PERAN FASHION INNOVATIVENESS BRAND IMAGE DAN …cmbs.untar.ac.id/images/prosiding/2019/Peran... · FI dikaitkan dengan minat yang tinggi pada gaya dan brand fashion (Beaudoin dan
Post on 23-May-2020
7 Views
Preview:
Transcript
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
244
PERAN FASHION INNOVATIVENESS, BRAND IMAGE DAN
LOVEMARKS DALAM MENCIPTAKAN BRAND LOYALTY
Tamara Hanum1, Tengku Ezni Balqiah2
1Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, tamara.hanum51@ui.ac.id
2Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, tengku.ezni@ui.ac.id
ABSTRAK: Perkembangan industri fashion di Indonesia mengalami peningkatan yang baik terutama dari segi inovasi
yang menyebabkan adanya brand-brand baru bermunculan, dimana konsumen umumnya merupakan
milenial. Hal ini menyebabkan peran milenial semakin mendominasi sektor tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui Fashion Innovativeness pada milenials dan pengaruhnya terhadap brand
image dimensions (Cognitive, Sensory, dan Affective Associations) pada brand fashion favorit, kontribusi
brand image dimensions kepada lovemarks (brand love dan brand respect), selanjutnya pengaruh
lovemarks pada brand loyalty. Penelitian ini mengembangkan model lanjutan dari brand equity (CBBE)
dan brand image dimensions. Model yang dikembangkan kemudian divalidasi menggunakan Structural
Equations Modeling (SEM) berdasarkan data yang diperoleh melalui survey kepada 532 responden yang
memiliki brand fashion favorit, dengan rentang usia 19-39 tahun. Hasil penelitian ini mengonfirmasi
bahwa fashion innovativeness secara positif berpengaruh terhadap brand image associations yang
kemudian akan memengaruhi brand love dan brand respect serta terhadap brand loyalty. Implikasi
manajerial serta saran bagi penelitian selanjutnya juga dibahas pada penelitian ini.
Kata Kunci: Fashion innovativeness, Brand image, Brand loyalty, Lovemarks
ABSTRACT: The development of fashion industry in Indonesia experiences a positive surge fundamentally from the
innovation factor, which causes new brands to emerge, in which the main consumers are millenials. This
causes the role of millenial to be more dominant in the afformentioned sector, hence this research aims to
understand the relationship between millenials consumers and Fashion Innovativenes and Brand Image
Dimensions (Cognitive, Sensory, and Affective) on favorite fashion brands, the contribution of Brand
Image Dimensions towards Lovemarks (Brand Love and Brand Respect), and the impact toward Brand
Loyalty. This research developed the model modified from Consumer-based Brand Equity (CBBE) and
Brand Image dimensions. The developed model was then validated using Structural Equation Modeling
(SEM) based on data retreived from surveys on consumers, within the age of 19-39 years old, with
favorite fashion brands. The findings confirmed that Fashion Innovativeness positively influenced the use
of Brand Image Assosication which then further influenced Brand Love and Brand Respect, as well as
Brand Loyalty. The managerial implications and recommendation of this reseatch will be further
elaborated in this research.
Kata Kunci: Fashion innovativeness, Brand image, Brand loyalty, Lovemarks
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia fashion secara global terus meningkat dikarenakan adanya
arus globalisasi yang kuat. Beberapa negara, seperti Perancis misalnya, menjadikan
fashion sebagai sektor kekuatan utama di negaranya dalam melakukan perdagangan
(Business of Fashion, 2016). Industri fashion sedang mengalami perubahan yang
signifikan dari tahun-tahun sebelumnya (The State of Fashion, 2019). Mckinsey global
Fashion index 2018-2019 memperkirakan pertumbuhan penjualan pada sektor industri
ini sekitar 5,0 sampai 7,5%. Pertumbuhan fashion pada sektor industri ini tentunya
meningkatkan kontribusi fashion pada pertumbuhan ekonomi negara tersebut, salah
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
245
satunya adalah wilayah Asia Pasifik, unggul 40% lebih tinggi dari negara lain dalam
penjualan pakaian dan sepatu secara global pada tahun 2018 (Euromonitor, 2019).
Perkembangan industri fashion juga dirasakan di Indonesia, di mana terdapat
pertumbuhan sepanjang tahun 2014 hingga 2016. Pertumbuhan ini direpresentasikan
berdasarkan kontribusi bidang fashion terhadap PDB di Indonesia yang terus
meningkat. Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) menyebutkan bahwa di tahun 2016 kontribusinya mencapai 166,135.30 miliar rupiah dan terbesar kedua setelah bidang
kuliner sebesar 18,15%. Hasil ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah usaha atau
perusahaan yang berada di bidang fashion setiap tahunnya yakni sebesar 1,230,988
(Badan Ekonomi Kreatif, 2018), berasal dari beberapa kategori yaitu pakaian, sepatu
dan aksesoris. Ketiga kategori ini memiliki tingkat penjualan yang berbeda-beda di
Indonesia, sehingga masing-masing memiliki kontribusi yang positif bagi perekonomian
di Indonesia.
