Penelitian Adsorpsi
Post on 20-Feb-2016
38 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Zat Warna Tekstil
Zat warna adalah senyawa organic bewarna yang digunakan untuk memberi
warna pada suatu objek (Fessenden & Fessenden, 1999). Suatu zat warna ialah
bahan pewarna yang dapat larut dalam air dan mempunyai daya tarik terhadap
serat. Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh
dengan Chromofor sebagai pembawa warna dan aukokrom sebagai pengikat
warna dengan serat. Zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan
zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan
turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang
mengandung nitrogen (Mulyatna dkk, 2003)
Sumber diperolehnya zat warna tekstil digolongkan menjadi 2 yaitu: Pertama,
Zat Pewarna Alam yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada
umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan dan hewan. Kedua, Zat Pewarna Sintetis
yaitu zat warna buatan atau sintetis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan
dasar terarang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa
turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena dan antrasena.
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tak jenuh dengan
kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat warna dengan
serat. Zat organik tak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah
senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya,
fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung
nitrogen. Gugus auksokrom terdiri dari dua golongan, yaitu golongan anion dan
kation. Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi
berwarna karena memberi daya ikat terhadap serat yang diwarnainya.
Pada proses pewarnaan tekstil lebih banyak menggunakan zat warna sintetik
dibandingkan dengan zat warna alam karena zat warna sintetik dapat memenuhi
kebutuhan skala besar, warnanya lebih bervariasi dan pemakaiannya lebih praktis
(Montano, 2007). Sekitar 70% dari zat warna sintetik yang digunakan adalah zat
5
6
warna golongan azo yaitu zat warna sintetik yang mengandung paling sedikit satu
ikatan ganda N=N. Keunggulan zat warna azo ini adalah terikat kuat pada kain,
memberikan warna yang baik dan tidak mudah luntur (Blackburn dan
Burkinshaw, 2002).
2.1.2. Methyl Violet
Pada penelitian ini zat pewarna yang digunakan adalah basic methyl
violet. Metil violet adalah keluarga senyawa organik yang terutama digunakan
sebagai pewarna . Tergantung pada jumlah terpasang metil kelompok, warna
pewarna dapat diubah. Kegunaan utamanya adalah sebagai pewarna ungu
untuk tekstil dan memberikan warna ungu tua di cat dan tinta. Metil violet 10B
juga dikenal sebagai violet kristal (dan banyak nama lainnya) dan memiliki
kegunaan medis. Methyl violet termasuk zat warna golongan trifenilmetana yang
digunakan secara intensif untuk mewarnai nilon, nilon yang dimodifikasi
poliakrilonitril, wol, sutera dan kapas. Beberapa diantaranya dimanfaatkan untuk
kegunaan medis dan biologis. Methyl violet bersifat persisten dan sulit
dibiodegradasi. Berdasarkan studi yang dilakukan Black et al pada 1980,
didapatkan bahwa anilin yang terdapat dalam senyawa ini bersifat toksik,
mutagenik dan karsinogenik. Metil violet mencakup tiga senyawa yang berbeda
dalam jumlah kelompok metil melekat pada amina gugus fungsional . Mereka
semua larut dalam air , etanol , dietilen glikol dan dipropilen glikol .
Gambar 2.1 Rumus Molekul Methyl Violet
7
Karakteristik Methyl Violet1. Rumus molekul: C 25 H 30 ClN 3
2. Massa molar: 407,979
3. Nomor CAS: 548-62-9
4. Penampilan: Crystal Violet, ACS, 90 +%; Kristal Violet; Kristal Violet, ACS,
90 +%; Kristal Violet; bubuk hijau gelap atau kristal
5. Titik lebur: 205-215 ° C
Methyl violet merupakan salah satu contoh zat pewarna tekstil. Zat warna
methyl violet tergolong dalam zat warna karbon -nitrogen yang terdapat pada
gugus benzena. Gugus benzena sangat sulit didegradasi, kalupun dapat
didegradasi membutuhkan waktu yang lama ( Christina P.M, dkk, 2007).
2.1.2 Karakteristik limbah cair zat pewarna tekstil
Salah satu penghasil limbah cair adalah industri tekstil, terutama pada
proses pewarnaan. Dalam proses pewarnaan tekstil banyak menggunakan air,
maka jumlah air yang hilang tersebut diduga merupakan limbah cair yang pada
akhirnya akan mencemari air sungai/perairan yang menerimanya. Air limbah
tekstil ini bila dibuang ke perairan selain menyebabkan air mempunyai tingkat
warna yang tinggi juga akan menyebabkan kenaikan BOD yang nyata (Gupta dkk,
1988). Limbah cair adalah zat sisa yang berwujud cairan dari suatu lingkungan
masyarakat atau industri, yang mengandung hampir 0,1 % benda-benda padat
yang terdiri dari zat organik dan anorganik. Limbah cair tersebut mengandung
bahan-bahan berbahaya dan beracun yang keberadaanya dalam perairan dapat
mengalangi sinar matahari menembus lingkungan akuatik, sehingga mengganggu
proses-proses biologis yang terjadi didalamnya ( Krim dkk, 2006 ). Berikut adalah
karakteristik limbah cair dari zat pewarna tekstil.
