampai dengan Desember 2012 mencapai Rp4.434 triliun dengan total nilai transaksi
sampai dengan Desember 2012 sebesar Rp2.170 triliun. Dengan demikian rata-rata
penggunaan prefund sepanjang tahun 2012 adalah 48,71% dengan penggunaan
terendah 44% yang terjadi pada Februari 2012 dan tertinggi 52,54% yang terjadi pada
November 2012. Hal ini menunjukkan bahwa prefund yang tersedia masih jauh lebih
besar dari kewajiban yang harus dipenuhi peserta. Namun demikian, secara individu,
masih terdapat transaksi dari beberapa peserta yang tidak diperhitungkan karena
peserta tidak melakukan top up prefund. Meskipun secara umum tidak mengganggu
proses kliring secara keseluruhan, namun hal tersebut juga menjadi perhatian dalam
aspek perlindungan kepada para pemegang Cek/Bilyet Giro karena mengakibatkan
tertundanya pembayaran melalui proses kliring.
2.4.2. Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar Bank
Indonesia
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 66 | P a g e
Pengawasan terhadap Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
(APMK)
1) Kartu Kredit
Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh penerbit kartu kredit
sepanjang periode 2012, jumlah kasus fraud terkait penggunaan kartu
kredit mencapai 11.263 kasus atau 0,006% dari total transaksi kartu kredit
sepanjang 2012. Sementara nominal kerugian akibat fraud yang
dilaporkan (aktual maupun potensial) mencapai Rp 34,18 miliar atau
0,017 % dari total nominal transaksi kartu kredit yang terjadi selama
2012. Jumlah kasus dan nominal fraud ini mengalami peningkatan
disbanding periode tahun sebelumnya masing-masing sebesar 43,76% dan
2,45%. Adapun gambaran perkembangan jumlah kasus fraud dan nominal
kerugian kartu kredit (aktual maupun potensial) sejak 2009 sampai dengan
2012 sebagaimana grafik berikut:
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 67 | P a g e
Pada tahun-tahun sebelumnya jumlah kasus dan nominal fraud kartu
kredit mengalami penurunan yang cukup signifikan terutama sejak
diwajibkannya penggunaan chip untuk kartu kredit per 1 Januari 2010.
Namun pada tahun 2012, terutama mulai paruh semester II-2012 hingga
akhir tahun, terdapat peningkatan kasus fraud terutama yang
menggunakan modus card not present (CNP). Pada tahun 2012, fraud
yang dilaporkan dengan modus CNP menduduki peringkat pertama baik
dari jumlah kasus yang mencapai 5.637 kasus maupun nominal kerugian
(aktual dan potensial) yang mencapai Rp11,34 miliar. Sebelum Bank
Indonesia mewajibkan penggunaan chip untuk kartu kredit, modus kartu
palsu selalu menduduki peringkat pertama dalam kejahatan kartu kredit.
Seiring dengan penurunan kasus pemalsuan kartu sejak
diimplementasikannya chip, terjadi shifting kepada modus lain yang lebih
konvensional yaitu CNP, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. CNP
pada dasarnya merupakan penyalahgunaan kartu kredit oleh pihak yang
tidak berwenang untuk bertransaksi melalui internet (e-commerce).
Dalam kaitan dengan pencegahan fraud CNP, Bank Indonesia telah
menghimbau kepada para penerbit untuk menerapkan aturan one time
password untuk setiap transaksi yang dilakukan secara on line. Sementara
itu dalam pengaturan transaksi kartu kredit telah diwajibkan agar penerbit
memberikan alert kepada pemegang kartu untuk transaksi-transaksi yang
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 68 | P a g e
bersifat menyimpang dari kebiasaan dan kewajiban menggunakan PIN
sebagai pengganti tandatangan mulai 1 Januari 2015.
Selain itu, selama periode 2012, Bank Indonesia juga telah
melakukan pemeriksaan terhadap empat penerbit dan dua acquirer kartu
kredit. Dalam pemeriksaan tersebut juga ditekankan pentingnya mematuhi
ketentuan di bidang perlindungan kepada para pemegang kartu, seperti
etika penagihan, kualitas pemberian kartu kredit serta cara pengenaan
bunga dan denda. Sejauh ini, dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan
pelanggaran ketentuan yang serius. Atas hasil pemeriksaan tersebut,
sejumlah penerbit dan acquirer telah berkomitmen untuk melakukan
sejumlah perbaikan dengan tenggat waktu tertentu yang telah disepakati.
2) Kartu ATM dan ATM/Debet
ATM dalam bahasa inggris dikenal dengan Automatic teller
machine, atau dalam bahasa Indonsia dikenal dengan Anjungan Tunai
Mandiri. ATM merupakan alat elektronik yang diberikan oleh bank yang
kepada pemilik rekening dan dapat digunakan untuk bertransaksi secara
elektronis seperti mengecek saldo, mentransfer uang dan juga mengambil
uang dari mesin ATM tanpa perlu dilayani seorang teller. Setiap
pemegang kartu diberikan PIN (personal identification number), atau
nomor pribadi yang bersifat rahasia untuk keamanan dalam penggunaan
ATM. Adapun yang membedakan kartu ATM dan kartu debet adalah cara
penggunaanya. Jika digunakan untuk bertransksi di mesin ATM, maka
kartu tersebut dikenal sebagai kartu ATM, tapi jika digunakan untuk
bertransaksi pembayaran dan pembelanjaan non-tunai dengan
menggunakan mesin EDC (Electronic Data Capture), maka kartu tersebut
dikenal sebagai Kartu Debit.
Berdasarkan hasil pengawasan selama periode laporan, fraud terkait
penggunaan kartu ATM dan kartu ATM/ Debet yang dilaporkan oleh
penerbit mengalami penurunan baik dari jumlah kasus yang terjadi
maupun nilai kerugian (aktual dan potensial). Selama periode laporan
jumlah kasus dan nilai kerugian akibat fraud yang dilaporkan adalah
11.468 kasus dan Rp1,4 miliar. Bila dibandingkan dengan periode
sebelumnya nilai kerugian akibat fraud mengalami penurunan sebesar
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 69 | P a g e
Rp961 juta sedangkan dari sisi jumlah kasus mengalami penurunan
sebanyak 4.321 kasus.
Bila dilihat lebih mendalam, jumlah kasus yang dilaporkan paling
sering terjadi adalah kartu ATM dan kartu ATM/Debet hilang atau dicuri
yang mencapai 10.498 kasus. Sedangkan nilai kerugian terbesar selama
periode laporan berasal dari fraud kartu palsu yaitu sebesar Rp1,1 miliar.
Untuk menekan angka fraud pada penyelenggaraan kartu ATM dan kartu
ATM/Debet ini khususnya yang dilakukan melalui modus pemalsuan
kartu, Bank Indonesia telah mewajibkan penerbit kartu ATM dan
ATM/Debet untuk mengimplementasikan teknologi chip dan penggunaan
PIN minimal 6 (enam) digit untuk kartu ATM/Debet yang diterbitkan di
Indonesia. Batas waktu implementasi chip dan PIN 6 (enam) digit ini
adalah 31 Desember 2015. Dengan kata lain, pada 1 Januari 2016, seluruh
kartu ATM dan kartu ATM/Debet sudah harus menggunakan teknologi
chip dan PIN minimal 6 (enam) digit, demikian pula seluruh perangkat
yang digunakan untuk memproses transaksi kartu ATM dan kartu
ATM/Debet tersebut harus dapat memproses chip (chip enable).