Indonesia termasuk dalam daftar salah satu negara emerging market yang
terbuka bagi berbagai perusahaan apparel and footwear fast fashion. Pada tahun 2017-
2018, perusahaan-perusahaan ritel fast fashion seperti H&M, Zara, & Uniqlo
melakukan ekspansi ke kota-kota di Indonesia. Selain itu, perusahaan-perusahaan luxury
brand seperti Gucci atau Louis Vuitton memiliki peningkatan market share pada tahun
2017 (Euromonitor, 2019).
Disisi konsumen, konsumen produk brand fashion di Indonesia berada di usia
produktif (15-64 tahun) yang difokuskan pada generasi milenial yang lebih sadar akan
daya beli dan cenderung menghabiskan uang secara cepat. Hal tersebut menggambarkan
konsumsi milenial yang mementingkan identitas mereka, menggunakan pengetahuan
mereka tentang tren terbaru, gambar, dan reputasi brand serta nama brand yang
dianggap dapat diandalkan (Ordon, 2015). Konsumen milenial ini akan memiliki
loyalitas yang lebih rendah jika dibandingkan generasi sebelumnya. Hal ini dikarenakan
adanya paparan promosi harga yang lebih besar, mencari brand yang menggambarkan
nilai kepribadian dan gaya hidup mereka (Selvarajah, 2018).
Persaingan yang semakin ketat di industri fashion ini, serta perubahan perilaku
konsumen menyebabkan brand harus menemukan cara untuk menciptakan hubungan
dengan konsumen yang mengarah kepada loyalitas. Salah satu cara brand untuk dapat
membangun dan mempertahankan hubungan positif dengan konsumen adalah melalui
membangun brand image yang positif (Keller, 1993). Hal ini menjadi penting, karena
brand merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan loyalitas (Cho et al, 2015),
yaitu dengan menciptakan brand awareness, dan brand image yang membangun
lovemarks, sehingga akan mendorong loyalitas konsumen terhadap brand.
Berdasarkan paparan di atas, serta pemahaman bahwa tren fashion Asia
Tenggara terutama Indonesia yang semakin berkembang, hal ini akan berdampak
terhadap perilaku konsumen serta loyalitas terhadap brand fashion (pakaian, alas kaki
dan aksesoris). Seorang konsumen yang selalu mengikuti perubahan tren yang terjadi
dalam industri fashion merupakan konsumen dengan tingkat Fashion Innovativeness
yang tinggi (Cho et al., 2018). Dalam melakukan pembelian suatu brand, konsumen
membutuhkan keterikatan hubungan emosional, kecintaan yang kuat, serta diperlukan
evaluasi positif terhadap performance, trustworthiness, dan reputation (Robert, 2004).
Dengan demikian, Fashion Innovativeness akan menciptakan hubungan dengan brand
yang lebih kuat sehingga dapat menciptakan loyalitas konsumen terhadap suatu brand
tertentu (Cho et al., 2018). Penelitian mengenai hal tersebut masih terbatas di Asia
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
246
Tenggara khususnya di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh tingkat Fashion Innovativeness millennials terhadap loyalitas
merek, melalui dimensi brand image (kognitif, sensori, dan afektif), dan lovemark
(brand love dan brand respect) pada produk fashion di Indonesia
TINJAUAN LITERATUR Consumer Based Brand Equity
Keller (1993) mendefinisikan Customer Based Brand Equity (CBBE) sebagai
dampak brand knowledge yang berbeda terhadap bagaimana konsumen merespon
strategi pemasaran merek tersebut. Hal ini memperlihatkan bagaimana konsumen
merespon elemen bauran pemasaran suatu produk atau jasa yang memiliki CBBE, akan
berbeda dibandingkan dengan respon mereka terhadap produk sejenis yang tidak
memiliki merek ataupun merek fiktif. CBBE ini akan membuat konsumen merasa dekat
dengan merek tersebut dan membangun asosiasi yang positif, kuat dan unik dalam
ingatan mereka.
Mengacu kepada pengertian tersebut, brand dikatakan memiliki consumer based
brand equity positif atau negatif apabila konsumen memiliki reaksi yang positif atau
negatif terhadap produk, harga, promosi, atau distribusi dari suatu brand dibanding
brand lainnya. Consumer respons yang positif sebagai efek dari consumer based brand
equity yang positif, pada umumnya, dapat mengarah pada peningkatan pendapatan,
biaya yang lebih rendah, dan keuntungan yang lebih besar (Keller, 1993; Pappu et al.,
2005; Yang et al., 2019).
Fashion Innovativeness
Fashion innovativeness (FI), merupakan turunan dari seberapa besar minat
seorang konsumen untuk melakukan inovasi pada hal-hal yang terkait dengan fashion.
