Transcript
Sindroma Uremia Ecausa Gagal Ginjal Kronik
PendahuluanGinjal merupakan bagian dari tubuh yang memiliki fungsi vital bagi manusia. Ginjal
merupakan organ ekskresi yang berbentuk mirip kacang. Sebagai bagian dari sistem urin, ginjal
berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan air
dalam bentuk urin. Pada manusia normal, terdapat sepasang ginjal yang terletak dibelakang
perut, atau abdomen. Ginjal tersebut terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan
limpa.
Pada orang dewasa, setiap ginjal memiliki ukuran 11 cm dan ketebalan 5 cm dengan berat
sekitar 150 gram. Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2
liter per menit, menghasilkan 125 cc fitrat glomerular per menitnya. Laju glomerular inilah yang
sering dipakai untuk melakukan tes terhdap fungsi ginjal.
Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium
dan kalium didalam darah atau produksi urine.
Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius atau
terluka dimana hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri. Penyakit gagal ginjal lebih
sering dialamai mereka yang berusia dewasa, terlebih pada kaum lanjut usia.
Skenario
Tn T, 60 tahun, datang diantar keluarganya dengan keluhan sesak nafas memberat sejak 6
jam yang lalu. Keluarga mengatakan pasien mulai merasa sesak sejak 2 hari lalu. Muntah 4x, 1
hari lalu. Pasien saat ini tampak bingung. Riwayat kencing manis dan darah tinggi diketahui
sejak 25 tahun lalu, tidak teratur minum obat. Kaki pasien juga dirasa bengkak sejak 3 hari lalu.
PF: TB: 170cm, BB:70kg, keadaan umum:tampak sakit berat, TD: 140/90 mmHg,
N:90x/mnt, RR: 24x/mnt, Suhu: 37,2 C,
1
thorak: cor: BJI-II murni regular, pulmo : SN ves Rh -/-, Wh -/- , abdomen: bising usus (+)
normal, nyeri tekan (-), ekstremitas: edema -/-.
Lab: Hb: 8g/dL, L: 7900 /uL, T: 334.000/uL, Ht:26%, Kreatinin serum: 4,2, Ureum serum:
79, GDS: 210mg/dL,
Isi
Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mendapatkan diagnosa yang tepat adalah
melakukan anamnesa kepada pasien
A. Anamnesis.1
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat
dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau dilakukan terhadap orang
tua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, disebut sebagai aloanamnesis.
Termasuk didalam aloanamnesis adalah semua keterangan dokter yang merujuk, catatan rekam
medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya sendiri.
Jika kita mencurigai adanya sesak, muntah, udem serta riwayat hipertensi dan diabetes
sejak 25 tahun lalu yang merupakan gejala klinis pada penyakit ginjal kronik terutama pada
pasien usia lanjut, hendaklah kita lakukan anamnesis dengan baik. Diantaranya kita dapat
melakukan anamnesis sebagai berikut.
a. Identitas pasien (Nama, Usia, Pekerjaan, dll).
b. Keluhan Utama
Sesak Nafas: sejak kapan? Apa disertai dengan nyeri pada dada? Apa ada
batuk? Kambuhnya kapan? (pagi/siang/malam).
Muntah
Adakah keluhan lain? Seperti bengkak di mata atau bagian tubuh lain?
c. Riwayat penyakit sekarang
Selain rasa nyeri pada dada, apa ada nyeri dibagian lain? Seperti nyeri di perut?
Adakah nyeri di punggung anda? Tempat, onset, sifat, penjalaran, dan gejala
penyerta.
2
Adakah kesulitan saat berkemih? Seperti rasa nyeri (dysuria) atau
ketidakpuasaan berkemih?
Sejak kapan? Berapa kali berkemih dalam satu hari?
Apakah sering terbangun saat malam untuk berkemih (nokturia)? Apakah sering
merasa saat ingin ke toilet, dan melakukannya segera? (urgensi).
Saat berkemih, adakah warna merah pada urin?
Apakah disertai dengan kolik?
Sudah minum obat belum?
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pernah seperti ini sebelumnya?