Saat ini Bank Indonesia terus memonitor perkembangan
implementasi chip oleh seluruh penyelenggara kartu ATM dan kartu
ATM/Debet melalui laporan triwulanan yang disampaikan oleh
penyelenggara untuk memastikan tahapan yang telah dicapai dan kendala
yang dihadapi dalam proses implementasi. Sejauh ini masih terdapat
beberapa kendala teknis, namun diharapkan dapat diselesaikan dengan
baik oleh industri, sehingga batas waktu yang telah ditetapkan dapat
dipenuhi oleh seluruh penerbit. Selain itu, selama periode 2012, Bank
Indonesia juga telah melakukan pemeriksaan terhadap dua penerbit kartu
ATM dan kartu ATM/Debet. Sejauh ini, dari hasil pemeriksaan tidak
ditemukan pelanggaran yang serius. Atas hasil pemeriksaan tersebut,
penerbit telah berkomitmen untuk melakukan perbaikan dengan tenggat
waktu tertentu yang telah disepakati.
Pengawasan terhadap Uang Elektronik
Uang Elektronik (electronic money) adalah alat pembayaran yang memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut :
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 70 | P a g e
Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh
pemegang kepada penerbit.
ilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server
atau chip.
Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan
merupakan penerbit uang elektonik tersebut,dan
Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh
penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan uang elektronik, dilakukan secara tidak
langsung melalui monitoring data dan informasi serta pengawasan secara langsung
melalui pemeriksaan (on site visit). Selama periode laporan, Bank Indonesia tidak
menerima adanya laporan terkait fraud di dalam penyelenggaraan uang elektronik.
Sementara itu, pengawasan secara langsung telah dilakukan kepada dua penerbit uang
elektronik (bank dan penyelenggara selain bank) melalui on site visit untuk
memastikan kepatuhan penyelenggara uang elektronik terhadap ketentuan yang
berlaku. Dari hasil pemeriksaan tersebut, tidak ditemukan pelanggaran yang serius
oleh penerbit, namun demikian terdapat beberapa temuan yang harus diperbaiki antara
lain terkait perlindungan konsumen (khususnya aspek transparansi terkait biaya) dan
juga aspek pengelolaan risiko. Atas hasil pemeriksaan tersebut, penerbit telah
berkomitmen untuk melakukan perbaikan.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang
(KUPU) atau Transfer Dana Selain Bank
Selama periode laporan, telah dilakukan pengawasan secara tidak langsung
kepada seluruh penyelenggara KUPU di wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia, dan
tiga diantaranya telah dilakukan pula pengawasan secara langsung. Pengawasan
secara langsung kepada penyelenggara KUPU melalui on site visit, selain dilakukan
untuk memastikan kepatuhan penyelenggara KUPU terhadap ketentuan yang berlaku,
juga ditujukan untuk memastikan pemenuhan komitmen atas hasil audit PPATK.
Selanjutnya berdasarkan hasil pengawasan, pada periode laporan telah dilakukan
pencabutan izin terhadap satu penyelenggara KUPU karena tidak mematuhi ketentuan
Bank Indonesia dan pengenaan sanksi administrative berupa penyampaian surat
teguran tertulis kepada dua penyelenggara KUPU karena tidak menyampaikan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 71 | P a g e
laporan berkala kepada Bank Indonesia. Di samping itu pada periode laporan terdapat
satu penyelenggara KUPU yang dicabut izin penyelenggaraannya berdasarkan
permintaan sendiri.
Terkait dengan tugas Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengatur dan Pengawas
terkait kepatuhan penyelenggara KUPU dalam menerapkan program APU dan PPT
sebagaimana amanat UU Nomor 8 tahun 2010 selama periode tahun 2012,
kewenangan tersebut masih berada di PPATK dengan masa transisi dari PPATK
kepada Bank Indonesia selama dua tahun (2011-2013). PPATK telah melakukan audit
kepatuhan terhadap 28 penyelenggara KUPU (21 penyelenggara di wilayah KPBI dan
tujuh penyelenggara di wilayah KPwBI) dengan tujuan untuk mengetahui tingkat
kepatuhan penyelenggara KUPU dalam menerapkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan
kendala-kendala yang dihadapi dalam menerapkan UU TPPU. Terhadap hal tersebut,
Bank Indonesia telah memberikan surat pembinaan kepada penyelenggara untuk
melakukan tindak lanjut hasil audit PPATK. Selanjutnya, sehubungan dengan
pemberlakuan UU Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana pada 23 Maret 2011,
selama periode laporan Bank Indonesia telah melakukan pembinaan kepada
penyelenggara KUPU yang belum berbadan hukum Indonesia, dengan mengirimkan
surat pembinaan sebanyak dua kali dalam rangka mengingatkan yang bersangkutan
untuk segera meningkatkan status usahanya menjadi badan hukum Indonesia. Dalam
hal penyelenggara KUPU tersebut sampai dengan 23 Maret 2013, masih belum
meningkatkan status badan usahanya menjadi badan hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud oleh UU TD maka izin KUPU yang telah diberikan oleh BI akan
dinyatakan tidak berlaku.
2.5. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
2.5.1. Arah Kebijakan dan Pengembangan BI-RTGS/BI-SSSS Generasi II
Kebijakan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) pada Penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS Generasi II
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 72 | P a g e
Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI), termasuk berdasarkan prinsip Syariah
(FLIS), merupakan fasilitas dari BI sebagai penyelenggara Sistem BI-RTGS guna
mendukung kelancaran penyelesaian (smoothness of settlement) dari seluruh transaksi
pembayaran melalui sistem pembayaran antar-bank (bersifat systemically important)
atau infrastruktur pasar keuangan yang diselenggarakan oleh BI tersebut.
Di dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS saat ini dan sebagaimana diatur
dalam PBI No.10/29/PBI/2008, PBI No.11/ 30 /PBI/2009, SEBI No12/29/DASP, dan
SEBI No. 12/4/DASP, FLI/FLIS diberikan kepada Bank Peserta BIRTGS dengan
mekanisme repurchase agreement (Repo) atas surat berharga yang yang dimiliki oleh
Bank Peserta BI-RTGS yang membutuhkan/mengajukan FLI/FLIS, dan FLI/FLIS
tersebut harus dikembalikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan FLI/FLIS.
Merujuk kepada ketentuan yang berlaku, dalam hal Bank Peserta BI-RTGS
tidak dapat mengembalikan/menyelesaikan nilai FLI/FLIS sampai dengan batas waktu
yang ditetapkan, maka terhadap nilai FLI/FLIS yang tidak dapat dikembalikan
tersebut akan diberlakukan (dikonversi) sebagai transaksi Repo dengan BI dengan
jangka waktu satu hari (i.e. transaksi Repo overnight (O/N) dengan BI atau transaksi
Lending Facility).