FI mengacu pada kesediaan seseorang untuk mengeksplorasi dan mencoba produk
fashion baru lebih awal daripada anggota masyarakat lainnya (Goldsmith dan Flynn,
1992; Cho et al., 2018). FI dikaitkan dengan minat yang tinggi pada gaya dan brand
fashion (Beaudoin dan Lachance, 2006; Workman dan Cho, 2012), yang akan
meningkatkan minat untuk memperoleh informasi-informasi yang terkait dengan gaya,
model, dan brand fashion terbaru tersebut (Goldsmith et al., 1996; dalam Cho et al.,
2018).
Fashion innovator akan membantu meningkatkan penerimaan produk atau
brand baru bagi konsumen lain. Hal ini dikarenakan peran fashion innovator sebagai
opinion leader. Innovator ini akan memicu kesadaran dan minat terhadap produk atau
brand baru sekaligus melakukan promosi dengan memperlihatkan perilaku pembelian
brand kepada konsumen lain (Kim et al., 2011).
Brand Image
Brand Image didefinisikan sebagai persepsi terhadap merek yang tercermin
melalui penciptaan asosiasi merek yang ada dalam ingatan konsumen (Keller, 1993).
Penelitian Cho et al.,(2015) memperluas konseptualisasi pengukuran brand image untuk
produk yang berkaitan dengan fashion dengan mengharuskan adanya asosiasi kognitif,
sensori, dan afektif konsumen, seperti yang dikembangkan oleh Keller (1993), dan
selaras dengan dimensi mystery, sensuality, dan intimacy oleh Roberts (2004).
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
247
Cognitive Associations: Mystery Asosiasi kognitif mencerminkan keyakinan pribadi konsumen, pemikiran dan
evaluasi konsumen suatu brand terhadap atribut produk, layanan, kinerja dan makna
simbolis atau psikologis suatu brand (Keller, 2001; Cho et al.,2015). Asosiasi kognitif
dibentuk oleh interaksi langsung dan tidak langsung dengan brand yang memperlihatkan atribut yang tidak terkait dengan produk secara langsung (contoh:
harga, self-image, dan penggunaan), manfaat fungsional (contoh: safety benefits) dan
manfaat simbolik (contoh: prestise dan penerimaan sosial).
Brand Image yang baik dihasilkan melalui suatu cerita yang dibangun tentang
brand, baik yang diciptakan oleh perusahaan ataupun diciptakan oleh konsumen, yang
selanjutnya kedalam bentuk ikon-ikon global (Robert, 2004). Lebih lanjut, Roberts
(2004) menyebutkan bahwa misteri tidak hanya menangkap interaksi masa lalu dan
masa kini dengan brand, namun juga mimpi dan aspirasi pribadi untuk mencapai tujuan
dimasa depan (Friedmann & Lessig, 1987; Cho et al., 2018). Selain itu, asosiasi kognitif
mencakup semangat inspirasional yang dikembangkan oleh cerita (Cho et al., 2015).
Sensory Associations: Sensuality
Sensory Associations mencerminkan keterlibatan indera yaitu penglihatan,
penciuman, pendengaran, sentuhan dan perasa (Hulten, 2011; Schmitt; 2011 dalam Cho
et al.,2015). Menurut Keller (1993), dan didukung oleh studi empiris Biswas et al.,
(2014) dalam Cho et al., (2015) menjelaskan bahwa sensory associations adalah bagian
besar yang dihasilkan oleh pengalaman langsung dengan atribut yang terkait dengan
produk, dan lingkungan yang terkait dengan ritel, serta berkonstribusi untuk
memanfaatkan pengalaman (contoh: kenikmatan inderawi). Atribut ini termasuk
tampilan dan tekstur produk pada brand (Peck & Childers, 2003; Cho et al., 2015),
tekstur dan warna elemen kemasan (Hulten et al., 2009); Cho et al.,2015), tekstur,
warna kemasan (Hulten, 2012; Cho et al., 2015) dan musik (Jin dan Bagdare, 2011).
Selain itu, terdapat pula pengalaman tidak langsung, seperti iklan yang berkontribusi
pada asosiasi sensorik yang memperkuat brand image.
Affective Associations: Intimacy
Asosiasi afektif melibatkan perasaan subyektif, seperti kegembiraan,
kebahagiaan, dan sukacita (Keller, 2001; Cho et al., 2015). Asosiasi emosional, yang
berkontribusi terhadap manfaat pengalaman, dibentuk oleh atribut yang terkait dengan
produk dan non-produk yang dirasakan melalui interaksi langsung dan tidak langsung
dengan brand (Cho et al., 2015). Kemudian, Albert et al., (2008) dalam Cho et al.,
(2015) mengatakan bahwa dukungan terus-menerus suatu brand terhadap penggunanya
meningkatkan perasaan positif terhadap brand.
Pengalaman-pengalaman ini termasuk juga dengan pemahaman perusahaan
tentang pendapat dan preferensi konsumen, komitmen konsumen pada jangka panjang
terhadap suatu brand (Robert, 2004). Intimacy dianggap bukan hanya menggambarkan
kedekatan antara brand dengan konsumen, tetapi juga terkait dengan kondisi dimana
brand mengandung tiga komponen utama: empathy, commitment, dan passion (Cho et
al., 2015).
