Transcript
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah
Studi Al-Qu’an “Pendekatan Tematik” ini dengan sebatas
pengetahuan dan kemampuan yang saya miliki. Dan juga
saya berterima kasih pada Bapak Dr. Zakiyuddin
Baidhawy, M.Ag. selaku Dosen mata kuliah Metodologi
Studi Islam yang telah memberikan tugas ini kepada
saya, kepada Ibu dan Bapak, atas semua doa dan bantuan
finansial untuk menyelesaikan makalah ini, dan kepada
teman-temanku yang telah memberikan semangat dan
motivasi untuk menyelesaikan makalah ini.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai pengertian dan maksud Pendekatan Tematik dalam
Studi Al-Qur’an. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa
di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan
jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu, saya
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah
disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Amin..
Semarang, 8 Januari
2013
Aisyah Ambalika
Saraswati
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Al-Qur'an diturunkan dalam bentuk bahasa Arab
sebagai "Hudal Linnas اس) دي ل�لن������������ ,”(ه������������ sehingga dapat
memberikan bimbingan dan petunjuk kepada manusia untuk
berusaha memecahkan setiap permasalahan hidupnya
(problem solving). Namun, hal itu memerlukan penafsiran
Al-Qur'an secara baik dan benar berdasarkan pendekatan-
pendekatan (approach) ilmu tafsir itu sendiri supaya
orang-orang atau kelompok-kelompok manusia tidak
mentafsirkan Al-Qur'an secara sembarangan berdasarkan
kepentingan hawa nafsunya sendiri, yang akibatnya akan
membawa kesesatan dan kehancuran Islam.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an diperlukan “Thariqah at-
Tafsir”, yaitu metode atau cara dalam menafsirkan Al-
Qur’an. Ketepatan metode akan menghasilkan ketepatan
tafsir. Sebaliknya kesalahan metode akan melahirkan
kesalahan tafsir. Itulah sebabnya kajian tentang metode
penafsiran merupakan aspek strategis dalam menggali dan
menemukan kandungan Al-Qur’an itu sendiri. Salah satu
metode studi Al-Qur’an atau penafsiran Al-Qur’an adalah
dengan TAFSIR MAUDHU’I (Kajian Tematik Dalam Al-Quran)
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas dapat ditarik
rumusan masalah yang diantaranya sebagai berikut :
Apa yang dimaksud dengan Kajian tematik dalam
studi Al-Quran?
Apa kelebihan, kekurangan dan keistimewaan metode
tematik dalam studi Al-Qur’an?
Dan bagaimana cara penyusunan metode
penafsirannya?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Dari rumusan masalah diatas, pembahasan
makalah ini bertujuan supaya :
Mengetahui maksud Kajian tematik dalam studi Al-
Qur’an.
mengetahui kelebihan, kekurangan dan keistimewaan
metode tematik dalam studi Al-Qur’an.
Dan mengetahui susunan penafsiran tematik dalam
studi Al-Qur;an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN TEORI
Kata maudhu’i yang dinisbatkan pada kata al-maudhu’,
yang berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau
pembahasan. Dalam kamus al-Munawir dijelaskan bahwa
kata maudhu’ adalah derivasi dari kata wadha’a yang
berkedudukan sebagai isim maf’ul yang berarti masalah.
[1]Secara semantik, tafsir maudhu’i berarti penafsiran
al-Qur’an menurut tema atau topik tertentu. Dalam
bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan tafsir
tematik.[2]
Yang dimaksud dengan metode tematik ialah cara
mengkaji dan mempelajari ayat al-Qur'an dengan
1. Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-IndonesiaTerlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002, hlm. 15652. Usman, Ilmu tafsir, Teras, Yogyakarta, 2009, h. 311
menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai maksud
sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik
masalah menyusunnya berdasar kronologi serta sebab
turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai
memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil
kesimpulan.[3]
Metode tafsir maudhû’iy juga disebut dengan dengan
metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat al-Quran yang
mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama
membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya
berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat
tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan
dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.
Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya
ini dengan metode maudhû’iy, dimana ia melihat ayat-ayat
tersebut dari seluruh seginya, dan
melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang
digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok
permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan
tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya,
sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud
yang terdalam dan dapat menolak segala kritik. [4]
3. Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm, 754. Abd al-Hayy al-Farmawiy. Metode Tafsir Maudhu’i, h. 36-37.
1. Cara Kerja Tafsir Maudhû’iy
Al-Farmawi di dalam kitab Al-Bidâyah fî al-Tafsir al-
Maudhû’iy.[5] Secara rinci mengemukakan cara kerja yang
h`arus ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir
berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai
berikut:
a. memilih / menetapkan masalah al-Quran yang akan
dikaji secara maudhû’iy (tematik)
b. melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat
Makkiyyah dan Madaniyyah
c. menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut
kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan
mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbâb
an-nuzûl.
d. mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut
di dalam masing-masing suratnya.
e. menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas,
sistematis, sempurna dan utuh (outline).
f. melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis,
bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi
semakin sempurna dan semakin jelas.
g. mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan
menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang
5. Ibid., h. 45-46
mengandung pengertian serupa, mengkompromikan
antara pengertian ‘âm dan khash, antara yang
muthlaq dan yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat
yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan
ayat nâsikh dan mansûkh, sehingga semua ayat
tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan
dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap
sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.[6]
h. menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-
Quran terhadap masalah yang dibahas.[7]
2. Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhû’iy
Kelebihan Metode Maudhû’iy
a) hasil tafsir maudhû’iy memberikan pemecahan
terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis,
sekaligus memberikan jawaban terhadap
tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-quran
hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa
menyentuh kehidupan nyata.
b) sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang
selalu berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa
kebanggaan terhadap al-Quran.
6. M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 487. Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (t.tp.: Tafakur,t.t.), h. 116.
c) studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu
topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam
merasakan fashâhah dan balâghahal-Qurân.
d) kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan
secara lebih mendalam dan lebih terbuka.
e) tafsir maudhû’iy lebih tuntas dalam membahas
masalah.
Kekurangan Metode Maudhû’iy
a) Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran
terlalu dalam.
b) Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu
ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang menjadi
topik pembahasan saja.
Yang dimaksudkan di sini ialah mengambil satu
kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih
yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda.
Misalnya, petunjuk tentang shalat dan
zakat.Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan
bersamaan dalam satu ayat. Apabila ingin membahas
kajian tentang zakat, misalnya, maka mau tak mau
ayat tentang shalat harus ditinggalkan ketika
menukilkannya dari mushaf agar ridak menganggu
pada waktu melakukan analisis.
c) Membatasi pemahaman ayat
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka
pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada
permasalah yang dibahas tersebut. Akibatnya,
mufasir terikat oleh judul itu. Padahal tidak
mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari
berbagai aspek. Dengan demikian, dapat menimbulkan
kesan kurang luas pemahamannya. Kondisi yang
digambarkan itu memang merupakan konsekuensi logis
dari metode tematik.[8]
3. Keistimewaan Tafsir Tematik Menuntaskan Persoalan Masyarakat
Kontemporer
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tafsir
tematik mempunyai keistimewaan di dalam menuntaskan
persoalan-persoalan masyarakat dibandingkan metode
lainnya, antara lain :
1) Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis
Nabi adalah suatu cara terbaik di dalam
menafsirkan Al-Qur’an,
2) Kesimpulan yang dihasilkan oleh metode tematik
mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa
pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa
mengemukakan berbagai pem bahasan terperinci dalam
satu disiplin ilmu.Dengan demikian ia dapat
membawa kita kepada pendapat Al-Qur’an tentang8.Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an,……. hlm.165-169
berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-
jawabannya. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an
adalah petunjuk hidup.
3) Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak
anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam
Al-Qura’an, sekaligus membuktikan bahwa Al-Qur’an
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
masyarakat.[9]
4. Bentuk kajian Tafsir Maudhû’iy
Di sini tafsir maudhû’iy mempunyai dua bentuk, yaitu
a. Yaitu membahas satu surat secara menyeluruh dan
utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat
umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara
berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat
itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh
dan cermat.
Menurut M. Quraish Shihab, biasanya kandungan
pesan suatu surah diisyaratkan oleh nama surah
tersebut, selama nama tersebut bersumber dari
informasi Rasulullah s.a.w. Ia mencontohkan surah
al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu
9.M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Hlm 17
dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda
untuk menghindar dari kekejaman penguasa zamannya.
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa surah itu
dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati
dan mengamalkan pesan-pesannya. Itulah pesan umum
surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang
terdapat di dalam surah itu kemudian diupayakan
untuk dikaitkan dengan makna perlindungan itu.
Tafsir maudhû’iy dalam bentuk pertama ini
sebenarnya sudah lama dirintis oleh ulama-ulama
tafsir periode klasik, seperti Fakhr ad-Din al-
Razi. Namun, pada masa belakangan beberapa ulama
tafsir lebih menekuninya secara serius.
Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari
berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu
masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun
sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema
bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara
maudhû’iy.
b. Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang
lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan
mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang
masalah tertentu menurut pandangan al-Quran.
Bahkan melalui metode ini, mufassir dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di
dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema
yang akan dibahas dengan tujuan menemukan
pandangan al-Quran mengenai hal tersebut. Bentuk
kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita
ketika mendengar istilah tafsir maudhû’iy itu
diucapkan.
B. CONTOH PENAFSIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE
MAUDHU’I
1) Memilih / menetapkan masalah al-Quran yang akan dikaji
secara maudhû’iy (tematik)
Tema = Tujuan Pendidikan Dalam Al-Quran : Kajian
Surat al Furqan ayat 63-77
Kurikulum di Indonesia saat ini mengacu pada pola
pendidikan Barat. Beberapa hal yang tampak dari
perumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan tokoh-
tokoh Barat, bahwa tekanan utama pendidikan diarahkan
pada pengembangan kemampuan intelektual anak didik, dan
juga mengasah aspek emosionalnya. Bahkan pendidikan
yang dilakukan sama sekali tidak mengenal nilai-nilai
spiritual atau ideal transendental. Artinya pendidikan
yang diterapkan bercorak sekularistis yang mana nilai-
nilai keagamaan tidak mendapatkan tempat dalam proses
tersebut. Hal ini dikarenakan anggapan mereka yang
mengatakan bahwa nilai-nilai spiritual adalah hal yang
natural serta manusiawi, dan merupakan urusan masing-
masing individu.
Rumusan tujuan yang ditawarkan pendidikan Barat
tersebut tentu kurang mencakup terhadap keseluruhan
aspek pertumbuhan/perkembangan anak didik yang hendak
dibina menjadi manusia seutuhnya lahir dan batin.
Sehingga Pendidikan Islam merumuskan kembali tujuan
pendidikan melalui Surat Al Furqan ayat 63-77 yang
tanpa mengabaikan nilai-nilai keagamaan dan lebih
universal dibanding pendidikan Barat. Pembentukan
kepribadian mulia bagi setiap peserta didiknya dan
menjadi hamba Allah yang beriman dan bertakwa.
2) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan
Madaniyyah
Surat al-Furqan yang keseluruhan berjumlah 77 ayat,
termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Kelompok ayat-
ayat yang digunakan adalah ayat terakhir surat al-
Furqan yakni antara ayat 63-77, terdiri dari 15 ayat
yang sering disebut dengan ayat-ayat ibad ar
Rahman.Berikut terjemahan surat al-Furqan ayat 63-77,
yaitu :
63. dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orangyang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan
apabila orang-orangjahil menyapa mereka, mereka mengucapkan
kata-kata (yangmengandung) keselamatan.
64. dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan
berdiri untukTuhan mereka.
65. dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, jauhkan
azabJahannam dari Kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah
kebinasaanyang kekal".
66. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap
dan tempatkediaman.
67. dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidakberlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu) ditengah-tengah antara yang demikian.
68. dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain
beserta Allahdan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya)kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapayang melakukan yang demikian itu, niscaya
Dia mendapat (pembalasan)dosa(nya),
69. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat
dan Diaakan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina,
70. kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan
mengerjakan amalsaleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah
dengan kebajikan. Danadalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
71. dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh,
MakaSesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan taubat
yang sebenarbenarnya.
72. dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu,
dan apabilamereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatanperbuatanyang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjagakehormatan dirinya.
73. dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-
ayatTuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai
orang- orangyang tuli dan buta.
74. dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami,
anugrahkanlah kepadaKami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami
sebagai penyenang hati(Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.
75. mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang
Tinggi (dalamsyurga) karena kesabaran mereka dan mereka
disambut denganpenghormatan dan Ucapan selamat di
dalamnya,
76. mereka kekal di dalamnya. syurga itu Sebaik-baik tempat
menetap dantempat kediaman.
77. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku
tidakmengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi
bagaimanakamu beribadat kepada-Nya), Padahal kamu sungguh
telahmendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti
(menimpamu)".
3) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi
masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar
belakang turunnya ayat atau asbâb an-nuzûl.
Asbabun Nuzul ayat 68 ;
Yang artinya:“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan
yang lain beserta Allahdan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya)kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barang siapayang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat
(pembalasan)dosa(nya),
Al Bukhori berkata: Musaddad menceritakan kepada
kami; Yahya menceritakan kepada kami dari Sufyan, ia
berkata: Manshur dan Sulaiman menceritakan kepadaku
dari Abu Wa-il dari Abu Maisarohdari Abdullah, berkata
(yakni Sufyan ats-Tsauri): dan telah
menceritakankepadaku Washil dari Abu Wa-il dari
‘Abdullah RA, (ia berkata) :
“aku bertanya kepada Rasulullah SAW: “Dosa manakah
yang paling besar?” Rasulullah SAW menjawab : “Engkau
menjadikan bagi Allah tandingan, sedangkan Dialah yang
telah menjadikan dirimu”. Aku bertanya kembali:”
Kemudian dosa apalagi?”. Rasul menjawab:”Kemudian kamu
membunuh anakmu karena khawatir dia akan ikut makan
bersamamu”. Aku bertanya kembali :”Kemudian dosa
apalagi?”.Rasul menjawab:”jika kamu berzina dengan
istri tetanggamu.”(‘Abdullah) berkata, dan turunlah
ayat ini membenarkan perkataanRasulullah SAW. “Dan orang-
orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah(membunuhnya) kecuali dengan
(alasan) yang benar, dan tidak berzina.”90
Sebab turunnya ayat 68 diterangkan dalam hadits
riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa seorang sahabat
bertanya kepada Nabi tentang dosa apa yang paling
besar yang dilakukan manusia. Nabi menjawab bahwa dosa
besar bagi manusia yang menyekutukan Allah, membunuh
jiwa yang hak, dan melakukan zina. Kemudian Allah
menurunkan suratal-Furqan ayat 68 yang membenarkan
jawaban Nabi, yang berisi larangan untuk berbuat
syirik, membunuh jiwa yang hak (benar) dan berzina.[10]
4) Mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam
masing-masing suratnya.