Apakah anda punya penyakit darah tinggi/hipertensi? Sejak kapan?
Apakah sebelumnya bapak punya gangguan pada ginjal? Seperti sulit
berkemih? Sejak kapan?
Apakah anda punya penyakit diabetes sebelumnya? Sejak kapan?
Apakah dulu sampai pernah dirawat dirumah sakit?
e. Riwayat penyakit Keluarga
Apakah ada keluarga yang mengalami masalah yang sama? Apakah ada
kelainan familial yang diwariskan (penyakit ginjal polikistik, kanker kandung
kemih)?
f. Riwayat penyakit sosial
Apakah anda merokok? Berapa batang sehari? Sudah berapa lama merokok?
Apakah anda minum alkohol? Berapa banyak anda minum alkohol dalam
seminggu?
Sebelumnya apa anda bekerja dengan zat pewarna, kimia atau industri karet?
g. Tinjauan sistem organ.1,2
Apakah beberapa hari ini, anda merasa sakit atau muntah? Apakah ada darah
pada muntahan anda?
Bagaimana nafsu makan anda? Adakah kringat malam? Adakah demam baru-
baru ini?
3
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memperkuat penegakkan diagnosa. Lakukan
pengamatan berupa : keadaan umum; pemeriksaan kesadaran (sadar, apatis, somnolen); tanda
kegawatdaruratan berupa sesak napas, muntah, udem kaki, anemis; serta tidak lupa juga untuk
memeriksa tanda – tanda vital terlebih dahulu seperti suhu tubuhnya, tekanan darah, frekuensi
napas, serta berat badannya lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Sebelum melakukan
pemeriksaan fisik, tanyakan bersedia atau tidak. Pemeriksaan fisik terdiri dari inspeksi, palpasi,
perkusi, auskultasi.
Inspeksi
Dilihar dari keadaan umum atau tingkat kesadaran pasien. Apakah ada udem pada wajah
atau ekstremitas. Kemudian lihat pada bagian dada dan abdomennya, warna kulit, adakah
lesi?
Lihat bagian thoraks, bentuk thoraks anterior maupun posterior, lihat/perhatikan
pergerakan dadanya saat statis dan dinamis (saat bernafas), lihat keadaan sela iganya
(apakah mencekung/retraksi atau mencembung atau normal).
Lihat bagian abdomennya, bentuk abdomennya (datar,membuncit), simetris atau tidak.
Lihat warna kulit, adakah lesi, adakah jenis bekas lesi. Adakah benjolan pada perut,
adakah pulsasi ataupun peristaltik yang terlihat pada dinding abdomen.
Palpasi
Untuk menentukan adanya pembesaran ginjal dengan Metode bimanual, menekan secara
bersamaan dengan tangan posterior dan anterior saat pasien inspirasi. Serta dengan
melakukan pemeriksaan balotement, menghentakkan ginjal dengan tangan posterior dan
merasakan pantulan ginjal pada pantulan anterior saat pasien inspirasi.
Perkusi
Melakukan pemeriksaan nyeri ketuk CVA (costovertebra angle) kanan kiri dengan
meletakkan tangan kiri diatas CVA sebagai alas lalu ketuk dengan menggunakan tangan
kanan yang dikepalkan diatas tangan kiri tersebut.
Auskultasi.1,2
4
Dilakukan di masing-masing kuadran serta CVA untuk mendengarkan ada tidaknya
bising/peristaltik usus, maupun Bruit.
Lesi katup jantung meningkatkan kecurigaangomerulonefritis yang terkait dengan
endokarditis infektif. Bruit perifer atau tidak terabanya nadi perifer menandakan penyakit
vaskular dan pasien yang seperti ini beresiko mengalami stenosis arteri renalis, yang
dapat menimbulkan bruit arteri renalis.
C. Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis
analisa fisik, kimia, dan mikroskopik terhadap urine.
Evaluasi Fungsi Ginjal
Salah satu cara menegakkan diagnosis gagal ginjal adalah dengan menilai kadar ureum
dan kreatinin serum, karena kedua senyawa ini hanya dapat diekskresioleh ginjal. Kreatinin
adalah hasil perombakan keratin, semacam senyawa berisin i t rogen yang te ru tama ada
da lam o to t
Pemeriksaan Radiologis.