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
248
Lovemarks
Teori Lovemarks diperkenalkan oleh Roberts (2004) menyarankan perusahaan
untuk dapat membuat strategi yang lebih dari membangun brand, namun juga
membangun sebuah lovemarks atau hubungan cinta, dalam upaya untuk membangun
loyalitas pelanggan. Lovemark didefinisikan sebagai hubungan emosional yang
mendalam, serta membedakan pengalaman lovemarks dengan pengalaman brand (Robert, 2004). Lovemarks adalah pengalaman yang menimbulkan unsur cinta dari
konsumen (Roberts, 2004), yaitu penggabungan dari brand love dengan brand respect
yang tinggi. Kedua komponen love and respect, adalah pendorong utama loyalitas
brand. Respect mewakili aspek fungsional suatu brand dan pada dasarnya
mencerminkan kinerja, reputasi dan kepercayaan terhadap brand (Pawle & Cooper,
2006). Sementara itu, love mewakili atribut emosional suatu brand yang digunakan oleh
konsumen untuk mengembangkan hubungan emosional.
Brand Love
Carroll & Ahuvia, (2006) mendefinisikan kecintaan terhadap brand adalah
tingkatan ketertarikan emosional yang dimiliki seseorang untuk brand tertentu.
Kecintaan konsumen mencakup karakteristik (1) Ketertarikan terhadap brand, (2)
keterikatan terhadap brand, (3) Evaluasi positif terhadap brand, (4) emosi positif dalam
merespon brand, dan (5) Pernyataan kecintaan terhadap brand. Keh et al.(2007),
mendefinisikan brand love sebagai hubungan yang mendalam, konsumen memiliki
antusias tinggi, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap brand. Konsep cinta pada
brand dianggap sebagai mitra dalam hubungan, dan menganggap produk seperti
manusia, sehingga brand akan berinteraksi dengan mereka (Ballester et al., 2017).
Hubungan brand dengan konsumen memiliki kesamaan dengan hubungan interpersonal
karena melibatkan pertukaran timbal balik yaitu informasi dan emosional antara mitra
melalui serangkaian pembelian berulang (Aaker 2002; Ballester et al., 2017)
Brand Respect
Respect dideskripsikan secara konseptual yaitu sebagai sikap positif terhadap
individu berdasarkan penilaian positif terhadap kualitas individu tersebut (Frei &
Shaver, 2002). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Roberts (2005) yang menyatakan
brand respect merupakan evaluasi positif dari konsumen terhadap brand, dan sikap
terhadap brand yang dilandasi oleh performance, trustworthiness, dan reputation yang
tidak lain menjelaskan bahwa brand respect memiliki tiga elemen yaitu brand
performance, brand trust, dan brand reputation. Sebuah brand memiliki respect yang
berasal dari menghasilkan performa atau kinerja yang baik, hal tersebut menghasilkan
terciptanya rasa percaya dan membangun reputasi yang baik (Roberts, 2004).
Brand Loyalty
Brand loyalty diartikan pula oleh Oliver (1999) dalam Ganiyu (2012) yaitu
komitmen yang dipegang untuk membeli kembali produk atau layanan yang disukai
secara konsisten di masa depan, sehingga hal tersebut menyebabkan pembelian brand
yang sama secara berulang, meskipun terdapat pengaruh situasional dan upaya
pemasaran yang berpotensi menyebabkan perubahan perilaku.
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
249
MODEL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan adaptasi model penelitian Cho, Fiore, dan
Yu, (2018), dengan menambahkan dua variabel yang termasuk kedalam konsep
lovemarks yaitu brand love dan brand respect (Cho, 2011), serta pengaruhnya terhadap
brand loyalty (Song, Bae, dan Han, 2019). Mengacu pada gambar 1, maka berikut
adalah 11 hipotesis yang akan di uji:
Gambar 1. Model Penelitian
Sumber : Cho et al. (2018); Cho (2011); Song et al. (2019
H1a: Fashion innovativeness (FI) memiliki pengaruh positif pada persepsi Cognitive
associations
H1b: Fashion innovativeness (FI) memiliki pengaruh positif pada persepsi sensory
associations
H1c: Fashion Innovativeness (FI) memiliki pengaruh positif pada persepsi Affective
Associations
H2a: Cognitive Associations berpengaruh positif terhadap Brand Love.
H2b: Sensory Associations berpengaruh positif terhadap Brand Love.
H2c: Affective Associations berpengaruh secara positif terhadap Brand Love.
H3a: Cognitive Associations berpengaruh positif terhadap Brand Respect.
H3b: Sensory Associations berpengaruh secara positif terhadap Brand Respect.
H3c: Affective Associations berpengaruh secara positif terhadap Brand Respect
H4a: Brand Love memiliki pengaruh positif terhadap Brand Loyalty.