Korelasi ayat lain dengan ayat 70 Al-Furqan ;
Yang artinya:“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan
mengerjakan amalsaleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan
kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”Al
Bukhori berkata: Utsman bin Abi Syaibah menceritakan
kepada kami, Jarir menceritakan kepada kami dari
Manshur, Sa`id bin Jubair menceritakan kepadaku, dan ia
berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Hakam dari
Sa`id bin Jubair, ia berkata:
10. Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al Wadi’i, as-Shahih al-Musnad min Asbab anNuzul, Cet II. terj. AgungWahyu LC, (Meccah, 1994), hlm. 294-295
“Abdurrahman bin Abza memerintahkan aku, ia berkata,
“tanyakan kepada Ibnu Abbas tentang dua ayat ini, apa
maksudnya : “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah(membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar”[11] dan
“barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja[12].
Maka aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ia menjawab,
“tatkala turun ayat dalam surat Al Furqan, berkatalah
kaum musyrikin Mekkah, “sungguh kami telah membunuh
jiwa yang telah Allah haramkan (membunuhnya) dan kami
menyembah tuhan yang lain bersama Allah dan kami telah
berbuat keji (zina).” Maka, Allah menurunkan ayat :
“kecuali orang-orang yangbertaubat”. Adapun ayat yang ada dalam
surat an-Nisa`, (maksudnya) apabila seseorang telah
mengenal Islam dan syariat-syariatnya kemudian ia
membunuh, maka balasannya adalah jahannam ia kekal di
dalamnya.Aku lalu menyebutkannya kepada Mujahid dan ia
berkata, ‘kecuali orang yang menyesal
(bertaubat)’.”[13]
Hadits ini menjelaskan bahwa barangsiapa yang
melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah (seperti
yang telah disebutkan pada ayat 68) maka balasannya
adalah ditempatkan di neraka jahannam. Namun,kemudian
Allah menurunkan ayat 70 yang menyatakan bahwa hal itu
11. QS. Al An`aam/6 : 15112. QS. An Nisa`/4: 9313. Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi`i,op.cit., hlm. 297-298
terkecuali bagi orang-orang yang bertaubat kepada Allah
dengan sungguh-sungguh dan berjanji tidak akan
mengulangi kesalahan yang sama.
5) Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas,
sistematis, sempurna dan utuh (outline)
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Batasan Masalah
F. Metode Penelitian
G. Tinjauan Pustaka
H. Sistematika Pembahasan
SURAT AL FURQAN AYAT 63-77 BESERTAPENAFSIRANNYA
A. Deskripsi Surat Al Furqan Ayat 63-77
1. Karakteristik Surat Al Furqan Ayat 63-77
2. Asbabun Nuzul Ayat-ayat
B. Penafsiran Mufassirin atas Ayat 63-77
TUJUAN PENDIDIKAN DALAM SURAT AL-FURQAN AYAT 63-77
A.Membentuk pribadi yang berakhlak mulia
B. Memantapkan aspek aqidah
C. Menanamkan konsistensi dalam melaksanakan
ajaran agama
D.Menumbuhkan sikap kesederhanaan dan
keseimbangan
E. Mengembangkan aspek intelektualitas
F. Meningkatkan kualitas kesalehan keluarga
dan masyarakat
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
6) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila
dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin
sempurna dan semakin jelas.
Hadits yang menguatkan Al Furqan ayat 74 ;
Yang artinya :“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan
Kami, anugrahkanlahkepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami
sebagai penyenanghati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-
orang yangbertakwa.”
Al-Maraghi menjelaskan penafsiran ayat ini, bahwa
hamba-hambaar-Rahman yang dimaksud adalah,
“Orang-orang yang memohon kepada Allah agar
melahirkan keturunan yang taat dan beribadah kepada-
Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang
lain. Orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman,
apabila melihat keluarganya sama dengannya, taat kepada
Allah, maka dia akan merasa senang dan gembira, dia
mengharapkan mereka dapat berguna baginya di dunia
selama hidup dan matinya serta bertemu dengannya di
akhirat. Mereka juga memohon kepada Allah agar Allah
menjadikan mereka para imam yang diteladani dalam
menegakkan panji-panji agama dengan menganugerahkan
ilmu yang luas kepada mereka, dan memberi taufik kepada
mereka untuk mengerjakan amal saleh.”