8
Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair dari Beberapa Bahan Tekstil
Parameter Unit
Kadar Pencemaran dari Proses Pencucian
Bahan Kapas dan Sintetik
Kadar pencemaran dari
proses pencelupan
bahan kapas dan sintetik
Bahan mutu limbah cair
industry tekstil kadar maksimum
BOD5TSSCOD
Minyak/LemakKrom, Total
Fenol SulfidaWarna
pH
mg/Lmg/Lmg/Lmg/Lmg/Lmg/Lmg/LADM
-
100-85040-495
425-1440-
0.050.04-0.270.20-2.72325-400
7-11
75-34025-75
200-1010-
0.0130.12
-5007-12
85602505.02.01.0--
6.0-9.0Sumber: Arena Tekstil No.24 tahun 1995 dan Baku Mutu Limbah Cair
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep. 51/MENLU/10/1995.
2.2. Tanaman kakao
Tanaman kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang dapat tumbuh baik di Indonesia, terutama di dataran rendah atau
di lereng gunung dengan ketinggian tidak lebih dari 500 m dari permukaan laut.
Theobroma cacao L adalah nama biologis yang diberikan pada pohon kakao oleh
Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di
bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan
teduh. Dalam kondisi seperti ini Theobroma cacao jarang berbuah dan hanya
sedikit menghasilkan biji (Spillane, 1995).
Menurut Susanto (1994), jenis yang paling banyak ditanam untuk produksi
coklat hanya 3 jenis, yaitu:
1. Jenis Criollo
Jenis Criollo terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan Criollo Amerika
Selatan. Jenis ini menghasilkan biji coklat yang mutunya sangat baik dan dikenal
sebagai coklat mulia. Buahnya berwarna merah atau hijau, kulit buahnya tipis dan
9
berbintil–bintil kasar dan lunak. Biji buahnya berbentuk bulat telur dan berukuran
besar dengan kotiledon berwarna putih pada waktu basah.
2. Jenis Forastero
Jenis ini menghasilkan biji coklat yang memiliki mutu sedang atau dikenal
juga sebagai Ordinary cocoa. Buahnya berwarna hijau, kulitnya tebal, biji
buahnya tipis atau gepeng dan kotiledon berwarna ungu pada waktu basah.
3. Jenis Trinitario
Merupakan campuran dari jenis Criollo dengan jenis Forastero. Coklat
Trinitario menghasilkan biji yang termasuk fine flavour cocoa dan ada yang
termasuk bulk cocoa. Buahnya berwarna hijau atau merah dan bentuknya
bermacam–macam. Biji buahnya juga bermacam–macam dengan kotiledon
berwarna ungu muda sampai ungu tua pada waktu basah.
Taksonomi tanaman kakao menurut Poedjiwidodo (1996), adalah sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Malvales
Famili : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao. L
Menurut Wahyudi dkk ,2008, bentuk buah dan warna kulit buah kakao sangat
bervariasi, tergantung pada kultivarnya. Namun, pada dasarnya hanya ada dua
macam warna, yaitu :
1. Buah yang ketika muda berwarna hijau/hijau agak putih, bila sudah masak
berwarna kuning, dan
2. Buah yang ketika masih muda berwarna merah, bila sudah masak berwarna
oranye.
Kulit buah Kakao terdiri dari 10 alur (5 dalam dan 5 dangkal) berselang
seling. Permukaan buah ada yang halus dan ada yang kasar, warna buah beragam
ada yang merah hijau, merah muda dan merah tua (Poedjiwidodo, 1996).
10
Gambar 2.1 Kulit kakao
Tabel 2.2 Komposisi kulit kakao
Komposisi Persentase (%)Protein kasarLemak kasarGlukosaSukrosaHemiselulosaSelulosaLigninPektinAbu
6,01,420,50,1821,1433,10
255,307,45
Sumber: Siregar, 2009
2.3. Selulosa dan Hemiselulosa
Selulosa merupakan senyawa organik yang terdapat pada dinding sel
bersama lignin berperan dalam mengokohkan struktur tumbuhan. Selulosa pada
kayu umumnya berkisar 40-50%, sedangkan pada kapas hampir mencapai 98%.
Selulosa terdiri atas rantai panjang unit-unit glukosa yang terikat dengan ikatan 1-
4β-glukosida.