H4b: Brand Respect memiliki pengaruh positif terhadap Brand Loyalty
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan dengan
menggunakan single cross sectional online survey, karakateristik responden, dipilih
dengan teknik purposive sampling adalah milenial, konsumen produk fashion, dengan
rentang usia 19-39 tahun yang bertempat tinggal di Jakarta, Bandung, Surabaya,
Semarang, Yogyakarta, Makassar, Medan, dan Bali yang melakukan pembelian fashion
brand satu tahun terakhir dan memiliki brand fashion favorit. Pemilihan delapan kota
tersebut didasarkan pada kota besar di Indonesia yang diasumsikan milenial di kota-kota
tersebut mengikuti perkembangan tren fashion. Dengan menggunakan teknik purposive
sampling, diperoleh 532 responden.
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
250
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan 5 poin skala Likert, terhadap 7
konstruk penelitian yang terdiri dari 35 item pertanyaan dengan mengacu penelitian-
penelitian terdahulu, yaitu 5 item pertanyaan mengukur Fashion Innovativeness
(Goldsmith & Hofacker, 1991), 5 item pertanyaan mengukur Cognitive Association
(Cho, 2015), 5 item pertanyaan mengukur Sensory Association (Cho, 2015), 6 item
pertanyaan mengukur Affective Association (Cho, 2015), 5 item pertanyaan mengukur Brand Love (Carrol & Ahuvia, 2006), 4 item pertanyaan mengukur Brand Respect (Frei
& Shaver, 2002), dan 5 item pertanyaan mengukur Brand Loyalty (Keller, 2001).
Selanjutnya, untuk menguji hipotesis, data diolah menggunakan metode Structural
Equation Modeling (SEM) dengan software LISREL 8.8.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini berhasil dikumpulkan 532 responden, dengan profil 70%
perempuan, 86% berusia 19-29 tahun, 58% tinggal di Jakarta, dan 50% melakukan
pembelian produk brand fashion setiap bulannya. Pengolahan model pengukuran
memperlihatkan semua item dan laten adalah valid dan reliabel. Hasil pengujian
hipotesis (one-tailed, sig =5% ) memperlihatkan H4b di tolak (Tabel 1)
Tabel 1. Hasil Pengujian Hipotesis
Hipotesis Path T-Value Kesimpulan
1a Tingkatan Fashion Innovativeness Cognitive
associations 5,90 Signifikan
1b Tingkatan fashion innovativeness) Sensory associations
4,64 Signifikan
1c Tingkatan dari Fashion innovativeness
Affective associations 3,72 Signifikan
2a Cognitive associations brand love 8,18 Signifikan
2b Sensory associations brand love 6,69 Signifikan
2c Affective associations Brand Love 13,43 Signifikan
3a Cognitive associations Brand Respect 3,71 Signifikan
3b Sensory associations Brand Respect 8,18 Signifikan
3c Affective associations Brand Respect 11,56 Signifikan
4a Brand Love Bramd Loyalty 6,63 Signifikan
4b Brand Respect Brand Loyalty 1,34 Tidak
Signifikan
Diterimanya H1a ini didukung oleh penelitian sebelumnya dimana Cho et al.,
(2018) yang mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan positif diantara kedua
variabel tersebut. Workman & Cho (2012) mendefinisikan fashion innovativeness yaitu
berhubungan dengan memiliki ketertarikan terhadap fashion styles dan brands yang
tinggi. Melalui cognitive association yaitu konsumen dengan tingkatan FI yang
dianggap tinggi akan menaruh usaha yang tinggi untuk mencari informasi terkait harga,
kualitas dan promosi sebelum membeli produk dari brand terkait fashion yang akan
memberikan keuntungan monetary savings (Kim & Hong, 2011;Workman & Cho,
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
251
2012). Hal tersebut dikarenakan kebanyakan produk baru mengharuskan konsumen
untuk mencari informasi yang terkait oleh atribut dari produk tersebut. Tak hanya itu,
cognitive associations (mystery) menjadi sebuah nilai tambah yang menggunakan masa
lalu, masa kini dan masa depan untuk menciptakan kisah-kisah yang membawa
konsumen kepada pemikiran yang memiliki keterkaitan secara pribadi (Dimattia, 2017).
Diterimanya H1b sesuai dengan penemuan sebelumnya yang menyatakan Fashion innovativeness (FI) memiliki pengaruh positif pada pentingnya persepsi
sensory associations dari brand image dimensions pada penelitian sebelumnya yaitu
Cho et al, (2018) yang menunjukkan adanya hubungan signifikan dari kedua variabel.
Menurut penelitian Muzinich (2003) konsumen yang memiliki tingkatan FI tinggi akan
mencari stimulasi sensori yang ditawarkan melalui visual, tactile sensation dan esthetic
cues. Konsumen menyukai untuk melihat dan mencoba hingga menyentuh bahan saat
berbelanja untuk menghargai tekstur dari kualitas bahan seperti kelembutan, ketebalan
dan kehangatan (Workman, 2009).