Berdasarkan laporan Bank Dunia (Payment Systems Worldwide: A Snapshot
2010, Outcomes of the Global Payment Systems Survey 2008) mengenai
penyelenggaraan Large-Value Payment Systems (LVPS) RTGS Systems):
Dari 88 negara yang menyelenggarakan LVPS, 75 LVPS menyediakan
FLI dengan mekanisme Repo;
75 LVPS yang menyediakan FLI Repo, mengenakan penggunaan FLI
dengan Repo interest rate;
Untuk FLI yang tidak dapat dikembalikan pada akhir hari (end-of day),
dari 75 LVPS yang menyediakan FLI
Repo:
17 LVPS mengkonversi menjadi Repo O/N at market rates;
55 LVPS mengkonversi menjadi Repo O/N at penalty rates (termasuk
Australia, HongKong, Jepang, Malaysia, Filipina, Thailand, dan
Singapura); dan
3 LVPS mengkonversi menjadi Repo O/N at market and penalty rates.
Kebijakan terkait mekanisme FLI pada Sistem BIRTGS Generasi II
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 73 | P a g e
Telah diputuskan (berdasarkan hasil rapat Steering Committee 26 Februari
2013) bahwa FLI pada Generasi II akan mengadopsi the standard DEPO/X
functionality (guna menghindari Change Request serta untuk mengimplementasikan
mekanisme yang lebih sesuai dengan common practices dari ILF di dalam
penyelenggaraan LVPS pada umumnya), yang meliputi:
FLI akan langsung mengkredit di RTS/X pada rekening Bank Peserta BI-
RTGS yang mengajukan FLI;
FLI dapat di-redeem berdasarkan instruksi manual dari Bank Peserta BI-
RTGS yang mengajukan FLI atau secara otomatis sesuai dengan parameter
yang ditetapkan sebelumnya;
Interest rate atas penggunaan FLI dihitung dengan menggunakan ILF
interest rate calculation yang sudah ada di DEPO/X, berdasarkan cash
value dari setiap initial granted ILF;
FLI yang tidak bisa dikembalikan sampai dengan EOD, DEPO/X akan
mengkonversi menjadi O/N Repo.
Sehubungan dengan implementasi mekanisme di atas, maka perlu penyesuaian
ketentuan/ pengaturan mekanisme FLI pada Sistem BI RTGS Generasi II.
Selanjutnya, mengingat transaksi yang ada saat ini adalah transaksi Lending
Facility (transaksi penyediaan dana dari BI kepada Bank), sehingga konversi dari FLI
menjadi O/N Repo (i.e. transaksi Repo dengan BI dengan jangka waktu satu hari)
dimaksud dapat diterima pula sebagai transaksi Lending Facility (yang merupakan
salah satu bentuk Operasi Moneter BI). Di samping itu, salah satu persyaratan FLI
adalah surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI
dan/atau SBN, di mana surat berharga yang dapat ditransaksikan melalui Lending
Facility adalah SBI dan SBN. Oleh sebab itu, dengan mengkonversi instrumen
moneter SBI dan SBN tersebut (yang digunakan sebelumnya untuk FLI) ke domain
kegiatan pengendalian moneter, hal tersebut tentunya akan lebih mendukung
efektivitas kegiatan Operasi Moneter BI. Mekanisme „mengkonversikan‟ menjadi
Lending Facility dari Standing Facilities (Operasi Moneter „Koridor Suku Bunga‟
tersebut) juga diaplikasikan pada banyak LVPS.
Selain itu, diperkirakan kebutuhan akan FLI menjadi berkurang dan akan benar-
benar menjadi last resort di dalam penyelenggaraan LVPS IDR di Indonesia karena
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 74 | P a g e
BI-RTGS Generasi II akan menerapkan mekanisme mekanisme liquidity saving yang
dapat menekan liquidity need.
2.5.2. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia Tahapan Implementasi Grand Design SKNBI
Pengembangan SKNBI akan dimulai pada 2013 mencakup penyelesaian
transaksi atas transfer kredit dan debet baik yang bersifat individual maupun rutin
(bulk payment) meliputi :
Selain itu, dalam SKNBI yang akan dikembangkan juga modul informasi yang
dapat diakses oleh peserta dan penyelenggara untuk mendapatkan informasi/data
terkait penyelenggaraan SKNBI baik yang bersifat real time maupun hitoris. Adapun
tahapan implementasi SKNBI adalah sebagai berikut :
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 75 | P a g e
2.5.3. Arah Kebijakan dan Pengembangan NPG ke Depan
Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan ke dalam tiga tahapan besar.
Tahap pertama, adalah pengembangan instrumen pembayaran yang paling dominan
digunakan oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan ATM/Debet dengan
menginterkoneksikan jaringan penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di
Indonesia.
Tahapan kedua adalah pengembangan instrument pembayaran pada kartu kredit
dan uang elektronik melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk transaksi
yang dilakukan di Indonesia tanpa harus diteruskan kepada prinsipal luar negeri
seperti yang berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan transaksi
menggunakan uang elektronik akan didukung melalui interkoneksi diantara penerbit
uang elektronik.
Tahapan terakhir adalah pengembangan layanan Mobile Financial Services
(MFS) dan e-commerce. Modul layanan ini akan mendukung konvergensi layanan
transaksi berbasis mobile serta e-commerce di masa datang.
Dengan tahapan pengembangan NPG tersebut diharapkan penggunaan
instrumen non-tunai dapat lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung Less Cash
Society (LCS).
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 76 | P a g e
2.5.4. Arah Kebijakan dan Pengembangan Uang Elektronik
Arah kebijakan dan pengembangan uang elektronik ke depan difokuskan pada
upaya untuk meningkatkan penggunaan uang elektronik di masyarakat serta
memperluas jangkauan dan penetrasi infrastruktur uang elektronik melalui dua
tahapan waktu yaitu jangka pendek dan menengah dengan kegiatan edukasi dan
sosialisasi, fasilitasi industri serta perluasan pasar. Sedangkan untuk jangka panjang
melalui standardisasi uang elektronik.
Kegiatan edukasi akan difokuskan pada upaya untuk memperkenalkan uang
elektronik kepada masyarakat dan memberikan pengalaman bertransaksi
menggunakan uang elektronik.
Fasilitasi industri dan perluasan pasar dilakukan dengan mendorong
penyelenggara uang elektronik untuk saling bekerjasama dan mengkoneksikan
jaringannya dengan penerbit lainnya, agar pemegang uang elektronik dari satu
penerbit dapat menggunakan uang elektroniknya tersebut pada jaringan yang dimiliki
penerbit lain. Dengan mempertimbangkan besarnya potensi sector transportasi, maka
arah kebijakan pengembangan uang elektronik ke depan akan tetap diarahkan pada
sector tersebut. Sementara untuk jangka menengah dan panjang perluasan pasar akan
dilakukan kepada sektor-sektor lain seperti misalnya industri ritel.