USG ginjal sangat penting untuk mengetahui ukuran ginjal dan penyebab gagal ginjal,
misalnya adanya kista atau obstruksi pelvis ginjal. Dapat pula dipakai foto polos abdomen.
Jika ginjal lebih kecil dibandingkan usia dan besar tubuh pasien maka lebih cenderung ke
arah gagal ginjal kronik.
Biopsi Ginjal.3,4
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringanginjal
lalu dianalisa. Biopsi ginjal diperlukan bila pasien direncanakan untuk program
transplantasi ginjal.
5
D. Diagnosis
Working Diagnosis
D1. Gagal ginjal kronik derajat 4.3,5
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara
bertahap Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada
kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat
lamban dan menunggu beberapa tahun.
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). Penyakit ini sering terjadi tanpa disadari oleh pasien.
Gambaran klinis gagal ginjal kronik meliputi a) sesuai dengan penyakit yang mendasari
seperti diabetes melitus. Infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi,
lupus eritematosus sistemik, dll. B) sindroma uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,
mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang, sampai koma. C) gejala komplikasinya antara lain hipertensi,
anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida)
Kalsifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockkcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 - umur) X berat badan *
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
(pada wanita dikalikan 0,85)
= (140 – 60) X 70 = 18,5
72 X 4,2
6
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Derajat Penjelasan LFG
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
Gagal ginjal
90
60 – 89
30 – 59
15 – 29
<15
Differential Diagnosis
D2. Gagal Ginjal Akut.3
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin
serum >= 0.3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum >= 50% (1.5 x kenaikan dari nilai
dasar) atau pengurangan produksi urin(oliguria yang tercatat <= 0.5 ml/kg/jam dalam waktu
lebih dari 6 jam).
Criteria di atas memasukan baik nilai absolute maupun nilai presentasi dari perubahan
kreatinin untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks masa tubuh dan
mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali
pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai criteria karena mempunyai
prediktif dan mudah diukur. Criteria di atas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran
kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversibel. Criteria diatas diterapkan berkaitan dengan
gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup. Perjalanan GGA dapat:
1. Sembuh sempurna
2. Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap1-4)
3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK tahap 1-4
4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK tahap 5)
7
Diagnosis
Pemeriksaan fisik dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, renal dan
post-renal. Dalam menegakan diagnosis gangguan ginjal akut perlu diperiksa:
1. Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti ditujukan untuk mencari
sebab gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi kardiovaskuler, riwayat infeksi
(infeksi kulit, tenggorokan, saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu.
2. Membedakan gangguan ginjal akut (GGA) dan gangguan ginjal kronis (GGK) misalnya
anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukan gagal ginjal kronis
3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar
ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiksa
asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau
kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal akut yang berat dengan berkurangnya
fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema
bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edem paru. Ekskresi asam yang
berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic dengan kompensasi pernapasan
kussumaul. Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi oleh faktor-faktor presipitasi
atau penyakit utamanya.
4. Penilai pasien GGA
a. Kadar kreatinin serum. Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan
memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat
mengukur secara cepat laju filtrasi glomerulus karena tergantung dari produksi
(otot), distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal.
b. Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum
cystatin C dapat menjadi indicator GGA tahap awal yang cukup dapat dipercaya
c. Volum urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik
untuk GGA, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah.
Walaupun demikian, volum urin pada GGA bisa bermacam-macam. GGA pre-
renal biasanya hampir selalu disertai oliguria (< 400 ml/hari) walaupun kadang-
kadang tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai
baik oleh anuria maupun poliuria.
8
d. Kelainan analisis urin
e. Petanda biologis (biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah mampu
dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik
pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis
GGA. Petanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal
yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-asetil-b-glukosamidase,
alamine aminopeptidase, kidney injury molecule I. dalam satu penelitian pada
anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinase-asociated-lipocalin (NGAL)
terbukti dapat dideteksi 2 jam setelah pembedahan, 24 jam lebih awal dari
kenaikan kadar kreatinin. Dalam masa akan datang, kemungkinan diperlukan
kombinasi dari petanda biologis.