Diterimanya H1c bahwa variabel fashion innovativeness memiliki pengaruh
positif atau signifikan terhadap affective association (intimacy). Penerimaan hipotesis
tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu Cho et al. (2018) yang menyebutkan
adanya hubungan positif dan signifikan dari kedua variabel tersebut. Affective
association mencerminkan perasaan positif, seperti kegembiraan, kesenangan, dan
kebahagiaan yang konsumen hubungankan dengan brand (Keller, 2001),
Diterimanya H2a yaitu variabel cognitive associations memiliki pengaruh positif
terhadap variabel brand love, sejalan dengan penelitian Cho (2011) yang menyatakan
bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Hal tersebut
didukung pula oleh penelitian yang dilakukan Song et al. (2019) yang menunjukan
adanya pengaruh positif cognitive associations (mystery) dengan brand love. Brand
love memiliki kesesuaian terhadap self-image dari konsumen dengan brand image, yang
kemudian membangun kesan positif atau pengalaman pribadi yang berkaitan dengan
brand serta kesamaan kisah-kisah yang diusung oleh brand, yaitu diciptakan dari kisah
masa lampau, kini dan depan yang akan menciptakan komitmen dari konsumen kepada
brand (Albert et al., 2008).
H2b mengindikasikan bahwa adanya pengaruh sensory associations terhadap
brand love. Jika dikaitkan dengan millennials, konsumen muda lebih mencari
pengalaman dalam berbelanja termasuk sensasi sensosi, perubahan yang membuat lini
toko online dengan offline semakin menipis yang mengharuskan kebanyakan
millennials untuk melakukan belanja online dan tidak mendapat rangsangan sensori, hal
ini kemudian menjadi salah satu faktor dimana konsumen akan mencintai brand serta
menghargai brand karena merasakan rangsangan sensori, karena mayoritas millennials
mencari pengalaman dalam berbelanja yang menjadikan aspek sensori tujuan utamanya
(JWT Intelligence, 2013)
Diterimanya H2c ini sejalan dengan penelitian Cho (2011), yang mengatakan
bahwa affection associations berpengaruh positif terhadap brand love. Apabila brand
memiliki memiliki komponen yang dianggap penting yaitu emosi (intimacy atau
kesukaan) dan passion (hasrat atau keinginan) yang akan mengantarkan kepada
perasaan positif yang kuat (love) terhadap brand (Sarkar, 2011). Jika dikaitkan dengan
millennials, konsumen muda termasuk kedalam seek relevancy yakni mereka menilai
bagaimana iklan dan sosial media akan relevan kepada mereka. personalisasi dan
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
252
relevansi adalah kunci utama bagi millennials yang akan menciptakan komitmen
terhadap brand dan cenderung menciptakan brand love.
Diterimanya H3a membuktikan bahwa cognitive association berpengaruh positif
terhadap brand respect. Brand yang memiliki kinerja yang baik (kualitas dari produk,
brand yang informatif yakni dapat berkomunikasi dengan jelas mengenai brand, dan
brand representative yang berpengalaman) dapat menciptakan rasa percaya terhadap brand (Cho & Fiore, 2015). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hsu & Cai, (2009)
yang mengatakan bahwa aspek kognitif pada brand image akan mendorong terciptanya
brand trust dengan cara mengurangi risk dan meningkatkan ekspektasi kinerja,
kepercayaan ini menghasilkan brand respect. Kemudian H3b diterima didukung oleh
temuan penelitian Cho (2011) yang telah menguji kedua variabel sensory association
dengan brand respect secara signifikan positif.
Ketika brand memperbaiki tampilannya sehingga membedakannya dari brand
lain dalam hal fungsi, kualitas, dan harga, tidak lagi menjadi faktor pembeda yang
penting bagi konsumen, akan tetapi design yang bagus akan meningkatkan reputasi,
akan semakin mendorong konsumen untuk meningkatkan rasa hormat (Postrel, 2003).
Sense atau berkaitan dengan gaya dan symbol verbal dan visual pada brand,
berpengaruh positif terhadap pembelian konsumen, yang membuat millennials tertarik
dengan kemasan brand yang menggambarkan cerita brand dan memberikan kesan
visual yang bagus bagi konsumen sehingga meningkatkan tingkat kepercayaan terhadap
merek yang akan secara otomatis meningkatkan brand respect (Chasanah, 2018).
Penelitian ini juga membuktikan bahwa Affective associations berpengaruh positif
terhadap brand respect (diterimanya H3c). Saat konsumen memiliki perasaan positif
terhadap brand, mereka akan lebih merasakan kinerja yang baik dari brand yang
kemudian akan meningkatkan rasa hormat (Hendrick dan Hendrick, 2006).
Selanjutnya, diterimanya H4a membuktikan brand love berpengaruh positif
terhadap brand loyalty. Brand yang berhasil menciptakan rangsangan cinta kepada
konsumennya, akan lebih untung mendapatkan loyalitas dari konsumen, serta
mendapatkan keuntungan kompetitif yang berkelanjutan dibanding brand yang
memiliki program loyalitas konsumen (Yang, 2010). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa, brand yang berhasil membuat konsumen memiliki kecintaan terhadap brand
akan berpeluang besar menciptakan loyalitas konsumen.