Gambar 2.1 Selulosa
11
Hemiselulosa adalah polimer polisakarida heterogen tersusun dari unit D-
glukosa, D-manosa, L-arabiosa dan D-xilosa. Hemiselulosa pada kayu berkisar
antara 20-30%. Dilihat dari strukturnya, selulosa dan hemiselulosa mempunyai
potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai penjerap karena gugus OH yang
terikat dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat. Adanya gugus OH, pada
selulosa dan hemiselulosa menyebabkan terjadinya sifat polar pada adsorben
tersebut. Dengan demikian selulosa dan hemiselulosa lebih kuat menjerap zat
yang bersifat polar dari pada zat yang kurang polar. Mekanisme serapan yang
terjadi antara gugus -OH yang terikat pada permukaan dengan ion logam yang
bermuatan positif (kation) merupakan mekanisme pertukaran ion sebagai berikut
(Yantri 1998):
Sumber: Watan, 2014
M+ dan M2+ adalah ion logam, -OH adalah gugus hidroksil dan Y adalah
matriks tempat gugus -OH terikat. Interaksi antara gugus -OH dengan ion logam
juga memungkinkan melalui mekanisme pembentukan kompleks koordinasi
karena atom oksigen (O) pada gugus -OH mempunyai pasangan elektron bebas,
sedangkan ion logam mempunyai orbital d kosong. Pasangan elektron bebas
tersebut akan menempati orbital kosong yang dimiliki oleh ion logam, sehingga
terbentuk suatu senyawa atau ion kompleks.
Menurut Terada et al. (1983) ikatan kimia yang terjadi antara gugus aktif
pada zat organik dengan molekul dapat dijelaskan sebagai perilaku interaksi
asam-basa Lewis yang menghasilkan kompleks pada permukaan padatan. Pada
sistem adsorpsi larutan ion logam, interaksi tersebut dalam bentuk umum ditulis:
[GH] + M z+ [GM (z-1)]+ + H+
2[GH] + Mz+ [G2M(z-2)]+ + 2H+
12
dengan GH adalah gugus fungsional yang terdapat pada zat organik, dan M adalah
ion bervalensi z.
2.4. Adsorpsi
Adsorpsi disebut peristiwa penyerapan dengan menggunakan suatu media
penyerap atau adsorben (Anonim, 2008). Selain itu, adsorpsi adalah suatu proses
pemisahan bahan dari campuran gas atau cair , bahan yang harus dipisahkan
ditarik oleh permukaan adsorben padat dan diikat oleh gaya-gaya yang bekerja
pada permukaan tersebut (Anonim, 2009). Menurut Richardson, etal. Adsorpsi
didefinisikan sebagai suatu proses difusi molekul-molekul dari fluida ke
permukaan adsorben padat. Salah satu metode yang digunakan untuk
menghilangkan zar pencemar dari air limbah adalah adsopsi (Rios,1999)
Operasi dari proses adsorpsi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu, dilakukan
dalam suatu bejana dengan sistem pengadukan, dimana penyerap yang biasanya
berbentuk serbuk dibubuhkan, dicampur dan diaduk dengan air dalam suatu
bejana sehingga terjadi penolakan antara partikel penyerap dengan fluida.
Sedangkan operasi dan proses adsorpsi selanjutnya yaitu dilakukan dalam suatu
bejana dengan sistem filtrasi, dimana bejana yang berisi media penyerap di alirkan
air dengan model pengaliran gravitasi. Jenis media penyerap sering digunakan
dalam bentuk bongkahan atau butiran/granula dan proses adsorpsi biasanya terjadi
selama air berada di dalam media penyerap.
Ada beberapa hal yang dapat membedakan jenis-jenis adsorpsi. Perbedaan
yang sangat penting adalah didasarkan pada sifat ikatan fisika dan kimia yang
menyebabkan adsorbat ditarik ke permukaan adsorben. Para ahli
mengklasifikasikan adsorpsi atau dua tipe berdasarkan fenomena terjadinya
adsorpsi, yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Kedua jenis adsorpsi tersebut
mempunyai karakteristik masing-masing.
2.4.1 Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika atau adsorpsi Van Der Walls adalah fenomena yang mudah
berbalik (reversibel) yang terjadi akibat adanya gaya tarik menarik (interaksi
13
elektrolisis antar dipol) antara permukaan adsorben dengan molekul-molekul
adsorbat yang disebabkan oleh ikatan Van Der Walls (Treyball, 1981).
Pada adsorpsi fisika gaya tarik molekul-molekul fluida ke permukaan zat
padat merupakan gaya Vander Walls yang relatif lemah dan panas yang
dilepaskan selama proses adsorpsi besarnya adalah 0,5–5 Kkal/gmol.
Kesetimbangan antara zat padat dengan molekul-molekul gas biasanya cepat
tercapai dan bersifat reversibel dan hanya membutuhkan energi tidak lebih dari 1
Kkal/gmol. Hal ini disebabkan gaya-gaya yang terlibat dalam kesetimbangan
tersebut relatif lemah (Smith, 1992).