Tahapan jangka panjang pengembangan uang elektronik adalah mendorong
tersedianya standar uang elektronik yang dapat digunakan oleh seluruh penerbit uang
elektronik di Indonesia yang penyusunannya dilakukan oleh pelaku industri uang
elektronik. Standar tersebut dapat disusun dari pengembangan standar kartu ATM/
Debet berbasis chip ataupun pengembangan standar yang baru.
2.5.5. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen
ASEAN Dalam Rangka MEA 2015
Sistem pembayaran dan penyelesaian akhir merupakan tulang punggung dari
sebuah perekonomian modern. Sebuah sistem pembayaran dan penyelesaian akhir
yang efisien, aman, dan andal akan memberikan keunggulan kompetitif bagi suatu
negara untuk berkompetisi di pasar global. Disamping itu, peningkatan aktivitas
perekonomian antara negara-negara anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
memerlukan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir (setelmen) yang efisien untuk
mendukung transaksi bisnis mereka. Bahkan dalam periode integrasi ekonomi
regional, sistem pembayaran dan penyelesaian akhir memiliki peran yang strategis
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 77 | P a g e
mengingat mereka merupakan infrastruktur keuangan yang memfasilitasi arus barang,
jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan modal.
Menjelang MEA 2015, arah pengembangan sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir nasional perlu dipersiapkan dengan terencana dan terukur. Selain
itu, negara anggota MEA juga dituntut untuk menyusun arah pengembangan dan
harmonisasi sistem pembayaran dan setelmen agar dapat mengakomodasi transaksi
lintas batas negara (cross-border) dan integrasi keuangan regional. Adapun fokus
pengembangan dan harmonisasi dimaksud adalah: cross-border trade settlement,
cross-border money remittance, cross-border retail payments, cross-border capital
market settlement dan standardization.
Cross-Border Trade Settlement
Keterbukaan ekonomi di lingkup ASEAN akan berdampak signifikan bagi
persaingan dunia usaha, termasuksektor usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM). Di satu sisi, implementasi MEA akan memberikan potensi
pengembangan UMKM yang lebih besar mengingat semakin terbukanya akses
UMKM terhadap sumbersumberkeuangan yang tidak hanya terbatas pada
pembiayaan dalam negeri, tetapi juga pasar keuangan internasional. Meskipun
demikian, di sisi lain UMKM di negara ASEAN menghadapi tantangan yang
cukup berat karena semakin ketatnya persaingan antar negara. Oleh sebab itu,
agar mereka dapat bertahan dari persaingan yang ketat, diperlukan dukungan
sistem pembayaran dan setelmen yang aman, andal, dan efisien. Cross-Border
Trade Settlement ditujukan untuk mendukung pelaksanaan pembayaran dan
setelmen dalam mendukung aliran barang dalam aktivitas perdagangan di antara
negara ASEAN. Salah satu kendala cross-border trade settlement adalah
efisiensi. Tidak adanya direct conversion rate antar mata uang di kawasan
mengakibatkan setelmen pembayaran dalam mata uang lokal harus dikonversi
melalui USD, sehingga menimbulkan biaya tambahan bagi pelaku transaksi.
Berdasarkan hasil survei terhadap seluruh bank sentral di ASEAN, mekanisme
korespondensi yang saat ini digunakan pada cross-border trade settlement
cukup memadai dan penggunaan standar internasional dalam dokumen transaksi
perdagangan telah banyak dilakukan. Namun demikian, peluang peningkatan
efisiensi setelmen perdagangan dapat dilakukan antara lain dengan mengurangi
spread dan charges oleh bank melalui transparansi biaya.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 78 | P a g e
Terkait dengan cross-border trade settlement, negara anggota ASEAN
telah menyepakati hal-hal sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip yang terkait dengan keterbukaan dan transparansi produk
bank terdiri atas:
Disclosure harus menyorot informasi yang penting bagi pelanggan;
Disclosure harus jelas dan konsisten;
Perangkat komunikasi harus dibentuk sehingga memudahkan
pelanggan untuk mengakses informasi;
Prinsip-prinsip tersebut sebagai pedoman best practices untuk memastikan
pelanggan memiliki akses ke informasi penting dengan cara yang mudah
sebelum mereka melakukan transaksi dengan lembaga keuangan.
2. Bank menghadapi tantangan dalam mengungkapkan isu-isu sebagai
berikut:
Biaya total yang harus dibayar oleh pengirim; sebaiknya
diinformasikan dalam bentuk persentase dari total biaya, dan bukannya
angka secara absolut;
Biaya yang dibebankan kepada penerima manfaat (beneficiaries) dan
waktu maksimum untuk dana diterima oleh beneficiaries;
Nilai valuta sebelum pembayaran dilakukan mengingat adanya
volatilitas intraday yang signifikan.
3. Definisi dari Usaha Kecil dan Menengah (Small and Medium Entreprises).
Setiap anggota MEA memiliki definisi yang berbeda untuk Small and
Medium Enterprises (SME), yang sesuai dengan kondisi ekonominya,
sehingga sulit untuk membuat definisi SME yang seragam di ASEAN.
Oleh sebab itu task force cross border trade settlement perlu menyusun
prinsip umum mengenai SME dan setiap negara dapat menggunakannya
sebagai pedoman.
Cross-Border Money Remittances
Cross-Border Money Remittances bertujuan untuk mendukung aliran
tenaga kerja yang bebas terutama untuk memfasilitasi aliran dana ke negara asal
dari hasil kerja para tenaga kerja ASEAN. Mengingat dalam proses pengiriman
dimaksud mata uang yang diterima oleh penerima adalah mata uang negara
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 79 | P a g e
penerima, makamproses pengiriman (remittance) uang tidak dimasukan dalam
integrasi keuangan (financial integration).
Task force cross-border money remittances telah menyusun pedoman
dasar untuk pengembangan money remittances yang terdiri atas 3 (tiga) bagian:
a. Program administrasi pra-keberangkatan terdiri dari: ketentuan akreditasi
lembaga/kelompok penyedia jasa, biaya program, dan program pelatihan
untuk kelompok yang melakukan program orientasi, dan lainlain;
b. Isi dari program orientasi pra-keberangkatan terdiri dari: profil negara,
hukum dasar negara tuan rumah, isu mengenai negara tuan rumah,
pendidikan dasar mengenai kesehatan, keuangan pribadi, saluran remitansi
yang formal, keanggotaan dan manfaat ikut serta dalam organisasi buruh
migran, serta kedutaan di tempat negara tujuan;
c. Mekanisme umpan balik, yang terdiri atas: pasca evaluasi dan forum
online untuk para pekerja migran.