Berbeda dari penelitian sebelumnya, pada penelitian ini tidak terbukti brand
respect akan membangun loyalitas (H4b ditolak). Moreno, Lafuente, dan Carreon,
(2017) menjelaskan mengenai karakteristik milenial dari berbagai kajian literatur
dimana mereka merupakan generasi yang lebih sadar akan daya beli mereka dan
cenderung menghabiskan uang mereka dengan cepat, lebih memilih mengonsumsi
produk yang membantu menentukan identitas pribadi, menggunakan pengetahuan
tentang tren terbaru, gambaran, dan reputasi brand (Ordun, 2015). Kemudian, menurut
Bilgihan (2016) milenial merupakan pelanggan paling emosional dan kurang loyal
dibandingkan dengan generasi lain, dan milenial lebih menyukai pengalaman berbelanja
yang unik dan memiliki barang yang inovatif.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa secara signifikan fashion
innovativeness mempengaruhi cognitive associations, sensory associations, affective
associations, selanjutnya ketiga brand image dimensions (cognitive, sensory, dan
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
253
affective associations) mempengaruhi brand love dan brand respect yang merupakan
komponen dari lovemarks experience. Kemudian, brand loyalty dipengaruhi oleh salah
satu komponen dari lovemarks yakni brand love.
Hal ini menjadi penemuan yang sangat menarik dimana konsumen milenial lebih
banyak memilih untuk loyal yang dipengaruhi oleh tingkat emosional konsumen atau
menggunakan unsur emosional dalam melakukan pemilihan brand fashion dibandingkan menggunakan unsur rasional. Konstruk dari kecintaan terhadap brand
juga menunjukan bahwa kesenangan yang diberikan kepada konsumen, menganggap
brand hebat dan memberikan kepercayaan diri terhadap konsumen terbukti secara
signifikan mempengaruhi keinginan konsumen untuk mendapatkan dan menggunakan
brand fashion favorit mereka. Berbeda halnya dengan adanya signifikansi negatif
loyalitas konsumen yang dipengaruhi oleh brand respect. Konsumen muda yang
cenderung lebih sadar akan daya beli mereka dan cenderung menghabiskan uang
mereka dengan cepat, dan memiliki mengkonsumsi produk yang memiliki kesamaan
identitas dengan mereka, dengan pengetahuan terhadap tren terbaru, gambar dan
reputasi dari brand, produk dan nama brand tersebut milenial akan secara mudah
menentukan brand yang pantas menjadi pemimpin untuk generasi sebayanya (Ordun,
2015). Milenial akan loyal kepada brand bila konsumen mendapatkan kepercayaan,
walaupun demikian loyalitas tidak dapat bertahan lama (Lissutsa dan Kol, 2016;
Moreno, Lafuente, dan Carreon, 2017). Dalam penelitian ini, responden mayoritas
memiliki pilihan brand fashion favorit mereka berjenis fast fashion. Jenis klasifikasi fast
fashion merupakan tingkatan terbawah yang merupakan jenis mass production yang
memiliki life cycle yang tinggi (cepat berganti).
Pengaruh Fashion Innovativeness terhadap semua dimensi Brand Image
memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat innovativeness maka konsumen akan
berusaha melakukan pencarian Informasi terkait harga, kualitas, dan promosi serta
berkontribusi dalam menggunakan rangsangan melalui lima panca indera dengan
cenderung memperhatikan keadaan toko ritel, kualitas produk yang ditawarkan dan
desain dari produk tersebut, hal tersebut membuat konsumen menganggap bahwa
pembelian produk dari brand fashion menyenangkan dan merupakan pembelian
experimental yang memenuhi kepuasan hedonik konsumen terhadap pembelian brand
fashion serta mendorong terjadinya hubungan jangka Panjang konsumen dengan brand.
Hal tersebut mengindikasikan, responden millennials memiliki kriteria variety seeker
yaitu konsumen lebih cenderung menyukai produk yang memiliki inovasi (Sproles,
1985). retailers dapat mempertahankan physical experience untuk tetap menarik
konsumen dengan tingkatan FI tinggi untuk mendorong asosiasi kognitif, sensori, dan
afektif. Saran yang dapat peneliti berikan ialah dengan cara:
a. Penggunaan pop-up store yaitu toko sementara yang menggunakan barang-barang
pilihan unik dan mendesain lingkungan toko dengan tema yang sesuai dengan
kampanye yang dilakukan oleh brand.
b. Di era Industri 4.0, e-commerce atau digital retail store dapat memberikan
konsumen pengalaman berbelanja secara langsung pula untuk meningkatkan
dimensi kognitif, sensori dan afektif dengan menggunakan Augmented Reality
(AR) dan Artificial intelligence (AI) pada website saat konsumen melakukan
pembelian.
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
254
DAFTAR PUSTAKA
Badan Ekonomi Kreatif. (2018). Data Statistik dan Hasil Survei. 23. Retrieved from
http://www.bekraf.go.id/pustaka/page/data-statistik-dan-hasil-survei-khusus-ekonomi-kreatif
Carroll, B. A., & Ahuvia, A. C. (2006). Some antecedents and outcomes of brand love.