Gambaran klinis GGA.6
GGA dapat dibagi menjadi 3 bagian besar, antara lain:
A. GGA pre-renal.
Penyebab GGA prerenal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat disebabkan karena
hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA prerenal integritas
jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor
penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka
akan timbul GGA renal berupa Nekrosis Tubular Akut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini
dapat timbul sebagai akibat bermacam-macam penyakit. Pada kondisi ini, fungsi otoregulasi
ginjal akan berupaya mempertahankan tekanan perfusi, melalui mekanisme vasodilatasi
intrarenal. Dalam keadaan normal, aliran darah ginjal dan LFG relative konstan, diatur oleh
mekanisme yag disebut otoregulasi,. GGA prerenal karena hipovolemia, penurunan volum
efektif intravaskuler seperti pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan
hemodinamik intrarenal seperti pada pemakaian antiinflamasi non-steroid, obat yang
menghambat angiotensin dan pada tekanan darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor
kardiovaskuler yang selanjutnya mengaktivasi system saraf simpatis, system rennin-
angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan endotelin-1 (ET-1), yang
9
merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta
perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan
aliran darah ginjal dan LFG dengan vasodilatasi arteriol aferen yang dipengaruhi oleh
refleks miogenik serta prostagladin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol
aferen yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II (A-II) dan ET-I. mekanisme ini
bertujuan untuk mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat
(tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka
mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriol aferen mengalam
vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorpsi Na+ dan air.
Keadaan ini disebut prerenal atau GGA fungsional dimana, belum terjadi kerusakan
strukturan dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki
homeostasis intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginajl bisa dipengaruhi
beberapa obat sepert ACE/ARB, NSAID, terutama pada pasien di atas 60 tahun dengan
kadar serum kreatinin mg/dL sehingga dapat terjadi GGA prerenal. Proses ini lebih mudah
terjadi pada kondisi hiponatermi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu
diingat bahwa pada pasien usia lanjut dpaat timbul keadaan yang merupakan risiko GGA
prerenal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskuler), penyakit ginjal
polikistik dan nefrosklerosis internal.
B. GGA renal.
GGA renal yang disebabkan oleh kelainan vaskuler seperti vaskulitis, hipertensi
maligna, glomerulusnefritis akut. Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh berbagai
sebab seperti penyakit tropic, gigitan ular, trauma (bencana alam, peperangan), toksin
lingkungan dan zat nefrotoxic. Di rumah sakit (35-50% di ICU) NTA terutama karena
sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTA pada 20-25% hal ini disebabkan adanya
penyakit sepeti hipertensi, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, diabetes mellitus,
ikterus dan usia lanjut, jenis operasi yang berat seperti transplantasi hati, transplantasi
jantung. Dari golongan zat-zat nefrotoxic perlu dipikirkan nefropati karena zat radiokontras,
obat-obatan sepeti anti jamur, antivirus dan antineoplastik. Meluasnya pemakaian narkoba
juga meningkatkan kemungkinan NTA. Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan
komponen vaskuler dan tubuler misalnya:
10
Kelainan vaskuler. Pada NTA terjadi: 1) Peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol aferen
glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensitifitas terhadap substansi-subtansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi; 2) Terjadi peningkatan stress oksidatif yang
menyebabkan kerusakan endotel vaskuler ginjal, yang mengakibatkna pegikatan A-II dan
Et-I serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endothelial NO
systhase. 3) Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekronis faktor (TNF) dan
interleukin-18 (IL18), yang selanjutnya akan meningkatan ekspresi dari interselular adhesion
molecule-I (ICAM-I) dan P-selectin dari sel endotel, sehingga terjadi peningkatan
perlengketan dari sel-sel radang, terutama sel neutrofil. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan radikal bebas oksigen. keseluruhan proses tersebut di atas secara bersama-sama
menyebabkan vasokonstriksi intrasel yang akan menyebabkan penurunan LFG.