Cross-Border Retail Payment System
Cross-Border Retail Payment System bertujuan untuk mendukung
pelaksanaan pembayaran dan setelmen dalam mendukung aliran barang, jasa,
tenaga kerja terdidik, dan investasi yang bebas serta aliran modal yang lebih
bebas. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh task force cross-border
retail payment system diketahui bahwa tujuan dari pengembangan sistem
pembayaran ritel di setiap negara pada dasarnya sama yaitu: (i) mendorong
terciptanya sistem pembayaran ritel yang aman, efisien, andal, dan cepat, (ii)
mendorong penggunaan instrumen pembayaran non-tunai, (iii) mendorong
terciptanya kebijakan internasional yang bersifat resiprokal untuk area sistem
pembayaran tertentu, (iv) mendorong industri untuk menggunakan standar
internasional, (v) mendorong penggunaan sarana pembayaran formal yang aman
dan andal, dan (vi) memfasilitasi pihak non bank untuk ikut serta dalam
penyediaan jasa sistem pembayaran yang efisien dan aman.
Selanjutnya, terkait dengan pengembangan jaringan sistem pembayaran
regional, task force cross-border retail payment system telah berkoordinasi
dengan Asian Payment Network (APN) untuk menyusun format standard dan
proses bisnis untuk transfer kredit, yang terdiri atas 3(tiga) tahap: value
proposition development, market research and value proposition validation, dan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 80 | P a g e
mengembangkan blueprint. Berdasarkan value proposition development yang
disusun oleh APN, terdapat beberapa hal yang membutuhkan dukungan bank
sentral:
a. APN meminta bank sentral untuk melaksanakan joint event untuk
memperkenalkan APN logo kepada publik untuk meningkatkan awareness
dari industry perbankan;
b. Adanya harmonisasi peraturan diantara negara-negara ASEAN sehingga
memungkinkan atau mendukung pengembangan koneksi dan pengaturan
APN.
Cross-Border Capital Market Settlement
Cross-Border Capital Market Settlement bertujuan untuk pelaksanaan
pembayaran dan setelmen dalam mendukung transaksi pasa modal di antara
negara ASEAN. mendukung pelaksanaan pembayaran dan setelmen dalam
mendukung aliran barang, jasa, tenaga kerja terdidik, dan investasi yang bebas
serta aliran modal yang lebih bebas. Mengingat praktek setelmen pasar modal
sangat variatif sehingga menghambat proses setelmen antarnegara, maka
terdapat beberapa hal yang dapat mendukung pengembangan cross-border
capital market settlement di ASEAN antara lain: ketentuan perundang-undangan
yang mendukung pengembangan pasar; kebijakan yang transparan dan dapat
diprediksi; kesesuaian praktik dengan standar internasional; dan pengembangan
infrastruktur yang sesuai dengan standar internasional. Terkait dengan
pengembangan infrastruktur, task force cross-border capital market settlement
telah bekerja sama dengan ASEAN Exchange Groupings (AEG) untuk
mengembangkan 3 (tiga) model CCP/CSD Linkages. Namun demikian, masih
terdapat perbedaan perspektif dari setiap negara terkait dengan risiko yang
ditimbulkan oleh CCP/CSD.
Cross-Border Standardization
Cross-Border Standardization bertujuan untuk harmonisasi dalam
pengembangan sistem pembayaran ASEAN agar lebih mudah melakukan
interkoneksi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh task force
standardization diketahui antara lain: (i) bank sentral memegang peran penting
dalam pengembangan standar sistem pembayaran, terutama pada instrumen cek,
(ii) bank sentral memegang peranan penting dalam usaha harmonisasi standar di
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 81 | P a g e
bidang sistem pembayaran, (iii) keterlibatan negara ASEAN dalam komite
standar internasional masih relatif terbatas, (iv) beberapa negara ASEAN
menunjukkan keinginan untuk melakukan technical assistance dalam
standardisasi di bidang sistem pembayaran, dan (v) standar yang paling umum
diterapkan di ASEAN adalah SWIFT, IBAN, BIC dan EMV. Disamping itu,
terkait dengan survei mengenai credit transfer, yang tujuan utamanya adalah
melakukan penilaian atas praktek-praktek pasar dan kemungkinan modalitas
dalam menyediakan layanan transfer kredit oleh bank-bank di ASEAN,
ditemukan bahwa bank-bank di ASEAN cukup memahami manfaat
pengembangan skema cross-border credit transfer di ASEAN.
2.5.6. Penyusunan Konsep RUU Sistem Pembayaran dan Penyelesaian
Akhir (SPPA)
Pengertian Sistem Pembayaran
Sasaran dari fungsi mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
oleh bank sentral adalah terciptanya sistem pembayaran yang aman dan efisien.
Pengertian Sistem Pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat
aturan, lembaga, dan mekanisme yang digunakan untuk melaksanakan
pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu
kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, Sistem Pembayaran yang aman dan efisien
sangat mendukung keberhasilan suatu negara dalam menjaga dan meningkatkan
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan stabilitas moneter. Hal tersebut
dikarenakan terjadinya gangguan pada Sistem Pembayaran dapat menyebabkan
kegagalan kewajiban pembayaran dan mempengaruhi kepercayaan masyarakat
terhadap likuiditas perekonomian, SSK, dan perbankan.
Sistem pembayaran merupakan salah satu komponen utama dalam
mendukung aktifitas perekonomian di suatu negara dan oleh karena itu sistem
pembayaran harus senantiasa dijaga agar dapat berjalan secara aman dan efisien.
Keamanan dalam kegiatan sistem pembayaran dapat dilihat dari berbagai
indikator antara lain sebagai berikut:
1. Tersedianya lembaga, mekanisme, alat pembayaran, dan infrastruktur
dalam kegiatan sistem pembayaran yang andal dan aman dari segala
bentuk fraud;
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 82 | P a g e
2. Tersedianya aturan hukum yang memberikan pengaturan yang jelas dan
fair untuk seluruh pihak dalam penyelenggaraan sistem pembayaran;
3. Tersedianya sistem yang andal dalam pemrosesan transaksi sistem
pembayaran yang antara lain dibuktikan dengan tingkat availability sistem
yang maksimal, serta kepastian penyelesaian transaksi.
4. Tersedianya back-up system yang menjamin kelangsungan kegiatan sistem
pembayaran yang aman.
Sedangkan sistem pembayaran yang efisien ditunjukkan melalui berbagai
indikator antara lain:
1. Tersedianya infrastruktur sistem pembayaran yang menjangkau seluruh
wilayah Indonesia dan dapat dimanfaatkan secara bersama oleh penyedia
sistem;
2. Tersedianya layanan sistem pembayaran yang cepat, mudah diakses dan
murah untuk seluruh lapisan masyarakat;
3. Mekanisme penyelesaian pembayaran yang praktis dan cepat.
Pada prinsipnya, kelima komponen utama dalam sistem pembayaran yaitu
aturan, lembaga, mekanisme, alat pembayaran, dan infrastruktur yang
merupakan satu kesatuan utuh dalam sistem harus selalu dikembangkan dalam
menjawab tantangan perkembangan teknologi yang mendasari perkembangan
sistem pembayaran dan kebutuhan masyarakat terhadap sistem pembayaran
yang semakin aman dan efisien.
Pengertian sistem pembayaran dapat saja berbeda antara negara satu
dengan negara lainnya sesuai dengan pengaturan hukum dari negara tersebut,
namun demikian secara best practices komponen sistem pembayaran meliputi 5
(lima) aspek tersebut meskipun dalam perumusannya dapat saja disebutkan
hanya dalam beberapa aspek besarnya saja.