Jumlah adsorpsi fisika berkurang kecepatannya dengan meningkatnya
temperatur dan biasanya jumlahnya sangat kecil di atas temperatur kritis
komponen yang teradsorpsi. Adsorpsi fisika tidak terlalu tergantung pada
ketidakteraturan sifat permukaan padatan, tetapi biasanya berbanding lurus
dengan luas permukaannya (Saputra, 2008).
Proses adsorpsi dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu sebagai berikut :
1. Difusi molekul adsorbat dari larutan ke permukaan adsorben.
2. Perpindahan molekul adsorbat dari permukaan adsorben ke dalam pori-
pori adsorben.
3. Pengikatan molekul adsorbat oleh permukaan adsorben.
2.4.2 Adsorpsi Kimia
Adsorpsi kimia atau adsorpsi aktifasi interaksi kimia antara zat padat dan
zat terlarut. Terdapatnya rantai kimia yang kuat dan jenis senyawa kimia yang
dimiliki, mempunyai suatu gaya untuk mengikat zat lain yang lebih kuat
dibandingkan dengan adsorpsi fisika. Proses yang terjadi merupakan proses
irreversibel dan proses adsorbsi yang terjadi akan memberikan jumlah senyawa
yang lebih rendah dari senyawa sebelum proses adsorpsi (Treyball, 1981).
Adsorpsi kimia mengakibatkan pembentukan suatu lapisan molekul
tunggal (monomolekuler) adsorbat pada permukaan karena adanya gaya-gaya dari
sisa valensi molekul-molekul permukaan. Adsorpsi kimia melibatkan gaya-gaya
yang jauh lebih besar daripada adsorpsi fisik. Menurut langmuir, molekul-molekul
14
yang terserap ditarik ke permukaan oleh gaya-gaya valensi yang terjadi antara
atom-atom di dalam molekul. Adsorpsi ini membentuk molekul baru dan
prosesnya bersifat irreversibel (Smith, 1992).
Adsorpsi yang disertai dengan reaksi kimia di dalam fase zat cair sering
digunakan untuk mengeluarkan zat terlarut secara lebih sempurna dari campuran
gas. Sebagai contoh, larutan asam encer dapat digunakan untuk membasuh NH3
dari gas lain dan larutan basa untuk membuang CO2 dan gas-gas lainnya (Mc.
Cabe, 1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi antara lain, sifat
adsorbat, konsentrasi adsorbat, sifat adsorben, temperatur, waktu kontak dan
pengadukan, dan pH larutan. (Oscik,1991)
1. Sifat Adsorbat
Besarnya adsorpsi zat terlarut tergantung pada kelarutannya pada pelarut.
Kenaikan kelarutan menunjukkan ikatan yang kuat antara zat terlarut dengan
pelarut dan aksi yang sebaliknya terhadap adsorpsi oleh adsorben. Makin besar
kelarutannya, ikatan antara zat terlarut dengan pelarut makin kuat sehingga
adsorpsi akan semakin kecil karena sebelum adsorpsi terjadi diperlukan energi
yang besar untuk memecah ikatan zat terlarut dengan pelarut.
2. Konsentrasi Adsorbat
Pada umumnya adsorpsi akan meningkat dengan kenaikan konsentrasi
adsorbat tetapi tidak berbanding langsung. Adsorpsi akan konstan jika terjadi
kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat yang terserap dengan konsentrasi yang
tersisa dalam larutan.
3. Sifat Adsorben
Adsorpsi secara umum terjadi pada semua permukaan, namun besarnya
ditentukan oleh luas permukaan adsorben yang kontak dengan adsorbat. Luas
permukaan adsorben akan sangat berpengaruh terutama untuk tersedianya tempat
adsorpsi. Adsorpsi merupakan suatu kejadian permukaan sehingga besarnya
adsorpsi sebanding dengan luas permukaan spesifik. Makin banyak permukaan
yang kontak dengan adsorbat maka akan makin besar pula adsorpsi yang terjadi.
15
4. Temperatur
Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh karena itu
adsorpsi akan besar jika temperatur rendah.
5. Waktu kontak dan Pengadukan
Waktu kontak yang cukup diperlukan untuk mencapai kesetimbangan
adsorpsi. Jika fasa cair yang berisi adsorben diam, maka difusi adsorbat melalui
permukaan adsorben akan lambat. Oleh karena itu diperlukan pengadukan untuk
mempercepat proses adsorpsi.
6. pH larutan
Senyawa yang terdisosiasi lebih mudah diserap dari pada senyawa terionisasi.
Pada umumnya adsorpsi bertambah pada kisaran pH dimana suatu senyawa
organik bermuatan netral. pH di mana proses adsorpsi terjadi menunjukkan
pengaruh yang besar terhadap adsorpsi itu sendiri. Hal ini dikarenakan ion
hidrogen sendiri diadsorpsi dengan kuat,sebagian karena pH mempengaruhi
ionisasi dan karenanya juga mempengaruhi adsorpsi dari beberapa
senyawa.nAsam organik lebih mudah diadsorpsi pada pH rendah, sedangkan
adsorpsi basa organik terjadi dengan mudah pada pH tinggi. pH optimum untuk
kebanyakan proses adsorpsi harus ditentukan dengan uji laboratorium.