Kelainan tubuler. Pada NTA terjadi: 1) Peningkatan Ca2+ intrasel yang menyebabkan
calpain, systolic phospolipase A2, serta kerusakan actin yang akan menyebebkan
cistoskeleton. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan basolateral Na+/K-ATPase yang
selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorpsi Na+ di tubulus proksimal sehingga terjadi
peningkatan pelepasan NaCl ke macula densa. Hal tersebut mengakibatkan umpan balik
tubuloglomerular; 2) Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO systhase, caspase dan
mettaloproteinase serta defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis adan
apoptosis sel; 3) Obstruksi tubulus. Mikrovilli tubulus proksimal yang terlepas bersama
debris seluler akan membentuk substrat yang akan menyumbat tubulus. Di tubulus, dalam
hal ini pada thick ascending limb diproduksi Tamm-Horsfall Protein (THP) yang
disekresikan ke dalam tubulus ke dalam bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi
bentuk polimer yang akan membentuk materi berupa gel dengan adsanya Na+ yang
konsentrasinya meningkat pada tubulus distal. Gel polimetrik THP bersama sel epitel tubuli
ayng terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik maupun yang apoptotic, microvili dan matrix
ekstraseluler seperti fibronektin akan membentuk silinder yang menyebabkan obstruksi
tubulus ginjal; 4) Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali dari cairan
intratubuler masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan proses tersebut di atas secara
bersama-sama akan menyebabkan penurunan LFG. Diduga juga proses iskmeia dan paparan
bahan/obat nefrotoxic dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat
kerusakan glomerulus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga dengan nama
11
nekrosis tubular akut (NTA). Tahap NTA adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan yang
berlanjut dan tahap penyembuhan. Dari tahap inisiasi ke tahap keruskaan yang berlanjut
terdapat hipoksia dan inflamasi yang sangat Nampak pada kortikomedular junction. Proses
inflamasi memegang peranan penting pada patofisiologi dari GGA yang terjadi karena
iskemia. Sel endotel, lekosit dan sel T berperan penting dari saat awal sampai saat reperfusi.
C. GGA postrenal.
GGA postrenal adalah 10% dari keseluruhan GGA. GGA postrenal karena obstruksi
intrarenal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal karena deposisi Kristal (urat, oksalat,
sulfonamide) dan protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal terjadi pada pelvis
ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada
pelvis dan retoperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (striktura). GGA postrenal terjadi bila obstruksi akut
terjadi pada uretra, buli-buli, ureter bilateral dan obstruksi pada ureter unilateral dimana
ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut, terjadi
peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini karena
prostaglandin-E2. Pada fase kedua setelah 1,5-2 jam terjadi penurunan aliran darah ginjal di
bawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2 ( TxA2) dan A-II. Tekanan pelvis ginjal
tetap meningkat tapi setelah 5 jam mulai meningkat. Fase ketiga atau fase kronik ditandai
oleh aliran darah ginjal yang makin menurun atau penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal
dalam beberapa minggi. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan
setelah 2 minggu tinggi 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator
inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan febriosis interstitial ginjal.
D. Epidemiologi.3
Di Amerika serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya. Di negara-negara berkembang diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
pertahun.
12
E. Etiologi.3
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR)
pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis
(25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas,
akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus.
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari
pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan
terapi pengganti ginjal seperti dialysis.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga
pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang
air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama
tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya.
13
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg,
atau bila pasien memakai obat antihipertensi. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi
menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
F. Patofisiologi.3
Patofisisologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. seperti Diabetes Melitus, dimana akan terjadi hiperglikemia (kadar glukosa
melebihi batas normal) dalam pembuluh darah, sehingga akan terjadi hiperperfusi dan
hiperfiltrasi yang mengakibatkan dilatasi arteri afferen ke glomerulus karena kelebihan
tampungan glukosa. Akibatnya tekanan di glomerulus akan meningkat. Seiring dengan
berjalannya tingkat keparahan penyakit maka glomerulus akan rusak. Hal tsb menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR).