Peran Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran di Indonesia
sangat menentukan keberhasilan peranan sistem pembayaran dalam mendukung
aktifitas perekonomian suatu negara dan sekaligus sebagai bagian penting dalam
pelaksanaan transmisi kebijakan moneter. Selaku otoritas sistem pembayaran,
Bank Indonesia akan melakukan pengaturan sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir di dalam suatu Undang-Undang tersendiri. Saat ini
pengaturan tersebut masih tersebar di berbagai aturan yang mengatur mengenai
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 83 | P a g e
kegiatan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir yang berpotensi terjadinya
berbagai inkonsistensi pengaturan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir
yang dapat menimbulkan permasalahan.
Sesuai ketentuan Bank Indonesia, komponen kerangka hukum dalam
sistem pembayaran dan penyelesaian akhir menjelaskan dasar hukum dalam
menjamin adanya aspek legalitas dalam pelaksanaan sistem pembayaran, yang
dituangkan dalam undang-undang dan peraturan terkait lainnya, termasuk aturan
untuk dan antar berbagai pihak seperti antar bank, antara bank dengan nasabah,
dan antara bank dengan bank sentral. Melalui kerangka hukum ini Bank
Indonesia menuangkan kebijakan di bidang sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir.
Pengaturan Sistem Pembayaran
Keberadaan UU SPPA diperlukan agar terdapat kepastian dan kejelasan
dalam kegiatan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir. Hal tersebut menjadi
dasar hukum bagi otoritas dalam bekerjasama dengan otoritas lain baik dalam
maupun luar negeri memerlukan dukungan dalam bentuk pengaturan UU yang
dapat memberikan arah yang jelas dalam memajukan kegiatan sistem
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 84 | P a g e
pembayaran dan penyelesaian akhir antar negara sehingga sistem pembayaran
dan penyelesaian akhir dalam negeri mampu bersaing dengan sistem
pembayaran negara lain. Selaras dengan tujuan dari sistem pembayaran yaitu
memiliki dasar hukum yang kuat dan komprehensif mengenai sistem
pembayaran dan penyelesaian akhir di Indonesia, penyusunan RUU SPPA akan
memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada nasabah dalam kegiatan
sistem pembayaran. Dalam rangka pengaturan terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang memiliki keterkaitan erat dengan sistem pembayaran,
sehingga dalam perumusan RUU SPPA harmonisasi ketentuan menjadi sangat
penting agar tidak terjadi pengaturan yang saling bertentangan atau tumpang
tindih di kemudian hari.
Alasan utama diperlukannya UU SPPA ini adalah karena laju
perkembangan sistem pembayaran yang sangat pesat. Pesatnya perkembangan
sistem pembayaran dapat menjadi sumber informasi terkait kondisi likuiditas
dan infrastruktur sistem keuangan yang menjadi subyek pemantauan secara
microprudential guna memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi
potential shock. Hasil dari riset dan pemantauan selanjutnya akan menjadi
rekomendasi bagi otoritas terkait dalam pengambilan langkah-langkah yang
tepat untuk meredam gangguan pada sektor keuangan.
Selain itu, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang perlunya
penyusunan RUU SPPA yaitu:
Landasan sosiologis antara lain:
1. Perkembangan teknologi Sistem Pembayaran;
2. penyesuaian aturan dan hukum dari otoritas untuk mengimbangi
perkembangan teknologi Sistem Pembayaran;
3. Beberapa kegiatan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir belum
disertai aturan hukum yang mengaturnya;
4. Kepastian perlindungan pengguna jasa dan memastikan Penyelenggara
memenuhi kewajiban terhadap pengguna jasa.
Adapun landasan secara yuridis meliputi:
1. Belum ada dasar hukum pengaturan sistem pembayaran dan penyelesaian
akhir yang komprehensif;
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 85 | P a g e
2. Adanya ketidakjelasan dalam pengaturan, pengembangan dan koordinasi
antar otoritas terkait; dan
3. Beberapa pengaturan terkait sistem pembayaran dan penyelesaian akhir
masih dilakukan secara parsial.
Materi RUU SPPA
Ruang lingkup berlakunya UU SPPA akan mencakup penyelenggaraan
kegiatan pemindahan dana, kegiatan alat pembayaran non-tunai dan seluruh
sarana pemrosesnya, kegiatan kliring dan penyelesaian akhir sistem pembayaran
yang dilakukan di wilayah RI, dan kegiatan sistem pembayaran lain yang
ditetapkan Bank Indonesia. RUU SPPA ini tidak dimaksudkan untuk mengatur
penyelenggaraan kegiatan transfer dana, kliring, dan penyelesaian akhir yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia, kegiatan penyediaan sistem yang hanya
digunakan untuk menfasilitasi instruksi pembayaran, dan kegiatan penyediaan
sistem yang hanya digunakan untuk kepentingan pembayaran internal (in house
payment).
Prinsip-Prinsip Dalam Sistem Pembayaran
Di dalam sistem pembayaran dikenal beberapa prinsip umum, yaitu:
Finality of Payment/Finality of Settlement yaitu dana yang sudah diterima
tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan.
Pengecualian Prinsip Zero Hour Rules 6 yaitu pengaturan bahwa transaksi
sistem pembayaran atau transfer dana tetap harus dilaksanakan atau
diselesaikan sekalipun dalam kondisi kepailitan.
Delivery Versus Payment (DVP) yaitu pengaturan bahwa dalam hal
transaksi menggunakan prinsip DVP maka pihak yang telah menerima
pembayaran wajib untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak yang telah
melakukan pembayaran.
Masih sejalan dengan tujuan dan prinsip umum dalam penyelenggaraan
kegiatan sistem pembayaran, untuk mewujudkan sistem pembayaran yang aman
dan efisien serta memastikan diterapkannya aspek perlindungan kepada
pengguna jasa. Dalam konsep RUU SPPA telah ditetapkan 5 (lima) komponen
sistem pembayaran yang meliputi:
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 86 | P a g e
a. Aturan, merupakan kebijakan tertulis dalam bentuk aturan dan kebijakan
tidak tertulis;
b. Lembaga, merupakan cerminan kelembagaan dari seluruh penyelenggara
jasa sistem pembayaran baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia maupun
pihak selain Bank Indonesia. Pengertian pihak selain Bank Indonesia dapat
berupa bank, lembaga selain bank, maupun asosiasi sistem pembayaran;
c. Mekanisme, merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran seperti kegiatan dalam suatu
sistem transfer, kliring dan penyelesaian akhir;
d. Alat Pembayaran, merupakan setiap instrument yang digunakan untuk
memindahkan dana. Dalam hal ini alat pembayaran yang dimaksud adalah
alat pembayaran non-tunai baik yang paper based seperti Cek dan Bilyet
Giro maupun instrumen pembayaran elektronik seperti APMK dan uang
elektronik; dan
e. Infrastruktur, merupakan setiap sarana dan prasarana yang digunakan
untuk memproses pemindahan dana seperti EDC, mesin ATM, internet,
mobile phone dan delivery channel lainnya. Dalam pengertian infrastruktur
ini termasuk pula berbagai sistem dalam rangka pemindahan dana seperti
BI-RTGS dan SKNBI.
Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya yang digunakan untuk membentuk sistem dalam
rangka pemindahan dana yang aman dan efisien sebagai upaya dalam
mendukung stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter.
Pengembangan sistem pembayaran merupakan rangkaian tugas dan/atau
kegiatan dalam rangka memelihara dan meningkatkan keamanan dan efisiensi
sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang aman dan efisien mutlak
diperlukan dalam mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan.
Kegiatan pengembangan sistem pembayaran meliputi:
o Kegiatan Penelitian dan Pengembangan;
o Kegiatan Pengaturan;
o Kegiatan Pemberian Perizinan;
o Kegiatan Penyelenggaraan;
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 87 | P a g e
o Kegiatan Pengawasan; dan
o Kegiatan Katalisasi dan Fasilitasi.
Prinsip kesetaraan akses dalam sistem pembayaran merupakan dasar dari
pengaturan penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran dan penyelesaian
akhir. Setiap pihak yang akan menyelenggarakan kegiatan jasa sistem
pembayaran harus dipastikan telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
otoritas yang berwenang. Terkait dengan hal ini, otoritas mewajibkan
penyelenggara tersebut harus untuk menyelesaikan transaksi yang dilakukannya,
memitigasi risiko yang mungkin timbul, menggunakan sistem yang aman, dan
menerapkan aspek perlindungan kepada pengguna jasa.
Sebagai muara dari seluruh transaksi pembayaran, dalam UU SPPA akan
diatur mengenai mekanisme penyelesaian atas transaksi pembayaran, baik yang
dilakukan secara netting maupun individual.
UU SPPA ini juga akan memperkuat pengaturan mengenai finality of
payments. Dalam konsep finality of payments diatur bahwa sistem transfer
bersifat tidak dapat dibatalkan dan final.
Perlindungan Pengguna Jasa Sistem Pembayaran
Fungsi perlindungan pengguna jasa sistem pembayaran bertujuan untuk
memberdayakan seluruh pengguna jasa sistem pembayaran antara lain melalui
pengaturan yang komprehensif dalam bentuk peraturan Bank Indonesia,
penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, peningkatan
transparansi informasi produk sistem pembayaran, edukasi kepada pengguna
jasa sistem pembayaran, dan membentuk satuan kerja di Bank Indonesia yang
melaksanakan fungsi mediasi. Dengan dibangunnya fungsi perlindungan
pengguna jasa sistem pembayaran yang lebih komprehensif diharapkan dapat
mempercepat terciptanya less cash society dan pada akhirnya dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pembayaran di
Indonesia.
Hal-hal lain yang akan diatur dalam UU SPPA antara lain pembentukan
National Payment System Council (NPSC) dan Self Regulatory Organization
(SRO).
Hal lain yang perlu dimuat dasar hukum pengaturannya dalam UU SPPA
adalah pengenaan biaya terkait dengan fungsi pengawasan oleh otoritas. Dalam
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 88 | P a g e
Key Element for a National Payment System Act yang digunakan sebagai
pedoman dalam pengaturan dan pengawasan sistem pembayaran secara
international best practice dijelaskan bahwa otoritas berwenang untuk
mengenakan biaya dalam rangka pengawasan dan pengaturan serta dalam
rangka penyediaan layanan jasa sistem pembayaran dan penyelesaian akhir
terkait dengan penyediaan layanan operasional dan infrastruktur.
Ketentuan Pidana
Pengaturan ketentuan pidana dalam RUU SPPA dimaksudkan antara lain
untuk menjaga agar penyelenggara sistem pembayaran tetap mengutamakan
prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan menutup celah
terjadinya kejahatan dalam kegiatan sistem pembayaran.
Dengan pengaturan yang komprehensif yang meliputi berbagai aspek
kegiatan sistem pembayaran dan penyelesaian akhir, maka undang-undang ini
diharapkan memenuhi kebutuhan hukum dan kebutuhan masyarakat, serta lebih
memberikan jaminan kepastian hukum, khususnya kepada industri sistem
pembayaran dan penyelesaian akhir.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 89 | P a g e
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap terjaga, tidak terlepas dari peran
strategis sistem pembayaran dalam mendukung aktivitas perekonomian. Peran
strategis sistem pembayaran dalam aktivitas perekonomian terutama untuk menjamin
terlaksananya berbagai transaksi pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat dan
dunia usaha. Perkembangan inovasi dalam sistem pembayaran merupakan
konsekuensi logis dari semakin besarnya kebutuhan masyarakat akan keberadaan
instrumen dan mekanisme pembayaran yang praktis, efisien, aman, dan nyaman untuk
mendukung aktivitas ekonomi yang dilakukan.
Berbagai kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran ditempuh Bank
Indonesia dengan tetap terfokus pada empat aspek utama, yaitu peningkatan
keamanan, efisiensi, perluasan akses dalam sistem pembayaran dengan tetap
memperhatikan perlindungan konsumen.
Peningkatan keamanan dalam sistem pembayaran bertujuan untuk menjaga
kepercayaan masyarakat akan berbagai alternatif instrumen pembayaran yang dapat
digunakan masyarakat dalam kegiatan ekonomi saat ini.
Kebijakan peningkatan keamanan dan efisiensi antara lain ditempuh melalui
persiapan implementasi Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II, pengembangan
interkoneksi system pembayaran ritel melalui pengembangan NPG dan interkoneksi
penyelenggaraan uang elektronik, serta implementasi standar nasional kartu
ATM/Debet berbasis chipse cara bertahap. Dalam rangka perluasan akses system
pembayaran, Bank Indonesia bekerjasama dengan Bank Jatim mengimplementasikan
Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) antar BPR. Selanjutnya, Bank Indonesia
senantiasa memperkuat aspek hukum dalam penyelenggaraan system pembayaran di
Indonesia dalam rangka menjamin perlindungan konsumen pengguna jasa system
pembayaran, melaluipenyusunan dan penyempurnaan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai system pembayaran.
Dari sisi perluasan akses dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia senantiasa
mendorong industri sistem pembayaran untuk memperluas cakupan layanan sistem
pembayaran sehingga dapat lebih luas dan merata ke seluruh wilayah Indonesia, tidak
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 90 | P a g e
hanya di kota-kota besar. Selain itu, perluasan akses dalam sistem pembayaran dapat
mendorong terwujudnya program keuangan inklusif bagi lapisan masyarakat yang
belum terjangkau oleh layanan perbankan.
Selanjutnya, perlindungan konsumen merupakan faktor yang tidak kalah penting
dalam penetapan kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran untuk
menempatkan posisi konsumen pengguna jasa sistem pembayaran setara dengan
penyelenggara sistem pembayaran. Hal ini menjadi penting agar masyarakat sebagai
konsumen pengguna jasa sistem pembayaran dapat semakin terlindungi dan tidak lagi
berada pada posisi lemah yang diakibatkan dari kekurangpahaman masyarakat atas
manfaat dan risiko dari suatu instrumen dan/atau mekanisme pembayaran yang
digunakan.