2.4.3 Adsorben
Adsorben adalah media penyerap yang digunakan pada proses adsorpsi,
pada umumnya adsorben bersifat sangat higroskopi dan berpori. Suatu adsorben
yang baik harus mempunyai daya menyerap senyawa dan kecepatan penyerapan
yang tinggi bila digunakan pada proses pemurnian yang berlangsung secara
kontinu. Bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar, sebagian besar akan
teradsorpsi dan terikat di permukaan. Menurut Sasmojo (1994), bahwa suatu zat
dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan adalah mempunyai
daya adsorpsi selektif dan berpori sehingga luas permukaan persatuan massa
mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisika
atau kimia. Akan tetapi, bila permukaan sudah jenuh atau mendekati jenuh dengan
adsorbat, dapat terjadi dua hal:
16
1. Terbentuknya lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas adsorbat yang telah
terikat di permukaan, gejala ini disebut adsorpsi multilayer.
2. Tidak dapat terbentuk lapisan kedua dan seterusnya sehingga adsorbat yang
belum teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke arus fluida, gejala ini
disebut adsorpsi monolayer.
Secara umum hal yang mempengaruhi kinerja adsorben adalah struktur
kristalnya (pori) dan sifat dari Molecular Sieve Adsorbent (MSA) tersebut.
Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori
adsorben, mengakibatkan luas permukaan semakin besar dan kecepatan adsorpsi
bertambah (Sembiring & Sinaga, 2003). Menurut mereka luas permukaan
adsorben berpengaruh terhadap tersedianya tempat adsorpsi, luas permukaan
adsorben adalah luas persatuan masa adsorben (m2/g). Karakteristik adsorben
yang baik untuk proses adsorpsi adalah sebagai berikut:
1. Luas permukaan adsorben, semakin besar luas permukaan maka semakin besar
pula daya adsorpsinya, karena proses adsorpsi terjadi pada permukaan
adsorben.
2. Tidak ada perubahan volume selama proses adsorpsi dan desorpsi.
3. Kemurnian adsorben, semakin tinggi tingkat kemurnian adsorben, maka daya
adsorpsinya lebih baik.
4. Jenis atau gugus fungsi atom yang ada pada permukaan adsorben. Sifat-sifat
atom di permukaan berkaitan dengan interaksi molekuler antara adsorbat dan
adsorben yang lebih besar pada adsorbat tertentu.
Ditinjau dari bahan penyusun adsorben dan fungsinya yang telah lama
digunakan untuk berbagai keperluan, adsorben terbagi dua jenis yaitu adsorben
organik dan anorganik. Adsorben organik adalah adsorben yang berasal dari
bahan-bahan yang mengandung pati, beberapa tumbuh-tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai adsorben antara lain singkong, jagung dan gandum. Adsorben
ini sudah mulai digunakan sejak tahun 1979, untuk mengeringkan berbagai
macam senyawa. Kelemahan dari adsorben ini adalah sangat bergantung pada
kualitas tumbuhan yang akan dijadikan adsorben. Adsorben anorganik sudah
mulai dipakai pada awal abad ke-20. Dalam perkembangannya pemakaian jenis
17
adsorben ini semakin beragam. Penggunaan adsorben ini dipilih karena berasal
dari bahan non-pangan, sehingga tidak terpengaruh oleh ketersediaan pangan dan
kualitasnya cenderung sama. Untuk proses adsorpsi ada tiga jenis adsorben yang
umum digunakan dalam industri yaitu :
1. Silika gel.
Silika gel cenderung mengikat adsorbat dengan energi yang relatif lebih kecil
tidak membutuhkan temperatur yang tinggi untuk proses desorpsinya,
dibandingkan jika menggunakan adsorben lain seperti karbon atau zeolit.
Kemampuan desorpsi silika gel meningkat dengan meningkatnya temperatur.
Silika gel terbuat dari silika dengan ikatan kimia mengandung air kurang lebih
5%. Pada umumnya temperatur kerja silika gel sampai pada 200°C, jika
dioperasikan lebih dari batas temperatur kerjanya maka kandungan air dalam
silika gel akan hilang dan menyebabkan kemampuan adsorpsinya hilang.
2. Karbon Aktif.
Karbon aktif dapat dibuat dari batu bara, kayu dan tempurung kelapa melalui
proses pirolisis dan karbonisasi pada temperatur 700 sampai 800°C. Hampir
semua adsorbat dapat diserap oleh karbon aktif kecuali air. Karbon aktif dapat
ditemukan dalam bentuk bubuk dan granular. Pada umumnya karbon aktif
dapat mengadsorpsi metanol atau amonia sampai dengan 30%, bahkan karbon
aktif super dapat mengadsorpsi sampai dua kali lipat.