Dijelaskan pula Quraish Shihab bahwa ayat ini
menyatakan hamba-hamba Allah tersebut adalah mereka
yang juga senantiasa berkata yakni berdoa setelah
berusaha dengan: wahai Tuhan kami, anugerahkan buat
kami, dari pasangan-pasangan hidup kami yakni suami
atau istri serta anak keturunan kami, kiranya mereka
semua menjadi penyejuk-penyejuk mata kami, dan orang
lain melalui budi pekerti dan karya-karya mereka yang
terpuji, dan jadikanlah kami yakni yang berdoa bersama
pasangan dan anak keturunannya.[14]
Dalam tafsir Munir pun, az-Zuhaily menyatakan bahwa,
Mereka adalah orang berdoa sepenuh hati kepada Tuhan
mereka agar diberi anugerah istri-istri sholihah dan
anak-anak yang beriman, shaleh, memberikan petunjuk
pada Islam dan melakukan kebaikan, menjauhkan dari
keburukan, mampu menyejukkan mata mereka. Karena
14 .M.QuraishShihab, Membumikan Al Qur`an : Fungsi dan PeranWahyu dalam Masyarakat, Bandung: Mizan. 1994.hal,544-545
sesungguhnya orang mukmin jika melihat seseorang yang
perbuatan mereka dilandasi taat kepada Allah maka
menjadikan penyejuk mata mereka, dan merekaberdoa pula
kepada-Nya agar menjadikannya pemimpin dalam
kebaikan,ataupun pemimpin- pemimpin agama.[15]
Kata qurrah pada mulanya berarti dingin. Yang dimaksud
disini adalah menggembirakan. Sehingga dipahami bahwa
istri yang sholihah dan anak-anak yang sholih yang
dimilikinya tersebut dapat memberikan kegembiraan,
menyejukkan hati, sebab senantiasa dapat memberikan
manfaat kepada suami, baik di dunia dan di akhirat.
Yang mana dari istri-istri shalehah tersebut, maka
diharapkan akan lahir anak-anak yang saleh dan shalehah
pula.
Kemanfaatan tersebut bukan hanya didapat dalam
kehidupan saja, namun juga akan tetap mengalir hingga
dia sudah meninggal seperti diterangkan Rasulullah SAW.
dalam sabdanya:[16]
Artinya :
“Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya
kecuali tiga perkara yakni, ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah,
dananak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.”
15. Az Zuhailiy, Wahbah. 1991. Tafsir Al Munir, fi Al Aqidah wa AlSyariah wa al Manhaj Jilid X. Dimasyq: Dar Al Fikr178 hal,123
16. HR. Muslim, Hadits nomor 1631
Hadits ini menerangkan bahwa kemanfaatan yang didapat
dari anak-anak yang saleh adalah mereka yang senantiasa
berdoa untuk orangtuanya hingga kematiannya. Sehingga
amal kedua orang tuanya tetapmengalir meskipun sudah
meninggal.
Secara ringkasnya dalam ayat ini menerangkan hamba-
hamba ar-Rahman adalah mereka yang selalu memohon atas
dua perkara kepadaAllah, yakni agar Allah memberi
mereka istri dan keturunan yang beribadah hanya kepada-
Nya
sehingga terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat,
dan agar Allah menjadikan mereka sebagai para pemberi
petunjukdan keteladanan dalam hal kebaikan (urusan-
urusan agama) bagi orangorang yang mau mengikuti
petunjuk.