Hiperurisemia juga dapat menjadi faktor risiko dimana terdapat kelebihan kadar asam
urat di darah misalnya pada penderita arthritis Gout. Asam urat ini akan meningkatkan
konsentrasi plasma darah yang difiltrasi ginjal dan mengendap di lumen tubulus, akibatnya
semakin lama akan terjadi penyumbatan, peningkatan tekanan intrarenal, dan akhirnya aliran
darah yang terfiltrasi (GFR) turun serta menimbulkan reaksi inflamasi.
Ada juga faktor risiko hipertensi atau tekanan darah tinggi dimana pembuluh darah dapat
mengalami kerusakan sehingga terjadi penurunan aliran darah untuk difiltrasi glomerulus. Hal ini
akan menyebabkan jatuhnya laju filtrasi (GFR). GFR turun menyebabkan oliguria bahkan anuria.
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktual dan fungsional nefron yang masih
tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktf seperti sitokin dan
growth factor . hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh pengingkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin
angotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut.
14
Pada stadium yang paling dini dimana LFG masih normal atau meningkat, kemudian
perlahan namun pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang dtandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih
belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nonturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada
LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, pruritus, mual, muntah dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi. Juga akan terjadi gangguan keseimabangan air dan gangguan keseimabnagn elektrolit.
Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal
G. Manifestasi klinis.6
Keparahan tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis bergantung pada bagian dan tingkat
kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien. Manifestasinya dapat bermacam-
macam yaitu :
A. Manifestasi kardiovaskuler pada gagal ginjal kronis mencangkup hipertensi (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas system rennin-angiotensin-aldosteron), gagal jantuing
kongestiv, edema pulmoner (akibat cairan berlebih), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan
pericardial oleh toksin uremik). Gejala dermatologi yang sering terjadi menyangkut rasa gatal
yang parah (pruritis). Butiran uremik, suatu penumpukan Kristal urea dikulit, saat ini jarang
terjadi akibat penanganan yang dini dan agresif pada penyakit ginjal tahap akhir.
B. Gejala gastrointestinal juga sering terjadi dan menyangkut anoreksia, mual, muntah dan
cegukan.
C. Perubahan neuromuscular mencangkup perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi, kedutan otot, dan kejang.
15
D. Manifestasi kelainan kulit pada penderita gagal ginjal kronis
1. Perubahan kulit secara umum
1.1. Kulit kering (xerosis)
Gagal ginjal dapat menyebabkan perubahan pada kelenjar keringat dan kelenjar minyak
yang menyebabkan kulit menjadi kering. Kondisi kulit kering ini dapat juga disebabkan dari
perubahan metabolisme vitamin A pada gagal ginjal kronik, yang saling berkaitan dengan
perubahan volume cairan dari pasien yang menjalani dialisis. Kulit kering akan menyebabkan
infeksi dan apabila terluka akan membuat proses penyembuhannya menjadi lebih lambat.
Selain itu kulit kering dapat juga menjadi penyebab gatal – gatal (pruritus).
1.2. Perubahan warna kulit
Perubahan yang terjadi pada kulit yaitu kulit berwarna pucat akibat anemia dan seringkali
memperlihatkan warna kuning keabu-abuan karena penimbunan karotenoid dan pigmen urine
(terutama urokrom) pada dermis. Pigmen urokrom yang biasanya pada ginjal yang sehat
dapat dibuang namun pada penderita gagal ginjal kronik dan terminal menumpuk pada kulit
sehingga kulit penderita menjadi kuning keabu-abuan.
1.3. Perubahan rambut
Rambut kepala menjadi menipis, mudah rapuh dan berubah warna.
1.4. Perubahan kuku
Kuku menjadi tipis, rapuh, bergerigi, memperlihatkan garis-garis terang dan kemerahan
berselang-seling. Perubahan pada kuku ini merupakan ciri khas kehilangan protein kronik,
biasanya didapatkan pada pasien dengan kadar serum albumin rendah dan akan menghilang
apabila kadar serum kembali normal (garis Muehrcke). Perubahan kuku lainnya adalah ujud
kuku half-and-half, yaitu warna kuku bagian proksimal putih (50 persen) dan bagian distal
berwarna merah muda (50 persen) dengan batas yang tegas. Bentuk kuku Terry (Terry’s
nails) adalah istilah ujud kuku yang digunakan dimana hanya 20 persen bagian distal kuku
yang normal (berwarna merah muda).