3. Zeolit.
Zeolit mengandung kristal zeolit yaitu mineral aluminosilicate yang disebut
sebagai penyaring molekul. Mineral aluminosilicate ini terbentuk secara
alami. Zeolit buatan dibuat dan dikembangkan untuk tujuan khusus,
diantaranya 4A, 5A, 10X, dan 13X yang memiliki volume rongga antara 0.05
sampai 0.30 cm/gram dan dapat dipanaskan sampai 500°C tanpa harus
kehilangan daya adsorpsi dan regenerasi.
Ditinjau dari bahan penyusun adsorben dan fungsinya yang telah lama
digunakan untuk berbagai keperluan, adsorben terbagi dua jenis yaitu adsorben
organik dan anorganik. Adsorben organik adalah adsorben yang berasal dari
bahan-bahan yang mengandung pati, beberapa tumbuh-tumbuhan yang dapat
18
digunakan sebagai adsorben antara lain singkong, jagung dan gandum. Adsorben
ini sudah mulai digunakan sejak tahun 1979, untuk mengeringkan berbagai
macam senyawa.
Kelemahan dari adsorben ini adalah sangat bergantung pada kualitas
tumbuhan yang akan dijadikan adsorben. Adsorben anorganik sudah mulai
dipakai pada awal abad ke-20. Dalam perkembangannya pemakaian jenis
adsorben ini semakin beragam. Penggunaan adsorben ini dipilih karena berasal
dari bahan non-pangan, sehingga tidak terpengaruh oleh ketersediaan pangan dan
kualitasnya cenderung sama.
2.4.4 Jenis Adsorben
Berbagai jenis arang aktif telah dibuat dengan menggunakan bahan baku
yang berbeda-beda. Bahan baku tersebut menghasilkan beberapa karakteristik
yang beraneka ragam. Menurut SII No.0258 -79, arang aktif yang baik
mempunyai persyaratan seperti yang tercantum pada tabel berikut ini:
Tabel 2.3 Standar Nasional Indonesia Adsorben Tahun 2000
Karakteristik Persyaratan Jenis
Bagian yang hilang saat pemanasan 950 oC Maksimal 15 %
Kadar Air Maksimal 10%
Kadar Abu Maksimal 2,5%
Daya Serap Terhadap Larutan Iod Minimum 20%
Sumber: Sembiring, 2003
2.4.5 Adsorpsi Isothermal
Isotermis adsorpsi merupakan proses adsorpsi zat terlarut oleh padatan
pada suhu dan tekanan konstan. Pada isotermis adsorpsi terlihat bahwa jumlah zat
terserap dipengaruhi oleh konsentrasi kesetimbangannya (Mardiana, 1998).
Isotermis adsorpsi digunakan untuk karakterisasi dari persamaan antara jumlah
adsorbat yang terakumulasi dalam adsorben dan konsentrasi larutan adsorbat. Ada
dua jenis hubungan matematik yang umumnya digunakan untuk menjelaskan
adsorpsi isothermal yaitu Isoterm Langmuir dan Isoterm Freundlich.
19
2.4.5.1 Isotermis Adsorpsi Langmuir
Isotermis Langmuir digunakan untuk memperhitungkan kesetimbangan
gas, dimana terjadi interaksi yang kuat antara adsorbat dan adsorben. Isotermis
Langmuir merupakan adsorpsi kimia dimana molekul melekat pada permukaan
dengan ikatan kovalen yang bersifat irreversible dan adsorpsinya monolayer
(Horsfall and Ayebaemi, 2004). Isoterm ini didasarkan pada beberapa asumsi
diantaranya adalah:
1. Adsorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal.
2. Terbatasnya permukaan untuk berlangsungnya proses adsorpsi.
3. Panas adsorpsi tidak tergantung permukaan.
4. Semua site pada permukaan bersifat homogen.
5. Irreversible sampai titik setimbang.
6. Adsorpsi terlokalisai dan tidak terjadi interaksi antar sorbat.
Menurut Adamson (1990) Isotermis adsorpsi diasumsikan sebagai proses
adsorpsi yang terjadi pada permukaan dengan sisi adsorpsi dan energi yang sama,
dengan 1 molekul yang terserap per sisi adsorpsi sampai menutup satu lapis
permukaan biomassa. Persamaan isotermis Langmuir memperkirakan kapasitas
adsorpsi maksimum pada seluruh permukaan satu lapis (monolayer) permukaan
adsorpsi persamaan isotermis adsorpsi Langmuir adalah:
(2.1)
dimana:
qe : Banyaknya zat yang terserap persatuan berat adsorben (mg/g)
Ce : Konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/L)
qm : Kapasitas adsorpsi maksimum (mg/L)
KL : Konstanta Langmuir (L/mg)
Persamaan di atas dapat diubah susunannya menjadi bentuk linear seperti
diperlihatkan pada persamaan (2.2).