Sifat hamba Allah tersebut mengindikasikan tidak
hanya terbatas pada upaya penghiasan diri sendiri. 179
HR. Muslim, Hadits nomor 1631
7) Menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-
Quran terhadap masalah yang dibahas. [17]
Dari seluruh uraian pendapat para mufassir, maka
dapat disimpulkan bahwa al Furqan ayat 63-77 yang
menjelaskan tentang sifat-sifat Ibad ar Rahman, yaitu
sebagai berikut :17 . Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (t.tp.: Tafakur,t.t.), h. 116
Tawadhu’
Membalas kejelekan dengan kebaikan
Senantiasa tahajud di keheningan malam
Ketakutan mereka terhadap adzab Allah
Tidak berlebihan dalam membelanjakan harta
Tidak menyekutukan Allah
Tidak membunuh
Tidak berzina
Tidak bersumpah palsu
Tidak melakukan perbuatan yang tidak berfaedah
Ketenangan dalam berkeluarga dan keturunan yang
saleh
Senantiasa mengharapkan taufik dari Allah
Sehingga balasan bagi hamba ar-Rahman tersebut
tertuang pada ayat terakhir, yang menjelaskan bahwa
perhatian yang diberikan Allahkepada hamba-hamba-Nya
berupa pemberian martabat tinggi tersebut dikarenakan
ibadah yang dilakukannya, bukan oleh sebab lain. Tanpa
beribadah mereka tidak memiliki sedikit bobot dan tidak
akan mendapat perhatian-Nya.
Pendidikan memiliki tujuan, sehingga proses yang
dilakukan dapat terarah. Melalui pembahasan surat al
Furqan ayat 63-77 dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan
Pendidikan Islam itu mengarah pada pembentukan sifat-
sifat Ibad ar Rahman. Dalam konteks ini dapat
disimpulkan bahwa tujuan pendidikan tersebut adalah
sebagai berikut :
Membentuk pribadi yang berakhlak mulia
Memantapkan aspek aqidah
Menanamkan konsistensi dalam melaksanakan syariat
agama
Menumbuhkan sikap kesederhanaan dan keseimbangan
Mengembangkan aspek intelektualitas
Meningkatkan kualitas kesalehan keluarga dan
masyarakat
BAB III
KESIMPULAN
Melihat kenyataan diatas, setiap pendekatan
mempunyai efektifitas masing-masing. Dan karena al-
Qur’an merupakan kitab untuk semua bangsa serta semua
tingkatan, maka kajian terhadap al-Qur’an perlu
dilakukan dengan sangat hati-hati dan proporsional.
Al-Qur’an berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan
petunjuk. Agar fungsi ideal itu dapat teraplikasikan
maka al-Qur’an harus dipelajari dan diupayakan
penafsirannya. Untuk kebutuhan penafsiran dimaksud
diperlukan adanya kerangka dasar yang relevan yaitu
sebuah pendekatan. Jadi, keberadaan sebuah pendekatan
dalam penafsiran mutlak diperlukan.
Dan dari berbagai pembahasan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa metode tafsir maudhu’i adalah suatu
metode yang cara kerjanya mengumpulkan ayat-ayat
Alquran yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-
sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan
menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa
turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian
memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-
penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-
hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian
mengistimbatkan hukum-hukum. Dalam penerapannya ada
beberapa langkah yang harus ditempuh oleh si mufassir
antara lain menetapkan masalah yang akan dibahas,
menghimpun seluruh ayat-ayat yang terkait dengan
masalah, menyusun urut-urutan ayat terpilih, memahami
korelasi masing-masing ayat dengan surah-surah dan
lain-lain. Melihat kompleksnya cakupan ilmu yang
menjadi penopangnya maka besar kemungkinan akan dapat
menjawab masalah umat, atau paling tidak mendekati
kebenaran yang ditunjuk oleh Alqur’an.
Demikialah makalah ini dibuat, semoga ada
manfaatnya.
DAFTAR PUSAKA
Al-Farmawi, Abdul Hayy, 2002, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudhu’i, (penerjemah) Rosihon Anwar, Metode Tafsir
Maudhu’I, Bandung: Pustaka Setia.
Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir,
Yogyakarta: Teras, 2005.
top related