16
2. Pruritus
Pruritus (rasa gatal) dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang membuat penderitanya
mempunyai keinginan untuk menggaruk. Mekanisme dasar pruritus belum dipahami
sepenuhnya, teori terakhir meliputi hiperparatiroidisme sekunder, kelainan divalent-ion,
histamine, sensitisasi alergi, proliferasi (hiperplasi) dari sel mast di kulit, anemia defisiensi
besi, peningkatan vitamin A, xerosis, polineuropati peripheral dan berubahnya sistem saraf,
keterlibatan sistem opioid, sitokin, serum asam empedu, nitrat oksida atau beberapa
kombinasi ini. Beberapa penulis mengemukakan bahwa meningkatnya magnesium dalam
serum, fosfor dan kalsium telah terlibat pada uremic pruritus yang merupakan peranan
penting penyebab pruritus.
3. Kalsifikasi (calcification)
Kalsifikasi metastatik pada kulit penderita gagal ginjal kronik merupakan hasil dari
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. Peningkatan level hormon paratiroid (PTH) yang
abnormal dapat memicu timbunan kristal kalsium pirofosfat yang terdapat di dermis, lemak
subkutaneus atau dinding arterial. Adakalanya pengapuran pembuluh darah dapat terjadi
trombosis akut, dalam hal ini akan terjadi suatu sindrom yang disebut calciphylaxis.
Trombosis akut yang terjadi diproduksi oleh symmetrical livedo reticularis, kemudian akan
terjadi iskemia dan dengan cepat dapat menjadi hemoragik dan mengalami ulserasi.
4. Bullous Dermatosis
4.1. Porphyria cutanea tarda (PCT)
Porphyria cutanea tarda disebabkan oleh kekurangan enzim uroporphyrinogen
decarboxylase (UROD). Ketika aktivitas UROD menurun, porphyrin menjadi berlebihan
produksinya. Porphyrin kemudian terakumulasi di hati dan disebarkan dalam plasma menuju
ke berbagai organ. Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, hemodialisa
dapat memudahkan untuk terjadinya penimbunan porphyrin di dalam kulit yang
bermanifestasi di kulit sebagai fotosensitivitas dan bula subepidermal. Gambaran paling
umum dari PCT adalah kerapuhan kulit dari paparan sinar matahari setelah terkena trauma
mekanik, dapat menjadi erosi atau bula, biasanya pada tangan dan lengan bawah dan dapat
juga terjadi pada wajah dan kaki. Hipertrichosis juga sering terdapat di atas temporal dan
17
area wajah tetapi dapat juga meliputi tangan dan kaki. Perubahan warna meliputi melasma
seperti hiperpigmentasi pada wajah.
4.2. Pseudoporphyria
Kondisi ini seringkali tidak dapat dibedakan dari PCT yang ditandai kerapuhan kulit dan
formasi blister (lepuh) pada kulit yang terpapar sinar matahari. Akan tetapi, kejadian
hipertrichosis sedikit ditemukan, dan tingkat plasma porphyrin pada umumnya normal.
Pseudoporphyria dapat juga terjadi pada beberapa pasien yang mendapatkan pengobatan
dengan tetrasiklin, nabumetone, nitroglyserin, asam nalidixic, furosemide, dan fenitoin.
5. Acquired Perforating Dermatoses
Perforating disorders terdiri dari perubahan elemen particular dari jaringan konektif
(contoh, jaringan kolagen atau elastin), dimana terjadi penekanan dari papillary dermis
dengan eliminasi transepitelial. Manifestasi klinisnya adalah timbul papul-papul
hiperkeratotik dalam bentuk papul-papul dome-shaped (berbentuk kubah) dengan pusat yang
keratotik pada tubuh dan ekstremitas bagian ekstensor, seringkali pada distribusi yang linear
(garis lurus).