(2.2)
20
2.4.5.2 Isotermis Adsorpsi Freundlich
Menurut Adamson (1990), menyatakan bahwa persamaan isotermis
Freundlich dapat digunakan untuk menghitung adsorpsi permukaan yang beragam
(adsorpsi multilayer). Persamaan ini merupakan perbandingan zat yang teradsorpsi per
berat adsorben dalam konsentrasi larutan. Persamaan isotermis Freundlich
memperkirakan intensitas adsorpsi yang terserap dalam biomassa. Persamaan
Freundlich adalah:
(2.3)
Dimana :
qe : Banyaknya zat yang terserap per satuan berat adsorben (mg/g)
Ce : Konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/L)
n : Kapasitas adsorpsi maksimum (mg/L)
K : Konstanta Freundlich (L/mg)
Persamaan di atas dapat diubah kedalam bentuk linier dengan mengambil bentuk
logaritmanya:
log qe = log Kf + log Ce (2.4)
Bentuk linear dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian data
percobaan dengan teoritis, yaitu dengan cara membuat kurva linear antara Ce/qe
versus Ce. Konstanta Freundlich Kf dapat diperoleh dari kemiringan garis
lurusnya (intersep), sedangkan 1/n merupakan harga slope.
Kapasitas adsorpsi ion oleh adsorben adalah jumlah gugus yang dapat
dipertukarkan dalam adsorben. Kapasitas penukaran adsorpsi ion dari suatu
adsorben ialah jumlah ion yang dapat ditukar untuk setiap 1 gram adsorben
kering, atau jumlah ion yang dapat ditukar untuk setiap 1 ml adsorben basah.
Kapasitas adsorpsi ion ini biasanya dinyatakan dalam mg ek ion per gram
adsorben kering atau dalam mg ek ion per ml adsorben basah. Besarnya nilai
kapasitas adsorpsi suatu adsorben bergantung dari jumlah gugus-gugus ion yang
dapat ditukarkan yang terkandung dalam setiap gram adsorben tersebut. Semakin
21
besar jumlah gugus-gugus tersebut semakin besar pula nilai kapasitas adsorpsinya
(Underwood, 2002)
2.5 Biosorpsi
Biosorpsi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan biomassa dalam mengikat dan mengakumulasi ion atau senyawa
tertentu dari larutan (Volesky, 2007). Biosorpsi mulai banyak dikembangkan pada
awal tahun 1990. Saat itu sebuah perkembangan baru dicapai dengan diketahuinya
kemampuan biomassa dapat menyerap logam berat yang berbahaya bahkan pada
konsentrasi yang sangat kecil (<10 mg/L). Struktur kompleks mikroorganisme
memungkinkan banyak cara terbiosorpsinya logam berat pada sel
mikroorganisme. Sampai saat ini diketahui terdapat berbagai macam mekanisme
terjadinya biosorpsi walaupun belum dimengerti sepenuhnya. Oleh karena itu
dilakukan pengklasifikasian terhadap beberapa kriteria yang menentukan (Ahalya,
2003). Berdasarkan ketergantungan proses adsorpsi dengan metabolisme sel,
mekanisme biosorpsi dapat dibagi berdasarkan dua kriteria (Ahalya, 2003), yaitu:
1. Tergantung terhadap proses metabolisme
2. Tidak tergantung terhadap proses metabolisme
Sampai saat ini sudah mulai banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan biosorpsi, seperti yang ada pada Tabel 2.4
22
Tabel 2.4 Variasi Judul penelitian dan hasil penelitian terdahulu.Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian
Ita Juwita, dkk
2004 Kapasitas Adsorpsi Karbon Aktif Tempurung Kenari Terhadap Zat Warna Merak Raektif- 1
Didapatkan waktu kontak optimum yaitu 3 jam dengan berat adsorben yang tidak divariasikan yaitu hanya 1 gram dengan konsentrasi 50, 100, 150 , 200 dan 150 ppm.
Paulina, dkk 2004 Pengurangan Konsentrasi Merah Reaktif-1 Dari Lingkungan Perairan Melalui Adsorpsi Pada Karbon Mesopori (Cmk-1) Dan Karbon Aktif Kulit Kakao (Theobroma cacao
kapasitas adsorpsi 526,32 mg/g untuk adsorpsi oleh CMK-1 dan 2,33 mg/g untuk adsorpsi oleh ACHC. Dengan waktu optimum yang dihasilkan 4 jam.