Marketing Letters, 17(2), 79–89.
Cho, E. (2011). Development of a brand image scale and the impact of lovemarks on
brand equity. Graduate Thesis and Dissertations, 1–198.
Cho Eunjoo Cho, Ann Marie Fiore, Ui-Jeen Yu, (2018). Impact of fashion
innovativeness on consumer-based brand equity, Journal of Consumer Marketing,
35(3), 340-350
Cho, E., & Fiore, A. M. (2015). Conceptualization of a holistic brand image measure for
fashion-related brands. Journal of Consumer Marketing, 32(4), 255–265.
Cho, S., & Workman, J. (2011). Gender, fashion innovativeness and opinion leadership,
and need for touch: Effects on multi-channel choice and touch/non-touch
preference in clothing shopping. Journal of Fashion Marketing and Management.
15 (3), 363-382
Di Mattia, V. D. S., Rodríguez, M. D. R., & Pérez-Acosta, A. M. (2017). Analysis of
Psychological Aspects of lovemarks.
Euromonitor. (2019). Apparel and Footwear in Indonesia. Euromonitor, (March).
Retrieved from http://www.portal.euromonitor.com.esc-
web.lib.cbs.dk/portal/analysis/tab
Ganiyu, R.A., Uche, I., & Elizabeth, A. (2012). Is customer satisfaction an indicator of
customer loyalty. Australian Journal of Business and Management Research,
2(7), 14-20.
Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., & Anderson, R. E. (2009). Multivariate Data
Analysis. New Jersey.
Hendrick, S.S., & Hendrick, C. (2006). Measuring Respect in Close Relationship.
Journal of Social and Personal Relationships, 23(6), 881–899.
Hsu, C., & Cai, L. (2009). Brand Knowledge, Trust and Loyalty-A Conceptual Model
of Destination Branding. International CHRIE Conference.
Huang, C. C. (2017). The impacts of brand experiences on brand loyalty: mediators of
brand love and trust. Management Decision, 55(5), 915-934.
Keller, K.L. (1993). Conseptualizing, Measuring, and Managing Customer-Based on
Brand Equity, Journal of Marketing, 57(1), 1-22.
Keller, K.L. (2001), Building Customer-Based Brand Equity: A Blueprint for Creating
Strong Brands, Marketing Science Institute
Lumba, M. G. (2019). Peran Brand Love terhadap Brand Loyalty dan Willingness to
Pay Premium Price pada Pembelian di Surabaya. 7(1).
Malhotra, N. K. (2010). Marketing research an applied orientation. Pearson Education.
Moreno, F. M., Lafuente, J. G., Carreón, F. Á., & Moreno, S. M. (2017). The
Characterization of the Millennials and Their Buying Behavior. International
Journal of Marketing Studies, 9(5), 135.
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
255
Ordun, G. (2015). Millennial (Gen Y) Consumer Behavior Their Shopping Preferences
and Perceptual Maps Associated With Brand Loyalty. Canadian Social Science.
Pappu, R., Quester, P.G., Cooksey, R.W. (2005). Consumer‐based brand equity: improving the measurement – empirical evidence, Journal of Product & Brand
Management, 14(3),143-154.
Remy, N., Schmidt, J., Werner, C., & Lu, M. (2014). Unleashing fashion growth city by
city. McKinsey & Company, 6.
Roberts, K. (2004). Lovemarks The Future Beyond Brands (1st ed). New York:
Powerhouse Books
Roberts, K. (2005). Lovemarks: The future beyond brands (2nd ed.). New York:
Powerhouse Books.
Sarkar, A. (2011). Romancing with a brand: A conceptual analysis of romantic
consumer brand relationship. Management & Marketing, 6(1), 79-94.
Song H., Wang J., Han H. (2019) Effect of image, satisfaction, trust, love, and respect
on loyalty formation for name-brand coffee shops. International Journal of
Hospitality Management, 79, 50-59.
The Business of Fashion. (2016). French Fashion Flags Its Economic Importance –
Thebusinessoffashion.com., Retrieved from
https://www.businessoffashion.com/articles/news-analysis/french-fashion-flags-
its-economic-importance
Touminen, P.(1999). Managing Brand Equity, LTA, 65-100.
Vasileva, S., & Goranova, P. (2017). Brand love:Exploring brand loyalty and the
lovemark experience. (October), 111–121. Retrieved from
http://www.saatchikevin.com
Wijanto, S. (2015). Metode Penelitian menggnakan Structural Equation Modeling
dengan LISREL 9, Cetakan Pertama, Penerbit Graha Ilmu Yogyakarta.
Workman, J. E. (2009). Fashion Consumer Groups, Gender, and Need for Touch.
Clothing and Textile Research Journal, 28(2) 126-139.
Yang, D., Sonmez, M., Gonzalez, M., Liu, Y., & Yoder, C. Y. (2019). Consumer‐based
brand equity and consumer‐based brand performance : evidence from smartphone brands in the USA. Journal of Brand Management.
https://doi.org/10.1057/s41262-019-00154-w
top related