6. Nephrogenic Fibrosing Dermopathy
Nephrogenic fibrosing dermopathy (NFD) adalah penyakit yang baru-baru ini diuraikan,
penyakit ini menyerupai scleromyxedema. Manifestasi klinisnya adalah kulit pasien secara
progresif akan menjadi eritematous, terjadi sclerotic dermal plaques pada tangan dan kaki,
dengan sedikit manifestasi terjadi pada kepala dan leher. Histopatologi dari NFD menyerupai
scleromyedema, dengan adanya proliferasi fibroblas di dermis dan septa pada subkutaneus
yang dihubungkan dengan peningkatan kolagen septal dan dermal serta musin.
H. Komplikasi.6
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain:
Hiperkalemia, Akibat penurunan eksresi asidosis metabolic, kata bolisme dan masukan
diit berlebih
Perikarditis, efusi perincalkdial dan temponade jantung
18
Hipertensi, Akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi sistem rennin
angioaldosteron
Anemia, Akibat penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah merah, pendarahan
gasstrointestina akibat iritasi
Penyakit tulang, Akibat retensi fosfat kadar kalium serum yang rendah metabolisme
vitamin D, abnormal dan peningkatan kadar aluminium
I. Penatalaksanaan.3
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,
Tabel 2. Rencana Tata Laksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Dengan Derajatnya.3
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Dilakukan sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal
tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi
spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Sangat penting untuk memantau/ melihat kecepatan penurunan LFG pada penyakit
ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed faetors) yang
dapat memperburak keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
19
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.
Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat, gangguan
elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini
adalah Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada
LFG < 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak
selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien.
Tabel 3. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik.3
Terapi farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil risiko
gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan kerusakan nefron. Beberapa
obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin
Converting Enzym/ ACE inhibitor).
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler
adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia,
20
pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan
dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Pencegahan dan Terapi terhadap komplikasi
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi Penyakit ginjal kronik
mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat
penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Terapi penggantian ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
J. Prognosis.7
Prognosis dari penyakit ginjal kronik, tergantung pada seberapa cepat upaya deteksi dan
penanganan dini, serta penyakit penyebab. Semakin dini upaya deteksi dan penanganannya,
hasilnya akan lebih baik.
Beberapa jenis kondisi/penyakit, akan tetap progresif. Misalnya: dampak diabetes pada
ginjal dapat dibuat berjalan lebih lambat dengan upaya kendali diabetes. Pada kebanyakan kasus,
penyakit ginjal kronik progresif bisa menjadi gagal ginjal kronik.
Kematian pada penyakit ginjal kronik tertinggi adalah karena komplikasi jantung, dapat terjadi
sebelum maupun sesudah gagal ginjal. Pasien gagal ginjal tanpa upaya dialisis akan berakhir
dengan kematian.
Penyebab kematian pada gagal ginjal kronik, terbesar adalah karena komplikasi jantung
(45%), akibat infeksi (15%), komplikasi uremia pada otak (6%), dan keganasan (4%).
21
Kesimpulan
Tn T, 60 tahun, sesak nafas memberat sejak 6 jam yang lalu. sejak 2 hari lalu. Muntah 4x,
1 hari lalu. Pasien saat ini tampak bingung. Riwayat kencing manis dan darah tinggi sejak 25
tahun lalu, tidak teratur minum obat. Kaki pasien juga dirasa bengkak sejak 3 hari lalu. Karena
menderita gagal ginjal kronik
22
Daftar pustaka
1. Sudiono janti. Gangguan tumbuh kembang dentokraniofasial. Jakarta: EGC; 2009.
2. Behrman, kliegman, arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi-15. Jakarta: EGC; 2000.
3. Sudoyo WA. Setiyohadi B, Alwi I,dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam.Jilid Ke-I.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.
4. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45-7.
5. Cowin J. Buku saku patofisiologi edisi III. Jakarta: EGC; 2009.h. 729-30.
6. Sacher RA, Mcpherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. Ed 6.
Jakarta: EGC; 2002.h. 453-60.
7. Suwitra K. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Panyakit Dalam FK UI: Jakarta.
-
23
top related