Zulfikar Alamsyah
2007 Biosorpsi Biru Metilena Oleh Kulit Buah Kakao
Diperoleh kondisi optimum pada waktu kontak 60 menit dengan bobot biosorben 2 gr dengan konsentrasi 50 ppm
Muhibudin 2014 Biosorpsi Logam Berat Pb (Timbal) Dengan Mengunakan Biomassa Kulit Kakao Pada Limbah Artifisial
Diperoleh kadar penyisihan logam maksimum 99,02 % dan kapasitas adsorpsi maksimum 9,92 mg/g pada berat adsorben 1 gram , konsentrasi limbah 120 ppm dengan waktu 90 menit
2.6. Spektrofotometri Ultraviolet-VisibleIstilah Spektroskopi awalnya digunakan untuk menggambarkan suatu
cabang ilmu yang didasarkan kepada resolusi radiasi sinar tampak pada panjang
gelombang komponennya. Dengan berjalannya waktu, istilah spektroscopi
diperluas yaitu mencakup penelitian yang melibatkan seluruh spektrum
elektromagnetik dan beberapa teknik yang tidak melibatkan radiasi
elektromagnetik, seperti spektroskopi massa, spektroskopi elektron, dan
23
spektroskopi akustik. Instrumen spektroskopi pertama kali dikembangkan pada
daerah sinar tampak yang disebut dengan instrumen optik. Istilah ini sekarang
diperluas pada instrumen yang dirancang untuk sinar ultraviolet dan infra merah
(Skoog, 1982).
Menurut Pecsok (1976), spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran
panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang
diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang
cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang
lebih tinggi. Spektroskopi UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion
anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk
yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari
spektrum ini, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara
kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan
mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu (Anto, 2010).
Spektrofotometri Ultraviolet-Visible merupakan suatu metode yang
mempelajari interaksi antara radiasi dan benda sebagai fungsi panjang gelombang
pada panjang gelombang 190-700 nm dan analisisnya dilakukan secara kualitatif
maupun kuantitatif. Spektrofotometer UV-Vis berfungsi untuk merekam
banyaknya radiasi cahaya yang diserap dari suatu sampel analitik. Cahaya
ultraviolet terdapat pada panjang gelombang 190 nm sampai 400 nm sedangkan
cahaya tampak (visible)terdapat pada panjang gelombang 400-700 nm. Meskipun
beberapa instrumen sinar tampak terlihat sering terlihat sampai sekitar 1000 nm
dekat dengan daerah infra merah (Hardjono Sastrohamidjojo,2007). Hubungan
antara warna dan warna komplementer pada berbagai panjang dapat dilihat
pada Tabel 2.4
24
Tabel 2.4 Warna dan Warna Komplementer pada Berbagai Panjang Gelombang
Panjang Gelombang warna Warna Komplementer
400-435 Violet Hijau kekuningan
435-480 Biru Kuning
480-490 Biru kehijauan Jingga
490-500 Hijau kebiruan Merah
500-560 Hijau Ungu kemerahan
560-580 Hijau kekuningan Ungu
595-610 Jingga Biru kehijauan
610-680 Merah Hijau kebiruan
680-700 Ungu kemerahan Hijau
(Sumber : Hardjono Sastrohamidjojo,2007)
Absorbansi dari sampel bergantung pada konsentrasi (mol/Liter),
panjang jalan yang dilalui (cm) dan konstanta fisik yang karakteristik dari
sampel (absorptivitas molar / ε). Kebergantungan konsentrasi, panjang jalan yang
dilalui, dan konstanta fisik dinyatakan dalam hukum Lambert Beer (Hardjono
Sastrohamidjojo, 2007).
A = ε x C x l
Keterangan:
A : absorbansi
ε : absorptivitas molar
C : konsentrasi dalam mol / Liter
l : panjang sel dalam satuan cm
Hukum Lambert Beer pada prakteknya tidaklah ideal, tetapi ada
faktor koreksinya berupa intersep sehingga secara umum mengikuti
persamaan linier y = aX + b, dalam hal ini Y adalah A (absorbansi) dan X adalah
C (konsentrasi) serta a sebagai slope (tg α), sedangkan b sebagai intersep, Aspl
adalah absorbansi sampel dan Cspl adalah konsentrasi sampel. Dengan membuat
25
kurva baku seperti pada Gambar 5, Cspl dan harga intersepnya dapat
ditentukan (Marham Sitorus, 2009).
Gambar 2.2 Kurva Baku Larutan Standar
Panjang gelombang maksimum larutan methyl violetpada pH di
sekitar 7 adalah 584 nm (Dogan dan Alkan, 2003). Konsentrasi suatu sampel
dapat ditentukan melalui pengukuran absorbansi. Syarat utama analit harus
larut sempurna dan larutannya berwarna atau dibuat berwarna. Methyl violet
merupakan pewarna karbon nitrogen yang berwarna ungu, sehingga dengan
adanya warna ini dapat diukur absorbansi pewarna tersebut menggunakan
spektrofotometer sinar tampak untuk diketahui konsentrasinya.
top related