Saat ini system pembayaran di Indonesia diselenggarakan oleh Bank Indonesia
dan pihak di luar Bank Indonesia atau industri system pembayaran. Sistem BI-RTGS,
BI-SSSS, dan SKNBI merupakan system pembayaran yang diselenggarakan oleh
Bank Indonesia, sementara APMK, uang elektronik, dan kegiatan usaha pengiriman
uang (KUPU) atau transfer dana diselenggarakan oleh industri system pembayaran,
baik berupa bank maupun lembaga selain bank.
Perkembangan transaksi keuangan yang melalui system pembayaran selama
2012 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Nilai transaksi melalui
system pembayaran selama tahun 2012 mencapai Rp104,84 ribu triliun atau
meningkat 46,52% dari nilai transaksi dari tahun 2011 yang tercatat sebesar Rp71,55
ribu triliun. Sementara itu, dari sisi volume transaksi terjadi peningkatan sebesar
24,42% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Volume transaksi sepanjang tahun
2012 mencapai 3,27 miliar transaksi.
Bank Indonesia sebagai otoritas system pembayaran berwenang untuk
melakukan pengawasan, selain melakukan pengaturan dan perizinan dalam
penyelenggaraan system pembayaran. Obyek pengawasan sistem pembayaran
meliputi sistem yang dikategorikan sebagai Systemically Important Payment System
(SIPS) dan non-SIPS. Sistem yang dikategorikan sebagai SIPS adalah Sistem BI-
RTGS dan BI-SSSS. Adapun sistem pembayaran yang non-SIPS meliputi SKNBI,
APMK, uang elektronik, dan KUPU atau transfer dana. Ruang lingkup sistem
pembayaran menitik beratkan pada aspek keamanan, keandalan, efisiensi, dan
perlindungan konsumen.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 91 | P a g e
Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan tetap melanjutkan tahapan
pengembangan NPG, SKNBI, dan uang elektronik, serta penguatan aspek hukum
melalui penyusunan RUU Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA).
Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan melalui tiga tahapan besar.
Tahap pertama, adalah pengembangan instrumen pembayaran yang paling dominan
digunakan oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan kartu ATM/Debet dengan
menginterkoneksikan jaringan penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di
Indonesia. Tahapan kedua adalah pengembangan instrumen pembayaran pada kartu
kredit dan uang elektronik melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk
transaksi yang dilakukan di Indonesia tanpa harus diteruskan kepada Prinsipal luar
negeri seperti yang berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan transaksi
menggunakan uang elektronik akan didukung melalui interkoneksi diantara penerbit
uang elektronik.
Selanjutnya tahap terakhir adalah pengembangan layanan Mobile Financial
Services (MFS) dan e-commerce. Modul layanan ini akan mendukung konvergensi
layanan transaksi berbasis mobile serta e-commerce di masadatang. Sementara itu,
pengembangan SKNBI akanmencakup penyelesaian transaksi atas transfer kredit dan
debet baik yang bersifat individual maupun rutin (bulk payment). Selanjutnya, arah
kebijakan dan pengembangan uang elektronik ke depan difokuskan pada upaya untuk
meningkatkan penggunaan uang elektronik di masyarakat serta memperluas
jangkauan dan penetrasi infrastruktur uang elektronik melalui dua tahapan waktu
yaitu jangka pendek dan menengah. Untuk jangka pendek dilakukan melalui kegiatan
edukasi dan sosialisasi, fasilitasi industri serta perluasan pasar, sedangkan untuk
jangka panjang melalui standardisasi uang elektronik. Penguatan aspek hukum
dilakukan melalui penyusunan RUU SPPA mengingat lajunya perkembangan sistem
pembayaran yang sangat pesat sebagai dampak dari adanya perkembangan teknologi
informasi yang sangat maju yang mendorong munculnya berbagai inovasi produk dan
layanan sistem pembayaran.
3.2. Saran
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk
menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 92 | P a g e
kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu
didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi, semakin lancar dan hadal SPN,
maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time
critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar maka muaranya adalah stabilitas nilai
tukar.
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai
otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan
SPN. Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memberikan persetujuan dan perizinan
serta melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang
bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral memandang
perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real
Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai
penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu.
Bank sentral juga adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan
mengedarkan alat pembayaran tunai seperti uang rupiah. BI juga berhak mencabut,
menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran.
Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari
komponen SPN ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di
Indonesia. BI juga menentukan standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak
yang dapat menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran tersebut. BI juga
berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan sistem
pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik suatu sistem utuh
atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki kewenangan menunjuk
lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya BI juga mesti
menetapkan kebijakan terkait pengendalian resiko, efisiensi serta tata kelola
(governance) SPN.
Perkembangan Sistem Pembayaran di Indonesia 93 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. (2011). Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang 2010.
[online]. Tersedia: http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/71144447-A466-45A0-B756-
D9C0A627B710/22745/LSPPU2010_Final_Publish_Web.pdf [30 Mei 2013]
Bank Indonesia. (2011). Pengawasan Sistem Pembayaran. [online]. Tersedia:
http://www.bi.go.id/web/id/Sistem+Pembayaran/Edukasi+Sistem+Pembayaran/eduksi
sp4.htm [30 Mei 2013]
Bank Indonesia. (2012). Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BANK
INDONESIA. [online]. Tersedia: http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/F6106662-3DA3-
4C00-9A83-1D7EC76395BC/26022/InteraktifTriwulanI2012.pdf [2 Juni 2013]
Bank Indonesia. (2013). Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012.
[online]. Tersedia: http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/89AC02FD-7238-478D-A22F-
BB536B0162BF/28940/zLSPPU2012R3.pdf [29 Mei 2013]
Biro Pengembangan dan Kebijakan Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan
Sistem Pembayaran. (). Pengantar Sistem Pembayaran. [online]. Tersedia:
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/7EB2A3F4-60E4-4A7A-AFBA-
4740E431A282/25313/Uraian_PengantarSistemPembayaran.pdf [1 Juni 2013]
Dewi, Vera Intanie. (2006). Perkembangan sistem pembayaran di Indonesia. [online].
Tersedia: http://journal.unpar.ac.id/index.php/bina/article/download/412/369 [1 Juni
2013]
Pramono, B., Yanuarti, T., Purusitawati, P.D, Emmy, Y.T. (2006). Dampak
Pembayaran Non Tunai Terhadap Perekonomian dan Kebijakan Moneter. [online].
Tersedia: http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/94A371AA-8C64-4506-BF23-
3F0E10D3BE0C/7859/LCSPerekonomian.pdf [1 Juni 2013]
Qurrota ‟ayun, Marwah. (2012). Perkembangan Sistem Pembayaran dan Pengedaran
Uang Indonesia (tulisan 2). [online]. Tersedia:
http://marwahqurrotaayyun.blogspot.com/2012/04/perkembangan-sistem-
pembayaran-dan.html [30 Mei 2013]
top related